Pemikiran Karl Popper
Epistemologi, Sains, dan Masyarakat Terbuka
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif kontribusi
intelektual Karl Popper dalam bidang filsafat ilmu dan filsafat sosial-politik.
Fokus utama diarahkan pada gagasan falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi
antara ilmu dan pseudosains, yang merupakan sumbangan Popper terhadap
perdebatan klasik mengenai dasar pengetahuan ilmiah. Melalui epistemologi
kritis dan prinsip provisionalisme, Popper menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah
tidak pernah bersifat final, melainkan selalu terbuka terhadap kritik dan revisi.
Artikel ini juga mengkaji konsep masyarakat terbuka yang dikembangkan Popper
sebagai tanggapan terhadap bahaya historisisme dan totalitarianisme, serta
peran rasionalitas kritis dalam mendukung institusi demokratis. Selain
menjelaskan pengaruh luas pemikiran Popper dalam perkembangan metodologi ilmiah
dan pemikiran politik kontemporer, artikel ini turut menelaah berbagai kritik
yang dilontarkan terhadap gagasan-gagasannya oleh tokoh-tokoh seperti Thomas
Kuhn, Paul Feyerabend, dan Imre Lakatos. Di tengah tantangan zaman seperti
krisis epistemik, post-truth, dan polarisasi politik global, pemikiran Popper
tetap relevan sebagai fondasi bagi ilmu yang terbuka dan masyarakat yang
demokratis.
Kata Kunci: Karl Popper, falsifiabilitas, epistemologi kritis,
masyarakat terbuka, historisisme, demokrasi, filsafat ilmu, rasionalisme kritis.
PEMBAHASAN
Karl Popper dan Falsifiabilitas Ilmiah
1.
Pendahuluan
Karl Raimund Popper
(1902–1994) adalah salah satu filsuf ilmu paling berpengaruh pada abad ke-20,
yang dikenal luas karena kontribusinya dalam bidang epistemologi, metodologi
ilmu, dan filsafat politik. Ia lahir di Wina, Austria, dalam keluarga Yahudi
sekuler yang sangat menghargai pendidikan dan budaya humanistik. Masa muda
Popper diwarnai oleh pergolakan intelektual yang terjadi di Eropa Tengah,
terutama dalam lingkungan pemikiran ilmiah dan filosofis yang berkembang di
sekitar Vienna Circle, meskipun ia kemudian menjadi kritikus tajam
terhadap pendekatan positivisme logis yang dianut oleh kelompok tersebut.¹
Pemikiran Popper berkembang
dalam konteks zaman yang ditandai oleh ketidakpastian ilmiah dan krisis dalam
filsafat sains. Di satu sisi, perkembangan teori relativitas Einstein dan
mekanika kuantum menantang paradigma Newtonian yang telah lama dianggap mapan;
di sisi lain, krisis epistemologis memunculkan pertanyaan tentang batasan
metode ilmiah dan status pengetahuan manusia. Dalam lanskap inilah, Popper
mengajukan gagasan radikal mengenai falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi
antara ilmu dan pseudosains, suatu sumbangan intelektual yang akan mengguncang
fondasi epistemologi tradisional.²
Selain kontribusinya dalam
filsafat ilmu, Popper juga dikenal sebagai seorang pemikir politik yang
menentang segala bentuk totalitarianisme dan ideologi yang menutup ruang
dialog. Melalui karya monumentalnya The Open Society and Its Enemies,
ia mengkritik keras kecenderungan historisisme yang diyakini menjadi akar dari
banyak proyek politik utopis yang menindas kebebasan individu.³ Dengan
menjunjung tinggi semangat kritik rasional, keterbukaan terhadap perubahan, dan
nilai-nilai kebebasan sipil, Popper membangun landasan filsafat sosial yang
relevan untuk mempertahankan demokrasi di tengah arus ekstremisme ideologis
yang merebak di abad ke-20.
Penelusuran terhadap
pemikiran Popper menjadi penting bukan hanya karena signifikansinya dalam
sejarah filsafat modern, tetapi juga karena relevansinya yang terus hidup dalam
wacana ilmu pengetahuan dan politik kontemporer. Ketika dunia dihadapkan pada
tantangan post-truth, radikalisme ideologis, dan perdebatan mengenai
batas-batas keilmuan, pemikiran Popper menawarkan kerangka rasional yang dapat
menjadi rujukan dalam menimbang ulang etika berpikir dan bertindak dalam
masyarakat ilmiah dan politik yang terbuka.
Kajian ini bertujuan untuk
menguraikan secara sistematis pemikiran utama Karl Popper yang mencakup tiga
dimensi penting: epistemologi falsifikasionisme, filsafat ilmu, dan filsafat
sosial-politik. Artikel ini disusun dengan mengacu pada sumber-sumber akademik primer
dan sekunder yang kredibel, seperti karya asli Popper dan studi
biografis-kritis dari para filsuf serta sejarawan pemikiran, untuk memberikan
pemahaman komprehensif mengenai signifikansi intelektualnya.
Footnotes
[1]
Malachi H. Hacohen, Karl Popper: The Formative Years, 1902–1945
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 17–28.
[2]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl
Popper (London: Routledge, 1959), 40–41.
[3]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London:
Routledge, 1945), 3–5.
2.
Kontribusi Popper dalam Filsafat Ilmu
2.1.
Kritik terhadap Induktivisme dan Empirisme
Logis
Salah satu sumbangan terbesar
Karl Popper dalam filsafat ilmu adalah kritik tajamnya terhadap
induktivisme—gagasan bahwa hukum-hukum ilmiah dapat diperoleh melalui
generalisasi dari observasi individual. Popper menolak pendekatan ini dengan
menyatakan bahwa tidak mungkin memperoleh kepastian ilmiah melalui induksi
karena jumlah observasi empiris tidak pernah cukup untuk menjamin kebenaran
universal suatu teori.¹ Ia menunjukkan bahwa meskipun ribuan pengamatan dapat
mendukung suatu teori, cukup satu contoh yang bertentangan untuk
membatalkannya.²
Dalam hal ini, Popper juga
secara eksplisit menentang filsuf-filsuf dari Vienna Circle yang
mengusung logical positivism. Mereka menganggap bahwa kebenaran ilmiah
ditentukan oleh verifikasi empiris. Popper membalik pendekatan ini dengan
menyatakan bahwa verifikasi tidak dapat membedakan ilmu
sejati dari pseudosains, karena teori-teori seperti astrologi,
psikoanalisis, atau marxisme bisa selalu mencari cara untuk "mengonfirmasi"
diri mereka secara ad hoc.³ Oleh karena itu, Popper menegaskan bahwa falsifiabilitas,
bukan verifikabilitas, harus menjadi kriteria utama yang membedakan antara
teori ilmiah dan non-ilmiah.
“A theory which is not refutable by any
conceivable event is non-scientific. Irrefutability is not a virtue of a theory
but a vice.”⁴
Dengan demikian, Popper
memberikan jawaban terhadap problem klasik dalam epistemologi yang telah
dikemukakan oleh David Hume, yakni bahwa tidak ada dasar logis untuk
menyimpulkan kebenaran umum dari fakta-fakta khusus.⁵ Pendekatan Popper
bukanlah mencari landasan logis bagi pengetahuan ilmiah, tetapi menekankan ketegangan
antara dugaan (conjecture) dan pembantahan (refutation) sebagai
motor utama kemajuan ilmu.
2.2.
Teori Falsifiabilitas sebagai Kriteria
Demarkasi Ilmu
Gagasan falsifiabilitas
(falsifiability) menjadi pusat dari metodologi ilmiah Popper.
Suatu teori dianggap ilmiah jika dan hanya jika ia dapat diuji dan—jika
ternyata salah—dapat dibantah oleh pengalaman empiris.⁶ Dalam kerangka ini,
ilmu tidak berkembang dengan mengumpulkan konfirmasi, melainkan melalui proses
pengajuan hipotesis yang berani, kemudian pengujian kritis terhadapnya dengan
tujuan mencoba memfalsifikasinya.
Contoh terkenal yang
digunakan Popper adalah perbandingan antara teori relativitas
Einstein dan teori-teori seperti Freud dan Marx. Teori
Einstein, menurut Popper, memaparkan prediksi-prediksi yang sangat spesifik dan
berisiko, misalnya pembelokan cahaya bintang oleh gravitasi saat gerhana
matahari. Jika pengamatan tidak sesuai, maka teori tersebut akan runtuh.
Sebaliknya, teori-teori Freud dan Marx dianggap terlalu lentur, karena selalu
bisa menyesuaikan diri dengan hasil apapun dan karena itu tidak falsifiable.⁷
Konsekuensi dari gagasan ini
adalah perubahan radikal dalam cara ilmu dipahami. Ilmu bukanlah sistem
pengetahuan yang absolut dan pasti, melainkan suatu kegiatan kritis yang
bersifat terbuka, yang senantiasa menantang dirinya sendiri untuk menguji
batas-batasnya. Dengan menolak klaim kepastian dan menggantinya dengan prinsip
uji coba dan kesalahan (trial and error), Popper menempatkan ilmu dalam
dinamika yang terus berkembang.
“The criterion of the scientific status of a theory
is its falsifiability, or refutability, or testability.”⁸
Popper juga menolak pandangan
bahwa teori ilmiah dimulai dari observasi. Ia berpendapat bahwa observasi itu
sendiri sudah dibimbing oleh teori—all observation is
theory-laden. Dengan demikian, proses ilmiah adalah interaksi
antara teori dan eksperimen, bukan urutan linear dari fakta ke teori.⁹
Melalui pendekatan ini,
Popper berhasil menggeser perdebatan tentang dasar-dasar ilmu dari pencarian
fondasi yang tak tergoyahkan menuju paradigma yang menekankan keterbukaan
terhadap kritik, ketidaksempurnaan pengetahuan, dan kerendahan hati epistemik.
Hal ini tidak hanya berdampak pada teori keilmuan, tetapi juga memberikan
fondasi filosofis bagi etos ilmiah modern yang menolak dogma dan menjunjung
tinggi dinamika perbaikan diri.
Footnotes
[1]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl
Popper (London: Routledge, 1959), 27–30.
[2]
Ibid., 40.
[3]
Bryan Magee, Popper (London: Fontana Press, 1973), 35–38.
[4]
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (London: Routledge, 1963), 37.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 25–27.
[6]
Popper, The Logic of Scientific Discovery, 41–43.
[7]
Karl Popper, Conjectures and Refutations, 34–36.
[8]
Ibid., 36.
[9]
Malachi H. Hacohen, Karl Popper: The Formative Years, 1902–1945
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 192–194.
3.
Epistemologi Kritis dan Provisionalisme
3.1.
Pengetahuan sebagai Produk Hipotesis dan Uji
Karl Popper memandang
epistemologi bukan sebagai pencarian kebenaran absolut, melainkan sebagai
proses dinamis yang terus berkembang melalui pengajuan hipotesis dan pengujian
kritis. Dalam karyanya Conjectures and Refutations, ia menekankan
bahwa semua pengetahuan ilmiah bersifat tentatif (provisional)
dan tidak pernah dapat diklaim sebagai kebenaran final.¹ Dengan demikian, sains
tidak berkembang melalui akumulasi fakta, melainkan melalui proses
penolakan terhadap teori-teori yang tidak sesuai dengan kenyataan.²
Dalam pandangan Popper,
proses ilmiah berjalan melalui tiga langkah: (1) formulasi conjecture
atau dugaan teoritis, (2) pengujian empiris untuk mencoba refutation,
dan (3) seleksi kritis terhadap teori-teori berdasarkan hasil uji.³ Sains
adalah proses yang menyerupai evolusi Darwinian—di mana teori-teori bersaing,
dan hanya yang mampu bertahan terhadap kritik yang tetap digunakan.
Pendekatan ini disebut epistemologi
kritis, karena menekankan peran kritik sebagai
elemen utama pertumbuhan pengetahuan. Dalam kerangka ini,
keyakinan tidak dianggap bernilai karena kekuatannya dipertahankan, tetapi
justru karena kesediaannya diuji dan ditolak jika ditemukan kekeliruan.⁴ Oleh
karena itu, Popper menolak segala bentuk dogmatisme ilmiah
maupun relativisme epistemik.
3.2.
Penolakan terhadap Justifikasi Epistemik
Absolut
Popper secara eksplisit
menolak pandangan epistemologis tradisional yang dikenal sebagai foundationalism—yaitu
anggapan bahwa terdapat basis yang tak dapat diragukan (seperti pengalaman
indrawi atau prinsip logis) untuk membangun seluruh struktur pengetahuan.⁵ Ia
menyebut bahwa tidak ada titik awal absolut dalam sains; bahkan observasi pun
tidak bebas dari interpretasi teoritis.⁶ Dengan demikian, ilmu bukanlah sistem
yang dibangun di atas fondasi kokoh, melainkan struktur terbuka
yang bersifat fallibilis—rentan terhadap kekeliruan dan selalu menanti
perbaikan.
Popper juga mengkritik
klaim-klaim kebenaran yang mengarah pada relativisme. Baginya, meskipun tidak
ada pengetahuan yang pasti, bukan berarti semua pendapat memiliki nilai yang
sama. Ada perbedaan objektif antara teori yang
telah diuji secara ketat dan teori yang tidak dapat diuji sama sekali.⁷
Ini adalah jalan tengah antara dogmatisme dan relativisme, yang menjadi ciri
khas epistemologi kritis Popper.
Sikap ini dikenal dengan
istilah critical rationalism,
yakni keyakinan bahwa rasionalitas bukan terletak pada kemampuan untuk
membuktikan suatu keyakinan, tetapi pada kesediaan untuk membuka keyakinan itu
terhadap kritik dan koreksi.⁸ Dengan demikian, Popper memberikan alternatif
terhadap epistemologi klasik dengan menekankan proses perbaikan diri
terus-menerus dalam pencarian pengetahuan.
“We never know what we are talking about… All
we can do is guess. Our knowledge is the result of a great many conjectures and
refutations.”⁹
Konsekuensi dari pendekatan
ini adalah pengakuan bahwa tidak ada sistem ilmiah yang bebas dari kesalahan.
Yang membedakan sains dari dogma adalah bukan karena ia benar, tetapi karena ia
bersedia untuk salah, dan karenanya terbuka untuk berkembang. Dalam
arti ini, epistemologi Popper bersifat emansipatoris,
karena membebaskan ilmu dari belenggu absolutisme epistemik.
Footnotes
[1]
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (London: Routledge, 1963), 33.
[2]
Ibid., 35–36.
[3]
Bryan Magee, Popper (London: Fontana Press, 1973), 49.
[4]
David Miller, Out of Error: Further Essays on Critical Rationalism
(Aldershot: Ashgate, 2006), 5–6.
[5]
Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl
Popper (London: Routledge, 1959), 20–22.
[6]
Ibid., 106–107.
[7]
Popper, Conjectures and Refutations, 38–39.
[8]
Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London:
Routledge, 1996), 17–18.
[9]
Popper, Conjectures and Refutations, 33.
4.
Filsafat Sosial dan Politik: Masyarakat Terbuka
4.1.
Kritik terhadap Historisisme
Di luar kontribusinya dalam
filsafat ilmu, Karl Popper juga memberikan pengaruh besar dalam ranah filsafat
sosial dan politik, terutama melalui kritiknya terhadap historisisme.
Dalam karya terkenalnya The Open Society and Its Enemies, Popper
mendefinisikan historisisme sebagai “pandangan bahwa sejarah berkembang
menurut hukum-hukum yang tetap dan tak terelakkan.”¹ Ia menolak gagasan
bahwa masa depan masyarakat dapat diprediksi secara ilmiah berdasarkan hukum-hukum
sejarah, sebagaimana diklaim oleh para pemikir seperti Hegel dan Marx.
Menurut Popper, kecenderungan
historisis semacam itu sering kali mengarah pada bentuk-bentuk totalitarianisme
karena mengklaim memiliki pengetahuan eksklusif tentang arah sejarah dan dengan
demikian merasa berhak untuk memaksakan tatanan sosial tertentu.² Ia melihat
bahwa proyek-proyek politik utopis yang didasarkan pada prediksi sejarah
berisiko meniadakan kebebasan individu dan menjustifikasi penindasan demi
mencapai tujuan historis yang dianggap tak terelakkan.³
Popper secara khusus
menyoroti Plato, Hegel,
dan Marx sebagai tokoh-tokoh yang menurutnya
bertanggung jawab menyemai benih pemikiran totaliter melalui kecenderungan
untuk mengidealkan struktur sosial tertutup dan hierarkis.⁴ Ia menganggap bahwa
klaim mereka tentang hukum sejarah bukan hanya keliru secara metodologis,
tetapi juga berbahaya secara moral dan politis karena menolak kemungkinan
pembaruan sosial melalui kritik rasional dan partisipasi bebas.
4.2.
Prinsip Masyarakat Terbuka
Sebagai alternatif terhadap
masyarakat yang tertutup dan dogmatis, Popper mengusulkan konsep masyarakat
terbuka (open society)—suatu tatanan sosial yang didasarkan
pada kebebasan berpikir, kebebasan individu, pluralisme politik, dan kemampuan
untuk mengoreksi kesalahan melalui institusi demokratis.⁵ Dalam masyarakat
terbuka, kebijakan dan institusi tidak dianggap sakral atau tak tergoyahkan,
melainkan harus selalu terbuka terhadap kritik rasional dan
reformasi secara damai.
“What makes a society open is the extent to
which it allows its institutions to be changed by rational discussion.”⁶
Popper menganggap bahwa
karakteristik utama dari masyarakat terbuka adalah keberanian
untuk menerima ketidakpastian dan menolak kepastian ideologis.
Dalam kerangka ini, kebebasan bukan berarti ketidakteraturan, melainkan
keberanian untuk hidup dalam sistem yang mengakui kemungkinan kesalahan dan
memberikan ruang untuk memperbaikinya secara institusional.⁷ Ia menyebut bahwa
demokrasi bukanlah sistem yang menjamin pemimpin terbaik, melainkan sistem yang
memungkinkan penggulingan pemimpin tanpa pertumpahan darah.⁸
Konsep masyarakat terbuka
Popper juga dilandasi oleh prinsip individualisme moral,
yakni bahwa setiap individu harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat
bagi proyek sosial kolektif. Ia menolak pandangan kolektivis yang mengorbankan
individu demi kehendak sejarah atau cita-cita ideologis.⁹ Dalam masyarakat
terbuka, kebijakan publik harus tunduk pada evaluasi rasional dan etis, bukan
pada dogma metafisik atau prediksi historis.
Gagasan ini kemudian
memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran politik liberal di abad ke-20,
termasuk dalam diskursus mengenai demokrasi liberal, hak
asasi manusia, dan pluralisme ideologi.¹⁰ Di tengah kebangkitan
populisme, otoritarianisme, dan relativisme budaya pada abad ke-21, filsafat
Popper mengenai masyarakat terbuka kembali relevan sebagai fondasi intelektual
yang menegaskan pentingnya rasionalitas, tanggung jawab, dan kesediaan untuk
mendengar kritik.
Footnotes
[1]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London:
Routledge, 1945), 3.
[2]
Ibid., 9–11.
[3]
Ibid., 5–6.
[4]
Ibid., 31–55.
[5]
Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 2 (London:
Routledge, 1945), 154–156.
[6]
Ibid., 157.
[7]
Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London:
Routledge, 1996), 95.
[8]
Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1, 124.
[9]
Ibid., 108.
[10]
Malachi H. Hacohen, Karl Popper: The Formative Years, 1902–1945
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 363–366.
5.
Pengaruh dan Kritik terhadap Pemikiran Popper
5.1.
Pengaruh terhadap Filsafat Ilmu dan Politik
Kontemporer
Pemikiran Karl Popper telah
memberikan kontribusi mendalam dalam berbagai bidang, khususnya filsafat
ilmu, epistemologi, dan teori
politik modern. Gagasan tentang falsifiabilitas
sebagai kriteria demarkasi ilmu mempengaruhi secara luas cara para ilmuwan dan
filsuf memahami dinamika ilmu pengetahuan. Banyak kalangan mengakui bahwa
pendekatan Popper terhadap ilmu sebagai suatu sistem terbuka yang bersifat
hipotetis dan uji telah menggeser paradigma dari pengetahuan yang bersifat verifikatif
ke arah yang lebih kritis dan dinamis.¹
Di kalangan ilmuwan alam,
tokoh seperti Stephen Hawking dan Richard
Feynman memuji falsifikasionisme Popper sebagai pendekatan yang
mendekati praktik ilmiah nyata.² Bahkan dalam kebijakan publik dan perumusan
sains modern, Popper menjadi acuan penting dalam menolak klaim-klaim ilmiah
yang tak dapat diuji secara empiris. Hal ini terlihat dalam konteks pengambilan
kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy), yang menekankan
pentingnya uji coba dan keterbukaan terhadap revisi.
Dalam bidang politik, Popper
dikenal luas sebagai pembela demokrasi liberal dan pluralisme. Konsep masyarakat
terbuka yang ia rumuskan menjadi landasan filosofis bagi
pemikiran politik kontemporer yang menekankan pada kebebasan individu,
supremasi hukum, dan pentingnya institusi demokratis yang dapat dikoreksi.³
Pemikir-pemikir seperti George Soros, melalui Open Society Foundations,
secara eksplisit menyatakan diri terinspirasi oleh filsafat politik Popper.⁴
5.2.
Kritik dari Tokoh-Tokoh Lain
Meskipun Popper banyak
dipuji, pemikirannya tidak luput dari kritik serius, terutama dari
filsuf-filsuf ilmu kontemporer. Salah satu kritik paling terkenal datang dari Thomas
S. Kuhn, yang dalam karyanya The Structure of Scientific
Revolutions (1962) menolak pandangan Popper yang menggambarkan ilmu
sebagai proses rasional yang terus menerus menguji dan menolak teori.⁵ Kuhn
menekankan bahwa ilmu berkembang melalui paradigma yang mendominasi
dan hanya berubah secara revolusioner ketika anomali-akumulatif tidak lagi bisa
diatasi. Dalam hal ini, falsifiabilitas dianggap terlalu idealistik
dan tidak merefleksikan praktik nyata sejarah sains.⁶
Kritik lain datang dari Paul
Feyerabend, yang dalam bukunya Against Method (1975)
menolak seluruh kerangka metodologis Popper. Feyerabend menyatakan bahwa tidak
ada metodologi tunggal atau kriteria demarkasi yang dapat diterapkan secara
universal. Ia menuduh Popper tetap mempertahankan semacam “rasionalisme
otoriter” dan menyarankan bahwa kemajuan ilmu justru sering terjadi melalui
pelanggaran terhadap aturan-aturan metodologis.⁷
Selain itu, beberapa kritikus
seperti Imre Lakatos mencoba
melakukan sintesis antara Popper dan Kuhn melalui metodologi program
penelitian ilmiah, yang memperkenankan adanya struktur teoritik inti yang
tidak serta merta ditolak ketika terjadi falsifikasi, melainkan dilindungi oleh
hipotesis pelengkap.⁸ Kritik ini menunjukkan bahwa pendekatan Popper
terlalu cepat dalam menyatakan kegagalan teori hanya karena terdapat satu data
falsifikasi.
Di bidang sosial-politik,
beberapa kritik juga ditujukan terhadap universalitas konsep masyarakat
terbuka. Popper dianggap terlalu meremehkan konteks budaya dan
sejarah masyarakat non-Barat dalam menerapkan prinsip-prinsip liberalisme.⁹
Dalam hal ini, pendekatan Popper dinilai lebih normatif daripada deskriptif,
dan karenanya dianggap terbatas dalam menjelaskan kompleksitas politik global.
Meskipun demikian, bahkan
para kritikusnya mengakui bahwa Popper telah membuka wacana penting mengenai peran
kritik, keterbukaan, dan kerendahan hati epistemik dalam sains dan masyarakat.
Ia bukan hanya seorang filsuf, tetapi juga seorang public intellectual
yang menaruh perhatian besar terhadap nasib rasionalitas dan kebebasan dalam
peradaban modern.
Footnotes
[1]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl
Popper (London: Routledge, 1959), 40–43.
[2]
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New
York: Bantam Books, 2010), 34–35.
[3]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London:
Routledge, 1945), 108–110.
[4]
George Soros, Open Society: Reforming Global Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2000), x–xi.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.
[6]
Ibid., 76–91.
[7]
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 3–5.
[8]
Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research
Programmes,” in Criticism and the Growth of Knowledge, eds. Imre
Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge University Press, 1970),
91–196.
[9]
Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London:
Routledge, 1996), 137–139.
6.
Relevansi Pemikiran Popper di Era Kontemporer
Pemikiran Karl Popper,
meskipun berkembang pada paruh pertama abad ke-20, tetap memiliki relevansi
yang sangat kuat dalam menjawab tantangan intelektual, ilmiah, dan politik abad
ke-21. Dunia kontemporer menghadapi berbagai krisis epistemologis dan sosial
yang menuntut kerangka berpikir yang terbuka, kritis, dan
rasional—prinsip-prinsip yang secara mendasar ditanamkan dalam filsafat Popper.
6.1.
Dalam Konteks Ilmu dan Teknologi Modern
Dalam ranah ilmu pengetahuan
dan teknologi, gagasan Popper mengenai falsifiabilitas dan
epistemologi kritis menjadi sangat penting di tengah kemajuan
pesat riset sains dan tekanan terhadap integritas ilmiah. Di era informasi yang
ditandai oleh big data, kecerdasan buatan, dan eksplorasi
bioteknologi, muncul kebutuhan mendesak untuk membedakan antara pengetahuan
ilmiah yang sahih dan klaim spekulatif yang tidak dapat diuji.
Falsifikasionisme Popper
memberikan panduan metodologis agar komunitas ilmiah tetap bersandar pada
prinsip pengujian hipotesis yang terbuka terhadap kesalahan dan revisi.¹ Dalam
konteks ini, metode ilmiah berbasis uji coba (trial and error), yang ia
tekankan, sejalan dengan logika eksperimen dalam sains komputasional dan uji
klinis modern.² Tanpa falsifiabilitas, banyak klaim yang mengatasnamakan sains
berpotensi menjadi dogma baru yang tak tersentuh kritik.
Selain itu, ide Popper
mengenai theory-ladenness of observation juga relevan dalam diskursus
ilmu kontemporer, terutama dalam kajian terhadap bias metodologis dan kesadaran
bahwa pengamatan ilmiah selalu dimediasi oleh kerangka teoritik yang dibawa
oleh peneliti.³ Dengan demikian, epistemologi kritis Popper tetap menjadi
sumber inspirasi untuk membangun budaya ilmiah yang rendah hati dan terbuka
terhadap pembaruan.
6.2.
Dalam Konteks Politik, Demokrasi, dan Masyarakat
Terbuka
Pemikiran politik Popper
tentang masyarakat terbuka
menjadi sangat relevan di tengah kemunculan kembali otoritarianisme, populisme,
dan polarisasi politik global. Dalam era pasca-kebenaran (post-truth),
di mana fakta sering dikaburkan oleh opini dan disinformasi, semangat
rasionalisme kritis Popper mengajarkan pentingnya membangun institusi
demokratis yang tahan uji, transparan, dan siap dikoreksi
melalui dialog dan partisipasi publik.⁴
Konsep bahwa kebijakan dan
institusi sosial harus terbuka terhadap evaluasi dan perbaikan sangat penting
dalam melawan dogmatisme ideologis dan stagnasi birokratis. Di berbagai negara
demokratis, keberlanjutan tata kelola pemerintahan yang sehat sangat tergantung
pada adanya ruang publik yang rasional,
di mana perbedaan pandangan dihargai dan tidak diselesaikan dengan kekerasan
atau represi.⁵
Bahkan dalam konteks
globalisasi dan keragaman budaya, prinsip Popper tentang critical
rationalism memberikan fondasi filosofis untuk menjembatani perbedaan
tanpa menolak pluralisme. Dalam menghadapi ekstremisme agama, nasionalisme
eksklusif, dan relativisme budaya, masyarakat terbuka menurut Popper tetap
menjadi ideal normatif yang meneguhkan komitmen terhadap kebebasan, tanggung
jawab moral, dan keterbukaan terhadap kritik.⁶
6.3.
Dalam Dunia Pendidikan dan Literasi Kritis
Di dunia pendidikan, terutama
di era digital dan media sosial, pemikiran Popper dapat mendorong pengembangan pendidikan
berbasis berpikir kritis (critical thinking) dan pembelajaran
yang mendorong keberanian intelektual untuk menguji gagasan. Pendidikan yang
menanamkan prinsip fallibilism, kesediaan untuk direvisi, dan
pencarian kebenaran melalui perdebatan terbuka sejalan dengan semangat liberal
education yang dijunjung oleh Popper.⁷
Lebih dari sekadar teknik
debat atau logika formal, pendekatan ini menumbuhkan etika intelektual yang
menghargai keraguan dan anti-dogma—kualitas yang sangat dibutuhkan di tengah
arus radikalisasi pemikiran dan penyebaran hoaks.
6.4.
Relevansi Etis: Merawat Kerendahan Hati Epistemik
Terakhir, di tengah kecepatan
produksi pengetahuan, tekanan opini publik, dan dominasi narasi media, Popper
mengingatkan pentingnya kerendahan hati epistemik—yakni
kesadaran bahwa pengetahuan manusia selalu terbatas, dan kebenaran hanya dapat
didekati melalui dialog, bukan dipaksakan secara mutlak.⁸
Warisan intelektual Popper
bukanlah sistem dogmatik, melainkan semangat untuk terus menguji,
merevisi, dan memperbaiki keyakinan kita dalam terang bukti dan
nalar. Itulah yang menjadikan filsafatnya tetap hidup dan dibutuhkan hingga
hari ini.
Footnotes
[1]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl
Popper (London: Routledge, 1959), 40–43.
[2]
David Deutsch, The Beginning of Infinity: Explanations That
Transform the World (London: Penguin, 2011), 78–80.
[3]
Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (London: Routledge, 1963), 46–47.
[4]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London:
Routledge, 1945), 108–110.
[5]
Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London:
Routledge, 1996), 149–150.
[6]
George Soros, The Crisis of Global Capitalism: Open Society
Endangered (New York: PublicAffairs, 1998), 32–34.
[7]
Nicholas Maxwell, Karl Popper, Science and Enlightenment
(London: UCL Press, 2017), 156–158.
[8]
Popper, Conjectures and Refutations, 33.
7.
Kesimpulan
Karl Popper merupakan salah
satu pemikir paling berpengaruh dalam filsafat abad ke-20, yang
gagasan-gagasannya melintasi batas disiplin antara epistemologi, metodologi
sains, dan filsafat politik. Melalui konsep falsifiabilitas,
Popper menawarkan solusi elegan terhadap perdebatan klasik seputar problem
induksi dan batas antara ilmu serta pseudosains.¹ Ia mengalihkan fokus dari
pencarian verifikasi ke pentingnya pengujian dan pembantahan sebagai syarat
utama dari validitas ilmiah.² Dengan demikian, Popper meletakkan dasar bagi epistemologi
kritis dan provisionalisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan
ilmiah tidak pernah mutlak, melainkan selalu terbuka terhadap revisi seiring
berkembangnya kritik dan pengalaman baru.³
Konsep-konsep epistemologis
Popper tidak hanya berfungsi sebagai perangkat metodologis dalam penelitian
ilmiah, melainkan juga sebagai prinsip moral-intelektual yang mendukung budaya
rendah hati, terbuka, dan rasional. Falsifikasionisme tidak hanya mengajarkan
cara berpikir ilmiah, tetapi juga mempromosikan sikap keilmuan yang
anti-dogmatis dan siap menerima kemungkinan kekeliruan.⁴
Lebih jauh, filsafat
sosial-politik Popper tentang masyarakat terbuka
memberikan kerangka etis dan normatif bagi tatanan sosial yang menjunjung
tinggi kebebasan individu, rasionalitas publik, dan institusi demokratis yang
dapat dikritik dan diperbaiki.⁵ Kritiknya terhadap historisisme menjadi
peringatan penting terhadap bahaya pemikiran deterministik dan utopis yang dapat
menjurus pada totalitarianisme.⁶ Popper mengusulkan bahwa masa depan tidak
ditentukan oleh hukum sejarah, melainkan dibentuk melalui pilihan rasional dan
tanggung jawab moral umat manusia.
Meskipun menghadapi kritik
dari filsuf-filsuf seperti Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, dan Imre Lakatos,
pengaruh Popper tetap mendalam.⁷ Kritik-kritik tersebut bahkan memperkaya
diskursus metodologi sains dan menginspirasi pendekatan-pendekatan baru yang
lebih pluralistik. Namun demikian, semangat kritisisme Popperian
tetap menjadi acuan normatif dalam filsafat ilmu: bahwa pengetahuan tumbuh
bukan dari kepastian, tetapi dari keberanian untuk meragukan.
Di era kontemporer yang
ditandai oleh krisis informasi, populisme politik, dan tantangan terhadap
rasionalitas, pemikiran Popper tampil sebagai warisan intelektual yang vital.
Prinsip falsifiabilitas mendorong sains untuk tetap jujur terhadap bukti;
sementara masyarakat terbuka memelihara nilai-nilai dialog, pluralisme, dan hak
untuk mengoreksi kesalahan. Dalam dunia yang semakin kompleks, warisan Popper
mengajarkan bahwa kemajuan tidak datang dari kepastian,
melainkan dari keterbukaan terhadap kesalahan dan komitmen terhadap perbaikan
diri yang berkelanjutan.⁸
Footnotes
[1]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Karl
Popper (London: Routledge, 1959), 40–43.
[2]
Ibid., 47–48.
[3]
Karl Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (London: Routledge, 1963), 33–36.
[4]
David Miller, Out of Error: Further Essays on Critical Rationalism
(Aldershot: Ashgate, 2006), 4–6.
[5]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 1 (London:
Routledge, 1945), 108–110.
[6]
Ibid., 5–6.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 76–91; Paul Feyerabend, Against
Method (London: Verso, 1975), 5–9; Imre Lakatos, “Falsification and the
Methodology of Scientific Research Programmes,” in Criticism and the Growth
of Knowledge, eds. Imre Lakatos and Alan Musgrave (Cambridge: Cambridge
University Press, 1970), 91–196.
[8]
Jeremy Shearmur, The Political Thought of Karl Popper (London:
Routledge, 1996), 152–154.
Daftar Pustaka
Deutsch, D. (2011). The beginning of infinity:
Explanations that transform the world. Penguin Books.
Feyerabend, P. (1975). Against method: Outline
of an anarchistic theory of knowledge. Verso.
Hacohen, M. H. (2000). Karl Popper: The
formative years, 1902–1945. Cambridge University Press.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
grand design. Bantam Books.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original
work published 1748)
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1970). Falsification and the
methodology of scientific research programmes. In I. Lakatos & A. Musgrave
(Eds.), Criticism and the growth of knowledge (pp. 91–196). Cambridge
University Press.
Magee, B. (1973). Popper. Fontana Press.
Maxwell, N. (2017). Karl Popper, science and
enlightenment. UCL Press.
Miller, D. (2006). Out of error: Further essays
on critical rationalism. Ashgate.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery (Original work published 1934). Routledge.
Popper, K. (1963). Conjectures and refutations:
The growth of scientific knowledge. Routledge.
Popper, K. (1945). The open society and its
enemies (Vols. 1–2). Routledge.
Shearmur, J. (1996). The political thought of
Karl Popper. Routledge.
Soros, G. (1998). The crisis of global capitalism:
Open society endangered. PublicAffairs.
Soros, G. (2000). Open society: Reforming global
capitalism. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar