Sabtu, 24 Mei 2025

Der Wille zur Macht: Kehendak untuk Berkuasa dalam Filsafat Friedrich Nietzsche

Der Wille zur Macht

Kehendak untuk Berkuasa dalam Filsafat Friedrich Nietzsche


Alihkan ke: Pemikiran Friedrich Nietzsche.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) dalam filsafat Friedrich Nietzsche sebagai inti dari sistem pemikirannya yang bersifat non-dogmatis dan transgresif. Melalui pendekatan analitis dan interpretatif terhadap teks-teks utama Nietzsche, artikel ini menelusuri asal-usul, pengembangan, serta dimensi ontologis dan antropologis dari konsep tersebut. Wille zur Macht tidak dipahami semata-mata sebagai hasrat dominasi, melainkan sebagai prinsip vitalistik dan kreatif yang menandai struktur realitas serta dorongan eksistensial manusia untuk mencipta nilai. Artikel ini juga mengeksplorasi relasi antara kehendak untuk berkuasa dan figur Übermensch, serta mengkaji ragam interpretasi dari para filsuf seperti Martin Heidegger, Gilles Deleuze, dan Michel Foucault. Di bagian akhir, dibahas pula relevansi gagasan ini dalam konteks kontemporer, termasuk dalam kritik terhadap kekuasaan, etika otonomi, teknologi digital, serta krisis nilai di era modern. Keseluruhan pembahasan ini menunjukkan bahwa konsep der Wille zur Macht tetap aktual sebagai kerangka filsafat yang menantang, menggugah, dan menawarkan kemungkinan baru dalam menafsirkan kehidupan manusia secara reflektif dan afirmatif.

Kata Kunci: Nietzsche; kehendak untuk berkuasa; Wille zur Macht; Übermensch; nihilisme; ontologi kekuasaan; transvaluasi nilai; filsafat modern; filsafat eksistensial; interpretasi filsafat.


PEMBAHASAN

Menelusuri Konsep Kehendak untuk Berkuasa dalam Filsafat Friedrich Nietzsche


1.           Pendahuluan

Filsafat Friedrich Nietzsche (1844–1900) merupakan salah satu puncak pencapaian intelektual dalam sejarah pemikiran modern, yang menandai pergeseran radikal dari sistem metafisika dan etika Barat tradisional menuju suatu pendekatan baru yang menekankan dinamika kehidupan, nilai, dan kekuasaan. Salah satu konsep paling khas dan sentral dalam filsafatnya adalah “kehendak untuk berkuasa” (der Wille zur Macht), suatu gagasan yang mengandung dimensi metafisis, eksistensial, dan ontologis, sekaligus mencerminkan proyek Nietzsche untuk melakukan Umwertung aller Werte (penilaian ulang terhadap semua nilai). Nietzsche mengembangkan ide ini bukan hanya sebagai teori kekuasaan sosial atau politis, tetapi sebagai prinsip fundamental yang menggerakkan segala bentuk kehidupan dan realitas.

Konsep der Wille zur Macht muncul dalam konteks sejarah intelektual yang tengah bergejolak di Eropa akhir abad ke-19, sebuah masa ketika kepercayaan terhadap Tuhan, moralitas tradisional, dan struktur rasionalitas filosofis mulai digugat oleh krisis nilai dan munculnya pemikiran post-metafisik. Dalam Die fröhliche Wissenschaft (The Gay Science), Nietzsche menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” (Gott ist tot), bukan sebagai klaim ateistik biasa, melainkan sebagai metafora atas keruntuhan otoritas nilai-nilai absolut yang mendasari kebudayaan Barat selama berabad-abad.¹ Dalam kerangka ini, kehendak untuk berkuasa menjadi konsep pengganti metafisika lama, yaitu sebagai prinsip vitalistik yang menegaskan kehidupan sebagai perjuangan kreatif dan afirmatif terhadap kondisi keberadaan.

Nietzsche sendiri tidak pernah secara sistematis menerbitkan karya dengan judul Der Wille zur Macht selama hidupnya. Gagasan tersebut tersebar dalam berbagai aforisme dan naskah-naskah catatannya, dan kemudian dikompilasi secara posthumus oleh adiknya, Elisabeth Förster-Nietzsche, dan Heinrich Köselitz (Peter Gast), dalam bentuk yang banyak menuai kontroversi karena dugaan intervensi dan penyuntingan yang bias.² Meskipun demikian, para pemikir seperti Martin Heidegger, Gilles Deleuze, dan Michel Foucault tetap memandang kehendak untuk berkuasa sebagai inti pemikiran Nietzsche yang memungkinkan reinterpretasi radikal atas subjek, kekuasaan, dan sejarah.³

Tujuan utama artikel ini adalah untuk menelusuri akar, pengembangan, dan implikasi filosofis dari konsep der Wille zur Macht dalam karya-karya Nietzsche yang otentik, serta melihat relevansinya dalam wacana kontemporer. Pembahasan ini tidak hanya penting bagi pemahaman atas proyek filsafat Nietzsche secara menyeluruh, tetapi juga sebagai refleksi terhadap kondisi manusia modern yang terus berhadapan dengan krisis nilai, dominasi struktur kekuasaan, dan pencarian makna dalam dunia yang semakin terfragmentasi.


Catatan Kaki

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181.

[2]                Mazzino Montinari dan Giorgio Colli, Nietzsche Werke: Kritische Gesamtausgabe, hrsg. von Giorgio Colli und Mazzino Montinari (Berlin: de Gruyter, 1967–), menjelaskan distorsi edisi The Will to Power yang disusun Elisabeth Förster-Nietzsche. Lihat pula Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 252–255.

[3]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. I: The Will to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979); Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983); Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980).


2.           Landasan Filsafat Nietzsche

Filsafat Friedrich Nietzsche tidak lahir dalam kevakuman, melainkan dalam dialog yang kritis terhadap warisan metafisika Barat, khususnya yang diwariskan oleh Plato, Kristen, dan sistem moral konvensional. Sebagai seorang filolog klasik yang kemudian menjadi filsuf radikal, Nietzsche secara konsisten berupaya membongkar fondasi-fondasi nilai yang telah mapan dan menggantikannya dengan perspektif baru yang menekankan kehidupan, kekuatan, dan afirmasi eksistensial.

2.1.       Kritik terhadap Metafisika Tradisional

Salah satu elemen paling mendasar dalam pemikiran Nietzsche adalah kritiknya terhadap dualisme metafisis yang diwariskan dari Plato hingga agama Kristen. Menurut Nietzsche, filsafat Barat telah terlalu lama terjebak dalam dikotomi antara dunia inderawi dan dunia ideal, antara tubuh dan roh, antara kenyataan dan kebenaran metafisis.¹ Melalui apa yang ia sebut sebagai nihilisme, Nietzsche menunjukkan bahwa nilai-nilai transenden seperti kebenaran absolut, kebaikan universal, dan keberadaan Tuhan telah kehilangan daya ikatnya dalam kesadaran modern. Nihilisme ini tidak hanya berarti bahwa manusia kehilangan keyakinan terhadap nilai-nilai tersebut, tetapi lebih dalam lagi: bahwa nilai-nilai tersebut tidak memiliki dasar yang kokoh untuk dipertahankan.²

Dalam kerangka inilah Nietzsche menyerukan perlunya Umwertung aller Werte (penilaian ulang terhadap semua nilai), yakni sebuah proyek filsafat untuk membalik nilai-nilai lama dan menggantinya dengan nilai-nilai yang berpihak kepada kehidupan, bukan yang menentangnya.³ Di sinilah letak pentingnya kehendak untuk berkuasa sebagai prinsip baru dalam struktur nilai.

2.2.       Kehidupan sebagai Nilai Tertinggi

Nietzsche memandang kehidupan sebagai satu-satunya realitas yang sejati dan bernilai. Ia menolak etika yang meremehkan kehidupan, seperti asketisme Kristen yang memuliakan penderitaan, penyangkalan diri, dan pengharapan akan dunia lain. Sebaliknya, Nietzsche mengembangkan etika afirmatif yang menekankan penerimaan atas kehidupan dalam seluruh kompleksitasnya, termasuk penderitaan, konflik, dan perubahan.⁴

Bagi Nietzsche, kehidupan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan suatu dinamika yang terus bergolak, penuh dorongan dan intensitas. Ia melihat dalam kehidupan itu sendiri suatu prinsip aktif yang terus mendorong pertumbuhan, dominasi, dan penciptaan nilai. Inilah yang kemudian ia rumuskan sebagai der Wille zur Macht — suatu dorongan fundamental yang tidak semata-mata ingin bertahan hidup (survival), tetapi ingin berkembang, mendominasi, dan mengekspresikan kekuatan.⁵

2.3.       Gaya dan Metode Berpikir Nietzsche

Secara metodologis, Nietzsche menolak sistematika filsafat yang kaku dan dogmatis. Ia lebih memilih gaya penulisan aforistik, metaforis, dan puitik yang mencerminkan intensitas gagasan-gagasannya serta membuka ruang bagi interpretasi.⁶ Dalam karyanya Also sprach Zarathustra, Nietzsche menghadirkan tokoh Zarathustra bukan sebagai nabi dogma baru, tetapi sebagai simbol manusia yang berani merumuskan kembali nilai hidup dan menempuh jalan kebebasan yang radikal.⁷

Nietzsche juga mengembangkan apa yang ia sebut sebagai genealogi, yaitu metode analisis terhadap asal-usul nilai-nilai moral yang selama ini diterima begitu saja oleh masyarakat. Dalam Zur Genealogie der Moral, ia menunjukkan bahwa banyak nilai moral tidak lahir dari semangat luhur, tetapi justru dari dorongan kehendak untuk berkuasa dalam bentuk yang terbalik — yaitu dalam bentuk moralitas budak, yang berasal dari ressentiment terhadap kekuatan dan vitalitas.⁸

2.4.       Menuju Kehendak untuk Berkuasa

Seluruh landasan filsafat Nietzsche, dari kritik metafisika hingga proyek transvaluasi nilai, berpuncak pada konsep der Wille zur Macht sebagai prinsip yang menggerakkan segala kehidupan. Dalam kerangka ini, kekuasaan bukan sekadar kategori politis, melainkan struktur dasar realitas itu sendiri. Dengan demikian, kehendak untuk berkuasa bukanlah kehendak untuk menindas, tetapi kehendak untuk mengada, untuk mencipta, untuk melampaui.⁹


Catatan Kaki

[1]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 20–22.

[2]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. I: The Will to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), 85.

[3]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1989), 20–22.

[4]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 156–158.

[5]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–86.

[6]                Laurence Lampert, Nietzsche’s Teaching: An Interpretation of Thus Spoke Zarathustra (New Haven: Yale University Press, 1986), 8–12.

[7]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 13–15.

[8]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, 25–26.

[9]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, trans. Shelley Frisch (New York: W. W. Norton, 2002), 278–281.


3.           Definisi dan Konseptualisasi Der Wille zur Macht

Konsep der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) merupakan salah satu gagasan paling kontroversial dan multiinterpretatif dalam keseluruhan pemikiran Nietzsche. Gagasan ini bukan hanya menjelaskan dorongan fundamental yang menggerakkan manusia, tetapi juga mencoba merumuskan prinsip ontologis bagi realitas itu sendiri. Nietzsche tidak pernah secara sistematik mendefinisikan der Wille zur Macht dalam bentuk konsep final, tetapi membiarkannya berkembang secara dinamis melalui aforisme, metafora, dan pertentangan dalam karya-karyanya.¹

3.1.       Pengertian Umum dan Arti Terminologis

Secara terminologis, der Wille zur Macht dapat diterjemahkan sebagai “kehendak untuk berkuasa” atau “keinginan untuk berkuasa”. Namun, reduksi literal semacam ini sering kali menyesatkan karena menyederhanakan kompleksitas gagasan Nietzsche. Kehendak untuk berkuasa bukan sekadar dorongan untuk menguasai orang lain secara politis atau militer, melainkan suatu daya eksistensial yang melekat dalam seluruh kehidupan — sebuah dorongan afirmatif untuk berkembang, melampaui, dan menegaskan eksistensi diri.²

Nietzsche memformulasikan der Wille zur Macht sebagai kekuatan pendorong utama dari segala yang hidup, yang tidak sekadar berusaha mempertahankan eksistensi (seperti dalam pemikiran Darwin), tetapi justru menciptakan, mengatasi, dan menstrukturkan ulang realitas melalui aksi dan nilai.³ Sebagaimana ia ungkapkan dalam Nachlass (kumpulan naskah tak diterbitkan), "dunia adalah kekacauan kekuatan dan bentuk-bentuk kehendak untuk berkuasa, tidak lebih dan tidak kurang."⁴

3.2.       Distingsi dengan Kehendak Schopenhauer dan Tradisi Lain

Dalam pengembangannya, Nietzsche secara eksplisit mengkritik Arthur Schopenhauer yang sebelumnya merumuskan dunia sebagai “representasi” dan “kehendak buta”. Menurut Schopenhauer, kehendak adalah sumber penderitaan, karena ia mendorong manusia untuk terus menginginkan sesuatu yang tidak dapat dipuaskan. Nietzsche menolak pesimisme ini. Baginya, kehendak adalah kekuatan produktif dan afirmatif yang tidak perlu ditundukkan, melainkan ditransformasikan menjadi kekuatan penciptaan.⁵ Oleh karena itu, der Wille zur Macht dalam Nietzsche bukan kehendak dalam pengertian pasif atau pesimis, melainkan prinsip aktif dan kreatif yang menegaskan hidup sebagai kekuatan yang selalu bergerak.

Berbeda pula dengan kehendak dalam filsafat Kantian yang diarahkan pada moralitas rasional dan kategoris, kehendak dalam Nietzsche bebas dari struktur etika konvensional. Ia bukan kehendak untuk tunduk pada hukum, melainkan kehendak untuk menciptakan hukum itu sendiri.⁶

3.3.       Dimensi Ontologis, Psikologis, dan Nilai

Gagasan der Wille zur Macht dapat dibaca dalam tiga lapisan utama:

Pertama, secara ontologis, Nietzsche menyatakan bahwa realitas bukan tersusun atas substansi tetap, melainkan dinamika kekuatan. Dalam hal ini, seluruh eksistensi adalah permainan kekuasaan yang saling bertentangan dan saling melampaui.⁷

Kedua, dalam dimensi psikologis, Nietzsche memahami manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh dorongan-dorongan dasar yang bertujuan untuk mengafirmasi dan menegaskan eksistensinya — bukan semata-mata karena alasan bertahan hidup, tetapi untuk mengalami intensitas eksistensi.⁸

Ketiga, secara aksiologis, der Wille zur Macht adalah dasar penilaian baru terhadap moralitas dan nilai. Moralitas tradisional — khususnya moralitas Kristen yang merendahkan kehidupan duniawi — dilihat Nietzsche sebagai bentuk kehendak lemah, yang lahir dari ressentiment.⁹ Sebaliknya, moralitas yang lahir dari kehendak untuk berkuasa adalah moralitas pencipta nilai yang otonom.

3.4.       Ketidaktertuntasan Formulasi dan Kontroversi Pascahumus

Perlu dicatat bahwa Der Wille zur Macht juga merupakan judul dari naskah yang dikompilasi secara pascahumus oleh Elisabeth Förster-Nietzsche dan Peter Gast dari catatan Nietzsche yang belum dipublikasikan. Versi ini menuai kritik keras dari para filolog dan filosof karena dianggap tidak mencerminkan struktur pemikiran Nietzsche secara otentik.⁽¹⁰⁾ Oleh karena itu, banyak sarjana kontemporer lebih mengandalkan pembacaan kehendak untuk berkuasa melalui karya-karya resmi Nietzsche seperti Also sprach Zarathustra, Jenseits von Gut und Böse (Beyond Good and Evil), dan Zur Genealogie der Moral (On the Genealogy of Morals).


Catatan Kaki

[1]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 178.

[2]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–87.

[3]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §13–19.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, ed. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §1067.

[5]                Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, trans. E. F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), vol. I, 312–315; bandingkan dengan Nietzsche, Twilight of the Idols, 49–51.

[6]                Paul-Laurent Assoun, Freud and Nietzsche, trans. Richard L. Collier (London: Continuum, 2006), 34–36.

[7]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. III: The Will to Power as Knowledge, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1987), 9–12.

[8]                Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (New York: Routledge, 2015), 112–115.

[9]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), Essay I, §10–11.

[10]             Mazzino Montinari, “Nietzsche’s Nachlass and the History of the Will to Power,” in New Nietzsche Studies 1, no. 1/2 (1996): 1–15.


4.           Asal-Usul dan Evolusi Gagasan

Konsep der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) tidak muncul secara tiba-tiba dalam karya-karya Friedrich Nietzsche, melainkan berkembang secara bertahap melalui perjalanan intelektualnya yang kompleks. Ide ini berakar dalam pengalamannya sebagai filolog klasik, keterlibatannya dalam kritik budaya modern, serta interaksinya dengan pemikiran-pemikiran besar seperti Schopenhauer, Darwin, dan para moralist Prancis. Der Wille zur Macht merupakan sintesis dari berbagai aspek pemikirannya, yang pada akhirnya menjelma menjadi inti ontologis dan aksiologis dari filsafatnya yang dewasa.

4.1.       Jejak Awal dalam Karya-Karya Awal

Meskipun belum secara eksplisit menyebut istilah Wille zur Macht, benih-benih gagasan ini sudah tampak dalam karya awal Nietzsche seperti Die Geburt der Tragödie (The Birth of Tragedy, 1872). Di sana, Nietzsche menekankan dualitas antara prinsip Apollonian (tatanan, keindahan) dan Dionysian (kekacauan, kekuatan hidup), yang mencerminkan konflik dinamis dalam eksistensi.¹ Dorongan Dionysian inilah yang kelak berkembang menjadi pemahaman eksistensial tentang kekuatan dan kehendak. Nietzsche menggambarkan tragedi Yunani sebagai perwujudan afirmatif atas penderitaan hidup — sebagai bentuk tertinggi ekspresi kekuatan estetik dan metafisis kehidupan.²

4.2.       rtikulasi Eksplisit dalam Karya Matang

Konsep kehendak untuk berkuasa mulai mendapatkan artikulasi yang lebih eksplisit dalam karya-karya Nietzsche pada periode matang, khususnya dalam Also sprach Zarathustra (1883–1885), Jenseits von Gut und Böse (Beyond Good and Evil, 1886), dan Zur Genealogie der Moral (On the Genealogy of Morals, 1887). Dalam Zarathustra, Nietzsche memperkenalkan tokoh Zarathustra sebagai figur profetik yang menyampaikan gagasan tentang Übermensch (manusia unggul) dan kehendak untuk berkuasa sebagai hukum dasar kehidupan.³

Salah satu aforisme penting dalam Beyond Good and Evil menyatakan: “Satu-satunya fakta dasar adalah bahwa hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa.”⁴ Dalam Genealogy of Morals, Nietzsche menyusun analisis genealogis tentang bagaimana moralitas Kristen dan moralitas budak lahir dari kebencian terhadap kekuatan dan kehidupan, serta dari ketidakmampuan untuk mengekspresikan kehendak secara afirmatif.⁵ Di titik inilah der Wille zur Macht tampil sebagai diagnosis dan solusi terhadap krisis nilai modern.

4.3.       Manuskrip Pascahumus: Der Wille zur Macht (1901)

Istilah Der Wille zur Macht juga menjadi nama dari kumpulan aforisme dan fragmen yang diterbitkan secara pascahumus pada tahun 1901 oleh Elisabeth Förster-Nietzsche dan Peter Gast (Heinrich Köselitz). Publikasi ini, meskipun berpengaruh besar dalam penyebaran gagasan Nietzsche di abad ke-20, kemudian menuai kritik karena tidak sesuai dengan intensi asli Nietzsche.⁶ Para editor menyusun dan mengurutkan fragmen-fragmen dari Nachlass (catatan tak diterbitkan) secara arbitrer dan sering kali mengabaikan konteks temporal dan kronologis dari tulisan-tulisan tersebut.

Penelitian filologis oleh Mazzino Montinari dan Giorgio Colli dalam edisi kritis Nietzsche Werke menunjukkan bahwa Nietzsche tidak pernah bermaksud menerbitkan karya berjudul Der Wille zur Macht dalam bentuk sistematis.⁷ Sebaliknya, ia menggunakan istilah tersebut dalam berbagai variasi konseptual sebagai bagian dari eksplorasi filsafat yang terbuka, bukan sistem yang tertutup.

4.4.       Evolusi Gagasan dan Makna Pluralistik

Konsep kehendak untuk berkuasa terus mengalami perkembangan dalam makna dan aplikasi. Pada satu sisi, ia tampil sebagai prinsip ontologis yang menjelaskan struktur realitas sebagai medan kekuatan-kekuatan yang saling bertarung. Pada sisi lain, ia juga menjadi prinsip psikologis dan moral: bagaimana manusia menilai, menafsirkan, dan mencipta dalam rangka mengafirmasi kehidupan.⁸

Seperti dicatat oleh Gilles Deleuze, der Wille zur Macht bukanlah kehendak untuk menguasai orang lain, melainkan kehendak untuk mengintensifkan eksistensi — untuk mencipta bentuk-bentuk baru dari kehidupan.⁹ Oleh karena itu, gagasan ini memiliki dimensi eksistensial yang mendalam dan menjadi fondasi bagi proyek transvaluasi nilai yang ingin menumbuhkan manusia yang bebas, kreatif, dan kuat secara spiritual.


Catatan Kaki

[1]                Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1967), 20–24.

[2]                Julian Young, Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 98–101.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 137–140.

[4]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §13.

[5]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), Essay I, §10–13.

[6]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 254–258.

[7]                Mazzino Montinari, “Nietzsche’s Nachlass and the History of the Will to Power,” in New Nietzsche Studies 1, no. 1/2 (1996): 1–15.

[8]                Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (New York: Routledge, 2015), 105–110.

[9]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–91.


5.           Der Wille zur Macht sebagai Ontologi dan Antropologi

Dalam filsafat Friedrich Nietzsche, der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) tidak hanya merupakan prinsip etis atau psikologis, tetapi juga mengandung dimensi ontologis dan antropologis yang mendalam. Artinya, gagasan ini bukan hanya menjelaskan bagaimana manusia bertindak dan menilai, tetapi juga bagaimana realitas itu sendiri dipahami sebagai struktur kekuatan yang dinamis, serta bagaimana manusia diposisikan sebagai makhluk yang eksistensinya ditentukan oleh dorongan-dorongan kreatif untuk menegaskan kehidupan.

5.1.       Dimensi Ontologis: Dunia sebagai Dinamika Kekuasaan

Nietzsche menawarkan suatu bentuk filsafat realitas yang berbeda dari metafisika klasik. Jika dalam tradisi filsafat Barat realitas sering dipahami sebagai substansi tetap (misalnya dalam metafisika Aristotelian atau rasionalisme Cartesian), maka Nietzsche membalikkan paradigma tersebut. Baginya, dunia bukanlah entitas statis atau sistem hukum yang rasional, melainkan arena kekuatan yang terus bergerak, berkonflik, dan berubah.¹

Dalam catatan tak terbitkan yang kemudian dikompilasi dalam Der Wille zur Macht, Nietzsche menulis bahwa “dunia bukanlah suatu benda, tetapi suatu keberlangsungan kekuatan, suatu permainan kekuatan dan gelombang kekuatan yang tak terhingga.”² Ini menunjukkan bahwa kehendak untuk berkuasa baginya merupakan struktur dasar realitas — bukan sesuatu yang muncul dalam dunia, tetapi dunia itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Dunia dilihat sebagai proses tanpa akhir dari perebutan bentuk, intensitas, dan pengaruh.

Martin Heidegger dalam pembacaan fenomenologisnya menyebut der Wille zur Macht sebagai “metafisika tertinggi dari subjekitas,” karena gagasan ini menyusun realitas sebagai kehendak yang aktif, bukan hanya sebagai objek pasif dari rasio.³ Dalam pengertian ini, Nietzsche merevolusi metafisika menjadi suatu ontologi kekuatan — bukan esensi, tetapi proses; bukan entitas tetap, tetapi intensitas yang terus mengatasi dirinya sendiri.

5.2.       Dimensi Antropologis: Manusia sebagai Pengada Nilai

Dimensi antropologis dari der Wille zur Macht muncul dalam pandangan Nietzsche mengenai hakikat manusia sebagai makhluk yang bukan hanya hidup, tetapi juga menciptakan nilai (Wertsetzer). Bagi Nietzsche, manusia bukanlah sekadar homo sapiens yang mempertahankan hidup, melainkan makhluk yang secara esensial digerakkan oleh dorongan untuk menafsirkan, menilai, dan menstrukturkan ulang realitas.⁴

Dalam Also sprach Zarathustra, Nietzsche menggambarkan manusia sebagai “tali yang direntangkan antara binatang dan Übermensch — sebuah tali di atas jurang.”⁵ Metafora ini mengisyaratkan bahwa esensi manusia bukanlah kodrat tetap, melainkan proses menjadi, yaitu menjadi sesuatu yang melampaui dirinya. Dan kekuatan yang mendorong proses ini bukanlah kehendak rasionalitas atau moralitas eksternal, melainkan kehendak untuk berkuasa yang bekerja sebagai daya kreatif dalam diri manusia.

Brian Leiter menafsirkan bahwa Wille zur Macht dalam ranah antropologis adalah prinsip motivasional yang menjelaskan mengapa individu bertindak, mencipta, dan berjuang: karena mereka terdorong oleh dorongan untuk menegaskan nilai diri mereka dalam dunia yang penuh persaingan.⁶ Nietzsche tidak melihat tindakan manusia sebagai ekspresi kehendak bebas dalam pengertian moral klasik, tetapi sebagai hasil dari interaksi kekuatan-kekuatan dalam diri yang berkompetisi dan mendominasi.

5.3.       Konsekuensi Epistemologis dan Moral

Konsepsi ontologis dan antropologis ini membawa konsekuensi epistemologis: bahwa pengetahuan tidak pernah netral atau murni obyektif, tetapi selalu merupakan produk dari interpretasi yang digerakkan oleh kekuatan. Dalam fragmennya, Nietzsche menyatakan: “Fakta tidak ada, hanya interpretasi.”⁷ Dengan kata lain, kebenaran bukanlah cerminan pasif realitas, tetapi hasil dari kehendak yang memaksakan struktur makna pada dunia.

Implikasi moralnya pun radikal: moralitas tradisional — yang berdasar pada pengendalian hasrat, penyangkalan diri, dan penghukuman terhadap kekuatan — adalah bentuk dari dekadensi. Sebaliknya, moralitas baru yang hendak dirumuskan Nietzsche adalah moralitas yang mengafirmasi kekuatan, kreativitas, dan keberanian untuk menciptakan nilai baru. Inilah bentuk paling otentik dari der Wille zur Macht dalam dimensi manusiawi.⁸


Catatan Kaki

[1]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. Duncan Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 21–24.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, ed. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), §1067.

[3]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. II: The Eternal Recurrence of the Same, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1984), 212–215.

[4]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–88.

[5]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 129.

[6]                Brian Leiter, Nietzsche on Morality, 2nd ed. (New York: Routledge, 2015), 113–117.

[7]                Friedrich Nietzsche, Nachgelassene Fragmente 1886–1887, in Nietzsche Werke: Kritische Gesamtausgabe, ed. Giorgio Colli and Mazzino Montinari (Berlin: de Gruyter, 1967–), NF 7[60].

[8]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 174–178.


6.           Der Wille zur Macht dan Konsep Übermensch

Konsep Übermensch (manusia unggul) merupakan simbol sentral dalam filsafat Friedrich Nietzsche yang berkaitan erat dengan gagasan der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa). Kedua konsep ini saling melengkapi dalam proyek transvaluasi nilai (Umwertung aller Werte), di mana Nietzsche tidak hanya meruntuhkan moralitas tradisional, tetapi juga mengajukan figur alternatif manusia yang mampu menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan kekuatan, kreativitas, dan afirmasi kehidupan. Übermensch bukanlah tujuan biologis atau rasial, tetapi ideal eksistensial yang hanya dapat terwujud melalui realisasi penuh dari kehendak untuk berkuasa dalam diri manusia.

6.1.       Übermensch sebagai Figur Ideal Kehidupan yang Mengatasi

Nietzsche pertama kali memperkenalkan konsep Übermensch dalam Also sprach Zarathustra (1883–1885), melalui pernyataan pembuka yang provokatif: “Aku mengajarkan kepadamu Übermensch. Manusia hanyalah tali yang direntangkan antara binatang dan Übermensch.”¹ Figur ini bukanlah “manusia sempurna” dalam pengertian moral atau religius, melainkan simbol transendensi atas kondisi manusia konvensional yang terikat oleh nilai-nilai dekaden dan pasif.

Übermensch adalah makhluk pencipta nilai — ia tidak tunduk pada hukum eksternal, melainkan menetapkan nilai bagi dirinya sendiri, berdasarkan kekuatan vitalnya.² Dalam kerangka ini, kehendak untuk berkuasa adalah daya kreatif yang mendorong manusia untuk melampaui kondisi lama dan membentuk dirinya secara otonom. Nietzsche menyebut proses ini sebagai “menjadi apa yang kau adalah” (werde, der du bist), yakni aktualisasi potensi melalui transformasi nilai dan keberanian untuk hidup secara afirmatif.³

6.2.       Relasi Struktural antara Der Wille zur Macht dan Übermensch

Der Wille zur Macht dapat dipahami sebagai prinsip ontologis dan psikologis yang bekerja dalam individu, sementara Übermensch adalah bentuk aktual tertinggi dari prinsip tersebut dalam eksistensi manusia. Dengan kata lain, Übermensch adalah manifestasi paling murni dari kehendak untuk berkuasa — bukan dalam arti dominasi atas yang lain, melainkan dalam bentuk kekuatan untuk menciptakan, melampaui, dan menegaskan kehidupan tanpa sandaran pada nilai-nilai transenden.

Gilles Deleuze menegaskan bahwa Übermensch adalah “produk dari kehendak untuk berkuasa yang murni”, yaitu kehendak yang telah melepaskan diri dari moralitas ressentiment dan telah menjadi afirmasi mutlak terhadap kehidupan.⁴ Dalam hal ini, kehendak untuk berkuasa bertindak sebagai kondisi yang memungkinkan munculnya Übermensch. Manusia yang masih terikat oleh nilai-nilai lama — oleh rasa bersalah, takut, dan penyangkalan terhadap kehidupan — tidak akan pernah mencapai figur Übermensch karena masih terjebak dalam bentuk kehendak yang reaktif.

6.3.       Übermensch, Nihilisme, dan Transvaluasi Nilai

Dalam pemikiran Nietzsche, kemunculan Übermensch berkaitan erat dengan respons terhadap krisis nihilisme yang ditandai oleh matinya Tuhan (Gott ist tot) dan keruntuhan nilai-nilai absolut. Nihilisme adalah kesadaran akan tiadanya dasar objektif bagi nilai, yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam ketiadaan atau membuka kemungkinan untuk menciptakan nilai baru.⁵ Di sinilah kehendak untuk berkuasa memainkan peran kunci: sebagai kekuatan penciptaan makna dalam kekosongan nilai lama.

Übermensch adalah sosok yang tidak takut terhadap kehampaan nilai, tetapi justru menggunakannya sebagai panggung untuk penciptaan nilai-nilai baru yang berpihak pada kehidupan. Dengan demikian, ia adalah antitesis dari manusia reaktif, manusia kerdil (der letzte Mensch), yang hanya mengejar kenyamanan, keamanan, dan kesetaraan tanpa keberanian untuk hidup secara tragis dan heroik.⁶

6.4.       Relevansi Etis dan Eksistensial

Nietzsche tidak memaksudkan Übermensch sebagai dogma etis, melainkan sebagai tantangan eksistensial bagi setiap individu. Dalam dunia tanpa nilai absolut, manusia harus menjadi penggubah nilai bagi dirinya sendiri. Dalam konteks ini, kehendak untuk berkuasa bukan lagi dorongan destruktif atau agresif, melainkan prinsip emansipatoris dan kreatif yang mendasari keberanian eksistensial untuk hidup secara autentik dan bertanggung jawab atas makna hidup yang diciptakan sendiri.

Seperti dijelaskan oleh Walter Kaufmann, Nietzsche menyerukan agar manusia menjadi “seniman kehidupan”, yaitu mereka yang menjadikan kehidupannya sebagai karya seni, bukan dengan meniru norma-norma moral eksternal, melainkan melalui penciptaan bentuk kehidupan baru yang jujur, kuat, dan bebas.⁷


Catatan Kaki

[1]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 124.

[2]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §260.

[3]                Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1967), 68–70.

[4]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 90–93.

[5]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. IV: Nihilism, trans. Frank A. Capuzzi (San Francisco: Harper & Row, 1982), 184–190.

[6]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 129–130.

[7]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 205–210.


7.           Interpretasi dan Kritik terhadap Gagasan Nietzsche

Gagasan der Wille zur Macht dalam filsafat Friedrich Nietzsche telah memicu gelombang interpretasi yang luas dan beragam dalam sejarah pemikiran modern. Konsep ini tidak hanya menjadi pusat perdebatan dalam filsafat kontinental, tetapi juga melahirkan kontroversi dalam ranah politik, etika, dan psikologi. Di satu sisi, gagasan ini ditafsirkan sebagai fondasi baru bagi pemikiran post-metafisis; di sisi lain, ia dituduh sebagai pembenaran ideologi kekuasaan dan dominasi. Oleh karena itu, kajian terhadap kehendak untuk berkuasa memerlukan pendekatan hermeneutik yang hati-hati, yang mempertimbangkan konteks, gaya, serta ketidaktertutupan sistematis dalam filsafat Nietzsche.

7.1.       Tafsir Heidegger: Kehendak sebagai Metafisika Akhir

Salah satu pembaca paling berpengaruh terhadap gagasan der Wille zur Macht adalah Martin Heidegger, yang menyebut konsep tersebut sebagai “metafisika kehendak” dan melihatnya sebagai puncak dari sejarah metafisika Barat.¹ Heidegger menafsirkan Nietzsche bukan sebagai anti-metafisik, melainkan sebagai penutup metafisika yang terakhir, karena ia tetap berpikir dalam kerangka subjek dan kehendak, meskipun dalam bentuk yang radikal.²

Menurut Heidegger, kehendak untuk berkuasa adalah ekspresi tertinggi dari kehendak subjektif yang ingin menundukkan segala sesuatu dalam horizon representasi dan kontrol. Dalam hal ini, Nietzsche dianggap gagal melepaskan diri sepenuhnya dari paradigma metafisika subjek yang justru ia kritik.³ Namun, tafsir ini juga dipersoalkan oleh banyak sarjana yang menilai bahwa Heidegger terlalu menekankan kontinuitas dengan metafisika lama, dan mengabaikan aspek performatif, eksistensial, dan estetis dari pemikiran Nietzsche.

7.2.       Tafsir Deleuze: Kehendak sebagai Diferensiasi dan Afirmasi

Berbeda dari Heidegger, Gilles Deleuze memberikan interpretasi yang lebih positif terhadap kehendak untuk berkuasa, dengan menekankan sifat afirmatif dan diferensial dari konsep tersebut.⁴ Dalam Nietzsche and Philosophy, Deleuze menolak pembacaan yang mengasosiasikan Wille zur Macht dengan kehendak untuk menindas, dan justru menekankan bahwa konsep ini adalah kekuatan untuk menciptakan perbedaan, untuk mengafirmasi hidup tanpa mengandalkan nilai-nilai transenden.⁵

Menurut Deleuze, kehendak untuk berkuasa adalah prinsip dinamis yang menolak totalitas, menolak sistem, dan membuka ruang bagi pluralitas makna. Nietzsche, bagi Deleuze, adalah filsuf kehidupan dan afirmasi, bukan kehendak untuk dominasi, tetapi kehendak untuk menjadi — untuk membuka kemungkinan baru dalam eksistensi.⁶

7.3.       Tafsir Foucault: Kekuasaan sebagai Relasi Sosial dan Diskursif

Michel Foucault juga dipengaruhi oleh gagasan kehendak untuk berkuasa, khususnya dalam analisisnya tentang kekuasaan sebagai jaringan relasi dan praktik diskursif. Dalam wawancaranya, Foucault mengakui bahwa Nietzsche membantunya melihat kekuasaan bukan sebagai entitas yang dimiliki, tetapi sebagai dinamika yang beredar dan diproduksi dalam hubungan sosial.⁷ Dengan demikian, Nietzsche membukakan jalan bagi kritik terhadap lembaga-lembaga pengetahuan dan moral sebagai bentuk teknologi kekuasaan.

Namun, Foucault tidak mengadopsi Wille zur Macht secara ontologis seperti Heidegger, melainkan menjadikannya sebagai inspirasi metodologis untuk analisis genealogis — untuk menelusuri bagaimana nilai dan kebenaran dikonstruksi dalam sejarah.⁸ Dalam hal ini, Nietzsche membuka medan bagi “sejarah nilai” yang tidak berlandaskan pada esensi tetap, melainkan pada kontingensi dan konflik.

7.4.       Kritik Humanis dan Moral

Gagasan kehendak untuk berkuasa juga mendapat kritik tajam dari para filsuf humanis dan moralis yang menilai bahwa konsep ini membuka ruang bagi justifikasi kekerasan, elitisime, dan ketidaksetaraan. Karl Jaspers, misalnya, mengakui kedalaman eksistensial Nietzsche tetapi mengkritik kegagalan filsafatnya dalam membangun komunikasi antar-subjek yang etis.⁹ Nietzsche dianggap terlalu menekankan individualitas radikal hingga mengabaikan dimensi relasional dalam eksistensi manusia.

Lebih jauh, dalam sejarah intelektual abad ke-20, sebagian kalangan — terutama selama era Nazi — menyalahgunakan gagasan Übermensch dan Wille zur Macht sebagai pembenaran supremasi rasial dan dominasi politik.¹⁰ Walaupun pemikiran tersebut sangat bertentangan dengan maksud filosofis Nietzsche yang sejati, penggunaan politis ini menyebabkan distorsi besar terhadap citra Nietzsche selama beberapa dekade. Penelitian filologis modern telah menunjukkan bahwa banyak penyimpangan ini berasal dari manipulasi teks oleh Elisabeth Förster-Nietzsche, adik Nietzsche yang bersimpati terhadap ideologi nasionalis.¹¹

7.5.       Posisi Kritis dan Konstruktif

Penilaian terhadap der Wille zur Macht tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas gaya dan tujuan filosofis Nietzsche yang tidak sistematik dan penuh ironi. Oleh karena itu, tafsir literal atas konsep ini berpotensi mereduksi kedalaman maknanya. Seperti ditegaskan oleh Richard Schacht, memahami Nietzsche membutuhkan pembacaan yang kontekstual, historis, dan terbuka terhadap ambiguitas produktif dalam tulisannya.¹² Wille zur Macht adalah medan interpretasi, bukan dogma tertutup; dan kekuatannya terletak justru pada kemampuannya untuk menantang, memprovokasi, dan menggugah refleksi atas dasar-dasar nilai yang kita anggap pasti.


Catatan Kaki

[1]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. III: The Will to Power as Knowledge, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1987), 7–12.

[2]                Ibid., 19–22.

[3]                Ibid., 110–114.

[4]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 85–95.

[5]                Ibid., 101–103.

[6]                Ibid., 88–90.

[7]                Michel Foucault, “Truth and Power,” in Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 109–133.

[8]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28.

[9]                Karl Jaspers, Nietzsche: Einführung in das Verständnis seines Philosophierens (Berlin: Walter de Gruyter, 1947), 311–314.

[10]             Steven E. Aschheim, The Nietzsche Legacy in Germany, 1890–1990 (Berkeley: University of California Press, 1992), 88–90.

[11]             Mazzino Montinari, “Nietzsche’s Nachlass and the History of the Will to Power,” in New Nietzsche Studies 1, no. 1/2 (1996): 1–15.

[12]             Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 9–14.


8.           Relevansi Konsep Kehendak untuk Berkuasa dalam Konteks Modern

Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas sosial, fragmentasi nilai, dan dinamika kekuasaan global, konsep der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) yang diperkenalkan Friedrich Nietzsche tetap memiliki daya resonansi yang tinggi. Gagasan ini tidak lagi dipahami semata dalam kerangka ontologis atau etis individual, tetapi juga sebagai lensa kritis untuk membaca berbagai gejala sosial dan budaya, seperti politik kekuasaan, produksi wacana, dominasi teknologi, hingga konstruksi identitas pribadi dalam masyarakat konsumtif. Nietzsche, yang menulis dalam konteks krisis nilai modern akhir abad ke-19, tampaknya telah menangkap pola-pola dasar yang kini menjadi ciri dunia pascamodern abad ke-21.

8.1.       Kehendak untuk Berkuasa dan Politik Kekuasaan

Dalam ranah politik, kehendak untuk berkuasa dapat dibaca sebagai prinsip yang menyingkap dinamika kekuasaan tidak sebagai struktur tetap atau hierarki legal-formal, tetapi sebagai proses perebutan dominasi, pengaruh, dan legitimasi yang berlangsung secara terus-menerus. Nietzsche membongkar mitos moral dalam politik, dan menunjukkan bahwa di balik klaim universalitas atau keadilan, sering kali tersembunyi kehendak untuk menafsirkan, menguasai, dan membentuk dunia sesuai kepentingan aktor-aktor tertentu.¹

Interpretasi ini menemukan ekspresinya dalam teori politik kontemporer, terutama dalam karya Michel Foucault, yang melihat kekuasaan sebagai jaringan hubungan yang bersifat produktif sekaligus represif.² Dalam kerangka tersebut, Wille zur Macht bukanlah kehendak untuk menindas semata, tetapi juga kekuatan kreatif yang menghasilkan norma, identitas, dan struktur sosial. Gagasan ini memberi sumbangan penting dalam memahami transformasi kekuasaan di era neoliberalisme dan kapitalisme global, di mana kontrol tidak lagi hanya bersifat koersif, tetapi juga normatif dan kultural.

8.2.       Etika dan Otonomi Individu di Era Nihilisme

Di tengah krisis otoritas moral dan disintegrasi nilai-nilai tradisional, gagasan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa menghadirkan tantangan sekaligus tawaran etis. Dalam masyarakat yang semakin tergantung pada standar eksternal — baik berupa opini publik, media sosial, atau sistem penilaian digital — individu dituntut untuk mengembangkan daya otonomi, keaslian, dan keberanian untuk menilai sendiri.

Nietzsche menyerukan agar manusia menjadi “penggubah nilai,” bukan sekadar pengikut norma.³ Dalam konteks ini, Wille zur Macht dapat dibaca sebagai prinsip pembebasan dari keterikatan pasif terhadap nilai-nilai massal dan komersial. Filsafat ini menantang manusia modern untuk hidup secara afirmatif — tidak larut dalam sikap sinis atau nihilistik, melainkan menciptakan makna secara aktif dalam kehidupan yang tanpa landasan metafisis tetap.

Sebagaimana dicatat oleh Charles Taylor, tantangan utama modernitas bukanlah ketiadaan nilai, melainkan pluralitas nilai yang menuntut kejelasan identitas dan kehendak untuk berdiri atas dasar sendiri.⁴ Nietzsche, dalam hal ini, menjadi sumber penting untuk mengembangkan etika eksistensial yang otonom dan anti-konformis.

8.3.       Teknologi, Media, dan Kehendak Digital untuk Berkuasa

Dalam konteks teknologi digital, kehendak untuk berkuasa menemukan bentuk barunya dalam algoritma, pengumpulan data besar-besaran (big data), dan kontrol informasi. Perusahaan-perusahaan teknologi global, seperti Google dan Meta, tidak hanya menyediakan layanan, tetapi juga membentuk keinginan, persepsi, dan perilaku jutaan manusia melalui arsitektur pilihan yang tersembunyi.⁵

Gagasan Nietzsche tentang Wille zur Macht memungkinkan pembacaan kritis terhadap cara-cara kekuasaan beroperasi dalam domain yang tampak netral, bahkan nyaman. Dalam era informasi, kekuasaan bukan lagi milik institusi represif, tetapi didistribusikan dalam bentuk soft power, persuasi, dan pengaruh yang bekerja melalui preferensi dan konsumsi. Di sini, Nietzsche memberi kita perangkat hermeneutik untuk membaca teknologi bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai medan kehendak — kehendak untuk mengatur kehidupan, bukan atas dasar rasio, tetapi atas dasar kehendak yang menghendaki kekuasaan.

8.4.       Psikologi Diri dan Budaya Kompetisi

Dalam ranah psikologi populer dan budaya kerja modern, Wille zur Macht juga muncul sebagai metafora untuk ambisi, pengembangan diri (self-optimization), dan pencapaian pribadi. Meskipun dalam banyak kasus gagasan ini direduksi menjadi retorika motivasional yang dangkal, gagasan Nietzsche sejatinya lebih menekankan pada transformasi diri sebagai proses yang penuh perjuangan, kesendirian, dan keberanian untuk melampaui batas-batas yang ada.

Nietzsche tidak mengidealkan kesuksesan eksternal, tetapi kekuatan batin untuk mengatakan “ya” terhadap hidup, bahkan terhadap penderitaan dan absurditasnya.⁶ Dalam masyarakat kompetitif, di mana harga diri sering diukur dari pencapaian material atau validasi eksternal, Nietzsche mengingatkan bahwa keberanian untuk menjadi diri sendiri — bukan menjadi seperti yang diharapkan orang lain — adalah bentuk tertinggi dari kehendak untuk berkuasa.


Catatan Kaki

[1]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1989), Essay I, §13.

[2]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 26–28.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 137–139.

[4]                Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 1–12.

[5]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 19–21.

[6]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §341 (“The Greatest Weight”).


9.           Penutup

Konsep der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa) merupakan sumbangan fundamental Friedrich Nietzsche terhadap filsafat modern dan kontemporer, baik sebagai kritik terhadap metafisika tradisional maupun sebagai tawaran untuk menata kembali horizon nilai manusia dalam dunia yang kehilangan landasan transendennya. Melalui konsep ini, Nietzsche membongkar asumsi-asumsi dasar mengenai realitas, moralitas, dan subjek manusia yang selama berabad-abad dibentuk oleh warisan filsafat Plato, etika Kristen, dan rasionalisme modern.

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, kehendak untuk berkuasa tidak boleh direduksi hanya pada hasrat untuk menindas atau mendominasi, sebagaimana sering kali disalahpahami dalam diskursus awam maupun ideologis. Sebaliknya, ia adalah prinsip ontologis, psikologis, dan aksiologis yang menandai kehidupan sebagai proses kreatif, dinamis, dan interpretatif.¹ Nietzsche melihat dunia sebagai medan kekuatan yang terus berubah, dan manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menjadi pencipta nilai — bukan penerima pasif dari norma eksternal.²

Kaitannya dengan konsep Übermensch memperlihatkan bahwa Wille zur Macht tidak berhenti pada analisis realitas, tetapi juga mengarah pada transformasi eksistensial. Manusia unggul Nietzsche adalah mereka yang mampu menanggung krisis nihilisme, menafsirkan kembali penderitaan, dan mengafirmasi kehidupan tanpa ilusi metafisis.³ Proyek Umwertung aller Werte menjadi mungkin hanya jika individu bersedia menegaskan kehidupannya secara radikal — yakni hidup tanpa jaminan objektif dari kebenaran abadi atau nilai universal.

Dalam lanskap pemikiran modern, Nietzsche membuka cakrawala baru dalam pemahaman tentang kekuasaan, nilai, dan subjektivitas. Tafsir Martin Heidegger menjadikan Wille zur Macht sebagai penutup metafisika Barat; Gilles Deleuze mengartikulasikannya sebagai kekuatan afirmatif dalam menjadi; sementara Michel Foucault menggunakannya sebagai kerangka metodologis untuk mengkritisi operasi kekuasaan dalam masyarakat.⁴ Ketiganya menunjukkan bagaimana Nietzsche melampaui zamannya dan tetap relevan dalam menjelaskan struktur dasar pengalaman manusia.

Di tengah masyarakat kontemporer yang terus bergulat dengan krisis identitas, pluralisme nilai, dan kekuasaan yang semakin tak terlihat namun mendalam (seperti dalam teknologi dan algoritma), Nietzsche menyodorkan kerangka filsafat yang menantang tetapi membebaskan. Ia menolak kepasrahan terhadap nihilisme dan menawarkan alternatif melalui kehendak untuk berkuasa sebagai prinsip vitalistik, kreatif, dan reflektif.

Penutup ini tidak bermaksud menutup perdebatan atas Nietzsche — karena memang, seperti gaya tulisannya yang aforistik dan fragmentaris, pemikirannya tidak dirancang untuk menjadi sistem tertutup. Nietzsche lebih menyerupai mercusuar yang menyalakan bara perenungan di tengah lautan ketidakpastian nilai. Membaca der Wille zur Macht berarti menerima tantangan untuk berpikir lebih jauh, lebih dalam, dan lebih jujur tentang diri, dunia, dan makna kehidupan yang terus berubah.


Catatan Kaki

[1]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 4th ed. (Princeton: Princeton University Press, 1974), 178–183.

[2]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1966), §259–260.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 136–141.

[4]                Martin Heidegger, Nietzsche, vol. III: The Will to Power as Knowledge, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1987); Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983); Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980).


Daftar Pustaka

Aschheim, S. E. (1992). The Nietzsche legacy in Germany, 1890–1990. University of California Press.

Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy (H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press. (Original work published 1962)

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Heidegger, M. (1982). Nietzsche: Vol. IV: Nihilism (F. A. Capuzzi, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1984). Nietzsche: Vol. II: The eternal recurrence of the same (D. F. Krell, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1987). Nietzsche: Vol. III: The will to power as knowledge (D. F. Krell, Trans.). Harper & Row.

Jaspers, K. (1947). Nietzsche: Einführung in das Verständnis seines Philosophierens. Walter de Gruyter.

Kaufmann, W. (1967). Ecce homo. Vintage Books.

Kaufmann, W. (1974). Nietzsche: Philosopher, psychologist, antichrist (4th ed.). Princeton University Press.

Leiter, B. (2015). Nietzsche on morality (2nd ed.). Routledge.

Montinari, M. (1996). Nietzsche’s Nachlass and the history of The Will to Power. New Nietzsche Studies, 1(1/2), 1–15.

Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1886)

Nietzsche, F. (1967). The birth of tragedy (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1872)

Nietzsche, F. (1968). The will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Eds. & Trans.). Vintage Books.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1882)

Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1883–1885)

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1887)

Nietzsche, F. (1998). Twilight of the idols (D. Large, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1889)

Safranski, R. (2002). Nietzsche: A philosophical biography (S. Frisch, Trans.). W. W. Norton.

Schacht, R. (1983). Nietzsche. Routledge.

Schopenhauer, A. (1969). The world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover Publications. (Original work published 1818)

Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Young, J. (2010). Nietzsche: A philosophical biography. Cambridge University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar