Kamis, 15 Mei 2025

Subjektivisme: Asal Usul, Perkembangan, dan Implikasinya dalam Epistemologi dan Etika

Subjektivisme

Asal Usul, Perkembangan, dan Implikasinya dalam Epistemologi dan Etika


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai paham subjektivisme dalam filsafat, mulai dari akar historisnya hingga implikasinya dalam kehidupan kontemporer. Subjektivisme dipahami sebagai pandangan filosofis yang menempatkan subjek, yakni kesadaran atau pengalaman individu, sebagai pusat dalam penentuan makna, kebenaran, dan nilai. Pembahasan dimulai dengan penelusuran asal-usul subjektivisme sejak masa Yunani Kuno, kemudian berkembang dalam filsafat modern melalui pemikiran René Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant, serta mengalami elaborasi lebih lanjut dalam eksistensialisme dan postmodernisme. Artikel ini mengkaji bagaimana subjektivisme mempengaruhi epistemologi melalui relativisme pengetahuan dan konstruktivisme, serta etika melalui pendekatan-pendekatan seperti emotivisme dan relativisme moral. Kritik terhadap subjektivisme juga dikaji, terutama berkaitan dengan potensi kontradiksi internal, relativisme ekstrem, dan krisis normatif. Di akhir, artikel ini mengeksplorasi bagaimana subjektivisme memanifestasikan diri dalam fenomena kehidupan modern, termasuk dalam ranah media sosial, politik identitas, dan budaya konsumerisme. Sebagai penutup, disoroti pentingnya integrasi antara kebebasan subjektif dan tanggung jawab intersubjektif melalui pendekatan etika diskursif dan rasionalitas publik. Artikel ini menawarkan sintesis kritis yang memperlihatkan peran produktif maupun problematik subjektivisme dalam lanskap pemikiran dan budaya kontemporer.

Kata Kunci: Subjektivisme, epistemologi, etika, relativisme, eksistensialisme, postmodernisme, identitas, konstruktivisme, Habermas, kebenaran.


PEMBAHASAN

Telaah Subjektivisme dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Subjektivisme merupakan salah satu paham penting dalam filsafat yang menempatkan kesadaran individu sebagai pusat penilaian atas realitas, kebenaran, dan nilai. Dalam kerangka ini, sesuatu dianggap benar, baik, atau nyata bukan karena eksistensi objektifnya, melainkan karena penghayatan atau keyakinan subjektif yang melekat dalam kesadaran seseorang. Pandangan ini sering kali dikaitkan dengan posisi epistemologis yang menekankan pengalaman personal sebagai dasar utama pengetahuan, serta dengan pendekatan etis yang menyatakan bahwa nilai-nilai moral tidak bersifat universal, melainkan ditentukan oleh perasaan atau preferensi individual.

Akar pemikiran subjektivisme dapat ditelusuri sejak masa Yunani Kuno, terutama dalam pandangan Protagoras yang menyatakan bahwa “manusia adalah ukuran segala sesuatu” (homo mensura)—sebuah ungkapan yang menyiratkan bahwa kebenaran bersifat relatif terhadap individu yang menilainya.¹ Pandangan ini menjadi fondasi awal relativisme epistemologis yang kemudian berkembang dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah filsafat.

Dalam tradisi filsafat modern, subjektivisme memperoleh bentuk yang lebih sistematis dalam karya René Descartes melalui pendekatannya terhadap keraguan metodologis dan penegasan cogito ergo sum (“aku berpikir maka aku ada”) sebagai dasar pasti dari pengetahuan.² Kesadaran subjek yang berpikir menjadi titik tolak bagi segala klaim pengetahuan, menegaskan bahwa subjek memiliki peran sentral dalam memberi makna terhadap realitas.³ Tokoh-tokoh setelah Descartes seperti David Hume dan Immanuel Kant turut mengembangkan dimensi epistemologis dan etis dari subjektivisme dengan cara yang lebih kompleks. Hume, misalnya, menegaskan bahwa prinsip moral tidak berasal dari rasio, tetapi dari perasaan atau sentimen individu.⁴

Dalam konteks etika, subjektivisme muncul sebagai teori metaetika yang menolak adanya kebenaran moral objektif. Nilai-nilai dianggap sebagai ekspresi sikap atau perasaan personal, bukan sebagai realitas moral yang independen.⁵ Pandangan ini berlawanan dengan posisi objektivis yang meyakini adanya prinsip-prinsip moral yang universal dan dapat diakses secara rasional. Di sisi lain, dalam epistemologi, subjektivisme berimplikasi pada pendekatan relativistik yang mempertanyakan klaim kebenaran universal, dan lebih menekankan kerangka pengalaman individual serta perspektif budaya dalam proses konstruksi pengetahuan.⁶

Relevansi subjektivisme semakin mencuat dalam konteks dunia modern dan pascamodern yang pluralistik dan relatif. Perkembangan teknologi informasi, kebebasan berekspresi, serta pergeseran otoritas epistemik dari lembaga formal ke ruang-ruang personal turut memperkuat pengaruh subjektivisme dalam berbagai aspek kehidupan.⁷ Oleh karena itu, pembahasan mengenai subjektivisme tidak hanya penting dalam konteks teoritis filsafat, tetapi juga dalam memahami dinamika kontemporer tentang kebenaran, moralitas, dan identitas.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif akar sejarah, perkembangan pemikiran, serta implikasi filosofis dari subjektivisme, baik dalam bidang epistemologi maupun etika. Dengan menelaah pemikiran para filsuf utama serta mengkritisi relevansinya dalam kehidupan kontemporer, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang salah satu arus penting dalam filsafat modern dan kontemporer.


Footnotes

[1]                Protagoras, seperti dikutip dalam Plato, Theaetetus, terjemahan Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2003), 152a.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–18.

[3]                Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant (London: Routledge, 1984), 24.

[4]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 470.

[5]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 110–111.

[6]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 111–113.

[7]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 28–30.


2.           Konsep Dasar Subjektivisme

Subjektivisme, dalam pengertian filosofis, adalah suatu pandangan yang menempatkan subjek—yakni individu dengan kesadaran dan pengalaman batin—sebagai pusat dalam penentuan makna, kebenaran, atau nilai. Berbeda dengan objektivisme yang menganggap kebenaran dan nilai-nilai bersifat independen terhadap pikiran manusia, subjektivisme menekankan bahwa segala bentuk penilaian tergantung pada keadaan internal subjek yang menilai.¹

Secara etimologis, istilah “subjektivisme” berasal dari kata Latin subiectivus yang berarti “berkaitan dengan subjek.” Dalam konteks filsafat modern, “subjek” merujuk pada kesadaran manusia yang mampu mengenali, mengalami, dan memberi makna terhadap dunia sekitarnya.² Oleh karena itu, subjektivisme sering kali diartikan sebagai pendekatan yang menjadikan kesadaran individu sebagai sumber utama dalam memahami realitas dan kebenaran.³

Dalam ranah epistemologi, subjektivisme mengacu pada pandangan bahwa pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari pengalaman pribadi dan persepsi individu. Dengan kata lain, semua bentuk klaim kebenaran sangat bergantung pada kerangka referensi subjek yang mengalaminya.⁴ Pengetahuan, dalam pandangan ini, bukanlah hasil dari hubungan pasif antara pikiran dan objek, melainkan produk dari interpretasi aktif oleh subjek. Tokoh seperti Michel Foucault dan Thomas Kuhn mengembangkan pendekatan ini dalam bentuk relativisme epistemologis yang menekankan pengaruh paradigma, kekuasaan, dan konstruksi sosial dalam proses produksi pengetahuan.⁵

Sementara dalam ranah etika, subjektivisme moral menyatakan bahwa nilai-nilai moral bukanlah fakta objektif yang dapat ditemukan atau dibuktikan, melainkan hasil dari sikap, preferensi, atau perasaan subyektif seseorang. Dalam bentuknya yang paling sederhana, klaim seperti “membunuh itu salah” tidak dianggap sebagai kebenaran universal, melainkan sebagai pernyataan tentang sikap moral si pembicara terhadap tindakan tersebut.⁶ Subjektivisme moral memiliki beberapa bentuk, mulai dari simple subjectivism yang mengidentifikasi pernyataan moral sebagai ekspresi sikap pribadi, hingga emotivisme yang memandang pernyataan moral sebagai bentuk ekspresi emosional yang tidak memiliki nilai kognitif.⁷

Dalam diskursus filsafat kontemporer, subjektivisme juga muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks, misalnya dalam eksistensialisme, di mana kesadaran diri menjadi pusat penciptaan makna dalam dunia yang absurd. Jean-Paul Sartre, misalnya, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang existence precedes essence—artinya manusia terlebih dahulu eksis (hadir sebagai subjek) sebelum memiliki esensi atau makna tertentu.⁸ Dengan demikian, nilai dan kebenaran bukan sesuatu yang sudah ada secara objektif di luar subjek, melainkan dibentuk oleh tindakan dan pilihan subjek itu sendiri.

Namun demikian, subjektivisme tidak identik dengan relativisme mutlak. Banyak filsuf yang berargumen bahwa meskipun pengalaman subyektif bersifat individual, namun tetap dimungkinkan adanya intersubjektivitas—yakni kemampuan untuk saling memahami antar subjek dalam konteks sosial dan linguistik yang sama.⁹ Hal ini memberi peluang untuk menjembatani antara pemahaman subjektif dan pencapaian kesepakatan normatif di tingkat sosial.

Dengan demikian, konsep dasar subjektivisme mencakup suatu pandangan bahwa makna, kebenaran, dan nilai bersifat tergantung pada subjek yang menyadari, menghayati, dan menilainya. Pandangan ini tidak hanya berpengaruh besar dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi juga mewarnai perdebatan filsafat kontemporer tentang identitas, makna hidup, dan dasar-dasar pengetahuan.


Footnotes

[1]                Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7 (New York: Macmillan, 1967), 123.

[2]                Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant (London: Routledge, 1984), 26.

[3]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy (London: Routledge, 2002), 17.

[4]                Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 266–267.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 111.

[6]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 2003), 34–36.

[7]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 110–112.

[8]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.

[9]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–272.


3.           Sejarah dan Perkembangan Subjektivisme

Subjektivisme sebagai sebuah aliran pemikiran tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkembang melalui tahapan historis yang panjang dan kompleks. Sejarahnya dapat ditelusuri mulai dari filsafat Yunani Kuno hingga pemikiran modern dan kontemporer, dengan berbagai bentuk artikulasi yang berbeda sesuai konteks intelektual dan kultural zamannya.

3.1.       Fase Awal: Yunani Kuno dan Relativisme Protagoras

Pemikiran subjektivis pertama kali terlihat dalam ajaran Protagoras (490–420 SM), seorang sofis yang terkenal dengan pernyataannya: “manusia adalah ukuran segala sesuatu” (homo mensura).¹ Ungkapan ini mencerminkan keyakinan bahwa kebenaran bersifat relatif terhadap masing-masing individu—apa yang benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Dalam konteks ini, tidak ada ukuran objektif yang dapat digunakan untuk menilai pengetahuan atau nilai moral secara universal.² Meski demikian, ajaran Protagoras menuai kritik tajam dari Plato yang menilai bahwa relativisme seperti ini akan meruntuhkan fondasi kebenaran dan keadilan.³

3.2.       Fase Modern Awal: Kesadaran sebagai Fondasi Pengetahuan (Descartes)

Lompatan besar dalam perkembangan subjektivisme terjadi pada era filsafat modern, terutama dalam karya René Descartes (1596–1650). Dengan metode keraguannya (doubt as method), Descartes mempertanyakan segala sesuatu kecuali eksistensi dirinya sebagai subjek yang berpikir: cogito ergo sum (“aku berpikir maka aku ada”).⁴ Dalam hal ini, subjektivitas menjadi titik awal dari segala kepastian filosofis dan pengetahuan. Descartes menganggap kesadaran sebagai pondasi utama dari filsafat, di mana semua pengetahuan harus diturunkan dari refleksi rasional si subjek.⁵ Pendekatan ini meletakkan dasar bagi subjektivisme epistemologis, meskipun Descartes sendiri tetap mempertahankan gagasan kebenaran objektif melalui eksistensi Tuhan.

3.3.       Fase Empirisme dan Etika: David Hume

Penguatan dimensi subjektivisme dalam etika terjadi melalui pemikiran David Hume (1711–1776), filsuf empiris asal Skotlandia. Hume menolak klaim bahwa prinsip moral dapat didasarkan pada rasio; menurutnya, “reason is, and ought only to be the slave of the passions”.⁶ Moralitas, dalam pandangan Hume, bersumber dari perasaan atau sentimen moral, bukan dari deduksi logis.⁷ Dengan demikian, baik dan buruk merupakan refleksi dari perasaan subjektif seseorang terhadap suatu tindakan, bukan kenyataan objektif yang melekat pada tindakan itu sendiri. Pandangan ini menjadi fondasi bagi teori-teori etika subjektivis dan emotivisme pada abad ke-20.

3.4.       Fase Kritik dan Transformasi: Immanuel Kant dan Subjektivisme Transendental

Meski tidak secara langsung mengusung subjektivisme, Immanuel Kant (1724–1804) turut mengukuhkan posisi subjek sebagai pusat konstruksi pengetahuan melalui doktrin “subjektivisme transendental.” Dalam Critique of Pure Reason, Kant membedakan antara dunia noumenal (realitas pada dirinya) dan dunia fenomenal (realitas sebagaimana ditangkap oleh subjek).⁸ Pengetahuan manusia dibatasi oleh struktur kesadaran subyektif seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori intelek. Oleh karena itu, realitas yang kita pahami selalu merupakan hasil konstruksi kesadaran.⁹

3.5.       Subjektivisme Kontemporer: Eksistensialisme dan Postmodernisme

Pada abad ke-20, subjektivisme berkembang dalam bentuk yang lebih eksistensial dan kultural. Dalam pemikiran Jean-Paul Sartre, manusia adalah makhluk yang bebas sepenuhnya dan bertanggung jawab atas makna hidupnya. Ia menolak eksistensi nilai-nilai objektif yang sudah mapan, dan menegaskan bahwa manusia harus menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan.¹⁰ Subjektivisme eksistensial Sartre menolak esensi yang mendahului eksistensi, menjadikan kesadaran subyektif sebagai sumber nilai dan makna.

Di sisi lain, pemikiran postmodern seperti dalam karya Michel Foucault dan Jacques Derrida juga mengusung semangat subjektivisme dengan menggugat klaim objektivitas dalam ilmu pengetahuan, sejarah, dan etika. Mereka menyoroti bagaimana struktur kekuasaan dan bahasa membentuk kebenaran yang bersifat lokal dan kontekstual.¹¹ Kebenaran menjadi sesuatu yang diproduksi, bukan ditemukan.


Kesimpulan Historis

Dengan demikian, subjektivisme dalam filsafat telah melalui jalur panjang dari relativisme awal Protagoras, fondasi rasional Descartes, sentimen moral Hume, kesadaran transendental Kant, hingga penciptaan makna dalam eksistensialisme dan dekonstruksi postmodernisme. Perjalanan ini menunjukkan bagaimana subjektivisme tidak hanya menjadi instrumen refleksi personal, tetapi juga membentuk cara berpikir manusia tentang realitas, moralitas, dan pengetahuan dalam sejarah filsafat.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2003), 152a.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome, vol. 1 (New York: Image Books, 1993), 386.

[3]                Ibid., 389–391.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–18.

[5]                Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant (London: Routledge, 1984), 27–28.

[6]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 415.

[7]                Ibid., 457–470.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), A19/B33–A30/B45.

[9]                Roger Scruton, Kant: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 42–44.

[10]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–25.

[11]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.


4.           Subjektivisme dalam Epistemologi

Dalam epistemologi—cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, dan validitas pengetahuan—subjektivisme merupakan posisi yang menekankan bahwa pengetahuan selalu bersandar pada pengalaman dan perspektif individu sebagai subjek yang mengetahui. Dengan kata lain, segala bentuk pengetahuan dipahami sebagai konstruksi yang tak terelakkan dari kesadaran dan kerangka interpretatif manusia, bukan sebagai cerminan langsung dari realitas objektif.¹

4.1.       Kesadaran sebagai Titik Awal Pengetahuan

Akar dari subjektivisme epistemologis dapat ditelusuri kembali kepada René Descartes, yang dalam Meditations on First Philosophy menegaskan bahwa keraguan terhadap dunia luar justru membenarkan keberadaan subjek yang ragu: cogito ergo sum.² Dari sini, Descartes memposisikan kesadaran sebagai dasar utama dalam membangun pengetahuan yang dapat dipercaya. Subjektivitas menjadi fondasi bagi pengetahuan karena hanya melalui kesadaranlah realitas dapat dikenali dan diinterpretasikan.

Meski Descartes masih berupaya menjembatani antara subjek dan dunia luar dengan argumen rasionalis tentang Tuhan sebagai penjamin kebenaran, warisannya membekas kuat dalam perkembangan epistemologi yang menekankan keutamaan kesadaran individu dalam proses mengetahui.

4.2.       Pandangan Empiris dan Kritik terhadap Objektivitas

Dalam tradisi empirisme, pemikiran John Locke dan George Berkeley memperkuat pendekatan subjektivis dengan menekankan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi.³ Namun, pendekatan ini mencapai puncaknya dalam filsafat David Hume, yang menyatakan bahwa semua pengetahuan merupakan hasil dari impresi (kesan langsung) dan ide (salinan dari impresi).⁴ Bagi Hume, sebab-akibat, identitas pribadi, dan bahkan keberadaan dunia luar tidak dapat dibuktikan secara rasional, melainkan hanya merupakan kebiasaan psikologis.⁵ Ini berarti bahwa validitas pengetahuan sangat ditentukan oleh keadaan batin dan persepsi subjek, bukan oleh realitas objektif yang berdiri sendiri.

4.3.       Kritik Kantian dan Subjektivisme Transendental

Konsepsi ini dilanjutkan oleh Immanuel Kant, yang melalui pendekatan subjektivisme transendental, membedakan antara noumenon (realitas pada dirinya sendiri) dan phenomenon (realitas sebagaimana dialami subjek). Menurut Kant, pengetahuan tidak hanya ditentukan oleh data empiris, tetapi juga oleh struktur apriori dalam kesadaran manusia seperti ruang, waktu, dan kategori intelek.⁶ Pengetahuan bukanlah hasil dari objek yang “masuk” ke dalam subjek, melainkan hasil dari aktivitas subjek yang “membentuk” objek melalui kerangka konseptual bawaan.⁷ Dengan demikian, realitas objektif sebagaimana adanya tidak pernah benar-benar dapat diketahui secara langsung; yang kita ketahui hanyalah realitas sebagaimana muncul dalam kesadaran.

4.4.       Subjektivisme dalam Epistemologi Kontemporer

Dalam filsafat abad ke-20, subjektivisme epistemologis berkembang dalam bentuk relativisme epistemik, fenomenologi, dan konstruktivisme sosial.

·                     Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl menempatkan kesadaran (intentionalitas) sebagai pusat semua bentuk pengalaman. Pengetahuan selalu diarahkan kepada objek, tetapi objek itu hanya hadir dalam horizon kesadaran subyektif.⁸

·                     Dalam konstruktivisme sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn, ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear menuju kebenaran objektif, melainkan melalui paradigm shifts yang dipengaruhi oleh faktor sosiokultural dan keyakinan komunitas ilmiah.⁹ Kebenaran ilmiah, dalam kerangka ini, bersifat relatif terhadap paradigma dominan pada masa tertentu, bukan kebenaran mutlak yang bebas dari pengaruh subjek.

·                     Michel Foucault, dalam pendekatan genealogisnya, menunjukkan bahwa “pengetahuan” dan “kebenaran” dibentuk melalui relasi kekuasaan dan rezim diskursif, sehingga tidak dapat dilepaskan dari kepentingan subyektif dan struktur sosial.¹⁰


Dampak dan Implikasi

Implikasi dari subjektivisme dalam epistemologi cukup luas. Di satu sisi, ia membuka ruang bagi penghargaan terhadap pluralitas perspektif, pengakuan atas keterbatasan pengetahuan manusia, dan perhatian pada konteks personal, sosial, dan historis dalam proses pengetahuan. Namun, di sisi lain, ia juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemungkinan objektivitas, validitas universal, dan dasar rasional dari klaim-klaim kebenaran.

Sejumlah filsuf berusaha menjembatani antara subjektivisme dan objektivitas melalui gagasan intersubjektivitas, yaitu bahwa klaim-klaim pengetahuan dapat diuji dan dibagikan secara rasional dalam komunitas epistemik.¹¹ Dengan demikian, subjektivisme epistemologis tidak harus berarti nihilisme atau relativisme total, melainkan bisa menjadi dasar bagi dialog, refleksi, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang peran subjek dalam membentuk dunia yang dikenalnya.


Footnotes

[1]                Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant (London: Routledge, 1984), 24.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–19.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), Book II.

[4]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.1.1–1.1.4.

[5]                Ibid., 1.3.6.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), A51/B75–A64/B89.

[7]                Roger Scruton, Kant: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 34–36.

[8]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 44–48.

[9]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 136–142.

[10]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.

[11]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.


5.           Subjektivisme dalam Etika

Subjektivisme dalam etika adalah pandangan metaetika yang menolak eksistensi nilai-nilai moral objektif dan universal. Dalam kerangka ini, klaim-klaim moral seperti "membunuh itu salah" atau "berderma itu baik" tidak merepresentasikan fakta moral yang independen dari subjek, melainkan hanya mengungkapkan sikap, preferensi, atau perasaan pribadi seseorang terhadap suatu tindakan.¹ Oleh karena itu, makna moral dianggap bersifat relatif terhadap pengalaman batin dan penilaian subjektif masing-masing individu.

5.1.       Ciri-Ciri Umum Etika Subjektivis

Subjektivisme etika ditandai oleh beberapa prinsip utama:

1)                  Moralitas bersumber dari subjek, bukan dari tatanan nilai objektif di luar manusia.

2)                  Tidak ada standar moral absolut yang dapat diuji secara empiris atau logis.

3)                  Penilaian moral adalah ekspresi sikap emosional atau persepsi pribadi, bukan pernyataan tentang fakta moral.

5.2.       David Hume dan Dasar Emosional Moralitas

Tokoh utama dalam fondasi subjektivisme etika adalah David Hume, yang dalam A Treatise of Human Nature menyatakan bahwa moralitas tidak dapat diturunkan dari nalar semata. Menurut Hume, emosi atau sentimen memainkan peran utama dalam membentuk penilaian moral.² Ia menegaskan bahwa “reason is, and ought only to be, the slave of the passions,” menunjukkan bahwa rasio tidak bisa menjadi sumber utama prinsip etis.³ Dengan demikian, yang disebut “baik” atau “buruk” tidak bersifat objektif, tetapi tergantung pada perasaan yang dirasakan oleh si subjek terhadap suatu tindakan.

5.3.       Simple Subjectivism dan Kritiknya

Bentuk paling mendasar dari etika subjektivis dikenal sebagai simple subjectivism, yang memandang pernyataan moral sebagai laporan tentang sikap individu. Misalnya, ketika seseorang berkata “berbohong itu salah,” yang sebenarnya dimaksud adalah “saya tidak menyukai berbohong.”⁴ Pendekatan ini menekankan kejujuran dalam mengekspresikan pandangan moral, namun memiliki kelemahan dalam menjelaskan konflik moral yang nyata. Jika perbedaan moral hanyalah perbedaan perasaan, maka tidak ada dasar rasional untuk berdiskusi atau mengkritisi tindakan orang lain.⁵

5.4.       Emotivisme: Subjektivisme Emosional

Sebagai pengembangan dari simple subjectivism, emotivisme menegaskan bahwa pernyataan moral tidak bersifat kognitif, melainkan emotif atau preskriptif. Tokoh seperti A.J. Ayer dan Charles L. Stevenson menyatakan bahwa kalimat seperti “membunuh itu salah” lebih merupakan seruan emosional (“jangan membunuh!”) ketimbang pernyataan fakta.⁶ Dalam pandangan ini, etika tidak berbicara tentang apa yang benar, tetapi lebih kepada mengungkapkan dan mempengaruhi sikap moral orang lain.⁷

Namun, pendekatan ini menuai kritik karena menghapus fungsi argumentatif dalam diskursus etika. Jika semua pernyataan moral hanyalah luapan emosi, maka diskusi etis menjadi sekadar konflik selera yang tidak dapat diselesaikan dengan penalaran.

5.5.       Subjektivisme dalam Etika Kontemporer

Dalam filsafat moral kontemporer, subjektivisme berkembang ke arah yang lebih kompleks, seperti relativisme budaya dan subjektivisme metaetika modern. Relativisme budaya menyatakan bahwa standar moral bergantung pada norma masyarakat tertentu, sementara metaetika subjektivis lebih fokus pada fondasi epistemologis dan psikologis dari nilai-nilai moral.⁸

Beberapa filsuf mencoba mempertahankan subjektivisme moderat melalui pendekatan konsensus moral atau intersubjektivitas, yaitu bahwa meskipun moralitas bersumber dari subjek, nilai-nilai etis tetap bisa dibangun bersama melalui dialog dan rasionalitas publik.⁹ Pandangan ini membuka jalan bagi diskursus etika dalam masyarakat pluralistik tanpa jatuh ke dalam relativisme nihilistik.


Implikasi Etika Subjektivis

Subjektivisme etika memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang seperti politik, hukum, pendidikan, dan budaya populer. Di satu sisi, ia mendorong toleransi terhadap keberagaman nilai dan pandangan hidup. Di sisi lain, ia juga menimbulkan tantangan serius terhadap fondasi normatif untuk mengevaluasi tindakan, menetapkan keadilan, dan menyelesaikan konflik moral dalam masyarakat multikultural.


Footnotes

[1]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 2003), 32–34.

[2]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 457–463.

[3]                Ibid., 415.

[4]                Russ Shafer-Landau, Moral Realism: A Defence (Oxford: Clarendon Press, 2003), 18–20.

[5]                Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 35–36.

[6]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 110–112.

[7]                Charles L. Stevenson, Ethics and Language (New Haven: Yale University Press, 1944), 21–23.

[8]                Richard Garner and Bernard Rosen, Moral Philosophy: A Systematic Introduction to Normative Ethics and Meta-Ethics (New York: Macmillan, 1967), 42–45.

[9]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–92.


6.           Kritik terhadap Subjektivisme

Meskipun subjektivisme telah memainkan peran penting dalam sejarah filsafat, baik dalam epistemologi maupun etika, pendekatan ini juga menghadapi berbagai kritik serius dari para filsuf yang menganggapnya problematik secara teoritis dan berbahaya secara praktis. Kritik terhadap subjektivisme berangkat dari kekhawatiran bahwa paham ini berpotensi meniadakan landasan rasional dan normatif untuk menilai kebenaran serta moralitas secara konsisten.¹

6.1.       Masalah Relativisme dan Kontradiksi Diri

Salah satu kritik utama terhadap subjektivisme adalah tuduhan bahwa ia secara implisit mengarah pada relativisme total, yang menyatakan bahwa semua pandangan adalah sama benarnya tergantung dari perspektif subjek masing-masing.² Jika setiap individu memiliki kebenarannya sendiri, maka tidak ada dasar objektif untuk menyelesaikan konflik klaim pengetahuan atau penilaian moral. Hal ini menyebabkan masalah kontradiksi diri, yakni ketika seseorang mengklaim secara universal bahwa “tidak ada kebenaran universal,” pernyataan tersebut menjadi self-refuting.³

Plato telah lebih dulu menyadari kelemahan ini dalam menanggapi relativisme sofis Protagoras. Dalam dialog Theaetetus, Plato menunjukkan bahwa jika semua pendapat individu dianggap benar, maka klaim bahwa "semua pendapat adalah benar" juga dapat dibantah oleh pendapat yang menyatakan sebaliknya.⁴

6.2.       Kehilangan Landasan Normatif dalam Etika

Dalam ranah etika, subjektivisme dipandang mereduksi penilaian moral menjadi persoalan preferensi atau ekspresi emosi belaka, tanpa menyediakan mekanisme evaluasi rasional antar pandangan moral yang berbeda.⁵ Misalnya, jika seseorang menyatakan bahwa "diskriminasi rasial itu salah" dan orang lain menyatakan sebaliknya, maka menurut subjektivisme keduanya sama-sama benar menurut perasaannya masing-masing. Kritik ini menekankan bahwa subjektivisme melemahkan dasar bagi perlawanan terhadap ketidakadilan moral.⁶

G.E. Moore, dalam karyanya Principia Ethica, mengajukan kritik terhadap bentuk subjektivisme dan naturalisme etika melalui apa yang disebutnya sebagai “naturalistic fallacy”, yakni kesalahan dalam menyamakan kebaikan dengan sifat psikologis atau biologis tertentu.⁷ Bagi Moore, kebaikan adalah kualitas non-natural yang tidak dapat direduksi ke preferensi pribadi atau emosi.

6.3.       Subjektivisme dan Krisis Epistemik

Dalam epistemologi, subjektivisme dianggap berbahaya karena membuka jalan bagi skeptisisme radikal dan relativisme kognitif, yang mengaburkan batas antara opini dan pengetahuan.⁸ Jika semua klaim kebenaran tergantung pada pengalaman atau persepsi subjektif, maka tidak ada landasan untuk membedakan antara keyakinan yang valid dan yang keliru. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan yang mengandalkan objektivitas dan keterujian secara intersubjektif.

Karl Popper, dalam kritiknya terhadap relativisme epistemologis, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang bukan karena keyakinan subjektif, tetapi karena metode falsifikasi yang menguji hipotesis secara terbuka dan rasional.⁹ Subjektivisme, dalam hal ini, dianggap gagal menyediakan standar kritis untuk menilai kemajuan pengetahuan.

6.4.       Penolakan terhadap Otoritas Rasional

Kritik lain datang dari pendekatan rasionalis dan realis, yang menekankan perlunya prinsip moral dan kebenaran objektif sebagai landasan bagi dialog dan kehidupan bersama. Menurut Alasdair MacIntyre, dalam After Virtue, subjektivisme modern telah memutuskan etika dari akar historis dan teleologisnya, sehingga menghasilkan masyarakat yang individualistik dan terfragmentasi secara moral.¹⁰ Subjektivisme, menurut MacIntyre, menciptakan situasi di mana argumen moral tidak lagi bermakna karena tidak didasarkan pada kerangka nilai bersama.

6.5.       Upaya Jalan Tengah: Intersubjektivitas dan Komunikasi Rasional

Sebagai respons terhadap ekstrem subjektivisme maupun objektivisme dogmatis, beberapa filsuf seperti Jürgen Habermas mengusulkan model intersubjektivitas komunikatif, di mana kebenaran dan norma etis dibentuk melalui proses dialogis yang rasional dan terbuka dalam ruang publik.¹¹ Pendekatan ini tidak meniadakan subjektivitas, tetapi menekankan bahwa klaim-klaim kebenaran dan moralitas harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan subjek lain dalam proses diskursif.


Kesimpulan

Kritik terhadap subjektivisme menunjukkan bahwa meskipun pendekatan ini menawarkan pemahaman yang mendalam mengenai peran kesadaran dan emosi dalam moralitas dan pengetahuan, ia menghadapi tantangan serius dalam menyediakan dasar rasional untuk kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, banyak filsuf kontemporer mencoba mencari keseimbangan antara subjektivitas individu dan prinsip-prinsip rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan filosofis.


Footnotes

[1]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 2003), 35–36.

[2]                Richard Garner and Bernard Rosen, Moral Philosophy: A Systematic Introduction to Normative Ethics and Meta-Ethics (New York: Macmillan, 1967), 45.

[3]                William Lane Craig, Philosophical Foundations for a Christian Worldview (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003), 395–396.

[4]                Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2003), 171a–172c.

[5]                Russ Shafer-Landau, Moral Realism: A Defence (Oxford: Clarendon Press, 2003), 27–28.

[6]                John Kekes, The Morality of Pluralism (Princeton: Princeton University Press, 1993), 48–49.

[7]                G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 10–15.

[8]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 3–5.

[9]                Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 2002), 34–36.

[10]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 2–5.

[11]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 43–45.


7.           Subjektivisme dalam Pemikiran Kontemporer

Pemikiran kontemporer dalam filsafat memperlihatkan kompleksitas baru dalam pengembangan subjektivisme. Jika dalam tradisi klasik dan modern subjektivisme terutama dipahami dalam konteks epistemologi dan etika personal, maka dalam wacana abad ke-20 dan 21, paham ini berkembang melintasi batas kesadaran individual menuju kajian-kajian fenomenologis, eksistensial, linguistik, kultural, dan politik. Subjektivisme dalam konteks ini tidak lagi sekadar berkutat pada relativisme pribadi, tetapi menjadi landasan untuk menafsirkan struktur pengalaman manusia, relasi kuasa, dan konstruksi sosial kebenaran serta identitas.

7.1.       Fenomenologi: Kesadaran dan Dunia yang Dimaknai

Aliran fenomenologi, yang dipelopori oleh Edmund Husserl, menempatkan kesadaran subjek sebagai pusat semua bentuk pengalaman dan pengertian. Melalui konsep intentionalitas—yakni bahwa setiap kesadaran selalu menuju sesuatu—Husserl berupaya menunjukkan bahwa dunia hanya bermakna sejauh ia hadir dalam horizon kesadaran subjektif.¹ Dalam kerangka ini, pengetahuan dan makna tidak bersifat objektif dalam arti bebas dari kesadaran, melainkan terbentuk melalui cara dunia "diberikan" dalam pengalaman subjek.²

Fenomenologi memperluas subjektivisme dari ranah penilaian personal menuju metodologi filosofis yang mengakui peran fundamental subjek dalam membentuk struktur realitas yang dialami.³

7.2.       Eksistensialisme: Kebebasan, Makna, dan Subjektivitas Radikal

Subjektivisme kontemporer juga berkembang melalui eksistensialisme, terutama dalam pemikiran Jean-Paul Sartre. Sartre menolak gagasan bahwa manusia memiliki esensi yang telah ditentukan sebelumnya, dan menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi” (l’existence précède l’essence).⁴ Dalam pandangannya, manusia adalah makhluk bebas yang harus menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan. Dalam dunia tanpa nilai-nilai objektif yang tertanam dari luar, manusia bertanggung jawab secara penuh atas makna dan moralitas yang ia bangun.⁵

Subjektivisme eksistensial Sartre berbeda dari relativisme pasif; ia menuntut kesadaran akan tanggung jawab personal dalam kondisi keterlemparan (throwness) dan absurditas hidup.⁶ Pemikiran ini menjadi penting dalam diskursus tentang otonomi moral, identitas diri, dan makna keberadaan dalam masyarakat sekuler dan pluralistik.

7.3.       Postmodernisme: Dekonstruksi Kebenaran dan Identitas

Dalam ranah postmodernisme, subjektivisme mendapat bentuk yang lebih radikal. Tokoh seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida menyangsikan keberadaan struktur kebenaran yang stabil dan universal. Foucault menunjukkan bagaimana “kebenaran” bukan sesuatu yang netral, tetapi terbentuk dalam jaringan relasi kuasa dan rezim diskursif.⁷ Pengetahuan tidak terlepas dari subjektivitas—baik dari individu maupun institusi—yang memproduksinya dalam konteks historis dan politik tertentu.⁸

Derrida, melalui pendekatan dekonstruksinya, menolak keberadaan makna tunggal dalam teks dan mempersoalkan fondasi-fondasi metafisika Barat. Ia mengembangkan gagasan bahwa bahasa dan makna selalu bersifat diferensial, tak stabil, dan terus bergeser.⁹ Dalam konteks ini, subjektivisme ditarik hingga ke akar semiotik, di mana identitas dan kebenaran menjadi hasil konstruksi terus-menerus dalam medan permainan tanda.¹⁰

7.4.       Subjektivisme dan Identitas Sosial-Budaya

Pemikiran kontemporer juga memperlihatkan bagaimana subjektivisme digunakan untuk menafsirkan identitas-identitas sosial seperti gender, ras, dan kelas. Judith Butler, misalnya, mengembangkan teori gender performativity yang menyatakan bahwa identitas gender bukan esensi biologis yang tetap, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang diulang-ulang melalui tindakan dan bahasa.¹¹ Ini merupakan bentuk subjektivisme yang menantang pandangan esensialis tentang manusia, dan membuka ruang untuk pembebasan identitas melalui tindakan subversif.

Dalam bidang ini, subjektivisme berpadu dengan teori kritis, teori poskolonial, dan studi budaya untuk memperlihatkan bahwa struktur sosial dan pengetahuan adalah produk negosiasi subjektif yang berlangsung dalam dinamika kekuasaan.

7.5.       Respons Kritis dan Upaya Keseimbangan

Subjektivisme kontemporer sering dituduh jatuh dalam relativisme radikal yang mengaburkan batas antara fakta dan opini. Kritik datang dari berbagai filsuf yang tetap menekankan pentingnya rasionalitas, intersubjektivitas, dan konsensus publik. Jürgen Habermas, misalnya, mengembangkan teori tindakan komunikatif yang mencoba menjembatani antara subjektivitas individu dan rasionalitas universal melalui diskursus intersubjektif.¹²

Habermas menunjukkan bahwa meskipun klaim kebenaran dan moralitas berasal dari subjek, klaim tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam ruang publik melalui argumen yang rasional dan terbuka.¹³ Dengan demikian, subjektivisme tidak harus berarti penolakan terhadap norma, melainkan harus dilihat sebagai titik berangkat menuju rekonstruksi norma bersama.


Kesimpulan

Subjektivisme dalam pemikiran kontemporer bukanlah sekadar ekspresi relativisme pribadi, melainkan mencakup refleksi mendalam tentang peran subjek dalam membentuk makna, pengetahuan, dan identitas. Melalui fenomenologi, eksistensialisme, postmodernisme, dan teori budaya, subjektivisme telah menjadi alat kritis untuk menantang otoritas absolut, membuka ruang pluralitas, dan menyoroti dinamika kuasa dalam produksi kebenaran. Meski demikian, tantangan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan subjektif dan tanggung jawab sosial tetap menjadi agenda filosofis yang relevan hingga kini.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 44–46.

[2]                Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London: Routledge, 2000), 137–139.

[3]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), viii–ix.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[5]                Ibid., 35–36.

[6]                Thomas Flynn, Sartre and Existentialism (London: Routledge, 2006), 51.

[7]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–135.

[8]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1979), 27–30.

[9]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–160.

[10]             Christopher Norris, Deconstruction: Theory and Practice (London: Methuen, 1982), 11–15.

[11]             Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–30.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[13]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 42–45.


8.           Implikasi Subjektivisme dalam Kehidupan Modern

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai oleh pluralitas nilai, globalisasi informasi, serta desentralisasi otoritas, subjektivisme tidak hanya menjadi aliran pemikiran dalam ruang filsafat, tetapi juga membentuk cara manusia memahami realitas, membangun identitas, dan berinteraksi sosial. Subjektivisme modern—baik dalam bentuk epistemologis maupun etis—menawarkan pembebasan dari otoritarianisme dogmatis, namun sekaligus menimbulkan dilema baru dalam hal keutuhan moral, validitas pengetahuan, dan konsensus sosial.

8.1.       Otonomi Individu dan Kebebasan Berpendapat

Salah satu implikasi positif dari subjektivisme adalah meningkatnya penghargaan terhadap otonomi individu. Dalam dunia yang semakin menghargai kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, subjektivisme menyediakan dasar filosofis bagi legitimasi pendapat personal dan nilai-nilai individual.¹ Pandangan bahwa kebenaran dan moralitas bergantung pada pengalaman serta kesadaran masing-masing orang membuka ruang bagi kebhinekaan cara hidup dan pandangan dunia.

Fenomena ini tampak jelas dalam munculnya masyarakat liberal modern yang mengedepankan pluralisme, toleransi, dan kebebasan beragama.² Dalam pendidikan, pendekatan konstruktivis yang dipengaruhi oleh epistemologi subjektivis menekankan peran aktif peserta didik dalam membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman dan penalarannya sendiri.³

8.2.       Relativisme Nilai dan Krisis Moral

Namun, subjektivisme juga membawa konsekuensi yang menantang, khususnya dalam bentuk relativisme nilai yang menyulitkan masyarakat dalam menetapkan batas-batas moral yang disepakati bersama. Ketika semua pendapat dianggap sama benarnya hanya karena bersifat subjektif, maka potensi untuk membela nilai-nilai moral universal seperti keadilan, kesetaraan, atau hak asasi manusia menjadi lemah.⁴

Dalam dunia digital, misalnya, media sosial menjadi ruang di mana setiap individu merasa berhak menyampaikan “kebenaran versinya” tanpa perlu mempertanggungjawabkannya secara rasional atau etik.⁵ Hal ini mengaburkan perbedaan antara opini dan fakta, antara kritik dan ujaran kebencian. Akibatnya, terjadi krisis epistemik yang membuat publik sulit membedakan antara informasi yang kredibel dan hoaks.⁶

8.3.       Subjektivisme dan Identitas Sosial

Dalam ranah identitas, subjektivisme kontemporer mendorong pendekatan yang lebih inklusif terhadap keunikan individu, termasuk dalam isu-isu gender, etnis, dan orientasi seksual. Seperti yang dikemukakan oleh Judith Butler, identitas bukanlah sesuatu yang tetap atau esensial, melainkan hasil dari proses performatif dan konstruksi sosial yang bersifat dinamis.⁷

Pemahaman ini memberi kontribusi terhadap pengakuan dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok marjinal, namun juga menantang struktur sosial dan hukum yang berakar pada asumsi esensialisme. Dalam tataran politik, subjektivisme mendorong pergeseran dari demokrasi representatif ke arah demokrasi partisipatif yang berbasis pada pengakuan pluralitas pengalaman dan perspektif.⁸

8.4.       Subjektivisme dan Konsumerisme Budaya

Kehidupan modern juga menunjukkan bagaimana subjektivisme dieksploitasi oleh sistem ekonomi dan budaya populer, terutama dalam bentuk konsumerisme identitas. Industri periklanan dan media massa menyasar preferensi subjektif individu untuk membentuk gaya hidup, citra diri, dan kebutuhan semu.⁹ Dalam masyarakat kapitalistik, subjek sering kali diposisikan sebagai “konsumen” yang bebas memilih, namun sebenarnya diarahkan oleh logika pasar dan ideologi neoliberal yang tidak terlihat.

Dalam hal ini, subjektivisme justru berbalik menjadi alat manipulasi psikologis dan pembentukan “diri” yang terfragmentasi oleh komodifikasi nilai-nilai personal.¹⁰ Kritik semacam ini dikembangkan dalam teori-teori kritis seperti Frankfurt School, yang menyoroti bagaimana subjektivitas modern tidak selalu menghasilkan kebebasan sejati, tetapi bisa juga menjadi bentuk alienasi baru.¹¹

8.5.       Menuju Etika Intersubjektif dan Rasionalitas Publik

Untuk mengatasi tantangan tersebut, para filsuf kontemporer mengusulkan pendekatan yang menyeimbangkan antara kebebasan subjektif dan tanggung jawab sosial. Jürgen Habermas, misalnya, mengembangkan gagasan diskursus etika, yaitu model komunikasi rasional yang memungkinkan subjek-subjek otonom mencapai konsensus melalui dialog terbuka dan bebas dari dominasi.¹²

Dalam kerangka ini, subjektivisme tidak ditolak, tetapi dikontekstualisasikan dalam ruang publik yang intersubjektif. Kebenaran dan nilai moral bukan lagi dianggap sebagai realitas eksternal yang dipaksakan, tetapi sebagai hasil dari interaksi rasional antar subjek yang setara.¹³ Ini menjadi fondasi etika demokratis yang menjembatani antara subjektivitas personal dan tanggung jawab kolektif.


Kesimpulan

Subjektivisme dalam kehidupan modern memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang: di satu sisi, ia memperkuat otonomi individu dan penghargaan terhadap pluralitas; namun di sisi lain, ia juga membawa risiko relativisme yang menggerus landasan moral dan epistemik bersama. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan penghargaan terhadap pengalaman subjektif tanpa mengorbankan nilai-nilai universal yang dibutuhkan untuk hidup bersama secara adil dan rasional. Oleh karena itu, peran etika diskursif, pendidikan kritis, dan kesadaran intersubjektif menjadi semakin vital dalam membingkai subjektivisme sebagai kekuatan emansipatoris, bukan disintegratif.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 27–28.

[2]                Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 3–5.

[3]                Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning (London: Routledge, 1995), 1–3.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 2–5.

[5]                Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 157–159.

[6]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 5–6.

[7]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–30.

[8]                Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 19–22.

[9]                Naomi Klein, No Logo (New York: Picador, 2002), 3–6.

[10]             Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge: Polity Press, 2007), 12–15.

[11]             Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–97.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[13]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 42–45.


9.           Penutup

Subjektivisme, sebagai salah satu arus pemikiran sentral dalam sejarah filsafat, telah membentuk cara pandang manusia modern terhadap realitas, kebenaran, dan moralitas. Dengan menempatkan kesadaran, pengalaman, dan persepsi individu sebagai fondasi dalam menilai dunia dan membangun pengetahuan, subjektivisme memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman tentang otonomi, kebebasan berpikir, dan keunikan eksistensi manusia.¹ Dalam berbagai fase perkembangan historisnya—mulai dari relativisme Protagoras, rasionalisme Descartes, empirisme Hume, hingga eksistensialisme Sartre dan postmodernisme Derrida—subjektivisme menunjukkan fleksibilitasnya dalam merespons tantangan-tantangan filosofis maupun sosial.²

Dalam bidang epistemologi, subjektivisme menggeser fokus pengetahuan dari dunia eksternal menuju dinamika internal kesadaran. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu dapat diakses secara objektif dan universal, melainkan dipengaruhi oleh sudut pandang, bahasa, dan kerangka budaya si subjek yang mengetahui.³ Pendekatan ini memungkinkan munculnya teori-teori seperti konstruktivisme, relativisme epistemik, dan dekonstruksi, yang semuanya memperkaya diskursus tentang pengetahuan.⁴

Sementara itu, dalam bidang etika, subjektivisme menjadi dasar bagi pandangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai moral tidak bersifat absolut, melainkan ditentukan oleh sikap dan perasaan individu. Pandangan ini memiliki daya emancipatoris dalam menolak otoritarianisme moral, namun juga berisiko menimbulkan relativisme ekstrem yang melemahkan konsensus normatif dalam masyarakat pluralistik.⁵

Kritik terhadap subjektivisme datang dari berbagai arah: mulai dari rasionalis seperti Immanuel Kant yang menuntut struktur normatif apriori dalam pengetahuan, hingga para filsuf kontemporer seperti Jürgen Habermas yang berupaya merekonstruksi rasionalitas dalam kerangka intersubjektif.⁶ Di satu sisi, kritik ini mengingatkan kita akan pentingnya batas-batas tanggung jawab dalam kebebasan subjektif; di sisi lain, mereka juga memperkaya subjektivisme dengan dimensi dialogis dan etis yang lebih matang.

Dalam kehidupan modern, subjektivisme menunjukkan peran ganda: ia menjadi sumber kebebasan personal dan afirmasi identitas, sekaligus tantangan terhadap stabilitas norma, otoritas pengetahuan, dan etika publik. Dunia digital, demokrasi liberal, gerakan identitas, serta kultur konsumerisme, semuanya menjadi medan nyata di mana subjektivisme bekerja—baik secara membebaskan maupun memecah.⁷ Oleh karena itu, pendekatan terhadap subjektivisme tidak boleh bersifat hitam-putih: ia bukan ideologi yang sepenuhnya ditolak maupun dianut secara dogmatis, tetapi suatu kerangka filsafat yang menuntut refleksi kritis dan penggunaan yang bijak.

Mengakhiri pembahasan ini, dapat ditegaskan bahwa subjektivisme tetap relevan sebagai alat intelektual dalam menjawab tantangan filsafat dan kehidupan kontemporer, asalkan ia dilengkapi dengan kesadaran intersubjektif, keterbukaan dialog, dan tanggung jawab sosial. Seperti yang disampaikan oleh Hans-Georg Gadamer, kebenaran tidak berada pada satu kutub subjektif atau objektif semata, melainkan terungkap dalam fusi horizon antara subjek dan dunia, antara pengalaman pribadi dan percakapan bersama.⁸


Footnotes

[1]                Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant (London: Routledge, 1984), 23–25.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. IV–VI (New York: Image Books, 1994), 6–12.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 44–46.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 111–113.

[5]                James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 5th ed. (New York: McGraw-Hill, 2003), 32–34.

[6]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 42–45.

[7]                Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 155–159.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 302–305.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic (2nd ed.). Dover Publications.

Bauman, Z. (2007). Consuming life. Polity Press.

Boghosian, P. (2006). Fear of knowledge: Against relativism and constructivism. Oxford University Press.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy: Volumes IV–VI. Image Books.

Craig, W. L., & Moreland, J. P. (2003). Philosophical foundations for a Christian worldview. InterVarsity Press.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Flynn, T. (2006). Sartre and existentialism. Routledge.

Foucault, M. (1979). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Garner, R., & Rosen, B. (1967). Moral philosophy: A systematic introduction to normative ethics and meta-ethics. Macmillan.

Glasersfeld, E. von. (1995). Radical constructivism: A way of knowing and learning. Routledge.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Kant, I. (1965). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). St. Martin’s Press.

Klein, N. (2002). No logo. Picador.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship: A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.

Locke, J. (1690). An essay concerning human understanding. Thomas Basset.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge & Kegan Paul.

Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology. Routledge.

Moore, G. E. (1903). Principia ethica. Cambridge University Press.

Mouffe, C. (2000). The democratic paradox. Verso.

Norris, C. (1982). Deconstruction: Theory and practice. Methuen.

Plato. (2003). Theaetetus (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.

Popper, K. R. (2002). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Rachels, J. (2003). The elements of moral philosophy (5th ed.). McGraw-Hill.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Schacht, R. (1984). Classical modern philosophers: Descartes to Kant. Routledge.

Scruton, R. (2001). Kant: A very short introduction. Oxford University Press.

Shafer-Landau, R. (2003). Moral realism: A defence. Clarendon Press.

Stevenson, C. L. (1944). Ethics and language. Yale University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. Penguin Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar