Senin, 12 Mei 2025

Sejarah Filsafat Modern Awal: Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Sejarah Filsafat Modern Awal

Sejarah Filsafat Modern Awal

Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Sejarah Filsafat Modern Awal


Alihkan ke: Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam periode filsafat modern awal melalui pendekatan sinkronik dan diakronik, dengan menyoroti dinamika intelektual antara rasionalisme dan empirisme yang berkembang pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18. Pendekatan diakronik digunakan untuk melacak transformasi historis dari kerangka skolastik menuju paradigma baru yang menekankan otonomi akal dan metode ilmiah. Sementara itu, pendekatan sinkronik diterapkan untuk memahami jaringan pemikiran yang hidup dan saling berinteraksi antara para filsuf besar seperti Descartes, Spinoza, Leibniz, Bacon, Hobbes, dan Locke. Di puncak pertarungan epistemologis antara dua kutub pemikiran tersebut, Immanuel Kant hadir dengan sintesis transendental yang menggabungkan kekuatan rasionalisme dan empirisme dalam kerangka kritik. Artikel ini juga menelusuri warisan filsafat modern awal terhadap perkembangan pemikiran kontemporer di bidang epistemologi, etika, politik, teknologi, dan metodologi ilmu pengetahuan. Melalui integrasi pendekatan sinkronik dan diakronik, artikel ini tidak hanya menyajikan pemetaan historis tetapi juga analisis struktural atas dinamika filsafat modern awal, serta menekankan pentingnya cara pandang historis dan relasional dalam studi filsafat.

Kata Kunci: Filsafat modern awal; rasionalisme; empirisme; Immanuel Kant; sinkronik; diakronik; epistemologi; revolusi intelektual; sejarah filsafat; pemikiran modern.


PEMBAHASAN

Rasionalisme dan Revolusi Intelektual


1.           Pendahuluan

Sejarah filsafat modern awal menandai sebuah babak krusial dalam perjalanan intelektual Barat, di mana paradigma pemikiran mulai bergeser dari dominasi otoritas teologis dan metafisika skolastik menuju penalaran rasional dan metodologi ilmiah. Masa ini—yang berlangsung dari abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18—ditandai oleh munculnya keyakinan baru akan kemampuan akal manusia untuk memahami realitas secara mandiri dan sistematis. Filsafat tidak lagi sekadar menjadi pelayan teologi (ancilla theologiae), tetapi tampil sebagai medan otonom dalam mencari dasar-dasar pengetahuan, etika, dan keberadaan.1

Pendekatan diakronik memungkinkan kita untuk menelusuri bagaimana transformasi filsafat dari periode skolastik menuju modern awal berlangsung secara historis. Kita dapat melihat kontinuitas dan disrupsi intelektual yang terjadi, mulai dari pengaruh Renaisans dan Reformasi, hingga Revolusi Ilmiah yang mengubah fondasi epistemologis zaman. Tokoh-tokoh seperti Francis Bacon dan René Descartes tidak muncul dalam kekosongan, tetapi lahir dari pergumulan zaman yang sedang mengalami krisis otoritas dan mencari paradigma baru dalam memahami dunia.2

Sementara itu, pendekatan sinkronik membantu kita memahami secara mendalam bagaimana berbagai sistem filsafat yang lahir pada kurun waktu yang relatif berdekatan—seperti rasionalisme, empirisme, dan awal filsafat politik modern—berdialog, berkonflik, bahkan saling melengkapi satu sama lain. Pendekatan ini memperlihatkan jaringan relasi konseptual antara Descartes, Spinoza, dan Leibniz sebagai pemikir rasionalis, serta Bacon, Hobbes, dan Locke sebagai pionir empirisme dan materialisme. Dengan melihat hubungan-hubungan ini secara horizontal, kita dapat memahami dinamika intelektual yang membentuk wajah filsafat modern awal secara menyeluruh.3

Lahirnya filsafat modern awal juga tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman yang lebih luas, yaitu Revolusi Intelektual. Revolusi ini ditandai oleh pemutusan dari otoritas tradisional (gereja, Aristotelianisme skolastik) dan penemuan kembali kepercayaan pada akal manusia. Rasionalisme bukan sekadar teori pengetahuan, tetapi sebuah etos zaman (zeitgeist) yang menyokong kemajuan ilmu pengetahuan, emansipasi politik, dan kebangkitan humanisme baru.4 Dalam konteks ini, artikel ini bertujuan menyajikan kajian yang komprehensif terhadap filsafat modern awal, baik dalam dimensi perkembangan historisnya maupun dalam konteks dialektika ide yang melingkupinya.

Dengan menggabungkan pendekatan sinkronik dan diakronik, kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh terhadap transformasi filsafat Barat dari dunia skolastik menuju dunia modern, serta menampilkan relevansinya bagi pemikiran kontemporer.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV – Modern Philosophy from Descartes to Leibniz (New York: Image Books, 1994), 3–5.

[2]                Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy: Volume 3 – The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2006), 1–8.

[3]                Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 547–556.

[4]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press, 2006), 389–401.


2.           Konteks Historis dan Epistemologis (Pendekatan Diakronik)

Untuk memahami kelahiran filsafat modern awal secara utuh, penting untuk terlebih dahulu menelusuri konteks sejarah dan epistemologis yang menjadi latar belakang kemunculannya. Pendekatan diakronik menempatkan perkembangan pemikiran dalam kerangka waktu historis yang memperlihatkan transformasi ide dan struktur intelektual secara bertahap.

2.1.       Keruntuhan Otoritas Skolastik dan Gereja

Pada akhir Abad Pertengahan, filsafat Barat sangat dipengaruhi oleh kerangka skolastik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas. Namun, sistem ini mulai mengalami krisis ketika penalaran teologis tidak mampu lagi menjawab tantangan-tantangan zaman, seperti munculnya ilmu pengetahuan baru dan pertanyaan eksistensial manusia pasca-Wabah Hitam dan konflik gereja.1 Gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori Martin Luther pada awal abad ke-16 memperparah krisis otoritas ini, menghantam kepercayaan terhadap otoritas gereja Katolik sekaligus membuka ruang bagi kebebasan berpikir dan interpretasi yang lebih individual terhadap realitas dan teks suci.2

2.2.       Renaisans: Kelahiran Kembali Nalar Kritis

Masa Renaisans membawa semangat baru yang menekankan nilai-nilai humanisme, kebangkitan budaya klasik Yunani-Romawi, serta keyakinan pada potensi akal manusia. Dalam konteks filsafat, Renaisans menandai titik awal pergeseran orientasi dari teosentrisme menuju antroposentrisme. Para humanis seperti Erasmus dan Petrarch menghidupkan kembali metode kritik filologis dan rasionalitas retoris yang memperkuat fondasi bagi pemikiran otonom manusia dalam memahami dunia.3

2.3.       Revolusi Ilmiah: Perombakan Epistemologis

Abad ke-16 dan 17 menyaksikan perubahan radikal dalam cara manusia memahami alam semesta. Penemuan heliosentrisme oleh Copernicus, disempurnakan oleh Galileo dan Kepler, menggulingkan pandangan geosentris yang telah lama dipegang oleh gereja. Galileo, dengan pendekatan eksperimentalnya, memperkenalkan paradigma pengamatan empiris dan matematika sebagai dasar pengetahuan ilmiah yang sah.4 Newton kemudian memformulasikan prinsip-prinsip mekanika universal dalam Principia Mathematica (1687), menjadikan alam semesta tampak sebagai sistem rasional dan dapat diprediksi, bagaikan mesin yang bekerja menurut hukum-hukum tetap.5 Epistemologi berubah drastis dari deduksi otoritatif menuju deduksi dan induksi berbasis rasio dan observasi.

2.4.       Pergeseran Paradigma Filsafat

Transformasi di bidang ilmu pengetahuan ini berdampak besar terhadap orientasi filsafat. Pengetahuan tidak lagi harus dibenarkan oleh otoritas kitab suci atau ajaran gereja, melainkan oleh akal itu sendiri. René Descartes menandai awal periode filsafat modern dengan Discours de la Méthode (1637), menolak segala pengetahuan yang tidak dapat dipastikan dengan akal yang jernih dan metodis. Di sinilah lahir rasionalisme modern, yang menjadikan kepastian logis sebagai fondasi epistemik utama.6 Sementara itu, Francis Bacon meletakkan dasar bagi empirisme modern, menekankan pentingnya observasi dan eksperimen sebagai dasar ilmu pengetahuan yang dapat diverifikasi.7

Dengan demikian, melalui lensa diakronik, kita dapat melihat bahwa filsafat modern awal merupakan hasil dari proses historis yang panjang dan kompleks. Ia tidak muncul secara mendadak, melainkan sebagai respons terhadap dinamika sosial, intelektual, dan religius yang melanda Eropa sejak akhir Abad Pertengahan. Filsafat dalam periode ini merupakan manifestasi dari pencarian paradigma baru untuk memahami dunia, manusia, dan kebenaran di luar dogma lama.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume III – Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 389–395.

[2]                Alister E. McGrath, Reformation Thought: An Introduction (Oxford: Wiley-Blackwell, 2012), 43–49.

[3]                Charles G. Nauert, Humanism and the Culture of Renaissance Europe (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 77–84.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Copernican Revolution: Planetary Astronomy in the Development of Western Thought (Cambridge: Harvard University Press, 1957), 198–205.

[5]                I. Bernard Cohen, The Newtonian Revolution (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 34–38.

[6]                René Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting the Reason (1637), trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 6–9.

[7]                Francis Bacon, The New Organon, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45–52.


3.           Arsitek Rasionalisme dan Empirisme (Pendekatan Sinkronik)

Pendekatan sinkronik memungkinkan kita untuk menganalisis pemikiran-pemikiran filsuf besar yang hidup dalam satu periode sejarah yang sama—yakni abad ke-17 hingga awal abad ke-18—serta membandingkan struktur konseptual dari aliran filsafat yang mereka bangun. Filsafat modern awal ditandai oleh pertarungan intelektual antara dua kutub epistemologis: rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini mewakili dua pendekatan utama dalam menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yang sahih?

3.1.       Rasionalisme: Kepercayaan pada Akal Budi

Kaum rasionalis berpandangan bahwa akal budi merupakan sumber utama dan paling andal dalam memperoleh pengetahuan. Mereka percaya bahwa ada kebenaran-kebenaran tertentu yang bersifat apriori, universal, dan dapat diketahui secara pasti tanpa bantuan pengalaman indrawi.

3.1.1.    René Descartes (1596–1650)

Sebagai bapak filsafat modern, Descartes memulai proyek filsafatnya dengan metode keraguan radikal. Ia meragukan segala sesuatu yang mungkin salah, hingga akhirnya menemukan satu kebenaran yang tak terbantahkan: cogito ergo sum—“aku berpikir maka aku ada.”1 Baginya, akal adalah fondasi seluruh kepastian, dan hanya dengan akal manusia dapat menyusun sistem pengetahuan secara deduktif dan logis. Ia juga mengembangkan dualisme substansi, yang membedakan antara res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi berjisim).2

3.1.2.    Baruch Spinoza (1632–1677)

Spinoza mengembangkan pandangan monistik yang radikal dalam Ethica, di mana ia menolak dualisme Descartes dan menyatakan bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan atau alam (Deus sive Natura).3 Baginya, segala sesuatu adalah ekspresi dari substansi tunggal itu. Pengetahuan sejati hanya bisa diperoleh melalui penalaran geometris, mengikuti logika yang ketat dan bebas dari prasangka religius maupun indrawi.

3.1.3.    Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716)

Leibniz mengusulkan teori monadologi, bahwa realitas terdiri dari “monad”—entitas metafisik non-materi yang tidak dapat dipecah lebih lanjut. Ia juga dikenal dengan doktrin harmoni prastabilisasi, yakni bahwa semua monad berjalan selaras karena telah ditentukan sejak awal oleh Tuhan.4 Berbeda dengan Descartes dan Spinoza, Leibniz memadukan unsur rasionalisme dengan prinsip keharmonisan teologis, menjadikannya tokoh penting dalam transisi menuju idealisme Jerman.

3.2.       Empirisme: Pengetahuan dari Pengalaman

Berbeda dengan kaum rasionalis, para empiris menekankan bahwa pengetahuan yang sahih hanya dapat diperoleh melalui pengalaman indrawi. Pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa (lembar kosong), yang kemudian diisi oleh data-data pengalaman.

3.2.1.    Francis Bacon (1561–1626)

Sebagai pelopor metode ilmiah modern, Bacon menolak deduksi skolastik dan mengembangkan metode induksi, yakni menyusun kesimpulan umum dari fakta-fakta partikular. Dalam Novum Organum, ia mengecam “berhala-berhala” berpikir yang menghalangi manusia dari pengetahuan objektif, seperti prasangka budaya dan bahasa.5

3.2.2.    Thomas Hobbes (1588–1679)

Dalam Leviathan, Hobbes menyatakan bahwa seluruh pengetahuan berasal dari gerak materi yang ditangkap oleh pancaindra. Ia memandang manusia sebagai makhluk materialis dan egoistik, yang karena dorongan untuk bertahan hidup, menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara untuk menghindari kekacauan.6 Kontribusinya tidak hanya dalam epistemologi, tetapi juga dalam filsafat politik modern.

3.2.3.    John Locke (1632–1704)

Locke secara sistematis menolak gagasan tentang ide bawaan (innate ideas) dan membela pandangan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman: baik melalui pengamatan eksternal (sensation) maupun refleksi internal (reflection). Dalam Essay Concerning Human Understanding, ia merumuskan fondasi empirisme modern dan memengaruhi alur besar pemikiran politik dan pendidikan.7

3.3.       Dialog Konseptual antara Dua Kutub

Melalui pendekatan sinkronik, kita dapat memetakan hubungan dialogis maupun polemis antara para filsuf rasionalis dan empiris ini. Meskipun berbeda dalam metode dan epistemologi, mereka berbagi semangat zaman yang sama: membebaskan pemikiran dari otoritas lama dan mencari sistem pengetahuan yang mandiri, pasti, dan rasional. Ketegangan antara akal dan pengalaman ini akan mencapai puncaknya dalam filsafat Immanuel Kant, yang mencoba mensintesiskan kedua pendekatan ini pada akhir abad ke-18.


Footnotes

[1]                René Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting the Reason (1637), trans. Ian Maclean (Oxford: Oxford University Press, 2006), 23–27.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV – Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 25–29.

[3]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 3–5.

[4]                G.W. Leibniz, Monadology and Other Philosophical Essays, trans. Paul Schrecker and Anne Martin Schrecker (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1965), 87–91.

[5]                Francis Bacon, The New Organon, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 19–27.

[6]                Thomas Hobbes, Leviathan (1651), ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 85–93.

[7]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (1690), ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 104–113.


4.           Pertarungan Rasionalisme dan Empirisme

Periode filsafat modern awal ditandai oleh ketegangan intelektual yang tajam antara dua pendekatan epistemologis besar: rasionalisme dan empirisme. Keduanya tidak hanya berbeda dalam metodologi dan sumber utama pengetahuan, tetapi juga dalam konsepsi tentang realitas, struktur pikiran manusia, dan fungsi filsafat itu sendiri. Dengan pendekatan sinkronik, kita menyaksikan bagaimana kedua aliran ini berkembang secara sejajar dalam kurun waktu yang sama, sementara dengan pendekatan diakronik, kita dapat menelusuri bagaimana ketegangan ini memunculkan respons kritis dari generasi filsuf berikutnya, seperti yang tampak dalam sintesis Kantian pada akhir abad ke-18.

4.1.       Dasar Epistemologis: Akal vs. Pengalaman

Kaum rasionalis seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz meyakini bahwa kebenaran hakiki bersumber dari akal budi yang bersifat apriori dan independen dari pengalaman indrawi. Mereka mengembangkan sistem deduktif yang dimulai dari prinsip-prinsip dasar yang dianggap pasti, seperti eksistensi subjek berpikir (Descartes) atau substansi ilahi (Spinoza).1

Sebaliknya, empiris seperti Bacon, Hobbes, dan Locke memandang bahwa semua ide dan pengetahuan berasal dari pengalaman. Locke menegaskan bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah "tabula rasa" yang diisi oleh data-data yang datang dari luar melalui indra dan refleksi internal.2 Dengan demikian, empirisme menolak gagasan tentang ide-ide bawaan dan lebih mengandalkan metode induktif yang menekankan pada pengamatan, generalisasi, dan eksperimentasi.

4.2.       Konsekuensi Ontologis dan Antropologis

Perbedaan epistemologis antara dua aliran ini berdampak luas pada pandangan tentang realitas dan manusia. Dalam rasionalisme, realitas memiliki struktur yang koheren dan dapat ditangkap sepenuhnya oleh akal. Descartes melihat dunia sebagai sistem mekanistik yang dapat dimengerti melalui matematika dan logika.3 Sebaliknya, empirisme memandang realitas sebagai hasil dari persepsi, dan oleh karena itu bersifat probabilistik dan tidak absolut. Hobbes bahkan mereduksi manusia menjadi mesin biologis yang dikendalikan oleh gerak dan nafsu belaka, suatu pandangan yang sangat materialistik dan deterministik.4

4.3.       Implikasi terhadap Ilmu Pengetahuan dan Politik

Pertarungan antara rasionalisme dan empirisme juga tercermin dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern. Rasionalisme memberi fondasi bagi ilmu-ilmu formal seperti matematika dan logika, serta menginspirasi keyakinan bahwa segala realitas dapat dikonstruksi dari prinsip-prinsip pertama. Sementara itu, empirisme menjadi dasar bagi metode ilmiah modern, yang menuntut verifikasi empiris dan observasi langsung terhadap gejala-gejala alam.

Dalam bidang politik, pendekatan rasionalis mengilhami teori hak-hak kodrati dan hukum alam yang bersifat universal, seperti yang terlihat dalam pemikiran Leibniz dan Rousseau. Sebaliknya, Locke yang berakar pada empirisme mengembangkan teori kontrak sosial yang lebih pragmatis dan berbasis pengalaman sosial-politik historis, yang kemudian mengilhami liberalisme modern.5

4.4.       Kritik dan Reaksi Kritis: Jalan Menuju Sintesis

Konflik antara dua pendekatan ini memunculkan krisis epistemologis yang semakin kompleks menjelang akhir abad ke-18. Rasionalisme dituding terlalu spekulatif dan mengabaikan dunia nyata, sementara empirisme dinilai gagal menjelaskan struktur logis dari pengalaman itu sendiri. Kritik ini mencapai puncaknya dalam karya Immanuel Kant, yang mencoba mensintesiskan keduanya dalam Critique of Pure Reason (1781). Ia menyatakan bahwa “pikiran tanpa isi adalah kosong; intuisi tanpa konsep adalah buta.”6 Kant mengakui bahwa semua pengetahuan berawal dari pengalaman, tetapi harus diolah melalui struktur apriori dalam pikiran manusia, seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori pemahaman.

Dengan demikian, pendekatan diakronik menunjukkan bahwa pertarungan antara rasionalisme dan empirisme bukanlah pertempuran yang menghasilkan pemenang tunggal, melainkan dialektika kreatif yang mendorong filsafat menuju level refleksi yang lebih tinggi. Sementara pendekatan sinkronik membantu kita memahami peta intelektual yang saling berhadapan secara argumentatif dalam periode yang sama, pendekatan diakronik menyajikan perkembangan evolutif menuju integrasi dan refleksi yang lebih matang dalam pemikiran filsafat.


Footnotes

[1]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 23–30.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Oxford University Press, 1975), 104–110.

[3]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Kluwer Academic, 1983), I.45–I.64.

[4]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 23–29.

[5]                John Dunn, The Political Thought of John Locke: An Historical Account of the Argument of the "Two Treatises of Government" (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 49–53.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.


5.           Immanuel Kant dan Sintesis Kritik

Di tengah ketegangan epistemologis antara rasionalisme dan empirisme yang mendominasi filsafat modern awal, muncul seorang pemikir yang mengubah arah diskursus secara radikal: Immanuel Kant (1724–1804). Dengan pendekatan kritis, Kant berusaha mengatasi konflik dualistik tersebut melalui sintesis yang melampaui keduanya, membuka jalan baru bagi filsafat modern akhir. Pendekatan sinkronik memungkinkan kita melihat posisi Kant sebagai respon konseptual terhadap sistem Descartes-Leibniz maupun Locke-Hume, sementara pendekatan diakronik menempatkan Kant dalam jalur perkembangan historis menuju paradigma transendental dalam filsafat.

5.1.       Kritik terhadap Rasionalisme dan Empirisme

Kant memulai proyek filsafatnya setelah membaca karya David Hume, yang menurutnya "membangunkannya dari tidur dogmatis."1 Ia mengkritik rasionalisme karena membangun sistem metafisika tanpa fondasi empiris yang sahih, dan mengkritik empirisme karena gagal menjelaskan bagaimana struktur pengetahuan dapat memiliki keharusan universal jika hanya bergantung pada pengalaman yang bersifat kontingen. Dalam Critique of Pure Reason (1781), Kant menyatakan bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki kebenaran parsial namun belum utuh.

5.2.       Sintesis Transendental: Pengetahuan sebagai Konstruksi Aktif

Dalam filsafat transendental Kant, pengetahuan bukanlah hasil pasif dari pengalaman (sebagaimana dalam empirisme), maupun hasil deduksi semata dari akal (sebagaimana dalam rasionalisme), melainkan konstruksi aktif oleh subjek melalui struktur-struktur apriori yang sudah melekat dalam pikiran manusia. Ia mengajukan tesis terkenal: “Pikiran tanpa isi adalah kosong; intuisi tanpa konsep adalah buta.”2

Kant membagi bentuk pengetahuan menjadi dua unsur utama:

1)                  Intuisi apriori, yakni bentuk-bentuk persepsi ruang dan waktu.

2)                  Konsep-konsep apriori, yaitu kategori-kategori pemahaman seperti kausalitas, kesatuan, dan substansi.3

Dengan struktur ini, dunia fenomenal (dunia yang tampak) dapat dikenali dan dianalisis secara ilmiah, tetapi noumenal (hakikat benda pada dirinya sendiri) tetap berada di luar jangkauan rasio manusia. Kant membatasi ruang metafisika spekulatif dan menegaskan bahwa kita hanya dapat mengetahui fenomena, bukan hakikat mutlak dari realitas.

5.3.       Revolusi Kopernikan dalam Filsafat

Kant menyebut pendekatannya sebagai “revolusi kopernikan” dalam filsafat, karena jika sebelumnya filsuf berpikir bahwa pengetahuan harus menyesuaikan diri dengan objek, Kant justru menyatakan bahwa objeklah yang harus menyesuaikan diri dengan struktur subjek. Dengan kata lain, realitas sebagaimana dipahami bukanlah dunia “di luar” yang netral, tetapi sudah difilter oleh cara kerja kesadaran manusia.4

Pergeseran ini menyusun kembali epistemologi modern dari fondasi yang baru: antara empirisme yang terlalu tergantung pada data luar, dan rasionalisme yang terlalu spekulatif, Kant menciptakan epistemologi kritis-transendental yang bersifat reflektif dan otonom.

5.4.       Dampak Filosofis dan Historis

Pendekatan Kant menandai titik balik dalam sejarah filsafat, mengakhiri masa filsafat modern awal dan membuka gerbang menuju filsafat modern akhir serta idealisme Jerman. Tokoh-tokoh seperti Fichte, Schelling, dan Hegel sangat dipengaruhi oleh kritik Kant, walaupun kemudian mereka melanjutkan dan merevisi fondasi transendentalnya. Dalam hal ini, pendekatan diakronik memperlihatkan Kant sebagai titik artikulasi historis antara proyek metafisika klasik dan kesadaran historis modern yang reflektif.

Di sisi lain, pendekatan sinkronik menempatkan Kant sebagai pemikir yang berdiri dalam konstelasi besar pertarungan intelektual zaman, merespon secara sistematis kegagalan dua pendekatan ekstrem yang mendominasi abad ke-17 dan ke-18. Filsafatnya bukan sekadar sintesis eklektik, melainkan pembaruan metodologis yang mempertanyakan dasar-dasar kemungkinan pengetahuan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Gary Hatfield (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 10–11.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[3]                Ibid., A76/B102–A83/B109.

[4]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1–4.


6.           Warisan Filsafat Modern Awal dalam Filsafat Kontemporer

Filsafat modern awal bukanlah fase yang berakhir secara tertutup, melainkan sebuah fondasi kokoh yang terus membentuk arsitektur pemikiran filsafat kontemporer. Melalui pendekatan diakronik, kita dapat menelusuri bagaimana gagasan-gagasan besar dari Descartes hingga Kant diwariskan, ditransformasi, bahkan dikritisi dalam perkembangan filsafat abad ke-19 hingga abad ke-21. Pendekatan sinkronik membantu kita melihat bagaimana prinsip-prinsip rasionalisme dan empirisme tetap hidup dan berinteraksi dalam ranah filsafat kontemporer, baik dalam tradisi analitik maupun kontinental.

6.1.       Pengaruh terhadap Epistemologi dan Metafisika Modern

Warisan filsafat rasionalis dan empiris secara langsung melahirkan dua kutub besar filsafat kontemporer: filsafat analitik di dunia Anglo-Saxon dan filsafat kontinental di Eropa daratan. Di satu sisi, empirisme Locke dan Hume menginspirasi positivisme logis, yang menuntut verifikasi empiris sebagai syarat makna dalam bahasa filsafat dan ilmu pengetahuan.1 Di sisi lain, rasionalisme Leibniz dan Kant memberikan fondasi bagi strukturalisme dan fenomenologi, yang menekankan struktur apriori dalam kesadaran dan bahasa, seperti terlihat dalam karya Husserl dan kemudian Merleau-Ponty.

Konsep-konsep Kant tentang kategori pemahaman dan transendentalitas subjek menjadi dasar penting bagi perkembangan fenomenologi dan eksistensialisme. Jean-Paul Sartre, misalnya, menyerap kerangka Kantian sambil mengkritik batasannya terhadap kebebasan eksistensial manusia.2 Begitu pula, Heidegger memulai karier filosofisnya sebagai pembaca Kant sebelum menggali eksistensialitas melalui struktur temporalitas dan keberadaan (Sein).

6.2.       Rasionalisme dan Revolusi Teknologi

Gagasan bahwa alam semesta dapat dipahami secara matematis dan logis, sebagaimana dirintis oleh Descartes dan Leibniz, memberi kontribusi besar terhadap kelahiran logika simbolik, komputasi, dan bahkan kecerdasan buatan (AI). Leibniz, misalnya, membayangkan bahasa universal logika (characteristica universalis) yang kelak direalisasikan sebagian melalui perkembangan komputer dan bahasa formal dalam informatika modern.3 Dalam konteks ini, filsafat modern awal tidak hanya memberi inspirasi teoritis, tetapi juga membentuk dasar bagi revolusi teknologi abad ke-20 dan ke-21.

6.3.       Implikasi Etika dan Politik

Teori kontrak sosial yang dikembangkan oleh Hobbes dan Locke menjadi model dasar dalam teori politik liberal kontemporer. Konsep hak asasi manusia, pemerintahan berdasarkan persetujuan rakyat, dan pemisahan kekuasaan banyak berakar pada filsafat empiris-politik modern awal, khususnya pemikiran Locke yang memengaruhi Konstitusi Amerika dan Revolusi Prancis.4

Di bidang etika, warisan Kantian sangat dominan, khususnya melalui formulasi imperatif kategoris dan prinsip otonomi moral, yang terus memengaruhi diskursus filsafat moral, bioetika, dan hak-hak individual dalam masyarakat plural modern.5 Diskursus etika deontologis modern—baik dalam filsafat hukum maupun filsafat publik—mengakar kuat dalam fondasi rasional Kantian.

6.4.       Rasionalitas dalam Krisis: Kritik Posmodern

Warisan filsafat modern awal juga menghadapi tantangan keras dari para pemikir posmodern. Tokoh seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mempertanyakan klaim universalitas dan netralitas dari rasionalitas modern. Bagi mereka, filsafat modern terlalu percaya diri dalam kapasitas akal dan sering mengabaikan dimensi kekuasaan, bahasa, dan relativitas sejarah.6 Namun demikian, bahkan dalam kritiknya, posmodernisme tetap berhutang secara struktural pada warisan diskursif rasionalisme dan empirisme, terutama dalam metode dekonstruksi dan arkeologi pengetahuan yang secara genealogis melacak jejak-jejak ide.

6.5.       Kesinambungan Reflektif: Melampaui Dikotomi Lama

Melalui lensa diakronik, kita dapat memahami bahwa filsafat kontemporer tidak lagi terikat dalam dikotomi keras antara rasionalisme dan empirisme, tetapi bergerak ke arah pendekatan integratif yang lebih reflektif. Munculnya neorasionalisme, empirisme kritis, dan pendekatan interdisipliner menandakan bahwa warisan filsafat modern awal masih menjadi medan artikulatif bagi sintesis baru. Penekanan pada struktur kognitif manusia, logika formal, dan pengalaman subjektif terus menjadi tema utama dalam filsafat saat ini.


Footnotes

[1]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books, 2001), 33–47.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (London: Routledge, 2003), 10–14.

[3]                G.W. Leibniz, Philosophical Essays, ed. and trans. Roger Ariew and Daniel Garber (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 231–240.

[4]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–309.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 49–62.

[6]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A.M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 135–140.


7.           Relevansi Sinkronik dan Diakronik dalam Studi Filsafat Modern

Dalam studi sejarah filsafat, pendekatan sinkronik dan diakronik bukanlah sekadar metode analisis formal, tetapi merupakan alat epistemologis yang memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap kompleksitas ide-ide filosofis. Keduanya berperan penting dalam mengungkap dinamika internal dan eksternal dari perkembangan pemikiran manusia, khususnya dalam periode filsafat modern awal. Kombinasi dari kedua pendekatan ini menjadi sangat relevan dalam menafsirkan warisan intelektual rasionalisme, empirisme, dan kritik Kantian secara utuh dan kontekstual.

7.1.       Pendekatan Diakronik: Menelusuri Evolusi Ide

Pendekatan diakronik memungkinkan kita untuk melihat transformasi historis pemikiran filosofis dari satu fase ke fase berikutnya. Dalam konteks filsafat modern awal, metode ini membuka wawasan tentang bagaimana transisi dari skolastisisme abad pertengahan menuju renaisans dan akhirnya ke rasionalisme serta empirisme mencerminkan pergeseran paradigma yang mendalam dalam cara manusia memahami dunia dan dirinya.

Sebagai contoh, ide tentang cogito Descartes hanya dapat dipahami secara utuh bila kita menempatkannya dalam konteks historis tentang krisis epistemologis dan teologis pasca-Reformasi dan pasca-Wabah Hitam.1 Begitu pula, respons Kant terhadap Hume tidak hanya menunjukkan evolusi konseptual, tetapi juga menunjukkan kontinuitas dan perpecahan dalam warisan filsafat Eropa.2

Pendekatan ini juga memperlihatkan interkonektivitas historis, yaitu bagaimana ide-ide filosofis saling merespons, mengembangkan, atau menggugurkan satu sama lain dalam jalur waktu tertentu. Dengan demikian, diakroni tidak sekadar memetakan sejarah pemikiran, tetapi juga membentuk narasi koheren atas perkembangan rasionalitas itu sendiri.

7.2.       Pendekatan Sinkronik: Membaca Jaringan Intelektual

Sementara pendekatan diakronik bersifat longitudinal, pendekatan sinkronik bersifat transversal, yakni melihat bagaimana pemikiran-pemikiran besar hidup dan saling berinteraksi dalam satu kerangka zaman yang sama. Dengan pendekatan ini, kita dapat memetakan jaringan konseptual yang menghubungkan Descartes, Spinoza, dan Leibniz dalam kerangka rasionalisme, dan membandingkannya secara struktural dengan Bacon, Hobbes, dan Locke dalam koridor empirisme.

Pendekatan sinkronik mendorong analisis komparatif dan sistemik, memungkinkan kita untuk memahami struktur dan argumentasi para filsuf dalam medan polemik intelektual yang sama. Misalnya, pertentangan antara gagasan tentang ide bawaan (Descartes) dan tabula rasa (Locke) dapat dilihat sebagai refleksi sinkronik dari dua orientasi epistemologis yang berbeda, tetapi muncul dan bertarung dalam konteks historis yang sama, yakni pasca-Renaisans dan pasca-Revolusi Ilmiah.3

Selain itu, pendekatan sinkronik membantu menghindari kesalahan anakronistik dalam interpretasi sejarah filsafat. Ia menjaga agar penilaian terhadap suatu pemikiran tidak terlepas dari sistem nilai, bahasa, dan horizon pemahaman zamannya.

7.3.       Sinergi Keduanya dalam Kajian Filsafat

Relevansi pendekatan sinkronik dan diakronik semakin terasa ketika keduanya dipadukan secara dialektis. Di satu sisi, diakroni menyajikan kontinuitas sejarah ide dan transisi paradigmatik. Di sisi lain, sinkroni memperlihatkan ruang argumentatif yang hidup dan saling memengaruhi dalam satu periode tertentu.

Dalam studi filsafat modern, pendekatan terpadu ini penting untuk mengungkap relasi antaride dan konteks sosial-intelektual yang membentuknya. Kajian terhadap filsafat Kant, misalnya, tidak akan utuh tanpa diakroni yang menelusuri responsnya terhadap Hume dan Leibniz, maupun tanpa sinkroni yang menempatkan gagasannya dalam lanskap rasionalisme dan empirisme kontemporer.

7.4.       Kontribusi bagi Pendidikan dan Penalaran Kritis

Dalam konteks pendidikan filsafat, kedua pendekatan ini memiliki nilai pedagogis tinggi. Pendekatan diakronik menanamkan kesadaran historis dan kronologis terhadap perkembangan ide, sedangkan pendekatan sinkronik melatih kemampuan analitis untuk menguraikan struktur dan keterkaitan ide-ide dalam konteks debat konseptual. Kombinasi keduanya tidak hanya memperkuat pemahaman terhadap isi filsafat, tetapi juga membentuk metode berpikir kritis yang berakar dalam sejarah sekaligus terbuka terhadap diskursus lintas waktu.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume IV – Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 7–12.

[2]                Paul Guyer, Kant (London: Routledge, 2006), 20–23.

[3]                John Yolton, John Locke and the Way of Ideas (Oxford: Oxford University Press, 1956), 33–40.


8.           Penutup

Filsafat modern awal merupakan tonggak peradaban intelektual Barat yang menandai kebangkitan nalar manusia dari belenggu otoritas skolastik menuju otonomi akal budi dan observasi ilmiah. Melalui pendekatan sinkronik, kita telah melihat bahwa rasionalisme dan empirisme berkembang dalam kerangka historis yang sama namun berangkat dari fondasi epistemologis yang berbeda, masing-masing dengan argumen dan struktur berpikir yang khas. Di sisi lain, pendekatan diakronik telah menyingkap kontinuitas historis dari krisis intelektual abad pertengahan, transformasi pemikiran pada masa Renaisans dan Reformasi, hingga sintesis kritis yang ditawarkan oleh Kant sebagai respons terhadap kedua kutub pemikiran tersebut.

Pentingnya pendekatan ganda ini terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan dimensi sejarah dan sistem, perubahan dan struktur, kronologi dan dialog, yang semuanya bersifat esensial dalam memahami dinamika pemikiran filosofis. Filsafat tidak dapat dipahami hanya sebagai barisan tokoh atau kronologi ide; ia adalah medan dialektika, tempat berbagai gagasan bersaing, berdialog, dan bertransformasi dalam ruang dan waktu.

Kelahiran rasionalisme Descartes, keharmonisan metafisik Leibniz, serta eksperimentalisme Bacon dan skeptisisme Hume, menunjukkan betapa filsafat modern awal kaya akan variasi pemikiran yang saling menegaskan maupun menegasi. Kant, dalam posisinya yang strategis secara historis dan sistematis, menandai upaya filosofis besar untuk mengatasi dikotomi tersebut dengan membangun kerangka transendental yang tetap menjadi rujukan utama dalam epistemologi dan metafisika modern hingga kini.1

Warisan intelektual dari periode ini tidak hanya membentuk fondasi filsafat modern akhir, tetapi juga terus menginspirasi debat kontemporer dalam logika, politik, etika, teknologi, dan humaniora. Prinsip-prinsip filsafat modern awal, seperti otonomi rasio, hakikat pengalaman, struktur pengetahuan, dan kebebasan moral, telah membentuk DNA dari modernitas itu sendiri.2

Maka dari itu, mengkaji filsafat modern awal bukan sekadar menyelami masa lalu intelektual, tetapi juga menapaki akar pemikiran yang masih hidup dalam berbagai diskursus modern. Dengan menggabungkan analisis sinkronik dan diakronik, kita tidak hanya memahami “apa” yang dikatakan oleh para filsuf, tetapi juga “mengapa” dan “bagaimana” mereka sampai pada pemikiran tersebut. Kesadaran ini adalah kunci bagi pengembangan filsafat yang tidak sekadar reproduktif, tetapi reflektif, kritis, dan kontekstual.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A851/B879.

[2]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press, 2006), 401–406.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (2001). Language, truth and logic. Penguin Books. (Original work published 1936)

Bacon, F. (2000). The new organon (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds. & Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1620)

Cohen, I. B. (1980). The Newtonian revolution. Cambridge University Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume III – Medieval philosophy. Image Books.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy: Volume IV – Modern philosophy from Descartes to Leibniz. Image Books.

Descartes, R. (2006). Discourse on the method of rightly conducting the reason (I. Maclean, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1637)

Descartes, R. (1983). Principles of philosophy (V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Kluwer Academic. (Original work published 1644)

Dunn, J. (1969). The political thought of John Locke: An historical account of the argument of the “Two treatises of government”. Cambridge University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books. (Original work published 1969)

Gaukroger, S. (2006). The emergence of a scientific culture: Science and the shaping of modernity 1210–1685. Oxford University Press.

Guyer, P. (1987). Kant and the claims of knowledge. Cambridge University Press.

Guyer, P. (2006). Kant. Routledge.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1651)

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Kant, I. (2004). Prolegomena to any future metaphysics (G. Hatfield, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1783)

Leibniz, G. W. (1965). Monadology and other philosophical essays (P. Schrecker & A. M. Schrecker, Trans.). Bobbs-Merrill. (Original work published 1714)

Leibniz, G. W. (1989). Philosophical essays (R. Ariew & D. Garber, Eds. & Trans.). Hackett Publishing.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1690)

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

McGrath, A. E. (2012). Reformation thought: An introduction (4th ed.). Wiley-Blackwell.

Nauert, C. G. (2006). Humanism and the culture of Renaissance Europe (2nd ed.). Cambridge University Press.

Russell, B. (1945). A history of Western philosophy. Simon & Schuster.

Sartre, J.-P. (2003). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Routledge. (Original work published 1943)

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics. (Original work published 1677)

Yolton, J. (1956). John Locke and the way of ideas. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar