Hak Asasi Manusia
Fondasi Universal untuk Martabat dan Keadilan
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Hak
Asasi Manusia (HAM) sebagai fondasi universal dalam menjamin martabat dan
keadilan bagi setiap individu. Melalui pendekatan multidisipliner dan referensi
dari sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini mengurai landasan
filosofis, sejarah perkembangan, klasifikasi, serta mekanisme perlindungan dan
penegakan HAM di tingkat global dan nasional, khususnya di Indonesia.
Pembahasan juga mencakup isu-isu kontemporer yang memperlihatkan dinamika dan
tantangan aktual dalam pelaksanaan HAM, seperti privasi digital, krisis iklim,
pandemi, intoleransi sosial, dan perdebatan antara universalisme dan
relativisme budaya. Artikel ini menegaskan bahwa perlindungan HAM harus
bersifat holistik dan berkelanjutan, serta menjadi tanggung jawab bersama
antara negara, masyarakat sipil, dan komunitas global. Kesimpulan menekankan
pentingnya integrasi nilai-nilai HAM dalam kebijakan publik, pendidikan, dan
sistem hukum sebagai prasyarat terciptanya tatanan sosial yang adil, damai, dan
bermartabat.
Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, martabat manusia, keadilan
sosial, hukum internasional, Komnas HAM, privasi digital, krisis iklim, universalisme,
relativisme budaya, Indonesia.
PEMBAHASAN
Landasan Filosofis dan Teoretis Hak Asasi Manusia
1.
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia
(HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat pada setiap individu sebagai
manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, etnisitas,
bahasa, agama, atau status lainnya. Gagasan tentang HAM menegaskan bahwa setiap
manusia memiliki nilai, martabat, dan kebebasan yang harus dihormati dan
dilindungi oleh hukum maupun oleh sesama manusia. Konsep ini telah menjadi dasar
moral dan hukum dalam menyusun tatanan masyarakat yang adil dan beradab.
Kesadaran akan
pentingnya HAM tumbuh dari pengalaman sejarah panjang umat manusia yang
dipenuhi oleh berbagai bentuk ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan
sistemik. Dari tragedi perbudakan, kolonialisme, hingga genosida dan perang
dunia, umat manusia belajar bahwa penghormatan terhadap hak-hak dasar individu
merupakan syarat mutlak bagi perdamaian dan keadilan sosial. Perumusan Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 menjadi tonggak bersejarah dalam upaya
global untuk menjadikan HAM sebagai prinsip universal yang harus diakui dan
ditegakkan oleh setiap negara di dunia.¹
Meskipun
prinsip-prinsip HAM bersifat universal, pelaksanaannya sering menghadapi
berbagai tantangan, baik karena perbedaan budaya, sistem politik, maupun
kepentingan ekonomi dan ideologis. Diskursus kontemporer tentang HAM juga kerap
diwarnai oleh perdebatan antara nilai-nilai universal dan relativisme budaya,
di mana beberapa negara atau kelompok berpendapat bahwa penerapan HAM harus
disesuaikan dengan konteks lokal.² Namun demikian, banyak pakar HAM menegaskan
bahwa pengakuan terhadap martabat manusia tidak boleh ditawar dalam kondisi apapun,
karena ia merupakan nilai yang melekat dan tidak dapat dicabut.³
Di era globalisasi
dan digitalisasi saat ini, isu HAM semakin kompleks. Hak atas privasi digital,
perlindungan terhadap data pribadi, kebebasan berekspresi di ruang siber, serta
hak-hak kelompok rentan di tengah krisis iklim dan pandemi global menjadi
agenda penting dalam wacana HAM modern. Dalam konteks ini, pemahaman yang
mendalam dan komprehensif terhadap prinsip-prinsip dasar HAM menjadi sangat
relevan, tidak hanya dalam bidang hukum dan politik, tetapi juga dalam
pendidikan, ekonomi, dan kehidupan sosial sehari-hari.
Artikel ini
bertujuan untuk mengulas secara menyeluruh tentang Hak Asasi Manusia dari
berbagai perspektif — mulai dari landasan filosofis dan historisnya,
klasifikasi hak-hak yang diakui secara internasional, hingga tantangan
implementasi HAM di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Melalui
pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman yang utuh
mengenai pentingnya HAM sebagai fondasi universal bagi martabat dan keadilan
umat manusia.
Footnotes
[1]
United Nations, The Universal Declaration of Human Rights,
1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.
[2]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 89–91.
[3]
Micheline R. Ishay, The History of Human Rights: From Ancient Times
to the Globalization Era (Berkeley: University of California Press, 2004),
3–5.
2.
Landasan
Filosofis dan Teoretis Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia
(HAM) tidak hanya berakar dari kesepakatan politis dan hukum modern, melainkan
juga berasal dari tradisi pemikiran filosofis yang panjang dan kompleks. Konsep
ini berakar pada pandangan bahwa manusia, semata-mata karena kodratnya sebagai
manusia, memiliki hak-hak yang melekat dan tidak dapat dicabut oleh kekuasaan
manapun. Akar filsafat HAM dapat ditelusuri dari pemikiran klasik, pencerahan
Eropa, hingga filsafat kontemporer.
2.1.
Tradisi Klasik dan Pengaruh Agama
Sejak zaman Yunani
Kuno, para filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah membahas
konsep keadilan dan hakikat manusia. Aristoteles, misalnya, menekankan
pentingnya logos
(akal budi) sebagai pembeda manusia dari makhluk lain, yang menjadi dasar bagi
kemampuan manusia untuk hidup bermasyarakat dan merumuskan hukum yang adil.¹
Dalam konteks agama,
berbagai tradisi keagamaan juga menanamkan prinsip-prinsip dasar HAM, meskipun
dengan istilah dan formulasi yang berbeda. Dalam Islam, misalnya, konsep
tentang hak dan kewajiban manusia tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis, serta
diteorikan lebih lanjut dalam Piagam Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw yang
sering dianggap sebagai salah satu dokumen awal tentang toleransi dan kebebasan
beragama dalam masyarakat multikultural.²
2.2.
Pencerahan dan Lahirnya Gagasan “Hak Alamiah”
Pemikiran modern
tentang HAM mendapatkan bentuk yang lebih sistematis pada era Enlightenment
(Abad Pencerahan) di Eropa, khususnya pada abad ke-17 dan 18. Tokoh penting
seperti John Locke mengemukakan bahwa
setiap manusia secara kodrati memiliki hak atas kehidupan, kebebasan, dan milik
pribadi (life,
liberty, and property), dan bahwa tujuan utama dari pembentukan
pemerintahan adalah untuk melindungi hak-hak tersebut.³
Jean-Jacques
Rousseau, melalui konsep contract social, mengemukakan bahwa
hak-hak individual tidak boleh dikorbankan secara mutlak kepada negara,
melainkan harus dilindungi dalam kerangka kehendak umum (volonté générale).⁴
Pemikiran para filsuf ini kemudian mengilhami lahirnya dokumen-dokumen penting
seperti Declaration
of the Rights of Man and of the Citizen (1789) di Prancis dan Bill of
Rights di Amerika Serikat.
2.3.
Hak Asasi sebagai Hak Alamiah dan Universal
Dalam perkembangan
selanjutnya, muncul dua pendekatan besar dalam teori HAM: natural
rights theory dan positivist theory. Teori hak
alamiah (natural rights) memandang bahwa HAM bersifat kodrati, universal, dan
tidak tergantung pada hukum buatan manusia. Sebaliknya, pendekatan positivistik
menekankan bahwa HAM hanya memiliki kekuatan jika ditetapkan secara formal
dalam hukum nasional atau internasional.⁵
Seiring dengan
pembentukan Universal Declaration of Human Rights
tahun 1948, perdebatan filosofis tersebut bertransformasi menjadi komitmen
politis dan hukum internasional. Namun, hingga kini perdebatan filosofis tetap
hidup, terutama antara pendekatan universalisme dan relativisme
budaya. Pendukung universalisme menyatakan bahwa HAM berlaku
untuk semua manusia di segala konteks, sedangkan kaum relativis menilai bahwa
nilai-nilai budaya lokal harus dipertimbangkan dalam penerapan HAM.⁶
Dalam pandangan
filsuf kontemporer seperti Jack Donnelly, HAM adalah
institusi sosial yang diciptakan untuk melindungi martabat manusia dari kekuasaan
sewenang-wenang. Ia menekankan bahwa HAM adalah produk historis modern, namun
memiliki justifikasi moral yang kuat untuk dianggap universal.⁷
Footnotes
[1]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover
Publications, 2000), Book I.
[2]
Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World:
The Constitution of Medina (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1968), 12–14.
[3]
John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.
[4]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin, 1968), 60–65.
[5]
Micheline R. Ishay, The History of Human Rights: From Ancient Times
to the Globalization Era (Berkeley: University of California Press, 2004),
85–90.
[6]
Alison Dundes Renteln, International Human Rights: Universalism
versus Relativism (Thousand Oaks: Sage Publications, 1990), 18–21.
[7]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 12–17.
3.
Sejarah
Perkembangan Hak Asasi Manusia
Perkembangan Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan hasil dari proses historis yang panjang dan
kompleks, yang terbentuk melalui dinamika sosial, politik, dan pemikiran
filosofis dari berbagai peradaban. Meskipun istilah “hak asasi manusia”
baru populer pada abad ke-20, prinsip-prinsip dasarnya telah ada sejak masa
lampau dan berkembang seiring perubahan zaman.
3.1.
Periode Klasik dan Abad Pertengahan
Konsep tentang
keadilan, kebebasan, dan perlindungan terhadap hak individu telah muncul sejak
zaman kuno. Dalam peradaban Mesopotamia, Kode Hammurabi (sekitar 1754 SM)
telah berisi prinsip-prinsip hukum yang menjamin perlindungan terhadap warga
sipil, meskipun masih bersifat hierarkis dan tidak universal.¹
Pada abad
pertengahan, dokumen seperti Magna Carta yang ditandatangani
di Inggris pada tahun 1215 oleh Raja John, menandai tonggak penting dalam
sejarah pembatasan kekuasaan raja dan pengakuan terhadap hak-hak hukum warga
negara, khususnya kaum bangsawan. Magna Carta menyatakan bahwa “tidak
seorang pun boleh ditahan secara sewenang-wenang kecuali berdasarkan hukum yang
sah” — suatu prinsip yang kemudian menjadi fondasi bagi hak atas proses
hukum yang adil.²
Dalam tradisi Islam,
Piagam
Madinah yang disusun oleh Nabi Muhammad Saw pada tahun 622 M
juga menjadi contoh awal perjanjian sosial yang mengakui hak-hak dasar warga
masyarakat plural, termasuk hak kebebasan beragama dan hak untuk hidup
berdampingan dalam keragaman.³
3.2.
Era Pencerahan dan Revolusi
Pada abad ke-17 dan
18, ide-ide tentang hak individu berkembang pesat di Eropa berkat pengaruh
pemikiran Enlightenment.
Pemikir seperti John Locke, Montesquieu,
dan Rousseau
menekankan pentingnya kontrak sosial, pemerintahan terbatas, dan hak kodrati
manusia.⁴
Pemikiran ini
mempengaruhi munculnya berbagai dokumen penting, seperti:
·
Declaration
of Independence (1776) di Amerika Serikat, yang menyatakan
bahwa “semua manusia diciptakan sama dan dianugerahi oleh Penciptanya hak-hak
yang tidak dapat dicabut.”
·
Declaration
of the Rights of Man and of the Citizen (1789) di Prancis, yang
menegaskan kebebasan, kesetaraan, dan hak milik sebagai hak kodrati dan tidak
dapat dicabut.⁵
Dokumen-dokumen ini
menjadi dasar normatif bagi perkembangan konstitusi modern dan sistem hukum yang
berorientasi pada perlindungan individu dari kekuasaan negara.
3.3.
Abad ke-20: Respons terhadap Tragedi
Kemanusiaan
Abad ke-20 menjadi
titik balik dalam sejarah HAM, terutama setelah dua perang dunia dan berbagai
tragedi kemanusiaan seperti Holocaust. Dunia menyadari perlunya sistem
internasional untuk menjamin perlindungan HAM secara global.
Pada tahun 1945,
setelah berakhirnya Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
didirikan dengan salah satu misinya adalah menjaga hak-hak dasar manusia. Upaya
ini menghasilkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights/UDHR) yang diadopsi oleh
Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Dokumen ini menjadi tonggak historis
dan moral yang menyatakan bahwa “pengakuan terhadap martabat yang melekat
dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga
manusia adalah dasar bagi kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.”_⁶
Deklarasi ini
kemudian diikuti oleh perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat secara
hukum, seperti:
·
International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan
·
International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) —
keduanya diadopsi pada tahun 1966 dan mulai berlaku pada tahun 1976.⁷
Ketiga dokumen ini
dikenal sebagai International Bill of Human Rights
dan menjadi acuan utama dalam pengembangan norma HAM internasional.
3.4.
Perkembangan Kontemporer dan Regional
Setelah 1948,
berbagai sistem perlindungan HAM regional juga berkembang, seperti:
·
European
Convention on Human Rights (1950) dan European
Court of Human Rights (1959)
·
American
Convention on Human Rights (1969)
·
African
Charter on Human and Peoples' Rights (1981)
Selain itu,
lembaga-lembaga seperti International Criminal Court (ICC)
juga dibentuk untuk mengadili kejahatan serius terhadap kemanusiaan, seperti
genosida dan kejahatan perang.⁸
Perkembangan ini
menandai pergeseran dari konsep HAM sebagai prinsip moral menjadi sistem hukum
internasional yang memiliki struktur kelembagaan dan mekanisme penegakan.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 33.
[2]
J.C. Holt, Magna Carta (Cambridge: Cambridge University Press,
1992), 26–30.
[3]
Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World:
The Constitution of Medina (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1968), 12–16.
[4]
Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in
Locke’s Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
88–91.
[5]
Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History (New York: W. W.
Norton & Company, 2007), 119–122.
[6]
United Nations, The Universal Declaration of Human Rights,
1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.
[7]
United Nations, International Bill of Human Rights, https://www.ohchr.org/en/instruments-list.
[8]
William A. Schabas, An Introduction to the International Criminal
Court, 5th ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 14–18.
4.
Jenis-Jenis
dan Klasifikasi Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia
(HAM) mencakup spektrum yang luas dari hak-hak yang berkaitan dengan kehidupan,
kebebasan, dan kesejahteraan manusia. Seiring dengan perkembangan hukum dan
norma internasional, para pemikir dan lembaga HAM telah mengklasifikasikan HAM
ke dalam beberapa kategori untuk memudahkan pemahaman dan implementasi.
Klasifikasi ini tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat komplementer dan
saling terkait dalam rangka melindungi martabat manusia secara utuh.
4.1.
Hak Sipil dan Politik (Civil and Political
Rights)
Hak sipil dan
politik, sering disebut sebagai “generasi pertama” HAM, mencakup hak-hak yang
bertujuan melindungi kebebasan individu dari intervensi negara. Hak-hak ini
meliputi:
·
Hak untuk hidup
·
Kebebasan dari penyiksaan
dan perlakuan tidak manusiawi
·
Kebebasan beragama dan
berkeyakinan
·
Kebebasan berekspresi dan
berkumpul
·
Hak atas perlakuan yang
setara di hadapan hukum⁽¹⁾
Hak-hak ini
dipertegas dalam International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) yang mulai berlaku pada tahun 1976.
Negara-negara pihak dalam konvensi ini diwajibkan untuk menghormati dan
menjamin hak-hak tersebut tanpa diskriminasi.⁽²⁾
4.2.
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Economic,
Social, and Cultural Rights)
Termasuk dalam “generasi
kedua” HAM, hak ekonomi, sosial, dan budaya mengatur pemenuhan kebutuhan
dasar manusia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan. Hak-hak ini mencakup:
·
Hak atas pendidikan
·
Hak untuk bekerja dan
memperoleh upah yang adil
·
Hak atas jaminan sosial
·
Hak atas standar hidup yang
layak
·
Hak atas kesehatan dan
layanan publik⁽³⁾
Instrumen utama yang
menjamin hak-hak ini adalah International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights (ICESCR). Tidak seperti ICCPR yang bersifat
segera dan justiciable, pemenuhan hak-hak dalam ICESCR diatur melalui prinsip progressive
realization, artinya negara diwajibkan untuk terus bergerak ke arah
pemenuhan hak tersebut sesuai kapasitas sumber daya yang tersedia.⁽⁴⁾
4.3.
Hak Kolektif dan Solidaritas (Collective and
Solidarity Rights)
Dikenal sebagai “generasi
ketiga” HAM, hak kolektif mencerminkan hak-hak yang bersifat komunal dan
global. Jenis hak ini menekankan solidaritas antar bangsa dan kelompok sosial
dalam menghadapi isu-isu transnasional. Termasuk di dalamnya:
·
Hak atas pembangunan
·
Hak atas perdamaian
·
Hak atas lingkungan hidup
yang bersih dan sehat
·
Hak atas kedaulatan bangsa
dan penentuan nasib sendiri⁽⁵⁾
Meskipun belum semua
hak dalam kategori ini diakui secara eksplisit dalam konvensi internasional
yang mengikat, banyak deklarasi dan resolusi PBB yang mendukungnya, seperti Declaration
on the Right to Development (1986) dan Stockholm
Declaration on the Human Environment (1972).⁽⁶⁾
4.4.
Interdependensi dan Ketakterpisahan HAM
Walaupun klasifikasi
ini berguna dalam mengelompokkan hak-hak berdasarkan sifat dan konteksnya, para
pakar dan lembaga HAM internasional menekankan bahwa semua jenis HAM bersifat saling
terkait (interrelated), saling bergantung (interdependent),
dan tidak
dapat dipisahkan (indivisible).⁽⁷⁾ Artinya, pelanggaran
terhadap satu jenis hak akan berdampak pada hak-hak lainnya. Sebagai contoh,
sulit membayangkan kebebasan berekspresi dapat dijalankan secara efektif jika
seseorang hidup dalam kemiskinan ekstrem tanpa akses pendidikan atau informasi.
Pemahaman akan
klasifikasi ini penting bukan hanya untuk aspek teoritis, tetapi juga sebagai
landasan dalam perumusan kebijakan publik, pendidikan HAM, dan sistem hukum
nasional maupun internasional.
Footnotes
[1]
Rhona K. M. Smith, Textbook on International Human Rights, 8th
ed. (Oxford: Oxford University Press, 2022), 100–105.
[2]
United Nations, International Covenant on Civil and Political
Rights, 1966, https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights.
[3]
Paul Hunt, Reclaiming Social Rights: International and Comparative
Perspectives (Aldershot: Ashgate, 1996), 44–47.
[4]
Philip Alston and Ryan Goodman, International Human Rights: The
Successor to International Human Rights in Context, 2nd ed. (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 272–275.
[5]
Karel Vasak, “Human Rights: A Thirty-Year Struggle: The Sustained
Efforts to Give Force of Law to the Universal Declaration of Human Rights,” UNESCO
Courier 30, no. 11 (1977): 29–32.
[6]
United Nations, Declaration on the Right to Development, 1986,
https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/declaration-right-development.
[7]
Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), Fact
Sheet No. 33: Frequently Asked Questions on Economic, Social and Cultural
Rights, 2008, 4.
5.
Perlindungan
dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Tingkat Global
Perlindungan dan
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di tingkat global merupakan hasil konsensus
internasional yang bertujuan menjamin bahwa hak-hak dasar setiap individu
diakui dan dilindungi, tanpa memandang kebangsaan, ras, agama, atau status
sosial. Setelah tragedi kemanusiaan besar di abad ke-20, komunitas
internasional menyadari pentingnya membangun sistem yang mampu mencegah
pelanggaran HAM serta memastikan akuntabilitas atas kejahatan terhadap
kemanusiaan.
5.1.
Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi aktor utama dalam perlindungan HAM secara global.
Sejak didirikan pada tahun 1945, salah satu tujuan utama PBB adalah untuk
"mengembangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
dasar bagi semua orang."_¹
Melalui Dewan
Hak Asasi Manusia PBB (UN Human Rights Council/UNHRC) dan Kantor
Komisaris Tinggi HAM (Office of the High Commissioner for Human Rights/OHCHR),
PBB mengoordinasikan berbagai instrumen dan mekanisme untuk memantau,
mengevaluasi, serta memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran HAM di
negara-negara anggota. UNHRC memiliki mekanisme Universal Periodic Review (UPR),
yang meninjau situasi HAM setiap negara secara berkala berdasarkan laporan
pemerintah, LSM, dan organisasi internasional.²
5.2.
Instrumen Hukum Internasional
Untuk menjamin
perlindungan HAM secara konkret, komunitas internasional telah menyusun
berbagai konvensi dan traktat internasional
yang mengikat secara hukum (binding). Di antara yang paling penting adalah:
·
International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
·
International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
·
Convention
against Torture (CAT)
·
Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)
·
Convention on the Rights
of the Child (CRC)_³
Negara yang
meratifikasi perjanjian-perjanjian ini berkewajiban untuk menyesuaikan hukum
domestiknya, melaporkan kemajuan implementasi, serta tunduk pada pengawasan
oleh komite ahli independen.
Beberapa lembaga HAM
internasional juga mengembangkan sistem individual complaints, yaitu mekanisme
yang memungkinkan individu atau kelompok untuk mengajukan pengaduan ke komite
internasional jika haknya dilanggar dan tidak mendapatkan keadilan di dalam
negeri.⁴
5.3.
Pengadilan dan Mekanisme Penegakan
Internasional
Salah satu terobosan
penting dalam penegakan HAM adalah dibentuknya International Criminal Court (ICC)
pada tahun 2002, berdasarkan Statuta Roma 1998. ICC memiliki
yurisdiksi atas empat jenis kejahatan internasional: genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Pengadilan ini menjadi
instrumen penting dalam memerangi impunitas, terutama ketika sistem hukum
domestik tidak mampu atau tidak bersedia menindak pelaku.⁵
Selain ICC, terdapat
pula pengadilan regional seperti European Court of Human Rights (ECHR)
dan Inter-American
Court of Human Rights, yang memiliki wewenang untuk mengadili
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara-negara anggota.
Namun, tantangan
utama dalam penegakan HAM global adalah sifat non-intervensionisme dalam
hukum internasional. Meskipun banyak negara telah meratifikasi berbagai
konvensi HAM, implementasi dan kepatuhan mereka sangat dipengaruhi oleh
kepentingan politik, kapasitas institusional, dan dinamika domestik.⁶
5.4.
Peran Organisasi Internasional dan Masyarakat
Sipil
Selain negara dan
lembaga internasional formal, berbagai organisasi non-pemerintah (NGO)
seperti Amnesty International, Human
Rights Watch, dan International Federation for Human Rights
(FIDH) memainkan peran penting dalam mendokumentasikan
pelanggaran HAM, memberikan tekanan moral kepada pemerintah, serta memperkuat
kapasitas masyarakat sipil.
NGO seringkali
menjadi jembatan antara individu yang menjadi korban pelanggaran HAM dengan
mekanisme hukum internasional. Mereka juga turut serta dalam advokasi normatif,
reformasi hukum, dan pendidikan HAM di berbagai negara.⁷
Footnotes
[1]
United Nations Charter, art. 1, para. 3, https://www.un.org/en/about-us/un-charter.
[2]
United Nations Human Rights Council, Universal Periodic Review,
https://www.ohchr.org/en/hr-bodies/upr.
[3]
Philip Alston and Ryan Goodman, International Human Rights: The
Successor to International Human Rights in Context, 2nd ed. (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 286–294.
[4]
Rhona K. M. Smith, Textbook on International Human Rights, 8th
ed. (Oxford: Oxford University Press, 2022), 212–215.
[5]
William A. Schabas, An Introduction to the International Criminal
Court, 5th ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 30–37.
[6]
Oona A. Hathaway, “Do Human Rights Treaties Make a Difference?” Yale
Law Journal 111, no. 8 (2002): 1935–2042.
[7]
Julie Mertus, Bait and Switch: Human Rights and U.S. Foreign Policy
(New York: Routledge, 2004), 67–71.
6.
Perlindungan
dan Penegakan HAM di Indonesia
Perlindungan dan
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia merupakan bagian dari komitmen
nasional terhadap prinsip-prinsip keadilan dan martabat manusia, sekaligus
merupakan amanat konstitusional yang diperkuat sejak era reformasi. Meskipun
Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam aspek legislasi dan
kelembagaan HAM, tantangan implementatif dan kultural masih menjadi hambatan
serius dalam menjamin pemenuhan hak-hak dasar warga negara.
6.1.
Landasan Konstitusional dan Hukum Nasional
Amandemen kedua Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945), khususnya Pasal 28A hingga 28J,
merupakan tonggak penting dalam penguatan perlindungan HAM di Indonesia. Amandemen
ini menjamin berbagai hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta
menegaskan bahwa hak-hak tersebut tidak dapat dikurangi kecuali oleh
undang-undang dalam keadaan tertentu.¹
Selanjutnya,
penguatan HAM diwujudkan melalui lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, yang menjadi rujukan utama dalam sistem hukum
nasional untuk mengatur, menjamin, dan menegakkan hak-hak dasar warga negara.
Undang-undang ini juga menjadi dasar pendirian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
sebagai lembaga independen negara yang bertugas menyelidiki dan memantau
pelanggaran HAM.²
Selain itu, Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
memperkenalkan sistem peradilan khusus untuk kasus pelanggaran HAM berat, seperti
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam konteks ini, Indonesia
mengadopsi prinsip complementarity sebagaimana dalam
sistem internasional, yakni pengadilan nasional menjadi garda pertama dalam
menindak pelanggaran HAM.³
6.2.
Komnas HAM dan Peran Lembaga Negara
Komnas
HAM, yang dibentuk sejak tahun 1993 dan diperkuat secara hukum
dalam UU No. 39/1999, berfungsi sebagai pengawas, edukator, sekaligus pelapor
independen terhadap kondisi HAM di Indonesia. Komnas HAM memiliki kewenangan
menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM, menyampaikan rekomendasi kepada
lembaga negara, serta mengadvokasi perbaikan sistem hukum dan kebijakan
publik.⁴
Komnas HAM juga
menjadi institusi penting dalam dokumentasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu, seperti tragedi 1965, penembakan misterius, dan kasus Timor Timur.
Meskipun hasil penyelidikan telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung, banyak
kasus tersebut masih mengalami hambatan dalam proses yudisial karena faktor
politis dan ketidaktegasan institusi penegak hukum.⁵
Selain Komnas HAM,
lembaga lain seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
Ombudsman
Republik Indonesia, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) juga memainkan peran penting dalam
melindungi hak-hak kelompok rentan dan mengawasi pelaksanaan pelayanan publik
yang berbasis HAM.
6.3.
Tantangan Implementasi dan Kasus Pelanggaran
HAM
Meskipun kerangka
hukum dan institusional telah tersedia, praktik perlindungan HAM di Indonesia
masih menghadapi berbagai tantangan:
·
Politik
impunitas, di mana pelaku pelanggaran HAM berat tidak dihukum
secara layak karena kekuasaan politik atau kekosongan hukum.
·
Kekerasan
aparat terhadap masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan
demonstran sering terjadi tanpa akuntabilitas yang memadai.
·
Diskriminasi
terhadap kelompok minoritas, termasuk etnis, agama, gender, dan
orientasi seksual, masih menjadi problematika serius yang belum ditangani
secara tuntas.⁶
Kasus-kasus seperti
penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, persekusi terhadap pembela HAM, serta
kriminalisasi aktivis lingkungan dan jurnalis di berbagai daerah menjadi
sorotan penting dalam laporan tahunan Komnas HAM maupun organisasi HAM
internasional.⁷
6.4.
Upaya Perbaikan dan Pendidikan HAM
Sebagai bagian dari
masyarakat internasional, Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM
global, seperti ICCPR, ICESCR,
CEDAW,
dan CRC,
serta berpartisipasi aktif dalam Universal Periodic Review (UPR)
PBB. Dalam konteks domestik, pemerintah bersama masyarakat sipil telah
mendorong pendidikan HAM, baik di lingkungan sekolah, universitas, maupun
lembaga pelatihan aparat negara.⁸
Namun demikian,
efektivitas perlindungan HAM sangat tergantung pada integritas lembaga penegak
hukum, partisipasi aktif warga negara, serta keberanian politik untuk mengatasi
hambatan struktural dan kultural yang mengakar.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 28A–28J.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165.
[3]
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 208.
[4]
Komnas HAM, Profil dan Tugas Pokok Komnas HAM, https://www.komnasham.go.id.
[5]
Asvi Warman Adam, Rekonsiliasi dan “Kebenaran” dalam Penyelesaian
Pelanggaran HAM Berat di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2005), 55–58.
[6]
Ifdhal Kasim, “Human Rights in Post-Suharto Indonesia: A Critical
Reflection,” Indonesian Journal of International Law 5, no. 3 (2008):
448–451.
[7]
Human Rights Watch, World Report 2023: Indonesia, https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia.
[8]
Dinna Wisnu, “Indonesia’s Human Rights Diplomacy and the Role of
Education,” Journal of Human Rights and Peace Studies 3, no. 2 (2017):
75–88.
7.
Isu-Isu
Kontemporer dalam Hak Asasi Manusia
Seiring perkembangan
zaman, Hak Asasi Manusia (HAM) menghadapi berbagai tantangan baru yang kompleks
dan multidimensi. Isu-isu kontemporer dalam HAM tidak lagi terbatas pada
pelanggaran yang bersifat konvensional seperti kekerasan negara terhadap warga
negara, tetapi juga mencakup persoalan-persoalan baru yang muncul akibat
globalisasi, kemajuan teknologi, perubahan iklim, konflik identitas, dan
pandemi global. Dalam konteks ini, pendekatan terhadap HAM harus adaptif,
interdisipliner, dan berbasis keadilan sosial.
7.1.
HAM dan Teknologi Digital
Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi membawa implikasi besar terhadap realisasi HAM. Di
satu sisi, teknologi digital memperluas ruang kebebasan berekspresi, akses
informasi, dan partisipasi publik. Namun, di sisi lain, muncul ancaman serius
terhadap hak atas privasi, keamanan
data pribadi, serta kebebasan berekspresi yang
direpresi melalui surveillance digital, penyensoran
internet, dan penyebaran disinformasi.¹
Laporan dari Special
Rapporteur on the Right to Privacy mencatat bahwa praktik
pengawasan massal oleh negara maupun korporasi swasta telah melanggar prinsip
proporsionalitas dan akuntabilitas dalam HAM.² Selain itu, algoritma kecerdasan
buatan (AI) juga dapat memicu diskriminasi berbasis ras, gender, atau status
sosial jika tidak dikembangkan secara etis dan transparan.³
7.2.
Krisis Iklim dan Hak atas Lingkungan
Krisis iklim telah
menjadi ancaman eksistensial bagi jutaan orang dan secara langsung mempengaruhi
berbagai hak dasar, seperti hak atas hidup, pangan, air bersih, dan tempat
tinggal yang layak.⁴ Dalam hal ini, muncul pengakuan terhadap hak atas
lingkungan hidup yang sehat sebagai bagian integral dari HAM.
Dalam Resolusi
Majelis Umum PBB No. 76/300 (2022), hak atas lingkungan hidup
yang bersih, sehat, dan berkelanjutan secara resmi diakui sebagai HAM
universal, menandai pergeseran penting dalam agenda internasional.⁵ Negara-negara
dan aktor non-negara kini dituntut untuk mengambil langkah-langkah nyata dalam
melindungi lingkungan demi generasi sekarang dan mendatang.
7.3.
HAM dalam Situasi Pandemi
Pandemi COVID-19
menimbulkan tantangan luar biasa bagi penegakan HAM. Banyak negara menerapkan
pembatasan mobilitas, kewajiban vaksinasi, dan tindakan darurat lainnya yang
sering kali menimbulkan kontroversi antara hak atas kesehatan publik dan kebebasan
individu.⁶
Selain itu, pandemi
memperburuk ketimpangan sosial, terutama bagi kelompok rentan seperti pekerja
informal, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Perserikatan
Bangsa-Bangsa menegaskan pentingnya pendekatan HAM dalam kebijakan penanganan
pandemi, agar prinsip kesetaraan, partisipasi, dan non-diskriminasi tetap
dijaga.⁷
7.4.
Identitas, Intoleransi, dan Polarisasi Sosial
Di banyak negara,
termasuk Indonesia, peningkatan intoleransi berbasis agama, etnis, dan
orientasi seksual menjadi tantangan besar dalam perlindungan HAM. Polarisasi
identitas, baik karena faktor politik maupun sosial-ekonomi, sering
dimanfaatkan oleh elit politik untuk mempertajam konflik sosial.⁸
Komisi HAM PBB
mengingatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab aktif untuk mencegah ujaran
kebencian, menjamin kebebasan beragama, serta melindungi kelompok minoritas
dari diskriminasi struktural dan kekerasan berbasis kebencian.⁹ Upaya ini harus
dilakukan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip HAM lainnya, seperti kebebasan
berekspresi dan kebebasan berkeyakinan.
7.5.
Relativisme Budaya dan Universalitas HAM
Isu perdebatan
antara universalisme
dan relativisme
budaya tetap menjadi sorotan utama dalam wacana HAM
kontemporer. Beberapa negara menolak intervensi atas dasar HAM internasional
dengan alasan menjaga “nilai lokal” atau “tradisi budaya.” Namun,
banyak ahli menegaskan bahwa prinsip-prinsip dasar HAM—seperti larangan
penyiksaan, perlindungan terhadap kehidupan, dan kebebasan dari
diskriminasi—merupakan standar minimum yang tidak dapat dinegosiasikan.¹⁰
Pendekatan
interkultural terhadap HAM, yang menggabungkan nilai-nilai universal dengan
sensitivitas budaya, semakin penting untuk menjembatani perbedaan dan membangun
konsensus moral global.
Footnotes
[1]
David Kaye, Speech Police: The Global Struggle to Govern the
Internet (New York: Columbia Global Reports, 2019), 34–36.
[2]
United Nations Human Rights Council, Report of the Special
Rapporteur on the Right to Privacy, A/HRC/46/37, 2021, https://www.ohchr.org.
[3]
Sandra Wachter, Brent Mittelstadt, and Luciano Floridi, “Why a Right to
Explanation of Automated Decision-Making Does Not Exist in the General Data
Protection Regulation,” International Data Privacy Law 7, no. 2
(2017): 76–99.
[4]
Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for
a Sustainable Future (London: Bloomsbury Publishing, 2018), 51–54.
[5]
United Nations General Assembly, Resolution 76/300, 28 July 2022, https://www.un.org/en/ga.
[6]
Başak Çalı and Stuart Wallace, “The Human Rights Implications of the
COVID-19 Pandemic,” Netherlands Quarterly of Human Rights 38, no. 2
(2020): 105–110.
[7]
United Nations, COVID-19 and Human Rights: We Are All in This
Together, April 2020, https://www.un.org/en/coronavirus/covid-19-and-human-rights.
[8]
Andreas Harsono, “Indonesia: End Discriminatory Laws,” Human Rights
Watch, 2021, https://www.hrw.org.
[9]
United Nations, Rabatt Plan of Action on the Prohibition of
Incitement to Hatred, 2012, https://www.ohchr.org.
[10]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 89–91.
8.
Kesimpulan
Hak Asasi Manusia
(HAM) merupakan fondasi universal yang tidak hanya menjamin kebebasan dan
kesetaraan, tetapi juga menegaskan martabat setiap individu sebagai manusia. Ia
tidak lahir dari ruang hampa, melainkan merupakan hasil dari pergulatan panjang
sejarah, pergumulan filsafat, serta tragedi kemanusiaan yang mendorong dunia
untuk mencari sistem perlindungan yang lebih adil dan bermartabat.⁽¹⁾
Sejak Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia 1948, komunitas internasional telah berkomitmen
untuk menjadikan HAM sebagai norma global yang mengikat perilaku negara dan
aktor non-negara. Klasifikasi HAM ke dalam hak sipil-politik,
ekonomi-sosial-budaya, dan hak kolektif menunjukkan bahwa perlindungan terhadap
manusia harus bersifat holistik dan saling berkaitan.⁽²⁾ Namun, komitmen
tersebut sering kali terhambat oleh politik kepentingan, penafsiran kultural,
serta lemahnya penegakan hukum baik di tingkat internasional maupun nasional.
Dalam konteks
global, upaya penegakan HAM diperkuat oleh kehadiran lembaga internasional
seperti PBB, ICC, dan berbagai instrumen hukum internasional. Akan tetapi,
efektivitasnya sangat dipengaruhi oleh kesediaan negara-negara untuk tunduk
pada norma internasional dan membuka diri terhadap evaluasi eksternal.⁽³⁾ Di
Indonesia sendiri, kerangka hukum yang sudah relatif lengkap belum sepenuhnya
diimbangi oleh implementasi yang konsisten, khususnya dalam menangani
pelanggaran HAM berat masa lalu dan menjamin hak kelompok rentan di masa
kini.⁽⁴⁾
Isu-isu kontemporer
seperti privasi digital, perubahan iklim, pandemi global, intoleransi sosial,
dan tantangan terhadap nilai-nilai universalitas menjadi bukti bahwa HAM adalah
konsep yang terus berkembang dan membutuhkan interpretasi yang dinamis sesuai
dengan konteks zaman.⁽⁵⁾ Dalam hal ini, pendidikan HAM, penguatan masyarakat
sipil, serta integritas institusi negara menjadi kunci utama dalam memastikan
bahwa HAM tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar menjadi prinsip hidup
dalam tata kelola masyarakat.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Jack Donnelly, HAM pada dasarnya bukanlah “pemberian”
dari negara, melainkan bentuk proteksi moral dan hukum terhadap manusia yang
rentan terhadap kekuasaan sewenang-wenang.⁽⁶⁾ Oleh karena itu, menjaga dan
menegakkan HAM bukan hanya tugas negara, melainkan merupakan tanggung jawab
kolektif umat manusia untuk memastikan dunia yang lebih adil, damai, dan
bermartabat.
Footnotes
[1]
Micheline R. Ishay, The History of Human Rights: From Ancient Times
to the Globalization Era (Berkeley: University of California Press, 2004),
3–5.
[2]
Philip Alston and Ryan Goodman, International Human Rights: The
Successor to International Human Rights in Context, 2nd ed. (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 265–268.
[3]
Oona A. Hathaway, “Do Human Rights Treaties Make a Difference?” Yale
Law Journal 111, no. 8 (2002): 1935–2042.
[4]
Ifdhal Kasim, “Human Rights in Post-Suharto Indonesia: A Critical
Reflection,” Indonesian Journal of International Law 5, no. 3 (2008):
440–451.
[5]
Başak Çalı and Stuart Wallace, “The Human Rights Implications of the
COVID-19 Pandemic,” Netherlands Quarterly of Human Rights 38, no. 2
(2020): 105–110.
[6]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 17.
Daftar Pustaka
Alston, P., & Goodman, R. (2013). International
human rights: The successor to international human rights in context (2nd
ed.). Oxford University Press.
Çalı, B., & Wallace, S. (2020). The human
rights implications of the COVID-19 pandemic. Netherlands Quarterly of Human
Rights, 38(2), 105–110.
Donnelly, J. (2013). Universal human rights in
theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.
Hathaway, O. A. (2002). Do human rights treaties
make a difference? Yale Law Journal, 111(8), 1935–2042. https://doi.org/10.2307/797642
Holt, J. C. (1992). Magna Carta. Cambridge
University Press.
Human Rights Watch. (2021). Indonesia: End
discriminatory laws. https://www.hrw.org
Human Rights Watch. (2023). World report 2023:
Indonesia. https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia
Ishay, M. R. (2004). The history of human
rights: From ancient times to the globalization era. University of
California Press.
Kasim, I. (2008). Human rights in post-Suharto
Indonesia: A critical reflection. Indonesian Journal of International Law, 5(3),
440–451.
Kaye, D. (2019). Speech police: The global
struggle to govern the Internet. Columbia Global Reports.
Komnas HAM. (n.d.). Profil dan tugas pokok
Komnas HAM. https://www.komnasham.go.id
Locke, J. (1988). Two treatises of government
(P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)
Mertus, J. (2004). Bait and switch: Human rights
and U.S. foreign policy. Routledge.
Office of the High Commissioner for Human Rights.
(2008). Fact sheet no. 33: Frequently asked questions on economic, social
and cultural rights. https://www.ohchr.org
Republic of Indonesia. (1999). Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No.
165.
Republic of Indonesia. (2000). Undang-Undang No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI
Tahun 2000 No. 208.
Republic of Indonesia. (1945). Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Kedua).
Renteln, A. D. (1990). International human
rights: Universalism versus relativism. Sage Publications.
Robinson, M. (2018). Climate justice: Hope,
resilience, and the fight for a sustainable future. Bloomsbury Publishing.
Rousseau, J.-J. (1968). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin.
Schabas, W. A. (2017). An introduction to the
International Criminal Court (5th ed.). Cambridge University Press.
Smith, R. K. M. (2022). Textbook on
international human rights (8th ed.). Oxford University Press.
United Nations. (1948). The Universal
Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
United Nations. (1986). Declaration on the right
to development. https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/declaration-right-development
United Nations. (2020). COVID-19 and human
rights: We are all in this together. https://www.un.org/en/coronavirus/covid-19-and-human-rights
United Nations General Assembly. (2022). Resolution
76/300: The human right to a clean, healthy and sustainable environment. https://www.un.org/en/ga
United Nations Human Rights Council. (2021). Report
of the Special Rapporteur on the right to privacy, A/HRC/46/37. https://www.ohchr.org
United Nations Human Rights Council. (n.d.). Universal
Periodic Review (UPR). https://www.ohchr.org/en/hr-bodies/upr
United Nations Office of the High Commissioner for
Human Rights. (2012). Rabat plan of action on the prohibition of incitement
to hatred. https://www.ohchr.org
Vasak, K. (1977). Human rights: A thirty-year
struggle. The sustained efforts to give force of law to the Universal
Declaration of Human Rights. UNESCO Courier, 30(11), 29–32.
Wachter, S., Mittelstadt, B., & Floridi, L.
(2017). Why a right to explanation of automated decision-making does not exist
in the General Data Protection Regulation. International Data Privacy Law, 7(2),
76–99. https://doi.org/10.1093/idpl/ipx005
Waldron, J. (2002). God, Locke, and equality:
Christian foundations in Locke’s political thought. Cambridge University
Press.
Warman Adam, A. (2005). Rekonsiliasi dan
“kebenaran” dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Gramedia.
Wisnu, D. (2017). Indonesia’s human rights
diplomacy and the role of education. Journal of Human Rights and Peace
Studies, 3(2), 75–88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar