Perfeksionisme
Mencari Nilai dalam Aktualisasi Diri dan Kesempurnaan
Moral
Alihkan ke: Aliran Aksiologi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara mendalam tentang perfeksionisme
sebagai salah satu aliran dalam cabang aksiologi, khususnya dalam ranah etika
normatif. Perfeksionisme berpandangan bahwa nilai moral tertinggi terletak pada
pengembangan potensi esensial manusia menuju kesempurnaan yang objektif.
Berbeda dari utilitarianisme dan deontologi, perfeksionisme menilai moralitas
berdasarkan sejauh mana suatu tindakan atau gaya hidup mengaktualisasikan
kapasitas terbaik dalam diri manusia, seperti rasionalitas, integritas, dan
kebajikan. Artikel ini menelusuri akar historis perfeksionisme mulai dari
pemikiran Aristoteles hingga formulasi kontemporer oleh Thomas Hurka dan
Stanley Cavell. Selain itu, artikel ini menganalisis perbandingan dengan aliran
etika lain, mengulas kritik-kritik yang ditujukan terhadap perfeksionisme,
serta menegaskan relevansinya dalam kehidupan kontemporer, khususnya dalam
pendidikan, etika profesional, filsafat politik, dan krisis eksistensial
modern. Melalui pendekatan filosofis yang sistematis dan berbasis referensi
kredibel, artikel ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali arti
kehidupan bermoral yang bertumpu pada aktualisasi diri dan makna eksistensial.
Kata Kunci: Perfeksionisme, aksiologi, etika normatif,
aktualisasi diri, nilai moral, pengembangan manusia, Thomas Hurka, Stanley
Cavell.
PEMBAHASAN
Perfeksionisme sebagai Aliran Aksiologis
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah filsafat, aksiologi
merupakan cabang yang menelaah secara mendalam tentang nilai (value)
dan penilaian (evaluation), termasuk nilai moral, estetika, dan
eksistensial dalam kehidupan manusia. Aksiologi menjadi dimensi penting dalam
sistem filsafat karena ia menyentuh langsung pada pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang apa yang baik, benar, indah, dan layak dicita-citakan dalam
kehidupan individu dan kolektif manusia.¹ Salah satu aliran yang tumbuh dan
berkembang dalam ranah aksiologi, khususnya dalam etika normatif, adalah perfeksionisme.
Perfeksionisme dalam filsafat
bukan sekadar dorongan psikologis untuk menjadi sempurna atau bebas dari
kesalahan, melainkan merupakan teori nilai yang berpandangan bahwa tujuan
moral tertinggi manusia adalah pengembangan kapasitas-kapasitas terbaik dalam
dirinya menuju kehidupan yang bermakna dan bernilai tinggi.² Dengan
kata lain, perfeksionisme menekankan pentingnya aktualisasi diri,
bukan hanya sebagai kebajikan individual, tetapi juga sebagai suatu imperatif
etis yang melibatkan komunitas dan struktur sosial yang mendukungnya.
Gagasan perfeksionisme
memiliki akar yang dalam dalam tradisi filsafat, terutama dalam pemikiran Aristoteles,
yang mengaitkan kebahagiaan sejati (eudaimonia) dengan kesempurnaan
dalam aktivitas yang khas bagi manusia, yakni penggunaan akal budi secara
cemerlang.³ Dalam perkembangan modern, perfeksionisme mengalami reformulasi
oleh tokoh-tokoh seperti Immanuel Kant, yang menekankan
otonomi moral sebagai bentuk kesempurnaan rasional manusia, dan lebih
kontemporer lagi oleh filsuf seperti Stanley Cavell dan Thomas
Hurka, yang menekankan nilai-nilai objektif dalam pengembangan
kepribadian dan kapabilitas manusia.⁴
Perfeksionisme menjadi
relevan dalam diskursus etika kontemporer karena mampu menjembatani antara
idealisme moral dan kondisi nyata manusia dalam masyarakat. Di tengah
pluralisme budaya dan relativisme nilai, perfeksionisme menawarkan alternatif
yang menekankan pentingnya visi tentang kehidupan yang baik
(the good life), tanpa harus terjebak dalam moralitas utilitarian yang
reduksionis atau absolutisme deontologis yang kaku.⁵ Karena itu, memahami
perfeksionisme bukan hanya sebagai wacana teoritis, tetapi juga sebagai panduan
praksis untuk membangun diri dan masyarakat yang lebih beradab dan bermartabat.
Tulisan ini akan mengulas
secara sistematis konsep dasar perfeksionisme sebagai aliran aksiologi,
menelaah pokok-pokok ajarannya, membandingkannya dengan aliran etika lain,
serta menggali kritik dan relevansinya dalam konteks kehidupan modern. Dengan
pendekatan filosofis dan analisis normatif, diharapkan pembahasan ini dapat
memberikan pemahaman yang utuh dan reflektif terhadap pertanyaan mendasar: Apakah
mengejar kesempurnaan merupakan bentuk nilai tertinggi dalam kehidupan manusia?
Footnotes
[1]
Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy: An Introduction
(New York: Barnes & Noble, 1963), 318.
[2]
Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University
Press, 1993), 3.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a16–1098a18.
[4]
Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The
Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago
Press, 1990), 2–5; Hurka, Perfectionism, 6–9.
[5]
Steven
Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021 Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.
2.
Pengertian Dasar Perfeksionisme
Perfeksionisme dalam konteks
filsafat moral dan aksiologi adalah teori yang menyatakan bahwa nilai tertinggi
dalam kehidupan manusia terletak pada aktualisasi potensi dan
pengembangan kapasitas-kapasitas esensial manusia secara optimal.¹
Konsep ini tidak sama dengan perfeksionisme psikologis yang sering
diasosiasikan dengan kebutuhan obsesif untuk mencapai standar absolut tanpa
kesalahan. Dalam filsafat, perfeksionisme lebih bersifat normatif dan menilai
bahwa kesempurnaan manusiawi merupakan landasan nilai moral
itu sendiri.
Secara etimologis, kata “perfeksionisme”
berasal dari kata Latin perfectus yang berarti “diselesaikan”
atau “dibawa ke bentuk yang lengkap.” Dalam filsafat moral, hal ini
merujuk pada keadaan ideal di mana individu mencapai ekspresi
tertinggi dari kodratnya sebagai manusia.² Dengan demikian, perfeksionisme
tidak mengharuskan semua manusia mencapai bentuk ideal yang sama, tetapi
menekankan bahwa ada kualitas-kualitas manusiawi tertentu
(seperti rasionalitas, kreativitas, kebajikan, dan otonomi) yang memiliki nilai
objektif dan layak dikembangkan.
Filsuf Thomas Hurka,
salah satu eksponen utama perfeksionisme kontemporer, menyatakan bahwa teori
ini didasarkan pada gagasan bahwa hal-hal yang baik bagi manusia adalah hal-hal
yang mengembangkan kapasitas khas manusia secara intrinsik
bernilai.³ Menurutnya, nilai moral tidak semata-mata ditentukan oleh
konsekuensi atau kewajiban, tetapi oleh sejauh mana suatu tindakan,
kebijakan, atau gaya hidup mengarah pada kesempurnaan kodrat manusia.
Hurka menyusun model hierarkis di mana nilai-nilai seperti pengetahuan,
kesadaran diri, dan hubungan yang otentik dengan orang lain dianggap sebagai
ekspresi dari kehidupan yang sempurna.
Perfeksionisme juga erat
kaitannya dengan gagasan kehidupan yang baik (the good
life), yaitu hidup yang tidak hanya bebas dari penderitaan, tetapi juga kaya
akan pencapaian nilai-nilai luhur dan pertumbuhan eksistensial.
Pandangan ini mengasumsikan bahwa ada struktur nilai objektif
yang melekat pada eksistensi manusia, dan bahwa tidak semua pilihan hidup
adalah setara secara moral.⁴ Ini menjadikan perfeksionisme sebagai teori etika
yang bertumpu pada realisme moral dan menolak relativisme yang menyamakan semua
gaya hidup sebagai sama benarnya.
Lebih jauh, dalam
perfeksionisme terdapat asumsi penting bahwa kehidupan yang baik bagi
seseorang bukan hanya urusan preferensi pribadi, tetapi juga memiliki dimensi
etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis.⁵ Dengan
demikian, perfeksionisme mendorong pandangan bahwa masyarakat dan institusi memiliki
peran dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan individu untuk berkembang
menuju bentuk idealnya. Ini juga yang membedakannya dari pendekatan liberal
yang lebih netral terhadap tujuan hidup individu.
Kesimpulannya, perfeksionisme
sebagai teori aksiologis menyajikan pandangan bahwa nilai tertinggi manusia
tidak terletak pada pemenuhan keinginan, melainkan pada pencapaian
aktualisasi diri yang sejati melalui pengembangan aspek-aspek esensial
kemanusiaan. Ia mengajukan etika yang berakar pada visi tentang kesempurnaan
moral, bukan sekadar kesenangan atau kepatuhan terhadap aturan.
Footnotes
[1]
Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University
Press, 1993), 3.
[2]
Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021
Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.
[3]
Hurka, Perfectionism, 17–20.
[4]
Gwen Bradford, Achievement (Oxford: Oxford University Press,
2015), 6–9.
[5]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1996), 190–192.
3.
Akar Historis dan Perkembangan Gagasan
Perfeksionisme
Perfeksionisme sebagai suatu
teori nilai moral memiliki akar historis yang panjang dan berlapis,
bermula dari filsafat klasik hingga berkembang dalam filsafat modern dan
kontemporer. Meskipun istilah "perfeksionisme" baru muncul
dalam diskursus filsafat modern, substansi dari gagasan perfeksionis sudah
ditemukan dalam ajaran para filsuf besar yang mengaitkan kehidupan yang
baik dengan pencapaian potensi tertinggi manusia.
Dalam filsafat Yunani kuno, Aristoteles
(384–322 SM) dianggap sebagai salah satu pelopor utama gagasan perfeksionisme,
meskipun ia tidak menggunakan istilah tersebut secara eksplisit. Dalam Nicomachean
Ethics, Aristoteles menyatakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia
adalah eudaimonia (kebahagiaan sejati), yang hanya dapat dicapai melalui
pengembangan dan pelaksanaan fungsi khas manusia, yaitu rasionalitas.¹
Menurutnya, manusia menjadi baik dan bahagia jika ia menunaikan kodratnya
sebagai makhluk rasional dengan cara yang unggul, melalui latihan kebajikan
(arete) secara konsisten.²
Pemikiran perfeksionis ini
kemudian mengalami reformulasi dalam tradisi filsafat modern, terutama
melalui karya Immanuel Kant (1724–1804). Kant memahami kesempurnaan
bukan hanya sebagai aktualisasi potensi alami, tetapi sebagai pengembangan
moral melalui otonomi dan rasionalitas praktis. Dalam Metaphysics of
Morals, ia membedakan antara kesempurnaan fisik (pengembangan bakat dan
potensi) dan kesempurnaan moral (pematangan kehendak agar sesuai dengan hukum
moral).³ Bagi Kant, manusia wajib “menjadikan dirinya sebagai manusia yang
sempurna menurut kodratnya,” dan itu adalah perintah moral kategoris.⁴
Gagasan perfeksionisme terus
berevolusi pada abad ke-19 dan ke-20, antara lain melalui pengaruh filsuf
transendentalis Amerika seperti Ralph Waldo Emerson dan John
Stuart Mill, meskipun keduanya lebih terkenal karena kontribusinya dalam
etika liberal dan humanisme. Namun, pemikiran mereka tentang individu
sebagai pusat pertumbuhan nilai dan kemandirian moral menjadi inspirasi
bagi bentuk perfeksionisme yang lebih eksistensial dan non-dogmatik.⁵
Dalam konteks filsafat
kontemporer, perfeksionisme mendapatkan revitalisasi yang sistematis dalam
karya Thomas Hurka dan Stanley Cavell. Hurka, dalam bukunya Perfectionism
(1993), merumuskan sistem nilai perfeksionis secara eksplisit dan sistematis.
Ia berpendapat bahwa nilai moral suatu tindakan tergantung pada sejauh mana
tindakan tersebut mengembangkan sifat-sifat esensial manusia, seperti
pemikiran, pencapaian, dan kesadaran diri.⁶ Hurka juga mengembangkan pendekatan
kuantitatif untuk menilai intensitas dan kompleksitas pencapaian kesempurnaan
dalam kehidupan manusia.⁷
Sementara itu, Stanley
Cavell menawarkan bentuk perfeksionisme yang bersifat reflektif dan
eksistensial, berakar pada pembacaan terhadap Emerson dan Thoreau. Dalam Conditions
Handsome and Unhandsome, Cavell menekankan bahwa perfeksionisme bukan hanya
soal pencapaian objektif, tetapi juga soal perjalanan moral dan transformasi
batin yang menuntut keterlibatan aktif dalam membentuk diri sendiri secara
berkesinambungan.⁸ Perfeksionisme Cavellian bersifat expressivist,
artinya lebih menekankan ekspresi autentik kehidupan moral daripada kepatuhan
terhadap norma eksternal.
Dengan demikian, meskipun
perfeksionisme berkembang dalam beragam bentuk dan kerangka, semua versinya
memiliki benang merah yang sama: komitmen terhadap ide bahwa kehidupan moral
yang baik adalah kehidupan yang dihayati sebagai proses menjadi lebih sempurna
— tidak dalam arti absolut atau tak tercela, tetapi dalam pengertian berkembang
menuju kapasitas terbaik yang dapat dicapai oleh manusia sebagai makhluk
rasional dan bernilai.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a16–1098b8.
[2]
Ibid., 1103a10–1103b25.
[3]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6:387–6:392.
[4]
Ibid., 6:446.
[5]
John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth
Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 53–56; Ralph Waldo Emerson, Self-Reliance
and Other Essays (New York: Dover Publications, 1993), 19–24.
[6]
Thomas Hurka, Perfectionism (New York:
Oxford University Press, 1993), 3–10.
[7]
Ibid., 30–36.
[8]
Stanley Cavell, Conditions Handsome and
Unhandsome: The Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago:
University of Chicago Press, 1990), 2–9.
4.
Pokok-Pokok Ajaran Perfeksionisme
Perfeksionisme sebagai teori
nilai dalam cabang aksiologi berpandangan bahwa tujuan moral tertinggi
manusia adalah pengembangan kualitas-kualitas terbaik yang melekat pada kodrat
kemanusiaan.¹ Dalam kerangka ini, kehidupan yang baik (the good
life) dipahami sebagai kehidupan yang berisi usaha sistematis dan
berkelanjutan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi internal,
seperti rasionalitas, keutamaan moral, kreativitas, dan kesadaran diri.
4.1.
Nilai Aktualisasi Diri sebagai Tujuan Moral
Perfeksionisme menekankan
bahwa nilai moral suatu tindakan, institusi, atau gaya hidup harus diukur
berdasarkan kontribusinya terhadap realisasi potensi manusia.²
Ini berbeda dari pendekatan utilitarian yang memprioritaskan kebahagiaan sebagai
konsekuensi, dan dari deontologi yang mengutamakan kewajiban moral universal.
Dalam perfeksionisme, nilai melekat pada proses menjadi lebih baik dan
berkembang secara utuh sebagai manusia.
Filsuf Thomas Hurka,
sebagai eksponen kontemporer utama, menyatakan bahwa nilai moral berakar pada
“pengembangan aspek-aspek esensial manusia,” seperti akal, emosi, dan hubungan
sosial.³ Ia menyusun struktur nilai yang bersifat hierarkis, di mana aktivitas
yang melibatkan tingkat kesadaran dan keterampilan tinggi (misalnya berpikir
filosofis, penciptaan seni, tindakan welas asih) memiliki nilai
intrinsik lebih tinggi daripada aktivitas yang bersifat mekanis atau
reaktif.⁴
4.2.
Esensi Sifat Perfeksionis: Objektivitas dan
Norma
Perfeksionisme memiliki
komitmen kuat terhadap realisme nilai. Artinya, nilai-nilai
seperti keberanian, kejujuran, dan integritas bukan sekadar preferensi
subjektif, melainkan nilai objektif yang dapat diidentifikasi
dan dikembangkan melalui nalar dan pengalaman.⁵ Pandangan ini menolak relativisme
moral yang menganggap semua gaya hidup setara secara etis. Bagi perfeksionis,
tidak semua pilihan hidup memiliki nilai moral yang sama; kehidupan yang
diarahkan pada keutamaan objektif lebih bermakna secara etis daripada kehidupan
yang hanya mengejar kesenangan atau status sosial.
4.3.
Perfeksionisme dan Tanggung Jawab Etis Individu
Selain sebagai teori nilai,
perfeksionisme juga memuat implikasi etis bagi individu.
Setiap orang memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan dirinya, tidak
hanya demi kepentingan pribadi, tetapi karena pengembangan diri itu
sendiri adalah kebaikan moral.⁶ Hal ini juga berarti bahwa kemalasan,
stagnasi, dan ketidakpedulian terhadap potensi diri merupakan kegagalan etis,
bukan sekadar kelemahan karakter.
Perfeksionisme tidak menuntut
kesempurnaan absolut, tetapi menekankan proses menuju peningkatan moral
dan eksistensial secara terus-menerus. Ini sesuai dengan gagasan Stanley
Cavell tentang perfeksionisme sebagai “a moral journey,” yakni
perjalanan etis yang berkesinambungan dalam merespons kegagalan dan aspirasi
diri.⁷ Dalam hal ini, perfeksionisme menyentuh wilayah etika eksistensial, di
mana subjek tidak hanya mengejar nilai eksternal, tetapi membentuk makna hidup
melalui tindakan dan refleksi pribadi yang autentik.
4.4.
Dimensi Sosial dan Politik dalam Perfeksionisme
Meskipun terfokus pada
individu, perfeksionisme tidak mengabaikan dimensi sosial. Dalam konteks
filsafat politik, perfeksionisme menyatakan bahwa negara atau komunitas ideal seharusnya
mendukung perkembangan kapasitas terbaik setiap warganya.⁸ Ini berbeda
dengan liberalisme netral yang menghindari campur tangan terhadap gagasan
tentang kehidupan yang baik. Perfeksionisme politik berargumen bahwa dukungan
terhadap nilai-nilai objektif bukanlah bentuk pemaksaan, melainkan fasilitasi
terhadap pembentukan diri manusia secara utuh.
Tokoh seperti Steven
Wall dan Joseph Raz mempertahankan bahwa tidak
mungkin menciptakan masyarakat yang etis jika negara benar-benar netral
terhadap nilai-nilai moral.⁹ Dalam pandangan ini, pendidikan, kebudayaan, dan
institusi sosial harus diarahkan untuk membantu manusia mencapai
kehidupan yang bernilai tinggi, bukan hanya memuaskan preferensi
individual.
Kesimpulan Sementara
Dari paparan di atas,
terlihat bahwa perfeksionisme merupakan teori aksiologis yang kompleks namun
terstruktur. Ia menyatukan antara realisme moral, aktualisasi diri, dan
tanggung jawab etis, baik pada level individu maupun sosial. Dalam
dunia yang sering mempromosikan relativisme dan nihilisme nilai, perfeksionisme
hadir sebagai pengingat bahwa ada bentuk kehidupan yang lebih luhur,
dan bahwa manusia memiliki kapasitas serta tanggung jawab untuk mencapainya.
Footnotes
[1]
Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University
Press, 1993), 3.
[2]
Ibid., 6.
[3]
Ibid., 17–19.
[4]
Ibid., 32–33.
[5]
Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021
Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.
[6]
John Kekes, Moral Wisdom and Good Lives (Ithaca: Cornell
University Press, 1995), 82–85.
[7]
Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The
Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago
Press, 1990), 2–5.
[8]
Joseph Raz, The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 190–195.
[9]
Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” sec. 6.
5.
Perbandingan Perfeksionisme dengan Aliran Etika
Lain
Dalam khazanah filsafat
moral, perfeksionisme menempati posisi yang khas karena
menekankan bahwa nilai moral tertinggi terletak pada pengembangan
kualitas-kualitas esensial dalam diri manusia. Namun, agar posisi ini
dapat dipahami secara menyeluruh, penting untuk membandingkannya dengan tiga
pendekatan etika normatif lain yang paling dominan, yaitu utilitarianisme,
deontologi, dan etika kebajikan (virtue
ethics). Perbandingan ini tidak hanya memperjelas keunikan perfeksionisme,
tetapi juga menampilkan kekuatan dan keterbatasannya secara lebih objektif.
5.1.
Perfeksionisme vs. Utilitarianisme
Utilitarianisme
adalah teori etika yang menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan
yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Tokoh utama pendekatan ini adalah Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill, yang menilai konsekuensi sebagai dasar utama penilaian
moral.¹ Dalam pendekatan ini, nilai moral suatu tindakan tidak diukur
berdasarkan karakter atau niat, tetapi hasil atau dampaknya terhadap
kesejahteraan manusia secara kuantitatif.
Berbeda dengan itu, perfeksionisme
tidak menilai tindakan berdasarkan kebahagiaan atau kepuasan,
melainkan sejauh mana tindakan tersebut mengembangkan kapabilitas
manusia secara esensial. Thomas Hurka menyatakan bahwa walau
perfeksionisme mengakui nilai positif dari kebahagiaan, ia tidak memandang
kebahagiaan sebagai satu-satunya nilai akhir; yang terpenting adalah pengembangan
sifat terbaik manusia, meskipun itu kadang menimbulkan penderitaan
jangka pendek.²
Sebagai contoh, belajar
filsafat atau seni mungkin tidak langsung menyenangkan bagi sebagian orang,
tetapi perfeksionisme memandang kegiatan itu bermakna karena memperkaya
kapasitas intelektual dan estetis manusia. Ini membuat perfeksionisme lebih kompleks
secara evaluatif daripada utilitarianisme yang cenderung mengutamakan
efisiensi emosional.³
5.2.
Perfeksionisme vs. Deontologi
Deontologi,
terutama sebagaimana dirumuskan oleh Immanuel Kant, menekankan
bahwa tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan kewajiban
moral universal dan bukan karena hasil atau akibatnya. Prinsip utama
etika deontologis adalah imperatif kategoris, yaitu bertindak hanya
menurut asas yang dapat dijadikan hukum universal.⁴
Perfeksionisme memang
memiliki kesamaan dengan deontologi dalam hal mengakui rasionalitas dan
nilai moral dalam otonomi individu, namun keduanya berbeda dalam titik
tekan normatif. Deontologi bersifat formal dan abstrak,
sementara perfeksionisme bersifat substansial dan teleologis:
ia menilai bahwa moralitas harus dilihat dalam kerangka tujuan-tujuan
eksistensial manusia, bukan sekadar kepatuhan terhadap hukum moral.
Selain itu, perfeksionisme
lebih memperhatikan kualitas kehidupan sebagai proses pematangan
manusia, bukan hanya ketepatan dalam memilih prinsip.⁵ Dalam arti ini,
perfeksionisme mengisi kekosongan yang sering dikritik dalam deontologi, yaitu kurangnya
sensitivitas terhadap konteks konkret kehidupan moral dan tujuan
manusia secara lebih luas.
5.3.
Perfeksionisme vs. Etika Kebajikan (Virtue
Ethics)
Etika kebajikan,
yang paling banyak diasosiasikan dengan Aristoteles,
menekankan bahwa tindakan yang baik berasal dari karakter yang baik
dan kebajikan yang ditumbuhkan secara konsisten melalui pembiasaan.⁶ Tujuan
akhirnya adalah mencapai eudaimonia — hidup yang baik dan bermakna,
yang dicapai dengan menjalankan kebajikan seperti keadilan, keberanian, dan
moderasi.
Perfeksionisme dan etika
kebajikan memiliki kedekatan historis dan konseptual, terutama
karena keduanya berpandangan bahwa kehidupan manusia memiliki tujuan
intrinsik yang dapat diwujudkan melalui pembinaan karakter dan potensi diri.⁷
Namun, perfeksionisme cenderung memberikan kerangka normatif yang lebih
eksplisit dan sistematis terhadap nilai-nilai yang hendak dicapai,
sebagaimana dilakukan Hurka melalui pendekatan hierarki nilai. Etika kebajikan,
sebaliknya, sering lebih kontekstual dan berbasis pada kebiasaan sosial.
Perbedaan lainnya terletak
pada aspek evaluatif individualisme: perfeksionisme menekankan
pencapaian kualitas manusia secara objektif dan individual, sementara etika
kebajikan lebih menekankan keseimbangan antara karakter pribadi dan kehidupan
sosial yang harmonis.⁸
5.4.
Ringkasan Perbandingan
Aspek 1: Fokus Etis
·
Utilitarianisme: Menekankan
konsekuensi dari suatu tindakan; tindakan dinilai baik jika menghasilkan
manfaat terbesar.
·
Deontologi: Fokus pada
kewajiban moral; tindakan bermoral karena dilakukan demi kewajiban,
bukan hasilnya.
·
Etika Kebajikan: Menekankan
pembentukan karakter dan kebajikan pribadi sebagai pusat kehidupan etis.
·
Perfeksionisme: Fokus pada
pengembangan kapasitas esensial manusia menuju bentuk idealnya.
Aspek 2: Nilai Moral
Utama
·
Utilitarianisme: Kebahagiaan
(pleasure) sebagai nilai tertinggi.
·
Deontologi: Kepatuhan
terhadap prinsip moral universal, seperti imperatif kategoris Kant.
·
Etika Kebajikan: Keutamaan
moral (virtue) seperti keberanian, kejujuran, dan kebijaksanaan.
·
Perfeksionisme: Kesempurnaan
dan aktualisasi diri sebagai nilai intrinsik kehidupan yang baik.
Aspek 3: Basis
Penilaian Moral
·
Utilitarianisme:
Berdasarkan hasil tindakan dan dampaknya terhadap kesejahteraan
kolektif.
·
Deontologi:
Berdasarkan niat moral dan kesesuaian terhadap hukum moral.
·
Etika Kebajikan:
Berdasarkan kualitas kepribadian dan pembiasaan kebajikan.
·
Perfeksionisme:
Berdasarkan nilai objektif dalam pengembangan kodrat manusia.
Aspek 4: Tujuan Etis
·
Utilitarianisme: Mewujudkan
manfaat terbesar untuk jumlah orang terbanyak.
·
Deontologi: Menjadi pribadi
yang bertindak sesuai hukum moral universal.
·
Etika Kebajikan: Mencapai kehidupan
yang baik dan bermakna dengan menghidupi kebajikan.
·
Perfeksionisme: Mencapai kehidupan
bermakna melalui pengembangan potensi manusia secara utuh.
Dengan demikian,
perfeksionisme menampilkan sintesis antara rasionalitas, nilai objektif, dan
pertumbuhan moral individual, yang membedakannya dari pendekatan etika lain
yang cenderung reduksionis dalam cara menilai moralitas tindakan dan kehidupan.
Kesimpulan Sementara
Perfeksionisme dapat
dipandang sebagai jalan tengah yang integratif dalam etika
normatif. Ia menghindari reduksionisme konsekuensialis utilitarian, mengatasi
kekakuan deontologis, dan memperkuat fondasi rasional dari etika kebajikan.
Sebagai teori nilai, perfeksionisme menawarkan kerangka moral yang
mengakui struktur objektif dalam pengembangan diri manusia, serta
menuntut keterlibatan aktif individu dalam menapaki kehidupan yang bermakna
secara moral.
Footnotes
[1]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford:
Oxford University Press, 1998), 9–10.
[2]
Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University
Press, 1993), 8–10.
[3]
Ibid., 14–16.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 4:421–4:424.
[5]
Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021
Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1999), 1103a14–1105a17.
[7]
Gwen Bradford, Achievement (Oxford: Oxford University Press,
2015), 19–20.
[8]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 135–137.
6.
Kritik terhadap Perfeksionisme
Meskipun perfeksionisme
menawarkan visi moral yang luhur tentang pengembangan diri manusia, aliran
ini tidak luput dari berbagai kritik serius, baik dari perspektif
liberalisme, pluralisme nilai, maupun dari pendekatan psikologis dan praktis.
Kritik-kritik ini terutama menyoroti implikasi etis dan politis dari
penerapan perfeksionisme, serta potensi problematika dalam definisi
dan aplikasinya.
6.1.
Tuduhan Paternalistik dan Anti-Liberal
Salah satu kritik utama
terhadap perfeksionisme datang dari para pendukung liberalisme politik,
yang menilai bahwa perfeksionisme cenderung bersifat paternalistik—yakni
memaksakan satu pandangan tertentu tentang "kehidupan yang baik"
kepada semua orang.¹ Dalam kerangka liberalisme, negara atau lembaga sosial
seharusnya netral terhadap berbagai pandangan hidup, dan tidak
mengarahkan individu menuju suatu bentuk kesempurnaan tertentu yang telah
didefinisikan sebelumnya.
Filsuf liberal seperti John
Rawls menekankan pentingnya faktum pluralisme wajar
(reasonable pluralism), yakni bahwa dalam masyarakat demokratis, warga
akan memiliki pandangan berbeda tentang nilai-nilai luhur berdasarkan
kebudayaan, agama, dan keyakinan pribadi.² Dalam konteks ini, perfeksionisme
dianggap berisiko mengabaikan otonomi individu dengan
mengarahkan semua warga pada satu model manusia ideal.
Namun, perfeksionisme dapat
merespons kritik ini dengan menyatakan bahwa dukungan terhadap nilai
objektif bukan berarti pemaksaan, melainkan fasilitasi
terhadap kapasitas manusia agar mampu memilih dan mengejar bentuk
kehidupan yang bermakna.³ Filsuf seperti Steven Wall membela
perfeksionisme moderat yang bersifat non-coercive, yakni bahwa negara
dapat mempromosikan nilai-nilai luhur tanpa melanggar kebebasan
individu.⁴
6.2.
Masalah Pluralisme Nilai dan Subjektivitas
Kesempurnaan
Kritik berikutnya menyentuh
pada keragaman nilai-nilai dalam masyarakat pluralistik. Apa
yang dianggap sebagai “kesempurnaan manusia” bisa sangat bervariasi tergantung
pada latar budaya, agama, dan tradisi intelektual. Apakah rasionalitas,
spiritualitas, kreativitas, atau kesalehan adalah bentuk kesempurnaan yang
paling luhur?
Martha Nussbaum,
dalam pembelaannya terhadap pendekatan berbasis kapabilitas, mengakui bahwa standar
universal perlu dirumuskan secara inklusif, namun tetap membuka ruang
dialog lintas budaya.⁵ Dalam hal ini, perfeksionisme menghadapi tantangan
serius: bagaimana merumuskan nilai-nilai universal tanpa jatuh pada
etnosentrisme atau eksklusivisme moral?
Perfeksionisme yang terlalu
dogmatis dalam menentukan standar kesempurnaan dapat berujung pada diskriminasi
terhadap gaya hidup alternatif atau kelompok minoritas. Oleh karena
itu, pendekatan perfeksionis memerlukan fleksibilitas konseptual dan
kepekaan kontekstual untuk menghindari bias nilai.
6.3.
Beban Moral yang Berat dan Ekspektasi Tak
Realistis
Perfeksionisme kadang
dianggap membebankan ekspektasi moral yang terlalu tinggi kepada
individu, seolah-olah semua orang harus berupaya maksimal untuk
menjadi versi terbaik dari dirinya dalam segala hal.⁶ Ini dapat menimbulkan
tekanan psikologis, rasa bersalah, atau bahkan alienasi bagi mereka yang tidak
mampu atau tidak memiliki akses pada sarana pengembangan diri.
Kritik ini senada dengan yang
disampaikan dalam psikologi eksistensial, yang menilai bahwa orientasi
berlebihan pada kesempurnaan dapat merusak keseimbangan hidup dan keutuhan jiwa
manusia.⁷ Perfeksionisme yang kaku dapat menjebak individu dalam ketidakpuasan
kronis dan kecemasan eksistensial, bertentangan dengan cita-cita
kehidupan yang bermakna dan sejahtera.
Sebagai respons,
perfeksionisme kontemporer seperti yang dikembangkan Stanley Cavell
menekankan pentingnya perfeksionisme sebagai “perjalanan”,
bukan pencapaian final.⁸ Dengan demikian, nilai moral terletak pada upaya
berkelanjutan dan reflektif, bukan pada pencapaian standar mutlak yang
statis.
6.4.
Ambiguitas dalam Definisi dan Aplikasi Praktis
Kritik lainnya menyangkut ambiguitas
dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan "kesempurnaan manusia".
Apakah itu berarti kecerdasan intelektual, kedalaman spiritual, kedewasaan
emosional, atau kemampuan sosial? Tanpa definisi yang jelas dan operasional,
perfeksionisme berisiko menjadi teori moral yang terlalu abstrak dan
tidak aplikatif dalam pengambilan keputusan nyata.
Selain itu, indikator
pengukuran nilai dalam kerangka perfeksionisme sering kali bersifat normatif
dan kualitatif, sehingga sulit dipakai sebagai dasar kebijakan publik
atau sistem pendidikan secara universal.⁹ Hal ini memunculkan kebutuhan untuk menggabungkan
pendekatan perfeksionis dengan pendekatan kapabilitas, seperti yang
diusulkan oleh Amartya Sen dan Martha Nussbaum, agar lebih
responsif terhadap realitas sosial dan kebutuhan manusia yang konkret.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Perfeksionisme menawarkan
visi moral yang mendalam dan luhur tentang manusia, namun menghadapi tantangan
serius dari segi politik, pluralisme, psikologi, dan praktik kebijakan.
Agar tetap relevan dan aplikatif, perfeksionisme memerlukan penyesuaian
konseptual dan dialog lintas tradisi, serta pendekatan yang terbuka,
reflektif, dan inklusif terhadap keragaman pengalaman manusia.
Footnotes
[1]
Charles Larmore, The Morals of Modernity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 129–132.
[2]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1996), 36–38.
[3]
Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University
Press, 1993), 54.
[4]
Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021
Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.
[5]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 28–29.
[6]
David Norton, Personal Destinies: A Philosophy of Ethical
Individualism (Princeton: Princeton University Press, 1976), 110–112.
[7]
Rollo May, Man's Search for Himself (New York: Norton, 1953),
55–58.
[8]
Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The
Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago
Press, 1990), 3–7.
[9]
Hurka, Perfectionism, 67–69.
[10]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999),
74–76; Nussbaum, Creating Capabilities, 33–36.
7.
Relevansi Perfeksionisme dalam Kehidupan
Kontemporer
Di tengah krisis nilai,
relativisme moral, dan disorientasi eksistensial yang mewarnai masyarakat
modern, perfeksionisme hadir sebagai pendekatan aksiologis yang
menawarkan arah dan kedalaman moral. Dengan menekankan aktualisasi
potensi manusia dan pengembangan nilai-nilai luhur, perfeksionisme memiliki relevansi
signifikan dalam berbagai dimensi kehidupan kontemporer, baik dalam
ranah pendidikan, politik, pengembangan diri, maupun wacana hak asasi manusia.
7.1.
Perfeksionisme dalam Pendidikan dan Pembentukan
Karakter
Salah satu ranah paling nyata
bagi aplikasi perfeksionisme adalah pendidikan, khususnya
dalam pembentukan karakter dan kepribadian. Dalam pandangan perfeksionis,
pendidikan bukan hanya sarana transmisi pengetahuan, tetapi arena
pengembangan kualitas esensial manusia, seperti nalar, imajinasi,
integritas, dan kepedulian moral.¹
Perfeksionisme mendukung
gagasan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah menuntun individu menjadi
versi terbaik dari dirinya, bukan sekadar kompeten dalam keterampilan
teknis atau produktif secara ekonomi.² Ini sejalan dengan visi pendidikan
klasik Aristotelian yang menekankan paideia—yakni pembentukan jiwa
yang berbudi luhur melalui proses belajar yang integral dan holistik.³
Dalam konteks modern,
pendekatan ini direfleksikan dalam pendidikan humanistik, yang
menolak reduksi pendidikan menjadi sekadar instrumen ekonomi, dan mengembalikan
misi pendidikan sebagai proyek pembentukan manusia seutuhnya.⁴
7.2.
Perfeksionisme dan Etika Profesional
Dalam dunia kerja dan
profesionalisme modern, perfeksionisme juga menawarkan kontribusi etis yang
penting. Dengan menekankan pengembangan diri sebagai bentuk moralitas,
perfeksionisme mengajak pelaku profesional untuk tidak sekadar mematuhi
regulasi eksternal, tetapi juga mengejar kesempurnaan internal dalam
keahlian, integritas, dan tanggung jawab sosial.
Sebagai contoh, dalam profesi
kedokteran, pendidikan, atau hukum, perfeksionisme mendorong pemahaman bahwa profesi
bukan hanya pekerjaan, tetapi juga panggilan moral untuk mengembangkan
standar tertinggi dari kemampuan dan dedikasi.⁵ Pandangan ini membantu
membangun budaya kerja yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga berakar
pada nilai dan makna yang lebih dalam.
7.3.
Perfeksionisme dalam Filsafat Politik dan Hak
Asasi Manusia
Perfeksionisme juga memiliki
implikasi penting dalam filsafat politik, terutama dalam merumuskan
tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. Berbeda dari
liberalisme netral, perfeksionisme politik berpendapat bahwa negara memiliki peran
positif untuk memfasilitasi kondisi yang memungkinkan warga berkembang secara
moral dan eksistensial.⁶
Joseph Raz,
misalnya, menyatakan bahwa kebebasan sejati baru bermakna jika individu
memiliki kesempatan nyata untuk mengejar nilai-nilai luhur dalam
kehidupannya.⁷ Ini menjadi dasar bagi negara perfeksionis untuk mendorong
akses terhadap pendidikan bermutu, lingkungan budaya yang kaya, dan sistem
etika publik yang kuat, bukan sekadar menjaga kebebasan formal.
Dalam kaitannya dengan hak
asasi manusia, perfeksionisme relevan karena mengaitkan martabat
manusia dengan potensi aktualisasi, bukan sekadar hak negatif untuk
tidak diganggu.⁸ Dengan demikian, HAM bukan hanya perlindungan dari penindasan,
tetapi juga jaminan terhadap peluang pengembangan diri,
sebagaimana dijabarkan dalam pendekatan kapabilitas oleh Martha
Nussbaum dan Amartya Sen.⁹
7.4.
Perfeksionisme dan Kesehatan Mental di Era
Digital
Di era digital dan budaya
performatif saat ini, banyak individu mengalami tekanan eksistensial, kecemasan
akan makna, dan kehilangan orientasi nilai. Perfeksionisme dapat menjadi alternatif
terhadap hedonisme digital dan narsisme budaya populer, dengan menawarkan
kerangka eksistensial yang menghubungkan kehidupan sehari-hari dengan
tujuan moral yang lebih tinggi.
Namun, agar tetap relevan
secara psikologis, perfeksionisme perlu dijalankan dalam bentuk yang reflektif
dan humanistik, bukan dalam bentuk toksik atau absolutistik.⁽¹⁰⁾
Perfeksionisme kontemporer ala Stanley Cavell, yang melihat
kehidupan moral sebagai “perjalanan menjadi diri sendiri,” sangat cocok dalam
konteks ini, karena mendorong pertumbuhan bertahap, kesadaran diri, dan
penerimaan terhadap kegagalan sebagai bagian dari dinamika
eksistensi.¹¹
Kesimpulan Sementara
Perfeksionisme, jika
diterapkan secara bijak dan kontekstual, memiliki daya transformasi
yang kuat bagi individu dan masyarakat. Ia menyatukan antara nilai
objektif, tanggung jawab moral, dan cita-cita kehidupan bermakna. Dalam dunia
kontemporer yang kerap kehilangan arah nilai, perfeksionisme menawarkan pandangan
filosofis yang tidak hanya ideal, tetapi juga aplikatif dan membebaskan.
Footnotes
[1]
Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University
Press, 1993), 85.
[2]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Free Press,
1997), 31–33.
[3]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, vol. 1,
trans. Gilbert Highet (New York: Oxford University Press, 1986), 10–12.
[4]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–8.
[5]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 2007), 190–192.
[6]
Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021
Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.
[7]
Joseph Raz, The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 378–380.
[8]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–5.
[9]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 86–89; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human
Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 33–37.
[10]
Barry Schwartz, The Paradox of Choice (New York: Harper
Perennial, 2004), 221–223.
[11]
Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome: The
Constitution of Emersonian Perfectionism (Chicago: University of Chicago
Press, 1990), 4–8.
8.
Kesimpulan
Perfeksionisme, sebagai salah
satu aliran dalam cabang aksiologi, menawarkan pendekatan normatif yang
menempatkan aktualisasi diri dan pengembangan potensi esensial manusia
sebagai nilai moral tertinggi. Berbeda dari teori-teori etika lain
yang menekankan konsekuensi (utilitarianisme) atau kewajiban formal
(deontologi), perfeksionisme berfokus pada proses menjadi manusia yang
lebih sempurna, baik secara rasional, moral, maupun eksistensial.¹
Gagasan perfeksionisme
memiliki akar kuat dalam filsafat klasik, terutama dalam pemikiran Aristoteles,
dan terus berkembang dalam filsafat modern melalui Immanuel Kant,
hingga diformulasikan secara sistematis oleh Thomas Hurka dan Stanley
Cavell pada era kontemporer.² Perfeksionisme menegaskan bahwa tidak
semua cara hidup memiliki nilai moral yang setara; ada kehidupan yang lebih
bermakna karena mengandung usaha sadar untuk mengembangkan sifat
terbaik manusia, seperti kebijaksanaan, integritas, dan keberanian.³
Meskipun demikian,
perfeksionisme tidak lepas dari kritik. Ia dituduh bersifat paternalistik
dan eksklusif, terutama karena kecenderungannya untuk mendefinisikan
“kesempurnaan” secara objektif, yang bisa bertentangan dengan prinsip
pluralisme dan otonomi individu dalam masyarakat modern.⁴ Namun, jika dipahami
secara reflektif dan inklusif, perfeksionisme mampu menghindari jebakan
absolutisme moral dan justru memberikan kerangka etis yang
memfasilitasi pertumbuhan personal yang otentik dan manusiawi.⁵
Dalam konteks kehidupan
kontemporer, perfeksionisme sangat relevan. Di tengah tantangan krisis nilai,
tekanan psikologis, dan disorientasi identitas, perfeksionisme mengajukan visi
moral yang memberi arah hidup, membangun integritas dalam
profesionalisme, dan mendorong negara serta institusi sosial untuk mendukung
perkembangan kapasitas manusia secara substantif, bukan sekadar
melindungi hak-hak formal.⁶
Perfeksionisme juga
mengandung nilai edukatif yang kuat, karena menyatukan visi moral,
pembentukan karakter, dan pengembangan intelektual dalam satu kerangka
normatif yang konsisten.⁷ Ia tidak sekadar menuntut manusia menjadi sempurna
secara ideal, tetapi mendorong perjalanan etis yang terus-menerus,
di mana kegagalan, pertumbuhan, dan pencarian makna menjadi bagian integral
dari kehidupan yang baik.
Dengan demikian,
perfeksionisme tidak hanya relevan sebagai teori filosofis, tetapi juga sebagai
pendekatan praktis untuk membangun kehidupan pribadi dan sosial yang
lebih bernilai. Dalam dunia yang sering kali menawarkan makna instan
dan dangkal, perfeksionisme mengajak kita untuk kembali pada pertanyaan
mendasar: Apa artinya menjadi manusia yang baik dan utuh?
Footnotes
[1]
Thomas Hurka, Perfectionism (New York: Oxford University
Press, 1993), 3–5.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1999), 1098a16–1098b8; Immanuel Kant, The Metaphysics
of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), 6:387–6:392; Stanley Cavell, Conditions Handsome and Unhandsome
(Chicago: University of Chicago Press, 1990), 2–5.
[3]
Hurka, Perfectionism, 20–22.
[4]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1996), 190–192.
[5]
Steven Wall, “Perfectionism in Moral and Political Philosophy,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2021
Edition, https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/.
[6]
Joseph Raz, The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 378–380.
[7]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 7–9.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work
published ca. 350 B.C.E.)
Bradford, G. (2015). Achievement.
Oxford University Press.
Cavell, S. (1990). Conditions
handsome and unhandsome: The constitution of Emersonian perfectionism.
University of Chicago Press.
Dewey, J. (1997). Democracy
and education. Free Press. (Original work published 1916)
Hurka, T. (1993). Perfectionism.
Oxford University Press.
Hursthouse, R. (1999). On
virtue ethics. Oxford University Press.
Jaeger, W. (1986). Paideia:
The ideals of Greek culture (Vol. 1, G. Highet, Trans.). Oxford University
Press. (Original work published 1934)
Kant, I. (1996). The
metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
(Original work published 1797)
Kant, I. (1997). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1785)
Larmore, C. (1996). The
morals of modernity. Cambridge University Press.
MacIntyre, A. (2007). After
virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press. (Original work published
1981)
May, R. (1953). Man's
search for himself. Norton.
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism
(R. Crisp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1863)
Mill, J. S. (1978). On
liberty (E. Rapaport, Ed.). Hackett Publishing Company. (Original work
published 1859)
Norton, D. L. (1976). Personal
destinies: A philosophy of ethical individualism. Princeton University
Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not
for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University
Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
Rawls, J. (1996). Political
liberalism (Expanded ed.). Columbia University Press.
Raz, J. (1986). The
morality of freedom. Oxford University Press.
Schwartz, B. (2004). The
paradox of choice: Why more is less. Harper Perennial.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. Knopf.
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.
Wall, S. (2021). Perfectionism
in moral and political philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Winter 2021 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/perfectionism-moral/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar