Keadilan Sosial
Perspektif Filosofis dan Relevansi Kontemporer
Pemikiran John Rawls
Alihkan ke: Pemikiran John Rawls.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep keadilan sosial dalam
kerangka filsafat politik John Rawls dan relevansinya dalam konteks
kontemporer. Dengan mengacu pada karya utama Rawls, A Theory of Justice,
serta Justice as Fairness dan The Law of Peoples, artikel ini
menjelaskan prinsip-prinsip fundamental yang membentuk teori Rawlsian, yaitu
kebebasan dasar yang setara, kesetaraan kesempatan, dan prinsip perbedaan (difference
principle). Pembahasan dilengkapi dengan eksplorasi hubungan antara
keadilan sosial dan hak asasi manusia, serta penerapannya dalam kebijakan
distribusi sumber daya, perlindungan kebebasan sipil, dan pembangunan struktur
institusional yang adil. Melalui studi kasus dari berbagai negara seperti
Swedia, Finlandia, Brasil, dan Afrika Selatan, artikel ini menunjukkan
bagaimana prinsip keadilan Rawlsian dapat diaktualisasikan dalam kebijakan
publik. Di samping itu, berbagai kritik terhadap Rawls dari perspektif
libertarian, komunitarian, feminis, dan kosmopolitan turut dibahas sebagai
bentuk pengayaan dan pengujian atas validitas normatif teori tersebut.
Kesimpulan menegaskan bahwa meskipun memerlukan perluasan dan adaptasi,
pemikiran Rawls tetap menawarkan kerangka moral yang kokoh untuk merespons
tantangan sosial-politik global di abad ke-21.
Kata Kunci: Keadilan sosial, John Rawls, justice as fairness,
difference principle, hak asasi manusia, redistribusi, keadilan global, teori
politik kontemporer.
PEMBAHASAN
Menimbang Keadilan Sosial Melalui Perspektif Filosofis
1.
Pendahuluan
Keadilan sosial
merupakan salah satu fondasi normatif yang paling mendalam dalam pembangunan
masyarakat modern. Konsep ini menyiratkan distribusi hak, tanggung jawab, dan
sumber daya secara adil di antara anggota masyarakat, bukan hanya dalam bentuk
formal hukum, tetapi juga dalam realitas kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik. Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan terpolarisasi, keadilan
sosial menjadi kriteria penting dalam mengevaluasi legitimasi institusi dan
kebijakan publik. Pertanyaan mendasar tentang “siapa yang berhak mendapatkan
apa, dan mengapa” menjadi inti dari diskursus mengenai keadilan dalam
tatanan sosial modern.
Isu-isu seperti
ketimpangan ekonomi, diskriminasi sistemik, akses yang tidak merata terhadap
pendidikan dan layanan kesehatan, serta pelanggaran hak asasi manusia
menegaskan urgensi dari pembahasan tentang keadilan sosial. Menurut laporan World Inequality
Report 2022, kesenjangan kekayaan global telah meningkat secara
drastis selama dekade terakhir; 10% populasi dunia yang paling kaya menguasai
76% dari total kekayaan, sedangkan 50% terbawah hanya memiliki 2% kekayaan
global1. Kondisi ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan tidak
sekadar menjadi ideal abstrak, melainkan kebutuhan nyata dalam merancang
struktur masyarakat yang lebih inklusif dan manusiawi.
Dalam filsafat
politik kontemporer, John Rawls (1921–2002) merupakan salah satu tokoh paling
berpengaruh yang mengembangkan teori keadilan secara sistematis dan normatif.
Karya utamanya, A Theory of Justice (1971),
menawarkan pendekatan kontraktual dan egalitarian terhadap prinsip-prinsip
keadilan yang seharusnya mendasari struktur dasar masyarakat2.
Melalui konsep posisi asal (original position) dan tirai
ketidaktahuan (veil of ignorance), Rawls mencoba
mengonstruksi prinsip-prinsip keadilan yang akan disetujui oleh individu
rasional dalam kondisi yang adil dan bebas dari bias sosial3. Salah
satu kontribusi penting Rawls adalah penegasannya bahwa ketimpangan sosial dan
ekonomi hanya dapat dibenarkan jika memberi keuntungan maksimal kepada pihak
yang paling tidak diuntungkan, sebuah prinsip yang dikenal sebagai difference
principle4.
Pendekatan Rawls membuka
jalan bagi pengembangan gagasan keadilan yang tidak hanya berorientasi pada
kebebasan individual (seperti dalam liberalisme klasik), tetapi juga pada
pemerataan peluang dan hasil. Dalam konteks dunia kontemporer yang diwarnai
oleh neoliberalisme, populisme, dan krisis kepercayaan terhadap institusi
demokratis, pemikiran Rawls tetap menawarkan kerangka konseptual yang kokoh
untuk menimbang kembali keadilan sosial secara kritis dan etis. Oleh karena
itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji konsep keadilan sosial melalui
pendekatan filosofis, khususnya teori keadilan John Rawls, serta menelaah
relevansinya dalam konteks distribusi sumber daya dan perlindungan hak asasi
manusia pada era kontemporer.
Footnotes
[1]
Lucas Chancel et al., World Inequality Report 2022 (World
Inequality Lab, 2022), https://wir2022.wid.world.
[2]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), xv.
2.
Konsep Dasar Keadilan Sosial
Keadilan sosial
merupakan konsep normatif yang mencakup dimensi etis dan politis mengenai bagaimana
hak, kewajiban, dan sumber daya didistribusikan secara adil dalam suatu
masyarakat. Tidak seperti keadilan legal yang berkaitan dengan kepatuhan
terhadap hukum, keadilan sosial mengedepankan evaluasi moral terhadap struktur
sosial itu sendiri. Dalam pengertian yang luas, keadilan sosial menuntut
pengakuan atas kesetaraan hak setiap individu, pemberdayaan kelompok-kelompok
rentan, dan penataan ulang institusi agar mencerminkan prinsip keadilan
distributif, prosedural, dan retributif1.
Secara historis,
pemikiran mengenai keadilan telah menjadi perhatian utama sejak masa filsafat
Yunani Kuno. Dalam The Republic, Plato memandang
keadilan sebagai keharmonisan dalam jiwa individu dan dalam tatanan negara, di
mana setiap elemen masyarakat menjalankan fungsinya secara tepat2.
Aristoteles kemudian mengembangkan distingsi antara dua bentuk keadilan: keadilan
distributif (yang berkaitan dengan distribusi barang menurut
kelayakan) dan keadilan korektif (yang
berkaitan dengan pengembalian keseimbangan setelah pelanggaran hak)3.
Konsep-konsep dasar ini tetap menjadi fondasi dalam diskursus modern tentang
keadilan sosial.
Memasuki era modern,
gagasan keadilan sosial semakin berkembang sebagai respons terhadap tantangan
industrialisasi, kapitalisme, dan ketimpangan ekonomi yang menyertainya. Dalam
konteks ini, keadilan sosial tidak hanya dipahami sebagai keadilan hukum,
tetapi sebagai keadilan struktural, yaitu
kondisi di mana sistem sosial dan ekonomi memungkinkan setiap individu untuk
hidup dengan bermartabat dan memiliki akses yang adil terhadap peluang sosial4.
Konsep ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsuf-filsuf modern seperti
Jean-Jacques Rousseau, yang menekankan pentingnya kehendak umum (general
will) dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang adil5.
Dalam pengertian
kontemporer, keadilan sosial mencakup beberapa prinsip utama: (1) kesetaraan
dalam hak dan kebebasan dasar, (2) pemerataan
kesempatan, (3) distribusi sumber daya secara adil,
dan (4) pengakuan terhadap martabat dan perbedaan
identitas sosial6. Dalam kerangka ini, keadilan
sosial menjadi proyek etis dan politis yang menuntut transformasi institusional
serta partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat.
Gagasan keadilan
sosial juga mengalami pengaruh besar dari perkembangan filsafat politik kontemporer,
terutama melalui pendekatan liberal egalitarian yang
diwakili oleh John Rawls. Ia mengkritik pendekatan utilitarian yang mengabaikan
hak-hak individu demi totalitas kesejahteraan, dan mengusulkan prinsip keadilan
yang menjamin perlindungan terhadap kebebasan dasar dan perhatian terhadap
kondisi kelompok yang paling rentan7. Konsep keadilan Rawls tidak
berdiri sendiri, melainkan merupakan kelanjutan sekaligus koreksi atas warisan
intelektual sebelumnya, termasuk liberalisme klasik dan sosialisme moral.
Dengan demikian,
pemahaman tentang keadilan sosial harus ditempatkan dalam kerangka
historis-filosofis yang luas serta dilihat sebagai proyek berkelanjutan untuk
memperbaiki ketimpangan struktural dalam masyarakat. Ia bukan sekadar konsep
teoritis, tetapi juga panduan normatif dalam menyusun kebijakan publik dan
menilai legitimasi sistem sosial.
Footnotes
[1]
David Miller, Principles of Social
Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 1–5.
[2]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), Book IV, 427–434.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), Book V, 1129b–1132b.
[4]
Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics:
Redistribution, Recognition, and Participation,” in Redistribution or Recognition?, ed. Nancy Fraser and Axel Honneth (London: Verso,
2003), 7–25.
[5]
Jean-Jacques Rousseau, The
Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I, ch. 6–8.
[6]
Michael J. Sandel, Justice: What's the
Right Thing to Do? (New York:
Farrar, Straus and Giroux, 2009), 6–10.
[7]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971),
3–24.
3.
Teori Keadilan John Rawls
John Rawls merupakan
salah satu filsuf politik paling berpengaruh di abad ke-20, yang karyanya, A Theory
of Justice (1971), dianggap sebagai tonggak dalam filsafat politik
kontemporer. Rawls mengembangkan sebuah model normatif tentang keadilan yang
bertujuan merancang prinsip-prinsip dasar bagi tatanan sosial yang adil,
terutama dalam masyarakat demokratis yang pluralistik secara nilai dan
keyakinan1. Teorinya muncul sebagai respons terhadap kelemahan
pendekatan utilitarianisme klasik, yang menurutnya gagal melindungi hak-hak
dasar individu demi keuntungan kolektif2.
3.1.
Posisi Asal dan
Tirai Ketidaktahuan
Rawls memperkenalkan
perangkat konseptual bernama original position (posisi asal),
sebuah kondisi hipotetik tempat individu-individu rasional berkumpul untuk
menyusun prinsip-prinsip keadilan bagi masyarakat yang akan mereka tempati.
Dalam kondisi ini, setiap individu berada di balik veil of ignorance (tirai
ketidaktahuan), yakni suatu ketidaktahuan disengaja atas posisi sosial-ekonomi,
bakat alami, agama, atau visi hidup mereka di dunia nyata. Tujuan dari tirai
ini adalah memastikan bahwa prinsip-prinsip yang dihasilkan tidak dipengaruhi
oleh kepentingan pribadi atau bias sosial tertentu3.
Dengan menghilangkan
pengetahuan tentang posisi mereka di masyarakat, individu dalam posisi asal
akan memilih prinsip-prinsip yang menjamin keadilan bagi semua, terutama bagi
yang paling tidak beruntung. Rawls berargumen bahwa di bawah kondisi rasional
dan adil tersebut, dua prinsip keadilan akan dipilih secara konsensual.
3.2.
Dua Prinsip Keadilan
Rawls merumuskan dua
prinsip keadilan yang menjadi inti dari teorinya:
1)
Prinsip Kebebasan
“Setiap orang memiliki hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas yang sebanding dengan kebebasan yang sama bagi
semua.” Kebebasan ini mencakup hak politik, kebebasan berbicara dan
berkumpul, kebebasan berpikir dan hati nurani, serta perlindungan hukum yang
adil4.
2)
Prinsip Perbedaan dan
Kesempatan yang Sama
Ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat
dibenarkan jika:
þ Diharapkan menguntungkan mereka yang paling tidak
diuntungkan (difference principle).
þ Dihubungkan dengan jabatan dan posisi yang terbuka
bagi semua dalam kondisi kesetaraan kesempatan yang adil (fair equality of
opportunity)5.
Prinsip-prinsip ini
harus diprioritaskan secara leksikografis, artinya prinsip kebebasan tidak
boleh dikorbankan demi keuntungan ekonomi atau sosial, bahkan jika
ketidaksetaraan itu akan memperbaiki kondisi kelompok miskin. Dengan kata lain,
kebebasan memiliki prioritas mutlak atas pertimbangan distribusi hasil6.
3.3.
Keadilan sebagai
Fairness
Rawls menamakan
pendekatannya sebagai justice as fairness (keadilan
sebagai keadilan yang adil), yakni suatu kerangka moral untuk menilai keabsahan
struktur dasar masyarakat. Struktur dasar ini mencakup institusi-institusi
sosial dan politik seperti konstitusi, hukum, sistem ekonomi, dan kebijakan
publik yang secara kolektif menentukan pembagian hak dan sumber daya7.
Dalam pandangan Rawls, keadilan bukanlah sekadar hasil statistik dari
distribusi kesejahteraan, tetapi harus menjadi prinsip yang mengatur cara
hasil-hasil itu diperoleh dan dibagikan secara adil.
3.4.
Pengaruh dan Kritik
Teori Rawls telah
memicu berbagai respons, baik dari pendukung maupun pengkritiknya. Kalangan libertarian,
seperti Robert Nozick, menolak prinsip redistribusi Rawls dan menekankan hak
kepemilikan individual atas hasil yang diperoleh secara sah8. Di
sisi lain, para komunitarian seperti Michael
Sandel mengkritik Rawls karena terlalu mengandalkan asumsi individualisme dan
mengabaikan peran komunitas dan nilai bersama dalam pembentukan identitas dan moralitas9.
Meski demikian,
teori keadilan Rawls tetap relevan dan dijadikan rujukan utama dalam perdebatan
kontemporer tentang keadilan sosial, kebijakan publik, dan hak asasi manusia.
Kerangka konseptualnya yang kuat memungkinkan para pemikir, pembuat kebijakan,
dan aktivis untuk menilai apakah struktur sosial yang ada telah mencerminkan
prinsip keadilan yang fair, rasional, dan inklusif.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), xv–xvii.
[8]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 150–182.
[9]
Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge:
Cambridge University Press, 1982), 1–9.
4.
Keadilan Sosial dan Distribusi Sumber Daya
Distribusi sumber
daya merupakan dimensi sentral dalam perwujudan keadilan sosial. Dalam kerangka
teori keadilan John Rawls, distribusi yang adil bukan berarti pembagian yang
sama, tetapi pembagian yang dilakukan berdasarkan prinsip keadilan yang
rasional dan etis. Rawls menegaskan bahwa struktur dasar masyarakat—yakni
institusi-institusi politik, ekonomi, dan sosial—harus diatur sedemikian rupa
agar hasil-hasil ekonomi yang tidak merata hanya dapat dibenarkan apabila
memberikan manfaat maksimal bagi kelompok yang paling kurang beruntung1.
4.1.
Prinsip Perbedaan
dan Distribusi yang Adil
Salah satu
kontribusi paling penting dari Rawls terhadap diskursus keadilan adalah difference
principle, yang menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi
dapat diterima hanya jika meningkatkan posisi
mereka yang paling lemah secara relatif2. Prinsip ini menolak
pandangan libertarian tentang legitimasi mutlak atas kepemilikan pribadi tanpa
memperhitungkan akibatnya terhadap keadilan kolektif. Dalam masyarakat yang
adil, menurut Rawls, struktur institusional harus dirancang agar memberi
insentif pada produktivitas tanpa mengorbankan hak dan kesejahteraan kelompok
yang paling rentan3.
Sebagai contoh,
dalam konteks distribusi kekayaan, pajak progresif bukan sekadar alat fiskal,
tetapi instrumen etis untuk memastikan bahwa kekayaan yang dikumpulkan di satu
sisi dapat digunakan untuk mendukung pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial
di sisi lain. Ini sesuai dengan tuntutan keadilan sebagai fairness,
yakni keadilan yang memperhitungkan ketimpangan struktural dan mengusahakan
pemerataan kesempatan4.
4.2.
Kebijakan Publik dan
Penerapan Prinsip Rawls
Teori Rawls telah
memengaruhi banyak kebijakan redistributif di negara-negara liberal demokratis.
Negara-negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia, misalnya, menerapkan sistem
perpajakan progresif yang kuat serta layanan sosial universal yang bertujuan
memperkecil kesenjangan ekonomi dan menjamin kesejahteraan dasar bagi seluruh
warga5. Sistem ini tidak menghapus perbedaan pendapatan, tetapi
mengarahkan ketimpangan tersebut agar tidak merugikan kelompok paling lemah dan
tetap menjamin kesetaraan kesempatan.
Dalam konteks
pendidikan, Rawls menekankan pentingnya akses yang setara terhadap sumber daya
edukatif, karena pendidikan merupakan alat utama untuk mengatasi ketimpangan
sosial jangka panjang6. Jika anak-anak dari keluarga miskin tidak
mendapatkan akses terhadap pendidikan berkualitas, maka prinsip keadilan
sebagai fair
equality of opportunity akan gagal diwujudkan. Demikian pula, akses
terhadap layanan kesehatan dasar menjadi prasyarat bagi partisipasi sosial yang
adil dalam masyarakat.
4.3.
Kritik dan Implikasi
Etis
Meskipun teori Rawls
mendapat dukungan luas, tidak sedikit kritik yang diajukan terhadap
pandangannya tentang distribusi. Filsuf libertarian seperti Robert Nozick
menolak intervensi negara dalam redistribusi kekayaan, dengan menyatakan bahwa
redistribusi semacam itu melanggar hak kepemilikan individu yang sah7.
Namun, kritik ini tidak mengakomodasi kenyataan bahwa ketimpangan awal sering
kali bukan hasil dari usaha individu semata, melainkan dari ketidaksetaraan
sistemik yang diturunkan secara struktural antar generasi8.
Rawls sendiri
menyadari bahwa masyarakat yang adil membutuhkan lebih dari sekadar prinsip
keadilan formal; ia memerlukan struktur institusional yang menjamin keadilan
substantif, termasuk akses yang setara terhadap faktor-faktor
produksi, partisipasi politik, dan perlindungan hukum yang efektif. Dengan
demikian, keadilan sosial dalam pengertian Rawlsian bukan sekadar gagasan
normatif, melainkan kerangka praktis untuk menilai dan mengarahkan kebijakan
distribusi sumber daya dalam masyarakat modern.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 6–10.
[4]
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 118–122.
[5]
Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 27–34.
[6]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 162–165.
[7]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 149–153.
[8]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 244–252.
5.
Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia
Keadilan sosial dan
hak asasi manusia (HAM) merupakan dua konsep normatif yang saling berkaitan
erat dalam wacana filsafat politik dan kebijakan publik. Jika keadilan sosial
berfokus pada struktur dan distribusi hak, kewajiban, serta sumber daya dalam
masyarakat, maka HAM menjamin bahwa setiap individu memiliki hak yang melekat
sejak lahir yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara serta
masyarakat. Dalam pandangan kontemporer, suatu masyarakat hanya dapat disebut
adil apabila ia menegakkan hak-hak dasar semua warga negaranya tanpa
diskriminasi. John Rawls, dalam kerangka liberal egalitariannya, menyatukan
kedua konsep ini dengan menunjukkan bahwa prinsip-prinsip keadilan harus menjamin
perlindungan bagi hak-hak dasar manusia dalam konteks institusi sosial yang
adil1.
5.1.
Kebebasan Dasar
sebagai Hak Asasi
Prinsip pertama
Rawls, yaitu kebebasan yang setara bagi semua,
secara eksplisit mencerminkan komitmen terhadap hak asasi manusia. Ia menyatakan
bahwa setiap orang harus memiliki akses terhadap kebebasan dasar seperti
kebebasan berpikir, kebebasan berbicara, kebebasan hati nurani, hak atas
kepemilikan pribadi, dan hak atas perlakuan hukum yang adil2.
Kebebasan-kebebasan ini bukanlah pilihan opsional dalam perancangan masyarakat
yang adil, melainkan merupakan bagian mendasar yang tidak boleh dikorbankan
demi keuntungan ekonomi atau efisiensi sosial. Dengan demikian, Rawls
memposisikan hak asasi sebagai fondasi keadilan sosial yang tak tergantikan.
Pemikiran ini
selaras dengan deklarasi internasional tentang HAM, seperti Universal
Declaration of Human Rights (1948), yang menekankan bahwa semua
manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak3. Rawls
memperkuat dimensi etis dari prinsip-prinsip ini dengan menyatakan bahwa
masyarakat yang tidak menghormati hak-hak dasar tidak dapat dikatakan adil,
betapapun makmurnya ia secara ekonomi.
5.2.
Prinsip Perbedaan
dan Hak Sosial-Ekonomi
Lebih dari sekadar
kebebasan sipil dan politik, Rawls memperluas cakupan keadilan untuk mencakup hak
sosial dan ekonomi. Melalui difference principle, ia menegaskan
bahwa struktur sosial yang adil harus secara aktif mengakomodasi kepentingan
kelompok yang paling tidak diuntungkan dalam masyarakat4. Hal ini
mencakup hak atas pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan layak, dan jaminan
sosial sebagai prasyarat bagi partisipasi yang bermartabat dalam kehidupan
bersama. Dalam hal ini, Rawls memberikan landasan moral bagi pemenuhan hak-hak
ekonomi sebagai bagian dari kerangka keadilan sosial.
Sejumlah pemikir
kontemporer seperti Amartya Sen dan Martha Nussbaum mengembangkan pemikiran
Rawls ini ke dalam teori capability, yang menekankan bahwa
keadilan harus menjamin kapasitas nyata individu untuk menjalani hidup yang mereka
nilai berharga5. Keadilan sosial, dengan demikian, bukan hanya
tentang distribusi barang, tetapi tentang pemberdayaan dan pengakuan martabat
manusia melalui perlindungan HAM yang substantif.
5.3.
Hak Asasi dan
Institusi yang Adil
Rawls menekankan
pentingnya struktur dasar masyarakat sebagai medium implementasi hak-hak asasi.
Institusi-institusi politik dan hukum harus disusun sedemikian rupa agar
menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dalam praktik
nyata, bukan hanya dalam retorika normatif6. Dalam Justice
as Fairness: A Restatement, Rawls menyatakan bahwa “a just
society secures the equal rights and liberties of all its citizens and ensures
that its institutions operate under conditions of fair equality of opportunity”7.
Artinya, pengakuan terhadap HAM hanya bermakna apabila diwujudkan dalam
kebijakan dan struktur yang memperkuat inklusivitas dan kesetaraan.
5.4.
Implikasi Global dan
Kritik
Rawls juga
menyinggung hak asasi manusia dalam konteks internasional melalui karyanya The Law
of Peoples (1999), di mana ia mengidentifikasi HAM sebagai standar
minimum bagi legitimasi pemerintahan suatu negara dalam komunitas global8.
Ia menyatakan bahwa pelanggaran berat terhadap HAM (seperti genosida,
perbudakan, atau penyiksaan) adalah bentuk ketidakadilan yang tidak dapat
ditoleransi oleh masyarakat internasional yang adil. Namun, pandangan Rawls
tetap menerima kritik, terutama dari kalangan feminis dan poskolonial yang
menilai bahwa pendekatannya masih terlalu abstrak dan kurang mempertimbangkan realitas
ketimpangan global serta dinamika kekuasaan historis9.
Meskipun demikian,
integrasi antara keadilan sosial dan HAM dalam pemikiran Rawls tetap menjadi
sumbangan penting bagi filsafat politik modern. Ia memberikan fondasi rasional
dan moral bagi pengakuan hak-hak dasar tidak hanya sebagai instrumen hukum,
tetapi sebagai ekspresi keadilan yang mewujud dalam struktur masyarakat yang
etis, adil, dan inklusif.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 3–4.
[3]
United Nations General Assembly, Universal Declaration of Human
Rights, December 10, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice, 75–83.
[5]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–21.
[6]
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 84–89.
[7]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 39.
[8]
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 79–81.
[9]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 9–12.
6.
Keadilan Global: Rawls dan Dunia Internasional
Dalam karya
monumental A Theory
of Justice (1971), John Rawls berfokus pada keadilan dalam struktur
dasar masyarakat domestik. Namun, menyadari kompleksitas hubungan antarnegara
dan tuntutan moral dalam ranah global, ia kemudian memperluas cakupan teorinya
dalam karya selanjutnya, The Law of Peoples (1999). Di
dalamnya, Rawls merancang suatu kerangka normatif untuk menjawab persoalan
keadilan dalam masyarakat internasional yang plural, dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip dasar yang dapat diterima oleh berbagai tipe masyarakat politik
yang “layak” (reasonable societies)1.
6.1.
Konsep “Law of
Peoples” dan Masyarakat Layak
Dalam The Law
of Peoples, Rawls tidak menerapkan prinsip-prinsip keadilan
domestik (seperti difference principle) ke tingkat
global, tetapi merancang seperangkat norma yang seharusnya dipatuhi oleh
masyarakat-masyarakat bangsa. Ia memperkenalkan konsep peoples
alih-alih states
untuk menekankan bahwa entitas internasional ideal bukanlah semata struktur
kekuasaan negara, melainkan komunitas politik yang memiliki moralitas dan
komitmen terhadap keadilan dan perdamaian2.
Rawls mengusulkan
delapan prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan hubungan antarbangsa,
termasuk prinsip kedaulatan, penghormatan terhadap HAM, dan kewajiban moral
terhadap keadilan global3. Di antaranya, perlindungan terhadap hak
asasi manusia menempati posisi sentral, karena Rawls memandang pelanggaran
berat terhadap HAM sebagai bentuk ketidakadilan global yang memutuskan
legitimasi suatu people dalam komunitas
internasional4.
6.2.
Kewajiban terhadap
Masyarakat Terluka Berat (Burdened Societies)
Salah satu kontribusi
Rawls dalam kerangka keadilan global adalah pengakuannya terhadap keberadaan “masyarakat
terluka berat” (burdened societies), yakni
komunitas politik yang tidak mampu membangun institusi yang adil karena kendala
historis, ekonomi, atau budaya. Dalam hal ini, Rawls tidak mengadvokasi
redistribusi kekayaan global sebagaimana pendekatan kosmopolitan, tetapi
menekankan tugas bantuan (duty of assistance)
bagi masyarakat yang makmur untuk membantu masyarakat terluka dalam membangun
struktur dasar yang adil dan stabil5.
Tugas bantuan ini
bukan semata bentuk amal, tetapi kewajiban moral antarbangsa yang memiliki
tujuan jangka panjang, yaitu terciptanya tatanan internasional yang adil dan
damai. Bantuan tersebut tidak ditujukan untuk menghapus kesenjangan ekonomi
global secara total, melainkan untuk menciptakan kondisi minimal keadilan yang
memungkinkan semua masyarakat menjadi anggota setara dalam komunitas
bangsa-bangsa6.
6.3.
Kritik terhadap
Pandangan Rawlsian tentang Keadilan Global
Meski teorinya memperluas
horizon keadilan ke tingkat global, Rawls menuai berbagai kritik dari kalangan
kosmopolitan dan poskolonial. Filsuf seperti Charles Beitz dan Thomas Pogge
berargumen bahwa Rawls terlalu konservatif dalam membatasi prinsip-prinsip
keadilan hanya pada tataran domestik. Menurut mereka, struktur global saat ini,
termasuk lembaga-lembaga ekonomi internasional, secara aktif berperan dalam
menciptakan dan mempertahankan ketimpangan global, sehingga prinsip-prinsip
keadilan distributif harus pula diterapkan secara lintas negara7.
Pogge, misalnya,
menyatakan bahwa warga negara di dunia maju memiliki tanggung jawab moral
terhadap kemiskinan global karena mereka memperoleh manfaat dari sistem ekonomi
global yang tidak adil. Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap keadilan
global tidak cukup hanya dengan bantuan pembangunan, melainkan menuntut
transformasi struktural dalam sistem internasional itu sendiri8.
6.4.
Relevansi dalam
Konteks Globalisasi dan Ketimpangan Dunia
Meskipun mendapat
kritik, pendekatan Rawls tetap relevan dalam membangun kerangka etis bagi
hubungan internasional yang adil. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan
ketimpangan ekstrem, krisis migrasi, perubahan iklim, dan konflik
internasional, teori Rawls memberikan dasar normatif untuk menilai legitimasi
tindakan global dan membimbing kebijakan luar negeri yang beretika.
Dengan menekankan
kewajiban moral antarbangsa dan pentingnya perlindungan HAM sebagai syarat
keadilan global, Rawls menawarkan visi dunia yang menghargai martabat manusia
lintas batas negara. Pandangannya menantang eksklusivisme nasional dan
mendorong solidaritas global yang berlandaskan prinsip-prinsip etis yang
universal namun tetap menghormati pluralitas politik dan budaya9.
Footnotes
[1]
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 3–5.
[6]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 118–121.
[7]
Charles R. Beitz, Political Theory and International Relations
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 127–134; Thomas Pogge, World
Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 98–103.
[8]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights, 114–118.
[9]
Leif Wenar, “Why Rawls is Not a Cosmopolitan Egalitarian,” in Critical
Review of International Social and Political Philosophy 12, no. 1 (2009):
39–61.
7.
Kritik terhadap Teori Rawls
Teori keadilan John
Rawls telah menjadi salah satu tonggak pemikiran filsafat politik kontemporer.
Namun, meskipun memberikan kontribusi besar dalam mengartikulasikan
prinsip-prinsip keadilan yang bersifat normatif dan sistematis, teori ini tidak
luput dari berbagai kritik. Kritik-kritik ini datang dari berbagai pendekatan
filosofis seperti libertarianisme, komunitarianisme, feminisme, serta
perspektif poskolonial dan kosmopolitanisme global. Setiap kritik ini menyoroti
aspek-aspek berbeda dari asumsi, metode, dan konsekuensi dari teori Rawlsian.
7.1.
Kritik Libertarian:
Hak Individu dan Kepemilikan
Dari perspektif libertarian,
kritik utama terhadap teori Rawls datang dari Robert Nozick dalam Anarchy,
State, and Utopia (1974). Nozick menolak difference
principle Rawls yang memungkinkan redistribusi kekayaan demi
kepentingan kelompok yang paling tidak diuntungkan. Menurut Nozick,
redistribusi semacam itu adalah pelanggaran terhadap hak milik yang sah, karena
seseorang berhak atas hasil dari usaha dan pertukaran sukarela mereka tanpa
campur tangan negara1.
Nozick
memperkenalkan entitlement theory, yaitu bahwa
distribusi kekayaan dianggap adil jika diperoleh melalui cara yang adil, tanpa
mempermasalahkan ketimpangan hasil akhir. Dalam kerangka ini, keadilan tidak
bergantung pada pola distribusi tertentu, tetapi pada proses perolehan yang
sah. Pandangan ini menolak keharusan negara untuk menciptakan hasil yang adil,
sebagaimana yang diprioritaskan oleh Rawls.
7.2.
Kritik Komunitarian:
Konsepsi Diri dan Nilai Sosial
Tokoh-tokoh
komunitarian seperti Michael Sandel, Charles
Taylor, dan Alasdair MacIntyre mengkritik Rawls
karena mengandaikan konsep individu yang terlalu abstrak dan terlepas dari
identitas sosial. Dalam Liberalism and the Limits of Justice,
Sandel menyatakan bahwa individu dalam posisi asal Rawls diposisikan sebagai
makhluk yang bebas dari komitmen moral dan identitas sosial, yang menurutnya
tidak realistis secara antropologis2.
Komunitarian
berargumen bahwa identitas dan nilai seseorang terbentuk dalam konteks budaya
dan komunitas tertentu, bukan dalam ruang hampa moral seperti yang diasumsikan
dalam original
position. Oleh karena itu, keadilan seharusnya tidak hanya diukur
dari prinsip rasional yang universal, tetapi juga harus memperhitungkan
nilai-nilai lokal, sejarah, dan keterikatan kolektif3.
7.3.
Kritik Feminis:
Netralitas Gender dan Struktur Patriarki
Dari perspektif
feminis, teori Rawls dikritik karena gagal mengakui dimensi gender dalam
struktur dasar masyarakat. Susan Moller Okin, dalam Justice,
Gender, and the Family (1989), menyatakan bahwa struktur dasar
Rawlsian terlalu fokus pada institusi publik (politik dan ekonomi), sementara
institusi domestik seperti keluarga luput dari perhatian, padahal justru di
sanalah ketidakadilan gender seringkali bermula4.
Menurut Okin, Rawls
mengabaikan bagaimana ketimpangan gender di rumah tangga memengaruhi peluang
individu di ruang publik. Dengan tidak memasukkan keluarga sebagai struktur
dasar yang memengaruhi keadilan sosial, Rawls dianggap gagal menyusun teori
keadilan yang benar-benar inklusif terhadap pengalaman perempuan dan kelompok
marjinal lain5.
7.4.
Kritik Kosmopolitan
dan Poskolonial: Keadilan Global dan Ketimpangan Sejarah
Seperti dijelaskan
dalam bagian sebelumnya, pemikiran Rawls mengenai keadilan global juga dikritik
oleh para kosmopolitan seperti Thomas Pogge dan Charles
Beitz. Mereka berargumen bahwa pembatasan prinsip keadilan
hanya pada level domestik melemahkan perjuangan melawan ketidakadilan
struktural global. Pogge, khususnya, menunjukkan bahwa struktur global saat
ini—melalui perdagangan, kebijakan hutang, dan sistem ekonomi dunia—secara aktif
berkontribusi pada kemiskinan dan pelanggaran HAM di negara-negara miskin6.
Selain itu,
pendekatan Rawls yang netral terhadap sejarah kolonialisme dan ketimpangan
global masa lalu dianggap mengabaikan akar-akar ketidakadilan kontemporer. Perspektif
poskolonial seperti yang dikembangkan oleh Iris Marion Young menekankan
bahwa keadilan harus memperhitungkan hubungan kekuasaan historis yang tidak
simetris dan warisan eksploitasi kolonial7.
7.5.
Keterbatasan
Praktis: Ideal Theory dan Dunia Nyata
Rawls juga dikritik
karena mengembangkan apa yang disebut sebagai ideal theory, yakni teori yang
dirancang untuk masyarakat yang stabil dan adil dalam kondisi ideal. Kritik ini
menyatakan bahwa pendekatan semacam itu tidak cukup berguna dalam menganalisis
realitas politik yang penuh dengan ketimpangan, konflik, dan pelanggaran berat
terhadap HAM. Amartya Sen, dalam The Idea
of Justice, berargumen bahwa alih-alih menunggu kondisi ideal untuk
menerapkan keadilan, kita harus fokus pada pengurangan ketidakadilan nyata di
dunia saat ini melalui perbandingan dan tindakan konkret8.
Meskipun berbagai
kritik ini penting untuk memperluas cakrawala keadilan dan memperbaiki
kekurangan teori Rawls, perlu dicatat bahwa sebagian besar kritik ini tetap
mengakui kontribusi besar Rawls dalam merancang kerangka normatif keadilan yang
konsisten, rasional, dan berpengaruh luas. Bahkan banyak dari
pemikiran-pemikiran kritis ini muncul sebagai elaborasi dan pengembangan atas
dasar-dasar normatif yang telah Rawls rumuskan sebelumnya.
Footnotes
[1]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 150–182.
[2]
Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge:
Cambridge University Press, 1982), 7–10.
[3]
Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the Human Sciences:
Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985),
187–210.
[4]
Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York:
Basic Books, 1989), 89–96.
[6]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 112–122.
[7]
Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–30.
[8]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 5–7.
8.
Relevansi Keadilan Sosial di Era Kontemporer
Di tengah berbagai
krisis global yang terjadi di abad ke-21—mulai dari ketimpangan ekonomi,
perubahan iklim, migrasi massal, hingga erosi kepercayaan publik terhadap institusi
demokratis—gagasan keadilan sosial semakin mendesak untuk dikaji ulang dan
diterapkan secara lebih substantif. Pemikiran John Rawls, meskipun dikembangkan
dalam konteks liberalisme Barat pasca-Perang Dunia II, tetap menawarkan
kerangka normatif yang relevan untuk mengevaluasi dan merancang kebijakan
sosial-politik di era kontemporer. Prinsip-prinsip keadilan Rawlsian, terutama equal
basic liberties, fair equality of opportunity, dan difference
principle, menghadirkan panduan etis untuk menangani tantangan-tantangan
baru dalam masyarakat global yang semakin kompleks dan terpolarisasi1.
8.1.
Ketimpangan
Sosial-Ekonomi dan Keadilan Redistributif
Ketimpangan ekonomi
yang kian ekstrem menjadi isu utama keadilan sosial di era kontemporer. Laporan
World
Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa 10% penduduk terkaya dunia
menguasai sekitar 76% dari kekayaan global, sedangkan 50% populasi terbawah
hanya memiliki 2% kekayaan dunia2. Dalam konteks ini, difference
principle Rawls sangat relevan, karena mengusulkan bahwa
ketimpangan hanya dapat dibenarkan jika memberikan manfaat maksimal bagi
kelompok paling tidak beruntung dalam masyarakat.
Penerapan prinsip
ini dapat diwujudkan melalui kebijakan redistributif seperti pajak progresif,
sistem jaminan sosial universal, serta subsidi terhadap pendidikan dan
kesehatan. Negara-negara Skandinavia telah menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
keadilan distributif tidak hanya etis, tetapi juga fungsional dalam menjaga
stabilitas sosial dan kohesi masyarakat3.
8.2.
Krisis Demokrasi dan
Perlindungan Kebebasan Dasar
Kebangkitan
populisme, otoritarianisme, dan polarisasi politik dalam beberapa tahun
terakhir telah menimbulkan ancaman terhadap kebebasan sipil dan nilai-nilai
demokrasi. Dalam situasi seperti ini, prinsip pertama Rawls—yakni kesetaraan
dalam hak dan kebebasan dasar—menjadi pertahanan normatif terhadap
kecenderungan represif yang menggerus ruang publik dan partisipasi politik
warga4.
Pemikiran Rawls
menekankan bahwa kebebasan dasar, seperti kebebasan berpendapat, berkumpul, dan
beragama, memiliki posisi prioritas yang tidak boleh dikorbankan demi
keuntungan ekonomi atau stabilitas semu. Oleh karena itu, dalam era krisis
demokrasi, teori keadilan Rawlsian dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk
menilai legitimasi tindakan negara dan kebijakan publik yang mengancam hak-hak
konstitusional warga negara.
8.3.
Keadilan Iklim dan
Generasi Mendatang
Isu perubahan iklim
memperluas cakupan keadilan sosial ke dimensi antargenerasi dan ekologis. Rawls
sendiri dalam A Theory of Justice mengakui adanya
“duty to future generations” sebagai bagian dari prinsip moral dalam
masyarakat yang adil5. Dalam konteks ini, keadilan sosial tidak
hanya mencakup distribusi sumber daya saat ini, tetapi juga tanggung jawab
untuk menjaga keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan generasi mendatang.
Diskursus keadilan
iklim (climate justice) menggabungkan prinsip-prinsip Rawlsian dengan
pendekatan ekologis, menuntut agar negara-negara maju yang historisnya paling
banyak berkontribusi terhadap emisi karbon mengambil tanggung jawab lebih besar
dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim6. Ini mencerminkan penerapan
difference
principle dalam konteks global dan ekologi.
8.4.
Teknologi Digital,
Ketimpangan Akses, dan Hak Digital
Kemajuan teknologi
digital telah membuka peluang baru untuk pendidikan, komunikasi, dan ekonomi.
Namun, ketimpangan akses terhadap teknologi digital dan pelanggaran terhadap
privasi individu juga menimbulkan dimensi baru dari ketidakadilan sosial. Dalam
konteks ini, prinsip kesetaraan kesempatan (fair equality of opportunity) Rawls
menjadi sangat penting untuk mendorong inklusi digital dan keadilan dalam
penguasaan informasi dan teknologi7.
Pemerintah dan
perusahaan teknologi perlu mempertimbangkan prinsip keadilan sosial dalam
merancang kebijakan akses internet, algoritma kecerdasan buatan, serta
perlindungan data pribadi, agar tidak menciptakan struktur digital yang
menindas kelompok marjinal.
8.5.
Multikulturalisme
dan Pengakuan Identitas
Di tengah pluralitas
etnis, budaya, dan agama yang semakin menonjol, keadilan sosial tidak dapat
hanya dilihat sebagai distribusi material, tetapi juga sebagai pengakuan dan
penghormatan terhadap identitas. Meskipun Rawls tidak secara eksplisit membahas
multikulturalisme, kerangka justice as fairness dapat dikembangkan
lebih lanjut untuk mencakup prinsip pengakuan (recognition), sebagaimana
dikemukakan oleh pemikir seperti Nancy Fraser dan Charles Taylor8.
Keadilan dalam
masyarakat pluralistik harus mencakup kebijakan afirmatif, perlindungan hak
minoritas, serta fasilitasi terhadap partisipasi budaya yang adil agar tidak
terjadi dominasi mayoritarian dalam kehidupan publik.
Dengan demikian,
teori keadilan sosial Rawls tetap memiliki daya jelajah yang kuat untuk
menjawab tantangan-tantangan baru di era kontemporer. Meskipun perlu
dimodifikasi dan diperkaya oleh pendekatan lain, prinsip-prinsip dasar yang ia
tawarkan menyediakan kerangka normatif yang kokoh dan konsisten untuk menilai
dan merancang masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 42–45.
[2]
Lucas Chancel et al., World Inequality Report 2022 (World
Inequality Lab, 2022), https://wir2022.wid.world.
[3]
Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 45–52.
[4]
Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 174–179.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 284–293.
[6]
Henry Shue, “Global Environment and International Inequality,” International
Affairs 75, no. 3 (1999): 531–545.
[7]
Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools
Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018),
29–32.
[8]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–21; Charles
Taylor, Multiculturalism and “The Politics of Recognition” (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1992), 25–37.
9.
Studi Kasus
Untuk memahami
implementasi prinsip-prinsip keadilan sosial ala John Rawls secara konkret,
penting untuk menelaah bagaimana ide-ide tersebut berpengaruh atau tercermin
dalam kebijakan publik di berbagai negara. Studi kasus berikut memperlihatkan
bagaimana prinsip justice as fairness, khususnya difference
principle dan fair equality of opportunity,
diterapkan atau dijadikan landasan dalam sistem sosial dan ekonomi. Meski tidak
selalu secara eksplisit merujuk pada Rawls, kebijakan-kebijakan ini
mencerminkan pendekatan Rawlsian terhadap keadilan sosial.
9.1.
Model Negara
Kesejahteraan Skandinavia: Swedia dan Norwegia
Negara-negara
Skandinavia seperti Swedia dan Norwegia sering dianggap sebagai contoh nyata
penerapan prinsip keadilan sosial dalam kebijakan negara. Sistem negara
kesejahteraan (welfare state) yang mereka terapkan
berorientasi pada prinsip pemerataan kesempatan dan redistribusi
kekayaan yang relatif adil melalui pajak progresif, pendidikan
gratis, layanan kesehatan universal, dan jaminan sosial yang luas1.
Prinsip difference
principle Rawls secara implisit tercermin dalam sistem ini, di mana
ketimpangan ekonomi diperbolehkan selama itu berkontribusi terhadap
kesejahteraan kelompok paling rentan dalam masyarakat. Tingkat kemiskinan yang
rendah, kesenjangan pendapatan yang minimal, dan tingkat mobilitas sosial yang
tinggi menjadi indikator keberhasilan pendekatan ini dalam mewujudkan keadilan
distributif2.
Selain itu, Norwegia
menetapkan Sovereign
Wealth Fund (Government Pension Fund Global), yang mengelola
surplus pendapatan dari sektor minyak untuk kepentingan seluruh warga negara,
termasuk generasi mendatang, mencerminkan tanggung jawab antargenerasi
sebagaimana ditekankan Rawls dalam A Theory of Justice3.
9.2.
Jaminan Pendidikan
di Finlandia: Kesetaraan Peluang dalam Akses Edukasi
Finlandia telah lama
menjadi rujukan dalam keadilan pendidikan. Sistem pendidikan negara ini
menerapkan prinsip kesetaraan dalam akses dan kualitas,
dengan meniadakan sekolah elit berbasis seleksi, tidak mengenakan biaya
pendidikan, serta memberi dukungan tambahan bagi siswa dari latar belakang
kurang beruntung4.
Langkah-langkah
tersebut mencerminkan prinsip fair equality of opportunity yang
digagas oleh Rawls, yaitu bahwa akses terhadap posisi dan jabatan harus terbuka
secara adil kepada semua orang, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi
mereka5. Dengan pendekatan ini, Finlandia telah berhasil menciptakan
sistem pendidikan yang tidak hanya berkualitas tinggi tetapi juga egaliter,
sebagaimana tercermin dalam hasil evaluasi internasional seperti PISA
(Programme for International Student Assessment).
9.3.
Program Bolsa
Família di Brasil: Redistribusi dan Pemberdayaan Sosial
Brasil melalui
program Bolsa
Família (2003–2019) memperlihatkan upaya sistematis untuk
menerapkan keadilan sosial dengan fokus pada keluarga miskin. Program ini
memberikan bantuan tunai bersyarat kepada keluarga yang menyekolahkan
anak-anaknya dan menjalani pemeriksaan kesehatan secara rutin. Meskipun bukan
negara dengan model negara kesejahteraan seperti Eropa Utara, Brasil melalui
program ini mengimplementasikan pendekatan Rawlsian secara pragmatis: ketimpangan
diterima selama itu memberi keuntungan riil kepada kelompok paling miskin6.
Hasilnya cukup
signifikan. Bank Dunia mencatat bahwa Bolsa Família berkontribusi dalam
menurunkan angka kemiskinan ekstrem dan memperluas akses terhadap pendidikan
dan layanan kesehatan dasar7. Program ini menunjukkan bahwa
pendekatan Rawlsian dapat diadaptasi secara kontekstual dalam masyarakat
berkembang yang menghadapi tantangan struktural.
9.4.
Afirmasi Akses
Pendidikan di Afrika Selatan Pasca-Apartheid
Pasca-apartheid,
Afrika Selatan menerapkan kebijakan afirmatif dalam pendidikan tinggi melalui
sistem race-based
affirmative action untuk memperluas partisipasi kelompok kulit
hitam dan kelompok terpinggirkan lainnya di universitas-universitas. Meskipun
menimbulkan kontroversi, kebijakan ini secara prinsip merefleksikan usaha untuk
merealisasikan fair equality of opportunity dengan
mengatasi hambatan struktural historis yang menghalangi partisipasi setara8.
Rawls sendiri
mengakui bahwa keadilan menuntut equal starting gate (garis awal
yang setara), yang kadang membutuhkan intervensi positif untuk mengimbangi
ketimpangan warisan sosial-ekonomi9. Dalam hal ini, affirmative
action menjadi alat normatif untuk membangun ulang struktur sosial yang lebih
adil.
9.5.
Kritik terhadap
Distribusi Global: Sistem Ekonomi Internasional
Sebagai pelengkap,
penting juga mengamati konteks global. Beberapa pengamat seperti Thomas
Pogge menyoroti bagaimana struktur ekonomi global saat ini
tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial Rawlsian, terutama dalam hal beban
utang negara-negara miskin dan eksploitasi sumber daya alam. Sistem ini justru
sering memperparah ketimpangan antarnegara, mengabaikan prinsip Rawlsian
tentang duty of
assistance kepada masyarakat terluka berat (burdened
societies)10.
Karenanya, studi
kasus global ini tidak hanya mengilustrasikan keberhasilan penerapan
prinsip-prinsip Rawls, tetapi juga memperlihatkan keterbatasan dan tantangan
implementasi keadilan sosial dalam konteks ketimpangan global dan relasi
kekuasaan dunia.
Dengan menelaah
studi-studi kasus ini, terlihat bahwa teori keadilan Rawls bukan hanya suatu
sistem filsafat abstrak, tetapi juga dapat diterapkan dalam berbagai kebijakan
konkret yang memperjuangkan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 27–34.
[2]
OECD, In It Together: Why Less Inequality Benefits All (Paris:
OECD Publishing, 2015), 48–53.
[3]
Norges Bank Investment Management, Government Pension Fund Global
Annual Report 2022, https://www.nbim.no.
[4]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from
Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2011),
35–41.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 73–75.
[6]
Anthony Hall, “From Fome Zero to Bolsa Família: Social Policies and
Poverty Alleviation under Lula,” Journal of Latin American Studies 38,
no. 4 (2006): 689–709.
[7]
The World Bank, Evaluation of the Impact of Bolsa Família,
2010, https://documents.worldbank.org.
[8]
Cheryl de la Rey and Michael Bohmer, “Equity and Redress in South
African Higher Education,” Race Ethnicity and Education 1, no. 1
(1998): 69–80.
[9]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 44–46.
[10]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 115–125.
10.
Kesimpulan
Pembahasan mengenai
keadilan sosial dalam kerangka pemikiran John Rawls memperlihatkan bahwa
filsafat politik tidak hanya berkutat pada teori-teori abstrak, tetapi dapat
memberikan panduan normatif yang konkret dalam merancang masyarakat yang adil,
inklusif, dan manusiawi. Rawls, melalui gagasannya tentang justice
as fairness, mengedepankan prinsip-prinsip keadilan yang mampu
menjawab kompleksitas persoalan sosial-politik modern. Dua prinsip
utamanya—kebebasan dasar yang setara dan difference principle—menyediakan
kerangka evaluatif yang rasional untuk mengatur struktur dasar masyarakat agar
dapat menjamin hak-hak individu sekaligus memperhatikan mereka yang paling
kurang beruntung1.
Keadilan sosial,
dalam perspektif Rawlsian, bukan semata persoalan distribusi ekonomi, tetapi
menyangkut legitimasi institusi, perlindungan terhadap hak-hak dasar, dan
keadilan prosedural. Dalam konteks global yang diwarnai oleh ketimpangan
sosial-ekonomi, krisis ekologis, dan kemerosotan institusi demokrasi,
prinsip-prinsip Rawls tetap menawarkan relevansi yang tinggi. Baik dalam negara
maju yang mengalami peningkatan kesenjangan kekayaan2, maupun dalam
negara berkembang yang berjuang membangun struktur institusional yang adil3,
teori Rawls menyediakan instrumen moral untuk menilai dan mengarahkan kebijakan
publik.
Namun demikian,
pembacaan kritis terhadap teori Rawls juga penting dilakukan. Kritik dari
libertarian, komunitarian, feminis, kosmopolitan, dan poskolonial memperkaya
diskursus dengan menunjukkan keterbatasan teori Rawls dalam memahami dinamika
identitas, ketimpangan historis, dan struktur global yang kompleks4.
Respons terhadap kritik-kritik ini tidak serta-merta menolak dasar-dasar teori
Rawls, melainkan mendorong perluasan dan penyesuaian konsep keadilan sosial
agar lebih sensitif terhadap keragaman konteks dan realitas.
Studi-studi kasus
dari negara-negara seperti Swedia, Finlandia, Brasil, dan Afrika Selatan
menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip Rawlsian bukanlah utopia teoritis,
melainkan memungkinkan diwujudkan melalui komitmen politik yang kuat, kebijakan
publik yang progresif, dan partisipasi warga yang aktif5. Dalam
semua konteks ini, ide keadilan sosial Rawlsian menjadi sumber inspirasi untuk
membangun masyarakat yang tidak hanya makmur, tetapi juga bermartabat dan
setara.
Dengan demikian,
teori keadilan Rawls tetap merupakan fondasi penting bagi wacana keadilan
sosial kontemporer. Ia menawarkan peta konseptual yang tangguh dan fleksibel,
sekaligus menyisakan ruang untuk refleksi, kritik, dan transformasi. Dalam
dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, upaya menimbang kembali
keadilan sosial melalui pemikiran Rawls adalah langkah esensial untuk
menghadirkan tatanan sosial yang lebih etis, adil, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 52–83.
[2]
Lucas Chancel et al., World Inequality Report 2022 (World
Inequality Lab, 2022), https://wir2022.wid.world.
[3]
John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1999), 106–113.
[4]
Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York:
Basic Books, 1989); Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights
(Cambridge: Polity Press, 2002); Michael J. Sandel, Liberalism and the
Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982).
[5]
Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990); Pasi Sahlberg, Finnish
Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (New
York: Teachers College Press, 2011); Anthony Hall, “From Fome Zero to Bolsa
Família,” Journal of Latin American Studies 38, no. 4 (2006): 689–709.
Daftar Pustaka
Beitz, C. R. (1979). Political theory and
international relations. Princeton University Press.
Chancel, L., Piketty, T., Saez, E., & Zucman,
G. (2022). World inequality report 2022. World Inequality Lab. https://wir2022.wid.world
De la Rey, C., & Bohmer, M. (1998). Equity and
redress in South African higher education: A gender perspective. Race
Ethnicity and Education, 1(1), 69–80. https://doi.org/10.1080/1361332980010106
Esping-Andersen, G. (1990). The three worlds of
welfare capitalism. Princeton University Press.
Eubanks, V. (2018). Automating inequality: How
high-tech tools profile, police, and punish the poor. St. Martin’s Press.
Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical
reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.
Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution
or recognition? A political-philosophical exchange. Verso.
Freeman, S. (2007). Rawls. Routledge.
Hall, A. (2006). From Fome Zero to Bolsa Família:
Social policies and poverty alleviation under Lula. Journal of Latin
American Studies, 38(4), 689–709. https://doi.org/10.1017/S0022216X0600157X
Miller, D. (1999). Principles of social justice.
Harvard University Press.
Norges Bank Investment Management. (2022). Government
Pension Fund Global: Annual report 2022. https://www.nbim.no
Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia.
Basic Books.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Okin, S. M. (1989). Justice, gender, and the
family. Basic Books.
Organisation for Economic Co-operation and
Development. (2015). In it together: Why less inequality benefits all.
OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264235120-en
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Pogge, T. (2002). World poverty and human rights.
Polity Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Harvard University Press.
Rawls, J. (1999). The law of peoples.
Harvard University Press.
Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A
restatement (E. Kelly, Ed.). Harvard University Press.
Sahlberg, P. (2011). Finnish lessons: What can
the world learn from educational change in Finland? Teachers College Press.
Sandel, M. J. (1982). Liberalism and the limits
of justice. Cambridge University Press.
Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right
thing to do? Farrar, Straus and Giroux.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard
University Press.
Shue, H. (1999). Global environment and
international inequality. International Affairs, 75(3), 531–545. https://doi.org/10.1111/1468-2346.00092
Taylor, C. (1992). Multiculturalism and “The
politics of recognition”. Princeton University Press.
Taylor, C. (1985). Atomism. In Philosophy and
the human sciences: Philosophical papers 2 (pp. 187–210). Cambridge
University Press.
United Nations General Assembly. (1948). Universal
Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
World Bank. (2010). Evaluation of the impact of
Bolsa Família. https://documents.worldbank.org
Young, I. M. (1990). Justice and the politics of
difference. Princeton University Press.
Wenar, L. (2009). Why Rawls is not a cosmopolitan
egalitarian. Critical Review of International Social and Political
Philosophy, 12(1), 39–61. https://doi.org/10.1080/13698230802655600
Tidak ada komentar:
Posting Komentar