Jumat, 23 Mei 2025

Aksidensi dalam Metafisika: Hakikat, Peran Relasional, dan Implikasinya terhadap Pemahaman Realitas

Aksidensi dalam Metafisika

Hakikat, Peran Relasional, dan Implikasinya terhadap Pemahaman Realitas


Alihkan ke: Metafisika.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep aksidensi dalam kerangka metafisika, mulai dari tradisi klasik Aristotelian, filsafat Islam, hingga diskursus kontemporer. Aksidensi dipahami sebagai sifat atau atribut non-esensial yang melekat pada substansi namun tidak menentukan hakikatnya. Melalui eksplorasi terhadap hubungan antara aksidensi dan substansi, klasifikasi ontologisnya, peran epistemologis dalam proses pengetahuan, serta kritik dari berbagai aliran filsafat modern seperti fenomenologi, eksistensialisme, dan filsafat analitik, artikel ini menyoroti dinamika makna aksidensi dalam sejarah pemikiran filsafat.

Dalam filsafat Islam, aksidensi juga memainkan peran penting dalam membangun argumen teologis, terutama dalam kalām Asy‘ariyah, yang menggunakan konsep hudūts al-a‘rāḍ untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Sementara itu, dalam filsafat Barat modern, aksidensi direvisi sebagai struktur pengalaman, bahkan dalam fisika kuantum dan ilmu kognitif. Kajian ini menunjukkan bahwa meskipun konsep aksidensi kerap dipandang sebagai kategori metafisik tradisional, ia tetap memiliki relevansi signifikan dalam menjembatani antara realitas, perubahan, dan pemahaman manusia.

Kata Kunci: Aksidensi, Substansi, Metafisika, Perubahan, Epistemologi, Filsafat Islam, Kalām, Fenomenologi, Kritik Kontemporer, Ontologi.


PEMBAHASAN

Kajian tentang Aksidensi dalam Metafisika


1.           Pendahuluan

Dalam kajian metafisika, pembahasan mengenai realitas tidak dapat dilepaskan dari dua konsep fundamental: substansi dan aksidensi. Jika substansi dipahami sebagai inti atau dasar keberadaan yang independen, maka aksidensi adalah atribut atau sifat-sifat yang melekat pada substansi namun tidak menentukan hakikatnya. Konsep aksidensi telah menjadi topik penting sejak masa Yunani kuno, khususnya dalam sistem filsafat Aristoteles yang membagi kategori-kategori eksistensial menjadi sepuluh, di antaranya hanya satu yang merupakan substansi (ousia), sementara sisanya merupakan aksidensi seperti kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, dan lain-lain¹.

Aksidensi memainkan peran penting dalam menjelaskan keberagaman dan perubahan dalam realitas. Suatu benda dapat mengalami perubahan warna, ukuran, atau posisi tanpa kehilangan identitas substansialnya. Misalnya, sebatang kayu yang terbakar menjadi hitam tetap dianggap sebagai kayu dalam hakikatnya, meskipun sifat aksidensialnya berubah. Dengan demikian, aksidensi berperan sebagai medium ontologis yang menjembatani antara kestabilan esensial dan dinamika fenomenologis dalam keberadaan².

Dalam tradisi filsafat Islam, aksidensi juga mendapatkan perhatian serius, terutama dalam kerangka teologis dan kosmologis. Tokoh seperti Ibn Sina dan Al-Ghazali mengembangkan teori tentang ‘arad (aksidensi) untuk menjelaskan perubahan, waktu, dan hubungan antara makhluk dengan Sang Pencipta. Misalnya, bagi kalangan Asy‘ariyah, aksidensi dianggap sebagai entitas yang tidak dapat bertahan dalam dua waktu, sehingga keberadaan alam dipahami sebagai hasil penciptaan yang terus-menerus oleh Tuhan³. Di sisi lain, Ibn Sina menempatkan aksidensi dalam sistem hirarki wujud, sebagai aspek non-esensial dari mawjud (sesuatu yang ada)⁴.

Seiring perkembangan zaman, pemikiran mengenai aksidensi mengalami perluasan dan bahkan pergeseran makna dalam berbagai aliran filsafat modern. Filsuf seperti Kant, misalnya, tidak lagi membahas aksidensi dalam pengertian ontologis klasik, melainkan sebagai bagian dari cara pikiran manusia memproyeksikan struktur pemahaman ke dalam realitas fenomenal⁵. Sementara dalam ranah fenomenologi, Heidegger dan Merleau-Ponty menyoroti bagaimana pengalaman manusia terhadap "sifat-sifat" benda lebih merupakan hasil dari keterlibatan eksistensial daripada sekadar atribut pasif⁶.

Mengingat luasnya cakupan dan implikasi dari konsep aksidensi, kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hakikat aksidensi, klasifikasi ontologisnya, peran relasionalnya terhadap substansi, serta refleksi filosofisnya terhadap pemahaman realitas. Dengan pendekatan historis-kritis dan dialog antara filsafat Timur dan Barat, diharapkan artikel ini dapat memberikan gambaran utuh mengenai signifikansi aksidensi dalam diskursus metafisika.


Footnotes

[1]                Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 1a20–1b10.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.6; q.77, a.1.

[3]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 83–84.

[4]                Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, chapter 5.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A20/B34–A21/B35.

[6]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 77–79.


2.           Konsep Dasar Aksidensi dalam Metafisika

Dalam kerangka metafisika klasik, terutama dalam tradisi Aristotelian, aksidensi (accidens) merujuk pada sifat atau atribut yang melekat pada suatu substansi namun bukan bagian dari hakikat esensialnya. Artinya, suatu entitas dapat tetap mempertahankan identitas esensialnya walaupun aksidensinya berubah. Aristoteles membedakan antara substansi pertama (seperti manusia individual) dan substansi kedua (seperti genus atau spesies), sementara aksidensi adalah kategori yang menjelaskan bagaimana substansi muncul atau tampil dalam realitas konkret tanpa mengubah apa yang mendasarinya secara ontologis¹.

Aksidensi dapat mencakup berbagai aspek seperti warna, bentuk, jumlah, relasi, tempat, waktu, posisi, kondisi, aksi, dan pasifitas. Dalam Categories, Aristoteles mencantumkan sembilan kategori aksidensial sebagai pelengkap dari satu substansi, menjadikannya total sepuluh kategori eksistensial². Dalam pandangannya, aksidensi tidak dapat berdiri sendiri tanpa substansi; misalnya, “putih” memerlukan sesuatu yang berwarna putih sebagai tempat perlekatannya. Dengan demikian, aksidensi bersifat dependen, sedangkan substansi bersifat independen dalam eksistensinya.

Konsep ini kemudian diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh para filsuf Islam. Ibn Sina (Avicenna), dalam Al-Shifa’, menjelaskan bahwa aksidensi (‘arad) adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan memerlukan tempat (substansi) untuk eksistensinya. Ia membagi entitas menjadi tiga: substansi (jawhar), aksidensi (‘arad), dan eksistensi itu sendiri (wujūd). Bagi Ibn Sina, aksidensi tidak hanya menjelaskan sifat-sifat luar suatu entitas, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam analisis logis dan epistemologis untuk memahami wujud³.

Dalam filsafat skolastik, Thomas Aquinas juga mempertahankan pandangan Aristotelian tentang aksidensi, tetapi memasukkannya dalam kerangka teologis Kristen. Ia membedakan antara aksidensi yang inhere in the subject (berada dalam subjek), dan yang depend on the subject (bergantung pada subjek), menjadikannya penting dalam doktrin transubstansiasi dalam teologi Ekaristi Katolik⁴. Dalam konteks ini, aksidensi seperti warna dan rasa tetap ada, tetapi substansi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus.

Secara logis dan metafisik, aksidensi memiliki dua ciri utama: pertama, kontingensi, yakni ia dapat ada atau tidak ada tanpa mengubah hakikat sesuatu; dan kedua, non-esensialitas, yaitu tidak termasuk dalam definisi dasar suatu entitas. Hal ini berbeda dengan esensi (mahiyyah) yang bersifat mendefinisikan dan menentukan apa sesuatu itu. Dalam perspektif ini, perubahan aksidensial tidak mempengaruhi keberadaan fundamental suatu benda, melainkan hanya mengubah bagaimana ia hadir dalam pengalaman⁵.

Perlu dicatat bahwa meskipun aksidensi sering dianggap sebagai sesuatu yang “kurang penting” karena bukan bagian dari hakikat, namun justru melalui aksidensi lah suatu entitas dikenali dalam pengalaman. Pandangan ini disoroti oleh para fenomenolog seperti Husserl dan Heidegger, yang melihat bahwa fenomena tidak pernah hadir tanpa “penampakan” yang aksidensial. Bahkan dalam filsafat modern, sifat-sifat aksidensial dianggap sebagai jalan masuk bagi epistemologi empiris⁶.

Dengan demikian, konsep aksidensi dalam metafisika bukan hanya menjelaskan atribut luar dari sesuatu, tetapi juga memainkan peran sentral dalam menjembatani antara eksistensi dan persepsi, antara ontologi dan epistemologi, serta antara hakikat dan fenomena.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 1028a10–1029a10.

[2]                Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 1a20–1b10.

[3]                Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, chapter 5.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q.75, a.5.

[5]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 57–59.

[6]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 94–95; Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 59–61.


3.           Sejarah Perkembangan Pemikiran tentang Aksidensi

Konsep aksidensi memiliki akar yang dalam dalam sejarah filsafat, terutama sebagai bagian dari kerangka metafisika yang menjelaskan struktur realitas. Pemikiran tentang aksidensi berkembang dari masa Yunani klasik, melalui era skolastik dan filsafat Islam, hingga memasuki filsafat modern dan kontemporer. Pemahaman terhadap konsep ini turut merefleksikan perubahan cara pandang manusia terhadap eksistensi, perubahan, dan identitas.

3.1.       Filsafat Yunani Kuno: Aristoteles dan Awal Kategorisasi

Pemikiran awal yang sistematis tentang aksidensi dapat ditemukan dalam karya Aristoteles, khususnya dalam Categories dan Metaphysics. Aristoteles membedakan antara substansi (ousia) dan aksidensi (symbebēkos) sebagai dua cara utama dalam memahami eksistensi. Substansi adalah sesuatu yang dapat eksis secara mandiri, sedangkan aksidensi adalah sesuatu yang hanya bisa eksis dengan melekat pada substansi¹.

Dalam Metaphysics, Aristoteles menegaskan bahwa aksidensi adalah apa yang “terjadi pada suatu hal tetapi bukan bagian dari hakikatnya.” Ia memberikan contoh: "jika seseorang menjadi musisi, maka hal itu merupakan aksidensi, karena ia tidak menjadi manusia karena menjadi musisi"². Kategorisasi sembilan aksidensi selain substansi menunjukkan betapa pentingnya peran atribut-atribut non-esensial dalam pengalaman empiris, namun tetap dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kontingen dan tidak tetap.

3.2.       Tradisi Filsafat Islam: Rasionalisasi dan Teologisasi

Dalam filsafat Islam klasik, konsep aksidensi dikembangkan lebih lanjut dalam kerangka filsafat dan ilmu kalam. Al-Farabi dan Ibn Sina (Avicenna) menafsirkan ulang Aristoteles melalui lensa filsafat Neoplatonis dan tradisi Islam. Ibn Sina memandang aksidensi sebagai ‘arad, yaitu sifat-sifat yang tidak termasuk dalam mahiyyah (esensi) tetapi melekat pada mawjud (sesuatu yang ada). Dalam Al-Shifa’, ia menekankan bahwa aksidensi penting untuk memahami diferensiasi aktual antara entitas yang memiliki esensi serupa³.

Sementara itu, para teolog Asy‘ariyah seperti Al-Baqillani dan Al-Ghazali menegaskan bahwa aksidensi tidak dapat bertahan dalam dua waktu, melainkan selalu mengalami pembaruan (tajaddud), sebagai dasar dari doktrin hudūts al-a‘rād (keterbaruan aksidensi). Ini berimplikasi bahwa seluruh dunia diciptakan secara terus-menerus oleh kehendak Allah, dan tidak memiliki daya yang mandiri⁴. Ini menunjukkan pergeseran dari penekanan pada struktur ontologis (Aristotelian) ke penekanan pada hubungan antara Pencipta dan ciptaan dalam kerangka teologis.

3.3.       Filsafat Skolastik: Sintesis Aristoteles-Kristen

Filsuf-filsuf skolastik seperti Boethius, Albertus Magnus, dan terutama Thomas Aquinas, mengintegrasikan pemikiran Aristoteles tentang aksidensi dalam kerangka teologi Kristen. Aquinas mempertahankan bahwa aksidensi tidak memiliki eksistensi terpisah, tetapi dapat tetap ada secara miraculous dalam kasus transubstansiasi Ekaristi, di mana substansi roti berubah, namun aksidensinya (rasa, bentuk, warna) tetap ada⁵. Hal ini menampilkan fleksibilitas konseptual dari aksidensi dalam menanggapi tantangan teologis.

3.4.       Masa Modern: Peralihan dari Ontologi ke Epistemologi

Revolusi epistemologis dalam filsafat modern menggeser fokus dari struktur ontologis benda ke struktur pengetahuan manusia. René Descartes menganggap atribut sebagai sesuatu yang melekat pada substansi berpikir (res cogitans) dan substansi materi (res extensa), namun ia tidak lagi memakai istilah “aksidensi” secara sistematis⁶.

Immanuel Kant, dalam Critique of Pure Reason, secara radikal mengubah pendekatan terhadap kategori. Ia menolak bahwa kategori (termasuk aksidensi) berasal dari realitas eksternal, dan justru menyatakan bahwa kategori adalah struktur apriori dari pikiran manusia. Artinya, yang disebut sebagai aksidensi bukanlah bagian dari realitas objektif, melainkan bentuk-bentuk tampilan dalam fenomena, bukan noumena⁷.

3.5.       Pemikiran Kontemporer: Fenomenologi dan Kritik Ontologis

Dalam filsafat kontemporer, terutama fenomenologi dan eksistensialisme, pendekatan terhadap aksidensi mengalami perubahan mendasar. Martin Heidegger tidak lagi membahas “aksidensi” dalam terminologi klasik, melainkan memfokuskan pada cara ada (Dasein) mengungkapkan dirinya melalui keberadaan-dalam-dunia. Dalam hal ini, atribut-atribut aksidensial bukan sekadar “tambahan” pada substansi, tetapi ekspresi keberadaan yang selalu sudah ada dalam dunia pengalaman⁸.

Maurice Merleau-Ponty, dalam Phenomenology of Perception, menolak dikotomi kaku antara esensi dan aksidensi. Ia menunjukkan bahwa persepsi terhadap atribut seperti warna, tekstur, dan gerakan adalah bagian integral dari cara subjek berinteraksi secara langsung dengan dunia, bukan sekadar aksidensi pasif⁹.


Footnotes

[1]                Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 1a20–1b10.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 1025b10–1026a5.

[3]                Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 5.

[4]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 83–84.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q.75, a.5.

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 54–55.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A70/B95–A80/B105.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–36.

[9]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 3–5.


4.           Klasifikasi dan Jenis-Jenis Aksidensi

Dalam kerangka metafisika klasik, aksidensi didefinisikan sebagai kategori ontologis yang menunjukkan sifat atau keadaan yang dapat melekat pada substansi tanpa menjadi bagian dari esensinya. Meski bukan konstitutif terhadap identitas suatu entitas, aksidensi memainkan peran krusial dalam cara entitas itu tampak, berfungsi, dan dikenali dalam dunia empiris. Aristoteles secara sistematis mengklasifikasikan aksidensi ke dalam sembilan kategori, yang kemudian menjadi dasar penting dalam filsafat skolastik dan metafisika Islam¹.

Klasifikasi ini bukan sekadar konvensi deskriptif, melainkan mewakili cara mendasar dalam memahami struktur realitas berdasarkan cara sesuatu hadir dalam pengalaman. Berikut ini adalah uraian dari jenis-jenis utama aksidensi sebagaimana dikembangkan dalam tradisi metafisika.

4.1.       Kuantitas (Quantity – poson)

Aksidensi kuantitatif berkaitan dengan jumlah, ukuran, panjang, volume, dan bentuk geometris dari suatu objek. Kuantitas tidak mengubah hakikat suatu substansi, namun menjadi penting dalam membedakan antara satu entitas dengan entitas lain dari jenis yang sama. Misalnya, dua batang besi bisa memiliki substansi yang sama, tetapi berbeda dalam panjang atau berat².

Dalam sistem Aristoteles, kuantitas dianggap sebagai aksidensi primer karena dapat diukur secara objektif dan tidak memerlukan relasi dengan objek lain untuk diketahui³.

4.2.       Kualitas (Quality – poion)

Kualitas merujuk pada karakteristik internal yang memengaruhi bagaimana suatu entitas tampak atau bertindak, seperti warna, rasa, tekstur, kehangatan, kecerdasan, dan moralitas. Berbeda dengan kuantitas yang bersifat objektif, kualitas lebih sering dikaitkan dengan persepsi subjektif, meskipun beberapa kualitas memiliki dasar realitas fisik.

Dalam filsafat skolastik, kualitas dibagi lagi menjadi empat: habitus (kebiasaan), disposisi, kemampuan alami (seperti kekuatan), dan bentuk afektif seperti emosi⁴. Perubahan kualitas tidak mengubah substansi, tetapi dapat menunjukkan transformasi fungsional atau penampilan dari entitas tersebut.

4.3.       Relasi (Relation – pros ti)

Relasi adalah aksidensi yang hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain. Contohnya adalah menjadi “ayah” yang hanya masuk akal jika ada anak, atau “lebih besar” yang memerlukan perbandingan dengan sesuatu yang lebih kecil. Aristoteles menyebutkan bahwa relasi adalah satu-satunya kategori aksidensial yang secara esensial bersifat relatif⁵.

Dalam konteks filsafat Islam, relasi memiliki makna penting dalam diskusi tentang kausalitas dan hubungan antara Tuhan dan ciptaan, sebagaimana dibahas oleh Ibn Sina dan para mutakallimūn⁶.

4.4.       Aksi dan Pasifitas (Action – poiein, Passion – paschein)

Kategori ini menggambarkan bagaimana suatu entitas memengaruhi atau dipengaruhi oleh yang lain. Action (aksi) merujuk pada kegiatan aktif, seperti memotong, membakar, atau berpikir; sementara passion (pasifitas) menggambarkan penerimaan terhadap pengaruh, seperti dipotong atau dibakar.

Aksi dan pasifitas berperan penting dalam menjelaskan proses kausal dalam alam semesta dan interaksi antara berbagai substansi⁷.

4.5.       Tempat (Place – pou) dan Waktu (Time – pote)

Aksidensi tempat menunjukkan lokasi suatu entitas dalam ruang, sedangkan waktu menunjukkan posisinya dalam urutan temporal. Keduanya penting dalam menjelaskan keberadaan kontingen yang berubah-ubah.

Dalam filsafat Islam, terutama pada teologi Asy‘ariyah, waktu dipandang sebagai aksidensi yang tidak memiliki eksistensi independen, tetapi bergantung pada keterbaruan entitas yang menjadi lokusnya⁸.

4.6.       Posisi (Position – keisthai) dan Keadaan (State – echein)

Posisi mengacu pada susunan tubuh atau bagian dalam suatu entitas (misalnya, duduk, berdiri), sedangkan keadaan mencakup kondisi tambahan yang dimiliki oleh suatu entitas, seperti berpakaian, bersenjata, atau berlapis baju besi. Meskipun tampak remeh, kategori ini menunjukkan bahwa bahkan keadaan paling insidental pun memiliki tempat dalam sistem metafisik⁹.


Refleksi Klasifikasi

Sembilan kategori aksidensi Aristotelian membentuk sistem ontologis yang memungkinkan para filsuf menganalisis dan menjelaskan keragaman fenomena tanpa mereduksinya menjadi perubahan substansial. Dalam tradisi skolastik dan filsafat Islam, klasifikasi ini dipertahankan dan dikembangkan untuk mengakomodasi pertanyaan-pertanyaan teologis, seperti keabadian Tuhan, penciptaan waktu, dan hubungan antara substansi spiritual dan material.

Namun, dalam filsafat kontemporer, klasifikasi ini mulai dikritisi karena dianggap terlalu kaku dan tidak merepresentasikan cara manusia mengalami dunia secara eksistensial dan fenomenologis. Kendati demikian, pembagian aksidensi tetap menjadi salah satu kerangka analitis paling berpengaruh dalam sejarah metafisika.


Footnotes

[1]                Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 1a20–1b10.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 1025b25–1026a30.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.6.

[4]                Richard Cross, The Medieval Christian Philosophers: An Introduction (London: I. B. Tauris, 2014), 112–114.

[5]                Aristotle, Categories, 6a35–6b15.

[6]                Ibn Sina, Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book II, ch. 1.

[7]                Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar al-Mashriq, 1969), 142–144.

[8]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 87–89.

[9]                Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 210–212.


5.           Aksidensi dan Hubungannya dengan Substansi

Dalam metafisika klasik, hubungan antara aksidensi dan substansi merupakan salah satu fondasi utama dalam memahami struktur realitas. Substansi dianggap sebagai realitas yang berdiri sendiri dan menjadi pendukung bagi atribut-atribut atau sifat-sifat yang tidak dapat eksis secara independen, yaitu aksidensi. Konsep ini mencerminkan pandangan metafisik bahwa setiap entitas yang eksis memiliki inti yang tetap (substansi) dan atribut-atribut yang dapat berubah-ubah (aksidensi), tanpa menghilangkan identitas entitas tersebut.

5.1.       Ketergantungan Ontologis Aksidensi terhadap Substansi

Aristoteles dalam Categories menjelaskan bahwa substansi adalah “apa yang bukan dikatakan tentang subjek mana pun, dan tidak ada dalam subjek mana pun,” sedangkan aksidensi justru terdapat dalam atau dikatakan tentang suatu subjek¹. Misalnya, “warna putih” tidak dapat eksis secara mandiri tanpa sesuatu yang putih. Aksidensi, oleh karena itu, tidak memiliki eksistensi mandiri dan hanya hadir secara kontingen—ia hanya bisa eksis dalam sesuatu yang lain.

Ibn Sina memperluas pembahasan ini dalam Al-Shifa’ dengan menegaskan bahwa aksidensi (‘arad) adalah wujud yang membutuhkan mawḍū‘ (substrat) agar dapat eksis. Bahkan dalam definisi logisnya, setiap aksidensi didefinisikan secara relasional terhadap substansi². Aksidensi tidak memiliki hakikat yang mandiri; ia bukan mawjud dalam arti penuh, melainkan hanya aktualisasi dari sifat-sifat potensial dalam substansi.

5.2.       Ketidakterpengaruhan Esensi oleh Aksidensi

Salah satu prinsip metafisika Aristotelian adalah bahwa perubahan aksidensial tidak mengubah esensi atau substansi dari sesuatu. Sebuah apel yang berubah warna dari hijau menjadi merah tetaplah apel. Ini yang membedakan perubahan substansial (yang mengubah hakikat) dari perubahan aksidensial (yang hanya mengubah sifat luar). Pandangan ini kemudian diadopsi oleh filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas, yang menegaskan bahwa esensi adalah prinsip yang tetap, sementara aksidensi bersifat temporal dan dapat berubah³.

Namun demikian, Aquinas juga membuka ruang bagi pemahaman bahwa dalam kasus-kasus luar biasa seperti transubstansiasi (misalnya dalam sakramen Ekaristi), aksidensi dapat tetap ada tanpa substansi—suatu kondisi yang tidak mungkin terjadi secara alami dan hanya dapat dijelaskan melalui intervensi ilahi⁴.

5.3.       Aksidensi sebagai Sarana Manifestasi Substansi

Meskipun aksidensi tidak menentukan hakikat, ia berfungsi sebagai media manifestasi substansi dalam realitas empirik. Manusia, misalnya, tidak dapat melihat “substansi manusia” secara langsung, tetapi hanya mengenali keberadaan manusia melalui bentuk, gerak, suara, dan atribut lainnya yang bersifat aksidensial. Dalam hal ini, aksidensi memainkan peran epistemologis yang penting—yakni sebagai jembatan antara eksistensi internal suatu entitas dan pengalaman inderawi kita terhadapnya⁵.

Para fenomenolog seperti Husserl dan Heidegger mengkritik dikotomi kaku antara substansi dan aksidensi, tetapi tetap mengakui bahwa aspek yang secara tradisional disebut aksidensi adalah titik mula dari setiap pengalaman tentang sesuatu. Heidegger menolak pemahaman substansi sebagai “penampung sifat-sifat” dan lebih menekankan pada eksistensi-dalam-dunia sebagai cara dasar entitas hadir⁶.

5.4.       Perdebatan dan Implikasi Ontologis

Hubungan antara substansi dan aksidensi menimbulkan perdebatan ontologis klasik: apakah realitas ditentukan oleh esensi yang tetap, atau oleh perubahan dan relasi yang tampak? Aliran nominalis seperti yang diwakili oleh William of Ockham menolak realitas objektif aksidensi sebagai entitas tersendiri, dan melihatnya sebagai konstruksi konseptual untuk menjelaskan pengalaman⁷.

Sebaliknya, realis metafisik seperti Aristoteles dan Aquinas tetap mempertahankan bahwa aksidensi memang memiliki status ontologis riil, meskipun bersifat dependen. Dalam filsafat Islam, perdebatan ini juga muncul dalam pertanyaan tentang apakah aksi Tuhan merupakan aksidensi atau bagian dari esensi-Nya, yang menjadi perdebatan klasik antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah⁸.


Kesimpulan Sementara

Relasi antara aksidensi dan substansi adalah relasi yang kompleks dan mendasar dalam metafisika. Aksidensi bergantung pada substansi dalam eksistensinya, namun justru melalui aksidensilah substansi dikenali. Hubungan ini tidak hanya menggambarkan dimensi ontologis dari realitas, tetapi juga memiliki implikasi epistemologis dan bahkan teologis yang luas. Dalam tradisi metafisika yang kukuh, keduanya merupakan dua aspek tak terpisahkan dari setiap entitas yang ada.


Footnotes

[1]                Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 2a10–2b5.

[2]                Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 6.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.76, a.2; q.77, a.1.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q.75, a.5.

[5]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 78–79.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 59–61.

[7]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), I.51.

[8]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 120–122.


6.           Aksidensi dalam Konteks Perubahan dan Keberlangsungan

Salah satu fungsi utama dari konsep aksidensi dalam metafisika adalah menjelaskan perubahan dalam realitas tanpa mengandaikan perubahan pada substansi atau esensi suatu entitas. Dalam pandangan klasik, aksidensi memungkinkan benda atau makhluk untuk mengalami transisi dalam rupa, sifat, atau keadaan tanpa kehilangan identitas fundamentalnya. Dengan demikian, aksidensi menjadi kunci untuk memahami bagaimana keberlangsungan identitas tetap terjaga dalam proses dinamika dan transformasi dunia empirik.

6.1.       Perubahan Aksidensial vs Perubahan Substansial

Perbedaan antara perubahan aksidensial dan perubahan substansial telah ditegaskan sejak Aristoteles. Perubahan substansial mengacu pada transformasi yang menyangkut hakikat entitas, seperti ketika kayu dibakar menjadi abu — substansi “kayu” tidak lagi eksis dan digantikan oleh substansi baru “abu.” Sementara perubahan aksidensial hanya menyentuh aspek non-esensial, misalnya perubahan warna, ukuran, atau posisi tanpa memengaruhi esensinya¹.

Dalam Metaphysics, Aristoteles menyebutkan bahwa perubahan aksidensial terjadi ketika suatu entitas "memiliki" sesuatu yang baru (misalnya warna atau bentuk) tetapi tetap mempertahankan ousia atau substansinya². Konsep ini menjadi dasar pemahaman tentang stabilitas identitas melalui fluktuasi keadaan, menjadikan dunia dapat dikenali dan dipahami secara berkesinambungan.

6.2.       Aksidensi sebagai Medium Keberlangsungan Identitas

Dalam sistem pemikiran filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas, perubahan aksidensial dipahami sebagai sarana untuk menjelaskan dinamika hidup makhluk tanpa mengacaukan struktur ontologis realitas. Aquinas menekankan bahwa suatu entitas dapat mengalami banyak perubahan dalam aksidensinya (misalnya bertambah tua, sakit, berpindah tempat), tetapi tetap satu dalam substansi³. Hal ini sangat penting dalam konteks etika dan teologi Kristen, karena memungkinkan adanya kontinuitas identitas pribadi sepanjang waktu.

Demikian pula dalam filsafat Islam, Ibn Sina menjelaskan bahwa meskipun a‘rād (aksidensi) berubah, esensi dari jawhar (substansi) tetap, dan karena itu, keberadaan temporal makhluk dapat dijelaskan tanpa mengandaikan perubahan pada hakikat⁴. Dalam hal ini, waktu dan perubahan dipahami sebagai manifestasi dari transformasi aksidensial yang berulang.

6.3.       Aksidensi dan Teori Hudūts al-A‘rād

Dalam teologi Islam, terutama dalam mazhab Asy‘ariyah, muncul gagasan radikal mengenai ketaktertahanan aksidensi, dikenal sebagai hudūts al-a‘rād — bahwa setiap aksidensi tidak dapat bertahan lebih dari satu momen waktu, dan karenanya harus selalu diperbarui oleh kehendak Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada keberlangsungan hakiki di alam semesta tanpa intervensi konstan dari Sang Pencipta⁵.

Pendekatan ini memunculkan pemahaman bahwa keberlangsungan itu sendiri adalah ilusi yang dijembatani oleh kontinuitas penciptaan aksidensi secara terus-menerus. Hal ini memberikan dasar ontologis bagi doktrin occasionalism, yaitu pandangan bahwa segala perubahan yang tampak terjadi bukan karena sebab-akibat natural, melainkan karena Tuhan menciptakan setiap keadaan secara terpisah⁶.

6.4.       Perspektif Fenomenologis dan Eksistensial

Dalam filsafat kontemporer, terutama dalam aliran fenomenologi, aksidensi tidak lagi diposisikan sebagai atribut pasif dari substansi, melainkan sebagai cara fenomenalitas — yaitu bagaimana sesuatu hadir dalam kesadaran dan pengalaman. Heidegger, misalnya, tidak melihat perubahan sebagai hanya perubahan aksidensial pada entitas tetap, tetapi sebagai bentuk dari keterlemparan (Geworfenheit) eksistensial manusia ke dalam dunia yang selalu dalam proses⁷.

Merleau-Ponty memperluas pemahaman ini dengan menunjukkan bahwa perubahan warna, gerakan, atau ekspresi bukan sekadar gejala, melainkan cara dunia hadir bagi tubuh yang mengalami. Dengan demikian, aksidensi bukan hanya menjelaskan perubahan, melainkan merupakan struktur dasar dari pengalaman perubahan itu sendiri⁸.

6.5.       Implikasi Epistemologis

Karena perubahan terutama tampak dalam ranah aksidensi, maka pengenalan kita terhadap dunia berlangsung terutama melalui aksidensi pula. Kita tidak pernah secara langsung mengakses substansi, tetapi selalu melalui gejala-gejala atau atribut yang berubah. Hal ini ditegaskan dalam epistemologi modern dan empirisme — dari Locke hingga Hume — bahwa kesan indrawi kita tidak pernah sampai pada esensi, tetapi hanya pada kumpulan aksidensi yang membentuk persepsi⁹.

Oleh sebab itu, perubahan aksidensial tidak hanya penting secara ontologis, tetapi juga secara epistemologis. Ia menentukan bagaimana kita mengalami, mengidentifikasi, dan membuat makna atas segala sesuatu yang kita hadapi.


Kesimpulan Sementara

Aksidensi, dalam konteks perubahan dan keberlangsungan, berperan sebagai jembatan antara kestabilan dan dinamika. Ia memungkinkan entitas untuk mengalami perubahan tanpa kehilangan identitas, dan memungkinkan manusia untuk mengenali dunia yang selalu bergerak tanpa kehilangan struktur makna. Dalam hal ini, aksidensi menjadi struktur dasar dalam pemahaman ontologis, epistemologis, bahkan spiritual terhadap realitas yang sedang dan terus menjadi.


Footnotes

[1]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), Book I, ch. 7.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), Book VII, 1029a1–20.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.76, a.2.

[4]                Ibn Sina, Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book II, ch. 4.

[5]                Al-Baqillani, Tamhid al-Awa’il, ed. Imaduddin Khalil (Baghdad: Maktabah al-Andalus, 1968), 98–102.

[6]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 132–135.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–177.

[8]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 279–281.

[9]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.xiii.19; David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), I.iv.4.


7.           Aksidensi dalam Filsafat Islam dan Teologi Kalām

Dalam khazanah filsafat Islam dan ilmu kalām, konsep aksidensi (al-‘araḍ, jamak: al-a‘rāḍ) memegang posisi penting dalam menjelaskan struktur ontologis makhluk dan intervensi Tuhan dalam realitas. Berbeda dengan pendekatan Aristotelian murni yang menekankan aspek logis-ontologis, para pemikir Muslim mengembangkan pemikiran aksidensi tidak hanya sebagai kategori metafisika, tetapi juga sebagai landasan untuk merumuskan teologi tentang penciptaan, perubahan, dan keterlibatan ilahi dalam dunia. Dalam konteks ini, perdebatan antara para filsuf (falāsifah) dan teolog (mutakallimūn) mengenai hakikat aksidensi mencerminkan perbedaan mendasar antara rasionalisme filsafati dan teisme kalām.

7.1.       Aksidensi dalam Filsafat Ibn Sina

Dalam filsafat Ibn Sina, aksidensi (‘araḍ) adalah unsur ontologis yang tidak termasuk dalam esensi suatu entitas (māhiyyah), tetapi melekat padanya dan diperlukan untuk aktualisasi eksistensial. Dalam Al-Shifā’, Ibn Sina membagi realitas ke dalam tiga: substansi (jawhar), aksidensi (‘araḍ), dan eksistensi (wujūd). Aksidensi tidak memiliki eksistensi tersendiri, melainkan eksistensinya terikat pada sesuatu yang lain, yakni substansi. Contohnya, warna putih tidak bisa eksis kecuali dalam sesuatu yang putih, seperti kertas¹.

Bagi Ibn Sina, perubahan dalam aksidensi tidak mengubah esensi, tetapi menunjukkan aktualisasi dari potensi dalam substansi. Ini mencerminkan pengaruh kuat Aristoteles dalam sistemnya, tetapi dengan integrasi unsur-unsur Neoplatonisme dan konsepsi Islam tentang kebergantungan wujud pada Tuhan².

7.2.       Perspektif Teologi Kalām: Aksidensi sebagai Bukti Hudūts

Berbeda dengan pendekatan filsafat, teologi kalām, khususnya dalam mazhab Asy‘ariyah, memanfaatkan konsep aksidensi sebagai dasar argumen hudūts al-‘ālam (keberadaan alam bersifat temporal). Asy‘ariyah berpendapat bahwa semua makhluk tersusun dari jauhar (substansi) dan ‘araḍ (aksidensi), dan bahwa aksidensi tidak bisa bertahan dua saat. Ini dikenal sebagai doktrin tajaddud al-a‘rāḍ — pembaruan terus-menerus dari aksidensi³.

Argumen utama mereka adalah: karena aksidensi selalu berubah, dan karena tidak ada satu pun aksidensi yang kekal, maka segala sesuatu yang tersusun dari aksidensi bersifat temporal. Karena itu, alam ini bersifat ḥādith (baru tercipta), dan tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, melainkan memerlukan muḥdith (Pencipta), yaitu Tuhan⁴.

Pandangan ini menekankan kebergantungan ontologis total dari segala sesuatu kepada kehendak Tuhan yang berkelanjutan, dan menyangkal adanya kekuatan atau kausalitas alamiah secara independen. Aksidensi di sini bukan sekadar atribut ontologis, tetapi sarana untuk membuktikan eksistensi dan keesaan Tuhan secara rasional.

7.3.       Perbedaan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah tentang Aksidensi

Mazhab Mu‘tazilah mengakui keberadaan aksidensi tetapi menekankan pada rasionalitas dan keadilan Tuhan. Mereka menolak konsep tajaddud al-a‘rāḍ yang ekstrem, karena menurut mereka hal itu meniadakan hukum sebab-akibat dan menghapus tanggung jawab moral manusia. Dalam sistem Mu‘tazilah, aksidensi dapat bertahan lebih dari satu waktu, dan perubahan bisa terjadi karena kausalitas sekunder dalam alam, bukan semata-mata karena kehendak Tuhan langsung⁵.

Dengan demikian, Mu‘tazilah menggunakan aksidensi untuk mendukung pandangan tentang kebebasan kehendak manusia (ikhtiyār) dan prinsip keadilan ilahi (al-‘adl), berbeda dari determinisme teologis yang ditawarkan oleh Asy‘ariyah.

7.4.       Relevansi dalam Ontologi Islam

Konsep aksidensi dalam kalām tidak hanya bersifat argumentatif, tetapi juga mendalam secara ontologis dan spiritual. Dalam kerangka sufistik, walau tidak selalu menggunakan terminologi aksidensi secara teknis, realitas dunia dipandang sebagai penampakan (tajallī) sifat-sifat Tuhan yang senantiasa berubah. Kehadiran aksidensi yang tidak stabil mencerminkan kefanaan (fanā’) dan menjadi pengingat akan keabadian Tuhan yang mutlak⁶.

Filsuf kontemporer seperti Toshihiko Izutsu mencatat bahwa perbedaan antara filsafat dan kalām dalam membahas aksidensi berkisar pada orientasi metafisika: filsafat menekankan struktur universal dan kosmos yang rasional, sedangkan kalām menekankan kehendak Tuhan sebagai pusat eksistensi⁷.


Kesimpulan Sementara

Dalam tradisi filsafat Islam, aksidensi bukan sekadar kategori metafisik, melainkan medan artikulasi antara keberadaan, kehendak ilahi, dan dinamika dunia. Perbedaan antara pendekatan Ibn Sina dan kalām memperlihatkan ketegangan antara rasionalisme filsafati dan teisme teologis, namun keduanya sama-sama menjadikan aksidensi sebagai instrumen konseptual untuk menjelaskan keberadaan yang tidak tetap, perubahan terus-menerus, dan kebergantungan mutlak pada Tuhan sebagai sumber eksistensi.


Footnotes

[1]                Ibn Sina, Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 5.

[2]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 155–160.

[3]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 395–398.

[4]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 83–85.

[5]                Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazālī & Avicenna (Heidelberg: Carl Winter, 1992), 42–45.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 56–58.

[7]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 121–124.


8.           Kritik dan Diskursus Kontemporer

Dalam konteks filsafat kontemporer, konsep aksidensi tidak hanya dipertahankan sebagai bagian dari tradisi metafisika klasik, tetapi juga menjadi objek kritik, reinterpretasi, dan dekonstruksi dalam berbagai aliran pemikiran modern. Kritik ini terutama muncul dari filsafat analitik, fenomenologi, eksistensialisme, hingga posmodernisme, yang berupaya merevisi atau bahkan menggugurkan kerangka metafisik substansi-aksidensi sebagai representasi realitas yang utuh dan final.

8.1.       Kritik dari Filsafat Analitik: Masalah Referensi dan Individuasi

Dalam tradisi filsafat analitik, terutama sejak era Bertrand Russell dan Gottlob Frege, pemahaman klasik tentang aksidensi dianggap tidak cukup untuk menjelaskan cara bahasa dan pikiran merujuk pada entitas di dunia nyata. Saul Kripke, misalnya, memperkenalkan teori tentang atribut kontingen dan esensial yang memperumit dikotomi substansi-aksidensi. Dalam kerangka semantik rigid designator, atribut yang tampak aksidensial kadang justru menjadi esensial secara identitas, seperti dalam contoh: "Aristoteles adalah orang yang mengajar Alexander Agung" — meskipun tampak sebagai aksidensi, informasi ini bisa menjadi krusial secara epistemik¹.

Di sisi lain, W.V.O. Quine mengkritik penggunaan konsep metafisik seperti substansi dan aksidensi karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Ia menyerukan agar filsafat hanya berpegang pada entitas yang dapat diobservasi atau diformulasikan dalam kerangka logika formal². Dengan demikian, bagi aliran ini, pembicaraan tentang aksidensi sebagai kategori ontologis dianggap kurang produktif secara ilmiah.

8.2.       Perspektif Fenomenologi dan Kritik terhadap Dualisme Esensi-Aksidensi

Para fenomenolog seperti Edmund Husserl dan Maurice Merleau-Ponty menolak pemisahan ontologis antara esensi dan aksidensi sebagai dikotomi yang membatasi pemahaman terhadap pengalaman. Husserl dalam Ideas I menyatakan bahwa setiap fenomena hadir selalu dalam horizon atribut dan kualitas yang tidak dapat dipisahkan dari kesadarannya. Dengan kata lain, aksidensi bukan "lapisan luar" dari substansi, melainkan modus hadirnya sesuatu dalam kesadaran³.

Merleau-Ponty memperluas ini melalui gagasan bahwa tubuh sebagai subjek pengalaman tidak mengalami realitas sebagai substansi yang memiliki sifat, tetapi sebagai keseluruhan yang dihayati secara langsung — di mana apa yang dianggap sebagai aksidensi sebenarnya membentuk struktur dari eksistensi konkret itu sendiri⁴. Ini merupakan penolakan terhadap model dualistik Aristotelian dan menunjukkan arah ontologi yang lebih terintegrasi.

8.3.       Kritik Eksistensialis: Substansi sebagai Abstraksi, Aksidensi sebagai Keberadaan Nyata

Filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger menolak pemikiran klasik yang melihat esensi sebagai sesuatu yang mendahului eksistensi. Sartre, dalam L’Être et le Néant, mengklaim bahwa tidak ada esensi tetap dalam manusia; yang ada hanyalah keberadaan yang membentuk dirinya melalui tindakan⁵. Dengan demikian, yang selama ini dianggap sebagai “aksidensi” — situasi, relasi, pilihan — justru menjadi substansi nyata dari eksistensi.

Heidegger menyebut pendekatan metafisika tradisional sebagai “metafisika kehadiran” (metaphysics of presence) yang keliru dalam menyamakan keberadaan dengan kestabilan bentuk. Ia mengusulkan agar realitas tidak dilihat sebagai benda-benda yang memiliki sifat, melainkan sebagai proses pengungkapan (aletheia) yang selalu bergerak. Aksidensi, dalam pengertian ini, menjadi peristiwa keterbukaan realitas, bukan sekadar pelengkap⁶.

8.4.       Pendekatan Posmodern dan Dekonstruksi terhadap Kategori Tradisional

Dalam pemikiran Jacques Derrida, konsep-konsep metafisika seperti aksidensi dan substansi dikritik sebagai bagian dari logocentrisme — upaya Barat untuk mengutamakan struktur tetap, pusat, dan makna yang stabil. Derrida menyatakan bahwa semua makna adalah diferensial, tidak pernah hadir sepenuhnya, dan selalu tertunda (konsep différance). Oleh karena itu, dikotomi seperti esensi vs aksidensi justru menciptakan ilusi oposisi biner yang harus dibongkar⁷.

Dalam kerangka ini, tidak ada “substansi” yang berada di balik “sifat-sifat,” dan tidak ada “identitas” tetap yang menjadi pusat makna. Aksidensi bukan sekadar pelengkap yang bisa diabaikan, melainkan jalinan dari tanda-tanda yang saling menunda makna.

8.5.       Respon terhadap Kritik: Pertahanan dan Reinterpretasi

Sebagian filsuf kontemporer seperti Alasdair MacIntyre dan Charles Taylor menilai bahwa pemikiran modern telah kehilangan kerangka moral dan metafisik karena terlalu cepat meninggalkan konsepsi substansi dan aksidensi. Bagi mereka, kategori-kategori klasik tetap memiliki nilai dalam menjelaskan keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki telos dan keterkaitan moral yang tidak bisa direduksi hanya menjadi jaringan peristiwa atau gejala⁸.

Beberapa upaya juga muncul untuk menginterpretasi ulang konsep aksidensi dalam ranah filsafat proses (process philosophy), terutama dalam karya Alfred North Whitehead, yang menggambarkan realitas sebagai rangkaian kejadian dan hubungan, di mana kualitas (aksidensi) bukan sekadar tempelan pada substansi, tetapi bagian konstitutif dari nexus peristiwa yang menciptakan dunia⁹.


Kesimpulan Sementara

Diskursus kontemporer terhadap konsep aksidensi menunjukkan bahwa kategori metafisik ini masih memiliki daya tarik, baik sebagai warisan yang dikritik maupun sebagai konsep yang direkonstruksi. Kritik terhadap dualisme esensi-aksidensi membuka ruang baru bagi pemikiran tentang realitas sebagai keterhubungan, pengalaman, dan proses, bukan sekadar struktur tetap yang statis. Namun demikian, penting pula untuk mempertimbangkan apakah dalam kritik terhadap aksidensi, kita telah kehilangan kemampuan untuk memahami perubahan, keberlangsungan, dan pengalaman konkret secara terstruktur.


Footnotes

[1]                Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48–53.

[2]                W. V. O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1961), 20–22.

[3]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 94–96.

[4]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 77–80.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 26–31.

[6]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–40.

[7]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–19.

[8]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 52–54.

[9]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–25.


9.           Implikasi Epistemologis dan Ilmiah

Konsep aksidensi tidak hanya relevan dalam konteks metafisika ontologis, tetapi juga memiliki implikasi mendalam dalam ranah epistemologi dan ilmu pengetahuan. Karena seluruh pengenalan manusia terhadap dunia berawal dari pengindraan terhadap sifat-sifat lahiriah benda, aksidensi memainkan peran sentral sebagai jembatan antara eksistensi objek dan kesadaran subjek. Dalam hal ini, diskusi tentang aksidensi menghubungkan ontologi dengan epistemologi, dan sekaligus membentuk dasar konseptual dari banyak pendekatan ilmiah dalam memahami realitas fenomenal.

9.1.       Aksidensi sebagai Mediasi antara Realitas dan Pengetahuan

Secara klasik, filsuf seperti Aristoteles menekankan bahwa pengetahuan bermula dari pengalaman indrawi terhadap kualitas-kualitas aksidensial seperti warna, bau, gerak, dan suhu. Dalam De Anima, ia menyatakan bahwa jiwa menerima bentuk (form) tanpa materi, yakni dengan cara menangkap aksidensi dari objek melalui pancaindra¹. Meskipun yang ditangkap adalah aksidensi, proses abstraksi intelektual memungkinkan manusia mengenali esensi.

Pandangan ini dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas Aquinas, yang menegaskan bahwa semua pengetahuan berawal dari species sensibilis—representasi aksidensial dalam indera—yang kemudian diolah menjadi species intelligibilis dalam intelek². Dengan kata lain, aksidensi adalah gerbang epistemologis menuju hakikat realitas.

9.2.       Empirisme dan Reliabilitas Aksidensi dalam Ilmu Pengetahuan

Tradisi empirisme modern, dari John Locke hingga David Hume, sangat bergantung pada aksidensi dalam membangun kerangka pengetahuan. Locke membedakan antara primary qualities (seperti bentuk, ukuran, jumlah) dan secondary qualities (seperti warna, rasa, dan bau), keduanya merupakan aksidensi yang teramati melalui indera, meskipun primary dianggap lebih obyektif³.

Hume mengambil posisi yang lebih skeptis: semua pengetahuan kita tentang benda sebenarnya hanyalah kumpulan impresi aksidensial yang terasosiasi dalam pikiran. Kita tidak pernah mengamati substansi secara langsung, tetapi hanya kebiasaan (habit) psikologis yang membuat kita mengaitkan kumpulan aksidensi itu sebagai “satu benda”⁴. Ini menunjukkan bahwa dalam epistemologi empiris, aksidensi bukan hanya akses menuju realitas, tetapi juga batas dari apa yang bisa diketahui.

9.3.       Fenomenologi dan Rehabilitasi Aksidensi sebagai Inti Kesadaran

Dalam filsafat fenomenologi, terutama oleh Edmund Husserl, hubungan antara subjek dan objek tidak lagi dibangun melalui dikotomi substansi-aksidensi, melainkan melalui intensionalitas: setiap kesadaran selalu tentang sesuatu dalam cara tertentu. Dalam Ideas I, Husserl menekankan bahwa aspek-aspek seperti warna, gerakan, atau suara—yang dalam metafisika klasik dianggap sebagai aksidensi—adalah modus hadir fenomena itu sendiri dalam kesadaran⁵.

Karena itu, bukannya aksidensi menjadi pelengkap, ia justru merupakan bentuk utama realitas yang dialami. Ini berimplikasi epistemologis: pengetahuan tidak bergerak dari aksidensi ke substansi, tetapi terbentuk langsung dari keterlibatan penuh dengan manifestasi aksidensial.

9.4.       Aksidensi dan Sains: Fisika Modern dan Ilmu Kognitif

Dalam fisika modern, terutama mekanika kuantum, kategori aksidensi dan substansi mengalami guncangan besar. Partikel tidak lagi memiliki sifat-sifat tetap secara mandiri, melainkan bergantung pada pengamatan—seperti dalam eksperimen dua celah atau prinsip ketidakpastian Heisenberg⁶. Ini membuat aksidensi seperti posisi atau momentum bukan sekadar atribut tambahan, melainkan entitas terukur yang memiliki realitas hanya dalam hubungan pengamatan.

Demikian pula dalam ilmu kognitif, representasi mental tentang objek (dalam persepsi visual, pengenalan pola, atau bahasa) dibentuk melalui sifat-sifat aksidensial seperti bentuk, warna, dan tekstur. Studi-studi dalam neuropsikologi menunjukkan bahwa otak tidak menyimpan “substansi objek,” melainkan kumpulan atribut yang dikenali melalui asosiasi dan memori spasial⁷. Hal ini menegaskan bahwa dalam praktik ilmiah dan neurologis, aksidensi menjadi satu-satunya jalan menuju pembentukan konsep dan pengenalan objek.

9.5.       Refleksi Teoretis: Aksidensi sebagai Struktur Pengetahuan

Dari perspektif teori pengetahuan kontemporer, aksidensi dapat dipahami sebagai struktur mediasi antara dunia dan pemahaman. Konsep ini sejalan dengan pendekatan konstruktivistik dalam sains dan filsafat bahasa, yang menyatakan bahwa objek dalam dunia tidak hadir secara langsung, tetapi dibentuk melalui sistem representasi atribut yang dapat dikenali dan dikomunikasikan⁸.

Dengan demikian, bahkan jika kategori metafisika klasik dikritik, fungsi epistemologis aksidensi tetap vital: ia menunjukkan bahwa setiap pengenalan selalu melewati lapisan atribut, konteks, dan relasi, sebelum bisa menyentuh—jika pun bisa—apa yang disebut “substansi” atau “realitas objektif.”


Kesimpulan Sementara

Implikasi epistemologis dan ilmiah dari konsep aksidensi menunjukkan bahwa meskipun aksidensi tidak menentukan hakikat benda secara ontologis, ia justru menentukan bagaimana realitas dapat dikenali, dipahami, dan dijelaskan. Dalam hal ini, aksidensi adalah fondasi pengetahuan, bukan sekadar tambahan sifat. Ia adalah jendela dunia, bahkan jika jendela itu tidak pernah memperlihatkan seluruh ruangan.


Footnotes

[1]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 424b20–425a10.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.84, a.6.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.viii.9–10.

[4]                David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), I.iv.4.

[5]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 98–101.

[6]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 26–29.

[7]                Oliver Sacks, The Man Who Mistook His Wife for a Hat (New York: Summit Books, 1985), 70–74.

[8]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 114–118.


10.       Simpulan dan Refleksi Filosofis

Kajian tentang aksidensi dalam metafisika mengungkapkan bahwa meskipun secara tradisional dianggap sebagai atribut non-esensial dan bergantung pada substansi, perannya sangat sentral dalam menjembatani realitas ontologis dengan pengalaman epistemologis manusia. Konsep ini telah mengalami perkembangan dan transformasi signifikan dari pemikiran Aristoteles, filsuf Islam klasik, hingga diskursus kontemporer dalam fenomenologi, epistemologi empiris, dan bahkan sains modern.

10.1.    Aksidensi sebagai Landasan Perubahan dan Identitas

Secara ontologis, aksidensi memungkinkan pemahaman terhadap perubahan tanpa meruntuhkan identitas esensial suatu entitas. Aristoteles menjelaskan bahwa aksidensi adalah “apa yang hadir dalam sesuatu tetapi tidak termasuk dalam hakikatnya”¹. Pemahaman ini menjadi dasar bagi teori perubahan aksidensial dan substansial, dan dipertahankan dalam pemikiran Ibn Sina maupun Thomas Aquinas². Aksidensi memungkinkan entitas mengalami dinamika—seperti gerak, warna, atau bentuk—tanpa kehilangan kontinuitas sebagai sesuatu yang “sama”.

Namun, dalam konteks teologi kalām, terutama Asy‘ariyah, ketaktertahanan aksidensi justru digunakan untuk menyimpulkan keberadaan Tuhan sebagai penyebab utama dari segala keberadaan yang terus-menerus diperbarui³. Ini menunjukkan bahwa aksidensi tidak hanya menjelaskan aspek fisik realitas, tetapi juga menjadi dasar argumen metafisika dan teologis.

10.2.    Aksidensi sebagai Titik Masuk Pengetahuan

Secara epistemologis, semua pengetahuan empiris manusia dimulai dari pengamatan terhadap aksidensi. Locke dan Hume, dalam tradisi empirisme, menunjukkan bahwa manusia tidak pernah mengakses substansi secara langsung, melainkan mengenali benda melalui kualitas-kualitas yang bisa diamati⁴. Hal ini ditegaskan oleh Husserl dan Merleau-Ponty bahwa apa yang disebut sebagai “aksidensi” dalam metafisika klasik, justru merupakan bentuk utama dari kehadiran fenomenologis⁵.

Sains modern juga menegaskan signifikansi atribut yang dapat diamati dan diukur sebagai dasar pembentukan pengetahuan ilmiah. Bahkan dalam fisika kuantum, realitas tidak dipahami sebagai substansi tetap, melainkan sebagai peristiwa terukur berdasarkan parameter yang secara fungsional bersifat aksidensial⁶.

10.3.    Dekonstruksi dan Reinterpretasi dalam Filsafat Kontemporer

Kritik dari Heidegger, Sartre, Derrida, dan filsuf post-strukturalis menunjukkan bahwa dikotomi substansi-aksidensi tidak lagi cukup untuk menjelaskan cara keberadaan itu sendiri dipahami dan dialami. Heidegger menyatakan bahwa kehadiran tidak bisa direduksi menjadi objek dengan sifat, melainkan adalah proses pengungkapan yang terbuka dan temporal⁷. Derrida bahkan membongkar kategori substansi dan aksidensi sebagai oposisi biner yang membatasi permainan makna dalam bahasa dan realitas⁸.

Kritik ini bukan sekadar penolakan, tetapi menawarkan reinterpretasi radikal bahwa struktur realitas lebih cair dan dinamis daripada yang diandaikan metafisika klasik. Dalam kerangka ini, aksidensi justru memperoleh kedudukan baru: bukan lagi sekadar pelengkap pasif, melainkan sebagai bentuk aktualitas dari eksistensi itu sendiri.

10.4.    Refleksi Filosofis: Aksidensi sebagai Struktur Fenomenal Realitas

Refleksi mendalam atas perjalanan historis dan pemikiran lintas tradisi menunjukkan bahwa aksidensi adalah titik temu antara eksistensi dan pengalaman, antara yang ada dan yang hadir, antara metafisika dan epistemologi. Ia adalah lapisan fenomenal dari realitas yang memungkinkan manusia mengidentifikasi, membedakan, dan merespon dunia di sekitarnya.

Dengan demikian, aksidensi bukan hanya kategori teknis dalam metafisika klasik, melainkan menjadi struktur konseptual yang fleksibel dan adaptif untuk menjawab tantangan pemikiran kontemporer—dari perubahan sosial, krisis identitas, hingga kecanggihan teknologi sains. Bahkan ketika konsep substansi mulai ditinggalkan, konsep aksidensi tetap relevan karena ia merujuk pada apa yang aktual, dapat dialami, dan dikenali dalam keseharian manusia.


Kesimpulan Umum

Studi mendalam terhadap aksidensi menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar atribut tambahan; ia adalah modus kehadiran, jaringan relasi, dan kerangka epistemik yang membentuk cara manusia berinteraksi dengan dunia. Dalam kerendahannya sebagai “bukan esensi,” aksidensi justru menjadi gerbang untuk memahami perubahan, pengetahuan, keberadaan, bahkan Tuhan. Ia adalah bagian dari realitas yang tampak, namun membuka jalan ke arah realitas yang lebih dalam dan transenden.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 1025b10–1026a10.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.77, a.1; Ibn Sina, Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 5.

[3]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 83–84.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.viii.10; David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), I.iv.4.

[5]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 98–101; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 77–80.

[6]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 26–29.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–40.

[8]                Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–22.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros. (Original work published ca. 1274)

Aristotle. (2001). De Anima (J. A. Smith, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The Basic Works of Aristotle (pp. 535–603). Modern Library.
Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The Basic Works of Aristotle (pp. 681–926). Modern Library.
Aristotle. (1963). Categories (J. L. Ackrill, Trans.). Clarendon Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-ʻArabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Frank, R. M. (1992). Creation and the cosmic system: Al-Ghazālī and Avicenna. Carl Winter Universitätsverlag.

Ghazali, A. (2000). The incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press. (Original work Tahāfut al-Falāsifah)

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Brill.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work Sein und Zeit, 1927)

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. Harper & Row.

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1739)

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy: First book (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work Ideen I, 1913)

Izutsu, T. (2007). The concept and reality of existence. Islamic Book Trust.

Kripke, S. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1689)

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work Phénoménologie de la perception, 1945)

Quine, W. V. O. (1961). From a logical point of view: Nine logico-philosophical essays (2nd ed.). Harvard University Press.

Sacks, O. (1985). The man who mistook his wife for a hat and other clinical tales. Summit Books.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness: An essay in phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Original work L’Être et le Néant, 1943)

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press. (Original work published 1929)

Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the Kalam. Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar