Kamis, 29 Mei 2025

Konsep Keadilan: Telaah Historis, Konseptual, dan Kritis

Konsep Keadilan

Telaah Historis, Konseptual, dan Kritis


Alihkan ke: Konsep Keadilan dan Negara Ideal.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep keadilan dalam lintasan sejarah filsafat, mulai dari filsafat Yunani klasik hingga pemikiran kontemporer, termasuk kontribusi penting dari filsafat Islam. Kajian ini menunjukkan bahwa keadilan merupakan tema universal yang mengalami transformasi sesuai konteks sosial, politik, dan teologis zamannya. Dalam filsafat klasik, keadilan dipahami sebagai harmoni dan kebajikan; dalam filsafat abad pertengahan, ia diasosiasikan dengan hukum kodrat dan kehendak ilahi; sementara dalam filsafat modern, keadilan dibangun atas dasar kontrak sosial dan rasionalitas otonom. Di era kontemporer, muncul pendekatan multidimensi terhadap keadilan, mencakup aspek distribusi, kapabilitas, pengakuan identitas, serta representasi politik. Tradisi Islam sendiri mengintegrasikan keadilan sebagai prinsip moral, sosial, dan spiritual dalam tatanan kosmis dan syariat. Melalui sintesis dan perbandingan lintas zaman dan tradisi, artikel ini menegaskan pentingnya pendekatan keadilan yang transformatif dan kontekstual untuk menjawab tantangan ketidaksetaraan, krisis lingkungan, dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat global saat ini.

Kata Kunci: Keadilan; Filsafat Yunani; Filsafat Islam; Teori Sosial; Hak Asasi Manusia; Kontrak Sosial; Kapabilitas; Pengakuan Identitas; Keadilan Kontemporer; Etika Global.


PEMBAHASAN

Konsep Keadilan dalam Lintasan Filsafat


1.           Pendahuluan

Keadilan merupakan salah satu tema paling sentral dan abadi dalam filsafat sejak zaman klasik hingga era kontemporer. Dalam hampir seluruh tradisi pemikiran filsafat, keadilan dipandang sebagai dasar normatif dari kehidupan bersama, baik dalam tatanan moral, hukum, sosial, maupun politik. Konsep ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga sangat praktis karena menyentuh nilai-nilai kemanusiaan dan struktur relasi sosial yang paling mendasar. Filsuf Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles sudah memulai diskursus filosofis tentang keadilan sebagai bentuk tertinggi dari kebaikan moral dan tatanan negara yang ideal, menjadikannya salah satu fondasi utama dalam pembentukan etika dan politik Barat.1

Dalam konteks sejarah pemikiran, gagasan keadilan berkembang melalui perjumpaan berbagai paradigma filosofis yang terus mengalami redefinisi sesuai dengan perubahan sosial, budaya, dan politik. Di abad pertengahan, para pemikir seperti Augustinus dan Thomas Aquinas menafsirkan keadilan dalam kerangka teologi Kristen, menghubungkannya dengan hukum ilahi dan kehendak Tuhan. Kemudian, di era modern, muncul pendekatan-pendekatan baru yang menekankan keadilan sebagai hasil dari kontrak sosial (Hobbes, Locke, Rousseau) atau sebagai prinsip moral yang rasional dan universal seperti dikembangkan oleh Immanuel Kant.2

Masuk ke abad ke-20, keadilan tidak lagi dipahami hanya dalam kerangka normatif abstrak, tetapi juga dipertimbangkan dari segi keadilan sosial, redistribusi ekonomi, dan hak-hak kelompok terpinggirkan. Pemikiran John Rawls, misalnya, menghadirkan sintesis modern dalam pemahaman keadilan sebagai fairness, yang kemudian dikritik dan dilengkapi oleh Robert Nozick dan Amartya Sen.3 Sementara itu, pemikir-pemikir seperti Nancy Fraser mengajukan pendekatan multidimensional terhadap keadilan yang mencakup dimensi pengakuan, representasi, dan redistribusi.4

Di luar tradisi Barat, konsep keadilan juga hidup dalam khazanah filsafat Islam. Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Mawardi, misalnya, menjabarkan keadilan dalam konteks etika kenegaraan dan hukum syariah. Al-Ghazali bahkan meletakkan keadilan sebagai salah satu tujuan utama dari maqashid al-shariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.5 Ini menunjukkan bahwa keadilan adalah tema lintas budaya dan peradaban yang relevansinya tidak pernah surut.

Tulisan ini bertujuan untuk menelaah konsep keadilan dalam lintasan sejarah filsafat secara komprehensif, mulai dari filsafat klasik hingga kontemporer, serta menyajikan sintesis kritis atas berbagai pendekatan yang ada. Dengan menggunakan pendekatan historis dan konseptual, artikel ini diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh dan reflektif terhadap salah satu nilai fundamental dalam kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1992), 103–112.

[2]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 70–85; Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Oxford University Press, 1998), 86–90; John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 112–124.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–65; Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 149–182.

[4]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[5]                Al-Farabi, Ara Ahl al-Madina al-Fadilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 112–130; Al-Ghazali, Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 286–293.


2.           Keadilan dalam Filsafat Yunani Klasik

Pemikiran Yunani klasik menjadi fondasi awal dalam perkembangan konsep keadilan dalam tradisi filsafat Barat. Para filsuf besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles membangun argumen-argumen yang tak hanya bersifat spekulatif, tetapi juga sistematis dan normatif. Keadilan tidak dipandang sekadar sebagai nilai moral individual, melainkan sebagai prinsip yang mengatur relasi antara individu, masyarakat, dan negara.

2.1.       Socrates dan Dialog Etika Keadilan

Socrates tidak meninggalkan tulisan langsung, tetapi pandangannya mengenai keadilan diketahui melalui dialog-dialog Plato. Dalam Republic, Socrates menantang pandangan relativistik tentang keadilan yang diajukan oleh Thrasymachus, yang mengklaim bahwa keadilan hanyalah kepentingan pihak yang lebih kuat (justice is the advantage of the stronger). Socrates menolak pandangan ini dan mengupayakan definisi keadilan yang lebih universal dan intrinsik, yakni bahwa keadilan adalah kebaikan jiwa (areté) yang membawa harmoni dan ketertiban baik dalam individu maupun dalam masyarakat.1

Bagi Socrates, hidup yang adil adalah hidup yang dijalani dengan refleksi dan pertanggungjawaban moral. Dalam pengertian ini, keadilan bukanlah alat kekuasaan, melainkan dasar dari kebajikan moral yang sejati. Socrates menegaskan bahwa seseorang tidak boleh melakukan ketidakadilan, sekalipun sebagai balasan atas ketidakadilan yang diterimanya, karena tindakan demikian merusak integritas moral dirinya sendiri.2

2.2.       Plato dan Keadilan sebagai Harmoni

Plato, murid Socrates, mengembangkan konsep keadilan lebih lanjut dalam Republic. Ia membayangkan masyarakat ideal sebagai struktur yang terdiri dari tiga kelas: kaum penguasa (rulers), penjaga (guardians), dan pekerja (producers). Masing-masing kelas menjalankan fungsinya sesuai kodratnya. Keadilan tercapai apabila setiap kelas tetap pada tugasnya dan tidak mencampuri tugas kelas lain. Dengan demikian, keadilan dipahami sebagai harmoni struktural dalam tatanan sosial.3

Konsep ini bersifat paralel dengan struktur jiwa manusia menurut Plato, yang terdiri dari tiga bagian: rasional (logos), kehendak (thymos), dan hasrat (epithymia). Individu yang adil adalah individu yang ketiga unsur jiwanya berada dalam keselarasan, di mana akal mengatur kehendak dan hasrat. Dengan analogi ini, keadilan tidak hanya merupakan prinsip sosial tetapi juga prinsip psikologis dan etis.4

Plato juga menempatkan keadilan sebagai ide yang transenden dalam dunia ide (eidos). Dalam tatanan ontologisnya, keadilan sejati hanya dapat dipahami melalui pemikiran rasional yang melampaui dunia indrawi. Karena itu, dalam sistem filsafatnya, keadilan berakar dalam struktur realitas metafisis.

2.3.       Aristoteles dan Teori Keadilan Distributif-Komutatif

Aristoteles, murid Plato, menolak konsepsi idealistik Plato dan menekankan pendekatan yang lebih empiris. Dalam Nicomachean Ethics, ia membagi keadilan menjadi dua jenis utama: keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif berkaitan dengan distribusi keuntungan dan beban secara proporsional dalam masyarakat, berdasarkan pada kontribusi atau nilai yang dimiliki individu. Sementara itu, keadilan komutatif berkaitan dengan hubungan timbal balik antarindividu dalam transaksi, seperti jual-beli, yang harus dilakukan secara setara tanpa memperhitungkan status sosial.5

Aristoteles juga membahas keadilan korektif, yaitu bentuk keadilan yang mengoreksi ketidakseimbangan akibat tindakan melanggar hukum, baik secara sukarela (misalnya dalam perdagangan) maupun tidak sukarela (seperti pencurian atau kekerasan). Ia menekankan pentingnya hukum sebagai sarana pelaksanaan keadilan, tetapi juga menyoroti bahwa keadilan sejati tidak hanya bersandar pada legalitas, melainkan pada keutamaan (virtue) yang terwujud dalam tindakan yang tepat di situasi yang tepat.6

Dalam kerangka ini, Aristoteles mengaitkan keadilan dengan teleologi, yakni bahwa setiap hal memiliki tujuan alamiah (telos), dan keadilan terwujud ketika sesuatu diperlakukan sesuai dengan tujuannya. Hal ini menjadi dasar bagi pemikiran keadilan yang kontekstual dan proporsional, bukan semata-mata persamaan mutlak.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 338c–339a.

[2]                Plato, Crito, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1977), 49d–50a.

[3]                Plato, Republic, 433a–434d.

[4]                Ibid., 435b–441d.

[5]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book V, 1130b30–1132b20.

[6]                Ibid., 1132a1–1134a30.


3.           Keadilan dalam Filsafat Abad Pertengahan

Filsafat Abad Pertengahan ditandai dengan integrasi antara warisan filsafat Yunani kuno dengan doktrin-doktrin keagamaan, khususnya dalam tradisi Kristen dan Islam. Dalam konteks ini, keadilan tidak hanya dipahami sebagai prinsip rasional atau etis, tetapi juga sebagai manifestasi dari tatanan ilahi. Para pemikir seperti Augustinus dan Thomas Aquinas menyusun konsep keadilan yang mencerminkan hubungan antara manusia dan Tuhan, serta antara manusia dan sesamanya, dalam kerangka teologis-metafisis yang khas zaman skolastik.

3.1.       Augustinus: Keadilan sebagai Ordo Amorist

Santo Augustinus (354–430 M), salah satu Bapa Gereja terpenting, mendefinisikan keadilan sebagai ordo amoris, yaitu tatanan cinta yang benar. Dalam pandangan ini, keadilan terwujud ketika manusia mencintai segala sesuatu secara proporsional dan sesuai dengan kedudukannya—Tuhan dicintai di atas segalanya, lalu sesama, lalu benda-benda duniawi. Ketidakadilan muncul ketika manusia menyimpang dari tatanan cinta tersebut dan mengutamakan yang rendah di atas yang luhur.1

Dalam karyanya De Civitate Dei (Kota Allah), Augustinus mengontraskan dua kota: civitas Dei (kota Allah) dan civitas terrena (kota dunia). Kota Allah dibangun di atas keadilan ilahi dan cinta kepada Tuhan, sedangkan kota dunia berdasarkan cinta diri dan kekuasaan. Keadilan yang sejati menurut Augustinus hanya dapat dicapai dalam tatanan yang tunduk pada kehendak Allah.2 Oleh karena itu, hukum manusia harus mencerminkan hukum ilahi, dan keadilan politik tanpa orientasi kepada Tuhan adalah palsu dan tak stabil.

Augustinus juga mengkritik keadilan dalam kekaisaran Romawi yang menurutnya hanya berpura-pura adil demi legitimasi kekuasaan, padahal tidak didasarkan pada pengakuan akan kedaulatan Tuhan. Bagi Augustinus, tatanan keadilan tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan rencana keselamatan Tuhan atas dunia.

3.2.       Thomas Aquinas: Keadilan sebagai Kebajikan Moral dan Hukum Kodrat

Thomas Aquinas (1225–1274 M), pemikir skolastik terbesar dalam tradisi Kristen, mengembangkan sintesis sistematis antara filsafat Aristoteles dan teologi Kristen. Dalam Summa Theologica, ia membahas keadilan sebagai salah satu dari empat kebajikan kardinal (prudensia, keadilan, keberanian, dan penguasaan diri), dan menyebutnya sebagai “habitual will to give each his due” (kebiasaan kehendak untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya).3

Aquinas membagi keadilan menjadi dua jenis utama: keadilan umum (iustitia generalis) dan keadilan partikular (iustitia particularis). Keadilan umum mengarahkan tindakan individu kepada kebaikan bersama (bonum commune), sedangkan keadilan partikular mengatur relasi interpersonal yang adil, mencakup bentuk distributif dan retributif sebagaimana dirinci oleh Aristoteles.4

Namun, Aquinas memperkaya pemikiran keadilan klasik dengan menambahkan dimensi hukum kodrat (lex naturalis), yakni hukum moral yang berasal dari akal manusia tetapi berakar dalam hukum abadi (lex aeterna) dari Tuhan. Dalam kerangka ini, hukum positif haruslah cerminan dari hukum kodrat; jika tidak, maka hukum tersebut tidak memiliki kekuatan moral yang mengikat. Hanya hukum yang adil (sesuai kodrat) yang layak ditaati, sementara hukum yang tidak adil adalah bentuk kekerasan (violentia).5

Aquinas menegaskan bahwa keadilan sosial dan hukum tidak boleh dilepaskan dari tujuan akhir manusia, yaitu kebahagiaan abadi bersama Tuhan. Oleh karena itu, keadilan dalam masyarakat harus menjunjung tinggi martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan diarahkan pada kehidupan yang baik (eudaimonia kristiani).


Footnotes

[1]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX, ch. 13–17.

[2]                Ibid., Book IV, ch. 4–5.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q. 58, a. 1.

[4]                Ibid., II-II, q. 61, a. 1–3.

[5]                Ibid., I-II, q. 95, a. 2–4.


4.           Keadilan dalam Filsafat Modern

Zaman modern membawa perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap keadilan. Berbeda dengan era klasik dan skolastik yang sangat menekankan harmoni kosmis atau tatanan ilahi, para filsuf modern mulai menempatkan keadilan dalam kerangka rasional, empiris, dan kontraktual. Munculnya negara-bangsa modern, revolusi politik, dan bangkitnya individualisme turut membentuk pendekatan-pendekatan baru dalam merumuskan prinsip keadilan. Pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant menggambarkan dinamika filsafat keadilan yang berakar dalam upaya menemukan dasar-dasar rasional bagi keteraturan sosial, hukum, dan hak asasi manusia.

4.1.       Thomas Hobbes: Keadilan sebagai Produk Kontrak Sosial

Dalam Leviathan, Thomas Hobbes (1588–1679) memandang bahwa dalam keadaan alamiah, manusia hidup dalam situasi penuh ketakutan dan kekacauan, digambarkan dalam ungkapan terkenalnya: "bellum omnium contra omnes" (perang semua melawan semua). Dalam kondisi ini, tidak ada keadilan karena tidak ada hukum atau otoritas yang menjamin hak individu. Oleh karena itu, untuk menciptakan ketertiban, manusia secara rasional menyepakati suatu kontrak sosial yang menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada penguasa absolut (sovereign) demi menjamin keamanan dan stabilitas.1

Bagi Hobbes, keadilan tidak bersifat alamiah, tetapi muncul dari kesepakatan atau konvensi bersama. Suatu tindakan dikatakan adil apabila sesuai dengan hukum yang disahkan oleh penguasa sebagai perwakilan kontrak tersebut. Tanpa kekuasaan sentral yang kuat, hukum dan keadilan akan runtuh karena tidak ada yang mampu menegakkannya.2

4.2.       John Locke: Keadilan sebagai Penjaga Hak Kodrati

Berbeda dengan Hobbes, John Locke (1632–1704) memiliki pandangan yang lebih optimis mengenai keadaan alamiah. Ia meyakini bahwa manusia memiliki hak kodrati yang diberikan oleh Tuhan, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti. Dalam Two Treatises of Government, Locke menyatakan bahwa tujuan utama pembentukan pemerintahan melalui kontrak sosial adalah untuk melindungi hak-hak ini.3

Keadilan, dalam pandangan Locke, berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak individu dan keberadaan hukum yang rasional serta terbatas. Pemerintah yang melanggar hak kodrati kehilangan legitimasi moralnya dan dapat diganti oleh rakyat. Dengan demikian, keadilan tidak terletak pada ketaatan mutlak terhadap hukum, tetapi pada pemenuhan prinsip moral universal yang melekat pada eksistensi manusia sebagai makhluk rasional dan otonom.4

4.3.       Jean-Jacques Rousseau: Keadilan dan Kehendak Umum

Jean-Jacques Rousseau (1712–1778) dalam The Social Contract menolak baik otoritarianisme Hobbes maupun liberalisme individualis Locke. Ia mengembangkan gagasan tentang kehendak umum (volonté générale) sebagai dasar dari keadilan. Menurut Rousseau, dalam masyarakat yang adil, setiap individu harus menyerahkan haknya tidak kepada penguasa atau individu lain, melainkan kepada kehendak umum sebagai ekspresi kepentingan kolektif yang rasional dan moral.5

Keadilan bagi Rousseau berarti kesesuaian antara hukum yang berlaku dengan kehendak umum. Undang-undang yang adil bukanlah hasil kompromi antar kepentingan individu, tetapi refleksi dari nilai-nilai bersama yang disepakati oleh warga negara yang setara. Dalam hal ini, keadilan bersifat partisipatoris dan demokratis, bukan sekadar kontraktual atau prosedural.6

4.4.       Immanuel Kant: Keadilan sebagai Hukum Moral dan Otonomi Rasional

Immanuel Kant (1724–1804) membawa diskursus keadilan ke level moral yang rasional dan universal. Dalam The Metaphysics of Morals, ia merumuskan keadilan berdasarkan prinsip imperatif kategoris, yaitu bahwa setiap tindakan harus bisa dijadikan hukum universal. Keadilan adalah ekspresi dari kebebasan moral individu yang bertindak secara otonom sesuai dengan akal praktis.7

Kant membedakan antara keadilan moral dan hukum positif. Hukum yang adil adalah hukum yang memungkinkan kebebasan setiap individu untuk bersatu dalam masyarakat tanpa melanggar kebebasan orang lain. Dengan demikian, keadilan mengandaikan hubungan timbal balik yang setara antar warga negara yang rasional. Keadilan bukanlah produk kesepakatan sosial semata, melainkan berasal dari prinsip moral yang bersifat apriori dan mengikat secara universal.8


Footnotes

[1]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 89–94.

[2]                Ibid., 100–103.

[3]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II, §§4–9.

[4]                Ibid., II, §§87–94.

[5]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 1968), Book I, ch. 6–8.

[6]                Ibid., Book II, ch. 1–4.

[7]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55–60.

[8]                Ibid., 71–77.


5.           Keadilan dalam Filsafat Kontemporer

Filsafat kontemporer menghadirkan kompleksitas baru dalam memahami keadilan, dengan menekankan dimensi pluralitas, perbedaan, dan ketidaksetaraan struktural. Berbeda dengan pendekatan kontraktual klasik atau idealisme moral Kantian, para pemikir kontemporer berupaya merespons tantangan dunia modern—seperti ketimpangan ekonomi, marginalisasi identitas, dan globalisasi—dengan memperluas cakupan keadilan dari sekadar prosedural atau distributif ke dimensi kapabilitas, pengakuan, dan representasi politik. Tokoh-tokoh seperti John Rawls, Robert Nozick, Amartya Sen, dan Nancy Fraser menjadi representasi utama dalam lintasan pemikiran ini.

5.1.       John Rawls: Keadilan sebagai Fairness

John Rawls (1921–2002) dalam karya monumentalnya A Theory of Justice memperkenalkan konsep keadilan sebagai fairness, yakni suatu pendekatan normatif yang menempatkan keadilan sebagai prinsip dasar dari struktur dasar masyarakat. Ia mengajukan dua prinsip keadilan: (1) setiap orang memiliki hak atas kebebasan dasar yang sama, dan (2) ketimpangan sosial-ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung (prinsip diferensial), serta melekat pada jabatan dan posisi yang terbuka bagi semua.1

Untuk menjamin objektivitas moral, Rawls memperkenalkan metode hipotetik yang disebut veil of ignorance, di mana individu memilih prinsip-prinsip keadilan tanpa mengetahui posisi sosial, bakat, atau keberuntungan mereka di dunia nyata. Dalam kondisi ini, setiap orang secara rasional akan memilih sistem yang paling adil karena tidak ada yang tahu apakah mereka akan berada di posisi yang diuntungkan atau dirugikan.2

Rawls menyatukan tradisi liberalisme politik dengan kepekaan terhadap keadilan sosial, sekaligus menghindari relativisme atau utilitarianisme murni. Pendekatannya menekankan struktur institusional yang adil dan prosedur demokratis yang sah untuk menjamin kebebasan dan kesetaraan.

5.2.       Robert Nozick: Keadilan sebagai Hak dan Kebebasan Individu

Robert Nozick (1938–2002) mengkritik teori Rawls melalui pendekatan libertarian dalam Anarchy, State, and Utopia. Ia menekankan bahwa keadilan bukanlah tentang redistribusi atau hasil akhir yang merata, tetapi tentang proses yang sah dalam memperoleh dan memindahkan hak milik. Bagi Nozick, keadilan terdiri dari tiga prinsip: (1) akuisisi yang sah, (2) transfer sukarela, dan (3) pemulihan terhadap ketidakadilan.3

Menurut Nozick, setiap individu memiliki hak yang tidak dapat dilanggar (inviolable rights), dan negara yang adil hanyalah negara yang sangat minimal (minimal state), yang menjaga keamanan dan melindungi hak milik tanpa ikut campur dalam distribusi kekayaan. Redistribusi oleh negara dianggap sebagai bentuk perampasan terhadap hasil kerja dan kebebasan individu.4

Konsepsi ini menekankan pentingnya keadilan prosedural dan hak negatif (non-interference), tetapi mengabaikan keadilan substantif yang terkait dengan kondisi sosial-ekonomi yang timpang.

5.3.       Amartya Sen: Keadilan sebagai Kapabilitas

Amartya Sen (lahir 1933), ekonom dan filsuf asal India, mengkritik pendekatan Rawlsian yang terlalu fokus pada institusi dan hasil ideal. Dalam The Idea of Justice, Sen mengusulkan pendekatan kapabilitas (capabilities approach), yang menekankan pada realisasi kebebasan substantif individu untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga.5

Sen menganggap bahwa keadilan tidak cukup hanya diukur dari keberadaan institusi yang adil atau distribusi barang, tetapi juga harus mempertimbangkan kesempatan nyata bagi setiap orang untuk mencapai kesejahteraan dan menjalankan pilihan hidup. Ia memperkenalkan konsep “functionings” (fungsi-fungsi aktual seperti hidup sehat, berpendidikan) dan “capabilities” (kemampuan untuk mewujudkan fungsi-fungsi tersebut).6

Dengan pendekatan ini, keadilan menjadi multidimensional dan sensitif terhadap keragaman kebutuhan, konteks budaya, serta kondisi kerentanan sosial. Gagasan ini banyak diaplikasikan dalam indeks pembangunan manusia (Human Development Index) oleh UNDP.

5.4.       Nancy Fraser: Keadilan Multidimensional—Redistribusi, Pengakuan, dan Representasi

Nancy Fraser (lahir 1947) memperluas pemikiran keadilan dengan menggabungkan keadilan ekonomi (redistribusi), keadilan kultural (pengakuan), dan keadilan politik (representasi). Dalam Justice Interruptus, Fraser menekankan bahwa ketimpangan sosial tidak dapat diatasi hanya dengan memperbaiki distribusi sumber daya, tetapi juga harus menangani bentuk-bentuk dominasi simbolik dan pengucilan kultural.7

Misalnya, kelompok minoritas atau perempuan sering kali mengalami non-recognition atau misrecognition dalam sistem sosial, yang tidak hanya menyebabkan ketimpangan material tetapi juga delegitimasi identitas mereka. Oleh karena itu, keadilan harus mencakup pengakuan identitas, redistribusi ekonomi, dan partisipasi politik yang setara.8

Fraser menolak dikotomi antara keadilan sosial dan kultural, dan mengusulkan kerangka kerja tiga dimensi yang integratif dan relevan dengan dinamika masyarakat multikultural, global, dan digital.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60–75.

[2]                Ibid., 118–123.

[3]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–182.

[4]                Ibid., 198–204.

[5]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 231–248.

[6]                Ibid., 253–257.

[7]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[8]                Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange, trans. Joel Golb (London: Verso, 2003), 7–10.


6.           Keadilan dari Perspektif Filsafat Islam

Dalam filsafat Islam, keadilan (al-‘adl) menempati posisi sentral sebagai prinsip etik, politik, metafisik, dan teologis. Ia tidak hanya dipahami sebagai nilai sosial, melainkan sebagai cerminan dari sifat Tuhan yang Maha Adil (al-‘Adl), dan sekaligus sebagai landasan dari seluruh tatanan kehidupan yang dikehendaki oleh syariat. Keadilan dalam tradisi filsafat Islam bersifat integral—ia merangkul aspek kosmologis (tatanan semesta), etis (tindakan manusia), hukum (syariah), dan politik (struktur negara). Pemikir-pemikir seperti al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, dan al-Ghazali telah meletakkan kerangka konseptual yang kaya dan relevan dalam memahami hakikat dan praksis keadilan.

6.1.       Al-Farabi: Keadilan sebagai Struktur Kosmis dan Sosial

Al-Farabi (w. 950 M), filsuf utama era awal peradaban Islam, membangun teorinya tentang keadilan dalam kerangka negara utama (al-madinah al-fadilah). Menurutnya, negara ideal adalah cerminan dari tatanan kosmis yang harmonis dan dipimpin oleh seorang filsuf-raja (mirip dengan Plato), yang mampu menuntun rakyat kepada kebahagiaan sejati (sa‘adah). Dalam konteks ini, keadilan adalah harmoni antara fungsi-fungsi sosial, di mana setiap anggota masyarakat menjalankan tugasnya sesuai dengan kemampuan dan kodratnya.1

Keadilan juga berkaitan dengan pengetahuan yang benar tentang Tuhan, jiwa, dan tujuan akhir kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam negara utama, keadilan hanya bisa ditegakkan jika para pemimpinnya adalah individu yang berilmu dan bermoral tinggi. Ketimpangan, kezaliman, dan kekacauan muncul ketika manusia tidak mengenal perannya dalam struktur metafisis maupun sosial.2

6.2.       Ibn Sina: Keadilan sebagai Kebajikan dan Keseimbangan

Ibn Sina (Avicenna, w. 1037 M), meneruskan tradisi filsafat al-Farabi, tetapi memberi penekanan pada keadilan sebagai kebajikan etis individual dan tatanan hukum rasional. Dalam karya Al-Shifa, ia mengklasifikasikan keadilan sebagai salah satu kebajikan utama yang menjamin hubungan yang adil antara individu dan masyarakat. Bagi Ibn Sina, keadilan bukan hanya menunaikan hak, tetapi juga menjaga keseimbangan dalam relasi sosial dan moral.3

Ia membedakan keadilan distributif dan keadilan retributif, seraya menekankan bahwa hukum negara seharusnya bersumber dari akal budi yang diarahkan kepada kemaslahatan umum (maslahah). Dengan demikian, keadilan menurut Ibn Sina memiliki fondasi rasional dan universal, tetapi tidak dilepaskan dari kerangka keagamaan dan spiritual.

6.3.       Al-Mawardi: Keadilan sebagai Pilar Kekuasaan Islam

Al-Mawardi (w. 1058 M), seorang yuris dan pemikir politik, memberikan penekanan pada peran keadilan dalam tatanan pemerintahan Islam. Dalam karyanya Al-Ahkam al-Sultaniyyah, ia menyatakan bahwa tujuan utama kekuasaan adalah menegakkan keadilan dan menjaga ketertiban sosial berdasarkan syariat. Seorang khalifah atau hakim wajib berlaku adil dalam seluruh keputusan dan kebijakan publik, karena keadilan merupakan sarana untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat.4

Al-Mawardi menekankan prinsip keadilan dalam distribusi zakat, perlakuan terhadap non-Muslim, serta perlindungan terhadap hak milik dan kehormatan. Negara yang gagal menegakkan keadilan dianggap sebagai pengkhianat terhadap amanah kekhalifahan, yang sumber legitimasi utamanya berasal dari kemampuan untuk berlaku adil.

6.4.       Al-Ghazali: Keadilan sebagai Tujuan Maqāṣid al-Sharī‘ah

Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M) mengembangkan konsep keadilan dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah, yaitu tujuan-tujuan utama dari hukum Islam: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ia menegaskan bahwa keadilan adalah prasyarat bagi terlaksananya maqāṣid dan sebagai jalan menuju kebahagiaan akhirat dan duniawi.5

Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali menyoroti bahaya kezaliman dan ketidakadilan dalam praktik pemerintahan, perdagangan, dan pergaulan sosial. Ia juga memberi perhatian pada dimensi batiniah dari keadilan, yaitu keadilan jiwa, di mana setiap bagian dari diri manusia menempati posisi dan fungsinya yang benar—sejalan dengan konsep keadilan Plato, tetapi dalam bingkai spiritualitas Islam.6

6.5.       Kesatuan Nilai Etis, Teologis, dan Politik

Dalam filsafat Islam, keadilan tidak bisa dipisahkan dari tauhid, karena ketauhidan menuntut pengakuan akan kedaulatan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, sistem keadilan bukan sekadar produk konvensi sosial, tetapi pengejawantahan dari nilai-nilai ilahiah. Keadilan menuntut kesetaraan hak semua makhluk di hadapan Tuhan, pemeliharaan amanah, dan tanggung jawab moral dalam relasi sosial.

Sebagai prinsip transendental dan praksis, keadilan Islam bersifat holistik: ia mengatur hubungan vertikal (manusia–Tuhan), horizontal (manusia–manusia), dan ekologis (manusia–alam). Pandangan ini relevan dalam menjawab tantangan-tantangan keadilan kontemporer, seperti ketimpangan ekonomi, kekerasan struktural, dan kerusakan lingkungan.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, trans. Richard Walzer (The Ideal City), (Oxford: Clarendon Press, 1985), 66–72.

[2]                Ibid., 85–92.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifa’ (The Book of Healing), trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), vol. 1, 212–219.

[4]                Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, trans. Wafaa H. Wahba (Reading: Garnet Publishing, 1996), 23–30.

[5]                Al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, ed. Muhammad Mustafa al-Tanahi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 286–291.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (The Revival of the Religious Sciences) (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 2004), vol. 3, 87–94.


7.           Perbandingan dan Sintesis Pemikiran

Gagasan keadilan merupakan titik temu dari berbagai aliran pemikiran filsafat, baik yang bersifat metafisis, etis, politik, maupun teologis. Dari era klasik hingga kontemporer, dari filsafat Barat hingga Islam, konsep keadilan terus mengalami evolusi konseptual dan praktis. Untuk memahami perbedaan dan kesinambungan antara pemikiran-pemikiran tersebut, perlu dilakukan perbandingan berdasarkan dimensi dasar: dasar ontologis keadilan, tujuan keadilan, subjek keadilan, serta metode penetapan keadilan.

7.1.       Dasar Ontologis dan Epistemologis Keadilan

Dalam filsafat Yunani klasik, keadilan bersumber dari tatanan kosmos dan rasionalitas manusia. Plato melihatnya sebagai harmoni struktural dalam jiwa dan masyarakat, sedangkan Aristoteles memahaminya sebagai kebajikan relasional yang mengatur proporsi dalam hubungan antarindividu.1 Di sisi lain, para filsuf abad pertengahan seperti Augustinus dan Thomas Aquinas mengaitkan keadilan dengan kehendak Tuhan dan hukum kodrat, menekankan dimensi teologisnya.2

Filsuf modern mulai mendasarkan keadilan pada rasionalitas manusia dan kontrak sosial. Hobbes menekankan keadilan sebagai produk kesepakatan untuk menghindari kekacauan; Locke dan Kant membangunnya di atas hak kodrati dan imperatif moral rasional.3 Filsuf Islam seperti al-Farabi dan al-Ghazali menggabungkan struktur kosmis dan wahyu sebagai fondasi keadilan, menempatkannya sebagai prinsip moral dan sosial yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.4

7.2.       Tujuan dan Orientasi Keadilan

Perbedaan juga terlihat dalam orientasi keadilan. Plato dan al-Farabi menekankan keadilan sebagai syarat bagi pencapaian kebahagiaan kolektif dalam negara ideal.5 Thomas Aquinas dan al-Ghazali mengarahkannya pada kesejahteraan akhirat dan realisasi maqāṣid al-sharī‘ah. Sementara itu, pemikir modern seperti Locke, Rawls, dan Sen menekankan perlindungan hak individu dan kesejahteraan sosial.

Dalam pemikiran kontemporer, seperti pada Rawls, keadilan bertujuan menjamin kebebasan dan kesetaraan dasar, sedangkan Sen memfokuskan pada perluasan kapabilitas individual untuk mewujudkan kehidupan yang bernilai.6 Fraser menambahkan dimensi politik dan kultural sebagai bagian dari keadilan, yakni pengakuan terhadap identitas dan representasi.7

7.3.       Subjek dan Objek Keadilan

Dalam filsafat klasik dan skolastik, subjek keadilan umumnya adalah individu yang bertindak dalam masyarakat, dengan penekanan pada moralitas pribadi. Dalam kontrak sosial modern, subjek keadilan adalah warga negara rasional yang setara, sedangkan dalam filsafat Islam, subjek keadilan adalah hamba Tuhan yang juga anggota masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial dan religius.

Objek keadilan dalam pemikiran Aristoteles dan Aquinas adalah distribusi dan relasi sosial. Dalam Rawls dan Sen, objeknya meluas ke struktur institusional dan peluang hidup. Fraser bahkan menambahkan struktur representasi dan norma sosial sebagai objek keadilan yang relevan secara politik dan kultural.

7.4.       Pendekatan Prosedural, Substantif, dan Transendental

Perbandingan ini juga dapat diklasifikasikan melalui pendekatan:

·                     Prosedural: terlihat pada Rawls dan Nozick yang menilai keadilan dari cara dan mekanisme distribusi.

·                     Substantif: seperti dalam Sen dan Aristoteles, keadilan diukur dari kualitas hasil yang memampukan manusia hidup bermartabat.

·                     Transendental: sebagaimana pada al-Ghazali dan Augustinus, di mana keadilan berkaitan dengan kehendak ilahi dan tujuan moral spiritual.8

7.5.       Sintesis Konseptual: Menuju Integrasi Keadilan

Meskipun memiliki perbedaan metodologis dan historis, benang merah dari seluruh pemikiran tersebut menunjukkan bahwa keadilan harus mencakup dimensi normatif, relasional, struktural, dan eksistensial. Sintesis konseptual keadilan ideal adalah keadilan yang:

1)                  Berakar pada penghormatan atas martabat manusia (dignity),

2)                  Menjamin distribusi yang adil atas sumber daya dan peluang,

3)                  Mengakui identitas dan partisipasi sosial-politik secara setara,

4)                  Diarahkan pada tujuan etis dan spiritual yang melampaui sekadar kepentingan material.

Dengan pendekatan integratif, pemikiran keadilan dapat menjawab tantangan global kontemporer, termasuk krisis kemanusiaan, ekologi, dan keadilan sosial lintas budaya.

7.6.       Perbandingan Konseptual Keadilan

1)                  Plato

Dasar Keadilan: Harmoni kosmis.

Fokus: Jiwa individu dan tatanan negara ideal.

Pendekatan: Transendental dan idealistik; keadilan sebagai harmoni antara bagian-bagian jiwa dan struktur sosial.

2)                  Aristoteles

Dasar Keadilan: Rasionalitas etis dan teleologi.

Fokus: Relasi sosial yang proporsional (distributif dan komutatif).

Pendekatan: Substantif; menekankan proporsi dan keseimbangan dalam masyarakat.

3)                  Augustinus

Dasar Keadilan: Kehendak Tuhan.

Fokus: Tatanan cinta ilahi dan subordinasi dunia kepada Tuhan.

Pendekatan: Teologis dan metafisik.

4)                  Thomas Aquinas

Dasar Keadilan: Hukum kodrat (natural law) dan hukum abadi.

Fokus: Kebaikan umum dan keteraturan sosial berdasarkan hukum Tuhan.

Pendekatan: Teologis-rasional; mengintegrasikan Aristoteles dengan ajaran Kristen.

5)                  Thomas Hobbes

Dasar Keadilan: Kontrak sosial sebagai hasil rasional dari kondisi alamiah.

Fokus: Keamanan dan ketertiban melalui negara absolut.

Pendekatan: Prosedural; keadilan muncul setelah pembentukan negara.

6)                  John Locke

Dasar Keadilan: Hak kodrati manusia.

Fokus: Perlindungan atas kehidupan, kebebasan, dan properti.

Pendekatan: Substantif-liberal; berorientasi pada hak-hak individu.

7)                  Immanuel Kant

Dasar Keadilan: Rasionalitas moral dan imperatif kategoris.

Fokus: Kebebasan universal dan kewajiban moral.

Pendekatan: Apriori dan etis-universal; keadilan berdasarkan otonomi rasional.

8)                  John Rawls

Dasar Keadilan: Prinsip fairness dan “veil of ignorance”.

Fokus: Distribusi adil dan kebebasan dasar.

Pendekatan: Prosedural-normatif; menekankan desain institusi yang adil.

9)                  Robert Nozick

Dasar Keadilan: Hak milik individu dan kebebasan dari intervensi negara.

Fokus: Proses akuisisi dan transfer yang sah.

Pendekatan: Libertarian-prosedural; menolak redistribusi hasil akhir.

10)              Amartya Sen

Dasar Keadilan: Kapabilitas manusia untuk mencapai functionings.

Fokus: Kesempatan hidup yang bermakna dan kebebasan substantif.

Pendekatan: Substantif-kontekstual; memperhatikan keragaman kebutuhan dan kondisi.

11)              Nancy Fraser

Dasar Keadilan: Keadilan sosial-politik multidimensi.

Fokus: Redistribusi ekonomi, pengakuan kultural, dan representasi politik.

Pendekatan: Multidimensional; menggabungkan aspek ekonomi, identitas, dan demokrasi.

12)              Al-Farabi

Dasar Keadilan: Tatanan kosmis dan rasionalitas politik.

Fokus: Kebahagiaan universal dalam negara utama (madinah fadilah).

Pendekatan: Etis-filosofis; pemimpin ideal adalah penjaga keadilan dan kebenaran.

13)              Al-Ghazali

Dasar Keadilan: Maqāṣid al-Sharī‘ah dan tanggung jawab religius.

Fokus: Keseimbangan antara keadilan duniawi dan ukhrawi.

Pendekatan: Etis-spiritual; keadilan sebagai instrumen menuju keselamatan.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book V, 1130b–1132b.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q. 58–61; Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX.

[3]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 87–102; John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II, §§4–9.

[4]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, trans. Richard Walzer (The Ideal City) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 66–92; Al-Ghazali, Al-Mustasfa, ed. al-Tanahi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 286–291.

[5]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 433a–435e.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60–75; Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 231–257.

[7]                Nancy Fraser, Justice Interruptus (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[8]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55–77.


8.           Relevansi Keadilan dalam Konteks Kontemporer

Konsep keadilan tidak hanya penting dalam ruang teoritis filsafat, tetapi juga menjadi problem sentral dalam kehidupan global kontemporer. Di tengah derasnya arus globalisasi, ketimpangan ekonomi, krisis iklim, serta konflik identitas dan representasi, gagasan keadilan dituntut untuk mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks dan lintas batas. Oleh karena itu, membicarakan relevansi keadilan saat ini berarti memperluas cakupan etis dan strukturalnya melampaui batas tradisional hukum dan moral, ke arah pemenuhan hak-hak manusia yang inklusif, adaptif, dan multidimensional.

8.1.       Keadilan Sosial dan Ketimpangan Global

Salah satu tantangan terbesar keadilan kontemporer adalah ketimpangan sosial-ekonomi. Data dari Oxfam menunjukkan bahwa sekitar 1% populasi dunia menguasai lebih dari separuh kekayaan global, sementara ratusan juta orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem1. Dalam konteks ini, pendekatan kapabilitas dari Amartya Sen menjadi penting karena menekankan keadilan bukan hanya dari segi distribusi sumber daya, tetapi juga dari kemampuan riil individu untuk menjalani kehidupan bermakna dan produktif2.

Negara-negara berkembang menghadapi beban ganda berupa ketertinggalan struktural dan eksploitasi ekonomi dalam sistem global yang tidak setara. Karena itu, keadilan ekonomi harus mencakup dimensi redistribusi internasional, tanggung jawab korporasi multinasional, serta akses yang adil terhadap pendidikan, kesehatan, dan teknologi. Perspektif ini mendorong reinterpretasi prinsip-prinsip keadilan sosial dalam kerangka solidaritas global.

8.2.       Keadilan Iklim dan Ekologi

Isu lingkungan hidup telah menggeser diskursus keadilan ke ranah yang lebih ekologis. Keadilan iklim (climate justice) muncul sebagai tuntutan untuk mengatasi ketimpangan dampak perubahan iklim, di mana negara-negara miskin dan komunitas adat justru menanggung konsekuensi dari aktivitas negara-negara industri yang paling banyak menghasilkan emisi karbon3.

Konsep ini menuntut tanggung jawab moral dan legal kolektif atas kerusakan lingkungan serta pelibatan masyarakat rentan dalam pengambilan kebijakan. Pendekatan ini selaras dengan pemikiran filsuf Islam klasik seperti al-Ghazali, yang menekankan tanggung jawab manusia sebagai khalifah dalam menjaga keseimbangan alam (mīzān) sebagai bagian dari keadilan kosmis4.

8.3.       Keadilan Gender dan Pengakuan Identitas

Keadilan kontemporer juga menuntut pengakuan atas perbedaan identitas, baik dalam hal gender, orientasi seksual, ras, maupun budaya. Nancy Fraser memperluas pemahaman keadilan dari sekadar redistribusi ekonomi menuju pengakuan kultural dan representasi politik yang setara5. Misrecognition (ketidakpengakuan) terhadap identitas kelompok tertentu sering kali menghasilkan marginalisasi sistemik.

Feminisme kontemporer dan teori keadilan interseksional mengkritik pendekatan keadilan yang terlalu maskulin dan universalistik, dan menuntut pengakuan terhadap pengalaman partikular kelompok rentan. Hal ini relevan dalam masyarakat multikultural, termasuk di Indonesia, di mana keadilan harus kontekstual, dialogis, dan inklusif terhadap keragaman nilai dan norma.

8.4.       Keadilan Digital dan Era Informasi

Dalam era digital, muncul bentuk-bentuk baru ketidakadilan yang berkaitan dengan akses terhadap teknologi informasi, keamanan data, dan privasi digital. Keadilan digital menjadi medan baru untuk perdebatan etis dan regulatif, terutama dalam konteks kecerdasan buatan, algoritma yang bias, serta eksploitasi data oleh platform teknologi raksasa6.

Isu digital juga memperlihatkan asimetri pengetahuan dan akses, di mana masyarakat pedesaan atau miskin secara digital menjadi terpinggirkan dalam ekonomi berbasis informasi. Oleh karena itu, keadilan dalam dunia digital menuntut prinsip inklusi teknologi, akses terbuka, dan kesetaraan dalam ekosistem digital.

8.5.       Keadilan dalam Politik Global dan Representasi

Di tengah krisis demokrasi dan maraknya otoritarianisme baru, keadilan tidak hanya menyangkut distribusi, tetapi juga representasi dan partisipasi politik. Pandangan Nancy Fraser tentang keadilan representatif menyerukan pentingnya pelibatan semua warga negara dalam proses deliberatif dan pengambilan keputusan7. Hal ini menjadi sangat penting dalam mengatasi defisit demokrasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Selain itu, tatanan internasional saat ini masih memperlihatkan hegemonisasi kekuasaan oleh segelintir negara besar dalam institusi global seperti PBB, WTO, dan IMF. Dalam hal ini, keadilan menuntut reformasi tata kelola global yang lebih demokratis, adil, dan setara antarpihak.

8.6.       Menuju Etika Keadilan Transformatif

Relevansi keadilan dalam konteks kontemporer menuntut etika keadilan yang transformatif: bukan sekadar mempertahankan status quo dengan prosedur legal, tetapi mendorong transformasi struktural yang memungkinkan semua manusia hidup dengan bermartabat. Pendekatan ini harus mengintegrasikan prinsip-prinsip kapabilitas, pengakuan, distribusi, partisipasi, dan tanggung jawab ekologis dalam satu kerangka konseptual yang komprehensif dan tanggap zaman.

Dengan demikian, keadilan kontemporer bukan hanya sebuah prinsip normatif, tetapi juga proyek politik dan moral yang terus diperjuangkan dalam ruang publik global.


Footnotes

[1]                Oxfam International, Inequality Kills: The Unparalleled Action Needed to Combat Unprecedented Inequality in the Wake of COVID-19, Oxfam Briefing Paper, January 2022.

[2]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 87–102.

[3]                Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (New York: Bloomsbury, 2018), 14–25.

[4]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (The Revival of the Religious Sciences) (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 2004), vol. 3, 108–112.

[5]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 120–138.

[7]                Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange, trans. Joel Golb (London: Verso, 2003), 33–45.


9.           Penutup

Keadilan adalah gagasan yang telah menempuh lintasan panjang dalam sejarah filsafat, dari filsafat Yunani klasik hingga pemikiran kontemporer, dari pandangan metafisis hingga pendekatan sosial-politik. Meskipun tiap era dan tradisi memiliki cara pandang yang berbeda terhadap keadilan, benang merah yang menghubungkan semuanya adalah keinginan universal untuk menciptakan keteraturan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Pemikiran Plato dan Aristoteles mengawali pembahasan keadilan sebagai harmoni internal dan relasi sosial yang proporsional, dengan basis rasional dan kosmologis1. Dalam tradisi filsafat abad pertengahan, seperti yang ditampilkan oleh Augustinus dan Thomas Aquinas, keadilan dipahami sebagai manifestasi dari kehendak ilahi dan hukum kodrat, yang tidak hanya menyangkut hubungan antarmanusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan2.

Filsafat modern kemudian menawarkan perubahan besar dengan pendekatan kontraktual (Hobbes, Locke, Rousseau) dan moral-rasional (Kant), yang berupaya merumuskan keadilan berdasarkan kebebasan dan rasionalitas manusia sebagai individu otonom3. Dalam era kontemporer, pemikir seperti John Rawls, Robert Nozick, Amartya Sen, dan Nancy Fraser memperluas diskursus keadilan dengan memasukkan dimensi institusional, kapabilitas manusia, dan pengakuan identitas sosial-politik4.

Di sisi lain, filsafat Islam memperlihatkan integrasi antara nilai transendental dan praksis sosial. Pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, dan al-Ghazali menunjukkan bahwa keadilan tidak sekadar rasionalitas etis atau distribusi ekonomi, melainkan juga merupakan amanah ilahi yang menuntut keharmonisan jiwa, masyarakat, dan kosmos5.

Relevansi keadilan dalam konteks kontemporer semakin nyata ketika dunia menghadapi tantangan global seperti ketimpangan ekonomi, krisis iklim, konflik identitas, serta ketidakadilan digital dan representasional. Dalam kondisi seperti ini, keadilan dituntut tidak hanya hadir sebagai norma ideal, tetapi juga sebagai prinsip transformatif yang mampu membimbing kebijakan publik, sistem hukum, dan kesadaran moral kolektif menuju dunia yang lebih adil dan manusiawi6.

Dengan demikian, kajian keadilan bukan sekadar refleksi akademik, melainkan sebuah komitmen etis dan praksis untuk membangun masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keberlanjutan, dan inklusivitas. Keadilan harus dipahami sebagai proyek multidimensi yang melibatkan hukum, etika, budaya, ekonomi, spiritualitas, dan politik dalam satu kesatuan yang utuh.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 433a–434d; Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book V.

[2]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX; Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q. 58–61.

[3]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 87–102; John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), II, §§4–9; Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 55–77.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 60–75; Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–182; Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009), 231–257; Nancy Fraser, Justice Interruptus (New York: Routledge, 1997), 11–39.

[5]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madina al-Fadilah, trans. Richard Walzer (The Ideal City) (Oxford: Clarendon Press, 1985), 66–92; Ibn Sina, Al-Shifa’, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), vol. 1, 212–219; Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, trans. Wafaa H. Wahba (Reading: Garnet Publishing, 1996), 23–30; Al-Ghazali, Al-Mustasfa, ed. al-Tanahi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 286–291.

[6]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 87–102; Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange, trans. Joel Golb (London: Verso, 2003), 33–45; Mary Robinson, Climate Justice (New York: Bloomsbury, 2018), 14–25.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1985). The ideal city: Ara' Ahl al-Madina al-Fadilah (R. Walzer, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Al-Ghazali. (1993). Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul (M. M. al-Tanahi, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ghazali. (2004). Ihya’ ‘Ulum al-Din (N. A. Faris, Trans.). Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Al-Mawardi. (1996). Al-Ahkam al-Sultaniyyah (W. H. Wahba, Trans.). Reading: Garnet Publishing.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). New York: Benziger Bros.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Augustine. (2003). The city of God (H. Bettenson, Trans.). London: Penguin Books.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New York: Routledge.

Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution or recognition? A political-philosophical exchange (J. Golb, Trans.). London: Verso.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Ibn Sina. (2005). The book of healing: Al-Shifa’ (M. E. Marmura, Trans.). Provo: Brigham Young University Press.

Kant, I. (1996). The metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. New York: Basic Books.

Oxfam International. (2022). Inequality kills: The unparalleled action needed to combat unprecedented inequality in the wake of COVID-19. https://www.oxfam.org

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Plato. (1977). Crito (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Robinson, M. (2018). Climate justice: Hope, resilience, and the fight for a sustainable future. New York: Bloomsbury.

Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Alfred A. Knopf.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New York: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar