Konsep Keadilan
Telaah Historis, Konseptual, dan Kritis
Alihkan ke: Konsep Keadilan dan Negara Ideal.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep keadilan dalam lintasan
sejarah filsafat, mulai dari filsafat Yunani klasik hingga pemikiran
kontemporer, termasuk kontribusi penting dari filsafat Islam. Kajian ini
menunjukkan bahwa keadilan merupakan tema universal yang mengalami transformasi
sesuai konteks sosial, politik, dan teologis zamannya. Dalam filsafat klasik,
keadilan dipahami sebagai harmoni dan kebajikan; dalam filsafat abad
pertengahan, ia diasosiasikan dengan hukum kodrat dan kehendak ilahi; sementara
dalam filsafat modern, keadilan dibangun atas dasar kontrak sosial dan
rasionalitas otonom. Di era kontemporer, muncul pendekatan multidimensi
terhadap keadilan, mencakup aspek distribusi, kapabilitas, pengakuan identitas,
serta representasi politik. Tradisi Islam sendiri mengintegrasikan keadilan
sebagai prinsip moral, sosial, dan spiritual dalam tatanan kosmis dan syariat. Melalui
sintesis dan perbandingan lintas zaman dan tradisi, artikel ini menegaskan
pentingnya pendekatan keadilan yang transformatif dan kontekstual untuk
menjawab tantangan ketidaksetaraan, krisis lingkungan, dan ketidakadilan sosial
dalam masyarakat global saat ini.
Kata Kunci: Keadilan; Filsafat Yunani; Filsafat Islam; Teori
Sosial; Hak Asasi Manusia; Kontrak Sosial; Kapabilitas; Pengakuan Identitas;
Keadilan Kontemporer; Etika Global.
PEMBAHASAN
Konsep Keadilan dalam Lintasan Filsafat
1.
Pendahuluan
Keadilan merupakan
salah satu tema paling sentral dan abadi dalam filsafat sejak zaman klasik
hingga era kontemporer. Dalam hampir seluruh tradisi pemikiran filsafat,
keadilan dipandang sebagai dasar normatif dari kehidupan bersama, baik dalam
tatanan moral, hukum, sosial, maupun politik. Konsep ini tidak hanya bersifat
teoretis, tetapi juga sangat praktis karena menyentuh nilai-nilai kemanusiaan
dan struktur relasi sosial yang paling mendasar. Filsuf Yunani kuno seperti
Plato dan Aristoteles sudah memulai diskursus filosofis tentang keadilan
sebagai bentuk tertinggi dari kebaikan moral dan tatanan negara yang ideal,
menjadikannya salah satu fondasi utama dalam pembentukan etika dan politik
Barat.1
Dalam konteks
sejarah pemikiran, gagasan keadilan berkembang melalui perjumpaan berbagai
paradigma filosofis yang terus mengalami redefinisi sesuai dengan perubahan
sosial, budaya, dan politik. Di abad pertengahan, para pemikir seperti
Augustinus dan Thomas Aquinas menafsirkan keadilan dalam kerangka teologi
Kristen, menghubungkannya dengan hukum ilahi dan kehendak Tuhan. Kemudian, di
era modern, muncul pendekatan-pendekatan baru yang menekankan keadilan sebagai
hasil dari kontrak sosial (Hobbes, Locke, Rousseau) atau sebagai prinsip moral
yang rasional dan universal seperti dikembangkan oleh Immanuel Kant.2
Masuk ke abad ke-20,
keadilan tidak lagi dipahami hanya dalam kerangka normatif abstrak, tetapi juga
dipertimbangkan dari segi keadilan sosial, redistribusi ekonomi, dan hak-hak
kelompok terpinggirkan. Pemikiran John Rawls, misalnya, menghadirkan sintesis
modern dalam pemahaman keadilan sebagai fairness, yang kemudian dikritik dan
dilengkapi oleh Robert Nozick dan Amartya Sen.3 Sementara itu,
pemikir-pemikir seperti Nancy Fraser mengajukan pendekatan multidimensional
terhadap keadilan yang mencakup dimensi pengakuan, representasi, dan
redistribusi.4
Di luar tradisi
Barat, konsep keadilan juga hidup dalam khazanah filsafat Islam. Al-Farabi, Ibn
Sina, dan Al-Mawardi, misalnya, menjabarkan keadilan dalam konteks etika
kenegaraan dan hukum syariah. Al-Ghazali bahkan meletakkan keadilan sebagai
salah satu tujuan utama dari maqashid al-shariah, yaitu menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta.5 Ini menunjukkan bahwa keadilan adalah
tema lintas budaya dan peradaban yang relevansinya tidak pernah surut.
Tulisan ini
bertujuan untuk menelaah konsep keadilan dalam lintasan sejarah filsafat secara
komprehensif, mulai dari filsafat klasik hingga kontemporer, serta menyajikan
sintesis kritis atas berbagai pendekatan yang ada. Dengan menggunakan
pendekatan historis dan konseptual, artikel ini diharapkan dapat memberikan
gambaran menyeluruh dan reflektif terhadap salah satu nilai fundamental dalam
kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing Company, 1992), 103–112.
[2]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 70–85; Thomas Hobbes, Leviathan
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 86–90; John Locke, Two Treatises
of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 112–124.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 3–65; Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New
York: Basic Books, 1974), 149–182.
[4]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.
[5]
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madina al-Fadilah (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1985), 112–130; Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 286–293.
2.
Keadilan dalam Filsafat Yunani Klasik
Pemikiran Yunani
klasik menjadi fondasi awal dalam perkembangan konsep keadilan dalam tradisi
filsafat Barat. Para filsuf besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles
membangun argumen-argumen yang tak hanya bersifat spekulatif, tetapi juga
sistematis dan normatif. Keadilan tidak dipandang sekadar sebagai nilai moral
individual, melainkan sebagai prinsip yang mengatur relasi antara individu,
masyarakat, dan negara.
2.1.
Socrates dan Dialog Etika Keadilan
Socrates tidak
meninggalkan tulisan langsung, tetapi pandangannya mengenai keadilan diketahui
melalui dialog-dialog Plato. Dalam Republic, Socrates menantang
pandangan relativistik tentang keadilan yang diajukan oleh Thrasymachus, yang
mengklaim bahwa keadilan hanyalah kepentingan pihak yang lebih kuat
(justice is the advantage of the stronger). Socrates menolak pandangan ini dan
mengupayakan definisi keadilan yang lebih universal dan intrinsik, yakni bahwa
keadilan adalah kebaikan jiwa (areté) yang membawa harmoni dan
ketertiban baik dalam individu maupun dalam masyarakat.1
Bagi Socrates, hidup
yang adil adalah hidup yang dijalani dengan refleksi dan pertanggungjawaban
moral. Dalam pengertian ini, keadilan bukanlah alat kekuasaan, melainkan dasar
dari kebajikan moral yang sejati. Socrates menegaskan bahwa seseorang tidak
boleh melakukan ketidakadilan, sekalipun sebagai balasan atas ketidakadilan
yang diterimanya, karena tindakan demikian merusak integritas moral dirinya sendiri.2
2.2.
Plato dan Keadilan sebagai Harmoni
Plato, murid
Socrates, mengembangkan konsep keadilan lebih lanjut dalam Republic.
Ia membayangkan masyarakat ideal sebagai struktur yang terdiri dari tiga kelas:
kaum penguasa (rulers), penjaga (guardians),
dan pekerja (producers). Masing-masing kelas
menjalankan fungsinya sesuai kodratnya. Keadilan tercapai apabila setiap kelas
tetap pada tugasnya dan tidak mencampuri tugas kelas lain. Dengan demikian,
keadilan dipahami sebagai harmoni struktural dalam tatanan sosial.3
Konsep ini bersifat
paralel dengan struktur jiwa manusia menurut Plato, yang terdiri dari tiga
bagian: rasional (logos), kehendak (thymos),
dan hasrat (epithymia). Individu yang adil
adalah individu yang ketiga unsur jiwanya berada dalam keselarasan, di mana
akal mengatur kehendak dan hasrat. Dengan analogi ini, keadilan tidak hanya
merupakan prinsip sosial tetapi juga prinsip psikologis dan etis.4
Plato juga
menempatkan keadilan sebagai ide yang transenden dalam dunia ide (eidos).
Dalam tatanan ontologisnya, keadilan sejati hanya dapat dipahami melalui
pemikiran rasional yang melampaui dunia indrawi. Karena itu, dalam sistem
filsafatnya, keadilan berakar dalam struktur realitas metafisis.
2.3.
Aristoteles dan Teori Keadilan
Distributif-Komutatif
Aristoteles, murid
Plato, menolak konsepsi idealistik Plato dan menekankan pendekatan yang lebih
empiris. Dalam Nicomachean Ethics, ia membagi
keadilan menjadi dua jenis utama: keadilan distributif dan keadilan
komutatif. Keadilan distributif berkaitan dengan distribusi
keuntungan dan beban secara proporsional dalam masyarakat, berdasarkan pada
kontribusi atau nilai yang dimiliki individu. Sementara itu, keadilan komutatif
berkaitan dengan hubungan timbal balik antarindividu dalam transaksi, seperti
jual-beli, yang harus dilakukan secara setara tanpa memperhitungkan status
sosial.5
Aristoteles juga
membahas keadilan
korektif, yaitu bentuk keadilan yang mengoreksi ketidakseimbangan
akibat tindakan melanggar hukum, baik secara sukarela (misalnya dalam perdagangan)
maupun tidak sukarela (seperti pencurian atau kekerasan). Ia menekankan
pentingnya hukum sebagai sarana pelaksanaan keadilan, tetapi juga menyoroti
bahwa keadilan sejati tidak hanya bersandar pada legalitas, melainkan pada keutamaan
(virtue)
yang terwujud dalam tindakan yang tepat di situasi yang tepat.6
Dalam kerangka ini,
Aristoteles mengaitkan keadilan dengan teleologi, yakni bahwa setiap hal
memiliki tujuan alamiah (telos), dan keadilan terwujud ketika sesuatu
diperlakukan sesuai dengan tujuannya. Hal ini menjadi dasar bagi pemikiran
keadilan yang kontekstual dan proporsional, bukan semata-mata persamaan mutlak.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 338c–339a.
[2]
Plato, Crito, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1977), 49d–50a.
[3]
Plato, Republic, 433a–434d.
[4]
Ibid., 435b–441d.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book V, 1130b30–1132b20.
[6]
Ibid., 1132a1–1134a30.
3.
Keadilan dalam Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat Abad
Pertengahan ditandai dengan integrasi antara warisan filsafat Yunani kuno
dengan doktrin-doktrin keagamaan, khususnya dalam tradisi Kristen dan Islam.
Dalam konteks ini, keadilan tidak hanya dipahami sebagai prinsip rasional atau
etis, tetapi juga sebagai manifestasi dari tatanan ilahi. Para pemikir seperti
Augustinus dan Thomas Aquinas menyusun konsep keadilan yang mencerminkan
hubungan antara manusia dan Tuhan, serta antara manusia dan sesamanya, dalam
kerangka teologis-metafisis yang khas zaman skolastik.
3.1.
Augustinus: Keadilan sebagai Ordo Amorist
Santo Augustinus
(354–430 M), salah satu Bapa Gereja terpenting, mendefinisikan keadilan sebagai
ordo
amoris, yaitu tatanan cinta yang benar. Dalam pandangan ini,
keadilan terwujud ketika manusia mencintai segala sesuatu secara proporsional
dan sesuai dengan kedudukannya—Tuhan dicintai di atas segalanya, lalu sesama,
lalu benda-benda duniawi. Ketidakadilan muncul ketika manusia menyimpang dari
tatanan cinta tersebut dan mengutamakan yang rendah di atas yang luhur.1
Dalam karyanya De
Civitate Dei (Kota Allah), Augustinus mengontraskan dua kota: civitas
Dei (kota Allah) dan civitas terrena (kota dunia). Kota
Allah dibangun di atas keadilan ilahi dan cinta kepada Tuhan, sedangkan kota
dunia berdasarkan cinta diri dan kekuasaan. Keadilan yang sejati menurut
Augustinus hanya dapat dicapai dalam tatanan yang tunduk pada kehendak Allah.2
Oleh karena itu, hukum manusia harus mencerminkan hukum ilahi, dan keadilan
politik tanpa orientasi kepada Tuhan adalah palsu dan tak stabil.
Augustinus juga
mengkritik keadilan dalam kekaisaran Romawi yang menurutnya hanya berpura-pura
adil demi legitimasi kekuasaan, padahal tidak didasarkan pada pengakuan akan
kedaulatan Tuhan. Bagi Augustinus, tatanan keadilan tidak dapat dilepaskan dari
keseluruhan rencana keselamatan Tuhan atas dunia.
3.2.
Thomas Aquinas: Keadilan sebagai Kebajikan
Moral dan Hukum Kodrat
Thomas Aquinas
(1225–1274 M), pemikir skolastik terbesar dalam tradisi Kristen, mengembangkan
sintesis sistematis antara filsafat Aristoteles dan teologi Kristen. Dalam Summa
Theologica, ia membahas keadilan sebagai salah satu dari empat
kebajikan kardinal (prudensia, keadilan, keberanian, dan penguasaan diri), dan
menyebutnya sebagai “habitual will to give each his due” (kebiasaan
kehendak untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).3
Aquinas membagi
keadilan menjadi dua jenis utama: keadilan umum (iustitia
generalis) dan keadilan partikular (iustitia
particularis). Keadilan umum mengarahkan tindakan individu kepada
kebaikan bersama (bonum commune), sedangkan keadilan
partikular mengatur relasi interpersonal yang adil, mencakup bentuk distributif
dan retributif sebagaimana dirinci oleh Aristoteles.4
Namun, Aquinas
memperkaya pemikiran keadilan klasik dengan menambahkan dimensi hukum
kodrat (lex naturalis), yakni hukum moral
yang berasal dari akal manusia tetapi berakar dalam hukum abadi (lex
aeterna) dari Tuhan. Dalam kerangka ini, hukum positif haruslah
cerminan dari hukum kodrat; jika tidak, maka hukum tersebut tidak memiliki
kekuatan moral yang mengikat. Hanya hukum yang adil (sesuai kodrat) yang layak
ditaati, sementara hukum yang tidak adil adalah bentuk kekerasan (violentia).5
Aquinas menegaskan
bahwa keadilan sosial dan hukum tidak boleh dilepaskan dari tujuan akhir
manusia, yaitu kebahagiaan abadi bersama Tuhan. Oleh karena itu, keadilan dalam
masyarakat harus menjunjung tinggi martabat manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan dan diarahkan pada kehidupan yang baik (eudaimonia kristiani).
Footnotes
[1]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIX, ch. 13–17.
[2]
Ibid., Book IV, ch. 4–5.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q. 58, a.
1.
[4]
Ibid., II-II, q. 61, a. 1–3.
[5]
Ibid., I-II, q. 95, a. 2–4.
4.
Keadilan dalam Filsafat Modern
Zaman modern membawa
perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap keadilan. Berbeda dengan era
klasik dan skolastik yang sangat menekankan harmoni kosmis atau tatanan ilahi,
para filsuf modern mulai menempatkan keadilan dalam kerangka rasional, empiris,
dan kontraktual. Munculnya negara-bangsa modern, revolusi politik, dan bangkitnya
individualisme turut membentuk pendekatan-pendekatan baru dalam merumuskan
prinsip keadilan. Pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques
Rousseau, dan Immanuel Kant menggambarkan dinamika filsafat keadilan yang
berakar dalam upaya menemukan dasar-dasar rasional bagi keteraturan sosial,
hukum, dan hak asasi manusia.
4.1.
Thomas Hobbes: Keadilan sebagai Produk Kontrak
Sosial
Dalam Leviathan,
Thomas Hobbes (1588–1679) memandang bahwa dalam keadaan alamiah, manusia hidup
dalam situasi penuh ketakutan dan kekacauan, digambarkan dalam ungkapan
terkenalnya: "bellum omnium contra omnes"
(perang semua melawan semua). Dalam kondisi ini, tidak ada keadilan karena
tidak ada hukum atau otoritas yang menjamin hak individu. Oleh karena itu,
untuk menciptakan ketertiban, manusia secara rasional menyepakati suatu kontrak
sosial yang menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada
penguasa absolut (sovereign) demi menjamin keamanan dan stabilitas.1
Bagi Hobbes,
keadilan tidak bersifat alamiah, tetapi muncul dari kesepakatan atau konvensi
bersama. Suatu tindakan dikatakan adil apabila sesuai dengan hukum yang
disahkan oleh penguasa sebagai perwakilan kontrak tersebut. Tanpa kekuasaan
sentral yang kuat, hukum dan keadilan akan runtuh karena tidak ada yang mampu menegakkannya.2
4.2.
John Locke: Keadilan sebagai Penjaga Hak
Kodrati
Berbeda dengan
Hobbes, John Locke (1632–1704) memiliki pandangan yang lebih optimis mengenai
keadaan alamiah. Ia meyakini bahwa manusia memiliki hak kodrati yang diberikan
oleh Tuhan, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti.
Dalam Two
Treatises of Government, Locke menyatakan bahwa tujuan utama
pembentukan pemerintahan melalui kontrak sosial adalah untuk melindungi hak-hak
ini.3
Keadilan, dalam
pandangan Locke, berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak individu dan
keberadaan hukum yang rasional serta terbatas. Pemerintah yang melanggar hak
kodrati kehilangan legitimasi moralnya dan dapat diganti oleh rakyat. Dengan
demikian, keadilan tidak terletak pada ketaatan mutlak terhadap hukum, tetapi
pada pemenuhan prinsip moral universal yang melekat pada eksistensi manusia
sebagai makhluk rasional dan otonom.4
4.3.
Jean-Jacques Rousseau: Keadilan dan Kehendak
Umum
Jean-Jacques
Rousseau (1712–1778) dalam The Social Contract menolak baik
otoritarianisme Hobbes maupun liberalisme individualis Locke. Ia mengembangkan
gagasan tentang kehendak umum (volonté
générale) sebagai dasar dari keadilan. Menurut Rousseau, dalam
masyarakat yang adil, setiap individu harus menyerahkan haknya tidak kepada
penguasa atau individu lain, melainkan kepada kehendak umum sebagai ekspresi
kepentingan kolektif yang rasional dan moral.5
Keadilan bagi
Rousseau berarti kesesuaian antara hukum yang berlaku dengan kehendak umum.
Undang-undang yang adil bukanlah hasil kompromi antar kepentingan individu,
tetapi refleksi dari nilai-nilai bersama yang disepakati oleh warga negara yang
setara. Dalam hal ini, keadilan bersifat partisipatoris dan demokratis, bukan
sekadar kontraktual atau prosedural.6
4.4.
Immanuel Kant: Keadilan sebagai Hukum Moral dan
Otonomi Rasional
Immanuel Kant
(1724–1804) membawa diskursus keadilan ke level moral yang rasional dan
universal. Dalam The Metaphysics of Morals, ia
merumuskan keadilan berdasarkan prinsip imperatif kategoris, yaitu
bahwa setiap tindakan harus bisa dijadikan hukum universal. Keadilan adalah
ekspresi dari kebebasan moral individu yang bertindak secara otonom sesuai
dengan akal praktis.7
Kant membedakan
antara keadilan moral dan hukum positif. Hukum yang adil adalah hukum yang
memungkinkan kebebasan setiap individu untuk bersatu dalam masyarakat tanpa
melanggar kebebasan orang lain. Dengan demikian, keadilan mengandaikan hubungan
timbal balik yang setara antar warga negara yang rasional. Keadilan bukanlah
produk kesepakatan sosial semata, melainkan berasal dari prinsip moral yang
bersifat apriori dan mengikat secara universal.8
Footnotes
[1]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 89–94.
[2]
Ibid., 100–103.
[3]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II, §§4–9.
[4]
Ibid., II, §§87–94.
[5]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I, ch. 6–8.
[6]
Ibid., Book II, ch. 1–4.
[7]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55–60.
[8]
Ibid., 71–77.
5.
Keadilan dalam Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
menghadirkan kompleksitas baru dalam memahami keadilan, dengan menekankan
dimensi pluralitas, perbedaan, dan ketidaksetaraan struktural. Berbeda dengan
pendekatan kontraktual klasik atau idealisme moral Kantian, para pemikir
kontemporer berupaya merespons tantangan dunia modern—seperti ketimpangan
ekonomi, marginalisasi identitas, dan globalisasi—dengan memperluas cakupan
keadilan dari sekadar prosedural atau distributif ke dimensi kapabilitas,
pengakuan,
dan representasi
politik. Tokoh-tokoh seperti John Rawls, Robert Nozick, Amartya
Sen, dan Nancy Fraser menjadi representasi utama dalam lintasan pemikiran ini.
5.1.
John Rawls: Keadilan sebagai Fairness
John Rawls
(1921–2002) dalam karya monumentalnya A Theory of Justice memperkenalkan
konsep keadilan
sebagai fairness, yakni suatu pendekatan normatif yang
menempatkan keadilan sebagai prinsip dasar dari struktur dasar masyarakat. Ia
mengajukan dua prinsip keadilan: (1) setiap orang memiliki hak atas kebebasan
dasar yang sama, dan (2) ketimpangan sosial-ekonomi harus diatur sedemikian
rupa sehingga menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung (prinsip
diferensial), serta melekat pada jabatan dan posisi yang terbuka bagi semua.1
Untuk menjamin
objektivitas moral, Rawls memperkenalkan metode hipotetik yang disebut veil of
ignorance, di mana individu memilih prinsip-prinsip keadilan
tanpa mengetahui posisi sosial, bakat, atau keberuntungan mereka di dunia
nyata. Dalam kondisi ini, setiap orang secara rasional akan memilih sistem yang
paling adil karena tidak ada yang tahu apakah mereka akan berada di posisi yang
diuntungkan atau dirugikan.2
Rawls menyatukan
tradisi liberalisme politik dengan kepekaan terhadap keadilan sosial, sekaligus
menghindari relativisme atau utilitarianisme murni. Pendekatannya menekankan
struktur institusional yang adil dan prosedur demokratis yang sah untuk
menjamin kebebasan dan kesetaraan.
5.2.
Robert Nozick: Keadilan sebagai Hak dan
Kebebasan Individu
Robert Nozick
(1938–2002) mengkritik teori Rawls melalui pendekatan libertarian dalam Anarchy,
State, and Utopia. Ia menekankan bahwa keadilan bukanlah tentang
redistribusi atau hasil akhir yang merata, tetapi tentang proses
yang sah dalam memperoleh dan memindahkan hak milik. Bagi
Nozick, keadilan terdiri dari tiga prinsip: (1) akuisisi yang sah, (2) transfer
sukarela, dan (3) pemulihan terhadap ketidakadilan.3
Menurut Nozick,
setiap individu memiliki hak yang tidak dapat dilanggar (inviolable rights),
dan negara yang adil hanyalah negara yang sangat minimal (minimal state), yang
menjaga keamanan dan melindungi hak milik tanpa ikut campur dalam distribusi
kekayaan. Redistribusi oleh negara dianggap sebagai bentuk perampasan terhadap
hasil kerja dan kebebasan individu.4
Konsepsi ini
menekankan pentingnya keadilan prosedural dan hak negatif (non-interference),
tetapi mengabaikan keadilan substantif yang terkait dengan kondisi
sosial-ekonomi yang timpang.
5.3.
Amartya Sen: Keadilan sebagai Kapabilitas
Amartya Sen (lahir
1933), ekonom dan filsuf asal India, mengkritik pendekatan Rawlsian yang
terlalu fokus pada institusi dan hasil ideal. Dalam The Idea of Justice, Sen
mengusulkan pendekatan kapabilitas (capabilities
approach), yang menekankan pada realisasi kebebasan substantif individu untuk
menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga.5
Sen menganggap bahwa
keadilan tidak cukup hanya diukur dari keberadaan institusi yang adil atau
distribusi barang, tetapi juga harus mempertimbangkan kesempatan
nyata bagi setiap orang untuk mencapai kesejahteraan dan menjalankan
pilihan hidup. Ia memperkenalkan konsep “functionings” (fungsi-fungsi
aktual seperti hidup sehat, berpendidikan) dan “capabilities” (kemampuan
untuk mewujudkan fungsi-fungsi tersebut).6
Dengan pendekatan
ini, keadilan menjadi multidimensional dan sensitif terhadap keragaman
kebutuhan, konteks budaya, serta kondisi kerentanan sosial. Gagasan ini banyak
diaplikasikan dalam indeks pembangunan manusia (Human Development Index) oleh
UNDP.
5.4.
Nancy Fraser: Keadilan
Multidimensional—Redistribusi, Pengakuan, dan Representasi
Nancy Fraser (lahir
1947) memperluas pemikiran keadilan dengan menggabungkan keadilan
ekonomi (redistribusi), keadilan kultural (pengakuan),
dan keadilan
politik (representasi). Dalam Justice Interruptus, Fraser
menekankan bahwa ketimpangan sosial tidak dapat diatasi hanya dengan
memperbaiki distribusi sumber daya, tetapi juga harus menangani bentuk-bentuk
dominasi simbolik dan pengucilan kultural.7
Misalnya, kelompok
minoritas atau perempuan sering kali mengalami non-recognition atau misrecognition
dalam sistem sosial, yang tidak hanya menyebabkan ketimpangan material tetapi
juga delegitimasi identitas mereka. Oleh karena itu, keadilan harus mencakup pengakuan
identitas, redistribusi ekonomi, dan partisipasi
politik yang setara.8
Fraser menolak
dikotomi antara keadilan sosial dan kultural, dan mengusulkan kerangka kerja
tiga dimensi yang integratif dan relevan dengan dinamika masyarakat
multikultural, global, dan digital.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 60–75.
[2]
Ibid., 118–123.
[3]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 150–182.
[4]
Ibid., 198–204.
[5]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 231–248.
[6]
Ibid., 253–257.
[7]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.
[8]
Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political-Philosophical Exchange, trans. Joel Golb (London: Verso, 2003),
7–10.
6.
Keadilan dari Perspektif Filsafat Islam
Dalam filsafat
Islam, keadilan (al-‘adl) menempati posisi sentral
sebagai prinsip etik, politik, metafisik, dan teologis. Ia tidak hanya dipahami
sebagai nilai sosial, melainkan sebagai cerminan dari sifat Tuhan yang Maha
Adil (al-‘Adl),
dan sekaligus sebagai landasan dari seluruh tatanan kehidupan yang dikehendaki
oleh syariat. Keadilan dalam tradisi filsafat Islam bersifat integral—ia
merangkul aspek kosmologis (tatanan semesta), etis (tindakan manusia), hukum
(syariah), dan politik (struktur negara). Pemikir-pemikir seperti al-Farabi,
Ibn Sina,
al-Mawardi,
dan al-Ghazali
telah meletakkan kerangka konseptual yang kaya dan relevan dalam memahami
hakikat dan praksis keadilan.
6.1.
Al-Farabi: Keadilan sebagai Struktur Kosmis dan
Sosial
Al-Farabi (w. 950
M), filsuf utama era awal peradaban Islam, membangun teorinya tentang keadilan
dalam kerangka negara utama (al-madinah al-fadilah). Menurutnya,
negara ideal adalah cerminan dari tatanan kosmis yang harmonis dan dipimpin
oleh seorang filsuf-raja (mirip dengan Plato), yang mampu menuntun rakyat
kepada kebahagiaan sejati (sa‘adah). Dalam konteks ini, keadilan
adalah harmoni antara fungsi-fungsi sosial, di mana setiap
anggota masyarakat menjalankan tugasnya sesuai dengan kemampuan dan kodratnya.1
Keadilan juga
berkaitan dengan pengetahuan yang benar tentang Tuhan, jiwa, dan tujuan akhir
kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam negara utama, keadilan hanya bisa
ditegakkan jika para pemimpinnya adalah individu yang berilmu dan bermoral
tinggi. Ketimpangan, kezaliman, dan kekacauan muncul ketika manusia tidak
mengenal perannya dalam struktur metafisis maupun sosial.2
6.2.
Ibn Sina: Keadilan sebagai Kebajikan dan
Keseimbangan
Ibn Sina (Avicenna,
w. 1037 M), meneruskan tradisi filsafat al-Farabi, tetapi memberi penekanan
pada keadilan sebagai kebajikan etis individual dan tatanan
hukum rasional. Dalam karya Al-Shifa, ia mengklasifikasikan
keadilan sebagai salah satu kebajikan utama yang menjamin hubungan yang adil
antara individu dan masyarakat. Bagi Ibn Sina, keadilan bukan hanya menunaikan
hak, tetapi juga menjaga keseimbangan dalam relasi sosial dan moral.3
Ia membedakan
keadilan distributif dan keadilan retributif, seraya menekankan bahwa hukum
negara seharusnya bersumber dari akal budi yang diarahkan kepada kemaslahatan
umum (maslahah).
Dengan demikian, keadilan menurut Ibn Sina memiliki fondasi rasional dan
universal, tetapi tidak dilepaskan dari kerangka keagamaan dan spiritual.
6.3.
Al-Mawardi: Keadilan sebagai Pilar Kekuasaan
Islam
Al-Mawardi (w. 1058
M), seorang yuris dan pemikir politik, memberikan penekanan pada peran keadilan
dalam tatanan pemerintahan Islam. Dalam karyanya Al-Ahkam al-Sultaniyyah, ia
menyatakan bahwa tujuan utama kekuasaan adalah menegakkan
keadilan dan menjaga ketertiban sosial berdasarkan syariat.
Seorang khalifah atau hakim wajib berlaku adil dalam seluruh keputusan dan
kebijakan publik, karena keadilan merupakan sarana untuk menjaga stabilitas dan
kepercayaan masyarakat.4
Al-Mawardi
menekankan prinsip keadilan dalam distribusi zakat, perlakuan terhadap
non-Muslim, serta perlindungan terhadap hak milik dan kehormatan. Negara yang
gagal menegakkan keadilan dianggap sebagai pengkhianat terhadap amanah
kekhalifahan, yang sumber legitimasi utamanya berasal dari kemampuan untuk
berlaku adil.
6.4.
Al-Ghazali: Keadilan sebagai Tujuan Maqāṣid
al-Sharī‘ah
Abu Hamid al-Ghazali
(w. 1111 M) mengembangkan konsep keadilan dalam kerangka maqāṣid
al-sharī‘ah, yaitu tujuan-tujuan utama dari hukum Islam: menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ia menegaskan bahwa keadilan
adalah prasyarat bagi terlaksananya maqāṣid dan sebagai jalan
menuju kebahagiaan akhirat dan duniawi.5
Dalam Ihya’
‘Ulum al-Din, al-Ghazali menyoroti bahaya kezaliman dan
ketidakadilan dalam praktik pemerintahan, perdagangan, dan pergaulan sosial. Ia
juga memberi perhatian pada dimensi batiniah dari keadilan, yaitu keadilan
jiwa, di mana setiap bagian dari diri manusia menempati posisi dan fungsinya
yang benar—sejalan dengan konsep keadilan Plato, tetapi dalam bingkai
spiritualitas Islam.6
6.5.
Kesatuan Nilai Etis, Teologis, dan Politik
Dalam filsafat
Islam, keadilan tidak bisa dipisahkan dari tauhid, karena ketauhidan menuntut
pengakuan akan kedaulatan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu,
sistem keadilan bukan sekadar produk konvensi sosial, tetapi pengejawantahan
dari nilai-nilai ilahiah. Keadilan menuntut kesetaraan hak semua makhluk di
hadapan Tuhan, pemeliharaan amanah, dan tanggung jawab moral dalam relasi
sosial.
Sebagai prinsip
transendental dan praksis, keadilan Islam bersifat holistik: ia mengatur
hubungan vertikal (manusia–Tuhan), horizontal (manusia–manusia), dan ekologis
(manusia–alam). Pandangan ini relevan dalam menjawab tantangan-tantangan keadilan
kontemporer, seperti ketimpangan ekonomi, kekerasan struktural, dan kerusakan
lingkungan.
Footnotes
[1]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, trans. Richard
Walzer (The Ideal City), (Oxford: Clarendon Press, 1985), 66–72.
[2]
Ibid., 85–92.
[3]
Ibn Sina, Al-Shifa’ (The Book of Healing), trans. Michael E.
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), vol. 1, 212–219.
[4]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, trans. Wafaa H. Wahba
(Reading: Garnet Publishing, 1996), 23–30.
[5]
Al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, ed. Muhammad Mustafa
al-Tanahi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 286–291.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (The
Revival of the Religious Sciences) (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 2004),
vol. 3, 87–94.
7.
Perbandingan dan Sintesis Pemikiran
Gagasan keadilan
merupakan titik temu dari berbagai aliran pemikiran filsafat, baik yang
bersifat metafisis, etis, politik, maupun teologis. Dari era klasik hingga
kontemporer, dari filsafat Barat hingga Islam, konsep keadilan terus mengalami
evolusi konseptual dan praktis. Untuk memahami perbedaan dan kesinambungan
antara pemikiran-pemikiran tersebut, perlu dilakukan perbandingan berdasarkan
dimensi dasar: dasar ontologis keadilan, tujuan
keadilan, subjek keadilan, serta metode
penetapan keadilan.
7.1.
Dasar Ontologis dan Epistemologis Keadilan
Dalam filsafat
Yunani klasik, keadilan bersumber dari tatanan kosmos dan rasionalitas manusia.
Plato melihatnya sebagai harmoni struktural dalam jiwa dan masyarakat, sedangkan
Aristoteles memahaminya sebagai kebajikan relasional yang mengatur proporsi
dalam hubungan antarindividu.1 Di sisi lain, para filsuf abad
pertengahan seperti Augustinus dan Thomas Aquinas mengaitkan keadilan dengan
kehendak Tuhan dan hukum kodrat, menekankan dimensi teologisnya.2
Filsuf modern mulai
mendasarkan keadilan pada rasionalitas manusia dan kontrak sosial. Hobbes
menekankan keadilan sebagai produk kesepakatan untuk menghindari kekacauan;
Locke dan Kant membangunnya di atas hak kodrati dan imperatif moral rasional.3
Filsuf Islam seperti al-Farabi dan al-Ghazali menggabungkan struktur kosmis dan
wahyu sebagai fondasi keadilan, menempatkannya sebagai prinsip moral dan sosial
yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.4
7.2.
Tujuan dan Orientasi Keadilan
Perbedaan juga
terlihat dalam orientasi keadilan. Plato dan al-Farabi menekankan keadilan
sebagai syarat bagi pencapaian kebahagiaan kolektif dalam negara ideal.5
Thomas Aquinas dan al-Ghazali mengarahkannya pada kesejahteraan akhirat dan
realisasi maqāṣid al-sharī‘ah. Sementara itu, pemikir modern seperti Locke,
Rawls, dan Sen menekankan perlindungan hak individu dan kesejahteraan sosial.
Dalam pemikiran
kontemporer, seperti pada Rawls, keadilan bertujuan menjamin kebebasan dan
kesetaraan dasar, sedangkan Sen memfokuskan pada perluasan kapabilitas
individual untuk mewujudkan kehidupan yang bernilai.6 Fraser
menambahkan dimensi politik dan kultural sebagai bagian dari keadilan, yakni
pengakuan terhadap identitas dan representasi.7
7.3.
Subjek dan Objek Keadilan
Dalam filsafat
klasik dan skolastik, subjek keadilan umumnya adalah individu yang bertindak
dalam masyarakat, dengan penekanan pada moralitas pribadi. Dalam kontrak sosial
modern, subjek keadilan adalah warga negara rasional yang setara, sedangkan
dalam filsafat Islam, subjek keadilan adalah hamba Tuhan yang juga anggota
masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial dan religius.
Objek keadilan dalam
pemikiran Aristoteles dan Aquinas adalah distribusi dan relasi sosial. Dalam
Rawls dan Sen, objeknya meluas ke struktur institusional dan peluang hidup.
Fraser bahkan menambahkan struktur representasi dan norma sosial sebagai objek
keadilan yang relevan secara politik dan kultural.
7.4.
Pendekatan Prosedural, Substantif, dan
Transendental
Perbandingan ini
juga dapat diklasifikasikan melalui pendekatan:
·
Prosedural:
terlihat pada Rawls dan Nozick yang menilai keadilan dari cara dan mekanisme
distribusi.
·
Substantif:
seperti dalam Sen dan Aristoteles, keadilan diukur dari kualitas hasil yang
memampukan manusia hidup bermartabat.
·
Transendental:
sebagaimana pada al-Ghazali dan Augustinus, di mana keadilan berkaitan dengan
kehendak ilahi dan tujuan moral spiritual.8
7.5.
Sintesis Konseptual: Menuju Integrasi Keadilan
Meskipun memiliki
perbedaan metodologis dan historis, benang merah dari seluruh pemikiran
tersebut menunjukkan bahwa keadilan harus mencakup dimensi normatif,
relasional, struktural, dan eksistensial. Sintesis konseptual
keadilan ideal adalah keadilan yang:
1)
Berakar pada penghormatan atas martabat
manusia (dignity),
2)
Menjamin distribusi
yang adil atas sumber daya dan peluang,
3)
Mengakui identitas
dan partisipasi sosial-politik secara setara,
4)
Diarahkan pada tujuan
etis dan spiritual yang melampaui sekadar kepentingan material.
Dengan pendekatan
integratif, pemikiran keadilan dapat menjawab tantangan global kontemporer,
termasuk krisis kemanusiaan, ekologi, dan keadilan sosial lintas budaya.
7.6.
Perbandingan Konseptual Keadilan
1)
Plato
Dasar Keadilan: Harmoni
kosmis.
Fokus: Jiwa
individu dan tatanan negara ideal.
Pendekatan:
Transendental dan idealistik; keadilan sebagai harmoni antara bagian-bagian
jiwa dan struktur sosial.
2)
Aristoteles
Dasar Keadilan:
Rasionalitas etis dan teleologi.
Fokus: Relasi
sosial yang proporsional (distributif dan komutatif).
Pendekatan:
Substantif; menekankan proporsi dan keseimbangan dalam masyarakat.
3)
Augustinus
Dasar Keadilan: Kehendak
Tuhan.
Fokus: Tatanan
cinta ilahi dan subordinasi dunia kepada Tuhan.
Pendekatan: Teologis
dan metafisik.
4)
Thomas Aquinas
Dasar Keadilan: Hukum
kodrat (natural law) dan hukum abadi.
Fokus: Kebaikan
umum dan keteraturan sosial berdasarkan hukum Tuhan.
Pendekatan:
Teologis-rasional; mengintegrasikan Aristoteles dengan ajaran Kristen.
5)
Thomas Hobbes
Dasar Keadilan: Kontrak
sosial sebagai hasil rasional dari kondisi alamiah.
Fokus: Keamanan
dan ketertiban melalui negara absolut.
Pendekatan:
Prosedural; keadilan muncul setelah pembentukan negara.
6)
John Locke
Dasar Keadilan: Hak
kodrati manusia.
Fokus:
Perlindungan atas kehidupan, kebebasan, dan properti.
Pendekatan:
Substantif-liberal; berorientasi pada hak-hak individu.
7)
Immanuel Kant
Dasar Keadilan:
Rasionalitas moral dan imperatif kategoris.
Fokus: Kebebasan
universal dan kewajiban moral.
Pendekatan: Apriori
dan etis-universal; keadilan berdasarkan otonomi rasional.
8)
John Rawls
Dasar Keadilan: Prinsip
fairness dan “veil of ignorance”.
Fokus: Distribusi
adil dan kebebasan dasar.
Pendekatan:
Prosedural-normatif; menekankan desain institusi yang adil.
9)
Robert Nozick
Dasar Keadilan: Hak milik
individu dan kebebasan dari intervensi negara.
Fokus: Proses
akuisisi dan transfer yang sah.
Pendekatan:
Libertarian-prosedural; menolak redistribusi hasil akhir.
10)
Amartya Sen
Dasar Keadilan:
Kapabilitas manusia untuk mencapai functionings.
Fokus: Kesempatan
hidup yang bermakna dan kebebasan substantif.
Pendekatan:
Substantif-kontekstual; memperhatikan keragaman kebutuhan dan kondisi.
11)
Nancy Fraser
Dasar Keadilan: Keadilan
sosial-politik multidimensi.
Fokus:
Redistribusi ekonomi, pengakuan kultural, dan representasi politik.
Pendekatan:
Multidimensional; menggabungkan aspek ekonomi, identitas, dan demokrasi.
12)
Al-Farabi
Dasar Keadilan: Tatanan
kosmis dan rasionalitas politik.
Fokus:
Kebahagiaan universal dalam negara utama (madinah fadilah).
Pendekatan:
Etis-filosofis; pemimpin ideal adalah penjaga keadilan dan kebenaran.
13)
Al-Ghazali
Dasar Keadilan: Maqāṣid
al-Sharī‘ah dan tanggung jawab religius.
Fokus:
Keseimbangan antara keadilan duniawi dan ukhrawi.
Pendekatan:
Etis-spiritual; keadilan sebagai instrumen menuju keselamatan.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book V, 1130b–1132b.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q. 58–61;
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin
Books, 2003), Book XIX.
[3]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 87–102; John Locke, Two Treatises of Government,
ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II, §§4–9.
[4]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, trans. Richard
Walzer (The Ideal City) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 66–92;
Al-Ghazali, Al-Mustasfa, ed. al-Tanahi (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 286–291.
[5]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 433a–435e.
[6]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 60–75; Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 2009), 231–257.
[7]
Nancy Fraser, Justice Interruptus (New York: Routledge, 1997),
11–39.
[8]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55–77.
8.
Relevansi Keadilan dalam Konteks Kontemporer
Konsep keadilan
tidak hanya penting dalam ruang teoritis filsafat, tetapi juga menjadi problem
sentral dalam kehidupan global kontemporer. Di tengah derasnya arus
globalisasi, ketimpangan ekonomi, krisis iklim, serta konflik identitas dan
representasi, gagasan keadilan dituntut untuk mampu menjawab
tantangan-tantangan yang semakin kompleks dan lintas batas. Oleh karena itu,
membicarakan relevansi keadilan saat ini berarti memperluas cakupan etis dan
strukturalnya melampaui batas tradisional hukum dan moral, ke arah pemenuhan
hak-hak manusia yang inklusif, adaptif, dan multidimensional.
8.1.
Keadilan Sosial dan Ketimpangan Global
Salah satu tantangan
terbesar keadilan kontemporer adalah ketimpangan sosial-ekonomi.
Data dari Oxfam menunjukkan bahwa sekitar 1% populasi dunia menguasai lebih
dari separuh kekayaan global, sementara ratusan juta orang masih hidup dalam
kemiskinan ekstrem1. Dalam konteks ini, pendekatan kapabilitas
dari Amartya Sen menjadi penting karena menekankan keadilan bukan hanya dari
segi distribusi sumber daya, tetapi juga dari kemampuan riil individu untuk
menjalani kehidupan bermakna dan produktif2.
Negara-negara
berkembang menghadapi beban ganda berupa ketertinggalan struktural dan
eksploitasi ekonomi dalam sistem global yang tidak setara. Karena itu, keadilan
ekonomi harus mencakup dimensi redistribusi internasional, tanggung
jawab korporasi multinasional, serta akses
yang adil terhadap pendidikan, kesehatan, dan teknologi.
Perspektif ini mendorong reinterpretasi prinsip-prinsip keadilan sosial dalam
kerangka solidaritas global.
8.2.
Keadilan Iklim dan Ekologi
Isu lingkungan hidup
telah menggeser diskursus keadilan ke ranah yang lebih ekologis. Keadilan
iklim (climate justice) muncul sebagai tuntutan untuk
mengatasi ketimpangan dampak perubahan iklim, di mana negara-negara miskin dan
komunitas adat justru menanggung konsekuensi dari aktivitas negara-negara
industri yang paling banyak menghasilkan emisi karbon3.
Konsep ini menuntut tanggung
jawab moral dan legal kolektif atas kerusakan lingkungan serta
pelibatan masyarakat rentan dalam pengambilan kebijakan. Pendekatan ini selaras
dengan pemikiran filsuf Islam klasik seperti al-Ghazali, yang menekankan tanggung
jawab manusia sebagai khalifah dalam menjaga keseimbangan alam (mīzān) sebagai
bagian dari keadilan kosmis4.
8.3.
Keadilan Gender dan Pengakuan Identitas
Keadilan kontemporer
juga menuntut pengakuan atas perbedaan identitas, baik dalam
hal gender, orientasi seksual, ras, maupun budaya. Nancy Fraser memperluas
pemahaman keadilan dari sekadar redistribusi ekonomi menuju pengakuan
kultural dan representasi politik yang setara5.
Misrecognition (ketidakpengakuan) terhadap identitas kelompok tertentu sering
kali menghasilkan marginalisasi sistemik.
Feminisme
kontemporer dan teori keadilan interseksional mengkritik pendekatan keadilan
yang terlalu maskulin dan universalistik, dan menuntut pengakuan
terhadap pengalaman partikular kelompok rentan. Hal ini relevan
dalam masyarakat multikultural, termasuk di Indonesia, di mana keadilan harus
kontekstual, dialogis, dan inklusif terhadap keragaman nilai dan norma.
8.4.
Keadilan Digital dan Era Informasi
Dalam era digital,
muncul bentuk-bentuk baru ketidakadilan yang berkaitan dengan akses
terhadap teknologi informasi, keamanan data, dan privasi
digital. Keadilan digital menjadi medan baru untuk perdebatan
etis dan regulatif, terutama dalam konteks kecerdasan buatan, algoritma yang
bias, serta eksploitasi data oleh platform teknologi raksasa6.
Isu digital juga
memperlihatkan asimetri pengetahuan dan akses,
di mana masyarakat pedesaan atau miskin secara digital menjadi terpinggirkan
dalam ekonomi berbasis informasi. Oleh karena itu, keadilan dalam dunia digital
menuntut prinsip inklusi teknologi, akses
terbuka, dan kesetaraan dalam ekosistem digital.
8.5.
Keadilan dalam Politik Global dan Representasi
Di tengah krisis
demokrasi dan maraknya otoritarianisme baru, keadilan tidak hanya menyangkut
distribusi, tetapi juga representasi dan partisipasi politik.
Pandangan Nancy Fraser tentang keadilan representatif
menyerukan pentingnya pelibatan semua warga negara dalam proses deliberatif dan
pengambilan keputusan7. Hal ini menjadi sangat penting dalam
mengatasi defisit demokrasi, baik di
tingkat nasional maupun internasional.
Selain itu, tatanan
internasional saat ini masih memperlihatkan hegemonisasi kekuasaan oleh
segelintir negara besar dalam institusi global seperti PBB, WTO, dan IMF. Dalam
hal ini, keadilan menuntut reformasi tata kelola global yang lebih demokratis,
adil, dan setara antarpihak.
8.6.
Menuju Etika Keadilan Transformatif
Relevansi keadilan
dalam konteks kontemporer menuntut etika keadilan yang transformatif:
bukan sekadar mempertahankan status quo dengan prosedur legal, tetapi mendorong
transformasi struktural yang memungkinkan semua manusia hidup dengan
bermartabat. Pendekatan ini harus mengintegrasikan prinsip-prinsip kapabilitas,
pengakuan, distribusi, partisipasi, dan tanggung jawab ekologis
dalam satu kerangka konseptual yang komprehensif dan tanggap zaman.
Dengan demikian,
keadilan kontemporer bukan hanya sebuah prinsip normatif, tetapi juga proyek
politik dan moral yang terus diperjuangkan dalam ruang publik global.
Footnotes
[1]
Oxfam International, Inequality Kills: The Unparalleled Action
Needed to Combat Unprecedented Inequality in the Wake of COVID-19, Oxfam
Briefing Paper, January 2022.
[2]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 87–102.
[3]
Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for
a Sustainable Future (New York: Bloomsbury, 2018), 14–25.
[4]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (The
Revival of the Religious Sciences) (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 2004),
vol. 3, 108–112.
[5]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 120–138.
[7]
Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political-Philosophical Exchange, trans. Joel Golb (London: Verso, 2003),
33–45.
9.
Penutup
Keadilan adalah
gagasan yang telah menempuh lintasan panjang dalam sejarah filsafat, dari
filsafat Yunani klasik hingga pemikiran kontemporer, dari pandangan metafisis
hingga pendekatan sosial-politik. Meskipun tiap era dan tradisi memiliki cara
pandang yang berbeda terhadap keadilan, benang merah yang menghubungkan
semuanya adalah keinginan universal untuk menciptakan keteraturan, kesetaraan,
dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Pemikiran Plato
dan Aristoteles
mengawali pembahasan keadilan sebagai harmoni internal dan relasi sosial yang
proporsional, dengan basis rasional dan kosmologis1. Dalam tradisi filsafat
abad pertengahan, seperti yang ditampilkan oleh Augustinus
dan Thomas
Aquinas, keadilan dipahami sebagai manifestasi dari kehendak
ilahi dan hukum kodrat, yang tidak hanya menyangkut hubungan antarmanusia, tetapi
juga hubungan manusia dengan Tuhan2.
Filsafat modern
kemudian menawarkan perubahan besar dengan pendekatan kontraktual (Hobbes,
Locke, Rousseau) dan moral-rasional (Kant), yang berupaya merumuskan keadilan
berdasarkan kebebasan dan rasionalitas manusia sebagai individu otonom3.
Dalam era
kontemporer, pemikir seperti John Rawls, Robert
Nozick, Amartya Sen, dan Nancy
Fraser memperluas diskursus keadilan dengan memasukkan dimensi
institusional, kapabilitas manusia, dan pengakuan identitas sosial-politik4.
Di sisi lain, filsafat
Islam memperlihatkan integrasi antara nilai transendental dan
praksis sosial. Pemikiran al-Farabi, Ibn Sina,
al-Mawardi,
dan al-Ghazali
menunjukkan bahwa keadilan tidak sekadar rasionalitas etis atau distribusi
ekonomi, melainkan juga merupakan amanah ilahi yang menuntut keharmonisan jiwa,
masyarakat, dan kosmos5.
Relevansi keadilan
dalam konteks kontemporer semakin nyata ketika dunia menghadapi tantangan
global seperti ketimpangan ekonomi, krisis
iklim, konflik identitas, serta ketidakadilan
digital dan representasional. Dalam kondisi seperti ini,
keadilan dituntut tidak hanya hadir sebagai norma ideal, tetapi juga sebagai
prinsip transformatif yang mampu membimbing kebijakan publik, sistem hukum, dan
kesadaran moral kolektif menuju dunia yang lebih adil dan manusiawi6.
Dengan demikian,
kajian keadilan bukan sekadar refleksi akademik, melainkan sebuah komitmen
etis dan praksis untuk membangun masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keberlanjutan, dan inklusivitas. Keadilan harus
dipahami sebagai proyek multidimensi yang melibatkan hukum, etika, budaya,
ekonomi, spiritualitas, dan politik dalam satu kesatuan yang utuh.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 433a–434d; Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book V.
[2]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), Book XIX; Thomas Aquinas, Summa Theologica,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947), II-II, q. 58–61.
[3]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 87–102; John Locke, Two Treatises of
Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press,
1988), II, §§4–9; Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55–77.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 60–75; Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New
York: Basic Books, 1974), 150–182; Amartya Sen, The Idea of Justice
(Cambridge: Harvard University Press, 2009), 231–257; Nancy Fraser, Justice
Interruptus (New York: Routledge, 1997), 11–39.
[5]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, trans. Richard
Walzer (The Ideal City) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 66–92; Ibn
Sina, Al-Shifa’, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young
University Press, 2005), vol. 1, 212–219; Al-Mawardi, Al-Ahkam
al-Sultaniyyah, trans. Wafaa H. Wahba (Reading: Garnet Publishing, 1996),
23–30; Al-Ghazali, Al-Mustasfa, ed. al-Tanahi (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993), 286–291.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 87–102; Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or
Recognition? A Political-Philosophical Exchange, trans. Joel Golb (London:
Verso, 2003), 33–45; Mary Robinson, Climate Justice (New York:
Bloomsbury, 2018), 14–25.
Daftar Pustaka
Al-Farabi. (1985). The
ideal city: Ara' Ahl al-Madina al-Fadilah (R. Walzer, Trans.). Oxford:
Clarendon Press.
Al-Ghazali. (1993). Al-Mustasfa
min 'Ilm al-Usul (M. M. al-Tanahi, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Al-Ghazali. (2004). Ihya’
‘Ulum al-Din (N. A. Faris, Trans.). Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
Al-Mawardi. (1996). Al-Ahkam
al-Sultaniyyah (W. H. Wahba, Trans.). Reading: Garnet Publishing.
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York:
Benziger Bros.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Augustine. (2003). The
city of God (H. Bettenson, Trans.). London: Penguin Books.
Fraser, N. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New
York: Routledge.
Fraser, N., & Honneth,
A. (2003). Redistribution or recognition? A political-philosophical
exchange (J. Golb, Trans.). London: Verso.
Hobbes, T. (1996). Leviathan
(R. Tuck, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Ibn Sina. (2005). The
book of healing: Al-Shifa’ (M. E. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young
University Press.
Kant, I. (1996). The
metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University
Press.
Locke, J. (1988). Two
treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge: Cambridge University
Press.
Nozick, R. (1974). Anarchy,
state, and utopia. New York: Basic Books.
Oxfam International.
(2022). Inequality kills: The unparalleled action needed to combat
unprecedented inequality in the wake of COVID-19. https://www.oxfam.org
Plato. (1992). Republic
(G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis: Hackett
Publishing.
Plato. (1977). Crito
(G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Rawls, J. (1971). A
theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Robinson, M. (2018). Climate
justice: Hope, resilience, and the fight for a sustainable future. New
York: Bloomsbury.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. New York: Alfred A. Knopf.
Sen, A. (2009). The
idea of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. New York: PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar