Pengetahuan A Priori dan A Posteriori
Menelusuri Dua Sumber Utama dalam Epistemologi Filsafat
Alihkan ke: Epistemologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam dua kategori
utama dalam epistemologi, yakni pengetahuan a priori dan a posteriori,
yang masing-masing merepresentasikan dua sumber pokok dalam perolehan
pengetahuan: rasio dan pengalaman. Melalui pendekatan historis dan konseptual,
artikel ini menelusuri akar filosofis dari kedua bentuk pengetahuan ini sejak
era Yunani Kuno hingga puncaknya dalam pemikiran Immanuel Kant, yang
memperkenalkan konsep revolusioner “pengetahuan sintetik a priori.”
Analisis dilanjutkan dengan eksplorasi karakteristik, perbedaan, dan hubungan
fungsional antara keduanya, termasuk penerapannya dalam filsafat ilmu dan
praktik ilmiah modern. Kritik kontemporer dari filsuf seperti W.V.O. Quine,
serta pendekatan naturalistik dan hermeneutik, menantang ketegasan dikotomi
klasik ini dan mendorong reinterpretasi dalam kerangka epistemologi yang lebih
kontekstual dan pluralistik. Artikel ini menyimpulkan bahwa a priori dan
a posteriori harus dipahami secara komplementer sebagai bagian dari
spektrum epistemik yang mencerminkan kompleksitas proses pengetahuan manusia.
Kata Kunci: Epistemologi, a priori, a posteriori, Immanuel
Kant, pengetahuan sintetik, filsafat ilmu, rasionalisme, empirisme, Quine,
kritik epistemologis.
PEMBAHASAN
Pengetahuan A Priori dan A Posteriori dalam
Epistemologi
1.
Pendahuluan
Epistemologi sebagai
cabang utama dalam filsafat memusatkan perhatian pada pertanyaan fundamental
mengenai asal-usul, struktur, dan validitas pengetahuan. Dalam konteks ini,
pembahasan tentang jenis-jenis pengetahuan menjadi sangat krusial, khususnya
dua kategori besar yang telah mendominasi diskursus filsafat sepanjang sejarah:
a priori
dan a posteriori.
Klasifikasi ini bukan sekadar bersifat teknis, melainkan menyangkut cara
manusia memperoleh kepastian dalam berpikir dan bertindak dalam dunia nyata.
Istilah a priori
dan a
posteriori berasal dari bahasa Latin yang masing-masing berarti “dari
sebelumnya” dan “dari setelahnya.” Pemisahan antara keduanya pertama
kali dirumuskan secara sistematis oleh para filsuf skolastik pada Abad
Pertengahan, tetapi memperoleh bentuk teoritis yang signifikan dalam karya para
filsuf modern, terutama oleh Immanuel Kant, yang mencoba mensintesiskan dua
tradisi besar—rasionalisme dan empirisme—melalui kategorisasi baru pengetahuan
berdasarkan bentuk dan asal usulnya¹.
Pengetahuan a priori
merujuk pada pengetahuan yang diperoleh secara independen dari pengalaman
indrawi, seperti dalam kasus proposisi logika dan matematika. Pengetahuan ini
dianggap bersifat universal dan niscaya. Sebaliknya, a
posteriori merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman
empiris, seperti dalam observasi ilmiah atau data inderawi, dan biasanya
bersifat partikular dan kontingen².
Kedua kategori ini
bukan hanya penting secara konseptual, tetapi juga memiliki implikasi
metodologis yang mendalam dalam filsafat ilmu, teori kognisi, dan bahkan dalam
etika dan estetika. Misalnya, dalam metodologi ilmiah, deduksi logis yang
bersifat a priori
dipakai untuk menurunkan konsekuensi dari hipotesis, sedangkan induksi empiris
yang a
posteriori digunakan untuk menguji validitasnya melalui
pengamatan³.
Dengan demikian,
pemahaman terhadap a priori dan a posteriori
tidak hanya membantu dalam mengklarifikasi sifat dan batasan pengetahuan
manusia, tetapi juga menjadi dasar bagi berbagai pendekatan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang realitas,
kebenaran, dan keyakinan. Oleh karena itu, kajian ini akan menelusuri asal-usul
historis, definisi, perbedaan, dan relevansi kontemporer dari dua bentuk
pengetahuan ini dalam kerangka epistemologi klasik dan modern.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A1–B1.
[2]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 23–25.
[3]
Peter
Markie, "Rationalism vs. Empiricism," in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2017 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2017/entries/rationalism-empiricism/.
2.
Konteks Historis: Asal-usul Konsep A Priori dan
A Posteriori
Konsep a priori dan a posteriori
dalam epistemologi tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil
dari evolusi panjang pemikiran filosofis mengenai sumber dan validitas
pengetahuan. Akar dari kedua istilah ini dapat ditelusuri ke dalam tradisi
filsafat klasik Yunani, yang kemudian disistematisasi oleh filsuf skolastik
pada Abad Pertengahan dan mencapai formulasi konseptualnya yang matang dalam
filsafat modern, terutama melalui kontribusi Immanuel Kant.
Dalam filsafat Yunani kuno, pemisahan antara
pengetahuan rasional dan empiris sudah tampak dalam perbedaan antara pandangan Plato
dan Aristoteles. Plato menyatakan bahwa pengetahuan sejati (epistēmē)
hanya dapat diperoleh melalui akal budi, bukan dari pengalaman inderawi yang
selalu berubah dan menipu. Dalam Meno, ia menyajikan argumen tentang
"pengingatan" (anamnesis), bahwa jiwa manusia sudah
mengetahui kebenaran-kebenaran tertentu sebelum mengalami kehidupan jasmani,
yang merupakan bentuk awal dari gagasan pengetahuan a priori¹.
Sebaliknya, Aristoteles menekankan pentingnya
pengalaman indrawi dalam membangun pengetahuan. Meskipun ia menerima bahwa akal
memainkan peran dalam generalisasi dan abstraksi, tetapi bagi Aristoteles,
pengetahuan dimulai dari observasi dunia nyata, sebuah pendekatan yang dapat
dianggap sebagai cikal bakal a posteriori².
Perkembangan signifikan terjadi dalam tradisi
skolastik Kristen, terutama oleh Thomas Aquinas, yang menggabungkan
rasionalisme Plato dan empirisme Aristoteles dalam kerangka teologis.
Skolastisisme memperkenalkan penggunaan istilah Latin a priori dan a
posteriori secara sistematis, terutama dalam argumen-argumen metafisika dan
teologi naturalis. Misalnya, argumen ontologis untuk keberadaan Tuhan menggunakan
pendekatan a priori, sedangkan argumen kosmologis lebih bersifat a
posteriori³.
Namun, pembahasan sistematis dan eksplisit mengenai
kedua bentuk pengetahuan ini mencapai puncaknya dalam filsafat modern. René
Descartes menjadi tokoh utama dalam kebangkitan kembali a priori
melalui pendekatannya yang sangat rasionalistik. Dalam Meditationes de Prima
Philosophia, Descartes mencoba membangun seluruh bangunan pengetahuan dari
premis-premis yang tidak dapat diragukan dan diketahui melalui akal belaka⁴.
Di pihak lain, David Hume sebagai tokoh
utama empirisme, menolak klaim pengetahuan yang tidak berakar dari pengalaman.
Ia membedakan antara “relations of ideas” dan “matters of fact”—yang
sejalan dengan dikotomi a priori dan a posteriori. Hume
berpendapat bahwa semua pengetahuan faktual berasal dari pengalaman, dan bahwa
klaim-klaim yang tidak dapat diverifikasi secara empiris harus dianggap tidak
bermakna⁵.
Puncak dari diskursus ini terletak pada upaya Immanuel
Kant untuk mengatasi dikotomi antara rasionalisme Descartes dan empirisme
Hume. Kant memperkenalkan sintesis inovatif melalui konsep “pengetahuan
sintetik a priori” dalam Critique of Pure Reason. Ia
menyatakan bahwa meskipun semua pengetahuan dimulai dari pengalaman, tidak
semuanya berasal dari pengalaman. Dengan demikian, Kant menunjukkan bahwa
terdapat proposisi yang informatif (sintetik) namun diketahui tanpa
pengalaman (a priori), seperti prinsip kausalitas dan dasar-dasar
matematika⁶.
Dengan demikian, konsep a priori dan a
posteriori telah berkembang dari intuisi metafisik Yunani hingga menjadi
kerangka teoritis yang integral dalam epistemologi modern. Evolusi historis ini
menunjukkan bahwa perdebatan mengenai sumber pengetahuan bukan hanya merupakan
diskursus akademis, tetapi juga fondasi dari struktur pengetahuan manusia dalam
berbagai disiplin ilmu.
Footnotes
[1]
Plato, Meno, trans. G.M.A. Grube, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing,
1997), 85d–86c.
[2]
Aristotle, Posterior Analytics, trans.
Jonathan Barnes, in The Complete Works of Aristotle, Vol. 1, ed.
Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), II.19.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q2.a3.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), Meditation II.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
2000), §IV.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), B1–B5.
3.
Pengertian dan Karakteristik Pengetahuan A
Priori
Pengetahuan a priori
secara umum merujuk pada pengetahuan yang diperoleh tanpa memerlukan pengalaman
inderawi. Artinya, validitas dan kebenaran dari proposisi a priori
dapat ditentukan hanya melalui penggunaan akal, logika, atau penalaran
rasional. Konsep ini memainkan peran sentral dalam tradisi rasionalisme dan
telah menjadi pilar utama dalam berbagai sistem filsafat, matematika, dan
logika formal.
3.1. Definisi Pengetahuan A Priori
Immanuel Kant
mendefinisikan pengetahuan a priori sebagai pengetahuan yang
bersifat “sebelum pengalaman,” dalam arti bahwa ia tidak diperoleh
melalui pengalaman empiris, melainkan berasal dari struktur kognitif bawaan
akal budi manusia. Dalam Critique of Pure Reason, Kant
menyatakan bahwa pengetahuan a priori memiliki dua ciri utama: universality
(keumuman) dan necessity (keniscayaan)¹. Hal
ini berarti bahwa proposisi a priori berlaku dalam semua
kondisi dan tidak mungkin salah secara logis.
Contoh klasik dari
proposisi a priori
adalah: “Semua bujursangkar memiliki empat sisi.” Kebenaran dari
proposisi ini tidak memerlukan pembuktian melalui pengamatan dunia nyata; cukup
dengan memahami konsep “bujursangkar”, maka kebenarannya menjadi jelas
dan tak terbantahkan. Demikian pula dalam logika formal dan matematika,
pernyataan seperti “2 + 2 = 4” dianggap sebagai kebenaran a priori
karena dapat diketahui dengan pasti tanpa eksperimen atau observasi².
3.2. Karakteristik Pengetahuan A Priori
Pengetahuan a priori
memiliki beberapa karakteristik khas:
·
Independen dari
Pengalaman
Pengetahuan ini tidak memerlukan pengalaman
aktual untuk diverifikasi. Kebenarannya tidak berasal dari hasil pengamatan,
tetapi dari analisis konseptual atau inferensi logis³.
·
Bersifat Niscaya
(Necessity)
Proposisi a priori tidak hanya benar,
tetapi harus benar dalam segala kemungkinan. Sebagai contoh, hukum
non-kontradiksi (“Sesuatu tidak dapat sekaligus ada dan tidak ada dalam
waktu dan keadaan yang sama”) adalah prinsip a priori yang
fundamental dalam logika klasik⁴.
·
Bersifat Universal
Karena tidak tergantung pada kondisi khusus atau
pengalaman tertentu, maka pengetahuan a priori berlaku secara
universal. Tidak ada pengecualian terhadap prinsip semacam “segitiga
memiliki tiga sisi” dalam sistem logika yang valid⁵.
·
Dapat Diverifikasi
Secara Rasional
Proses pembuktian pengetahuan a priori
dilakukan melalui akal murni, tanpa keterlibatan pengalaman empiris. Dalam hal
ini, pengetahuan a priori dekat dengan bentuk-bentuk deduksi logis
yang ditemukan dalam matematika atau silogisme filosofis⁶.
3.3. Jenis Proposisi A Priori: Analitik vs Sintetik
Kant membedakan
antara proposisi analitik a priori dan sintetik
a priori. Proposisi analitik a priori adalah
proposisi yang predikatnya terkandung dalam subjek, seperti: “Semua bujangan
adalah pria.” Kebenarannya bersifat logis dan tidak memperluas pengetahuan.
Sebaliknya, proposisi sintetik a priori memperluas
pengetahuan tanpa bergantung pada pengalaman, seperti dalam kasus “Setiap
peristiwa memiliki sebab.” Kant menganggap proposisi seperti ini sebagai
landasan metafisika dan ilmu pengetahuan⁷.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B3–B4.
[2]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 27–28.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2010), 218.
[4]
Graham Priest, An Introduction to Non-Classical Logic: From If to
Is (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 5–7.
[5]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River: Prentice
Hall, 2003), 17–19.
[6]
Peter Markie, "Rationalism vs. Empiricism," in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2017
Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2017/entries/rationalism-empiricism/.
[7]
Kant, Critique of Pure Reason, A6–7 / B10–11.
4.
Pengertian dan Karakteristik Pengetahuan A
Posteriori
Pengetahuan a
posteriori adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan
pengalaman empirik atau observasi inderawi. Berbeda dengan
pengetahuan a priori yang bersifat independen
dari pengalaman, a posteriori justru menjadikan
pengalaman sebagai sumber utama pembenarannya. Dalam kerangka epistemologi, a
posteriori merupakan bentuk pengetahuan yang sangat dominan dalam
praktik ilmiah, karena mengandalkan pengumpulan data dan pengujian empiris
terhadap realitas.
4.1. Definisi Pengetahuan A Posteriori
Pengetahuan a
posteriori merujuk pada proposisi-proposisi yang kebenarannya tidak
dapat diketahui tanpa referensi terhadap pengalaman nyata. Sebagai contoh,
pernyataan seperti “Air mendidih pada suhu 100°C pada tekanan atmosfer
standar” adalah proposisi a posteriori, karena kebenarannya
memerlukan observasi dan eksperimen. Pengetahuan semacam ini tidak bisa
diturunkan hanya dari penalaran logis, tetapi perlu dikonfirmasi melalui
pengamatan dunia faktual¹.
David Hume, salah
satu tokoh utama dalam tradisi empirisme, menekankan bahwa semua pengetahuan
tentang “matters of fact” berasal dari pengalaman. Ia membedakan antara
“relations of ideas” yang bersifat a priori dan “matters of fact”
yang hanya bisa diketahui a posteriori. Bagi Hume, pengalaman
adalah satu-satunya sumber legitimasi terhadap keyakinan empiris².
4.2. Karakteristik Pengetahuan A Posteriori
Pengetahuan a
posteriori memiliki beberapa karakteristik mendasar:
·
Bergantung pada
Pengalaman
Pengetahuan ini tidak bisa dipastikan tanpa
adanya pengalaman. Ia diperoleh melalui persepsi inderawi, eksperimen, atau
observasi langsung terhadap objek dan fenomena dunia nyata³.
·
Bersifat Kontingen
Proposisi a posteriori tidak bersifat
niscaya, tetapi kontingen. Artinya, pernyataan tersebut bisa saja salah di
kondisi lain atau dalam dunia yang berbeda. Misalnya, “Bumi mengelilingi
Matahari” adalah benar di dunia ini, tetapi bukan merupakan kebenaran logis
universal⁴.
·
Bersifat Partikular
Sering kali, pengetahuan a posteriori
berlaku dalam konteks tertentu. Proposisi seperti “Orang ini berbicara dalam
bahasa Prancis” hanya benar untuk individu dan waktu tertentu, tidak
seperti proposisi a priori yang bersifat universal⁵.
·
Diverifikasi secara
Induktif
Pengetahuan a posteriori umumnya
diverifikasi melalui metode induksi, yaitu generalisasi dari banyak kasus
individual. Namun, hal ini membuatnya terbuka terhadap revisi jika bukti-bukti
baru ditemukan⁶.
4.3. A Posteriori dalam Ilmu Pengetahuan dan Kehidupan
Sehari-hari
Dalam metodologi
ilmiah, pengetahuan a posteriori merupakan landasan
eksperimen dan pengujian hipotesis. Ilmuwan tidak hanya membayangkan
kemungkinan teoritis, tetapi juga harus membuktikannya secara empiris di
laboratorium atau lapangan. Oleh karena itu, sebagian besar pengetahuan
ilmiah—dari fisika hingga sosiologi—berasal dari akumulasi observasi a
posteriori yang kemudian diinterpretasikan secara sistematis⁷.
Selain itu, dalam
kehidupan sehari-hari, manusia secara naluriah bergantung pada pengetahuan a
posteriori. Misalnya, seseorang mengetahui bahwa makanan tertentu
terasa pedas setelah mencobanya secara langsung. Dalam konteks ini, pengalaman
langsung menjadi sumber utama validitas pengetahuan, dan ini menegaskan
kedekatan a
posteriori dengan realitas konkret.
Footnotes
[1]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 25–27.
[2]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), §IV.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2010), 220–222.
[4]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River: Prentice
Hall, 2003), 20–21.
[5]
Paul K. Moser, The Theory of Knowledge: A Thematic Introduction
(New York: Oxford University Press, 2002), 34.
[6]
John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 109–110.
[7]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 35–39.
5.
Perbandingan dan Relasi: A Priori vs A
Posteriori
Dalam epistemologi, dikotomi
antara a priori dan a posteriori tidak hanya berfungsi
sebagai klasifikasi semantik atau linguistik, tetapi sebagai landasan
metodologis yang mencerminkan dua jalur utama dalam memperoleh pengetahuan.
Meskipun keduanya tampak kontras dalam hal sumber, metode, dan sifat
kebenarannya, para filsuf kontemporer telah mengkaji ulang hubungan ini sebagai
sesuatu yang lebih dinamis dan saling melengkapi.
5.1. Aspek Pembeda: Sumber dan Validasi Pengetahuan
Secara konseptual,
perbedaan mendasar antara pengetahuan a priori dan a
posteriori terletak pada sumber legitimasi epistemiknya.
Pengetahuan a priori dapat diverifikasi tanpa
mengacu pada pengalaman; ia bersandar pada logika dan analisis konseptual.
Sementara itu, pengetahuan a posteriori mengandalkan
pengalaman empiris sebagai basis pembenarannya¹.
Pengetahuan A Priori
·
Sumber:
Diperoleh melalui akal dan logika murni tanpa mengandalkan pengalaman indrawi.
·
Metode Verifikasi:
Divalidasi melalui penalaran rasional dan analisis konseptual.
·
Sifat Proposisi:
Bersifat niscaya (mustahil salah) dan universal
(berlaku dalam segala situasi dan konteks).
·
Contoh Klasik:
“2 + 2 = 4”
“Semua bujangan adalah pria”
“Tidak mungkin sesuatu itu ada dan tidak ada
pada waktu yang sama” (prinsip non-kontradiksi).
·
Metode Penalaran:
Deduksi logis, yaitu menarik kesimpulan dari premis-premis
umum yang sudah pasti benar.
Pengetahuan A
Posteriori
·
Sumber:
Diperoleh melalui pengalaman empiris, baik melalui pengamatan,
percobaan, maupun interaksi langsung dengan realitas.
·
Metode Verifikasi:
Divalidasi melalui observasi dan eksperimen,
serta bukti yang diperoleh secara empiris.
·
Sifat Proposisi:
Bersifat kontingen (bisa benar atau salah tergantung keadaan)
dan partikular (tidak berlaku secara universal).
·
Contoh Klasik:
“Air mendidih pada suhu 100°C pada tekanan
atmosfer standar”
“Salju itu dingin”
“Orang ini sedang berbicara dalam bahasa
Prancis”
·
Metode Penalaran:
Induksi, yaitu menyimpulkan generalisasi dari sejumlah
pengalaman atau observasi konkret.
Perbedaan ini mengakar dalam
dua tradisi besar filsafat modern: rasionalisme, yang
menekankan a priori (Descartes, Leibniz), dan empirisme,
yang mengutamakan a posteriori (Locke, Hume)².
5.2. Hubungan Saling Melengkapi dalam Praktik Ilmiah dan
Filsafat
Meskipun keduanya
sering dipertentangkan dalam sejarah filsafat, perkembangan ilmu pengetahuan
dan epistemologi kontemporer menunjukkan bahwa a priori dan a
posteriori sering bekerja bersama dalam praktik. Dalam ilmu alam,
misalnya, teori-teori ilmiah sering kali
dibangun melalui prinsip-prinsip a priori (seperti hukum matematika
atau logika), tetapi diverifikasi secara a posteriori melalui eksperimen dan
observasi empiris³.
Immanuel Kant
menjembatani dikotomi ini dengan memperkenalkan kategori “sintetik
a priori” — suatu jenis pengetahuan yang memperluas informasi
namun tetap dapat diketahui tanpa pengalaman langsung. Contohnya adalah prinsip
kausalitas atau hukum geometri Euclidian, yang menurut Kant bersifat sintetik
(tidak hanya menjelaskan hubungan internal konsep) namun diketahui a priori⁴.
Gagasan ini menjadi titik balik dalam perdebatan klasik antara rasionalisme dan
empirisme.
5.3. Perdebatan Kontemporer dan Revisi Konseptual
Pandangan
tradisional tentang a priori dan a
posteriori telah mendapat tantangan dari filsuf seperti W.V.O.
Quine, yang dalam esainya Two Dogmas of Empiricism menolak
pembagian tegas antara analitik-sintetik dan a priori-a posteriori. Ia
berargumen bahwa seluruh sistem kepercayaan kita saling berkaitan dan diuji
terhadap pengalaman sebagai satu kesatuan holistik⁵.
Pendekatan naturalistik
dalam epistemologi juga mengaburkan batas ini, karena memandang pengetahuan
sebagai hasil evolusi biologis dan adaptasi terhadap lingkungan, bukan sebagai
produk akal murni atau pengalaman murni semata⁶.
5.4. Signifikansi Relasional bagi Teori Pengetahuan
Daripada memandang a priori
dan a
posteriori sebagai dikotomi yang kaku, pendekatan filsafat
kontemporer menekankan kontinum epistemik, di mana
kedua jenis pengetahuan saling memperkuat. Kategori ini tidak sekadar
menggambarkan sumber pengetahuan, tetapi juga kerangka kerja yang digunakan
untuk memahami bagaimana manusia menafsirkan dunia dan membentuk sistem
kepercayaan yang rasional serta teruji⁷.
Footnotes
[1]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 22–27.
[2]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River: Prentice
Hall, 2003), 14–20.
[3]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 36–42.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A6–7 / B10–11.
[5]
W.V.O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1961), 20–46.
[6]
Alvin Goldman, “Epistemology and the Theory of Evidence,” The
Journal of Philosophy 70, no. 11 (1973): 403–422.
[7]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2010), 224–226.
6.
Kontribusi Immanuel Kant: Sintetik A Priori
Salah satu
kontribusi paling revolusioner dalam sejarah epistemologi adalah konsep pengetahuan
sintetik a priori yang dikemukakan oleh Immanuel
Kant dalam karyanya Critique of Pure Reason (1781).
Kant memperkenalkan kategori ini sebagai upaya untuk menjembatani perdebatan
klasik antara kaum rasionalis, yang menekankan a priori,
dan kaum empiris, yang menekankan a
posteriori. Bagi Kant, kedua pendekatan tersebut memiliki
kebenarannya masing-masing, tetapi keduanya tidak lengkap tanpa integrasi
epistemologis yang lebih mendalam¹.
6.1. Latar Belakang Munculnya Konsep Sintetik A Priori
Kant terinspirasi
oleh keterbatasan yang ia temukan dalam kedua pendekatan sebelumnya.
Rasionalisme, seperti yang dianut oleh Descartes dan Leibniz, memang
menghasilkan pengetahuan yang pasti (certainty), namun sering kali gagal
menjelaskan dunia pengalaman. Sebaliknya, empirisme ala Locke dan Hume
menekankan pengalaman, tetapi tidak mampu menjelaskan kepastian dalam ilmu
pengetahuan, seperti matematika atau prinsip kausalitas².
Hume, khususnya,
telah membangkitkan Kant dari “tidur dogmatis” dengan argumennya bahwa
hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan secara rasional maupun empiris³.
Kant kemudian menyimpulkan bahwa terdapat jenis pengetahuan yang memperluas
wawasan (sintetik) namun tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Konsep
inilah yang disebutnya sebagai pengetahuan sintetik a priori.
6.2. Definisi dan Contoh Pengetahuan Sintetik A Priori
Menurut Kant, proposisi
sintetik a priori adalah proposisi yang:
·
Sintetik:
predikatnya tidak terkandung secara implisit dalam subjek, sehingga memperluas
pengetahuan.
·
A Priori:
dapat diketahui tanpa pengalaman empiris, hanya melalui struktur rasional
bawaan subjek⁴.
Contoh klasiknya
adalah:
·
“7 + 5 = 12”
→ Tidak bersifat analitik, karena “12”
tidak terkandung dalam konsep “7 + 5”, namun kita mengetahuinya tanpa
perlu melakukan eksperimen.
·
“Setiap peristiwa
memiliki sebab”
→ Tidak berasal dari pengalaman empiris, tetapi
merupakan kerangka dasar yang memungkinkan kita memahami pengalaman secara
koheren⁵.
Dalam hal ini, sintetik
a priori membentuk kondisi kemungkinan bagi pengalaman
itu sendiri—yaitu struktur kognitif yang dibawa oleh subjek ke dalam proses
memahami dunia.
6.3. Implikasi Konseptual bagi Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan
Konsep sintetik a
priori memungkinkan Kant untuk mempertahankan validitas objektif ilmu pengetahuan,
seperti fisika dan matematika, sembari mengakui peran aktif dari subjek
rasional dalam membentuk pengalaman. Kant berargumen bahwa ruang dan waktu
adalah bentuk intuisi murni (pure intuitions) yang bersifat a
priori, sedangkan prinsip-prinsip seperti kausalitas adalah kategori intelek (categories
of understanding) yang juga bersifat a priori namun bekerja secara
sintetik⁶.
Dengan demikian,
hukum-hukum fisika bukan sekadar generalisasi empiris (a
posteriori), tetapi memiliki fondasi rasional yang memungkinkan
konsistensi dan prediktabilitas ilmiah. Ini merupakan pembelaan terhadap kemungkinan
pengetahuan ilmiah yang bersifat universal dan niscaya, tanpa
harus terjebak dalam dogma metafisika rasionalis atau skeptisisme empiris⁷.
6.4. Warisan dan Kritik Terhadap Sintetik A Priori
Konsep sintetik a
priori telah menjadi pilar penting dalam filsafat modern, tetapi tidak lepas
dari kritik. Filsuf-filsuf logika dan bahasa seperti Rudolf Carnap dan W.V.O.
Quine meragukan kemungkinan eksistensi proposisi yang benar-benar sintetik dan
sekaligus a priori. Quine dalam Two Dogmas of Empiricism secara
eksplisit menyerang distingsi antara analitik-sintetik dan a priori-a
posteriori, menyatakan bahwa semua pengetahuan tunduk pada revisi dalam terang
pengalaman⁸.
Namun demikian,
warisan Kant tetap berpengaruh. Banyak filsuf kontemporer tetap mempertahankan
relevansi sintetik a priori, terutama dalam diskusi tentang struktur
bawaan kognisi manusia, fondasi matematika, dan normativitas
logika.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A6–7 / B10–11.
[2]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 35–38.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), §IV.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2010), 65–67.
[5]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River: Prentice
Hall, 2003), 25–27.
[6]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense (New Haven: Yale University Press, 1983), 91–95.
[7]
Paul Guyer, Kant (London: Routledge, 2006), 125–130.
[8]
W.V.O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1961), 20–46.
7.
Implikasi dalam Filsafat Ilmu dan Ilmu
Pengetahuan Modern
Dikotomi antara a priori
dan a
posteriori memiliki dampak mendalam terhadap perkembangan filsafat
ilmu dan cara kita memahami dasar-dasar ilmu
pengetahuan modern. Kedua jenis pengetahuan ini tidak hanya relevan
sebagai kategori epistemologis, tetapi juga membentuk kerangka
metodologis dan ontologis dalam praktik ilmiah
kontemporer.
7.1. Peran A Priori dalam Fondasi Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan a priori
menyediakan kerangka konseptual dan logis
yang memungkinkan pemahaman dan eksplorasi ilmiah. Prinsip-prinsip logika,
hukum matematika, dan bentuk-bentuk inferensi deduktif seperti modus ponens,
merupakan contoh kognisi a priori yang tak dapat disangkal
dalam proses ilmiah¹.
Dalam hal ini, a priori
berfungsi sebagai prasyarat metodologis bagi ilmu
pengetahuan. Misalnya, dalam teori fisika, hukum-hukum matematika digunakan
untuk membangun model-model teoretis sebelum diuji secara empiris. Tanpa
kemampuan a priori
untuk menyusun struktur logis dan simbolik, eksperimen ilmiah akan kehilangan
arah dan interpretasinya².
Kant menyatakan
bahwa ruang dan waktu bukanlah entitas objektif, tetapi bentuk-bentuk
intuisi a priori yang memungkinkan kita memahami objek
pengalaman³. Dengan demikian, struktur dasar pemahaman ilmiah tentang realitas
bergantung pada kemampuan subjek rasional dalam menerapkan prinsip-prinsip a
priori pada fenomena.
7.2. Peran A Posteriori dalam Verifikasi Ilmiah
Di sisi lain, ilmu
pengetahuan modern tidak dapat dilepaskan dari pengalaman empiris. Metode
ilmiah sangat bergantung pada pengetahuan a posteriori dalam bentuk
pengamatan, eksperimen, dan pengumpulan data. Pengetahuan ilmiah harus terverifikasi
secara empiris agar diakui secara sah dalam komunitas ilmiah⁴.
Francis Bacon,
pelopor metode induktif, menekankan pentingnya akumulasi data dan observasi
sistematis sebagai dasar pengetahuan ilmiah. Dalam sains modern,
langkah-langkah seperti observasi, formulasi hipotesis, eksperimen, dan
verifikasi merupakan ekspresi konkret dari pemikiran a posteriori⁵.
Namun, seperti
dikemukakan oleh Karl Popper, proses ilmiah tidak berhenti pada konfirmasi,
tetapi juga melibatkan falsifikasi—kemampuan suatu teori untuk diuji dan
mungkin dibantah oleh pengalaman baru. Ini menekankan peran dinamis a
posteriori dalam mengembangkan dan menyempurnakan pengetahuan
ilmiah⁶.
7.3. Integrasi Metodologis: Deduksi dan Induksi
Hubungan antara a priori
dan a
posteriori dalam ilmu pengetahuan bersifat komplementer,
bukan eksklusif. Proses ilmiah idealnya melibatkan deduksi
a priori untuk membangun hipotesis yang logis dan verifikasi
a posteriori untuk menguji hipotesis tersebut melalui data.
Contohnya adalah
dalam fisika teoretis: teori relativitas umum Einstein dibangun atas dasar
asumsi geometris a priori mengenai struktur ruang-waktu,
yang kemudian dikonfirmasi secara a posteriori melalui observasi
lengkungan cahaya bintang saat gerhana⁷. Ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan
modern bekerja dengan mengintegrasikan kedua jenis pengetahuan secara
produktif.
7.4. Implikasi Kontemporer: Ilmu Kognitif dan AI
Dalam perkembangan
mutakhir seperti ilmu kognitif dan kecerdasan
buatan (AI), perbedaan antara a priori dan a
posteriori tetap relevan. Ilmuwan kognitif berdebat apakah
struktur-struktur kognitif manusia bersifat bawaan (a priori) atau hasil dari
pembelajaran (a posteriori). Misalnya, Noam
Chomsky mengklaim adanya “grammar universal” yang bersifat a priori,
sedangkan kaum empiris menekankan peran data linguistik dan pengalaman dalam
pembentukan bahasa⁸.
Di bidang AI,
pembelajaran mesin (machine learning) didasarkan pada pengumpulan data empiris a
posteriori, tetapi tetap membutuhkan kerangka algoritmik dan logika
matematika a priori
agar sistem dapat berfungsi dan mengenali pola⁹.
Kesimpulan Sementara
Dengan demikian,
baik a priori
maupun a
posteriori merupakan pilar epistemologis yang tak terpisahkan dalam
struktur filsafat ilmu dan praksis ilmiah modern. Integrasi
harmonis antara keduanya tidak hanya memperkuat keabsahan ilmiah, tetapi juga
memperluas cakrawala pengetahuan manusia di era teknologi dan informasi.
Footnotes
[1]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 34–36.
[2]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2010), 250–253.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A22–B33.
[4]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River: Prentice
Hall, 2003), 45–48.
[5]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), I.95.
[6]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from
German (New York: Routledge, 2002), 33–39.
[7]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 87–89.
[8]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA:
MIT Press, 1965), 3–5.
[9]
Melanie Mitchell, Artificial Intelligence: A Guide for Thinking
Humans (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2019), 42–47.
8.
Kritik dan Perdebatan Kontemporer
Meskipun dikotomi
antara a priori
dan a
posteriori telah menjadi fondasi epistemologi klasik sejak masa
Immanuel Kant, para filsuf kontemporer telah mengajukan sejumlah kritik
mendalam terhadap validitas, batasan, dan kejelasan konseptual
dari kedua kategori tersebut. Kritik-kritik ini tidak hanya mempertanyakan
pemisahan teoretis yang tegas antara a priori dan a
posteriori, tetapi juga menyoroti implikasinya terhadap ilmu
pengetahuan, bahasa, dan logika modern.
8.1. Kritik W.V.O. Quine: Dekonstruksi Analitik dan A
Priori
Salah satu serangan
paling signifikan terhadap pemisahan a priori dan a
posteriori berasal dari Willard Van Orman Quine,
terutama dalam esainya yang berjudul Two Dogmas of Empiricism (1951).
Dalam karya ini, Quine menolak dua asumsi mendasar dalam tradisi filsafat
analitik, yaitu:
·
(1) Pemisahan antara
proposisi analitik dan sintetik.
·
(2) Pemisahan antara
pengetahuan a priori dan a posteriori¹.
Menurut Quine,
bahasa dan pengetahuan tidak bisa dianalisis dalam bagian-bagian yang
independen secara epistemik. Ia mengemukakan pendekatan holistik,
bahwa keyakinan dan proposisi manusia diuji bukan secara individual, melainkan
sebagai keseluruhan sistem pengetahuan
yang saling terkait. Dengan demikian, tidak ada proposisi yang secara absolut a priori,
karena semua pengetahuan pada akhirnya dapat direvisi dalam cahaya pengalaman².
8.2. Tantangan dari Epistemologi Naturalistik
Epistemologi
kontemporer juga dipengaruhi oleh pendekatan naturalistik, seperti yang
dikembangkan oleh Alvin Goldman. Dalam pandangan
ini, proses-proses kognitif dan struktur pengetahuan harus dipahami dalam
kerangka ilmiah dan psikologis, bukan
hanya dalam refleksi rasional abstrak. Hal ini menggeser fokus dari validitas
logis menuju keandalan (reliability) proses
kognitif dalam menghasilkan kepercayaan yang benar³.
Naturalisme
epistemologis mempertanyakan status istimewa a priori sebagai pengetahuan yang
tidak tergantung pengalaman, karena dalam praktiknya, kemampuan kognitif
manusia dipengaruhi oleh faktor biologis, sosial, dan evolusioner. Bahkan
matematika dan logika dipahami sebagai sistem representasi yang lahir dari
evolusi fungsi otak⁴.
8.3. Kritik Postmodern dan Hermeneutik: Ketergantungan Kontekstual
Dari sudut pandang postmodernisme
dan hermeneutika,
kritik terhadap a priori sering berfokus pada ketergantungan
makna terhadap konteks, bahasa, dan sejarah. Filsuf seperti Hans-Georg
Gadamer menolak anggapan bahwa subjek dapat memiliki
pengetahuan netral dan bebas dari prakonsepsi. Ia menekankan bahwa semua
pemahaman terikat pada pra-pemahaman (Vorverständnis),
yang bersifat historis dan kultural⁵.
Dengan demikian, a priori
dianggap bukan sebagai struktur universal rasio, melainkan sebagai produk
dari tradisi dan horizon historis tertentu. Ini menantang klaim
universalisme dalam epistemologi klasik dan membuka ruang bagi pluralisme
epistemik yang lebih kontekstual⁶.
8.4. Rehabilitasi dan Pembelaan A Priori: Posisi
Moderate
Meskipun dikritik,
banyak filsuf kontemporer masih mempertahankan peran penting a priori,
terutama dalam bentuk a priori revisabel atau fallibilistic
a priori. Misalnya, Laurence BonJour berpendapat
bahwa a priori
tetap diperlukan untuk menjelaskan validitas logika dan matematika, meskipun
tidak absolut atau tak dapat diganggu gugat⁷.
Pendekatan moderat
ini mengakui bahwa pengetahuan a priori bersifat esensial bagi
struktur argumentatif dan rasionalitas, tetapi juga terbuka terhadap koreksi
dalam terang penemuan baru atau bukti tambahan. Ini memperkuat posisi bahwa a priori
dan a
posteriori bukanlah dikotomi yang kaku, melainkan spektrum
epistemologis yang dinamis⁸.
Kesimpulan Sementara
Perdebatan
kontemporer atas konsep a priori dan a
posteriori mencerminkan pergeseran dari absolutisme menuju pluralisme
epistemik. Meskipun kritik-kritik kuat telah menggoyahkan dasar-dasar
klasik dikotomi ini, banyak filsuf tetap mengakui nilai metodologis dan
struktural dari kedua bentuk pengetahuan tersebut dalam membangun pemahaman
rasional tentang dunia.
Footnotes
[1]
W.V.O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1961), 20–46.
[2]
Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 37–39.
[3]
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” Philosophical Review
83, no. 1 (1979): 1–23.
[4]
Patricia S. Churchland, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy
(Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 9–12.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 268–273.
[6]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 316–317.
[7]
Laurence BonJour, In Defense of Pure Reason: A Rationalist Account
of A Priori Justification (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
127–133.
[8]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2010), 235–239.
9.
Kesimpulan dan Refleksi Filosofis
Kajian terhadap a priori dan a posteriori
sebagai dua bentuk utama pengetahuan dalam epistemologi menunjukkan bahwa
keduanya merupakan fondasi yang tak terpisahkan dari cara manusia memahami dan
mengonstruksi realitas. Meskipun berasal dari sumber yang berbeda—akal rasional
dan pengalaman empiris—keduanya tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dalam
praktik, baik dalam ranah filsafat murni maupun dalam ilmu pengetahuan terapan.
Secara historis, perbedaan antara a priori
dan a posteriori mencerminkan ketegangan filosofis antara rasionalisme
dan empirisme, yang mencapai titik sintesis melalui pemikiran Immanuel
Kant. Dengan konsep “pengetahuan sintetik a priori,” Kant berhasil
menunjukkan bahwa manusia tidak sekadar menerima data dari luar, tetapi juga
membentuk pengalaman melalui struktur kognitif bawaan yang bersifat a priori¹.
Hal ini menegaskan bahwa aktivitas berpikir manusia melibatkan kontribusi aktif
dari subjek yang tidak dapat direduksi hanya pada data indrawi atau konstruk
sosial semata².
Di era modern, keberadaan a priori tetap
krusial, terutama dalam bidang logika, matematika, dan etika normatif.
Sementara itu, a posteriori memainkan peran utama dalam validasi ilmiah
dan eksplorasi empirik terhadap dunia nyata. Kedua bentuk pengetahuan ini
bekerja secara sinergis dalam praktik ilmiah: deduksi teoretis (a priori)
digunakan untuk membangun model dan hipotesis, sedangkan verifikasi dan
pengujian (a posteriori) digunakan untuk membuktikan validitasnya³.
Namun, perkembangan epistemologi kontemporer
menunjukkan bahwa dikotomi klasik ini tidaklah absolut. Kritik dari Quine,
Goldman, dan tokoh postmodern seperti Gadamer mengungkapkan bahwa
pengetahuan selalu berada dalam konteks sistem kepercayaan, struktur biologis,
dan horizon historis tertentu⁴. Artinya, kategori a priori dan a
posteriori harus dipahami secara lebih fleksibel sebagai spektrum
epistemologis daripada sebagai oposisi biner yang kaku.
Refleksi filosofis atas pembahasan ini mengarah
pada pengakuan bahwa manusia adalah makhluk epistemik yang kompleks,
yang memadukan kapasitas rasional dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Rasio
dan empirisitas bukanlah antagonis, melainkan mitra dalam pencarian kebenaran.
Pengetahuan yang kokoh dan bernilai tidak hanya memerlukan bukti empirik,
tetapi juga struktur argumentasi yang logis, niscaya, dan konsisten.
Dengan demikian, upaya memahami pengetahuan melalui
dua jalur ini bukan hanya soal klasifikasi konseptual, melainkan merupakan
cermin dari kodrat manusia yang terus-menerus menafsirkan, merumuskan, dan
menguji dunia melalui akal dan pengalaman. Keseimbangan keduanya menjadi
prasyarat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebijaksanaan hidup.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A6–7 / B10–11.
[2]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental
Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press,
1983), 92–94.
[3]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An
Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago
Press, 2003), 40–45.
[4]
W.V.O. Quine, From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1961), 41–43; Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London:
Continuum, 2004), 269–273; Alvin Goldman, “What Is Justified Belief?” Philosophical
Review 83, no. 1 (1979): 1–23.
Daftar Pustaka
Allison, H. E. (1983). Kant’s
transcendental idealism: An interpretation and defense. Yale University
Press.
Audi, R. (2010). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Bacon, F. (2000). The
new organon (L. Jardine & M. Silverthorne, Trans.). Cambridge
University Press. (Original work published 1620)
BonJour, L. (1998). In
defense of pure reason: A rationalist account of a priori justification.
Cambridge University Press.
BonJour, L. (2010). Epistemology:
Classic problems and contemporary responses (2nd ed.). Rowman &
Littlefield.
Chomsky, N. (1965). Aspects
of the theory of syntax. MIT Press.
Churchland, P. S. (2002). Brain-wise:
Studies in neurophilosophy. MIT Press.
Feldman, R. (2003). Epistemology.
Prentice Hall.
Friedman, M. (1999). Reconsidering
logical positivism. Cambridge University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans., 2nd rev. ed.).
Continuum.
Godfrey-Smith, P. (2003). Theory
and reality: An introduction to the philosophy of science. University of
Chicago Press.
Goldman, A. I. (1979). What
is justified belief? Philosophical Review, 83(1), 1–23. https://doi.org/10.2307/2184375
Hume, D. (2000). An
enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford
University Press. (Original work published 1748)
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1781)
Mitchell, M. (2019). Artificial
intelligence: A guide for thinking humans. Farrar, Straus and Giroux.
Quine, W. V. O. (1961). From
a logical point of view. Harvard University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar