Der Wille zur Macht
Kehendak untuk Berkuasa dalam Filsafat Friedrich
Nietzsche
Alihkan ke: Pemikiran Friedrich Nietzsche.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep der
Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) dalam filsafat Friedrich
Nietzsche sebagai inti dari sistem pemikirannya yang bersifat non-dogmatis dan
transgresif. Melalui pendekatan analitis dan interpretatif terhadap teks-teks
utama Nietzsche, artikel ini menelusuri asal-usul, pengembangan, serta dimensi
ontologis dan antropologis dari konsep tersebut. Wille zur Macht tidak
dipahami semata-mata sebagai hasrat dominasi, melainkan sebagai prinsip
vitalistik dan kreatif yang menandai struktur realitas serta dorongan
eksistensial manusia untuk mencipta nilai. Artikel ini juga mengeksplorasi
relasi antara kehendak untuk berkuasa dan figur Übermensch, serta
mengkaji ragam interpretasi dari para filsuf seperti Martin Heidegger, Gilles
Deleuze, dan Michel Foucault. Di bagian akhir, dibahas pula relevansi gagasan
ini dalam konteks kontemporer, termasuk dalam kritik terhadap kekuasaan, etika
otonomi, teknologi digital, serta krisis nilai di era modern. Keseluruhan
pembahasan ini menunjukkan bahwa konsep der Wille zur Macht tetap aktual
sebagai kerangka filsafat yang menantang, menggugah, dan menawarkan kemungkinan
baru dalam menafsirkan kehidupan manusia secara reflektif dan afirmatif.
Kata Kunci: Nietzsche; kehendak untuk berkuasa; Wille zur
Macht; Übermensch; nihilisme; ontologi kekuasaan; transvaluasi nilai; filsafat
modern; filsafat eksistensial; interpretasi filsafat.
PEMBAHASAN
Menelusuri Konsep Kehendak untuk Berkuasa dalam
Filsafat Friedrich Nietzsche
1.
Pendahuluan
Filsafat Friedrich Nietzsche (1844–1900) merupakan
salah satu puncak pencapaian intelektual dalam sejarah pemikiran modern, yang
menandai pergeseran radikal dari sistem metafisika dan etika Barat tradisional
menuju suatu pendekatan baru yang menekankan dinamika kehidupan, nilai, dan
kekuasaan. Salah satu konsep paling khas dan sentral dalam filsafatnya adalah “kehendak
untuk berkuasa” (der Wille zur Macht), suatu gagasan yang mengandung
dimensi metafisis, eksistensial, dan ontologis, sekaligus mencerminkan proyek
Nietzsche untuk melakukan Umwertung aller Werte (penilaian ulang
terhadap semua nilai). Nietzsche mengembangkan ide ini bukan hanya sebagai
teori kekuasaan sosial atau politis, tetapi sebagai prinsip fundamental yang
menggerakkan segala bentuk kehidupan dan realitas.
Konsep der Wille zur Macht muncul dalam
konteks sejarah intelektual yang tengah bergejolak di Eropa akhir abad ke-19,
sebuah masa ketika kepercayaan terhadap Tuhan, moralitas tradisional, dan
struktur rasionalitas filosofis mulai digugat oleh krisis nilai dan munculnya
pemikiran post-metafisik. Dalam Die fröhliche Wissenschaft (The Gay
Science), Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” (Gott ist tot),
bukan sebagai klaim ateistik biasa, melainkan sebagai metafora atas keruntuhan
otoritas nilai-nilai absolut yang mendasari kebudayaan Barat selama
berabad-abad.¹ Dalam kerangka ini, kehendak untuk berkuasa menjadi
konsep pengganti metafisika lama, yaitu sebagai prinsip vitalistik yang
menegaskan kehidupan sebagai perjuangan kreatif dan afirmatif terhadap kondisi
keberadaan.
Nietzsche sendiri tidak pernah secara sistematis
menerbitkan karya dengan judul Der Wille zur Macht selama hidupnya.
Gagasan tersebut tersebar dalam berbagai aforisme dan naskah-naskah catatannya,
dan kemudian dikompilasi secara posthumus oleh adiknya, Elisabeth
Förster-Nietzsche, dan Heinrich Köselitz (Peter Gast), dalam bentuk yang banyak
menuai kontroversi karena dugaan intervensi dan penyuntingan yang bias.²
Meskipun demikian, para pemikir seperti Martin Heidegger, Gilles Deleuze, dan
Michel Foucault tetap memandang kehendak untuk berkuasa sebagai inti
pemikiran Nietzsche yang memungkinkan reinterpretasi radikal atas subjek,
kekuasaan, dan sejarah.³
Tujuan utama artikel ini adalah untuk menelusuri
akar, pengembangan, dan implikasi filosofis dari konsep der Wille zur Macht
dalam karya-karya Nietzsche yang otentik, serta melihat relevansinya dalam
wacana kontemporer. Pembahasan ini tidak hanya penting bagi pemahaman atas
proyek filsafat Nietzsche secara menyeluruh, tetapi juga sebagai refleksi
terhadap kondisi manusia modern yang terus berhadapan dengan krisis nilai,
dominasi struktur kekuasaan, dan pencarian makna dalam dunia yang semakin
terfragmentasi.
Catatan
Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181.
[2]
Mazzino Montinari dan Giorgio Colli, Nietzsche
Werke: Kritische Gesamtausgabe, hrsg. von Giorgio Colli und Mazzino
Montinari (Berlin: de Gruyter, 1967–), menjelaskan distorsi edisi The Will
to Power yang disusun Elisabeth Förster-Nietzsche. Lihat pula Walter
Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 4th ed.
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 252–255.
[3]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. I: The
Will to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper
& Row, 1979); Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983); Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New
York: Pantheon Books, 1980).
2.
Landasan
Filsafat Nietzsche
Filsafat Friedrich
Nietzsche tidak lahir dalam kevakuman, melainkan dalam dialog yang kritis
terhadap warisan metafisika Barat, khususnya yang diwariskan oleh Plato,
Kristen, dan sistem moral konvensional. Sebagai seorang filolog klasik yang
kemudian menjadi filsuf radikal, Nietzsche secara konsisten berupaya membongkar
fondasi-fondasi nilai yang telah mapan dan menggantikannya dengan perspektif
baru yang menekankan kehidupan, kekuatan, dan afirmasi eksistensial.
2.1.
Kritik terhadap Metafisika
Tradisional
Salah satu elemen
paling mendasar dalam pemikiran Nietzsche adalah kritiknya terhadap dualisme
metafisis yang diwariskan dari Plato hingga agama Kristen. Menurut Nietzsche,
filsafat Barat telah terlalu lama terjebak dalam dikotomi antara dunia inderawi
dan dunia ideal, antara tubuh dan roh, antara kenyataan dan kebenaran
metafisis.¹ Melalui apa yang ia sebut sebagai nihilisme, Nietzsche menunjukkan
bahwa nilai-nilai transenden seperti kebenaran absolut, kebaikan universal, dan
keberadaan Tuhan telah kehilangan daya ikatnya dalam kesadaran modern.
Nihilisme ini tidak hanya berarti bahwa manusia kehilangan keyakinan terhadap
nilai-nilai tersebut, tetapi lebih dalam lagi: bahwa nilai-nilai tersebut tidak
memiliki dasar yang kokoh untuk dipertahankan.²
Dalam kerangka
inilah Nietzsche menyerukan perlunya Umwertung aller Werte (penilaian
ulang terhadap semua nilai), yakni sebuah proyek filsafat untuk membalik
nilai-nilai lama dan menggantinya dengan nilai-nilai yang berpihak kepada
kehidupan, bukan yang menentangnya.³ Di sinilah letak pentingnya kehendak
untuk berkuasa sebagai prinsip baru dalam struktur nilai.
2.2.
Kehidupan sebagai Nilai Tertinggi
Nietzsche memandang
kehidupan sebagai satu-satunya realitas yang sejati dan bernilai. Ia menolak
etika yang meremehkan kehidupan, seperti asketisme Kristen yang memuliakan
penderitaan, penyangkalan diri, dan pengharapan akan dunia lain. Sebaliknya,
Nietzsche mengembangkan etika afirmatif yang menekankan penerimaan atas
kehidupan dalam seluruh kompleksitasnya, termasuk penderitaan, konflik, dan
perubahan.⁴
Bagi Nietzsche,
kehidupan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan suatu dinamika yang terus
bergolak, penuh dorongan dan intensitas. Ia melihat dalam kehidupan itu sendiri
suatu prinsip aktif yang terus mendorong pertumbuhan, dominasi, dan penciptaan
nilai. Inilah yang kemudian ia rumuskan sebagai der Wille zur Macht — suatu
dorongan fundamental yang tidak semata-mata ingin bertahan hidup (survival),
tetapi ingin berkembang, mendominasi, dan mengekspresikan kekuatan.⁵
2.3.
Gaya dan Metode Berpikir Nietzsche
Secara metodologis,
Nietzsche menolak sistematika filsafat yang kaku dan dogmatis. Ia lebih memilih
gaya penulisan aforistik, metaforis, dan puitik yang mencerminkan intensitas
gagasan-gagasannya serta membuka ruang bagi interpretasi.⁶ Dalam karyanya Also
sprach Zarathustra, Nietzsche menghadirkan tokoh Zarathustra bukan
sebagai nabi dogma baru, tetapi sebagai simbol manusia yang berani merumuskan
kembali nilai hidup dan menempuh jalan kebebasan yang radikal.⁷
Nietzsche juga
mengembangkan apa yang ia sebut sebagai genealogi, yaitu metode analisis
terhadap asal-usul nilai-nilai moral yang selama ini diterima begitu saja oleh
masyarakat. Dalam Zur Genealogie der Moral, ia
menunjukkan bahwa banyak nilai moral tidak lahir dari semangat luhur, tetapi justru
dari dorongan kehendak untuk berkuasa dalam bentuk yang terbalik — yaitu dalam
bentuk moralitas budak, yang berasal dari ressentiment terhadap kekuatan dan
vitalitas.⁸
2.4.
Menuju Kehendak untuk Berkuasa
Seluruh landasan
filsafat Nietzsche, dari kritik metafisika hingga proyek transvaluasi nilai,
berpuncak pada konsep der Wille zur Macht sebagai prinsip
yang menggerakkan segala kehidupan. Dalam kerangka ini, kekuasaan bukan sekadar
kategori politis, melainkan struktur dasar realitas itu sendiri. Dengan demikian,
kehendak
untuk berkuasa bukanlah kehendak untuk menindas, tetapi kehendak
untuk mengada, untuk mencipta, untuk melampaui.⁹
Catatan
Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan
Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 20–22.
[2]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. I: The Will to Power as
Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979),
85.
[3]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1989), 20–22.
[4]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 156–158.
[5]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–86.
[6]
Laurence Lampert, Nietzsche’s Teaching: An Interpretation of Thus
Spoke Zarathustra (New Haven: Yale University Press, 1986), 8–12.
[7]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 13–15.
[8]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, 25–26.
[9]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography,
trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton, 2002), 278–281.
3.
Definisi
dan Konseptualisasi Der Wille zur Macht
Konsep der
Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) merupakan salah satu
gagasan paling kontroversial dan multiinterpretatif dalam keseluruhan pemikiran
Nietzsche. Gagasan ini bukan hanya menjelaskan dorongan fundamental yang
menggerakkan manusia, tetapi juga mencoba merumuskan prinsip ontologis bagi
realitas itu sendiri. Nietzsche tidak pernah secara sistematik mendefinisikan der
Wille zur Macht dalam bentuk konsep final, tetapi membiarkannya
berkembang secara dinamis melalui aforisme, metafora, dan pertentangan dalam
karya-karyanya.¹
3.1.
Pengertian Umum dan Arti
Terminologis
Secara terminologis,
der
Wille zur Macht dapat diterjemahkan sebagai “kehendak untuk
berkuasa” atau “keinginan untuk berkuasa”. Namun, reduksi literal
semacam ini sering kali menyesatkan karena menyederhanakan kompleksitas gagasan
Nietzsche. Kehendak untuk berkuasa bukan sekadar dorongan untuk menguasai orang
lain secara politis atau militer, melainkan suatu daya eksistensial yang
melekat dalam seluruh kehidupan — sebuah dorongan afirmatif untuk berkembang,
melampaui, dan menegaskan eksistensi diri.²
Nietzsche
memformulasikan der Wille zur Macht sebagai
kekuatan pendorong utama dari segala yang hidup, yang tidak sekadar berusaha
mempertahankan eksistensi (seperti dalam pemikiran Darwin), tetapi justru
menciptakan, mengatasi, dan menstrukturkan ulang realitas melalui aksi dan
nilai.³ Sebagaimana ia ungkapkan dalam Nachlass (kumpulan naskah tak
diterbitkan), "dunia adalah kekacauan kekuatan dan bentuk-bentuk
kehendak untuk berkuasa, tidak lebih dan tidak kurang."⁴
3.2.
Distingsi dengan Kehendak
Schopenhauer dan Tradisi Lain
Dalam
pengembangannya, Nietzsche secara eksplisit mengkritik Arthur Schopenhauer yang
sebelumnya merumuskan dunia sebagai “representasi” dan “kehendak buta”.
Menurut Schopenhauer, kehendak adalah sumber penderitaan, karena ia mendorong
manusia untuk terus menginginkan sesuatu yang tidak dapat dipuaskan. Nietzsche
menolak pesimisme ini. Baginya, kehendak adalah kekuatan produktif dan
afirmatif yang tidak perlu ditundukkan, melainkan ditransformasikan menjadi
kekuatan penciptaan.⁵ Oleh karena itu, der Wille zur Macht dalam Nietzsche
bukan kehendak dalam pengertian pasif atau pesimis, melainkan prinsip aktif dan
kreatif yang menegaskan hidup sebagai kekuatan yang selalu bergerak.
Berbeda pula dengan
kehendak dalam filsafat Kantian yang diarahkan pada moralitas rasional dan
kategoris, kehendak dalam Nietzsche bebas dari struktur etika konvensional. Ia
bukan kehendak untuk tunduk pada hukum, melainkan kehendak untuk menciptakan
hukum itu sendiri.⁶
3.3.
Dimensi Ontologis, Psikologis, dan
Nilai
Gagasan der
Wille zur Macht dapat dibaca dalam tiga lapisan utama:
Pertama,
secara ontologis,
Nietzsche menyatakan bahwa realitas bukan tersusun atas substansi tetap,
melainkan dinamika kekuatan. Dalam hal ini, seluruh eksistensi adalah permainan
kekuasaan yang saling bertentangan dan saling melampaui.⁷
Kedua,
dalam dimensi psikologis, Nietzsche memahami
manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh dorongan-dorongan dasar yang
bertujuan untuk mengafirmasi dan menegaskan eksistensinya — bukan semata-mata
karena alasan bertahan hidup, tetapi untuk mengalami intensitas eksistensi.⁸
Ketiga,
secara aksiologis,
der
Wille zur Macht adalah dasar penilaian baru terhadap moralitas dan
nilai. Moralitas tradisional — khususnya moralitas Kristen yang merendahkan
kehidupan duniawi — dilihat Nietzsche sebagai bentuk kehendak
lemah, yang lahir dari ressentiment.⁹ Sebaliknya,
moralitas yang lahir dari kehendak untuk berkuasa adalah moralitas pencipta
nilai yang otonom.
3.4.
Ketidaktertuntasan Formulasi dan
Kontroversi Pascahumus
Perlu dicatat bahwa Der
Wille zur Macht juga merupakan judul dari naskah yang dikompilasi
secara pascahumus oleh Elisabeth Förster-Nietzsche dan Peter Gast dari catatan
Nietzsche yang belum dipublikasikan. Versi ini menuai kritik keras dari para
filolog dan filosof karena dianggap tidak mencerminkan struktur pemikiran
Nietzsche secara otentik.⁽¹⁰⁾ Oleh karena itu, banyak sarjana kontemporer lebih
mengandalkan pembacaan kehendak untuk berkuasa melalui
karya-karya resmi Nietzsche seperti Also sprach Zarathustra, Jenseits
von Gut und Böse (Beyond Good and Evil), dan Zur
Genealogie der Moral (On the Genealogy of Morals).
Catatan
Kaki
[1]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 178.
[2]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–87.
[3]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §13–19.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, ed. Walter Kaufmann
and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §1067.
[5]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation,
trans. E. F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), vol. I, 312–315;
bandingkan dengan Nietzsche, Twilight of the Idols, 49–51.
[6]
Paul-Laurent Assoun, Freud and Nietzsche, trans. Richard L.
Collier (London: Continuum, 2006), 34–36.
[7]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. III: The Will to Power
as Knowledge, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row,
1987), 9–12.
[8]
Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (New York:
Routledge, 2015), 112–115.
[9]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1989), Essay I, §10–11.
[10]
Mazzino Montinari, “Nietzsche’s Nachlass and the History of the Will to
Power,” in New Nietzsche Studies 1, no. 1/2 (1996): 1–15.
4.
Asal-Usul
dan Evolusi Gagasan
Konsep der
Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) tidak muncul secara
tiba-tiba dalam karya-karya Friedrich Nietzsche, melainkan berkembang secara
bertahap melalui perjalanan intelektualnya yang kompleks. Ide ini berakar dalam
pengalamannya sebagai filolog klasik, keterlibatannya dalam kritik budaya
modern, serta interaksinya dengan pemikiran-pemikiran besar seperti
Schopenhauer, Darwin, dan para moralist Prancis. Der Wille zur Macht merupakan
sintesis dari berbagai aspek pemikirannya, yang pada akhirnya menjelma menjadi
inti ontologis dan aksiologis dari filsafatnya yang dewasa.
4.1.
Jejak Awal dalam Karya-Karya Awal
Meskipun belum
secara eksplisit menyebut istilah Wille zur Macht, benih-benih
gagasan ini sudah tampak dalam karya awal Nietzsche seperti Die
Geburt der Tragödie (The Birth of Tragedy, 1872). Di
sana, Nietzsche menekankan dualitas antara prinsip Apollonian (tatanan,
keindahan) dan Dionysian (kekacauan, kekuatan hidup), yang mencerminkan konflik
dinamis dalam eksistensi.¹ Dorongan Dionysian inilah yang kelak berkembang menjadi
pemahaman eksistensial tentang kekuatan dan kehendak. Nietzsche menggambarkan
tragedi Yunani sebagai perwujudan afirmatif atas penderitaan hidup — sebagai
bentuk tertinggi ekspresi kekuatan estetik dan metafisis kehidupan.²
4.2.
rtikulasi Eksplisit dalam Karya
Matang
Konsep kehendak
untuk berkuasa mulai mendapatkan artikulasi yang lebih eksplisit
dalam karya-karya Nietzsche pada periode matang, khususnya dalam Also
sprach Zarathustra (1883–1885), Jenseits von Gut und Böse (Beyond
Good and Evil, 1886), dan Zur Genealogie der Moral (On the
Genealogy of Morals, 1887). Dalam Zarathustra, Nietzsche
memperkenalkan tokoh Zarathustra sebagai figur profetik yang menyampaikan
gagasan tentang Übermensch (manusia unggul) dan kehendak untuk berkuasa sebagai
hukum dasar kehidupan.³
Salah satu aforisme
penting dalam Beyond Good and Evil menyatakan:
“Satu-satunya fakta dasar adalah bahwa hidup itu sendiri adalah kehendak untuk
berkuasa.”⁴ Dalam Genealogy of Morals, Nietzsche
menyusun analisis genealogis tentang bagaimana moralitas Kristen dan moralitas
budak lahir dari kebencian terhadap kekuatan dan kehidupan, serta dari
ketidakmampuan untuk mengekspresikan kehendak secara afirmatif.⁵ Di titik
inilah der
Wille zur Macht tampil sebagai diagnosis dan solusi terhadap krisis
nilai modern.
4.3.
Manuskrip Pascahumus: Der Wille
zur Macht (1901)
Istilah Der
Wille zur Macht juga menjadi nama dari kumpulan aforisme dan
fragmen yang diterbitkan secara pascahumus pada tahun 1901 oleh Elisabeth
Förster-Nietzsche dan Peter Gast (Heinrich Köselitz). Publikasi ini, meskipun
berpengaruh besar dalam penyebaran gagasan Nietzsche di abad ke-20, kemudian
menuai kritik karena tidak sesuai dengan intensi asli Nietzsche.⁶ Para editor
menyusun dan mengurutkan fragmen-fragmen dari Nachlass (catatan tak diterbitkan)
secara arbitrer dan sering kali mengabaikan konteks temporal dan kronologis
dari tulisan-tulisan tersebut.
Penelitian filologis
oleh Mazzino Montinari dan Giorgio Colli dalam edisi kritis Nietzsche
Werke menunjukkan bahwa Nietzsche tidak pernah bermaksud
menerbitkan karya berjudul Der Wille zur Macht dalam bentuk
sistematis.⁷ Sebaliknya, ia menggunakan istilah tersebut dalam berbagai variasi
konseptual sebagai bagian dari eksplorasi filsafat yang terbuka, bukan sistem
yang tertutup.
4.4.
Evolusi Gagasan dan Makna
Pluralistik
Konsep kehendak
untuk berkuasa terus mengalami perkembangan dalam makna dan
aplikasi. Pada satu sisi, ia tampil sebagai prinsip ontologis yang menjelaskan
struktur realitas sebagai medan kekuatan-kekuatan yang saling bertarung. Pada
sisi lain, ia juga menjadi prinsip psikologis dan moral: bagaimana manusia
menilai, menafsirkan, dan mencipta dalam rangka mengafirmasi kehidupan.⁸
Seperti dicatat oleh
Gilles Deleuze, der Wille zur Macht bukanlah kehendak
untuk menguasai orang lain, melainkan kehendak untuk mengintensifkan eksistensi
— untuk mencipta bentuk-bentuk baru dari kehidupan.⁹ Oleh karena itu, gagasan
ini memiliki dimensi eksistensial yang mendalam dan menjadi fondasi bagi proyek
transvaluasi nilai yang ingin menumbuhkan manusia yang bebas, kreatif, dan kuat
secara spiritual.
Catatan
Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1967), 20–24.
[2]
Julian Young, Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 98–101.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 137–140.
[4]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §13.
[5]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), Essay I, §10–13.
[6]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 254–258.
[7]
Mazzino Montinari, “Nietzsche’s Nachlass and the History of the Will to
Power,” in New Nietzsche Studies 1, no. 1/2 (1996): 1–15.
[8]
Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (New York:
Routledge, 2015), 105–110.
[9]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–91.
5.
Der
Wille zur Macht sebagai Ontologi dan Antropologi
Dalam filsafat
Friedrich Nietzsche, der Wille zur Macht (kehendak
untuk berkuasa) tidak hanya merupakan prinsip etis atau psikologis,
tetapi juga mengandung dimensi ontologis dan antropologis
yang mendalam. Artinya, gagasan ini bukan hanya menjelaskan bagaimana manusia
bertindak dan menilai, tetapi juga bagaimana realitas itu sendiri dipahami
sebagai struktur kekuatan yang dinamis, serta bagaimana manusia diposisikan
sebagai makhluk yang eksistensinya ditentukan oleh dorongan-dorongan kreatif
untuk menegaskan kehidupan.
5.1.
Dimensi Ontologis: Dunia sebagai
Dinamika Kekuasaan
Nietzsche menawarkan
suatu bentuk filsafat realitas yang berbeda dari metafisika klasik. Jika dalam
tradisi filsafat Barat realitas sering dipahami sebagai substansi tetap
(misalnya dalam metafisika Aristotelian atau rasionalisme Cartesian), maka
Nietzsche membalikkan paradigma tersebut. Baginya, dunia bukanlah entitas
statis atau sistem hukum yang rasional, melainkan arena kekuatan yang terus
bergerak, berkonflik, dan berubah.¹
Dalam catatan tak
terbitkan yang kemudian dikompilasi dalam Der Wille zur Macht, Nietzsche
menulis bahwa “dunia bukanlah suatu benda, tetapi suatu keberlangsungan
kekuatan, suatu permainan kekuatan dan gelombang kekuatan yang tak terhingga.”²
Ini menunjukkan bahwa kehendak untuk berkuasa baginya
merupakan struktur dasar realitas — bukan sesuatu yang muncul dalam dunia,
tetapi dunia itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Dunia
dilihat sebagai proses tanpa akhir dari perebutan bentuk, intensitas, dan
pengaruh.
Martin Heidegger
dalam pembacaan fenomenologisnya menyebut der Wille zur Macht sebagai “metafisika
tertinggi dari subjekitas,” karena gagasan ini menyusun realitas sebagai
kehendak yang aktif, bukan hanya sebagai objek pasif dari rasio.³ Dalam
pengertian ini, Nietzsche merevolusi metafisika menjadi suatu ontologi kekuatan
— bukan esensi, tetapi proses; bukan entitas tetap, tetapi intensitas yang
terus mengatasi dirinya sendiri.
5.2.
Dimensi Antropologis: Manusia
sebagai Pengada Nilai
Dimensi antropologis
dari der
Wille zur Macht muncul dalam pandangan Nietzsche mengenai hakikat
manusia sebagai makhluk yang bukan hanya hidup, tetapi juga menciptakan
nilai (Wertsetzer). Bagi Nietzsche,
manusia bukanlah sekadar homo sapiens yang mempertahankan hidup, melainkan
makhluk yang secara esensial digerakkan oleh dorongan untuk menafsirkan,
menilai, dan menstrukturkan ulang realitas.⁴
Dalam Also
sprach Zarathustra, Nietzsche menggambarkan manusia sebagai “tali
yang direntangkan antara binatang dan Übermensch — sebuah tali di atas jurang.”⁵
Metafora ini mengisyaratkan bahwa esensi manusia bukanlah kodrat tetap,
melainkan proses
menjadi, yaitu menjadi sesuatu yang melampaui dirinya. Dan kekuatan
yang mendorong proses ini bukanlah kehendak rasionalitas atau moralitas
eksternal, melainkan kehendak untuk berkuasa yang
bekerja sebagai daya kreatif dalam diri manusia.
Brian Leiter menafsirkan
bahwa Wille
zur Macht dalam ranah antropologis adalah prinsip motivasional yang
menjelaskan mengapa individu bertindak, mencipta, dan berjuang: karena mereka
terdorong oleh dorongan untuk menegaskan nilai diri mereka dalam dunia yang
penuh persaingan.⁶ Nietzsche tidak melihat tindakan manusia sebagai ekspresi
kehendak bebas dalam pengertian moral klasik, tetapi sebagai hasil dari
interaksi kekuatan-kekuatan dalam diri yang berkompetisi dan mendominasi.
5.3.
Konsekuensi Epistemologis dan Moral
Konsepsi ontologis
dan antropologis ini membawa konsekuensi epistemologis: bahwa pengetahuan tidak
pernah netral atau murni obyektif, tetapi selalu merupakan produk dari
interpretasi yang digerakkan oleh kekuatan. Dalam fragmennya, Nietzsche
menyatakan: “Fakta tidak ada, hanya interpretasi.”⁷ Dengan kata lain,
kebenaran bukanlah cerminan pasif realitas, tetapi hasil dari kehendak yang
memaksakan struktur makna pada dunia.
Implikasi moralnya
pun radikal: moralitas tradisional — yang berdasar pada pengendalian hasrat, penyangkalan
diri, dan penghukuman terhadap kekuatan — adalah bentuk dari dekadensi.
Sebaliknya, moralitas baru yang hendak dirumuskan Nietzsche adalah moralitas
yang mengafirmasi kekuatan, kreativitas, dan keberanian untuk menciptakan nilai
baru. Inilah bentuk paling otentik dari der Wille zur Macht dalam dimensi
manusiawi.⁸
Catatan
Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan
Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 21–24.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, ed. Walter Kaufmann
and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §1067.
[3]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. II: The Eternal
Recurrence of the Same, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper
& Row, 1984), 212–215.
[4]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–88.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 129.
[6]
Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (New York:
Routledge, 2015), 113–117.
[7]
Friedrich Nietzsche, Nachgelassene Fragmente 1886–1887, in Nietzsche
Werke: Kritische Gesamtausgabe, ed. Giorgio Colli and Mazzino Montinari
(Berlin: de Gruyter, 1967–), NF 7[60].
[8]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 174–178.
6.
Der
Wille zur Macht dan Konsep Übermensch
Konsep Übermensch
(manusia unggul) merupakan simbol sentral dalam filsafat Friedrich Nietzsche
yang berkaitan erat dengan gagasan der Wille zur Macht (kehendak untuk
berkuasa). Kedua konsep ini saling melengkapi dalam proyek transvaluasi nilai (Umwertung
aller Werte), di mana Nietzsche tidak hanya meruntuhkan moralitas
tradisional, tetapi juga mengajukan figur alternatif manusia yang mampu menciptakan
nilai-nilai baru berdasarkan kekuatan, kreativitas, dan afirmasi kehidupan. Übermensch
bukanlah tujuan biologis atau rasial, tetapi ideal eksistensial yang hanya
dapat terwujud melalui realisasi penuh dari kehendak untuk berkuasa dalam diri
manusia.
6.1.
Übermensch sebagai Figur Ideal
Kehidupan yang Mengatasi
Nietzsche pertama
kali memperkenalkan konsep Übermensch dalam Also
sprach Zarathustra (1883–1885), melalui pernyataan pembuka yang
provokatif: “Aku mengajarkan kepadamu Übermensch. Manusia hanyalah tali yang
direntangkan antara binatang dan Übermensch.”¹ Figur ini bukanlah “manusia
sempurna” dalam pengertian moral atau religius, melainkan simbol transendensi
atas kondisi manusia konvensional yang terikat oleh nilai-nilai dekaden dan
pasif.
Übermensch
adalah makhluk pencipta nilai — ia tidak tunduk pada hukum eksternal, melainkan
menetapkan nilai bagi dirinya sendiri, berdasarkan kekuatan vitalnya.² Dalam
kerangka ini, kehendak untuk berkuasa adalah daya
kreatif yang mendorong manusia untuk melampaui kondisi lama dan membentuk
dirinya secara otonom. Nietzsche menyebut proses ini sebagai “menjadi apa
yang kau adalah” (werde, der du bist), yakni
aktualisasi potensi melalui transformasi nilai dan keberanian untuk hidup
secara afirmatif.³
6.2.
Relasi Struktural antara Der
Wille zur Macht dan Übermensch
Der
Wille zur Macht dapat dipahami sebagai prinsip ontologis dan
psikologis yang bekerja dalam individu, sementara Übermensch adalah bentuk aktual
tertinggi dari prinsip tersebut dalam eksistensi manusia. Dengan kata lain, Übermensch
adalah manifestasi paling murni dari kehendak untuk berkuasa — bukan
dalam arti dominasi atas yang lain, melainkan dalam bentuk kekuatan untuk
menciptakan, melampaui, dan menegaskan kehidupan tanpa sandaran pada
nilai-nilai transenden.
Gilles Deleuze
menegaskan bahwa Übermensch adalah “produk dari
kehendak untuk berkuasa yang murni”, yaitu kehendak yang telah melepaskan
diri dari moralitas ressentiment dan telah menjadi afirmasi mutlak terhadap
kehidupan.⁴ Dalam hal ini, kehendak untuk berkuasa bertindak
sebagai kondisi yang memungkinkan munculnya Übermensch. Manusia yang masih
terikat oleh nilai-nilai lama — oleh rasa bersalah, takut, dan penyangkalan
terhadap kehidupan — tidak akan pernah mencapai figur Übermensch
karena masih terjebak dalam bentuk kehendak yang reaktif.
6.3.
Übermensch, Nihilisme, dan
Transvaluasi Nilai
Dalam pemikiran
Nietzsche, kemunculan Übermensch berkaitan erat dengan
respons terhadap krisis nihilisme yang ditandai oleh matinya Tuhan (Gott ist
tot) dan keruntuhan nilai-nilai absolut. Nihilisme adalah kesadaran
akan tiadanya dasar objektif bagi nilai, yang dapat menjerumuskan manusia ke
dalam ketiadaan atau membuka kemungkinan untuk menciptakan nilai baru.⁵ Di
sinilah kehendak
untuk berkuasa memainkan peran kunci: sebagai kekuatan penciptaan
makna dalam kekosongan nilai lama.
Übermensch
adalah sosok yang tidak takut terhadap kehampaan nilai, tetapi justru
menggunakannya sebagai panggung untuk penciptaan nilai-nilai baru yang berpihak
pada kehidupan. Dengan demikian, ia adalah antitesis dari manusia reaktif,
manusia kerdil (der letzte Mensch), yang hanya
mengejar kenyamanan, keamanan, dan kesetaraan tanpa keberanian untuk hidup
secara tragis dan heroik.⁶
6.4.
Relevansi Etis dan Eksistensial
Nietzsche tidak memaksudkan
Übermensch
sebagai dogma etis, melainkan sebagai tantangan eksistensial bagi setiap
individu. Dalam dunia tanpa nilai absolut, manusia harus menjadi penggubah
nilai bagi dirinya sendiri. Dalam konteks ini, kehendak untuk berkuasa bukan lagi
dorongan destruktif atau agresif, melainkan prinsip emansipatoris dan kreatif
yang mendasari keberanian eksistensial untuk hidup secara autentik dan
bertanggung jawab atas makna hidup yang diciptakan sendiri.
Seperti dijelaskan
oleh Walter Kaufmann, Nietzsche menyerukan agar manusia menjadi “seniman
kehidupan”, yaitu mereka yang menjadikan kehidupannya sebagai karya seni,
bukan dengan meniru norma-norma moral eksternal, melainkan melalui penciptaan
bentuk kehidupan baru yang jujur, kuat, dan bebas.⁷
Catatan Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 124.
[2]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §260.
[3]
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New
York: Vintage Books, 1967), 68–70.
[4]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 90–93.
[5]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. IV: Nihilism,
trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: Harper & Row, 1982), 184–190.
[6]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 129–130.
[7]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 205–210.
7.
Interpretasi
dan Kritik terhadap Gagasan Nietzsche
Gagasan der
Wille zur Macht dalam filsafat Friedrich Nietzsche telah memicu
gelombang interpretasi yang luas dan beragam dalam sejarah pemikiran modern.
Konsep ini tidak hanya menjadi pusat perdebatan dalam filsafat kontinental,
tetapi juga melahirkan kontroversi dalam ranah politik, etika, dan psikologi.
Di satu sisi, gagasan ini ditafsirkan sebagai fondasi baru bagi pemikiran
post-metafisis; di sisi lain, ia dituduh sebagai pembenaran ideologi kekuasaan
dan dominasi. Oleh karena itu, kajian terhadap kehendak untuk berkuasa memerlukan
pendekatan hermeneutik yang hati-hati, yang mempertimbangkan konteks, gaya,
serta ketidaktertutupan sistematis dalam filsafat Nietzsche.
7.1.
Tafsir Heidegger: Kehendak sebagai
Metafisika Akhir
Salah satu pembaca
paling berpengaruh terhadap gagasan der Wille zur Macht adalah Martin
Heidegger, yang menyebut konsep tersebut sebagai “metafisika kehendak”
dan melihatnya sebagai puncak dari sejarah metafisika Barat.¹ Heidegger
menafsirkan Nietzsche bukan sebagai anti-metafisik, melainkan sebagai penutup
metafisika yang terakhir, karena ia tetap berpikir dalam kerangka subjek dan
kehendak, meskipun dalam bentuk yang radikal.²
Menurut Heidegger, kehendak
untuk berkuasa adalah ekspresi tertinggi dari kehendak subjektif yang
ingin menundukkan segala sesuatu dalam horizon representasi dan kontrol. Dalam
hal ini, Nietzsche dianggap gagal melepaskan diri sepenuhnya dari paradigma
metafisika subjek yang justru ia kritik.³ Namun, tafsir ini juga dipersoalkan
oleh banyak sarjana yang menilai bahwa Heidegger terlalu menekankan kontinuitas
dengan metafisika lama, dan mengabaikan aspek performatif, eksistensial, dan
estetis dari pemikiran Nietzsche.
7.2.
Tafsir Deleuze: Kehendak sebagai
Diferensiasi dan Afirmasi
Berbeda dari
Heidegger, Gilles Deleuze memberikan interpretasi yang lebih positif terhadap kehendak
untuk berkuasa, dengan menekankan sifat afirmatif dan diferensial
dari konsep tersebut.⁴ Dalam Nietzsche and Philosophy, Deleuze
menolak pembacaan yang mengasosiasikan Wille zur Macht dengan kehendak
untuk menindas, dan justru menekankan bahwa konsep ini adalah kekuatan untuk
menciptakan perbedaan, untuk mengafirmasi hidup tanpa mengandalkan nilai-nilai
transenden.⁵
Menurut Deleuze,
kehendak untuk berkuasa adalah prinsip dinamis yang menolak totalitas, menolak
sistem, dan membuka ruang bagi pluralitas makna. Nietzsche, bagi Deleuze,
adalah filsuf kehidupan dan afirmasi, bukan kehendak untuk dominasi, tetapi
kehendak untuk menjadi — untuk membuka kemungkinan baru dalam eksistensi.⁶
7.3.
Tafsir Foucault: Kekuasaan sebagai
Relasi Sosial dan Diskursif
Michel Foucault juga
dipengaruhi oleh gagasan kehendak untuk berkuasa, khususnya
dalam analisisnya tentang kekuasaan sebagai jaringan relasi dan praktik
diskursif. Dalam wawancaranya, Foucault mengakui bahwa Nietzsche membantunya
melihat kekuasaan bukan sebagai entitas yang dimiliki, tetapi sebagai dinamika
yang beredar dan diproduksi dalam hubungan sosial.⁷ Dengan demikian, Nietzsche
membukakan jalan bagi kritik terhadap lembaga-lembaga pengetahuan dan moral
sebagai bentuk teknologi kekuasaan.
Namun, Foucault
tidak mengadopsi Wille zur Macht secara ontologis
seperti Heidegger, melainkan menjadikannya sebagai inspirasi metodologis untuk
analisis genealogis — untuk menelusuri bagaimana nilai dan kebenaran
dikonstruksi dalam sejarah.⁸ Dalam hal ini, Nietzsche membuka medan bagi “sejarah
nilai” yang tidak berlandaskan pada esensi tetap, melainkan pada
kontingensi dan konflik.
7.4.
Kritik Humanis dan Moral
Gagasan kehendak
untuk berkuasa juga mendapat kritik tajam dari para filsuf humanis
dan moralis yang menilai bahwa konsep ini membuka ruang bagi justifikasi
kekerasan, elitisime, dan ketidaksetaraan. Karl Jaspers, misalnya, mengakui
kedalaman eksistensial Nietzsche tetapi mengkritik kegagalan filsafatnya dalam
membangun komunikasi antar-subjek yang etis.⁹ Nietzsche dianggap terlalu
menekankan individualitas radikal hingga mengabaikan dimensi relasional dalam
eksistensi manusia.
Lebih jauh, dalam
sejarah intelektual abad ke-20, sebagian kalangan — terutama selama era Nazi —
menyalahgunakan gagasan Übermensch dan Wille
zur Macht sebagai pembenaran supremasi rasial dan dominasi
politik.¹⁰ Walaupun pemikiran tersebut sangat bertentangan dengan maksud
filosofis Nietzsche yang sejati, penggunaan politis ini menyebabkan distorsi
besar terhadap citra Nietzsche selama beberapa dekade. Penelitian filologis
modern telah menunjukkan bahwa banyak penyimpangan ini berasal dari manipulasi
teks oleh Elisabeth Förster-Nietzsche, adik Nietzsche yang bersimpati terhadap
ideologi nasionalis.¹¹
7.5.
Posisi Kritis dan Konstruktif
Penilaian terhadap der
Wille zur Macht tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas gaya dan
tujuan filosofis Nietzsche yang tidak sistematik dan penuh ironi. Oleh karena
itu, tafsir literal atas konsep ini berpotensi mereduksi kedalaman maknanya.
Seperti ditegaskan oleh Richard Schacht, memahami Nietzsche membutuhkan
pembacaan yang kontekstual, historis, dan terbuka terhadap ambiguitas produktif
dalam tulisannya.¹² Wille zur Macht adalah medan
interpretasi, bukan dogma tertutup; dan kekuatannya terletak justru pada
kemampuannya untuk menantang, memprovokasi, dan menggugah refleksi atas
dasar-dasar nilai yang kita anggap pasti.
Catatan
Kaki
[1]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. III: The Will to Power
as Knowledge, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row,
1987), 7–12.
[2]
Ibid., 19–22.
[3]
Ibid., 110–114.
[4]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh
Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–95.
[5]
Ibid., 101–103.
[6]
Ibid., 88–90.
[7]
Michel Foucault, “Truth and Power,” in Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 109–133.
[8]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28.
[9]
Karl Jaspers, Nietzsche: Einführung in das Verständnis seines
Philosophierens (Berlin: Walter de Gruyter, 1947), 311–314.
[10]
Steven E. Aschheim, The Nietzsche Legacy in Germany, 1890–1990
(Berkeley: University of California Press, 1992), 88–90.
[11]
Mazzino Montinari, “Nietzsche’s Nachlass and the History of the Will to
Power,” in New Nietzsche Studies 1, no. 1/2 (1996): 1–15.
[12]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 9–14.
8.
Relevansi
Konsep Kehendak untuk Berkuasa dalam Konteks Modern
Dalam dunia
kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas sosial, fragmentasi nilai, dan
dinamika kekuasaan global, konsep der Wille zur Macht (kehendak untuk
berkuasa) yang diperkenalkan Friedrich Nietzsche tetap memiliki daya resonansi
yang tinggi. Gagasan ini tidak lagi dipahami semata dalam kerangka ontologis
atau etis individual, tetapi juga sebagai lensa kritis untuk membaca berbagai
gejala sosial dan budaya, seperti politik kekuasaan, produksi wacana, dominasi
teknologi, hingga konstruksi identitas pribadi dalam masyarakat konsumtif.
Nietzsche, yang menulis dalam konteks krisis nilai modern akhir abad ke-19,
tampaknya telah menangkap pola-pola dasar yang kini menjadi ciri dunia
pascamodern abad ke-21.
8.1.
Kehendak untuk Berkuasa dan Politik
Kekuasaan
Dalam ranah politik,
kehendak
untuk berkuasa dapat dibaca sebagai prinsip yang menyingkap
dinamika kekuasaan tidak sebagai struktur tetap atau hierarki legal-formal,
tetapi sebagai proses perebutan dominasi, pengaruh, dan legitimasi yang
berlangsung secara terus-menerus. Nietzsche membongkar mitos moral dalam
politik, dan menunjukkan bahwa di balik klaim universalitas atau keadilan,
sering kali tersembunyi kehendak untuk menafsirkan, menguasai, dan membentuk
dunia sesuai kepentingan aktor-aktor tertentu.¹
Interpretasi ini
menemukan ekspresinya dalam teori politik kontemporer, terutama dalam karya
Michel Foucault, yang melihat kekuasaan sebagai jaringan hubungan yang bersifat
produktif sekaligus represif.² Dalam kerangka tersebut, Wille
zur Macht bukanlah kehendak untuk menindas semata, tetapi juga
kekuatan kreatif yang menghasilkan norma, identitas, dan struktur sosial.
Gagasan ini memberi sumbangan penting dalam memahami transformasi kekuasaan di
era neoliberalisme dan kapitalisme global, di mana kontrol tidak lagi hanya
bersifat koersif, tetapi juga normatif dan kultural.
8.2.
Etika dan Otonomi Individu di Era
Nihilisme
Di tengah krisis
otoritas moral dan disintegrasi nilai-nilai tradisional, gagasan Nietzsche
tentang kehendak
untuk berkuasa menghadirkan tantangan sekaligus tawaran etis. Dalam
masyarakat yang semakin tergantung pada standar eksternal — baik berupa opini
publik, media sosial, atau sistem penilaian digital — individu dituntut untuk
mengembangkan daya otonomi, keaslian, dan keberanian untuk menilai sendiri.
Nietzsche menyerukan
agar manusia menjadi “penggubah nilai,” bukan sekadar pengikut norma.³ Dalam
konteks ini, Wille zur Macht dapat dibaca
sebagai prinsip pembebasan dari keterikatan pasif terhadap nilai-nilai massal
dan komersial. Filsafat ini menantang manusia modern untuk hidup secara
afirmatif — tidak larut dalam sikap sinis atau nihilistik, melainkan
menciptakan makna secara aktif dalam kehidupan yang tanpa landasan metafisis
tetap.
Sebagaimana dicatat
oleh Charles Taylor, tantangan utama modernitas bukanlah ketiadaan nilai,
melainkan pluralitas nilai yang menuntut kejelasan identitas dan kehendak untuk
berdiri atas dasar sendiri.⁴ Nietzsche, dalam hal ini, menjadi sumber penting
untuk mengembangkan etika eksistensial yang otonom dan anti-konformis.
8.3.
Teknologi, Media, dan Kehendak
Digital untuk Berkuasa
Dalam konteks
teknologi digital, kehendak untuk berkuasa menemukan
bentuk barunya dalam algoritma, pengumpulan data besar-besaran (big data),
dan kontrol informasi. Perusahaan-perusahaan teknologi global, seperti Google
dan Meta, tidak hanya menyediakan layanan, tetapi juga membentuk keinginan,
persepsi, dan perilaku jutaan manusia melalui arsitektur pilihan yang
tersembunyi.⁵
Gagasan Nietzsche
tentang Wille
zur Macht memungkinkan pembacaan kritis terhadap cara-cara
kekuasaan beroperasi dalam domain yang tampak netral, bahkan nyaman. Dalam era
informasi, kekuasaan bukan lagi milik institusi represif, tetapi
didistribusikan dalam bentuk soft power, persuasi, dan pengaruh
yang bekerja melalui preferensi dan konsumsi. Di sini, Nietzsche memberi kita
perangkat hermeneutik untuk membaca teknologi bukan hanya sebagai alat, tetapi
sebagai medan kehendak — kehendak untuk mengatur kehidupan, bukan atas dasar
rasio, tetapi atas dasar kehendak yang menghendaki kekuasaan.
8.4.
Psikologi Diri dan Budaya Kompetisi
Dalam ranah
psikologi populer dan budaya kerja modern, Wille zur Macht juga muncul sebagai
metafora untuk ambisi, pengembangan diri (self-optimization), dan pencapaian
pribadi. Meskipun dalam banyak kasus gagasan ini direduksi menjadi retorika
motivasional yang dangkal, gagasan Nietzsche sejatinya lebih menekankan pada
transformasi diri sebagai proses yang penuh perjuangan, kesendirian, dan
keberanian untuk melampaui batas-batas yang ada.
Nietzsche tidak
mengidealkan kesuksesan eksternal, tetapi kekuatan batin untuk mengatakan “ya”
terhadap hidup, bahkan terhadap penderitaan dan absurditasnya.⁶ Dalam
masyarakat kompetitif, di mana harga diri sering diukur dari pencapaian
material atau validasi eksternal, Nietzsche mengingatkan bahwa keberanian untuk
menjadi diri sendiri — bukan menjadi seperti yang diharapkan orang lain —
adalah bentuk tertinggi dari kehendak untuk berkuasa.
Catatan
Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1989), Essay I, §13.
[2]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–28.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann
(New York: Penguin Books, 1978), 137–139.
[4]
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1992), 1–12.
[5]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 19–21.
[6]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), §341 (“The Greatest Weight”).
9.
Penutup
Konsep der Wille zur Macht (kehendak untuk
berkuasa) merupakan sumbangan fundamental Friedrich Nietzsche terhadap filsafat
modern dan kontemporer, baik sebagai kritik terhadap metafisika tradisional
maupun sebagai tawaran untuk menata kembali horizon nilai manusia dalam dunia
yang kehilangan landasan transendennya. Melalui konsep ini, Nietzsche
membongkar asumsi-asumsi dasar mengenai realitas, moralitas, dan subjek manusia
yang selama berabad-abad dibentuk oleh warisan filsafat Plato, etika Kristen,
dan rasionalisme modern.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian
sebelumnya, kehendak untuk berkuasa tidak boleh direduksi hanya pada
hasrat untuk menindas atau mendominasi, sebagaimana sering kali disalahpahami
dalam diskursus awam maupun ideologis. Sebaliknya, ia adalah prinsip ontologis,
psikologis, dan aksiologis yang menandai kehidupan sebagai proses kreatif,
dinamis, dan interpretatif.¹ Nietzsche melihat dunia sebagai medan kekuatan
yang terus berubah, dan manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk
menjadi pencipta nilai — bukan penerima pasif dari norma eksternal.²
Kaitannya dengan konsep Übermensch
memperlihatkan bahwa Wille zur Macht tidak berhenti pada analisis
realitas, tetapi juga mengarah pada transformasi eksistensial. Manusia unggul
Nietzsche adalah mereka yang mampu menanggung krisis nihilisme, menafsirkan
kembali penderitaan, dan mengafirmasi kehidupan tanpa ilusi metafisis.³ Proyek Umwertung
aller Werte menjadi mungkin hanya jika individu bersedia menegaskan
kehidupannya secara radikal — yakni hidup tanpa jaminan objektif dari kebenaran
abadi atau nilai universal.
Dalam lanskap pemikiran modern, Nietzsche membuka
cakrawala baru dalam pemahaman tentang kekuasaan, nilai, dan subjektivitas.
Tafsir Martin Heidegger menjadikan Wille zur Macht sebagai penutup
metafisika Barat; Gilles Deleuze mengartikulasikannya sebagai kekuatan
afirmatif dalam menjadi; sementara Michel Foucault menggunakannya sebagai
kerangka metodologis untuk mengkritisi operasi kekuasaan dalam masyarakat.⁴
Ketiganya menunjukkan bagaimana Nietzsche melampaui zamannya dan tetap relevan
dalam menjelaskan struktur dasar pengalaman manusia.
Di tengah masyarakat kontemporer yang terus
bergulat dengan krisis identitas, pluralisme nilai, dan kekuasaan yang semakin
tak terlihat namun mendalam (seperti dalam teknologi dan algoritma), Nietzsche
menyodorkan kerangka filsafat yang menantang tetapi membebaskan. Ia menolak
kepasrahan terhadap nihilisme dan menawarkan alternatif melalui kehendak
untuk berkuasa sebagai prinsip vitalistik, kreatif, dan reflektif.
Penutup ini tidak bermaksud menutup perdebatan atas
Nietzsche — karena memang, seperti gaya tulisannya yang aforistik dan
fragmentaris, pemikirannya tidak dirancang untuk menjadi sistem tertutup.
Nietzsche lebih menyerupai mercusuar yang menyalakan bara perenungan di tengah
lautan ketidakpastian nilai. Membaca der Wille zur Macht berarti
menerima tantangan untuk berpikir lebih jauh, lebih dalam, dan lebih jujur
tentang diri, dunia, dan makna kehidupan yang terus berubah.
Catatan
Kaki
[1]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist,
Antichrist, 4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 178–183.
[2]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §259–260.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 136–141.
[4]
Martin Heidegger, Nietzsche, vol. III: The
Will to Power as Knowledge, trans. David Farrell Krell (San Francisco:
Harper & Row, 1987); Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy,
trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983); Michel
Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977,
ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980).
Daftar Pustaka
Aschheim, S. E. (1992). The
Nietzsche legacy in Germany, 1890–1990. University of California Press.
Deleuze, G. (1983). Nietzsche
and philosophy (H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press.
(Original work published 1962)
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon Books.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1975)
Heidegger, M. (1982). Nietzsche:
Vol. IV: Nihilism (F. A. Capuzzi, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1984). Nietzsche:
Vol. II: The eternal recurrence of the same (D. F. Krell, Trans.). Harper
& Row.
Heidegger, M. (1987). Nietzsche:
Vol. III: The will to power as knowledge (D. F. Krell, Trans.). Harper
& Row.
Jaspers, K. (1947). Nietzsche:
Einführung in das Verständnis seines Philosophierens. Walter de Gruyter.
Kaufmann, W. (1967). Ecce
homo. Vintage Books.
Kaufmann, W. (1974). Nietzsche:
Philosopher, psychologist, antichrist (4th ed.). Princeton University
Press.
Leiter, B. (2015). Nietzsche
on morality (2nd ed.). Routledge.
Montinari, M. (1996).
Nietzsche’s Nachlass and the history of The Will to Power. New
Nietzsche Studies, 1(1/2), 1–15.
Nietzsche, F. (1966). Beyond
good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published
1886)
Nietzsche, F. (1967). The
birth of tragedy (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work
published 1872)
Nietzsche, F. (1968). The
will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Eds. & Trans.).
Vintage Books.
Nietzsche, F. (1974). The
gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published
1882)
Nietzsche, F. (1978). Thus
spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books. (Original work
published 1883–1885)
Nietzsche, F. (1989). On
the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.).
Vintage Books. (Original work published 1887)
Nietzsche, F. (1998). Twilight
of the idols (D. Large, Trans.). Oxford University Press. (Original work
published 1889)
Safranski, R. (2002). Nietzsche:
A philosophical biography (S. Frisch, Trans.). W. W. Norton.
Schacht, R. (1983). Nietzsche.
Routledge.
Schopenhauer, A. (1969). The
world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover
Publications. (Original work published 1818)
Taylor, C. (1992). The
ethics of authenticity. Harvard University Press.
Young, J. (2010). Nietzsche:
A philosophical biography. Cambridge University Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar