Jumat, 20 Desember 2024

Filsafat Neoplatonisme

Neoplatonisme

Jembatan antara Pemikiran Filsafat Klasik Yunani dan Pemikiran Keagamaan


Alihkan ke: Empat Aliran Filsafat Utama.


Abstrak

Neoplatonisme adalah aliran filsafat yang berkembang pada abad ke-3 M berdasarkan pemikiran Plato, dengan pengaruh yang kuat dari mistisisme dan metafisika. Filsafat ini dipelopori oleh Plotinus dan dikembangkan oleh para penerusnya seperti Porphyry dan Proclus. Inti ajarannya adalah konsep tentang "Yang Satu" (The One) sebagai sumber segala eksistensi, di mana realitas berjenjang dari yang paling sempurna hingga materi yang paling rendah. Artikel ini membahas prinsip-prinsip utama Neoplatonisme, seperti emanasi (proses keluarnya realitas dari Yang Satu), jiwa, dan perjalanan spiritual menuju kesempurnaan. Selain itu, kajian ini juga mengeksplorasi pengaruh Neoplatonisme terhadap pemikiran filsafat Islam, Kekristenan, dan Renaisans. Dengan memahami aliran ini, pembaca dapat memperoleh wawasan mendalam mengenai hubungan antara filsafat, mistisisme, dan pencarian makna dalam kehidupan.

Kata Kunci: Neoplatonisme, Plotinus, The One, Emanasi, Metafisika, Jiwa, Mistisisme, Filsafat Plato.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel



1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Filsafat Neoplatonisme merupakan salah satu aliran filsafat yang muncul pada abad ke-3 M di dunia Yunani-Romawi, yang merupakan pengembangan dari pemikiran Plato (427–347 SM). Dalam perjalanan sejarah filsafat, Neoplatonisme bukan hanya sekadar revitalisasi ide-ide Plato, melainkan sintesis pemikiran Plato dengan unsur-unsur dari filsafat Aristoteles, Stoisisme, dan unsur mistik yang menekankan realitas tertinggi sebagai “Yang Esa” (The One). Plotinus (204–270 M), yang dikenal sebagai pendiri aliran ini, berhasil menyusun struktur filsafat Neoplatonisme dalam karyanya Enneads yang kemudian disusun oleh muridnya, Porphyry. Filsafat ini memiliki pengaruh besar dalam perkembangan teologi Kristen, filsafat Islam, dan tradisi mistisisme di kemudian hari.

Seiring perkembangan sejarah, Neoplatonisme juga menjadi jembatan antara pemikiran filsafat klasik Yunani dan pemikiran keagamaan, baik dalam konteks Kristen maupun Islam. Para pemikir seperti Agustinus (354–430 M), Al-Farabi (872–950 M), dan Ibn Sina (980–1037 M) banyak mengadaptasi konsep-konsep kunci Neoplatonisme ke dalam sistem pemikiran mereka, khususnya dalam pembahasan metafisika dan ketuhanan. Dengan demikian, mempelajari Neoplatonisme penting untuk memahami perkembangan filsafat dan teologi dari masa kuno hingga abad pertengahan.

1.2.       Definisi Singkat Neoplatonisme

Neoplatonisme adalah aliran filsafat yang berakar pada pemikiran Plato tetapi berkembang lebih jauh melalui sintesis berbagai pemikiran filosofis dan mistik. Plotinus, sebagai tokoh utama Neoplatonisme, merumuskan pandangan bahwa realitas tertinggi adalah The One (Yang Esa), yang bersifat absolut, transenden, dan merupakan sumber dari segala sesuatu yang ada melalui proses emanasi. Neoplatonisme memandang bahwa tujuan tertinggi manusia adalah kembali kepada The One melalui penyucian jiwa dan akal budi.

1.3.       Tujuan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pemikiran Neoplatonisme secara sistematis dan komprehensif, meliputi latar belakang sejarah, tokoh-tokoh utama, konsep-konsep dasar, serta pengaruhnya terhadap pemikiran filsafat dan teologi di dunia Barat maupun Islam. Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam mengenai kontribusi Neoplatonisme dalam perkembangan intelektual global.


Catatan Kaki:

[1]                Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Books, 1991), xxii–xxiv.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 469–470.

[3]                John Dillon, The Middle Platonists 80 BC to AD 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 361–363.

[4]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 24–26.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 131–132.

[6]                R.C. Zaehner, Hindu and Muslim Mysticism (New York: Schocken Books, 1969), 86.


2.           Latar Belakang Sejarah

2.1.       Asal-Usul Neoplatonisme

Neoplatonisme muncul sebagai respons terhadap perkembangan filsafat Yunani-Romawi pada masa akhir zaman klasik. Pemikiran Plato (427–347 SM), khususnya dalam Republik, Phaedrus, dan Timaeus, menjadi dasar utama bagi filsafat ini, terutama konsep dunia ide dan realitas transenden. Namun, Neoplatonisme bukan sekadar kebangkitan kembali pemikiran Plato, melainkan sintesis antara Plato, Aristoteles, dan pemikiran dari tradisi Hellenistik seperti Stoisisme dan Pythagoreanisme.

Pada abad ke-3 M, Yunani dan Romawi menghadapi masa-masa pergolakan politik dan spiritual. Di tengah krisis ini, filsafat Neoplatonisme berperan sebagai pemikiran yang menawarkan jalan keluar metafisik melalui pencarian Yang Esa (The One), yang dipandang sebagai realitas tertinggi dan sumber segala sesuatu. Filsafat ini tidak hanya bersifat filosofis tetapi juga mistik, menekankan pentingnya penyucian jiwa untuk mencapai persatuan dengan The One¹.

2.2.       Konteks Historis

Neoplatonisme berkembang pada era Kekaisaran Romawi akhir, di mana kebudayaan Yunani-Romawi mengalami pergeseran besar. Plotinus (204–270 M), seorang filsuf asal Mesir yang belajar di Alexandria dan kemudian menetap di Roma, dianggap sebagai pendiri utama Neoplatonisme. Dengan menggabungkan elemen-elemen pemikiran Plato dan filsafat Hellenistik, Plotinus menyusun filsafat yang sistematis dalam karyanya Enneads, yang disusun oleh muridnya, Porphyry².

Era ini ditandai oleh krisis spiritual dan pertarungan antara agama-agama tradisional Romawi, filsafat Yunani, dan agama-agama baru seperti Kekristenan. Neoplatonisme memberikan alternatif pemikiran yang menggabungkan rasionalitas filsafat dengan elemen-elemen mistik, menjadikannya relevan dalam konteks keagamaan dan spiritual pada masa itu³.

2.3.       Tokoh-Tokoh Pendahulu

1)                  Plato:

Konsep realitas dua tingkat —dunia ide (abadi dan sempurna) dan dunia materi (sementara dan tidak sempurna)— menjadi fondasi utama Neoplatonisme. Pemikiran Plato mengenai jiwa dan tujuannya untuk kembali ke dunia ide sangat memengaruhi Neoplatonisme⁴.

2)                  Aristoteles:

Konsep “Akal Aktif” dari Aristoteles berperan dalam gagasan hierarki emanasi, di mana realitas turun dari The One menuju Nous (akal universal) dan jiwa⁵.

3)                  Tradisi Hellenistik:

Stoisisme memberikan pengaruh melalui pandangan tentang logos (rasio universal) dan ketertiban kosmos, sementara Pythagoreanisme memengaruhi aspek mistik Neoplatonisme dengan gagasan tentang harmoni dan matematika sebagai fondasi realitas⁶.

Dengan demikian, Neoplatonisme muncul sebagai hasil sintesis dari berbagai aliran pemikiran Yunani dan sebagai respons terhadap kebutuhan manusia untuk memahami hakikat realitas tertinggi dalam dunia yang penuh gejolak.


Catatan Kaki:

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 468–471.

[2]                Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Books, 1991), xviii–xix.

[3]                John M. Rist, Plotinus: The Road to Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 10–12.

[4]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 83–85.

[5]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 74–76.

[6]                John Dillon, The Middle Platonists 80 BC to AD 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 334–336.


3.           Tokoh-Tokoh Utama Neoplatonisme

3.1.       Plotinus (204–270 M)

Plotinus adalah pendiri utama aliran Neoplatonisme. Lahir di Mesir, ia belajar filsafat di Alexandria di bawah bimbingan Ammonius Saccas, seorang guru misterius yang dianggap memiliki peran besar dalam pengembangan pemikirannya. Pada usia 40 tahun, Plotinus pindah ke Roma, di mana ia mendirikan sekolah filsafat yang kemudian melahirkan karya monumental, Enneads, yang disusun secara sistematis oleh muridnya, Porphyry¹.

Plotinus memperkenalkan konsep utama dalam Neoplatonisme, yaitu “The One” (Yang Esa), sebagai realitas tertinggi yang bersifat transenden, absolut, dan tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Menurutnya, The One adalah sumber dari segala realitas melalui proses emanasi. Realitas turun dari The One menuju tingkatan yang lebih rendah: Nous (Akal Universal), Psyche (Jiwa), dan akhirnya Materi sebagai tingkatan terendah².

Kontribusi Plotinus tidak hanya berfokus pada metafisika, tetapi juga pada aspek etika dan mistik. Tujuan akhir manusia, menurutnya, adalah penyatuan jiwa dengan The One melalui penyucian moral dan meditasi filosofis³.

3.2.       Porphyry (232–304 M)

Porphyry adalah murid Plotinus yang berperan penting dalam menyebarkan pemikiran gurunya. Dialah yang menyusun karya Enneads dan menulis biografi Plotinus, "Life of Plotinus", yang memberikan gambaran tentang kehidupan dan ajaran Plotinus⁴.

Porphyry memperluas pemikiran Neoplatonisme dengan mengintegrasikan filsafat moral dan agama. Ia menekankan pentingnya filsafat sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan penyucian jiwa. Selain itu, ia juga menulis karya terkenal seperti Isagoge, yang menjadi pengantar logika Aristoteles dan sangat berpengaruh dalam pemikiran abad pertengahan⁵.

Porphyry juga dikenal sebagai kritikus keras agama Kristen pada zamannya, meskipun kemudian pemikirannya berperan dalam pengembangan teologi Kristen melalui interpretasi metafisik Neoplatonik⁶.

3.3.       Iamblichus (245–325 M)

Iamblichus berasal dari Suriah dan dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan aspek mistisisme yang lebih kuat dalam Neoplatonisme. Ia mengkritik Porphyry karena dianggap terlalu rasionalis dan menekankan ritual serta praktik keagamaan sebagai sarana untuk mencapai realitas transenden⁷.

Dalam karyanya De Mysteriis (Tentang Misteri), Iamblichus menguraikan sistem hierarki emanasi yang lebih kompleks dibandingkan Plotinus. Ia memperkenalkan gagasan bahwa para dewa, roh, dan kekuatan ilahi memiliki peran dalam membantu manusia mencapai The One melalui praktik ritual dan doa. Dengan demikian, Iamblichus menjadikan Neoplatonisme lebih bersifat teurgis (berbasis praktik spiritual)⁸.

3.4.       Proclus (412–485 M)

Proclus adalah filsuf Neoplatonis terakhir yang berpengaruh besar, terutama dalam sistematisasi pemikiran Neoplatonisme. Ia belajar di Akademi Platonis di Athena dan menyusun karya monumental seperti Elements of Theology dan The Platonic Theology⁹.

Proclus memperluas ajaran Plotinus dengan menyusun hierarki realitas yang lebih kompleks dan rinci. Menurutnya, proses emanasi berlangsung dalam tahapan yang lebih terstruktur: The One → Nous → Soul → Dunia Material. Proclus juga memperkenalkan gagasan tentang “kembalinya” segala sesuatu kepada The One melalui proses yang disebut “konversi”¹⁰.

Pemikiran Proclus memiliki pengaruh signifikan terhadap pemikir Kristen seperti Pseudo-Dionysius Areopagita dan juga filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.

3.5.       Tokoh-Tokoh Lain

Selain tokoh-tokoh utama di atas, Neoplatonisme turut dipengaruhi oleh pemikir-pemikir berikut:

·                     Ammonius Saccas:

Guru Plotinus yang dikenal sebagai figur transisi dari Platonisme klasik ke Neoplatonisme.

·                     Damascius (458–538 M):

Filsuf terakhir Neoplatonis dari Akademi Athena yang berperan dalam menjaga pemikiran Neoplatonis di tengah kemunculan Kekristenan.


Catatan Kaki:

[1]                Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Books, 1991), xviii–xx.

[2]                John M. Rist, Plotinus: The Road to Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 12–15.

[3]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 30–33.

[4]                Porphyry, Life of Plotinus, trans. A.H. Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), 7–9.

[5]                Jonathan Barnes, Porphyry: Introduction to Logic (Oxford: Clarendon Press, 2003), 4–6.

[6]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 5 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 90–92.

[7]                Gregory Shaw, Theurgy and the Soul: The Neoplatonism of Iamblichus (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 1995), 18–22.

[8]                Iamblichus, De Mysteriis, trans. Emma Clarke (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2003), 25–27.

[9]                Proclus, Elements of Theology, trans. E.R. Dodds (Oxford: Clarendon Press, 1963), 8–12.

[10]             David Albertson, Mathematical Theologies: Nicholas of Cusa and the Legacy of Proclus (Oxford: Oxford University Press, 2014), 34–36.


4.           Konsep-Konsep Utama dalam Neoplatonisme

4.1.       The One (Yang Esa)

Konsep The One atau Yang Esa adalah inti dari filsafat Neoplatonisme. Plotinus, dalam Enneads, menjelaskan bahwa The One merupakan realitas tertinggi yang bersifat absolut, sempurna, dan transenden. The One tidak dapat dijelaskan oleh kategori rasional manusia karena berada di luar pemahaman akal budi⁽¹⁾.

The One adalah sumber segala sesuatu, namun tidak bergantung pada apa pun. Plotinus menggambarkan The One sebagai "kebaikan mutlak" yang melampaui keberadaan (beyond being) dan menjadi penyebab pertama dari segala sesuatu melalui proses emanasi. Dalam pandangan ini, The One mirip dengan konsep "kesatuan" dalam pemikiran mistik dan religius di berbagai tradisi⁽²⁾.

The One is everywhere and nowhere; it is all things and no thing, for it transcends all being” (Enneads VI.9.6).

4.2.       Emanasi (Emanation)

Emanasi adalah proses keluarnya segala realitas dari The One secara hierarkis. Proses ini bukanlah ciptaan seperti dalam konsep teologi, melainkan "keluarnya" realitas yang lebih rendah dari realitas yang lebih tinggi dengan tetap mempertahankan sifat ilahi di tingkatan tertinggi⁽³⁾.

Tahapan emanasi dalam Neoplatonisme meliputi:

·                     The One: Sumber segala realitas, tak terhingga, dan melampaui akal budi.

·                     Nous (Akal Universal): Realitas pertama yang keluar dari The One. Nous adalah akal universal yang mencakup dunia ide Plato dan bertindak sebagai pola dasar kosmos.

·                     Psyche (Jiwa Universal): Jiwa universal yang berada di bawah Nous. Jiwa berperan sebagai penghubung antara realitas transenden (The One dan Nous) dengan dunia materi. Jiwa bersifat ganda: satu sisi menuju Nous dan sisi lainnya menuju dunia materi⁽⁴⁾.

·                     Materi: Tingkat terendah dalam hierarki emanasi. Materi bersifat sementara dan menjadi "bayangan" dari realitas sejati. Dalam pandangan Plotinus, materi juga dipandang sebagai "kegelapan" karena jauh dari The One⁽⁵⁾.

Melalui emanasi, Neoplatonisme menjelaskan keteraturan kosmos dan hubungan hierarkis antara dunia transenden dan dunia fisik.

4.3.       Nous (Akal Universal)

Nous adalah realitas kedua dalam hierarki emanasi setelah The One. Nous berfungsi sebagai "akal ilahi" atau akal universal yang memancarkan ide-ide atau prinsip-prinsip dasar dari segala sesuatu yang ada⁽⁶⁾.

Plotinus mendefinisikan Nous sebagai "kesadaran murni" yang memandang The One dan sekaligus menciptakan dunia ide Plato. Nous adalah realitas yang berisi pengetahuan sempurna dan menjadi sumber keteraturan kosmos. Konsep ini mirip dengan ide "Akal Aktif" Aristoteles, tetapi dalam konteks yang lebih metafisik⁽⁷⁾.

4.4.       Psyche (Jiwa Universal)

Psyche atau jiwa universal adalah tingkatan ketiga dalam emanasi dan berperan sebagai penghubung antara realitas transenden dan dunia materi. Jiwa memiliki dua aspek utama:

·                     Jiwa Tertinggi: Mengarah ke Nous dan bersifat abadi serta ilahi.

·                     Jiwa Duniawi: Mengarah ke dunia materi dan bertanggung jawab atas kehidupan di dunia fisik⁽⁸⁾.

Menurut Plotinus, jiwa manusia adalah bagian dari Psyche, dan tujuan tertinggi manusia adalah kembali kepada The One melalui penyucian jiwa, asketisme, dan kontemplasi filosofis. Jiwa manusia memiliki kemampuan untuk "naik" dari dunia materi menuju Nous dan akhirnya bersatu dengan The One⁽⁹⁾.

4.5.       Materi dan Dunia Sensitif

Materi adalah tingkat terendah dalam hierarki emanasi dan dianggap sebagai "kegelapan" atau "ketiadaan" dalam pandangan Plotinus. Materi tidak memiliki substansi sejati dan hanya merupakan bayangan atau refleksi dari realitas yang lebih tinggi⁽¹⁰⁾.

Namun, dunia materi tetap penting karena menjadi "wadah" bagi jiwa yang menjalani proses penyucian. Plotinus menekankan bahwa meskipun materi adalah sumber keterbatasan dan penderitaan, manusia dapat "mengatasi" dunia materi dengan mendekatkan jiwa kepada The One melalui kontemplasi dan kebajikan.

4.6.       Penyatuan Jiwa dengan The One

Plotinus mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah penyatuan jiwa dengan The One. Proses ini disebut sebagai "pengembalian" atau epistrophé. Melalui disiplin asketisme, meditasi, dan penyucian moral, jiwa manusia dapat naik dari dunia materi menuju Psyche, Nous, dan akhirnya bersatu dengan The One. Penyatuan ini adalah pengalaman mistis yang tidak dapat digambarkan oleh kata-kata, karena melampaui akal budi manusia⁽¹¹⁾.


Catatan Kaki:

[1]                Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Books, 1991), I.6.7.

[2]                John M. Rist, Plotinus: The Road to Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 8–10.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 470–472.

[4]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 5 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 80–83.

[5]                John Dillon, The Middle Platonists 80 BC to AD 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 345–348.

[6]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 77–79.

[7]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 32–35.

[8]                Gregory Shaw, Theurgy and the Soul: The Neoplatonism of Iamblichus (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 1995), 18–22.

[9]                Porphyry, Life of Plotinus, trans. A.H. Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), 15–17.

[10]             Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen MacKenna, III.6.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 136–138.


5.           Pengaruh Neoplatonisme

5.1.       Pengaruh dalam Filsafat Barat

Neoplatonisme memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat Barat, terutama pada era teologi Kristen awal dan Abad Pertengahan. Para pemikir Kristen awal, seperti St. Agustinus (354–430 M), banyak mengadopsi konsep-konsep Neoplatonik dalam rangka menjelaskan doktrin Kristen. Agustinus menggunakan gagasan The One sebagai representasi Tuhan, yang merupakan sumber segala realitas dan kebaikan mutlak. Ia juga memanfaatkan konsep emanasi untuk memahami hubungan antara Tuhan sebagai Pencipta dengan ciptaan-Nya⁽¹⁾.

Selain Agustinus, pemikiran Boethius (480–524 M) dalam karyanya The Consolation of Philosophy juga menunjukkan pengaruh kuat dari Neoplatonisme, terutama dalam gagasan tentang ketuhanan sebagai kebaikan tertinggi dan realitas yang stabil di tengah perubahan dunia materi⁽²⁾. Di Abad Pertengahan, filsafat Neoplatonisme diwariskan melalui pemikiran Pseudo-Dionysius Areopagita (abad ke-5/6), yang menggabungkan unsur mistik Neoplatonik dengan teologi Kristen melalui konsep hierarki malaikat dan penyatuan dengan Tuhan⁽³⁾.

Pada era Renaisans, Neoplatonisme mengalami kebangkitan melalui karya Marsilio Ficino (1433–1499), seorang filsuf Italia yang menerjemahkan Enneads karya Plotinus ke dalam bahasa Latin. Ficino menyebarkan pemikiran Neoplatonik dalam konteks humanisme Renaisans, menekankan keindahan dan harmoni sebagai refleksi dari realitas transenden⁽⁴⁾.

5.2.       Pengaruh dalam Filsafat Islam

Neoplatonisme memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan filsafat Islam melalui penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Pemikiran Plotinus dikenal dalam dunia Islam melalui karya yang disebut Theology of Aristotle, yang sebenarnya adalah adaptasi pemikiran Neoplatonik⁽⁵⁾.

·                     Al-Kindi (801–873 M):

Sebagai filsuf Muslim pertama, Al-Kindi menggabungkan konsep Neoplatonisme dengan pemikiran Islam. Ia menyatakan bahwa Tuhan adalah Yang Esa dan merupakan sumber segala realitas melalui proses emanasi⁽⁶⁾.

·                     Al-Farabi (872–950 M):

Al-Farabi mengadopsi konsep hierarki emanasi untuk menjelaskan struktur kosmos dan hubungan antara Tuhan, akal aktif, dan dunia fisik. Baginya, Tuhan adalah Akal Pertama yang memancarkan semua realitas⁽⁷⁾.

·                     Ibn Sina (Avicenna) (980–1037 M):

Ibn Sina mengembangkan gagasan Neoplatonik dalam metafisikanya. Ia memadukan konsep emanasi dengan teori wujud (eksistensi) dan esensi, di mana Tuhan sebagai Wajib al-Wujud (wujud yang niscaya) menjadi sumber dari segala eksistensi⁽⁸⁾.

·                     Ibn Arabi (1165–1240 M):

Dalam pemikiran mistik, Ibn Arabi menggunakan elemen Neoplatonik untuk menjelaskan konsep Wahdatul Wujud (kesatuan wujud), di mana seluruh realitas adalah manifestasi dari Tuhan sebagai sumber tunggal⁽⁹⁾.

Dengan demikian, Neoplatonisme berperan sebagai jembatan intelektual antara filsafat Yunani dan pemikiran Islam, memberikan landasan metafisik bagi para filsuf Muslim.

5.3.       Pengaruh dalam Mistisisme

Neoplatonisme turut berpengaruh terhadap tradisi mistisisme di berbagai agama. Dalam Kristen, gagasan tentang penyucian jiwa dan penyatuan dengan Tuhan diadopsi oleh mistikus seperti Meister Eckhart dan St. John of the Cross⁽¹⁰⁾. Hierarki emanasi dalam Neoplatonisme juga memengaruhi tradisi Kabbalah Yahudi, khususnya dalam konsep sefirot, di mana Tuhan yang transenden memancarkan realitas melalui tahapan hierarkis⁽¹¹⁾.

Dalam Islam, pemikiran Neoplatonik berperan dalam pengembangan tasawuf, terutama pada aliran falsafi dan pemikiran para sufi seperti Suhrawardi dan Ibn Arabi. Konsep penyatuan jiwa dengan The One memiliki kesamaan dengan ajaran tasawuf tentang penyatuan dengan Tuhan melalui pengalaman mistik.

5.4.       Pengaruh dalam Filsafat Modern

Neoplatonisme tidak kehilangan relevansinya di era modern. Pemikir seperti Hegel (1770–1831) menggunakan struktur dialektis yang memiliki kemiripan dengan hierarki emanasi Plotinus, di mana realitas berkembang dari yang absolut menuju keberagaman dan kembali ke kesatuan. Selain itu, aspek mistik dalam Neoplatonisme juga memengaruhi pemikir kontemporer seperti Henri Bergson dan Teilhard de Chardin dalam memahami evolusi kosmis dan realitas transenden⁽¹²⁾.


Kesimpulan

Pengaruh Neoplatonisme melintasi batas agama, budaya, dan waktu. Dari filsafat Yunani-Romawi hingga Islam, dari teologi Kristen hingga mistisisme, pemikiran Neoplatonik tentang The One dan emanasi memberikan dasar metafisik yang kuat bagi pemahaman realitas tertinggi.


Catatan Kaki:

[1]                St. Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 7.10.

[2]                Boethius, The Consolation of Philosophy, trans. Victor Watts (London: Penguin Books, 1999), 72–74.

[3]                Pseudo-Dionysius, The Mystical Theology, trans. Colm Luibheid (New York: Paulist Press, 1987), 141–143.

[4]                Marsilio Ficino, The Letters of Marsilio Ficino, trans. Language Department of the School of Economic Science (London: Shepheard-Walwyn, 2004), 23–25.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 2001), 61–65.

[6]                Peter Adamson, Al-Kindi: The Father of Arab Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 89–92.

[7]                Al-Farabi, On the Perfect State, trans. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 39–42.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna and His Legacy (Princeton: Princeton University Press, 2006), 101–105.

[9]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (New York: SUNY Press, 1989), 12–15.

[10]             Bernard McGinn, The Presence of God: A History of Western Christian Mysticism (New York: Crossroad, 1991), 55–57.

[11]             Gershom Scholem, Kabbalah (New York: Dorset Press, 1974), 88–91.

[12]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), 360–363.


6.           Kritik terhadap Neoplatonisme

6.1.       Kritik Filosofis terhadap Konsep The One

Konsep The One sebagai realitas tertinggi yang absolut, tak terlukiskan, dan transenden menimbulkan sejumlah kritik dari para filsuf rasionalis. Kritik utama datang dari Aristoteles dan para pemikir skolastik, yang berpendapat bahwa konsep realitas haruslah dapat dipahami secara logis dan empiris. The One dalam pemikiran Plotinus dianggap terlalu abstrak dan jauh dari jangkauan akal manusia⁽¹⁾.

·                     Aristoteles:

Menekankan bahwa realitas tertinggi (Akal Aktif) harus bersifat aktual dan dapat didefinisikan. Bagi Aristoteles, The One yang bersifat “di luar keberadaan” menjadi kontradiktif dengan ide realitas⁽²⁾.

·                     Thomas Aquinas (1225–1274 M):

Meskipun mengagumi struktur metafisik Neoplatonisme, ia mengkritik The One sebagai tidak memadai untuk menjelaskan konsep Tuhan dalam teologi Kristen, di mana Tuhan harus memiliki sifat personal dan berkehendak⁽³⁾.

Kritik ini menunjukkan bahwa abstraksi ekstrem dari The One menyebabkan kesulitan untuk menghubungkannya dengan realitas empiris dan pengalaman manusia.

6.2.       Kritik terhadap Proses Emanasi

Proses emanasi, di mana segala sesuatu “keluar” dari The One secara hierarkis, menjadi sumber kritik dari berbagai aliran filsafat dan agama, terutama dalam konteks penciptaan.

·                     Filsuf Kristen:

Para teolog Kristen seperti St. Agustinus mengkritik bahwa emanasi tidak sesuai dengan konsep penciptaan eks nihilo (ciptaan dari ketiadaan). Dalam pemikiran Kristen, Tuhan menciptakan alam semesta dengan kehendak bebas-Nya, bukan melalui proses emanasi yang bersifat deterministik dan otomatis⁽⁴⁾.

·                     Filsuf Islam:

Aliran Asy’ariyah dalam Islam mengkritik konsep emanasi karena bertentangan dengan pandangan bahwa Tuhan adalah Pencipta yang memiliki kehendak bebas. Para teolog ini berpendapat bahwa proses emanasi mengurangi sifat keagungan Tuhan dan menjadikannya seolah-olah “terpaksa” memancarkan realitas⁽⁵⁾.

Selain itu, gagasan emanasi dianggap tidak mampu menjelaskan dengan memadai mengapa ada keberagaman di dunia jika semuanya bersumber dari The One yang sederhana dan mutlak.

6.3.       Kritik terhadap Pandangan Dualisme Materi

Neoplatonisme mengajarkan bahwa materi adalah tingkatan terendah dalam realitas dan dianggap sebagai "kegelapan" atau "ketiadaan" karena jaraknya dari The One. Pandangan ini dikritik oleh beberapa aliran filsafat yang lebih optimis terhadap dunia materi, seperti:

·                     Aristoteles:

Menolak pandangan negatif terhadap materi. Ia berargumen bahwa materi memiliki peran penting sebagai substansi dasar dalam realitas dan tidak dapat dipisahkan dari bentuk⁽⁶⁾.

·                     Filsuf Modern:

Filsuf seperti Spinoza (1632–1677 M) menolak dualisme Plotinus antara dunia materi dan dunia spiritual. Spinoza mengajarkan monisme substansi, di mana Tuhan dan alam semesta adalah satu realitas yang sama⁽⁷⁾.

Kritik ini menunjukkan bahwa Neoplatonisme cenderung meremehkan dunia fisik, yang bagi sebagian pemikir justru merupakan ekspresi dari kehendak ilahi.

6.4.       Kritik dari Perspektif Empirisisme dan Sains

Dalam era modern, filsafat Neoplatonisme mendapat tantangan besar dari para pemikir empiris dan ilmuwan yang menekankan metode observasi dan eksperimen dalam memahami realitas.

·                     David Hume (1711–1776 M):

Mengkritik gagasan metafisika abstrak seperti The One dan emanasi sebagai spekulatif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris. Bagi Hume, realitas hanya dapat dipahami melalui pengalaman inderawi, bukan melalui kontemplasi metafisik⁽⁸⁾.

·                     Ilmuwan Modern:

Dalam sains modern, konsep hierarki emanasi dianggap tidak relevan dengan penjelasan ilmiah tentang kosmos. Teori kosmologi modern, seperti teori Big Bang, memberikan penjelasan yang lebih akurat dan terukur tentang asal-usul alam semesta⁽⁹⁾.

Kritik ini menegaskan keterbatasan Neoplatonisme dalam menjawab pertanyaan tentang realitas dalam kerangka ilmiah modern.

6.5.       Kritik dari Perspektif Teologi Islam

Para teolog Islam, khususnya aliran Asy’ariyah dan Mutazilah, mengkritik konsep Neoplatonisme yang memengaruhi filsafat Islam. Mereka berpendapat:

·                     Konsep The One yang transenden berpotensi meniadakan sifat-sifat Tuhan dalam Islam, seperti kehendak bebas dan kekuasaan-Nya yang absolut.

·                     Proses emanasi bertentangan dengan ajaran tauhid dalam Islam, di mana Allah menciptakan segala sesuatu secara langsung, bukan melalui hierarki emanasi⁽¹⁰⁾.

Al-Ghazali (1058–1111 M) dalam Tahafut al-Falasifah secara khusus menyerang pemikiran Ibn Sina dan Al-Farabi yang mengadopsi konsep Neoplatonik. Ia berpendapat bahwa pemikiran emanasi dan kekekalan alam bertentangan dengan prinsip dasar Islam tentang penciptaan⁽¹¹⁾.

6.6.       Kritik Etis dan Praktis

Neoplatonisme, dengan fokusnya pada penyucian jiwa dan penyatuan mistik dengan The One, dianggap oleh sebagian kritikus sebagai terlalu elitis dan jauh dari kehidupan praktis manusia. Para pemikir seperti Karl Marx berpendapat bahwa filsafat seperti Neoplatonisme cenderung mengabaikan realitas sosial dan material yang konkret⁽¹²⁾.


Kesimpulan

Kritik terhadap Neoplatonisme datang dari berbagai aspek: metafisika, teologi, sains, dan etika. Meskipun konsep-konsepnya memiliki kedalaman filosofis, keterbatasannya dalam menjawab pertanyaan empiris dan ilmiah serta pertentangannya dengan doktrin agama tertentu menjadikan Neoplatonisme subjek kritik yang signifikan dalam sejarah pemikiran.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 12.9.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 82–85.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.Q2.

[4]                St. Augustine, City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), 11.2.

[5]                Peter Adamson, Al-Kindi: The Father of Arab Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 94–96.

[6]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6 (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 122–124.

[7]                Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 178–181.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 31–35.

[9]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 123–125.

[10]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 54–58.

[11]             Lenn E. Goodman, Avicenna and His Legacy (Princeton: Princeton University Press, 2006), 106–109.

[12]             Karl Marx, Theses on Feuerbach, trans. Cyril Smith (New York: International Publishers, 2000), 15–17.


7.           Kesimpulan

Filsafat Neoplatonisme merupakan salah satu sistem pemikiran paling berpengaruh dalam sejarah filsafat, yang berhasil menggabungkan elemen-elemen metafisika Plato, logika Aristoteles, dan unsur mistisisme dalam tradisi Yunani-Hellenistik. Dipelopori oleh Plotinus (204–270 M) dan diteruskan oleh para pemikir seperti Porphyry, Iamblichus, dan Proclus, Neoplatonisme memberikan penjelasan yang sistematis tentang realitas tertinggi dan struktur hierarkis alam semesta.

7.1.       Konsep Inti Neoplatonisme

Neoplatonisme berpijak pada konsep The One atau Yang Esa, yang merupakan realitas absolut, transenden, dan tak terlukiskan. Dari The One inilah segala realitas memancar melalui proses emanasi. Proses ini menciptakan hierarki kosmos, meliputi Nous (Akal Universal), Psyche (Jiwa Universal), dan akhirnya dunia materi yang dianggap sebagai tingkat realitas terendah. Tujuan hidup manusia, menurut Neoplatonisme, adalah "kembali" kepada The One melalui penyucian moral, kontemplasi, dan pengalaman mistik⁽¹⁾.

7.2.       Pengaruh Global Neoplatonisme

Neoplatonisme memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan filsafat dan teologi dalam berbagai tradisi:

1)                  Dalam Filsafat Barat:

Gagasan The One memengaruhi pemikiran teolog Kristen seperti St. Agustinus, yang mengadaptasinya untuk menjelaskan Tuhan sebagai sumber kebaikan mutlak⁽²⁾.

Pada Abad Pertengahan, pemikir seperti Boethius dan Pseudo-Dionysius Areopagita menggunakan struktur Neoplatonik untuk menjelaskan realitas ilahi dalam kerangka teologi Kristen⁽³⁾.

Pada masa Renaisans, Marsilio Ficino menerjemahkan karya-karya Plotinus, yang kemudian memengaruhi humanisme dan pemikiran estetis abad ke-15⁽⁴⁾.

2)                  Dalam Filsafat Islam:

Neoplatonisme menjadi jembatan antara filsafat Yunani dan pemikiran Islam. Filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina mengadaptasi konsep The One dan emanasi untuk menjelaskan struktur wujud dan hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya⁽⁵⁾. Bahkan dalam tradisi tasawuf, pemikiran Neoplatonisme memberikan dasar bagi konsep Wahdatul Wujud dalam pemikiran Ibn Arabi⁽⁶⁾.

3)                  Dalam Mistisisme dan Tradisi Religius:

Gagasan hierarki emanasi dan kesatuan dengan The One diadopsi oleh para mistikus Kristen, Yahudi, dan Islam. Misalnya, dalam Kabbalah Yahudi dan tasawuf Islam, gagasan ini menjadi landasan penting dalam memahami hubungan manusia dengan Tuhan⁽⁷⁾.

7.3.       Kritik terhadap Neoplatonisme

Meskipun berpengaruh luas, Neoplatonisme tidak lepas dari kritik. Para pemikir rasionalis seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas menganggap konsep The One terlalu abstrak dan sulit dipahami secara logis. Proses emanasi dikritik oleh para teolog Kristen dan Islam karena bertentangan dengan konsep penciptaan eks nihilo (ciptaan dari ketiadaan)⁽⁸⁾. Selain itu, dalam konteks ilmu pengetahuan modern, Neoplatonisme dianggap tidak kompatibel dengan metode empiris yang menekankan observasi dan verifikasi⁽⁹⁾.

7.4.       Relevansi Neoplatonisme di Era Modern

Meskipun muncul lebih dari 1700 tahun yang lalu, pemikiran Neoplatonisme tetap memiliki relevansi dalam diskusi filsafat kontemporer. Konsep hierarki realitas dan pencarian Yang Esa memberikan landasan bagi pemikiran metafisika modern dan gerakan mistik universal. Selain itu, nilai-nilai etis yang ditekankan oleh Plotinus, seperti penyucian jiwa dan pencarian makna hidup, tetap relevan dalam menjawab kegelisahan manusia modern yang mencari kedalaman spiritual⁽¹⁰⁾.


Kesimpulan Akhir

Neoplatonisme adalah tonggak penting dalam sejarah filsafat yang menyatukan spekulasi metafisik dan praktik spiritual. Warisan pemikiran ini melampaui batas waktu dan tradisi, memengaruhi teologi Kristen, filsafat Islam, dan mistisisme global. Meskipun mendapat kritik dari perspektif rasionalis dan ilmiah, Neoplatonisme tetap menjadi sumber inspirasi bagi pemikiran tentang realitas tertinggi dan pencarian makna hidup.


Catatan Kaki

[1]                Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Penguin Books, 1991), I.1.1.

[2]                St. Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 7.17.

[3]                Pseudo-Dionysius, The Mystical Theology, trans. Colm Luibheid (New York: Paulist Press, 1987), 134–137.

[4]                Marsilio Ficino, The Letters of Marsilio Ficino, trans. Language Department of the School of Economic Science (London: Shepheard-Walwyn, 2004), 26–30.

[5]                Peter Adamson, Al-Kindi: The Father of Arab Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 90–95.

[6]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (New York: SUNY Press, 1989), 14–19.

[7]                Gershom Scholem, Kabbalah (New York: Dorset Press, 1974), 101–104.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I.Q2.

[9]                Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 118–120.

[10]             Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 25–28.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2007). Al-Kindi: The father of Arab philosophy. Oxford University Press.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Brothers.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Augustine, S. (1998). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Boethius. (1999). The consolation of philosophy (V. Watts, Trans.). Penguin Books.

Chittick, W. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn Arabi’s metaphysics of imagination. SUNY Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Greece and Rome. Doubleday.

Dillon, J. (1996). The middle Platonists 80 BC to AD 220. Cornell University Press.

Ficino, M. (2004). The letters of Marsilio Ficino (Language Department of the School of Economic Science, Trans.). Shepheard-Walwyn.

Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy. University of Notre Dame Press.

Guthrie, W. K. C. (1978). A history of Greek philosophy: The later Plato and the Academy (Vol. 5). Cambridge University Press.

Guthrie, W. K. C. (1981). A history of Greek philosophy: Aristotle (Vol. 6). Cambridge University Press.

Gutas, D. (2001). Greek thought, Arabic culture. Routledge.

Hawking, S. (1988). A brief history of time. Bantam Books.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding. Oxford University Press.

Iamblichus. (2003). De Mysteriis (E. Clarke, Trans.). Society of Biblical Literature.

Marx, K. (2000). Theses on Feuerbach (C. Smith, Trans.). International Publishers.

McGinn, B. (1991). The presence of God: A history of Western Christian mysticism. Crossroad.

Plotinus. (1991). The six Enneads (S. MacKenna, Trans.). Penguin Books.

Porphyry. (1966). Life of Plotinus (A. H. Armstrong, Trans.). Harvard University Press.

Proclus. (1963). Elements of theology (E. R. Dodds, Trans.). Clarendon Press.

Scholem, G. (1974). Kabbalah. Dorset Press.

Shaw, G. (1995). Theurgy and the soul: The Neoplatonism of Iamblichus. Pennsylvania State University Press.


Lampiran: Daftar Aliran-Aliran Filsafat Neoplatonisme

1)                 Neoplatonisme Awal

Arti: Tahap pertama perkembangan filsafat Neoplatonisme.

Tokoh Utama: Plotinus, Porphyry.

2)                 Neoplatonisme Tengah

Arti: Periode perkembangan yang memasukkan elemen teurgis dan mistisisme.

Tokoh Utama: Iamblichus.

3)                 Neoplatonisme Akhir

Arti: Fase terakhir perkembangan Neoplatonisme yang lebih sistematis.

Tokoh Utama: Proclus, Damascius.

4)                 Neoplatonisme Kristen

Arti: Adaptasi konsep Neoplatonisme dalam teologi Kristen.

Tokoh Utama: St. Agustinus, Pseudo-Dionysius Areopagita, Boethius.

5)                 Neoplatonisme Islam

Arti: Integrasi konsep Neoplatonisme ke dalam filsafat Islam.

Tokoh Utama: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Arabi.

6)                 Neoplatonisme Yahudi

Arti: Pengaruh Neoplatonisme dalam tradisi Kabbalah Yahudi.

Tokoh Utama: Isaac Luria, Abraham Abulafia.

7)                 Neoplatonisme Renaisans

Arti: Kebangkitan kembali Neoplatonisme pada masa Renaisans di Eropa.

Tokoh Utama: Marsilio Ficino, Giovanni Pico della Mirandola.

8)                 Neoplatonisme Modern

Arti: Interpretasi dan pengaruh Neoplatonisme dalam pemikiran filsafat modern.

Tokoh Utama: Hegel, Henri Bergson, Teilhard de Chardin.

9)                 Neoplatonisme Mistisisme

Arti: Pemanfaatan konsep Neoplatonis dalam mistisisme lintas agama.

Tokoh Utama: Meister Eckhart (Kristen), Suhrawardi (Islam), Kabbalis (Yahudi).


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar