Subjektivisme
Asal Usul, Perkembangan, dan Implikasinya dalam
Epistemologi dan Etika
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
paham subjektivisme dalam filsafat, mulai dari akar historisnya hingga
implikasinya dalam kehidupan kontemporer. Subjektivisme dipahami sebagai
pandangan filosofis yang menempatkan subjek, yakni kesadaran atau pengalaman
individu, sebagai pusat dalam penentuan makna, kebenaran, dan nilai. Pembahasan
dimulai dengan penelusuran asal-usul subjektivisme sejak masa Yunani Kuno,
kemudian berkembang dalam filsafat modern melalui pemikiran René Descartes,
David Hume, dan Immanuel Kant, serta mengalami elaborasi lebih lanjut dalam
eksistensialisme dan postmodernisme. Artikel ini mengkaji bagaimana
subjektivisme mempengaruhi epistemologi melalui relativisme pengetahuan dan
konstruktivisme, serta etika melalui pendekatan-pendekatan seperti emotivisme
dan relativisme moral. Kritik terhadap subjektivisme juga dikaji, terutama
berkaitan dengan potensi kontradiksi internal, relativisme ekstrem, dan krisis
normatif. Di akhir, artikel ini mengeksplorasi bagaimana subjektivisme
memanifestasikan diri dalam fenomena kehidupan modern, termasuk dalam ranah
media sosial, politik identitas, dan budaya konsumerisme. Sebagai penutup,
disoroti pentingnya integrasi antara kebebasan subjektif dan tanggung jawab
intersubjektif melalui pendekatan etika diskursif dan rasionalitas publik.
Artikel ini menawarkan sintesis kritis yang memperlihatkan peran produktif
maupun problematik subjektivisme dalam lanskap pemikiran dan budaya
kontemporer.
Kata Kunci: Subjektivisme, epistemologi, etika, relativisme,
eksistensialisme, postmodernisme, identitas, konstruktivisme, Habermas,
kebenaran.
PEMBAHASAN
Telaah Subjektivisme dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Subjektivisme
merupakan salah satu paham penting dalam filsafat yang menempatkan kesadaran
individu sebagai pusat penilaian atas realitas, kebenaran, dan nilai. Dalam
kerangka ini, sesuatu dianggap benar, baik, atau nyata bukan karena eksistensi
objektifnya, melainkan karena penghayatan atau keyakinan subjektif yang melekat
dalam kesadaran seseorang. Pandangan ini sering kali dikaitkan dengan posisi
epistemologis yang menekankan pengalaman personal sebagai dasar utama
pengetahuan, serta dengan pendekatan etis yang menyatakan bahwa nilai-nilai
moral tidak bersifat universal, melainkan ditentukan oleh perasaan atau
preferensi individual.
Akar pemikiran
subjektivisme dapat ditelusuri sejak masa Yunani Kuno, terutama dalam pandangan
Protagoras yang menyatakan bahwa “manusia adalah ukuran segala sesuatu”
(homo
mensura)—sebuah ungkapan yang menyiratkan bahwa kebenaran bersifat
relatif terhadap individu yang menilainya.¹ Pandangan ini menjadi fondasi awal
relativisme epistemologis yang kemudian berkembang dalam berbagai bentuk
sepanjang sejarah filsafat.
Dalam tradisi
filsafat modern, subjektivisme memperoleh bentuk yang lebih sistematis dalam
karya René Descartes melalui pendekatannya terhadap keraguan metodologis dan
penegasan cogito ergo sum
(“aku berpikir maka aku ada”) sebagai dasar pasti dari pengetahuan.²
Kesadaran subjek yang berpikir menjadi titik tolak bagi segala klaim
pengetahuan, menegaskan bahwa subjek memiliki peran sentral dalam memberi makna
terhadap realitas.³ Tokoh-tokoh setelah Descartes seperti David Hume dan
Immanuel Kant turut mengembangkan dimensi epistemologis dan etis dari
subjektivisme dengan cara yang lebih kompleks. Hume, misalnya, menegaskan bahwa
prinsip moral tidak berasal dari rasio, tetapi dari perasaan atau sentimen
individu.⁴
Dalam konteks etika,
subjektivisme muncul sebagai teori metaetika yang menolak adanya kebenaran
moral objektif. Nilai-nilai dianggap sebagai ekspresi sikap atau perasaan
personal, bukan sebagai realitas moral yang independen.⁵ Pandangan ini berlawanan
dengan posisi objektivis yang meyakini adanya prinsip-prinsip moral yang
universal dan dapat diakses secara rasional. Di sisi lain, dalam epistemologi,
subjektivisme berimplikasi pada pendekatan relativistik yang mempertanyakan
klaim kebenaran universal, dan lebih menekankan kerangka pengalaman individual
serta perspektif budaya dalam proses konstruksi pengetahuan.⁶
Relevansi
subjektivisme semakin mencuat dalam konteks dunia modern dan pascamodern yang
pluralistik dan relatif. Perkembangan teknologi informasi, kebebasan
berekspresi, serta pergeseran otoritas epistemik dari lembaga formal ke
ruang-ruang personal turut memperkuat pengaruh subjektivisme dalam berbagai
aspek kehidupan.⁷ Oleh karena itu, pembahasan mengenai subjektivisme tidak
hanya penting dalam konteks teoritis filsafat, tetapi juga dalam memahami
dinamika kontemporer tentang kebenaran, moralitas, dan identitas.
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif akar sejarah, perkembangan
pemikiran, serta implikasi filosofis dari subjektivisme, baik dalam bidang
epistemologi maupun etika. Dengan menelaah pemikiran para filsuf utama serta
mengkritisi relevansinya dalam kehidupan kontemporer, artikel ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang salah satu arus penting dalam
filsafat modern dan kontemporer.
Footnotes
[1]
Protagoras, seperti dikutip dalam Plato, Theaetetus,
terjemahan Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2003), 152a.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–18.
[3]
Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant
(London: Routledge, 1984), 24.
[4]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 470.
[5]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 110–111.
[6]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 111–113.
[7]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 28–30.
2.
Konsep Dasar Subjektivisme
Subjektivisme, dalam
pengertian filosofis, adalah suatu pandangan yang menempatkan subjek—yakni
individu dengan kesadaran dan pengalaman batin—sebagai pusat dalam penentuan
makna, kebenaran, atau nilai. Berbeda dengan objektivisme yang menganggap
kebenaran dan nilai-nilai bersifat independen terhadap pikiran manusia,
subjektivisme menekankan bahwa segala bentuk penilaian tergantung pada keadaan
internal subjek yang menilai.¹
Secara etimologis,
istilah “subjektivisme” berasal dari kata Latin subiectivus
yang berarti “berkaitan dengan subjek.” Dalam konteks filsafat modern, “subjek”
merujuk pada kesadaran manusia yang mampu mengenali, mengalami, dan memberi
makna terhadap dunia sekitarnya.² Oleh karena itu, subjektivisme sering kali
diartikan sebagai pendekatan yang menjadikan kesadaran individu sebagai sumber
utama dalam memahami realitas dan kebenaran.³
Dalam ranah epistemologi,
subjektivisme mengacu pada pandangan bahwa pengetahuan tidak dapat dipisahkan
dari pengalaman pribadi dan persepsi individu. Dengan kata lain, semua bentuk
klaim kebenaran sangat bergantung pada kerangka referensi subjek yang
mengalaminya.⁴ Pengetahuan, dalam pandangan ini, bukanlah hasil dari hubungan
pasif antara pikiran dan objek, melainkan produk dari interpretasi aktif oleh
subjek. Tokoh seperti Michel Foucault dan Thomas Kuhn mengembangkan pendekatan
ini dalam bentuk relativisme epistemologis yang menekankan pengaruh paradigma,
kekuasaan, dan konstruksi sosial dalam proses produksi pengetahuan.⁵
Sementara dalam
ranah etika,
subjektivisme moral menyatakan bahwa nilai-nilai moral bukanlah fakta objektif
yang dapat ditemukan atau dibuktikan, melainkan hasil dari sikap, preferensi,
atau perasaan subyektif seseorang. Dalam bentuknya yang paling sederhana, klaim
seperti “membunuh itu salah” tidak dianggap sebagai kebenaran universal,
melainkan sebagai pernyataan tentang sikap moral si pembicara terhadap tindakan
tersebut.⁶ Subjektivisme moral memiliki beberapa bentuk, mulai dari simple
subjectivism yang mengidentifikasi pernyataan moral sebagai
ekspresi sikap pribadi, hingga emotivisme yang memandang
pernyataan moral sebagai bentuk ekspresi emosional yang tidak memiliki nilai
kognitif.⁷
Dalam diskursus
filsafat kontemporer, subjektivisme juga muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih
kompleks, misalnya dalam eksistensialisme, di mana
kesadaran diri menjadi pusat penciptaan makna dalam dunia yang absurd.
Jean-Paul Sartre, misalnya, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang existence
precedes essence—artinya manusia terlebih dahulu eksis (hadir
sebagai subjek) sebelum memiliki esensi atau makna tertentu.⁸ Dengan demikian,
nilai dan kebenaran bukan sesuatu yang sudah ada secara objektif di luar
subjek, melainkan dibentuk oleh tindakan dan pilihan subjek itu sendiri.
Namun demikian,
subjektivisme tidak identik dengan relativisme mutlak. Banyak filsuf yang
berargumen bahwa meskipun pengalaman subyektif bersifat individual, namun tetap
dimungkinkan adanya intersubjektivitas—yakni kemampuan untuk saling memahami
antar subjek dalam konteks sosial dan linguistik yang sama.⁹ Hal ini memberi
peluang untuk menjembatani antara pemahaman subjektif dan pencapaian
kesepakatan normatif di tingkat sosial.
Dengan demikian,
konsep dasar subjektivisme mencakup suatu pandangan bahwa makna, kebenaran, dan
nilai bersifat tergantung pada subjek yang menyadari, menghayati, dan
menilainya. Pandangan ini tidak hanya berpengaruh besar dalam bidang
epistemologi dan etika, tetapi juga mewarnai perdebatan filsafat kontemporer
tentang identitas, makna hidup, dan dasar-dasar pengetahuan.
Footnotes
[1]
Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7 (New
York: Macmillan, 1967), 123.
[2]
Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant
(London: Routledge, 1984), 26.
[3]
Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy (London:
Routledge, 2002), 17.
[4]
Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 266–267.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 111.
[6]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 5th ed. (New
York: McGraw-Hill, 2003), 34–36.
[7]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 110–112.
[8]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.
[9]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–272.
3.
Sejarah dan Perkembangan Subjektivisme
Subjektivisme
sebagai sebuah aliran pemikiran tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan
berkembang melalui tahapan historis yang panjang dan kompleks. Sejarahnya dapat
ditelusuri mulai dari filsafat Yunani Kuno hingga pemikiran modern dan
kontemporer, dengan berbagai bentuk artikulasi yang berbeda sesuai konteks
intelektual dan kultural zamannya.
3.1.
Fase Awal: Yunani Kuno dan Relativisme
Protagoras
Pemikiran
subjektivis pertama kali terlihat dalam ajaran Protagoras (490–420 SM),
seorang sofis yang terkenal dengan pernyataannya: “manusia adalah ukuran segala sesuatu”
(homo
mensura).¹ Ungkapan ini mencerminkan keyakinan bahwa kebenaran
bersifat relatif terhadap masing-masing individu—apa yang benar bagi seseorang
belum tentu benar bagi orang lain. Dalam konteks ini, tidak ada ukuran objektif
yang dapat digunakan untuk menilai pengetahuan atau nilai moral secara
universal.² Meski demikian, ajaran Protagoras menuai kritik tajam dari Plato
yang menilai bahwa relativisme seperti ini akan meruntuhkan fondasi kebenaran
dan keadilan.³
3.2.
Fase Modern Awal: Kesadaran sebagai Fondasi
Pengetahuan (Descartes)
Lompatan besar dalam
perkembangan subjektivisme terjadi pada era filsafat modern, terutama dalam
karya René
Descartes (1596–1650). Dengan metode keraguannya (doubt as
method), Descartes mempertanyakan segala sesuatu kecuali eksistensi
dirinya sebagai subjek yang berpikir: cogito ergo sum
(“aku berpikir maka aku ada”).⁴ Dalam hal ini, subjektivitas menjadi
titik awal dari segala kepastian filosofis dan pengetahuan. Descartes menganggap
kesadaran sebagai pondasi utama dari filsafat, di mana semua pengetahuan harus
diturunkan dari refleksi rasional si subjek.⁵ Pendekatan ini meletakkan dasar
bagi subjektivisme epistemologis, meskipun Descartes sendiri tetap
mempertahankan gagasan kebenaran objektif melalui eksistensi Tuhan.
3.3.
Fase Empirisme dan Etika: David Hume
Penguatan dimensi
subjektivisme dalam etika terjadi melalui pemikiran David
Hume (1711–1776), filsuf empiris asal Skotlandia. Hume menolak
klaim bahwa prinsip moral dapat didasarkan pada rasio; menurutnya, “reason
is, and ought only to be the slave of the passions”.⁶ Moralitas,
dalam pandangan Hume, bersumber dari perasaan atau sentimen moral, bukan dari deduksi
logis.⁷ Dengan demikian, baik dan buruk merupakan refleksi dari perasaan
subjektif seseorang terhadap suatu tindakan, bukan kenyataan objektif yang
melekat pada tindakan itu sendiri. Pandangan ini menjadi fondasi bagi
teori-teori etika subjektivis dan emotivisme pada abad ke-20.
3.4.
Fase Kritik dan Transformasi: Immanuel Kant dan
Subjektivisme Transendental
Meski tidak secara
langsung mengusung subjektivisme, Immanuel Kant (1724–1804) turut
mengukuhkan posisi subjek sebagai pusat konstruksi pengetahuan melalui doktrin
“subjektivisme transendental.” Dalam Critique of Pure Reason, Kant
membedakan antara dunia noumenal (realitas pada dirinya)
dan dunia fenomenal
(realitas sebagaimana ditangkap oleh subjek).⁸ Pengetahuan manusia dibatasi
oleh struktur kesadaran subyektif seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori
intelek. Oleh karena itu, realitas yang kita pahami selalu merupakan hasil
konstruksi kesadaran.⁹
3.5.
Subjektivisme Kontemporer: Eksistensialisme dan
Postmodernisme
Pada abad ke-20,
subjektivisme berkembang dalam bentuk yang lebih eksistensial dan kultural.
Dalam pemikiran Jean-Paul Sartre, manusia
adalah makhluk yang bebas sepenuhnya dan bertanggung jawab atas makna hidupnya.
Ia menolak eksistensi nilai-nilai objektif yang sudah mapan, dan menegaskan
bahwa manusia harus menciptakan dirinya sendiri melalui
pilihan.¹⁰ Subjektivisme eksistensial Sartre menolak esensi yang
mendahului eksistensi, menjadikan kesadaran subyektif sebagai sumber nilai dan
makna.
Di sisi lain,
pemikiran postmodern seperti dalam karya Michel
Foucault dan Jacques Derrida juga mengusung
semangat subjektivisme dengan menggugat klaim objektivitas dalam ilmu
pengetahuan, sejarah, dan etika. Mereka menyoroti bagaimana struktur kekuasaan
dan bahasa membentuk kebenaran yang bersifat lokal dan kontekstual.¹¹ Kebenaran
menjadi sesuatu yang diproduksi, bukan ditemukan.
Kesimpulan Historis
Dengan demikian,
subjektivisme dalam filsafat telah melalui jalur panjang dari relativisme awal
Protagoras, fondasi rasional Descartes, sentimen moral Hume, kesadaran
transendental Kant, hingga penciptaan makna dalam eksistensialisme dan
dekonstruksi postmodernisme. Perjalanan ini menunjukkan bagaimana subjektivisme
tidak hanya menjadi instrumen refleksi personal, tetapi juga membentuk cara
berpikir manusia tentang realitas, moralitas, dan pengetahuan dalam sejarah
filsafat.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover
Publications, 2003), 152a.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome,
vol. 1 (New York: Image Books, 1993), 386.
[3]
Ibid., 389–391.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–18.
[5]
Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant
(London: Routledge, 1984), 27–28.
[6]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 415.
[7]
Ibid., 457–470.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), A19/B33–A30/B45.
[9]
Roger Scruton, Kant: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 42–44.
[10]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–25.
[11]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–133.
4.
Subjektivisme dalam Epistemologi
Dalam
epistemologi—cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, dan validitas
pengetahuan—subjektivisme merupakan posisi yang menekankan bahwa pengetahuan
selalu bersandar pada pengalaman dan perspektif individu sebagai subjek yang
mengetahui. Dengan kata lain, segala bentuk pengetahuan dipahami sebagai
konstruksi yang tak terelakkan dari kesadaran dan kerangka interpretatif
manusia, bukan sebagai cerminan langsung dari realitas objektif.¹
4.1.
Kesadaran sebagai Titik Awal Pengetahuan
Akar dari
subjektivisme epistemologis dapat ditelusuri kembali kepada René
Descartes, yang dalam Meditations on First Philosophy
menegaskan bahwa keraguan terhadap dunia luar justru membenarkan keberadaan
subjek yang ragu: cogito ergo sum.² Dari sini,
Descartes memposisikan kesadaran sebagai dasar utama dalam membangun
pengetahuan yang dapat dipercaya. Subjektivitas menjadi fondasi bagi
pengetahuan karena hanya melalui kesadaranlah realitas dapat dikenali dan
diinterpretasikan.
Meski Descartes
masih berupaya menjembatani antara subjek dan dunia luar dengan argumen
rasionalis tentang Tuhan sebagai penjamin kebenaran, warisannya membekas kuat
dalam perkembangan epistemologi yang menekankan keutamaan kesadaran individu
dalam proses mengetahui.
4.2.
Pandangan Empiris dan Kritik terhadap
Objektivitas
Dalam tradisi empirisme,
pemikiran John Locke dan George
Berkeley memperkuat pendekatan subjektivis dengan menekankan
bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi.³ Namun, pendekatan ini
mencapai puncaknya dalam filsafat David Hume, yang menyatakan
bahwa semua pengetahuan merupakan hasil dari impresi (kesan langsung) dan ide
(salinan dari impresi).⁴ Bagi Hume, sebab-akibat, identitas pribadi, dan bahkan
keberadaan dunia luar tidak dapat dibuktikan secara rasional, melainkan hanya
merupakan kebiasaan psikologis.⁵ Ini berarti bahwa validitas pengetahuan sangat
ditentukan oleh keadaan batin dan persepsi subjek, bukan oleh realitas objektif
yang berdiri sendiri.
4.3.
Kritik Kantian dan Subjektivisme Transendental
Konsepsi ini
dilanjutkan oleh Immanuel Kant, yang melalui
pendekatan subjektivisme
transendental, membedakan antara noumenon (realitas pada dirinya
sendiri) dan phenomenon (realitas sebagaimana
dialami subjek). Menurut Kant, pengetahuan tidak hanya ditentukan oleh data
empiris, tetapi juga oleh struktur apriori dalam kesadaran manusia seperti
ruang, waktu, dan kategori intelek.⁶ Pengetahuan bukanlah hasil dari objek yang
“masuk” ke dalam subjek, melainkan hasil dari aktivitas subjek yang “membentuk”
objek melalui kerangka konseptual bawaan.⁷ Dengan demikian, realitas objektif
sebagaimana adanya tidak pernah benar-benar dapat diketahui secara langsung;
yang kita ketahui hanyalah realitas sebagaimana muncul dalam kesadaran.
4.4.
Subjektivisme dalam Epistemologi Kontemporer
Dalam filsafat abad
ke-20, subjektivisme epistemologis berkembang dalam bentuk relativisme
epistemik, fenomenologi, dan konstruktivisme
sosial.
·
Fenomenologi
yang dikembangkan oleh Edmund Husserl menempatkan kesadaran
(intentionalitas) sebagai pusat semua bentuk pengalaman. Pengetahuan selalu
diarahkan kepada objek, tetapi objek itu hanya hadir dalam horizon kesadaran subyektif.⁸
·
Dalam konstruktivisme
sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn,
ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linear menuju kebenaran objektif,
melainkan melalui paradigm shifts yang dipengaruhi oleh faktor
sosiokultural dan keyakinan komunitas ilmiah.⁹ Kebenaran ilmiah, dalam kerangka
ini, bersifat relatif terhadap paradigma dominan pada masa tertentu, bukan
kebenaran mutlak yang bebas dari pengaruh subjek.
·
Michel Foucault,
dalam pendekatan genealogisnya, menunjukkan bahwa “pengetahuan” dan “kebenaran”
dibentuk melalui relasi kekuasaan dan rezim diskursif, sehingga tidak dapat
dilepaskan dari kepentingan subyektif dan struktur sosial.¹⁰
Dampak dan Implikasi
Implikasi dari
subjektivisme dalam epistemologi cukup luas. Di satu sisi, ia membuka ruang
bagi penghargaan terhadap pluralitas perspektif, pengakuan atas keterbatasan
pengetahuan manusia, dan perhatian pada konteks personal, sosial, dan historis
dalam proses pengetahuan. Namun, di sisi lain, ia juga menimbulkan pertanyaan
serius mengenai kemungkinan objektivitas, validitas universal, dan dasar
rasional dari klaim-klaim kebenaran.
Sejumlah filsuf
berusaha menjembatani antara subjektivisme dan objektivitas melalui gagasan intersubjektivitas,
yaitu bahwa klaim-klaim pengetahuan dapat diuji dan dibagikan secara rasional
dalam komunitas epistemik.¹¹ Dengan demikian, subjektivisme epistemologis tidak
harus berarti nihilisme atau relativisme total, melainkan bisa menjadi dasar
bagi dialog, refleksi, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang peran subjek
dalam membentuk dunia yang dikenalnya.
Footnotes
[1]
Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant
(London: Routledge, 1984), 24.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–19.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), Book II.
[4]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 1.1.1–1.1.4.
[5]
Ibid., 1.3.6.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (New York: St. Martin’s Press, 1965), A51/B75–A64/B89.
[7]
Roger Scruton, Kant: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 34–36.
[8]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 44–48.
[9]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 136–142.
[10]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–133.
[11]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J.
Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–310.
5.
Subjektivisme dalam Etika
Subjektivisme dalam
etika adalah pandangan metaetika yang menolak eksistensi nilai-nilai moral
objektif dan universal. Dalam kerangka ini, klaim-klaim moral seperti "membunuh
itu salah" atau "berderma itu baik" tidak
merepresentasikan fakta moral yang independen dari subjek, melainkan hanya
mengungkapkan sikap, preferensi, atau perasaan pribadi seseorang terhadap suatu
tindakan.¹ Oleh karena itu, makna moral dianggap bersifat relatif terhadap
pengalaman batin dan penilaian subjektif masing-masing individu.
5.1.
Ciri-Ciri Umum Etika Subjektivis
Subjektivisme etika
ditandai oleh beberapa prinsip utama:
1)
Moralitas bersumber dari
subjek, bukan dari tatanan nilai objektif di luar manusia.
2)
Tidak ada standar moral
absolut yang dapat diuji secara empiris atau logis.
3)
Penilaian moral adalah
ekspresi sikap emosional atau persepsi pribadi, bukan pernyataan
tentang fakta moral.
5.2.
David Hume dan Dasar Emosional Moralitas
Tokoh utama dalam
fondasi subjektivisme etika adalah David Hume, yang dalam A
Treatise of Human Nature menyatakan bahwa moralitas tidak dapat
diturunkan dari nalar semata. Menurut Hume, emosi atau sentimen
memainkan peran utama dalam membentuk penilaian moral.² Ia menegaskan bahwa “reason
is, and ought only to be, the slave of the passions,” menunjukkan bahwa
rasio tidak bisa menjadi sumber utama prinsip etis.³ Dengan demikian, yang disebut
“baik” atau “buruk” tidak bersifat objektif, tetapi tergantung
pada perasaan yang dirasakan oleh si subjek terhadap suatu tindakan.
5.3.
Simple Subjectivism dan Kritiknya
Bentuk paling
mendasar dari etika subjektivis dikenal sebagai simple subjectivism, yang
memandang pernyataan moral sebagai laporan tentang sikap individu. Misalnya,
ketika seseorang berkata “berbohong itu salah,” yang sebenarnya dimaksud
adalah “saya tidak menyukai berbohong.”⁴ Pendekatan ini menekankan
kejujuran dalam mengekspresikan pandangan moral, namun memiliki kelemahan dalam
menjelaskan konflik moral yang nyata. Jika perbedaan moral hanyalah perbedaan
perasaan, maka tidak ada dasar rasional untuk berdiskusi atau mengkritisi
tindakan orang lain.⁵
5.4.
Emotivisme: Subjektivisme Emosional
Sebagai pengembangan
dari simple subjectivism, emotivisme menegaskan bahwa
pernyataan moral tidak bersifat kognitif, melainkan emotif atau preskriptif.
Tokoh seperti A.J. Ayer dan Charles
L. Stevenson menyatakan bahwa kalimat seperti “membunuh itu
salah” lebih merupakan seruan emosional (“jangan membunuh!”) ketimbang
pernyataan fakta.⁶ Dalam pandangan ini, etika tidak berbicara tentang apa yang
benar, tetapi lebih kepada mengungkapkan dan mempengaruhi
sikap moral orang lain.⁷
Namun, pendekatan
ini menuai kritik karena menghapus fungsi argumentatif dalam diskursus etika.
Jika semua pernyataan moral hanyalah luapan emosi, maka diskusi etis menjadi
sekadar konflik selera yang tidak dapat diselesaikan dengan penalaran.
5.5.
Subjektivisme dalam Etika Kontemporer
Dalam filsafat moral
kontemporer, subjektivisme berkembang ke arah yang lebih kompleks, seperti relativisme
budaya dan subjektivisme metaetika modern.
Relativisme budaya menyatakan bahwa standar moral bergantung pada norma
masyarakat tertentu, sementara metaetika subjektivis lebih fokus pada fondasi
epistemologis dan psikologis dari nilai-nilai moral.⁸
Beberapa filsuf
mencoba mempertahankan subjektivisme moderat melalui pendekatan konsensus
moral atau intersubjektivitas, yaitu bahwa
meskipun moralitas bersumber dari subjek, nilai-nilai etis tetap bisa dibangun
bersama melalui dialog dan rasionalitas publik.⁹ Pandangan ini membuka jalan
bagi diskursus etika dalam masyarakat pluralistik tanpa jatuh ke dalam
relativisme nihilistik.
Implikasi Etika Subjektivis
Subjektivisme etika
memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang seperti politik, hukum,
pendidikan, dan budaya populer. Di satu sisi, ia mendorong toleransi terhadap
keberagaman nilai dan pandangan hidup. Di sisi lain, ia juga menimbulkan
tantangan serius terhadap fondasi normatif untuk mengevaluasi tindakan, menetapkan
keadilan, dan menyelesaikan konflik moral dalam masyarakat multikultural.
Footnotes
[1]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 5th ed. (New
York: McGraw-Hill, 2003), 32–34.
[2]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 457–463.
[3]
Ibid., 415.
[4]
Russ Shafer-Landau, Moral Realism: A Defence (Oxford:
Clarendon Press, 2003), 18–20.
[5]
Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 35–36.
[6]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 110–112.
[7]
Charles L. Stevenson, Ethics and Language (New Haven: Yale
University Press, 1944), 21–23.
[8]
Richard Garner and Bernard Rosen, Moral Philosophy: A Systematic
Introduction to Normative Ethics and Meta-Ethics (New York: Macmillan,
1967), 42–45.
[9]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 88–92.
6.
Kritik terhadap Subjektivisme
Meskipun
subjektivisme telah memainkan peran penting dalam sejarah filsafat, baik dalam
epistemologi maupun etika, pendekatan ini juga menghadapi berbagai kritik
serius dari para filsuf yang menganggapnya problematik secara teoritis dan
berbahaya secara praktis. Kritik terhadap subjektivisme berangkat dari
kekhawatiran bahwa paham ini berpotensi meniadakan landasan rasional dan
normatif untuk menilai kebenaran serta moralitas secara konsisten.¹
6.1.
Masalah Relativisme dan Kontradiksi Diri
Salah satu kritik
utama terhadap subjektivisme adalah tuduhan bahwa ia secara implisit mengarah
pada relativisme
total, yang menyatakan bahwa semua pandangan adalah sama
benarnya tergantung dari perspektif subjek masing-masing.² Jika setiap individu
memiliki kebenarannya sendiri, maka tidak ada dasar objektif untuk
menyelesaikan konflik klaim pengetahuan atau penilaian moral. Hal ini
menyebabkan masalah kontradiksi diri, yakni
ketika seseorang mengklaim secara universal bahwa “tidak ada kebenaran
universal,” pernyataan tersebut menjadi self-refuting.³
Plato
telah lebih dulu menyadari kelemahan ini dalam menanggapi relativisme sofis
Protagoras. Dalam dialog Theaetetus, Plato menunjukkan bahwa
jika semua pendapat individu dianggap benar, maka klaim bahwa "semua
pendapat adalah benar" juga dapat dibantah oleh pendapat yang
menyatakan sebaliknya.⁴
6.2.
Kehilangan Landasan Normatif dalam Etika
Dalam ranah etika,
subjektivisme dipandang mereduksi penilaian moral menjadi persoalan preferensi
atau ekspresi emosi belaka, tanpa menyediakan mekanisme evaluasi rasional antar
pandangan moral yang berbeda.⁵ Misalnya, jika seseorang menyatakan bahwa "diskriminasi
rasial itu salah" dan orang lain menyatakan sebaliknya, maka menurut
subjektivisme keduanya sama-sama benar menurut perasaannya masing-masing.
Kritik ini menekankan bahwa subjektivisme melemahkan dasar bagi perlawanan terhadap
ketidakadilan moral.⁶
G.E.
Moore, dalam karyanya Principia Ethica, mengajukan kritik
terhadap bentuk subjektivisme dan naturalisme etika melalui apa yang disebutnya
sebagai “naturalistic fallacy”, yakni
kesalahan dalam menyamakan kebaikan dengan sifat psikologis atau biologis
tertentu.⁷ Bagi Moore, kebaikan adalah kualitas non-natural yang tidak dapat
direduksi ke preferensi pribadi atau emosi.
6.3.
Subjektivisme dan Krisis Epistemik
Dalam epistemologi,
subjektivisme dianggap berbahaya karena membuka jalan bagi skeptisisme
radikal dan relativisme kognitif, yang
mengaburkan batas antara opini dan pengetahuan.⁸ Jika semua klaim kebenaran
tergantung pada pengalaman atau persepsi subjektif, maka tidak ada landasan
untuk membedakan antara keyakinan yang valid dan yang keliru. Ini bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan yang mengandalkan objektivitas
dan keterujian secara intersubjektif.
Karl
Popper, dalam kritiknya terhadap relativisme epistemologis,
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang bukan karena keyakinan subjektif,
tetapi karena metode falsifikasi yang menguji hipotesis secara terbuka dan
rasional.⁹ Subjektivisme, dalam hal ini, dianggap gagal menyediakan standar
kritis untuk menilai kemajuan pengetahuan.
6.4.
Penolakan terhadap Otoritas Rasional
Kritik lain datang
dari pendekatan
rasionalis dan realis, yang menekankan perlunya prinsip moral
dan kebenaran objektif sebagai landasan bagi dialog dan kehidupan bersama.
Menurut Alasdair MacIntyre, dalam After
Virtue, subjektivisme modern telah memutuskan etika dari akar
historis dan teleologisnya, sehingga menghasilkan masyarakat yang
individualistik dan terfragmentasi secara moral.¹⁰ Subjektivisme, menurut
MacIntyre, menciptakan situasi di mana argumen moral tidak lagi bermakna karena
tidak didasarkan pada kerangka nilai bersama.
6.5.
Upaya Jalan Tengah: Intersubjektivitas dan
Komunikasi Rasional
Sebagai respons
terhadap ekstrem subjektivisme maupun objektivisme dogmatis, beberapa filsuf
seperti Jürgen Habermas mengusulkan
model intersubjektivitas
komunikatif, di mana kebenaran dan norma etis dibentuk melalui
proses dialogis yang rasional dan terbuka dalam ruang publik.¹¹ Pendekatan ini
tidak meniadakan subjektivitas, tetapi menekankan bahwa klaim-klaim kebenaran
dan moralitas harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan subjek lain dalam
proses diskursif.
Kesimpulan
Kritik terhadap
subjektivisme menunjukkan bahwa meskipun pendekatan ini menawarkan pemahaman
yang mendalam mengenai peran kesadaran dan emosi dalam moralitas dan
pengetahuan, ia menghadapi tantangan serius dalam menyediakan dasar rasional
untuk kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, banyak filsuf kontemporer
mencoba mencari keseimbangan antara subjektivitas individu dan prinsip-prinsip
rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan filosofis.
Footnotes
[1]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 5th ed. (New
York: McGraw-Hill, 2003), 35–36.
[2]
Richard Garner and Bernard Rosen, Moral Philosophy: A Systematic
Introduction to Normative Ethics and Meta-Ethics (New York: Macmillan,
1967), 45.
[3]
William Lane Craig, Philosophical Foundations for a Christian
Worldview (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003), 395–396.
[4]
Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover
Publications, 2003), 171a–172c.
[5]
Russ Shafer-Landau, Moral Realism: A Defence (Oxford:
Clarendon Press, 2003), 27–28.
[6]
John Kekes, The Morality of Pluralism (Princeton: Princeton
University Press, 1993), 48–49.
[7]
G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University
Press, 1903), 10–15.
[8]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Clarendon Press, 2006), 3–5.
[9]
Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of
Scientific Knowledge (London: Routledge, 2002), 34–36.
[10]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 2–5.
[11]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 43–45.
7.
Subjektivisme dalam Pemikiran Kontemporer
Pemikiran
kontemporer dalam filsafat memperlihatkan kompleksitas baru dalam pengembangan
subjektivisme. Jika dalam tradisi klasik dan modern subjektivisme terutama
dipahami dalam konteks epistemologi dan etika personal, maka dalam wacana abad
ke-20 dan 21, paham ini berkembang melintasi batas kesadaran individual menuju
kajian-kajian fenomenologis, eksistensial, linguistik, kultural, dan politik.
Subjektivisme dalam konteks ini tidak lagi sekadar berkutat pada relativisme
pribadi, tetapi menjadi landasan untuk menafsirkan struktur pengalaman manusia,
relasi kuasa, dan konstruksi sosial kebenaran serta identitas.
7.1.
Fenomenologi: Kesadaran dan Dunia yang Dimaknai
Aliran fenomenologi,
yang dipelopori oleh Edmund Husserl, menempatkan
kesadaran subjek sebagai pusat semua bentuk pengalaman dan pengertian. Melalui
konsep intentionalitas—yakni
bahwa setiap kesadaran selalu menuju sesuatu—Husserl berupaya menunjukkan bahwa
dunia hanya bermakna sejauh ia hadir dalam horizon kesadaran subjektif.¹ Dalam
kerangka ini, pengetahuan dan makna tidak bersifat objektif dalam arti bebas
dari kesadaran, melainkan terbentuk melalui cara dunia "diberikan"
dalam pengalaman subjek.²
Fenomenologi
memperluas subjektivisme dari ranah penilaian personal menuju metodologi
filosofis yang mengakui peran fundamental subjek dalam membentuk struktur
realitas yang dialami.³
7.2.
Eksistensialisme: Kebebasan, Makna, dan
Subjektivitas Radikal
Subjektivisme
kontemporer juga berkembang melalui eksistensialisme, terutama
dalam pemikiran Jean-Paul Sartre. Sartre
menolak gagasan bahwa manusia memiliki esensi yang telah ditentukan sebelumnya,
dan menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi” (l’existence
précède l’essence).⁴ Dalam pandangannya, manusia adalah makhluk
bebas yang harus menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan dan tindakan.
Dalam dunia tanpa nilai-nilai objektif yang tertanam dari luar, manusia
bertanggung jawab secara penuh atas makna dan moralitas yang ia bangun.⁵
Subjektivisme
eksistensial Sartre berbeda dari relativisme pasif; ia menuntut kesadaran akan
tanggung jawab personal dalam kondisi keterlemparan (throwness)
dan absurditas hidup.⁶ Pemikiran ini menjadi penting dalam diskursus tentang
otonomi moral, identitas diri, dan makna keberadaan dalam masyarakat sekuler
dan pluralistik.
7.3.
Postmodernisme: Dekonstruksi Kebenaran dan
Identitas
Dalam ranah postmodernisme,
subjektivisme mendapat bentuk yang lebih radikal. Tokoh seperti Michel
Foucault dan Jacques Derrida menyangsikan
keberadaan struktur kebenaran yang stabil dan universal. Foucault menunjukkan
bagaimana “kebenaran” bukan sesuatu yang netral, tetapi terbentuk dalam
jaringan relasi kuasa dan rezim diskursif.⁷ Pengetahuan tidak terlepas dari
subjektivitas—baik dari individu maupun institusi—yang memproduksinya dalam
konteks historis dan politik tertentu.⁸
Derrida,
melalui pendekatan dekonstruksinya, menolak keberadaan makna tunggal dalam teks
dan mempersoalkan fondasi-fondasi metafisika Barat. Ia mengembangkan gagasan
bahwa bahasa dan makna selalu bersifat diferensial, tak stabil, dan terus
bergeser.⁹ Dalam konteks ini, subjektivisme ditarik hingga ke akar semiotik, di
mana identitas dan kebenaran menjadi hasil konstruksi terus-menerus dalam medan
permainan tanda.¹⁰
7.4.
Subjektivisme dan Identitas Sosial-Budaya
Pemikiran kontemporer
juga memperlihatkan bagaimana subjektivisme digunakan untuk menafsirkan
identitas-identitas sosial seperti gender, ras, dan kelas. Judith
Butler, misalnya, mengembangkan teori gender
performativity yang menyatakan bahwa identitas gender bukan esensi
biologis yang tetap, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang diulang-ulang
melalui tindakan dan bahasa.¹¹ Ini merupakan bentuk subjektivisme yang
menantang pandangan esensialis tentang manusia, dan membuka ruang untuk
pembebasan identitas melalui tindakan subversif.
Dalam bidang ini,
subjektivisme berpadu dengan teori kritis, teori poskolonial, dan studi budaya
untuk memperlihatkan bahwa struktur sosial dan pengetahuan adalah produk
negosiasi subjektif yang berlangsung dalam dinamika kekuasaan.
7.5.
Respons Kritis dan Upaya Keseimbangan
Subjektivisme
kontemporer sering dituduh jatuh dalam relativisme radikal yang mengaburkan
batas antara fakta dan opini. Kritik datang dari berbagai filsuf yang tetap
menekankan pentingnya rasionalitas, intersubjektivitas, dan konsensus publik. Jürgen
Habermas, misalnya, mengembangkan teori tindakan komunikatif
yang mencoba menjembatani antara subjektivitas individu dan rasionalitas
universal melalui diskursus intersubjektif.¹²
Habermas menunjukkan
bahwa meskipun klaim kebenaran dan moralitas berasal dari subjek, klaim
tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam ruang publik melalui argumen yang
rasional dan terbuka.¹³ Dengan demikian, subjektivisme tidak harus berarti
penolakan terhadap norma, melainkan harus dilihat sebagai titik berangkat
menuju rekonstruksi norma bersama.
Kesimpulan
Subjektivisme dalam
pemikiran kontemporer bukanlah sekadar ekspresi relativisme pribadi, melainkan
mencakup refleksi mendalam tentang peran subjek dalam membentuk makna,
pengetahuan, dan identitas. Melalui fenomenologi, eksistensialisme,
postmodernisme, dan teori budaya, subjektivisme telah menjadi alat kritis untuk
menantang otoritas absolut, membuka ruang pluralitas, dan menyoroti dinamika
kuasa dalam produksi kebenaran. Meski demikian, tantangan untuk menjaga
keseimbangan antara kebebasan subjektif dan tanggung jawab sosial tetap menjadi
agenda filosofis yang relevan hingga kini.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 44–46.
[2]
Dermot Moran, Introduction to Phenomenology (London:
Routledge, 2000), 137–139.
[3]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin
Smith (London: Routledge & Kegan Paul, 1962), viii–ix.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[5]
Ibid., 35–36.
[6]
Thomas Flynn, Sartre and Existentialism (London: Routledge,
2006), 51.
[7]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–135.
[8]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1979), 27–30.
[9]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–160.
[10]
Christopher Norris, Deconstruction: Theory and Practice
(London: Methuen, 1982), 11–15.
[11]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 25–30.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[13]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 42–45.
8.
Implikasi Subjektivisme dalam Kehidupan Modern
Dalam konteks
kehidupan modern yang ditandai oleh pluralitas nilai, globalisasi informasi,
serta desentralisasi otoritas, subjektivisme tidak hanya menjadi aliran
pemikiran dalam ruang filsafat, tetapi juga membentuk cara manusia memahami
realitas, membangun identitas, dan berinteraksi sosial. Subjektivisme
modern—baik dalam bentuk epistemologis maupun etis—menawarkan pembebasan dari
otoritarianisme dogmatis, namun sekaligus menimbulkan dilema baru dalam hal
keutuhan moral, validitas pengetahuan, dan konsensus sosial.
8.1.
Otonomi Individu dan Kebebasan Berpendapat
Salah satu implikasi
positif dari subjektivisme adalah meningkatnya penghargaan terhadap otonomi
individu. Dalam dunia yang semakin menghargai kebebasan
berekspresi dan hak asasi manusia, subjektivisme menyediakan dasar filosofis
bagi legitimasi pendapat personal dan nilai-nilai individual.¹ Pandangan bahwa
kebenaran dan moralitas bergantung pada pengalaman serta kesadaran
masing-masing orang membuka ruang bagi kebhinekaan cara hidup dan pandangan
dunia.
Fenomena ini tampak
jelas dalam munculnya masyarakat liberal modern yang mengedepankan pluralisme,
toleransi, dan kebebasan beragama.² Dalam pendidikan, pendekatan konstruktivis
yang dipengaruhi oleh epistemologi subjektivis menekankan peran aktif peserta
didik dalam membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman dan penalarannya
sendiri.³
8.2.
Relativisme Nilai dan Krisis Moral
Namun, subjektivisme
juga membawa konsekuensi yang menantang, khususnya dalam bentuk relativisme
nilai yang menyulitkan masyarakat dalam menetapkan batas-batas
moral yang disepakati bersama. Ketika semua pendapat dianggap sama benarnya
hanya karena bersifat subjektif, maka potensi untuk membela nilai-nilai moral
universal seperti keadilan, kesetaraan, atau hak asasi manusia menjadi lemah.⁴
Dalam dunia digital,
misalnya, media sosial menjadi ruang di mana setiap individu merasa berhak
menyampaikan “kebenaran versinya” tanpa perlu mempertanggungjawabkannya
secara rasional atau etik.⁵ Hal ini mengaburkan perbedaan antara opini dan
fakta, antara kritik dan ujaran kebencian. Akibatnya, terjadi krisis
epistemik yang membuat publik sulit membedakan antara informasi
yang kredibel dan hoaks.⁶
8.3.
Subjektivisme dan Identitas Sosial
Dalam ranah
identitas, subjektivisme kontemporer mendorong pendekatan yang lebih inklusif
terhadap keunikan individu, termasuk dalam isu-isu gender, etnis, dan orientasi
seksual. Seperti yang dikemukakan oleh Judith Butler, identitas
bukanlah sesuatu yang tetap atau esensial, melainkan hasil dari proses
performatif dan konstruksi sosial yang bersifat dinamis.⁷
Pemahaman ini
memberi kontribusi terhadap pengakuan dan perlindungan terhadap
kelompok-kelompok marjinal, namun juga menantang struktur sosial dan hukum yang
berakar pada asumsi esensialisme. Dalam tataran politik, subjektivisme
mendorong pergeseran dari demokrasi representatif ke arah demokrasi
partisipatif yang berbasis pada pengakuan pluralitas pengalaman
dan perspektif.⁸
8.4.
Subjektivisme dan Konsumerisme Budaya
Kehidupan modern
juga menunjukkan bagaimana subjektivisme dieksploitasi oleh sistem ekonomi dan
budaya populer, terutama dalam bentuk konsumerisme identitas.
Industri periklanan dan media massa menyasar preferensi subjektif individu
untuk membentuk gaya hidup, citra diri, dan kebutuhan semu.⁹ Dalam masyarakat
kapitalistik, subjek sering kali diposisikan sebagai “konsumen” yang
bebas memilih, namun sebenarnya diarahkan oleh logika pasar dan ideologi
neoliberal yang tidak terlihat.
Dalam hal ini,
subjektivisme justru berbalik menjadi alat manipulasi psikologis dan
pembentukan “diri” yang terfragmentasi oleh komodifikasi nilai-nilai
personal.¹⁰ Kritik semacam ini dikembangkan dalam teori-teori kritis seperti Frankfurt
School, yang menyoroti bagaimana subjektivitas modern tidak
selalu menghasilkan kebebasan sejati, tetapi bisa juga menjadi bentuk alienasi
baru.¹¹
8.5.
Menuju Etika Intersubjektif dan Rasionalitas
Publik
Untuk mengatasi
tantangan tersebut, para filsuf kontemporer mengusulkan pendekatan yang
menyeimbangkan antara kebebasan subjektif dan tanggung jawab sosial. Jürgen
Habermas, misalnya, mengembangkan gagasan diskursus
etika, yaitu model komunikasi rasional yang memungkinkan
subjek-subjek otonom mencapai konsensus melalui dialog terbuka dan bebas dari
dominasi.¹²
Dalam kerangka ini,
subjektivisme tidak ditolak, tetapi dikontekstualisasikan dalam ruang publik
yang intersubjektif. Kebenaran dan nilai moral bukan lagi dianggap sebagai
realitas eksternal yang dipaksakan, tetapi sebagai hasil dari interaksi
rasional antar subjek yang setara.¹³ Ini menjadi fondasi etika demokratis yang
menjembatani antara subjektivitas personal dan tanggung jawab kolektif.
Kesimpulan
Subjektivisme dalam
kehidupan modern memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang: di satu sisi,
ia memperkuat otonomi individu dan penghargaan terhadap pluralitas; namun di
sisi lain, ia juga membawa risiko relativisme yang menggerus landasan moral dan
epistemik bersama. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan
penghargaan terhadap pengalaman subjektif tanpa mengorbankan nilai-nilai
universal yang dibutuhkan untuk hidup bersama secara adil dan rasional. Oleh karena
itu, peran etika diskursif, pendidikan kritis, dan kesadaran intersubjektif
menjadi semakin vital dalam membingkai subjektivisme sebagai kekuatan
emansipatoris, bukan disintegratif.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 27–28.
[2]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of
Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 3–5.
[3]
Ernst von Glasersfeld, Radical Constructivism: A Way of Knowing and
Learning (London: Routledge, 1995), 1–3.
[4]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 2–5.
[5]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a
Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 157–159.
[6]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
5–6.
[7]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 25–30.
[8]
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000),
19–22.
[9]
Naomi Klein, No Logo (New York: Picador, 2002), 3–6.
[10]
Zygmunt Bauman, Consuming Life (Cambridge: Polity Press,
2007), 12–15.
[11]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–97.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[13]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 42–45.
9.
Penutup
Subjektivisme,
sebagai salah satu arus pemikiran sentral dalam sejarah filsafat, telah
membentuk cara pandang manusia modern terhadap realitas, kebenaran, dan moralitas.
Dengan menempatkan kesadaran, pengalaman, dan persepsi individu sebagai fondasi
dalam menilai dunia dan membangun pengetahuan, subjektivisme memberikan
kontribusi besar terhadap pemahaman tentang otonomi, kebebasan berpikir, dan
keunikan eksistensi manusia.¹ Dalam berbagai fase perkembangan
historisnya—mulai dari relativisme Protagoras, rasionalisme Descartes,
empirisme Hume, hingga eksistensialisme Sartre dan postmodernisme
Derrida—subjektivisme menunjukkan fleksibilitasnya dalam merespons tantangan-tantangan
filosofis maupun sosial.²
Dalam bidang
epistemologi, subjektivisme menggeser fokus pengetahuan dari dunia eksternal
menuju dinamika internal kesadaran. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu
dapat diakses secara objektif dan universal, melainkan dipengaruhi oleh sudut
pandang, bahasa, dan kerangka budaya si subjek yang mengetahui.³ Pendekatan ini
memungkinkan munculnya teori-teori seperti konstruktivisme, relativisme
epistemik, dan dekonstruksi, yang semuanya memperkaya diskursus tentang pengetahuan.⁴
Sementara itu, dalam
bidang etika, subjektivisme menjadi dasar bagi pandangan yang menyatakan bahwa
nilai-nilai moral tidak bersifat absolut, melainkan ditentukan oleh sikap dan
perasaan individu. Pandangan ini memiliki daya emancipatoris dalam menolak
otoritarianisme moral, namun juga berisiko menimbulkan relativisme ekstrem yang
melemahkan konsensus normatif dalam masyarakat pluralistik.⁵
Kritik terhadap
subjektivisme datang dari berbagai arah: mulai dari rasionalis seperti Immanuel
Kant yang menuntut struktur normatif apriori dalam pengetahuan, hingga para
filsuf kontemporer seperti Jürgen Habermas yang berupaya merekonstruksi
rasionalitas dalam kerangka intersubjektif.⁶ Di satu sisi, kritik ini
mengingatkan kita akan pentingnya batas-batas tanggung jawab dalam kebebasan
subjektif; di sisi lain, mereka juga memperkaya subjektivisme dengan dimensi
dialogis dan etis yang lebih matang.
Dalam kehidupan
modern, subjektivisme menunjukkan peran ganda: ia menjadi sumber kebebasan
personal dan afirmasi identitas, sekaligus tantangan terhadap stabilitas norma,
otoritas pengetahuan, dan etika publik. Dunia digital, demokrasi liberal,
gerakan identitas, serta kultur konsumerisme, semuanya menjadi medan nyata di
mana subjektivisme bekerja—baik secara membebaskan maupun memecah.⁷ Oleh karena
itu, pendekatan terhadap subjektivisme tidak boleh bersifat hitam-putih: ia
bukan ideologi yang sepenuhnya ditolak maupun dianut secara dogmatis, tetapi
suatu kerangka filsafat yang menuntut refleksi kritis dan penggunaan yang
bijak.
Mengakhiri
pembahasan ini, dapat ditegaskan bahwa subjektivisme tetap relevan sebagai alat
intelektual dalam menjawab tantangan filsafat dan kehidupan kontemporer,
asalkan ia dilengkapi dengan kesadaran intersubjektif, keterbukaan dialog, dan
tanggung jawab sosial. Seperti yang disampaikan oleh Hans-Georg Gadamer,
kebenaran tidak berada pada satu kutub subjektif atau objektif semata,
melainkan terungkap dalam fusi horizon antara subjek dan
dunia, antara pengalaman pribadi dan percakapan bersama.⁸
Footnotes
[1]
Richard Schacht, Classical Modern Philosophers: Descartes to Kant
(London: Routledge, 1984), 23–25.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. IV–VI (New
York: Image Books, 1994), 6–12.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 44–46.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 111–113.
[5]
James Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 5th ed. (New
York: McGraw-Hill, 2003), 32–34.
[6]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 42–45.
[7]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a
Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 155–159.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 302–305.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic
(2nd ed.). Dover Publications.
Bauman, Z. (2007). Consuming life. Polity
Press.
Boghosian, P. (2006). Fear of knowledge: Against
relativism and constructivism. Oxford University Press.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. Routledge.
Copleston, F. (1994). A history of philosophy:
Volumes IV–VI. Image Books.
Craig, W. L., & Moreland, J. P. (2003). Philosophical
foundations for a Christian worldview. InterVarsity Press.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Flynn, T. (2006). Sartre and existentialism.
Routledge.
Foucault, M. (1979). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Garner, R., & Rosen, B. (1967). Moral
philosophy: A systematic introduction to normative ethics and meta-ethics.
Macmillan.
Glasersfeld, E. von. (1995). Radical constructivism:
A way of knowing and learning. Routledge.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT
Press.
Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
Hume, D. (1978). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Kant, I. (1965). Critique of pure reason (N.
Kemp Smith, Trans.). St. Martin’s Press.
Klein, N. (2002). No logo. Picador.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. University of Chicago Press.
Kymlicka, W. (1995). Multicultural citizenship:
A liberal theory of minority rights. Oxford University Press.
Locke, J. (1690). An essay concerning human
understanding. Thomas Basset.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Moran, D. (2000). Introduction to phenomenology.
Routledge.
Moore, G. E. (1903). Principia ethica.
Cambridge University Press.
Mouffe, C. (2000). The democratic paradox.
Verso.
Norris, C. (1982). Deconstruction: Theory and
practice. Methuen.
Plato. (2003). Theaetetus (B. Jowett,
Trans.). Dover Publications.
Popper, K. R. (2002). Conjectures and
refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.
Rachels, J. (2003). The elements of moral
philosophy (5th ed.). McGraw-Hill.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Schacht, R. (1984). Classical modern
philosophers: Descartes to Kant. Routledge.
Scruton, R. (2001). Kant: A very short
introduction. Oxford University Press.
Shafer-Landau, R. (2003). Moral realism: A
defence. Clarendon Press.
Stevenson, C. L. (1944). Ethics and language.
Yale University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The
power of talk in a digital age. Penguin Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar