Aksidensi dalam Metafisika
Hakikat, Peran Relasional, dan Implikasinya terhadap
Pemahaman Realitas
Alihkan ke: Metafisika.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep aksidensi
dalam kerangka metafisika, mulai dari tradisi klasik Aristotelian,
filsafat Islam, hingga diskursus kontemporer. Aksidensi dipahami sebagai sifat
atau atribut non-esensial yang melekat pada substansi namun tidak menentukan
hakikatnya. Melalui eksplorasi terhadap hubungan antara aksidensi dan
substansi, klasifikasi ontologisnya, peran epistemologis dalam proses
pengetahuan, serta kritik dari berbagai aliran filsafat modern seperti
fenomenologi, eksistensialisme, dan filsafat analitik, artikel ini menyoroti
dinamika makna aksidensi dalam sejarah pemikiran filsafat.
Dalam filsafat Islam, aksidensi juga memainkan
peran penting dalam membangun argumen teologis, terutama dalam kalām
Asy‘ariyah, yang menggunakan konsep hudūts al-a‘rāḍ untuk membuktikan
keberadaan Tuhan. Sementara itu, dalam filsafat Barat modern, aksidensi
direvisi sebagai struktur pengalaman, bahkan dalam fisika kuantum dan ilmu
kognitif. Kajian ini menunjukkan bahwa meskipun konsep aksidensi kerap
dipandang sebagai kategori metafisik tradisional, ia tetap memiliki relevansi
signifikan dalam menjembatani antara realitas, perubahan, dan pemahaman
manusia.
Kata Kunci: Aksidensi, Substansi, Metafisika, Perubahan,
Epistemologi, Filsafat Islam, Kalām, Fenomenologi, Kritik Kontemporer, Ontologi.
PEMBAHASAN
Kajian tentang Aksidensi dalam Metafisika
1.
Pendahuluan
Dalam kajian metafisika,
pembahasan mengenai realitas tidak dapat dilepaskan dari dua konsep
fundamental: substansi dan aksidensi. Jika substansi dipahami
sebagai inti atau dasar keberadaan yang independen, maka aksidensi adalah
atribut atau sifat-sifat yang melekat pada substansi namun tidak menentukan
hakikatnya. Konsep aksidensi telah menjadi topik penting sejak masa Yunani
kuno, khususnya dalam sistem filsafat Aristoteles yang membagi
kategori-kategori eksistensial menjadi sepuluh, di antaranya hanya satu yang
merupakan substansi (ousia), sementara sisanya merupakan aksidensi
seperti kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, dan lain-lain¹.
Aksidensi memainkan peran
penting dalam menjelaskan keberagaman dan perubahan dalam realitas. Suatu benda
dapat mengalami perubahan warna, ukuran, atau posisi tanpa kehilangan identitas
substansialnya. Misalnya, sebatang kayu yang terbakar menjadi hitam tetap
dianggap sebagai kayu dalam hakikatnya, meskipun sifat aksidensialnya berubah.
Dengan demikian, aksidensi berperan sebagai medium ontologis yang menjembatani
antara kestabilan esensial dan dinamika fenomenologis dalam keberadaan².
Dalam tradisi filsafat Islam,
aksidensi juga mendapatkan perhatian serius, terutama dalam kerangka teologis
dan kosmologis. Tokoh seperti Ibn Sina dan Al-Ghazali mengembangkan teori
tentang ‘arad (aksidensi) untuk menjelaskan perubahan, waktu, dan
hubungan antara makhluk dengan Sang Pencipta. Misalnya, bagi kalangan
Asy‘ariyah, aksidensi dianggap sebagai entitas yang tidak dapat bertahan dalam
dua waktu, sehingga keberadaan alam dipahami sebagai hasil penciptaan yang
terus-menerus oleh Tuhan³. Di sisi lain, Ibn Sina menempatkan aksidensi dalam
sistem hirarki wujud, sebagai aspek non-esensial dari mawjud (sesuatu
yang ada)⁴.
Seiring perkembangan zaman,
pemikiran mengenai aksidensi mengalami perluasan dan bahkan pergeseran makna
dalam berbagai aliran filsafat modern. Filsuf seperti Kant, misalnya, tidak
lagi membahas aksidensi dalam pengertian ontologis klasik, melainkan sebagai
bagian dari cara pikiran manusia memproyeksikan struktur pemahaman ke dalam
realitas fenomenal⁵. Sementara dalam ranah fenomenologi, Heidegger dan
Merleau-Ponty menyoroti bagaimana pengalaman manusia terhadap "sifat-sifat"
benda lebih merupakan hasil dari keterlibatan eksistensial daripada sekadar
atribut pasif⁶.
Mengingat luasnya cakupan dan
implikasi dari konsep aksidensi, kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
hakikat aksidensi, klasifikasi ontologisnya, peran relasionalnya terhadap
substansi, serta refleksi filosofisnya terhadap pemahaman realitas. Dengan
pendekatan historis-kritis dan dialog antara filsafat Timur dan Barat,
diharapkan artikel ini dapat memberikan gambaran utuh mengenai signifikansi
aksidensi dalam diskursus metafisika.
Footnotes
[1]
Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill
(Oxford: Clarendon Press, 1963), 1a20–1b10.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3,
a.6; q.77, a.1.
[3]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 83–84.
[4]
Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’: Metaphysics,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book
I, chapter 5.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A20/B34–A21/B35.
[6]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 77–79.
2.
Konsep
Dasar Aksidensi dalam Metafisika
Dalam kerangka metafisika
klasik, terutama dalam tradisi Aristotelian, aksidensi (accidens)
merujuk pada sifat atau atribut yang melekat pada suatu substansi namun
bukan bagian dari hakikat esensialnya. Artinya, suatu entitas dapat tetap
mempertahankan identitas esensialnya walaupun aksidensinya berubah. Aristoteles
membedakan antara substansi pertama (seperti manusia individual) dan substansi
kedua (seperti genus atau spesies), sementara aksidensi adalah kategori
yang menjelaskan bagaimana substansi muncul atau tampil dalam realitas konkret
tanpa mengubah apa yang mendasarinya secara ontologis¹.
Aksidensi dapat mencakup
berbagai aspek seperti warna, bentuk, jumlah, relasi, tempat, waktu, posisi,
kondisi, aksi, dan pasifitas. Dalam Categories, Aristoteles mencantumkan
sembilan kategori aksidensial sebagai pelengkap dari satu substansi, menjadikannya
total sepuluh kategori eksistensial². Dalam pandangannya, aksidensi tidak dapat
berdiri sendiri tanpa substansi; misalnya, “putih” memerlukan sesuatu
yang berwarna putih sebagai tempat perlekatannya. Dengan demikian, aksidensi
bersifat dependen, sedangkan substansi bersifat independen dalam eksistensinya.
Konsep ini kemudian diadopsi
dan dikembangkan lebih lanjut oleh para filsuf Islam. Ibn Sina
(Avicenna), dalam Al-Shifa’, menjelaskan bahwa aksidensi (‘arad)
adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan memerlukan tempat (substansi)
untuk eksistensinya. Ia membagi entitas menjadi tiga: substansi (jawhar),
aksidensi (‘arad), dan eksistensi itu sendiri (wujūd). Bagi Ibn
Sina, aksidensi tidak hanya menjelaskan sifat-sifat luar suatu entitas, tetapi
juga menjadi instrumen penting dalam analisis logis dan epistemologis untuk
memahami wujud³.
Dalam filsafat skolastik, Thomas
Aquinas juga mempertahankan pandangan Aristotelian tentang aksidensi,
tetapi memasukkannya dalam kerangka teologis Kristen. Ia membedakan antara
aksidensi yang inhere in the subject (berada dalam subjek), dan yang depend
on the subject (bergantung pada subjek), menjadikannya penting dalam
doktrin transubstansiasi dalam teologi Ekaristi Katolik⁴. Dalam konteks ini,
aksidensi seperti warna dan rasa tetap ada, tetapi substansi roti dan anggur
berubah menjadi tubuh dan darah Kristus.
Secara logis dan metafisik,
aksidensi memiliki dua ciri utama: pertama, kontingensi, yakni ia dapat
ada atau tidak ada tanpa mengubah hakikat sesuatu; dan kedua, non-esensialitas,
yaitu tidak termasuk dalam definisi dasar suatu entitas. Hal ini berbeda dengan
esensi (mahiyyah) yang bersifat mendefinisikan dan menentukan apa
sesuatu itu. Dalam perspektif ini, perubahan aksidensial tidak mempengaruhi
keberadaan fundamental suatu benda, melainkan hanya mengubah bagaimana ia hadir
dalam pengalaman⁵.
Perlu dicatat bahwa meskipun
aksidensi sering dianggap sebagai sesuatu yang “kurang penting” karena
bukan bagian dari hakikat, namun justru melalui aksidensi lah suatu entitas
dikenali dalam pengalaman. Pandangan ini disoroti oleh para fenomenolog seperti
Husserl dan Heidegger, yang melihat bahwa fenomena tidak pernah
hadir tanpa “penampakan” yang aksidensial. Bahkan dalam filsafat modern,
sifat-sifat aksidensial dianggap sebagai jalan masuk bagi epistemologi
empiris⁶.
Dengan demikian, konsep
aksidensi dalam metafisika bukan hanya menjelaskan atribut luar dari sesuatu,
tetapi juga memainkan peran sentral dalam menjembatani antara eksistensi dan
persepsi, antara ontologi dan epistemologi, serta antara hakikat dan fenomena.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross,
in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern
Library, 2001), 1028a10–1029a10.
[2]
Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill
(Oxford: Clarendon Press, 1963), 1a20–1b10.
[3]
Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’: Metaphysics,
trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book
I, chapter 5.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q.75,
a.5.
[5]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 57–59.
[6]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 94–95; Martin Heidegger, Being and Time,
trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
59–61.
3.
Sejarah
Perkembangan Pemikiran tentang Aksidensi
Konsep aksidensi
memiliki akar yang dalam dalam sejarah filsafat, terutama sebagai bagian dari
kerangka metafisika yang menjelaskan struktur realitas. Pemikiran tentang
aksidensi berkembang dari masa Yunani klasik, melalui era skolastik dan
filsafat Islam, hingga memasuki filsafat modern dan kontemporer. Pemahaman
terhadap konsep ini turut merefleksikan perubahan cara pandang manusia terhadap
eksistensi, perubahan, dan identitas.
3.1.
Filsafat Yunani Kuno: Aristoteles dan Awal
Kategorisasi
Pemikiran awal yang
sistematis tentang aksidensi dapat ditemukan dalam karya Aristoteles, khususnya
dalam Categories dan Metaphysics. Aristoteles membedakan
antara substansi (ousia)
dan aksidensi (symbebēkos) sebagai dua cara
utama dalam memahami eksistensi. Substansi adalah sesuatu yang dapat eksis
secara mandiri, sedangkan aksidensi adalah sesuatu yang hanya bisa eksis dengan
melekat pada substansi¹.
Dalam Metaphysics,
Aristoteles menegaskan bahwa aksidensi adalah apa yang “terjadi pada suatu
hal tetapi bukan bagian dari hakikatnya.” Ia memberikan contoh: "jika
seseorang menjadi musisi, maka hal itu merupakan aksidensi, karena ia tidak
menjadi manusia karena menjadi musisi"². Kategorisasi sembilan
aksidensi selain substansi menunjukkan betapa pentingnya peran atribut-atribut
non-esensial dalam pengalaman empiris, namun tetap dipahami sebagai sesuatu
yang bersifat kontingen dan tidak tetap.
3.2.
Tradisi Filsafat Islam: Rasionalisasi dan
Teologisasi
Dalam filsafat Islam klasik,
konsep aksidensi dikembangkan lebih lanjut dalam kerangka filsafat dan ilmu
kalam. Al-Farabi dan Ibn
Sina (Avicenna) menafsirkan ulang Aristoteles melalui lensa
filsafat Neoplatonis dan tradisi Islam. Ibn Sina memandang aksidensi sebagai ‘arad,
yaitu sifat-sifat yang tidak termasuk dalam mahiyyah (esensi) tetapi
melekat pada mawjud (sesuatu yang ada). Dalam Al-Shifa’, ia
menekankan bahwa aksidensi penting untuk memahami diferensiasi aktual antara
entitas yang memiliki esensi serupa³.
Sementara itu, para teolog
Asy‘ariyah seperti Al-Baqillani dan Al-Ghazali
menegaskan bahwa aksidensi tidak dapat bertahan dalam dua waktu, melainkan
selalu mengalami pembaruan (tajaddud), sebagai dasar dari doktrin hudūts
al-a‘rād (keterbaruan aksidensi). Ini berimplikasi bahwa seluruh dunia
diciptakan secara terus-menerus oleh kehendak Allah, dan tidak memiliki daya
yang mandiri⁴. Ini menunjukkan pergeseran dari penekanan pada struktur
ontologis (Aristotelian) ke penekanan pada hubungan antara Pencipta dan ciptaan
dalam kerangka teologis.
3.3.
Filsafat Skolastik: Sintesis
Aristoteles-Kristen
Filsuf-filsuf skolastik
seperti Boethius, Albertus
Magnus, dan terutama Thomas Aquinas,
mengintegrasikan pemikiran Aristoteles tentang aksidensi dalam kerangka teologi
Kristen. Aquinas mempertahankan bahwa aksidensi tidak memiliki eksistensi
terpisah, tetapi dapat tetap ada secara miraculous dalam kasus
transubstansiasi Ekaristi, di mana substansi roti berubah, namun aksidensinya
(rasa, bentuk, warna) tetap ada⁵. Hal ini menampilkan fleksibilitas konseptual
dari aksidensi dalam menanggapi tantangan teologis.
3.4.
Masa Modern: Peralihan dari Ontologi ke
Epistemologi
Revolusi epistemologis dalam
filsafat modern menggeser fokus dari struktur ontologis benda ke struktur
pengetahuan manusia. René Descartes menganggap
atribut sebagai sesuatu yang melekat pada substansi berpikir (res cogitans)
dan substansi materi (res extensa), namun ia tidak lagi memakai
istilah “aksidensi” secara sistematis⁶.
Immanuel
Kant, dalam Critique of Pure Reason, secara radikal
mengubah pendekatan terhadap kategori. Ia menolak bahwa kategori (termasuk
aksidensi) berasal dari realitas eksternal, dan justru menyatakan bahwa
kategori adalah struktur apriori dari pikiran manusia. Artinya, yang disebut
sebagai aksidensi bukanlah bagian dari realitas objektif, melainkan
bentuk-bentuk tampilan dalam fenomena, bukan noumena⁷.
3.5.
Pemikiran Kontemporer: Fenomenologi dan Kritik
Ontologis
Dalam filsafat kontemporer,
terutama fenomenologi dan eksistensialisme, pendekatan terhadap aksidensi
mengalami perubahan mendasar. Martin Heidegger
tidak lagi membahas “aksidensi” dalam terminologi klasik, melainkan
memfokuskan pada cara ada (Dasein) mengungkapkan dirinya
melalui keberadaan-dalam-dunia. Dalam hal ini, atribut-atribut aksidensial
bukan sekadar “tambahan” pada substansi, tetapi ekspresi keberadaan yang
selalu sudah ada dalam dunia pengalaman⁸.
Maurice
Merleau-Ponty, dalam Phenomenology of Perception,
menolak dikotomi kaku antara esensi dan aksidensi. Ia menunjukkan bahwa
persepsi terhadap atribut seperti warna, tekstur, dan gerakan adalah bagian
integral dari cara subjek berinteraksi secara langsung dengan dunia, bukan
sekadar aksidensi pasif⁹.
Footnotes
[1]
Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon
Press, 1963), 1a20–1b10.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
1025b10–1026a5.
[3]
Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E.
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 5.
[4]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2000), 83–84.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q.75, a.5.
[6]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 54–55.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A70/B95–A80/B105.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–36.
[9]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), 3–5.
4.
Klasifikasi
dan Jenis-Jenis Aksidensi
Dalam kerangka metafisika
klasik, aksidensi didefinisikan
sebagai kategori ontologis yang menunjukkan sifat atau keadaan yang dapat
melekat pada substansi tanpa menjadi bagian dari esensinya. Meski bukan
konstitutif terhadap identitas suatu entitas, aksidensi memainkan peran krusial
dalam cara entitas itu tampak, berfungsi, dan dikenali dalam dunia empiris.
Aristoteles secara sistematis mengklasifikasikan aksidensi ke dalam sembilan
kategori, yang kemudian menjadi dasar penting dalam filsafat
skolastik dan metafisika Islam¹.
Klasifikasi ini bukan sekadar
konvensi deskriptif, melainkan mewakili cara mendasar dalam memahami struktur
realitas berdasarkan cara sesuatu hadir dalam pengalaman. Berikut ini adalah
uraian dari jenis-jenis utama aksidensi sebagaimana dikembangkan dalam tradisi
metafisika.
4.1.
Kuantitas (Quantity – poson)
Aksidensi kuantitatif
berkaitan dengan jumlah, ukuran, panjang, volume, dan bentuk geometris dari
suatu objek. Kuantitas tidak mengubah hakikat suatu substansi, namun menjadi
penting dalam membedakan antara satu entitas dengan entitas lain dari jenis
yang sama. Misalnya, dua batang besi bisa memiliki substansi yang sama, tetapi
berbeda dalam panjang atau berat².
Dalam sistem Aristoteles,
kuantitas dianggap sebagai aksidensi primer karena dapat diukur secara objektif
dan tidak memerlukan relasi dengan objek lain untuk diketahui³.
4.2.
Kualitas (Quality – poion)
Kualitas merujuk pada
karakteristik internal yang memengaruhi bagaimana suatu entitas tampak atau
bertindak, seperti warna, rasa, tekstur, kehangatan, kecerdasan, dan moralitas.
Berbeda dengan kuantitas yang bersifat objektif, kualitas lebih sering
dikaitkan dengan persepsi subjektif, meskipun beberapa kualitas memiliki dasar
realitas fisik.
Dalam filsafat skolastik,
kualitas dibagi lagi menjadi empat: habitus (kebiasaan), disposisi, kemampuan
alami (seperti kekuatan), dan bentuk afektif seperti emosi⁴. Perubahan kualitas
tidak mengubah substansi, tetapi dapat menunjukkan transformasi fungsional atau
penampilan dari entitas tersebut.
4.3.
Relasi (Relation – pros ti)
Relasi adalah aksidensi yang
hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain. Contohnya adalah
menjadi “ayah” yang hanya masuk akal jika ada anak, atau “lebih besar”
yang memerlukan perbandingan dengan sesuatu yang lebih kecil. Aristoteles
menyebutkan bahwa relasi adalah satu-satunya kategori aksidensial yang secara
esensial bersifat relatif⁵.
Dalam konteks filsafat Islam,
relasi memiliki makna penting dalam diskusi tentang kausalitas dan hubungan
antara Tuhan dan ciptaan, sebagaimana dibahas oleh Ibn Sina dan para
mutakallimūn⁶.
4.4.
Aksi dan Pasifitas (Action – poiein,
Passion – paschein)
Kategori ini menggambarkan
bagaimana suatu entitas memengaruhi atau dipengaruhi oleh yang lain. Action
(aksi) merujuk pada kegiatan aktif, seperti memotong, membakar, atau berpikir;
sementara passion (pasifitas) menggambarkan penerimaan terhadap
pengaruh, seperti dipotong atau dibakar.
Aksi dan pasifitas berperan
penting dalam menjelaskan proses kausal dalam alam semesta dan interaksi antara
berbagai substansi⁷.
4.5.
Tempat (Place – pou) dan Waktu (Time – pote)
Aksidensi tempat menunjukkan
lokasi suatu entitas dalam ruang, sedangkan waktu menunjukkan posisinya dalam urutan
temporal. Keduanya penting dalam menjelaskan keberadaan kontingen yang
berubah-ubah.
Dalam filsafat Islam,
terutama pada teologi Asy‘ariyah, waktu dipandang sebagai aksidensi yang tidak
memiliki eksistensi independen, tetapi bergantung pada keterbaruan entitas yang
menjadi lokusnya⁸.
4.6.
Posisi (Position – keisthai) dan Keadaan
(State – echein)
Posisi mengacu pada susunan
tubuh atau bagian dalam suatu entitas (misalnya, duduk, berdiri), sedangkan
keadaan mencakup kondisi tambahan yang dimiliki oleh suatu entitas, seperti
berpakaian, bersenjata, atau berlapis baju besi. Meskipun tampak remeh,
kategori ini menunjukkan bahwa bahkan keadaan paling insidental pun memiliki
tempat dalam sistem metafisik⁹.
Refleksi Klasifikasi
Sembilan kategori aksidensi
Aristotelian membentuk sistem ontologis yang memungkinkan para filsuf
menganalisis dan menjelaskan keragaman fenomena tanpa mereduksinya menjadi
perubahan substansial. Dalam tradisi skolastik dan filsafat Islam, klasifikasi
ini dipertahankan dan dikembangkan untuk mengakomodasi pertanyaan-pertanyaan
teologis, seperti keabadian Tuhan, penciptaan waktu, dan hubungan antara
substansi spiritual dan material.
Namun, dalam filsafat
kontemporer, klasifikasi ini mulai dikritisi karena dianggap terlalu kaku dan
tidak merepresentasikan cara manusia mengalami dunia secara eksistensial dan
fenomenologis. Kendati demikian, pembagian aksidensi tetap menjadi salah satu
kerangka analitis paling berpengaruh dalam sejarah metafisika.
Footnotes
[1]
Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon
Press, 1963), 1a20–1b10.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
1025b25–1026a30.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.6.
[4]
Richard Cross, The Medieval Christian Philosophers: An Introduction
(London: I. B. Tauris, 2014), 112–114.
[5]
Aristotle, Categories, 6a35–6b15.
[6]
Ibn Sina, Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book II, ch. 1.
[7]
Al-Farabi, Kitab al-Huruf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1969), 142–144.
[8]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2000), 87–89.
[9]
Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1951), 210–212.
5.
Aksidensi
dan Hubungannya dengan Substansi
Dalam metafisika klasik,
hubungan antara aksidensi dan substansi
merupakan salah satu fondasi utama dalam memahami struktur realitas. Substansi
dianggap sebagai realitas yang berdiri sendiri dan menjadi pendukung bagi
atribut-atribut atau sifat-sifat yang tidak dapat eksis secara independen,
yaitu aksidensi. Konsep ini mencerminkan pandangan metafisik bahwa setiap entitas
yang eksis memiliki inti yang tetap (substansi) dan atribut-atribut yang dapat
berubah-ubah (aksidensi), tanpa menghilangkan identitas entitas tersebut.
5.1.
Ketergantungan Ontologis Aksidensi terhadap
Substansi
Aristoteles dalam Categories
menjelaskan bahwa substansi adalah “apa yang bukan dikatakan tentang subjek
mana pun, dan tidak ada dalam subjek mana pun,” sedangkan aksidensi justru terdapat
dalam atau dikatakan tentang suatu subjek¹. Misalnya, “warna
putih” tidak dapat eksis secara mandiri tanpa sesuatu yang putih.
Aksidensi, oleh karena itu, tidak memiliki eksistensi mandiri dan hanya hadir
secara kontingen—ia hanya bisa eksis dalam sesuatu yang lain.
Ibn Sina memperluas
pembahasan ini dalam Al-Shifa’ dengan menegaskan bahwa aksidensi (‘arad)
adalah wujud yang membutuhkan mawḍū‘ (substrat) agar dapat eksis. Bahkan dalam
definisi logisnya, setiap aksidensi didefinisikan secara relasional terhadap
substansi². Aksidensi tidak memiliki hakikat yang mandiri; ia bukan mawjud
dalam arti penuh, melainkan hanya aktualisasi dari sifat-sifat potensial dalam
substansi.
5.2.
Ketidakterpengaruhan Esensi oleh Aksidensi
Salah satu prinsip metafisika
Aristotelian adalah bahwa perubahan aksidensial tidak mengubah esensi atau
substansi dari sesuatu. Sebuah apel yang berubah warna dari hijau menjadi merah
tetaplah apel. Ini yang membedakan perubahan substansial
(yang mengubah hakikat) dari perubahan aksidensial
(yang hanya mengubah sifat luar). Pandangan ini kemudian diadopsi oleh filsuf
skolastik seperti Thomas Aquinas, yang menegaskan bahwa esensi adalah prinsip
yang tetap, sementara aksidensi bersifat temporal dan dapat berubah³.
Namun demikian, Aquinas juga
membuka ruang bagi pemahaman bahwa dalam kasus-kasus luar biasa seperti
transubstansiasi (misalnya dalam sakramen Ekaristi), aksidensi dapat tetap ada
tanpa substansi—suatu kondisi yang tidak mungkin terjadi secara alami dan hanya
dapat dijelaskan melalui intervensi ilahi⁴.
5.3.
Aksidensi sebagai Sarana Manifestasi Substansi
Meskipun aksidensi tidak
menentukan hakikat, ia berfungsi sebagai media manifestasi substansi dalam
realitas empirik. Manusia, misalnya, tidak dapat melihat “substansi manusia”
secara langsung, tetapi hanya mengenali keberadaan manusia melalui bentuk,
gerak, suara, dan atribut lainnya yang bersifat aksidensial. Dalam hal ini,
aksidensi memainkan peran epistemologis yang penting—yakni sebagai jembatan
antara eksistensi internal suatu entitas dan pengalaman inderawi kita
terhadapnya⁵.
Para fenomenolog seperti
Husserl dan Heidegger mengkritik dikotomi kaku antara substansi dan aksidensi,
tetapi tetap mengakui bahwa aspek yang secara tradisional disebut aksidensi
adalah titik mula dari setiap pengalaman tentang sesuatu. Heidegger menolak
pemahaman substansi sebagai “penampung sifat-sifat” dan lebih menekankan
pada eksistensi-dalam-dunia sebagai cara dasar entitas hadir⁶.
5.4.
Perdebatan dan Implikasi Ontologis
Hubungan antara substansi dan
aksidensi menimbulkan perdebatan ontologis klasik: apakah realitas ditentukan
oleh esensi yang tetap, atau oleh perubahan dan relasi yang tampak? Aliran
nominalis seperti yang diwakili oleh William of Ockham menolak realitas
objektif aksidensi sebagai entitas tersendiri, dan melihatnya sebagai
konstruksi konseptual untuk menjelaskan pengalaman⁷.
Sebaliknya, realis metafisik
seperti Aristoteles dan Aquinas tetap mempertahankan bahwa aksidensi memang
memiliki status ontologis riil, meskipun bersifat dependen. Dalam filsafat
Islam, perdebatan ini juga muncul dalam pertanyaan tentang apakah aksi Tuhan
merupakan aksidensi atau bagian dari esensi-Nya, yang menjadi perdebatan klasik
antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah⁸.
Kesimpulan Sementara
Relasi antara aksidensi dan
substansi adalah relasi yang kompleks dan mendasar dalam metafisika. Aksidensi
bergantung pada substansi dalam eksistensinya, namun justru melalui
aksidensilah substansi dikenali. Hubungan ini tidak hanya menggambarkan dimensi
ontologis dari realitas, tetapi juga memiliki implikasi epistemologis dan
bahkan teologis yang luas. Dalam tradisi metafisika yang kukuh, keduanya
merupakan dua aspek tak terpisahkan dari setiap entitas yang ada.
Footnotes
[1]
Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Clarendon
Press, 1963), 2a10–2b5.
[2]
Ibn Sina (Avicenna), Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E.
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 6.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.76, a.2; q.77, a.1.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, q.75, a.5.
[5]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto:
Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 78–79.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 59–61.
[7]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1957), I.51.
[8]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2000), 120–122.
6.
Aksidensi
dalam Konteks Perubahan dan Keberlangsungan
Salah satu fungsi utama dari
konsep aksidensi dalam
metafisika adalah menjelaskan perubahan
dalam realitas tanpa mengandaikan perubahan pada substansi
atau esensi suatu entitas. Dalam pandangan klasik, aksidensi memungkinkan benda
atau makhluk untuk mengalami transisi dalam rupa, sifat, atau keadaan tanpa
kehilangan identitas fundamentalnya. Dengan demikian, aksidensi menjadi kunci
untuk memahami bagaimana keberlangsungan identitas
tetap terjaga dalam proses dinamika dan transformasi dunia empirik.
6.1.
Perubahan Aksidensial vs Perubahan Substansial
Perbedaan antara perubahan
aksidensial dan perubahan substansial
telah ditegaskan sejak Aristoteles. Perubahan substansial mengacu pada
transformasi yang menyangkut hakikat entitas, seperti ketika kayu dibakar
menjadi abu — substansi “kayu” tidak lagi eksis dan digantikan oleh
substansi baru “abu.” Sementara perubahan aksidensial hanya menyentuh
aspek non-esensial, misalnya perubahan warna, ukuran, atau posisi tanpa
memengaruhi esensinya¹.
Dalam Metaphysics,
Aristoteles menyebutkan bahwa perubahan aksidensial terjadi ketika suatu entitas
"memiliki" sesuatu yang baru (misalnya warna atau bentuk)
tetapi tetap mempertahankan ousia atau substansinya². Konsep ini
menjadi dasar pemahaman tentang stabilitas identitas melalui fluktuasi keadaan,
menjadikan dunia dapat dikenali dan dipahami secara berkesinambungan.
6.2.
Aksidensi sebagai Medium Keberlangsungan
Identitas
Dalam sistem pemikiran filsuf
skolastik seperti Thomas Aquinas, perubahan aksidensial dipahami sebagai sarana
untuk menjelaskan dinamika hidup makhluk tanpa mengacaukan struktur ontologis
realitas. Aquinas menekankan bahwa suatu entitas dapat mengalami banyak
perubahan dalam aksidensinya (misalnya bertambah tua, sakit, berpindah tempat),
tetapi tetap satu dalam substansi³. Hal ini sangat penting dalam konteks etika
dan teologi Kristen, karena memungkinkan adanya kontinuitas identitas pribadi
sepanjang waktu.
Demikian pula dalam filsafat
Islam, Ibn Sina menjelaskan bahwa meskipun a‘rād (aksidensi) berubah,
esensi dari jawhar (substansi) tetap, dan karena itu, keberadaan
temporal makhluk dapat dijelaskan tanpa mengandaikan perubahan pada hakikat⁴.
Dalam hal ini, waktu dan perubahan dipahami sebagai manifestasi dari
transformasi aksidensial yang berulang.
6.3.
Aksidensi dan Teori Hudūts al-A‘rād
Dalam teologi Islam, terutama
dalam mazhab Asy‘ariyah, muncul
gagasan radikal mengenai ketaktertahanan aksidensi,
dikenal sebagai hudūts al-a‘rād — bahwa setiap aksidensi tidak dapat
bertahan lebih dari satu momen waktu, dan karenanya harus selalu diperbarui
oleh kehendak Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada keberlangsungan hakiki di alam
semesta tanpa intervensi konstan dari Sang Pencipta⁵.
Pendekatan ini memunculkan
pemahaman bahwa keberlangsungan itu sendiri adalah ilusi yang dijembatani oleh
kontinuitas penciptaan aksidensi secara terus-menerus. Hal ini memberikan dasar
ontologis bagi doktrin occasionalism, yaitu
pandangan bahwa segala perubahan yang tampak terjadi bukan karena sebab-akibat
natural, melainkan karena Tuhan menciptakan setiap keadaan secara terpisah⁶.
6.4.
Perspektif Fenomenologis dan Eksistensial
Dalam filsafat kontemporer,
terutama dalam aliran fenomenologi, aksidensi
tidak lagi diposisikan sebagai atribut pasif dari substansi, melainkan sebagai
cara fenomenalitas — yaitu bagaimana sesuatu hadir dalam kesadaran dan
pengalaman. Heidegger, misalnya,
tidak melihat perubahan sebagai hanya perubahan aksidensial pada entitas tetap,
tetapi sebagai bentuk dari keterlemparan (Geworfenheit)
eksistensial manusia ke dalam dunia yang selalu dalam proses⁷.
Merleau-Ponty
memperluas pemahaman ini dengan menunjukkan bahwa perubahan warna, gerakan,
atau ekspresi bukan sekadar gejala, melainkan cara dunia hadir bagi
tubuh yang mengalami. Dengan demikian, aksidensi bukan hanya menjelaskan
perubahan, melainkan merupakan struktur dasar dari pengalaman perubahan itu
sendiri⁸.
6.5.
Implikasi Epistemologis
Karena perubahan terutama
tampak dalam ranah aksidensi, maka pengenalan kita terhadap dunia berlangsung
terutama melalui aksidensi pula. Kita tidak pernah secara langsung mengakses
substansi, tetapi selalu melalui gejala-gejala atau atribut yang berubah. Hal
ini ditegaskan dalam epistemologi modern dan empirisme — dari Locke
hingga Hume — bahwa kesan
indrawi kita tidak pernah sampai pada esensi, tetapi hanya pada kumpulan
aksidensi yang membentuk persepsi⁹.
Oleh sebab itu, perubahan
aksidensial tidak hanya penting secara ontologis, tetapi juga secara
epistemologis. Ia menentukan bagaimana kita mengalami, mengidentifikasi,
dan membuat makna atas segala sesuatu yang kita hadapi.
Kesimpulan Sementara
Aksidensi, dalam konteks perubahan
dan keberlangsungan, berperan sebagai jembatan antara kestabilan dan dinamika.
Ia memungkinkan entitas untuk mengalami perubahan tanpa kehilangan identitas,
dan memungkinkan manusia untuk mengenali dunia yang selalu bergerak tanpa
kehilangan struktur makna. Dalam hal ini, aksidensi menjadi struktur dasar
dalam pemahaman ontologis, epistemologis, bahkan spiritual terhadap realitas
yang sedang dan terus menjadi.
Footnotes
[1]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye, in The
Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library,
2001), Book I, ch. 7.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), Book VII, 1029a1–20.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.76, a.2.
[4]
Ibn Sina, Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book II, ch. 4.
[5]
Al-Baqillani, Tamhid al-Awa’il, ed. Imaduddin Khalil (Baghdad:
Maktabah al-Andalus, 1968), 98–102.
[6]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2000), 132–135.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–177.
[8]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), 279–281.
[9]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.xiii.19; David Hume, A
Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press,
1978), I.iv.4.
7.
Aksidensi
dalam Filsafat Islam dan Teologi Kalām
Dalam khazanah filsafat
Islam dan ilmu kalām, konsep aksidensi
(al-‘araḍ, jamak: al-a‘rāḍ) memegang posisi penting dalam
menjelaskan struktur ontologis makhluk dan intervensi Tuhan dalam realitas.
Berbeda dengan pendekatan Aristotelian murni yang menekankan aspek
logis-ontologis, para pemikir Muslim mengembangkan pemikiran aksidensi tidak
hanya sebagai kategori metafisika, tetapi juga sebagai landasan untuk merumuskan
teologi tentang penciptaan, perubahan, dan keterlibatan ilahi dalam dunia.
Dalam konteks ini, perdebatan antara para filsuf (falāsifah) dan
teolog (mutakallimūn) mengenai hakikat aksidensi mencerminkan
perbedaan mendasar antara rasionalisme filsafati
dan teisme kalām.
7.1.
Aksidensi dalam Filsafat Ibn Sina
Dalam filsafat Ibn Sina,
aksidensi (‘araḍ) adalah unsur ontologis yang tidak termasuk dalam
esensi suatu entitas (māhiyyah), tetapi melekat padanya dan diperlukan
untuk aktualisasi eksistensial. Dalam Al-Shifā’, Ibn Sina membagi
realitas ke dalam tiga: substansi (jawhar), aksidensi (‘araḍ),
dan eksistensi (wujūd). Aksidensi tidak memiliki eksistensi
tersendiri, melainkan eksistensinya terikat pada sesuatu yang lain, yakni
substansi. Contohnya, warna putih tidak bisa eksis kecuali dalam sesuatu yang
putih, seperti kertas¹.
Bagi Ibn Sina, perubahan
dalam aksidensi tidak mengubah esensi, tetapi menunjukkan aktualisasi dari
potensi dalam substansi. Ini mencerminkan pengaruh kuat Aristoteles dalam
sistemnya, tetapi dengan integrasi unsur-unsur Neoplatonisme dan konsepsi Islam
tentang kebergantungan wujud pada Tuhan².
7.2.
Perspektif Teologi Kalām: Aksidensi sebagai
Bukti Hudūts
Berbeda dengan pendekatan
filsafat, teologi kalām, khususnya dalam mazhab Asy‘ariyah,
memanfaatkan konsep aksidensi sebagai dasar argumen hudūts al-‘ālam
(keberadaan alam bersifat temporal). Asy‘ariyah berpendapat bahwa semua makhluk
tersusun dari jauhar (substansi) dan ‘araḍ
(aksidensi), dan bahwa aksidensi tidak bisa bertahan dua saat. Ini dikenal
sebagai doktrin tajaddud al-a‘rāḍ —
pembaruan terus-menerus dari aksidensi³.
Argumen utama mereka adalah:
karena aksidensi selalu berubah, dan karena tidak ada satu pun aksidensi yang
kekal, maka segala sesuatu yang tersusun dari aksidensi bersifat temporal.
Karena itu, alam ini bersifat ḥādith (baru tercipta), dan tidak dapat
menciptakan dirinya sendiri, melainkan memerlukan muḥdith (Pencipta),
yaitu Tuhan⁴.
Pandangan ini menekankan kebergantungan
ontologis total dari segala sesuatu kepada kehendak Tuhan yang
berkelanjutan, dan menyangkal adanya kekuatan atau kausalitas alamiah secara
independen. Aksidensi di sini bukan sekadar atribut ontologis, tetapi sarana
untuk membuktikan eksistensi dan keesaan Tuhan secara rasional.
7.3.
Perbedaan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah tentang
Aksidensi
Mazhab Mu‘tazilah
mengakui keberadaan aksidensi tetapi menekankan pada rasionalitas dan keadilan
Tuhan. Mereka menolak konsep tajaddud al-a‘rāḍ yang ekstrem, karena
menurut mereka hal itu meniadakan hukum sebab-akibat dan menghapus tanggung
jawab moral manusia. Dalam sistem Mu‘tazilah, aksidensi dapat bertahan lebih
dari satu waktu, dan perubahan bisa terjadi karena kausalitas sekunder dalam
alam, bukan semata-mata karena kehendak Tuhan langsung⁵.
Dengan demikian, Mu‘tazilah
menggunakan aksidensi untuk mendukung pandangan tentang kebebasan kehendak
manusia (ikhtiyār) dan prinsip keadilan ilahi (al-‘adl),
berbeda dari determinisme teologis yang ditawarkan oleh Asy‘ariyah.
7.4.
Relevansi dalam Ontologi Islam
Konsep aksidensi dalam kalām
tidak hanya bersifat argumentatif, tetapi juga mendalam secara ontologis dan
spiritual. Dalam kerangka sufistik, walau tidak selalu menggunakan terminologi
aksidensi secara teknis, realitas dunia dipandang sebagai penampakan (tajallī)
sifat-sifat Tuhan yang senantiasa berubah. Kehadiran aksidensi yang tidak
stabil mencerminkan kefanaan (fanā’) dan menjadi pengingat akan
keabadian Tuhan yang mutlak⁶.
Filsuf kontemporer seperti Toshihiko
Izutsu mencatat bahwa perbedaan antara filsafat dan kalām dalam
membahas aksidensi berkisar pada orientasi metafisika: filsafat menekankan
struktur universal dan kosmos yang rasional, sedangkan kalām menekankan
kehendak Tuhan sebagai pusat eksistensi⁷.
Kesimpulan Sementara
Dalam tradisi filsafat Islam,
aksidensi bukan sekadar kategori metafisik, melainkan medan artikulasi antara
keberadaan, kehendak ilahi, dan dinamika dunia. Perbedaan antara pendekatan Ibn
Sina dan kalām memperlihatkan ketegangan antara rasionalisme filsafati dan
teisme teologis, namun keduanya sama-sama menjadikan aksidensi sebagai
instrumen konseptual untuk menjelaskan keberadaan yang tidak tetap, perubahan
terus-menerus, dan kebergantungan mutlak pada Tuhan sebagai sumber eksistensi.
Footnotes
[1]
Ibn Sina, Al-Shifa’: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), Book I, ch. 5.
[2]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition:
Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden: Brill,
2001), 155–160.
[3]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 395–398.
[4]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2000), 83–85.
[5]
Richard M. Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazālī &
Avicenna (Heidelberg: Carl Winter, 1992), 42–45.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 56–58.
[7]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 121–124.
8.
Kritik
dan Diskursus Kontemporer
Dalam konteks filsafat
kontemporer, konsep aksidensi tidak hanya
dipertahankan sebagai bagian dari tradisi metafisika klasik, tetapi juga
menjadi objek kritik, reinterpretasi, dan dekonstruksi
dalam berbagai aliran pemikiran modern. Kritik ini terutama muncul dari
filsafat analitik, fenomenologi, eksistensialisme, hingga posmodernisme, yang
berupaya merevisi atau bahkan menggugurkan kerangka metafisik
substansi-aksidensi sebagai representasi realitas yang utuh dan final.
8.1.
Kritik dari Filsafat Analitik: Masalah
Referensi dan Individuasi
Dalam tradisi filsafat
analitik, terutama sejak era Bertrand Russell dan Gottlob
Frege, pemahaman klasik tentang aksidensi dianggap tidak cukup
untuk menjelaskan cara bahasa dan pikiran merujuk pada entitas di dunia nyata. Saul
Kripke, misalnya, memperkenalkan teori tentang atribut
kontingen dan esensial yang memperumit dikotomi
substansi-aksidensi. Dalam kerangka semantik rigid designator, atribut yang
tampak aksidensial kadang justru menjadi esensial secara identitas, seperti
dalam contoh: "Aristoteles adalah orang yang mengajar Alexander Agung"
— meskipun tampak sebagai aksidensi, informasi ini bisa menjadi krusial secara
epistemik¹.
Di sisi lain, W.V.O.
Quine mengkritik penggunaan konsep metafisik seperti substansi
dan aksidensi karena tidak dapat diverifikasi secara empiris. Ia menyerukan
agar filsafat hanya berpegang pada entitas yang dapat diobservasi atau
diformulasikan dalam kerangka logika formal². Dengan demikian, bagi aliran ini,
pembicaraan tentang aksidensi sebagai kategori ontologis dianggap kurang
produktif secara ilmiah.
8.2.
Perspektif Fenomenologi dan Kritik terhadap
Dualisme Esensi-Aksidensi
Para fenomenolog seperti Edmund
Husserl dan Maurice Merleau-Ponty
menolak pemisahan ontologis antara esensi dan aksidensi sebagai dikotomi yang
membatasi pemahaman terhadap pengalaman. Husserl dalam Ideas I
menyatakan bahwa setiap fenomena hadir selalu dalam horizon atribut dan
kualitas yang tidak dapat dipisahkan dari kesadarannya. Dengan kata lain,
aksidensi bukan "lapisan luar" dari substansi, melainkan modus
hadirnya sesuatu dalam kesadaran³.
Merleau-Ponty
memperluas ini melalui gagasan bahwa tubuh sebagai subjek pengalaman tidak
mengalami realitas sebagai substansi yang memiliki sifat, tetapi sebagai
keseluruhan yang dihayati secara langsung — di mana apa yang dianggap sebagai
aksidensi sebenarnya membentuk struktur dari eksistensi konkret itu sendiri⁴.
Ini merupakan penolakan terhadap model dualistik Aristotelian dan menunjukkan
arah ontologi yang lebih terintegrasi.
8.3.
Kritik Eksistensialis: Substansi sebagai
Abstraksi, Aksidensi sebagai Keberadaan Nyata
Filsuf eksistensialis seperti
Jean-Paul Sartre dan Martin
Heidegger menolak pemikiran klasik yang melihat esensi sebagai
sesuatu yang mendahului eksistensi. Sartre,
dalam L’Être et le Néant, mengklaim bahwa tidak ada esensi tetap dalam
manusia; yang ada hanyalah keberadaan yang membentuk dirinya melalui tindakan⁵.
Dengan demikian, yang selama ini dianggap sebagai “aksidensi” — situasi,
relasi, pilihan — justru menjadi substansi nyata dari eksistensi.
Heidegger menyebut pendekatan
metafisika tradisional sebagai “metafisika kehadiran” (metaphysics
of presence) yang keliru dalam menyamakan keberadaan dengan kestabilan
bentuk. Ia mengusulkan agar realitas tidak dilihat sebagai benda-benda yang
memiliki sifat, melainkan sebagai proses pengungkapan (aletheia) yang
selalu bergerak. Aksidensi, dalam pengertian ini, menjadi peristiwa
keterbukaan realitas, bukan sekadar pelengkap⁶.
8.4.
Pendekatan Posmodern dan Dekonstruksi terhadap
Kategori Tradisional
Dalam pemikiran Jacques
Derrida, konsep-konsep metafisika seperti aksidensi dan
substansi dikritik sebagai bagian dari logocentrisme — upaya Barat
untuk mengutamakan struktur tetap, pusat, dan makna yang stabil. Derrida
menyatakan bahwa semua makna adalah diferensial, tidak pernah hadir
sepenuhnya, dan selalu tertunda (konsep différance). Oleh karena itu,
dikotomi seperti esensi vs aksidensi justru menciptakan ilusi oposisi biner yang
harus dibongkar⁷.
Dalam kerangka ini, tidak ada
“substansi” yang berada di balik “sifat-sifat,” dan tidak ada “identitas”
tetap yang menjadi pusat makna. Aksidensi bukan sekadar pelengkap yang bisa
diabaikan, melainkan jalinan dari tanda-tanda yang saling menunda makna.
8.5.
Respon terhadap Kritik: Pertahanan dan
Reinterpretasi
Sebagian filsuf kontemporer
seperti Alasdair MacIntyre dan Charles
Taylor menilai bahwa pemikiran modern telah kehilangan kerangka
moral dan metafisik karena terlalu cepat meninggalkan konsepsi substansi dan
aksidensi. Bagi mereka, kategori-kategori klasik tetap memiliki nilai dalam
menjelaskan keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki telos dan
keterkaitan moral yang tidak bisa direduksi hanya menjadi jaringan peristiwa
atau gejala⁸.
Beberapa upaya juga muncul
untuk menginterpretasi ulang konsep aksidensi dalam ranah filsafat proses
(process philosophy), terutama dalam karya Alfred North Whitehead,
yang menggambarkan realitas sebagai rangkaian kejadian dan hubungan, di mana
kualitas (aksidensi) bukan sekadar tempelan pada substansi, tetapi bagian
konstitutif dari nexus peristiwa yang menciptakan dunia⁹.
Kesimpulan Sementara
Diskursus kontemporer
terhadap konsep aksidensi menunjukkan bahwa kategori metafisik ini masih memiliki
daya tarik, baik sebagai warisan yang dikritik maupun sebagai konsep yang
direkonstruksi. Kritik terhadap dualisme esensi-aksidensi membuka ruang baru
bagi pemikiran tentang realitas sebagai keterhubungan, pengalaman, dan proses,
bukan sekadar struktur tetap yang statis. Namun demikian, penting pula untuk
mempertimbangkan apakah dalam kritik terhadap aksidensi, kita telah kehilangan
kemampuan untuk memahami perubahan, keberlangsungan, dan pengalaman konkret
secara terstruktur.
Footnotes
[1]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 48–53.
[2]
W. V. O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1961), 20–22.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 94–96.
[4]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 2002), 77–80.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes
(New York: Washington Square Press, 1956), 26–31.
[6]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–40.
[7]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–19.
[8]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 52–54.
[9]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–25.
9.
Implikasi
Epistemologis dan Ilmiah
Konsep aksidensi
tidak hanya relevan dalam konteks metafisika ontologis, tetapi juga memiliki
implikasi mendalam dalam ranah epistemologi
dan ilmu pengetahuan. Karena seluruh pengenalan
manusia terhadap dunia berawal dari pengindraan terhadap sifat-sifat lahiriah
benda, aksidensi memainkan peran sentral sebagai jembatan antara eksistensi
objek dan kesadaran subjek. Dalam
hal ini, diskusi tentang aksidensi menghubungkan ontologi dengan epistemologi,
dan sekaligus membentuk dasar konseptual dari banyak pendekatan ilmiah dalam
memahami realitas fenomenal.
9.1.
Aksidensi sebagai Mediasi antara Realitas dan
Pengetahuan
Secara klasik, filsuf seperti
Aristoteles menekankan bahwa pengetahuan bermula
dari pengalaman indrawi terhadap kualitas-kualitas aksidensial seperti warna,
bau, gerak, dan suhu. Dalam De Anima, ia menyatakan bahwa jiwa
menerima bentuk (form) tanpa materi, yakni dengan cara menangkap aksidensi dari
objek melalui pancaindra¹. Meskipun yang ditangkap adalah aksidensi, proses abstraksi
intelektual memungkinkan manusia mengenali esensi.
Pandangan ini dikembangkan
lebih lanjut oleh Thomas Aquinas, yang
menegaskan bahwa semua pengetahuan berawal dari species sensibilis—representasi
aksidensial dalam indera—yang kemudian diolah menjadi species
intelligibilis dalam intelek². Dengan kata lain, aksidensi adalah gerbang
epistemologis menuju hakikat realitas.
9.2.
Empirisme dan Reliabilitas Aksidensi dalam Ilmu
Pengetahuan
Tradisi empirisme
modern, dari John Locke hingga David
Hume, sangat bergantung pada aksidensi dalam membangun kerangka
pengetahuan. Locke membedakan antara primary qualities
(seperti bentuk, ukuran, jumlah) dan secondary qualities
(seperti warna, rasa, dan bau), keduanya merupakan aksidensi yang teramati
melalui indera, meskipun primary dianggap lebih obyektif³.
Hume
mengambil posisi yang lebih skeptis: semua pengetahuan kita tentang benda
sebenarnya hanyalah kumpulan impresi aksidensial yang terasosiasi
dalam pikiran. Kita tidak pernah mengamati substansi secara langsung, tetapi
hanya kebiasaan (habit) psikologis yang membuat kita mengaitkan kumpulan
aksidensi itu sebagai “satu benda”⁴. Ini menunjukkan bahwa dalam
epistemologi empiris, aksidensi bukan hanya akses menuju realitas, tetapi juga
batas dari apa yang bisa diketahui.
9.3.
Fenomenologi dan Rehabilitasi Aksidensi sebagai
Inti Kesadaran
Dalam filsafat fenomenologi,
terutama oleh Edmund Husserl, hubungan
antara subjek dan objek tidak lagi dibangun melalui dikotomi
substansi-aksidensi, melainkan melalui intensionalitas:
setiap kesadaran selalu tentang sesuatu dalam cara tertentu. Dalam Ideas I,
Husserl menekankan bahwa aspek-aspek seperti warna, gerakan, atau suara—yang
dalam metafisika klasik dianggap sebagai aksidensi—adalah modus
hadir fenomena itu sendiri dalam kesadaran⁵.
Karena itu, bukannya
aksidensi menjadi pelengkap, ia justru merupakan bentuk utama realitas yang
dialami. Ini berimplikasi epistemologis: pengetahuan tidak bergerak dari
aksidensi ke substansi, tetapi terbentuk langsung dari keterlibatan penuh dengan
manifestasi aksidensial.
9.4.
Aksidensi dan Sains: Fisika Modern dan Ilmu
Kognitif
Dalam fisika
modern, terutama mekanika kuantum, kategori aksidensi dan
substansi mengalami guncangan besar. Partikel tidak lagi memiliki sifat-sifat
tetap secara mandiri, melainkan bergantung pada pengamatan—seperti dalam
eksperimen dua celah atau prinsip ketidakpastian Heisenberg⁶. Ini membuat
aksidensi seperti posisi atau momentum bukan sekadar atribut tambahan,
melainkan entitas terukur yang memiliki realitas hanya dalam hubungan
pengamatan.
Demikian pula dalam ilmu
kognitif, representasi mental tentang objek (dalam persepsi
visual, pengenalan pola, atau bahasa) dibentuk melalui sifat-sifat aksidensial
seperti bentuk, warna, dan tekstur. Studi-studi dalam neuropsikologi menunjukkan
bahwa otak tidak menyimpan “substansi objek,” melainkan kumpulan atribut
yang dikenali melalui asosiasi dan memori spasial⁷. Hal ini menegaskan bahwa
dalam praktik ilmiah dan neurologis, aksidensi menjadi satu-satunya jalan
menuju pembentukan konsep dan pengenalan objek.
9.5.
Refleksi Teoretis: Aksidensi sebagai Struktur
Pengetahuan
Dari perspektif teori
pengetahuan kontemporer, aksidensi dapat dipahami sebagai struktur
mediasi antara dunia dan pemahaman. Konsep ini sejalan dengan
pendekatan konstruktivistik dalam sains dan filsafat bahasa, yang menyatakan
bahwa objek dalam dunia tidak hadir secara langsung, tetapi dibentuk melalui
sistem representasi atribut yang dapat dikenali dan dikomunikasikan⁸.
Dengan demikian, bahkan jika
kategori metafisika klasik dikritik, fungsi epistemologis aksidensi tetap
vital: ia menunjukkan bahwa setiap pengenalan selalu melewati lapisan atribut,
konteks, dan relasi, sebelum bisa menyentuh—jika pun bisa—apa yang disebut “substansi”
atau “realitas objektif.”
Kesimpulan Sementara
Implikasi epistemologis dan
ilmiah dari konsep aksidensi menunjukkan bahwa meskipun aksidensi tidak
menentukan hakikat benda secara ontologis, ia justru menentukan bagaimana
realitas dapat dikenali, dipahami, dan dijelaskan. Dalam hal ini, aksidensi
adalah fondasi pengetahuan, bukan sekadar tambahan sifat. Ia adalah jendela
dunia, bahkan jika jendela itu tidak pernah memperlihatkan seluruh ruangan.
Footnotes
[1]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
424b20–425a10.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.84, a.6.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.viii.9–10.
[4]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), I.iv.4.
[5]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 98–101.
[6]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 26–29.
[7]
Oliver Sacks, The Man Who Mistook His Wife for a Hat (New
York: Summit Books, 1985), 70–74.
[8]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 114–118.
10. Simpulan dan Refleksi Filosofis
Kajian tentang aksidensi
dalam metafisika mengungkapkan bahwa meskipun secara tradisional dianggap
sebagai atribut non-esensial dan bergantung pada substansi, perannya sangat sentral
dalam menjembatani realitas ontologis dengan pengalaman epistemologis manusia.
Konsep ini telah mengalami perkembangan dan transformasi signifikan dari
pemikiran Aristoteles, filsuf Islam klasik, hingga diskursus kontemporer dalam
fenomenologi, epistemologi empiris, dan bahkan sains modern.
10.1.
Aksidensi sebagai Landasan Perubahan dan
Identitas
Secara ontologis, aksidensi
memungkinkan pemahaman terhadap perubahan
tanpa meruntuhkan identitas esensial suatu
entitas. Aristoteles menjelaskan bahwa aksidensi adalah “apa yang hadir
dalam sesuatu tetapi tidak termasuk dalam hakikatnya”¹. Pemahaman ini
menjadi dasar bagi teori perubahan aksidensial dan substansial, dan
dipertahankan dalam pemikiran Ibn Sina maupun Thomas Aquinas². Aksidensi
memungkinkan entitas mengalami dinamika—seperti gerak, warna, atau bentuk—tanpa
kehilangan kontinuitas sebagai sesuatu yang “sama”.
Namun, dalam konteks teologi
kalām, terutama Asy‘ariyah, ketaktertahanan aksidensi justru digunakan untuk
menyimpulkan keberadaan Tuhan sebagai penyebab utama dari segala keberadaan
yang terus-menerus diperbarui³. Ini menunjukkan bahwa aksidensi tidak hanya
menjelaskan aspek fisik realitas, tetapi juga menjadi dasar argumen metafisika
dan teologis.
10.2.
Aksidensi sebagai Titik Masuk Pengetahuan
Secara epistemologis, semua
pengetahuan empiris manusia dimulai dari pengamatan terhadap aksidensi. Locke
dan Hume, dalam tradisi empirisme, menunjukkan bahwa manusia tidak pernah
mengakses substansi secara langsung, melainkan mengenali benda melalui kualitas-kualitas
yang bisa diamati⁴. Hal ini ditegaskan oleh Husserl dan Merleau-Ponty bahwa apa
yang disebut sebagai “aksidensi” dalam metafisika klasik, justru
merupakan bentuk utama dari kehadiran fenomenologis⁵.
Sains modern juga menegaskan
signifikansi atribut yang dapat diamati dan diukur sebagai dasar pembentukan
pengetahuan ilmiah. Bahkan dalam fisika kuantum, realitas tidak dipahami
sebagai substansi tetap, melainkan sebagai peristiwa terukur berdasarkan
parameter yang secara fungsional bersifat aksidensial⁶.
10.3.
Dekonstruksi dan Reinterpretasi dalam Filsafat
Kontemporer
Kritik dari Heidegger,
Sartre, Derrida, dan filsuf post-strukturalis menunjukkan bahwa dikotomi
substansi-aksidensi tidak lagi cukup untuk menjelaskan cara keberadaan itu
sendiri dipahami dan dialami. Heidegger menyatakan bahwa kehadiran tidak bisa
direduksi menjadi objek dengan sifat, melainkan adalah proses pengungkapan yang
terbuka dan temporal⁷. Derrida bahkan membongkar kategori substansi dan
aksidensi sebagai oposisi biner yang membatasi permainan makna dalam bahasa dan
realitas⁸.
Kritik ini bukan sekadar
penolakan, tetapi menawarkan reinterpretasi radikal bahwa struktur realitas
lebih cair dan dinamis daripada yang diandaikan metafisika klasik. Dalam
kerangka ini, aksidensi justru memperoleh kedudukan baru: bukan lagi sekadar
pelengkap pasif, melainkan sebagai bentuk aktualitas dari eksistensi itu
sendiri.
10.4.
Refleksi Filosofis: Aksidensi sebagai Struktur
Fenomenal Realitas
Refleksi mendalam atas
perjalanan historis dan pemikiran lintas tradisi menunjukkan bahwa aksidensi
adalah titik temu antara eksistensi dan pengalaman, antara yang
ada dan yang hadir, antara metafisika dan epistemologi. Ia adalah lapisan
fenomenal dari realitas yang memungkinkan manusia mengidentifikasi, membedakan,
dan merespon dunia di sekitarnya.
Dengan demikian, aksidensi
bukan hanya kategori teknis dalam metafisika klasik, melainkan menjadi struktur
konseptual yang fleksibel dan adaptif untuk menjawab tantangan
pemikiran kontemporer—dari perubahan sosial, krisis identitas, hingga
kecanggihan teknologi sains. Bahkan ketika konsep substansi mulai ditinggalkan,
konsep aksidensi tetap relevan karena ia merujuk pada apa yang aktual, dapat
dialami, dan dikenali dalam keseharian manusia.
Kesimpulan Umum
Studi mendalam terhadap
aksidensi menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar atribut tambahan; ia adalah modus
kehadiran, jaringan relasi, dan kerangka
epistemik yang membentuk cara manusia berinteraksi dengan
dunia. Dalam kerendahannya sebagai “bukan esensi,” aksidensi justru menjadi
gerbang untuk memahami perubahan, pengetahuan, keberadaan,
bahkan Tuhan. Ia adalah bagian dari realitas yang tampak, namun
membuka jalan ke arah realitas yang lebih dalam dan transenden.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
1025b10–1026a10.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.77, a.1; Ibn Sina, Al-Shifa’:
Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University
Press, 2005), Book I, ch. 5.
[3]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2000), 83–84.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.viii.10; David Hume, A
Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press,
1978), I.iv.4.
[5]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 98–101; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception,
trans. Colin Smith (London: Routledge, 2002), 77–80.
[6]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 26–29.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–40.
[8]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 17–22.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros. (Original
work published ca. 1274)
Aristotle. (2001). De Anima (J. A. Smith,
Trans.). In R. McKeon (Ed.), The Basic Works of Aristotle (pp. 535–603).
Modern Library.
Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.),
The Basic Works of Aristotle (pp. 681–926). Modern Library.
Aristotle. (1963). Categories (J. L. Ackrill, Trans.). Clarendon Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-ʻArabi’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Derrida, J. (1982). Margins of philosophy
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Frank, R. M. (1992). Creation and the cosmic
system: Al-Ghazālī and Avicenna. Carl Winter Universitätsverlag.
Ghazali, A. (2000). The incoherence of the
philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
(Original work Tahāfut al-Falāsifah)
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Brill.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work Sein
und Zeit, 1927)
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy:
The revolution in modern science. Harper & Row.
Hume, D. (1978). A treatise of human nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press. (Original work published 1739)
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy: First book (F. Kersten,
Trans.). Martinus Nijhoff. (Original work Ideen I, 1913)
Izutsu, T. (2007). The concept and reality of
existence. Islamic Book Trust.
Kripke, S. (1980). Naming and necessity.
Harvard University Press.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Original work
published 1689)
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Merleau-Ponty, M. (2002). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge. (Original work Phénoménologie
de la perception, 1945)
Quine, W. V. O. (1961). From a logical point of
view: Nine logico-philosophical essays (2nd ed.). Harvard University Press.
Sacks, O. (1985). The man who mistook his wife
for a hat and other clinical tales. Summit Books.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness: An
essay in phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Washington
Square Press. (Original work L’Être et le Néant, 1943)
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality
(D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press. (Original work
published 1929)
Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the
Kalam. Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar