Sabtu, 23 November 2024

Übermensch dalam Filsafat Friedrich Nietzsche: Manusia Unggul

Übermensch dalam Filsafat Friedrich Nietzsche

Konsep, Makna, dan Implikasinya


Abstrak

Konsep Übermensch dalam filsafat Friedrich Nietzsche merupakan gagasan yang menantang manusia untuk melampaui nilai-nilai moral tradisional dan menciptakan sistem etika serta makna hidupnya sendiri. Übermensch diperkenalkan dalam Thus Spoke Zarathustra sebagai respons terhadap kematian Tuhan (Gott ist tot) dan nihilisme, di mana individu dihadapkan pada krisis eksistensial akibat runtuhnya fondasi moral dan religius. Artikel ini membahas dasar-dasar pemikiran Nietzsche yang melandasi konsep Übermensch, termasuk kehendak untuk berkuasa (will to power), pengulangan abadi (eternal recurrence), serta kritiknya terhadap moralitas budak dan moralitas tuan.

Selain itu, artikel ini mengeksplorasi karakteristik utama Übermensch, seperti otonomi moral, keberanian eksistensial, dan kreativitas dalam penciptaan nilai. Konsep ini tidak terlepas dari kritik, terutama terkait ambiguitas konseptual, potensi penyalahgunaan dalam ideologi totalitarian, dan problematika etika. Namun, berbagai pemikir modern, seperti Michel Foucault dan Abraham Maslow, melihat nilai positif dalam gagasan ini, terutama dalam pengembangan diri, eksistensialisme, dan perlawanan terhadap struktur kekuasaan hegemonik.

Implikasi konsep Übermensch dalam kehidupan modern sangat luas, mencakup filsafat, psikologi, politik, seni, dan teknologi. Dalam era globalisasi dan digitalisasi, di mana manusia sering kali mencari makna dalam sistem yang terus berubah, Übermensch menawarkan perspektif untuk menolak konformitas dan menjalani hidup secara autentik. Meskipun tetap menjadi subjek perdebatan, gagasan ini terus menginspirasi individu untuk menantang batas dirinya dan mencapai potensi tertinggi dalam kehidupan.

Kata Kunci: Übermensch, Friedrich Nietzsche, nihilisme, kehendak untuk berkuasa, pengulangan abadi, moralitas budak, eksistensialisme, postmodernisme, pengembangan diri, filsafat modern.


PEMBAHASAN

Konsep Übermensch dalam Filsafat Friedrich Nietzsche


1.           Pendahuluan

Konsep Übermensch (Manusia Unggul) adalah salah satu gagasan paling berpengaruh dalam filsafat Friedrich Nietzsche (1844–1900). Konsep ini pertama kali diperkenalkan dalam karyanya Also sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra, 1883–1885) dan menjadi pusat dari filsafat eksistensialnya yang menekankan transformasi manusia untuk melampaui batas-batas eksistensinya melalui kehendak yang kuat dan penciptaan nilai-nilai baru.1 Nietzsche menggunakan Übermensch sebagai respons terhadap nihilisme, yang menurutnya merupakan akibat dari "kematian Tuhan" (Gott ist tot)—sebuah metafora yang menggambarkan runtuhnya nilai-nilai moral dan agama tradisional dalam dunia modern.2

1.1.       Latar Belakang Munculnya Konsep Übermensch

Pemikiran Nietzsche lahir dalam konteks pergolakan intelektual dan budaya Eropa pada abad ke-19. Saat itu, Eropa mengalami pergeseran besar akibat kemajuan ilmu pengetahuan, sekularisasi, dan kritik terhadap metafisika tradisional yang sebelumnya mendominasi pemikiran filsafat Barat.3 Nietzsche mengkritik agama Kristen karena dianggap membelenggu potensi manusia dengan konsep moralitas budak (slave morality), yang menekankan kelemahan, kepasrahan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai transendental yang tidak lagi relevan dalam dunia yang berkembang pesat.4

Sebagai alternatif terhadap nihilisme yang mengancam manusia modern, Nietzsche memperkenalkan Übermensch sebagai model manusia yang mampu mengatasi keterbatasan moralitas lama dan menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan kehendak sendiri.5 Konsep ini bukan sekadar tentang keunggulan biologis atau dominasi fisik, tetapi lebih pada pencapaian spiritual dan intelektual, di mana individu mampu mendefinisikan ulang makna kehidupan secara mandiri tanpa bergantung pada otoritas eksternal, seperti agama atau ideologi yang mengekang kebebasan berpikir.6

1.2.       Relevansi Konsep Übermensch dalam Filsafat Modern dan Postmodern

Gagasan Übermensch memiliki dampak besar dalam berbagai aliran filsafat modern dan postmodern. Eksistensialisme, misalnya, banyak terinspirasi oleh pemikiran Nietzsche, terutama dalam gagasan tentang kebebasan individu dan penciptaan makna dalam dunia yang absurd.7 Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, dua tokoh utama eksistensialisme, mengadopsi beberapa elemen dari pemikiran Nietzsche, meskipun dengan penafsiran yang berbeda, terutama dalam kaitannya dengan kebebasan dan tanggung jawab moral manusia.8

Selain itu, postmodernisme juga mengadopsi banyak aspek dari kritik Nietzsche terhadap kebenaran absolut dan struktur kekuasaan yang melembaga dalam budaya dan politik.9 Michel Foucault, misalnya, menggunakan pendekatan genealogis Nietzschean untuk menganalisis bagaimana wacana kekuasaan membentuk subjektivitas manusia, sehingga mengajak individu untuk terus menggugat narasi-narasi besar yang membentuk dunia mereka.10

Dalam ranah psikologi, Carl Jung mengaitkan konsep Übermensch dengan pencapaian individuasi dalam teori psikologi analitisnya, yang menekankan pentingnya perkembangan kepribadian yang utuh dan mandiri.11 Sementara itu, dalam bidang politik dan sosial, konsep ini sering kali disalahpahami dan disalahgunakan, terutama dalam ideologi supremasi rasial pada abad ke-20, meskipun Nietzsche sendiri menolak interpretasi rasis terhadap gagasannya.12

1.3.       Tujuan dan Ruang Lingkup Pembahasan

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan konsep Übermensch secara sistematis dengan menelusuri akar pemikirannya dalam karya-karya Nietzsche, menyoroti karakteristik utama Übermensch, serta membahas relevansinya dalam konteks filsafat dan budaya kontemporer. Selain itu, artikel ini juga akan membahas berbagai kritik terhadap konsep ini serta kesalahpahaman yang muncul terkait gagasan Nietzsche. Dengan demikian, pembaca diharapkan dapat memahami bagaimana Übermensch bukan hanya sekadar mitos atau idealisme utopis, tetapi sebuah dorongan bagi manusia untuk melampaui batas dirinya dan menciptakan makna kehidupannya sendiri dalam dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 12–14.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181–183.

[3]                Julian Young, Nietzsche's Philosophy of Religion (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 45.

[4]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 251–252.

[5]                Robert C. Solomon, Living with Nietzsche: What the Great "Immoralist" Has to Teach Us (Oxford: Oxford University Press, 2003), 67.

[6]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj. Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 187.

[7]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 32.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin O'Brien (New York: Vintage, 1991), 89.

[9]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, terj. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 23.

[10]             Gary Gutting, Foucault: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 44.

[11]             Carl G. Jung, Memories, Dreams, Reflections, terj. Clara Winston dan Richard Winston (New York: Pantheon, 1963), 210.

[12]             Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2018), 76.


2.           Biografi Singkat Friedrich Nietzsche

2.1.       Kehidupan dan Latar Belakang Intelektual

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada 15 Oktober 1844 di Röcken, Prusia (sekarang Jerman), dalam keluarga Lutheran yang sangat religius. Ayahnya, Carl Ludwig Nietzsche, adalah seorang pendeta Protestan, sementara ibunya, Franziska Oehler, berasal dari keluarga penganut Lutheran yang taat.1 Namun, ketika Nietzsche berusia lima tahun, ayahnya meninggal akibat penyakit otak, diikuti oleh kematian adiknya, Joseph, setahun kemudian. Kejadian ini memberi dampak besar terhadap perkembangan psikologis dan intelektualnya.2

Sejak kecil, Nietzsche menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam studi humaniora dan filologi. Pada usia 14 tahun, ia diterima di Schulpforta, sekolah bergengsi yang terkenal dengan kurikulum ketat dalam bahasa klasik dan sastra.3 Setelah menyelesaikan pendidikannya di sana, ia melanjutkan studi di Universitas Bonn pada tahun 1864, mengambil jurusan teologi dan filologi klasik. Namun, dalam waktu singkat, ia meninggalkan teologi dan sepenuhnya berfokus pada filologi, di bawah bimbingan profesor terkenal Friedrich Ritschl.4

Pada tahun 1869, pada usia 24 tahun, Nietzsche menjadi profesor filologi klasik di Universitas Basel, Swiss, tanpa harus menyelesaikan gelar doktor terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan reputasi akademiknya yang luar biasa di usia muda.5 Namun, meskipun kariernya sebagai filolog sangat menjanjikan, minatnya terhadap filsafat semakin berkembang, terutama setelah membaca karya-karya Arthur Schopenhauer dan menjalin hubungan intelektual dengan komposer Richard Wagner.6

2.2.       Pengaruh yang Membentuk Pemikirannya

Pemikiran Nietzsche sangat dipengaruhi oleh tiga tokoh utama:

1)                  Arthur Schopenhauer – Dalam Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation), Schopenhauer menggambarkan dunia sebagai ekspresi dari kehendak yang buta dan tanpa tujuan. Nietzsche terinspirasi oleh gagasan tentang "kehendak" ini, tetapi menolak pesimisme Schopenhauer dan justru mengembangkan konsep will to power (kehendak untuk berkuasa) sebagai dasar eksistensi manusia.7

2)                  Richard Wagner – Nietzsche awalnya mengagumi Wagner sebagai seorang seniman revolusioner yang mewujudkan semangat Dionysian dalam seni. Namun, ia kemudian berbalik menentang Wagner karena melihatnya sebagai sosok yang semakin dipengaruhi oleh nilai-nilai Kristen dan nasionalisme Jerman yang Nietzsche anggap regresif.8

3)                  Ilmu Pengetahuan dan Sekularisme Modern – Munculnya gagasan Darwinisme dan kritik terhadap metafisika tradisional di abad ke-19 turut mempengaruhi pemikiran Nietzsche, terutama dalam kritiknya terhadap agama dan moralitas konvensional.9

2.3.       Masa Kritis dan Kehancuran Mental

Pada tahun 1879, kesehatan Nietzsche memburuk akibat penyakit kronis yang menyebabkan sakit kepala parah dan gangguan penglihatan. Ia terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya di Universitas Basel dan menjalani hidup sebagai pengembara intelektual, berpindah-pindah antara Swiss, Italia, dan Prancis sambil menulis karya-karyanya yang paling berpengaruh.10

Dalam periode antara 1883 dan 1885, Nietzsche menulis Also sprach Zarathustra, yang memperkenalkan konsep Übermensch dan "kematian Tuhan". Buku ini awalnya tidak mendapat perhatian luas, tetapi kemudian menjadi salah satu karya filsafat paling berpengaruh sepanjang sejarah.11 Pada tahun-tahun berikutnya, ia menulis Jenseits von Gut und Böse (Beyond Good and Evil, 1886) dan Zur Genealogie der Moral (On the Genealogy of Morals, 1887), yang memperkuat kritiknya terhadap nilai-nilai moral tradisional dan menawarkan perspektif baru tentang kekuasaan dan moralitas.12

Namun, pada Januari 1889, Nietzsche mengalami gangguan mental yang parah di Turin, Italia. Menurut beberapa laporan, ia mengalami kejang emosional setelah melihat seorang kusir kuda mencambuk kudanya dengan kejam, yang kemudian diikuti dengan delusi megalomania, di mana ia mengklaim sebagai berbagai tokoh historis seperti Dionysus dan Yesus.13 Setelah kejadian itu, ia dirawat di klinik psikiatri di Basel dan kemudian di bawah perawatan ibunya di Naumburg. Kondisi mentalnya terus memburuk, dan ia menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tidak sadarkan diri hingga meninggal dunia pada 25 Agustus 1900 di Weimar.14

2.4.       Karya-Karya Utama yang Mendasari Konsep Übermensch

Selama hidupnya, Nietzsche menulis banyak karya yang menjadi dasar bagi perkembangan konsep Übermensch. Beberapa di antaranya adalah:

·                     Die Geburt der Tragödie (The Birth of Tragedy, 1872) – Menjelaskan konsep Apollonian dan Dionysian dalam seni dan budaya.15

·                     Menschliches, Allzumenschliches (Human, All Too Human, 1878) – Kritik terhadap moralitas konvensional dan eksplorasi nilai-nilai baru.16

·                     Also sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra, 1883–1885) – Karya utama yang memperkenalkan Übermensch dan konsep kehendak untuk berkuasa.17

·                     Jenseits von Gut und Böse (Beyond Good and Evil, 1886) – Analisis mendalam tentang filsafat moral dan kritik terhadap dogma intelektual.18

·                     Zur Genealogie der Moral (On the Genealogy of Morals, 1887) – Kritik terhadap asal-usul moralitas Kristen dan pengaruhnya terhadap peradaban Barat.19

Karya-karya ini membentuk dasar dari gagasan Nietzsche tentang Übermensch sebagai sosok yang mampu melampaui keterbatasan moralitas tradisional dan menciptakan nilai-nilai baru yang lebih afirmatif terhadap kehidupan.


Footnotes

[1]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj. Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 3.

[2]                Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 8.

[3]                Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, 12.

[4]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 14.

[5]                Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography, 25.

[6]                Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, 52.

[7]                Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, terj. E.F.J. Payne (New York: Dover, 1969), 17.

[8]                Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 132.

[9]                Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 49.

[10]             Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography, 145.

[11]             Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 238.

[12]             Schacht, Nietzsche, 127.

[13]             Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, 307.

[14]             Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography, 357.

[15]             Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 5.

[16]             Nietzsche, Human, All Too Human, terj. R.J. Hollingdale (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 22.

[17]             Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 28.

[18]             Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 34.

[19]             Nietzsche, On the Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1967), 79.


3.           Konsep Übermensch: Definisi dan Makna

3.1.       Pengertian Übermensch dalam Filsafat Nietzsche

Konsep Übermensch (Manusia Unggul atau Overman) merupakan salah satu gagasan sentral dalam filsafat Friedrich Nietzsche, yang pertama kali diperkenalkan dalam Also sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra, 1883–1885). Nietzsche menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sosok manusia yang mampu melampaui nilai-nilai moral tradisional dan menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan kehendaknya sendiri.1 Übermensch bukanlah sekadar sosok yang lebih kuat secara fisik atau intelektual, melainkan individu yang memiliki keberanian untuk hidup secara autentik, tanpa terikat oleh dogma agama atau etika konvensional yang dianggap Nietzsche sebagai bentuk moralitas budak (slave morality).2

Nietzsche berpendapat bahwa manusia saat ini berada dalam tahap transisi dan harus berusaha melampaui dirinya sendiri menuju Übermensch. Ia menggambarkan proses ini dalam metafora "tiga transformasi jiwa" dalam Thus Spoke Zarathustra: manusia harus berubah dari unta (yang tunduk pada beban nilai lama), menjadi singa (yang menolak nilai lama tetapi masih berjuang melawan), hingga akhirnya menjadi anak kecil (simbol penciptaan nilai baru yang bebas).3 Dengan demikian, Übermensch adalah individu yang berhasil melampaui tahapan ini dan mampu hidup sesuai dengan kehendak untuk berkuasa (will to power).

3.2.       Hubungan Übermensch dengan Nihilisme dan Kematian Tuhan

Konsep Übermensch sangat erat kaitannya dengan gagasan "kematian Tuhan" (Gott ist tot), yang Nietzsche ungkapkan dalam Die fröhliche Wissenschaft (The Gay Science, 1882). Pernyataan ini bukanlah klaim ateistis yang sederhana, tetapi lebih merupakan pengakuan bahwa nilai-nilai moral dan kepercayaan tradisional yang berakar pada agama telah kehilangan relevansinya dalam dunia modern.4 Nietzsche melihat nihilisme sebagai akibat langsung dari kematian Tuhan, yaitu kondisi di mana manusia tidak lagi memiliki pegangan nilai yang stabil.

Dalam menghadapi nihilisme ini, manusia memiliki dua pilihan: tetap terjebak dalam keterpurukan eksistensial atau melampaui dirinya sendiri menuju Übermensch. Übermensch adalah jawaban Nietzsche terhadap nihilisme, karena ia menciptakan nilai-nilai baru yang berakar pada keberanian untuk hidup tanpa ilusi moralitas lama.5 Ia bukan sekadar menggantikan Tuhan dengan doktrin baru, tetapi justru mengajarkan bahwa manusia harus menjadi pencipta maknanya sendiri. Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menggambarkan Übermensch sebagai sosok yang menari di atas kehampaan nilai lama dan tidak terbelenggu oleh kesedihan akan kehilangan makna yang datang bersama nihilisme.6

3.3.       Perbedaan antara Übermensch dan Manusia Biasa (Der Letzte Mensch)

Nietzsche membandingkan Übermensch dengan sosok der letzte Mensch (Manusia Terakhir), yaitu individu yang pasif, takut akan perubahan, dan lebih memilih kenyamanan serta keamanan dibandingkan dengan pencarian makna sejati.7 Manusia Terakhir adalah simbol dari masyarakat yang terjebak dalam kebosanan dan konformitas, di mana individu tidak lagi memiliki aspirasi untuk melampaui dirinya sendiri. Ia menerima nilai-nilai moral dan sosial tanpa mempertanyakan, serta lebih tertarik pada hiburan dan kesenangan material dibandingkan dengan pencarian makna hidup yang lebih dalam.8

Dalam pandangan Nietzsche, kebanyakan manusia cenderung memilih jalan Manusia Terakhir karena lebih mudah dan nyaman. Namun, bagi mereka yang berani menolak status quo dan menghadapi tantangan eksistensial, jalan menuju Übermensch tetap terbuka. Nietzsche melihat Übermensch sebagai tujuan evolusi manusia, di mana individu tidak lagi bergantung pada nilai-nilai eksternal, tetapi menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri untuk menciptakan kehidupan yang memiliki makna otentik.9

3.4.       Kesalahpahaman terhadap Konsep Übermensch

Meskipun konsep Übermensch telah menjadi salah satu gagasan filsafat yang paling berpengaruh dalam pemikiran modern, ia juga sering disalahpahami dan disalahgunakan. Salah satu distorsi terbesar terhadap konsep ini terjadi pada awal abad ke-20, ketika para pemikir Nazi mencoba mengaitkannya dengan teori superioritas rasial. Namun, Nietzsche sendiri tidak pernah mengajarkan supremasi ras tertentu. Sebaliknya, ia menolak nasionalisme dan antisemitisme, serta menekankan bahwa Übermensch adalah pencapaian individu, bukan kelompok atau bangsa tertentu.10

Selain itu, beberapa interpretasi populer juga menggambarkan Übermensch sebagai sosok yang bebas melakukan apa pun yang diinginkannya, termasuk tindakan amoral atau tirani. Interpretasi ini tidak sepenuhnya benar, karena Nietzsche tidak mengajarkan anarki atau kehancuran tanpa tujuan, melainkan penciptaan nilai yang lebih tinggi sebagai bentuk perwujudan will to power yang positif.11 Dengan kata lain, Übermensch bukanlah tiran yang menindas orang lain, tetapi individu yang menguasai dirinya sendiri dan hidup dengan keberanian serta kreativitas yang tinggi.


Kesimpulan

Konsep Übermensch dalam filsafat Nietzsche adalah sebuah ajakan bagi manusia untuk melampaui batas-batas dirinya dan menciptakan makna baru dalam hidupnya. Dengan menolak nihilisme dan dogma moralitas lama, Übermensch hadir sebagai simbol individu yang berani menghadapi realitas tanpa ilusi dan menjalani kehidupan dengan penuh kekuatan serta kehendak kreatif. Konsep ini bukan sekadar doktrin kekuasaan atau superioritas, melainkan sebuah proyek eksistensial bagi manusia untuk mencapai potensinya yang tertinggi.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 12.

[2]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 251.

[3]                Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 54.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[5]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj. Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 211.

[6]                Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 234.

[7]                Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 46.

[8]                Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist, 315.

[9]                Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 78.

[10]             Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2018), 102.

[11]             Gary Shapiro, Nietzschean Narratives (Bloomington: Indiana University Press, 1989), 89.


4.           Dasar-Dasar Pemikiran Nietzsche tentang Übermensch

Konsep Übermensch dalam filsafat Friedrich Nietzsche tidak muncul secara terisolasi, tetapi berakar pada beberapa gagasan fundamental yang menjadi inti dari filsafatnya. Tiga konsep utama yang membentuk dasar pemikiran tentang Übermensch adalah kehendak untuk berkuasa (will to power), pengulangan abadi (eternal recurrence), dan kritik terhadap moralitas tradisional melalui dikotomi moralitas budak dan moralitas tuan. Gagasan-gagasan ini saling terkait dalam membentuk kerangka filosofis yang mendukung ide tentang manusia yang mampu melampaui batas dirinya dan menciptakan nilai-nilai baru.

4.1.       Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power)

Salah satu prinsip mendasar dalam filsafat Nietzsche adalah konsep kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht), yang ia anggap sebagai kekuatan pendorong utama dalam kehidupan. Nietzsche menolak pandangan tradisional yang melihat manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh rasionalitas atau keinginan akan kebahagiaan semata. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kehidupan didorong oleh dorongan fundamental untuk menegaskan diri, berkembang, dan mengatasi tantangan.1

Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menghubungkan kehendak untuk berkuasa dengan proses penciptaan nilai-nilai baru. Übermensch adalah individu yang sepenuhnya menyadari kehendaknya untuk berkuasa dan menggunakan kebebasannya untuk menciptakan makna baru dalam hidupnya.2 Ini berarti bahwa Übermensch tidak tunduk pada nilai-nilai moral yang telah mapan, tetapi berani merumuskan nilai-nilai yang lebih tinggi berdasarkan potensi dirinya sendiri.

Konsep ini juga dapat dilihat sebagai kritik terhadap Schopenhauerian Will, di mana Arthur Schopenhauer memandang kehendak sebagai dorongan buta yang membawa penderitaan. Nietzsche justru melihat kehendak sebagai kekuatan afirmatif yang memungkinkan manusia untuk berkembang dan melampaui batas dirinya sendiri.3 Oleh karena itu, Übermensch bukan hanya seseorang yang memiliki kekuatan fisik atau intelektual, tetapi juga seseorang yang mampu menegaskan hidupnya dengan penuh keberanian dan kreativitas.

4.2.       Pengulangan Abadi (Eternal Recurrence)

Gagasan pengulangan abadi (die ewige Wiederkunft) adalah konsep yang diajukan Nietzsche dalam The Gay Science dan dikembangkan lebih lanjut dalam Thus Spoke Zarathustra. Nietzsche mengajukan pertanyaan hipotesis: "Bagaimana jika seseorang memberi tahu bahwa hidup ini akan terulang kembali dengan cara yang persis sama, berulang tanpa akhir?"4

Ide ini bukan sekadar teori kosmologis, tetapi lebih merupakan ujian eksistensial. Jika seseorang benar-benar dapat menerima hidupnya dengan seluruh penderitaan dan kegembiraannya tanpa penyesalan dan bersedia menghidupinya berulang kali tanpa perubahan, maka ia telah mencapai kondisi Übermensch.5 Dengan kata lain, Übermensch adalah individu yang tidak hanya menerima kehidupannya, tetapi juga merayakan dan menegaskan keberadaannya dalam segala aspeknya.

Konsep pengulangan abadi mengajarkan bahwa kehidupan ini tidak memiliki makna intrinsik yang diberikan oleh dunia luar, sehingga manusia harus menciptakan maknanya sendiri. Übermensch adalah sosok yang menjalani kehidupannya dengan sepenuh hati, seolah-olah ia akan mengulanginya selamanya, tanpa rasa takut atau penyesalan.6

4.3.       Kritik terhadap Moralitas: Moralitas Budak dan Moralitas Tuan

Nietzsche juga mengembangkan kritik radikal terhadap sistem moral tradisional, yang ia bahas dalam Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morals. Ia membedakan antara moralitas budak (slave morality) dan moralitas tuan (master morality), dua bentuk moralitas yang menurutnya telah membentuk peradaban manusia.7

·                     Moralitas Tuan: Moralitas ini adalah sistem nilai yang diciptakan oleh individu kuat yang menegaskan hidup mereka berdasarkan kehendak untuk berkuasa. Nilai-nilai seperti keberanian, kebanggaan, dan kemandirian dihargai dalam moralitas ini. Nietzsche menganggap moralitas ini sebagai bentuk kehidupan yang lebih tinggi, karena ia tidak didasarkan pada rasa takut atau kebencian terhadap orang lain.8

·                     Moralitas Budak: Moralitas ini muncul sebagai reaksi terhadap moralitas tuan dan biasanya dikaitkan dengan nilai-nilai Kristen. Moralitas budak mendorong nilai-nilai seperti kerendahan hati, belas kasihan, dan kepasrahan, yang menurut Nietzsche berakar pada kebencian (ressentiment) terhadap mereka yang lebih kuat. Moralitas ini menciptakan konsep dosa dan kejahatan untuk menekan kehendak untuk berkuasa dan menundukkan individu yang potensial menjadi Übermensch.9

Übermensch adalah sosok yang berhasil melepaskan diri dari belenggu moralitas budak dan menciptakan moralitasnya sendiri. Ia tidak tunduk pada nilai-nilai yang dipaksakan oleh masyarakat, agama, atau tradisi, tetapi mendefinisikan kebaikan dan keburukan berdasarkan potensinya sendiri.10


Kesimpulan

Ketiga konsep utama—kehendak untuk berkuasa, pengulangan abadi, dan kritik terhadap moralitas—menjadi dasar filosofis dari konsep Übermensch dalam pemikiran Nietzsche. Übermensch bukan hanya individu yang memiliki kekuatan fisik atau intelektual yang lebih tinggi, tetapi seseorang yang memiliki keberanian untuk menciptakan nilai-nilai baru dan menjalani kehidupan dengan penuh afirmasi. Dengan menolak nihilisme dan moralitas budak, Übermensch menjelma sebagai simbol dari kemungkinan tertinggi dalam eksistensi manusia.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1967), 12.

[2]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 22.

[3]                Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 187.

[4]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 273.

[5]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj. Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 242.

[6]                Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 152.

[7]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 259.

[8]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 323.

[9]                Nietzsche, On the Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1967), 85.

[10]             Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 108.


5.           Karakteristik Übermensch

Konsep Übermensch dalam filsafat Friedrich Nietzsche bukan sekadar gagasan abstrak, melainkan sebuah ideal manusia yang memiliki karakteristik khusus. Übermensch adalah individu yang berhasil melampaui batas-batas nilai moral konvensional dan menciptakan makna hidupnya sendiri. Ia menolak nihilisme pasif dan hidup dengan kehendak untuk berkuasa (will to power), kemandirian moral, keberanian eksistensial, serta kreativitas dalam penciptaan nilai. Karakteristik ini menjadikan Übermensch sebagai sosok yang tidak hanya menolak dogma lama, tetapi juga aktif membentuk realitas baru berdasarkan potensinya sendiri.

5.1.       Individu yang Menciptakan Nilai-Nilai Baru

Salah satu ciri utama Übermensch adalah kemampuannya untuk menciptakan nilai-nilai baru secara mandiri. Nietzsche mengkritik sistem moral tradisional, terutama moralitas Kristen, karena dianggap membelenggu kebebasan manusia melalui konsep dosa, kepatuhan, dan pengorbanan diri.1 Dalam Thus Spoke Zarathustra, ia menggambarkan bagaimana Übermensch tidak tunduk pada moralitas budak yang didasarkan pada rasa takut atau kebencian (ressentiment), tetapi berani mendefinisikan nilai-nilainya sendiri sesuai dengan kehendak untuk berkuasa.2

Bagi Nietzsche, manusia yang masih tunduk pada nilai lama tidak berbeda dengan der letzte Mensch (Manusia Terakhir), yaitu sosok yang pasif dan mencari kenyamanan daripada pencarian makna sejati.3 Übermensch, sebaliknya, adalah individu yang memiliki keberanian untuk menjalani kehidupan tanpa ilusi moralitas lama dan mampu menciptakan nilai-nilai yang lebih affirmatif terhadap kehidupan.

5.2.       Otonomi dan Kemandirian Moral

Übermensch tidak tunduk pada otoritas eksternal, baik itu agama, negara, atau norma sosial yang telah mapan. Ia memiliki kemandirian moral dan autonomi penuh dalam menentukan jalannya sendiri. Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche menekankan bahwa moralitas konvensional sering kali merupakan hasil dari nilai-nilai yang dipaksakan oleh mereka yang berkuasa untuk mengendalikan massa.4 Oleh karena itu, Übermensch tidak sekadar menolak nilai lama, tetapi juga menggantinya dengan standar etika yang ia ciptakan sendiri berdasarkan kehendak yang kuat.

Kemandirian ini membuat Übermensch tidak terikat oleh konsep tradisional tentang baik dan buruk. Ia tidak hidup dalam batasan nilai-nilai lama yang dikonstruksikan oleh masyarakat, melainkan menciptakan sistem moralnya sendiri yang lebih sesuai dengan potensinya.5 Namun, ini bukan berarti bahwa Übermensch hidup dalam kekacauan moral atau bertindak sesuka hati tanpa tanggung jawab, melainkan ia bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang ia yakini sebagai lebih unggul daripada moralitas konvensional.

5.3.       Keberanian dalam Menghadapi Absurditas Hidup

Nietzsche memahami bahwa hidup ini tidak memiliki makna intrinsik yang diberikan oleh Tuhan atau hukum alam. Karena itu, ia melihat nihilisme sebagai tantangan yang harus diatasi manusia untuk menemukan maknanya sendiri. Übermensch adalah individu yang memiliki keberanian eksistensial untuk menerima kondisi dunia yang tidak pasti dan menciptakan makna kehidupannya tanpa bergantung pada dogma eksternal.6

Konsep ini erat kaitannya dengan gagasan pengulangan abadi (eternal recurrence), di mana seseorang harus hidup seolah-olah ia akan mengalami kehidupannya berulang kali tanpa akhir.7 Nietzsche menganggap bahwa hanya mereka yang mampu menerima tantangan ini dengan penuh keberanian dan afirmasi yang dapat disebut sebagai Übermensch. Mereka yang menolak menghadapi realitas dan tetap bertahan dalam nihilisme pasif tidak akan pernah mencapai tingkat keberadaan ini.

5.4.       Keseimbangan antara Rasionalitas dan Naluri

Nietzsche membagi realitas manusia menjadi dua aspek utama, yaitu Apollonian (rasionalitas, keteraturan, dan harmoni) dan Dionysian (naluri, kreativitas, dan kekacauan). Dalam The Birth of Tragedy, ia menjelaskan bahwa budaya Yunani kuno berhasil mencapai puncak kejayaannya karena mampu menyeimbangkan dua elemen ini.8 Übermensch juga harus mampu menemukan keseimbangan antara dua aspek tersebut dalam dirinya.

Übermensch tidak hidup dengan tunduk sepenuhnya pada aturan rasional seperti kaum moralist, tetapi juga tidak tenggelam dalam impuls liar yang destruktif. Sebaliknya, ia mampu menggunakan naluri dan rasionalitasnya secara harmonis untuk menciptakan kehidupan yang penuh dengan keberanian, kreativitas, dan keteguhan prinsip.9

5.5.       Kreativitas dan Kehidupan sebagai Karya Seni

Nietzsche sering menggambarkan kehidupan sebagai sebuah karya seni yang harus diciptakan dengan penuh kebebasan dan kreativitas. Übermensch adalah sosok yang tidak hanya menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi juga membentuk realitasnya sendiri melalui tindakan dan penciptaan nilai-nilai baru.10 Ia melihat kehidupan sebagai sesuatu yang harus dihayati dengan gaya, bukan sekadar dijalani secara pasif.

Dalam konteks ini, Nietzsche mengkritik mereka yang menjalani hidup dengan cara yang monoton dan penuh kompromi. Übermensch, sebaliknya, adalah individu yang merayakan kehidupan dan menjadikannya sebagai ekspresi dari kehendak kreatifnya sendiri.11


Kesimpulan

Karakteristik Übermensch tidak terbatas pada kekuatan fisik atau kecerdasan intelektual semata, tetapi lebih kepada keberanian eksistensial dan kebebasan dalam menciptakan nilai-nilai baru. Übermensch adalah individu yang menolak nihilisme pasif, memiliki kemandirian moral, serta menjalani hidup dengan penuh afirmasi dan kreativitas. Dengan demikian, ia bukan hanya sosok yang kuat, tetapi juga seseorang yang mampu menegaskan kehidupannya tanpa bergantung pada dogma eksternal. Nietzsche melihat Übermensch sebagai tujuan evolusi manusia yang sesungguhnya, di mana individu mampu melampaui batas dirinya dan menciptakan makna hidup yang autentik.


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale (New York: Vintage, 1967), 87.

[2]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 22.

[3]                Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 46.

[4]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 102.

[5]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 214.

[6]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj. Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 242.

[7]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 273.

[8]                Nietzsche, The Birth of Tragedy, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 25.

[9]                Julian Young, Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 145.

[10]             Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 162.

[11]             Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 108.


6.           Kritik dan Perdebatan tentang Übermensch

Konsep Übermensch dalam filsafat Friedrich Nietzsche telah menjadi salah satu gagasan yang paling kontroversial dalam sejarah pemikiran modern. Sejak pertama kali diperkenalkan dalam Thus Spoke Zarathustra, ide ini telah memicu berbagai interpretasi, baik dalam ranah filsafat, politik, hingga budaya populer. Kritik terhadap Übermensch datang dari berbagai kalangan, termasuk filsuf eksistensialis, pemikir postmodern, dan bahkan para intelektual politik. Tiga kritik utama yang sering diajukan terhadap konsep ini mencakup ambiguitas konseptual, potensi penyalahgunaan dalam politik, dan permasalahan etika dalam filsafat moral.

6.1.       Kritik terhadap Ambiguitas Konseptual

Salah satu kritik utama terhadap Übermensch adalah sifatnya yang ambigu dan sulit untuk didefinisikan secara konkret. Banyak filsuf berpendapat bahwa Nietzsche sendiri tidak memberikan batasan yang jelas tentang bagaimana seseorang dapat mencapai status Übermensch atau bagaimana karakteristiknya dapat diukur secara objektif.1

Karl Jaspers, seorang eksistensialis dan ahli filsafat Nietzsche, berpendapat bahwa Übermensch lebih merupakan "citra mitologis" daripada konsep yang dapat diterapkan dalam realitas sosial.2 Ia melihat bahwa Nietzsche menggunakan gaya bahasa yang puitis dan simbolis dalam Thus Spoke Zarathustra, yang membuat konsep Übermensch lebih bersifat alegoris daripada prinsip yang dapat dijelaskan secara rasional dan sistematis.

Di sisi lain, Walter Kaufmann membela Nietzsche dengan menyatakan bahwa sifat ambigu ini memang disengaja. Menurut Kaufmann, Nietzsche tidak bermaksud menciptakan doktrin dogmatis, tetapi justru ingin menggugah individu untuk mencari interpretasi mereka sendiri tentang bagaimana menjadi Übermensch.3

6.2.       Kritik terhadap Penyalahgunaan dalam Politik dan Ideologi Totalitarian

Kritik paling terkenal terhadap Übermensch adalah bahwa konsep ini telah digunakan secara keliru oleh ideologi totalitarian, khususnya oleh rezim Nazi di Jerman pada abad ke-20. Meskipun Nietzsche sendiri menentang nasionalisme dan antisemitisme,4 saudara perempuannya, Elisabeth Förster-Nietzsche, yang mengelola arsip Nietzsche setelah kematiannya, diketahui telah mengubah dan menyusun ulang tulisan-tulisannya agar selaras dengan ideologi fasis.5

Adolf Hitler dan Partai Nazi menafsirkan Übermensch sebagai justifikasi untuk supremasi ras Arya, meskipun Nietzsche sendiri mengkritik anti-Semitisme dan konsep nasionalisme yang sempit.6 Para sarjana seperti Ronald Beiner menunjukkan bagaimana gagasan Nietzsche tentang kekuasaan dan individu unggul disalahgunakan untuk mendukung kebijakan eugenika dan ekspansionisme Jerman Nazi.7

Namun, beberapa filsuf seperti Richard Schacht dan Brian Leiter menegaskan bahwa interpretasi Nazi terhadap Übermensch adalah penyimpangan yang jauh dari maksud asli Nietzsche. Mereka menekankan bahwa Übermensch lebih merupakan pencapaian individual daripada konsep yang dapat digunakan untuk membenarkan dominasi kolektif berdasarkan ras atau kebangsaan.8

6.3.       Kritik Etis terhadap Konsep Übermensch

Dalam ranah etika, banyak filsuf mengkritik Übermensch karena dianggap memberikan justifikasi bagi relativisme moral atau bahkan tindakan amoral. Karena Übermensch menciptakan nilai-nilainya sendiri tanpa tunduk pada sistem moral tradisional, muncul pertanyaan apakah konsep ini dapat digunakan untuk membenarkan tindakan yang merugikan orang lain.

Jean-Paul Sartre, dalam eksistensialisme ateistiknya, menghormati kebebasan individu sebagaimana yang juga ditekankan oleh Nietzsche, tetapi ia mengkritik Übermensch karena tidak memberikan landasan moral yang kuat dalam interaksi sosial.9 Sartre berpendapat bahwa jika setiap individu bertindak seolah-olah ia adalah Übermensch tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain, maka hasilnya bisa menjadi anarki moral.10

Di sisi lain, Hannah Arendt mengkritik Übermensch karena melihatnya sebagai konsep yang dapat mengarah pada pengabaian terhadap kemanusiaan secara kolektif. Ia berpendapat bahwa jika individu hanya fokus pada pencapaian dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan politik, maka akan terjadi dehumanisasi dan eksklusi terhadap kelompok yang dianggap "lemah".11

Namun, beberapa filsuf postmodern, seperti Michel Foucault, melihat nilai positif dalam gagasan Übermensch. Foucault menganggap bahwa konsep ini memberikan inspirasi bagi individu untuk melawan struktur kekuasaan yang menindas dan menciptakan subjektivitasnya sendiri.12 Dalam konteks ini, Übermensch dapat diartikan sebagai model bagi individu yang menolak norma-norma hegemonik dan membangun identitas yang lebih autentik.


Kesimpulan

Konsep Übermensch dalam filsafat Nietzsche telah menjadi subjek perdebatan panjang dalam dunia filsafat dan politik. Kritik terhadapnya mencakup aspek ambiguitas konseptual, penyalahgunaan dalam ideologi totalitarian, dan permasalahan etika. Meskipun demikian, banyak filsuf juga membela konsep ini sebagai sebuah ajakan untuk pencapaian individual dan pembebasan dari nilai-nilai dogmatis.

Pada akhirnya, bagaimana Übermensch diinterpretasikan tergantung pada pendekatan yang digunakan. Bagi sebagian orang, konsep ini adalah inspirasi untuk menjadi manusia yang lebih unggul secara intelektual dan moral. Namun, bagi yang lain, konsep ini berpotensi disalahgunakan jika tidak dipahami dengan konteks yang benar. Oleh karena itu, diskusi tentang Übermensch tetap relevan dalam filsafat modern, baik sebagai kritik terhadap moralitas tradisional maupun sebagai tantangan terhadap individu untuk terus berkembang dan menciptakan makna hidupnya sendiri.


Footnotes

[1]                Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 102.

[2]                Karl Jaspers, Nietzsche: An Introduction to the Understanding of His Philosophical Activity, terj. Charles F. Wallraff dan Frederick J. Schmitz (Tucson: University of Arizona Press, 1965), 86.

[3]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 317.

[4]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 201.

[5]                Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj. Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 325.

[6]                Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2018), 75.

[7]                Beiner, Dangerous Minds, 102.

[8]                Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 154.

[9]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 47.

[10]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, 55.

[11]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 79.

[12]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, terj. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 112.


7.           Implikasi Konsep Übermensch dalam Kehidupan Modern

Konsep Übermensch yang diperkenalkan Friedrich Nietzsche bukan hanya sekadar gagasan filosofis abstrak, tetapi juga memiliki relevansi yang luas dalam kehidupan modern. Sebagai model manusia yang melampaui batas dirinya, Übermensch menekankan pentingnya kebebasan individu, penciptaan nilai, dan afirmasi terhadap kehidupan. Di era modern yang ditandai dengan globalisasi, sekularisasi, dan krisis identitas, gagasan Nietzsche ini dapat memberikan wawasan dalam berbagai bidang, termasuk pengembangan diri, etika, politik, budaya, dan teknologi.

7.1.       Relevansi Übermensch dalam Era Postmodern dan Individualisme

Dalam era postmodernisme, di mana kebenaran objektif sering dipertanyakan dan nilai-nilai lama mulai runtuh, konsep Übermensch menawarkan sebuah jalan bagi individu untuk menentukan makna hidupnya sendiri.1 Nietzsche melihat dunia modern sebagai dunia yang telah kehilangan pegangan nilai-nilai absolut setelah "kematian Tuhan" (Gott ist tot). Tanpa adanya otoritas moral tradisional, manusia dihadapkan pada pilihan: terjebak dalam nihilisme atau menciptakan nilai-nilai baru sesuai dengan potensinya.2

Banyak pemikir postmodern, seperti Michel Foucault dan Gilles Deleuze, mengadopsi gagasan Nietzsche untuk menekankan pentingnya perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang membelenggu kreativitas manusia.3 Dalam konteks ini, Übermensch dapat dipahami sebagai individu yang tidak pasif terhadap sistem yang mengekang, tetapi aktif dalam membentuk identitasnya sendiri.

Selain itu, dalam era individualisme yang semakin menguat, Übermensch memberikan inspirasi bagi manusia modern untuk tidak hanya mengikuti arus masyarakat, tetapi juga memiliki keberanian untuk berpikir mandiri dan bertindak sesuai dengan keyakinannya.4

7.2.       Implikasi dalam Etika dan Pengembangan Diri

Dalam dunia yang semakin kompetitif dan cepat berubah, banyak orang mengalami krisis eksistensial dan pencarian makna hidup. Übermensch memberikan model tentang bagaimana manusia bisa mencapai potensi terbaiknya dengan cara:

1)                  Menolak konformitas – Tidak menerima begitu saja nilai-nilai yang diwariskan oleh masyarakat, tetapi mengevaluasinya secara kritis.5

2)                  Menegaskan kehidupan – Tidak menghindari tantangan atau penderitaan, tetapi menggunakannya sebagai peluang untuk berkembang.6

3)                  Menciptakan nilai-nilai sendiri – Tidak tunduk pada dogma moral atau sistem etika yang tidak relevan dengan kehidupan pribadi.

Konsep ini sering dibandingkan dengan filsafat eksistensialisme, terutama gagasan authenticity (keaslian diri) dalam pemikiran Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir.7 Übermensch dapat dipahami sebagai individu yang hidup secara autentik, mengambil tanggung jawab penuh atas hidupnya, dan tidak menyalahkan keadaan eksternal atas nasibnya.

Dalam dunia psikologi modern, konsep Übermensch sering dikaitkan dengan self-actualization (aktualisasi diri) dalam teori psikologi humanistik Abraham Maslow.8 Seperti dalam konsep Maslow tentang individu yang telah mencapai puncak aktualisasi, Übermensch adalah manusia yang telah melampaui kebutuhan dasar dan hidup dengan kreativitas serta otonomi penuh.

7.3.       Implikasi dalam Politik dan Sosial

Meskipun Nietzsche sendiri menolak keterlibatan politik secara langsung, banyak sarjana menafsirkan konsep Übermensch sebagai kritik terhadap sistem politik yang mempromosikan mediokrasi dan kepatuhan buta.9 Dalam demokrasi modern, sering kali muncul kecenderungan di mana individu lebih memilih kenyamanan dan kepastian daripada kebebasan berpikir yang radikal. Ini sesuai dengan konsep Der Letzte Mensch (Manusia Terakhir) dalam Thus Spoke Zarathustra, yaitu individu yang hanya peduli pada kesenangan material dan menghindari tantangan hidup.10

Di satu sisi, Übermensch bisa menjadi inspirasi bagi individu untuk mengambil peran aktif dalam perubahan sosial. Pemimpin yang memiliki visi kuat dan tidak tunduk pada tekanan populis dapat dikatakan memiliki kualitas Übermensch, karena mereka mampu melampaui batas norma sosial dan menciptakan kebijakan yang inovatif.11

Namun, kritik terhadap konsep ini dalam ranah politik juga muncul, terutama karena interpretasi yang disalahgunakan oleh rezim totalitarian. Sebagai contoh, Nietzsche sering dikaitkan dengan ideologi fasis, meskipun banyak sarjana menegaskan bahwa ia menolak nasionalisme dan supremasi rasial.12 Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa Übermensch lebih bersifat individualistis daripada kolektivis, dan konsep ini seharusnya tidak digunakan sebagai justifikasi untuk otoritarianisme.

7.4.       Implikasi dalam Budaya dan Seni

Konsep Übermensch juga telah menginspirasi berbagai bentuk karya seni, sastra, dan film. Banyak karakter dalam fiksi modern yang mencerminkan karakteristik Übermensch, seperti dalam tokoh Raskolnikov dalam Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky atau The Joker dalam film The Dark Knight.13

Nietzsche juga berpendapat bahwa seniman sejati adalah representasi dari Übermensch, karena mereka tidak hanya meniru realitas, tetapi menciptakan dunia baru melalui seni.14 Seniman yang mampu melampaui batas konvensional dan menghadirkan perspektif yang benar-benar orisinal dapat dikatakan memiliki semangat Übermensch.

Selain itu, konsep ini juga berperan dalam budaya musik rock dan metal, di mana banyak lirik lagu dan tema album yang terinspirasi oleh gagasan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa dan perlawanan terhadap nilai-nilai tradisional.15

7.5.       Implikasi dalam Teknologi dan Artificial Intelligence (AI)

Dalam era teknologi modern, konsep Übermensch juga dapat dikaitkan dengan perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan transhumanisme. Para pemikir seperti Ray Kurzweil melihat bahwa manusia dapat melampaui keterbatasan biologisnya melalui teknologi, seperti dalam konsep Singularity, di mana manusia dan mesin dapat bersatu untuk menciptakan bentuk kehidupan yang lebih unggul.16

Namun, ada perdebatan apakah pengembangan AI dan teknologi dapat dianggap sebagai wujud dari Übermensch, karena Nietzsche sendiri menekankan pentingnya penciptaan nilai melalui pengalaman manusia, bukan melalui sistem mekanis yang dibuat oleh algoritma.17 Meski demikian, gagasan tentang manusia yang melampaui dirinya sendiri melalui inovasi tetap relevan dalam diskusi modern tentang teknologi dan masa depan umat manusia.


Kesimpulan

Konsep Übermensch dalam filsafat Nietzsche tetap relevan dalam berbagai aspek kehidupan modern, mulai dari pengembangan diri, etika, politik, seni, hingga teknologi. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh konformitas, nihilisme, dan krisis identitas, gagasan ini memberikan inspirasi bagi individu untuk menentukan makna hidupnya sendiri dan melampaui batas dirinya.

Namun, interpretasi dan penerapan konsep ini harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat sejarah penyalahgunaannya dalam politik dan ideologi ekstrem. Sebagai sebuah gagasan filosofis, Übermensch tetap menjadi tantangan bagi manusia modern untuk menjalani kehidupan yang lebih autentik, bebas, dan penuh dengan penciptaan nilai.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage, 1994), 318.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[3]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983), 56.

[4]                Walter Kaufmann, Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Antichrist (Princeton: Princeton University Press, 1974), 214.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 32.

[6]                Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 108.

[7]                Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row, 1954), 96.

[8]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 55.

[9]                Brian Leiter, Nietzsche on Morality (London: Routledge, 2002), 125.

[10]             Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 46.

[11]             Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj. Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 287.

[12]             Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2018), 112.

[13]             Fyodor Dostoevsky, Crime and Punishment, terj. Constance Garnett (New York: Dover Publications, 2001), 245.

[14]             Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 174.

[15]             Kevin Hill, Nietzsche's Critique: Time, Truth, and History (Oxford: Oxford University Press, 2003), 198.

[16]             Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 212.

[17]             Hubert Dreyfus dan Sean Dorrance Kelly, All Things Shining: Reading the Western Classics to Find Meaning in a Secular Age (New York: Free Press, 2011), 134.


8.           Kesimpulan

Konsep Übermensch dalam filsafat Friedrich Nietzsche merupakan salah satu gagasan yang paling berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah pemikiran modern. Sebagai respons terhadap kematian Tuhan (Gott ist tot) dan nihilisme yang mengancam peradaban Barat, Nietzsche memperkenalkan Übermensch sebagai model manusia yang mampu melampaui nilai-nilai moral tradisional dan menciptakan sistem etika serta makna hidupnya sendiri.1 Gagasan ini tidak hanya menawarkan jalan keluar dari krisis eksistensial yang dihadapi manusia modern, tetapi juga menantang individu untuk menjalani hidup secara autentik, kreatif, dan penuh keberanian.

Melalui berbagai karyanya, terutama Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche merumuskan bahwa Übermensch bukan sekadar individu yang lebih kuat atau lebih cerdas, tetapi seseorang yang menolak konformitas dan hidup berdasarkan kehendak untuk berkuasa (will to power).2 Übermensch menegaskan kehidupannya dengan sepenuh hati, menolak nilai-nilai yang dipaksakan oleh otoritas eksternal, dan mengarahkan hidupnya berdasarkan prinsip yang ia ciptakan sendiri. Ia juga mampu menghadapi pengulangan abadi (eternal recurrence) dengan keberanian, yaitu dengan menerima hidupnya tanpa penyesalan dan menjalaninya seolah-olah ia akan mengulanginya selamanya.3

Namun, konsep ini juga menuai kritik dari berbagai kalangan filsafat, terutama terkait ambiguitas makna, potensi penyalahgunaan dalam ideologi politik, dan konsekuensi etis. Beberapa filsuf seperti Karl Jaspers menganggap bahwa Übermensch lebih bersifat alegoris dan tidak memiliki definisi konkret yang dapat diterapkan dalam realitas sosial.4 Sementara itu, penyalahgunaan konsep ini dalam ideologi totalitarian—terutama oleh Nazi Jerman—menunjukkan bagaimana gagasan Nietzsche dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik yang bertentangan dengan pemikiran aslinya.5 Selain itu, beberapa pemikir etika, seperti Jean-Paul Sartre dan Hannah Arendt, mengkhawatirkan bahwa konsep ini dapat digunakan untuk membenarkan relativisme moral atau tindakan yang merugikan orang lain atas nama "penciptaan nilai-nilai baru".6

Meskipun demikian, banyak pemikir modern yang melihat nilai positif dalam konsep Übermensch, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan diri, filsafat eksistensial, dan perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang represif. Michel Foucault, misalnya, menafsirkan konsep ini sebagai inspirasi bagi individu untuk menolak norma-norma hegemonik dan membentuk identitasnya sendiri.7 Selain itu, dalam konteks psikologi humanistik, beberapa pemikir seperti Abraham Maslow mengaitkan Übermensch dengan konsep aktualisasi diri, di mana individu mencapai potensi tertingginya melalui kebebasan dan kreativitas.8

Dalam kehidupan modern, konsep Übermensch tetap memiliki relevansi yang kuat, terutama dalam menghadapi tantangan individualisme, globalisasi, dan perkembangan teknologi. Di era di mana manusia sering kali mencari makna hidup dalam sistem nilai yang terus berubah, Nietzsche menawarkan gagasan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menentukan maknanya sendiri, tanpa bergantung pada dogma atau tradisi yang usang.9 Dengan demikian, Übermensch bukan hanya sekadar model manusia unggul, tetapi juga sebuah tantangan eksistensial bagi manusia modern untuk hidup dengan penuh afirmasi dan kreativitas.

Akhirnya, apakah manusia modern mampu mencapai kondisi Übermensch seperti yang dibayangkan oleh Nietzsche? Pertanyaan ini tetap terbuka dan menjadi perdebatan hingga saat ini. Namun, satu hal yang pasti: gagasan Übermensch tetap relevan sebagai ajakan bagi setiap individu untuk menolak stagnasi dan menjalani hidup dengan kebebasan serta keberanian yang maksimal.10


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[2]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None, terj. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1966), 22.

[3]                Nietzsche, The Gay Science, 273.

[4]                Karl Jaspers, Nietzsche: An Introduction to the Understanding of His Philosophical Activity, terj. Charles F. Wallraff dan Frederick J. Schmitz (Tucson: University of Arizona Press, 1965), 86.

[5]                Ronald Beiner, Dangerous Minds: Nietzsche, Heidegger, and the Return of the Far Right (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2018), 102.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 47; Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 79.

[7]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, terj. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 112.

[8]                Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row, 1954), 96.

[9]                Richard Schacht, Nietzsche (London: Routledge, 1983), 108.

[10]             Rüdiger Safranski, Nietzsche: A Philosophical Biography, terj. Shelley Frisch (New York: W.W. Norton, 2002), 287.


Daftar Pustaka

Beiner, R. (2018). Dangerous minds: Nietzsche, Heidegger, and the return of the far right. University of Pennsylvania Press.

Dostoevsky, F. (2001). Crime and punishment (C. Garnett, Trans.). Dover Publications. (Original work published 1866)

Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy (H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press.

Dreyfus, H., & Kelly, S. D. (2011). All things shining: Reading the Western classics to find meaning in a secular age. Free Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage.

Hill, K. (2003). Nietzsche’s critique: Time, truth, and history. Oxford University Press.

Jaspers, K. (1965). Nietzsche: An introduction to the understanding of his philosophical activity (C. F. Wallraff & F. J. Schmitz, Trans.). University of Arizona Press.

Kaufmann, W. (1974). Nietzsche: Philosopher, psychologist, antichrist. Princeton University Press.

Kurzweil, R. (2005). The singularity is near: When humans transcend biology. Viking.

Leiter, B. (2002). Nietzsche on morality. Routledge.

Maslow, A. (1954). Motivation and personality. Harper & Row.

Nehamas, A. (1985). Nietzsche: Life as literature. Harvard University Press.

Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage. (Original work published 1886)

Nietzsche, F. (1967). On the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage. (Original work published 1887)

Nietzsche, F. (1967). The birth of tragedy (W. Kaufmann, Trans.). Vintage. (Original work published 1872)

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage. (Original work published 1882)

Nietzsche, F. (1966). Thus spoke Zarathustra: A book for all and none (W. Kaufmann, Trans.). Viking Press. (Original work published 1883–1885)

Nietzsche, F. (1967). The will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Safranski, R. (2002). Nietzsche: A philosophical biography (S. Frisch, Trans.). W. W. Norton.

Schacht, R. (1983). Nietzsche. Routledge.

Young, J. (2010). Friedrich Nietzsche: A philosophical biography. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar