Menelusuri Jejak Waktu
Konsep Berpikir Kronologis (Diakronik) dalam Kajian
Sejarah
Alihkan ke: Konsep Berpikir Sejarah.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep
berpikir kronologis atau diakronik dalam kajian sejarah, sebuah pendekatan
penting yang menekankan urutan waktu, proses perubahan, dan kesinambungan
peristiwa sejarah. Melalui pendekatan ini, sejarah dipahami sebagai alur
naratif yang berkembang dari masa ke masa dan bukan sekadar kumpulan
fakta-fakta statis. Artikel ini memaparkan definisi dan karakteristik berpikir
diakronik, manfaat dan tujuannya dalam pendidikan sejarah, serta memberikan
contoh konkret penerapan dalam studi sejarah nasional dan lokal. Selain itu,
artikel ini juga menyajikan perbandingan antara pendekatan diakronik dan
sinkronik untuk menunjukkan bagaimana keduanya dapat saling melengkapi dalam
membentuk pemahaman sejarah yang utuh dan kritis. Dengan landasan dari berbagai
sumber ilmiah yang kredibel, artikel ini diharapkan menjadi kontribusi bagi penguatan
literasi sejarah dan pengembangan keterampilan berpikir historis dalam
pembelajaran di sekolah.
Kata Kunci: Berpikir diakronik; berpikir kronologis; sejarah;
pendidikan sejarah; perubahan sosial; pendekatan sinkronik; literasi historis.
PEMBAHASAN
Konsep Berpikir Kronologis (Diakronik) dalam Kajian
Sejarah
1.
Pendahuluan
Sejarah sebagai ilmu
tidak sekadar menyajikan rangkaian peristiwa masa lampau, melainkan juga
memerlukan cara berpikir yang sistematis dalam memahami hubungan antarperistiwa
secara berkesinambungan. Salah satu pendekatan fundamental dalam studi sejarah
adalah berpikir secara kronologis atau diakronik,
yaitu kemampuan untuk menelusuri peristiwa berdasarkan urutan waktu secara
runut dan logis. Pendekatan ini penting karena sejarah bukanlah kumpulan fakta
yang terpisah, melainkan jalinan peristiwa yang saling memengaruhi satu sama
lain dalam alur waktu yang dinamis.¹
Dalam dunia
pendidikan, keterampilan berpikir kronologis merupakan komponen utama dalam
membangun kesadaran sejarah (historical
awareness) peserta didik. Dengan memahami urutan kejadian dan keterkaitan
sebab-akibatnya, siswa dapat menangkap makna sejarah secara lebih mendalam dan
kontekstual.² Tanpa kemampuan berpikir kronologis, pemahaman terhadap sejarah
akan menjadi terfragmentasi, dan berpotensi melahirkan anakronisme—kesalahan
dalam menempatkan peristiwa atau gagasan ke dalam konteks waktu yang tidak
sesuai.³
Lebih dari sekadar
urutan waktu, berpikir diakronik menuntut kemampuan untuk melihat proses perubahan
dan keberlanjutan dalam lintasan sejarah. Konsep ini sejalan
dengan pandangan Kuntowijoyo, yang menekankan
bahwa sejarah adalah ilmu yang bersifat diakronik, artinya menelusuri peristiwa
secara memanjang dalam dimensi waktu.⁴ Sementara itu, Sartono
Kartodirdjo menegaskan bahwa sejarah sebagai ilmu harus mampu
menjelaskan proses-proses sosial secara dinamis melalui alur waktu yang
berkelanjutan.⁵
Dengan semakin
berkembangnya pendekatan pembelajaran berbasis literasi kritis dan integratif,
memahami konsep berpikir kronologis menjadi semakin mendesak. Tidak hanya untuk
menguasai pelajaran sejarah di kelas, tetapi juga untuk membekali generasi muda
dengan cara
berpikir historis yang tajam dan reflektif dalam menghadapi
berbagai persoalan kontemporer.
Footnotes
[1]
Peter N. Stearns, Meaning over Memory:
Recasting the Teaching of Culture and History (Chapel Hill: University of North Carolina Press,
1993), 23.
[2]
Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 38.
[3]
Sam Wineburg, Historical Thinking and
Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past (Philadelphia: Temple University Press, 2001), 67.
[4]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 15.
[5]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: LP3ES, 1993), 12.
2.
Pengertian Berpikir Kronologis (Diakronik)
Berpikir kronologis
atau diakronik
merupakan pendekatan dasar dalam memahami sejarah sebagai suatu proses yang
terjadi dalam alur waktu yang
berkesinambungan. Secara etimologis, istilah diakronik berasal dari bahasa
Yunani, yaitu dia yang berarti “melalui”
dan chronos
yang berarti “waktu”.1 Dalam konteks sejarah, berpikir
diakronik mengarahkan seseorang untuk menelusuri peristiwa secara berurutan
sesuai dengan waktu terjadinya, serta melihat perubahan dan kesinambungan
antarperistiwa dari masa ke masa.
Konsep ini menjadi
ciri khas ilmu sejarah karena peristiwa-peristiwa sejarah tidak berdiri
sendiri, melainkan saling berkaitan dalam jaringan sebab dan akibat yang
membentang sepanjang waktu.2 Pendekatan ini membantu kita menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam sejarah seperti: apa yang
terjadi, mengapa terjadi, bagaimana
dampaknya, dan bagaimana peristiwa itu berubah atau berkembang
dari waktu ke waktu.
Menurut Kuntowijoyo,
berpikir diakronik merupakan bagian dari karakter ilmu sejarah yang menekankan
pada urutan
kronologis untuk memahami proses sejarah. Ia menyatakan bahwa
sejarah adalah ilmu yang tidak hanya menceritakan apa yang telah terjadi,
tetapi juga bagaimana dan mengapa hal tersebut terjadi dalam suatu
kesinambungan waktu.3 Kuntowijoyo juga menekankan bahwa pendekatan
ini penting untuk membedakan ilmu sejarah dari ilmu-ilmu sosial lainnya,
seperti sosiologi atau antropologi yang bersifat sinkronik (memotret suatu
fenomena pada satu titik waktu).4
Dalam pendekatan
diakronik, setiap peristiwa dianalisis dalam konteks waktu yang mendahului dan
yang mengikutinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Sartono
Kartodirdjo, yang menegaskan bahwa sejarah harus dipahami
sebagai proses, bukan sebagai kumpulan fakta yang statis. Ia menyatakan bahwa
pemahaman sejarah yang sejati adalah memahami transformasi sosial yang terjadi
dalam rentang waktu tertentu dan bukan semata-mata menghafal tanggal-tanggal
penting.5
Berpikir kronologis
juga tidak sekadar mengenali urutan peristiwa, tetapi melibatkan keterampilan
untuk menyusun
narasi sejarah secara logis, serta menghubungkan fakta-fakta
sejarah dalam pola perkembangan yang sistematis.6 Dengan demikian,
pendekatan diakronik memfasilitasi pembentukan kesadaran waktu historis, yaitu
kemampuan untuk memahami bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan saling
berkaitan dalam alur sejarah umat manusia.
Footnotes
[1]
R. G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Oxford University Press, 1993), 50.
[2]
Peter N. Stearns, Why Study History? (American Historical Association, 1998), 2.
[3]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 12.
[4]
Ibid., 14.
[5]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: LP3ES, 1993), 11.
[6]
Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 40.
3.
Karakteristik dan Ciri-Ciri Berpikir Diakronik
Berpikir diakronik
dalam kajian sejarah bukan hanya sekadar menempatkan peristiwa dalam urutan
waktu, melainkan juga mencerminkan cara berpikir yang mengutamakan proses,
dinamika, dan kesinambungan dalam perjalanan sejarah. Konsep
ini memiliki sejumlah karakteristik penting yang membedakannya dari pendekatan
lainnya, terutama pendekatan sinkronik.
3.1.
Menekankan Urutan Kronologis
Ciri utama berpikir
diakronik adalah penyusunan peristiwa berdasarkan urutan waktu terjadinya
secara sistematis. Ini menjadi dasar untuk memahami alur sejarah secara logis
dan mencegah kekacauan kronologi yang dapat mengaburkan hubungan
antarperistiwa.1 Urutan kronologis ini memungkinkan kita untuk
mengenali pola perubahan, tahap-tahap perkembangan, serta momentum-momentum
penting dalam sejarah.
3.2.
Memahami Proses dan Perubahan
Berpikir diakronik
berfokus pada perubahan dari waktu ke waktu,
yang mencerminkan dinamika sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Sejarah bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus bergerak. Menurut
Kuntowijoyo, pendekatan ini membantu kita melihat “perubahan sebagai sebuah
proses historis yang menyatu dengan kehidupan manusia.”_2 Dengan
demikian, berpikir diakronik menekankan development over time—bagaimana
sesuatu bermula, berkembang, mengalami krisis, dan berubah.
3.3.
Menelusuri Sebab dan Akibat
Salah satu aspek
penting dari pendekatan diakronik adalah keterkaitannya dengan kausalitas.
Hubungan sebab-akibat antarperistiwa sejarah menjadi jelas ketika peristiwa
dianalisis secara kronologis. Seperti dijelaskan oleh Wineburg, pendekatan ini
memungkinkan siswa mengembangkan historical thinking, yakni
keterampilan untuk menghubungkan berbagai faktor penyebab dalam suatu peristiwa
dan bagaimana dampaknya membentuk masa depan.3
3.4.
Bersifat Naratif dan Kontekstual
Berbeda dengan
pendekatan sinkronik yang bersifat analitik, pendekatan diakronik cenderung naratif,
karena menyajikan rangkaian kejadian sebagai kisah yang berkesinambungan.
Sejarawan menyusun cerita sejarah secara kronologis dengan memperhatikan
konteks sosial dan budaya pada setiap tahap perkembangan.4 Hal ini
menekankan bahwa setiap peristiwa tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya.
3.5.
Menghargai Keberlanjutan dan Transformasi
Berpikir diakronik
tidak hanya melihat perubahan, tetapi juga keberlanjutan (continuity).
Sejarawan berupaya memahami bagaimana struktur, nilai, atau lembaga tertentu
bertahan dari satu masa ke masa lain, meskipun mengalami modifikasi.5
Ini penting untuk menunjukkan bahwa sejarah bukan semata-mata tentang revolusi
dan titik balik, tetapi juga tentang stabilitas dan kesinambungan.
Dengan kelima ciri
ini, berpikir diakronik menjadi landasan utama dalam pembelajaran sejarah
karena melatih peserta didik untuk tidak hanya mengingat fakta, tetapi juga
memahami struktur naratif dan logika perubahan dalam
lintasan waktu.
Footnotes
[1]
Peter N. Stearns, Why Study History? (American Historical Association, 1998), 2.
[2]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 18.
[3]
Sam Wineburg, Historical Thinking and
Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past (Philadelphia: Temple University Press, 2001), 72.
[4]
Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 41.
[5]
John Tosh, The Pursuit of History (London: Routledge, 2015), 38.
4.
Manfaat dan Tujuan Berpikir Kronologis dalam
Sejarah
Berpikir kronologis
atau diakronik dalam kajian sejarah memiliki peran sentral dalam membangun
pemahaman yang utuh dan bermakna terhadap masa lalu. Lebih dari sekadar
menyusun fakta secara berurutan, pendekatan ini memberikan kontribusi yang
signifikan dalam pembentukan kesadaran sejarah,
pengembangan keterampilan berpikir kritis,
serta penguatan
identitas kebangsaan dan orientasi masa depan.
4.1.
Membangun Pemahaman Mendalam terhadap Peristiwa
Sejarah
Manfaat pertama dari
berpikir kronologis adalah kemampuannya membantu siswa memahami alur
logis suatu peristiwa, dari sebab hingga akibat, serta
bagaimana suatu peristiwa terhubung dengan peristiwa lainnya.1
Menurut Keith Barton dan Linda Levstik, berpikir kronologis membantu peserta
didik mengenali hubungan antara tindakan manusia dan konsekuensinya dalam
lintasan waktu tertentu.2 Tanpa pendekatan ini, sejarah mudah
dipersepsi sebagai fragmen-fragmen informasi yang tak bermakna.
4.2.
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Historis
dan Kritis
Pendekatan diakronik
mendorong peserta didik untuk tidak sekadar menerima fakta sejarah secara
pasif, melainkan menganalisis keterkaitan antarperistiwa,
menilai keabsahan sumber, dan mengevaluasi berbagai versi narasi sejarah.
Wineburg menyebutkan bahwa berpikir historis melatih kemampuan bernalar
sebab-akibat serta memahami kompleksitas pilihan yang dihadapi oleh aktor
sejarah.3 Ini sejalan dengan tujuan pendidikan sejarah modern yang
menekankan higher-order
thinking skills (HOTS) dalam pembelajaran.
4.3.
Menumbuhkan Kesadaran Akan Perubahan dan
Keberlanjutan
Dengan memahami
bagaimana peristiwa-peristiwa terjadi dan berkembang, siswa dapat menyadari
bahwa perubahan
sosial tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses
panjang.4 Dalam hal ini, pendekatan diakronik membekali siswa dengan
perspektif bahwa sejarah bukan hanya tentang titik balik besar, tetapi juga
tentang kesinambungan nilai, budaya, dan institusi yang membentuk kehidupan
masyarakat.
4.4.
Menghindari Anakronisme dalam Pemahaman Sejarah
Berpikir kronologis
melatih siswa untuk tidak menilai masa lalu dengan standar masa
kini, sebuah kesalahan yang dikenal sebagai anakronisme.5
Keterampilan ini sangat penting agar siswa dapat menghargai latar belakang
historis secara objektif dan kontekstual, sehingga menghasilkan pemahaman yang
adil terhadap tokoh dan peristiwa sejarah.
4.5.
Menguatkan Identitas dan Rasa Kebangsaan
Melalui narasi
sejarah yang utuh dan kronologis, peserta didik mampu memahami perjalanan
bangsa dan negara, mengenali tantangan yang dihadapi, serta
menghargai perjuangan generasi terdahulu.6 Hal ini berkontribusi
pada pembentukan jati diri nasional dan memperkuat rasa tanggung jawab sebagai
warga negara.
4.6.
Membantu Perencanaan Masa Depan secara
Reflektif
Dengan melihat
bagaimana keputusan-keputusan di masa lalu membawa dampak terhadap masa kini,
siswa didorong untuk merenungkan konsekuensi dari pilihan dan
tindakan.7 Ini menjadikan sejarah tidak hanya sebagai
ilmu masa lalu, tetapi juga alat untuk membaca masa kini dan merancang masa depan
secara lebih bijak.
Dengan demikian,
berpikir kronologis merupakan keterampilan esensial dalam pendidikan sejarah
yang tidak hanya menumbuhkan literasi historis, tetapi juga membentuk cara
pandang yang matang dan reflektif terhadap kehidupan sosial.
Footnotes
[1]
Peter N. Stearns, Why Study History? (American Historical Association, 1998), 2.
[2]
Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 42.
[3]
Sam Wineburg, Historical Thinking and
Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past (Philadelphia: Temple University Press, 2001), 78.
[4]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 22.
[5]
John Tosh, The Pursuit of History (London: Routledge, 2015), 47.
[6]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: LP3ES, 1993), 14.
[7]
Peter Seixas dan Tom Morton, The
Big Six Historical Thinking Concepts
(Toronto: Nelson Education, 2013), 55.
5.
Contoh Penerapan Berpikir Diakronik dalam
Kajian Sejarah
Penerapan berpikir
diakronik dalam studi sejarah dapat ditemukan dalam berbagai kajian dan narasi
sejarah yang menitikberatkan pada proses perubahan, kesinambungan, dan hubungan
sebab-akibat antar peristiwa dalam lintasan waktu. Dalam
praktiknya, pendekatan ini sangat membantu dalam membangun pemahaman historis
yang utuh dan mendalam karena mampu menjelaskan bagaimana suatu kondisi masa
kini terbentuk dari rangkaian peristiwa di masa lalu.
5.1.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Peristiwa
yang Mendahuluinya
Kajian terhadap proklamasi
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan contoh konkret
penerapan berpikir diakronik. Sejarawan tidak hanya memfokuskan perhatian pada
peristiwa pembacaan teks proklamasi, tetapi juga menelusuri rangkaian
peristiwa yang mendahuluinya, seperti pendirian BPUPKI dan
PPKI, kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, peristiwa Rengasdengklok, hingga
peran tokoh-tokoh penting seperti Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo.1
Melalui pendekatan
diakronik, siswa diajak memahami bahwa proklamasi bukanlah peristiwa yang
berdiri sendiri, melainkan puncak dari proses panjang perjuangan diplomatik,
politik, dan militer rakyat Indonesia dalam melawan kolonialisme.2
5.2.
Perkembangan Nasionalisme Indonesia
Kajian tentang perkembangan
nasionalisme Indonesia sejak awal abad ke-20 juga mencerminkan
pemanfaatan berpikir diakronik. Sejarawan menelusuri kemunculan kesadaran
kebangsaan mulai dari organisasi seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam
(1911), pembentukan Indische Partij, Kongres Pemuda II (1928), hingga
berdirinya Partai Indonesia Raya dan perjuangan melalui jalur parlemen
kolonial.3
Dalam kajian ini,
pendekatan diakronik digunakan untuk menunjukkan bagaimana ide dan
identitas nasional dibangun secara bertahap, melalui pengalaman
bersama menghadapi penindasan kolonial serta interaksi dengan ideologi modern
seperti nasionalisme, sosialisme, dan pan-Islamisme.4
5.3.
Transformasi Sistem Pemerintahan Indonesia
Pasca-Kemerdekaan
Studi mengenai perubahan
sistem pemerintahan Indonesia dari masa kemerdekaan hingga era
Reformasi juga menuntut penggunaan pendekatan diakronik. Perjalanan politik
Indonesia melewati fase Demokrasi Parlementer (1945–1959), Demokrasi Terpimpin
(1959–1966), Orde Baru (1966–1998), hingga masa Reformasi, menunjukkan
bagaimana struktur kekuasaan dan kehidupan politik bangsa
mengalami perubahan signifikan yang dipengaruhi oleh dinamika
internal maupun tekanan global.5
Dengan menelusuri
perubahan-perubahan tersebut secara kronologis, kita dapat memahami proses
konsolidasi kekuasaan, pola hubungan pusat-daerah, militerisasi politik, serta
perjuangan untuk demokratisasi dan supremasi sipil.
5.4.
Studi Perubahan Sosial-Budaya dalam Masyarakat
Lokal
Pendekatan diakronik
juga diterapkan dalam studi sejarah lokal, seperti
penelitian mengenai perubahan pola kepemimpinan adat, sistem pertanian, hingga
pergeseran struktur sosial dalam masyarakat pedesaan Jawa atau Sumatera akibat
kolonialisme dan modernisasi.6 Dalam hal ini, berpikir kronologis
memungkinkan peneliti mengungkap bagaimana masyarakat beradaptasi terhadap
perubahan ekonomi-politik dari masa ke masa.
Melalui berbagai
contoh tersebut, jelas bahwa berpikir diakronik tidak hanya memperkuat
kemampuan analisis sejarah, tetapi juga menumbuhkan apresiasi terhadap kompleksitas dan
keragaman pengalaman historis, baik dalam lingkup nasional
maupun lokal.
Footnotes
[1]
Nugroho Notosusanto, Naskah
Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1995), 21.
[2]
Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, eds., Indonesia dalam Arus Sejarah: Kemerdekaan (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), 131–135.
[3]
Sartono Kartodirdjo, Pengantar
Sejarah Indonesia Baru (Jakarta:
Gramedia, 1993), 186.
[4]
Benedict R. O’G. Anderson, Language
and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 119.
[5]
Daniel S. Lev, Legal Evolution and
Political Authority in Indonesia
(The Hague: M. Nijhoff, 2000), 45.
[6]
Taufik Abdullah, Indonesia: Towards
Democracy (Singapore: ISEAS, 2009),
202.
6.
Perbandingan Berpikir Diakronik dan Sinkronik
Dalam kajian
sejarah, berpikir diakronik (kronologis) dan sinkronik (tematik-struktural)
merupakan dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar namun saling
melengkapi. Keduanya digunakan oleh sejarawan untuk memperoleh pemahaman yang
lebih utuh terhadap peristiwa masa lalu—baik dari segi urutan waktu maupun
struktur sosial yang melingkupinya.
6.1.
Fokus Kajian: Proses vs Struktur
Berpikir diakronik
berfokus pada proses perubahan dan kesinambungan dalam waktu.
Pendekatan ini menelusuri bagaimana suatu peristiwa atau fenomena terjadi,
berkembang, dan berubah dari satu periode ke periode lain secara kronologis.1
Sebaliknya, berpikir sinkronik lebih
menekankan pada analisis struktur dalam satu kerangka
waktu tertentu, tanpa memperhatikan urutan peristiwa secara
menyeluruh.2
Dalam konteks ini, diakronik
bersifat vertikal—menelusuri
rentang waktu dari masa lalu ke masa kini, sementara sinkronik bersifat horizontal—memotret
kondisi sosial, ekonomi, atau budaya pada satu titik waktu tertentu untuk
dianalisis secara mendalam.3
6.2.
Tujuan Analisis: Progresivitas vs Kedalaman
Tematik
Tujuan berpikir diakronik
adalah untuk memahami perjalanan dan perkembangan
suatu fenomena, serta mengungkap hubungan sebab-akibat antara
peristiwa secara berurutan.4 Sementara itu, berpikir sinkronik
bertujuan untuk menggali struktur, sistem, atau pola
kehidupan masyarakat dalam satu masa tertentu tanpa terikat
oleh urutan waktu.5 Misalnya, studi tentang struktur masyarakat
Majapahit pada abad ke-14 lebih cocok dianalisis secara sinkronik, sedangkan
perkembangan kerajaan Majapahit dari awal hingga runtuh dianalisis secara
diakronik.
6.3.
Karakter Naratif vs Analitik
Pendekatan diakronik
bersifat naratif, yakni menyusun sejarah sebagai kisah yang
berkembang seiring waktu. Pendekatan ini biasa digunakan dalam historiografi
tradisional dan modern untuk menyampaikan kronologi sejarah secara koheren.6
Sebaliknya, pendekatan sinkronik
lebih analitik, karena cenderung membedah satu aspek kehidupan
masyarakat secara mendalam dan menyeluruh dalam kerangka waktu tertentu,
seperti yang lazim dilakukan dalam kajian antropologi sejarah dan sejarah
sosial.7
6.4.
Hubungan Keduanya dalam Kajian Sejarah
Meskipun berbeda, pendekatan
diakronik dan sinkronik bukan untuk dipertentangkan,
melainkan untuk dikombinasikan dalam
kajian sejarah yang komprehensif.8 Seorang sejarawan dapat
menggunakan pendekatan diakronik untuk menelusuri perubahan politik Indonesia
dari masa kolonial ke kemerdekaan, lalu menggunakan pendekatan sinkronik untuk
menganalisis sistem pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan tahun
1945–1949.
Penggunaan kedua pendekatan
ini secara berimbang memberikan perspektif sejarah yang utuh
dan kontekstual, karena mampu menjelaskan bagaimana
dan mengapa perubahan terjadi (diakronik), serta apa
saja faktor struktural yang memengaruhi kehidupan masyarakat pada suatu masa
(sinkronik).
6.5.
Tabel Ringkas Perbandingan
6.5.1.
Berpikir
Diakronik
·
Fokus pada perubahan
dari waktu ke waktu.
·
Bertujuan untuk menelusuri
proses, perkembangan, dan kronologi peristiwa.
·
Pendekatannya naratif
dan historis.
·
Arah analisis bersifat vertikal
(melintasi berbagai periode waktu).
·
Contoh penerapan: Perkembangan
nasionalisme Indonesia dari awal abad ke-20 hingga proklamasi kemerdekaan.
6.5.2.
Berpikir
Sinkronik
·
Fokus pada struktur
sosial, ekonomi, budaya, atau politik dalam satu waktu tertentu.
·
Bertujuan untuk menggali
kedalaman suatu tema atau fenomena secara tematik.
·
Pendekatannya analitik
dan deskriptif.
·
Arah analisis bersifat horizontal
(menganalisis secara meluas dalam satu masa).
·
Contoh penerapan: Struktur
sosial masyarakat pada masa Kerajaan Majapahit abad ke-14.
Footnotes
[1]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 16.
[2]
Marc Bloch, The Historian’s Craft, terj. Peter Putnam (New York: Vintage Books, 1953),
30.
[3]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: LP3ES, 1993), 27.
[4]
John Tosh, The Pursuit of History (London: Routledge, 2015), 39.
[5]
Peter Burke, What is Cultural
History? (Cambridge: Polity Press,
2004), 44.
[6]
Georg G. Iggers, Historiography in the
Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Hanover: Wesleyan University Press, 2005), 67.
[7]
Evi Susanti, “Pendekatan Diakronik dan Sinkronik dalam Kajian Sejarah
Sosial,” Jurnal Sejarah dan Budaya, vol. 10, no. 1 (2022): 50.
[8]
Barbara Weinstein, “Developing Historical Thinking in the Classroom,” Journal of Social Studies Research, vol. 40, no. 1 (2016): 25.
7.
Kesimpulan
Berpikir kronologis
atau diakronik
merupakan fondasi penting dalam kajian sejarah yang memungkinkan seseorang
memahami alur waktu, proses perubahan, dan kesinambungan
peristiwa secara runtut dan logis. Dalam pendekatan ini,
sejarah tidak lagi dilihat sebagai sekadar hafalan fakta dan tanggal, melainkan
sebagai sebuah narasi dinamis yang menjelaskan
sebab dan akibat serta proses transformasi sosial sepanjang waktu.¹
Dengan menguasai
cara berpikir diakronik, peserta didik dapat mengembangkan kemampuan
berpikir historis, yakni kemampuan untuk mengaitkan peristiwa
dalam alur waktu, memahami konteks historis, dan menyusun narasi sejarah secara
kritis.² Keterampilan ini penting bukan hanya untuk memahami masa lalu, tetapi
juga untuk membaca masa kini dan merencanakan masa depan
secara reflektif, sebagaimana ditekankan oleh Peter Seixas
dalam konsep historical consciousness.³
Pendekatan ini juga
melatih siswa untuk menghindari anakronisme, yakni
penilaian yang keliru terhadap masa lalu dengan kacamata masa kini, dan
mendorong mereka untuk berpikir secara kontekstual, adil, dan objektif.⁴ Dalam
kerangka pendidikan, berpikir diakronik tidak hanya memperkuat literasi
sejarah, tetapi juga menanamkan kesadaran akan jati diri kebangsaan
dan mendorong partisipasi aktif sebagai warga negara yang memahami akar sejarah
bangsanya.⁵
Meski demikian,
berpikir diakronik sebaiknya tidak digunakan secara tunggal. Pendekatan ini
akan lebih bermakna jika dilakukan secara sinergis dengan pendekatan
sinkronik, yang berfokus pada struktur dan kondisi masyarakat
dalam satu masa tertentu. Kombinasi keduanya mampu menghasilkan pemahaman
sejarah yang lebih komprehensif dan seimbang,
sebagaimana disarankan oleh banyak ahli sejarah kontemporer.⁶
Oleh karena itu,
dalam pembelajaran sejarah di berbagai jenjang pendidikan, penguatan
keterampilan berpikir diakronik harus menjadi prioritas utama, karena ia
merupakan kunci untuk membuka pemahaman terhadap sejarah secara utuh—bukan
hanya sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai alat
refleksi dan transformasi sosial di tengah dinamika zaman yang
terus berubah.⁷
Footnotes
[1]
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 14.
[2]
Sam Wineburg, Historical Thinking and
Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past (Philadelphia: Temple University Press, 2001), 83.
[3]
Peter Seixas, “Historical Understanding Among Adolescents in a
Multicultural Setting,” Curriculum Inquiry 27, no. 3 (1997): 310.
[4]
John Tosh, The Pursuit of History (London: Routledge, 2015), 47.
[5]
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: LP3ES, 1993), 18.
[6]
Georg G. Iggers, Historiography in the
Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Hanover: Wesleyan University Press, 2005), 72.
[7]
Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 55.
Daftar Pustaka
Anderson, B. R. O’G.
(1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia.
Cornell University Press.
Abdullah, T. (2009). Indonesia:
Towards democracy. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Abdullah, T., & Lapian,
A. B. (Eds.). (2012). Indonesia dalam arus sejarah: Kemerdekaan.
Ichtiar Baru van Hoeve.
Barton, K. C., &
Levstik, L. S. (2004). Teaching history for the common good.
Lawrence Erlbaum Associates.
Bloch, M. (1953). The
historian’s craft (P. Putnam, Trans.). Vintage Books. (Original
work published 1949)
Burke, P. (2004). What
is cultural history? Polity Press.
Iggers, G. G. (2005). Historiography
in the twentieth century: From scientific objectivity to the postmodern
challenge (Updated ed.). Wesleyan University Press.
Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan
ilmu sosial dalam metodologi sejarah (Cet. ke-5). LP3ES.
Kuntowijoyo. (2005). Pengantar
ilmu sejarah. Bentang.
Lev, D. S. (2000). Legal
evolution and political authority in Indonesia. Martinus Nijhoff
Publishers.
Notosusanto, N. (1995). Naskah
proklamasi yang otentik dan rumusan Pancasila yang otentik. Pusat
Sejarah ABRI.
Seixas, P. (1997).
Historical understanding among adolescents in a multicultural setting. Curriculum
Inquiry, 27(3), 301–327. https://doi.org/10.1111/0362-6784.00057
Seixas, P., & Morton,
T. (2013). The big six historical thinking concepts.
Nelson Education.
Stearns, P. N. (1998). Why
study history? American Historical Association. https://www.historians.org/about-aha-and-membership/aha-history-and-archives/archives/why-study-history-(1998)
Stearns, P. N. (1993). Meaning
over memory: Recasting the teaching of culture and history.
University of North Carolina Press.
Susanti, E. (2022).
Pendekatan diakronik dan sinkronik dalam kajian sejarah sosial. Jurnal
Sejarah dan Budaya, 10(1), 45–54. https://doi.org/10.21067/jsb.v10i1.6000
Tosh, J. (2015). The
pursuit of history (6th ed.). Routledge.
Weinstein, B. (2016).
Developing historical thinking in the classroom. Journal of Social
Studies Research, 40(1), 23–31. https://doi.org/10.1016/j.jssr.2015.06.005
Wineburg, S. (2001). Historical
thinking and other unnatural acts: Charting the future of teaching the past.
Temple University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar