Rabu, 16 April 2025

Pemikiran René Descartes: Sebuah Telaah Filsafat Sistematik

Pemikiran René Descartes

Sebuah Telaah Filsafat Sistematik


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara sistematik pemikiran filsafat René Descartes sebagai fondasi utama rasionalisme modern. Melalui pendekatan historis-filosofis dan penelusuran terhadap karya-karya utama Descartes seperti Discours de la méthode dan Meditationes de prima philosophia, artikel ini menyoroti lima pokok utama pemikirannya: metode keraguan, prinsip rasionalisme, dualisme substansi, argumen metafisis tentang Tuhan, serta kontribusi terhadap ilmu pengetahuan. Selain menelaah struktur filsafatnya, artikel ini juga membahas pengaruh Descartes terhadap filsafat Barat, termasuk warisannya dalam pemikiran Spinoza, Leibniz, Kant, hingga filsafat kontemporer seperti filsafat pikiran, neurosains, dan kecerdasan buatan. Kritik-kritik dari berbagai aliran filsafat, mulai dari empirisme hingga fenomenologi, turut dianalisis secara kontekstual. Dengan demikian, tulisan ini tidak hanya menggambarkan pentingnya Descartes dalam sejarah intelektual, tetapi juga menunjukkan relevansi dan tantangan pemikirannya dalam diskursus filsafat modern dan kontemporer.

Kata Kunci: René Descartes, Rasionalisme Modern, Metode Keraguan, Dualisme Substansi, Epistemologi, Filsafat Pikiran, Filsafat Kontemporer.


PEMBAHASAN

René Descartes dan Fondasi Rasionalisme Modern


1.           Pendahuluan

Filsafat modern menandai suatu era intelektual baru yang ditandai dengan pergeseran radikal dari otoritas tradisional menuju otonomi rasionalitas manusia. Peralihan dari dominasi filsafat skolastik Abad Pertengahan, yang sangat bergantung pada otoritas agama dan warisan Aristotelian, menuju pendekatan yang lebih kritis, reflektif, dan berbasis pada rasio merupakan titik balik yang mendasar dalam sejarah pemikiran Barat. Pada titik inilah nama René Descartes (1596–1650) muncul sebagai tokoh kunci yang menjadi fondasi lahirnya filsafat modern dengan pendekatan rasionalismenya yang revolusioner.

Descartes dianggap sebagai “Bapak Filsafat Modern” karena usahanya untuk membangun sistem pengetahuan yang kokoh dan tidak dapat diragukan, yang dimulai dari keraguan metodis (dubitatio methodica) terhadap seluruh pengetahuan yang tidak bersifat pasti. Ia tidak hanya mengusulkan metode berpikir baru, tetapi juga menyusun epistemologi yang menekankan bahwa rasio adalah sumber utama pengetahuan, bukan pengalaman indrawi sebagaimana diyakini oleh kaum empiris¹. Dalam karya terkenalnya Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima philosophia (1641), Descartes menggambarkan prinsip bahwa landasan pengetahuan sejati harus dimulai dari sesuatu yang tidak bisa diragukan sama sekali, yaitu eksistensi subjek yang berpikir: “Cogito, ergo sum” — "Aku berpikir maka aku ada".²

Lahirnya filsafat modern yang diawali oleh Descartes tidak terjadi dalam ruang hampa. Perkembangan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) pada abad ke-17 — terutama dalam fisika dan matematika — menjadi latar penting yang memengaruhi pendekatan rasionalisnya. Descartes mengagumi kepastian ilmu matematika dan berupaya menerapkan prinsip-prinsip deduktif ke dalam seluruh bidang pengetahuan, termasuk metafisika dan ontologi³. Hal ini menandai pula transformasi epistemologi dari model deduktif-silogistik warisan Aristoteles menjadi pendekatan sistematis berbasis analisis geometris dan metode keraguan⁴.

Selain menjadi penanda transisi dari Skolastisisme ke Modernitas, pemikiran Descartes juga memperkenalkan paradigma subjektivisme modern, di mana subjek (aku berpikir) menjadi pusat pengetahuan dan fondasi filsafat. Pemikiran ini membuka jalan bagi tokoh-tokoh besar selanjutnya seperti Spinoza, Leibniz, Kant, hingga fenomenologi abad ke-20. Oleh karena itu, kajian terhadap pemikiran Descartes sangat penting untuk memahami arah perkembangan filsafat modern dan kontribusi rasionalisme dalam membentuk kerangka epistemologis dan ontologis dunia modern.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan telaah sistematik atas pokok-pokok pemikiran Descartes, termasuk metode keraguan, prinsip rasionalisme, dualisme substansi, serta argumen metafisis tentang keberadaan Tuhan. Selain itu, artikel ini juga akan mengkaji pengaruh dan kritik terhadap pemikiran Descartes serta relevansinya dalam wacana kontemporer. Dengan pendekatan filosofis-historis yang mengacu pada sumber-sumber primer dan sekunder yang kredibel, diharapkan pembaca memperoleh pemahaman mendalam dan kritis terhadap kontribusi Descartes dalam meletakkan fondasi rasionalisme modern.


Footnotes

[1]                Richard Popkin dan Avrum Stroll, Philosophy Made Simple (New York: Doubleday, 1993), 118.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[3]                Roger Ariew dan Marjorie Grene, Philosophy of Science and the Occult (New York: State University of New York Press, 1991), 24–26.

[4]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy: Volume III – The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 38–41.


2.           Biografi Intelektual René Descartes

René Descartes lahir pada 31 Maret 1596 di La Haye en Touraine, Prancis, dalam keluarga bangsawan menengah yang menjunjung tinggi pendidikan dan keilmuan. Ayahnya, Joachim Descartes, adalah anggota parlemen di Brittany, sehingga René sejak awal mendapatkan akses terhadap pendidikan elite pada masanya. Ia memulai pendidikannya di Collège Royal Henry-Le-Grand di La Flèche, sebuah institusi Jesuit terkemuka yang sangat mengandalkan pendekatan skolastik berbasis Aristotelian¹.

Pengalaman Descartes di La Flèche menjadi titik awal penting bagi perkembangan intelektualnya. Meskipun ia menguasai logika, metafisika, dan teologi sebagaimana diajarkan menurut pola skolastik, Descartes merasa tidak puas terhadap sistem filsafat yang sarat akan otoritas dan tradisi tersebut. Dalam Discours de la méthode, ia menyatakan bahwa banyak pengetahuan yang ia pelajari di sekolah “telah dipertanyakan” dan bahwa ia mencari metode baru yang lebih pasti dan universal².

Setelah menyelesaikan studinya, Descartes melanjutkan perjalanan intelektualnya ke berbagai tempat di Eropa. Ia sempat belajar hukum di Universitas Poitiers dan kemudian menjalani kehidupan sebagai tentara bayaran serta pengamat ilmiah di Belanda dan Jerman. Pengalaman militernya dalam Perang Tiga Puluh Tahun dan pergaulannya dengan ilmuwan seperti Isaac Beeckman membentuk minatnya terhadap matematika dan fisika. Dalam satu malam yang dikenal sebagai “penglihatan Saint-Martin” pada tahun 1619, Descartes mengaku memperoleh pencerahan tentang metode pengetahuan universal berbasis matematika dan deduksi, yang kemudian menjadi kerangka besar dalam karya-karyanya³.

Descartes menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Belanda (1628–1649), tempat ia menemukan suasana intelektual yang lebih bebas dan mendukung kegiatan filosofis dan ilmiahnya. Di sinilah ia menulis karya-karya monumentalnya seperti Regulae ad Directionem Ingenii (1628), Discours de la méthode (1637), Meditationes de prima philosophia (1641), Principia Philosophiae (1644), dan Passions de l’âme (1649)⁴.

Ciri khas dari karya-karya Descartes adalah kecenderungannya untuk menyatukan filsafat, matematika, dan ilmu pengetahuan alam ke dalam satu sistem pemikiran yang utuh. Ia berupaya menciptakan filsafat pertama yang tak tergoyahkan, dimulai dari keraguan radikal terhadap semua hal yang dapat diragukan, hingga sampai pada kepastian akan keberadaan subjek berpikir. Pendekatan ini menjadikannya pelopor rasionalisme, yakni pandangan bahwa akal budi (rasio) adalah sumber utama dan paling dapat diandalkan untuk memperoleh pengetahuan sejati⁵.

Pada tahun 1649, atas undangan Ratu Christina dari Swedia, Descartes pindah ke Stockholm untuk menjadi penasihat filsafat kerajaan. Namun, iklim dingin dan jadwal kegiatan yang melelahkan membuat kondisi kesehatannya menurun drastis. Ia wafat di Stockholm pada 11 Februari 1650 akibat pneumonia. Meskipun wafat dalam kondisi fisik yang lemah, warisan intelektualnya tetap menjadi tonggak penting dalam sejarah filsafat modern.

Warisan filsafat Descartes bukan hanya meletakkan fondasi bagi rasionalisme modern, tetapi juga membuka jalan bagi perkembangan epistemologi, metafisika, serta filsafat kesadaran. Pengaruhnya terasa kuat dalam pemikiran filsuf rasionalis seperti Spinoza dan Leibniz, serta dalam perdebatan epistemologis modern yang berlanjut hingga Kant dan bahkan para pemikir kontemporer dalam bidang filsafat pikiran.


Footnotes

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 19–21.

[2]                René Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking for Truth in the Sciences, trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 5.

[3]                Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought, trans. Jane Marie Todd (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 42–44.

[4]                Richard Watson, Cogito, Ergo Sum: The Life of René Descartes (Boston: David R. Godine Publisher, 2002), 131–140.

[5]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy: Volume III – The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 36.


3.           Pokok-Pokok Pemikiran Filsafat Descartes

Pemikiran René Descartes merupakan tonggak penting dalam perkembangan filsafat modern, terutama dalam bidang epistemologi, ontologi, dan metodologi ilmiah. Ia memformulasikan suatu sistem filsafat yang berupaya membangun pengetahuan berdasarkan keraguan metodis, menekankan pada rasionalisme, dan membedakan secara tegas antara jiwa dan tubuh. Berikut adalah pokok-pokok utama pemikirannya:

3.1.       Metode Keraguan dan Pencarian Dasar Kepastian

Descartes memulai filsafatnya dengan sebuah metode radikal: keraguan metodis (dubitatio methodica). Ia berargumen bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang benar-benar pasti, segala sesuatu yang mungkin diragukan harus dianggap seolah-olah palsu. Dalam Meditationes de prima philosophia, ia menulis: “Reason now leads me to think that I should hold back my assent from opinions which are not completely certain and indubitable.”_¹

Dari keraguan inilah ia sampai pada satu proposisi yang tak mungkin dibantah, yaitu: “Cogito, ergo sum” — "Aku berpikir, maka aku ada" (je pense, donc je suis). Proposisi ini bukan sekadar penemuan logis, tetapi fondasi epistemologis yang kokoh bagi seluruh bangunan pengetahuan².

3.2.       Rasionalisme dan Epistemologi Cartesian

Sebagai seorang rasionalis, Descartes meyakini bahwa akal (rasio) adalah sumber utama pengetahuan, bukan pengalaman indrawi. Ia menolak empirisme yang dianggapnya tidak dapat memberikan kepastian karena pengalaman sering kali menipu. Dalam Rules for the Direction of the Mind, Descartes menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh dari ide-ide yang jelas dan terpilah (clara et distincta), dan bahwa prinsip-prinsip dasar pengetahuan berasal dari ide bawaan (innate ideas) seperti konsep tentang Tuhan, eksistensi diri, dan kebenaran matematis³.

Epistemologi Descartes dibangun di atas deduksi logis, bukan induksi empiris. Ia membandingkan kepastian filsafat dengan kepastian matematika, dan berupaya menyusun sistem pengetahuan filsafat dengan struktur serupa: deduktif, sistematik, dan pasti⁴.

3.3.       Ontologi dan Dualisme Substansi

Salah satu kontribusi besar Descartes dalam metafisika adalah dualisme substansi: pemisahan antara dua entitas dasar, yaitu:

·                     Res cogitans (substansi berpikir): jiwa, kesadaran, pikiran.

·                     Res extensa (substansi terbentang): materi, tubuh, dunia fisik.

Menurut Descartes, keduanya adalah substansi yang berdiri sendiri dan memiliki atribut esensial yang berbeda. Jiwa bersifat imaterial dan sadar, sedangkan tubuh bersifat material dan mekanis. Hubungan antara keduanya terjadi pada kelenjar pineal (glandula pinealis), meskipun mekanisme hubungan ini menjadi titik lemah yang kemudian dikritik oleh banyak filsuf setelahnya⁵.

Dualisme Cartesian ini membentuk dasar bagi filsafat jiwa dan menjadi awal dari masalah mind-body dalam filsafat modern: bagaimana entitas non-fisik (pikiran) dapat memengaruhi entitas fisik (tubuh), dan sebaliknya⁶.

3.4.       Argumen tentang Keberadaan Tuhan

Descartes juga menyusun bukti metafisik tentang keberadaan Tuhan, yang menurutnya diperlukan untuk menjamin kebenaran pengetahuan manusia. Ia menawarkan dua bentuk utama argumen:

1)                  Bukti ontologis: Gagasan tentang Tuhan sebagai makhluk paling sempurna tidak bisa berasal dari diri manusia yang terbatas, maka pasti berasal dari Tuhan sendiri.

2)                  Bukti kausalitas: Adanya ide tentang Tuhan dalam pikiran manusia hanya mungkin berasal dari sebab yang memiliki realitas objektif yang sama — yaitu Tuhan itu sendiri⁷.

Descartes berpendapat bahwa hanya dengan jaminan adanya Tuhan yang sempurna dan tidak menipu, manusia bisa mempercayai hasil-hasil rasionalitasnya. Tanpa itu, keraguan terhadap kesimpulan apa pun akan terus terbuka — ini yang disebutnya sebagai ancaman “genius jahat” (malin génie)⁸.

3.5.       Kontribusi terhadap Ilmu Pengetahuan dan Matematika

Sebagai seorang ahli matematika, Descartes juga menyumbangkan gagasan penting dalam metodologi ilmiah. Ia menekankan pentingnya metode deduktif dalam penalaran ilmiah dan memperkenalkan pendekatan analitis-geometris dalam karyanya La Géométrie (1637), yang menjadi dasar bagi geometri analitik modern⁹.

Descartes menolak filsafat skolastik yang penuh spekulasi metafisika dan menganjurkan pendekatan rasional dan mekanistik dalam menjelaskan fenomena alam. Bagi Descartes, dunia fisik sepenuhnya dapat dijelaskan secara matematis, sebagaimana benda-benda mekanis yang mengikuti hukum sebab-akibat. Ini menunjukkan bahwa filsafat dan ilmu alam, menurut Descartes, seharusnya disatukan di bawah prinsip-prinsip rasional universal¹⁰.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 16.

[2]                Ibid., 17.

[3]                Descartes, Rules for the Direction of the Mind, in The Philosophical Writings of Descartes, Vol. I, trans. John Cottingham, Robert Stoothoff, and Dugald Murdoch (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 10–12.

[4]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy: Volume III – The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 39.

[5]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 320–325.

[6]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 13–17.

[7]                Descartes, Meditations, 29–35.

[8]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 132.

[9]                Descartes, La Géométrie, trans. David Eugene Smith and Marcia Latham (New York: Dover Publications, 1954), 3–10.

[10]             Daniel Garber, Descartes' Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 54–57.


4.           Pengaruh dan Kritik terhadap Pemikiran Descartes

Pemikiran René Descartes menandai awal dari filsafat modern dengan menegaskan pentingnya rasio sebagai fondasi pengetahuan. Warisan intelektualnya membentang luas, memengaruhi banyak aliran filsafat dan ilmu pengetahuan, sekaligus menuai kritik dari berbagai perspektif, baik sezaman maupun sesudahnya. Dalam bagian ini, pengaruh Descartes dibahas bersama dengan tanggapan kritis terhadap fondasi pemikirannya, terutama seputar epistemologi, dualisme, dan pembuktian keberadaan Tuhan.

4.1.       Pengaruh Pemikiran Descartes

4.1.1.      Rasionalisme Modern

Descartes merupakan pelopor utama rasionalisme modern. Gagasannya tentang akal sebagai sumber utama pengetahuan mendasari sistem-sistem pemikiran Baruch Spinoza dan Gottfried Wilhelm Leibniz, dua tokoh besar rasionalisme pasca-Descartes. Spinoza mengembangkan rasionalisme dengan membangun sistem etika deduktif dalam karyanya Ethica, sementara Leibniz menyempurnakan konsep tentang ide bawaan dan logika deduktif dalam bentuk monadologi¹.

4.1.2.      Epistemologi Kantian

Pemikiran Descartes sangat berpengaruh terhadap Immanuel Kant, khususnya dalam hal subjektivitas dan upaya mencari dasar-dasar pengetahuan yang kokoh. Kant menyebut bahwa “Revolusi Kopernikan” dalam filsafatnya tidak lepas dari inspirasi atas pendekatan Descartes yang menempatkan subjek sebagai pusat refleksi epistemologis². Namun, Kant juga mengoreksi Descartes dengan menyatakan bahwa rasio tidak berdiri sendiri, melainkan bekerja dalam kategori-kategori apriori yang membentuk pengalaman.

4.1.3.      Ilmu Pengetahuan Alam

Descartes berjasa besar dalam transisi dari pandangan skolastik ke pendekatan mekanistik dalam ilmu alam. Ia memandang alam sebagai mesin yang dapat dipahami melalui hukum matematika, dan hal ini menjadi dasar paradigma ilmu pengetahuan modern. Karyanya Principia Philosophiae menjadi pengantar penting bagi fisikawan seperti Isaac Newton dalam merumuskan hukum-hukum mekanika klasik³.

4.1.4.      Filsafat Pikiran dan Kognisi

Dalam filsafat kontemporer, warisan Descartes masih terasa dalam perdebatan seputar filsafat pikiran, terutama dalam hal problematika relasi antara pikiran dan tubuh (mind-body problem). Model dualisme Cartesian telah memicu kemunculan berbagai pendekatan, termasuk materialisme, fungsionalisme, dan fenomenologi yang mencoba mengatasi keterbatasan dikotomi yang diperkenalkan Descartes⁴.

4.2.       Kritik terhadap Pemikiran Descartes

4.2.1.      Kritik terhadap Dualisme Substansi

Dualisme antara res cogitans dan res extensa telah menuai banyak kritik, terutama karena kesulitan menjelaskan interaksi kausal antara pikiran dan tubuh. Gilbert Ryle menyebut dualisme Descartes sebagai “the ghost in the machine”, yaitu gagasan keliru yang menempatkan jiwa sebagai entitas imaterial yang mengendalikan tubuh fisik, tanpa mekanisme yang jelas⁵. Kritik ini melahirkan pandangan materialisme dan pendekatan neurofisiologis terhadap kesadaran manusia.

4.2.2.      Kritik dari Empirisme

Filsuf empiris seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume menolak gagasan ide bawaan dan menekankan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman. Hume, secara khusus, menyerang fondasi rasionalisme dengan menunjukkan bahwa akal tidak dapat menjamin kepastian, karena semua kesimpulan berdasarkan induksi bersifat probabilistik dan tidak pasti⁶.

4.2.3.      Kritik terhadap Argumen tentang Tuhan

Argumen Descartes tentang keberadaan Tuhan juga dikritik oleh banyak filsuf karena dianggap melakukan petitio principii (circular reasoning). Ia menggunakan gagasan tentang Tuhan sebagai jaminan kebenaran ide-idenya, sementara eksistensi Tuhan justru dibuktikan melalui ide yang sudah diasumsikan benar. Antoine Arnauld, rekan sezamannya, bahkan menyatakan bahwa argumen Descartes mengandung lingkaran logis yang tidak bisa diterima dalam kerangka rasional yang ketat⁷.

4.2.4.    Masalah Skeptisisme

Meskipun Descartes berupaya membangun kepastian melalui metode keraguan, beberapa kalangan menilai bahwa upayanya justru membuka jalan bagi skeptisisme radikal. Gagasan tentang kemungkinan keberadaan genius jahat yang menipu seluruh realitas indrawi telah dimaknai ulang dalam filsafat kontemporer, misalnya dalam skenario “brain in a vat” oleh Hilary Putnam dan skeptisisme sistematis dalam epistemologi analitik modern⁸.


Kesimpulan Subbagian

Pemikiran Descartes tidak hanya meletakkan dasar-dasar filsafat modern, tetapi juga membuka medan kritik dan pengembangan dalam berbagai bidang: dari rasionalisme hingga fenomenologi, dari filsafat pikiran hingga sains. Warisannya tetap hidup sebagai bahan dialog kritis dalam diskursus filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (London: Routledge, 2002), 41–45.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxvi–Bxxii.

[3]                Daniel Garber, Descartes' Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 102–108.

[4]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes and the Philosophy of Mind (Oxford: Oxford University Press, 2008), 62–66.

[5]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 17–20.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 18–23.

[7]                Antoine Arnauld, Fourth Objections to the Meditations, in The Philosophical Writings of Descartes, Vol. II, trans. John Cottingham et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 140.

[8]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 1–15.


5.           Relevansi Pemikiran Descartes dalam Konteks Kontemporer

Pemikiran René Descartes, yang lahir lebih dari empat abad lalu, tetap memiliki signifikansi dalam wacana filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer. Meskipun banyak aspek dari filsafatnya telah dikritik dan direvisi, struktur fundamental pemikirannya — terutama tentang rasionalisme, subjektivitas, dan dualisme — masih menjadi fondasi diskusi di berbagai bidang, mulai dari filsafat pikiran, epistemologi, neurosains, hingga kecerdasan buatan.

5.1.       Rasionalisme dan Sains Modern

Pendekatan rasionalistik Descartes menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang tertib dan deduktif. Prinsip ini sangat berpengaruh dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern, terutama dalam penggunaan matematika sebagai bahasa alam dan metode deduktif sebagai kerangka teoritis sains¹. Dalam era sains kontemporer, meskipun metode empiris telah mengambil alih dominasi, prinsip deduktif Cartesian tetap penting dalam penyusunan model teoritis dan dalam kerangka kerja sains komputer dan fisika teoritis.

Sebagai contoh, dalam komputasi modern, pemisahan antara algoritma dan data, serta struktur logis pemrosesan informasi, menunjukkan kesinambungan dengan pemikiran Descartes tentang rasionalitas yang tersusun dan sistematik².

5.2.       Subjektivitas dan Filsafat Kesadaran

Salah satu warisan paling abadi dari Descartes adalah afirmasi bahwa subjek yang berpikir merupakan titik awal bagi semua pengetahuan (cogito ergo sum). Di era kontemporer, gagasan ini menjadi pondasi bagi filsafat fenomenologi dan eksistensialisme, khususnya dalam karya Edmund Husserl dan Jean-Paul Sartre, yang menempatkan kesadaran sebagai pusat penghayatan dunia³.

Lebih jauh lagi, filsafat pikiran modern — seperti yang dikembangkan oleh Thomas Nagel, David Chalmers, dan John Searle — tetap bergulat dengan pertanyaan Cartesian mengenai kesadaran subjektif, yaitu bagaimana pengalaman mental muncul dan bagaimana ia berelasi dengan dunia fisik. Bahkan dalam perdebatan kontemporer tentang “hard problem of consciousness”, warisan dualistik Descartes masih terasa kuat⁴.

5.3.       Masalah Pikiran-Tubuh dan Neurosains

Masalah mind-body yang diperkenalkan oleh Descartes tetap menjadi tema sentral dalam neurosains kognitif. Walaupun banyak ilmuwan kini berpihak pada monisme fisikalis, perdebatan mengenai status ontologis kesadaran tetap berlangsung. Banyak pendekatan neurologis, seperti teori global workspace oleh Bernard Baars dan teori integrasi informasi oleh Giulio Tononi, masih bergelut dalam menjelaskan bagaimana realitas subjektif dapat muncul dari substruktur biologis⁵.

Dengan kata lain, Descartes tetap menjadi figur tak terhindarkan dalam diskusi tentang mind-body interaction, baik sebagai batu loncatan maupun sebagai oposisi.

5.4.       Teknologi, Kecerdasan Buatan, dan Simulasi Realitas

Dalam konteks teknologi dan Artificial Intelligence (AI), pemikiran Descartes mendapat pembacaan ulang. Gagasannya tentang kemungkinan ditipu oleh “genius jahat” telah diinterpretasikan ulang dalam bentuk hipotesis simulasi, sebagaimana dikemukakan oleh Nick Bostrom, yang mempertanyakan apakah realitas yang kita alami adalah hasil konstruksi buatan, semacam simulasi komputer⁶.

Selain itu, dualisme fungsional yang dipisahkan antara perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) dalam sistem AI dapat dikaitkan secara konseptual dengan dualisme Cartesian antara tubuh dan pikiran, walaupun dalam kerangka yang sangat berbeda⁷.

5.5.       Rasionalitas dan Etika Publik

Dalam bidang etika dan wacana publik, Descartes turut memberi sumbangsih terhadap model pembentukan opini berbasis nalar, bukan tradisi atau otoritas. Dalam era disinformasi digital, seruan Descartes agar kita "tidak menerima apa pun sebagai benar kecuali sesuatu yang kita ketahui secara jelas dan terpilah" (clara et distincta) menjadi sangat relevan dalam mendorong literasi kritis dan evaluasi rasional terhadap informasi⁸.


Kesimpulan Subbagian

Pemikiran Descartes terus mengilhami dan memicu dialog dalam berbagai disiplin ilmu kontemporer. Baik sebagai titik pijak atau sebagai titik kritik, ide-idenya tentang rasio, subjektivitas, dan eksistensi tetap hidup dan dinamis. Descartes bukan hanya filsuf masa lalu, tetapi juga mitra diskusi intelektual dalam menafsirkan masa kini dan masa depan rasionalitas manusia.


Footnotes

[1]                Roger Ariew, Descartes and the Last Scholastics (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 101–105.

[2]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 89–91.

[3]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 3–6.

[4]                David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–4.

[5]                Bernard J. Baars, A Cognitive Theory of Consciousness (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 169–175; Giulio Tononi, “Consciousness as Integrated Information: A Provisional Manifesto,” The Biological Bulletin 215, no. 3 (2008): 216–242.

[6]                Nick Bostrom, “Are You Living in a Computer Simulation?” Philosophical Quarterly 53, no. 211 (2003): 243–255.

[7]                John Haugeland, Artificial Intelligence: The Very Idea (Cambridge, MA: MIT Press, 1985), 112–114.

[8]                Descartes, Discourse on the Method, trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 17.


6.           Kesimpulan

René Descartes telah menorehkan pengaruh yang sangat mendalam dalam sejarah filsafat Barat dengan merumuskan rasionalisme modern yang sistematik, reflektif, dan revolusioner. Gagasannya tentang keraguan metodis (dubitatio methodica) sebagai fondasi pencarian kebenaran, yang berpuncak pada “Cogito, ergo sum”, merupakan langkah epistemologis fundamental yang menggeser titik tolak filsafat dari dunia eksternal menuju subjek berpikir¹.

Descartes tidak hanya memunculkan metode baru, tetapi juga menyusun sistem filsafat yang mencakup epistemologi, metafisika, ontologi, hingga filsafat ketuhanan. Konsepsi tentang ide bawaan dan kriteria “ide yang jelas dan terpilah” (clara et distincta) menunjukkan komitmennya pada kepastian rasional, sekaligus menjadi dasar bagi perkembangan rasionalisme Eropa kontemporer seperti dalam pemikiran Spinoza dan Leibniz². Di sisi lain, dualisme substansi antara res cogitans dan res extensa yang dikemukakan Descartes membuka jalan bagi diskusi panjang dalam filsafat pikiran, bahkan hingga era neurofisiologi dan AI saat ini³.

Kekuatan utama filsafat Descartes terletak pada kemampuannya menghadirkan kerangka berpikir yang sistematis dan radikal, sekaligus membangun kesadaran kritis terhadap dasar pengetahuan. Namun demikian, pemikirannya juga tidak luput dari kritik yang tajam, baik dari para empiris seperti John Locke dan David Hume yang menolak ide bawaan, maupun dari para filsuf kontemporer yang mempertanyakan implikasi logis dan etis dari dualisme dan pembuktian keberadaan Tuhan⁴.

Dalam konteks kekinian, pemikiran Descartes tetap relevan, baik dalam bidang filsafat kesadaran, epistemologi, filsafat ilmu, maupun etika teknologi. Perdebatan seputar realitas simulatif, kesadaran buatan, dan bahkan skeptisisme digital, memperlihatkan bahwa warisan intelektual Descartes bukan sekadar warisan historis, melainkan juga fondasi diskursif bagi berbagai tantangan kontemporer⁵.

Dengan demikian, telaah terhadap pemikiran René Descartes tidak hanya memberikan pemahaman historis terhadap awal mula filsafat modern, tetapi juga membuka cakrawala refleksi tentang posisi rasio dalam kehidupan manusia, serta tanggung jawab intelektual dalam membangun pengetahuan yang tidak hanya benar secara logis, tetapi juga bermakna secara eksistensial.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy: Volume III – The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2012), 38–42.

[3]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes and the Philosophy of Mind (Oxford: Oxford University Press, 2008), 54–59.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 24–26; Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 15.

[5]                Nick Bostrom, “Are You Living in a Computer Simulation?” Philosophical Quarterly 53, no. 211 (2003): 243–255.


Daftar Pustaka

Ariew, R. (1999). Descartes and the last scholastics. Cornell University Press.

Baars, B. J. (1988). A cognitive theory of consciousness. Cambridge University Press.

Bostrom, N. (2003). Are you living in a computer simulation? Philosophical Quarterly, 53(211), 243–255. https://doi.org/10.1111/1467-9213.00309

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Cottingham, J. (2008). Cartesian reflections: Essays on Descartes and the philosophy of mind. Oxford University Press.

Descartes, R. (1985). The philosophical writings of Descartes: Vol. I–II (J. Cottingham, R. Stoothoff, & D. Murdoch, Trans.). Cambridge University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Descartes, R. (2006). Discourse on the method of rightly conducting the reason and seeking for truth in the sciences (I. Maclean, Trans.). Oxford University Press.

Descartes, R. (1954). La géométrie (D. E. Smith & M. Latham, Trans.). Dover Publications.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Garber, D. (1992). Descartes' metaphysical physics. University of Chicago Press.

Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual biography. Clarendon Press.

Haugeland, J. (1985). Artificial intelligence: The very idea. MIT Press.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kenny, A. (2012). A new history of Western philosophy: Volume III – The rise of modern philosophy. Oxford University Press.

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Popkin, R. H. (2003). The history of scepticism: From Savonarola to Bayle (Rev. ed.). Oxford University Press.

Rodis-Lewis, G. (1998). Descartes: His life and thought (J. M. Todd, Trans.). Cornell University Press.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson.

Scruton, R. (2002). A short history of modern philosophy: From Descartes to Wittgenstein (2nd ed.). Routledge.

Tononi, G. (2008). Consciousness as integrated information: A provisional manifesto. The Biological Bulletin, 215(3), 216–242. https://doi.org/10.2307/25470707

Watson, R. (2002). Cogito, ergo sum: The life of René Descartes. David R. Godine Publisher.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar