Senin, 28 April 2025

HAM (Hak Asasi Manusia): Fondasi Universal untuk Martabat dan Keadilan

Hak Asasi Manusia

Fondasi Universal untuk Martabat dan Keadilan


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai fondasi universal dalam menjamin martabat dan keadilan bagi setiap individu. Melalui pendekatan multidisipliner dan referensi dari sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini mengurai landasan filosofis, sejarah perkembangan, klasifikasi, serta mekanisme perlindungan dan penegakan HAM di tingkat global dan nasional, khususnya di Indonesia. Pembahasan juga mencakup isu-isu kontemporer yang memperlihatkan dinamika dan tantangan aktual dalam pelaksanaan HAM, seperti privasi digital, krisis iklim, pandemi, intoleransi sosial, dan perdebatan antara universalisme dan relativisme budaya. Artikel ini menegaskan bahwa perlindungan HAM harus bersifat holistik dan berkelanjutan, serta menjadi tanggung jawab bersama antara negara, masyarakat sipil, dan komunitas global. Kesimpulan menekankan pentingnya integrasi nilai-nilai HAM dalam kebijakan publik, pendidikan, dan sistem hukum sebagai prasyarat terciptanya tatanan sosial yang adil, damai, dan bermartabat.

Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, martabat manusia, keadilan sosial, hukum internasional, Komnas HAM, privasi digital, krisis iklim, universalisme, relativisme budaya, Indonesia.


PEMBAHASAN

Landasan Filosofis dan Teoretis Hak Asasi Manusia


1.           Pendahuluan

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat pada setiap individu sebagai manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, etnisitas, bahasa, agama, atau status lainnya. Gagasan tentang HAM menegaskan bahwa setiap manusia memiliki nilai, martabat, dan kebebasan yang harus dihormati dan dilindungi oleh hukum maupun oleh sesama manusia. Konsep ini telah menjadi dasar moral dan hukum dalam menyusun tatanan masyarakat yang adil dan beradab.

Kesadaran akan pentingnya HAM tumbuh dari pengalaman sejarah panjang umat manusia yang dipenuhi oleh berbagai bentuk ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan sistemik. Dari tragedi perbudakan, kolonialisme, hingga genosida dan perang dunia, umat manusia belajar bahwa penghormatan terhadap hak-hak dasar individu merupakan syarat mutlak bagi perdamaian dan keadilan sosial. Perumusan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 menjadi tonggak bersejarah dalam upaya global untuk menjadikan HAM sebagai prinsip universal yang harus diakui dan ditegakkan oleh setiap negara di dunia.¹

Meskipun prinsip-prinsip HAM bersifat universal, pelaksanaannya sering menghadapi berbagai tantangan, baik karena perbedaan budaya, sistem politik, maupun kepentingan ekonomi dan ideologis. Diskursus kontemporer tentang HAM juga kerap diwarnai oleh perdebatan antara nilai-nilai universal dan relativisme budaya, di mana beberapa negara atau kelompok berpendapat bahwa penerapan HAM harus disesuaikan dengan konteks lokal.² Namun demikian, banyak pakar HAM menegaskan bahwa pengakuan terhadap martabat manusia tidak boleh ditawar dalam kondisi apapun, karena ia merupakan nilai yang melekat dan tidak dapat dicabut.³

Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, isu HAM semakin kompleks. Hak atas privasi digital, perlindungan terhadap data pribadi, kebebasan berekspresi di ruang siber, serta hak-hak kelompok rentan di tengah krisis iklim dan pandemi global menjadi agenda penting dalam wacana HAM modern. Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap prinsip-prinsip dasar HAM menjadi sangat relevan, tidak hanya dalam bidang hukum dan politik, tetapi juga dalam pendidikan, ekonomi, dan kehidupan sosial sehari-hari.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara menyeluruh tentang Hak Asasi Manusia dari berbagai perspektif — mulai dari landasan filosofis dan historisnya, klasifikasi hak-hak yang diakui secara internasional, hingga tantangan implementasi HAM di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Melalui pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman yang utuh mengenai pentingnya HAM sebagai fondasi universal bagi martabat dan keadilan umat manusia.


Footnotes

[1]                United Nations, The Universal Declaration of Human Rights, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

[2]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 89–91.

[3]                Micheline R. Ishay, The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era (Berkeley: University of California Press, 2004), 3–5.


2.           Landasan Filosofis dan Teoretis Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) tidak hanya berakar dari kesepakatan politis dan hukum modern, melainkan juga berasal dari tradisi pemikiran filosofis yang panjang dan kompleks. Konsep ini berakar pada pandangan bahwa manusia, semata-mata karena kodratnya sebagai manusia, memiliki hak-hak yang melekat dan tidak dapat dicabut oleh kekuasaan manapun. Akar filsafat HAM dapat ditelusuri dari pemikiran klasik, pencerahan Eropa, hingga filsafat kontemporer.

2.1.       Tradisi Klasik dan Pengaruh Agama

Sejak zaman Yunani Kuno, para filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah membahas konsep keadilan dan hakikat manusia. Aristoteles, misalnya, menekankan pentingnya logos (akal budi) sebagai pembeda manusia dari makhluk lain, yang menjadi dasar bagi kemampuan manusia untuk hidup bermasyarakat dan merumuskan hukum yang adil.¹

Dalam konteks agama, berbagai tradisi keagamaan juga menanamkan prinsip-prinsip dasar HAM, meskipun dengan istilah dan formulasi yang berbeda. Dalam Islam, misalnya, konsep tentang hak dan kewajiban manusia tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis, serta diteorikan lebih lanjut dalam Piagam Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw yang sering dianggap sebagai salah satu dokumen awal tentang toleransi dan kebebasan beragama dalam masyarakat multikultural.²

2.2.       Pencerahan dan Lahirnya Gagasan “Hak Alamiah”

Pemikiran modern tentang HAM mendapatkan bentuk yang lebih sistematis pada era Enlightenment (Abad Pencerahan) di Eropa, khususnya pada abad ke-17 dan 18. Tokoh penting seperti John Locke mengemukakan bahwa setiap manusia secara kodrati memiliki hak atas kehidupan, kebebasan, dan milik pribadi (life, liberty, and property), dan bahwa tujuan utama dari pembentukan pemerintahan adalah untuk melindungi hak-hak tersebut.³

Jean-Jacques Rousseau, melalui konsep contract social, mengemukakan bahwa hak-hak individual tidak boleh dikorbankan secara mutlak kepada negara, melainkan harus dilindungi dalam kerangka kehendak umum (volonté générale).⁴ Pemikiran para filsuf ini kemudian mengilhami lahirnya dokumen-dokumen penting seperti Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (1789) di Prancis dan Bill of Rights di Amerika Serikat.

2.3.       Hak Asasi sebagai Hak Alamiah dan Universal

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul dua pendekatan besar dalam teori HAM: natural rights theory dan positivist theory. Teori hak alamiah (natural rights) memandang bahwa HAM bersifat kodrati, universal, dan tidak tergantung pada hukum buatan manusia. Sebaliknya, pendekatan positivistik menekankan bahwa HAM hanya memiliki kekuatan jika ditetapkan secara formal dalam hukum nasional atau internasional.⁵

Seiring dengan pembentukan Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, perdebatan filosofis tersebut bertransformasi menjadi komitmen politis dan hukum internasional. Namun, hingga kini perdebatan filosofis tetap hidup, terutama antara pendekatan universalisme dan relativisme budaya. Pendukung universalisme menyatakan bahwa HAM berlaku untuk semua manusia di segala konteks, sedangkan kaum relativis menilai bahwa nilai-nilai budaya lokal harus dipertimbangkan dalam penerapan HAM.⁶

Dalam pandangan filsuf kontemporer seperti Jack Donnelly, HAM adalah institusi sosial yang diciptakan untuk melindungi martabat manusia dari kekuasaan sewenang-wenang. Ia menekankan bahwa HAM adalah produk historis modern, namun memiliki justifikasi moral yang kuat untuk dianggap universal.⁷


Footnotes

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), Book I.

[2]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: The Constitution of Medina (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1968), 12–14.

[3]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.

[4]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968), 60–65.

[5]                Micheline R. Ishay, The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era (Berkeley: University of California Press, 2004), 85–90.

[6]                Alison Dundes Renteln, International Human Rights: Universalism versus Relativism (Thousand Oaks: Sage Publications, 1990), 18–21.

[7]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 12–17.


3.           Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hasil dari proses historis yang panjang dan kompleks, yang terbentuk melalui dinamika sosial, politik, dan pemikiran filosofis dari berbagai peradaban. Meskipun istilah “hak asasi manusia” baru populer pada abad ke-20, prinsip-prinsip dasarnya telah ada sejak masa lampau dan berkembang seiring perubahan zaman.

3.1.       Periode Klasik dan Abad Pertengahan

Konsep tentang keadilan, kebebasan, dan perlindungan terhadap hak individu telah muncul sejak zaman kuno. Dalam peradaban Mesopotamia, Kode Hammurabi (sekitar 1754 SM) telah berisi prinsip-prinsip hukum yang menjamin perlindungan terhadap warga sipil, meskipun masih bersifat hierarkis dan tidak universal.¹

Pada abad pertengahan, dokumen seperti Magna Carta yang ditandatangani di Inggris pada tahun 1215 oleh Raja John, menandai tonggak penting dalam sejarah pembatasan kekuasaan raja dan pengakuan terhadap hak-hak hukum warga negara, khususnya kaum bangsawan. Magna Carta menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh ditahan secara sewenang-wenang kecuali berdasarkan hukum yang sah” — suatu prinsip yang kemudian menjadi fondasi bagi hak atas proses hukum yang adil.²

Dalam tradisi Islam, Piagam Madinah yang disusun oleh Nabi Muhammad Saw pada tahun 622 M juga menjadi contoh awal perjanjian sosial yang mengakui hak-hak dasar warga masyarakat plural, termasuk hak kebebasan beragama dan hak untuk hidup berdampingan dalam keragaman.³

3.2.       Era Pencerahan dan Revolusi

Pada abad ke-17 dan 18, ide-ide tentang hak individu berkembang pesat di Eropa berkat pengaruh pemikiran Enlightenment. Pemikir seperti John Locke, Montesquieu, dan Rousseau menekankan pentingnya kontrak sosial, pemerintahan terbatas, dan hak kodrati manusia.⁴

Pemikiran ini mempengaruhi munculnya berbagai dokumen penting, seperti:

·                     Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “semua manusia diciptakan sama dan dianugerahi oleh Penciptanya hak-hak yang tidak dapat dicabut.”

·                     Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (1789) di Prancis, yang menegaskan kebebasan, kesetaraan, dan hak milik sebagai hak kodrati dan tidak dapat dicabut.⁵

Dokumen-dokumen ini menjadi dasar normatif bagi perkembangan konstitusi modern dan sistem hukum yang berorientasi pada perlindungan individu dari kekuasaan negara.

3.3.       Abad ke-20: Respons terhadap Tragedi Kemanusiaan

Abad ke-20 menjadi titik balik dalam sejarah HAM, terutama setelah dua perang dunia dan berbagai tragedi kemanusiaan seperti Holocaust. Dunia menyadari perlunya sistem internasional untuk menjamin perlindungan HAM secara global.

Pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan dengan salah satu misinya adalah menjaga hak-hak dasar manusia. Upaya ini menghasilkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Dokumen ini menjadi tonggak historis dan moral yang menyatakan bahwa “pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar bagi kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.”_⁶

Deklarasi ini kemudian diikuti oleh perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat secara hukum, seperti:

·                     International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan

·                     International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) — keduanya diadopsi pada tahun 1966 dan mulai berlaku pada tahun 1976.⁷

Ketiga dokumen ini dikenal sebagai International Bill of Human Rights dan menjadi acuan utama dalam pengembangan norma HAM internasional.

3.4.       Perkembangan Kontemporer dan Regional

Setelah 1948, berbagai sistem perlindungan HAM regional juga berkembang, seperti:

·                     European Convention on Human Rights (1950) dan European Court of Human Rights (1959)

·                     American Convention on Human Rights (1969)

·                     African Charter on Human and Peoples' Rights (1981)

Selain itu, lembaga-lembaga seperti International Criminal Court (ICC) juga dibentuk untuk mengadili kejahatan serius terhadap kemanusiaan, seperti genosida dan kejahatan perang.⁸

Perkembangan ini menandai pergeseran dari konsep HAM sebagai prinsip moral menjadi sistem hukum internasional yang memiliki struktur kelembagaan dan mekanisme penegakan.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 33.

[2]                J.C. Holt, Magna Carta (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 26–30.

[3]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: The Constitution of Medina (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1968), 12–16.

[4]                Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in Locke’s Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 88–91.

[5]                Lynn Hunt, Inventing Human Rights: A History (New York: W. W. Norton & Company, 2007), 119–122.

[6]                United Nations, The Universal Declaration of Human Rights, 1948, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

[7]                United Nations, International Bill of Human Rights, https://www.ohchr.org/en/instruments-list.

[8]                William A. Schabas, An Introduction to the International Criminal Court, 5th ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 14–18.


4.           Jenis-Jenis dan Klasifikasi Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) mencakup spektrum yang luas dari hak-hak yang berkaitan dengan kehidupan, kebebasan, dan kesejahteraan manusia. Seiring dengan perkembangan hukum dan norma internasional, para pemikir dan lembaga HAM telah mengklasifikasikan HAM ke dalam beberapa kategori untuk memudahkan pemahaman dan implementasi. Klasifikasi ini tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat komplementer dan saling terkait dalam rangka melindungi martabat manusia secara utuh.

4.1.       Hak Sipil dan Politik (Civil and Political Rights)

Hak sipil dan politik, sering disebut sebagai “generasi pertama” HAM, mencakup hak-hak yang bertujuan melindungi kebebasan individu dari intervensi negara. Hak-hak ini meliputi:

·                     Hak untuk hidup

·                     Kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi

·                     Kebebasan beragama dan berkeyakinan

·                     Kebebasan berekspresi dan berkumpul

·                     Hak atas perlakuan yang setara di hadapan hukum⁽¹⁾

Hak-hak ini dipertegas dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang mulai berlaku pada tahun 1976. Negara-negara pihak dalam konvensi ini diwajibkan untuk menghormati dan menjamin hak-hak tersebut tanpa diskriminasi.⁽²⁾

4.2.       Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Economic, Social, and Cultural Rights)

Termasuk dalam “generasi kedua” HAM, hak ekonomi, sosial, dan budaya mengatur pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan. Hak-hak ini mencakup:

·                     Hak atas pendidikan

·                     Hak untuk bekerja dan memperoleh upah yang adil

·                     Hak atas jaminan sosial

·                     Hak atas standar hidup yang layak

·                     Hak atas kesehatan dan layanan publik⁽³⁾

Instrumen utama yang menjamin hak-hak ini adalah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Tidak seperti ICCPR yang bersifat segera dan justiciable, pemenuhan hak-hak dalam ICESCR diatur melalui prinsip progressive realization, artinya negara diwajibkan untuk terus bergerak ke arah pemenuhan hak tersebut sesuai kapasitas sumber daya yang tersedia.⁽⁴⁾

4.3.       Hak Kolektif dan Solidaritas (Collective and Solidarity Rights)

Dikenal sebagai “generasi ketiga” HAM, hak kolektif mencerminkan hak-hak yang bersifat komunal dan global. Jenis hak ini menekankan solidaritas antar bangsa dan kelompok sosial dalam menghadapi isu-isu transnasional. Termasuk di dalamnya:

·                     Hak atas pembangunan

·                     Hak atas perdamaian

·                     Hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat

·                     Hak atas kedaulatan bangsa dan penentuan nasib sendiri⁽⁵⁾

Meskipun belum semua hak dalam kategori ini diakui secara eksplisit dalam konvensi internasional yang mengikat, banyak deklarasi dan resolusi PBB yang mendukungnya, seperti Declaration on the Right to Development (1986) dan Stockholm Declaration on the Human Environment (1972).⁽⁶⁾

4.4.       Interdependensi dan Ketakterpisahan HAM

Walaupun klasifikasi ini berguna dalam mengelompokkan hak-hak berdasarkan sifat dan konteksnya, para pakar dan lembaga HAM internasional menekankan bahwa semua jenis HAM bersifat saling terkait (interrelated), saling bergantung (interdependent), dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).⁽⁷⁾ Artinya, pelanggaran terhadap satu jenis hak akan berdampak pada hak-hak lainnya. Sebagai contoh, sulit membayangkan kebebasan berekspresi dapat dijalankan secara efektif jika seseorang hidup dalam kemiskinan ekstrem tanpa akses pendidikan atau informasi.

Pemahaman akan klasifikasi ini penting bukan hanya untuk aspek teoritis, tetapi juga sebagai landasan dalam perumusan kebijakan publik, pendidikan HAM, dan sistem hukum nasional maupun internasional.


Footnotes

[1]                Rhona K. M. Smith, Textbook on International Human Rights, 8th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2022), 100–105.

[2]                United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights, 1966, https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights.

[3]                Paul Hunt, Reclaiming Social Rights: International and Comparative Perspectives (Aldershot: Ashgate, 1996), 44–47.

[4]                Philip Alston and Ryan Goodman, International Human Rights: The Successor to International Human Rights in Context, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 272–275.

[5]                Karel Vasak, “Human Rights: A Thirty-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the Universal Declaration of Human Rights,” UNESCO Courier 30, no. 11 (1977): 29–32.

[6]                United Nations, Declaration on the Right to Development, 1986, https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/declaration-right-development.

[7]                Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), Fact Sheet No. 33: Frequently Asked Questions on Economic, Social and Cultural Rights, 2008, 4.


5.           Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Tingkat Global

Perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di tingkat global merupakan hasil konsensus internasional yang bertujuan menjamin bahwa hak-hak dasar setiap individu diakui dan dilindungi, tanpa memandang kebangsaan, ras, agama, atau status sosial. Setelah tragedi kemanusiaan besar di abad ke-20, komunitas internasional menyadari pentingnya membangun sistem yang mampu mencegah pelanggaran HAM serta memastikan akuntabilitas atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

5.1.       Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi aktor utama dalam perlindungan HAM secara global. Sejak didirikan pada tahun 1945, salah satu tujuan utama PBB adalah untuk "mengembangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang."_¹

Melalui Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UN Human Rights Council/UNHRC) dan Kantor Komisaris Tinggi HAM (Office of the High Commissioner for Human Rights/OHCHR), PBB mengoordinasikan berbagai instrumen dan mekanisme untuk memantau, mengevaluasi, serta memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran HAM di negara-negara anggota. UNHRC memiliki mekanisme Universal Periodic Review (UPR), yang meninjau situasi HAM setiap negara secara berkala berdasarkan laporan pemerintah, LSM, dan organisasi internasional.²

5.2.       Instrumen Hukum Internasional

Untuk menjamin perlindungan HAM secara konkret, komunitas internasional telah menyusun berbagai konvensi dan traktat internasional yang mengikat secara hukum (binding). Di antara yang paling penting adalah:

·                     International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

·                     International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)

·                     Convention against Torture (CAT)

·                     Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)

·                     Convention on the Rights of the Child (CRC)_³

Negara yang meratifikasi perjanjian-perjanjian ini berkewajiban untuk menyesuaikan hukum domestiknya, melaporkan kemajuan implementasi, serta tunduk pada pengawasan oleh komite ahli independen.

Beberapa lembaga HAM internasional juga mengembangkan sistem individual complaints, yaitu mekanisme yang memungkinkan individu atau kelompok untuk mengajukan pengaduan ke komite internasional jika haknya dilanggar dan tidak mendapatkan keadilan di dalam negeri.⁴

5.3.       Pengadilan dan Mekanisme Penegakan Internasional

Salah satu terobosan penting dalam penegakan HAM adalah dibentuknya International Criminal Court (ICC) pada tahun 2002, berdasarkan Statuta Roma 1998. ICC memiliki yurisdiksi atas empat jenis kejahatan internasional: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Pengadilan ini menjadi instrumen penting dalam memerangi impunitas, terutama ketika sistem hukum domestik tidak mampu atau tidak bersedia menindak pelaku.⁵

Selain ICC, terdapat pula pengadilan regional seperti European Court of Human Rights (ECHR) dan Inter-American Court of Human Rights, yang memiliki wewenang untuk mengadili pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara-negara anggota.

Namun, tantangan utama dalam penegakan HAM global adalah sifat non-intervensionisme dalam hukum internasional. Meskipun banyak negara telah meratifikasi berbagai konvensi HAM, implementasi dan kepatuhan mereka sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik, kapasitas institusional, dan dinamika domestik.⁶

5.4.       Peran Organisasi Internasional dan Masyarakat Sipil

Selain negara dan lembaga internasional formal, berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan International Federation for Human Rights (FIDH) memainkan peran penting dalam mendokumentasikan pelanggaran HAM, memberikan tekanan moral kepada pemerintah, serta memperkuat kapasitas masyarakat sipil.

NGO seringkali menjadi jembatan antara individu yang menjadi korban pelanggaran HAM dengan mekanisme hukum internasional. Mereka juga turut serta dalam advokasi normatif, reformasi hukum, dan pendidikan HAM di berbagai negara.⁷


Footnotes

[1]                United Nations Charter, art. 1, para. 3, https://www.un.org/en/about-us/un-charter.

[2]                United Nations Human Rights Council, Universal Periodic Review, https://www.ohchr.org/en/hr-bodies/upr.

[3]                Philip Alston and Ryan Goodman, International Human Rights: The Successor to International Human Rights in Context, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 286–294.

[4]                Rhona K. M. Smith, Textbook on International Human Rights, 8th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2022), 212–215.

[5]                William A. Schabas, An Introduction to the International Criminal Court, 5th ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 30–37.

[6]                Oona A. Hathaway, “Do Human Rights Treaties Make a Difference?” Yale Law Journal 111, no. 8 (2002): 1935–2042.

[7]                Julie Mertus, Bait and Switch: Human Rights and U.S. Foreign Policy (New York: Routledge, 2004), 67–71.


6.           Perlindungan dan Penegakan HAM di Indonesia

Perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia merupakan bagian dari komitmen nasional terhadap prinsip-prinsip keadilan dan martabat manusia, sekaligus merupakan amanat konstitusional yang diperkuat sejak era reformasi. Meskipun Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam aspek legislasi dan kelembagaan HAM, tantangan implementatif dan kultural masih menjadi hambatan serius dalam menjamin pemenuhan hak-hak dasar warga negara.

6.1.       Landasan Konstitusional dan Hukum Nasional

Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), khususnya Pasal 28A hingga 28J, merupakan tonggak penting dalam penguatan perlindungan HAM di Indonesia. Amandemen ini menjamin berbagai hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta menegaskan bahwa hak-hak tersebut tidak dapat dikurangi kecuali oleh undang-undang dalam keadaan tertentu.¹

Selanjutnya, penguatan HAM diwujudkan melalui lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjadi rujukan utama dalam sistem hukum nasional untuk mengatur, menjamin, dan menegakkan hak-hak dasar warga negara. Undang-undang ini juga menjadi dasar pendirian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga independen negara yang bertugas menyelidiki dan memantau pelanggaran HAM.²

Selain itu, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia memperkenalkan sistem peradilan khusus untuk kasus pelanggaran HAM berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam konteks ini, Indonesia mengadopsi prinsip complementarity sebagaimana dalam sistem internasional, yakni pengadilan nasional menjadi garda pertama dalam menindak pelanggaran HAM.³

6.2.       Komnas HAM dan Peran Lembaga Negara

Komnas HAM, yang dibentuk sejak tahun 1993 dan diperkuat secara hukum dalam UU No. 39/1999, berfungsi sebagai pengawas, edukator, sekaligus pelapor independen terhadap kondisi HAM di Indonesia. Komnas HAM memiliki kewenangan menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM, menyampaikan rekomendasi kepada lembaga negara, serta mengadvokasi perbaikan sistem hukum dan kebijakan publik.⁴

Komnas HAM juga menjadi institusi penting dalam dokumentasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti tragedi 1965, penembakan misterius, dan kasus Timor Timur. Meskipun hasil penyelidikan telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung, banyak kasus tersebut masih mengalami hambatan dalam proses yudisial karena faktor politis dan ketidaktegasan institusi penegak hukum.⁵

Selain Komnas HAM, lembaga lain seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga memainkan peran penting dalam melindungi hak-hak kelompok rentan dan mengawasi pelaksanaan pelayanan publik yang berbasis HAM.

6.3.       Tantangan Implementasi dan Kasus Pelanggaran HAM

Meskipun kerangka hukum dan institusional telah tersedia, praktik perlindungan HAM di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan:

·                     Politik impunitas, di mana pelaku pelanggaran HAM berat tidak dihukum secara layak karena kekuasaan politik atau kekosongan hukum.

·                     Kekerasan aparat terhadap masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan demonstran sering terjadi tanpa akuntabilitas yang memadai.

·                     Diskriminasi terhadap kelompok minoritas, termasuk etnis, agama, gender, dan orientasi seksual, masih menjadi problematika serius yang belum ditangani secara tuntas.⁶

Kasus-kasus seperti penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, persekusi terhadap pembela HAM, serta kriminalisasi aktivis lingkungan dan jurnalis di berbagai daerah menjadi sorotan penting dalam laporan tahunan Komnas HAM maupun organisasi HAM internasional.⁷

6.4.       Upaya Perbaikan dan Pendidikan HAM

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM global, seperti ICCPR, ICESCR, CEDAW, dan CRC, serta berpartisipasi aktif dalam Universal Periodic Review (UPR) PBB. Dalam konteks domestik, pemerintah bersama masyarakat sipil telah mendorong pendidikan HAM, baik di lingkungan sekolah, universitas, maupun lembaga pelatihan aparat negara.⁸

Namun demikian, efektivitas perlindungan HAM sangat tergantung pada integritas lembaga penegak hukum, partisipasi aktif warga negara, serta keberanian politik untuk mengatasi hambatan struktural dan kultural yang mengakar.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 28A–28J.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165.

[3]                Republik Indonesia, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 208.

[4]                Komnas HAM, Profil dan Tugas Pokok Komnas HAM, https://www.komnasham.go.id.

[5]                Asvi Warman Adam, Rekonsiliasi dan “Kebenaran” dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2005), 55–58.

[6]                Ifdhal Kasim, “Human Rights in Post-Suharto Indonesia: A Critical Reflection,” Indonesian Journal of International Law 5, no. 3 (2008): 448–451.

[7]                Human Rights Watch, World Report 2023: Indonesia, https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia.

[8]                Dinna Wisnu, “Indonesia’s Human Rights Diplomacy and the Role of Education,” Journal of Human Rights and Peace Studies 3, no. 2 (2017): 75–88.


7.           Isu-Isu Kontemporer dalam Hak Asasi Manusia

Seiring perkembangan zaman, Hak Asasi Manusia (HAM) menghadapi berbagai tantangan baru yang kompleks dan multidimensi. Isu-isu kontemporer dalam HAM tidak lagi terbatas pada pelanggaran yang bersifat konvensional seperti kekerasan negara terhadap warga negara, tetapi juga mencakup persoalan-persoalan baru yang muncul akibat globalisasi, kemajuan teknologi, perubahan iklim, konflik identitas, dan pandemi global. Dalam konteks ini, pendekatan terhadap HAM harus adaptif, interdisipliner, dan berbasis keadilan sosial.

7.1.       HAM dan Teknologi Digital

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membawa implikasi besar terhadap realisasi HAM. Di satu sisi, teknologi digital memperluas ruang kebebasan berekspresi, akses informasi, dan partisipasi publik. Namun, di sisi lain, muncul ancaman serius terhadap hak atas privasi, keamanan data pribadi, serta kebebasan berekspresi yang direpresi melalui surveillance digital, penyensoran internet, dan penyebaran disinformasi.¹

Laporan dari Special Rapporteur on the Right to Privacy mencatat bahwa praktik pengawasan massal oleh negara maupun korporasi swasta telah melanggar prinsip proporsionalitas dan akuntabilitas dalam HAM.² Selain itu, algoritma kecerdasan buatan (AI) juga dapat memicu diskriminasi berbasis ras, gender, atau status sosial jika tidak dikembangkan secara etis dan transparan.³

7.2.       Krisis Iklim dan Hak atas Lingkungan

Krisis iklim telah menjadi ancaman eksistensial bagi jutaan orang dan secara langsung mempengaruhi berbagai hak dasar, seperti hak atas hidup, pangan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak.⁴ Dalam hal ini, muncul pengakuan terhadap hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagai bagian integral dari HAM.

Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 76/300 (2022), hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan secara resmi diakui sebagai HAM universal, menandai pergeseran penting dalam agenda internasional.⁵ Negara-negara dan aktor non-negara kini dituntut untuk mengambil langkah-langkah nyata dalam melindungi lingkungan demi generasi sekarang dan mendatang.

7.3.       HAM dalam Situasi Pandemi

Pandemi COVID-19 menimbulkan tantangan luar biasa bagi penegakan HAM. Banyak negara menerapkan pembatasan mobilitas, kewajiban vaksinasi, dan tindakan darurat lainnya yang sering kali menimbulkan kontroversi antara hak atas kesehatan publik dan kebebasan individu.⁶

Selain itu, pandemi memperburuk ketimpangan sosial, terutama bagi kelompok rentan seperti pekerja informal, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan pentingnya pendekatan HAM dalam kebijakan penanganan pandemi, agar prinsip kesetaraan, partisipasi, dan non-diskriminasi tetap dijaga.⁷

7.4.       Identitas, Intoleransi, dan Polarisasi Sosial

Di banyak negara, termasuk Indonesia, peningkatan intoleransi berbasis agama, etnis, dan orientasi seksual menjadi tantangan besar dalam perlindungan HAM. Polarisasi identitas, baik karena faktor politik maupun sosial-ekonomi, sering dimanfaatkan oleh elit politik untuk mempertajam konflik sosial.⁸

Komisi HAM PBB mengingatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab aktif untuk mencegah ujaran kebencian, menjamin kebebasan beragama, serta melindungi kelompok minoritas dari diskriminasi struktural dan kekerasan berbasis kebencian.⁹ Upaya ini harus dilakukan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip HAM lainnya, seperti kebebasan berekspresi dan kebebasan berkeyakinan.

7.5.       Relativisme Budaya dan Universalitas HAM

Isu perdebatan antara universalisme dan relativisme budaya tetap menjadi sorotan utama dalam wacana HAM kontemporer. Beberapa negara menolak intervensi atas dasar HAM internasional dengan alasan menjaga “nilai lokal” atau “tradisi budaya.” Namun, banyak ahli menegaskan bahwa prinsip-prinsip dasar HAM—seperti larangan penyiksaan, perlindungan terhadap kehidupan, dan kebebasan dari diskriminasi—merupakan standar minimum yang tidak dapat dinegosiasikan.¹⁰

Pendekatan interkultural terhadap HAM, yang menggabungkan nilai-nilai universal dengan sensitivitas budaya, semakin penting untuk menjembatani perbedaan dan membangun konsensus moral global.


Footnotes

[1]                David Kaye, Speech Police: The Global Struggle to Govern the Internet (New York: Columbia Global Reports, 2019), 34–36.

[2]                United Nations Human Rights Council, Report of the Special Rapporteur on the Right to Privacy, A/HRC/46/37, 2021, https://www.ohchr.org.

[3]                Sandra Wachter, Brent Mittelstadt, and Luciano Floridi, “Why a Right to Explanation of Automated Decision-Making Does Not Exist in the General Data Protection Regulation,” International Data Privacy Law 7, no. 2 (2017): 76–99.

[4]                Mary Robinson, Climate Justice: Hope, Resilience, and the Fight for a Sustainable Future (London: Bloomsbury Publishing, 2018), 51–54.

[5]                United Nations General Assembly, Resolution 76/300, 28 July 2022, https://www.un.org/en/ga.

[6]                Başak Çalı and Stuart Wallace, “The Human Rights Implications of the COVID-19 Pandemic,” Netherlands Quarterly of Human Rights 38, no. 2 (2020): 105–110.

[7]                United Nations, COVID-19 and Human Rights: We Are All in This Together, April 2020, https://www.un.org/en/coronavirus/covid-19-and-human-rights.

[8]                Andreas Harsono, “Indonesia: End Discriminatory Laws,” Human Rights Watch, 2021, https://www.hrw.org.

[9]                United Nations, Rabatt Plan of Action on the Prohibition of Incitement to Hatred, 2012, https://www.ohchr.org.

[10]             Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 89–91.


8.           Kesimpulan

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan fondasi universal yang tidak hanya menjamin kebebasan dan kesetaraan, tetapi juga menegaskan martabat setiap individu sebagai manusia. Ia tidak lahir dari ruang hampa, melainkan merupakan hasil dari pergulatan panjang sejarah, pergumulan filsafat, serta tragedi kemanusiaan yang mendorong dunia untuk mencari sistem perlindungan yang lebih adil dan bermartabat.⁽¹⁾

Sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, komunitas internasional telah berkomitmen untuk menjadikan HAM sebagai norma global yang mengikat perilaku negara dan aktor non-negara. Klasifikasi HAM ke dalam hak sipil-politik, ekonomi-sosial-budaya, dan hak kolektif menunjukkan bahwa perlindungan terhadap manusia harus bersifat holistik dan saling berkaitan.⁽²⁾ Namun, komitmen tersebut sering kali terhambat oleh politik kepentingan, penafsiran kultural, serta lemahnya penegakan hukum baik di tingkat internasional maupun nasional.

Dalam konteks global, upaya penegakan HAM diperkuat oleh kehadiran lembaga internasional seperti PBB, ICC, dan berbagai instrumen hukum internasional. Akan tetapi, efektivitasnya sangat dipengaruhi oleh kesediaan negara-negara untuk tunduk pada norma internasional dan membuka diri terhadap evaluasi eksternal.⁽³⁾ Di Indonesia sendiri, kerangka hukum yang sudah relatif lengkap belum sepenuhnya diimbangi oleh implementasi yang konsisten, khususnya dalam menangani pelanggaran HAM berat masa lalu dan menjamin hak kelompok rentan di masa kini.⁽⁴⁾

Isu-isu kontemporer seperti privasi digital, perubahan iklim, pandemi global, intoleransi sosial, dan tantangan terhadap nilai-nilai universalitas menjadi bukti bahwa HAM adalah konsep yang terus berkembang dan membutuhkan interpretasi yang dinamis sesuai dengan konteks zaman.⁽⁵⁾ Dalam hal ini, pendidikan HAM, penguatan masyarakat sipil, serta integritas institusi negara menjadi kunci utama dalam memastikan bahwa HAM tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar menjadi prinsip hidup dalam tata kelola masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan oleh Jack Donnelly, HAM pada dasarnya bukanlah “pemberian” dari negara, melainkan bentuk proteksi moral dan hukum terhadap manusia yang rentan terhadap kekuasaan sewenang-wenang.⁽⁶⁾ Oleh karena itu, menjaga dan menegakkan HAM bukan hanya tugas negara, melainkan merupakan tanggung jawab kolektif umat manusia untuk memastikan dunia yang lebih adil, damai, dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Micheline R. Ishay, The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era (Berkeley: University of California Press, 2004), 3–5.

[2]                Philip Alston and Ryan Goodman, International Human Rights: The Successor to International Human Rights in Context, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 265–268.

[3]                Oona A. Hathaway, “Do Human Rights Treaties Make a Difference?” Yale Law Journal 111, no. 8 (2002): 1935–2042.

[4]                Ifdhal Kasim, “Human Rights in Post-Suharto Indonesia: A Critical Reflection,” Indonesian Journal of International Law 5, no. 3 (2008): 440–451.

[5]                Başak Çalı and Stuart Wallace, “The Human Rights Implications of the COVID-19 Pandemic,” Netherlands Quarterly of Human Rights 38, no. 2 (2020): 105–110.

[6]                Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 17.


Daftar Pustaka

Alston, P., & Goodman, R. (2013). International human rights: The successor to international human rights in context (2nd ed.). Oxford University Press.

Çalı, B., & Wallace, S. (2020). The human rights implications of the COVID-19 pandemic. Netherlands Quarterly of Human Rights, 38(2), 105–110.

Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice (3rd ed.). Cornell University Press.

Hathaway, O. A. (2002). Do human rights treaties make a difference? Yale Law Journal, 111(8), 1935–2042. https://doi.org/10.2307/797642

Holt, J. C. (1992). Magna Carta. Cambridge University Press.

Human Rights Watch. (2021). Indonesia: End discriminatory laws. https://www.hrw.org

Human Rights Watch. (2023). World report 2023: Indonesia. https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia

Ishay, M. R. (2004). The history of human rights: From ancient times to the globalization era. University of California Press.

Kasim, I. (2008). Human rights in post-Suharto Indonesia: A critical reflection. Indonesian Journal of International Law, 5(3), 440–451.

Kaye, D. (2019). Speech police: The global struggle to govern the Internet. Columbia Global Reports.

Komnas HAM. (n.d.). Profil dan tugas pokok Komnas HAM. https://www.komnasham.go.id

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

Mertus, J. (2004). Bait and switch: Human rights and U.S. foreign policy. Routledge.

Office of the High Commissioner for Human Rights. (2008). Fact sheet no. 33: Frequently asked questions on economic, social and cultural rights. https://www.ohchr.org

Republic of Indonesia. (1999). Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165.

Republic of Indonesia. (2000). Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 208.

Republic of Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Kedua).

Renteln, A. D. (1990). International human rights: Universalism versus relativism. Sage Publications.

Robinson, M. (2018). Climate justice: Hope, resilience, and the fight for a sustainable future. Bloomsbury Publishing.

Rousseau, J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin.

Schabas, W. A. (2017). An introduction to the International Criminal Court (5th ed.). Cambridge University Press.

Smith, R. K. M. (2022). Textbook on international human rights (8th ed.). Oxford University Press.

United Nations. (1948). The Universal Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

United Nations. (1986). Declaration on the right to development. https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/declaration-right-development

United Nations. (2020). COVID-19 and human rights: We are all in this together. https://www.un.org/en/coronavirus/covid-19-and-human-rights

United Nations General Assembly. (2022). Resolution 76/300: The human right to a clean, healthy and sustainable environment. https://www.un.org/en/ga

United Nations Human Rights Council. (2021). Report of the Special Rapporteur on the right to privacy, A/HRC/46/37. https://www.ohchr.org

United Nations Human Rights Council. (n.d.). Universal Periodic Review (UPR). https://www.ohchr.org/en/hr-bodies/upr

United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights. (2012). Rabat plan of action on the prohibition of incitement to hatred. https://www.ohchr.org

Vasak, K. (1977). Human rights: A thirty-year struggle. The sustained efforts to give force of law to the Universal Declaration of Human Rights. UNESCO Courier, 30(11), 29–32.

Wachter, S., Mittelstadt, B., & Floridi, L. (2017). Why a right to explanation of automated decision-making does not exist in the General Data Protection Regulation. International Data Privacy Law, 7(2), 76–99. https://doi.org/10.1093/idpl/ipx005

Waldron, J. (2002). God, Locke, and equality: Christian foundations in Locke’s political thought. Cambridge University Press.

Warman Adam, A. (2005). Rekonsiliasi dan “kebenaran” dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia. Gramedia.

Wisnu, D. (2017). Indonesia’s human rights diplomacy and the role of education. Journal of Human Rights and Peace Studies, 3(2), 75–88.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar