Rabu, 28 Mei 2025

Perfeksionisme: Mencari Nilai dalam Aktualisasi Diri dan Kesempurnaan Moral

Perfeksionisme

Mencari Nilai dalam Aktualisasi Diri dan Kesempurnaan Moral


Alihkan ke: Aliran Aksiologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara mendalam tentang perfeksionisme sebagai salah satu aliran dalam cabang aksiologi, khususnya dalam ranah etika normatif. Perfeksionisme berpandangan bahwa nilai moral tertinggi terletak pada pengembangan potensi esensial manusia menuju kesempurnaan yang objektif. Berbeda dari utilitarianisme dan deontologi, perfeksionisme menilai moralitas berdasarkan sejauh mana suatu tindakan atau gaya hidup mengaktualisasikan kapasitas terbaik dalam diri manusia, seperti rasionalitas, integritas, dan kebajikan. Artikel ini menelusuri akar historis perfeksionisme mulai dari pemikiran Aristoteles hingga formulasi kontemporer oleh Thomas Hurka dan Stanley Cavell. Selain itu, artikel ini menganalisis perbandingan dengan aliran etika lain, mengulas kritik-kritik yang ditujukan terhadap perfeksionisme, serta menegaskan relevansinya dalam kehidupan kontemporer, khususnya dalam pendidikan, etika profesional, filsafat politik, dan krisis eksistensial modern. Melalui pendekatan filosofis yang sistematis dan berbasis referensi kredibel, artikel ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali arti kehidupan bermoral yang bertumpu pada aktualisasi diri dan makna eksistensial.

Kata Kunci: Perfeksionisme, aksiologi, etika normatif, aktualisasi diri, nilai moral, pengembangan manusia, Thomas Hurka, Stanley Cavell.


PEMBAHASAN

Perfeksionisme sebagai Aliran Aksiologis


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah filsafat, aksiologi merupakan cabang yang menelaah secara mendalam tentang nilai (value) dan penilaian (evaluation), termasuk nilai moral, estetika, dan eksistensial dalam kehidupan manusia. Aksiologi menjadi dimensi penting dalam sistem filsafat karena ia menyentuh langsung pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa yang baik, benar, indah, dan layak dicita-citakan dalam kehidupan individu dan kolektif manusia.¹ Salah satu aliran yang tumbuh dan berkembang dalam ranah aksiologi, khususnya dalam etika normatif, adalah perfeksionisme.

Perfeksionisme dalam filsafat bukan sekadar dorongan psikologis untuk menjadi sempurna atau bebas dari kesalahan, melainkan merupakan teori nilai yang berpandangan bahwa tujuan moral tertinggi manusia adalah pengembangan kapasitas-kapasitas terbaik dalam dirinya menuju kehidupan yang bermakna dan bernilai tinggi.² Dengan kata lain, perfeksionisme menekankan pentingnya aktualisasi diri, bukan hanya sebagai kebajikan individual, tetapi juga sebagai suatu imperatif etis yang melibatkan komunitas dan struktur sosial yang mendukungnya.

Gagasan perfeksionisme memiliki akar yang dalam dalam tradisi filsafat, terutama dalam pemikiran Aristoteles, yang mengaitkan kebahagiaan sejati (eudaimonia) dengan kesempurnaan dalam aktivitas yang khas bagi manusia, yakni penggunaan akal budi secara cemerlang.³ Dalam perkembangan modern, perfeksionisme mengalami reformulasi oleh tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant, yang menekankan otonomi moral sebagai bentuk kesempurnaan rasional manusia, dan lebih kontemporer lagi oleh filsuf seperti Stanley Cavell dan Thomas Hurka, yang menekankan nilai-nilai objektif dalam pengembangan kepribadian dan kapabilitas manusia.⁴

Perfeksionisme menjadi relevan dalam diskursus etika kontemporer karena mampu menjembatani antara idealisme moral dan kondisi nyata manusia dalam masyarakat. Di tengah pluralisme budaya dan relativisme nilai, perfeksionisme menawarkan alternatif yang menekankan pentingnya visi tentang kehidupan yang baik (the good life), tanpa harus terjebak dalam moralitas utilitarian yang reduksionis atau absolutisme deontologis yang kaku.⁵ Karena itu, memahami perfeksionisme bukan hanya sebagai wacana teoritis, tetapi juga sebagai panduan praksis untuk membangun diri dan masyarakat yang lebih beradab dan bermartabat.

Tulisan ini akan mengulas secara sistematis konsep dasar perfeksionisme sebagai aliran aksiologi, menelaah pokok-pokok ajarannya, membandingkannya dengan aliran etika lain, serta menggali kritik dan relevansinya dalam konteks kehidupan modern. Dengan pendekatan filosofis dan analisis normatif, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang utuh dan reflektif terhadap pertanyaan mendasar: Apakah mengejar kesempurnaan merupakan bentuk nilai tertinggi dalam kehidupan manusia?


Footnotes

[1]                Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction (New York: Barnes & Noble, 1963), 318.

[2]                Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University Press, 1993), 3.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a16–1098a18.

[4]                Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 2–5; Hurka, Perfectionism, 6–9.

[5]              Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.


2.           Pengertian Dasar Perfeksionisme

Perfeksionisme dalam konteks filsafat moral dan aksiologi adalah teori yang menyatakan bahwa nilai tertinggi dalam kehidupan manusia terletak pada aktualisasi potensi dan pengembangan kapasitas-kapasitas esensial manusia secara optimal.¹ Konsep ini tidak sama dengan perfeksionisme psikologis yang sering diasosiasikan dengan kebutuhan obsesif untuk mencapai standar absolut tanpa kesalahan. Dalam filsafat, perfeksionisme lebih bersifat normatif dan menilai bahwa kesempurnaan manusiawi merupakan landasan nilai moral itu sendiri.

Secara etimologis, kata “perfeksionisme” berasal dari kata Latin perfectus yang berarti “diselesaikan” atau “dibawa ke bentuk yang lengkap.” Dalam filsafat moral, hal ini merujuk pada keadaan ideal di mana individu mencapai ekspresi tertinggi dari kodratnya sebagai manusia.² Dengan demikian, perfeksionisme tidak mengharuskan semua manusia mencapai bentuk ideal yang sama, tetapi menekankan bahwa ada kualitas-kualitas manusiawi tertentu (seperti rasionalitas, kreativitas, kebajikan, dan otonomi) yang memiliki nilai objektif dan layak dikembangkan.

Filsuf Thomas Hurka, salah satu eksponen utama perfeksionisme kontemporer, menyatakan bahwa teori ini didasarkan pada gagasan bahwa hal-hal yang baik bagi manusia adalah hal-hal yang mengembangkan kapasitas khas manusia secara intrinsik bernilai.³ Menurutnya, nilai moral tidak semata-mata ditentukan oleh konsekuensi atau kewajiban, tetapi oleh sejauh mana suatu tindakan, kebijakan, atau gaya hidup mengarah pada kesempurnaan kodrat manusia. Hurka menyusun model hierarkis di mana nilai-nilai seperti pengetahuan, kesadaran diri, dan hubungan yang otentik dengan orang lain dianggap sebagai ekspresi dari kehidupan yang sempurna.

Perfeksionisme juga erat kaitannya dengan gagasan kehidupan yang baik (the good life), yaitu hidup yang tidak hanya bebas dari penderitaan, tetapi juga kaya akan pencapaian nilai-nilai luhur dan pertumbuhan eksistensial. Pandangan ini mengasumsikan bahwa ada struktur nilai objektif yang melekat pada eksistensi manusia, dan bahwa tidak semua pilihan hidup adalah setara secara moral.⁴ Ini menjadikan perfeksionisme sebagai teori etika yang bertumpu pada realisme moral dan menolak relativisme yang menyamakan semua gaya hidup sebagai sama benarnya.

Lebih jauh, dalam perfeksionisme terdapat asumsi penting bahwa kehidupan yang baik bagi seseorang bukan hanya urusan preferensi pribadi, tetapi juga memiliki dimensi etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis.⁵ Dengan demikian, perfeksionisme mendorong pandangan bahwa masyarakat dan institusi memiliki peran dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan individu untuk berkembang menuju bentuk idealnya. Ini juga yang membedakannya dari pendekatan liberal yang lebih netral terhadap tujuan hidup individu.

Kesimpulannya, perfeksionisme sebagai teori aksiologis menyajikan pandangan bahwa nilai tertinggi manusia tidak terletak pada pemenuhan keinginan, melainkan pada pencapaian aktualisasi diri yang sejati melalui pengembangan aspek-aspek esensial kemanusiaan. Ia mengajukan etika yang berakar pada visi tentang kesempurnaan moral, bukan sekadar kesenangan atau kepatuhan terhadap aturan.


Footnotes

[1]                Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University Press, 1993), 3.

[2]                Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.

[3]                Hurka, Perfectionism, 17–20.

[4]                Gwen Bradford, Achievement (Oxford: Oxford University Press, 2015), 6–9.

[5]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1996), 190–192.


3.           Akar Historis dan Perkembangan Gagasan Perfeksionisme

Perfeksionisme sebagai suatu teori nilai moral memiliki akar historis yang panjang dan berlapis, bermula dari filsafat klasik hingga berkembang dalam filsafat modern dan kontemporer. Meskipun istilah "perfeksionisme" baru muncul dalam diskursus filsafat modern, substansi dari gagasan perfeksionis sudah ditemukan dalam ajaran para filsuf besar yang mengaitkan kehidupan yang baik dengan pencapaian potensi tertinggi manusia.

Dalam filsafat Yunani kuno, Aristoteles (384–322 SM) dianggap sebagai salah satu pelopor utama gagasan perfeksionisme, meskipun ia tidak menggunakan istilah tersebut secara eksplisit. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menyatakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah eudaimonia (kebahagiaan sejati), yang hanya dapat dicapai melalui pengembangan dan pelaksanaan fungsi khas manusia, yaitu rasionalitas.¹ Menurutnya, manusia menjadi baik dan bahagia jika ia menunaikan kodratnya sebagai makhluk rasional dengan cara yang unggul, melalui latihan kebajikan (arete) secara konsisten.²

Pemikiran perfeksionis ini kemudian mengalami reformulasi dalam tradisi filsafat modern, terutama melalui karya Immanuel Kant (1724–1804). Kant memahami kesempurnaan bukan hanya sebagai aktualisasi potensi alami, tetapi sebagai pengembangan moral melalui otonomi dan rasionalitas praktis. Dalam Metaphysics of Morals, ia membedakan antara kesempurnaan fisik (pengembangan bakat dan potensi) dan kesempurnaan moral (pematangan kehendak agar sesuai dengan hukum moral).³ Bagi Kant, manusia wajib “menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna menurut kodratnya,” dan itu adalah perintah moral kategoris.⁴

Gagasan perfeksionisme terus berevolusi pada abad ke-19 dan ke-20, antara lain melalui pengaruh filsuf transendentalis Amerika seperti Ralph Waldo Emerson dan John Stuart Mill, meskipun keduanya lebih terkenal karena kontribusinya dalam etika liberal dan humanisme. Namun, pemikiran mereka tentang individu sebagai pusat pertumbuhan nilai dan kemandirian moral menjadi inspirasi bagi bentuk perfeksionisme yang lebih eksistensial dan non-dogmatik.⁵

Dalam konteks filsafat kontemporer, perfeksionisme mendapatkan revitalisasi yang sistematis dalam karya Thomas Hurka dan Stanley Cavell. Hurka, dalam bukunya Perfectionism (1993), merumuskan sistem nilai perfeksionis secara eksplisit dan sistematis. Ia berpendapat bahwa nilai moral suatu tindakan tergantung pada sejauh mana tindakan tersebut mengembangkan sifat-sifat esensial manusia, seperti pemikiran, pencapaian, dan kesadaran diri.⁶ Hurka juga mengembangkan pendekatan kuantitatif untuk menilai intensitas dan kompleksitas pencapaian kesempurnaan dalam kehidupan manusia.⁷

Sementara itu, Stanley Cavell menawarkan bentuk perfeksionisme yang bersifat reflektif dan eksistensial, berakar pada pembacaan terhadap Emerson dan Thoreau. Dalam Conditions Handsome and Unhandsome, Cavell menekankan bahwa perfeksionisme bukan hanya soal pencapaian objektif, tetapi juga soal perjalanan moral dan transformasi batin yang menuntut keterlibatan aktif dalam membentuk diri sendiri secara berkesinambungan.⁸ Perfeksionisme Cavellian bersifat expressivist, artinya lebih menekankan ekspresi autentik kehidupan moral daripada kepatuhan terhadap norma eksternal.

Dengan demikian, meskipun perfeksionisme berkembang dalam beragam bentuk dan kerangka, semua versinya memiliki benang merah yang sama: komitmen terhadap ide bahwa kehidupan moral yang baik adalah kehidupan yang dihayati sebagai proses menjadi lebih sempurna — tidak dalam arti absolut atau tak tercela, tetapi dalam pengertian berkembang menuju kapasitas terbaik yang dapat dicapai oleh manusia sebagai makhluk rasional dan bernilai.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a16–1098b8.

[2]                Ibid., 1103a10–1103b25.

[3]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6:387–6:392.

[4]                Ibid., 6:446.

[5]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 53–56; Ralph Waldo Emerson, Self-Reliance and Other Essays (New York: Dover Publications, 1993), 19–24.

[6]                Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University Press, 1993), 3–10.

[7]                Ibid., 30–36.

[8]                Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 2–9.


4.           Pokok-Pokok Ajaran Perfeksionisme

Perfeksionisme sebagai teori nilai dalam cabang aksiologi berpandangan bahwa tujuan moral tertinggi manusia adalah pengembangan kualitas-kualitas terbaik yang melekat pada kodrat kemanusiaan.¹ Dalam kerangka ini, kehidupan yang baik (the good life) dipahami sebagai kehidupan yang berisi usaha sistematis dan berkelanjutan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi internal, seperti rasionalitas, keutamaan moral, kreativitas, dan kesadaran diri.

4.1.       Nilai Aktualisasi Diri sebagai Tujuan Moral

Perfeksionisme menekankan bahwa nilai moral suatu tindakan, institusi, atau gaya hidup harus diukur berdasarkan kontribusinya terhadap realisasi potensi manusia.² Ini berbeda dari pendekatan utilitarian yang memprioritaskan kebahagiaan sebagai konsekuensi, dan dari deontologi yang mengutamakan kewajiban moral universal. Dalam perfeksionisme, nilai melekat pada proses menjadi lebih baik dan berkembang secara utuh sebagai manusia.

Filsuf Thomas Hurka, sebagai eksponen kontemporer utama, menyatakan bahwa nilai moral berakar pada “pengembangan aspek-aspek esensial manusia,” seperti akal, emosi, dan hubungan sosial.³ Ia menyusun struktur nilai yang bersifat hierarkis, di mana aktivitas yang melibatkan tingkat kesadaran dan keterampilan tinggi (misalnya berpikir filosofis, penciptaan seni, tindakan welas asih) memiliki nilai intrinsik lebih tinggi daripada aktivitas yang bersifat mekanis atau reaktif.⁴

4.2.       Esensi Sifat Perfeksionis: Objektivitas dan Norma

Perfeksionisme memiliki komitmen kuat terhadap realisme nilai. Artinya, nilai-nilai seperti keberanian, kejujuran, dan integritas bukan sekadar preferensi subjektif, melainkan nilai objektif yang dapat diidentifikasi dan dikembangkan melalui nalar dan pengalaman.⁵ Pandangan ini menolak relativisme moral yang menganggap semua gaya hidup setara secara etis. Bagi perfeksionis, tidak semua pilihan hidup memiliki nilai moral yang sama; kehidupan yang diarahkan pada keutamaan objektif lebih bermakna secara etis daripada kehidupan yang hanya mengejar kesenangan atau status sosial.

4.3.       Perfeksionisme dan Tanggung Jawab Etis Individu

Selain sebagai teori nilai, perfeksionisme juga memuat implikasi etis bagi individu. Setiap orang memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan dirinya, tidak hanya demi kepentingan pribadi, tetapi karena pengembangan diri itu sendiri adalah kebaikan moral.⁶ Hal ini juga berarti bahwa kemalasan, stagnasi, dan ketidakpedulian terhadap potensi diri merupakan kegagalan etis, bukan sekadar kelemahan karakter.

Perfeksionisme tidak menuntut kesempurnaan absolut, tetapi menekankan proses menuju peningkatan moral dan eksistensial secara terus-menerus. Ini sesuai dengan gagasan Stanley Cavell tentang perfeksionisme sebagai “a moral journey,” yakni perjalanan etis yang berkesinambungan dalam merespons kegagalan dan aspirasi diri.⁷ Dalam hal ini, perfeksionisme menyentuh wilayah etika eksistensial, di mana subjek tidak hanya mengejar nilai eksternal, tetapi membentuk makna hidup melalui tindakan dan refleksi pribadi yang autentik.

4.4.       Dimensi Sosial dan Politik dalam Perfeksionisme

Meskipun terfokus pada individu, perfeksionisme tidak mengabaikan dimensi sosial. Dalam konteks filsafat politik, perfeksionisme menyatakan bahwa negara atau komunitas ideal seharusnya mendukung perkembangan kapasitas terbaik setiap warganya.⁸ Ini berbeda dengan liberalisme netral yang menghindari campur tangan terhadap gagasan tentang kehidupan yang baik. Perfeksionisme politik berargumen bahwa dukungan terhadap nilai-nilai objektif bukanlah bentuk pemaksaan, melainkan fasilitasi terhadap pembentukan diri manusia secara utuh.

Tokoh seperti Steven Wall dan Joseph Raz mempertahankan bahwa tidak mungkin menciptakan masyarakat yang etis jika negara benar-benar netral terhadap nilai-nilai moral.⁹ Dalam pandangan ini, pendidikan, kebudayaan, dan institusi sosial harus diarahkan untuk membantu manusia mencapai kehidupan yang bernilai tinggi, bukan hanya memuaskan preferensi individual.


Kesimpulan Sementara

Dari paparan di atas, terlihat bahwa perfeksionisme merupakan teori aksiologis yang kompleks namun terstruktur. Ia menyatukan antara realisme moral, aktualisasi diri, dan tanggung jawab etis, baik pada level individu maupun sosial. Dalam dunia yang sering mempromosikan relativisme dan nihilisme nilai, perfeksionisme hadir sebagai pengingat bahwa ada bentuk kehidupan yang lebih luhur, dan bahwa manusia memiliki kapasitas serta tanggung jawab untuk mencapainya.


Footnotes

[1]                Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University Press, 1993), 3.

[2]                Ibid., 6.

[3]                Ibid., 17–19.

[4]                Ibid., 32–33.

[5]                Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.

[6]                John Kekes, Moral Wisdom and Good Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1995), 82–85.

[7]                Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 2–5.

[8]                Joseph Raz, The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), 190–195.

[9]                Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” sec. 6.


5.           Perbandingan Perfeksionisme dengan Aliran Etika Lain

Dalam khazanah filsafat moral, perfeksionisme menempati posisi yang khas karena menekankan bahwa nilai moral tertinggi terletak pada pengembangan kualitas-kualitas esensial dalam diri manusia. Namun, agar posisi ini dapat dipahami secara menyeluruh, penting untuk membandingkannya dengan tiga pendekatan etika normatif lain yang paling dominan, yaitu utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan (virtue ethics). Perbandingan ini tidak hanya memperjelas keunikan perfeksionisme, tetapi juga menampilkan kekuatan dan keterbatasannya secara lebih objektif.

5.1.       Perfeksionisme vs. Utilitarianisme

Utilitarianisme adalah teori etika yang menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Tokoh utama pendekatan ini adalah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, yang menilai konsekuensi sebagai dasar utama penilaian moral.¹ Dalam pendekatan ini, nilai moral suatu tindakan tidak diukur berdasarkan karakter atau niat, tetapi hasil atau dampaknya terhadap kesejahteraan manusia secara kuantitatif.

Berbeda dengan itu, perfeksionisme tidak menilai tindakan berdasarkan kebahagiaan atau kepuasan, melainkan sejauh mana tindakan tersebut mengembangkan kapabilitas manusia secara esensial. Thomas Hurka menyatakan bahwa walau perfeksionisme mengakui nilai positif dari kebahagiaan, ia tidak memandang kebahagiaan sebagai satu-satunya nilai akhir; yang terpenting adalah pengembangan sifat terbaik manusia, meskipun itu kadang menimbulkan penderitaan jangka pendek.²

Sebagai contoh, belajar filsafat atau seni mungkin tidak langsung menyenangkan bagi sebagian orang, tetapi perfeksionisme memandang kegiatan itu bermakna karena memperkaya kapasitas intelektual dan estetis manusia. Ini membuat perfeksionisme lebih kompleks secara evaluatif daripada utilitarianisme yang cenderung mengutamakan efisiensi emosional.³

5.2.       Perfeksionisme vs. Deontologi

Deontologi, terutama sebagaimana dirumuskan oleh Immanuel Kant, menekankan bahwa tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan kewajiban moral universal dan bukan karena hasil atau akibatnya. Prinsip utama etika deontologis adalah imperatif kategoris, yaitu bertindak hanya menurut asas yang dapat dijadikan hukum universal.⁴

Perfeksionisme memang memiliki kesamaan dengan deontologi dalam hal mengakui rasionalitas dan nilai moral dalam otonomi individu, namun keduanya berbeda dalam titik tekan normatif. Deontologi bersifat formal dan abstrak, sementara perfeksionisme bersifat substansial dan teleologis: ia menilai bahwa moralitas harus dilihat dalam kerangka tujuan-tujuan eksistensial manusia, bukan sekadar kepatuhan terhadap hukum moral.

Selain itu, perfeksionisme lebih memperhatikan kualitas kehidupan sebagai proses pematangan manusia, bukan hanya ketepatan dalam memilih prinsip.⁵ Dalam arti ini, perfeksionisme mengisi kekosongan yang sering dikritik dalam deontologi, yaitu kurangnya sensitivitas terhadap konteks konkret kehidupan moral dan tujuan manusia secara lebih luas.

5.3.       Perfeksionisme vs. Etika Kebajikan (Virtue Ethics)

Etika kebajikan, yang paling banyak diasosiasikan dengan Aristoteles, menekankan bahwa tindakan yang baik berasal dari karakter yang baik dan kebajikan yang ditumbuhkan secara konsisten melalui pembiasaan.⁶ Tujuan akhirnya adalah mencapai eudaimonia — hidup yang baik dan bermakna, yang dicapai dengan menjalankan kebajikan seperti keadilan, keberanian, dan moderasi.

Perfeksionisme dan etika kebajikan memiliki kedekatan historis dan konseptual, terutama karena keduanya berpandangan bahwa kehidupan manusia memiliki tujuan intrinsik yang dapat diwujudkan melalui pembinaan karakter dan potensi diri.⁷ Namun, perfeksionisme cenderung memberikan kerangka normatif yang lebih eksplisit dan sistematis terhadap nilai-nilai yang hendak dicapai, sebagaimana dilakukan Hurka melalui pendekatan hierarki nilai. Etika kebajikan, sebaliknya, sering lebih kontekstual dan berbasis pada kebiasaan sosial.

Perbedaan lainnya terletak pada aspek evaluatif individualisme: perfeksionisme menekankan pencapaian kualitas manusia secara objektif dan individual, sementara etika kebajikan lebih menekankan keseimbangan antara karakter pribadi dan kehidupan sosial yang harmonis.⁸

5.4.       Ringkasan Perbandingan

Aspek 1: Fokus Etis

·                     Utilitarianisme: Menekankan konsekuensi dari suatu tindakan; tindakan dinilai baik jika menghasilkan manfaat terbesar.

·                     Deontologi: Fokus pada kewajiban moral; tindakan bermoral karena dilakukan demi kewajiban, bukan hasilnya.

·                     Etika Kebajikan: Menekankan pembentukan karakter dan kebajikan pribadi sebagai pusat kehidupan etis.

·                     Perfeksionisme: Fokus pada pengembangan kapasitas esensial manusia menuju bentuk idealnya.

Aspek 2: Nilai Moral Utama

·                     Utilitarianisme: Kebahagiaan (pleasure) sebagai nilai tertinggi.

·                     Deontologi: Kepatuhan terhadap prinsip moral universal, seperti imperatif kategoris Kant.

·                     Etika Kebajikan: Keutamaan moral (virtue) seperti keberanian, kejujuran, dan kebijaksanaan.

·                     Perfeksionisme: Kesempurnaan dan aktualisasi diri sebagai nilai intrinsik kehidupan yang baik.

Aspek 3: Basis Penilaian Moral

·                     Utilitarianisme: Berdasarkan hasil tindakan dan dampaknya terhadap kesejahteraan kolektif.

·                     Deontologi: Berdasarkan niat moral dan kesesuaian terhadap hukum moral.

·                     Etika Kebajikan: Berdasarkan kualitas kepribadian dan pembiasaan kebajikan.

·                     Perfeksionisme: Berdasarkan nilai objektif dalam pengembangan kodrat manusia.

Aspek 4: Tujuan Etis

·                     Utilitarianisme: Mewujudkan manfaat terbesar untuk jumlah orang terbanyak.

·                     Deontologi: Menjadi pribadi yang bertindak sesuai hukum moral universal.

·                     Etika Kebajikan: Mencapai kehidupan yang baik dan bermakna dengan menghidupi kebajikan.

·                     Perfeksionisme: Mencapai kehidupan bermakna melalui pengembangan potensi manusia secara utuh.

Dengan demikian, perfeksionisme menampilkan sintesis antara rasionalitas, nilai objektif, dan pertumbuhan moral individual, yang membedakannya dari pendekatan etika lain yang cenderung reduksionis dalam cara menilai moralitas tindakan dan kehidupan.


Kesimpulan Sementara

Perfeksionisme dapat dipandang sebagai jalan tengah yang integratif dalam etika normatif. Ia menghindari reduksionisme konsekuensialis utilitarian, mengatasi kekakuan deontologis, dan memperkuat fondasi rasional dari etika kebajikan. Sebagai teori nilai, perfeksionisme menawarkan kerangka moral yang mengakui struktur objektif dalam pengembangan diri manusia, serta menuntut keterlibatan aktif individu dalam menapaki kehidupan yang bermakna secara moral.


Footnotes

[1]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 9–10.

[2]                Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University Press, 1993), 8–10.

[3]                Ibid., 14–16.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:421–4:424.

[5]                Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1103a14–1105a17.

[7]                Gwen Bradford, Achievement (Oxford: Oxford University Press, 2015), 19–20.

[8]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 135–137.


6.           Kritik terhadap Perfeksionisme

Meskipun perfeksionisme menawarkan visi moral yang luhur tentang pengembangan diri manusia, aliran ini tidak luput dari berbagai kritik serius, baik dari perspektif liberalisme, pluralisme nilai, maupun dari pendekatan psikologis dan praktis. Kritik-kritik ini terutama menyoroti implikasi etis dan politis dari penerapan perfeksionisme, serta potensi problematika dalam definisi dan aplikasinya.

6.1.       Tuduhan Paternalistik dan Anti-Liberal

Salah satu kritik utama terhadap perfeksionisme datang dari para pendukung liberalisme politik, yang menilai bahwa perfeksionisme cenderung bersifat paternalistik—yakni memaksakan satu pandangan tertentu tentang "kehidupan yang baik" kepada semua orang.¹ Dalam kerangka liberalisme, negara atau lembaga sosial seharusnya netral terhadap berbagai pandangan hidup, dan tidak mengarahkan individu menuju suatu bentuk kesempurnaan tertentu yang telah didefinisikan sebelumnya.

Filsuf liberal seperti John Rawls menekankan pentingnya faktum pluralisme wajar (reasonable pluralism), yakni bahwa dalam masyarakat demokratis, warga akan memiliki pandangan berbeda tentang nilai-nilai luhur berdasarkan kebudayaan, agama, dan keyakinan pribadi.² Dalam konteks ini, perfeksionisme dianggap berisiko mengabaikan otonomi individu dengan mengarahkan semua warga pada satu model manusia ideal.

Namun, perfeksionisme dapat merespons kritik ini dengan menyatakan bahwa dukungan terhadap nilai objektif bukan berarti pemaksaan, melainkan fasilitasi terhadap kapasitas manusia agar mampu memilih dan mengejar bentuk kehidupan yang bermakna.³ Filsuf seperti Steven Wall membela perfeksionisme moderat yang bersifat non-coercive, yakni bahwa negara dapat mempromosikan nilai-nilai luhur tanpa melanggar kebebasan individu.⁴

6.2.       Masalah Pluralisme Nilai dan Subjektivitas Kesempurnaan

Kritik berikutnya menyentuh pada keragaman nilai-nilai dalam masyarakat pluralistik. Apa yang dianggap sebagai “kesempurnaan manusia” bisa sangat bervariasi tergantung pada latar budaya, agama, dan tradisi intelektual. Apakah rasionalitas, spiritualitas, kreativitas, atau kesalehan adalah bentuk kesempurnaan yang paling luhur?

Martha Nussbaum, dalam pembelaannya terhadap pendekatan berbasis kapabilitas, mengakui bahwa standar universal perlu dirumuskan secara inklusif, namun tetap membuka ruang dialog lintas budaya.⁵ Dalam hal ini, perfeksionisme menghadapi tantangan serius: bagaimana merumuskan nilai-nilai universal tanpa jatuh pada etnosentrisme atau eksklusivisme moral?

Perfeksionisme yang terlalu dogmatis dalam menentukan standar kesempurnaan dapat berujung pada diskriminasi terhadap gaya hidup alternatif atau kelompok minoritas. Oleh karena itu, pendekatan perfeksionis memerlukan fleksibilitas konseptual dan kepekaan kontekstual untuk menghindari bias nilai.

6.3.       Beban Moral yang Berat dan Ekspektasi Tak Realistis

Perfeksionisme kadang dianggap membebankan ekspektasi moral yang terlalu tinggi kepada individu, seolah-olah semua orang harus berupaya maksimal untuk menjadi versi terbaik dari dirinya dalam segala hal.⁶ Ini dapat menimbulkan tekanan psikologis, rasa bersalah, atau bahkan alienasi bagi mereka yang tidak mampu atau tidak memiliki akses pada sarana pengembangan diri.

Kritik ini senada dengan yang disampaikan dalam psikologi eksistensial, yang menilai bahwa orientasi berlebihan pada kesempurnaan dapat merusak keseimbangan hidup dan keutuhan jiwa manusia.⁷ Perfeksionisme yang kaku dapat menjebak individu dalam ketidakpuasan kronis dan kecemasan eksistensial, bertentangan dengan cita-cita kehidupan yang bermakna dan sejahtera.

Sebagai respons, perfeksionisme kontemporer seperti yang dikembangkan Stanley Cavell menekankan pentingnya perfeksionisme sebagai “perjalanan”, bukan pencapaian final.⁸ Dengan demikian, nilai moral terletak pada upaya berkelanjutan dan reflektif, bukan pada pencapaian standar mutlak yang statis.

6.4.       Ambiguitas dalam Definisi dan Aplikasi Praktis

Kritik lainnya menyangkut ambiguitas dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan "kesempurnaan manusia". Apakah itu berarti kecerdasan intelektual, kedalaman spiritual, kedewasaan emosional, atau kemampuan sosial? Tanpa definisi yang jelas dan operasional, perfeksionisme berisiko menjadi teori moral yang terlalu abstrak dan tidak aplikatif dalam pengambilan keputusan nyata.

Selain itu, indikator pengukuran nilai dalam kerangka perfeksionisme sering kali bersifat normatif dan kualitatif, sehingga sulit dipakai sebagai dasar kebijakan publik atau sistem pendidikan secara universal.⁹ Hal ini memunculkan kebutuhan untuk menggabungkan pendekatan perfeksionis dengan pendekatan kapabilitas, seperti yang diusulkan oleh Amartya Sen dan Martha Nussbaum, agar lebih responsif terhadap realitas sosial dan kebutuhan manusia yang konkret.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Perfeksionisme menawarkan visi moral yang mendalam dan luhur tentang manusia, namun menghadapi tantangan serius dari segi politik, pluralisme, psikologi, dan praktik kebijakan. Agar tetap relevan dan aplikatif, perfeksionisme memerlukan penyesuaian konseptual dan dialog lintas tradisi, serta pendekatan yang terbuka, reflektif, dan inklusif terhadap keragaman pengalaman manusia.


Footnotes

[1]                Charles Larmore, The Morals of Modernity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 129–132.

[2]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1996), 36–38.

[3]                Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University Press, 1993), 54.

[4]                Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.

[5]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 28–29.

[6]                David Norton, Personal Destinies: A Philosophy of Ethical Individualism (Princeton: Princeton University Press, 1976), 110–112.

[7]                Rollo May, Man's Search for Himself (New York: Norton, 1953), 55–58.

[8]                Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 3–7.

[9]                Hurka, Perfectionism, 67–69.

[10]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 74–76; Nussbaum, Creating Capabilities, 33–36.


7.           Relevansi Perfeksionisme dalam Kehidupan Kontemporer

Di tengah krisis nilai, relativisme moral, dan disorientasi eksistensial yang mewarnai masyarakat modern, perfeksionisme hadir sebagai pendekatan aksiologis yang menawarkan arah dan kedalaman moral. Dengan menekankan aktualisasi potensi manusia dan pengembangan nilai-nilai luhur, perfeksionisme memiliki relevansi signifikan dalam berbagai dimensi kehidupan kontemporer, baik dalam ranah pendidikan, politik, pengembangan diri, maupun wacana hak asasi manusia.

7.1.       Perfeksionisme dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Salah satu ranah paling nyata bagi aplikasi perfeksionisme adalah pendidikan, khususnya dalam pembentukan karakter dan kepribadian. Dalam pandangan perfeksionis, pendidikan bukan hanya sarana transmisi pengetahuan, tetapi arena pengembangan kualitas esensial manusia, seperti nalar, imajinasi, integritas, dan kepedulian moral.¹

Perfeksionisme mendukung gagasan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah menuntun individu menjadi versi terbaik dari dirinya, bukan sekadar kompeten dalam keterampilan teknis atau produktif secara ekonomi.² Ini sejalan dengan visi pendidikan klasik Aristotelian yang menekankan paideia—yakni pembentukan jiwa yang berbudi luhur melalui proses belajar yang integral dan holistik.³

Dalam konteks modern, pendekatan ini direfleksikan dalam pendidikan humanistik, yang menolak reduksi pendidikan menjadi sekadar instrumen ekonomi, dan mengembalikan misi pendidikan sebagai proyek pembentukan manusia seutuhnya.⁴

7.2.       Perfeksionisme dan Etika Profesional

Dalam dunia kerja dan profesionalisme modern, perfeksionisme juga menawarkan kontribusi etis yang penting. Dengan menekankan pengembangan diri sebagai bentuk moralitas, perfeksionisme mengajak pelaku profesional untuk tidak sekadar mematuhi regulasi eksternal, tetapi juga mengejar kesempurnaan internal dalam keahlian, integritas, dan tanggung jawab sosial.

Sebagai contoh, dalam profesi kedokteran, pendidikan, atau hukum, perfeksionisme mendorong pemahaman bahwa profesi bukan hanya pekerjaan, tetapi juga panggilan moral untuk mengembangkan standar tertinggi dari kemampuan dan dedikasi.⁵ Pandangan ini membantu membangun budaya kerja yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga berakar pada nilai dan makna yang lebih dalam.

7.3.       Perfeksionisme dalam Filsafat Politik dan Hak Asasi Manusia

Perfeksionisme juga memiliki implikasi penting dalam filsafat politik, terutama dalam merumuskan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. Berbeda dari liberalisme netral, perfeksionisme politik berpendapat bahwa negara memiliki peran positif untuk memfasilitasi kondisi yang memungkinkan warga berkembang secara moral dan eksistensial.⁶

Joseph Raz, misalnya, menyatakan bahwa kebebasan sejati baru bermakna jika individu memiliki kesempatan nyata untuk mengejar nilai-nilai luhur dalam kehidupannya.⁷ Ini menjadi dasar bagi negara perfeksionis untuk mendorong akses terhadap pendidikan bermutu, lingkungan budaya yang kaya, dan sistem etika publik yang kuat, bukan sekadar menjaga kebebasan formal.

Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, perfeksionisme relevan karena mengaitkan martabat manusia dengan potensi aktualisasi, bukan sekadar hak negatif untuk tidak diganggu.⁸ Dengan demikian, HAM bukan hanya perlindungan dari penindasan, tetapi juga jaminan terhadap peluang pengembangan diri, sebagaimana dijabarkan dalam pendekatan kapabilitas oleh Martha Nussbaum dan Amartya Sen.⁹

7.4.       Perfeksionisme dan Kesehatan Mental di Era Digital

Di era digital dan budaya performatif saat ini, banyak individu mengalami tekanan eksistensial, kecemasan akan makna, dan kehilangan orientasi nilai. Perfeksionisme dapat menjadi alternatif terhadap hedonisme digital dan narsisme budaya populer, dengan menawarkan kerangka eksistensial yang menghubungkan kehidupan sehari-hari dengan tujuan moral yang lebih tinggi.

Namun, agar tetap relevan secara psikologis, perfeksionisme perlu dijalankan dalam bentuk yang reflektif dan humanistik, bukan dalam bentuk toksik atau absolutistik.⁽¹⁰⁾ Perfeksionisme kontemporer ala Stanley Cavell, yang melihat kehidupan moral sebagai “perjalanan menjadi diri sendiri,” sangat cocok dalam konteks ini, karena mendorong pertumbuhan bertahap, kesadaran diri, dan penerimaan terhadap kegagalan sebagai bagian dari dinamika eksistensi.¹¹


Kesimpulan Sementara

Perfeksionisme, jika diterapkan secara bijak dan kontekstual, memiliki daya transformasi yang kuat bagi individu dan masyarakat. Ia menyatukan antara nilai objektif, tanggung jawab moral, dan cita-cita kehidupan bermakna. Dalam dunia kontemporer yang kerap kehilangan arah nilai, perfeksionisme menawarkan pandangan filosofis yang tidak hanya ideal, tetapi juga aplikatif dan membebaskan.


Footnotes

[1]                Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University Press, 1993), 85.

[2]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Free Press, 1997), 31–33.

[3]                Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, vol. 1, trans. Gilbert Highet (New York: Oxford University Press, 1986), 10–12.

[4]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–8.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 190–192.

[6]                Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.

[7]                Joseph Raz, The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), 378–380.

[8]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–5.

[9]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 86–89; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 33–37.

[10]             Barry Schwartz, The Paradox of Choice (New York: Harper Perennial, 2004), 221–223.

[11]             Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 4–8.


8.           Kesimpulan

Perfeksionisme, sebagai salah satu aliran dalam cabang aksiologi, menawarkan pendekatan normatif yang menempatkan aktualisasi diri dan pengembangan potensi esensial manusia sebagai nilai moral tertinggi. Berbeda dari teori-teori etika lain yang menekankan konsekuensi (utilitarianisme) atau kewajiban formal (deontologi), perfeksionisme berfokus pada proses menjadi manusia yang lebih sempurna, baik secara rasional, moral, maupun eksistensial.¹

Gagasan perfeksionisme memiliki akar kuat dalam filsafat klasik, terutama dalam pemikiran Aristoteles, dan terus berkembang dalam filsafat modern melalui Immanuel Kant, hingga diformulasikan secara sistematis oleh Thomas Hurka dan Stanley Cavell pada era kontemporer.² Perfeksionisme menegaskan bahwa tidak semua cara hidup memiliki nilai moral yang setara; ada kehidupan yang lebih bermakna karena mengandung usaha sadar untuk mengembangkan sifat terbaik manusia, seperti kebijaksanaan, integritas, dan keberanian.³

Meskipun demikian, perfeksionisme tidak lepas dari kritik. Ia dituduh bersifat paternalistik dan eksklusif, terutama karena kecenderungannya untuk mendefinisikan “kesempurnaan” secara objektif, yang bisa bertentangan dengan prinsip pluralisme dan otonomi individu dalam masyarakat modern.⁴ Namun, jika dipahami secara reflektif dan inklusif, perfeksionisme mampu menghindari jebakan absolutisme moral dan justru memberikan kerangka etis yang memfasilitasi pertumbuhan personal yang otentik dan manusiawi.⁵

Dalam konteks kehidupan kontemporer, perfeksionisme sangat relevan. Di tengah tantangan krisis nilai, tekanan psikologis, dan disorientasi identitas, perfeksionisme mengajukan visi moral yang memberi arah hidup, membangun integritas dalam profesionalisme, dan mendorong negara serta institusi sosial untuk mendukung perkembangan kapasitas manusia secara substantif, bukan sekadar melindungi hak-hak formal.⁶

Perfeksionisme juga mengandung nilai edukatif yang kuat, karena menyatukan visi moral, pembentukan karakter, dan pengembangan intelektual dalam satu kerangka normatif yang konsisten.⁷ Ia tidak sekadar menuntut manusia menjadi sempurna secara ideal, tetapi mendorong perjalanan etis yang terus-menerus, di mana kegagalan, pertumbuhan, dan pencarian makna menjadi bagian integral dari kehidupan yang baik.

Dengan demikian, perfeksionisme tidak hanya relevan sebagai teori filosofis, tetapi juga sebagai pendekatan praktis untuk membangun kehidupan pribadi dan sosial yang lebih bernilai. Dalam dunia yang sering kali menawarkan makna instan dan dangkal, perfeksionisme mengajak kita untuk kembali pada pertanyaan mendasar: Apa artinya menjadi manusia yang baik dan utuh?


Footnotes

[1]                Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University Press, 1993), 3–5.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a16–1098b8; Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6:387–6:392; Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 2–5.

[3]                Hurka, Perfectionism, 20–22.

[4]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1996), 190–192.

[5]                Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.

[6]                Joseph Raz, The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), 378–380.

[7]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 7–9.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 350 B.C.E.)

Bradford, G. (2015). Achievement. Oxford University Press.

Cavell, S. (1990). Conditions handsome and unhandsome: The constitution of Emersonian perfectionism. University of Chicago Press.

Dewey, J. (1997). Democracy and education. Free Press. (Original work published 1916)

Hurka, T. (1993). Perfectionism. Oxford University Press.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Jaeger, W. (1986). Paideia: The ideals of Greek culture (Vol. 1, G. Highet, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1934)

Kant, I. (1996). The metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1797)

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Larmore, C. (1996). The morals of modernity. Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press. (Original work published 1981)

May, R. (1953). Man's search for himself. Norton.

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1863)

Mill, J. S. (1978). On liberty (E. Rapaport, Ed.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1859)

Norton, D. L. (1976). Personal destinies: A philosophy of ethical individualism. Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Rawls, J. (1996). Political liberalism (Expanded ed.). Columbia University Press.

Raz, J. (1986). The morality of freedom. Oxford University Press.

Schwartz, B. (2004). The paradox of choice: Why more is less. Harper Perennial.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Knopf.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Wall, S. (2021). Perfectionism in moral and political philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Winter 2021 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar