Pendidikan Anti Korupsi
Membangun Generasi Berintegritas Sejak Dini
Alihkan ke: Kurikulum 2013, PPK, Kurikulum Merdeka, P5RA, Profil Lulusan 8 Dimensi, Korupsi, Program Sekolah Berintegritas, Good Governance.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif urgensi
dan strategi implementasi pendidikan anti korupsi sebagai bagian integral dari
sistem pendidikan nasional. Korupsi dipahami tidak hanya sebagai pelanggaran
hukum, tetapi juga sebagai persoalan budaya yang mengakar dalam berbagai sektor
kehidupan. Pendidikan diposisikan sebagai instrumen jangka panjang yang mampu
membentuk generasi berintegritas melalui internalisasi nilai-nilai seperti
kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan keberanian menolak ketidakadilan.
Tulisan ini menguraikan konsep dasar pendidikan antikorupsi, landasan yuridis
dan filosofisnya, serta pentingnya integrasi nilai antikorupsi dalam kurikulum
dan kegiatan sekolah. Studi kasus dan praktik baik dari berbagai sekolah,
termasuk program “Sekolah Berintegritas” dan
inisiatif kampanye digital oleh siswa, menunjukkan bahwa keberhasilan
pendidikan antikorupsi sangat dipengaruhi oleh komitmen kolektif warga sekolah
dan dukungan kebijakan. Di sisi lain, tantangan struktural, kultural, dan
pedagogis menjadi hambatan dalam implementasinya. Artikel ini merekomendasikan
penguatan kebijakan internal sekolah, peningkatan kapasitas guru, manajemen berbasis
integritas, sinergi multipihak, serta sistem evaluasi pendidikan karakter yang
menyeluruh. Pendidikan anti korupsi, pada akhirnya, merupakan investasi
strategis bangsa dalam membangun peradaban yang adil dan bermartabat.
Kata Kunci: Pendidikan
anti korupsi, integritas, karakter, sekolah berintegritas, nilai moral, budaya
antikorupsi, generasi muda, sistem pendidikan nasional.
PEMBAHASAN
Integrasi Nilai Antikorupsi dalam Kurikulum Sekolah
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Korupsi merupakan
salah satu permasalahan paling serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Dampaknya tidak hanya melumpuhkan sistem pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga
melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik. Transparency
International dalam Corruption Perceptions Index tahun
2023 menempatkan Indonesia pada skor 34 dari 100 dan peringkat ke-115 dari 180
negara, menandakan tingginya persepsi terhadap praktik korupsi yang masih
merajalela di berbagai sektor kehidupan nasional, termasuk dalam birokrasi
pendidikan, penegakan hukum, dan pelayanan publik secara umum.¹
Upaya pemberantasan
korupsi tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan represif melalui penindakan
hukum. Strategi preventif jangka panjang melalui jalur pendidikan menjadi
sangat penting, khususnya pendidikan yang menanamkan nilai-nilai integritas
sejak usia dini. Inilah yang menjadi dasar pemikiran dibalik gagasan pendidikan
anti korupsi—sebuah usaha sadar dan terencana untuk
menginternalisasikan nilai-nilai dasar antikorupsi seperti kejujuran, tanggung
jawab, disiplin, kerja keras, kesederhanaan, dan keadilan dalam kehidupan
sehari-hari peserta didik.²
Pendidikan anti
korupsi telah menjadi bagian dari agenda nasional yang tercermin dalam berbagai
regulasi negara. Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, pendidikan disebut sebagai salah satu
strategi kunci untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya antikorupsi.³ Selain
itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan
bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.⁴ Dengan kata lain,
pendidikan tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga harus menjadi instrumen
pembentukan karakter dan nilai.
Dalam konteks
tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengembangkan modul dan panduan implementasi
pendidikan antikorupsi bagi satuan pendidikan dari jenjang dasar hingga
perguruan tinggi.⁵ Salah satu inisiatif penting yang ditekankan adalah
integrasi nilai-nilai antikorupsi ke dalam proses pembelajaran, kegiatan
ekstrakurikuler, serta budaya sekolah yang mendukung keteladanan dan
transparansi.
1.2.
Rumusan Masalah
Untuk memahami lebih
jauh peran strategis pendidikan dalam membentuk generasi antikorupsi, tulisan
ini mengangkat beberapa pertanyaan kunci, yaitu:
1)
Apa yang dimaksud dengan
pendidikan anti korupsi dan nilai-nilai dasar yang dikandungnya?
2)
Mengapa pendidikan anti korupsi
penting diterapkan sejak usia dini?
3)
Bagaimana strategi implementasi
pendidikan anti korupsi di lingkungan sekolah dan masyarakat?
4)
Apa saja tantangan dan solusi
dalam mengembangkan sistem pendidikan yang berbudaya integritas?
1.3.
Tujuan Penulisan
Penulisan artikel
ini bertujuan untuk:
·
Menjelaskan konsep
pendidikan anti korupsi secara akademik dan praktis.
·
Mengidentifikasi
nilai-nilai fundamental yang harus ditanamkan dalam dunia pendidikan.
·
Menyajikan strategi
implementasi pendidikan antikorupsi dalam kurikulum dan kehidupan sekolah.
·
Memberikan refleksi
terhadap tantangan dan solusi yang dihadapi dalam pengembangan budaya
antikorupsi melalui pendidikan.
Catatan
Kaki
[1]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023
(Berlin: Transparency International, 2024), https://www.transparency.org/en/cpi/2023/index/idn.
[2]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan Antikorupsi untuk
Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: KPK RI, 2019), 7.
[3]
Presiden Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5.
[4]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Implementasi
Pendidikan Antikorupsi di Satuan Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2021),
12–15.
2.
Konsep Dasar Pendidikan Anti Korupsi
2.1.
Pengertian Korupsi dan Pendidikan
Anti Korupsi
Korupsi secara umum
dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, baik
dalam bentuk penyuapan, penggelapan, gratifikasi, nepotisme, maupun bentuk
penyimpangan lainnya. Menurut United Nations Convention against Corruption
(UNCAC), korupsi mencakup serangkaian tindakan yang melanggar etika dan hukum
dalam proses administrasi maupun pengambilan keputusan publik.¹ Di Indonesia,
korupsi didefinisikan secara hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001, yang menetapkan 30 bentuk tindak pidana korupsi, termasuk
penyuapan, pemerasan, dan perbuatan curang.²
Sementara itu,
pendidikan anti korupsi adalah suatu bentuk pendidikan nilai yang bertujuan
membangun integritas individu melalui penanaman kesadaran, sikap, dan perilaku
antikorupsi sejak dini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendefinisikannya
sebagai “proses pembelajaran yang sistematis dan terencana untuk menanamkan
nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, dan
masyarakat secara menyeluruh.”³ Tujuan utama dari pendidikan ini adalah
membentuk generasi yang tidak hanya memahami bahaya korupsi, tetapi juga
memiliki keberanian moral untuk menolaknya dalam segala bentuk.
Pendidikan anti
korupsi bersifat transformatif karena berupaya mengubah budaya permisif
terhadap korupsi menjadi budaya integritas. Sebagai bagian dari pendidikan
karakter, pendekatan ini mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif
(sikap), dan psikomotorik (tindakan), serta berorientasi pada pembiasaan
nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari.⁴
2.2.
Nilai-Nilai Dasar dalam Pendidikan
Anti Korupsi
Dalam upaya
membentuk pribadi berintegritas, KPK telah merumuskan 9 nilai
dasar antikorupsi yang dapat dijadikan pedoman dalam
pelaksanaan pendidikan, yaitu:
1)
Jujur
2)
Peduli
3)
Mandiri
4)
Disiplin
5)
Tanggung jawab
6)
Kerja keras
7)
Sederhana
8)
Berani
9)
Adil⁵
Nilai-nilai ini
bukan hanya bersifat moralistik, melainkan juga berfungsi sebagai kompas etika
dalam interaksi sosial. Misalnya, kejujuran menjadi landasan utama dalam
membangun kepercayaan publik; disiplin menciptakan efisiensi dan akuntabilitas;
sementara keberanian diperlukan untuk menolak tekanan dan tindakan curang di
lingkungan sekitar.
Nilai-nilai ini juga
sejalan dengan prinsip pendidikan karakter yang dikembangkan oleh para pemikir
pendidikan. Thomas Lickona, tokoh penting dalam pendidikan karakter, menyatakan
bahwa karakter yang kuat harus dibangun di atas nilai-nilai universal yang
diinternalisasikan melalui pembiasaan, keteladanan, dan penguatan sosial.⁶
2.3.
Landasan Yuridis dan Filosofis
Pendidikan Anti Korupsi
Secara yuridis,
pendidikan anti korupsi memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”⁷
Dengan demikian, pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan adalah bagian
dari tanggung jawab konstitusional negara.
Instruksi Presiden
RI No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi secara eksplisit
menugaskan lembaga pendidikan untuk mengambil peran aktif dalam membangun
budaya antikorupsi di masyarakat.⁸ Selain itu, Grand Design Pendidikan Antikorupsi
yang diterbitkan oleh KPK menegaskan pentingnya integrasi nilai-nilai
antikorupsi ke dalam seluruh aspek pendidikan, baik melalui kurikulum formal
maupun kegiatan non-formal.⁹
Secara filosofis,
pendidikan anti korupsi bertumpu pada gagasan bahwa manusia adalah makhluk yang
dapat dibentuk melalui proses pembelajaran yang berkesinambungan. Dalam pandangan
Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat
anak agar mereka mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya,
baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.¹⁰ Pendidikan antikorupsi
karenanya merupakan bagian dari pembentukan manusia seutuhnya yang bermoral dan
bertanggung jawab.
Catatan
Kaki
[1]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), United Nations
Convention against Corruption (New York: United Nations, 2004), 3–5.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134.
[3]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan Antikorupsi untuk
Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: KPK RI, 2019), 5.
[4]
Nurul Saadah dan Heri Susanto, “Implementasi Pendidikan Antikorupsi di
Lembaga Pendidikan: Telaah Konseptual,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
26, no. 3 (2021): 348–349.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Nilai-Nilai Antikorupsi dalam Dunia
Pendidikan (Jakarta: KPK RI, 2020), 6.
[6]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 50.
[7]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78.
[8]
Presiden Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5.
[9]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Grand Design Pendidikan Antikorupsi
di Indonesia (Jakarta: KPK RI, 2012), 12–15.
[10]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, ed. Soewardi Soerjaningrat
(Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1962), 34.
3.
Urgensi Pendidikan Anti Korupsi dalam Sistem
Pendidikan Nasional
3.1.
Korupsi sebagai Masalah Struktural
dan Kultural
Korupsi di Indonesia
telah menjadi persoalan sistemik yang mengakar dalam struktur pemerintahan,
birokrasi, hingga kehidupan masyarakat sehari-hari. Kajian Transparency
International Indonesia menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi dalam
skala besar di ranah politik dan ekonomi, tetapi juga dalam skala mikro,
seperti praktik pungutan liar, nepotisme dalam seleksi jabatan, hingga
manipulasi laporan administrasi di sekolah.¹
Fenomena ini
menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan juga
permasalahan budaya. Dalam banyak kasus, perilaku koruptif dianggap sebagai
bagian dari “kebiasaan umum” yang sulit diubah. Oleh karena itu, pendekatan
pemberantasan korupsi tidak bisa hanya bersifat represif, tetapi juga harus
menyasar akar budaya dan nilai-nilai sosial yang permisif terhadap korupsi.² Di
sinilah pendidikan memainkan peran sentral sebagai sarana transformasi nilai
dan perilaku.
3.2.
Peran Strategis Pendidikan dalam
Pencegahan Korupsi
Pendidikan memiliki
fungsi ganda dalam konteks pemberantasan korupsi. Di satu sisi, pendidikan
dapat menciptakan kesadaran kolektif akan bahaya korupsi melalui proses
kognitif. Di sisi lain, pendidikan juga dapat membentuk kebiasaan, sikap, dan
nilai-nilai yang menolak praktik koruptif melalui proses afektif dan
psikomotorik.³
UNESCO menegaskan
bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan karena
mampu mendorong terbentuknya warga negara yang aktif, kritis, dan bermoral.⁴
Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh hanya berorientasi pada pencapaian
akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan integritas moral.
Pendidikan anti korupsi menjadi bagian dari pendidikan karakter yang esensial
untuk melindungi generasi muda dari budaya transaksional dan mentalitas instan
yang sering menjadi cikal bakal korupsi.
Implementasi
pendidikan anti korupsi di lembaga pendidikan juga memberi ruang untuk
melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai
kejujuran dan tanggung jawab, seperti debat etik, simulasi sidang antikorupsi,
pelatihan jurnalisme warga, dan kegiatan pelayanan sosial yang transparan.⁵
Kegiatan semacam ini secara langsung membentuk kesadaran kritis dan empati
siswa terhadap pentingnya nilai integritas.
3.3.
Pendidikan Karakter sebagai Pilar
Pencegahan Korupsi
Pendidikan anti
korupsi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan karakter yang telah menjadi
agenda nasional sejak diberlakukannya Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016. Dalam kerangka PPK,
pendidikan karakter difokuskan pada lima nilai utama: religius, nasionalis,
mandiri, gotong royong, dan integritas.⁶ Nilai integritas menjadi kunci utama dalam
pembentukan perilaku antikorupsi.
Thomas Lickona
mengemukakan bahwa pendidikan karakter yang efektif harus mampu menumbuhkan
tiga komponen utama dalam diri peserta didik: moral knowing (pengetahuan moral), moral
feeling (perasaan moral), dan moral action (tindakan moral).⁷
Ketiga komponen ini menjadi dasar dari internalisasi nilai antikorupsi, yang
bukan hanya dipahami secara teoritis, tetapi juga diterapkan secara nyata dalam
perilaku sehari-hari.
Lebih lanjut,
integrasi pendidikan karakter dalam Kurikulum Merdeka memberikan ruang yang
luas bagi sekolah untuk mengembangkan program-program pembelajaran yang
kontekstual, reflektif, dan berbasis nilai. Dengan memanfaatkan Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), peserta didik dapat
dilibatkan dalam proyek nyata yang mendorong sikap jujur, peduli, dan
bertanggung jawab.⁸ Ini merupakan peluang emas bagi pendidikan anti korupsi
untuk tidak sekadar menjadi muatan tambahan, melainkan bagian integral dari
praktik pembelajaran.
3.4.
Urgensi Pendidikan Antikorupsi Sejak
Dini
Penerapan pendidikan
antikorupsi sejak dini sangat penting karena masa anak-anak dan remaja adalah
fase pembentukan kepribadian yang paling kuat. Jean Piaget dalam teorinya
tentang perkembangan kognitif menyebutkan bahwa anak usia sekolah dasar sudah
mulai mampu memahami nilai-nilai moral dan sosial melalui proses asimilasi dan
akomodasi.⁹ Jika pada tahap ini anak diperkenalkan dengan pentingnya kejujuran,
tanggung jawab, dan keberanian menolak ketidakadilan, maka nilai-nilai tersebut
akan tertanam kuat dan bertahan hingga dewasa.
Selain itu, banyak
studi menunjukkan bahwa perilaku menyimpang di usia dewasa sering kali berakar
dari ketidakterbiasaan anak terhadap nilai-nilai etika sejak kecil.¹⁰ Oleh
karena itu, memasukkan nilai antikorupsi ke dalam kurikulum anak-anak bukanlah
sekadar upaya preventif, tetapi merupakan investasi jangka panjang dalam
membangun masyarakat yang bersih, adil, dan beradab.
Catatan
Kaki
[1]
Transparency International Indonesia, Survei Persepsi Korupsi di
Sektor Pendidikan (Jakarta: TII, 2021), 8–11.
[2]
Masdar Hilmy, “Budaya Korupsi dan Strategi Transformasi Sosial,” Jurnal
Sosial Humaniora 18, no. 1 (2020): 45–46.
[3]
Nurul Saadah dan Heri Susanto, “Implementasi Pendidikan Antikorupsi di
Lembaga Pendidikan: Telaah Konseptual,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
26, no. 3 (2021): 352.
[4]
UNESCO, Education for Sustainable Development Goals: Learning
Objectives (Paris: UNESCO, 2017), 6.
[5]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan Antikorupsi untuk
Guru SMP dan SMA (Jakarta: KPK RI, 2019), 18–21.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 14.
[7]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 53–54.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 27–29.
[9]
Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child, trans. Marjorie
Gabain (New York: Free Press, 1965), 183–187.
[10]
Liliweri, Alo, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur (Yogyakarta: LKiS, 2005), 132.
4.
Strategi Implementasi Pendidikan Anti Korupsi
di Satuan Pendidikan
4.1.
Integrasi dalam Kurikulum dan Pembelajaran
Strategi utama dalam
implementasi pendidikan anti korupsi di satuan pendidikan adalah integrasi
nilai-nilai antikorupsi ke dalam kurikulum formal. Integrasi ini dapat
dilakukan melalui mata pelajaran yang relevan seperti Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, serta Ilmu
Pengetahuan Sosial. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan pendekatan interdisciplinary
yang menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian menolak
korupsi dalam berbagai mata pelajaran, bukan sebagai mata pelajaran
tersendiri.¹
Pada Kurikulum
Merdeka, penguatan nilai-nilai karakter dan antikorupsi sangat dimungkinkan
melalui Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Tema seperti “Gaya
Hidup Berkelanjutan”, “Kewirausahaan”, dan “Kebhinnekaan Global”
dapat dimanfaatkan untuk mendorong nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kerja
keras.² Sebagai contoh, proyek kewirausahaan di sekolah dapat diarahkan untuk
mengedukasi siswa mengenai pentingnya transparansi keuangan, pengelolaan
anggaran kelompok secara jujur, serta pelaporan kegiatan berbasis integritas.
4.2.
Metode dan Media dalam Pendidikan
Anti Korupsi
Pendidikan anti
korupsi memerlukan metode yang aktif, partisipatif, dan kontekstual. Beberapa
pendekatan pembelajaran yang efektif di antaranya adalah:
·
Studi kasus:
Siswa diajak menganalisis kasus korupsi nyata dari berita atau dokumentasi,
lalu mendiskusikan dampaknya terhadap masyarakat.
·
Simulasi dan role
play: Digunakan untuk mempraktikkan pengambilan keputusan etis dalam
situasi dilema moral.
·
Debat etik:
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan mempertimbangkan nilai-nilai moral
secara argumentatif.
·
Proyek sosial dan
aksi nyata: Mengajak siswa menyusun kampanye antikorupsi di lingkungan
sekolah atau komunitas.³
Media pendukung
seperti video edukatif, infografis, dan modul pembelajaran digital yang
disediakan oleh KPK dan Kemendikbud juga menjadi sumber belajar yang penting.
Teknologi digital dapat memfasilitasi pengajaran nilai dengan cara yang lebih
menarik dan interaktif, terutama bagi generasi muda yang akrab dengan platform
digital.⁴
4.3.
Pendidikan Nonformal dan Informal
Implementasi
pendidikan antikorupsi tidak terbatas pada ruang kelas formal. Dalam ranah
pendidikan nonformal, kegiatan seperti ekstrakurikuler,
seminar, pelatihan kepemimpinan siswa, dan lomba karya tulis
antikorupsi dapat menjadi wahana penting dalam pembentukan karakter. Organisasi
siswa seperti OSIS, Pramuka, dan Rohis perlu dibimbing untuk menanamkan budaya
kerja yang jujur dan akuntabel.⁵
Sementara itu, dalam
pendidikan informal, peran keluarga
sangat penting. Orang tua harus menjadi teladan dalam membangun budaya
antikorupsi, seperti bersikap jujur dalam pekerjaan, tidak membenarkan
kecurangan dalam ujian anak, dan menanamkan nilai tanggung jawab sejak dini.⁶
Dukungan masyarakat dan media
massa, termasuk media sosial, juga turut membentuk opini dan
kebiasaan antikorupsi melalui kampanye dan edukasi publik.
4.4.
Peran Guru dan Kepala Sekolah
sebagai Agen Perubahan
Guru memiliki posisi
strategis sebagai pembentuk karakter peserta didik. Oleh karena itu, penguatan
kapasitas guru dalam mengintegrasikan nilai-nilai antikorupsi dalam proses
pembelajaran sangat penting. Pelatihan dan pendampingan guru melalui
program-program KPK dan Kemendikbud merupakan bagian dari upaya memperluas
kompetensi pedagogik dan moral guru.⁷
Kepala sekolah
sebagai pemimpin satuan pendidikan juga memiliki peran penting dalam
menciptakan ekosistem sekolah yang transparan dan berintegritas. Implementasi
manajemen berbasis integritas, seperti penggunaan dana BOS secara transparan,
pemilihan pengurus OSIS yang demokratis, dan pelaporan kegiatan secara terbuka
menjadi contoh nyata dari internalisasi nilai antikorupsi dalam tata kelola
sekolah.⁸
Catatan
Kaki
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan Antikorupsi untuk
Guru SMP dan SMA (Jakarta: KPK RI, 2019), 13.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
31–35.
[3]
Nurul Saadah dan Heri Susanto, “Implementasi Pendidikan Antikorupsi di
Lembaga Pendidikan: Telaah Konseptual,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
26, no. 3 (2021): 356–357.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Sumber Belajar Antikorupsi Digital,
diakses 10 Mei 2025, https://aclc.kpk.go.id.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Penguatan Pendidikan
Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 47–50.
[6]
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rajawali
Pers, 2015), 148.
[7]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Pendidikan Antikorupsi
untuk Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta: KPK RI, 2020), 8–10.
[8]
Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2013), 112–115.
5.
Tantangan dan Solusi dalam Implementasi
Pendidikan Anti Korupsi
5.1.
Tantangan Struktural dan Kultural
Implementasi
pendidikan anti korupsi di satuan pendidikan tidak lepas dari berbagai
tantangan, baik dari sisi struktural maupun kultural. Secara struktural, salah
satu tantangan utama adalah minimnya regulasi yang mengikat dan sistem
evaluasi yang terukur dalam penerapan nilai-nilai antikorupsi
di sekolah. Banyak satuan pendidikan yang belum memiliki kebijakan internal
atau perangkat pembelajaran yang konsisten untuk mengintegrasikan pendidikan
karakter secara efektif, termasuk pendidikan anti korupsi.¹
Dari sisi kultural,
terdapat resistensi sosial akibat budaya permisif terhadap perilaku koruptif
yang sudah mengakar. Dalam banyak kasus, praktik ketidakjujuran di lingkungan
sekolah—seperti membiarkan siswa mencontek, manipulasi data kegiatan, atau
pembiaran terhadap pungutan liar—justru dianggap hal yang biasa.² Ketika
lingkungan sekolah tidak menampilkan keteladanan integritas, maka proses
internalisasi nilai antikorupsi menjadi lemah dan bersifat seremonial semata.
Selain itu, kurangnya
pemahaman dan pelatihan bagi pendidik terkait pendekatan
pedagogis dalam mengajarkan nilai-nilai antikorupsi menjadi kendala serius.
Guru kerap kali hanya menyampaikan pesan moral secara verbal tanpa metode yang
aplikatif, sehingga gagal menyentuh dimensi afektif dan tindakan peserta
didik.³
5.2.
Tantangan dalam Lingkungan Sosial
dan Digital
Tantangan lain
muncul dari pengaruh lingkungan sosial dan media digital. Dalam era informasi
yang serba cepat, peserta didik mudah terpapar narasi yang menormalisasi
praktik korupsi, terutama melalui media sosial atau pemberitaan tokoh publik
yang terjerat kasus korupsi namun tetap dielu-elukan.⁴ Hal ini menimbulkan
disonansi kognitif dan membuat nilai-nilai antikorupsi tampak kontradiktif
dengan realitas sosial.
Lebih dari itu,
akses teknologi yang tidak diimbangi dengan literasi etika dan digital dapat
mendorong perilaku menyimpang seperti plagiarisme, manipulasi data daring, dan
pencurian identitas akademik. Tantangan ini mempertegas pentingnya pendidikan
antikorupsi yang tidak hanya fokus pada pengetahuan, tetapi juga pada literasi
moral di era digital.⁵
5.3.
Solusi Strategis dalam Implementasi
Pendidikan Anti Korupsi
Untuk menjawab
tantangan-tantangan di atas, diperlukan langkah-langkah strategis yang bersifat
sistemik dan berkelanjutan. Pertama, penguatan kebijakan internal sekolah
sangat krusial. Sekolah perlu menetapkan kode etik, membentuk tim etika siswa,
serta menyusun kurikulum muatan lokal yang fokus pada pendidikan karakter dan
antikorupsi.⁶
Kedua, penguatan
kompetensi guru menjadi fondasi penting. Guru perlu dibekali
pelatihan pedagogis berbasis nilai, pendekatan pembelajaran partisipatif, serta
metodologi integratif lintas mata pelajaran. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
telah menyediakan modul pelatihan dan buku saku antikorupsi bagi guru dan
kepala sekolah sebagai bentuk dukungan teknis.⁷
Ketiga, penerapan
manajemen sekolah berbasis integritas. Kepala sekolah perlu
memastikan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran, pemilihan OSIS yang
demokratis, serta pelibatan komite sekolah dan orang tua dalam pengawasan mutu
pendidikan. Praktik-praktik ini menjadi contoh nyata pendidikan nilai dalam
tindakan kelembagaan.⁸
Keempat, penguatan
sinergi antar pihak. Pendidikan anti korupsi tidak dapat
dijalankan oleh sekolah saja, tetapi harus melibatkan berbagai pemangku
kepentingan: dinas pendidikan, lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil,
media, serta peran aktif keluarga.⁹ Sinergi ini dapat dikembangkan melalui
kegiatan kampanye, festival integritas, serta kolaborasi dalam program
pengembangan karakter.
Kelima, pengembangan
sistem evaluasi yang holistik. Sekolah perlu mengembangkan
indikator keberhasilan pendidikan antikorupsi yang tidak hanya bersifat
kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Misalnya, dengan menggunakan
instrumen survei kejujuran, penilaian sikap dalam proyek kolaboratif, dan
observasi perilaku siswa dalam kegiatan sekolah.¹⁰
Catatan
Kaki
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Grand Design Pendidikan Antikorupsi
di Indonesia (Jakarta: KPK RI, 2012), 22.
[2]
Masdar Hilmy, “Budaya Korupsi dan Transformasi Nilai,” Jurnal
Sosial Humaniora 18, no. 1 (2020): 44.
[3]
Nurul Saadah dan Heri Susanto, “Implementasi Pendidikan Antikorupsi di
Lembaga Pendidikan: Telaah Konseptual,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
26, no. 3 (2021): 359.
[4]
Ari Sujito, “Media, Politik, dan Korupsi: Refleksi atas Etika Sosial,” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 20, no. 2 (2019): 129–130.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Peta Jalan Pendidikan
2020–2035 (Jakarta: Kemendikbud, 2020), 68.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Penguatan Pendidikan
Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 35.
[7]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Pendidikan Antikorupsi
untuk Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta: KPK RI, 2020), 12–15.
[8]
Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2013), 116.
[9]
Transparency International Indonesia, Sinergi Multi-Pihak dalam
Pemberantasan Korupsi: Best Practices dari Sektor Pendidikan (Jakarta:
TII, 2021), 17–19.
[10]
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, Instrumen Evaluasi
Pendidikan Karakter di Sekolah (Jakarta: Kemendikbud, 2018), 22–23.
6.
Studi Kasus dan Praktik Baik
6.1.
Sekolah Berintegritas Binaan KPK:
Studi Kasus Implementasi
Salah satu contoh
nyata implementasi pendidikan anti korupsi dapat ditemukan dalam program “Sekolah
Berintegritas” yang digagas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sejak 2016. Program ini bertujuan untuk membangun budaya sekolah yang
menjunjung tinggi nilai-nilai antikorupsi melalui pendekatan yang holistik,
mulai dari aspek manajemen sekolah, pembelajaran, hingga budaya dan partisipasi
warga sekolah.¹
Salah satu sekolah
yang menjadi rujukan dalam program ini adalah SMA Negeri 3 Semarang, yang
ditetapkan sebagai pilot project oleh KPK karena komitmennya terhadap
transparansi tata kelola sekolah. Pihak sekolah menerapkan berbagai praktik
baik seperti pelaporan keuangan yang terbuka di papan informasi, pembentukan
"tim etika siswa", dan penyelenggaraan kelas integritas yang
mengajarkan nilai-nilai kejujuran melalui kegiatan interaktif.²
Selain itu,
penguatan karakter juga dilakukan melalui kegiatan literasi antikorupsi di
perpustakaan sekolah, pengintegrasian tema integritas dalam karya tulis ilmiah
siswa, serta kampanye anti plagiarisme di kalangan peserta didik. Praktik ini
tidak hanya mengedukasi siswa secara kognitif, tetapi juga memperkuat budaya
kolektif yang menolak segala bentuk kecurangan akademik dan sosial.³
6.2.
Peran Organisasi Siswa dan
Ekstrakurikuler
Praktik baik lainnya
dapat diamati dalam kegiatan organisasi siswa seperti OSIS dan Pramuka
yang diberdayakan untuk mempraktikkan nilai-nilai antikorupsi. Di beberapa
sekolah binaan KPK, pemilihan ketua OSIS dilakukan secara demokratis dengan
sistem kampanye terbuka, debat visi-misi, dan rekapitulasi suara yang diawasi
bersama guru dan siswa.⁴
Selain itu, kegiatan
Pramuka juga diarahkan untuk menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab
melalui proyek sosial berbasis masyarakat. Sebagai contoh, Pramuka di SMA
Negeri 1 Sleman menyelenggarakan program "Gerakan
Donasi Jujur" yang melibatkan siswa dalam mengelola dana kegiatan
secara akuntabel, membuat laporan pertanggungjawaban, dan mendistribusikan
bantuan kepada warga sekitar yang membutuhkan.⁵
Proyek-proyek
semacam ini memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik tentang
pentingnya akuntabilitas, transparansi, dan empati sosial—tiga pilar utama
dalam pendidikan anti korupsi.
6.3.
Integrasi Digital dan Media Kampanye
Di era digital,
pendidikan antikorupsi juga telah merambah ke ranah teknologi informasi. Salah
satu inovasi yang patut dicontoh adalah pemanfaatan media sosial dan platform
digital sebagai sarana kampanye nilai integritas. Di SMK
Negeri 2 Surakarta, siswa membuat konten edukatif berupa video
pendek, meme, dan infografis yang disebarkan melalui Instagram dan YouTube
sekolah dengan tema “Jujur Itu Keren”.⁶
Inisiatif ini
berhasil menarik perhatian tidak hanya dari lingkungan sekolah, tetapi juga
dari masyarakat luas. Interaksi yang terjadi di media sosial menjadi ruang
partisipatif yang memperkuat kesadaran kolektif mengenai bahaya korupsi dan
pentingnya membangun karakter sejak usia sekolah.
Lebih lanjut, KPK
juga mengembangkan portal digital pembelajaran antikorupsi
melalui situs https://aclc.kpk.go.id,
yang menyediakan modul, video edukasi, permainan interaktif, dan kuis yang
dapat digunakan oleh siswa dan guru di seluruh Indonesia.⁷ Inisiatif ini
menjadi contoh kolaborasi teknologi dan pendidikan karakter dalam skala
nasional.
6.4.
Refleksi dari Praktik Baik
Dari berbagai studi
kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pendidikan antikorupsi di satuan
pendidikan sangat ditentukan oleh komitmen kolektif seluruh elemen sekolah,
dari kepala sekolah, guru, siswa, hingga orang tua. Kunci praktik baik antara
lain:
·
Keteladanan pemimpin dan
pendidik.
·
Keterbukaan sistem
manajemen sekolah.
·
Keterlibatan aktif peserta
didik dalam proyek nilai.
·
Dukungan kebijakan dan
penguatan kapasitas.
Pendidikan anti
korupsi yang hidup bukanlah pendidikan yang bersifat seremonial, melainkan
pendidikan yang membentuk kebiasaan jujur dalam kehidupan sehari-hari peserta
didik dan komunitas sekolah secara keseluruhan. Oleh karena itu,
praktik-praktik baik perlu dikembangkan lebih luas sebagai model
replikasi dalam skala daerah dan nasional.
Catatan
Kaki
[1]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Grand Design Pendidikan Antikorupsi
di Indonesia (Jakarta: KPK RI, 2012), 27.
[2]
KPK RI, “Laporan Program Sekolah Berintegritas 2019: Studi Kasus di
SMAN 3 Semarang,” Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat,
2019, 12–15.
[3]
Nurul Saadah, “Literasi Antikorupsi sebagai Budaya Sekolah,” Jurnal
Karakter 4, no. 1 (2020): 67–69.
[4]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Pendidikan Antikorupsi untuk
OSIS dan Ekstrakurikuler (Jakarta: KPK RI, 2020), 18.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dokumentasi Praktik Baik
Pramuka Sekolah Anti Korupsi (Jakarta: Kemendikbud, 2021), 23–25.
[6]
SMA Negeri 2 Surakarta, “Kampanye Digital Integritas di Kalangan
Pelajar,” Laporan Inovasi Sekolah, 2023.
[7]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Sumber Belajar Digital Antikorupsi,
diakses 10 Mei 2025, https://aclc.kpk.go.id.
7.
Penutup
Korupsi merupakan tantangan serius yang tidak hanya
merusak sistem pemerintahan dan ekonomi negara, tetapi juga melemahkan
nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat. Pencegahan korupsi tidak cukup
hanya mengandalkan pendekatan hukum yang bersifat represif; diperlukan upaya
jangka panjang melalui strategi edukatif dan kultural. Dalam konteks ini, pendidikan
anti korupsi memegang peran sentral sebagai fondasi untuk membangun
generasi yang berintegritas, jujur, dan bertanggung jawab sejak usia dini.¹
Pendidikan anti korupsi bukan sekadar muatan
tambahan dalam kurikulum, melainkan harus menjadi bagian integral dari
pendidikan karakter dan budaya sekolah. Sebagaimana ditegaskan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), pendidikan antikorupsi sebaiknya tidak berdiri
sendiri, melainkan terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran, kegiatan
ekstrakurikuler, tata kelola sekolah, serta interaksi sosial antarwarga
sekolah.²
Berbagai studi kasus dan praktik baik, seperti
implementasi Sekolah Berintegritas, literasi antikorupsi, proyek
pelajar, hingga kampanye digital, menunjukkan bahwa strategi yang tepat,
partisipatif, dan berbasis nilai mampu menghasilkan dampak positif dalam
membentuk kesadaran moral siswa.³ Namun, implementasi pendidikan antikorupsi
masih menghadapi tantangan, terutama dari aspek struktural (minimnya kebijakan
penguatan karakter), kultural (budaya permisif terhadap ketidakjujuran), dan
pedagogis (kurangnya pelatihan guru dalam menerapkan pendekatan berbasis
nilai).⁴
Oleh karena itu, beberapa rekomendasi strategis
untuk memperkuat implementasi pendidikan antikorupsi di satuan pendidikan
antara lain:
1)
Menyusun kebijakan sekolah berbasis integritas yang menyentuh aspek kurikulum, manajemen, dan
etika komunitas sekolah.
2)
Meningkatkan kapasitas guru dan kepala sekolah melalui pelatihan pedagogi nilai dan manajemen
etika.
3)
Melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk orang tua, masyarakat, dan lembaga
pemerintah, dalam membangun budaya antikorupsi yang inklusif dan berkelanjutan.
4)
Mengembangkan sistem evaluasi pendidikan karakter yang mencakup indikator pengetahuan, sikap, dan
perilaku integritas.⁵
Akhirnya, membangun generasi antikorupsi bukanlah
pekerjaan instan, melainkan proses berkelanjutan yang dimulai dari ruang kelas
dan meluas ke ruang sosial. Pendidikan antikorupsi adalah investasi bangsa
dalam membangun peradaban yang bermartabat dan berkeadilan. Seperti yang
ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan adalah usaha untuk
memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani anak-anak, agar dapat memperbaiki
diri dan masyarakat.”⁶ Maka dari itu, pendidikan antikorupsi adalah bagian
dari misi luhur pendidikan nasional itu sendiri.
Catatan
Kaki
[1]
Transparency International Indonesia, Laporan
Indeks Persepsi Korupsi 2023: Korupsi sebagai Krisis Moral Bangsa (Jakarta:
TII, 2024), 4–5.
[2]
Komisi Pemberantasan Korupsi, Grand Design
Pendidikan Antikorupsi di Indonesia (Jakarta: KPK RI, 2012), 21–24.
[3]
KPK RI, “Laporan Praktik Baik Sekolah Berintegritas
2019,” Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, 2019, 13–17.
[4]
Nurul Saadah dan Heri Susanto, “Implementasi
Pendidikan Antikorupsi di Lembaga Pendidikan: Telaah Konseptual,” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 26, no. 3 (2021): 354–359.
[5]
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, Instrumen
Evaluasi Pendidikan Karakter di Sekolah (Jakarta: Kemendikbud, 2018),
22–23.
[6]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, ed.
Soewardi Soerjaningrat (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1962),
27.
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kemendikbud. (2018). Instrumen evaluasi pendidikan karakter di sekolah.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hasbullah. (2015). Dasar-dasar
ilmu pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Hilmy, M. (2020). Budaya
korupsi dan transformasi nilai. Jurnal Sosial Humaniora, 18(1), 43–47.
Jean Piaget. (1965). The
moral judgment of the child (M. Gabain, Trans.). New York: Free Press.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2017). Panduan penguatan pendidikan karakter. Jakarta:
Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2020). Peta jalan pendidikan 2020–2035. Jakarta:
Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2021). Dokumentasi praktik baik Pramuka sekolah anti korupsi.
Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Panduan projek penguatan profil
pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbudristek.
Ki Hadjar Dewantara.
(1962). Pendidikan (S. Soerjaningrat, Ed.). Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2012). Grand design pendidikan antikorupsi di Indonesia.
Jakarta: KPK RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2019). Modul pendidikan antikorupsi untuk pendidikan dasar dan
menengah. Jakarta: KPK RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2019). Laporan program sekolah berintegritas 2019: Studi kasus di
SMAN 3 Semarang. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2020). Buku saku pendidikan antikorupsi untuk guru dan kepala
sekolah. Jakarta: KPK RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2020). Modul pendidikan antikorupsi untuk OSIS dan
ekstrakurikuler. Jakarta: KPK RI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi. (2024). Sumber belajar digital antikorupsi. https://aclc.kpk.go.id
Lickona, T. (1991). Educating
for character: How our schools can teach respect and responsibility. New
York: Bantam Books.
Nurul Saadah, &
Susanto, H. (2021). Implementasi pendidikan antikorupsi di lembaga pendidikan:
Telaah konseptual. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 26(3), 345–361.
Sagala, S. (2013). Manajemen
strategik dalam peningkatan mutu pendidikan. Bandung: Alfabeta.
SMA Negeri 2 Surakarta.
(2023). Kampanye digital integritas di kalangan pelajar. Laporan Inovasi
Sekolah.
Sujito, A. (2019). Media,
politik, dan korupsi: Refleksi atas etika sosial. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, 20(2), 127–134.
Transparency International
Indonesia. (2021). Survei persepsi korupsi di sektor pendidikan.
Jakarta: TII.
Transparency International
Indonesia. (2024). Laporan indeks persepsi korupsi 2023: Korupsi sebagai
krisis moral bangsa. Jakarta: TII.
Transparency International
Indonesia. (2021). Sinergi multi-pihak dalam pemberantasan korupsi: Best
practices dari sektor pendidikan. Jakarta: TII.
UNESCO. (2017). Education
for sustainable development goals: Learning objectives. Paris: UNESCO.
United Nations Office on
Drugs and Crime. (2004). United Nations Convention against Corruption.
New York: United Nations.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134.
Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar