Übermensch dalam Filsafat Friedrich Nietzsche
Konsep, Makna, dan Implikasinya
Abstrak
Konsep Übermensch dalam filsafat Friedrich
Nietzsche merupakan gagasan yang menantang manusia untuk melampaui nilai-nilai
moral tradisional dan menciptakan sistem etika serta makna hidupnya sendiri.
Übermensch diperkenalkan dalam Thus Spoke Zarathustra sebagai respons
terhadap kematian Tuhan (Gott ist tot) dan nihilisme, di mana
individu dihadapkan pada krisis eksistensial akibat runtuhnya fondasi moral dan
religius. Artikel ini membahas dasar-dasar pemikiran Nietzsche yang melandasi
konsep Übermensch, termasuk kehendak untuk berkuasa (will to power),
pengulangan abadi (eternal recurrence), serta kritiknya terhadap moralitas
budak dan moralitas tuan.
Selain itu, artikel ini mengeksplorasi
karakteristik utama Übermensch, seperti otonomi moral, keberanian
eksistensial, dan kreativitas dalam penciptaan nilai. Konsep ini tidak
terlepas dari kritik, terutama terkait ambiguitas konseptual, potensi
penyalahgunaan dalam ideologi totalitarian, dan problematika etika. Namun,
berbagai pemikir modern, seperti Michel Foucault dan Abraham Maslow, melihat
nilai positif dalam gagasan ini, terutama dalam pengembangan diri,
eksistensialisme, dan perlawanan terhadap struktur kekuasaan hegemonik.
Implikasi konsep Übermensch dalam kehidupan modern
sangat luas, mencakup filsafat, psikologi, politik, seni, dan teknologi.
Dalam era globalisasi dan digitalisasi, di mana manusia sering kali mencari
makna dalam sistem yang terus berubah, Übermensch menawarkan perspektif untuk
menolak konformitas dan menjalani hidup secara autentik. Meskipun tetap menjadi
subjek perdebatan, gagasan ini terus menginspirasi individu untuk menantang
batas dirinya dan mencapai potensi tertinggi dalam kehidupan.
Kata Kunci: Übermensch, Friedrich Nietzsche, nihilisme,
kehendak untuk berkuasa, pengulangan abadi, moralitas budak, eksistensialisme,
postmodernisme, pengembangan diri, filsafat modern.
PEMBAHASAN
Konsep Übermensch dalam Filsafat Friedrich Nietzsche
1.
Pendahuluan
Konsep Übermensch
(Manusia Unggul) adalah salah satu gagasan paling berpengaruh dalam filsafat
Friedrich Nietzsche (1844–1900). Konsep ini pertama kali diperkenalkan dalam
karyanya Also sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra,
1883–1885) dan menjadi pusat dari filsafat eksistensialnya yang menekankan
transformasi manusia untuk melampaui batas-batas eksistensinya melalui kehendak
yang kuat dan penciptaan nilai-nilai baru.1
Nietzsche menggunakan Übermensch sebagai respons terhadap nihilisme,
yang menurutnya merupakan akibat dari "kematian Tuhan" (Gott
ist tot)—sebuah metafora yang menggambarkan runtuhnya nilai-nilai moral
dan agama tradisional dalam dunia modern.2
1.1. Latar Belakang Munculnya
Konsep Übermensch
Pemikiran Nietzsche lahir
dalam konteks pergolakan intelektual dan budaya Eropa pada abad ke-19. Saat
itu, Eropa mengalami pergeseran besar akibat kemajuan ilmu pengetahuan,
sekularisasi, dan kritik terhadap metafisika tradisional yang sebelumnya
mendominasi pemikiran filsafat Barat.3
Nietzsche mengkritik agama Kristen karena dianggap membelenggu potensi manusia
dengan konsep moralitas budak (slave morality), yang menekankan
kelemahan, kepasrahan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai transendental yang
tidak lagi relevan dalam dunia yang berkembang pesat.4
Sebagai alternatif terhadap
nihilisme yang mengancam manusia modern, Nietzsche memperkenalkan Übermensch
sebagai model manusia yang mampu mengatasi keterbatasan moralitas lama dan
menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan kehendak sendiri.5
Konsep ini bukan sekadar tentang keunggulan biologis atau dominasi fisik,
tetapi lebih pada pencapaian spiritual dan intelektual, di mana individu mampu
mendefinisikan ulang makna kehidupan secara mandiri tanpa bergantung pada
otoritas eksternal, seperti agama atau ideologi yang mengekang kebebasan
berpikir.6
1.2.
Relevansi Konsep Übermensch dalam Filsafat
Modern dan Postmodern
Gagasan Übermensch memiliki
dampak besar dalam berbagai aliran filsafat modern dan postmodern. Eksistensialisme,
misalnya, banyak terinspirasi oleh pemikiran Nietzsche, terutama dalam gagasan
tentang kebebasan individu dan penciptaan makna dalam dunia yang absurd.7
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, dua tokoh utama eksistensialisme, mengadopsi
beberapa elemen dari pemikiran Nietzsche, meskipun dengan penafsiran yang
berbeda, terutama dalam kaitannya dengan kebebasan dan tanggung jawab moral
manusia.8
Selain itu, postmodernisme
juga mengadopsi banyak aspek dari kritik Nietzsche terhadap kebenaran absolut
dan struktur kekuasaan yang melembaga dalam budaya dan politik.9
Michel Foucault, misalnya, menggunakan pendekatan genealogis Nietzschean untuk
menganalisis bagaimana wacana kekuasaan membentuk subjektivitas manusia,
sehingga mengajak individu untuk terus menggugat narasi-narasi besar yang
membentuk dunia mereka.10
Dalam ranah psikologi, Carl
Jung mengaitkan konsep Übermensch dengan pencapaian individuasi dalam teori
psikologi analitisnya, yang menekankan pentingnya perkembangan kepribadian yang
utuh dan mandiri.11 Sementara itu, dalam
bidang politik dan sosial, konsep ini sering kali disalahpahami dan
disalahgunakan, terutama dalam ideologi supremasi rasial pada abad ke-20,
meskipun Nietzsche sendiri menolak interpretasi rasis terhadap gagasannya.12
1.3.
Tujuan dan Ruang Lingkup Pembahasan
Artikel ini bertujuan untuk
menjelaskan konsep Übermensch secara sistematis dengan menelusuri akar
pemikirannya dalam karya-karya Nietzsche, menyoroti karakteristik utama
Übermensch, serta membahas relevansinya dalam konteks filsafat dan budaya
kontemporer. Selain itu, artikel ini juga akan membahas berbagai kritik
terhadap konsep ini serta kesalahpahaman yang muncul terkait gagasan Nietzsche.
Dengan demikian, pembaca diharapkan dapat memahami bagaimana Übermensch bukan
hanya sekadar mitos atau idealisme utopis, tetapi sebuah dorongan bagi manusia
untuk melampaui batas dirinya dan menciptakan makna kehidupannya sendiri dalam
dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and
None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 12–14.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), 181–183.
[3]
Julian Young, Nietzsche's Philosophy of Religion (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 45.
[4]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 251–252.
[5]
Robert C. Solomon, Living with Nietzsche: What the Great
"Immoralist" Has to Teach Us (Oxford: Oxford University Press,
2003), 67.
[6]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj.
Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 187.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 32.
[8]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New
York: Vintage, 1991), 89.
[9]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, terj. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 23.
[10]
Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 44.
[11]
Carl G. Jung, Memories, Dreams, Reflections, terj. Clara
Winston dan Richard Winston (New York: Pantheon, 1963), 210.
[12]
Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the
Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
2018), 76.
2.
Biografi
Singkat Friedrich Nietzsche
2.1.
Kehidupan dan Latar Belakang Intelektual
Friedrich Wilhelm Nietzsche
lahir pada 15 Oktober 1844 di Röcken, Prusia (sekarang Jerman), dalam keluarga
Lutheran yang sangat religius. Ayahnya, Carl Ludwig Nietzsche, adalah seorang
pendeta Protestan, sementara ibunya, Franziska Oehler, berasal dari keluarga
penganut Lutheran yang taat.1 Namun, ketika Nietzsche
berusia lima tahun, ayahnya meninggal akibat penyakit otak, diikuti oleh
kematian adiknya, Joseph, setahun kemudian. Kejadian ini memberi dampak besar
terhadap perkembangan psikologis dan intelektualnya.2
Sejak kecil, Nietzsche
menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam studi humaniora dan filologi. Pada usia
14 tahun, ia diterima di Schulpforta, sekolah bergengsi yang terkenal dengan
kurikulum ketat dalam bahasa klasik dan sastra.3 Setelah
menyelesaikan pendidikannya di sana, ia melanjutkan studi di Universitas Bonn
pada tahun 1864, mengambil jurusan teologi dan filologi klasik. Namun, dalam
waktu singkat, ia meninggalkan teologi dan sepenuhnya berfokus pada filologi,
di bawah bimbingan profesor terkenal Friedrich Ritschl.4
Pada tahun 1869, pada usia 24
tahun, Nietzsche menjadi profesor filologi klasik di Universitas Basel, Swiss,
tanpa harus menyelesaikan gelar doktor terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan
reputasi akademiknya yang luar biasa di usia muda.5 Namun,
meskipun kariernya sebagai filolog sangat menjanjikan, minatnya terhadap
filsafat semakin berkembang, terutama setelah membaca karya-karya Arthur
Schopenhauer dan menjalin hubungan intelektual dengan komposer Richard Wagner.6
2.2.
Pengaruh yang Membentuk Pemikirannya
Pemikiran Nietzsche sangat
dipengaruhi oleh tiga tokoh utama:
1)
Arthur
Schopenhauer – Dalam Die Welt als Wille und Vorstellung
(The
World as Will and Representation), Schopenhauer menggambarkan dunia
sebagai ekspresi dari kehendak yang buta dan tanpa tujuan. Nietzsche
terinspirasi oleh gagasan tentang "kehendak" ini, tetapi menolak
pesimisme Schopenhauer dan justru mengembangkan konsep will to
power (kehendak untuk berkuasa) sebagai dasar eksistensi manusia.7
2)
Richard
Wagner – Nietzsche awalnya mengagumi Wagner sebagai seorang
seniman revolusioner yang mewujudkan semangat Dionysian dalam seni. Namun, ia
kemudian berbalik menentang Wagner karena melihatnya sebagai sosok yang semakin
dipengaruhi oleh nilai-nilai Kristen dan nasionalisme Jerman yang Nietzsche
anggap regresif.8
3)
Ilmu
Pengetahuan dan Sekularisme Modern – Munculnya gagasan
Darwinisme dan kritik terhadap metafisika tradisional di abad ke-19 turut
mempengaruhi pemikiran Nietzsche, terutama dalam kritiknya terhadap agama dan
moralitas konvensional.9
2.3.
Masa Kritis dan Kehancuran Mental
Pada tahun 1879, kesehatan
Nietzsche memburuk akibat penyakit kronis yang menyebabkan sakit kepala parah
dan gangguan penglihatan. Ia terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya di
Universitas Basel dan menjalani hidup sebagai pengembara intelektual,
berpindah-pindah antara Swiss, Italia, dan Prancis sambil menulis
karya-karyanya yang paling berpengaruh.10
Dalam periode antara 1883 dan
1885, Nietzsche menulis Also sprach Zarathustra, yang memperkenalkan
konsep Übermensch dan "kematian Tuhan". Buku ini awalnya tidak
mendapat perhatian luas, tetapi kemudian menjadi salah satu karya filsafat
paling berpengaruh sepanjang sejarah.11 Pada tahun-tahun
berikutnya, ia menulis Jenseits von Gut und Böse (Beyond Good and
Evil, 1886) dan Zur Genealogie der Moral (On the Genealogy of
Morals, 1887), yang memperkuat kritiknya terhadap nilai-nilai moral
tradisional dan menawarkan perspektif baru tentang kekuasaan dan moralitas.12
Namun, pada Januari 1889,
Nietzsche mengalami gangguan mental yang parah di Turin, Italia. Menurut
beberapa laporan, ia mengalami kejang emosional setelah melihat seorang kusir
kuda mencambuk kudanya dengan kejam, yang kemudian diikuti dengan delusi
megalomania, di mana ia mengklaim sebagai berbagai tokoh historis seperti
Dionysus dan Yesus.13 Setelah kejadian itu, ia
dirawat di klinik psikiatri di Basel dan kemudian di bawah perawatan ibunya di
Naumburg. Kondisi mentalnya terus memburuk, dan ia menghabiskan sisa hidupnya
dalam keadaan tidak sadarkan diri hingga meninggal dunia pada 25 Agustus 1900
di Weimar.14
2.4.
Karya-Karya Utama yang Mendasari Konsep
Übermensch
Selama hidupnya, Nietzsche
menulis banyak karya yang menjadi dasar bagi perkembangan konsep Übermensch.
Beberapa di antaranya adalah:
·
Die Geburt der Tragödie (The
Birth of Tragedy, 1872) – Menjelaskan konsep Apollonian dan
Dionysian dalam seni dan budaya.15
·
Menschliches, Allzumenschliches (Human,
All Too Human, 1878) – Kritik terhadap moralitas konvensional dan
eksplorasi nilai-nilai baru.16
·
Also sprach Zarathustra (Thus
Spoke Zarathustra, 1883–1885) – Karya utama yang memperkenalkan
Übermensch dan konsep kehendak untuk berkuasa.17
·
Jenseits von Gut und Böse (Beyond
Good and Evil, 1886) – Analisis mendalam tentang filsafat moral dan
kritik terhadap dogma intelektual.18
·
Zur Genealogie der Moral (On the
Genealogy of Morals, 1887) – Kritik terhadap asal-usul moralitas
Kristen dan pengaruhnya terhadap peradaban Barat.19
Karya-karya ini membentuk
dasar dari gagasan Nietzsche tentang Übermensch sebagai sosok yang mampu
melampaui keterbatasan moralitas tradisional dan menciptakan nilai-nilai baru
yang lebih afirmatif terhadap kehidupan.
Footnotes
[1]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj.
Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 3.
[2]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 8.
[3]
Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, 12.
[4]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 14.
[5]
Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography, 25.
[6]
Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, 52.
[7]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation,
terj. E.F.J. Payne (New York: Dover, 1969), 17.
[8]
Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
132.
[9]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 49.
[10]
Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography, 145.
[11]
Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist,
238.
[13]
Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, 307.
[14]
Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography, 357.
[15]
Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, terj. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 5.
[16]
Nietzsche, Human, All Too Human, terj. R.J. Hollingdale
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 22.
[17]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 28.
[18]
Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter Kaufmann (New
York: Vintage, 1966), 34.
[19]
Nietzsche, On the Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann
dan R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1967), 79.
3.
Konsep
Übermensch: Definisi dan Makna
3.1.
Pengertian Übermensch dalam Filsafat Nietzsche
Konsep Übermensch
(Manusia Unggul atau Overman) merupakan salah satu gagasan sentral dalam
filsafat Friedrich Nietzsche, yang pertama kali diperkenalkan dalam Also
sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra,
1883–1885). Nietzsche menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sosok manusia
yang mampu melampaui nilai-nilai moral tradisional dan menciptakan nilai-nilai
baru berdasarkan kehendaknya sendiri.1 Übermensch bukanlah sekadar
sosok yang lebih kuat secara fisik atau intelektual, melainkan individu yang
memiliki keberanian untuk hidup secara autentik, tanpa terikat oleh dogma agama
atau etika konvensional yang dianggap Nietzsche sebagai bentuk moralitas budak
(slave morality).2
Nietzsche berpendapat bahwa
manusia saat ini berada dalam tahap transisi dan harus berusaha melampaui
dirinya sendiri menuju Übermensch. Ia menggambarkan proses ini dalam metafora
"tiga transformasi jiwa" dalam Thus Spoke Zarathustra:
manusia harus berubah dari unta (yang tunduk pada beban nilai
lama), menjadi singa (yang menolak nilai lama tetapi masih
berjuang melawan), hingga akhirnya menjadi anak kecil (simbol
penciptaan nilai baru yang bebas).3 Dengan demikian, Übermensch
adalah individu yang berhasil melampaui tahapan ini dan mampu hidup sesuai
dengan kehendak untuk berkuasa (will to power).
3.2.
Hubungan Übermensch dengan Nihilisme dan
Kematian Tuhan
Konsep Übermensch sangat erat
kaitannya dengan gagasan "kematian Tuhan" (Gott
ist tot), yang Nietzsche ungkapkan dalam Die
fröhliche Wissenschaft (The Gay Science,
1882). Pernyataan ini bukanlah klaim ateistis yang sederhana, tetapi lebih
merupakan pengakuan bahwa nilai-nilai moral dan kepercayaan tradisional yang
berakar pada agama telah kehilangan relevansinya dalam dunia modern.4
Nietzsche melihat nihilisme sebagai akibat langsung dari kematian Tuhan, yaitu
kondisi di mana manusia tidak lagi memiliki pegangan nilai yang stabil.
Dalam menghadapi nihilisme
ini, manusia memiliki dua pilihan: tetap terjebak dalam keterpurukan
eksistensial atau melampaui dirinya sendiri menuju Übermensch. Übermensch
adalah jawaban Nietzsche terhadap nihilisme, karena ia menciptakan nilai-nilai
baru yang berakar pada keberanian untuk hidup tanpa ilusi moralitas lama.5
Ia bukan sekadar menggantikan Tuhan dengan doktrin baru, tetapi justru
mengajarkan bahwa manusia harus menjadi pencipta maknanya sendiri. Dalam Thus
Spoke Zarathustra, Nietzsche menggambarkan Übermensch sebagai sosok
yang menari di atas kehampaan nilai lama dan tidak terbelenggu oleh kesedihan
akan kehilangan makna yang datang bersama nihilisme.6
3.3.
Perbedaan antara Übermensch dan Manusia Biasa
(Der Letzte Mensch)
Nietzsche membandingkan Übermensch
dengan sosok der letzte Mensch (Manusia
Terakhir), yaitu individu yang pasif, takut akan perubahan, dan lebih memilih
kenyamanan serta keamanan dibandingkan dengan pencarian makna sejati.7
Manusia Terakhir adalah simbol dari masyarakat yang terjebak dalam kebosanan
dan konformitas, di mana individu tidak lagi memiliki aspirasi untuk melampaui
dirinya sendiri. Ia menerima nilai-nilai moral dan sosial tanpa mempertanyakan,
serta lebih tertarik pada hiburan dan kesenangan material dibandingkan dengan
pencarian makna hidup yang lebih dalam.8
Dalam pandangan Nietzsche,
kebanyakan manusia cenderung memilih jalan Manusia Terakhir karena lebih mudah
dan nyaman. Namun, bagi mereka yang berani menolak status quo dan menghadapi
tantangan eksistensial, jalan menuju Übermensch tetap terbuka. Nietzsche
melihat Übermensch sebagai tujuan evolusi manusia, di mana individu tidak lagi
bergantung pada nilai-nilai eksternal, tetapi menemukan kekuatan dalam dirinya
sendiri untuk menciptakan kehidupan yang memiliki makna otentik.9
3.4.
Kesalahpahaman terhadap Konsep Übermensch
Meskipun konsep Übermensch
telah menjadi salah satu gagasan filsafat yang paling berpengaruh dalam
pemikiran modern, ia juga sering disalahpahami dan disalahgunakan. Salah satu
distorsi terbesar terhadap konsep ini terjadi pada awal abad ke-20, ketika para
pemikir Nazi mencoba mengaitkannya dengan teori superioritas rasial. Namun,
Nietzsche sendiri tidak pernah mengajarkan supremasi ras tertentu. Sebaliknya,
ia menolak nasionalisme dan antisemitisme, serta menekankan bahwa Übermensch
adalah pencapaian individu, bukan kelompok atau bangsa tertentu.10
Selain itu, beberapa
interpretasi populer juga menggambarkan Übermensch sebagai sosok yang bebas
melakukan apa pun yang diinginkannya, termasuk tindakan amoral atau tirani.
Interpretasi ini tidak sepenuhnya benar, karena Nietzsche tidak mengajarkan
anarki atau kehancuran tanpa tujuan, melainkan penciptaan nilai yang lebih
tinggi sebagai bentuk perwujudan will to power yang positif.11
Dengan kata lain, Übermensch bukanlah tiran yang menindas orang lain, tetapi
individu yang menguasai dirinya sendiri dan hidup dengan keberanian serta
kreativitas yang tinggi.
Kesimpulan
Konsep Übermensch dalam
filsafat Nietzsche adalah sebuah ajakan bagi manusia untuk melampaui
batas-batas dirinya dan menciptakan makna baru dalam hidupnya. Dengan menolak
nihilisme dan dogma moralitas lama, Übermensch hadir sebagai simbol individu
yang berani menghadapi realitas tanpa ilusi dan menjalani kehidupan dengan
penuh kekuatan serta kehendak kreatif. Konsep ini bukan sekadar doktrin
kekuasaan atau superioritas, melainkan sebuah proyek eksistensial bagi manusia
untuk mencapai potensinya yang tertinggi.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra: A Book for All and None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 12.
[2]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher,
Psychologist, Antichrist (Princeton:
Princeton University Press, 1974), 251.
[3]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 54.
[4]
Friedrich Nietzsche, The
Gay Science, terj. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), 181.
[5]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A
Philosophical Biography, terj.
Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 211.
[6]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A
Philosophical Biography (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 234.
[7]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 46.
[8]
Kaufmann, Nietzsche: Philosopher,
Psychologist, Antichrist, 315.
[9]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 78.
[10]
Ronald Beiner, Dangerous Minds:
Nietzsche, Heidegger, and the Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
2018), 102.
[11]
Gary Shapiro, Nietzschean Narratives (Bloomington: Indiana University Press, 1989), 89.
4.
Dasar-Dasar
Pemikiran Nietzsche tentang Übermensch
Konsep Übermensch
dalam filsafat Friedrich Nietzsche tidak muncul secara terisolasi, tetapi
berakar pada beberapa gagasan fundamental yang menjadi inti dari filsafatnya.
Tiga konsep utama yang membentuk dasar pemikiran tentang Übermensch adalah kehendak
untuk berkuasa (will to power), pengulangan abadi
(eternal recurrence), dan kritik terhadap moralitas tradisional
melalui dikotomi moralitas budak dan moralitas tuan.
Gagasan-gagasan ini saling terkait dalam membentuk kerangka filosofis yang
mendukung ide tentang manusia yang mampu melampaui batas dirinya dan
menciptakan nilai-nilai baru.
4.1.
Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power)
Salah satu prinsip mendasar
dalam filsafat Nietzsche adalah konsep kehendak untuk berkuasa
(der Wille zur Macht), yang ia anggap sebagai kekuatan pendorong utama
dalam kehidupan. Nietzsche menolak pandangan tradisional yang melihat manusia
sebagai makhluk yang digerakkan oleh rasionalitas atau keinginan akan
kebahagiaan semata. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kehidupan didorong oleh
dorongan fundamental untuk menegaskan diri, berkembang, dan mengatasi
tantangan.1
Dalam Thus Spoke
Zarathustra, Nietzsche menghubungkan kehendak untuk berkuasa dengan proses
penciptaan nilai-nilai baru. Übermensch adalah individu yang sepenuhnya
menyadari kehendaknya untuk berkuasa dan menggunakan kebebasannya untuk
menciptakan makna baru dalam hidupnya.2 Ini
berarti bahwa Übermensch tidak tunduk pada nilai-nilai moral yang telah mapan,
tetapi berani merumuskan nilai-nilai yang lebih tinggi berdasarkan potensi
dirinya sendiri.
Konsep ini juga dapat dilihat
sebagai kritik terhadap Schopenhauerian Will, di mana Arthur
Schopenhauer memandang kehendak sebagai dorongan buta yang membawa penderitaan.
Nietzsche justru melihat kehendak sebagai kekuatan afirmatif yang memungkinkan
manusia untuk berkembang dan melampaui batas dirinya sendiri.3
Oleh karena itu, Übermensch bukan hanya seseorang yang memiliki kekuatan fisik
atau intelektual, tetapi juga seseorang yang mampu menegaskan hidupnya dengan
penuh keberanian dan kreativitas.
4.2.
Pengulangan Abadi (Eternal Recurrence)
Gagasan pengulangan
abadi (die ewige Wiederkunft) adalah konsep yang diajukan
Nietzsche dalam The Gay Science dan dikembangkan lebih lanjut dalam Thus
Spoke Zarathustra. Nietzsche mengajukan pertanyaan hipotesis: "Bagaimana
jika seseorang memberi tahu bahwa hidup ini akan terulang kembali dengan cara
yang persis sama, berulang tanpa akhir?"4
Ide ini bukan sekadar teori
kosmologis, tetapi lebih merupakan ujian eksistensial. Jika seseorang
benar-benar dapat menerima hidupnya dengan seluruh penderitaan dan
kegembiraannya tanpa penyesalan dan bersedia menghidupinya berulang kali tanpa
perubahan, maka ia telah mencapai kondisi Übermensch.5
Dengan kata lain, Übermensch adalah individu yang tidak hanya menerima
kehidupannya, tetapi juga merayakan dan menegaskan keberadaannya dalam segala
aspeknya.
Konsep pengulangan abadi
mengajarkan bahwa kehidupan ini tidak memiliki makna intrinsik yang diberikan
oleh dunia luar, sehingga manusia harus menciptakan maknanya sendiri.
Übermensch adalah sosok yang menjalani kehidupannya dengan sepenuh hati,
seolah-olah ia akan mengulanginya selamanya, tanpa rasa takut atau penyesalan.6
4.3.
Kritik terhadap Moralitas: Moralitas Budak dan
Moralitas Tuan
Nietzsche juga mengembangkan
kritik radikal terhadap sistem moral tradisional, yang ia bahas dalam Beyond
Good and Evil dan On the Genealogy of Morals. Ia membedakan
antara moralitas budak (slave morality) dan moralitas
tuan (master morality), dua bentuk moralitas yang menurutnya
telah membentuk peradaban manusia.7
·
Moralitas
Tuan: Moralitas ini adalah sistem nilai yang diciptakan oleh
individu kuat yang menegaskan hidup mereka berdasarkan kehendak untuk berkuasa.
Nilai-nilai seperti keberanian, kebanggaan, dan kemandirian dihargai dalam
moralitas ini. Nietzsche menganggap moralitas ini sebagai bentuk kehidupan yang
lebih tinggi, karena ia tidak didasarkan pada rasa takut atau kebencian
terhadap orang lain.8
·
Moralitas
Budak: Moralitas ini muncul sebagai reaksi terhadap moralitas
tuan dan biasanya dikaitkan dengan nilai-nilai Kristen. Moralitas budak
mendorong nilai-nilai seperti kerendahan hati, belas kasihan, dan kepasrahan,
yang menurut Nietzsche berakar pada kebencian (ressentiment) terhadap mereka yang
lebih kuat. Moralitas ini menciptakan konsep dosa dan kejahatan untuk menekan
kehendak untuk berkuasa dan menundukkan individu yang potensial menjadi
Übermensch.9
Übermensch adalah sosok yang
berhasil melepaskan diri dari belenggu moralitas budak dan menciptakan
moralitasnya sendiri. Ia tidak tunduk pada nilai-nilai yang dipaksakan oleh
masyarakat, agama, atau tradisi, tetapi mendefinisikan kebaikan dan keburukan
berdasarkan potensinya sendiri.10
Kesimpulan
Ketiga konsep utama—kehendak
untuk berkuasa, pengulangan abadi, dan kritik
terhadap moralitas—menjadi dasar filosofis dari konsep Übermensch
dalam pemikiran Nietzsche. Übermensch bukan hanya individu yang memiliki
kekuatan fisik atau intelektual yang lebih tinggi, tetapi seseorang yang
memiliki keberanian untuk menciptakan nilai-nilai baru dan menjalani kehidupan
dengan penuh afirmasi. Dengan menolak nihilisme dan moralitas budak, Übermensch
menjelma sebagai simbol dari kemungkinan tertinggi dalam eksistensi manusia.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, terj. Walter Kaufmann
dan R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1967), 12.
[2]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and
None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 22.
[3]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 187.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), 273.
[5]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj.
Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 242.
[6]
Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge:
Harvard University Press, 1985), 152.
[7]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 259.
[8]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 323.
[9]
Nietzsche, On the Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann
dan R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1967), 85.
[10]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 108.
5.
Karakteristik
Übermensch
Konsep Übermensch
dalam filsafat Friedrich Nietzsche bukan sekadar gagasan abstrak, melainkan
sebuah ideal manusia yang memiliki karakteristik khusus. Übermensch adalah
individu yang berhasil melampaui batas-batas nilai moral konvensional dan
menciptakan makna hidupnya sendiri. Ia menolak nihilisme pasif dan hidup dengan
kehendak untuk berkuasa (will to power), kemandirian
moral, keberanian eksistensial, serta kreativitas
dalam penciptaan nilai. Karakteristik ini menjadikan Übermensch
sebagai sosok yang tidak hanya menolak dogma lama, tetapi juga aktif membentuk
realitas baru berdasarkan potensinya sendiri.
5.1.
Individu yang Menciptakan Nilai-Nilai Baru
Salah satu ciri utama
Übermensch adalah kemampuannya untuk menciptakan nilai-nilai baru secara
mandiri. Nietzsche mengkritik sistem moral tradisional, terutama moralitas
Kristen, karena dianggap membelenggu kebebasan manusia melalui konsep dosa,
kepatuhan, dan pengorbanan diri.1 Dalam Thus Spoke
Zarathustra, ia menggambarkan bagaimana Übermensch tidak tunduk pada
moralitas budak yang didasarkan pada rasa takut atau kebencian (ressentiment),
tetapi berani mendefinisikan nilai-nilainya sendiri sesuai dengan kehendak
untuk berkuasa.2
Bagi Nietzsche, manusia yang
masih tunduk pada nilai lama tidak berbeda dengan der letzte Mensch
(Manusia Terakhir), yaitu sosok yang pasif dan mencari kenyamanan daripada
pencarian makna sejati.3 Übermensch, sebaliknya,
adalah individu yang memiliki keberanian untuk menjalani kehidupan tanpa ilusi
moralitas lama dan mampu menciptakan nilai-nilai yang lebih affirmatif terhadap
kehidupan.
5.2.
Otonomi dan Kemandirian Moral
Übermensch tidak tunduk pada
otoritas eksternal, baik itu agama, negara, atau norma sosial yang telah mapan.
Ia memiliki kemandirian moral dan autonomi penuh
dalam menentukan jalannya sendiri. Dalam Beyond Good and Evil,
Nietzsche menekankan bahwa moralitas konvensional sering kali merupakan hasil
dari nilai-nilai yang dipaksakan oleh mereka yang berkuasa untuk mengendalikan
massa.4 Oleh karena itu, Übermensch tidak sekadar menolak
nilai lama, tetapi juga menggantinya dengan standar etika yang ia ciptakan
sendiri berdasarkan kehendak yang kuat.
Kemandirian ini membuat
Übermensch tidak terikat oleh konsep tradisional tentang baik dan buruk. Ia
tidak hidup dalam batasan nilai-nilai lama yang dikonstruksikan oleh masyarakat,
melainkan menciptakan sistem moralnya sendiri yang lebih sesuai dengan
potensinya.5 Namun, ini bukan berarti
bahwa Übermensch hidup dalam kekacauan moral atau bertindak sesuka hati tanpa
tanggung jawab, melainkan ia bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang ia
yakini sebagai lebih unggul daripada moralitas konvensional.
5.3.
Keberanian dalam Menghadapi Absurditas Hidup
Nietzsche memahami bahwa
hidup ini tidak memiliki makna intrinsik yang diberikan oleh Tuhan atau hukum
alam. Karena itu, ia melihat nihilisme sebagai tantangan yang harus diatasi
manusia untuk menemukan maknanya sendiri. Übermensch adalah individu yang
memiliki keberanian eksistensial untuk menerima kondisi dunia
yang tidak pasti dan menciptakan makna kehidupannya tanpa bergantung pada dogma
eksternal.6
Konsep ini erat kaitannya
dengan gagasan pengulangan abadi (eternal recurrence),
di mana seseorang harus hidup seolah-olah ia akan mengalami kehidupannya
berulang kali tanpa akhir.7 Nietzsche menganggap bahwa
hanya mereka yang mampu menerima tantangan ini dengan penuh keberanian dan
afirmasi yang dapat disebut sebagai Übermensch. Mereka yang menolak menghadapi
realitas dan tetap bertahan dalam nihilisme pasif tidak akan pernah mencapai
tingkat keberadaan ini.
5.4.
Keseimbangan antara Rasionalitas dan Naluri
Nietzsche membagi realitas
manusia menjadi dua aspek utama, yaitu Apollonian
(rasionalitas, keteraturan, dan harmoni) dan Dionysian
(naluri, kreativitas, dan kekacauan). Dalam The Birth of Tragedy, ia
menjelaskan bahwa budaya Yunani kuno berhasil mencapai puncak kejayaannya
karena mampu menyeimbangkan dua elemen ini.8
Übermensch juga harus mampu menemukan keseimbangan antara dua aspek tersebut
dalam dirinya.
Übermensch tidak hidup dengan
tunduk sepenuhnya pada aturan rasional seperti kaum moralist, tetapi juga tidak
tenggelam dalam impuls liar yang destruktif. Sebaliknya, ia mampu menggunakan
naluri dan rasionalitasnya secara harmonis untuk menciptakan kehidupan yang
penuh dengan keberanian, kreativitas, dan keteguhan prinsip.9
5.5.
Kreativitas dan Kehidupan sebagai Karya Seni
Nietzsche sering
menggambarkan kehidupan sebagai sebuah karya seni yang harus
diciptakan dengan penuh kebebasan dan kreativitas. Übermensch adalah sosok yang
tidak hanya menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi juga membentuk realitasnya
sendiri melalui tindakan dan penciptaan nilai-nilai baru.10
Ia melihat kehidupan sebagai sesuatu yang harus dihayati dengan gaya,
bukan sekadar dijalani secara pasif.
Dalam konteks ini, Nietzsche
mengkritik mereka yang menjalani hidup dengan cara yang monoton dan penuh
kompromi. Übermensch, sebaliknya, adalah individu yang merayakan kehidupan dan
menjadikannya sebagai ekspresi dari kehendak kreatifnya sendiri.11
Kesimpulan
Karakteristik Übermensch
tidak terbatas pada kekuatan fisik atau kecerdasan intelektual semata, tetapi
lebih kepada keberanian eksistensial dan kebebasan dalam menciptakan
nilai-nilai baru. Übermensch adalah individu yang menolak nihilisme pasif,
memiliki kemandirian moral, serta menjalani hidup dengan penuh afirmasi dan
kreativitas. Dengan demikian, ia bukan hanya sosok yang kuat, tetapi juga
seseorang yang mampu menegaskan kehidupannya tanpa bergantung pada dogma
eksternal. Nietzsche melihat Übermensch sebagai tujuan evolusi manusia yang
sesungguhnya, di mana individu mampu melampaui batas dirinya dan menciptakan
makna hidup yang autentik.
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, terj. Walter
Kaufmann dan R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1967), 87.
[2]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and
None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 22.
[3]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 46.
[4]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 102.
[5]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 214.
[6]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj.
Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 242.
[7]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), 273.
[8]
Nietzsche, The Birth of Tragedy, terj. Walter Kaufmann (New
York: Vintage, 1967), 25.
[9]
Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 145.
[10]
Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge:
Harvard University Press, 1985), 162.
[11]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 108.
6.
Kritik
dan Perdebatan tentang Übermensch
Konsep Übermensch
dalam filsafat Friedrich Nietzsche telah menjadi salah satu gagasan yang paling
kontroversial dalam sejarah pemikiran modern. Sejak pertama kali diperkenalkan
dalam Thus Spoke Zarathustra, ide ini telah memicu berbagai
interpretasi, baik dalam ranah filsafat, politik, hingga budaya populer. Kritik
terhadap Übermensch datang dari berbagai kalangan, termasuk filsuf
eksistensialis, pemikir postmodern, dan bahkan para intelektual politik. Tiga
kritik utama yang sering diajukan terhadap konsep ini mencakup ambiguitas
konseptual, potensi penyalahgunaan dalam politik, dan
permasalahan etika dalam filsafat moral.
6.1.
Kritik terhadap Ambiguitas Konseptual
Salah satu kritik utama
terhadap Übermensch adalah sifatnya yang ambigu dan sulit untuk didefinisikan
secara konkret. Banyak filsuf berpendapat bahwa Nietzsche sendiri tidak
memberikan batasan yang jelas tentang bagaimana seseorang dapat mencapai status
Übermensch atau bagaimana karakteristiknya dapat diukur secara objektif.1
Karl Jaspers, seorang
eksistensialis dan ahli filsafat Nietzsche, berpendapat bahwa Übermensch lebih
merupakan "citra mitologis" daripada konsep yang dapat
diterapkan dalam realitas sosial.2 Ia
melihat bahwa Nietzsche menggunakan gaya bahasa yang puitis dan simbolis dalam Thus
Spoke Zarathustra, yang membuat konsep Übermensch lebih bersifat alegoris
daripada prinsip yang dapat dijelaskan secara rasional dan sistematis.
Di sisi lain, Walter Kaufmann
membela Nietzsche dengan menyatakan bahwa sifat ambigu ini memang disengaja.
Menurut Kaufmann, Nietzsche tidak bermaksud menciptakan doktrin dogmatis,
tetapi justru ingin menggugah individu untuk mencari interpretasi mereka
sendiri tentang bagaimana menjadi Übermensch.3
6.2.
Kritik terhadap Penyalahgunaan dalam Politik
dan Ideologi Totalitarian
Kritik paling terkenal
terhadap Übermensch adalah bahwa konsep ini telah digunakan secara keliru oleh
ideologi totalitarian, khususnya oleh rezim Nazi di Jerman pada abad ke-20.
Meskipun Nietzsche sendiri menentang nasionalisme dan antisemitisme,4
saudara perempuannya, Elisabeth Förster-Nietzsche, yang mengelola arsip
Nietzsche setelah kematiannya, diketahui telah mengubah dan menyusun ulang
tulisan-tulisannya agar selaras dengan ideologi fasis.5
Adolf Hitler dan Partai Nazi
menafsirkan Übermensch sebagai justifikasi untuk supremasi ras Arya, meskipun
Nietzsche sendiri mengkritik anti-Semitisme dan konsep nasionalisme yang
sempit.6 Para sarjana seperti Ronald Beiner menunjukkan
bagaimana gagasan Nietzsche tentang kekuasaan dan individu unggul
disalahgunakan untuk mendukung kebijakan eugenika dan ekspansionisme Jerman
Nazi.7
Namun, beberapa filsuf
seperti Richard Schacht dan Brian Leiter menegaskan bahwa interpretasi Nazi
terhadap Übermensch adalah penyimpangan yang jauh dari maksud asli Nietzsche.
Mereka menekankan bahwa Übermensch lebih merupakan pencapaian individual
daripada konsep yang dapat digunakan untuk membenarkan dominasi kolektif
berdasarkan ras atau kebangsaan.8
6.3.
Kritik Etis terhadap Konsep Übermensch
Dalam ranah etika, banyak
filsuf mengkritik Übermensch karena dianggap memberikan justifikasi bagi
relativisme moral atau bahkan tindakan amoral. Karena Übermensch menciptakan
nilai-nilainya sendiri tanpa tunduk pada sistem moral tradisional, muncul
pertanyaan apakah konsep ini dapat digunakan untuk membenarkan tindakan yang
merugikan orang lain.
Jean-Paul Sartre, dalam
eksistensialisme ateistiknya, menghormati kebebasan individu sebagaimana yang
juga ditekankan oleh Nietzsche, tetapi ia mengkritik Übermensch karena tidak
memberikan landasan moral yang kuat dalam interaksi sosial.9
Sartre berpendapat bahwa jika setiap individu bertindak seolah-olah ia adalah
Übermensch tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain, maka hasilnya
bisa menjadi anarki moral.10
Di sisi lain, Hannah Arendt
mengkritik Übermensch karena melihatnya sebagai konsep yang dapat mengarah pada
pengabaian terhadap kemanusiaan secara kolektif. Ia berpendapat bahwa jika
individu hanya fokus pada pencapaian dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan
aspek sosial dan politik, maka akan terjadi dehumanisasi dan eksklusi terhadap
kelompok yang dianggap "lemah".11
Namun, beberapa filsuf
postmodern, seperti Michel Foucault, melihat nilai positif dalam gagasan
Übermensch. Foucault menganggap bahwa konsep ini memberikan inspirasi bagi
individu untuk melawan struktur kekuasaan yang menindas dan menciptakan
subjektivitasnya sendiri.12 Dalam konteks ini,
Übermensch dapat diartikan sebagai model bagi individu yang menolak norma-norma
hegemonik dan membangun identitas yang lebih autentik.
Kesimpulan
Konsep Übermensch dalam
filsafat Nietzsche telah menjadi subjek perdebatan panjang dalam dunia filsafat
dan politik. Kritik terhadapnya mencakup aspek ambiguitas konseptual,
penyalahgunaan dalam ideologi totalitarian, dan permasalahan etika. Meskipun
demikian, banyak filsuf juga membela konsep ini sebagai sebuah ajakan untuk pencapaian
individual dan pembebasan dari nilai-nilai dogmatis.
Pada akhirnya, bagaimana
Übermensch diinterpretasikan tergantung pada pendekatan yang digunakan. Bagi
sebagian orang, konsep ini adalah inspirasi untuk menjadi manusia yang lebih
unggul secara intelektual dan moral. Namun, bagi yang lain, konsep ini
berpotensi disalahgunakan jika tidak dipahami dengan konteks yang benar. Oleh
karena itu, diskusi tentang Übermensch tetap relevan dalam filsafat modern,
baik sebagai kritik terhadap moralitas tradisional maupun sebagai tantangan
terhadap individu untuk terus berkembang dan menciptakan makna hidupnya
sendiri.
Footnotes
[1]
Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge:
Harvard University Press, 1985), 102.
[2]
Karl Jaspers, Nietzsche: An Introduction to the Understanding of
His Philosophical Activity, terj. Charles F. Wallraff dan Frederick J.
Schmitz (Tucson: University of Arizona Press, 1965), 86.
[3]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 317.
[4]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 201.
[5]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj.
Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 325.
[6]
Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the
Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
2018), 75.
[7]
Beiner, Dangerous Minds, 102.
[8]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 154.
[9]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 47.
[10]
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 55.
[11]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 79.
[12]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, terj. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 112.
7.
Implikasi
Konsep Übermensch dalam Kehidupan Modern
Konsep Übermensch
yang diperkenalkan Friedrich Nietzsche bukan hanya sekadar gagasan filosofis
abstrak, tetapi juga memiliki relevansi yang luas dalam kehidupan modern.
Sebagai model manusia yang melampaui batas dirinya, Übermensch menekankan
pentingnya kebebasan individu, penciptaan nilai, dan afirmasi terhadap
kehidupan. Di era modern yang ditandai dengan globalisasi,
sekularisasi, dan krisis identitas, gagasan Nietzsche ini dapat memberikan wawasan
dalam berbagai bidang, termasuk pengembangan diri, etika, politik,
budaya, dan teknologi.
7.1.
Relevansi Übermensch dalam Era Postmodern dan
Individualisme
Dalam era postmodernisme, di
mana kebenaran objektif sering dipertanyakan dan nilai-nilai lama mulai runtuh,
konsep Übermensch menawarkan sebuah jalan bagi individu untuk menentukan makna
hidupnya sendiri.1 Nietzsche melihat dunia modern sebagai dunia yang
telah kehilangan pegangan nilai-nilai absolut setelah "kematian Tuhan"
(Gott ist tot). Tanpa adanya otoritas moral tradisional, manusia
dihadapkan pada pilihan: terjebak dalam nihilisme atau menciptakan nilai-nilai
baru sesuai dengan potensinya.2
Banyak pemikir postmodern,
seperti Michel Foucault dan Gilles Deleuze,
mengadopsi gagasan Nietzsche untuk menekankan pentingnya perlawanan terhadap
struktur kekuasaan yang membelenggu kreativitas manusia.3 Dalam
konteks ini, Übermensch dapat dipahami sebagai individu yang tidak pasif
terhadap sistem yang mengekang, tetapi aktif dalam membentuk identitasnya
sendiri.
Selain itu, dalam era
individualisme yang semakin menguat, Übermensch memberikan inspirasi bagi
manusia modern untuk tidak hanya mengikuti arus masyarakat, tetapi juga
memiliki keberanian untuk berpikir mandiri dan bertindak sesuai dengan keyakinannya.4
7.2.
Implikasi dalam Etika dan Pengembangan Diri
Dalam dunia yang semakin
kompetitif dan cepat berubah, banyak orang mengalami krisis
eksistensial dan pencarian makna hidup. Übermensch memberikan model
tentang bagaimana manusia bisa mencapai potensi terbaiknya dengan cara:
1)
Menolak
konformitas – Tidak menerima begitu saja nilai-nilai yang
diwariskan oleh masyarakat, tetapi mengevaluasinya secara kritis.5
2)
Menegaskan
kehidupan – Tidak menghindari tantangan atau penderitaan,
tetapi menggunakannya sebagai peluang untuk berkembang.6
3)
Menciptakan
nilai-nilai sendiri – Tidak tunduk pada dogma moral atau sistem
etika yang tidak relevan dengan kehidupan pribadi.
Konsep ini sering
dibandingkan dengan filsafat eksistensialisme, terutama gagasan
authenticity (keaslian diri) dalam pemikiran Jean-Paul Sartre
dan Simone de Beauvoir.7 Übermensch dapat dipahami sebagai individu
yang hidup secara autentik, mengambil tanggung jawab penuh atas hidupnya, dan
tidak menyalahkan keadaan eksternal atas nasibnya.
Dalam dunia psikologi modern,
konsep Übermensch sering dikaitkan dengan self-actualization
(aktualisasi diri) dalam teori psikologi humanistik Abraham Maslow.8
Seperti dalam konsep Maslow tentang individu yang telah mencapai puncak
aktualisasi, Übermensch adalah manusia yang telah melampaui kebutuhan
dasar dan hidup dengan kreativitas serta otonomi penuh.
7.3.
Implikasi dalam Politik dan Sosial
Meskipun Nietzsche sendiri
menolak keterlibatan politik secara langsung, banyak sarjana menafsirkan konsep
Übermensch sebagai kritik terhadap sistem politik yang mempromosikan mediokrasi
dan kepatuhan buta.9 Dalam demokrasi modern, sering kali
muncul kecenderungan di mana individu lebih memilih kenyamanan dan kepastian
daripada kebebasan berpikir yang radikal. Ini sesuai dengan konsep Der
Letzte Mensch (Manusia Terakhir) dalam Thus Spoke Zarathustra,
yaitu individu yang hanya peduli pada kesenangan material dan menghindari
tantangan hidup.10
Di satu sisi, Übermensch bisa
menjadi inspirasi bagi individu untuk mengambil peran aktif dalam perubahan
sosial. Pemimpin yang memiliki visi kuat dan tidak tunduk pada tekanan populis
dapat dikatakan memiliki kualitas Übermensch, karena mereka mampu melampaui
batas norma sosial dan menciptakan kebijakan yang inovatif.11
Namun, kritik terhadap konsep
ini dalam ranah politik juga muncul, terutama karena interpretasi yang
disalahgunakan oleh rezim totalitarian. Sebagai contoh, Nietzsche sering
dikaitkan dengan ideologi fasis, meskipun banyak sarjana menegaskan bahwa ia
menolak nasionalisme dan supremasi rasial.12 Oleh karena itu,
penting untuk memahami bahwa Übermensch lebih bersifat individualistis daripada
kolektivis, dan konsep ini seharusnya tidak digunakan sebagai justifikasi untuk
otoritarianisme.
7.4.
Implikasi dalam Budaya dan Seni
Konsep Übermensch juga telah
menginspirasi berbagai bentuk karya seni, sastra, dan film.
Banyak karakter dalam fiksi modern yang mencerminkan karakteristik Übermensch,
seperti dalam tokoh Raskolnikov dalam Crime and Punishment
karya Fyodor Dostoevsky atau The Joker dalam film The Dark
Knight.13
Nietzsche juga berpendapat
bahwa seniman sejati adalah representasi dari Übermensch,
karena mereka tidak hanya meniru realitas, tetapi menciptakan dunia baru
melalui seni.14 Seniman yang mampu melampaui batas konvensional dan
menghadirkan perspektif yang benar-benar orisinal dapat dikatakan memiliki
semangat Übermensch.
Selain itu, konsep ini juga
berperan dalam budaya musik rock dan metal, di mana banyak
lirik lagu dan tema album yang terinspirasi oleh gagasan Nietzsche tentang
kehendak untuk berkuasa dan perlawanan terhadap nilai-nilai tradisional.15
7.5.
Implikasi dalam Teknologi dan Artificial
Intelligence (AI)
Dalam era teknologi modern,
konsep Übermensch juga dapat dikaitkan dengan perkembangan kecerdasan
buatan (AI) dan transhumanisme. Para pemikir seperti Ray
Kurzweil melihat bahwa manusia dapat melampaui keterbatasan
biologisnya melalui teknologi, seperti dalam konsep Singularity,
di mana manusia dan mesin dapat bersatu untuk menciptakan bentuk kehidupan yang
lebih unggul.16
Namun, ada perdebatan apakah
pengembangan AI dan teknologi dapat dianggap sebagai wujud dari Übermensch,
karena Nietzsche sendiri menekankan pentingnya penciptaan nilai melalui
pengalaman manusia, bukan melalui sistem mekanis yang dibuat oleh algoritma.17
Meski demikian, gagasan tentang manusia yang melampaui dirinya sendiri melalui
inovasi tetap relevan dalam diskusi modern tentang teknologi dan masa depan
umat manusia.
Kesimpulan
Konsep Übermensch dalam
filsafat Nietzsche tetap relevan dalam berbagai aspek kehidupan modern, mulai
dari pengembangan diri, etika, politik, seni, hingga teknologi.
Dalam dunia yang semakin didominasi oleh konformitas, nihilisme, dan
krisis identitas, gagasan ini memberikan inspirasi bagi individu untuk
menentukan makna hidupnya sendiri dan melampaui batas dirinya.
Namun, interpretasi dan
penerapan konsep ini harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat sejarah
penyalahgunaannya dalam politik dan ideologi ekstrem. Sebagai sebuah gagasan
filosofis, Übermensch tetap menjadi tantangan bagi manusia modern untuk
menjalani kehidupan yang lebih autentik, bebas, dan penuh dengan penciptaan
nilai.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences (New York: Vintage, 1994), 318.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), 181.
[3]
Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy (New York: Columbia
University Press, 1983), 56.
[4]
Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist
(Princeton: Princeton University Press, 1974), 214.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 32.
[6]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 108.
[7]
Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper
& Row, 1954), 96.
[8]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None,
terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 55.
[9]
Brian Leiter, Nietzsche on Morality (London: Routledge, 2002),
125.
[10]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 46.
[11]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj.
Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 287.
[12]
Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the Return
of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2018),
112.
[13]
Fyodor Dostoevsky, Crime and Punishment, terj. Constance Garnett (New
York: Dover Publications, 2001), 245.
[14]
Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge:
Harvard University Press, 1985), 174.
[15]
Kevin Hill, Nietzsche's Critique: Time, Truth, and History (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 198.
[16]
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology
(New York: Viking, 2005), 212.
[17]
Hubert Dreyfus dan Sean Dorrance Kelly, All Things Shining: Reading
the Western Classics to Find Meaning in a Secular Age (New York: Free
Press, 2011), 134.
8.
Kesimpulan
Konsep Übermensch
dalam filsafat Friedrich Nietzsche merupakan salah satu gagasan yang paling
berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah pemikiran modern. Sebagai respons
terhadap kematian Tuhan (Gott ist tot) dan nihilisme
yang mengancam peradaban Barat, Nietzsche memperkenalkan Übermensch sebagai
model manusia yang mampu melampaui nilai-nilai moral tradisional dan
menciptakan sistem etika serta makna hidupnya sendiri.1
Gagasan ini tidak hanya menawarkan jalan keluar dari krisis eksistensial yang
dihadapi manusia modern, tetapi juga menantang individu untuk menjalani hidup
secara autentik, kreatif, dan penuh keberanian.
Melalui berbagai karyanya,
terutama Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche merumuskan bahwa Übermensch
bukan sekadar individu yang lebih kuat atau lebih cerdas, tetapi seseorang yang
menolak konformitas dan hidup berdasarkan kehendak untuk berkuasa
(will to power).2 Übermensch menegaskan
kehidupannya dengan sepenuh hati, menolak nilai-nilai yang dipaksakan oleh
otoritas eksternal, dan mengarahkan hidupnya berdasarkan prinsip yang ia
ciptakan sendiri. Ia juga mampu menghadapi pengulangan abadi (eternal
recurrence) dengan keberanian, yaitu dengan menerima hidupnya tanpa
penyesalan dan menjalaninya seolah-olah ia akan mengulanginya selamanya.3
Namun, konsep ini juga menuai
kritik dari berbagai kalangan filsafat, terutama terkait ambiguitas
makna, potensi penyalahgunaan dalam ideologi politik,
dan konsekuensi etis. Beberapa filsuf seperti Karl Jaspers
menganggap bahwa Übermensch lebih bersifat alegoris dan tidak memiliki definisi
konkret yang dapat diterapkan dalam realitas sosial.4
Sementara itu, penyalahgunaan konsep ini dalam ideologi totalitarian—terutama
oleh Nazi Jerman—menunjukkan bagaimana gagasan Nietzsche dapat dimanipulasi
untuk kepentingan politik yang bertentangan dengan pemikiran aslinya.5
Selain itu, beberapa pemikir etika, seperti Jean-Paul Sartre dan Hannah Arendt,
mengkhawatirkan bahwa konsep ini dapat digunakan untuk membenarkan relativisme
moral atau tindakan yang merugikan orang lain atas nama "penciptaan nilai-nilai
baru".6
Meskipun demikian, banyak
pemikir modern yang melihat nilai positif dalam konsep Übermensch, terutama
dalam kaitannya dengan pengembangan diri, filsafat eksistensial, dan
perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang represif. Michel Foucault,
misalnya, menafsirkan konsep ini sebagai inspirasi bagi individu untuk menolak
norma-norma hegemonik dan membentuk identitasnya sendiri.7
Selain itu, dalam konteks psikologi humanistik, beberapa pemikir seperti
Abraham Maslow mengaitkan Übermensch dengan konsep aktualisasi diri,
di mana individu mencapai potensi tertingginya melalui kebebasan dan
kreativitas.8
Dalam kehidupan modern,
konsep Übermensch tetap memiliki relevansi yang kuat, terutama dalam menghadapi
tantangan individualisme, globalisasi, dan perkembangan teknologi.
Di era di mana manusia sering kali mencari makna hidup dalam sistem nilai yang
terus berubah, Nietzsche menawarkan gagasan bahwa setiap individu
memiliki tanggung jawab untuk menentukan maknanya sendiri, tanpa bergantung
pada dogma atau tradisi yang usang.9 Dengan
demikian, Übermensch bukan hanya sekadar model manusia unggul, tetapi juga
sebuah tantangan eksistensial bagi manusia modern untuk hidup
dengan penuh afirmasi dan kreativitas.
Akhirnya, apakah manusia
modern mampu mencapai kondisi Übermensch seperti yang dibayangkan oleh
Nietzsche? Pertanyaan ini tetap terbuka dan menjadi perdebatan hingga saat ini.
Namun, satu hal yang pasti: gagasan Übermensch tetap relevan sebagai ajakan
bagi setiap individu untuk menolak stagnasi dan menjalani hidup dengan
kebebasan serta keberanian yang maksimal.10
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), 181.
[2]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and
None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 22.
[3]
Nietzsche, The Gay Science, 273.
[4]
Karl Jaspers, Nietzsche: An Introduction to the Understanding of
His Philosophical Activity, terj. Charles F. Wallraff dan Frederick J.
Schmitz (Tucson: University of Arizona Press, 1965), 86.
[5]
Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the
Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
2018), 102.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 47; Hannah Arendt, The
Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 79.
[7]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, terj. A.M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 112.
[8]
Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper
& Row, 1954), 96.
[9]
Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 108.
[10]
Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj.
Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 287.
Daftar Pustaka
Beiner, R. (2018). Dangerous minds: Nietzsche,
Heidegger, and the return of the far right. University of Pennsylvania
Press.
Dostoevsky, F. (2001). Crime and punishment
(C. Garnett, Trans.). Dover Publications. (Original work published 1866)
Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy
(H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press.
Dreyfus, H., & Kelly, S. D. (2011). All
things shining: Reading the Western classics to find meaning in a secular age.
Free Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1994). The order of things: An
archaeology of the human sciences. Vintage.
Hill, K. (2003). Nietzsche’s critique: Time,
truth, and history. Oxford University Press.
Jaspers, K. (1965). Nietzsche: An introduction
to the understanding of his philosophical activity (C. F. Wallraff & F.
J. Schmitz, Trans.). University of Arizona Press.
Kaufmann, W. (1974). Nietzsche: Philosopher,
psychologist, antichrist. Princeton University Press.
Kurzweil, R. (2005). The singularity is near:
When humans transcend biology. Viking.
Leiter, B. (2002). Nietzsche on morality.
Routledge.
Maslow, A. (1954). Motivation and personality.
Harper & Row.
Nehamas, A. (1985). Nietzsche: Life as
literature. Harvard University Press.
Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage. (Original work published 1886)
Nietzsche, F. (1967). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage. (Original work
published 1887)
Nietzsche, F. (1967). The birth of tragedy
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage. (Original work published 1872)
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage. (Original work published 1882)
Nietzsche, F. (1966). Thus spoke Zarathustra: A
book for all and none (W. Kaufmann, Trans.). Viking Press. (Original work
published 1883–1885)
Nietzsche, F. (1967). The will to power (W.
Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Safranski, R. (2002). Nietzsche: A philosophical
biography (S. Frisch, Trans.). W. W. Norton.
Schacht, R. (1983). Nietzsche. Routledge.
Young, J. (2010). Friedrich Nietzsche: A
philosophical biography. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar