Neoplatonisme
Jembatan antara Pemikiran Filsafat Klasik Yunani dan
Pemikiran Keagamaan
Alihkan ke: Empat Aliran Filsafat Utama.
Abstrak
Neoplatonisme adalah
aliran filsafat yang berkembang pada abad ke-3 M berdasarkan pemikiran Plato,
dengan pengaruh yang kuat dari mistisisme dan metafisika. Filsafat ini
dipelopori oleh Plotinus dan dikembangkan oleh para penerusnya seperti Porphyry
dan Proclus. Inti ajarannya adalah konsep tentang "Yang Satu"
(The One) sebagai sumber segala eksistensi, di mana realitas berjenjang dari
yang paling sempurna hingga materi yang paling rendah. Artikel ini membahas
prinsip-prinsip utama Neoplatonisme, seperti emanasi (proses keluarnya realitas
dari Yang Satu), jiwa, dan perjalanan spiritual menuju kesempurnaan. Selain
itu, kajian ini juga mengeksplorasi pengaruh Neoplatonisme terhadap pemikiran
filsafat Islam, Kekristenan, dan Renaisans. Dengan memahami aliran ini, pembaca
dapat memperoleh wawasan mendalam mengenai hubungan antara filsafat,
mistisisme, dan pencarian makna dalam kehidupan.
Kata Kunci: Neoplatonisme,
Plotinus, The One, Emanasi, Metafisika, Jiwa, Mistisisme, Filsafat Plato.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Filsafat Neoplatonisme merupakan salah satu aliran filsafat
yang muncul pada abad ke-3 M di dunia Yunani-Romawi, yang merupakan
pengembangan dari pemikiran Plato (427–347 SM). Dalam perjalanan sejarah
filsafat, Neoplatonisme bukan hanya sekadar revitalisasi ide-ide Plato,
melainkan sintesis pemikiran Plato dengan unsur-unsur dari filsafat
Aristoteles, Stoisisme, dan unsur mistik yang menekankan realitas tertinggi
sebagai “Yang Esa” (The One). Plotinus (204–270 M), yang dikenal
sebagai pendiri aliran ini, berhasil menyusun struktur filsafat Neoplatonisme
dalam karyanya Enneads yang kemudian disusun oleh muridnya, Porphyry.
Filsafat ini memiliki pengaruh besar dalam perkembangan teologi Kristen,
filsafat Islam, dan tradisi mistisisme di kemudian hari.
Seiring perkembangan sejarah, Neoplatonisme juga
menjadi jembatan antara pemikiran filsafat klasik Yunani dan pemikiran
keagamaan, baik dalam konteks Kristen maupun Islam. Para pemikir seperti
Agustinus (354–430 M), Al-Farabi (872–950 M), dan Ibn Sina (980–1037 M) banyak
mengadaptasi konsep-konsep kunci Neoplatonisme ke dalam sistem pemikiran
mereka, khususnya dalam pembahasan metafisika dan ketuhanan. Dengan demikian,
mempelajari Neoplatonisme penting untuk memahami perkembangan filsafat dan
teologi dari masa kuno hingga abad pertengahan.
1.2. Definisi Singkat Neoplatonisme
Neoplatonisme adalah aliran filsafat yang berakar
pada pemikiran Plato tetapi berkembang lebih jauh melalui sintesis berbagai
pemikiran filosofis dan mistik. Plotinus, sebagai tokoh utama Neoplatonisme,
merumuskan pandangan bahwa realitas tertinggi adalah The One (Yang Esa),
yang bersifat absolut, transenden, dan merupakan sumber dari segala sesuatu
yang ada melalui proses emanasi. Neoplatonisme memandang bahwa tujuan tertinggi
manusia adalah kembali kepada The One melalui penyucian jiwa dan akal
budi.
1.3. Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pemikiran
Neoplatonisme secara sistematis dan komprehensif, meliputi latar belakang
sejarah, tokoh-tokoh utama, konsep-konsep dasar, serta pengaruhnya terhadap
pemikiran filsafat dan teologi di dunia Barat maupun Islam. Dengan demikian,
artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam mengenai
kontribusi Neoplatonisme dalam perkembangan intelektual global.
Catatan Kaki:
[1]
Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Penguin Books, 1991), xxii–xxiv.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 469–470.
[3]
John Dillon, The Middle Platonists 80 BC to AD
220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 361–363.
[4]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 24–26.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 131–132.
[6]
R.C. Zaehner, Hindu and Muslim Mysticism
(New York: Schocken Books, 1969), 86.
2.
Latar
Belakang Sejarah
2.1. Asal-Usul Neoplatonisme
Neoplatonisme muncul sebagai respons terhadap
perkembangan filsafat Yunani-Romawi pada masa akhir zaman klasik. Pemikiran
Plato (427–347 SM), khususnya dalam Republik, Phaedrus, dan Timaeus,
menjadi dasar utama bagi filsafat ini, terutama konsep dunia ide dan realitas
transenden. Namun, Neoplatonisme bukan sekadar kebangkitan kembali pemikiran
Plato, melainkan sintesis antara Plato, Aristoteles, dan pemikiran dari tradisi
Hellenistik seperti Stoisisme dan Pythagoreanisme.
Pada abad ke-3 M, Yunani dan Romawi menghadapi
masa-masa pergolakan politik dan spiritual. Di tengah krisis ini, filsafat
Neoplatonisme berperan sebagai pemikiran yang menawarkan jalan keluar metafisik
melalui pencarian Yang Esa (The One), yang dipandang sebagai
realitas tertinggi dan sumber segala sesuatu. Filsafat ini tidak hanya bersifat
filosofis tetapi juga mistik, menekankan pentingnya penyucian jiwa untuk
mencapai persatuan dengan The One¹.
2.2. Konteks Historis
Neoplatonisme berkembang pada era Kekaisaran Romawi
akhir, di mana kebudayaan Yunani-Romawi mengalami pergeseran besar. Plotinus
(204–270 M), seorang filsuf asal Mesir yang belajar di Alexandria dan kemudian
menetap di Roma, dianggap sebagai pendiri utama Neoplatonisme. Dengan
menggabungkan elemen-elemen pemikiran Plato dan filsafat Hellenistik, Plotinus
menyusun filsafat yang sistematis dalam karyanya Enneads, yang disusun
oleh muridnya, Porphyry².
Era ini ditandai oleh krisis spiritual dan pertarungan
antara agama-agama tradisional Romawi, filsafat Yunani, dan agama-agama baru
seperti Kekristenan. Neoplatonisme memberikan alternatif pemikiran yang
menggabungkan rasionalitas filsafat dengan elemen-elemen mistik, menjadikannya
relevan dalam konteks keagamaan dan spiritual pada masa itu³.
2.3. Tokoh-Tokoh Pendahulu
1)
Plato:
Konsep
realitas dua tingkat —dunia ide (abadi dan sempurna) dan dunia materi
(sementara dan tidak sempurna)— menjadi fondasi utama Neoplatonisme. Pemikiran
Plato mengenai jiwa dan tujuannya untuk kembali ke dunia ide sangat memengaruhi
Neoplatonisme⁴.
2)
Aristoteles:
Konsep “Akal
Aktif” dari Aristoteles berperan dalam gagasan hierarki emanasi, di mana
realitas turun dari The One menuju Nous (akal universal) dan
jiwa⁵.
3)
Tradisi Hellenistik:
Stoisisme
memberikan pengaruh melalui pandangan tentang logos (rasio universal) dan
ketertiban kosmos, sementara Pythagoreanisme memengaruhi aspek mistik
Neoplatonisme dengan gagasan tentang harmoni dan matematika sebagai fondasi
realitas⁶.
Dengan demikian, Neoplatonisme muncul sebagai hasil
sintesis dari berbagai aliran pemikiran Yunani dan sebagai respons terhadap
kebutuhan manusia untuk memahami hakikat realitas tertinggi dalam dunia yang
penuh gejolak.
Catatan Kaki:
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 468–471.
[2]
Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Penguin Books, 1991), xviii–xix.
[3]
John M. Rist, Plotinus: The Road to Reality
(Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 10–12.
[4]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge University
Press, 1978), 83–85.
[5]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 74–76.
[6]
John Dillon, The Middle Platonists 80 BC to AD
220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 334–336.
3.
Tokoh-Tokoh
Utama Neoplatonisme
3.1. Plotinus (204–270 M)
Plotinus adalah pendiri utama aliran Neoplatonisme.
Lahir di Mesir, ia belajar filsafat di Alexandria di bawah bimbingan Ammonius
Saccas, seorang guru misterius yang dianggap memiliki peran besar dalam
pengembangan pemikirannya. Pada usia 40 tahun, Plotinus pindah ke Roma, di mana
ia mendirikan sekolah filsafat yang kemudian melahirkan karya monumental, Enneads,
yang disusun secara sistematis oleh muridnya, Porphyry¹.
Plotinus memperkenalkan konsep utama dalam
Neoplatonisme, yaitu “The One” (Yang Esa), sebagai realitas tertinggi
yang bersifat transenden, absolut, dan tidak dapat digambarkan dengan
kata-kata. Menurutnya, The One adalah sumber dari segala realitas
melalui proses emanasi. Realitas turun dari The One menuju tingkatan
yang lebih rendah: Nous (Akal Universal), Psyche (Jiwa), dan akhirnya
Materi sebagai tingkatan terendah².
Kontribusi Plotinus tidak hanya berfokus pada
metafisika, tetapi juga pada aspek etika dan mistik. Tujuan akhir manusia,
menurutnya, adalah penyatuan jiwa dengan The One melalui penyucian moral
dan meditasi filosofis³.
3.2. Porphyry (232–304 M)
Porphyry adalah murid Plotinus yang berperan
penting dalam menyebarkan pemikiran gurunya. Dialah yang menyusun karya Enneads
dan menulis biografi Plotinus, "Life of Plotinus", yang
memberikan gambaran tentang kehidupan dan ajaran Plotinus⁴.
Porphyry memperluas pemikiran Neoplatonisme dengan
mengintegrasikan filsafat moral dan agama. Ia menekankan pentingnya filsafat
sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan penyucian jiwa.
Selain itu, ia juga menulis karya terkenal seperti Isagoge, yang menjadi
pengantar logika Aristoteles dan sangat berpengaruh dalam pemikiran abad
pertengahan⁵.
Porphyry juga dikenal sebagai kritikus keras agama
Kristen pada zamannya, meskipun kemudian pemikirannya berperan dalam
pengembangan teologi Kristen melalui interpretasi metafisik Neoplatonik⁶.
3.3. Iamblichus (245–325 M)
Iamblichus berasal dari Suriah dan dikenal sebagai
tokoh yang memperkenalkan aspek mistisisme yang lebih kuat dalam Neoplatonisme.
Ia mengkritik Porphyry karena dianggap terlalu rasionalis dan menekankan ritual
serta praktik keagamaan sebagai sarana untuk mencapai realitas transenden⁷.
Dalam karyanya De Mysteriis (Tentang
Misteri), Iamblichus menguraikan sistem hierarki emanasi yang lebih
kompleks dibandingkan Plotinus. Ia memperkenalkan gagasan bahwa para dewa, roh,
dan kekuatan ilahi memiliki peran dalam membantu manusia mencapai The One
melalui praktik ritual dan doa. Dengan demikian, Iamblichus menjadikan
Neoplatonisme lebih bersifat teurgis (berbasis praktik spiritual)⁸.
3.4. Proclus (412–485 M)
Proclus adalah filsuf Neoplatonis terakhir yang
berpengaruh besar, terutama dalam sistematisasi pemikiran Neoplatonisme. Ia
belajar di Akademi Platonis di Athena dan menyusun karya monumental seperti Elements
of Theology dan The Platonic Theology⁹.
Proclus memperluas ajaran Plotinus dengan menyusun
hierarki realitas yang lebih kompleks dan rinci. Menurutnya, proses emanasi
berlangsung dalam tahapan yang lebih terstruktur: The One → Nous → Soul →
Dunia Material. Proclus juga memperkenalkan gagasan tentang “kembalinya”
segala sesuatu kepada The One melalui proses yang disebut “konversi”¹⁰.
Pemikiran Proclus memiliki pengaruh signifikan
terhadap pemikir Kristen seperti Pseudo-Dionysius Areopagita dan juga filsuf
Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.
3.5. Tokoh-Tokoh Lain
Selain tokoh-tokoh utama di atas, Neoplatonisme
turut dipengaruhi oleh pemikir-pemikir berikut:
·
Ammonius Saccas:
Guru
Plotinus yang dikenal sebagai figur transisi dari Platonisme klasik ke
Neoplatonisme.
·
Damascius (458–538 M):
Filsuf
terakhir Neoplatonis dari Akademi Athena yang berperan dalam menjaga pemikiran
Neoplatonis di tengah kemunculan Kekristenan.
Catatan Kaki:
[1]
Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Penguin Books, 1991), xviii–xx.
[2]
John M. Rist, Plotinus: The Road to Reality
(Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 12–15.
[3]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 30–33.
[4]
Porphyry, Life of Plotinus, trans. A.H.
Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), 7–9.
[5]
Jonathan Barnes, Porphyry: Introduction to Logic
(Oxford: Clarendon Press, 2003), 4–6.
[6]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 5 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 90–92.
[7]
Gregory Shaw, Theurgy and the Soul: The
Neoplatonism of Iamblichus (Pennsylvania: Pennsylvania State University
Press, 1995), 18–22.
[8]
Iamblichus, De Mysteriis, trans. Emma Clarke
(Atlanta: Society of Biblical Literature, 2003), 25–27.
[9]
Proclus, Elements of Theology, trans. E.R.
Dodds (Oxford: Clarendon Press, 1963), 8–12.
[10]
David Albertson, Mathematical Theologies:
Nicholas of Cusa and the Legacy of Proclus (Oxford: Oxford University
Press, 2014), 34–36.
4.
Konsep-Konsep
Utama dalam Neoplatonisme
4.1. The One (Yang Esa)
Konsep The One atau Yang Esa adalah
inti dari filsafat Neoplatonisme. Plotinus, dalam Enneads, menjelaskan
bahwa The One merupakan realitas tertinggi yang bersifat absolut,
sempurna, dan transenden. The One tidak dapat dijelaskan oleh kategori
rasional manusia karena berada di luar pemahaman akal budi⁽¹⁾.
The One adalah sumber segala sesuatu, namun tidak bergantung pada apa pun.
Plotinus menggambarkan The One sebagai "kebaikan mutlak"
yang melampaui keberadaan (beyond being) dan menjadi penyebab pertama
dari segala sesuatu melalui proses emanasi. Dalam pandangan ini, The
One mirip dengan konsep "kesatuan" dalam pemikiran mistik
dan religius di berbagai tradisi⁽²⁾.
“The One is everywhere and nowhere; it is all
things and no thing, for it transcends all being” (Enneads VI.9.6).
4.2. Emanasi (Emanation)
Emanasi adalah proses keluarnya segala realitas
dari The One secara hierarkis. Proses ini bukanlah ciptaan seperti dalam
konsep teologi, melainkan "keluarnya" realitas yang lebih
rendah dari realitas yang lebih tinggi dengan tetap mempertahankan sifat ilahi
di tingkatan tertinggi⁽³⁾.
Tahapan emanasi dalam Neoplatonisme meliputi:
·
The One: Sumber
segala realitas, tak terhingga, dan melampaui akal budi.
·
Nous (Akal Universal): Realitas
pertama yang keluar dari The One. Nous adalah akal universal yang
mencakup dunia ide Plato dan bertindak sebagai pola dasar kosmos.
·
Psyche (Jiwa Universal): Jiwa universal yang berada di bawah Nous. Jiwa berperan sebagai
penghubung antara realitas transenden (The One dan Nous) dengan
dunia materi. Jiwa bersifat ganda: satu sisi menuju Nous dan sisi
lainnya menuju dunia materi⁽⁴⁾.
·
Materi: Tingkat
terendah dalam hierarki emanasi. Materi bersifat sementara dan menjadi "bayangan"
dari realitas sejati. Dalam pandangan Plotinus, materi juga dipandang sebagai
"kegelapan" karena jauh dari The One⁽⁵⁾.
Melalui emanasi, Neoplatonisme menjelaskan
keteraturan kosmos dan hubungan hierarkis antara dunia transenden dan dunia
fisik.
4.3. Nous (Akal Universal)
Nous adalah realitas kedua dalam hierarki emanasi setelah The One. Nous
berfungsi sebagai "akal ilahi" atau akal universal yang
memancarkan ide-ide atau prinsip-prinsip dasar dari segala sesuatu yang ada⁽⁶⁾.
Plotinus mendefinisikan Nous sebagai "kesadaran
murni" yang memandang The One dan sekaligus menciptakan dunia
ide Plato. Nous adalah realitas yang berisi pengetahuan sempurna dan
menjadi sumber keteraturan kosmos. Konsep ini mirip dengan ide "Akal
Aktif" Aristoteles, tetapi dalam konteks yang lebih metafisik⁽⁷⁾.
4.4. Psyche (Jiwa Universal)
Psyche atau jiwa universal adalah tingkatan ketiga dalam emanasi dan berperan
sebagai penghubung antara realitas transenden dan dunia materi. Jiwa memiliki
dua aspek utama:
·
Jiwa Tertinggi: Mengarah
ke Nous dan bersifat abadi serta ilahi.
·
Jiwa Duniawi: Mengarah
ke dunia materi dan bertanggung jawab atas kehidupan di dunia fisik⁽⁸⁾.
Menurut Plotinus, jiwa manusia adalah bagian dari Psyche,
dan tujuan tertinggi manusia adalah kembali kepada The One melalui
penyucian jiwa, asketisme, dan kontemplasi filosofis. Jiwa manusia memiliki
kemampuan untuk "naik" dari dunia materi menuju Nous
dan akhirnya bersatu dengan The One⁽⁹⁾.
4.5. Materi dan Dunia Sensitif
Materi adalah tingkat terendah dalam hierarki
emanasi dan dianggap sebagai "kegelapan" atau "ketiadaan"
dalam pandangan Plotinus. Materi tidak memiliki substansi sejati dan hanya
merupakan bayangan atau refleksi dari realitas yang lebih tinggi⁽¹⁰⁾.
Namun, dunia materi tetap penting karena menjadi
"wadah" bagi jiwa yang menjalani proses penyucian. Plotinus
menekankan bahwa meskipun materi adalah sumber keterbatasan dan penderitaan,
manusia dapat "mengatasi" dunia materi dengan mendekatkan jiwa
kepada The One melalui kontemplasi dan kebajikan.
4.6. Penyatuan Jiwa dengan The One
Plotinus mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia
adalah penyatuan jiwa dengan The One. Proses ini disebut sebagai "pengembalian"
atau epistrophé. Melalui disiplin asketisme, meditasi, dan penyucian
moral, jiwa manusia dapat naik dari dunia materi menuju Psyche, Nous,
dan akhirnya bersatu dengan The One. Penyatuan ini adalah pengalaman
mistis yang tidak dapat digambarkan oleh kata-kata, karena melampaui akal budi
manusia⁽¹¹⁾.
Catatan Kaki:
[1]
Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Penguin Books, 1991), I.6.7.
[2]
John M. Rist, Plotinus: The Road to Reality
(Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 8–10.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Greece and Rome (New York: Doubleday, 1993), 470–472.
[4]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 5 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 80–83.
[5]
John Dillon, The Middle Platonists 80 BC to AD
220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 345–348.
[6]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 77–79.
[7]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 32–35.
[8]
Gregory Shaw, Theurgy and the Soul: The
Neoplatonism of Iamblichus (Pennsylvania: Pennsylvania State University
Press, 1995), 18–22.
[9]
Porphyry, Life of Plotinus, trans. A.H.
Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), 15–17.
[10]
Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen
MacKenna, III.6.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 136–138.
5.
Pengaruh
Neoplatonisme
5.1. Pengaruh dalam Filsafat Barat
Neoplatonisme memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan filsafat Barat, terutama pada era teologi Kristen awal dan Abad
Pertengahan. Para pemikir Kristen awal, seperti St. Agustinus (354–430
M), banyak mengadopsi konsep-konsep Neoplatonik dalam rangka menjelaskan
doktrin Kristen. Agustinus menggunakan gagasan The One sebagai
representasi Tuhan, yang merupakan sumber segala realitas dan kebaikan mutlak.
Ia juga memanfaatkan konsep emanasi untuk memahami hubungan antara Tuhan
sebagai Pencipta dengan ciptaan-Nya⁽¹⁾.
Selain Agustinus, pemikiran Boethius
(480–524 M) dalam karyanya The Consolation of Philosophy juga
menunjukkan pengaruh kuat dari Neoplatonisme, terutama dalam gagasan tentang
ketuhanan sebagai kebaikan tertinggi dan realitas yang stabil di tengah
perubahan dunia materi⁽²⁾. Di Abad Pertengahan, filsafat Neoplatonisme
diwariskan melalui pemikiran Pseudo-Dionysius Areopagita (abad ke-5/6),
yang menggabungkan unsur mistik Neoplatonik dengan teologi Kristen melalui
konsep hierarki malaikat dan penyatuan dengan Tuhan⁽³⁾.
Pada era Renaisans, Neoplatonisme mengalami kebangkitan
melalui karya Marsilio Ficino (1433–1499), seorang filsuf Italia yang
menerjemahkan Enneads karya Plotinus ke dalam bahasa Latin. Ficino
menyebarkan pemikiran Neoplatonik dalam konteks humanisme Renaisans, menekankan
keindahan dan harmoni sebagai refleksi dari realitas transenden⁽⁴⁾.
5.2. Pengaruh dalam Filsafat Islam
Neoplatonisme memiliki dampak signifikan terhadap
perkembangan filsafat Islam melalui penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam
bahasa Arab pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Pemikiran Plotinus dikenal dalam
dunia Islam melalui karya yang disebut Theology of Aristotle, yang
sebenarnya adalah adaptasi pemikiran Neoplatonik⁽⁵⁾.
·
Al-Kindi (801–873 M):
Sebagai
filsuf Muslim pertama, Al-Kindi menggabungkan konsep Neoplatonisme dengan pemikiran
Islam. Ia menyatakan bahwa Tuhan adalah Yang Esa dan merupakan sumber
segala realitas melalui proses emanasi⁽⁶⁾.
·
Al-Farabi (872–950 M):
Al-Farabi
mengadopsi konsep hierarki emanasi untuk menjelaskan struktur kosmos dan
hubungan antara Tuhan, akal aktif, dan dunia fisik. Baginya, Tuhan adalah Akal
Pertama yang memancarkan semua realitas⁽⁷⁾.
·
Ibn Sina (Avicenna) (980–1037 M):
Ibn Sina
mengembangkan gagasan Neoplatonik dalam metafisikanya. Ia memadukan konsep
emanasi dengan teori wujud (eksistensi) dan esensi, di mana Tuhan sebagai Wajib
al-Wujud (wujud yang niscaya) menjadi sumber dari segala eksistensi⁽⁸⁾.
·
Ibn Arabi (1165–1240 M):
Dalam
pemikiran mistik, Ibn Arabi menggunakan elemen Neoplatonik untuk menjelaskan
konsep Wahdatul Wujud (kesatuan wujud), di mana seluruh realitas adalah
manifestasi dari Tuhan sebagai sumber tunggal⁽⁹⁾.
Dengan demikian, Neoplatonisme berperan sebagai
jembatan intelektual antara filsafat Yunani dan pemikiran Islam, memberikan
landasan metafisik bagi para filsuf Muslim.
5.3. Pengaruh dalam Mistisisme
Neoplatonisme turut berpengaruh terhadap tradisi
mistisisme di berbagai agama. Dalam Kristen, gagasan tentang penyucian
jiwa dan penyatuan dengan Tuhan diadopsi oleh mistikus seperti Meister
Eckhart dan St. John of the Cross⁽¹⁰⁾. Hierarki emanasi dalam
Neoplatonisme juga memengaruhi tradisi Kabbalah Yahudi, khususnya dalam
konsep sefirot, di mana Tuhan yang transenden memancarkan realitas
melalui tahapan hierarkis⁽¹¹⁾.
Dalam Islam, pemikiran Neoplatonik berperan
dalam pengembangan tasawuf, terutama pada aliran falsafi dan pemikiran para
sufi seperti Suhrawardi dan Ibn Arabi. Konsep penyatuan jiwa
dengan The One memiliki kesamaan dengan ajaran tasawuf tentang penyatuan
dengan Tuhan melalui pengalaman mistik.
5.4. Pengaruh dalam Filsafat Modern
Neoplatonisme tidak kehilangan relevansinya di era
modern. Pemikir seperti Hegel (1770–1831) menggunakan struktur dialektis
yang memiliki kemiripan dengan hierarki emanasi Plotinus, di mana realitas
berkembang dari yang absolut menuju keberagaman dan kembali ke kesatuan. Selain
itu, aspek mistik dalam Neoplatonisme juga memengaruhi pemikir kontemporer
seperti Henri Bergson dan Teilhard de Chardin dalam memahami
evolusi kosmis dan realitas transenden⁽¹²⁾.
Kesimpulan
Pengaruh Neoplatonisme melintasi batas agama,
budaya, dan waktu. Dari filsafat Yunani-Romawi hingga Islam, dari teologi
Kristen hingga mistisisme, pemikiran Neoplatonik tentang The One dan
emanasi memberikan dasar metafisik yang kuat bagi pemahaman realitas tertinggi.
Catatan Kaki:
[1]
St. Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 7.10.
[2]
Boethius, The Consolation of Philosophy,
trans. Victor Watts (London: Penguin Books, 1999), 72–74.
[3]
Pseudo-Dionysius, The Mystical Theology,
trans. Colm Luibheid (New York: Paulist Press, 1987), 141–143.
[4]
Marsilio Ficino, The Letters of Marsilio Ficino,
trans. Language Department of the School of Economic Science (London:
Shepheard-Walwyn, 2004), 23–25.
[5]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 2001), 61–65.
[6]
Peter Adamson, Al-Kindi: The Father of Arab
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 89–92.
[7]
Al-Farabi, On the Perfect State, trans.
Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 39–42.
[8]
Lenn E. Goodman, Avicenna and His Legacy
(Princeton: Princeton University Press, 2006), 101–105.
[9]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (New York: SUNY Press, 1989), 12–15.
[10]
Bernard McGinn, The Presence of God: A History
of Western Christian Mysticism (New York: Crossroad, 1991), 55–57.
[11]
Gershom Scholem, Kabbalah (New York: Dorset
Press, 1974), 88–91.
[12]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1994), 360–363.
6.
Kritik
terhadap Neoplatonisme
6.1. Kritik Filosofis terhadap Konsep The One
Konsep The One sebagai realitas tertinggi
yang absolut, tak terlukiskan, dan transenden menimbulkan sejumlah kritik dari
para filsuf rasionalis. Kritik utama datang dari Aristoteles dan para
pemikir skolastik, yang berpendapat bahwa konsep realitas haruslah dapat
dipahami secara logis dan empiris. The One dalam pemikiran Plotinus
dianggap terlalu abstrak dan jauh dari jangkauan akal manusia⁽¹⁾.
·
Aristoteles:
Menekankan
bahwa realitas tertinggi (Akal Aktif) harus bersifat aktual dan dapat
didefinisikan. Bagi Aristoteles, The One yang bersifat “di luar
keberadaan” menjadi kontradiktif dengan ide realitas⁽²⁾.
·
Thomas Aquinas (1225–1274
M):
Meskipun
mengagumi struktur metafisik Neoplatonisme, ia mengkritik The One
sebagai tidak memadai untuk menjelaskan konsep Tuhan dalam teologi Kristen, di
mana Tuhan harus memiliki sifat personal dan berkehendak⁽³⁾.
Kritik ini menunjukkan bahwa abstraksi ekstrem dari
The One menyebabkan kesulitan untuk menghubungkannya dengan realitas
empiris dan pengalaman manusia.
6.2. Kritik terhadap Proses Emanasi
Proses emanasi, di mana segala sesuatu “keluar”
dari The One secara hierarkis, menjadi sumber kritik dari berbagai
aliran filsafat dan agama, terutama dalam konteks penciptaan.
·
Filsuf Kristen:
Para teolog
Kristen seperti St. Agustinus mengkritik bahwa emanasi tidak sesuai
dengan konsep penciptaan eks nihilo (ciptaan dari ketiadaan). Dalam
pemikiran Kristen, Tuhan menciptakan alam semesta dengan kehendak bebas-Nya,
bukan melalui proses emanasi yang bersifat deterministik dan otomatis⁽⁴⁾.
·
Filsuf Islam:
Aliran
Asy’ariyah dalam Islam mengkritik konsep emanasi karena bertentangan dengan
pandangan bahwa Tuhan adalah Pencipta yang memiliki kehendak bebas. Para teolog
ini berpendapat bahwa proses emanasi mengurangi sifat keagungan Tuhan dan
menjadikannya seolah-olah “terpaksa” memancarkan realitas⁽⁵⁾.
Selain itu, gagasan emanasi dianggap tidak mampu
menjelaskan dengan memadai mengapa ada keberagaman di dunia jika semuanya
bersumber dari The One yang sederhana dan mutlak.
6.3. Kritik terhadap Pandangan Dualisme Materi
Neoplatonisme mengajarkan bahwa materi adalah
tingkatan terendah dalam realitas dan dianggap sebagai "kegelapan"
atau "ketiadaan" karena jaraknya dari The One.
Pandangan ini dikritik oleh beberapa aliran filsafat yang lebih optimis
terhadap dunia materi, seperti:
·
Aristoteles:
Menolak
pandangan negatif terhadap materi. Ia berargumen bahwa materi memiliki peran
penting sebagai substansi dasar dalam realitas dan tidak dapat dipisahkan dari
bentuk⁽⁶⁾.
·
Filsuf Modern:
Filsuf
seperti Spinoza (1632–1677 M) menolak dualisme Plotinus antara dunia
materi dan dunia spiritual. Spinoza mengajarkan monisme substansi, di mana
Tuhan dan alam semesta adalah satu realitas yang sama⁽⁷⁾.
Kritik ini menunjukkan bahwa Neoplatonisme
cenderung meremehkan dunia fisik, yang bagi sebagian pemikir justru merupakan
ekspresi dari kehendak ilahi.
6.4. Kritik dari Perspektif Empirisisme dan Sains
Dalam era modern, filsafat Neoplatonisme mendapat
tantangan besar dari para pemikir empiris dan ilmuwan yang menekankan metode
observasi dan eksperimen dalam memahami realitas.
·
David Hume (1711–1776
M):
Mengkritik
gagasan metafisika abstrak seperti The One dan emanasi sebagai
spekulatif dan tidak dapat diverifikasi secara empiris. Bagi Hume, realitas
hanya dapat dipahami melalui pengalaman inderawi, bukan melalui kontemplasi
metafisik⁽⁸⁾.
·
Ilmuwan Modern:
Dalam sains
modern, konsep hierarki emanasi dianggap tidak relevan dengan penjelasan ilmiah
tentang kosmos. Teori kosmologi modern, seperti teori Big Bang, memberikan
penjelasan yang lebih akurat dan terukur tentang asal-usul alam semesta⁽⁹⁾.
Kritik ini menegaskan keterbatasan Neoplatonisme
dalam menjawab pertanyaan tentang realitas dalam kerangka ilmiah modern.
6.5. Kritik dari Perspektif Teologi Islam
Para teolog Islam, khususnya aliran Asy’ariyah
dan Mutazilah, mengkritik konsep Neoplatonisme yang memengaruhi filsafat
Islam. Mereka berpendapat:
·
Konsep The One yang transenden berpotensi meniadakan sifat-sifat
Tuhan dalam Islam, seperti kehendak bebas dan kekuasaan-Nya yang absolut.
·
Proses emanasi bertentangan dengan ajaran tauhid dalam Islam, di mana
Allah menciptakan segala sesuatu secara langsung, bukan melalui hierarki
emanasi⁽¹⁰⁾.
Al-Ghazali (1058–1111 M) dalam Tahafut al-Falasifah secara khusus menyerang
pemikiran Ibn Sina dan Al-Farabi yang mengadopsi konsep Neoplatonik. Ia
berpendapat bahwa pemikiran emanasi dan kekekalan alam bertentangan dengan
prinsip dasar Islam tentang penciptaan⁽¹¹⁾.
6.6. Kritik Etis dan Praktis
Neoplatonisme, dengan fokusnya pada penyucian jiwa
dan penyatuan mistik dengan The One, dianggap oleh sebagian kritikus
sebagai terlalu elitis dan jauh dari kehidupan praktis manusia. Para pemikir
seperti Karl Marx berpendapat bahwa filsafat seperti Neoplatonisme
cenderung mengabaikan realitas sosial dan material yang konkret⁽¹²⁾.
Kesimpulan
Kritik terhadap Neoplatonisme datang dari berbagai
aspek: metafisika, teologi, sains, dan etika. Meskipun konsep-konsepnya
memiliki kedalaman filosofis, keterbatasannya dalam menjawab pertanyaan empiris
dan ilmiah serta pertentangannya dengan doktrin agama tertentu menjadikan
Neoplatonisme subjek kritik yang signifikan dalam sejarah pemikiran.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 12.9.
[2]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 82–85.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I.Q2.
[4]
St. Augustine, City of God, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin Books, 2003), 11.2.
[5]
Peter Adamson, Al-Kindi: The Father of Arab
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 94–96.
[6]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 6 (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 122–124.
[7]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 178–181.
[8]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 31–35.
[9]
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam Books, 1988), 123–125.
[10]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 54–58.
[11]
Lenn E. Goodman, Avicenna and His Legacy
(Princeton: Princeton University Press, 2006), 106–109.
[12]
Karl Marx, Theses on Feuerbach, trans. Cyril
Smith (New York: International Publishers, 2000), 15–17.
7.
Kesimpulan
Filsafat Neoplatonisme merupakan salah satu sistem
pemikiran paling berpengaruh dalam sejarah filsafat, yang berhasil
menggabungkan elemen-elemen metafisika Plato, logika Aristoteles, dan unsur
mistisisme dalam tradisi Yunani-Hellenistik. Dipelopori oleh Plotinus
(204–270 M) dan diteruskan oleh para pemikir seperti Porphyry, Iamblichus,
dan Proclus, Neoplatonisme memberikan penjelasan yang sistematis tentang
realitas tertinggi dan struktur hierarkis alam semesta.
7.1. Konsep Inti Neoplatonisme
Neoplatonisme berpijak pada konsep The One
atau Yang Esa, yang merupakan realitas absolut, transenden, dan tak
terlukiskan. Dari The One inilah segala realitas memancar melalui proses
emanasi. Proses ini menciptakan hierarki kosmos, meliputi Nous
(Akal Universal), Psyche (Jiwa Universal), dan akhirnya dunia materi
yang dianggap sebagai tingkat realitas terendah. Tujuan hidup manusia, menurut
Neoplatonisme, adalah "kembali" kepada The One melalui
penyucian moral, kontemplasi, dan pengalaman mistik⁽¹⁾.
7.2. Pengaruh Global Neoplatonisme
Neoplatonisme memberikan kontribusi signifikan
terhadap perkembangan filsafat dan teologi dalam berbagai tradisi:
1)
Dalam Filsafat Barat:
Gagasan The
One memengaruhi pemikiran teolog Kristen seperti St. Agustinus, yang
mengadaptasinya untuk menjelaskan Tuhan sebagai sumber kebaikan mutlak⁽²⁾.
Pada Abad
Pertengahan, pemikir seperti Boethius dan Pseudo-Dionysius Areopagita
menggunakan struktur Neoplatonik untuk menjelaskan realitas ilahi dalam
kerangka teologi Kristen⁽³⁾.
Pada masa
Renaisans, Marsilio Ficino menerjemahkan karya-karya Plotinus, yang kemudian memengaruhi
humanisme dan pemikiran estetis abad ke-15⁽⁴⁾.
2)
Dalam Filsafat Islam:
Neoplatonisme
menjadi jembatan antara filsafat Yunani dan pemikiran Islam. Filsuf seperti Al-Kindi,
Al-Farabi, dan Ibn Sina mengadaptasi konsep The One dan
emanasi untuk menjelaskan struktur wujud dan hubungan antara Tuhan dengan
ciptaan-Nya⁽⁵⁾. Bahkan dalam tradisi tasawuf, pemikiran Neoplatonisme
memberikan dasar bagi konsep Wahdatul Wujud dalam pemikiran Ibn Arabi⁽⁶⁾.
3)
Dalam Mistisisme dan Tradisi Religius:
Gagasan
hierarki emanasi dan kesatuan dengan The One diadopsi oleh para mistikus
Kristen, Yahudi, dan Islam. Misalnya, dalam Kabbalah Yahudi dan tasawuf
Islam, gagasan ini menjadi landasan penting dalam memahami hubungan manusia
dengan Tuhan⁽⁷⁾.
7.3. Kritik terhadap Neoplatonisme
Meskipun berpengaruh luas, Neoplatonisme tidak
lepas dari kritik. Para pemikir rasionalis seperti Aristoteles dan Thomas
Aquinas menganggap konsep The One terlalu abstrak dan sulit dipahami
secara logis. Proses emanasi dikritik oleh para teolog Kristen dan Islam karena
bertentangan dengan konsep penciptaan eks nihilo (ciptaan dari ketiadaan)⁽⁸⁾.
Selain itu, dalam konteks ilmu pengetahuan modern, Neoplatonisme dianggap tidak
kompatibel dengan metode empiris yang menekankan observasi dan verifikasi⁽⁹⁾.
7.4. Relevansi Neoplatonisme di Era Modern
Meskipun muncul lebih dari 1700 tahun yang lalu,
pemikiran Neoplatonisme tetap memiliki relevansi dalam diskusi filsafat
kontemporer. Konsep hierarki realitas dan pencarian Yang Esa memberikan
landasan bagi pemikiran metafisika modern dan gerakan mistik universal. Selain
itu, nilai-nilai etis yang ditekankan oleh Plotinus, seperti penyucian jiwa dan
pencarian makna hidup, tetap relevan dalam menjawab kegelisahan manusia modern
yang mencari kedalaman spiritual⁽¹⁰⁾.
Kesimpulan Akhir
Neoplatonisme adalah tonggak penting dalam sejarah
filsafat yang menyatukan spekulasi metafisik dan praktik spiritual. Warisan
pemikiran ini melampaui batas waktu dan tradisi, memengaruhi teologi Kristen,
filsafat Islam, dan mistisisme global. Meskipun mendapat kritik dari perspektif
rasionalis dan ilmiah, Neoplatonisme tetap menjadi sumber inspirasi bagi
pemikiran tentang realitas tertinggi dan pencarian makna hidup.
Catatan Kaki
[1]
Plotinus, The Six Enneads, trans. Stephen
MacKenna (London: Penguin Books, 1991), I.1.1.
[2]
St. Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), 7.17.
[3]
Pseudo-Dionysius, The Mystical Theology,
trans. Colm Luibheid (New York: Paulist Press, 1987), 134–137.
[4]
Marsilio Ficino, The Letters of Marsilio Ficino,
trans. Language Department of the School of Economic Science (London:
Shepheard-Walwyn, 2004), 26–30.
[5]
Peter Adamson, Al-Kindi: The Father of Arab
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 90–95.
[6]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (New York: SUNY Press, 1989), 14–19.
[7]
Gershom Scholem, Kabbalah (New York: Dorset
Press, 1974), 101–104.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I.Q2.
[9]
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam Books, 1988), 118–120.
[10]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 25–28.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2007). Al-Kindi: The father of Arab
philosophy. Oxford University Press.
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Brothers.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Augustine, S. (1998). Confessions (H.
Chadwick, Trans.). Oxford University Press.
Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short
introduction. Oxford University Press.
Boethius. (1999). The consolation of philosophy
(V. Watts, Trans.). Penguin Books.
Chittick, W. (1989). The Sufi path of knowledge:
Ibn Arabi’s metaphysics of imagination. SUNY Press.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy:
Greece and Rome. Doubleday.
Dillon, J. (1996). The middle Platonists 80 BC
to AD 220. Cornell University Press.
Ficino, M. (2004). The letters of Marsilio
Ficino (Language Department of the School of Economic Science, Trans.).
Shepheard-Walwyn.
Gilson, E. (1991). The spirit of medieval
philosophy. University of Notre Dame Press.
Guthrie, W. K. C. (1978). A history of Greek
philosophy: The later Plato and the Academy (Vol. 5). Cambridge University
Press.
Guthrie, W. K. C. (1981). A history of Greek
philosophy: Aristotle (Vol. 6). Cambridge University Press.
Gutas, D. (2001). Greek thought, Arabic culture.
Routledge.
Hawking, S. (1988). A brief history of time.
Bantam Books.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding. Oxford University Press.
Iamblichus. (2003). De Mysteriis (E. Clarke,
Trans.). Society of Biblical Literature.
Marx, K. (2000). Theses on Feuerbach (C.
Smith, Trans.). International Publishers.
McGinn, B. (1991). The presence of God: A
history of Western Christian mysticism. Crossroad.
Plotinus. (1991). The six Enneads (S.
MacKenna, Trans.). Penguin Books.
Porphyry. (1966). Life of Plotinus (A. H.
Armstrong, Trans.). Harvard University Press.
Proclus. (1963). Elements of theology (E. R.
Dodds, Trans.). Clarendon Press.
Scholem, G. (1974). Kabbalah. Dorset Press.
Shaw, G. (1995). Theurgy and the soul: The Neoplatonism
of Iamblichus. Pennsylvania State University Press.
Lampiran: Daftar Aliran-Aliran Filsafat Neoplatonisme
1)
Neoplatonisme Awal
Arti: Tahap
pertama perkembangan filsafat Neoplatonisme.
Tokoh Utama: Plotinus,
Porphyry.
2)
Neoplatonisme Tengah
Arti: Periode
perkembangan yang memasukkan elemen teurgis dan mistisisme.
Tokoh Utama:
Iamblichus.
3)
Neoplatonisme Akhir
Arti: Fase
terakhir perkembangan Neoplatonisme yang lebih sistematis.
Tokoh Utama: Proclus,
Damascius.
4)
Neoplatonisme Kristen
Arti: Adaptasi
konsep Neoplatonisme dalam teologi Kristen.
Tokoh Utama: St.
Agustinus, Pseudo-Dionysius Areopagita, Boethius.
5)
Neoplatonisme Islam
Arti: Integrasi
konsep Neoplatonisme ke dalam filsafat Islam.
Tokoh Utama: Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Arabi.
6)
Neoplatonisme Yahudi
Arti: Pengaruh
Neoplatonisme dalam tradisi Kabbalah Yahudi.
Tokoh Utama: Isaac
Luria, Abraham Abulafia.
7)
Neoplatonisme Renaisans
Arti:
Kebangkitan kembali Neoplatonisme pada masa Renaisans di Eropa.
Tokoh Utama: Marsilio
Ficino, Giovanni Pico della Mirandola.
8)
Neoplatonisme Modern
Arti:
Interpretasi dan pengaruh Neoplatonisme dalam pemikiran filsafat modern.
Tokoh Utama: Hegel,
Henri Bergson, Teilhard de Chardin.
9)
Neoplatonisme Mistisisme
Arti:
Pemanfaatan konsep Neoplatonis dalam mistisisme lintas agama.
Tokoh Utama: Meister
Eckhart (Kristen), Suhrawardi (Islam), Kabbalis (Yahudi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar