Teologi Filosofis
Studi Komprehensif atas Integrasi Rasio dan Wahyu dalam
Tradisi Keilmuan
Alihkan ke: Metafisika.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara
komprehensif pendekatan teologi filosofis sebagai bentuk integrasi antara rasio
dan wahyu dalam memahami doktrin-doktrin keagamaan. Teologi filosofis dipahami
sebagai upaya rasional untuk menjelaskan keberadaan Tuhan, sifat-sifat-Nya,
serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia melalui perangkat filsafat
sistematis. Kajian ini menelusuri pengertian, sejarah perkembangan, tokoh-tokoh
sentral, metode pendekatan, serta perbandingan antara teologi filosofis dan
ilmu kalam dalam tradisi Islam dan Kristen. Selain itu, dibahas pula berbagai
kritik dan kontroversi yang diarahkan terhadap teologi filosofis, baik dari
kalangan revelasional, positivis, eksistensialis, maupun postmodern. Di tengah tantangan
kontemporer seperti sekularisme, pluralisme agama, dan krisis makna spiritual,
artikel ini menunjukkan bahwa teologi filosofis tetap relevan sebagai landasan
reflektif dalam dialog antara agama dan sains, formulasi etika publik, serta
pengembangan spiritualitas rasional. Artikel ini menyimpulkan bahwa teologi
filosofis merupakan medan diskursus yang dinamis dan transformatif, yang tidak
hanya mempertahankan iman secara intelektual, tetapi juga memperluas pemahaman
religius secara filosofis dan eksistensial.
Kata Kunci: Teologi Filosofis, Rasio dan Wahyu, Filsafat Islam,
Ilmu Kalam, Metafisika Ketuhanan, Kritik Teologi, Relevansi Kontemporer.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif Pendekatan Teologi Filosofis
1.
Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah
intelektual umat manusia, pencarian terhadap hakikat Tuhan, kebenaran
eksistensi, dan makna keberadaan telah menjadi tema sentral yang terus menerus
dipertanyakan oleh manusia dari berbagai latar belakang budaya dan agama.
Pencarian ini melahirkan dua poros epistemologis utama dalam kajian keagamaan:
wahyu dan rasio. Di satu sisi, wahyu dipandang sebagai otoritas transendental
yang menjadi dasar kebenaran mutlak, sedangkan di sisi lain, rasio atau akal
budi manusia tampil sebagai instrumen kritis untuk menafsirkan dan memahami realitas
tersebut. Dalam konteks inilah muncul suatu pendekatan teologis yang dikenal
sebagai teologi filosofis (philosophical
theology), yaitu usaha sistematis untuk memahami doktrin-doktrin teologis
melalui perangkat rasional dan filosofis.
Teologi filosofis bukanlah
fenomena baru, melainkan telah hadir sejak masa awal filsafat Yunani. Para
filsuf seperti Plato dan Aristoteles telah mengembangkan pemikiran metafisika
tentang theos (Tuhan) yang kemudian menjadi pondasi bagi teologi
skolastik di Barat maupun pemikiran falasifah dalam Islam. Aristoteles,
misalnya, menyatakan bahwa segala gerak dalam alam ini membutuhkan sebab
pertama yang tidak digerakkan, yang ia sebut sebagai "penggerak yang
tak tergerakkan" (unmoved mover)—sebuah konsep metafisis yang
kemudian diasosiasikan dengan Tuhan oleh para pemikir teologis selanjutnya.¹
Dalam tradisi Islam,
integrasi antara filsafat dan teologi mengalami perkembangan signifikan melalui
tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd, yang
masing-masing berupaya menyelaraskan wahyu Islam dengan prinsip-prinsip
filsafat Yunani.² Di pihak lain, tokoh seperti Al-Ghazali mengkritik pendekatan
ini karena dianggap mengabaikan otoritas wahyu, meskipun ia sendiri menggunakan
perangkat logika dalam teologinya.³ Di dunia Kristen, proses yang hampir serupa
terjadi melalui kontribusi Agustinus dan kemudian mencapai puncaknya dalam
karya Thomas Aquinas yang mencoba merumuskan sintesis harmonis antara iman dan
akal.⁴
Namun, di era modern dan
kontemporer, muncul berbagai tantangan terhadap teologi filosofis, baik dari
kalangan positivis yang menolak validitas metafisika, maupun dari
pemikir-pemikir postmodern yang mengkritik klaim universalitas rasionalitas
Barat. Meski demikian, pendekatan teologi filosofis tetap bertahan sebagai
salah satu cabang penting dalam studi agama dan filsafat, terutama dalam
menjembatani dialog antara agama dan sains, serta antara iman dan nalar dalam
masyarakat plural dan rasional saat ini.⁵
Artikel ini bertujuan untuk
memberikan kajian menyeluruh terhadap teologi filosofis dengan menelusuri akar
sejarahnya, tokoh-tokoh utama, metode dan pendekatan yang digunakan, serta
signifikansi dan relevansinya dalam konteks kontemporer. Melalui kajian ini,
diharapkan pembaca dapat memahami bagaimana akal dan wahyu dapat bekerja secara
sinergis dalam menggali kebenaran teologis yang mendalam.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago:
Encyclopaedia Britannica, 1952), 1072a–1072b.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 128–160.
[3]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah [The Incoherence of the
Philosophers], trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young
University Press, 2000), 5–7.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.2.a.3.
[5]
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary
Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 110–133.
2.
Pengertian
Teologi Filosofis
Teologi filosofis
(philosophical theology) merupakan cabang kajian teologi yang berusaha memahami
kebenaran-kebenaran keimanan dengan menggunakan metode dan pendekatan filsafat.
Pada dasarnya, teologi filosofis bertujuan untuk menjelaskan doktrin-doktrin
keagamaan—seperti keberadaan Tuhan, sifat-sifat-Nya, penciptaan, kehendak
bebas, dan tujuan akhir manusia—dengan argumen rasional dan analisis logis yang
dapat diterima oleh akal budi manusia, terlepas dari penerimaan iman sebagai
dasar.¹
Secara etimologis, istilah “teologi”
berasal dari bahasa Yunani theos (Tuhan) dan logos (kata,
pembicaraan, atau rasio), yang secara harfiah berarti “wacana tentang Tuhan.”²
Dalam perkembangan filsafat dan studi keagamaan, muncul berbagai bentuk
teologi: teologi dogmatik yang berakar pada wahyu dan doktrin
resmi agama; teologi natural yang mencoba memahami Tuhan
berdasarkan alam dan akal tanpa merujuk pada wahyu; serta teologi
filosofis, yang meskipun membuka ruang bagi wahyu, menempatkan rasio
sebagai alat utama untuk menjelaskan dan membela keimanan.³
Menurut John Macquarrie,
teologi filosofis berbeda dari teologi sistematik atau eksperimental karena
pendekatannya tidak bertumpu pada pengalaman iman atau otoritas gereja,
melainkan pada “argumentasi rasional tentang realitas ilahi yang diasumsikan
atau dibuktikan melalui refleksi filsafati.”⁴ Hal ini berarti bahwa teologi
filosofis juga dapat bersifat inter-religius dan bahkan terbuka bagi diskursus
lintas agama, selama masih dalam kerangka rasionalitas dan etika diskursus.
Dalam khazanah pemikiran
Islam klasik, teologi filosofis tercermin dalam karya para falasifah
(filsuf) yang berupaya mengharmonikan antara wahyu Islam dan filsafat Yunani,
seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd. Mereka beranggapan bahwa tidak
ada kontradiksi esensial antara wahyu dan rasio, dan bahwa keduanya—jika
difahami dengan benar—akan saling mendukung dalam mencapai kebenaran.⁵ Ibnu
Sina, misalnya, menyatakan bahwa wahyu adalah ekspresi simbolik dari kebenaran
filosofis yang tinggi, yang disampaikan kepada khalayak dalam bentuk yang dapat
mereka terima.⁶
Sementara itu, sebagian ulama
kalam seperti Al-Ghazali mengkritik pendekatan falasifah karena dianggap
cenderung mereduksi nilai-nilai spiritual dan wahyu menjadi objek rasional
semata. Meskipun demikian, Al-Ghazali sendiri menggunakan logika Aristotelian
dalam karya-karyanya, sehingga memperlihatkan bahwa dalam praktiknya, batas
antara kalam dan teologi filosofis tidaklah selalu tegas.⁷
Di kalangan pemikir
kontemporer, teologi filosofis tidak hanya digunakan untuk membuktikan
eksistensi Tuhan secara rasional, tetapi juga untuk menjawab berbagai
pertanyaan mendasar tentang moralitas, kejahatan, kebebasan, dan relasi antara
agama dan sains. Alvin Plantinga, misalnya, dalam kerangka filsafat analitik,
membela keyakinan religius sebagai bentuk properly basic belief, yaitu
keyakinan yang dapat dibenarkan secara epistemologis tanpa harus didasarkan
pada pembuktian logis yang ketat.⁸
Dengan demikian, teologi
filosofis adalah medan diskursus yang kompleks namun sangat penting untuk
menjembatani dua sumber kebenaran utama dalam tradisi keilmuan keagamaan: wahyu
dan rasio. Ia tidak hanya menguji rasionalitas iman, tetapi juga memperkaya
pemahaman teologis melalui refleksi filosofis yang mendalam.
Footnotes
[1]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and
Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 15–16.
[2]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, trans.
A.H.C. Downes (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 23.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–5.
[4]
John Macquarrie, Principles of Christian Theology, rev. ed.
(London: SCM Press, 1977), 6–7.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 150–178.
[6]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition:
Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works (Leiden: Brill,
2001), 77–82.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–9.
[8]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 200–210.
3.
Sejarah
Perkembangan Teologi Filosofis
Sejarah teologi filosofis
merupakan kisah panjang integrasi antara nalar dan iman dalam menafsirkan
realitas ketuhanan. Baik dalam tradisi Barat maupun Islam, pendekatan ini
berkembang dalam dinamika yang saling memengaruhi, mencerminkan kebutuhan
mendalam manusia untuk memahami Tuhan melalui instrumen akal, sembari tetap
berpegang pada otoritas wahyu. Teologi filosofis lahir bukan hanya dari
spekulasi metafisika, tetapi juga dari dorongan spiritual dan kebutuhan
sistematis untuk membela serta merasionalisasi ajaran agama di hadapan
tantangan intelektual zamannya.
3.1.
Perkembangan Teologi
Filosofis dalam Tradisi Barat
Akar teologi filosofis di
dunia Barat dapat ditelusuri hingga filsafat Yunani Kuno. Plato, melalui Timaeus
dan The Republic, telah berbicara mengenai keberadaan dunia ide dan
prinsip-prinsip ilahi sebagai sumber keteraturan kosmos.¹ Aristoteles kemudian
mengembangkan gagasan “Penggerak Tak Tergerakkan” (Unmoved Mover)
sebagai penyebab pertama dari segala gerak dan perubahan di alam semesta, yang
oleh pemikir-pemikir teologis Kristen kemudian dipadankan dengan konsep Tuhan.²
Ketika Kekristenan menjadi
agama resmi Kekaisaran Romawi, pertemuan antara doktrin iman Kristen dan
warisan filsafat Yunani menimbulkan tantangan epistemologis dan teologis.
Augustinus (354–430 M), seorang Bapa Gereja yang sangat dipengaruhi oleh
Neoplatonisme, mencoba menggabungkan unsur-unsur filsafat Plato dengan ajaran
Kristen, terutama dalam memahami penciptaan, keberadaan jiwa, dan keabadian.³
Ia percaya bahwa akal memiliki peran penting dalam menuntun manusia menuju
iman, tetapi tetap mengutamakan iluminasi ilahi sebagai sumber kebenaran
tertinggi.⁴
Perkembangan monumental terjadi
pada Abad Pertengahan, terutama dalam karya Thomas Aquinas (1225–1274 M) yang
mengintegrasikan filsafat Aristotelian ke dalam kerangka teologi Kristen. Dalam
Summa Theologiae, Aquinas menyatakan bahwa wahyu dan akal berasal dari
sumber yang sama—yaitu Tuhan—maka tidak mungkin keduanya bertentangan.⁵ Ia
menyusun argumen rasional tentang keberadaan Tuhan melalui lima jalan
pembuktian (quinque viae), yang masih menjadi bahan diskusi dalam
apologetika kontemporer.⁶
Memasuki zaman modern,
rasionalisme dan empirisme mengubah arah diskursus teologis. Descartes,
misalnya, mencoba membuktikan eksistensi Tuhan melalui refleksi diri dan
deduksi rasional, sedangkan Immanuel Kant justru membatasi kapasitas akal untuk
menjangkau realitas metafisis dan memindahkan dimensi agama ke dalam ranah
moralitas praktis.⁷ Kant berpendapat bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat
dibuktikan secara teoretis, tetapi menjadi postulat yang diperlukan dalam tatanan
etika.⁸
3.2.
Perkembangan Teologi
Filosofis dalam Tradisi Islam
Dalam Islam, integrasi antara
filsafat dan teologi mulai berkembang secara sistematis pada masa kekhalifahan
Abbasiyah, terutama pasca gerakan penerjemahan besar-besaran atas karya-karya
filsafat Yunani. Al-Kindi (w. 873 M), yang dijuluki “filsuf Arab pertama”,
memulai upaya awal untuk membangun sistem teologi yang berbasis rasional,
dengan mempertahankan prinsip tauhid sebagai fondasi utamanya.⁹
Al-Farabi (w. 950 M) kemudian
memperluas cakupan teologi filosofis dengan menyusun sistem metafisika yang
menyeluruh. Ia memahami Tuhan sebagai “Ada Pertama” (al-mawjud al-awwal)
yang darinya seluruh wujud emanasi secara hierarkis.¹⁰ Konsepsi ini, meski
dipengaruhi oleh Neoplatonisme, diadaptasi secara kreatif dalam kerangka tauhid
Islam.¹¹ Ibnu Sina (980–1037 M) meneruskan pendekatan ini dengan mengembangkan
konsep wajib al-wujud (keberadaan yang niscaya) sebagai
definisi filosofis tentang Tuhan, membedakan secara tegas antara esensi
(mahiyyah) dan eksistensi (wujud).¹²
Puncak kontroversi antara
teologi filosofis dan kalam tercermin dalam perdebatan antara Al-Ghazali
(1058–1111 M) dan Ibnu Rushd (1126–1198 M). Al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf) mengkritik tajam falasifah karena
dianggap menyalahi ajaran Islam dalam tiga hal pokok: kekekalan alam,
pengetahuan Tuhan tentang partikular, dan kebangkitan jasmani.¹³ Namun, dalam al-Iqtishad
fi al-I'tiqad, Al-Ghazali juga menggunakan logika formal dalam menyusun
argumentasi teologisnya, sehingga menunjukkan keterkaitan erat antara kalam dan
filsafat.¹⁴ Sebagai tanggapan, Ibnu Rushd menulis Tahafut al-Tahafut
(Kekacauan atas Kekacauan), membela filsafat dan menyatakan bahwa kebenaran
tidak bisa bertentangan dengan wahyu jika ditafsirkan secara benar.¹⁵
Teologi filosofis dalam Islam
tidak hanya berhenti pada debat antartokoh, tetapi juga memengaruhi
perkembangan pemikiran rasional dalam dunia Islam hingga era modern. Bahkan,
beberapa pembaharu Islam kontemporer seperti Muhammad Abduh, Fazlur
Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd kembali mengangkat
pendekatan filosofis dalam menafsirkan wahyu dalam konteks modernitas dan
rasionalitas.¹⁶
Dengan demikian, sejarah
perkembangan teologi filosofis, baik dalam tradisi Barat maupun Islam,
merupakan cerminan dari usaha umat manusia untuk menyeimbangkan iman dan akal
dalam memahami realitas ilahi. Ia bukan sekadar cabang akademik, tetapi juga
menjadi landasan penting dalam membentuk diskursus keagamaan yang rasional,
inklusif, dan reflektif.
Footnotes
[1]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 28–34.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Chicago: Encyclopaedia
Britannica, 1952), 1072a–1072b.
[3]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), VII.10.
[4]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine
(New York: Random House, 1960), 67–72.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.1–2.
[6]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and
Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 92–101.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A591/B619–A602/B630.
[8]
Ibid., A806/B834.
[9]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 101–110.
[10]
Al-Farabi, al-Madina al-Fadilah, ed. Albert Najjar (Beirut:
Dar al-Mashriq, 1968), 64–70.
[11]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 68–72.
[12]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 232–247.
[13]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.
[14]
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Beirut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, 1993), 45–67.
[15]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh
(London: Luzac, 1954), I:1–15.
[16]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–22.
4.
Tokoh-Tokoh
Sentral dalam Teologi Filosofis
Teologi filosofis tidak dapat
dilepaskan dari figur-figur besar yang telah membentuk dan membimbing arah
pemikirannya selama berabad-abad. Para tokoh ini hadir dari berbagai latar
tradisi—baik dalam Islam maupun Kristen—dan masing-masing berkontribusi dalam
merumuskan cara pandang yang rasional terhadap doktrin keagamaan, sembari
menjaga keotentikan unsur transendental dari wahyu. Tokoh-tokoh ini tidak hanya
memainkan peran sebagai pembaharu intelektual, tetapi juga sebagai jembatan
antara iman dan akal dalam sejarah pemikiran religius.
4.1.
Tokoh-Tokoh Islam
4.1.1. Al-Farabi (872–950 M)
Al-Farabi dikenal sebagai
salah satu peletak dasar teologi filosofis dalam tradisi Islam. Ia memandang
bahwa filsafat dan agama memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran
dan kebahagiaan tertinggi, hanya saja berbeda dalam metode penyampaian:
filsafat menggunakan argumen rasional, sedangkan agama menggunakan simbol dan
perumpamaan yang dapat diterima oleh masyarakat umum.¹ Dalam al-Madina
al-Fadilah, ia menggambarkan Tuhan sebagai “Ada Pertama” (al-mawjud
al-awwal) dan mengembangkan struktur metafisis tentang emanasi kosmik, di mana
segala sesuatu mengalir dari Tuhan secara berjenjang.²
4.1.2.
Ibnu Sina (980–1037 M)
Ibnu Sina adalah figur
sentral dalam pengembangan konsep ketuhanan secara filosofis di dunia Islam. Ia
merumuskan Tuhan sebagai wajib al-wujud—keberadaan yang
niscaya, yang tidak tergantung pada apa pun dan menjadi sumber segala
eksistensi.³ Dalam al-Shifa’ dan al-Najat, Ibnu Sina
mengembangkan distingsi antara esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujud), sebuah
fondasi penting dalam metafisika teologis.⁴ Ia juga memandang bahwa wahyu
adalah bentuk pengetahuan intuitif tertinggi yang diterima oleh Nabi melalui
akal aktif, sehingga tidak bertentangan dengan kebenaran rasional.⁵
4.1.3.
Al-Ghazali (1058–1111 M)
Meskipun sering dikategorikan
sebagai kritikus filsafat, Al-Ghazali justru memainkan peran penting dalam
integrasi filsafat ke dalam teologi Islam. Dalam Tahafut al-Falasifah,
ia menyerang beberapa klaim metafisik para filsuf, namun dalam al-Iqtishad
fi al-I’tiqad dan Maqasid al-Falasifah, ia menggunakan logika dan
metode filosofis untuk membangun sistem teologi Islam yang kuat.⁶ Al-Ghazali
menyadari kekuatan akal, namun menekankan bahwa wahyu adalah pemandu tertinggi
bagi rasio manusia.⁷
4.1.4.
Ibnu Rushd (1126–1198 M)
Ibnu Rushd merupakan pembela
paling kuat terhadap filsafat dalam Islam. Dalam Tahafut al-Tahafut,
ia membantah kritik Al-Ghazali dan menyatakan bahwa tidak mungkin terdapat
kontradiksi antara filsafat dan wahyu, karena keduanya berasal dari Tuhan yang
sama.⁸ Ia juga menekankan bahwa syariat memiliki makna lahir dan batin, dan
pemahaman batin hanya dapat dicapai melalui filsafat.⁹ Ibnu Rushd berpendapat
bahwa para filsuf berkewajiban memahami dan menjelaskan syariat secara rasional
agar dapat dimengerti oleh kalangan terpelajar.¹⁰
4.2.
Tokoh-Tokoh Kristen
Barat
4.2.1.
Agustinus (354–430 M)
Agustinus dari Hippo adalah
perintis besar dalam mengintegrasikan filsafat Plato dan Neoplatonisme ke dalam
teologi Kristen. Ia berpendapat bahwa akal dapat membantu manusia memahami
iman, tetapi iman adalah prasyarat bagi pengetahuan sejati (credo ut
intelligam).¹¹ Dalam De Trinitate, Agustinus menggunakan analogi
logis untuk menjelaskan doktrin Trinitas dan hubungan antara kehendak, ingatan,
dan pemahaman dalam jiwa manusia sebagai bayangan dari Tuhan.¹²
4.2.2.
Thomas Aquinas (1225–1274 M)
Thomas Aquinas adalah tokoh
monumental dalam teologi skolastik yang berupaya mensintesiskan iman Kristen
dengan filsafat Aristotelian. Dalam Summa Theologiae, ia menyatakan
bahwa ada dua jenis kebenaran: yang dapat dicapai oleh akal (seperti eksistensi
Tuhan), dan yang hanya dapat diketahui melalui wahyu (seperti Tritunggal).¹³ Ia
menyusun lima jalan (quinque viae) untuk membuktikan keberadaan Tuhan
melalui pengamatan atas dunia empiris.¹⁴ Bagi Aquinas, wahyu tidak menghapus
rasio, tetapi menyempurnakannya (gratia non tollit naturam, sed perficit
eam).¹⁵
4.2.3.
Immanuel Kant (1724–1804 M)
Kant merupakan tokoh penting
dalam masa modern yang mengubah paradigma teologi filosofis. Dalam Critique
of Pure Reason, ia menyatakan bahwa eksistensi Tuhan tidak dapat
dibuktikan secara teoretis oleh akal murni, tetapi Tuhan adalah postulat moral
yang niscaya bagi struktur etika manusia.¹⁶ Dengan demikian, agama bagi Kant
berpijak pada akal praktis dan bukan pada metafisika spekulatif.¹⁷ Pandangan
ini membuka arah baru bagi teologi filosofis modern, terutama dalam kaitannya
dengan etika dan otonomi manusia.
4.2.4.
Paul Tillich (1886–1965)
Tillich menafsirkan Tuhan
bukan sebagai entitas personal dalam ruang-waktu, melainkan sebagai the
Ground of Being (das Sein selbst).¹⁸ Ia menolak dikotomi antara iman dan
rasio, dan menekankan bahwa iman adalah bentuk keberanian eksistensial yang
menggenggam makna tertinggi dalam hidup.¹⁹ Dalam Systematic Theology,
ia menyusun kerangka teologi filosofis yang sangat dialogis dengan ilmu,
budaya, dan eksistensialisme.²⁰
Tokoh-tokoh di atas
memperlihatkan betapa kaya dan luasnya spektrum pemikiran dalam teologi
filosofis. Masing-masing tokoh menghadirkan pendekatan dan penekanan yang
berbeda, tetapi semuanya berkontribusi pada satu tujuan: membangun pemahaman
teologis yang rasional, mendalam, dan transformatif.
Footnotes
[1]
Al-Farabi, al-Madina al-Fadilah, ed. Albert Najjar (Beirut:
Dar al-Mashriq, 1968), 67.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 140–142.
[3]
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 254.
[4]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 56–59.
[5]
Ibid., 60.
[6]
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 45–66.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.
[8]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh
(London: Luzac, 1954), I:1–22.
[9]
Ibid., II:278–280.
[10]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 176.
[11]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (New York: New
City Press, 1991), IX.12.
[12]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine
(New York: Random House, 1960), 92–100.
[13]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.1–2.
[14]
Ibid., I.q.2.a.3.
[15]
Craig, William Lane. Reasonable Faith: Christian Truth and
Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 102.
[16]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A591/B619–A602/B630.
[17]
Ibid., A806/B834.
[18]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University
of Chicago Press, 1951), 235.
[19]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 5–10.
[20]
Tillich, Systematic Theology, vol. 2 (Chicago: University of
Chicago Press, 1957), 10–28.
5.
Metode
dan Pendekatan dalam Teologi Filosofis
Teologi filosofis, sebagai
bidang interdisipliner antara filsafat dan teologi, menggunakan berbagai
pendekatan metodologis untuk menjelaskan dan membela kebenaran keagamaan secara
rasional. Berbeda dengan teologi dogmatis yang berakar pada otoritas wahyu dan
tradisi, teologi filosofis berpijak pada argumen logis dan analisis sistematis
untuk membuktikan atau menjelaskan konsep-konsep keimanan.¹ Meski demikian,
pendekatan ini tidak selalu menolak wahyu, tetapi justru berupaya menjembatani
wahyu dengan rasio agar dapat dipahami secara universal dan masuk akal oleh
akal manusia.
Secara umum, metode-metode
yang digunakan dalam teologi filosofis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
kategori utama: metode rasional-deduktif, pendekatan metafisika ontologis,
argumentasi kosmologis dan teleologis, serta pendekatan epistemologis reflektif
yang berkembang dalam konteks modern dan kontemporer.
5.1.
Metode
Rasional-Deduktif
Metode ini bertumpu pada
prinsip-prinsip logika formal dan deduksi rasional yang diturunkan dari
premis-premis umum ke kesimpulan-kesimpulan partikular. Thomas Aquinas,
misalnya, menggunakan pendekatan deduktif dalam menyusun Summa Theologiae,
di mana setiap pertanyaan teologis dianalisis secara sistematis melalui
struktur logika: quaestio, objectiones, respondeo,
dan responsiones ad objectiones.² Aquinas percaya bahwa meskipun
kebenaran wahyu berada di atas jangkauan rasio, namun sebagian besar kebenaran
tentang Tuhan dapat diketahui melalui penalaran alami.³
5.2.
Pendekatan
Metafisika Ontologis
Pendekatan ini mencoba
membuktikan eksistensi Tuhan berdasarkan konsep keberadaan itu sendiri. Argumen
ontologis pertama kali dirumuskan oleh Anselmus dari Canterbury, yang
menyatakan bahwa Tuhan adalah “sesuatu yang lebih besar dari segala sesuatu
yang dapat dipikirkan”, dan karena itu, eksistensinya harus ada tidak hanya
dalam pikiran tetapi juga dalam kenyataan.⁴ Dalam Islam, pendekatan metafisika
ini dikembangkan oleh Ibnu Sina melalui konsep wajib al-wujud,
yakni bahwa hanya Tuhan yang eksistensinya niscaya (niscaya secara internal)
karena esensinya identik dengan keberadaan.⁵
Kritik terhadap pendekatan
ini datang dari filsuf seperti Immanuel Kant, yang berpendapat bahwa eksistensi
bukanlah predikat logis.⁶ Namun, argumen ontologis tetap memainkan peran
penting dalam memperkenalkan konsep ketuhanan sebagai keberadaan yang tidak
tergantung pada apa pun, dan menjadi dasar semua wujud lainnya.
5.3.
Argumentasi
Kosmologis dan Teleologis
5.3.1.
Argumen Kosmologis
Argumen ini berangkat dari
realitas kontingensi di dunia—yakni bahwa segala sesuatu bergantung pada sebab
lain untuk wujudnya. Dari premis ini, dikembangkan bahwa harus ada suatu prima
causa atau sebab pertama yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan.⁷ Pendekatan
ini digunakan oleh Aquinas dalam quinque viae, terutama dalam bentuk argument
from motion dan efficient cause.⁸ Dalam Islam, argumen ini
dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Rushd, yang memandang bahwa eksistensi
makhluk-makhluk menunjukkan adanya sumber wujud yang non-makhluk dan tak
berubah.⁹
5.3.2.
Argumen Teleologis
Argumentasi teleologis (atau
argumen dari desain) menyatakan bahwa keteraturan, tujuan, dan harmoni dalam
alam semesta menunjukkan keberadaan suatu kecerdasan ilahi sebagai
perancangnya.¹⁰ Dalam Islam, argumen ini sangat menonjol dalam pendekatan burhan
al-‘inayah yang digunakan oleh para mutakallim dan filsuf untuk
menunjukkan bahwa alam tidak mungkin tercipta tanpa tujuan.¹¹ Dalam era modern,
argumen ini dihidupkan kembali melalui teori fine-tuning dalam fisika
dan kosmologi kontemporer.¹²
5.4.
Pendekatan
Epistemologis dan Analitik
Dalam perkembangan
kontemporer, teologi filosofis banyak dipengaruhi oleh epistemologi modern dan
filsafat analitik. Tokoh seperti Alvin Plantinga mengembangkan konsep reformed
epistemology, yakni bahwa kepercayaan akan Tuhan adalah suatu properly
basic belief—sebuah keyakinan mendasar yang rasional meskipun tidak
didasarkan pada argumen logis atau bukti empiris.¹³ Pendekatan ini melampaui
model pembuktian klasik dan membuka ruang bagi legitimasi iman dalam kerangka
epistemologi kritis.
Sementara itu, Paul Tillich
menawarkan pendekatan eksistensial dan simbolik, yang memandang teologi
filosofis tidak hanya sebagai usaha rasional, tetapi juga sebagai pencarian
makna terdalam dari eksistensi manusia.¹⁴ Ia menyatakan bahwa Tuhan bukanlah
entitas di luar dunia, melainkan das Sein selbst—fondasi keberadaan
itu sendiri.¹⁵ Pendekatan ini menekankan relevansi eksistensial dari konsep
teologis dan mengintegrasikan pengalaman manusia dalam refleksi filosofis.
Dengan demikian, metode dalam
teologi filosofis tidak bersifat tunggal, tetapi multidimensional. Ia dapat
bersifat deduktif, metafisik, empiris, eksistensial, hingga analitik.
Keberagaman pendekatan ini memungkinkan teologi filosofis untuk tetap dinamis
dan relevan dalam menghadapi tantangan intelektual dari masa ke masa, sekaligus
menjawab berbagai pertanyaan mendasar tentang Tuhan, manusia, dan realitas
secara lebih luas.
Footnotes
[1]
John Macquarrie, Principles of Christian Theology, rev. ed.
(London: SCM Press, 1977), 7.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.1–2.
[3]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 135–142.
[4]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M.J. Charlesworth
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), ch. 2.
[5]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 235–240.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A598/B626.
[7]
William Lane Craig, The Kalām Cosmological Argument (London:
Macmillan, 1979), 63–72.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.2.a.3.
[9]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 153–167.
[10]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford:
Oxford University Press, 2004), 89–101.
[11]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 260–265.
[12]
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(Minneapolis: Fortress Press, 1998), 56–58.
[13]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 173–186.
[14]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University
of Chicago Press, 1951), 234–237.
[15]
Ibid., 250.
6.
Perbandingan
antara Teologi Kalam dan Teologi Filosofis
Teologi dalam tradisi Islam
tidak monolitik, melainkan berkembang dalam berbagai pendekatan epistemologis.
Dua pendekatan utama yang dominan dalam diskursus keislaman klasik adalah ilmu
kalam dan teologi filosofis (al-lahut al-falsafi).
Keduanya sama-sama berupaya menjelaskan doktrin-doktrin keimanan, seperti
keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, kenabian, dan eskatologi, namun dengan
metodologi, sumber, dan cakupan yang berbeda.¹ Untuk memahami kedudukan dan
kontribusi masing-masing, penting dilakukan perbandingan antara kedua
pendekatan ini dari aspek epistemologi, metodologi, doktrin, dan orientasi
kultural.
6.1.
Asal-Usul dan
Landasan Epistemologis
Ilmu kalam berkembang sebagai
respon terhadap tantangan internal dan eksternal terhadap akidah Islam,
terutama dari kelompok-kelompok seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan dari filsafat
Yunani yang masuk melalui gerakan penerjemahan. Kalam bertujuan membela doktrin
Islam dengan menegaskan supremasi wahyu dan rasionalitas terbimbing.² Sebagian
besar mutakallimun menggunakan akal untuk menjelaskan akidah, tetapi tetap
menundukkan akal pada autoritas nash (wahyu).
Sementara itu, teologi
filosofis muncul dalam konteks interaksi yang lebih intensif dengan filsafat Yunani.
Para falasifah seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd tidak hanya
menggunakan akal sebagai alat bantu, tetapi juga sebagai dasar utama dalam
memahami eksistensi Tuhan dan struktur realitas.³ Wahyu tetap diakui, namun
sering kali ditafsirkan secara simbolik agar sejalan dengan kebenaran universal
rasional.⁴
6.2.
Metodologi dan
Pendekatan
Kalam umumnya menggunakan
metode dialektika rasional (jadal) dan logika
Aristotelian untuk mempertahankan doktrin-doktrin keimanan terhadap serangan
dari luar.⁵ Misalnya, para mutakallim menggunakan konsep jawhar
(substansi) dan arad (aksiden) untuk menjelaskan keterciptaan alam dan
ketergantungannya kepada Tuhan.⁶
Sebaliknya, teologi filosofis
lebih mengandalkan metode deduktif dan struktur
metafisika sistematis. Ibnu Sina, misalnya, menyusun argumen dari
prinsip ontologis dasar tentang esensi dan eksistensi untuk sampai pada konsep
Tuhan sebagai wajib al-wujud.⁷ Ibnu Rushd bahkan menolak metode
dialektika kalam dan menegaskan bahwa hanya filsafat mampu memberikan pemahaman
sejati tentang hakikat ilahi.⁸
6.3.
Pandangan tentang
Tuhan dan Atribut-Nya
Dalam ilmu kalam, terjadi
perdebatan tajam tentang sifat-sifat Tuhan. Kelompok Mu’tazilah
menolak sifat Tuhan sebagai entitas yang terpisah dari zat-Nya untuk menjaga
tauhid murni, sedangkan Asy’ariyah menegaskan adanya
sifat-sifat Tuhan seperti ilmu, qudrah, dan iradah tanpa menyamakan-Nya dengan
makhluk.⁹
Teologi filosofis,
sebaliknya, menekankan kesederhanaan Tuhan (simplicity) dalam
pengertian bahwa Tuhan tidak memiliki komposisi apa pun.⁽¹⁰⁾ Oleh karena itu,
sifat-sifat Tuhan dalam pandangan falasifah dipahami sebagai identik dengan zat
Tuhan, bukan atribut terpisah.⁽¹¹⁾ Pandangan ini dipengaruhi oleh konsep actus
purus dalam metafisika Aristotelian.⁽¹²⁾
6.4.
Pendekatan terhadap
Wahyu dan Penafsiran
Kalam memandang wahyu sebagai
sumber utama kebenaran, dan jika ada ketegangan antara akal dan wahyu, maka
wahyu memiliki otoritas tertinggi.⁽¹³⁾ Sebaliknya, dalam teologi filosofis,
wahyu sering dipahami secara simbolik atau alegoris (ta’wil), dan
penafsirannya tunduk pada prinsip rasionalitas universal.⁽¹⁴⁾
Ibnu Sina berpendapat bahwa
wahyu adalah bentuk puncak dari intuisi akal aktif yang hanya dapat dicapai
oleh nabi, sedangkan para filsuf mencapainya melalui perenungan rasional.⁽¹⁵⁾
Pandangan ini membuka jalan bagi pemisahan epistemologis antara kebenaran
filsafat dan kebenaran religius, meskipun pada akhirnya ditujukan untuk
mencapai koherensi antara keduanya.
6.5.
Tujuan dan Orientasi
Ilmu kalam cenderung defensif
dan apologetik, karena tujuannya adalah menjaga integritas akidah Islam dan
membela umat dari pengaruh pemikiran luar. Teologi filosofis bersifat lebih kontemplatif
dan sistematis, dengan orientasi menyeluruh terhadap realitas
metafisika secara universal.⁽¹⁶⁾
Kalam berkembang di
lingkungan yang sangat terikat dengan komunitas keimanan dan lembaga keulamaan,
sedangkan teologi filosofis sering berkembang di lingkungan kosmopolitan yang
terbuka terhadap filsafat Yunani, seperti dalam lingkungan istana atau akademia.⁽¹⁷⁾
6.6.
Kritik Timbal Balik
Tokoh-tokoh kalam seperti
Al-Ghazali mengkritik falasifah karena dianggap terlalu mendewakan rasio dan
mengorbankan unsur transendental wahyu. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia
bahkan menuduh mereka kafir dalam tiga isu utama: kekekalan alam, ketidaktahuan
Tuhan terhadap partikular, dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani.⁽¹⁸⁾
Sebaliknya, Ibnu Rushd dalam Tahafut
al-Tahafut membela filsafat sebagai sarana memahami wahyu secara mendalam.
Ia berpendapat bahwa kontradiksi hanya tampak terjadi jika teks wahyu
ditafsirkan secara literal tanpa memperhatikan konteks rasionalnya.⁽¹⁹⁾
Kesimpulan Perbandingan
1)
Sumber Utama
Pengetahuan
Teologi Kalam:
Berlandaskan pada wahyu (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama, kemudian
diikuti oleh akal sebagai alat bantu untuk menalar dan mempertahankan doktrin
keimanan.
Teologi Filosofis:
Bertumpu pada akal sebagai sumber utama untuk memahami konsep-konsep teologis,
sedangkan wahyu ditafsirkan secara rasional dan seringkali simbolik.
2)
Metode yang Digunakan
Teologi Kalam:
Menggunakan pendekatan dialektika (jadal) dan logika formal untuk mempertahankan
akidah terhadap berbagai tantangan internal maupun eksternal.
Teologi Filosofis:
Menggunakan metode deduktif dan pendekatan metafisika sistematis, dengan
penalaran filosofis yang mengarah pada struktur universal realitas.
3)
Tujuan Utama
Teologi Kalam:
Bersifat apologetik dan defensif; bertujuan untuk menjaga kemurnian akidah dan
melindungi keyakinan umat dari penyimpangan pemikiran.
Teologi Filosofis:
Bersifat kontemplatif dan konstruktif; bertujuan untuk mencapai pemahaman
rasional yang mendalam tentang Tuhan dan eksistensi.
4)
Konsepsi tentang Tuhan
Teologi Kalam:
Tuhan dipahami memiliki sifat-sifat yang terpisah dari zat-Nya, tetapi tetap
disucikan dari keserupaan dengan makhluk (tanzih).
Teologi Filosofis:
Tuhan dipahami sebagai wujud murni (simple being), di mana esensi dan
eksistensi menyatu, serta seluruh sifat-Nya identik dengan zat-Nya.
5)
Sikap terhadap Wahyu
Teologi Kalam:
Menjunjung tinggi wahyu sebagai otoritas tertinggi. Jika terjadi ketegangan
dengan akal, maka wahyu didahulukan.
Teologi Filosofis:
Wahyu dihormati, tetapi sering ditafsirkan secara alegoris agar sesuai dengan
prinsip-prinsip rasional universal.
Meskipun berbeda dalam banyak
hal, ilmu kalam dan teologi filosofis sama-sama menunjukkan kekayaan khazanah
intelektual Islam dan menawarkan dua pendekatan yang saling melengkapi dalam
memahami Tuhan, wahyu, dan realitas semesta.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–5.
[2]
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1976), 87–102.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 120–134.
[4]
Al-Farabi, al-Madina al-Fadilah, ed. Albert Najjar (Beirut:
Dar al-Mashriq, 1968), 89.
[5]
Wolfson, The Philosophy of the Kalam, 150–155.
[6]
Ibid., 212–218.
[7]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition
(Leiden: Brill, 2001), 245–248.
[8]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh
(London: Luzac, 1954), I:1–10.
[9]
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought
(Oxford: Oneworld, 1998), 258–265.
[10]
Etienne Gilson, God and Philosophy (New Haven: Yale University
Press, 1941), 45.
[11]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 142–145.
[12]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I.q.3.a.7.
[13]
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 12.
[14]
Gutas, Avicenna, 233–234.
[15]
Ibn Sina, al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah
al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1952), 312–316.
[16]
Leaman, Introduction, 89–92.
[17]
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 132.
[18]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.
[19]
Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, I:1–15.
7.
Kritik
dan Kontroversi terhadap Teologi Filosofis
Meskipun teologi filosofis
telah memberikan kontribusi signifikan dalam upaya menjembatani antara iman dan
akal, pendekatan ini tidak lepas dari kritik dan kontroversi, baik dari
kalangan teolog, filsuf, maupun pemikir modern dan kontemporer. Kritik terhadap
teologi filosofis mencerminkan ketegangan epistemologis yang terus berlangsung
antara otoritas wahyu dan kebebasan akal, serta antara pengalaman keagamaan dan
rasionalitas spekulatif. Beberapa kritik bahkan mempertanyakan validitas
teologi filosofis sebagai jalan autentik dalam mengenal Tuhan.
7.1.
Kritik dari Tradisi
Teologis Revelasional
Kritik paling awal terhadap
teologi filosofis datang dari dalam tradisi keagamaan itu sendiri. Dalam Islam,
Al-Ghazali merupakan representasi utama kritik terhadap para falasifah.
Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menuduh para filsuf—khususnya Ibnu Sina
dan Al-Farabi—telah menyimpang dari ajaran Islam dalam tiga hal mendasar: (1)
keyakinan bahwa alam semesta kekal, (2) pandangan bahwa Tuhan tidak mengetahui
partikularitas, dan (3) penolakan terhadap kebangkitan jasmani.⁽¹⁾ Al-Ghazali
menganggap bahwa filsafat cenderung mendewakan akal dan menundukkan wahyu pada
tafsir rasional semata, sehingga mengaburkan aspek transendensi dalam agama.⁽²⁾
Di Barat, kritik yang setara
datang dari teolog seperti Martin Luther dan kemudian Karl
Barth. Barth secara khusus menolak apa yang ia sebut sebagai "natural
theology", yakni upaya mengenal Tuhan hanya melalui akal dan alam
tanpa wahyu. Dalam pandangannya, Allah hanya dapat dikenal karena Ia menyatakan
diri-Nya secara bebas dalam Kristus dan Kitab Suci.⁽³⁾ Ia menyebut pendekatan
rasional kepada Tuhan sebagai “Versuch, Gott zu sprechen, ohne dass Gott
gesprochen hat” (usaha berbicara tentang Allah tanpa bahwa Allah telah
berbicara).⁽⁴⁾
7.2.
Tuduhan
Reduksionisme Rasional
Banyak kritik menyasar
kecenderungan teologi filosofis yang dianggap mereduksi realitas spiritual
menjadi skema logis dan metafisika spekulatif. Dalam hal ini, para pengkritik
berargumen bahwa pengalaman religius yang bersifat eksistensial, afektif, dan
personal tidak dapat diringkus dalam kategori-kategori rasional.⁽⁵⁾ Paul
Tillich, meskipun seorang teolog filosofis sendiri, mengingatkan bahwa
Tuhan bukan sekadar objek dari pernyataan rasional, tetapi das Sein selbst (the ground of
being). Dengan demikian, jika Tuhan diperlakukan seperti entitas empiris
yang bisa ditangkap oleh akal, maka kita telah menciptakan berhala
konseptual.⁽⁶⁾
Filsuf eksistensialis seperti
Søren Kierkegaard bahkan menilai bahwa iman bukanlah hasil
dari penalaran, melainkan sebuah “lompatan” (leap of faith)
yang tak dapat dijelaskan secara rasional. Bagi Kierkegaard, mendasarkan iman
pada argumen rasional justru melemahkan kualitas religius sejati dari iman itu
sendiri.⁽⁷⁾
7.3.
Kritik dari Filsafat
Positivistik dan Ilmiah
Dalam era modern, terutama
sejak munculnya positivisme logis dan sains empiris, teologi filosofis juga
menghadapi kritik epistemologis yang tajam. A.J. Ayer, tokoh
utama dari lingkaran Vienna, menyatakan bahwa pernyataan metafisis dan teologis
bersifat nonsense karena tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁽⁸⁾
Menurut kriteria verifikasi logis, setiap klaim yang tidak bisa dibuktikan secara
empiris atau logis adalah tidak bermakna. Dalam kerangka ini, argumen tentang
keberadaan Tuhan, sifat ilahi, dan kehidupan setelah mati dianggap tidak ilmiah
dan tidak valid secara epistemologis.
Kritik ini diperkuat oleh
para saintis seperti Richard Dawkins, yang menganggap argumen
teologis sebagai bentuk kepercayaan buta yang tidak berdasar pada bukti
rasional. Dalam The God Delusion, Dawkins bahkan menganggap argumen
kosmologis dan teleologis sebagai bentuk God-of-the-gaps, yaitu Tuhan
hanya digunakan untuk mengisi celah-celah yang belum dijelaskan oleh sains.⁽⁹⁾
7.4.
Kritik Postmodern
terhadap Klaim Universalisme
Dalam konteks filsafat
postmodern, teologi filosofis dikritik karena masih mempertahankan klaim-klaim
universal dan struktural yang dianggap sebagai warisan dari modernisme dan
metafisika Barat. Jean-François Lyotard menolak narasi besar (grand
narratives) seperti teologi sistematik karena dianggap mengabaikan
keragaman pengalaman, bahasa, dan konteks kultural.⁽¹⁰⁾
Demikian pula, John
Caputo dan para pemikir teologi postmodern seperti Mark C.
Taylor menekankan “teologi tanpa jaminan”—yaitu pendekatan teologis
yang terbuka terhadap ketidaktentuan dan keraguan, serta menolak struktur logis
yang kaku dalam memahami Tuhan.⁽¹¹⁾ Mereka menilai bahwa upaya merumuskan Tuhan
secara sistematis dan rasional justru menutupi misteri ilahi yang seharusnya
dihayati dalam pengalaman keberagamaan yang otentik.
7.5.
Kritik dari Dalam
Tradisi Teologi Filosofis Sendiri
Uniknya, sebagian kritik
datang dari dalam teologi filosofis itu sendiri. Immanuel Kant,
meskipun mengembangkan postulat moral tentang Tuhan, menolak seluruh bentuk
argumen metafisis tentang keberadaan Tuhan (baik ontologis, kosmologis, maupun
teleologis) karena dianggap gagal melewati batas-batas akal murni.⁽¹²⁾ Kant
menyatakan bahwa konsep Tuhan adalah idea regulatif dalam akal praktis, bukan
objek pengetahuan spekulatif.⁽¹³⁾
Tokoh lain, Alvin
Plantinga, meskipun membela rasionalitas iman, juga mengkritik
pendekatan klasik yang terlalu menekankan pembuktian Tuhan. Ia menyatakan bahwa
keyakinan religius dapat menjadi properly basic belief, yaitu
keyakinan mendasar yang tidak perlu ditopang oleh argumen, tetapi tetap dapat
dipertanggungjawabkan secara epistemologis.⁽¹⁴⁾ Dengan demikian, Plantinga
menggeser fokus dari pembuktian ke pembenaran (justification),
sekaligus memberikan pembelaan terhadap iman yang tidak bergantung pada
rasionalisme klasik.
Kesimpulan
Berbagai kritik terhadap
teologi filosofis menunjukkan bahwa pendekatan ini berada di medan dialektis
antara rasio dan wahyu, antara universalitas dan partikularitas, serta antara
sistem dan pengalaman. Kritik-kritik tersebut bukan sekadar penolakan,
melainkan juga koreksi yang memperkaya. Teologi filosofis yang menyadari
keterbatasannya justru dapat membuka ruang yang lebih inklusif, dialogis, dan
eksistensial dalam memahami Tuhan dan realitas keagamaan.
Footnotes
[1]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 151–154.
[3]
Karl Barth, Church Dogmatics, vol. I/1, trans. G.W. Bromiley
(Edinburgh: T&T Clark, 1936), 295.
[4]
Ibid., 296.
[5]
John Macquarrie, Principles of Christian Theology, rev. ed.
(London: SCM Press, 1977), 9–12.
[6]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University
of Chicago Press, 1951), 235.
[7]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 54–55.
[8]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications,
1952), 115–116.
[9]
Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin,
2006), 77–93.
[10]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.
[11]
John D. Caputo, The Weakness of God: A Theology of the Event
(Bloomington: Indiana University Press, 2006), 15–18.
[12]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A591/B619–A602/B630.
[13]
Ibid., A806/B834.
[14]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 169–186.
8.
Relevansi
Teologi Filosofis dalam Konteks Kontemporer
Di tengah dinamika modernitas
dan pluralitas abad ke-21, teologi filosofis kembali mendapatkan perhatian
sebagai pendekatan yang mampu menjembatani berbagai ketegangan antara agama dan
sains, iman dan rasio, partikularitas wahyu dan universalitas akal. Meskipun
telah menghadapi berbagai kritik sebagaimana telah dibahas sebelumnya, teologi
filosofis tetap relevan sebagai landasan dialog, pengembangan intelektual
religius, serta upaya merumuskan ulang makna spiritualitas dalam masyarakat
kontemporer.
8.1.
Teologi Filosofis
sebagai Jembatan antara Agama dan Sains
Salah satu relevansi penting
dari teologi filosofis adalah kemampuannya menjadi jembatan konseptual antara
agama dan ilmu pengetahuan. Pendekatan ini memungkinkan elaborasi konsep-konsep
teologis—seperti penciptaan, kehendak bebas, dan kebermaknaan alam
semesta—dalam kerangka rasional yang dapat dikomunikasikan dengan paradigma
ilmiah kontemporer.
Tokoh seperti Ian
Barbour telah menekankan pentingnya dialog kreatif antara agama dan
sains dengan empat model hubungan: konflik, independensi, dialog, dan
integrasi. Dalam model dialog dan integrasi, teologi filosofis berperan sebagai
medium untuk memahami bahwa keyakinan religius dan teori ilmiah tidak harus
saling menafikan, tetapi dapat saling memperkaya.¹ Misalnya, argumen fine-tuning
dalam fisika modern memberikan peluang bagi argumen teleologis dalam teologi
filosofis untuk dipertimbangkan kembali dalam diskursus ilmiah.²
8.2.
Relevansi dalam
Dialog Antaragama dan Filsafat Perbandingan
Teologi filosofis juga
memiliki potensi besar dalam membangun dialog antaragama.
Karena bersandar pada akal universal dan logika filosofis, pendekatan ini dapat
menjadi titik temu antara sistem-sistem kepercayaan yang berbeda. Dalam ruang
dialog pluralis, teologi filosofis membantu mengartikulasikan doktrin agama
secara rasional dan komunikatif sehingga terbuka untuk pemahaman lintas iman.
John Hick,
misalnya, menggunakan pendekatan teologi filosofis untuk merumuskan teologi
pluralis yang menganggap bahwa berbagai agama besar merupakan respons yang
berbeda terhadap Realitas Transenden yang sama.³ Walaupun gagasan Hick menuai
kritik, pendekatan filsafat-teologisnya memberikan ruang diskusi yang lebih
inklusif dan mendalam antara berbagai pemeluk agama.
8.3.
Jawaban terhadap
Sekularisme dan Krisis Makna
Dalam masyarakat modern yang
cenderung sekular dan instrumentalistik, teologi filosofis
memainkan peran sebagai pengingat bahwa kehidupan manusia tidak semata-mata
bersifat material, tetapi juga metafisik dan spiritual. Kehadiran teologi
filosofis sebagai refleksi mendalam atas hakikat keberadaan, kebaikan, dan
tujuan hidup dapat memberikan resistensi terhadap reduksionisme sains atau
relativisme moral.
Charles Taylor
dalam karyanya A Secular Age menyoroti bahwa meskipun dunia Barat
mengalami sekularisasi, pencarian makna spiritual tetap berlangsung dalam
bentuk-bentuk baru.⁴ Dalam konteks ini, teologi filosofis mampu merumuskan
ulang spiritualitas secara rasional dan relevan bagi manusia modern yang
mendambakan kebebasan, otonomi, sekaligus kedalaman eksistensial.
8.4.
Reformulasi Konsep
Ketuhanan dan Teologi Kontekstual
Teologi filosofis berperan
penting dalam reformulasi konsep ketuhanan yang kontekstual
dengan tantangan zaman. Dalam dunia yang ditandai oleh krisis ekologi,
ketimpangan sosial, dan perang identitas, pemikiran tentang Tuhan tidak lagi
cukup jika hanya bersifat abstrak-metafisik. Ia perlu bersentuhan dengan
realitas konkret kehidupan manusia.
Teolog kontemporer seperti Paul
Tillich telah mengembangkan konsep God as the Ground of Being,
yang menjauh dari gambaran antropomorfik tentang Tuhan menuju pemahaman yang
lebih ontologis dan eksistensial.⁵ Pendekatan ini memungkinkan keberagamaan
yang lebih terbuka, mendalam, dan tidak dogmatis dalam menghadapi problematika
kehidupan modern.
8.5.
Relevansi dalam
Pendidikan dan Pembentukan Etika Publik
Di bidang pendidikan,
khususnya pendidikan keagamaan dan filsafat, teologi filosofis menjadi sarana
yang efektif untuk melatih kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan sistematis
dalam memahami ajaran agama. Hal ini penting dalam membentuk cara berpikir yang
moderat, terbuka terhadap perbedaan, dan menjunjung tinggi kebijaksanaan dalam
menyikapi isu-isu kontemporer.
Selain itu, dalam ranah etika
publik, teologi filosofis memberikan kerangka normatif yang
memungkinkan formulasi nilai-nilai keadilan, martabat manusia, dan solidaritas
sosial dalam bahasa rasional yang dapat diterima lintas agama dan budaya.⁶
Dengan demikian, teologi filosofis berkontribusi dalam membangun masyarakat
sipil yang bermoral dan plural.
Kesimpulan
Teologi filosofis tidak hanya
bertahan sebagai warisan historis pemikiran religius, tetapi juga tampil
sebagai pendekatan yang relevan untuk menghadapi tantangan intelektual, sosial,
dan spiritual di era kontemporer. Dengan memadukan rasionalitas dan
transendensi, teologi filosofis membuka ruang bagi agama untuk tetap hidup,
kritis, dan dialogis dalam dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary
Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 77–104.
[2]
John Polkinghorne, Science and Theology: An Introduction
(Minneapolis: Fortress Press, 1998), 56–60.
[3]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 240–243.
[4]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press of
Harvard University Press, 2007), 3–23.
[5]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University
of Chicago Press, 1951), 235–240.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 173–180.
9.
Kesimpulan
Teologi filosofis merupakan
warisan intelektual yang kaya dan multidimensional, lahir dari pergulatan
rasional manusia dalam memahami realitas ketuhanan tanpa melepaskan fondasi
spiritualitas wahyu. Sejak masa klasik, para pemikir seperti Plato,
Aristoteles, Agustinus, Al-Farabi, Ibnu Sina, hingga Thomas Aquinas dan Ibnu
Rushd telah membentuk bangunan epistemologis dan metafisika teologi yang
bertujuan menyatukan dua poros utama dalam pengetahuan religius: akal dan
iman.¹
Kajian historis menunjukkan
bahwa baik dalam tradisi Islam maupun Kristen, teologi filosofis berperan
sebagai jembatan antara sistem keyakinan yang partikular dengan nalar universal
manusia.² Dalam Islam, perdebatan antara kalam dan filsafat menggambarkan
dinamika yang produktif antara wahyu dan akal. Tokoh seperti Al-Ghazali dan
Ibnu Rushd menunjukkan bahwa bahkan dalam perbedaan tajam, terdapat kesamaan
tujuan: mencari kebenaran dan mempertahankan integritas iman.³
Dari sisi metodologi, teologi
filosofis menghadirkan berbagai pendekatan yang kaya: mulai dari argumen
ontologis, kosmologis, dan teleologis, hingga pendekatan epistemologis dan
eksistensial dalam konteks kontemporer.⁴ Masing-masing pendekatan memberikan
kontribusi unik terhadap pemahaman kita tentang Tuhan dan hubungan manusia
dengan realitas transenden.
Meski demikian, teologi
filosofis tidak terlepas dari kritik. Di satu sisi, pendekatan ini dituduh
terlalu merasionalkan iman dan mengabaikan aspek spiritualitas yang afektif dan
personal. Di sisi lain, ia juga ditantang oleh paradigma ilmiah modern dan
skeptisisme postmodern yang menolak klaim-klaim metafisis.⁵ Namun demikian,
kritik tersebut justru mendorong teologi filosofis untuk merefleksikan ulang
peran dan batasnya, sekaligus memperluas cakupan diskursusnya ke ranah dialog
antaragama, filsafat publik, dan etika global.⁶
Dalam konteks dunia
kontemporer yang ditandai oleh pluralisme, sekularisme, dan krisis makna,
teologi filosofis tetap relevan sebagai pendekatan yang mampu memberikan dasar
reflektif dan transformatif terhadap pemahaman keagamaan. Ia mengajak umat
beragama untuk tidak hanya percaya, tetapi juga memahami, merenung, dan
berdialog. Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Tillich, “faith as ultimate
concern demands the courage to think.”⁷
Oleh karena itu, teologi
filosofis bukan sekadar cabang akademik dari filsafat agama, tetapi juga
merupakan upaya eksistensial dan spiritual untuk menjembatani wahyu dengan
rasio, doktrin dengan refleksi, serta iman dengan tanggung jawab intelektual.⁸
Dalam dunia yang semakin kompleks, pendekatan ini menawarkan arah menuju
kebijaksanaan religius yang tidak dogmatis, tetapi juga tidak relativis—yakni
suatu integrasi yang dinamis antara wahyu dan akal.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 101–198.
[2]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, trans.
A.H.C. Downes (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 54–68.
[3]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura
(Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 3–10; Ibn Rushd, Tahafut
al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), I:1–15.
[4]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and
Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 93–125.
[5]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 115–116; Jean-François Lyotard, The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian
Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii.
[6]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 252–260.
[7]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 158.
[8]
John Macquarrie, Principles of Christian Theology, rev. ed.
(London: SCM Press, 1977), 11–13.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros. (Original
work published 1265–1274)
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic.
Dover Publications.
Barbour, I. G. (1997). Religion and science:
Historical and contemporary issues. HarperSanFrancisco.
Barth, K. (1936). Church dogmatics (Vol.
I/1, G. W. Bromiley, Trans.). T&T Clark.
Caputo, J. D. (2006). The weakness of God: A
theology of the event. Indiana University Press.
Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian
truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.
Dawkins, R. (2006). The God delusion.
Houghton Mifflin.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Farabi, A. (1968). al-Madina al-fadilah (A.
Najjar, Ed.). Dar al-Mashriq.
Ghazali, A. (1993). al-Iqtishad fi al-I'tiqad.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ghazali, A. (2000). The incoherence of the
philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young
University Press.
Gilson, E. (1941). God and philosophy. Yale
University Press.
Gilson, E. (1991). The spirit of medieval
philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Brill.
Hick, J. (1989). An interpretation of religion:
Human responses to the transcendent. Yale University Press.
Ibn Rushd. (1954). The incoherence of the
incoherence (Tahafut al-Tahafut) (S. van den Bergh, Trans.). Luzac.
Ibn Sina. (1952). al-Shifa’ (I. Madkour,
Ed.). al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781)
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Polity Press.
Leaman, O. (2001). An introduction to classical
Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
Macquarrie, J. (1977). Principles of Christian
theology (Rev. ed.). SCM Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. Oxford University Press.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford University Press.
Polkinghorne, J. (1998). Science and theology:
An introduction. Fortress Press.
Swindburne, R. (2004). The existence of God
(2nd ed.). Oxford University Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap
Press of Harvard University Press.
Tillich, P. (1951). Systematic theology
(Vol. 1). University of Chicago Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Tillich, P. (1957). Systematic theology
(Vol. 2). University of Chicago Press.
Watt, W. M. (1998). The formative period of
Islamic thought. Oneworld Publications.
Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the
kalam. Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar