Jumat, 04 April 2025

Menelusuri Jejak Waktu: Konsep Berpikir Kronologis (Diakronik) dalam Kajian Sejarah

Menelusuri Jejak Waktu

Konsep Berpikir Kronologis (Diakronik) dalam Kajian Sejarah


Alihkan ke: Konsep Berpikir Sejarah.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep berpikir kronologis atau diakronik dalam kajian sejarah, sebuah pendekatan penting yang menekankan urutan waktu, proses perubahan, dan kesinambungan peristiwa sejarah. Melalui pendekatan ini, sejarah dipahami sebagai alur naratif yang berkembang dari masa ke masa dan bukan sekadar kumpulan fakta-fakta statis. Artikel ini memaparkan definisi dan karakteristik berpikir diakronik, manfaat dan tujuannya dalam pendidikan sejarah, serta memberikan contoh konkret penerapan dalam studi sejarah nasional dan lokal. Selain itu, artikel ini juga menyajikan perbandingan antara pendekatan diakronik dan sinkronik untuk menunjukkan bagaimana keduanya dapat saling melengkapi dalam membentuk pemahaman sejarah yang utuh dan kritis. Dengan landasan dari berbagai sumber ilmiah yang kredibel, artikel ini diharapkan menjadi kontribusi bagi penguatan literasi sejarah dan pengembangan keterampilan berpikir historis dalam pembelajaran di sekolah.

Kata Kunci: Berpikir diakronik; berpikir kronologis; sejarah; pendidikan sejarah; perubahan sosial; pendekatan sinkronik; literasi historis.


PEMBAHASAN

Konsep Berpikir Kronologis (Diakronik) dalam Kajian Sejarah


1.           Pendahuluan

Sejarah sebagai ilmu tidak sekadar menyajikan rangkaian peristiwa masa lampau, melainkan juga memerlukan cara berpikir yang sistematis dalam memahami hubungan antarperistiwa secara berkesinambungan. Salah satu pendekatan fundamental dalam studi sejarah adalah berpikir secara kronologis atau diakronik, yaitu kemampuan untuk menelusuri peristiwa berdasarkan urutan waktu secara runut dan logis. Pendekatan ini penting karena sejarah bukanlah kumpulan fakta yang terpisah, melainkan jalinan peristiwa yang saling memengaruhi satu sama lain dalam alur waktu yang dinamis.¹

Dalam dunia pendidikan, keterampilan berpikir kronologis merupakan komponen utama dalam membangun kesadaran sejarah (historical awareness) peserta didik. Dengan memahami urutan kejadian dan keterkaitan sebab-akibatnya, siswa dapat menangkap makna sejarah secara lebih mendalam dan kontekstual.² Tanpa kemampuan berpikir kronologis, pemahaman terhadap sejarah akan menjadi terfragmentasi, dan berpotensi melahirkan anakronisme—kesalahan dalam menempatkan peristiwa atau gagasan ke dalam konteks waktu yang tidak sesuai.³

Lebih dari sekadar urutan waktu, berpikir diakronik menuntut kemampuan untuk melihat proses perubahan dan keberlanjutan dalam lintasan sejarah. Konsep ini sejalan dengan pandangan Kuntowijoyo, yang menekankan bahwa sejarah adalah ilmu yang bersifat diakronik, artinya menelusuri peristiwa secara memanjang dalam dimensi waktu.⁴ Sementara itu, Sartono Kartodirdjo menegaskan bahwa sejarah sebagai ilmu harus mampu menjelaskan proses-proses sosial secara dinamis melalui alur waktu yang berkelanjutan.⁵

Dengan semakin berkembangnya pendekatan pembelajaran berbasis literasi kritis dan integratif, memahami konsep berpikir kronologis menjadi semakin mendesak. Tidak hanya untuk menguasai pelajaran sejarah di kelas, tetapi juga untuk membekali generasi muda dengan cara berpikir historis yang tajam dan reflektif dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer.


Footnotes

[1]                Peter N. Stearns, Meaning over Memory: Recasting the Teaching of Culture and History (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1993), 23.

[2]                Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 38.

[3]                Sam Wineburg, Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past (Philadelphia: Temple University Press, 2001), 67.

[4]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 15.

[5]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1993), 12.


2.           Pengertian Berpikir Kronologis (Diakronik)

Berpikir kronologis atau diakronik merupakan pendekatan dasar dalam memahami sejarah sebagai suatu proses yang terjadi dalam alur waktu yang berkesinambungan. Secara etimologis, istilah diakronik berasal dari bahasa Yunani, yaitu dia yang berarti “melalui” dan chronos yang berarti “waktu”.1 Dalam konteks sejarah, berpikir diakronik mengarahkan seseorang untuk menelusuri peristiwa secara berurutan sesuai dengan waktu terjadinya, serta melihat perubahan dan kesinambungan antarperistiwa dari masa ke masa.

Konsep ini menjadi ciri khas ilmu sejarah karena peristiwa-peristiwa sejarah tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dalam jaringan sebab dan akibat yang membentang sepanjang waktu.2 Pendekatan ini membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam sejarah seperti: apa yang terjadi, mengapa terjadi, bagaimana dampaknya, dan bagaimana peristiwa itu berubah atau berkembang dari waktu ke waktu.

Menurut Kuntowijoyo, berpikir diakronik merupakan bagian dari karakter ilmu sejarah yang menekankan pada urutan kronologis untuk memahami proses sejarah. Ia menyatakan bahwa sejarah adalah ilmu yang tidak hanya menceritakan apa yang telah terjadi, tetapi juga bagaimana dan mengapa hal tersebut terjadi dalam suatu kesinambungan waktu.3 Kuntowijoyo juga menekankan bahwa pendekatan ini penting untuk membedakan ilmu sejarah dari ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi atau antropologi yang bersifat sinkronik (memotret suatu fenomena pada satu titik waktu).4

Dalam pendekatan diakronik, setiap peristiwa dianalisis dalam konteks waktu yang mendahului dan yang mengikutinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Sartono Kartodirdjo, yang menegaskan bahwa sejarah harus dipahami sebagai proses, bukan sebagai kumpulan fakta yang statis. Ia menyatakan bahwa pemahaman sejarah yang sejati adalah memahami transformasi sosial yang terjadi dalam rentang waktu tertentu dan bukan semata-mata menghafal tanggal-tanggal penting.5

Berpikir kronologis juga tidak sekadar mengenali urutan peristiwa, tetapi melibatkan keterampilan untuk menyusun narasi sejarah secara logis, serta menghubungkan fakta-fakta sejarah dalam pola perkembangan yang sistematis.6 Dengan demikian, pendekatan diakronik memfasilitasi pembentukan kesadaran waktu historis, yaitu kemampuan untuk memahami bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan saling berkaitan dalam alur sejarah umat manusia.


Footnotes

[1]                R. G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Oxford University Press, 1993), 50.

[2]                Peter N. Stearns, Why Study History? (American Historical Association, 1998), 2.

[3]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 12.

[4]                Ibid., 14.

[5]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1993), 11.

[6]                Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 40.


3.           Karakteristik dan Ciri-Ciri Berpikir Diakronik

Berpikir diakronik dalam kajian sejarah bukan hanya sekadar menempatkan peristiwa dalam urutan waktu, melainkan juga mencerminkan cara berpikir yang mengutamakan proses, dinamika, dan kesinambungan dalam perjalanan sejarah. Konsep ini memiliki sejumlah karakteristik penting yang membedakannya dari pendekatan lainnya, terutama pendekatan sinkronik.

3.1.       Menekankan Urutan Kronologis

Ciri utama berpikir diakronik adalah penyusunan peristiwa berdasarkan urutan waktu terjadinya secara sistematis. Ini menjadi dasar untuk memahami alur sejarah secara logis dan mencegah kekacauan kronologi yang dapat mengaburkan hubungan antarperistiwa.1 Urutan kronologis ini memungkinkan kita untuk mengenali pola perubahan, tahap-tahap perkembangan, serta momentum-momentum penting dalam sejarah.

3.2.       Memahami Proses dan Perubahan

Berpikir diakronik berfokus pada perubahan dari waktu ke waktu, yang mencerminkan dinamika sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sejarah bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus bergerak. Menurut Kuntowijoyo, pendekatan ini membantu kita melihat “perubahan sebagai sebuah proses historis yang menyatu dengan kehidupan manusia.”_2 Dengan demikian, berpikir diakronik menekankan development over time—bagaimana sesuatu bermula, berkembang, mengalami krisis, dan berubah.

3.3.       Menelusuri Sebab dan Akibat

Salah satu aspek penting dari pendekatan diakronik adalah keterkaitannya dengan kausalitas. Hubungan sebab-akibat antarperistiwa sejarah menjadi jelas ketika peristiwa dianalisis secara kronologis. Seperti dijelaskan oleh Wineburg, pendekatan ini memungkinkan siswa mengembangkan historical thinking, yakni keterampilan untuk menghubungkan berbagai faktor penyebab dalam suatu peristiwa dan bagaimana dampaknya membentuk masa depan.3

3.4.       Bersifat Naratif dan Kontekstual

Berbeda dengan pendekatan sinkronik yang bersifat analitik, pendekatan diakronik cenderung naratif, karena menyajikan rangkaian kejadian sebagai kisah yang berkesinambungan. Sejarawan menyusun cerita sejarah secara kronologis dengan memperhatikan konteks sosial dan budaya pada setiap tahap perkembangan.4 Hal ini menekankan bahwa setiap peristiwa tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya.

3.5.       Menghargai Keberlanjutan dan Transformasi

Berpikir diakronik tidak hanya melihat perubahan, tetapi juga keberlanjutan (continuity). Sejarawan berupaya memahami bagaimana struktur, nilai, atau lembaga tertentu bertahan dari satu masa ke masa lain, meskipun mengalami modifikasi.5 Ini penting untuk menunjukkan bahwa sejarah bukan semata-mata tentang revolusi dan titik balik, tetapi juga tentang stabilitas dan kesinambungan.

Dengan kelima ciri ini, berpikir diakronik menjadi landasan utama dalam pembelajaran sejarah karena melatih peserta didik untuk tidak hanya mengingat fakta, tetapi juga memahami struktur naratif dan logika perubahan dalam lintasan waktu.


Footnotes

[1]                Peter N. Stearns, Why Study History? (American Historical Association, 1998), 2.

[2]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 18.

[3]                Sam Wineburg, Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past (Philadelphia: Temple University Press, 2001), 72.

[4]                Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 41.

[5]                John Tosh, The Pursuit of History (London: Routledge, 2015), 38.


4.           Manfaat dan Tujuan Berpikir Kronologis dalam Sejarah

Berpikir kronologis atau diakronik dalam kajian sejarah memiliki peran sentral dalam membangun pemahaman yang utuh dan bermakna terhadap masa lalu. Lebih dari sekadar menyusun fakta secara berurutan, pendekatan ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembentukan kesadaran sejarah, pengembangan keterampilan berpikir kritis, serta penguatan identitas kebangsaan dan orientasi masa depan.

4.1.       Membangun Pemahaman Mendalam terhadap Peristiwa Sejarah

Manfaat pertama dari berpikir kronologis adalah kemampuannya membantu siswa memahami alur logis suatu peristiwa, dari sebab hingga akibat, serta bagaimana suatu peristiwa terhubung dengan peristiwa lainnya.1 Menurut Keith Barton dan Linda Levstik, berpikir kronologis membantu peserta didik mengenali hubungan antara tindakan manusia dan konsekuensinya dalam lintasan waktu tertentu.2 Tanpa pendekatan ini, sejarah mudah dipersepsi sebagai fragmen-fragmen informasi yang tak bermakna.

4.2.       Mengembangkan Keterampilan Berpikir Historis dan Kritis

Pendekatan diakronik mendorong peserta didik untuk tidak sekadar menerima fakta sejarah secara pasif, melainkan menganalisis keterkaitan antarperistiwa, menilai keabsahan sumber, dan mengevaluasi berbagai versi narasi sejarah. Wineburg menyebutkan bahwa berpikir historis melatih kemampuan bernalar sebab-akibat serta memahami kompleksitas pilihan yang dihadapi oleh aktor sejarah.3 Ini sejalan dengan tujuan pendidikan sejarah modern yang menekankan higher-order thinking skills (HOTS) dalam pembelajaran.

4.3.       Menumbuhkan Kesadaran Akan Perubahan dan Keberlanjutan

Dengan memahami bagaimana peristiwa-peristiwa terjadi dan berkembang, siswa dapat menyadari bahwa perubahan sosial tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang.4 Dalam hal ini, pendekatan diakronik membekali siswa dengan perspektif bahwa sejarah bukan hanya tentang titik balik besar, tetapi juga tentang kesinambungan nilai, budaya, dan institusi yang membentuk kehidupan masyarakat.

4.4.       Menghindari Anakronisme dalam Pemahaman Sejarah

Berpikir kronologis melatih siswa untuk tidak menilai masa lalu dengan standar masa kini, sebuah kesalahan yang dikenal sebagai anakronisme.5 Keterampilan ini sangat penting agar siswa dapat menghargai latar belakang historis secara objektif dan kontekstual, sehingga menghasilkan pemahaman yang adil terhadap tokoh dan peristiwa sejarah.

4.5.       Menguatkan Identitas dan Rasa Kebangsaan

Melalui narasi sejarah yang utuh dan kronologis, peserta didik mampu memahami perjalanan bangsa dan negara, mengenali tantangan yang dihadapi, serta menghargai perjuangan generasi terdahulu.6 Hal ini berkontribusi pada pembentukan jati diri nasional dan memperkuat rasa tanggung jawab sebagai warga negara.

4.6.       Membantu Perencanaan Masa Depan secara Reflektif

Dengan melihat bagaimana keputusan-keputusan di masa lalu membawa dampak terhadap masa kini, siswa didorong untuk merenungkan konsekuensi dari pilihan dan tindakan.7 Ini menjadikan sejarah tidak hanya sebagai ilmu masa lalu, tetapi juga alat untuk membaca masa kini dan merancang masa depan secara lebih bijak.

Dengan demikian, berpikir kronologis merupakan keterampilan esensial dalam pendidikan sejarah yang tidak hanya menumbuhkan literasi historis, tetapi juga membentuk cara pandang yang matang dan reflektif terhadap kehidupan sosial.


Footnotes

[1]                Peter N. Stearns, Why Study History? (American Historical Association, 1998), 2.

[2]                Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 42.

[3]                Sam Wineburg, Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past (Philadelphia: Temple University Press, 2001), 78.

[4]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 22.

[5]                John Tosh, The Pursuit of History (London: Routledge, 2015), 47.

[6]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1993), 14.

[7]                Peter Seixas dan Tom Morton, The Big Six Historical Thinking Concepts (Toronto: Nelson Education, 2013), 55.


5.           Contoh Penerapan Berpikir Diakronik dalam Kajian Sejarah

Penerapan berpikir diakronik dalam studi sejarah dapat ditemukan dalam berbagai kajian dan narasi sejarah yang menitikberatkan pada proses perubahan, kesinambungan, dan hubungan sebab-akibat antar peristiwa dalam lintasan waktu. Dalam praktiknya, pendekatan ini sangat membantu dalam membangun pemahaman historis yang utuh dan mendalam karena mampu menjelaskan bagaimana suatu kondisi masa kini terbentuk dari rangkaian peristiwa di masa lalu.

5.1.       Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Peristiwa yang Mendahuluinya

Kajian terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan contoh konkret penerapan berpikir diakronik. Sejarawan tidak hanya memfokuskan perhatian pada peristiwa pembacaan teks proklamasi, tetapi juga menelusuri rangkaian peristiwa yang mendahuluinya, seperti pendirian BPUPKI dan PPKI, kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik, peristiwa Rengasdengklok, hingga peran tokoh-tokoh penting seperti Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo.1

Melalui pendekatan diakronik, siswa diajak memahami bahwa proklamasi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan puncak dari proses panjang perjuangan diplomatik, politik, dan militer rakyat Indonesia dalam melawan kolonialisme.2

5.2.       Perkembangan Nasionalisme Indonesia

Kajian tentang perkembangan nasionalisme Indonesia sejak awal abad ke-20 juga mencerminkan pemanfaatan berpikir diakronik. Sejarawan menelusuri kemunculan kesadaran kebangsaan mulai dari organisasi seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1911), pembentukan Indische Partij, Kongres Pemuda II (1928), hingga berdirinya Partai Indonesia Raya dan perjuangan melalui jalur parlemen kolonial.3

Dalam kajian ini, pendekatan diakronik digunakan untuk menunjukkan bagaimana ide dan identitas nasional dibangun secara bertahap, melalui pengalaman bersama menghadapi penindasan kolonial serta interaksi dengan ideologi modern seperti nasionalisme, sosialisme, dan pan-Islamisme.4

5.3.       Transformasi Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca-Kemerdekaan

Studi mengenai perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari masa kemerdekaan hingga era Reformasi juga menuntut penggunaan pendekatan diakronik. Perjalanan politik Indonesia melewati fase Demokrasi Parlementer (1945–1959), Demokrasi Terpimpin (1959–1966), Orde Baru (1966–1998), hingga masa Reformasi, menunjukkan bagaimana struktur kekuasaan dan kehidupan politik bangsa mengalami perubahan signifikan yang dipengaruhi oleh dinamika internal maupun tekanan global.5

Dengan menelusuri perubahan-perubahan tersebut secara kronologis, kita dapat memahami proses konsolidasi kekuasaan, pola hubungan pusat-daerah, militerisasi politik, serta perjuangan untuk demokratisasi dan supremasi sipil.

5.4.       Studi Perubahan Sosial-Budaya dalam Masyarakat Lokal

Pendekatan diakronik juga diterapkan dalam studi sejarah lokal, seperti penelitian mengenai perubahan pola kepemimpinan adat, sistem pertanian, hingga pergeseran struktur sosial dalam masyarakat pedesaan Jawa atau Sumatera akibat kolonialisme dan modernisasi.6 Dalam hal ini, berpikir kronologis memungkinkan peneliti mengungkap bagaimana masyarakat beradaptasi terhadap perubahan ekonomi-politik dari masa ke masa.

Melalui berbagai contoh tersebut, jelas bahwa berpikir diakronik tidak hanya memperkuat kemampuan analisis sejarah, tetapi juga menumbuhkan apresiasi terhadap kompleksitas dan keragaman pengalaman historis, baik dalam lingkup nasional maupun lokal.


Footnotes

[1]                Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1995), 21.

[2]                Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, eds., Indonesia dalam Arus Sejarah: Kemerdekaan (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), 131–135.

[3]                Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Jakarta: Gramedia, 1993), 186.

[4]                Benedict R. O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), 119.

[5]                Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Authority in Indonesia (The Hague: M. Nijhoff, 2000), 45.

[6]                Taufik Abdullah, Indonesia: Towards Democracy (Singapore: ISEAS, 2009), 202.


6.           Perbandingan Berpikir Diakronik dan Sinkronik

Dalam kajian sejarah, berpikir diakronik (kronologis) dan sinkronik (tematik-struktural) merupakan dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar namun saling melengkapi. Keduanya digunakan oleh sejarawan untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh terhadap peristiwa masa lalu—baik dari segi urutan waktu maupun struktur sosial yang melingkupinya.

6.1.       Fokus Kajian: Proses vs Struktur

Berpikir diakronik berfokus pada proses perubahan dan kesinambungan dalam waktu. Pendekatan ini menelusuri bagaimana suatu peristiwa atau fenomena terjadi, berkembang, dan berubah dari satu periode ke periode lain secara kronologis.1 Sebaliknya, berpikir sinkronik lebih menekankan pada analisis struktur dalam satu kerangka waktu tertentu, tanpa memperhatikan urutan peristiwa secara menyeluruh.2

Dalam konteks ini, diakronik bersifat vertikal—menelusuri rentang waktu dari masa lalu ke masa kini, sementara sinkronik bersifat horizontal—memotret kondisi sosial, ekonomi, atau budaya pada satu titik waktu tertentu untuk dianalisis secara mendalam.3

6.2.       Tujuan Analisis: Progresivitas vs Kedalaman Tematik

Tujuan berpikir diakronik adalah untuk memahami perjalanan dan perkembangan suatu fenomena, serta mengungkap hubungan sebab-akibat antara peristiwa secara berurutan.4 Sementara itu, berpikir sinkronik bertujuan untuk menggali struktur, sistem, atau pola kehidupan masyarakat dalam satu masa tertentu tanpa terikat oleh urutan waktu.5 Misalnya, studi tentang struktur masyarakat Majapahit pada abad ke-14 lebih cocok dianalisis secara sinkronik, sedangkan perkembangan kerajaan Majapahit dari awal hingga runtuh dianalisis secara diakronik.

6.3.       Karakter Naratif vs Analitik

Pendekatan diakronik bersifat naratif, yakni menyusun sejarah sebagai kisah yang berkembang seiring waktu. Pendekatan ini biasa digunakan dalam historiografi tradisional dan modern untuk menyampaikan kronologi sejarah secara koheren.6

Sebaliknya, pendekatan sinkronik lebih analitik, karena cenderung membedah satu aspek kehidupan masyarakat secara mendalam dan menyeluruh dalam kerangka waktu tertentu, seperti yang lazim dilakukan dalam kajian antropologi sejarah dan sejarah sosial.7

6.4.       Hubungan Keduanya dalam Kajian Sejarah

Meskipun berbeda, pendekatan diakronik dan sinkronik bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dikombinasikan dalam kajian sejarah yang komprehensif.8 Seorang sejarawan dapat menggunakan pendekatan diakronik untuk menelusuri perubahan politik Indonesia dari masa kolonial ke kemerdekaan, lalu menggunakan pendekatan sinkronik untuk menganalisis sistem pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan tahun 1945–1949.

Penggunaan kedua pendekatan ini secara berimbang memberikan perspektif sejarah yang utuh dan kontekstual, karena mampu menjelaskan bagaimana dan mengapa perubahan terjadi (diakronik), serta apa saja faktor struktural yang memengaruhi kehidupan masyarakat pada suatu masa (sinkronik).

6.5.       Tabel Ringkas Perbandingan

6.5.1.    Berpikir Diakronik

·                     Fokus pada perubahan dari waktu ke waktu.

·                     Bertujuan untuk menelusuri proses, perkembangan, dan kronologi peristiwa.

·                     Pendekatannya naratif dan historis.

·                     Arah analisis bersifat vertikal (melintasi berbagai periode waktu).

·                     Contoh penerapan: Perkembangan nasionalisme Indonesia dari awal abad ke-20 hingga proklamasi kemerdekaan.

6.5.2.      Berpikir Sinkronik

·                     Fokus pada struktur sosial, ekonomi, budaya, atau politik dalam satu waktu tertentu.

·                     Bertujuan untuk menggali kedalaman suatu tema atau fenomena secara tematik.

·                     Pendekatannya analitik dan deskriptif.

·                     Arah analisis bersifat horizontal (menganalisis secara meluas dalam satu masa).

·                     Contoh penerapan: Struktur sosial masyarakat pada masa Kerajaan Majapahit abad ke-14.


Footnotes

[1]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 16.

[2]                Marc Bloch, The Historian’s Craft, terj. Peter Putnam (New York: Vintage Books, 1953), 30.

[3]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1993), 27.

[4]                John Tosh, The Pursuit of History (London: Routledge, 2015), 39.

[5]                Peter Burke, What is Cultural History? (Cambridge: Polity Press, 2004), 44.

[6]                Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Hanover: Wesleyan University Press, 2005), 67.

[7]                Evi Susanti, “Pendekatan Diakronik dan Sinkronik dalam Kajian Sejarah Sosial,” Jurnal Sejarah dan Budaya, vol. 10, no. 1 (2022): 50.

[8]                Barbara Weinstein, “Developing Historical Thinking in the Classroom,” Journal of Social Studies Research, vol. 40, no. 1 (2016): 25.


7.           Kesimpulan

Berpikir kronologis atau diakronik merupakan fondasi penting dalam kajian sejarah yang memungkinkan seseorang memahami alur waktu, proses perubahan, dan kesinambungan peristiwa secara runtut dan logis. Dalam pendekatan ini, sejarah tidak lagi dilihat sebagai sekadar hafalan fakta dan tanggal, melainkan sebagai sebuah narasi dinamis yang menjelaskan sebab dan akibat serta proses transformasi sosial sepanjang waktu.¹

Dengan menguasai cara berpikir diakronik, peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir historis, yakni kemampuan untuk mengaitkan peristiwa dalam alur waktu, memahami konteks historis, dan menyusun narasi sejarah secara kritis.² Keterampilan ini penting bukan hanya untuk memahami masa lalu, tetapi juga untuk membaca masa kini dan merencanakan masa depan secara reflektif, sebagaimana ditekankan oleh Peter Seixas dalam konsep historical consciousness

Pendekatan ini juga melatih siswa untuk menghindari anakronisme, yakni penilaian yang keliru terhadap masa lalu dengan kacamata masa kini, dan mendorong mereka untuk berpikir secara kontekstual, adil, dan objektif.⁴ Dalam kerangka pendidikan, berpikir diakronik tidak hanya memperkuat literasi sejarah, tetapi juga menanamkan kesadaran akan jati diri kebangsaan dan mendorong partisipasi aktif sebagai warga negara yang memahami akar sejarah bangsanya.⁵

Meski demikian, berpikir diakronik sebaiknya tidak digunakan secara tunggal. Pendekatan ini akan lebih bermakna jika dilakukan secara sinergis dengan pendekatan sinkronik, yang berfokus pada struktur dan kondisi masyarakat dalam satu masa tertentu. Kombinasi keduanya mampu menghasilkan pemahaman sejarah yang lebih komprehensif dan seimbang, sebagaimana disarankan oleh banyak ahli sejarah kontemporer.⁶

Oleh karena itu, dalam pembelajaran sejarah di berbagai jenjang pendidikan, penguatan keterampilan berpikir diakronik harus menjadi prioritas utama, karena ia merupakan kunci untuk membuka pemahaman terhadap sejarah secara utuh—bukan hanya sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai alat refleksi dan transformasi sosial di tengah dinamika zaman yang terus berubah.⁷


Footnotes

[1]                Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), 14.

[2]                Sam Wineburg, Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past (Philadelphia: Temple University Press, 2001), 83.

[3]                Peter Seixas, “Historical Understanding Among Adolescents in a Multicultural Setting,” Curriculum Inquiry 27, no. 3 (1997): 310.

[4]                John Tosh, The Pursuit of History (London: Routledge, 2015), 47.

[5]                Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1993), 18.

[6]                Georg G. Iggers, Historiography in the Twentieth Century: From Scientific Objectivity to the Postmodern Challenge (Hanover: Wesleyan University Press, 2005), 72.

[7]                Keith C. Barton dan Linda S. Levstik, Teaching History for the Common Good (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 55.


Daftar Pustaka

Anderson, B. R. O’G. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.

Abdullah, T. (2009). Indonesia: Towards democracy. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).

Abdullah, T., & Lapian, A. B. (Eds.). (2012). Indonesia dalam arus sejarah: Kemerdekaan. Ichtiar Baru van Hoeve.

Barton, K. C., & Levstik, L. S. (2004). Teaching history for the common good. Lawrence Erlbaum Associates.

Bloch, M. (1953). The historian’s craft (P. Putnam, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Burke, P. (2004). What is cultural history? Polity Press.

Iggers, G. G. (2005). Historiography in the twentieth century: From scientific objectivity to the postmodern challenge (Updated ed.). Wesleyan University Press.

Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah (Cet. ke-5). LP3ES.

Kuntowijoyo. (2005). Pengantar ilmu sejarah. Bentang.

Lev, D. S. (2000). Legal evolution and political authority in Indonesia. Martinus Nijhoff Publishers.

Notosusanto, N. (1995). Naskah proklamasi yang otentik dan rumusan Pancasila yang otentik. Pusat Sejarah ABRI.

Seixas, P. (1997). Historical understanding among adolescents in a multicultural setting. Curriculum Inquiry, 27(3), 301–327. https://doi.org/10.1111/0362-6784.00057

Seixas, P., & Morton, T. (2013). The big six historical thinking concepts. Nelson Education.

Stearns, P. N. (1998). Why study history? American Historical Association. https://www.historians.org/about-aha-and-membership/aha-history-and-archives/archives/why-study-history-(1998)

Stearns, P. N. (1993). Meaning over memory: Recasting the teaching of culture and history. University of North Carolina Press.

Susanti, E. (2022). Pendekatan diakronik dan sinkronik dalam kajian sejarah sosial. Jurnal Sejarah dan Budaya, 10(1), 45–54. https://doi.org/10.21067/jsb.v10i1.6000

Tosh, J. (2015). The pursuit of history (6th ed.). Routledge.

Weinstein, B. (2016). Developing historical thinking in the classroom. Journal of Social Studies Research, 40(1), 23–31. https://doi.org/10.1016/j.jssr.2015.06.005

Wineburg, S. (2001). Historical thinking and other unnatural acts: Charting the future of teaching the past. Temple University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar