Filsafat Analitik
Akar Historis, Karakter Epistemologis, dan Relevansi
Kontemporer
Alihkan ke: Aliran-Aliran dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tentang
filsafat analitik sebagai salah satu tradisi dominan dalam filsafat Barat
kontemporer. Dimulai dari akar historis kemunculannya pada akhir abad ke-19
melalui karya-karya tokoh seperti Frege, Russell, dan Wittgenstein, filsafat
analitik dikaji dari segi karakter epistemologisnya yang menekankan kejelasan
logis, analisis bahasa, serta struktur argumentatif yang ketat. Artikel ini
juga membandingkan pendekatan analitik dengan filsafat kontinental untuk
menunjukkan perbedaan gaya, metode, dan tujuan filosofis antara keduanya.
Selanjutnya, kontribusi para filsuf analitik utama dibahas dalam kaitannya
dengan perkembangan bidang-bidang seperti filsafat bahasa, ilmu, pikiran, serta
etika. Di samping mencatat pengaruh luasnya, artikel ini juga mengkaji kritik
terhadap reduksionisme bahasa dan keterbatasan metodologis yang melekat dalam
tradisi ini. Bagian akhir mengevaluasi relevansi kontemporer filsafat analitik,
termasuk keterkaitannya dengan ilmu kognitif, teknologi, serta upaya integratif
dalam dialog lintas tradisi. Dengan pendekatan historis-kritis, artikel ini
menegaskan bahwa filsafat analitik tetap menjadi instrumen penting dalam
merumuskan argumen rasional, menelaah persoalan moral dan ilmiah, serta
membangun refleksi filosofis yang kontekstual.
Kata Kunci: Filsafat Analitik, Bahasa, Logika, Filsafat Kontinental, Epistemologi, Frege, Russell, Wittgenstein, Filsafat Bahasa,
Filsafat Pikiran, Etika Analitik, Relevansi Filsafat Kontemporer.
PEMBAHASAN
Telaah Filsafat Analitik Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat analitik
adalah salah satu tradisi pemikiran filsafat yang paling berpengaruh di dunia
Barat pada abad ke-20 dan awal abad ke-21. Tradisi ini tidak hanya membentuk
lanskap filsafat Anglo-Amerika, tetapi juga berkontribusi besar dalam
mendefinisikan ulang cara berpikir filosofis, terutama dalam hal klarifikasi
makna, logika formal, dan metode analisis bahasa. Kelahiran filsafat analitik
terjadi sebagai tanggapan atas kompleksitas dan abstraksi metafisika
tradisional yang dianggap terlalu spekulatif dan tidak dapat diverifikasi
secara empiris. Dengan demikian, filsafat analitik lahir dari keinginan untuk
menjadikan filsafat setara dengan ilmu pengetahuan dalam hal ketelitian,
kejelasan, dan argumentasi yang sistematis1.
Tokoh-tokoh awal
seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, G. E. Moore, dan Ludwig Wittgenstein
memberikan dasar-dasar metodologis yang kuat bagi filsafat analitik, terutama
dengan memperkenalkan logika simbolik dan teori analisis bahasa yang ketat2.
Mereka percaya bahwa banyak persoalan filsafat yang tampaknya tidak
terselesaikan sebenarnya timbul karena kesalahan dalam penggunaan bahasa. Oleh
karena itu, tugas utama filsuf analitik adalah mengurai pernyataan-pernyataan
tersebut melalui klarifikasi logis dan linguistik untuk menemukan maknanya yang
sebenarnya3.
Pendekatan ini
kemudian berkembang lebih lanjut dalam berbagai subdisiplin, termasuk filsafat
bahasa, filsafat pikiran, filsafat ilmu, dan bahkan etika, dengan karakteristik
umum berupa komitmen terhadap rasionalitas, klarifikasi konsep, dan argumen
yang dapat diuji secara logis4. Meskipun beberapa kalangan
mengkritik filsafat analitik karena terlalu teknis dan terlepas dari realitas
historis maupun budaya, namun warisannya tetap bertahan sebagai salah satu
pendekatan dominan dalam filsafat akademik modern, khususnya di dunia berbahasa
Inggris5.
Artikel ini
bertujuan untuk menelusuri akar historis filsafat analitik, mengidentifikasi
karakteristik epistemologis utamanya, serta mengevaluasi relevansinya dalam
konteks pemikiran kontemporer. Dengan pendekatan historis-kritis dan pemetaan
tokoh serta isu utama, diharapkan pembaca dapat memahami bukan hanya struktur
metodologis filsafat analitik, tetapi juga implikasi dan tantangannya dalam
wacana filsafat global saat ini.
Footnotes
[1]
Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic
Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 2–3.
[2]
Scott Soames, Philosophical Analysis in the Twentieth Century:
Volume 1: The Dawn of Analysis (Princeton: Princeton University Press,
2003), 1–5.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.
F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), Preface.
[4]
Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 45–50.
[5]
Brian Leiter, "The State of Contemporary Philosophy," in The
Future for Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press,
2004), 1–4.
2.
Sejarah Lahirnya Filsafat Analitik
Filsafat analitik
muncul sebagai respons terhadap bentuk-bentuk metafisika tradisional yang
dinilai terlalu spekulatif dan tidak dapat diverifikasi secara logis. Akar
historisnya dapat ditelusuri pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20, saat
para pemikir seperti Gottlob Frege, Bertrand
Russell, dan G. E. Moore mulai menggagas
pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan filosofis, terutama melalui
pembaruan dalam logika, bahasa,
dan analisis
konseptual. Gerakan ini bertujuan mengubah filsafat menjadi
disiplin yang lebih ilmiah, dengan menekankan ketelitian dan kejelasan dalam
penyusunan argumen dan definisi1.
Frege, yang dikenal
sebagai bapak logika modern, memberikan sumbangan besar dengan karyanya Begriffsschrift
(1879), yang memperkenalkan sistem logika simbolik formal. Frege meyakini bahwa
banyak kebingungan filosofis dapat diselesaikan melalui klarifikasi logika dari
proposisi-proposisi bahasa biasa2. Ia juga merumuskan teori makna
dan referensi yang memengaruhi hampir seluruh generasi filsuf analitik
setelahnya.
Perkembangan ini
dilanjutkan oleh Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead melalui karya
mereka yang monumental Principia Mathematica (1910–1913),
yang menggabungkan logika formal dengan fondasi matematika. Russell juga
memperkenalkan teori deskripsi (theory of
descriptions) sebagai solusi terhadap masalah referensi dalam bahasa, suatu
sumbangan besar bagi filsafat bahasa3.
Sementara itu, G. E.
Moore memberikan arah yang berbeda dengan membela filsafat
akal sehat (common sense philosophy) dan menekankan kejelasan
dalam analisis konseptual. Kritik Moore terhadap idealisme, terutama dalam
esainya “The Refutation of Idealism” (1903), menandai penolakan terhadap
filsafat spekulatif Hegelian yang mendominasi Inggris saat itu4.
Lahirnya filsafat
analitik juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Tractatus
Logico-Philosophicus (1921) karya Ludwig Wittgenstein. Dalam
karya ini, Wittgenstein menyatakan bahwa “struktur logis dunia dapat
direpresentasikan oleh struktur logis bahasa,” dan menyimpulkan bahwa banyak
pernyataan filsafat tradisional sebenarnya tidak bermakna secara logis5.
Pandangan ini sangat memengaruhi kelompok Lingkaran Wina (Vienna Circle)
dan gerakan positivisme logis, yang
menjadikan verifikasi empiris sebagai kriteria makna6.
Selama paruh pertama
abad ke-20, filsafat analitik berkembang pesat di Inggris dan Amerika Serikat.
Tradisi ini tidak hanya mendefinisikan ulang filsafat sebagai analisis bahasa,
tetapi juga menjauh dari kecenderungan historis, metafisis, dan eksistensial
yang menonjol dalam filsafat kontinental. Dengan demikian, filsafat analitik
menjadi paradigma dominan dalam akademia Anglo-Amerika, dan terus bertahan
hingga kini sebagai salah satu pendekatan utama dalam pemikiran filosofis.
Footnotes
[1]
Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic
Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 5–7.
[2]
Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon
That of Arithmetic, for Pure Thought (Oxford: Oxford University Press, 1879),
xxii–xxv.
[3]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905):
479–493; lihat juga Alfred North Whitehead dan Bertrand Russell, Principia
Mathematica, vol. I (Cambridge: Cambridge University Press, 1910),
Introduction.
[4]
G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48
(1903): 433–453.
[5]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.
F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), propositions 2.1–6.54.
[6]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 31–35; lihat juga Moritz Schlick, “The Turning Point in Philosophy,” Philosophy
of Science 2, no. 3 (1935): 339–345.
3.
Karakteristik Utama Filsafat Analitik
Filsafat analitik
bukanlah sistem pemikiran tunggal, melainkan pendekatan metodologis yang
bercirikan penekanan pada clarity, rigor,
dan logical
analysis. Ciri khas ini membedakannya dari pendekatan filosofis
lainnya, khususnya filsafat kontinental. Meski tidak ada definisi tunggal yang
disepakati secara universal, terdapat beberapa karakter epistemologis dan
metodologis utama yang menjadi fondasi dalam aliran ini.
3.1.
Penekanan pada
Analisis Bahasa
Salah satu karakter
utama filsafat analitik adalah keyakinan bahwa sebagian besar persoalan
filosofis berasal dari kekeliruan dalam penggunaan bahasa. Oleh karena itu,
analisis terhadap bahasa sehari-hari maupun bahasa formal menjadi pusat
kegiatan filosofis. Pendekatan ini pertama kali dikembangkan oleh Frege dan
Russell, dan kemudian diperluas oleh Wittgenstein dan para filsuf dari
Lingkaran Wina1.
Wittgenstein dalam Tractatus
Logico-Philosophicus berpendapat bahwa struktur logis dunia dapat
direpresentasikan oleh struktur logis bahasa, dan pernyataan yang tidak dapat
diverifikasi atau tidak memiliki bentuk logis harus dianggap tidak bermakna2.
Dalam fase pemikiran selanjutnya, Wittgenstein menekankan pentingnya “permainan
bahasa” (language games) yang menyiratkan bahwa makna kata bergantung pada
penggunaannya dalam konteks tertentu3.
3.2.
Klarifikasi Logis
dan Argumentasi Formal
Filsuf analitik
memandang klarifikasi logis sebagai upaya untuk menata ulang argumen agar
setiap premisnya dapat dianalisis secara eksplisit. Logika simbolik menjadi
alat utama dalam menyusun dan mengevaluasi argumen. Frege dan Russell meyakini
bahwa penggunaan logika formal memungkinkan kita menyelesaikan kebingungan
filosofis yang muncul karena ambiguitas dalam bahasa alami4.
Penggunaan logika
formal ini sangat menonjol dalam proyek Principia Mathematica karya Russell
dan Whitehead, yang bertujuan meletakkan dasar matematika pada sistem logis
yang konsisten5. Kecenderungan ini menjadikan filsafat analitik cenderung
teknis dan matematis, tetapi sekaligus lebih presisi dalam menyusun argumen.
3.3.
Komitmen terhadap
Empirisisme dan Ilmu Pengetahuan
Banyak filsuf
analitik, terutama dari tradisi positivisme logis seperti Rudolf Carnap dan A.
J. Ayer, memandang bahwa filsafat harus tunduk pada prinsip verifikasi empiris.
Artinya, makna suatu pernyataan harus dapat dibuktikan atau diuji secara
empiris; jika tidak, maka ia tergolong nonsensikal atau tidak bermakna secara
filosofis6.
Komitmen terhadap
ilmu pengetahuan modern juga menjadikan filsafat analitik bersifat
antimetafisik. Pernyataan metafisika klasik tentang realitas, Tuhan, atau roh
sering dianggap tidak bermakna karena tidak dapat diuji secara empiris maupun
diverifikasi secara logis. Meskipun pandangan ini mulai dilunakkan dalam
filsafat analitik kontemporer, semangat untuk menjadikan filsafat sebagai
disiplin rasional dan ilmiah tetap dipertahankan7.
3.4.
Fokus pada Masalah
Spesifik, Bukan Sistem Besar
Berbeda dari tradisi
sistematis seperti dalam filsafat kontinental (misalnya, Hegel atau Heidegger),
filsafat analitik lebih memilih membedah masalah-masalah spesifik seperti makna
penamaan, struktur proposisi, atau identitas personal. Pendekatan ini menjauhi
ambisi menyusun sistem metafisika menyeluruh dan lebih menekankan pada
pemecahan persoalan konkret melalui analisis konseptual dan argumentasi deduktif8.
Hal ini juga
tercermin dalam struktur tulisan filsuf analitik yang lebih ringkas, langsung,
dan menghindari jargon yang tidak perlu. Pendekatan ini dianggap sebagai bentuk
penghormatan terhadap akal sehat, kejelasan, dan transparansi dalam komunikasi
ilmiah9.
Footnotes
[1]
Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic
Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 12–15.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.
F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), propositions 2.1–6.54.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E.
M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.
[4]
Scott Soames, Philosophical Analysis in the Twentieth Century:
Volume 1 (Princeton: Princeton University Press, 2003), 16–18.
[5]
Alfred North Whitehead and Bertrand Russell, Principia Mathematica,
vol. I (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), Introduction.
[6]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 31–35.
[7]
Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 52–55.
[8]
Timothy Williamson, “Past the Linguistic Turn?” in The Future for
Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press, 2004),
106–128.
[9]
G. E. Moore, “A Defence of Common Sense,” Contemporary British
Philosophy (London: Allen & Unwin, 1925), 193–223.
4.
Perbandingan dengan Filsafat Kontinental
Perbedaan antara filsafat
analitik dan filsafat kontinental merupakan
salah satu dikotomi paling mencolok dalam tradisi filsafat Barat kontemporer.
Meskipun keduanya tidak memiliki batas yang sepenuhnya tegas atau esensial,
masing-masing menunjukkan kecenderungan metodologis, historis, dan tematik yang
cukup kontras. Dikotomi ini lebih bersifat sosiologis dan institusional
ketimbang konseptual murni1.
4.1.
Fokus Epistemologis
vs. Fokus Hermeneutik-Historis
Filsafat analitik
cenderung menekankan pada klarifikasi logis, analisis
konseptual, dan ketepatan linguistik dalam menjawab
persoalan-persoalan filosofis. Pendekatannya sering kali reduksionis dan
bersandar pada prinsip-prinsip rasionalitas serta verifikasi logis atau empiris2.
Sementara itu, filsafat kontinental—yang mencakup fenomenologi,
eksistensialisme, strukturalisme, dan post-strukturalisme—lebih menekankan pada
interpretasi
(hermeneutika), pengalaman historis, dan refleksi
eksistensial.
Tokoh-tokoh seperti Heidegger,
Sartre,
dan Derrida
misalnya, lebih tertarik pada pertanyaan-pertanyaan ontologis yang mendalam dan
cara keberadaan manusia dipahami melalui sejarah, budaya, dan bahasa sebagai
konstruksi sosial3. Sebaliknya, filsuf analitik seperti Quine atau
Kripke lebih fokus pada struktur logis proposisi, referensi, dan kriteria
kebenaran yang terukur.
4.2.
Gaya Penulisan dan
Presentasi Argumen
Filsafat analitik
dikenal dengan gaya penulisan yang lugas, eksplisit, dan sistematis. Setiap
istilah didefinisikan secara ketat, dan argumen dibangun dalam struktur logis
yang terukur. Gaya ini mencerminkan komitmen pada transparansi dan ketelitian
metodologis4.
Sebaliknya, filsafat kontinental cenderung menggunakan gaya penulisan yang metaforis, puitis, dan
kadang-kadang sulit diakses. Hal ini terlihat dalam karya-karya seperti Being
and Time karya Heidegger atau Writing and Difference karya
Derrida. Gaya ini tidak lepas dari tujuan mereka untuk mengekspresikan
kompleksitas eksistensial dan struktural yang tidak selalu dapat direduksi ke
dalam proposisi logis5.
4.3.
Tujuan Filsafat:
Klarifikasi atau Transendensi?
Secara umum,
filsafat analitik bertujuan mengklarifikasi makna konsep-konsep dasar seperti
kebenaran, pengetahuan, identitas, atau moralitas dengan menggunakan logika dan
bahasa. Tujuan utamanya adalah eliminasi kebingungan konseptual, bukan
transformasi eksistensial6.
Sebaliknya, filsafat kontinental sering kali bertujuan mengungkap struktur-struktur kekuasaan,
alienasi, atau keterasingan manusia, serta menawarkan kritik terhadap ideologi
dan sistem nilai dominan. Pendekatan ini memiliki dimensi transformatif dan
emansipatoris, yang melampaui sekadar analisis bahasa7.
4.4.
Keterpisahan dan
Upaya Dialog
Selama beberapa
dekade, kedua tradisi ini berkembang dalam ranah institusional yang relatif terpisah.
Filsafat analitik mendominasi dunia akademik di dunia Anglo-Amerika, sementara
filsafat kontinental lebih berakar kuat di Eropa daratan, terutama Prancis dan
Jerman8.
Namun demikian,
dalam beberapa dekade terakhir telah muncul upaya untuk menjembatani keduanya,
terutama melalui kajian lintas disiplin dan penerimaan bahwa persoalan
filosofis tidak dapat diselesaikan hanya melalui satu pendekatan. Tokoh-tokoh
seperti Richard Rorty, Jürgen Habermas, dan Paul Ricoeur berperan dalam
membangun dialog antara tradisi analitik dan kontinental9.
Footnotes
[1]
Brian Leiter, “Introduction,” in The Future for Philosophy,
ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press, 2004), 1–3.
[2]
Scott Soames, Philosophical Analysis in the Twentieth Century:
Volume 1 (Princeton: Princeton University Press, 2003), 5–6.
[3]
Simon Critchley, Continental Philosophy: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2001), 7–10.
[4]
Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 73–78.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), Introduction; Jacques
Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University
of Chicago Press, 1978), xi–xv.
[6]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 44–45.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 18–20.
[8]
Michael Friedman, “Carnap’s Logical Syntax of Language and the
Tradition of the Analytic-Synthetic Distinction,” Philosophy of Science
60, no. 3 (1993): 554–555.
[9]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 317–320; Paul Ricoeur, From Text to
Action, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston:
Northwestern University Press, 1991), 20–25.
5.
Tokoh-Tokoh Kunci dan Kontribusinya
Filsafat analitik
sebagai tradisi intelektual dibentuk oleh kontribusi besar dari sejumlah filsuf
yang memberikan fondasi teoretis dan metodologis bagi perkembangannya.
Masing-masing tokoh membawa pendekatan khas terhadap persoalan bahasa, logika,
pengetahuan, dan makna, yang bersama-sama membentuk arsitektur filsafat
analitik modern. Berikut ini adalah para pemikir kunci dan kontribusi mereka
yang paling berpengaruh.
5.1.
Gottlob Frege
(1848–1925)
Gottlob Frege
dianggap sebagai pelopor logika modern dan pendiri filsafat bahasa analitik.
Dalam Begriffsschrift
(1879), ia mengembangkan sistem logika proposisional dan predikat yang
menggantikan logika Aristotelian klasik1. Frege juga memperkenalkan
konsep sense
(Sinn) dan reference
(Bedeutung), yang membedakan antara makna suatu ekspresi dan objek yang dirujuk
oleh ekspresi tersebut. Konsep ini mempengaruhi hampir seluruh diskusi semantik
dalam filsafat bahasa abad ke-202.
5.2.
Bertrand Russell
(1872–1970)
Bertrand Russell
mengembangkan filsafat analitik melalui karyanya bersama Alfred North Whitehead
dalam Principia
Mathematica, yang bertujuan meletakkan dasar matematika pada logika
simbolik3. Russell juga terkenal dengan “teori deskripsi” (theory
of descriptions), yang memberikan solusi terhadap masalah referensi
dalam kalimat seperti “Raja Prancis saat ini adalah botak”4.
Pendekatan Russell memperlihatkan bagaimana analisis logis dapat membongkar
struktur dalam kalimat-kalimat bahasa alami.
5.3.
G. E. Moore
(1873–1958)
G. E. Moore
merupakan tokoh sentral dalam penolakan terhadap idealisme Hegelian yang
mendominasi filsafat Inggris pada awal abad ke-20. Dalam esainya “The
Refutation of Idealism,” Moore membela realisme dan prinsip akal sehat
sebagai fondasi pengetahuan filosofis5. Ia juga memperkenalkan
metode analisis
konseptual yang menekankan kejelasan terminologi dalam filsafat,
dan memengaruhi generasi filsuf selanjutnya dalam menyusun argumen secara
transparan dan rasional.
5.4.
Ludwig Wittgenstein
(1889–1951)
Wittgenstein adalah
tokoh yang mengalami dua fase pemikiran yang sangat berpengaruh dalam filsafat
analitik. Dalam fase awal (Tractatus Logico-Philosophicus), ia
berpendapat bahwa bahasa mencerminkan struktur logis dunia, dan tugas filsafat
adalah menunjukkan batas-batas bahasa yang bermakna6. Dalam fase
kedua, yang tercermin dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein
menolak pendekatan logis-formal dan mengembangkan gagasan tentang permainan
bahasa (language games), di mana makna ditentukan oleh penggunaan
dalam praktik sosial7.
5.5.
W. V. O. Quine
(1908–2000)
Quine adalah
pengkritik utama terhadap distingsi analitik-sintetik yang diperkenalkan oleh
para positivis logis. Dalam esainya “Two Dogmas of Empiricism,” ia
menolak gagasan bahwa ada proposisi yang secara mutlak benar hanya karena
bentuk logisnya8. Quine memperkenalkan pendekatan holisme
semantik, yang menyatakan bahwa makna tidak dapat dianalisis secara
terpisah dari keseluruhan sistem kepercayaan ilmiah dan bahasa yang kita
gunakan.
5.6.
Saul Kripke
(1940–2022)
Kripke merevolusi
filsafat bahasa dan logika modal melalui Naming and Necessity (1980), di
mana ia menolak teori deskriptif tentang penamaan dan memperkenalkan gagasan penamaan
kaku (rigid designators)9. Ia
juga menjelaskan perbedaan antara kebenaran a priori dan kebutuhan metafisik,
yang membentuk kembali pemahaman tentang identitas, referensi, dan modalitas
dalam filsafat analitik kontemporer.
Footnotes
[1]
Gottlob Frege, Begriffsschrift: A Formula Language, Modeled upon
That of Arithmetic, for Pure Thought (Oxford: Oxford University Press,
1879), xxii–xxv.
[2]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the
Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black
(Oxford: Blackwell, 1952), 56–78.
[3]
Alfred North Whitehead and Bertrand Russell, Principia Mathematica,
vol. I (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), Introduction.
[4]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905):
479–493.
[5]
G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48
(1903): 433–453.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.
F. Pears and B. F. McGuinness (London: Routledge, 2001), proposition 4.01–6.54.
[7]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.
[8]
W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical
Review 60, no. 1 (1951): 20–43.
[9]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge: Harvard
University Press, 1980), 48–50.
6.
Pengaruh Filsafat Analitik dalam Bidang Lain
Filsafat analitik,
meskipun bermula sebagai upaya untuk mereformasi metode dalam filsafat, telah
memberikan dampak yang luas dan mendalam pada berbagai cabang filsafat dan
disiplin ilmu lainnya. Kecenderungannya untuk menekankan kejelasan logis,
analisis bahasa, dan ketepatan argumen menjadikan pendekatan ini relevan di
berbagai konteks epistemologis dan praktis. Berikut adalah beberapa bidang
utama yang telah dipengaruhi secara signifikan oleh tradisi filsafat analitik.
6.1.
Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa
adalah salah satu wilayah yang paling banyak dipengaruhi oleh filsafat
analitik. Kontribusi tokoh-tokoh seperti Frege, Russell, Wittgenstein, dan
Kripke telah merumuskan dasar-dasar modern tentang makna, referensi, dan
penggunaan bahasa.
Frege memperkenalkan
distingsi antara sense dan reference,
yang kemudian digunakan untuk menjelaskan bagaimana ekspresi linguistik merujuk
pada objek di dunia nyata1. Russell, melalui teori deskripsinya,
menunjukkan bagaimana struktur gramatikal bisa menyembunyikan struktur logis
sebenarnya dari proposisi2. Wittgenstein, terutama dalam karya Philosophical
Investigations, menegaskan bahwa makna kata tidak bersifat tetap,
melainkan bergantung pada penggunaan dalam “permainan bahasa”.3
Sementara itu, Saul Kripke dengan konsep penamaan kaku dan modal
logic merevolusi pemahaman tentang referensi tetap dan identitas
dalam dunia mungkin4.
6.2.
Filsafat Ilmu
Pengaruh filsafat
analitik dalam filsafat ilmu sangat besar, terutama melalui tradisi positivisme
logis yang berkembang pada 1920-an hingga 1940-an. Tokoh-tokoh
seperti Rudolf Carnap dan A. J. Ayer menekankan bahwa pernyataan ilmiah harus
diverifikasi secara empiris agar bermakna5. Karl Popper, meskipun
mengkritik prinsip verifikasionisme, tetap berada dalam kerangka analitik
dengan mengusulkan prinsip falsifiabilitas sebagai kriteria
demarkasi antara ilmu dan non-ilmu6.
Di era selanjutnya,
pendekatan analitik tetap memainkan peran dalam diskusi tentang penjelasan
ilmiah, teori probabilitas, struktur teori ilmiah, serta realisme vs.
anti-realisme. W. V. O. Quine dan Thomas Kuhn, meskipun berbeda pendekatan,
sama-sama memberi kontribusi penting dalam memperluas horizon filsafat ilmu
melalui pendekatan analitik yang reflektif terhadap praktik ilmiah nyata7.
6.3.
Filsafat Pikiran
Filsafat analitik
juga memberikan kontribusi besar dalam filsafat pikiran, khususnya dalam
menjelaskan hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia. Pertanyaan tentang representasi
mental, kesadaran, identitas
personal, dan intensionalitas menjadi fokus utama
dalam pendekatan ini.
Gilbert Ryle
mengkritik dualisme Cartesian melalui konsep category mistake dan menyatakan
bahwa pikiran bukanlah entitas terpisah, melainkan cara tertentu dalam
berperilaku8. Sementara itu, Donald Davidson dan Jerry Fodor
mengembangkan teori-teori semantik mental (mentalese) dan anomalous
monism untuk menjelaskan kompatibilitas antara pikiran dan
materialisme ilmiah9.
6.4.
Etika dan Estetika
Analitik
Meskipun filsafat
analitik awalnya menghindari tema-tema normatif, perkembangan selanjutnya
menunjukkan kebangkitan minat terhadap etika dan estetika. G. E. Moore dalam Principia
Ethica memperkenalkan naturalistic fallacy dan intuitionism
sebagai respons terhadap reduksionisme etika10. Sementara itu, para
filsuf kontemporer seperti Derek Parfit dan Thomas Nagel menekankan pentingnya
argumen rasional dan analisis moral dalam menyusun teori etika normatif yang
sistematis dan universal11.
Dalam estetika,
pendekatan analitik menekankan definisi dan klarifikasi konsep seperti “seni”,
“keindahan”, dan “nilai estetis”. Filsuf seperti Arthur Danto dan
Noël Carroll menggunakan pendekatan analitik untuk mengeksplorasi hubungan
antara seni, makna, dan interpretasi dalam konteks budaya modern12.
Footnotes
[1]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the
Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black
(Oxford: Blackwell, 1952), 56–78.
[2]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905):
479–493.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.
[4]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge: Harvard
University Press, 1980), 48–60.
[5]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 31–35.
[6]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from
German (London: Hutchinson, 1959), 40–45.
[7]
W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical
Review 60, no. 1 (1951): 20–43; Thomas Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 1–10.
[8]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of
Chicago Press, 1949), 15–30.
[9]
Jerry Fodor, The Language of Thought (New York: Crowell,
1975); Donald Davidson, “Mental Events,” in Essays on Actions and Events
(Oxford: Oxford University Press, 1980), 207–225.
[10]
G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University
Press, 1903), 10–15.
[11]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Oxford University
Press, 1984), 3–12; Thomas Nagel, The Possibility of Altruism (Oxford:
Clarendon Press, 1970), 5–8.
[12]
Arthur Danto, The Transfiguration of the Commonplace: A Philosophy
of Art (Cambridge: Harvard University Press, 1981), 1–10; Noël Carroll, Philosophy
of Art: A Contemporary Introduction (New York: Routledge, 1999), 9–20.
7.
Kritik terhadap Filsafat Analitik
Meskipun filsafat
analitik memiliki pengaruh besar dalam filsafat modern, pendekatan ini tidak
luput dari kritik yang cukup serius, baik dari luar maupun dari dalam
tradisinya sendiri. Kritik-kritik tersebut berfokus pada sejumlah aspek,
seperti keterbatasan epistemologisnya, penolakan terhadap metafisika, kekakuan
metodologis, serta ketertutupan terhadap dimensi historis, sosial, dan
eksistensial dari pengalaman manusia.
7.1.
Reduksionisme Bahasa
dan Pengabaian Pengalaman
Salah satu kritik
utama terhadap filsafat analitik adalah kecenderungannya mereduksi
masalah-masalah filsafat menjadi persoalan bahasa. Para pengkritik, terutama
dari tradisi kontinental seperti Heidegger dan Merleau-Ponty, menilai bahwa
fokus sempit pada analisis linguistik justru mengabaikan kedalaman eksistensial
dan fenomenologis dari pengalaman manusia1. Heidegger, misalnya,
menyebut bahwa reduksi filsafat menjadi analisis proposisional menyingkirkan
pertanyaan ontologis fundamental tentang keberadaan itu sendiri2.
7.2.
Ketidakpekaan
terhadap Sejarah dan Konteks
Filsafat analitik
sering kali dituduh ahistoris karena tidak memberi perhatian cukup pada latar
belakang historis dan kontekstual dari gagasan-gagasan filosofis. Dengan
terlalu menekankan kejelasan logis dan argumen formal, pendekatan ini dianggap
terputus dari akar sosial, politik, dan budaya pemikiran3. Alasdair
MacIntyre, dalam After Virtue, mengkritik filsafat
moral analitik karena gagal memahami konsep etika sebagai bagian dari tradisi historis
yang hidup4.
7.3.
Abstraksi yang
Terlalu Tinggi dan Kurangnya Relevansi Praktis
Kritik lain datang
dari filsuf-filsuf yang menyoroti keterputusan filsafat analitik dari realitas
konkret dan kehidupan sehari-hari. Banyak diskusi dalam filsafat analitik
dipandang terlalu teknis dan jauh dari isu-isu sosial-politik yang mendesak,
seperti keadilan, kekuasaan, dan pembebasan5. Richard Rorty, seorang
tokoh neopragmatis, menyatakan bahwa proyek filsafat analitik cenderung
menciptakan “laboratorium bahasa” yang steril, tanpa menyentuh persoalan
kemanusiaan yang lebih luas6.
7.4.
Fragmentasi
Disipliner dan Krisis Identitas
Kecenderungan
spesialisasi ekstrem dalam filsafat analitik juga mendapat kritik karena memicu
fragmentasi dalam bidang filsafat itu sendiri. Filsuf seperti Charles Taylor
menilai bahwa filsafat yang terkotak-kotak menjadi subbidang sempit kehilangan
kemampuannya untuk memberi pandangan dunia yang komprehensif atau menawarkan
kebijaksanaan filosofis yang utuh7. Akibatnya, filsafat analitik
kerap dikritik sebagai “teknik analisis” alih-alih sebagai “pencarian
makna”.
7.5.
Revisi dari Dalam:
Kritik Internal dan Reformasi Metodologis
Kritik terhadap
filsafat analitik juga datang dari para pemikir dalam tradisi itu sendiri. W.
V. O. Quine menggugat dikotomi analitik-sintetik yang menjadi fondasi
positivisme logis, sementara Thomas Kuhn menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
tidak berkembang secara linear dan rasional, sebagaimana diasumsikan oleh
model-model filsafat analitik awal8. Bahkan Donald Davidson dan
Hilary Putnam menolak asumsi-asumsi representasionalisme dan memperkenalkan
pendekatan holistik yang lebih kontekstual dan pragmatis9.
Dengan demikian,
meskipun filsafat analitik telah mencapai tingkat presisi logis dan metodologis
yang tinggi, kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap
pendekatan alternatif, historisitas, dan kompleksitas pengalaman manusia tetap
penting untuk mempertahankan relevansi filsafat dalam dinamika pemikiran
kontemporer.
Footnotes
[1]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), viii–xii.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.
[3]
Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 152–158.
[4]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 1–15.
[5]
Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics,” in Justice
Interruptus (New York: Routledge, 1997), 3–9.
[6]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 8–9.
[7]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–7.
[8]
W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical
Review 60, no. 1 (1951): 20–43; Thomas Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962),
52–65.
[9]
Donald Davidson, “On the Very Idea of a Conceptual Scheme,” Proceedings
and Addresses of the American Philosophical Association 47 (1973–74):
5–20; Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 10–15.
8.
Relevansi dan Perkembangan Kontemporer
Filsafat analitik,
meskipun telah mengalami berbagai kritik dan tantangan, tetap menjadi salah
satu pendekatan dominan dalam diskursus filsafat kontemporer, khususnya di
dunia Anglo-Amerika. Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan ini tidak hanya
bertahan, tetapi juga menunjukkan kapasitas adaptifnya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan refleksi filosofis lintas tradisi.
Relevansinya di masa kini ditunjukkan oleh ekspansi tematik, dialog lintas
tradisi, dan penerapannya dalam isu-isu sosial dan interdisipliner.
8.1.
Ekspansi Tematik dan
Keterbukaan Baru
Filsafat analitik
kontemporer telah melampaui batas tradisionalnya yang sempit pada analisis
logis dan bahasa. Filsuf-filsuf seperti Martha Nussbaum, Thomas Scanlon, dan
Christine Korsgaard memperluas cakupan analitik ke dalam wilayah etika praktis,
filsafat politik, feminisme, dan filsafat emosi1. Pendekatan
analitik kini digunakan untuk mendekati persoalan-persoalan normatif seperti
keadilan global, hak asasi manusia, dan etika lingkungan dengan struktur
argumen yang sistematis dan rasional.
Kecenderungan ini
mencerminkan apa yang disebut sebagai new wave analytic philosophy, yaitu
filsafat analitik yang tidak lagi alergi terhadap nilai-nilai substantif,
sejarah, atau dimensi afektif dalam pemikiran2.
8.2.
Integrasi dengan
Ilmu Kognitif dan Teknologi
Salah satu relevansi
utama filsafat analitik hari ini tampak dalam keterkaitannya dengan ilmu-ilmu
kognitif, neurosains, dan teknologi digital. Topik-topik seperti mind-body
problem, artificial intelligence, free
will, dan consciousness dibahas secara
intensif dalam filsafat pikiran analitik dengan dukungan dari temuan empiris
dalam ilmu otak dan komputasi3.
Misalnya, dalam
konteks kecerdasan buatan, filsafat analitik memberikan kerangka argumentatif
yang tajam untuk membedah pertanyaan tentang identitas personal digital, etika
algoritma, dan status moral entitas non-manusia4. Filsuf seperti
David Chalmers dan Daniel Dennett menjadi figur penting dalam menjembatani
filsafat dan sains kontemporer.
8.3.
Dialog Lintas
Tradisi dan Rekonsiliasi Metodologis
Di tengah polarisasi
lama antara filsafat analitik dan kontinental, beberapa filsuf kontemporer
berupaya menjembatani dua pendekatan tersebut. Tokoh seperti Richard Rorty,
Jürgen Habermas, dan Paul Ricoeur menekankan bahwa perbedaan antara dua tradisi
lebih bersifat gaya dan metodologis daripada substansial5. Upaya ini
melahirkan filsafat yang lebih terbuka terhadap dimensi historis, linguistik,
dan sosial tanpa mengorbankan klarifikasi logis dan argumentasi rasional.
Selain itu,
munculnya apa yang disebut post-analytic philosophy menandai
keinginan untuk melewati batas-batas ketat antara aliran, dengan merangkul
pluralisme pendekatan dan keberagaman bentuk ekspresi filosofis6.
8.4.
Peran dalam
Pendidikan dan Kebijakan Publik
Filsafat analitik
juga tetap relevan dalam ranah pendidikan tinggi, khususnya dalam pelatihan
berpikir kritis, argumentasi, dan penalaran logis. Banyak kurikulum filsafat di
universitas-universitas terkemuka didasarkan pada tradisi analitik karena
dianggap efektif dalam membentuk ketajaman intelektual mahasiswa7.
Lebih dari itu, para
filsuf analitik juga mulai dilibatkan dalam perumusan kebijakan publik,
terutama dalam bidang bioetika, keadilan distributif, dan regulasi teknologi.
Filsafat analitik menyediakan perangkat konseptual untuk menjelaskan dan
mengevaluasi prinsip-prinsip normatif yang mendasari keputusan-keputusan publik
dan hukum modern8.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of
Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–5; T. M.
Scanlon, What We Owe to Each Other (Cambridge: Harvard University
Press, 1998), 1–7.
[2]
Brian Leiter, “The Boundaries of the Analytic Tradition,” in The
Future for Philosophy, ed. Brian Leiter (Oxford: Oxford University Press,
2004), 329–342.
[3]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 5–10; Daniel Dennett, Consciousness
Explained (Boston: Little, Brown and Co., 1991), xiii–xx.
[4]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 15–22.
[5]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve
Lectures, trans. Frederick Lawrence (Cambridge: MIT Press, 1987), 131–145;
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 45–52.
[6]
Stephen Mulhall, Post-Analytic Philosophy (London: Routledge,
1994), 1–14.
[7]
Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 202–206.
[8]
Allen Buchanan and Daniel W. Brock, Deciding for Others: The Ethics
of Surrogate Decision Making (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 12–18.
9.
Kesimpulan
Filsafat analitik
telah memainkan peran sentral dalam membentuk wajah filsafat Barat kontemporer,
khususnya di lingkungan akademik Anglo-Amerika. Lahir sebagai respons terhadap
kecenderungan metafisika spekulatif dalam filsafat abad ke-19, tradisi ini
membangun pijakannya pada kejelasan logis, analisis bahasa, dan ketelitian
argumentatif. Tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig
Wittgenstein berhasil mengubah arah filsafat melalui inovasi dalam logika
simbolik dan teori makna1.
Karakter
epistemologis filsafat analitik tercermin dalam upaya sistematisnya untuk
mengklarifikasi konsep-konsep filosofis, menjernihkan kesalahpahaman
linguistik, dan menyusun argumen berdasarkan prinsip rasionalitas yang ketat.
Filsafat ini lebih memilih pendekatan deduktif-formal terhadap masalah
filosofis daripada spekulasi metafisik atau pendekatan historis-budaya yang
dominan dalam tradisi kontinental2. Meskipun sempat dituding terlalu
sempit, ahistoris, dan terlepas dari kehidupan nyata, filsafat analitik telah
menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan membuka diri terhadap isu-isu
kontemporer seperti keadilan, kesadaran, AI, dan hak asasi manusia.
Perkembangannya
dalam bidang filsafat bahasa, filsafat ilmu, filsafat pikiran, dan etika
menegaskan vitalitas tradisi ini dalam menjawab tantangan zaman. Integrasinya
dengan ilmu kognitif, teknologi, serta keterlibatan dalam kebijakan publik
memperluas jangkauan relevansinya. Filsafat analitik juga mulai menunjukkan
keterbukaan terhadap pluralitas metodologis dan hermeneutika budaya,
sebagaimana tercermin dalam dialog lintas tradisi dan munculnya filsafat
pasca-analitik3.
Oleh karena itu,
filsafat analitik tidak lagi dapat dibatasi pada skema lama yang semata-mata
logis-linguistik. Ia telah berkembang menjadi pendekatan yang
multidimensional—menggabungkan kekuatan analisis rasional dengan keterlibatan
etis, sosial, dan historis. Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh
kompleksitas epistemik dan pluralisme nilai, filsafat analitik tetap relevan
sebagai alat kritis untuk menyusun argumen yang bertanggung jawab, menyaring
ide yang bermakna, serta membangun dialog filosofis yang produktif dan inklusif4.
Footnotes
[1]
Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic
Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 5–10.
[2]
Scott Soames, Philosophical Analysis in the Twentieth Century:
Volume 1: The Dawn of Analysis (Princeton: Princeton University Press,
2003), 12–18.
[3]
Stephen Mulhall, Post-Analytic Philosophy (London: Routledge,
1994), 1–20.
[4]
Hans-Johann Glock, What is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 200–208.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Gollancz.
Beaney, M. (2007). The analytic turn: Analysis
in early analytic philosophy and phenomenology. Routledge.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths,
dangers, strategies. Oxford University Press.
Buchanan, A., & Brock, D. W. (1989). Deciding
for others: The ethics of surrogate decision making. Cambridge University
Press.
Carroll, N. (1999). Philosophy of art: A
contemporary introduction. Routledge.
Chalmers, D. (1996). The conscious mind: In
search of a fundamental theory. Oxford University Press.
Critchley, S. (2001). Continental philosophy: A
very short introduction. Oxford University Press.
Davidson, D. (1980). Mental events. In Essays on
actions and events (pp. 207–225). Oxford University Press.
Dennett, D. (1991). Consciousness explained.
Little, Brown and Co.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Fodor, J. A. (1975). The language of thought.
Crowell.
Frege, G. (1879). Begriffsschrift: A formula
language, modeled upon that of arithmetic, for pure thought. Oxford
University Press.
Frege, G. (1952). On sense and reference. In P.
Geach & M. Black (Eds.), Translations from the philosophical writings of
Gottlob Frege (pp. 56–78). Blackwell.
Fraser, N. (1997). Social justice in the age of
identity politics. In Justice interruptus (pp. 3–21). Routledge.
Glock, H.-J. (2008). What is analytic
philosophy? Cambridge University Press.
Habermas, J. (1987). The philosophical discourse
of modernity: Twelve lectures (F. Lawrence, Trans.). MIT Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. University of Chicago Press.
Kripke, S. (1980). Naming and necessity.
Harvard University Press.
Leiter, B. (Ed.). (2004). The future for
philosophy. Oxford University Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Moore, G. E. (1903). The refutation of idealism. Mind,
12(48), 433–453.
Moore, G. E. (1925). A defence of common sense. In Contemporary
British philosophy (Vol. 2, pp. 193–223). Allen & Unwin.
Mulhall, S. (1994). Post-analytic philosophy.
Routledge.
Nagel, T. (1970). The possibility of altruism.
Clarendon Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought:
The intelligence of emotions. Cambridge University Press.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific
discovery. Hutchinson.
Putnam, H. (1981). Reason, truth and history.
Cambridge University Press.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The
Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays
in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern
University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge University Press.
Russell, B. (1905). On denoting. Mind,
14(56), 479–493.
Scanlon, T. M. (1998). What we owe to each other.
Harvard University Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Soames, S. (2003). Philosophical analysis in the
twentieth century: Volume 1: The dawn of analysis. Princeton University
Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Whitehead, A. N., & Russell, B. (1910). Principia
mathematica (Vol. I). Cambridge University Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Wittgenstein, L. (2001). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar