Sabtu, 31 Mei 2025

Keadilan Sosial: Perspektif Filosofis dan Relevansi Kontemporer Pemikiran John Rawls

Keadilan Sosial

Perspektif Filosofis dan Relevansi Kontemporer Pemikiran John Rawls


Alihkan ke: Pemikiran John Rawls.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep keadilan sosial dalam kerangka filsafat politik John Rawls dan relevansinya dalam konteks kontemporer. Dengan mengacu pada karya utama Rawls, A Theory of Justice, serta Justice as Fairness dan The Law of Peoples, artikel ini menjelaskan prinsip-prinsip fundamental yang membentuk teori Rawlsian, yaitu kebebasan dasar yang setara, kesetaraan kesempatan, dan prinsip perbedaan (difference principle). Pembahasan dilengkapi dengan eksplorasi hubungan antara keadilan sosial dan hak asasi manusia, serta penerapannya dalam kebijakan distribusi sumber daya, perlindungan kebebasan sipil, dan pembangunan struktur institusional yang adil. Melalui studi kasus dari berbagai negara seperti Swedia, Finlandia, Brasil, dan Afrika Selatan, artikel ini menunjukkan bagaimana prinsip keadilan Rawlsian dapat diaktualisasikan dalam kebijakan publik. Di samping itu, berbagai kritik terhadap Rawls dari perspektif libertarian, komunitarian, feminis, dan kosmopolitan turut dibahas sebagai bentuk pengayaan dan pengujian atas validitas normatif teori tersebut. Kesimpulan menegaskan bahwa meskipun memerlukan perluasan dan adaptasi, pemikiran Rawls tetap menawarkan kerangka moral yang kokoh untuk merespons tantangan sosial-politik global di abad ke-21.

Kata Kunci: Keadilan sosial, John Rawls, justice as fairness, difference principle, hak asasi manusia, redistribusi, keadilan global, teori politik kontemporer.


PEMBAHASAN

Menimbang Keadilan Sosial Melalui Perspektif Filosofis


1.           Pendahuluan

Keadilan sosial merupakan salah satu fondasi normatif yang paling mendalam dalam pembangunan masyarakat modern. Konsep ini menyiratkan distribusi hak, tanggung jawab, dan sumber daya secara adil di antara anggota masyarakat, bukan hanya dalam bentuk formal hukum, tetapi juga dalam realitas kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam masyarakat yang semakin kompleks dan terpolarisasi, keadilan sosial menjadi kriteria penting dalam mengevaluasi legitimasi institusi dan kebijakan publik. Pertanyaan mendasar tentang “siapa yang berhak mendapatkan apa, dan mengapa” menjadi inti dari diskursus mengenai keadilan dalam tatanan sosial modern.

Isu-isu seperti ketimpangan ekonomi, diskriminasi sistemik, akses yang tidak merata terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta pelanggaran hak asasi manusia menegaskan urgensi dari pembahasan tentang keadilan sosial. Menurut laporan World Inequality Report 2022, kesenjangan kekayaan global telah meningkat secara drastis selama dekade terakhir; 10% populasi dunia yang paling kaya menguasai 76% dari total kekayaan, sedangkan 50% terbawah hanya memiliki 2% kekayaan global1. Kondisi ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan tidak sekadar menjadi ideal abstrak, melainkan kebutuhan nyata dalam merancang struktur masyarakat yang lebih inklusif dan manusiawi.

Dalam filsafat politik kontemporer, John Rawls (1921–2002) merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh yang mengembangkan teori keadilan secara sistematis dan normatif. Karya utamanya, A Theory of Justice (1971), menawarkan pendekatan kontraktual dan egalitarian terhadap prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya mendasari struktur dasar masyarakat2. Melalui konsep posisi asal (original position) dan tirai ketidaktahuan (veil of ignorance), Rawls mencoba mengonstruksi prinsip-prinsip keadilan yang akan disetujui oleh individu rasional dalam kondisi yang adil dan bebas dari bias sosial3. Salah satu kontribusi penting Rawls adalah penegasannya bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika memberi keuntungan maksimal kepada pihak yang paling tidak diuntungkan, sebuah prinsip yang dikenal sebagai difference principle4.

Pendekatan Rawls membuka jalan bagi pengembangan gagasan keadilan yang tidak hanya berorientasi pada kebebasan individual (seperti dalam liberalisme klasik), tetapi juga pada pemerataan peluang dan hasil. Dalam konteks dunia kontemporer yang diwarnai oleh neoliberalisme, populisme, dan krisis kepercayaan terhadap institusi demokratis, pemikiran Rawls tetap menawarkan kerangka konseptual yang kokoh untuk menimbang kembali keadilan sosial secara kritis dan etis. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji konsep keadilan sosial melalui pendekatan filosofis, khususnya teori keadilan John Rawls, serta menelaah relevansinya dalam konteks distribusi sumber daya dan perlindungan hak asasi manusia pada era kontemporer.


Footnotes

[1]                Lucas Chancel et al., World Inequality Report 2022 (World Inequality Lab, 2022), https://wir2022.wid.world.

[2]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), xv.

[3]                Ibid., 11–22.

[4]                Ibid., 75–83.


2.           Konsep Dasar Keadilan Sosial

Keadilan sosial merupakan konsep normatif yang mencakup dimensi etis dan politis mengenai bagaimana hak, kewajiban, dan sumber daya didistribusikan secara adil dalam suatu masyarakat. Tidak seperti keadilan legal yang berkaitan dengan kepatuhan terhadap hukum, keadilan sosial mengedepankan evaluasi moral terhadap struktur sosial itu sendiri. Dalam pengertian yang luas, keadilan sosial menuntut pengakuan atas kesetaraan hak setiap individu, pemberdayaan kelompok-kelompok rentan, dan penataan ulang institusi agar mencerminkan prinsip keadilan distributif, prosedural, dan retributif1.

Secara historis, pemikiran mengenai keadilan telah menjadi perhatian utama sejak masa filsafat Yunani Kuno. Dalam The Republic, Plato memandang keadilan sebagai keharmonisan dalam jiwa individu dan dalam tatanan negara, di mana setiap elemen masyarakat menjalankan fungsinya secara tepat2. Aristoteles kemudian mengembangkan distingsi antara dua bentuk keadilan: keadilan distributif (yang berkaitan dengan distribusi barang menurut kelayakan) dan keadilan korektif (yang berkaitan dengan pengembalian keseimbangan setelah pelanggaran hak)3. Konsep-konsep dasar ini tetap menjadi fondasi dalam diskursus modern tentang keadilan sosial.

Memasuki era modern, gagasan keadilan sosial semakin berkembang sebagai respons terhadap tantangan industrialisasi, kapitalisme, dan ketimpangan ekonomi yang menyertainya. Dalam konteks ini, keadilan sosial tidak hanya dipahami sebagai keadilan hukum, tetapi sebagai keadilan struktural, yaitu kondisi di mana sistem sosial dan ekonomi memungkinkan setiap individu untuk hidup dengan bermartabat dan memiliki akses yang adil terhadap peluang sosial4. Konsep ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsuf-filsuf modern seperti Jean-Jacques Rousseau, yang menekankan pentingnya kehendak umum (general will) dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang adil5.

Dalam pengertian kontemporer, keadilan sosial mencakup beberapa prinsip utama: (1) kesetaraan dalam hak dan kebebasan dasar, (2) pemerataan kesempatan, (3) distribusi sumber daya secara adil, dan (4) pengakuan terhadap martabat dan perbedaan identitas sosial6. Dalam kerangka ini, keadilan sosial menjadi proyek etis dan politis yang menuntut transformasi institusional serta partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat.

Gagasan keadilan sosial juga mengalami pengaruh besar dari perkembangan filsafat politik kontemporer, terutama melalui pendekatan liberal egalitarian yang diwakili oleh John Rawls. Ia mengkritik pendekatan utilitarian yang mengabaikan hak-hak individu demi totalitas kesejahteraan, dan mengusulkan prinsip keadilan yang menjamin perlindungan terhadap kebebasan dasar dan perhatian terhadap kondisi kelompok yang paling rentan7. Konsep keadilan Rawls tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan kelanjutan sekaligus koreksi atas warisan intelektual sebelumnya, termasuk liberalisme klasik dan sosialisme moral.

Dengan demikian, pemahaman tentang keadilan sosial harus ditempatkan dalam kerangka historis-filosofis yang luas serta dilihat sebagai proyek berkelanjutan untuk memperbaiki ketimpangan struktural dalam masyarakat. Ia bukan sekadar konsep teoritis, tetapi juga panduan normatif dalam menyusun kebijakan publik dan menilai legitimasi sistem sosial.


Footnotes

[1]                David Miller, Principles of Social Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 1–5.

[2]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV, 427–434.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book V, 1129b–1132b.

[4]                Nancy Fraser, “Social Justice in the Age of Identity Politics: Redistribution, Recognition, and Participation,” in Redistribution or Recognition?, ed. Nancy Fraser and Axel Honneth (London: Verso, 2003), 7–25.

[5]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I, ch. 6–8.

[6]                Michael J. Sandel, Justice: What's the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 6–10.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–24.


3.           Teori Keadilan John Rawls

John Rawls merupakan salah satu filsuf politik paling berpengaruh di abad ke-20, yang karyanya, A Theory of Justice (1971), dianggap sebagai tonggak dalam filsafat politik kontemporer. Rawls mengembangkan sebuah model normatif tentang keadilan yang bertujuan merancang prinsip-prinsip dasar bagi tatanan sosial yang adil, terutama dalam masyarakat demokratis yang pluralistik secara nilai dan keyakinan1. Teorinya muncul sebagai respons terhadap kelemahan pendekatan utilitarianisme klasik, yang menurutnya gagal melindungi hak-hak dasar individu demi keuntungan kolektif2.

3.1.       Posisi Asal dan Tirai Ketidaktahuan

Rawls memperkenalkan perangkat konseptual bernama original position (posisi asal), sebuah kondisi hipotetik tempat individu-individu rasional berkumpul untuk menyusun prinsip-prinsip keadilan bagi masyarakat yang akan mereka tempati. Dalam kondisi ini, setiap individu berada di balik veil of ignorance (tirai ketidaktahuan), yakni suatu ketidaktahuan disengaja atas posisi sosial-ekonomi, bakat alami, agama, atau visi hidup mereka di dunia nyata. Tujuan dari tirai ini adalah memastikan bahwa prinsip-prinsip yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau bias sosial tertentu3.

Dengan menghilangkan pengetahuan tentang posisi mereka di masyarakat, individu dalam posisi asal akan memilih prinsip-prinsip yang menjamin keadilan bagi semua, terutama bagi yang paling tidak beruntung. Rawls berargumen bahwa di bawah kondisi rasional dan adil tersebut, dua prinsip keadilan akan dipilih secara konsensual.

3.2.       Dua Prinsip Keadilan

Rawls merumuskan dua prinsip keadilan yang menjadi inti dari teorinya:

1)                  Prinsip Kebebasan

Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas yang sebanding dengan kebebasan yang sama bagi semua.” Kebebasan ini mencakup hak politik, kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan berpikir dan hati nurani, serta perlindungan hukum yang adil4.

2)                  Prinsip Perbedaan dan Kesempatan yang Sama

Ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika:

þ Diharapkan menguntungkan mereka yang paling tidak diuntungkan (difference principle).

þ Dihubungkan dengan jabatan dan posisi yang terbuka bagi semua dalam kondisi kesetaraan kesempatan yang adil (fair equality of opportunity)5.

Prinsip-prinsip ini harus diprioritaskan secara leksikografis, artinya prinsip kebebasan tidak boleh dikorbankan demi keuntungan ekonomi atau sosial, bahkan jika ketidaksetaraan itu akan memperbaiki kondisi kelompok miskin. Dengan kata lain, kebebasan memiliki prioritas mutlak atas pertimbangan distribusi hasil6.

3.3.       Keadilan sebagai Fairness

Rawls menamakan pendekatannya sebagai justice as fairness (keadilan sebagai keadilan yang adil), yakni suatu kerangka moral untuk menilai keabsahan struktur dasar masyarakat. Struktur dasar ini mencakup institusi-institusi sosial dan politik seperti konstitusi, hukum, sistem ekonomi, dan kebijakan publik yang secara kolektif menentukan pembagian hak dan sumber daya7. Dalam pandangan Rawls, keadilan bukanlah sekadar hasil statistik dari distribusi kesejahteraan, tetapi harus menjadi prinsip yang mengatur cara hasil-hasil itu diperoleh dan dibagikan secara adil.

3.4.       Pengaruh dan Kritik

Teori Rawls telah memicu berbagai respons, baik dari pendukung maupun pengkritiknya. Kalangan libertarian, seperti Robert Nozick, menolak prinsip redistribusi Rawls dan menekankan hak kepemilikan individual atas hasil yang diperoleh secara sah8. Di sisi lain, para komunitarian seperti Michael Sandel mengkritik Rawls karena terlalu mengandalkan asumsi individualisme dan mengabaikan peran komunitas dan nilai bersama dalam pembentukan identitas dan moralitas9.

Meski demikian, teori keadilan Rawls tetap relevan dan dijadikan rujukan utama dalam perdebatan kontemporer tentang keadilan sosial, kebijakan publik, dan hak asasi manusia. Kerangka konseptualnya yang kuat memungkinkan para pemikir, pembuat kebijakan, dan aktivis untuk menilai apakah struktur sosial yang ada telah mencerminkan prinsip keadilan yang fair, rasional, dan inklusif.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), xv–xvii.

[2]                Ibid., 26–30.

[3]                Ibid., 11–22.

[4]                Ibid., 53–55.

[5]                Ibid., 75–83.

[6]                Ibid., 302–303.

[7]                Ibid., 6–10.

[8]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–182.

[9]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 1–9.


4.           Keadilan Sosial dan Distribusi Sumber Daya

Distribusi sumber daya merupakan dimensi sentral dalam perwujudan keadilan sosial. Dalam kerangka teori keadilan John Rawls, distribusi yang adil bukan berarti pembagian yang sama, tetapi pembagian yang dilakukan berdasarkan prinsip keadilan yang rasional dan etis. Rawls menegaskan bahwa struktur dasar masyarakat—yakni institusi-institusi politik, ekonomi, dan sosial—harus diatur sedemikian rupa agar hasil-hasil ekonomi yang tidak merata hanya dapat dibenarkan apabila memberikan manfaat maksimal bagi kelompok yang paling kurang beruntung1.

4.1.       Prinsip Perbedaan dan Distribusi yang Adil

Salah satu kontribusi paling penting dari Rawls terhadap diskursus keadilan adalah difference principle, yang menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi dapat diterima hanya jika meningkatkan posisi mereka yang paling lemah secara relatif2. Prinsip ini menolak pandangan libertarian tentang legitimasi mutlak atas kepemilikan pribadi tanpa memperhitungkan akibatnya terhadap keadilan kolektif. Dalam masyarakat yang adil, menurut Rawls, struktur institusional harus dirancang agar memberi insentif pada produktivitas tanpa mengorbankan hak dan kesejahteraan kelompok yang paling rentan3.

Sebagai contoh, dalam konteks distribusi kekayaan, pajak progresif bukan sekadar alat fiskal, tetapi instrumen etis untuk memastikan bahwa kekayaan yang dikumpulkan di satu sisi dapat digunakan untuk mendukung pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial di sisi lain. Ini sesuai dengan tuntutan keadilan sebagai fairness, yakni keadilan yang memperhitungkan ketimpangan struktural dan mengusahakan pemerataan kesempatan4.

4.2.       Kebijakan Publik dan Penerapan Prinsip Rawls

Teori Rawls telah memengaruhi banyak kebijakan redistributif di negara-negara liberal demokratis. Negara-negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia, misalnya, menerapkan sistem perpajakan progresif yang kuat serta layanan sosial universal yang bertujuan memperkecil kesenjangan ekonomi dan menjamin kesejahteraan dasar bagi seluruh warga5. Sistem ini tidak menghapus perbedaan pendapatan, tetapi mengarahkan ketimpangan tersebut agar tidak merugikan kelompok paling lemah dan tetap menjamin kesetaraan kesempatan.

Dalam konteks pendidikan, Rawls menekankan pentingnya akses yang setara terhadap sumber daya edukatif, karena pendidikan merupakan alat utama untuk mengatasi ketimpangan sosial jangka panjang6. Jika anak-anak dari keluarga miskin tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan berkualitas, maka prinsip keadilan sebagai fair equality of opportunity akan gagal diwujudkan. Demikian pula, akses terhadap layanan kesehatan dasar menjadi prasyarat bagi partisipasi sosial yang adil dalam masyarakat.

4.3.       Kritik dan Implikasi Etis

Meskipun teori Rawls mendapat dukungan luas, tidak sedikit kritik yang diajukan terhadap pandangannya tentang distribusi. Filsuf libertarian seperti Robert Nozick menolak intervensi negara dalam redistribusi kekayaan, dengan menyatakan bahwa redistribusi semacam itu melanggar hak kepemilikan individu yang sah7. Namun, kritik ini tidak mengakomodasi kenyataan bahwa ketimpangan awal sering kali bukan hasil dari usaha individu semata, melainkan dari ketidaksetaraan sistemik yang diturunkan secara struktural antar generasi8.

Rawls sendiri menyadari bahwa masyarakat yang adil membutuhkan lebih dari sekadar prinsip keadilan formal; ia memerlukan struktur institusional yang menjamin keadilan substantif, termasuk akses yang setara terhadap faktor-faktor produksi, partisipasi politik, dan perlindungan hukum yang efektif. Dengan demikian, keadilan sosial dalam pengertian Rawlsian bukan sekadar gagasan normatif, melainkan kerangka praktis untuk menilai dan mengarahkan kebijakan distribusi sumber daya dalam masyarakat modern.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 6–10.

[2]                Ibid., 75–83.

[3]                Ibid., 86–90.

[4]                Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 118–122.

[5]                Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 27–34.

[6]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 162–165.

[7]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 149–153.

[8]                Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 244–252.


5.           Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia

Keadilan sosial dan hak asasi manusia (HAM) merupakan dua konsep normatif yang saling berkaitan erat dalam wacana filsafat politik dan kebijakan publik. Jika keadilan sosial berfokus pada struktur dan distribusi hak, kewajiban, serta sumber daya dalam masyarakat, maka HAM menjamin bahwa setiap individu memiliki hak yang melekat sejak lahir yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara serta masyarakat. Dalam pandangan kontemporer, suatu masyarakat hanya dapat disebut adil apabila ia menegakkan hak-hak dasar semua warga negaranya tanpa diskriminasi. John Rawls, dalam kerangka liberal egalitariannya, menyatukan kedua konsep ini dengan menunjukkan bahwa prinsip-prinsip keadilan harus menjamin perlindungan bagi hak-hak dasar manusia dalam konteks institusi sosial yang adil1.

5.1.       Kebebasan Dasar sebagai Hak Asasi

Prinsip pertama Rawls, yaitu kebebasan yang setara bagi semua, secara eksplisit mencerminkan komitmen terhadap hak asasi manusia. Ia menyatakan bahwa setiap orang harus memiliki akses terhadap kebebasan dasar seperti kebebasan berpikir, kebebasan berbicara, kebebasan hati nurani, hak atas kepemilikan pribadi, dan hak atas perlakuan hukum yang adil2. Kebebasan-kebebasan ini bukanlah pilihan opsional dalam perancangan masyarakat yang adil, melainkan merupakan bagian mendasar yang tidak boleh dikorbankan demi keuntungan ekonomi atau efisiensi sosial. Dengan demikian, Rawls memposisikan hak asasi sebagai fondasi keadilan sosial yang tak tergantikan.

Pemikiran ini selaras dengan deklarasi internasional tentang HAM, seperti Universal Declaration of Human Rights (1948), yang menekankan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak3. Rawls memperkuat dimensi etis dari prinsip-prinsip ini dengan menyatakan bahwa masyarakat yang tidak menghormati hak-hak dasar tidak dapat dikatakan adil, betapapun makmurnya ia secara ekonomi.

5.2.       Prinsip Perbedaan dan Hak Sosial-Ekonomi

Lebih dari sekadar kebebasan sipil dan politik, Rawls memperluas cakupan keadilan untuk mencakup hak sosial dan ekonomi. Melalui difference principle, ia menegaskan bahwa struktur sosial yang adil harus secara aktif mengakomodasi kepentingan kelompok yang paling tidak diuntungkan dalam masyarakat4. Hal ini mencakup hak atas pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan layak, dan jaminan sosial sebagai prasyarat bagi partisipasi yang bermartabat dalam kehidupan bersama. Dalam hal ini, Rawls memberikan landasan moral bagi pemenuhan hak-hak ekonomi sebagai bagian dari kerangka keadilan sosial.

Sejumlah pemikir kontemporer seperti Amartya Sen dan Martha Nussbaum mengembangkan pemikiran Rawls ini ke dalam teori capability, yang menekankan bahwa keadilan harus menjamin kapasitas nyata individu untuk menjalani hidup yang mereka nilai berharga5. Keadilan sosial, dengan demikian, bukan hanya tentang distribusi barang, tetapi tentang pemberdayaan dan pengakuan martabat manusia melalui perlindungan HAM yang substantif.

5.3.       Hak Asasi dan Institusi yang Adil

Rawls menekankan pentingnya struktur dasar masyarakat sebagai medium implementasi hak-hak asasi. Institusi-institusi politik dan hukum harus disusun sedemikian rupa agar menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dalam praktik nyata, bukan hanya dalam retorika normatif6. Dalam Justice as Fairness: A Restatement, Rawls menyatakan bahwa “a just society secures the equal rights and liberties of all its citizens and ensures that its institutions operate under conditions of fair equality of opportunity7. Artinya, pengakuan terhadap HAM hanya bermakna apabila diwujudkan dalam kebijakan dan struktur yang memperkuat inklusivitas dan kesetaraan.

5.4.       Implikasi Global dan Kritik

Rawls juga menyinggung hak asasi manusia dalam konteks internasional melalui karyanya The Law of Peoples (1999), di mana ia mengidentifikasi HAM sebagai standar minimum bagi legitimasi pemerintahan suatu negara dalam komunitas global8. Ia menyatakan bahwa pelanggaran berat terhadap HAM (seperti genosida, perbudakan, atau penyiksaan) adalah bentuk ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat internasional yang adil. Namun, pandangan Rawls tetap menerima kritik, terutama dari kalangan feminis dan poskolonial yang menilai bahwa pendekatannya masih terlalu abstrak dan kurang mempertimbangkan realitas ketimpangan global serta dinamika kekuasaan historis9.

Meskipun demikian, integrasi antara keadilan sosial dan HAM dalam pemikiran Rawls tetap menjadi sumbangan penting bagi filsafat politik modern. Ia memberikan fondasi rasional dan moral bagi pengakuan hak-hak dasar tidak hanya sebagai instrumen hukum, tetapi sebagai ekspresi keadilan yang mewujud dalam struktur masyarakat yang etis, adil, dan inklusif.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 3–4.

[2]                Ibid., 53–55.

[3]                United Nations General Assembly, Universal Declaration of Human Rights, December 10, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice, 75–83.

[5]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–21.

[6]                Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 84–89.

[7]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 39.

[8]                John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 79–81.

[9]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 9–12.


6.           Keadilan Global: Rawls dan Dunia Internasional

Dalam karya monumental A Theory of Justice (1971), John Rawls berfokus pada keadilan dalam struktur dasar masyarakat domestik. Namun, menyadari kompleksitas hubungan antarnegara dan tuntutan moral dalam ranah global, ia kemudian memperluas cakupan teorinya dalam karya selanjutnya, The Law of Peoples (1999). Di dalamnya, Rawls merancang suatu kerangka normatif untuk menjawab persoalan keadilan dalam masyarakat internasional yang plural, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar yang dapat diterima oleh berbagai tipe masyarakat politik yang “layak” (reasonable societies)1.

6.1.       Konsep “Law of Peoples” dan Masyarakat Layak

Dalam The Law of Peoples, Rawls tidak menerapkan prinsip-prinsip keadilan domestik (seperti difference principle) ke tingkat global, tetapi merancang seperangkat norma yang seharusnya dipatuhi oleh masyarakat-masyarakat bangsa. Ia memperkenalkan konsep peoples alih-alih states untuk menekankan bahwa entitas internasional ideal bukanlah semata struktur kekuasaan negara, melainkan komunitas politik yang memiliki moralitas dan komitmen terhadap keadilan dan perdamaian2.

Rawls mengusulkan delapan prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan hubungan antarbangsa, termasuk prinsip kedaulatan, penghormatan terhadap HAM, dan kewajiban moral terhadap keadilan global3. Di antaranya, perlindungan terhadap hak asasi manusia menempati posisi sentral, karena Rawls memandang pelanggaran berat terhadap HAM sebagai bentuk ketidakadilan global yang memutuskan legitimasi suatu people dalam komunitas internasional4.

6.2.       Kewajiban terhadap Masyarakat Terluka Berat (Burdened Societies)

Salah satu kontribusi Rawls dalam kerangka keadilan global adalah pengakuannya terhadap keberadaan “masyarakat terluka berat” (burdened societies), yakni komunitas politik yang tidak mampu membangun institusi yang adil karena kendala historis, ekonomi, atau budaya. Dalam hal ini, Rawls tidak mengadvokasi redistribusi kekayaan global sebagaimana pendekatan kosmopolitan, tetapi menekankan tugas bantuan (duty of assistance) bagi masyarakat yang makmur untuk membantu masyarakat terluka dalam membangun struktur dasar yang adil dan stabil5.

Tugas bantuan ini bukan semata bentuk amal, tetapi kewajiban moral antarbangsa yang memiliki tujuan jangka panjang, yaitu terciptanya tatanan internasional yang adil dan damai. Bantuan tersebut tidak ditujukan untuk menghapus kesenjangan ekonomi global secara total, melainkan untuk menciptakan kondisi minimal keadilan yang memungkinkan semua masyarakat menjadi anggota setara dalam komunitas bangsa-bangsa6.

6.3.       Kritik terhadap Pandangan Rawlsian tentang Keadilan Global

Meski teorinya memperluas horizon keadilan ke tingkat global, Rawls menuai berbagai kritik dari kalangan kosmopolitan dan poskolonial. Filsuf seperti Charles Beitz dan Thomas Pogge berargumen bahwa Rawls terlalu konservatif dalam membatasi prinsip-prinsip keadilan hanya pada tataran domestik. Menurut mereka, struktur global saat ini, termasuk lembaga-lembaga ekonomi internasional, secara aktif berperan dalam menciptakan dan mempertahankan ketimpangan global, sehingga prinsip-prinsip keadilan distributif harus pula diterapkan secara lintas negara7.

Pogge, misalnya, menyatakan bahwa warga negara di dunia maju memiliki tanggung jawab moral terhadap kemiskinan global karena mereka memperoleh manfaat dari sistem ekonomi global yang tidak adil. Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap keadilan global tidak cukup hanya dengan bantuan pembangunan, melainkan menuntut transformasi struktural dalam sistem internasional itu sendiri8.

6.4.       Relevansi dalam Konteks Globalisasi dan Ketimpangan Dunia

Meskipun mendapat kritik, pendekatan Rawls tetap relevan dalam membangun kerangka etis bagi hubungan internasional yang adil. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan ketimpangan ekstrem, krisis migrasi, perubahan iklim, dan konflik internasional, teori Rawls memberikan dasar normatif untuk menilai legitimasi tindakan global dan membimbing kebijakan luar negeri yang beretika.

Dengan menekankan kewajiban moral antarbangsa dan pentingnya perlindungan HAM sebagai syarat keadilan global, Rawls menawarkan visi dunia yang menghargai martabat manusia lintas batas negara. Pandangannya menantang eksklusivisme nasional dan mendorong solidaritas global yang berlandaskan prinsip-prinsip etis yang universal namun tetap menghormati pluralitas politik dan budaya9.


Footnotes

[1]                John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–5.

[2]                Ibid., 23–27.

[3]                Ibid., 37–38.

[4]                Ibid., 79–81.

[5]                Ibid., 106–113.

[6]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 118–121.

[7]                Charles R. Beitz, Political Theory and International Relations (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1979), 127–134; Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 98–103.

[8]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights, 114–118.

[9]                Leif Wenar, “Why Rawls is Not a Cosmopolitan Egalitarian,” in Critical Review of International Social and Political Philosophy 12, no. 1 (2009): 39–61.


7.           Kritik terhadap Teori Rawls

Teori keadilan John Rawls telah menjadi salah satu tonggak pemikiran filsafat politik kontemporer. Namun, meskipun memberikan kontribusi besar dalam mengartikulasikan prinsip-prinsip keadilan yang bersifat normatif dan sistematis, teori ini tidak luput dari berbagai kritik. Kritik-kritik ini datang dari berbagai pendekatan filosofis seperti libertarianisme, komunitarianisme, feminisme, serta perspektif poskolonial dan kosmopolitanisme global. Setiap kritik ini menyoroti aspek-aspek berbeda dari asumsi, metode, dan konsekuensi dari teori Rawlsian.

7.1.       Kritik Libertarian: Hak Individu dan Kepemilikan

Dari perspektif libertarian, kritik utama terhadap teori Rawls datang dari Robert Nozick dalam Anarchy, State, and Utopia (1974). Nozick menolak difference principle Rawls yang memungkinkan redistribusi kekayaan demi kepentingan kelompok yang paling tidak diuntungkan. Menurut Nozick, redistribusi semacam itu adalah pelanggaran terhadap hak milik yang sah, karena seseorang berhak atas hasil dari usaha dan pertukaran sukarela mereka tanpa campur tangan negara1.

Nozick memperkenalkan entitlement theory, yaitu bahwa distribusi kekayaan dianggap adil jika diperoleh melalui cara yang adil, tanpa mempermasalahkan ketimpangan hasil akhir. Dalam kerangka ini, keadilan tidak bergantung pada pola distribusi tertentu, tetapi pada proses perolehan yang sah. Pandangan ini menolak keharusan negara untuk menciptakan hasil yang adil, sebagaimana yang diprioritaskan oleh Rawls.

7.2.       Kritik Komunitarian: Konsepsi Diri dan Nilai Sosial

Tokoh-tokoh komunitarian seperti Michael Sandel, Charles Taylor, dan Alasdair MacIntyre mengkritik Rawls karena mengandaikan konsep individu yang terlalu abstrak dan terlepas dari identitas sosial. Dalam Liberalism and the Limits of Justice, Sandel menyatakan bahwa individu dalam posisi asal Rawls diposisikan sebagai makhluk yang bebas dari komitmen moral dan identitas sosial, yang menurutnya tidak realistis secara antropologis2.

Komunitarian berargumen bahwa identitas dan nilai seseorang terbentuk dalam konteks budaya dan komunitas tertentu, bukan dalam ruang hampa moral seperti yang diasumsikan dalam original position. Oleh karena itu, keadilan seharusnya tidak hanya diukur dari prinsip rasional yang universal, tetapi juga harus memperhitungkan nilai-nilai lokal, sejarah, dan keterikatan kolektif3.

7.3.       Kritik Feminis: Netralitas Gender dan Struktur Patriarki

Dari perspektif feminis, teori Rawls dikritik karena gagal mengakui dimensi gender dalam struktur dasar masyarakat. Susan Moller Okin, dalam Justice, Gender, and the Family (1989), menyatakan bahwa struktur dasar Rawlsian terlalu fokus pada institusi publik (politik dan ekonomi), sementara institusi domestik seperti keluarga luput dari perhatian, padahal justru di sanalah ketidakadilan gender seringkali bermula4.

Menurut Okin, Rawls mengabaikan bagaimana ketimpangan gender di rumah tangga memengaruhi peluang individu di ruang publik. Dengan tidak memasukkan keluarga sebagai struktur dasar yang memengaruhi keadilan sosial, Rawls dianggap gagal menyusun teori keadilan yang benar-benar inklusif terhadap pengalaman perempuan dan kelompok marjinal lain5.

7.4.       Kritik Kosmopolitan dan Poskolonial: Keadilan Global dan Ketimpangan Sejarah

Seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, pemikiran Rawls mengenai keadilan global juga dikritik oleh para kosmopolitan seperti Thomas Pogge dan Charles Beitz. Mereka berargumen bahwa pembatasan prinsip keadilan hanya pada level domestik melemahkan perjuangan melawan ketidakadilan struktural global. Pogge, khususnya, menunjukkan bahwa struktur global saat ini—melalui perdagangan, kebijakan hutang, dan sistem ekonomi dunia—secara aktif berkontribusi pada kemiskinan dan pelanggaran HAM di negara-negara miskin6.

Selain itu, pendekatan Rawls yang netral terhadap sejarah kolonialisme dan ketimpangan global masa lalu dianggap mengabaikan akar-akar ketidakadilan kontemporer. Perspektif poskolonial seperti yang dikembangkan oleh Iris Marion Young menekankan bahwa keadilan harus memperhitungkan hubungan kekuasaan historis yang tidak simetris dan warisan eksploitasi kolonial7.

7.5.       Keterbatasan Praktis: Ideal Theory dan Dunia Nyata

Rawls juga dikritik karena mengembangkan apa yang disebut sebagai ideal theory, yakni teori yang dirancang untuk masyarakat yang stabil dan adil dalam kondisi ideal. Kritik ini menyatakan bahwa pendekatan semacam itu tidak cukup berguna dalam menganalisis realitas politik yang penuh dengan ketimpangan, konflik, dan pelanggaran berat terhadap HAM. Amartya Sen, dalam The Idea of Justice, berargumen bahwa alih-alih menunggu kondisi ideal untuk menerapkan keadilan, kita harus fokus pada pengurangan ketidakadilan nyata di dunia saat ini melalui perbandingan dan tindakan konkret8.


Meskipun berbagai kritik ini penting untuk memperluas cakrawala keadilan dan memperbaiki kekurangan teori Rawls, perlu dicatat bahwa sebagian besar kritik ini tetap mengakui kontribusi besar Rawls dalam merancang kerangka normatif keadilan yang konsisten, rasional, dan berpengaruh luas. Bahkan banyak dari pemikiran-pemikiran kritis ini muncul sebagai elaborasi dan pengembangan atas dasar-dasar normatif yang telah Rawls rumuskan sebelumnya.


Footnotes

[1]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–182.

[2]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 7–10.

[3]                Charles Taylor, “Atomism,” in Philosophy and the Human Sciences: Philosophical Papers 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 187–210.

[4]                Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York: Basic Books, 1989), 89–96.

[5]                Ibid., 102–110.

[6]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 112–122.

[7]                Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 23–30.

[8]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 5–7.


8.           Relevansi Keadilan Sosial di Era Kontemporer

Di tengah berbagai krisis global yang terjadi di abad ke-21—mulai dari ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, migrasi massal, hingga erosi kepercayaan publik terhadap institusi demokratis—gagasan keadilan sosial semakin mendesak untuk dikaji ulang dan diterapkan secara lebih substantif. Pemikiran John Rawls, meskipun dikembangkan dalam konteks liberalisme Barat pasca-Perang Dunia II, tetap menawarkan kerangka normatif yang relevan untuk mengevaluasi dan merancang kebijakan sosial-politik di era kontemporer. Prinsip-prinsip keadilan Rawlsian, terutama equal basic liberties, fair equality of opportunity, dan difference principle, menghadirkan panduan etis untuk menangani tantangan-tantangan baru dalam masyarakat global yang semakin kompleks dan terpolarisasi1.

8.1.       Ketimpangan Sosial-Ekonomi dan Keadilan Redistributif

Ketimpangan ekonomi yang kian ekstrem menjadi isu utama keadilan sosial di era kontemporer. Laporan World Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa 10% penduduk terkaya dunia menguasai sekitar 76% dari kekayaan global, sedangkan 50% populasi terbawah hanya memiliki 2% kekayaan dunia2. Dalam konteks ini, difference principle Rawls sangat relevan, karena mengusulkan bahwa ketimpangan hanya dapat dibenarkan jika memberikan manfaat maksimal bagi kelompok paling tidak beruntung dalam masyarakat.

Penerapan prinsip ini dapat diwujudkan melalui kebijakan redistributif seperti pajak progresif, sistem jaminan sosial universal, serta subsidi terhadap pendidikan dan kesehatan. Negara-negara Skandinavia telah menunjukkan bahwa prinsip-prinsip keadilan distributif tidak hanya etis, tetapi juga fungsional dalam menjaga stabilitas sosial dan kohesi masyarakat3.

8.2.       Krisis Demokrasi dan Perlindungan Kebebasan Dasar

Kebangkitan populisme, otoritarianisme, dan polarisasi politik dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan ancaman terhadap kebebasan sipil dan nilai-nilai demokrasi. Dalam situasi seperti ini, prinsip pertama Rawls—yakni kesetaraan dalam hak dan kebebasan dasar—menjadi pertahanan normatif terhadap kecenderungan represif yang menggerus ruang publik dan partisipasi politik warga4.

Pemikiran Rawls menekankan bahwa kebebasan dasar, seperti kebebasan berpendapat, berkumpul, dan beragama, memiliki posisi prioritas yang tidak boleh dikorbankan demi keuntungan ekonomi atau stabilitas semu. Oleh karena itu, dalam era krisis demokrasi, teori keadilan Rawlsian dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai legitimasi tindakan negara dan kebijakan publik yang mengancam hak-hak konstitusional warga negara.

8.3.       Keadilan Iklim dan Generasi Mendatang

Isu perubahan iklim memperluas cakupan keadilan sosial ke dimensi antargenerasi dan ekologis. Rawls sendiri dalam A Theory of Justice mengakui adanya “duty to future generations” sebagai bagian dari prinsip moral dalam masyarakat yang adil5. Dalam konteks ini, keadilan sosial tidak hanya mencakup distribusi sumber daya saat ini, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan generasi mendatang.

Diskursus keadilan iklim (climate justice) menggabungkan prinsip-prinsip Rawlsian dengan pendekatan ekologis, menuntut agar negara-negara maju yang historisnya paling banyak berkontribusi terhadap emisi karbon mengambil tanggung jawab lebih besar dalam upaya mitigasi dan adaptasi iklim6. Ini mencerminkan penerapan difference principle dalam konteks global dan ekologi.

8.4.       Teknologi Digital, Ketimpangan Akses, dan Hak Digital

Kemajuan teknologi digital telah membuka peluang baru untuk pendidikan, komunikasi, dan ekonomi. Namun, ketimpangan akses terhadap teknologi digital dan pelanggaran terhadap privasi individu juga menimbulkan dimensi baru dari ketidakadilan sosial. Dalam konteks ini, prinsip kesetaraan kesempatan (fair equality of opportunity) Rawls menjadi sangat penting untuk mendorong inklusi digital dan keadilan dalam penguasaan informasi dan teknologi7.

Pemerintah dan perusahaan teknologi perlu mempertimbangkan prinsip keadilan sosial dalam merancang kebijakan akses internet, algoritma kecerdasan buatan, serta perlindungan data pribadi, agar tidak menciptakan struktur digital yang menindas kelompok marjinal.

8.5.       Multikulturalisme dan Pengakuan Identitas

Di tengah pluralitas etnis, budaya, dan agama yang semakin menonjol, keadilan sosial tidak dapat hanya dilihat sebagai distribusi material, tetapi juga sebagai pengakuan dan penghormatan terhadap identitas. Meskipun Rawls tidak secara eksplisit membahas multikulturalisme, kerangka justice as fairness dapat dikembangkan lebih lanjut untuk mencakup prinsip pengakuan (recognition), sebagaimana dikemukakan oleh pemikir seperti Nancy Fraser dan Charles Taylor8.

Keadilan dalam masyarakat pluralistik harus mencakup kebijakan afirmatif, perlindungan hak minoritas, serta fasilitasi terhadap partisipasi budaya yang adil agar tidak terjadi dominasi mayoritarian dalam kehidupan publik.


Dengan demikian, teori keadilan sosial Rawls tetap memiliki daya jelajah yang kuat untuk menjawab tantangan-tantangan baru di era kontemporer. Meskipun perlu dimodifikasi dan diperkaya oleh pendekatan lain, prinsip-prinsip dasar yang ia tawarkan menyediakan kerangka normatif yang kokoh dan konsisten untuk menilai dan merancang masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 42–45.

[2]                Lucas Chancel et al., World Inequality Report 2022 (World Inequality Lab, 2022), https://wir2022.wid.world.

[3]                Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 45–52.

[4]                Samuel Freeman, Rawls (London: Routledge, 2007), 174–179.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 284–293.

[6]                Henry Shue, “Global Environment and International Inequality,” International Affairs 75, no. 3 (1999): 531–545.

[7]                Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 29–32.

[8]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–21; Charles Taylor, Multiculturalism and “The Politics of Recognition” (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992), 25–37.


9.           Studi Kasus

Untuk memahami implementasi prinsip-prinsip keadilan sosial ala John Rawls secara konkret, penting untuk menelaah bagaimana ide-ide tersebut berpengaruh atau tercermin dalam kebijakan publik di berbagai negara. Studi kasus berikut memperlihatkan bagaimana prinsip justice as fairness, khususnya difference principle dan fair equality of opportunity, diterapkan atau dijadikan landasan dalam sistem sosial dan ekonomi. Meski tidak selalu secara eksplisit merujuk pada Rawls, kebijakan-kebijakan ini mencerminkan pendekatan Rawlsian terhadap keadilan sosial.

9.1.       Model Negara Kesejahteraan Skandinavia: Swedia dan Norwegia

Negara-negara Skandinavia seperti Swedia dan Norwegia sering dianggap sebagai contoh nyata penerapan prinsip keadilan sosial dalam kebijakan negara. Sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang mereka terapkan berorientasi pada prinsip pemerataan kesempatan dan redistribusi kekayaan yang relatif adil melalui pajak progresif, pendidikan gratis, layanan kesehatan universal, dan jaminan sosial yang luas1.

Prinsip difference principle Rawls secara implisit tercermin dalam sistem ini, di mana ketimpangan ekonomi diperbolehkan selama itu berkontribusi terhadap kesejahteraan kelompok paling rentan dalam masyarakat. Tingkat kemiskinan yang rendah, kesenjangan pendapatan yang minimal, dan tingkat mobilitas sosial yang tinggi menjadi indikator keberhasilan pendekatan ini dalam mewujudkan keadilan distributif2.

Selain itu, Norwegia menetapkan Sovereign Wealth Fund (Government Pension Fund Global), yang mengelola surplus pendapatan dari sektor minyak untuk kepentingan seluruh warga negara, termasuk generasi mendatang, mencerminkan tanggung jawab antargenerasi sebagaimana ditekankan Rawls dalam A Theory of Justice3.

9.2.       Jaminan Pendidikan di Finlandia: Kesetaraan Peluang dalam Akses Edukasi

Finlandia telah lama menjadi rujukan dalam keadilan pendidikan. Sistem pendidikan negara ini menerapkan prinsip kesetaraan dalam akses dan kualitas, dengan meniadakan sekolah elit berbasis seleksi, tidak mengenakan biaya pendidikan, serta memberi dukungan tambahan bagi siswa dari latar belakang kurang beruntung4.

Langkah-langkah tersebut mencerminkan prinsip fair equality of opportunity yang digagas oleh Rawls, yaitu bahwa akses terhadap posisi dan jabatan harus terbuka secara adil kepada semua orang, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi mereka5. Dengan pendekatan ini, Finlandia telah berhasil menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya berkualitas tinggi tetapi juga egaliter, sebagaimana tercermin dalam hasil evaluasi internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment).

9.3.       Program Bolsa Família di Brasil: Redistribusi dan Pemberdayaan Sosial

Brasil melalui program Bolsa Família (2003–2019) memperlihatkan upaya sistematis untuk menerapkan keadilan sosial dengan fokus pada keluarga miskin. Program ini memberikan bantuan tunai bersyarat kepada keluarga yang menyekolahkan anak-anaknya dan menjalani pemeriksaan kesehatan secara rutin. Meskipun bukan negara dengan model negara kesejahteraan seperti Eropa Utara, Brasil melalui program ini mengimplementasikan pendekatan Rawlsian secara pragmatis: ketimpangan diterima selama itu memberi keuntungan riil kepada kelompok paling miskin6.

Hasilnya cukup signifikan. Bank Dunia mencatat bahwa Bolsa Família berkontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan ekstrem dan memperluas akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan dasar7. Program ini menunjukkan bahwa pendekatan Rawlsian dapat diadaptasi secara kontekstual dalam masyarakat berkembang yang menghadapi tantangan struktural.

9.4.       Afirmasi Akses Pendidikan di Afrika Selatan Pasca-Apartheid

Pasca-apartheid, Afrika Selatan menerapkan kebijakan afirmatif dalam pendidikan tinggi melalui sistem race-based affirmative action untuk memperluas partisipasi kelompok kulit hitam dan kelompok terpinggirkan lainnya di universitas-universitas. Meskipun menimbulkan kontroversi, kebijakan ini secara prinsip merefleksikan usaha untuk merealisasikan fair equality of opportunity dengan mengatasi hambatan struktural historis yang menghalangi partisipasi setara8.

Rawls sendiri mengakui bahwa keadilan menuntut equal starting gate (garis awal yang setara), yang kadang membutuhkan intervensi positif untuk mengimbangi ketimpangan warisan sosial-ekonomi9. Dalam hal ini, affirmative action menjadi alat normatif untuk membangun ulang struktur sosial yang lebih adil.

9.5.       Kritik terhadap Distribusi Global: Sistem Ekonomi Internasional

Sebagai pelengkap, penting juga mengamati konteks global. Beberapa pengamat seperti Thomas Pogge menyoroti bagaimana struktur ekonomi global saat ini tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial Rawlsian, terutama dalam hal beban utang negara-negara miskin dan eksploitasi sumber daya alam. Sistem ini justru sering memperparah ketimpangan antarnegara, mengabaikan prinsip Rawlsian tentang duty of assistance kepada masyarakat terluka berat (burdened societies)10.

Karenanya, studi kasus global ini tidak hanya mengilustrasikan keberhasilan penerapan prinsip-prinsip Rawls, tetapi juga memperlihatkan keterbatasan dan tantangan implementasi keadilan sosial dalam konteks ketimpangan global dan relasi kekuasaan dunia.


Dengan menelaah studi-studi kasus ini, terlihat bahwa teori keadilan Rawls bukan hanya suatu sistem filsafat abstrak, tetapi juga dapat diterapkan dalam berbagai kebijakan konkret yang memperjuangkan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 27–34.

[2]                OECD, In It Together: Why Less Inequality Benefits All (Paris: OECD Publishing, 2015), 48–53.

[3]                Norges Bank Investment Management, Government Pension Fund Global Annual Report 2022, https://www.nbim.no.

[4]                Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2011), 35–41.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 73–75.

[6]                Anthony Hall, “From Fome Zero to Bolsa Família: Social Policies and Poverty Alleviation under Lula,” Journal of Latin American Studies 38, no. 4 (2006): 689–709.

[7]                The World Bank, Evaluation of the Impact of Bolsa Família, 2010, https://documents.worldbank.org.

[8]                Cheryl de la Rey and Michael Bohmer, “Equity and Redress in South African Higher Education,” Race Ethnicity and Education 1, no. 1 (1998): 69–80.

[9]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, ed. Erin Kelly (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 44–46.

[10]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 115–125.


10.       Kesimpulan

Pembahasan mengenai keadilan sosial dalam kerangka pemikiran John Rawls memperlihatkan bahwa filsafat politik tidak hanya berkutat pada teori-teori abstrak, tetapi dapat memberikan panduan normatif yang konkret dalam merancang masyarakat yang adil, inklusif, dan manusiawi. Rawls, melalui gagasannya tentang justice as fairness, mengedepankan prinsip-prinsip keadilan yang mampu menjawab kompleksitas persoalan sosial-politik modern. Dua prinsip utamanya—kebebasan dasar yang setara dan difference principle—menyediakan kerangka evaluatif yang rasional untuk mengatur struktur dasar masyarakat agar dapat menjamin hak-hak individu sekaligus memperhatikan mereka yang paling kurang beruntung1.

Keadilan sosial, dalam perspektif Rawlsian, bukan semata persoalan distribusi ekonomi, tetapi menyangkut legitimasi institusi, perlindungan terhadap hak-hak dasar, dan keadilan prosedural. Dalam konteks global yang diwarnai oleh ketimpangan sosial-ekonomi, krisis ekologis, dan kemerosotan institusi demokrasi, prinsip-prinsip Rawls tetap menawarkan relevansi yang tinggi. Baik dalam negara maju yang mengalami peningkatan kesenjangan kekayaan2, maupun dalam negara berkembang yang berjuang membangun struktur institusional yang adil3, teori Rawls menyediakan instrumen moral untuk menilai dan mengarahkan kebijakan publik.

Namun demikian, pembacaan kritis terhadap teori Rawls juga penting dilakukan. Kritik dari libertarian, komunitarian, feminis, kosmopolitan, dan poskolonial memperkaya diskursus dengan menunjukkan keterbatasan teori Rawls dalam memahami dinamika identitas, ketimpangan historis, dan struktur global yang kompleks4. Respons terhadap kritik-kritik ini tidak serta-merta menolak dasar-dasar teori Rawls, melainkan mendorong perluasan dan penyesuaian konsep keadilan sosial agar lebih sensitif terhadap keragaman konteks dan realitas.

Studi-studi kasus dari negara-negara seperti Swedia, Finlandia, Brasil, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip Rawlsian bukanlah utopia teoritis, melainkan memungkinkan diwujudkan melalui komitmen politik yang kuat, kebijakan publik yang progresif, dan partisipasi warga yang aktif5. Dalam semua konteks ini, ide keadilan sosial Rawlsian menjadi sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang tidak hanya makmur, tetapi juga bermartabat dan setara.

Dengan demikian, teori keadilan Rawls tetap merupakan fondasi penting bagi wacana keadilan sosial kontemporer. Ia menawarkan peta konseptual yang tangguh dan fleksibel, sekaligus menyisakan ruang untuk refleksi, kritik, dan transformasi. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, upaya menimbang kembali keadilan sosial melalui pemikiran Rawls adalah langkah esensial untuk menghadirkan tatanan sosial yang lebih etis, adil, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 52–83.

[2]                Lucas Chancel et al., World Inequality Report 2022 (World Inequality Lab, 2022), https://wir2022.wid.world.

[3]                John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 106–113.

[4]                Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York: Basic Books, 1989); Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002); Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982).

[5]                Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990); Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2011); Anthony Hall, “From Fome Zero to Bolsa Família,” Journal of Latin American Studies 38, no. 4 (2006): 689–709.


Daftar Pustaka

Beitz, C. R. (1979). Political theory and international relations. Princeton University Press.

Chancel, L., Piketty, T., Saez, E., & Zucman, G. (2022). World inequality report 2022. World Inequality Lab. https://wir2022.wid.world

De la Rey, C., & Bohmer, M. (1998). Equity and redress in South African higher education: A gender perspective. Race Ethnicity and Education, 1(1), 69–80. https://doi.org/10.1080/1361332980010106

Esping-Andersen, G. (1990). The three worlds of welfare capitalism. Princeton University Press.

Eubanks, V. (2018). Automating inequality: How high-tech tools profile, police, and punish the poor. St. Martin’s Press.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.

Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution or recognition? A political-philosophical exchange. Verso.

Freeman, S. (2007). Rawls. Routledge.

Hall, A. (2006). From Fome Zero to Bolsa Família: Social policies and poverty alleviation under Lula. Journal of Latin American Studies, 38(4), 689–709. https://doi.org/10.1017/S0022216X0600157X

Miller, D. (1999). Principles of social justice. Harvard University Press.

Norges Bank Investment Management. (2022). Government Pension Fund Global: Annual report 2022. https://www.nbim.no

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. Basic Books.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Okin, S. M. (1989). Justice, gender, and the family. Basic Books.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2015). In it together: Why less inequality benefits all. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264235120-en

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Polity Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rawls, J. (1999). The law of peoples. Harvard University Press.

Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A restatement (E. Kelly, Ed.). Harvard University Press.

Sahlberg, P. (2011). Finnish lessons: What can the world learn from educational change in Finland? Teachers College Press.

Sandel, M. J. (1982). Liberalism and the limits of justice. Cambridge University Press.

Sandel, M. J. (2009). Justice: What’s the right thing to do? Farrar, Straus and Giroux.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.

Shue, H. (1999). Global environment and international inequality. International Affairs, 75(3), 531–545. https://doi.org/10.1111/1468-2346.00092

Taylor, C. (1992). Multiculturalism and “The politics of recognition”. Princeton University Press.

Taylor, C. (1985). Atomism. In Philosophy and the human sciences: Philosophical papers 2 (pp. 187–210). Cambridge University Press.

United Nations General Assembly. (1948). Universal Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

World Bank. (2010). Evaluation of the impact of Bolsa Família. https://documents.worldbank.org

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Wenar, L. (2009). Why Rawls is not a cosmopolitan egalitarian. Critical Review of International Social and Political Philosophy, 12(1), 39–61. https://doi.org/10.1080/13698230802655600


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar