Kamis, 08 Mei 2025

Filsafat Analitik: Akar Historis, Karakter Epistemologis, dan Relevansi Kontemporer

Filsafat Analitik

Akar Historis, Karakter Epistemologis, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang filsafat analitik sebagai salah satu tradisi dominan dalam filsafat Barat kontemporer. Dimulai dari akar historis kemunculannya pada akhir abad ke-19 melalui karya-karya tokoh seperti Frege, Russell, dan Wittgenstein, filsafat analitik dikaji dari segi karakter epistemologisnya yang menekankan kejelasan logis, analisis bahasa, serta struktur argumentatif yang ketat. Artikel ini juga membandingkan pendekatan analitik dengan filsafat kontinental untuk menunjukkan perbedaan gaya, metode, dan tujuan filosofis antara keduanya. Selanjutnya, kontribusi para filsuf analitik utama dibahas dalam kaitannya dengan perkembangan bidang-bidang seperti filsafat bahasa, ilmu, pikiran, serta etika. Di samping mencatat pengaruh luasnya, artikel ini juga mengkaji kritik terhadap reduksionisme bahasa dan keterbatasan metodologis yang melekat dalam tradisi ini. Bagian akhir mengevaluasi relevansi kontemporer filsafat analitik, termasuk keterkaitannya dengan ilmu kognitif, teknologi, serta upaya integratif dalam dialog lintas tradisi. Dengan pendekatan historis-kritis, artikel ini menegaskan bahwa filsafat analitik tetap menjadi instrumen penting dalam merumuskan argumen rasional, menelaah persoalan moral dan ilmiah, serta membangun refleksi filosofis yang kontekstual.

Kata Kunci: Filsafat Analitik, Bahasa, Logika, Filsafat Kontinental, Epistemologi, Frege, Russell, Wittgenstein, Filsafat Bahasa, Filsafat Pikiran, Etika Analitik, Relevansi Filsafat Kontemporer.


PEMBAHASAN

Telaah Filsafat Analitik Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Filsafat analitik adalah salah satu tradisi pemikiran filsafat yang paling berpengaruh di dunia Barat pada abad ke-20 dan awal abad ke-21. Tradisi ini tidak hanya membentuk lanskap filsafat Anglo-Amerika, tetapi juga berkontribusi besar dalam mendefinisikan ulang cara berpikir filosofis, terutama dalam hal klarifikasi makna, logika formal, dan metode analisis bahasa. Kelahiran filsafat analitik terjadi sebagai tanggapan atas kompleksitas dan abstraksi metafisika tradisional yang dianggap terlalu spekulatif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris. Dengan demikian, filsafat analitik lahir dari keinginan untuk menjadikan filsafat setara dengan ilmu pengetahuan dalam hal ketelitian, kejelasan, dan argumentasi yang sistematis1.

Tokoh-tokoh awal seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, G. E. Moore, dan Ludwig Wittgenstein memberikan dasar-dasar metodologis yang kuat bagi filsafat analitik, terutama dengan memperkenalkan logika simbolik dan teori analisis bahasa yang ketat2. Mereka percaya bahwa banyak persoalan filsafat yang tampaknya tidak terselesaikan sebenarnya timbul karena kesalahan dalam penggunaan bahasa. Oleh karena itu, tugas utama filsuf analitik adalah mengurai pernyataan-pernyataan tersebut melalui klarifikasi logis dan linguistik untuk menemukan maknanya yang sebenarnya3.

Pendekatan ini kemudian berkembang lebih lanjut dalam berbagai subdisiplin, termasuk filsafat bahasa, filsafat pikiran, filsafat ilmu, dan bahkan etika, dengan karakteristik umum berupa komitmen terhadap rasionalitas, klarifikasi konsep, dan argumen yang dapat diuji secara logis4. Meskipun beberapa kalangan mengkritik filsafat analitik karena terlalu teknis dan terlepas dari realitas historis maupun budaya, namun warisannya tetap bertahan sebagai salah satu pendekatan dominan dalam filsafat akademik modern, khususnya di dunia berbahasa Inggris5.

Artikel ini bertujuan untuk menelusuri akar historis filsafat analitik, mengidentifikasi karakteristik epistemologis utamanya, serta mengevaluasi relevansinya dalam konteks pemikiran kontemporer. Dengan pendekatan historis-kritis dan pemetaan tokoh serta isu utama, diharapkan pembaca dapat memahami bukan hanya struktur metodologis filsafat analitik, tetapi juga implikasi dan tantangannya dalam wacana filsafat global saat ini.


Footnotes

[1]                Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 2–3.

[2]                Scott Soames, Philosophical Analysis in the Twentieth Century: Volume 1: The Dawn of Analysis (Princeton: Princeton University Press, 2003), 1–5.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), Preface.

[4]                Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 45–50.

[5]                Brian Leiter, "The State of Contemporary Philosophy," in The Future for Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press, 2004), 1–4.


2.           Sejarah Lahirnya Filsafat Analitik

Filsafat analitik muncul sebagai respons terhadap bentuk-bentuk metafisika tradisional yang dinilai terlalu spekulatif dan tidak dapat diverifikasi secara logis. Akar historisnya dapat ditelusuri pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20, saat para pemikir seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan G. E. Moore mulai menggagas pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan filosofis, terutama melalui pembaruan dalam logika, bahasa, dan analisis konseptual. Gerakan ini bertujuan mengubah filsafat menjadi disiplin yang lebih ilmiah, dengan menekankan ketelitian dan kejelasan dalam penyusunan argumen dan definisi1.

Frege, yang dikenal sebagai bapak logika modern, memberikan sumbangan besar dengan karyanya Begriffsschrift (1879), yang memperkenalkan sistem logika simbolik formal. Frege meyakini bahwa banyak kebingungan filosofis dapat diselesaikan melalui klarifikasi logika dari proposisi-proposisi bahasa biasa2. Ia juga merumuskan teori makna dan referensi yang memengaruhi hampir seluruh generasi filsuf analitik setelahnya.

Perkembangan ini dilanjutkan oleh Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead melalui karya mereka yang monumental Principia Mathematica (1910–1913), yang menggabungkan logika formal dengan fondasi matematika. Russell juga memperkenalkan teori deskripsi (theory of descriptions) sebagai solusi terhadap masalah referensi dalam bahasa, suatu sumbangan besar bagi filsafat bahasa3.

Sementara itu, G. E. Moore memberikan arah yang berbeda dengan membela filsafat akal sehat (common sense philosophy) dan menekankan kejelasan dalam analisis konseptual. Kritik Moore terhadap idealisme, terutama dalam esainya “The Refutation of Idealism” (1903), menandai penolakan terhadap filsafat spekulatif Hegelian yang mendominasi Inggris saat itu4.

Lahirnya filsafat analitik juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Tractatus Logico-Philosophicus (1921) karya Ludwig Wittgenstein. Dalam karya ini, Wittgenstein menyatakan bahwa “struktur logis dunia dapat direpresentasikan oleh struktur logis bahasa,” dan menyimpulkan bahwa banyak pernyataan filsafat tradisional sebenarnya tidak bermakna secara logis5. Pandangan ini sangat memengaruhi kelompok Lingkaran Wina (Vienna Circle) dan gerakan positivisme logis, yang menjadikan verifikasi empiris sebagai kriteria makna6.

Selama paruh pertama abad ke-20, filsafat analitik berkembang pesat di Inggris dan Amerika Serikat. Tradisi ini tidak hanya mendefinisikan ulang filsafat sebagai analisis bahasa, tetapi juga menjauh dari kecenderungan historis, metafisis, dan eksistensial yang menonjol dalam filsafat kontinental. Dengan demikian, filsafat analitik menjadi paradigma dominan dalam akademia Anglo-Amerika, dan terus bertahan hingga kini sebagai salah satu pendekatan utama dalam pemikiran filosofis.


Footnotes

[1]                Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 5–7.

[2]                Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon That of Arithmetic, for Pure Thought (Oxford: Oxford University Press, 1879), xxii–xxv.

[3]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493; lihat juga Alfred North Whitehead dan Bertrand Russell, Principia Mathematica, vol. I (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), Introduction.

[4]                G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48 (1903): 433–453.

[5]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), propositions 2.1–6.54.

[6]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–35; lihat juga Moritz Schlick, “The Turning Point in Philosophy,” Philosophy of Science 2, no. 3 (1935): 339–345.


3.           Karakteristik Utama Filsafat Analitik

Filsafat analitik bukanlah sistem pemikiran tunggal, melainkan pendekatan metodologis yang bercirikan penekanan pada clarity, rigor, dan logical analysis. Ciri khas ini membedakannya dari pendekatan filosofis lainnya, khususnya filsafat kontinental. Meski tidak ada definisi tunggal yang disepakati secara universal, terdapat beberapa karakter epistemologis dan metodologis utama yang menjadi fondasi dalam aliran ini.

3.1.       Penekanan pada Analisis Bahasa

Salah satu karakter utama filsafat analitik adalah keyakinan bahwa sebagian besar persoalan filosofis berasal dari kekeliruan dalam penggunaan bahasa. Oleh karena itu, analisis terhadap bahasa sehari-hari maupun bahasa formal menjadi pusat kegiatan filosofis. Pendekatan ini pertama kali dikembangkan oleh Frege dan Russell, dan kemudian diperluas oleh Wittgenstein dan para filsuf dari Lingkaran Wina1.

Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus berpendapat bahwa struktur logis dunia dapat direpresentasikan oleh struktur logis bahasa, dan pernyataan yang tidak dapat diverifikasi atau tidak memiliki bentuk logis harus dianggap tidak bermakna2. Dalam fase pemikiran selanjutnya, Wittgenstein menekankan pentingnya “permainan bahasa” (language games) yang menyiratkan bahwa makna kata bergantung pada penggunaannya dalam konteks tertentu3.

3.2.       Klarifikasi Logis dan Argumentasi Formal

Filsuf analitik memandang klarifikasi logis sebagai upaya untuk menata ulang argumen agar setiap premisnya dapat dianalisis secara eksplisit. Logika simbolik menjadi alat utama dalam menyusun dan mengevaluasi argumen. Frege dan Russell meyakini bahwa penggunaan logika formal memungkinkan kita menyelesaikan kebingungan filosofis yang muncul karena ambiguitas dalam bahasa alami4.

Penggunaan logika formal ini sangat menonjol dalam proyek Principia Mathematica karya Russell dan Whitehead, yang bertujuan meletakkan dasar matematika pada sistem logis yang konsisten5. Kecenderungan ini menjadikan filsafat analitik cenderung teknis dan matematis, tetapi sekaligus lebih presisi dalam menyusun argumen.

3.3.       Komitmen terhadap Empirisisme dan Ilmu Pengetahuan

Banyak filsuf analitik, terutama dari tradisi positivisme logis seperti Rudolf Carnap dan A. J. Ayer, memandang bahwa filsafat harus tunduk pada prinsip verifikasi empiris. Artinya, makna suatu pernyataan harus dapat dibuktikan atau diuji secara empiris; jika tidak, maka ia tergolong nonsensikal atau tidak bermakna secara filosofis6.

Komitmen terhadap ilmu pengetahuan modern juga menjadikan filsafat analitik bersifat antimetafisik. Pernyataan metafisika klasik tentang realitas, Tuhan, atau roh sering dianggap tidak bermakna karena tidak dapat diuji secara empiris maupun diverifikasi secara logis. Meskipun pandangan ini mulai dilunakkan dalam filsafat analitik kontemporer, semangat untuk menjadikan filsafat sebagai disiplin rasional dan ilmiah tetap dipertahankan7.

3.4.       Fokus pada Masalah Spesifik, Bukan Sistem Besar

Berbeda dari tradisi sistematis seperti dalam filsafat kontinental (misalnya, Hegel atau Heidegger), filsafat analitik lebih memilih membedah masalah-masalah spesifik seperti makna penamaan, struktur proposisi, atau identitas personal. Pendekatan ini menjauhi ambisi menyusun sistem metafisika menyeluruh dan lebih menekankan pada pemecahan persoalan konkret melalui analisis konseptual dan argumentasi deduktif8.

Hal ini juga tercermin dalam struktur tulisan filsuf analitik yang lebih ringkas, langsung, dan menghindari jargon yang tidak perlu. Pendekatan ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap akal sehat, kejelasan, dan transparansi dalam komunikasi ilmiah9.


Footnotes

[1]                Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 12–15.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), propositions 2.1–6.54.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.

[4]                Scott Soames, Philosophical Analysis in the Twentieth Century: Volume 1 (Princeton: Princeton University Press, 2003), 16–18.

[5]                Alfred North Whitehead and Bertrand Russell, Principia Mathematica, vol. I (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), Introduction.

[6]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–35.

[7]                Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 52–55.

[8]                Timothy Williamson, “Past the Linguistic Turn?” in The Future for Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press, 2004), 106–128.

[9]                G. E. Moore, “A Defence of Common Sense,” Contemporary British Philosophy (London: Allen & Unwin, 1925), 193–223.


4.           Perbandingan dengan Filsafat Kontinental

Perbedaan antara filsafat analitik dan filsafat kontinental merupakan salah satu dikotomi paling mencolok dalam tradisi filsafat Barat kontemporer. Meskipun keduanya tidak memiliki batas yang sepenuhnya tegas atau esensial, masing-masing menunjukkan kecenderungan metodologis, historis, dan tematik yang cukup kontras. Dikotomi ini lebih bersifat sosiologis dan institusional ketimbang konseptual murni1.

4.1.       Fokus Epistemologis vs. Fokus Hermeneutik-Historis

Filsafat analitik cenderung menekankan pada klarifikasi logis, analisis konseptual, dan ketepatan linguistik dalam menjawab persoalan-persoalan filosofis. Pendekatannya sering kali reduksionis dan bersandar pada prinsip-prinsip rasionalitas serta verifikasi logis atau empiris2. Sementara itu, filsafat kontinental—yang mencakup fenomenologi, eksistensialisme, strukturalisme, dan post-strukturalisme—lebih menekankan pada interpretasi (hermeneutika), pengalaman historis, dan refleksi eksistensial.

Tokoh-tokoh seperti Heidegger, Sartre, dan Derrida misalnya, lebih tertarik pada pertanyaan-pertanyaan ontologis yang mendalam dan cara keberadaan manusia dipahami melalui sejarah, budaya, dan bahasa sebagai konstruksi sosial3. Sebaliknya, filsuf analitik seperti Quine atau Kripke lebih fokus pada struktur logis proposisi, referensi, dan kriteria kebenaran yang terukur.

4.2.       Gaya Penulisan dan Presentasi Argumen

Filsafat analitik dikenal dengan gaya penulisan yang lugas, eksplisit, dan sistematis. Setiap istilah didefinisikan secara ketat, dan argumen dibangun dalam struktur logis yang terukur. Gaya ini mencerminkan komitmen pada transparansi dan ketelitian metodologis4.

Sebaliknya, filsafat kontinental cenderung menggunakan gaya penulisan yang metaforis, puitis, dan kadang-kadang sulit diakses. Hal ini terlihat dalam karya-karya seperti Being and Time karya Heidegger atau Writing and Difference karya Derrida. Gaya ini tidak lepas dari tujuan mereka untuk mengekspresikan kompleksitas eksistensial dan struktural yang tidak selalu dapat direduksi ke dalam proposisi logis5.

4.3.       Tujuan Filsafat: Klarifikasi atau Transendensi?

Secara umum, filsafat analitik bertujuan mengklarifikasi makna konsep-konsep dasar seperti kebenaran, pengetahuan, identitas, atau moralitas dengan menggunakan logika dan bahasa. Tujuan utamanya adalah eliminasi kebingungan konseptual, bukan transformasi eksistensial6.

Sebaliknya, filsafat kontinental sering kali bertujuan mengungkap struktur-struktur kekuasaan, alienasi, atau keterasingan manusia, serta menawarkan kritik terhadap ideologi dan sistem nilai dominan. Pendekatan ini memiliki dimensi transformatif dan emansipatoris, yang melampaui sekadar analisis bahasa7.

4.4.       Keterpisahan dan Upaya Dialog

Selama beberapa dekade, kedua tradisi ini berkembang dalam ranah institusional yang relatif terpisah. Filsafat analitik mendominasi dunia akademik di dunia Anglo-Amerika, sementara filsafat kontinental lebih berakar kuat di Eropa daratan, terutama Prancis dan Jerman8.

Namun demikian, dalam beberapa dekade terakhir telah muncul upaya untuk menjembatani keduanya, terutama melalui kajian lintas disiplin dan penerimaan bahwa persoalan filosofis tidak dapat diselesaikan hanya melalui satu pendekatan. Tokoh-tokoh seperti Richard Rorty, Jürgen Habermas, dan Paul Ricoeur berperan dalam membangun dialog antara tradisi analitik dan kontinental9.


Footnotes

[1]                Brian Leiter, “Introduction,” in The Future for Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press, 2004), 1–3.

[2]                Scott Soames, Philosophical Analysis in the Twentieth Century: Volume 1 (Princeton: Princeton University Press, 2003), 5–6.

[3]                Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 7–10.

[4]                Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 73–78.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), Introduction; Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), xi–xv.

[6]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 44–45.

[7]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 18–20.

[8]                Michael Friedman, “Carnap’s Logical Syntax of Language and the Tradition of the Analytic-Synthetic Distinction,” Philosophy of Science 60, no. 3 (1993): 554–555.

[9]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 317–320; Paul Ricoeur, From Text to Action, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), 20–25.


5.           Tokoh-Tokoh Kunci dan Kontribusinya

Filsafat analitik sebagai tradisi intelektual dibentuk oleh kontribusi besar dari sejumlah filsuf yang memberikan fondasi teoretis dan metodologis bagi perkembangannya. Masing-masing tokoh membawa pendekatan khas terhadap persoalan bahasa, logika, pengetahuan, dan makna, yang bersama-sama membentuk arsitektur filsafat analitik modern. Berikut ini adalah para pemikir kunci dan kontribusi mereka yang paling berpengaruh.

5.1.       Gottlob Frege (1848–1925)

Gottlob Frege dianggap sebagai pelopor logika modern dan pendiri filsafat bahasa analitik. Dalam Begriffsschrift (1879), ia mengembangkan sistem logika proposisional dan predikat yang menggantikan logika Aristotelian klasik1. Frege juga memperkenalkan konsep sense (Sinn) dan reference (Bedeutung), yang membedakan antara makna suatu ekspresi dan objek yang dirujuk oleh ekspresi tersebut. Konsep ini mempengaruhi hampir seluruh diskusi semantik dalam filsafat bahasa abad ke-202.

5.2.       Bertrand Russell (1872–1970)

Bertrand Russell mengembangkan filsafat analitik melalui karyanya bersama Alfred North Whitehead dalam Principia Mathematica, yang bertujuan meletakkan dasar matematika pada logika simbolik3. Russell juga terkenal dengan “teori deskripsi” (theory of descriptions), yang memberikan solusi terhadap masalah referensi dalam kalimat seperti “Raja Prancis saat ini adalah botak4. Pendekatan Russell memperlihatkan bagaimana analisis logis dapat membongkar struktur dalam kalimat-kalimat bahasa alami.

5.3.       G. E. Moore (1873–1958)

G. E. Moore merupakan tokoh sentral dalam penolakan terhadap idealisme Hegelian yang mendominasi filsafat Inggris pada awal abad ke-20. Dalam esainya “The Refutation of Idealism,” Moore membela realisme dan prinsip akal sehat sebagai fondasi pengetahuan filosofis5. Ia juga memperkenalkan metode analisis konseptual yang menekankan kejelasan terminologi dalam filsafat, dan memengaruhi generasi filsuf selanjutnya dalam menyusun argumen secara transparan dan rasional.

5.4.       Ludwig Wittgenstein (1889–1951)

Wittgenstein adalah tokoh yang mengalami dua fase pemikiran yang sangat berpengaruh dalam filsafat analitik. Dalam fase awal (Tractatus Logico-Philosophicus), ia berpendapat bahwa bahasa mencerminkan struktur logis dunia, dan tugas filsafat adalah menunjukkan batas-batas bahasa yang bermakna6. Dalam fase kedua, yang tercermin dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein menolak pendekatan logis-formal dan mengembangkan gagasan tentang permainan bahasa (language games), di mana makna ditentukan oleh penggunaan dalam praktik sosial7.

5.5.       W. V. O. Quine (1908–2000)

Quine adalah pengkritik utama terhadap distingsi analitik-sintetik yang diperkenalkan oleh para positivis logis. Dalam esainya “Two Dogmas of Empiricism,” ia menolak gagasan bahwa ada proposisi yang secara mutlak benar hanya karena bentuk logisnya8. Quine memperkenalkan pendekatan holisme semantik, yang menyatakan bahwa makna tidak dapat dianalisis secara terpisah dari keseluruhan sistem kepercayaan ilmiah dan bahasa yang kita gunakan.

5.6.       Saul Kripke (1940–2022)

Kripke merevolusi filsafat bahasa dan logika modal melalui Naming and Necessity (1980), di mana ia menolak teori deskriptif tentang penamaan dan memperkenalkan gagasan penamaan kaku (rigid designators)9. Ia juga menjelaskan perbedaan antara kebenaran a priori dan kebutuhan metafisik, yang membentuk kembali pemahaman tentang identitas, referensi, dan modalitas dalam filsafat analitik kontemporer.


Footnotes

[1]                Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon That of Arithmetic, for Pure Thought (Oxford: Oxford University Press, 1879), xxii–xxv.

[2]                Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell, 1952), 56–78.

[3]                Alfred North Whitehead and Bertrand Russell, Principia Mathematica, vol. I (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), Introduction.

[4]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[5]                G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48 (1903): 433–453.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D. F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), proposition 4.01–6.54.

[7]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.

[8]                W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[9]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge: Harvard University Press, 1980), 48–50.


6.           Pengaruh Filsafat Analitik dalam Bidang Lain

Filsafat analitik, meskipun bermula sebagai upaya untuk mereformasi metode dalam filsafat, telah memberikan dampak yang luas dan mendalam pada berbagai cabang filsafat dan disiplin ilmu lainnya. Kecenderungannya untuk menekankan kejelasan logis, analisis bahasa, dan ketepatan argumen menjadikan pendekatan ini relevan di berbagai konteks epistemologis dan praktis. Berikut adalah beberapa bidang utama yang telah dipengaruhi secara signifikan oleh tradisi filsafat analitik.

6.1.       Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa adalah salah satu wilayah yang paling banyak dipengaruhi oleh filsafat analitik. Kontribusi tokoh-tokoh seperti Frege, Russell, Wittgenstein, dan Kripke telah merumuskan dasar-dasar modern tentang makna, referensi, dan penggunaan bahasa.

Frege memperkenalkan distingsi antara sense dan reference, yang kemudian digunakan untuk menjelaskan bagaimana ekspresi linguistik merujuk pada objek di dunia nyata1. Russell, melalui teori deskripsinya, menunjukkan bagaimana struktur gramatikal bisa menyembunyikan struktur logis sebenarnya dari proposisi2. Wittgenstein, terutama dalam karya Philosophical Investigations, menegaskan bahwa makna kata tidak bersifat tetap, melainkan bergantung pada penggunaan dalam “permainan bahasa”.3 Sementara itu, Saul Kripke dengan konsep penamaan kaku dan modal logic merevolusi pemahaman tentang referensi tetap dan identitas dalam dunia mungkin4.

6.2.       Filsafat Ilmu

Pengaruh filsafat analitik dalam filsafat ilmu sangat besar, terutama melalui tradisi positivisme logis yang berkembang pada 1920-an hingga 1940-an. Tokoh-tokoh seperti Rudolf Carnap dan A. J. Ayer menekankan bahwa pernyataan ilmiah harus diverifikasi secara empiris agar bermakna5. Karl Popper, meskipun mengkritik prinsip verifikasionisme, tetap berada dalam kerangka analitik dengan mengusulkan prinsip falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi antara ilmu dan non-ilmu6.

Di era selanjutnya, pendekatan analitik tetap memainkan peran dalam diskusi tentang penjelasan ilmiah, teori probabilitas, struktur teori ilmiah, serta realisme vs. anti-realisme. W. V. O. Quine dan Thomas Kuhn, meskipun berbeda pendekatan, sama-sama memberi kontribusi penting dalam memperluas horizon filsafat ilmu melalui pendekatan analitik yang reflektif terhadap praktik ilmiah nyata7.

6.3.       Filsafat Pikiran

Filsafat analitik juga memberikan kontribusi besar dalam filsafat pikiran, khususnya dalam menjelaskan hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia. Pertanyaan tentang representasi mental, kesadaran, identitas personal, dan intensionalitas menjadi fokus utama dalam pendekatan ini.

Gilbert Ryle mengkritik dualisme Cartesian melalui konsep category mistake dan menyatakan bahwa pikiran bukanlah entitas terpisah, melainkan cara tertentu dalam berperilaku8. Sementara itu, Donald Davidson dan Jerry Fodor mengembangkan teori-teori semantik mental (mentalese) dan anomalous monism untuk menjelaskan kompatibilitas antara pikiran dan materialisme ilmiah9.

6.4.       Etika dan Estetika Analitik

Meskipun filsafat analitik awalnya menghindari tema-tema normatif, perkembangan selanjutnya menunjukkan kebangkitan minat terhadap etika dan estetika. G. E. Moore dalam Principia Ethica memperkenalkan naturalistic fallacy dan intuitionism sebagai respons terhadap reduksionisme etika10. Sementara itu, para filsuf kontemporer seperti Derek Parfit dan Thomas Nagel menekankan pentingnya argumen rasional dan analisis moral dalam menyusun teori etika normatif yang sistematis dan universal11.

Dalam estetika, pendekatan analitik menekankan definisi dan klarifikasi konsep seperti “seni”, “keindahan”, dan “nilai estetis”. Filsuf seperti Arthur Danto dan Noël Carroll menggunakan pendekatan analitik untuk mengeksplorasi hubungan antara seni, makna, dan interpretasi dalam konteks budaya modern12.


Footnotes

[1]                Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Blackwell, 1952), 56–78.

[2]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.

[4]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge: Harvard University Press, 1980), 48–60.

[5]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–35.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from German (London: Hutchinson, 1959), 40–45.

[7]                W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43; Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–10.

[8]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1949), 15–30.

[9]                Jerry Fodor, The Language of Thought (New York: Crowell, 1975); Donald Davidson, “Mental Events,” in Essays on Actions and Events (Oxford: Oxford University Press, 1980), 207–225.

[10]             G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 10–15.

[11]             Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Oxford University Press, 1984), 3–12; Thomas Nagel, The Possibility of Altruism (Oxford: Clarendon Press, 1970), 5–8.

[12]             Arthur Danto, The Transfiguration of the Commonplace: A Philosophy of Art (Cambridge: Harvard University Press, 1981), 1–10; Noël Carroll, Philosophy of Art: A Contemporary Introduction (New York: Routledge, 1999), 9–20.


7.           Kritik terhadap Filsafat Analitik

Meskipun filsafat analitik memiliki pengaruh besar dalam filsafat modern, pendekatan ini tidak luput dari kritik yang cukup serius, baik dari luar maupun dari dalam tradisinya sendiri. Kritik-kritik tersebut berfokus pada sejumlah aspek, seperti keterbatasan epistemologisnya, penolakan terhadap metafisika, kekakuan metodologis, serta ketertutupan terhadap dimensi historis, sosial, dan eksistensial dari pengalaman manusia.

7.1.       Reduksionisme Bahasa dan Pengabaian Pengalaman

Salah satu kritik utama terhadap filsafat analitik adalah kecenderungannya mereduksi masalah-masalah filsafat menjadi persoalan bahasa. Para pengkritik, terutama dari tradisi kontinental seperti Heidegger dan Merleau-Ponty, menilai bahwa fokus sempit pada analisis linguistik justru mengabaikan kedalaman eksistensial dan fenomenologis dari pengalaman manusia1. Heidegger, misalnya, menyebut bahwa reduksi filsafat menjadi analisis proposisional menyingkirkan pertanyaan ontologis fundamental tentang keberadaan itu sendiri2.

7.2.       Ketidakpekaan terhadap Sejarah dan Konteks

Filsafat analitik sering kali dituduh ahistoris karena tidak memberi perhatian cukup pada latar belakang historis dan kontekstual dari gagasan-gagasan filosofis. Dengan terlalu menekankan kejelasan logis dan argumen formal, pendekatan ini dianggap terputus dari akar sosial, politik, dan budaya pemikiran3. Alasdair MacIntyre, dalam After Virtue, mengkritik filsafat moral analitik karena gagal memahami konsep etika sebagai bagian dari tradisi historis yang hidup4.

7.3.       Abstraksi yang Terlalu Tinggi dan Kurangnya Relevansi Praktis

Kritik lain datang dari filsuf-filsuf yang menyoroti keterputusan filsafat analitik dari realitas konkret dan kehidupan sehari-hari. Banyak diskusi dalam filsafat analitik dipandang terlalu teknis dan jauh dari isu-isu sosial-politik yang mendesak, seperti keadilan, kekuasaan, dan pembebasan5. Richard Rorty, seorang tokoh neopragmatis, menyatakan bahwa proyek filsafat analitik cenderung menciptakan “laboratorium bahasa” yang steril, tanpa menyentuh persoalan kemanusiaan yang lebih luas6.

7.4.       Fragmentasi Disipliner dan Krisis Identitas

Kecenderungan spesialisasi ekstrem dalam filsafat analitik juga mendapat kritik karena memicu fragmentasi dalam bidang filsafat itu sendiri. Filsuf seperti Charles Taylor menilai bahwa filsafat yang terkotak-kotak menjadi subbidang sempit kehilangan kemampuannya untuk memberi pandangan dunia yang komprehensif atau menawarkan kebijaksanaan filosofis yang utuh7. Akibatnya, filsafat analitik kerap dikritik sebagai “teknik analisis” alih-alih sebagai “pencarian makna”.

7.5.       Revisi dari Dalam: Kritik Internal dan Reformasi Metodologis

Kritik terhadap filsafat analitik juga datang dari para pemikir dalam tradisi itu sendiri. W. V. O. Quine menggugat dikotomi analitik-sintetik yang menjadi fondasi positivisme logis, sementara Thomas Kuhn menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear dan rasional, sebagaimana diasumsikan oleh model-model filsafat analitik awal8. Bahkan Donald Davidson dan Hilary Putnam menolak asumsi-asumsi representasionalisme dan memperkenalkan pendekatan holistik yang lebih kontekstual dan pragmatis9.

Dengan demikian, meskipun filsafat analitik telah mencapai tingkat presisi logis dan metodologis yang tinggi, kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap pendekatan alternatif, historisitas, dan kompleksitas pengalaman manusia tetap penting untuk mempertahankan relevansi filsafat dalam dinamika pemikiran kontemporer.


Footnotes

[1]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), viii–xii.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.

[3]                Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 152–158.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 1–15.

[5]                Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” in Justice Interruptus (New York: Routledge, 1997), 3–9.

[6]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 8–9.

[7]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–7.

[8]                W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43; Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 52–65.

[9]                Donald Davidson, “On the Very Idea of a Conceptual Scheme,” Proceedings and Addresses of the American Philosophical Association 47 (1973–74): 5–20; Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 10–15.


8.           Relevansi dan Perkembangan Kontemporer

Filsafat analitik, meskipun telah mengalami berbagai kritik dan tantangan, tetap menjadi salah satu pendekatan dominan dalam diskursus filsafat kontemporer, khususnya di dunia Anglo-Amerika. Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan ini tidak hanya bertahan, tetapi juga menunjukkan kapasitas adaptifnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan refleksi filosofis lintas tradisi. Relevansinya di masa kini ditunjukkan oleh ekspansi tematik, dialog lintas tradisi, dan penerapannya dalam isu-isu sosial dan interdisipliner.

8.1.       Ekspansi Tematik dan Keterbukaan Baru

Filsafat analitik kontemporer telah melampaui batas tradisionalnya yang sempit pada analisis logis dan bahasa. Filsuf-filsuf seperti Martha Nussbaum, Thomas Scanlon, dan Christine Korsgaard memperluas cakupan analitik ke dalam wilayah etika praktis, filsafat politik, feminisme, dan filsafat emosi1. Pendekatan analitik kini digunakan untuk mendekati persoalan-persoalan normatif seperti keadilan global, hak asasi manusia, dan etika lingkungan dengan struktur argumen yang sistematis dan rasional.

Kecenderungan ini mencerminkan apa yang disebut sebagai new wave analytic philosophy, yaitu filsafat analitik yang tidak lagi alergi terhadap nilai-nilai substantif, sejarah, atau dimensi afektif dalam pemikiran2.

8.2.       Integrasi dengan Ilmu Kognitif dan Teknologi

Salah satu relevansi utama filsafat analitik hari ini tampak dalam keterkaitannya dengan ilmu-ilmu kognitif, neurosains, dan teknologi digital. Topik-topik seperti mind-body problem, artificial intelligence, free will, dan consciousness dibahas secara intensif dalam filsafat pikiran analitik dengan dukungan dari temuan empiris dalam ilmu otak dan komputasi3.

Misalnya, dalam konteks kecerdasan buatan, filsafat analitik memberikan kerangka argumentatif yang tajam untuk membedah pertanyaan tentang identitas personal digital, etika algoritma, dan status moral entitas non-manusia4. Filsuf seperti David Chalmers dan Daniel Dennett menjadi figur penting dalam menjembatani filsafat dan sains kontemporer.

8.3.       Dialog Lintas Tradisi dan Rekonsiliasi Metodologis

Di tengah polarisasi lama antara filsafat analitik dan kontinental, beberapa filsuf kontemporer berupaya menjembatani dua pendekatan tersebut. Tokoh seperti Richard Rorty, Jürgen Habermas, dan Paul Ricoeur menekankan bahwa perbedaan antara dua tradisi lebih bersifat gaya dan metodologis daripada substansial5. Upaya ini melahirkan filsafat yang lebih terbuka terhadap dimensi historis, linguistik, dan sosial tanpa mengorbankan klarifikasi logis dan argumentasi rasional.

Selain itu, munculnya apa yang disebut post-analytic philosophy menandai keinginan untuk melewati batas-batas ketat antara aliran, dengan merangkul pluralisme pendekatan dan keberagaman bentuk ekspresi filosofis6.

8.4.       Peran dalam Pendidikan dan Kebijakan Publik

Filsafat analitik juga tetap relevan dalam ranah pendidikan tinggi, khususnya dalam pelatihan berpikir kritis, argumentasi, dan penalaran logis. Banyak kurikulum filsafat di universitas-universitas terkemuka didasarkan pada tradisi analitik karena dianggap efektif dalam membentuk ketajaman intelektual mahasiswa7.

Lebih dari itu, para filsuf analitik juga mulai dilibatkan dalam perumusan kebijakan publik, terutama dalam bidang bioetika, keadilan distributif, dan regulasi teknologi. Filsafat analitik menyediakan perangkat konseptual untuk menjelaskan dan mengevaluasi prinsip-prinsip normatif yang mendasari keputusan-keputusan publik dan hukum modern8.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–5; T. M. Scanlon, What We Owe to Each Other (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 1–7.

[2]                Brian Leiter, “The Boundaries of the Analytic Tradition,” in The Future for Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press, 2004), 329–342.

[3]                David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 5–10; Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Co., 1991), xiii–xx.

[4]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 15–22.

[5]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures, trans. Frederick Lawrence (Cambridge: MIT Press, 1987), 131–145; Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 45–52.

[6]                Stephen Mulhall, Post-Analytic Philosophy (London: Routledge, 1994), 1–14.

[7]                Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 202–206.

[8]                Allen Buchanan and Daniel W. Brock, Deciding for Others: The Ethics of Surrogate Decision Making (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 12–18.


9.           Kesimpulan

Filsafat analitik telah memainkan peran sentral dalam membentuk wajah filsafat Barat kontemporer, khususnya di lingkungan akademik Anglo-Amerika. Lahir sebagai respons terhadap kecenderungan metafisika spekulatif dalam filsafat abad ke-19, tradisi ini membangun pijakannya pada kejelasan logis, analisis bahasa, dan ketelitian argumentatif. Tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein berhasil mengubah arah filsafat melalui inovasi dalam logika simbolik dan teori makna1.

Karakter epistemologis filsafat analitik tercermin dalam upaya sistematisnya untuk mengklarifikasi konsep-konsep filosofis, menjernihkan kesalahpahaman linguistik, dan menyusun argumen berdasarkan prinsip rasionalitas yang ketat. Filsafat ini lebih memilih pendekatan deduktif-formal terhadap masalah filosofis daripada spekulasi metafisik atau pendekatan historis-budaya yang dominan dalam tradisi kontinental2. Meskipun sempat dituding terlalu sempit, ahistoris, dan terlepas dari kehidupan nyata, filsafat analitik telah menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan membuka diri terhadap isu-isu kontemporer seperti keadilan, kesadaran, AI, dan hak asasi manusia.

Perkembangannya dalam bidang filsafat bahasa, filsafat ilmu, filsafat pikiran, dan etika menegaskan vitalitas tradisi ini dalam menjawab tantangan zaman. Integrasinya dengan ilmu kognitif, teknologi, serta keterlibatan dalam kebijakan publik memperluas jangkauan relevansinya. Filsafat analitik juga mulai menunjukkan keterbukaan terhadap pluralitas metodologis dan hermeneutika budaya, sebagaimana tercermin dalam dialog lintas tradisi dan munculnya filsafat pasca-analitik3.

Oleh karena itu, filsafat analitik tidak lagi dapat dibatasi pada skema lama yang semata-mata logis-linguistik. Ia telah berkembang menjadi pendekatan yang multidimensional—menggabungkan kekuatan analisis rasional dengan keterlibatan etis, sosial, dan historis. Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas epistemik dan pluralisme nilai, filsafat analitik tetap relevan sebagai alat kritis untuk menyusun argumen yang bertanggung jawab, menyaring ide yang bermakna, serta membangun dialog filosofis yang produktif dan inklusif4.


Footnotes

[1]                Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 5–10.

[2]                Scott Soames, Philosophical Analysis in the Twentieth Century: Volume 1: The Dawn of Analysis (Princeton: Princeton University Press, 2003), 12–18.

[3]                Stephen Mulhall, Post-Analytic Philosophy (London: Routledge, 1994), 1–20.

[4]                Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 200–208.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Gollancz.

Beaney, M. (2007). The analytic turn: Analysis in early analytic philosophy and phenomenology. Routledge.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Buchanan, A., & Brock, D. W. (1989). Deciding for others: The ethics of surrogate decision making. Cambridge University Press.

Carroll, N. (1999). Philosophy of art: A contemporary introduction. Routledge.

Chalmers, D. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Critchley, S. (2001). Continental philosophy: A very short introduction. Oxford University Press.

Davidson, D. (1980). Mental events. In Essays on actions and events (pp. 207–225). Oxford University Press.

Dennett, D. (1991). Consciousness explained. Little, Brown and Co.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Fodor, J. A. (1975). The language of thought. Crowell.

Frege, G. (1879). Begriffsschrift: A formula language, modeled upon that of arithmetic, for pure thought. Oxford University Press.

Frege, G. (1952). On sense and reference. In P. Geach & M. Black (Eds.), Translations from the philosophical writings of Gottlob Frege (pp. 56–78). Blackwell.

Fraser, N. (1997). Social justice in the age of identity politics. In Justice interruptus (pp. 3–21). Routledge.

Glock, H.-J. (2008). What is analytic philosophy? Cambridge University Press.

Habermas, J. (1987). The philosophical discourse of modernity: Twelve lectures (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Kripke, S. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Leiter, B. (Ed.). (2004). The future for philosophy. Oxford University Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge & Kegan Paul.

Moore, G. E. (1903). The refutation of idealism. Mind, 12(48), 433–453.

Moore, G. E. (1925). A defence of common sense. In Contemporary British philosophy (Vol. 2, pp. 193–223). Allen & Unwin.

Mulhall, S. (1994). Post-analytic philosophy. Routledge.

Nagel, T. (1970). The possibility of altruism. Clarendon Press.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge University Press.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Hutchinson.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493.

Scanlon, T. M. (1998). What we owe to each other. Harvard University Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Soames, S. (2003). Philosophical analysis in the twentieth century: Volume 1: The dawn of analysis. Princeton University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Whitehead, A. N., & Russell, B. (1910). Principia mathematica (Vol. I). Cambridge University Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Wittgenstein, L. (2001). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar