Sabtu, 17 Mei 2025

Teologi Filosofis: Studi Komprehensif atas Integrasi Rasio dan Wahyu dalam Tradisi Keilmuan

Teologi Filosofis

Studi Komprehensif atas Integrasi Rasio dan Wahyu dalam Tradisi Keilmuan


Alihkan ke: Metafisika.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pendekatan teologi filosofis sebagai bentuk integrasi antara rasio dan wahyu dalam memahami doktrin-doktrin keagamaan. Teologi filosofis dipahami sebagai upaya rasional untuk menjelaskan keberadaan Tuhan, sifat-sifat-Nya, serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia melalui perangkat filsafat sistematis. Kajian ini menelusuri pengertian, sejarah perkembangan, tokoh-tokoh sentral, metode pendekatan, serta perbandingan antara teologi filosofis dan ilmu kalam dalam tradisi Islam dan Kristen. Selain itu, dibahas pula berbagai kritik dan kontroversi yang diarahkan terhadap teologi filosofis, baik dari kalangan revelasional, positivis, eksistensialis, maupun postmodern. Di tengah tantangan kontemporer seperti sekularisme, pluralisme agama, dan krisis makna spiritual, artikel ini menunjukkan bahwa teologi filosofis tetap relevan sebagai landasan reflektif dalam dialog antara agama dan sains, formulasi etika publik, serta pengembangan spiritualitas rasional. Artikel ini menyimpulkan bahwa teologi filosofis merupakan medan diskursus yang dinamis dan transformatif, yang tidak hanya mempertahankan iman secara intelektual, tetapi juga memperluas pemahaman religius secara filosofis dan eksistensial.

Kata Kunci: Teologi Filosofis, Rasio dan Wahyu, Filsafat Islam, Ilmu Kalam, Metafisika Ketuhanan, Kritik Teologi, Relevansi Kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Pendekatan Teologi Filosofis


1.           Pendahuluan

Dalam perjalanan sejarah intelektual umat manusia, pencarian terhadap hakikat Tuhan, kebenaran eksistensi, dan makna keberadaan telah menjadi tema sentral yang terus menerus dipertanyakan oleh manusia dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Pencarian ini melahirkan dua poros epistemologis utama dalam kajian keagamaan: wahyu dan rasio. Di satu sisi, wahyu dipandang sebagai otoritas transendental yang menjadi dasar kebenaran mutlak, sedangkan di sisi lain, rasio atau akal budi manusia tampil sebagai instrumen kritis untuk menafsirkan dan memahami realitas tersebut. Dalam konteks inilah muncul suatu pendekatan teologis yang dikenal sebagai teologi filosofis (philosophical theology), yaitu usaha sistematis untuk memahami doktrin-doktrin teologis melalui perangkat rasional dan filosofis.

Teologi filosofis bukanlah fenomena baru, melainkan telah hadir sejak masa awal filsafat Yunani. Para filsuf seperti Plato dan Aristoteles telah mengembangkan pemikiran metafisika tentang theos (Tuhan) yang kemudian menjadi pondasi bagi teologi skolastik di Barat maupun pemikiran falasifah dalam Islam. Aristoteles, misalnya, menyatakan bahwa segala gerak dalam alam ini membutuhkan sebab pertama yang tidak digerakkan, yang ia sebut sebagai "penggerak yang tak tergerakkan" (unmoved mover)—sebuah konsep metafisis yang kemudian diasosiasikan dengan Tuhan oleh para pemikir teologis selanjutnya.¹

Dalam tradisi Islam, integrasi antara filsafat dan teologi mengalami perkembangan signifikan melalui tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd, yang masing-masing berupaya menyelaraskan wahyu Islam dengan prinsip-prinsip filsafat Yunani.² Di pihak lain, tokoh seperti Al-Ghazali mengkritik pendekatan ini karena dianggap mengabaikan otoritas wahyu, meskipun ia sendiri menggunakan perangkat logika dalam teologinya.³ Di dunia Kristen, proses yang hampir serupa terjadi melalui kontribusi Agustinus dan kemudian mencapai puncaknya dalam karya Thomas Aquinas yang mencoba merumuskan sintesis harmonis antara iman dan akal.⁴

Namun, di era modern dan kontemporer, muncul berbagai tantangan terhadap teologi filosofis, baik dari kalangan positivis yang menolak validitas metafisika, maupun dari pemikir-pemikir postmodern yang mengkritik klaim universalitas rasionalitas Barat. Meski demikian, pendekatan teologi filosofis tetap bertahan sebagai salah satu cabang penting dalam studi agama dan filsafat, terutama dalam menjembatani dialog antara agama dan sains, serta antara iman dan nalar dalam masyarakat plural dan rasional saat ini.⁵

Artikel ini bertujuan untuk memberikan kajian menyeluruh terhadap teologi filosofis dengan menelusuri akar sejarahnya, tokoh-tokoh utama, metode dan pendekatan yang digunakan, serta signifikansi dan relevansinya dalam konteks kontemporer. Melalui kajian ini, diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana akal dan wahyu dapat bekerja secara sinergis dalam menggali kebenaran teologis yang mendalam.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago: Encyclopaedia Britannica, 1952), 1072a–1072b.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 128–160.

[3]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah [The Incoherence of the Philosophers], trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 5–7.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.2.a.3.

[5]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 110–133.


2.           Pengertian Teologi Filosofis

Teologi filosofis (philosophical theology) merupakan cabang kajian teologi yang berusaha memahami kebenaran-kebenaran keimanan dengan menggunakan metode dan pendekatan filsafat. Pada dasarnya, teologi filosofis bertujuan untuk menjelaskan doktrin-doktrin keagamaan—seperti keberadaan Tuhan, sifat-sifat-Nya, penciptaan, kehendak bebas, dan tujuan akhir manusia—dengan argumen rasional dan analisis logis yang dapat diterima oleh akal budi manusia, terlepas dari penerimaan iman sebagai dasar.¹

Secara etimologis, istilah “teologi” berasal dari bahasa Yunani theos (Tuhan) dan logos (kata, pembicaraan, atau rasio), yang secara harfiah berarti “wacana tentang Tuhan.”² Dalam perkembangan filsafat dan studi keagamaan, muncul berbagai bentuk teologi: teologi dogmatik yang berakar pada wahyu dan doktrin resmi agama; teologi natural yang mencoba memahami Tuhan berdasarkan alam dan akal tanpa merujuk pada wahyu; serta teologi filosofis, yang meskipun membuka ruang bagi wahyu, menempatkan rasio sebagai alat utama untuk menjelaskan dan membela keimanan.³

Menurut John Macquarrie, teologi filosofis berbeda dari teologi sistematik atau eksperimental karena pendekatannya tidak bertumpu pada pengalaman iman atau otoritas gereja, melainkan pada “argumentasi rasional tentang realitas ilahi yang diasumsikan atau dibuktikan melalui refleksi filsafati.”⁴ Hal ini berarti bahwa teologi filosofis juga dapat bersifat inter-religius dan bahkan terbuka bagi diskursus lintas agama, selama masih dalam kerangka rasionalitas dan etika diskursus.

Dalam khazanah pemikiran Islam klasik, teologi filosofis tercermin dalam karya para falasifah (filsuf) yang berupaya mengharmonikan antara wahyu Islam dan filsafat Yunani, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd. Mereka beranggapan bahwa tidak ada kontradiksi esensial antara wahyu dan rasio, dan bahwa keduanya—jika difahami dengan benar—akan saling mendukung dalam mencapai kebenaran.⁵ Ibnu Sina, misalnya, menyatakan bahwa wahyu adalah ekspresi simbolik dari kebenaran filosofis yang tinggi, yang disampaikan kepada khalayak dalam bentuk yang dapat mereka terima.⁶

Sementara itu, sebagian ulama kalam seperti Al-Ghazali mengkritik pendekatan falasifah karena dianggap cenderung mereduksi nilai-nilai spiritual dan wahyu menjadi objek rasional semata. Meskipun demikian, Al-Ghazali sendiri menggunakan logika Aristotelian dalam karya-karyanya, sehingga memperlihatkan bahwa dalam praktiknya, batas antara kalam dan teologi filosofis tidaklah selalu tegas.⁷

Di kalangan pemikir kontemporer, teologi filosofis tidak hanya digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional, tetapi juga untuk menjawab berbagai pertanyaan mendasar tentang moralitas, kejahatan, kebebasan, dan relasi antara agama dan sains. Alvin Plantinga, misalnya, dalam kerangka filsafat analitik, membela keyakinan religius sebagai bentuk properly basic belief, yaitu keyakinan yang dapat dibenarkan secara epistemologis tanpa harus didasarkan pada pembuktian logis yang ketat.⁸

Dengan demikian, teologi filosofis adalah medan diskursus yang kompleks namun sangat penting untuk menjembatani dua sumber kebenaran utama dalam tradisi keilmuan keagamaan: wahyu dan rasio. Ia tidak hanya menguji rasionalitas iman, tetapi juga memperkaya pemahaman teologis melalui refleksi filosofis yang mendalam.


Footnotes

[1]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 15–16.

[2]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, trans. A.H.C. Downes (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 23.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–5.

[4]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology, rev. ed. (London: SCM Press, 1977), 6–7.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 150–178.

[6]                Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 77–82.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–9.

[8]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 200–210.


3.           Sejarah Perkembangan Teologi Filosofis

Sejarah teologi filosofis merupakan kisah panjang integrasi antara nalar dan iman dalam menafsirkan realitas ketuhanan. Baik dalam tradisi Barat maupun Islam, pendekatan ini berkembang dalam dinamika yang saling memengaruhi, mencerminkan kebutuhan mendalam manusia untuk memahami Tuhan melalui instrumen akal, sembari tetap berpegang pada otoritas wahyu. Teologi filosofis lahir bukan hanya dari spekulasi metafisika, tetapi juga dari dorongan spiritual dan kebutuhan sistematis untuk membela serta merasionalisasi ajaran agama di hadapan tantangan intelektual zamannya.

3.1.       Perkembangan Teologi Filosofis dalam Tradisi Barat

Akar teologi filosofis di dunia Barat dapat ditelusuri hingga filsafat Yunani Kuno. Plato, melalui Timaeus dan The Republic, telah berbicara mengenai keberadaan dunia ide dan prinsip-prinsip ilahi sebagai sumber keteraturan kosmos.¹ Aristoteles kemudian mengembangkan gagasan “Penggerak Tak Tergerakkan” (Unmoved Mover) sebagai penyebab pertama dari segala gerak dan perubahan di alam semesta, yang oleh pemikir-pemikir teologis Kristen kemudian dipadankan dengan konsep Tuhan.²

Ketika Kekristenan menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi, pertemuan antara doktrin iman Kristen dan warisan filsafat Yunani menimbulkan tantangan epistemologis dan teologis. Augustinus (354–430 M), seorang Bapa Gereja yang sangat dipengaruhi oleh Neoplatonisme, mencoba menggabungkan unsur-unsur filsafat Plato dengan ajaran Kristen, terutama dalam memahami penciptaan, keberadaan jiwa, dan keabadian.³ Ia percaya bahwa akal memiliki peran penting dalam menuntun manusia menuju iman, tetapi tetap mengutamakan iluminasi ilahi sebagai sumber kebenaran tertinggi.⁴

Perkembangan monumental terjadi pada Abad Pertengahan, terutama dalam karya Thomas Aquinas (1225–1274 M) yang mengintegrasikan filsafat Aristotelian ke dalam kerangka teologi Kristen. Dalam Summa Theologiae, Aquinas menyatakan bahwa wahyu dan akal berasal dari sumber yang sama—yaitu Tuhan—maka tidak mungkin keduanya bertentangan.⁵ Ia menyusun argumen rasional tentang keberadaan Tuhan melalui lima jalan pembuktian (quinque viae), yang masih menjadi bahan diskusi dalam apologetika kontemporer.⁶

Memasuki zaman modern, rasionalisme dan empirisme mengubah arah diskursus teologis. Descartes, misalnya, mencoba membuktikan eksistensi Tuhan melalui refleksi diri dan deduksi rasional, sedangkan Immanuel Kant justru membatasi kapasitas akal untuk menjangkau realitas metafisis dan memindahkan dimensi agama ke dalam ranah moralitas praktis.⁷ Kant berpendapat bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan secara teoretis, tetapi menjadi postulat yang diperlukan dalam tatanan etika.⁸

3.2.       Perkembangan Teologi Filosofis dalam Tradisi Islam

Dalam Islam, integrasi antara filsafat dan teologi mulai berkembang secara sistematis pada masa kekhalifahan Abbasiyah, terutama pasca gerakan penerjemahan besar-besaran atas karya-karya filsafat Yunani. Al-Kindi (w. 873 M), yang dijuluki “filsuf Arab pertama”, memulai upaya awal untuk membangun sistem teologi yang berbasis rasional, dengan mempertahankan prinsip tauhid sebagai fondasi utamanya.⁹

Al-Farabi (w. 950 M) kemudian memperluas cakupan teologi filosofis dengan menyusun sistem metafisika yang menyeluruh. Ia memahami Tuhan sebagai “Ada Pertama” (al-mawjud al-awwal) yang darinya seluruh wujud emanasi secara hierarkis.¹⁰ Konsepsi ini, meski dipengaruhi oleh Neoplatonisme, diadaptasi secara kreatif dalam kerangka tauhid Islam.¹¹ Ibnu Sina (980–1037 M) meneruskan pendekatan ini dengan mengembangkan konsep wajib al-wujud (keberadaan yang niscaya) sebagai definisi filosofis tentang Tuhan, membedakan secara tegas antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujud).¹²

Puncak kontroversi antara teologi filosofis dan kalam tercermin dalam perdebatan antara Al-Ghazali (1058–1111 M) dan Ibnu Rushd (1126–1198 M). Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf) mengkritik tajam falasifah karena dianggap menyalahi ajaran Islam dalam tiga hal pokok: kekekalan alam, pengetahuan Tuhan tentang partikular, dan kebangkitan jasmani.¹³ Namun, dalam al-Iqtishad fi al-I'tiqad, Al-Ghazali juga menggunakan logika formal dalam menyusun argumentasi teologisnya, sehingga menunjukkan keterkaitan erat antara kalam dan filsafat.¹⁴ Sebagai tanggapan, Ibnu Rushd menulis Tahafut al-Tahafut (Kekacauan atas Kekacauan), membela filsafat dan menyatakan bahwa kebenaran tidak bisa bertentangan dengan wahyu jika ditafsirkan secara benar.¹⁵


Teologi filosofis dalam Islam tidak hanya berhenti pada debat antartokoh, tetapi juga memengaruhi perkembangan pemikiran rasional dalam dunia Islam hingga era modern. Bahkan, beberapa pembaharu Islam kontemporer seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd kembali mengangkat pendekatan filosofis dalam menafsirkan wahyu dalam konteks modernitas dan rasionalitas.¹⁶

Dengan demikian, sejarah perkembangan teologi filosofis, baik dalam tradisi Barat maupun Islam, merupakan cerminan dari usaha umat manusia untuk menyeimbangkan iman dan akal dalam memahami realitas ilahi. Ia bukan sekadar cabang akademik, tetapi juga menjadi landasan penting dalam membentuk diskursus keagamaan yang rasional, inklusif, dan reflektif.


Footnotes

[1]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 28–34.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago: Encyclopaedia Britannica, 1952), 1072a–1072b.

[3]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.

[4]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine (New York: Random House, 1960), 67–72.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.1–2.

[6]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 92–101.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A591/B619–A602/B630.

[8]                Ibid., A806/B834.

[9]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 101–110.

[10]             Al-Farabi, al-Madina al-Fadilah, ed. Albert Najjar (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 64–70.

[11]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 68–72.

[12]             Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 232–247.

[13]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.

[14]             Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993), 45–67.

[15]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), I:1–15.

[16]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–22.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Teologi Filosofis

Teologi filosofis tidak dapat dilepaskan dari figur-figur besar yang telah membentuk dan membimbing arah pemikirannya selama berabad-abad. Para tokoh ini hadir dari berbagai latar tradisi—baik dalam Islam maupun Kristen—dan masing-masing berkontribusi dalam merumuskan cara pandang yang rasional terhadap doktrin keagamaan, sembari menjaga keotentikan unsur transendental dari wahyu. Tokoh-tokoh ini tidak hanya memainkan peran sebagai pembaharu intelektual, tetapi juga sebagai jembatan antara iman dan akal dalam sejarah pemikiran religius.

4.1.       Tokoh-Tokoh Islam

4.1.1.    Al-Farabi (872–950 M)

Al-Farabi dikenal sebagai salah satu peletak dasar teologi filosofis dalam tradisi Islam. Ia memandang bahwa filsafat dan agama memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran dan kebahagiaan tertinggi, hanya saja berbeda dalam metode penyampaian: filsafat menggunakan argumen rasional, sedangkan agama menggunakan simbol dan perumpamaan yang dapat diterima oleh masyarakat umum.¹ Dalam al-Madina al-Fadilah, ia menggambarkan Tuhan sebagai “Ada Pertama” (al-mawjud al-awwal) dan mengembangkan struktur metafisis tentang emanasi kosmik, di mana segala sesuatu mengalir dari Tuhan secara berjenjang.²

4.1.2.    Ibnu Sina (980–1037 M)

Ibnu Sina adalah figur sentral dalam pengembangan konsep ketuhanan secara filosofis di dunia Islam. Ia merumuskan Tuhan sebagai wajib al-wujud—keberadaan yang niscaya, yang tidak tergantung pada apa pun dan menjadi sumber segala eksistensi.³ Dalam al-Shifa’ dan al-Najat, Ibnu Sina mengembangkan distingsi antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujud), sebuah fondasi penting dalam metafisika teologis.⁴ Ia juga memandang bahwa wahyu adalah bentuk pengetahuan intuitif tertinggi yang diterima oleh Nabi melalui akal aktif, sehingga tidak bertentangan dengan kebenaran rasional.⁵

4.1.3.    Al-Ghazali (1058–1111 M)

Meskipun sering dikategorikan sebagai kritikus filsafat, Al-Ghazali justru memainkan peran penting dalam integrasi filsafat ke dalam teologi Islam. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia menyerang beberapa klaim metafisik para filsuf, namun dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Maqasid al-Falasifah, ia menggunakan logika dan metode filosofis untuk membangun sistem teologi Islam yang kuat.⁶ Al-Ghazali menyadari kekuatan akal, namun menekankan bahwa wahyu adalah pemandu tertinggi bagi rasio manusia.⁷

4.1.4.    Ibnu Rushd (1126–1198 M)

Ibnu Rushd merupakan pembela paling kuat terhadap filsafat dalam Islam. Dalam Tahafut al-Tahafut, ia membantah kritik Al-Ghazali dan menyatakan bahwa tidak mungkin terdapat kontradiksi antara filsafat dan wahyu, karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama.⁸ Ia juga menekankan bahwa syariat memiliki makna lahir dan batin, dan pemahaman batin hanya dapat dicapai melalui filsafat.⁹ Ibnu Rushd berpendapat bahwa para filsuf berkewajiban memahami dan menjelaskan syariat secara rasional agar dapat dimengerti oleh kalangan terpelajar.¹⁰

4.2.       Tokoh-Tokoh Kristen Barat

4.2.1.    Agustinus (354–430 M)

Agustinus dari Hippo adalah perintis besar dalam mengintegrasikan filsafat Plato dan Neoplatonisme ke dalam teologi Kristen. Ia berpendapat bahwa akal dapat membantu manusia memahami iman, tetapi iman adalah prasyarat bagi pengetahuan sejati (credo ut intelligam).¹¹ Dalam De Trinitate, Agustinus menggunakan analogi logis untuk menjelaskan doktrin Trinitas dan hubungan antara kehendak, ingatan, dan pemahaman dalam jiwa manusia sebagai bayangan dari Tuhan.¹²

4.2.2.    Thomas Aquinas (1225–1274 M)

Thomas Aquinas adalah tokoh monumental dalam teologi skolastik yang berupaya mensintesiskan iman Kristen dengan filsafat Aristotelian. Dalam Summa Theologiae, ia menyatakan bahwa ada dua jenis kebenaran: yang dapat dicapai oleh akal (seperti eksistensi Tuhan), dan yang hanya dapat diketahui melalui wahyu (seperti Tritunggal).¹³ Ia menyusun lima jalan (quinque viae) untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui pengamatan atas dunia empiris.¹⁴ Bagi Aquinas, wahyu tidak menghapus rasio, tetapi menyempurnakannya (gratia non tollit naturam, sed perficit eam).¹⁵

4.2.3.    Immanuel Kant (1724–1804 M)

Kant merupakan tokoh penting dalam masa modern yang mengubah paradigma teologi filosofis. Dalam Critique of Pure Reason, ia menyatakan bahwa eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan secara teoretis oleh akal murni, tetapi Tuhan adalah postulat moral yang niscaya bagi struktur etika manusia.¹⁶ Dengan demikian, agama bagi Kant berpijak pada akal praktis dan bukan pada metafisika spekulatif.¹⁷ Pandangan ini membuka arah baru bagi teologi filosofis modern, terutama dalam kaitannya dengan etika dan otonomi manusia.

4.2.4.    Paul Tillich (1886–1965)

Tillich menafsirkan Tuhan bukan sebagai entitas personal dalam ruang-waktu, melainkan sebagai the Ground of Being (das Sein selbst).¹⁸ Ia menolak dikotomi antara iman dan rasio, dan menekankan bahwa iman adalah bentuk keberanian eksistensial yang menggenggam makna tertinggi dalam hidup.¹⁹ Dalam Systematic Theology, ia menyusun kerangka teologi filosofis yang sangat dialogis dengan ilmu, budaya, dan eksistensialisme.²⁰


Tokoh-tokoh di atas memperlihatkan betapa kaya dan luasnya spektrum pemikiran dalam teologi filosofis. Masing-masing tokoh menghadirkan pendekatan dan penekanan yang berbeda, tetapi semuanya berkontribusi pada satu tujuan: membangun pemahaman teologis yang rasional, mendalam, dan transformatif.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, al-Madina al-Fadilah, ed. Albert Najjar (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 67.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 140–142.

[3]                Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 254.

[4]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 56–59.

[5]                Ibid., 60.

[6]                Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 45–66.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.

[8]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), I:1–22.

[9]                Ibid., II:278–280.

[10]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 176.

[11]             Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (New York: New City Press, 1991), IX.12.

[12]             Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine (New York: Random House, 1960), 92–100.

[13]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.1–2.

[14]             Ibid., I.q.2.a.3.

[15]             Craig, William Lane. Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 102.

[16]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A591/B619–A602/B630.

[17]             Ibid., A806/B834.

[18]             Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235.

[19]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 5–10.

[20]             Tillich, Systematic Theology, vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1957), 10–28.


5.           Metode dan Pendekatan dalam Teologi Filosofis

Teologi filosofis, sebagai bidang interdisipliner antara filsafat dan teologi, menggunakan berbagai pendekatan metodologis untuk menjelaskan dan membela kebenaran keagamaan secara rasional. Berbeda dengan teologi dogmatis yang berakar pada otoritas wahyu dan tradisi, teologi filosofis berpijak pada argumen logis dan analisis sistematis untuk membuktikan atau menjelaskan konsep-konsep keimanan.¹ Meski demikian, pendekatan ini tidak selalu menolak wahyu, tetapi justru berupaya menjembatani wahyu dengan rasio agar dapat dipahami secara universal dan masuk akal oleh akal manusia.

Secara umum, metode-metode yang digunakan dalam teologi filosofis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama: metode rasional-deduktif, pendekatan metafisika ontologis, argumentasi kosmologis dan teleologis, serta pendekatan epistemologis reflektif yang berkembang dalam konteks modern dan kontemporer.

5.1.       Metode Rasional-Deduktif

Metode ini bertumpu pada prinsip-prinsip logika formal dan deduksi rasional yang diturunkan dari premis-premis umum ke kesimpulan-kesimpulan partikular. Thomas Aquinas, misalnya, menggunakan pendekatan deduktif dalam menyusun Summa Theologiae, di mana setiap pertanyaan teologis dianalisis secara sistematis melalui struktur logika: quaestio, objectiones, respondeo, dan responsiones ad objectiones.² Aquinas percaya bahwa meskipun kebenaran wahyu berada di atas jangkauan rasio, namun sebagian besar kebenaran tentang Tuhan dapat diketahui melalui penalaran alami.³

5.2.       Pendekatan Metafisika Ontologis

Pendekatan ini mencoba membuktikan eksistensi Tuhan berdasarkan konsep keberadaan itu sendiri. Argumen ontologis pertama kali dirumuskan oleh Anselmus dari Canterbury, yang menyatakan bahwa Tuhan adalah “sesuatu yang lebih besar dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan”, dan karena itu, eksistensinya harus ada tidak hanya dalam pikiran tetapi juga dalam kenyataan.⁴ Dalam Islam, pendekatan metafisika ini dikembangkan oleh Ibnu Sina melalui konsep wajib al-wujud, yakni bahwa hanya Tuhan yang eksistensinya niscaya (niscaya secara internal) karena esensinya identik dengan keberadaan.⁵

Kritik terhadap pendekatan ini datang dari filsuf seperti Immanuel Kant, yang berpendapat bahwa eksistensi bukanlah predikat logis.⁶ Namun, argumen ontologis tetap memainkan peran penting dalam memperkenalkan konsep ketuhanan sebagai keberadaan yang tidak tergantung pada apa pun, dan menjadi dasar semua wujud lainnya.

5.3.       Argumentasi Kosmologis dan Teleologis

5.3.1.    Argumen Kosmologis

Argumen ini berangkat dari realitas kontingensi di dunia—yakni bahwa segala sesuatu bergantung pada sebab lain untuk wujudnya. Dari premis ini, dikembangkan bahwa harus ada suatu prima causa atau sebab pertama yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan.⁷ Pendekatan ini digunakan oleh Aquinas dalam quinque viae, terutama dalam bentuk argument from motion dan efficient cause.⁸ Dalam Islam, argumen ini dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Rushd, yang memandang bahwa eksistensi makhluk-makhluk menunjukkan adanya sumber wujud yang non-makhluk dan tak berubah.⁹

5.3.2.    Argumen Teleologis

Argumentasi teleologis (atau argumen dari desain) menyatakan bahwa keteraturan, tujuan, dan harmoni dalam alam semesta menunjukkan keberadaan suatu kecerdasan ilahi sebagai perancangnya.¹⁰ Dalam Islam, argumen ini sangat menonjol dalam pendekatan burhan al-‘inayah yang digunakan oleh para mutakallim dan filsuf untuk menunjukkan bahwa alam tidak mungkin tercipta tanpa tujuan.¹¹ Dalam era modern, argumen ini dihidupkan kembali melalui teori fine-tuning dalam fisika dan kosmologi kontemporer.¹²

5.4.       Pendekatan Epistemologis dan Analitik

Dalam perkembangan kontemporer, teologi filosofis banyak dipengaruhi oleh epistemologi modern dan filsafat analitik. Tokoh seperti Alvin Plantinga mengembangkan konsep reformed epistemology, yakni bahwa kepercayaan akan Tuhan adalah suatu properly basic belief—sebuah keyakinan mendasar yang rasional meskipun tidak didasarkan pada argumen logis atau bukti empiris.¹³ Pendekatan ini melampaui model pembuktian klasik dan membuka ruang bagi legitimasi iman dalam kerangka epistemologi kritis.

Sementara itu, Paul Tillich menawarkan pendekatan eksistensial dan simbolik, yang memandang teologi filosofis tidak hanya sebagai usaha rasional, tetapi juga sebagai pencarian makna terdalam dari eksistensi manusia.¹⁴ Ia menyatakan bahwa Tuhan bukanlah entitas di luar dunia, melainkan das Sein selbst—fondasi keberadaan itu sendiri.¹⁵ Pendekatan ini menekankan relevansi eksistensial dari konsep teologis dan mengintegrasikan pengalaman manusia dalam refleksi filosofis.


Dengan demikian, metode dalam teologi filosofis tidak bersifat tunggal, tetapi multidimensional. Ia dapat bersifat deduktif, metafisik, empiris, eksistensial, hingga analitik. Keberagaman pendekatan ini memungkinkan teologi filosofis untuk tetap dinamis dan relevan dalam menghadapi tantangan intelektual dari masa ke masa, sekaligus menjawab berbagai pertanyaan mendasar tentang Tuhan, manusia, dan realitas secara lebih luas.


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology, rev. ed. (London: SCM Press, 1977), 7.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.1–2.

[3]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 135–142.

[4]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M.J. Charlesworth (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), ch. 2.

[5]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 235–240.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A598/B626.

[7]                William Lane Craig, The Kalām Cosmological Argument (London: Macmillan, 1979), 63–72.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.

[9]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 153–167.

[10]             Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2004), 89–101.

[11]             Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 260–265.

[12]             John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (Minneapolis: Fortress Press, 1998), 56–58.

[13]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 173–186.

[14]             Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 234–237.

[15]             Ibid., 250.


6.           Perbandingan antara Teologi Kalam dan Teologi Filosofis

Teologi dalam tradisi Islam tidak monolitik, melainkan berkembang dalam berbagai pendekatan epistemologis. Dua pendekatan utama yang dominan dalam diskursus keislaman klasik adalah ilmu kalam dan teologi filosofis (al-lahut al-falsafi). Keduanya sama-sama berupaya menjelaskan doktrin-doktrin keimanan, seperti keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, kenabian, dan eskatologi, namun dengan metodologi, sumber, dan cakupan yang berbeda.¹ Untuk memahami kedudukan dan kontribusi masing-masing, penting dilakukan perbandingan antara kedua pendekatan ini dari aspek epistemologi, metodologi, doktrin, dan orientasi kultural.

6.1.       Asal-Usul dan Landasan Epistemologis

Ilmu kalam berkembang sebagai respon terhadap tantangan internal dan eksternal terhadap akidah Islam, terutama dari kelompok-kelompok seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan dari filsafat Yunani yang masuk melalui gerakan penerjemahan. Kalam bertujuan membela doktrin Islam dengan menegaskan supremasi wahyu dan rasionalitas terbimbing.² Sebagian besar mutakallimun menggunakan akal untuk menjelaskan akidah, tetapi tetap menundukkan akal pada autoritas nash (wahyu).

Sementara itu, teologi filosofis muncul dalam konteks interaksi yang lebih intensif dengan filsafat Yunani. Para falasifah seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd tidak hanya menggunakan akal sebagai alat bantu, tetapi juga sebagai dasar utama dalam memahami eksistensi Tuhan dan struktur realitas.³ Wahyu tetap diakui, namun sering kali ditafsirkan secara simbolik agar sejalan dengan kebenaran universal rasional.⁴

6.2.       Metodologi dan Pendekatan

Kalam umumnya menggunakan metode dialektika rasional (jadal) dan logika Aristotelian untuk mempertahankan doktrin-doktrin keimanan terhadap serangan dari luar.⁵ Misalnya, para mutakallim menggunakan konsep jawhar (substansi) dan arad (aksiden) untuk menjelaskan keterciptaan alam dan ketergantungannya kepada Tuhan.⁶

Sebaliknya, teologi filosofis lebih mengandalkan metode deduktif dan struktur metafisika sistematis. Ibnu Sina, misalnya, menyusun argumen dari prinsip ontologis dasar tentang esensi dan eksistensi untuk sampai pada konsep Tuhan sebagai wajib al-wujud.⁷ Ibnu Rushd bahkan menolak metode dialektika kalam dan menegaskan bahwa hanya filsafat mampu memberikan pemahaman sejati tentang hakikat ilahi.⁸

6.3.       Pandangan tentang Tuhan dan Atribut-Nya

Dalam ilmu kalam, terjadi perdebatan tajam tentang sifat-sifat Tuhan. Kelompok Mu’tazilah menolak sifat Tuhan sebagai entitas yang terpisah dari zat-Nya untuk menjaga tauhid murni, sedangkan Asy’ariyah menegaskan adanya sifat-sifat Tuhan seperti ilmu, qudrah, dan iradah tanpa menyamakan-Nya dengan makhluk.⁹

Teologi filosofis, sebaliknya, menekankan kesederhanaan Tuhan (simplicity) dalam pengertian bahwa Tuhan tidak memiliki komposisi apa pun.⁽¹⁰⁾ Oleh karena itu, sifat-sifat Tuhan dalam pandangan falasifah dipahami sebagai identik dengan zat Tuhan, bukan atribut terpisah.⁽¹¹⁾ Pandangan ini dipengaruhi oleh konsep actus purus dalam metafisika Aristotelian.⁽¹²⁾

6.4.       Pendekatan terhadap Wahyu dan Penafsiran

Kalam memandang wahyu sebagai sumber utama kebenaran, dan jika ada ketegangan antara akal dan wahyu, maka wahyu memiliki otoritas tertinggi.⁽¹³⁾ Sebaliknya, dalam teologi filosofis, wahyu sering dipahami secara simbolik atau alegoris (ta’wil), dan penafsirannya tunduk pada prinsip rasionalitas universal.⁽¹⁴⁾

Ibnu Sina berpendapat bahwa wahyu adalah bentuk puncak dari intuisi akal aktif yang hanya dapat dicapai oleh nabi, sedangkan para filsuf mencapainya melalui perenungan rasional.⁽¹⁵⁾ Pandangan ini membuka jalan bagi pemisahan epistemologis antara kebenaran filsafat dan kebenaran religius, meskipun pada akhirnya ditujukan untuk mencapai koherensi antara keduanya.

6.5.       Tujuan dan Orientasi

Ilmu kalam cenderung defensif dan apologetik, karena tujuannya adalah menjaga integritas akidah Islam dan membela umat dari pengaruh pemikiran luar. Teologi filosofis bersifat lebih kontemplatif dan sistematis, dengan orientasi menyeluruh terhadap realitas metafisika secara universal.⁽¹⁶⁾

Kalam berkembang di lingkungan yang sangat terikat dengan komunitas keimanan dan lembaga keulamaan, sedangkan teologi filosofis sering berkembang di lingkungan kosmopolitan yang terbuka terhadap filsafat Yunani, seperti dalam lingkungan istana atau akademia.⁽¹⁷⁾

6.6.       Kritik Timbal Balik

Tokoh-tokoh kalam seperti Al-Ghazali mengkritik falasifah karena dianggap terlalu mendewakan rasio dan mengorbankan unsur transendental wahyu. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia bahkan menuduh mereka kafir dalam tiga isu utama: kekekalan alam, ketidaktahuan Tuhan terhadap partikular, dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani.⁽¹⁸⁾

Sebaliknya, Ibnu Rushd dalam Tahafut al-Tahafut membela filsafat sebagai sarana memahami wahyu secara mendalam. Ia berpendapat bahwa kontradiksi hanya tampak terjadi jika teks wahyu ditafsirkan secara literal tanpa memperhatikan konteks rasionalnya.⁽¹⁹⁾


Kesimpulan Perbandingan

1)                  Sumber Utama Pengetahuan

Teologi Kalam: Berlandaskan pada wahyu (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama, kemudian diikuti oleh akal sebagai alat bantu untuk menalar dan mempertahankan doktrin keimanan.

Teologi Filosofis: Bertumpu pada akal sebagai sumber utama untuk memahami konsep-konsep teologis, sedangkan wahyu ditafsirkan secara rasional dan seringkali simbolik.

2)                  Metode yang Digunakan

Teologi Kalam: Menggunakan pendekatan dialektika (jadal) dan logika formal untuk mempertahankan akidah terhadap berbagai tantangan internal maupun eksternal.

Teologi Filosofis: Menggunakan metode deduktif dan pendekatan metafisika sistematis, dengan penalaran filosofis yang mengarah pada struktur universal realitas.

3)                  Tujuan Utama

Teologi Kalam: Bersifat apologetik dan defensif; bertujuan untuk menjaga kemurnian akidah dan melindungi keyakinan umat dari penyimpangan pemikiran.

Teologi Filosofis: Bersifat kontemplatif dan konstruktif; bertujuan untuk mencapai pemahaman rasional yang mendalam tentang Tuhan dan eksistensi.

4)                  Konsepsi tentang Tuhan

Teologi Kalam: Tuhan dipahami memiliki sifat-sifat yang terpisah dari zat-Nya, tetapi tetap disucikan dari keserupaan dengan makhluk (tanzih).

Teologi Filosofis: Tuhan dipahami sebagai wujud murni (simple being), di mana esensi dan eksistensi menyatu, serta seluruh sifat-Nya identik dengan zat-Nya.

5)                  Sikap terhadap Wahyu

Teologi Kalam: Menjunjung tinggi wahyu sebagai otoritas tertinggi. Jika terjadi ketegangan dengan akal, maka wahyu didahulukan.

Teologi Filosofis: Wahyu dihormati, tetapi sering ditafsirkan secara alegoris agar sesuai dengan prinsip-prinsip rasional universal.

Meskipun berbeda dalam banyak hal, ilmu kalam dan teologi filosofis sama-sama menunjukkan kekayaan khazanah intelektual Islam dan menawarkan dua pendekatan yang saling melengkapi dalam memahami Tuhan, wahyu, dan realitas semesta.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–5.

[2]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 87–102.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 120–134.

[4]                Al-Farabi, al-Madina al-Fadilah, ed. Albert Najjar (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 89.

[5]                Wolfson, The Philosophy of the Kalam, 150–155.

[6]                Ibid., 212–218.

[7]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 245–248.

[8]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), I:1–10.

[9]                W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Oxford: Oneworld, 1998), 258–265.

[10]             Etienne Gilson, God and Philosophy (New Haven: Yale University Press, 1941), 45.

[11]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 142–145.

[12]             Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.3.a.7.

[13]             Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 12.

[14]             Gutas, Avicenna, 233–234.

[15]             Ibn Sina, al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1952), 312–316.

[16]             Leaman, Introduction, 89–92.

[17]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 132.

[18]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.

[19]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, I:1–15.


7.           Kritik dan Kontroversi terhadap Teologi Filosofis

Meskipun teologi filosofis telah memberikan kontribusi signifikan dalam upaya menjembatani antara iman dan akal, pendekatan ini tidak lepas dari kritik dan kontroversi, baik dari kalangan teolog, filsuf, maupun pemikir modern dan kontemporer. Kritik terhadap teologi filosofis mencerminkan ketegangan epistemologis yang terus berlangsung antara otoritas wahyu dan kebebasan akal, serta antara pengalaman keagamaan dan rasionalitas spekulatif. Beberapa kritik bahkan mempertanyakan validitas teologi filosofis sebagai jalan autentik dalam mengenal Tuhan.

7.1.       Kritik dari Tradisi Teologis Revelasional

Kritik paling awal terhadap teologi filosofis datang dari dalam tradisi keagamaan itu sendiri. Dalam Islam, Al-Ghazali merupakan representasi utama kritik terhadap para falasifah. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menuduh para filsuf—khususnya Ibnu Sina dan Al-Farabi—telah menyimpang dari ajaran Islam dalam tiga hal mendasar: (1) keyakinan bahwa alam semesta kekal, (2) pandangan bahwa Tuhan tidak mengetahui partikularitas, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani.⁽¹⁾ Al-Ghazali menganggap bahwa filsafat cenderung mendewakan akal dan menundukkan wahyu pada tafsir rasional semata, sehingga mengaburkan aspek transendensi dalam agama.⁽²⁾

Di Barat, kritik yang setara datang dari teolog seperti Martin Luther dan kemudian Karl Barth. Barth secara khusus menolak apa yang ia sebut sebagai "natural theology", yakni upaya mengenal Tuhan hanya melalui akal dan alam tanpa wahyu. Dalam pandangannya, Allah hanya dapat dikenal karena Ia menyatakan diri-Nya secara bebas dalam Kristus dan Kitab Suci.⁽³⁾ Ia menyebut pendekatan rasional kepada Tuhan sebagai “Versuch, Gott zu sprechen, ohne dass Gott gesprochen hat” (usaha berbicara tentang Allah tanpa bahwa Allah telah berbicara).⁽⁴⁾

7.2.       Tuduhan Reduksionisme Rasional

Banyak kritik menyasar kecenderungan teologi filosofis yang dianggap mereduksi realitas spiritual menjadi skema logis dan metafisika spekulatif. Dalam hal ini, para pengkritik berargumen bahwa pengalaman religius yang bersifat eksistensial, afektif, dan personal tidak dapat diringkus dalam kategori-kategori rasional.⁽⁵⁾ Paul Tillich, meskipun seorang teolog filosofis sendiri, mengingatkan bahwa Tuhan bukan sekadar objek dari pernyataan rasional, tetapi das Sein selbst (the ground of being). Dengan demikian, jika Tuhan diperlakukan seperti entitas empiris yang bisa ditangkap oleh akal, maka kita telah menciptakan berhala konseptual.⁽⁶⁾

Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard bahkan menilai bahwa iman bukanlah hasil dari penalaran, melainkan sebuah “lompatan” (leap of faith) yang tak dapat dijelaskan secara rasional. Bagi Kierkegaard, mendasarkan iman pada argumen rasional justru melemahkan kualitas religius sejati dari iman itu sendiri.⁽⁷⁾

7.3.       Kritik dari Filsafat Positivistik dan Ilmiah

Dalam era modern, terutama sejak munculnya positivisme logis dan sains empiris, teologi filosofis juga menghadapi kritik epistemologis yang tajam. A.J. Ayer, tokoh utama dari lingkaran Vienna, menyatakan bahwa pernyataan metafisis dan teologis bersifat nonsense karena tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁽⁸⁾ Menurut kriteria verifikasi logis, setiap klaim yang tidak bisa dibuktikan secara empiris atau logis adalah tidak bermakna. Dalam kerangka ini, argumen tentang keberadaan Tuhan, sifat ilahi, dan kehidupan setelah mati dianggap tidak ilmiah dan tidak valid secara epistemologis.

Kritik ini diperkuat oleh para saintis seperti Richard Dawkins, yang menganggap argumen teologis sebagai bentuk kepercayaan buta yang tidak berdasar pada bukti rasional. Dalam The God Delusion, Dawkins bahkan menganggap argumen kosmologis dan teleologis sebagai bentuk God-of-the-gaps, yaitu Tuhan hanya digunakan untuk mengisi celah-celah yang belum dijelaskan oleh sains.⁽⁹⁾

7.4.       Kritik Postmodern terhadap Klaim Universalisme

Dalam konteks filsafat postmodern, teologi filosofis dikritik karena masih mempertahankan klaim-klaim universal dan struktural yang dianggap sebagai warisan dari modernisme dan metafisika Barat. Jean-François Lyotard menolak narasi besar (grand narratives) seperti teologi sistematik karena dianggap mengabaikan keragaman pengalaman, bahasa, dan konteks kultural.⁽¹⁰⁾

Demikian pula, John Caputo dan para pemikir teologi postmodern seperti Mark C. Taylor menekankan “teologi tanpa jaminan”—yaitu pendekatan teologis yang terbuka terhadap ketidaktentuan dan keraguan, serta menolak struktur logis yang kaku dalam memahami Tuhan.⁽¹¹⁾ Mereka menilai bahwa upaya merumuskan Tuhan secara sistematis dan rasional justru menutupi misteri ilahi yang seharusnya dihayati dalam pengalaman keberagamaan yang otentik.

7.5.       Kritik dari Dalam Tradisi Teologi Filosofis Sendiri

Uniknya, sebagian kritik datang dari dalam teologi filosofis itu sendiri. Immanuel Kant, meskipun mengembangkan postulat moral tentang Tuhan, menolak seluruh bentuk argumen metafisis tentang keberadaan Tuhan (baik ontologis, kosmologis, maupun teleologis) karena dianggap gagal melewati batas-batas akal murni.⁽¹²⁾ Kant menyatakan bahwa konsep Tuhan adalah idea regulatif dalam akal praktis, bukan objek pengetahuan spekulatif.⁽¹³⁾

Tokoh lain, Alvin Plantinga, meskipun membela rasionalitas iman, juga mengkritik pendekatan klasik yang terlalu menekankan pembuktian Tuhan. Ia menyatakan bahwa keyakinan religius dapat menjadi properly basic belief, yaitu keyakinan mendasar yang tidak perlu ditopang oleh argumen, tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis.⁽¹⁴⁾ Dengan demikian, Plantinga menggeser fokus dari pembuktian ke pembenaran (justification), sekaligus memberikan pembelaan terhadap iman yang tidak bergantung pada rasionalisme klasik.


Kesimpulan

Berbagai kritik terhadap teologi filosofis menunjukkan bahwa pendekatan ini berada di medan dialektis antara rasio dan wahyu, antara universalitas dan partikularitas, serta antara sistem dan pengalaman. Kritik-kritik tersebut bukan sekadar penolakan, melainkan juga koreksi yang memperkaya. Teologi filosofis yang menyadari keterbatasannya justru dapat membuka ruang yang lebih inklusif, dialogis, dan eksistensial dalam memahami Tuhan dan realitas keagamaan.


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 151–154.

[3]                Karl Barth, Church Dogmatics, vol. I/1, trans. G.W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 295.

[4]                Ibid., 296.

[5]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology, rev. ed. (London: SCM Press, 1977), 9–12.

[6]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235.

[7]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 54–55.

[8]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 115–116.

[9]                Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 77–93.

[10]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.

[11]             John D. Caputo, The Weakness of God: A Theology of the Event (Bloomington: Indiana University Press, 2006), 15–18.

[12]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A591/B619–A602/B630.

[13]             Ibid., A806/B834.

[14]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 169–186.


8.           Relevansi Teologi Filosofis dalam Konteks Kontemporer

Di tengah dinamika modernitas dan pluralitas abad ke-21, teologi filosofis kembali mendapatkan perhatian sebagai pendekatan yang mampu menjembatani berbagai ketegangan antara agama dan sains, iman dan rasio, partikularitas wahyu dan universalitas akal. Meskipun telah menghadapi berbagai kritik sebagaimana telah dibahas sebelumnya, teologi filosofis tetap relevan sebagai landasan dialog, pengembangan intelektual religius, serta upaya merumuskan ulang makna spiritualitas dalam masyarakat kontemporer.

8.1.       Teologi Filosofis sebagai Jembatan antara Agama dan Sains

Salah satu relevansi penting dari teologi filosofis adalah kemampuannya menjadi jembatan konseptual antara agama dan ilmu pengetahuan. Pendekatan ini memungkinkan elaborasi konsep-konsep teologis—seperti penciptaan, kehendak bebas, dan kebermaknaan alam semesta—dalam kerangka rasional yang dapat dikomunikasikan dengan paradigma ilmiah kontemporer.

Tokoh seperti Ian Barbour telah menekankan pentingnya dialog kreatif antara agama dan sains dengan empat model hubungan: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Dalam model dialog dan integrasi, teologi filosofis berperan sebagai medium untuk memahami bahwa keyakinan religius dan teori ilmiah tidak harus saling menafikan, tetapi dapat saling memperkaya.¹ Misalnya, argumen fine-tuning dalam fisika modern memberikan peluang bagi argumen teleologis dalam teologi filosofis untuk dipertimbangkan kembali dalam diskursus ilmiah.²

8.2.       Relevansi dalam Dialog Antaragama dan Filsafat Perbandingan

Teologi filosofis juga memiliki potensi besar dalam membangun dialog antaragama. Karena bersandar pada akal universal dan logika filosofis, pendekatan ini dapat menjadi titik temu antara sistem-sistem kepercayaan yang berbeda. Dalam ruang dialog pluralis, teologi filosofis membantu mengartikulasikan doktrin agama secara rasional dan komunikatif sehingga terbuka untuk pemahaman lintas iman.

John Hick, misalnya, menggunakan pendekatan teologi filosofis untuk merumuskan teologi pluralis yang menganggap bahwa berbagai agama besar merupakan respons yang berbeda terhadap Realitas Transenden yang sama.³ Walaupun gagasan Hick menuai kritik, pendekatan filsafat-teologisnya memberikan ruang diskusi yang lebih inklusif dan mendalam antara berbagai pemeluk agama.

8.3.       Jawaban terhadap Sekularisme dan Krisis Makna

Dalam masyarakat modern yang cenderung sekular dan instrumentalistik, teologi filosofis memainkan peran sebagai pengingat bahwa kehidupan manusia tidak semata-mata bersifat material, tetapi juga metafisik dan spiritual. Kehadiran teologi filosofis sebagai refleksi mendalam atas hakikat keberadaan, kebaikan, dan tujuan hidup dapat memberikan resistensi terhadap reduksionisme sains atau relativisme moral.

Charles Taylor dalam karyanya A Secular Age menyoroti bahwa meskipun dunia Barat mengalami sekularisasi, pencarian makna spiritual tetap berlangsung dalam bentuk-bentuk baru.⁴ Dalam konteks ini, teologi filosofis mampu merumuskan ulang spiritualitas secara rasional dan relevan bagi manusia modern yang mendambakan kebebasan, otonomi, sekaligus kedalaman eksistensial.

8.4.       Reformulasi Konsep Ketuhanan dan Teologi Kontekstual

Teologi filosofis berperan penting dalam reformulasi konsep ketuhanan yang kontekstual dengan tantangan zaman. Dalam dunia yang ditandai oleh krisis ekologi, ketimpangan sosial, dan perang identitas, pemikiran tentang Tuhan tidak lagi cukup jika hanya bersifat abstrak-metafisik. Ia perlu bersentuhan dengan realitas konkret kehidupan manusia.

Teolog kontemporer seperti Paul Tillich telah mengembangkan konsep God as the Ground of Being, yang menjauh dari gambaran antropomorfik tentang Tuhan menuju pemahaman yang lebih ontologis dan eksistensial.⁵ Pendekatan ini memungkinkan keberagamaan yang lebih terbuka, mendalam, dan tidak dogmatis dalam menghadapi problematika kehidupan modern.

8.5.       Relevansi dalam Pendidikan dan Pembentukan Etika Publik

Di bidang pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dan filsafat, teologi filosofis menjadi sarana yang efektif untuk melatih kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan sistematis dalam memahami ajaran agama. Hal ini penting dalam membentuk cara berpikir yang moderat, terbuka terhadap perbedaan, dan menjunjung tinggi kebijaksanaan dalam menyikapi isu-isu kontemporer.

Selain itu, dalam ranah etika publik, teologi filosofis memberikan kerangka normatif yang memungkinkan formulasi nilai-nilai keadilan, martabat manusia, dan solidaritas sosial dalam bahasa rasional yang dapat diterima lintas agama dan budaya.⁶ Dengan demikian, teologi filosofis berkontribusi dalam membangun masyarakat sipil yang bermoral dan plural.


Kesimpulan

Teologi filosofis tidak hanya bertahan sebagai warisan historis pemikiran religius, tetapi juga tampil sebagai pendekatan yang relevan untuk menghadapi tantangan intelektual, sosial, dan spiritual di era kontemporer. Dengan memadukan rasionalitas dan transendensi, teologi filosofis membuka ruang bagi agama untuk tetap hidup, kritis, dan dialogis dalam dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 77–104.

[2]                John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction (Minneapolis: Fortress Press, 1998), 56–60.

[3]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 240–243.

[4]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 3–23.

[5]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–240.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 173–180.


9.           Kesimpulan

Teologi filosofis merupakan warisan intelektual yang kaya dan multidimensional, lahir dari pergulatan rasional manusia dalam memahami realitas ketuhanan tanpa melepaskan fondasi spiritualitas wahyu. Sejak masa klasik, para pemikir seperti Plato, Aristoteles, Agustinus, Al-Farabi, Ibnu Sina, hingga Thomas Aquinas dan Ibnu Rushd telah membentuk bangunan epistemologis dan metafisika teologi yang bertujuan menyatukan dua poros utama dalam pengetahuan religius: akal dan iman.¹

Kajian historis menunjukkan bahwa baik dalam tradisi Islam maupun Kristen, teologi filosofis berperan sebagai jembatan antara sistem keyakinan yang partikular dengan nalar universal manusia.² Dalam Islam, perdebatan antara kalam dan filsafat menggambarkan dinamika yang produktif antara wahyu dan akal. Tokoh seperti Al-Ghazali dan Ibnu Rushd menunjukkan bahwa bahkan dalam perbedaan tajam, terdapat kesamaan tujuan: mencari kebenaran dan mempertahankan integritas iman.³

Dari sisi metodologi, teologi filosofis menghadirkan berbagai pendekatan yang kaya: mulai dari argumen ontologis, kosmologis, dan teleologis, hingga pendekatan epistemologis dan eksistensial dalam konteks kontemporer.⁴ Masing-masing pendekatan memberikan kontribusi unik terhadap pemahaman kita tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan realitas transenden.

Meski demikian, teologi filosofis tidak terlepas dari kritik. Di satu sisi, pendekatan ini dituduh terlalu merasionalkan iman dan mengabaikan aspek spiritualitas yang afektif dan personal. Di sisi lain, ia juga ditantang oleh paradigma ilmiah modern dan skeptisisme postmodern yang menolak klaim-klaim metafisis.⁵ Namun demikian, kritik tersebut justru mendorong teologi filosofis untuk merefleksikan ulang peran dan batasnya, sekaligus memperluas cakupan diskursusnya ke ranah dialog antaragama, filsafat publik, dan etika global.⁶

Dalam konteks dunia kontemporer yang ditandai oleh pluralisme, sekularisme, dan krisis makna, teologi filosofis tetap relevan sebagai pendekatan yang mampu memberikan dasar reflektif dan transformatif terhadap pemahaman keagamaan. Ia mengajak umat beragama untuk tidak hanya percaya, tetapi juga memahami, merenung, dan berdialog. Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Tillich, “faith as ultimate concern demands the courage to think.”⁷

Oleh karena itu, teologi filosofis bukan sekadar cabang akademik dari filsafat agama, tetapi juga merupakan upaya eksistensial dan spiritual untuk menjembatani wahyu dengan rasio, doktrin dengan refleksi, serta iman dengan tanggung jawab intelektual.⁸ Dalam dunia yang semakin kompleks, pendekatan ini menawarkan arah menuju kebijaksanaan religius yang tidak dogmatis, tetapi juga tidak relativis—yakni suatu integrasi yang dinamis antara wahyu dan akal.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 101–198.

[2]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, trans. A.H.C. Downes (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 54–68.

[3]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10; Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), I:1–15.

[4]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 93–125.

[5]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 115–116; Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii.

[6]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 252–260.

[7]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 158.

[8]                John Macquarrie, Principles of Christian Theology, rev. ed. (London: SCM Press, 1977), 11–13.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros. (Original work published 1265–1274)

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications.

Barbour, I. G. (1997). Religion and science: Historical and contemporary issues. HarperSanFrancisco.

Barth, K. (1936). Church dogmatics (Vol. I/1, G. W. Bromiley, Trans.). T&T Clark.

Caputo, J. D. (2006). The weakness of God: A theology of the event. Indiana University Press.

Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.

Dawkins, R. (2006). The God delusion. Houghton Mifflin.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Farabi, A. (1968). al-Madina al-fadilah (A. Najjar, Ed.). Dar al-Mashriq.

Ghazali, A. (1993). al-Iqtishad fi al-I'tiqad. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ghazali, A. (2000). The incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

Gilson, E. (1941). God and philosophy. Yale University Press.

Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Brill.

Hick, J. (1989). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent. Yale University Press.

Ibn Rushd. (1954). The incoherence of the incoherence (Tahafut al-Tahafut) (S. van den Bergh, Trans.). Luzac.

Ibn Sina. (1952). al-Shifa’ (I. Madkour, Ed.). al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Macquarrie, J. (1977). Principles of Christian theology (Rev. ed.). SCM Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. Oxford University Press.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Polkinghorne, J. (1998). Science and theology: An introduction. Fortress Press.

Swindburne, R. (2004). The existence of God (2nd ed.). Oxford University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap Press of Harvard University Press.

Tillich, P. (1951). Systematic theology (Vol. 1). University of Chicago Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Tillich, P. (1957). Systematic theology (Vol. 2). University of Chicago Press.

Watt, W. M. (1998). The formative period of Islamic thought. Oneworld Publications.

Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the kalam. Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar