Sabtu, 31 Mei 2025

Pemikiran Karl Popper: Epistemologi, Sains, dan Masyarakat Terbuka

Pemikiran Karl Popper

Epistemologi, Sains, dan Masyarakat Terbuka


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif kontribusi intelektual Karl Popper dalam bidang filsafat ilmu dan filsafat sosial-politik. Fokus utama diarahkan pada gagasan falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi antara ilmu dan pseudosains, yang merupakan sumbangan Popper terhadap perdebatan klasik mengenai dasar pengetahuan ilmiah. Melalui epistemologi kritis dan prinsip provisionalisme, Popper menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah bersifat final, melainkan selalu terbuka terhadap kritik dan revisi. Artikel ini juga mengkaji konsep masyarakat terbuka yang dikembangkan Popper sebagai tanggapan terhadap bahaya historisisme dan totalitarianisme, serta peran rasionalitas kritis dalam mendukung institusi demokratis. Selain menjelaskan pengaruh luas pemikiran Popper dalam perkembangan metodologi ilmiah dan pemikiran politik kontemporer, artikel ini turut menelaah berbagai kritik yang dilontarkan terhadap gagasan-gagasannya oleh tokoh-tokoh seperti Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan Imre Lakatos. Di tengah tantangan zaman seperti krisis epistemik, post-truth, dan polarisasi politik global, pemikiran Popper tetap relevan sebagai fondasi bagi ilmu yang terbuka dan masyarakat yang demokratis.

Kata Kunci: Karl Popper, falsifiabilitas, epistemologi kritis, masyarakat terbuka, historisisme, demokrasi, filsafat ilmu, rasionalisme kritis.


PEMBAHASAN

Karl Popper dan Falsifiabilitas Ilmiah


1.           Pendahuluan

Karl Raimund Popper (1902–1994) adalah salah satu filsuf ilmu paling berpengaruh pada abad ke-20, yang dikenal luas karena kontribusinya dalam bidang epistemologi, metodologi ilmu, dan filsafat politik. Ia lahir di Wina, Austria, dalam keluarga Yahudi sekuler yang sangat menghargai pendidikan dan budaya humanistik. Masa muda Popper diwarnai oleh pergolakan intelektual yang terjadi di Eropa Tengah, terutama dalam lingkungan pemikiran ilmiah dan filosofis yang berkembang di sekitar Vienna Circle, meskipun ia kemudian menjadi kritikus tajam terhadap pendekatan positivisme logis yang dianut oleh kelompok tersebut.¹

Pemikiran Popper berkembang dalam konteks zaman yang ditandai oleh ketidakpastian ilmiah dan krisis dalam filsafat sains. Di satu sisi, perkembangan teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum menantang paradigma Newtonian yang telah lama dianggap mapan; di sisi lain, krisis epistemologis memunculkan pertanyaan tentang batasan metode ilmiah dan status pengetahuan manusia. Dalam lanskap inilah, Popper mengajukan gagasan radikal mengenai falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi antara ilmu dan pseudosains, suatu sumbangan intelektual yang akan mengguncang fondasi epistemologi tradisional.²

Selain kontribusinya dalam filsafat ilmu, Popper juga dikenal sebagai seorang pemikir politik yang menentang segala bentuk totalitarianisme dan ideologi yang menutup ruang dialog. Melalui karya monumentalnya The Open Society and Its Enemies, ia mengkritik keras kecenderungan historisisme yang diyakini menjadi akar dari banyak proyek politik utopis yang menindas kebebasan individu.³ Dengan menjunjung tinggi semangat kritik rasional, keterbukaan terhadap perubahan, dan nilai-nilai kebebasan sipil, Popper membangun landasan filsafat sosial yang relevan untuk mempertahankan demokrasi di tengah arus ekstremisme ideologis yang merebak di abad ke-20.

Penelusuran terhadap pemikiran Popper menjadi penting bukan hanya karena signifikansinya dalam sejarah filsafat modern, tetapi juga karena relevansinya yang terus hidup dalam wacana ilmu pengetahuan dan politik kontemporer. Ketika dunia dihadapkan pada tantangan post-truth, radikalisme ideologis, dan perdebatan mengenai batas-batas keilmuan, pemikiran Popper menawarkan kerangka rasional yang dapat menjadi rujukan dalam menimbang ulang etika berpikir dan bertindak dalam masyarakat ilmiah dan politik yang terbuka.

Kajian ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis pemikiran utama Karl Popper yang mencakup tiga dimensi penting: epistemologi falsifikasionisme, filsafat ilmu, dan filsafat sosial-politik. Artikel ini disusun dengan mengacu pada sumber-sumber akademik primer dan sekunder yang kredibel, seperti karya asli Popper dan studi biografis-kritis dari para filsuf serta sejarawan pemikiran, untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai signifikansi intelektualnya.


Footnotes

[1]                Malachi H. Hacohen, Karl Popper: The Formative Years, 1902–1945 (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 17–28.

[2]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl Popper (London: Routledge, 1959), 40–41.

[3]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London: Routledge, 1945), 3–5.


2.           Kontribusi Popper dalam Filsafat Ilmu

2.1.       Kritik terhadap Induktivisme dan Empirisme Logis

Salah satu sumbangan terbesar Karl Popper dalam filsafat ilmu adalah kritik tajamnya terhadap induktivisme—gagasan bahwa hukum-hukum ilmiah dapat diperoleh melalui generalisasi dari observasi individual. Popper menolak pendekatan ini dengan menyatakan bahwa tidak mungkin memperoleh kepastian ilmiah melalui induksi karena jumlah observasi empiris tidak pernah cukup untuk menjamin kebenaran universal suatu teori.¹ Ia menunjukkan bahwa meskipun ribuan pengamatan dapat mendukung suatu teori, cukup satu contoh yang bertentangan untuk membatalkannya.²

Dalam hal ini, Popper juga secara eksplisit menentang filsuf-filsuf dari Vienna Circle yang mengusung logical positivism. Mereka menganggap bahwa kebenaran ilmiah ditentukan oleh verifikasi empiris. Popper membalik pendekatan ini dengan menyatakan bahwa verifikasi tidak dapat membedakan ilmu sejati dari pseudosains, karena teori-teori seperti astrologi, psikoanalisis, atau marxisme bisa selalu mencari cara untuk "mengonfirmasi" diri mereka secara ad hoc.³ Oleh karena itu, Popper menegaskan bahwa falsifiabilitas, bukan verifikabilitas, harus menjadi kriteria utama yang membedakan antara teori ilmiah dan non-ilmiah.

A theory which is not refutable by any conceivable event is non-scientific. Irrefutability is not a virtue of a theory but a vice.”⁴

Dengan demikian, Popper memberikan jawaban terhadap problem klasik dalam epistemologi yang telah dikemukakan oleh David Hume, yakni bahwa tidak ada dasar logis untuk menyimpulkan kebenaran umum dari fakta-fakta khusus.⁵ Pendekatan Popper bukanlah mencari landasan logis bagi pengetahuan ilmiah, tetapi menekankan ketegangan antara dugaan (conjecture) dan pembantahan (refutation) sebagai motor utama kemajuan ilmu.

2.2.       Teori Falsifiabilitas sebagai Kriteria Demarkasi Ilmu

Gagasan falsifiabilitas (falsifiability) menjadi pusat dari metodologi ilmiah Popper. Suatu teori dianggap ilmiah jika dan hanya jika ia dapat diuji dan—jika ternyata salah—dapat dibantah oleh pengalaman empiris.⁶ Dalam kerangka ini, ilmu tidak berkembang dengan mengumpulkan konfirmasi, melainkan melalui proses pengajuan hipotesis yang berani, kemudian pengujian kritis terhadapnya dengan tujuan mencoba memfalsifikasinya.

Contoh terkenal yang digunakan Popper adalah perbandingan antara teori relativitas Einstein dan teori-teori seperti Freud dan Marx. Teori Einstein, menurut Popper, memaparkan prediksi-prediksi yang sangat spesifik dan berisiko, misalnya pembelokan cahaya bintang oleh gravitasi saat gerhana matahari. Jika pengamatan tidak sesuai, maka teori tersebut akan runtuh. Sebaliknya, teori-teori Freud dan Marx dianggap terlalu lentur, karena selalu bisa menyesuaikan diri dengan hasil apapun dan karena itu tidak falsifiable.⁷

Konsekuensi dari gagasan ini adalah perubahan radikal dalam cara ilmu dipahami. Ilmu bukanlah sistem pengetahuan yang absolut dan pasti, melainkan suatu kegiatan kritis yang bersifat terbuka, yang senantiasa menantang dirinya sendiri untuk menguji batas-batasnya. Dengan menolak klaim kepastian dan menggantinya dengan prinsip uji coba dan kesalahan (trial and error), Popper menempatkan ilmu dalam dinamika yang terus berkembang.

The criterion of the scientific status of a theory is its falsifiability, or refutability, or testability.”⁸

Popper juga menolak pandangan bahwa teori ilmiah dimulai dari observasi. Ia berpendapat bahwa observasi itu sendiri sudah dibimbing oleh teori—all observation is theory-laden. Dengan demikian, proses ilmiah adalah interaksi antara teori dan eksperimen, bukan urutan linear dari fakta ke teori.⁹

Melalui pendekatan ini, Popper berhasil menggeser perdebatan tentang dasar-dasar ilmu dari pencarian fondasi yang tak tergoyahkan menuju paradigma yang menekankan keterbukaan terhadap kritik, ketidaksempurnaan pengetahuan, dan kerendahan hati epistemik. Hal ini tidak hanya berdampak pada teori keilmuan, tetapi juga memberikan fondasi filosofis bagi etos ilmiah modern yang menolak dogma dan menjunjung tinggi dinamika perbaikan diri.


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl Popper (London: Routledge, 1959), 27–30.

[2]                Ibid., 40.

[3]                Bryan Magee, Popper (London: Fontana Press, 1973), 35–38.

[4]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 37.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 25–27.

[6]                Popper, The Logic of Scientific Discovery, 41–43.

[7]                Karl Popper, Conjectures and Refutations, 34–36.

[8]                Ibid., 36.

[9]                Malachi H. Hacohen, Karl Popper: The Formative Years, 1902–1945 (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 192–194.


3.           Epistemologi Kritis dan Provisionalisme

3.1.       Pengetahuan sebagai Produk Hipotesis dan Uji

Karl Popper memandang epistemologi bukan sebagai pencarian kebenaran absolut, melainkan sebagai proses dinamis yang terus berkembang melalui pengajuan hipotesis dan pengujian kritis. Dalam karyanya Conjectures and Refutations, ia menekankan bahwa semua pengetahuan ilmiah bersifat tentatif (provisional) dan tidak pernah dapat diklaim sebagai kebenaran final.¹ Dengan demikian, sains tidak berkembang melalui akumulasi fakta, melainkan melalui proses penolakan terhadap teori-teori yang tidak sesuai dengan kenyataan.²

Dalam pandangan Popper, proses ilmiah berjalan melalui tiga langkah: (1) formulasi conjecture atau dugaan teoritis, (2) pengujian empiris untuk mencoba refutation, dan (3) seleksi kritis terhadap teori-teori berdasarkan hasil uji.³ Sains adalah proses yang menyerupai evolusi Darwinian—di mana teori-teori bersaing, dan hanya yang mampu bertahan terhadap kritik yang tetap digunakan.

Pendekatan ini disebut epistemologi kritis, karena menekankan peran kritik sebagai elemen utama pertumbuhan pengetahuan. Dalam kerangka ini, keyakinan tidak dianggap bernilai karena kekuatannya dipertahankan, tetapi justru karena kesediaannya diuji dan ditolak jika ditemukan kekeliruan.⁴ Oleh karena itu, Popper menolak segala bentuk dogmatisme ilmiah maupun relativisme epistemik.

3.2.       Penolakan terhadap Justifikasi Epistemik Absolut

Popper secara eksplisit menolak pandangan epistemologis tradisional yang dikenal sebagai foundationalism—yaitu anggapan bahwa terdapat basis yang tak dapat diragukan (seperti pengalaman indrawi atau prinsip logis) untuk membangun seluruh struktur pengetahuan.⁵ Ia menyebut bahwa tidak ada titik awal absolut dalam sains; bahkan observasi pun tidak bebas dari interpretasi teoritis.⁶ Dengan demikian, ilmu bukanlah sistem yang dibangun di atas fondasi kokoh, melainkan struktur terbuka yang bersifat fallibilis—rentan terhadap kekeliruan dan selalu menanti perbaikan.

Popper juga mengkritik klaim-klaim kebenaran yang mengarah pada relativisme. Baginya, meskipun tidak ada pengetahuan yang pasti, bukan berarti semua pendapat memiliki nilai yang sama. Ada perbedaan objektif antara teori yang telah diuji secara ketat dan teori yang tidak dapat diuji sama sekali.⁷ Ini adalah jalan tengah antara dogmatisme dan relativisme, yang menjadi ciri khas epistemologi kritis Popper.

Sikap ini dikenal dengan istilah critical rationalism, yakni keyakinan bahwa rasionalitas bukan terletak pada kemampuan untuk membuktikan suatu keyakinan, tetapi pada kesediaan untuk membuka keyakinan itu terhadap kritik dan koreksi.⁸ Dengan demikian, Popper memberikan alternatif terhadap epistemologi klasik dengan menekankan proses perbaikan diri terus-menerus dalam pencarian pengetahuan.

We never know what we are talking about… All we can do is guess. Our knowledge is the result of a great many conjectures and refutations.”⁹

Konsekuensi dari pendekatan ini adalah pengakuan bahwa tidak ada sistem ilmiah yang bebas dari kesalahan. Yang membedakan sains dari dogma adalah bukan karena ia benar, tetapi karena ia bersedia untuk salah, dan karenanya terbuka untuk berkembang. Dalam arti ini, epistemologi Popper bersifat emansipatoris, karena membebaskan ilmu dari belenggu absolutisme epistemik.


Footnotes

[1]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33.

[2]                Ibid., 35–36.

[3]                Bryan Magee, Popper (London: Fontana Press, 1973), 49.

[4]                David Miller, Out of Error: Further Essays on Critical Rationalism (Aldershot: Ashgate, 2006), 5–6.

[5]                Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl Popper (London: Routledge, 1959), 20–22.

[6]                Ibid., 106–107.

[7]                Popper, Conjectures and Refutations, 38–39.

[8]                Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London: Routledge, 1996), 17–18.

[9]                Popper, Conjectures and Refutations, 33.


4.           Filsafat Sosial dan Politik: Masyarakat Terbuka

4.1.       Kritik terhadap Historisisme

Di luar kontribusinya dalam filsafat ilmu, Karl Popper juga memberikan pengaruh besar dalam ranah filsafat sosial dan politik, terutama melalui kritiknya terhadap historisisme. Dalam karya terkenalnya The Open Society and Its Enemies, Popper mendefinisikan historisisme sebagai “pandangan bahwa sejarah berkembang menurut hukum-hukum yang tetap dan tak terelakkan.”¹ Ia menolak gagasan bahwa masa depan masyarakat dapat diprediksi secara ilmiah berdasarkan hukum-hukum sejarah, sebagaimana diklaim oleh para pemikir seperti Hegel dan Marx.

Menurut Popper, kecenderungan historisis semacam itu sering kali mengarah pada bentuk-bentuk totalitarianisme karena mengklaim memiliki pengetahuan eksklusif tentang arah sejarah dan dengan demikian merasa berhak untuk memaksakan tatanan sosial tertentu.² Ia melihat bahwa proyek-proyek politik utopis yang didasarkan pada prediksi sejarah berisiko meniadakan kebebasan individu dan menjustifikasi penindasan demi mencapai tujuan historis yang dianggap tak terelakkan.³

Popper secara khusus menyoroti Plato, Hegel, dan Marx sebagai tokoh-tokoh yang menurutnya bertanggung jawab menyemai benih pemikiran totaliter melalui kecenderungan untuk mengidealkan struktur sosial tertutup dan hierarkis.⁴ Ia menganggap bahwa klaim mereka tentang hukum sejarah bukan hanya keliru secara metodologis, tetapi juga berbahaya secara moral dan politis karena menolak kemungkinan pembaruan sosial melalui kritik rasional dan partisipasi bebas.

4.2.       Prinsip Masyarakat Terbuka

Sebagai alternatif terhadap masyarakat yang tertutup dan dogmatis, Popper mengusulkan konsep masyarakat terbuka (open society)—suatu tatanan sosial yang didasarkan pada kebebasan berpikir, kebebasan individu, pluralisme politik, dan kemampuan untuk mengoreksi kesalahan melalui institusi demokratis.⁵ Dalam masyarakat terbuka, kebijakan dan institusi tidak dianggap sakral atau tak tergoyahkan, melainkan harus selalu terbuka terhadap kritik rasional dan reformasi secara damai.

What makes a society open is the extent to which it allows its institutions to be changed by rational discussion.”⁶

Popper menganggap bahwa karakteristik utama dari masyarakat terbuka adalah keberanian untuk menerima ketidakpastian dan menolak kepastian ideologis. Dalam kerangka ini, kebebasan bukan berarti ketidakteraturan, melainkan keberanian untuk hidup dalam sistem yang mengakui kemungkinan kesalahan dan memberikan ruang untuk memperbaikinya secara institusional.⁷ Ia menyebut bahwa demokrasi bukanlah sistem yang menjamin pemimpin terbaik, melainkan sistem yang memungkinkan penggulingan pemimpin tanpa pertumpahan darah.⁸

Konsep masyarakat terbuka Popper juga dilandasi oleh prinsip individualisme moral, yakni bahwa setiap individu harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat bagi proyek sosial kolektif. Ia menolak pandangan kolektivis yang mengorbankan individu demi kehendak sejarah atau cita-cita ideologis.⁹ Dalam masyarakat terbuka, kebijakan publik harus tunduk pada evaluasi rasional dan etis, bukan pada dogma metafisik atau prediksi historis.

Gagasan ini kemudian memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran politik liberal di abad ke-20, termasuk dalam diskursus mengenai demokrasi liberal, hak asasi manusia, dan pluralisme ideologi.¹⁰ Di tengah kebangkitan populisme, otoritarianisme, dan relativisme budaya pada abad ke-21, filsafat Popper mengenai masyarakat terbuka kembali relevan sebagai fondasi intelektual yang menegaskan pentingnya rasionalitas, tanggung jawab, dan kesediaan untuk mendengar kritik.


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London: Routledge, 1945), 3.

[2]                Ibid., 9–11.

[3]                Ibid., 5–6.

[4]                Ibid., 31–55.

[5]                Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 2 (London: Routledge, 1945), 154–156.

[6]                Ibid., 157.

[7]                Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London: Routledge, 1996), 95.

[8]                Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1, 124.

[9]                Ibid., 108.

[10]             Malachi H. Hacohen, Karl Popper: The Formative Years, 1902–1945 (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 363–366.


5.           Pengaruh dan Kritik terhadap Pemikiran Popper

5.1.       Pengaruh terhadap Filsafat Ilmu dan Politik Kontemporer

Pemikiran Karl Popper telah memberikan kontribusi mendalam dalam berbagai bidang, khususnya filsafat ilmu, epistemologi, dan teori politik modern. Gagasan tentang falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi ilmu mempengaruhi secara luas cara para ilmuwan dan filsuf memahami dinamika ilmu pengetahuan. Banyak kalangan mengakui bahwa pendekatan Popper terhadap ilmu sebagai suatu sistem terbuka yang bersifat hipotetis dan uji telah menggeser paradigma dari pengetahuan yang bersifat verifikatif ke arah yang lebih kritis dan dinamis

Di kalangan ilmuwan alam, tokoh seperti Stephen Hawking dan Richard Feynman memuji falsifikasionisme Popper sebagai pendekatan yang mendekati praktik ilmiah nyata.² Bahkan dalam kebijakan publik dan perumusan sains modern, Popper menjadi acuan penting dalam menolak klaim-klaim ilmiah yang tak dapat diuji secara empiris. Hal ini terlihat dalam konteks pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy), yang menekankan pentingnya uji coba dan keterbukaan terhadap revisi.

Dalam bidang politik, Popper dikenal luas sebagai pembela demokrasi liberal dan pluralisme. Konsep masyarakat terbuka yang ia rumuskan menjadi landasan filosofis bagi pemikiran politik kontemporer yang menekankan pada kebebasan individu, supremasi hukum, dan pentingnya institusi demokratis yang dapat dikoreksi.³ Pemikir-pemikir seperti George Soros, melalui Open Society Foundations, secara eksplisit menyatakan diri terinspirasi oleh filsafat politik Popper.⁴

5.2.       Kritik dari Tokoh-Tokoh Lain

Meskipun Popper banyak dipuji, pemikirannya tidak luput dari kritik serius, terutama dari filsuf-filsuf ilmu kontemporer. Salah satu kritik paling terkenal datang dari Thomas S. Kuhn, yang dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions (1962) menolak pandangan Popper yang menggambarkan ilmu sebagai proses rasional yang terus menerus menguji dan menolak teori.⁵ Kuhn menekankan bahwa ilmu berkembang melalui paradigma yang mendominasi dan hanya berubah secara revolusioner ketika anomali-akumulatif tidak lagi bisa diatasi. Dalam hal ini, falsifiabilitas dianggap terlalu idealistik dan tidak merefleksikan praktik nyata sejarah sains.⁶

Kritik lain datang dari Paul Feyerabend, yang dalam bukunya Against Method (1975) menolak seluruh kerangka metodologis Popper. Feyerabend menyatakan bahwa tidak ada metodologi tunggal atau kriteria demarkasi yang dapat diterapkan secara universal. Ia menuduh Popper tetap mempertahankan semacam “rasionalisme otoriter” dan menyarankan bahwa kemajuan ilmu justru sering terjadi melalui pelanggaran terhadap aturan-aturan metodologis.⁷

Selain itu, beberapa kritikus seperti Imre Lakatos mencoba melakukan sintesis antara Popper dan Kuhn melalui metodologi program penelitian ilmiah, yang memperkenankan adanya struktur teoritik inti yang tidak serta merta ditolak ketika terjadi falsifikasi, melainkan dilindungi oleh hipotesis pelengkap.⁸ Kritik ini menunjukkan bahwa pendekatan Popper terlalu cepat dalam menyatakan kegagalan teori hanya karena terdapat satu data falsifikasi.

Di bidang sosial-politik, beberapa kritik juga ditujukan terhadap universalitas konsep masyarakat terbuka. Popper dianggap terlalu meremehkan konteks budaya dan sejarah masyarakat non-Barat dalam menerapkan prinsip-prinsip liberalisme.⁹ Dalam hal ini, pendekatan Popper dinilai lebih normatif daripada deskriptif, dan karenanya dianggap terbatas dalam menjelaskan kompleksitas politik global.

Meskipun demikian, bahkan para kritikusnya mengakui bahwa Popper telah membuka wacana penting mengenai peran kritik, keterbukaan, dan kerendahan hati epistemik dalam sains dan masyarakat. Ia bukan hanya seorang filsuf, tetapi juga seorang public intellectual yang menaruh perhatian besar terhadap nasib rasionalitas dan kebebasan dalam peradaban modern.


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl Popper (London: Routledge, 1959), 40–43.

[2]                Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 34–35.

[3]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London: Routledge, 1945), 108–110.

[4]                George Soros, Open Society: Reforming Global Capitalism (New York: PublicAffairs, 2000), x–xi.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[6]                Ibid., 76–91.

[7]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 3–5.

[8]                Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes,” in Criticism and the Growth of Knowledge, eds. Imre Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–196.

[9]                Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London: Routledge, 1996), 137–139.


6.           Relevansi Pemikiran Popper di Era Kontemporer

Pemikiran Karl Popper, meskipun berkembang pada paruh pertama abad ke-20, tetap memiliki relevansi yang sangat kuat dalam menjawab tantangan intelektual, ilmiah, dan politik abad ke-21. Dunia kontemporer menghadapi berbagai krisis epistemologis dan sosial yang menuntut kerangka berpikir yang terbuka, kritis, dan rasional—prinsip-prinsip yang secara mendasar ditanamkan dalam filsafat Popper.

6.1.       Dalam Konteks Ilmu dan Teknologi Modern

Dalam ranah ilmu pengetahuan dan teknologi, gagasan Popper mengenai falsifiabilitas dan epistemologi kritis menjadi sangat penting di tengah kemajuan pesat riset sains dan tekanan terhadap integritas ilmiah. Di era informasi yang ditandai oleh big data, kecerdasan buatan, dan eksplorasi bioteknologi, muncul kebutuhan mendesak untuk membedakan antara pengetahuan ilmiah yang sahih dan klaim spekulatif yang tidak dapat diuji.

Falsifikasionisme Popper memberikan panduan metodologis agar komunitas ilmiah tetap bersandar pada prinsip pengujian hipotesis yang terbuka terhadap kesalahan dan revisi.¹ Dalam konteks ini, metode ilmiah berbasis uji coba (trial and error), yang ia tekankan, sejalan dengan logika eksperimen dalam sains komputasional dan uji klinis modern.² Tanpa falsifiabilitas, banyak klaim yang mengatasnamakan sains berpotensi menjadi dogma baru yang tak tersentuh kritik.

Selain itu, ide Popper mengenai theory-ladenness of observation juga relevan dalam diskursus ilmu kontemporer, terutama dalam kajian terhadap bias metodologis dan kesadaran bahwa pengamatan ilmiah selalu dimediasi oleh kerangka teoritik yang dibawa oleh peneliti.³ Dengan demikian, epistemologi kritis Popper tetap menjadi sumber inspirasi untuk membangun budaya ilmiah yang rendah hati dan terbuka terhadap pembaruan.

6.2.       Dalam Konteks Politik, Demokrasi, dan Masyarakat Terbuka

Pemikiran politik Popper tentang masyarakat terbuka menjadi sangat relevan di tengah kemunculan kembali otoritarianisme, populisme, dan polarisasi politik global. Dalam era pasca-kebenaran (post-truth), di mana fakta sering dikaburkan oleh opini dan disinformasi, semangat rasionalisme kritis Popper mengajarkan pentingnya membangun institusi demokratis yang tahan uji, transparan, dan siap dikoreksi melalui dialog dan partisipasi publik.⁴

Konsep bahwa kebijakan dan institusi sosial harus terbuka terhadap evaluasi dan perbaikan sangat penting dalam melawan dogmatisme ideologis dan stagnasi birokratis. Di berbagai negara demokratis, keberlanjutan tata kelola pemerintahan yang sehat sangat tergantung pada adanya ruang publik yang rasional, di mana perbedaan pandangan dihargai dan tidak diselesaikan dengan kekerasan atau represi.⁵

Bahkan dalam konteks globalisasi dan keragaman budaya, prinsip Popper tentang critical rationalism memberikan fondasi filosofis untuk menjembatani perbedaan tanpa menolak pluralisme. Dalam menghadapi ekstremisme agama, nasionalisme eksklusif, dan relativisme budaya, masyarakat terbuka menurut Popper tetap menjadi ideal normatif yang meneguhkan komitmen terhadap kebebasan, tanggung jawab moral, dan keterbukaan terhadap kritik.⁶

6.3.       Dalam Dunia Pendidikan dan Literasi Kritis

Di dunia pendidikan, terutama di era digital dan media sosial, pemikiran Popper dapat mendorong pengembangan pendidikan berbasis berpikir kritis (critical thinking) dan pembelajaran yang mendorong keberanian intelektual untuk menguji gagasan. Pendidikan yang menanamkan prinsip fallibilism, kesediaan untuk direvisi, dan pencarian kebenaran melalui perdebatan terbuka sejalan dengan semangat liberal education yang dijunjung oleh Popper.⁷

Lebih dari sekadar teknik debat atau logika formal, pendekatan ini menumbuhkan etika intelektual yang menghargai keraguan dan anti-dogma—kualitas yang sangat dibutuhkan di tengah arus radikalisasi pemikiran dan penyebaran hoaks.

6.4.       Relevansi Etis: Merawat Kerendahan Hati Epistemik

Terakhir, di tengah kecepatan produksi pengetahuan, tekanan opini publik, dan dominasi narasi media, Popper mengingatkan pentingnya kerendahan hati epistemik—yakni kesadaran bahwa pengetahuan manusia selalu terbatas, dan kebenaran hanya dapat didekati melalui dialog, bukan dipaksakan secara mutlak.⁸

Warisan intelektual Popper bukanlah sistem dogmatik, melainkan semangat untuk terus menguji, merevisi, dan memperbaiki keyakinan kita dalam terang bukti dan nalar. Itulah yang menjadikan filsafatnya tetap hidup dan dibutuhkan hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl Popper (London: Routledge, 1959), 40–43.

[2]                David Deutsch, The Beginning of Infinity: Explanations That Transform the World (London: Penguin, 2011), 78–80.

[3]                Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 46–47.

[4]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London: Routledge, 1945), 108–110.

[5]                Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London: Routledge, 1996), 149–150.

[6]                George Soros, The Crisis of Global Capitalism: Open Society Endangered (New York: PublicAffairs, 1998), 32–34.

[7]                Nicholas Maxwell, Karl Popper, Science and Enlightenment (London: UCL Press, 2017), 156–158.

[8]                Popper, Conjectures and Refutations, 33.


7.           Kesimpulan

Karl Popper merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20, yang gagasan-gagasannya melintasi batas disiplin antara epistemologi, metodologi sains, dan filsafat politik. Melalui konsep falsifiabilitas, Popper menawarkan solusi elegan terhadap perdebatan klasik seputar problem induksi dan batas antara ilmu serta pseudosains.¹ Ia mengalihkan fokus dari pencarian verifikasi ke pentingnya pengujian dan pembantahan sebagai syarat utama dari validitas ilmiah.² Dengan demikian, Popper meletakkan dasar bagi epistemologi kritis dan provisionalisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah mutlak, melainkan selalu terbuka terhadap revisi seiring berkembangnya kritik dan pengalaman baru.³

Konsep-konsep epistemologis Popper tidak hanya berfungsi sebagai perangkat metodologis dalam penelitian ilmiah, melainkan juga sebagai prinsip moral-intelektual yang mendukung budaya rendah hati, terbuka, dan rasional. Falsifikasionisme tidak hanya mengajarkan cara berpikir ilmiah, tetapi juga mempromosikan sikap keilmuan yang anti-dogmatis dan siap menerima kemungkinan kekeliruan.⁴

Lebih jauh, filsafat sosial-politik Popper tentang masyarakat terbuka memberikan kerangka etis dan normatif bagi tatanan sosial yang menjunjung tinggi kebebasan individu, rasionalitas publik, dan institusi demokratis yang dapat dikritik dan diperbaiki.⁵ Kritiknya terhadap historisisme menjadi peringatan penting terhadap bahaya pemikiran deterministik dan utopis yang dapat menjurus pada totalitarianisme.⁶ Popper mengusulkan bahwa masa depan tidak ditentukan oleh hukum sejarah, melainkan dibentuk melalui pilihan rasional dan tanggung jawab moral umat manusia.

Meskipun menghadapi kritik dari filsuf-filsuf seperti Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan Imre Lakatos, pengaruh Popper tetap mendalam.⁷ Kritik-kritik tersebut bahkan memperkaya diskursus metodologi sains dan menginspirasi pendekatan-pendekatan baru yang lebih pluralistik. Namun demikian, semangat kritisisme Popperian tetap menjadi acuan normatif dalam filsafat ilmu: bahwa pengetahuan tumbuh bukan dari kepastian, tetapi dari keberanian untuk meragukan.

Di era kontemporer yang ditandai oleh krisis informasi, populisme politik, dan tantangan terhadap rasionalitas, pemikiran Popper tampil sebagai warisan intelektual yang vital. Prinsip falsifiabilitas mendorong sains untuk tetap jujur terhadap bukti; sementara masyarakat terbuka memelihara nilai-nilai dialog, pluralisme, dan hak untuk mengoreksi kesalahan. Dalam dunia yang semakin kompleks, warisan Popper mengajarkan bahwa kemajuan tidak datang dari kepastian, melainkan dari keterbukaan terhadap kesalahan dan komitmen terhadap perbaikan diri yang berkelanjutan.⁸


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl Popper (London: Routledge, 1959), 40–43.

[2]                Ibid., 47–48.

[3]                Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London: Routledge, 1963), 33–36.

[4]                David Miller, Out of Error: Further Essays on Critical Rationalism (Aldershot: Ashgate, 2006), 4–6.

[5]                Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London: Routledge, 1945), 108–110.

[6]                Ibid., 5–6.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 76–91; Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 5–9; Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes,” in Criticism and the Growth of Knowledge, eds. Imre Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–196.

[8]                Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London: Routledge, 1996), 152–154.


Daftar Pustaka

Deutsch, D. (2011). The beginning of infinity: Explanations that transform the world. Penguin Books.

Feyerabend, P. (1975). Against method: Outline of an anarchistic theory of knowledge. Verso.

Hacohen, M. H. (2000). Karl Popper: The formative years, 1902–1945. Cambridge University Press.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1748)

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1970). Falsification and the methodology of scientific research programmes. In I. Lakatos & A. Musgrave (Eds.), Criticism and the growth of knowledge (pp. 91–196). Cambridge University Press.

Magee, B. (1973). Popper. Fontana Press.

Maxwell, N. (2017). Karl Popper, science and enlightenment. UCL Press.

Miller, D. (2006). Out of error: Further essays on critical rationalism. Ashgate.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery (Original work published 1934). Routledge.

Popper, K. (1963). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Popper, K. (1945). The open society and its enemies (Vols. 1–2). Routledge.

Shearmur, J. (1996). The political thought of Karl Popper. Routledge.

Soros, G. (1998). The crisis of global capitalism: Open society endangered. PublicAffairs.

Soros, G. (2000). Open society: Reforming global capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar