Pemikiran Immanuel Kant
Telaah Kritis atas Rasio, Moralitas, dan Estetika
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran
Immanuel Kant sebagai tonggak penting dalam filsafat modern, khususnya melalui
gagasan revolusionernya tentang “revolusi Kopernikan dalam filsafat.” Dalam
kerangka epistemologi, Kant merumuskan pendekatan transendental yang
menggabungkan rasionalisme dan empirisme melalui konsep sintesis a priori,
menandai subjek rasional sebagai pusat pembentukan pengetahuan. Dalam bidang
etika, ia menawarkan teori deontologis melalui imperatif kategoris, yang
menekankan otonomi moral, kehendak baik, dan martabat manusia. Sementara itu,
melalui Critique of Judgment, Kant membangun teori estetika reflektif
dan teleologi yang menjembatani dunia empiris dan moralitas rasional. Artikel
ini juga menelaah berbagai kritik yang muncul dari para pemikir pasca-Kantian
seperti Hegel, Schopenhauer, Nietzsche, Heidegger, hingga Habermas, serta
menunjukkan relevansi pemikiran Kant dalam wacana kontemporer mengenai ilmu
pengetahuan, hak asasi manusia, pendidikan etis, dan keadilan global. Dengan
pendekatan sistematik dan referensi akademik yang kredibel, artikel ini
menegaskan bahwa pemikiran Kant tidak hanya berdampak historis, tetapi juga
tetap signifikan bagi tantangan filsafat masa kini.
Kata Kunci: Immanuel Kant; revolusi Kopernikan; sintesis a
priori; imperatif kategoris; etika deontologis; estetika transendental;
teleologi; kritik filsafat; filsafat modern; relevansi kontemporer.
PEMBAHASAN
Immanuel Kant dan Revolusi Kopernikan dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Immanuel Kant
(1724–1804) merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah
filsafat modern. Pemikirannya dianggap sebagai titik balik dalam perkembangan
epistemologi, etika, dan estetika, terutama melalui proyek filsafat kritisnya
yang terkenal sebagai “revolusi Kopernikan dalam filsafat.” Istilah ini tidak
sekadar metafora historis, melainkan menandai pergeseran radikal dari paradigma
sebelumnya—di mana objek dianggap menentukan pengetahuan—menjadi suatu sistem
di mana subjek rasional aktif membentuk pengalaman melalui struktur bawaan
rasio. Kant menegaskan bahwa kita tidak semata-mata menerima dunia sebagaimana
adanya, melainkan dunia harus dipahami melalui kerangka kognitif yang melekat
dalam subjek manusia itu sendiri.1
Kontribusi terbesar
Kant dapat dilacak dalam tiga karya utamanya: Critique of Pure Reason (1781), Critique
of Practical Reason (1788), dan Critique of Judgment (1790). Ketiga
karya ini membentuk sistem filsafat transendental yang tidak hanya membahas
batas-batas pengetahuan manusia, tetapi juga mendalami dasar-dasar moralitas
dan hakikat penilaian estetis. Dalam Critique of Pure Reason, Kant
menawarkan jalan tengah antara rasionalisme Descartes dan Leibniz serta
empirisme Locke dan Hume, dengan menggabungkan unsur a priori dan a posteriori
dalam proses kognisi.2 Ia menyebut pandangan ini sebagai bentuk “idealism
transendental” yang tidak menyangkal keberadaan realitas di luar subjek,
tetapi menekankan bahwa realitas tersebut hanya dapat dipahami sejauh ia muncul
dalam kesadaran melalui bentuk-bentuk intuisi dan kategori intelek.3
Dalam bidang etika,
Kant memformulasikan pendekatan deontologis yang berakar pada rasio praktis. Ia
menolak pendekatan teleologis yang didasarkan pada hasil atau konsekuensi, dan menggantikannya
dengan prinsip moral universal melalui imperatif kategoris—kaidah yang
menuntut agar tindakan moral dapat dijadikan hukum universal bagi semua makhluk
rasional.4 Pendekatan ini menegaskan bahwa martabat manusia terletak
pada kemampuannya untuk bertindak berdasarkan hukum yang ia berikan sendiri
sebagai makhluk rasional yang otonom.5
Sementara itu, dalam
Critique
of Judgment, Kant mencoba menjembatani jurang antara alam dan
kebebasan dengan mengembangkan teori estetika dan teleologi. Di sini ia
membahas pengalaman keindahan sebagai bentuk penilaian reflektif yang tidak
bergantung pada konsep tertentu, namun tetap memiliki validitas universal
secara subjektif. Estetika Kant memberikan fondasi awal bagi pemahaman modern
tentang pengalaman seni, keagungan alam, dan hubungan antara rasa dan rasio.6
Urgensi membahas
pemikiran Kant dalam konteks kontemporer terletak pada pengaruh multidimensi
filsafatnya. Dalam epistemologi, ia menjadi dasar bagi berbagai aliran
pasca-Kantian seperti idealisme Jerman, fenomenologi, hingga konstruktivisme.
Dalam etika, ia memengaruhi wacana hak asasi manusia, bioetika, dan filsafat hukum. Sementara dalam estetika, ia menjadi fondasi penting bagi teori seni
modern dan hermeneutika budaya.7 Maka dari itu, kajian kritis atas
pemikiran Immanuel Kant bukan hanya bernilai historis, tetapi juga relevan
untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat yang masih hidup hingga
kini.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxvi–Bxviii.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. VI: Modern
Philosophy from the French Enlightenment to Kant (New York: Image Books,
1994), 338–342.
[3]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 54–57.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–424
[Akademie Ausgabe].
[5]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008), 61–65.
[6]
Immanuel Kant, Critique of the Power of Judgment, trans. Paul
Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 89–95.
[7]
Robert Pippin, Kant's Theory of Form: An Essay on the Critique of
Pure Reason (New Haven: Yale University Press, 1982), 9–13.
2.
Biografi Singkat Immanuel Kant
Immanuel Kant lahir
pada 22 April 1724 di kota Königsberg, Prusia Timur (kini Kaliningrad, Rusia),
dalam sebuah keluarga Protestan Pietis yang taat. Ayahnya, Johann Georg Kant,
adalah seorang pengrajin pelana, sedangkan ibunya, Anna Regina Reuter, dikenal
sebagai wanita yang berpendidikan dan religius, yang kelak sangat memengaruhi
pendidikan moral dan spiritual Kant pada masa kecil.1 Pendidikan
awalnya ditempuh di Collegium Fridericianum, sebuah
sekolah Latin yang dikelola oleh kaum Pietis, di mana ia menerima pengajaran
ketat dalam bahasa Latin, teologi, dan moralitas Kristen.2
Tahun 1740, Kant
melanjutkan studi filsafat, matematika, dan ilmu alam di Universitas
Königsberg. Di bawah bimbingan filsuf Martin Knutzen, ia mengenal pandangan
Newtonian dan pemikiran metafisika Christian Wolff yang pada saat itu
mendominasi dunia akademik Jerman. Pengaruh Knutzen yang menggabungkan
rasionalisme Leibniz-Wolffian dengan skeptisisme empiris dari Locke dan Hume
turut membentuk fondasi intelektual Kant muda.3 Namun karena
kematian ayahnya, Kant harus meninggalkan studi formal dan bekerja sebagai guru
privat di beberapa keluarga bangsawan selama hampir satu dekade.
Kembali ke
Universitas Königsberg pada 1755, Kant menempuh jenjang akademik sebagai Privatdozent
(dosen swasta) setelah menulis disertasi De Igne (“Tentang
Api”), dan selama dua puluh tahun ia mengajar tanpa gaji tetap. Masa ini
disebut sebagai periode “pra-kritis” di mana ia menulis karya-karya mengenai
ilmu alam, teori kosmologi, dan metafisika, termasuk Allgemeine
Naturgeschichte und Theorie des Himmels (1755) yang memaparkan
asal-usul tata surya dalam kerangka hukum Newton.4 Namun pemikiran
David Hume kemudian mengguncang keyakinan Kant terhadap fondasi metafisika tradisional
dan memicu pergulatan filosofis selama lebih dari satu dekade.
Puncak karier
intelektual Kant terjadi pada 1781 ketika ia menerbitkan Critique
of Pure Reason, karya yang menjadi fondasi sistem filsafat
kritisnya. Dalam karya ini, ia berusaha mengatasi konflik antara rasionalisme
dan empirisme melalui pendekatan baru: bahwa pengalaman manusia dibentuk oleh
struktur apriori dari pikiran itu sendiri. Kant menyebut pendekatan ini sebagai
“revolusi Kopernikan” dalam filsafat, karena sebagaimana Copernicus
membalik pandangan geosentris, Kant membalik cara pandang bahwa bukan pikiran
menyesuaikan diri pada objek, melainkan objek harus menyesuaikan diri pada
struktur subjek.5
Kehidupan Kant
dikenal sangat disiplin dan teratur. Ia menjalani rutinitas harian yang nyaris
tak berubah sepanjang hidupnya, bahkan dijadikan bahan anekdot oleh warga
Königsberg yang konon menyetel jam mereka berdasarkan waktu Kant berjalan sore.6
Meski tidak pernah menikah, Kant memiliki jaringan intelektual yang luas dan
dihormati oleh murid-muridnya maupun kolega di seluruh Eropa.
Setelah menerbitkan
dua karya besar lainnya—Critique of Practical Reason (1788)
dan Critique
of Judgment (1790)—Kant mengukuhkan dirinya sebagai salah satu
pemikir terbesar dalam sejarah filsafat Barat. Ia wafat pada 12 Februari 1804
dalam usia 79 tahun, meninggalkan warisan intelektual yang terus menjadi
rujukan utama dalam berbagai disiplin ilmu hingga saat ini.7
Footnotes
[1]
Manfred Kuehn, Kant: A Biography (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 12–16.
[2]
Ibid., 25–27.
[3]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 8–11.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. VI: Modern
Philosophy from the French Enlightenment to Kant (New York: Image Books, 1994),
346–348.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxvi.
[6]
Kuehn, Kant: A Biography, 383.
[7]
Allen W. Wood, Kantian Philosophy: The Historical and Philosophical
Contexts (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 195–198.
3.
Epistemologi: Sintesis A Priori dan Revolusi
Kopernikan
Salah satu
kontribusi paling monumental Immanuel Kant dalam filsafat modern terletak pada
teori epistemologisnya yang tertuang dalam karya Critique of Pure Reason (1781).
Dalam karya ini, Kant berupaya merespons kebuntuan antara dua aliran besar pada
masanya: rasionalisme (yang mengandalkan akal sebagai sumber utama pengetahuan)
dan empirisme (yang menekankan pengalaman sebagai fondasi pengetahuan). Kant
menyadari bahwa keduanya, jika berdiri sendiri, memiliki kelemahan mendasar.
Maka dari itu, ia merumuskan suatu pendekatan sintesis, yang ia sebut sebagai “idealism
transendental”, di mana unsur rasional dan empiris saling
mengandaikan satu sama lain dalam proses pengetahuan.1
3.1.
Sintesis A Priori:
Penggabungan Rasionalisme dan Empirisme
Kant memperkenalkan
istilah “sintesis a priori” sebagai
bentuk pengetahuan yang bersifat universal dan niscaya, namun tidak berasal
dari pengalaman, melainkan menjadi syarat kemungkinan dari pengalaman itu
sendiri.2 Sebagai contoh, proposisi matematis seperti 7 + 5 =
12 tidak berasal dari pengamatan, tetapi memiliki sifat sintetik
(karena predikatnya tidak terkandung dalam subjek) dan a priori (karena tidak bergantung
pada pengalaman).3
Bagi Kant,
pengalaman hanya mungkin terjadi jika data indrawi (a posteriori) diproses
melalui struktur bawaan dalam akal manusia, yakni bentuk-bentuk
intuisi (ruang dan waktu) serta kategori-kategori pemahaman
(seperti kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas). Dengan demikian, dunia
yang kita pahami bukanlah dunia sebagaimana adanya (noumena), melainkan dunia
sebagaimana tampaknya bagi kita (fenomena).4
3.2.
Revolusi Kopernikan
dalam Filsafat
Dalam bagian
pengantar Critique
of Pure Reason, Kant menegaskan bahwa pendekatannya dalam teori
pengetahuan merupakan suatu revolusi metodologis yang setara dengan Revolusi
Kopernikan dalam astronomi. Jika Copernicus membalik pandangan geosentris
dengan menyatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, maka Kant membalik
paradigma epistemologis dengan menyatakan bahwa bukan pikiran yang menyesuaikan
diri pada objek, melainkan objeklah yang harus menyesuaikan diri dengan
struktur kognitif subjek.5 Dalam kata-kata Kant
sendiri:
“Until now it has been assumed that all our
knowledge must conform to objects... but let us suppose that objects must
conform to our knowledge.”_6
Revolusi ini
memiliki implikasi besar: tidak ada pengetahuan tentang “benda pada dirinya
sendiri” (Ding an sich), tetapi hanya pengetahuan
tentang bagaimana benda itu muncul dalam kesadaran melalui struktur pikiran
manusia. Di sinilah Kant memperkenalkan distingsi antara noumena dan phenomena—yang
pertama adalah realitas murni yang tak terjangkau, dan yang kedua adalah
realitas yang tampak dalam kerangka ruang, waktu, dan kategori pemahaman.7
3.3.
Kategori-Kategori
sebagai Struktur Apriori
Kant menyusun dua
belas kategori
pemahaman yang berfungsi sebagai kerangka apriori dalam
struktur pengetahuan manusia. Kategori ini terbagi ke dalam empat kelompok:
kuantitas (kesatuan, pluralitas, totalitas), kualitas (realitas, negasi,
limitasi), relasi (substansi, kausalitas, resiprositas), dan modalitas
(kemungkinan, eksistensi, keniscayaan).8 Tanpa kategori-kategori
ini, pengalaman manusia akan menjadi kekacauan tanpa struktur.
Sebagai contoh,
pengalaman tentang sebab-akibat (kausalitas) tidak berasal dari pengamatan
berulang (seperti diasumsikan oleh Hume), tetapi merupakan bentuk apriori dalam
akal budi manusia yang memungkinkan kita memahami peristiwa secara runtut dan
rasional.9
3.4.
Implikasi
Epistemologis
Teori Kant tentang
sintesis a priori dan struktur apriori dari pengetahuan manusia mengantarkan
pada kritik
terhadap metafisika tradisional. Menurut Kant, banyak persoalan
metafisika (seperti keberadaan Tuhan, kebebasan, dan keabadian jiwa) tidak
dapat dipastikan secara rasional karena melampaui batas-batas pengalaman yang
mungkin. Dengan demikian, Kant memulai proyek kritik bukan untuk menyangkal
metafisika, tetapi untuk menetapkan batas-batas legitimasi klaimnya.10
Dalam kerangka
tersebut, Kant juga memberikan landasan epistemologis bagi ilmu pengetahuan
modern. Ia menegaskan bahwa ilmu seperti matematika dan fisika memiliki
validitas universal bukan karena berdasarkan observasi semata, tetapi karena didasarkan
pada prinsip-prinsip apriori dalam struktur akal manusia.11 Oleh
sebab itu, sistem Kant menjadi titik awal bagi berbagai tradisi filsafat
kontemporer seperti fenomenologi (Husserl), kritisisme (Habermas), hingga
konstruktivisme dalam epistemologi sains.
Footnotes
[1]
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 57–61.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B1–B3.
[3]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2003), 29–31.
[4]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense (New Haven: Yale University Press, 2004), 39–45.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. VI (New
York: Image Books, 1994), 366–368.
[6]
Kant, Critique of Pure Reason, Bxvi.
[7]
Allen W. Wood, Kant (Oxford: Blackwell Publishing, 2005),
103–106.
[8]
Kant, Critique of Pure Reason, A80–B106.
[9]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 74–77; Kant’s response in
Critique of Pure Reason, B233–B256.
[10]
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason
(London: Routledge, 1999), 22–25.
[11]
Michael Friedman, Kant and the Exact Sciences (Cambridge:
Harvard University Press, 1992), 15–21.
4.
Etika Deontologis Kant: Imperatif Kategoris
Selain kontribusinya
dalam epistemologi, Immanuel Kant juga dikenal sebagai pelopor utama dalam
teori etika deontologis, yang menekankan kewajiban moral (duty)
yang bersifat apriori, universal, dan tidak bergantung pada konsekuensi. Dalam
karya utamanya Groundwork of the Metaphysics of Morals
(1785), Kant mengembangkan konsep imperatif kategoris (kategorischer Imperativ), yaitu prinsip moral universal yang menjadi dasar bagi
semua tindakan etis yang sah.1
4.1.
Otonomi Rasio Praktis
dan Dasar Moralitas
Bagi Kant, moralitas
bukan bersumber dari perasaan, tradisi, atau akibat dari suatu tindakan,
melainkan dari rasio praktis sebagai fakultas
internal manusia yang memiliki kapasitas untuk menetapkan hukum moral bagi
dirinya sendiri. Ini berarti bahwa manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki otonomi
moral: kemampuan untuk memberi hukum moral kepada dirinya
secara bebas dan bertanggung jawab.2
Dalam kerangka ini,
tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan demi
kewajiban itu sendiri (aus Pflicht), bukan karena
kecenderungan atau imbalan eksternal. Ia menolak pandangan heteronom (berasal
dari luar subjek), seperti yang ditemukan dalam eudaimonisme Aristotelian
maupun utilitarianisme yang menilai moralitas berdasarkan manfaat atau
kebahagiaan yang dihasilkan.3
4.2.
Rumusan Imperatif
Kategoris
Kant merumuskan
imperatif kategoris dalam beberapa versi, yang paling terkenal adalah:
“Bertindaklah hanya menurut maksim yang
dengan itu engkau pada saat yang sama dapat menghendaki ia menjadi hukum
universal.”_4
Maksudnya, suatu
tindakan hanya dapat dianggap bermoral jika prinsip atau maksud di balik
tindakan tersebut dapat dijadikan hukum universal yang berlaku bagi semua
makhluk rasional. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh membuat pengecualian
terhadap dirinya sendiri. Jika kita berbohong, misalnya, dan membenarkannya,
maka kita juga harus menerima bahwa semua orang boleh berbohong dalam keadaan
serupa—yang tentu saja akan menghancurkan prinsip kepercayaan dan kebenaran.5
Versi kedua dari
imperatif kategoris menekankan martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya
sendiri, yaitu:
“Bertindaklah sedemikian rupa sehingga
engkau memperlakukan kemanusiaan, baik dalam dirimu sendiri maupun dalam orang
lain, selalu sebagai tujuan dan bukan semata-mata sebagai alat.”_6
Dalam prinsip ini,
Kant menolak segala bentuk instrumentalitas terhadap manusia. Manusia bukan
sarana untuk mencapai tujuan lain, melainkan memiliki nilai intrinsik karena
rasionalitas dan kebebasannya. Inilah dasar filosofis Kant atas hak asasi manusia yang tak dapat dikompromikan, serta penolakannya
terhadap praktik seperti perbudakan, manipulasi, atau eksploitasi.7
4.3.
Kebebasan, Kehendak
Baik, dan Nilai Moral
Kebebasan dalam
filsafat moral Kant tidak identik dengan kebebasan memilih secara sembarangan (freedom
of indifference), melainkan kebebasan yang rasional dan normatif:
kebebasan untuk tunduk pada hukum moral yang ditentukan oleh akal sendiri.
Inilah yang disebut sebagai “kebebasan transendental”,
yakni kondisi kemungkinan bagi tindakan moral.8
Di dalam Groundwork,
Kant juga menegaskan bahwa “kehendak baik” (guter Wille)
adalah satu-satunya hal yang baik secara mutlak tanpa syarat. Bahkan
keberhasilan, kecerdasan, atau keberuntungan tidak memiliki nilai moral jika
tidak disertai dengan kehendak baik.9 Moralitas tidak terletak pada
hasil dari suatu tindakan, melainkan pada niat atau maksud moral yang mendasarinya.
4.4.
Relevansi dan Kritik
terhadap Etika Kant
Etika deontologis Kant telah memberikan fondasi teoritis yang kuat bagi pemikiran etika modern,
terutama dalam bidang hukum, bioetika, dan hak asasi manusia. Namun, etika ini
juga menuai kritik dari berbagai kalangan. Filsuf utilitarian seperti Jeremy Bentham
dan John Stuart Mill menilai bahwa etika Kant terlalu kaku dan tidak
mempertimbangkan konsekuensi praktis dari suatu tindakan.10 Di sisi
lain, filsuf kontemporer seperti Christine Korsgaard dan Onora O’Neill justru
mempertahankan bahwa pendekatan Kant tetap relevan untuk menghadapi tantangan
etis modern, terutama dalam membela otonomi, tanggung jawab, dan nilai moral
universal.11
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 389–390
[Akademie Ausgabe].
[2]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008), 19–23.
[3]
Robert Audi, Moral Knowledge and Ethical Character (Oxford:
Oxford University Press, 1997), 72–74.
[4]
Kant, Groundwork, 421.
[5]
Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 16–20.
[6]
Kant, Groundwork, 429.
[7]
Onora O’Neill, Constructing Authorities: Reason, Politics and
Interpretation in Kant’s Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2015), 88–93.
[8]
Henry E. Allison, Kant’s Theory of Freedom (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 30–36.
[9]
Kant, Groundwork, 393.
[10]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 1–15.
[11]
Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends, 99–112.
5.
Estetika dan Teleologi dalam Critique of Judgment
Karya ketiga besar
Immanuel Kant, Critique of Judgment (Kritik
der Urteilskraft, 1790), menempati posisi sentral dalam sistem
filsafat kritisnya. Buku ini menjembatani kesenjangan antara Critique
of Pure Reason, yang membahas ranah pengetahuan teoritis, dan Critique
of Practical Reason, yang menguraikan moralitas dan rasio praktis.
Dalam Critique
of Judgment, Kant mengeksplorasi dua ranah utama: estetika
(penilaian keindahan dan sublim) dan teleologi (tujuan dalam alam
dan kehidupan). Ia menyelidiki bagaimana penilaian yang tampaknya subjektif
(seperti keindahan) bisa memiliki validitas universal, serta
bagaimana manusia dapat memahami alam sebagai sistem yang tampaknya tertata
menurut tujuan tertentu.
5.1.
Estetika Transendental
dan Penilaian Estetis
Kant mendefinisikan
estetika sebagai kemampuan untuk menilai suatu objek berdasarkan
rasa suka (pleasure) atau tidak suka, yang tidak ditentukan
oleh konsep atau kegunaan. Penilaian estetis ini bersifat subjektif,
tetapi pada saat yang sama diklaim memiliki universalitas intersubjektif—yakni
bahwa orang lain seharusnya menyetujui penilaian
keindahan kita.1 Maka dari itu, penilaian keindahan adalah semacam “tujuan
tanpa tujuan” (Zweckmäßigkeit ohne Zweck), karena
kita merasakan keteraturan dan harmoni tanpa mengetahui fungsi praktis dari
objek yang dinilai.2
Kant membedakan dua
jenis keindahan:
1)
Keindahan bebas (freie
Schönheit) – tidak bergantung pada konsep atau fungsi, seperti dalam
bunga atau pola simetris.
2)
Keindahan terikat
(abhängige Schönheit) – terkait dengan konsep objek, seperti patung
manusia yang dinilai indah jika proporsinya mencerminkan ide tentang manusia
yang ideal.3
Dalam hal ini, Kant
menjelaskan bahwa pengalaman keindahan terjadi karena adanya harmoni antara imajinasi
(Einbildungskraft) dan pengertian (Verstand) dalam
kondisi reflektif, tanpa ditentukan oleh suatu konsep tertentu.4
5.2.
Pengalaman Sublim:
Keagungan dan Ketakterhinggaan
Selain keindahan,
Kant juga mengkaji pengalaman sublim (das
Erhabene), yaitu respons estetik terhadap sesuatu yang melampaui
kapasitas inderawi atau konsepual, seperti gunung yang
menjulang tinggi, badai besar, atau alam semesta yang tak terbatas.5
Sublim terdiri atas dua bentuk:
·
Matematis:
berkaitan dengan besaran dan jumlah yang melampaui daya tangkap indra.
·
Dinamis:
berkaitan dengan kekuatan dahsyat alam, yang dalam keterbatasan fisik manusia
tetap dapat dihadapi secara moral oleh rasio praktis.
Pengalaman ini
menunjukkan keunggulan rasio dalam menghadapi yang tak terhingga—menegaskan martabat
rasional manusia meskipun ia kecil di hadapan alam semesta.6
5.3.
Teleologi: Alam
sebagai Sistem yang Mengandung Tujuan
Pada bagian kedua
dari Critique
of Judgment, Kant membahas teleologi sebagai penilaian
reflektif atas alam yang tampaknya memiliki keteraturan dan tujuan. Meskipun
pengetahuan ilmiah tidak dapat membuktikan bahwa alam memang memiliki tujuan (Zweck),
kita secara alami cenderung menilai organisme hidup seolah-olah mereka
dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.7
Bagi Kant, penilaian
teleologis ini bukanlah pengetahuan dalam pengertian teoritis, melainkan cara
berpikir yang memungkinkan kita memahami sistem-sistem
kompleks dalam biologi dan ekologi. Contohnya, struktur organ
tubuh makhluk hidup tidak dipahami hanya sebagai hasil mekanisme, melainkan
juga sebagai bagian dari sistem yang saling menunjang demi keberlangsungan
hidup.8
Namun, Kant
berhati-hati untuk tidak menjadikan teleologi sebagai prinsip
metafisika, melainkan sebagai regulatif: panduan berpikir
yang membantu ilmu pengetahuan, tetapi tidak memiliki kekuatan pembuktian
secara ontologis.9
5.4.
Hubungan Estetika,
Moralitas, dan Kebebasan
Salah satu sumbangan
penting Critique
of Judgment adalah usahanya untuk menyatukan dunia fenomenal (alam)
dan noumenal (moralitas) melalui pengalaman estetika dan teleologi reflektif.
Bagi Kant, pengalaman keindahan dan keteraturan dalam alam menyiratkan adanya
keserasian antara dunia inderawi dan dunia moral,
yang memberikan harapan bagi kesatuan rasio teoretis dan praktis.10
Estetika Kant juga
berfungsi sebagai jembatan menuju kebebasan,
karena dalam menikmati keindahan, manusia tidak tunduk pada kepentingan
empiris, melainkan mengalami kebebasan batin dalam
keteraturan tanpa paksaan.11 Dengan demikian, Critique
of Judgment menegaskan bahwa pengalaman estetis bukan hanya masalah
selera, tetapi bagian integral dari eksistensi rasional manusia yang
menghubungkan pengetahuan, moralitas, dan harapan akan tatanan kosmos yang
bermakna.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of the Power of Judgment, trans. Paul
Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), §1–§5.
[2]
Ibid., §10.
[3]
Ibid., §16–17.
[4]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Taste (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), 25–31.
[5]
Kant, Critique of the Power of Judgment, §23–§29.
[6]
Henry E. Allison, Kant’s Theory of Taste: A Reading of the Critique
of Aesthetic Judgment (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
160–165.
[7]
Ibid., §60.
[8]
Kant, Critique of the Power of Judgment, §65–§66.
[9]
Robert Hanna, “Kant’s Theory of Judgment,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy, 2018, https://plato.stanford.edu/entries/kant-judgment/.
[10]
Allen W. Wood, Kant (Oxford: Blackwell Publishing, 2005),
211–215.
[11]
Guyer, Kant and the Claims of Taste, 137–140.
6.
Immanuel Kant dalam Perspektif Kritik
Immanuel Kant tidak
hanya dikenal sebagai filsuf yang memformulasikan sistem filsafat kritis secara
sistematis, tetapi juga sebagai pemikir yang telah memicu debat panjang dalam
sejarah filsafat modern dan kontemporer. Sejak kemunculan Critique
of Pure Reason pada 1781, karya-karya Kant telah menjadi pusat
dialog filsafat Eropa, baik dalam bentuk pengembangan maupun kritik tajam
terhadap ide-idenya. Pemikir seperti Johann Gottlieb Fichte, Friedrich
Schelling, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengembangkan sistem mereka
sebagai kelanjutan dari filsafat Kant, sementara tokoh-tokoh seperti Arthur
Schopenhauer, Friedrich Nietzsche, hingga filsuf abad ke-20 seperti Martin Heidegger dan Jürgen Habermas memberikan kritik mendalam terhadap
batasan-batasan dan implikasi sistem Kantian.
6.1.
Kritik dari Filsuf
Pascakritis: Fichte, Schelling, dan Hegel
Tiga tokoh utama
dari idealisme
Jerman—Fichte, Schelling, dan Hegel—mengkritik Kant atas dualisme
yang belum teratasi antara dunia fenomenal (yang dapat
diketahui) dan noumenal (yang tidak dapat diketahui). Mereka menilai bahwa Kant
gagal menjelaskan bagaimana subjek yang rasional dapat mengetahui dan bertindak
dalam dunia jika ia tidak pernah benar-benar memahami realitas pada dirinya
sendiri (Ding an
sich). Hegel, dalam Phenomenology of Spirit (1807),
menilai bahwa filsafat seharusnya tidak berhenti pada kritik terhadap
kemungkinan pengetahuan, tetapi harus mengembangkan dialektika
kesadaran yang menampilkan proses historis dan dinamis menuju
Roh Absolut.1 Hegel menuduh sistem Kant terlalu kaku, formal, dan
statis, karena hanya berhenti pada kategori-kategori abstrak yang tidak mampu
menjelaskan perkembangan historis realitas.2
6.2.
Schopenhauer: Kritik
atas Batas-Batas Pengetahuan dan Voluntarisme
Arthur Schopenhauer
mengagumi struktur logis Critique of Pure Reason, tetapi ia
mengecam konsep noumenal Kant sebagai entitas yang tak bermakna jika tidak
dapat diketahui sama sekali. Dalam The World as Will and Representation
(1818), ia menggantikan Ding an sich Kant dengan konsep kehendak
buta (Wille), yang menurutnya merupakan
esensi terdalam dari realitas.3 Ia mengkritik Kant karena membatasi
pengetahuan hanya pada representasi, tanpa pernah secara aktif menembus
realitas di baliknya. Dengan demikian, Schopenhauer memperkenalkan pendekatan
metafisika yang lebih pesimistis dan eksistensial.
6.3.
Nietzsche dan Kritik
terhadap Moralitas Kantian
Friedrich Nietzsche
sangat kritis terhadap moralitas Kant yang ia anggap sebagai bentuk sublimasi
dari nilai-nilai Kristen yang memuliakan kelemahan dan kepatuhan. Ia menolak imperatif kategoris karena dianggap mengekang kehendak individu dan
meniadakan potensi penciptaan nilai baru.4 Dalam On the
Genealogy of Morals (1887), Nietzsche mengkritik gagasan Kant
tentang otonomi moral sebagai tipu daya akal budi yang
menyangkal dimensi biologis, historis, dan estetis dari keberadaan manusia. Ia
menekankan pentingnya kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht) sebagai sumber
nilai yang lebih otentik daripada hukum moral universal yang tak bersumber dari
kehidupan konkret.5
6.4.
Heidegger: Kritik
Ontologis terhadap Subjektivitas Transendental
Martin Heidegger,
dalam Kant and
the Problem of Metaphysics (1929), mencoba menafsirkan Kant dari
perspektif ontologis eksistensial. Ia menilai bahwa Kant sebenarnya membuka
jalan bagi pemikiran tentang keberadaan (Sein), tetapi gagal
mengembangkan potensi tersebut karena tetap terjebak dalam struktur
epistemologis subjek-objek.6 Heidegger mengusulkan bahwa struktur
waktu dalam intuisi apriori Kant lebih fundamental daripada kategorisasi logis
akal, dan bahwa pemahaman manusia tentang dunia harus diletakkan dalam konteks
keterlemparan (Geworfenheit) dan eksistensi
historis.7
6.5.
Habermas dan Diskursus
Etika Pascakantian
Di abad ke-20, Jürgen
Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif sebagai
bentuk rehabilitasi prinsip rasional Kant dalam konteks sosial. Ia menilai
bahwa etika Kant tetap relevan jika dibaca sebagai teori
diskursus, yaitu ketika imperatif kategoris ditafsirkan sebagai
prinsip yang harus diuji dalam ruang dialog rasional yang terbuka.8
Dalam pandangan Habermas, otonomi moral tidak bersifat individualistik semata,
tetapi harus diwujudkan dalam partisipasi komunikatif antar subjek rasional.
6.6.
Kritik Kontemporer
terhadap Bias Epistemologis dan Etika Formalistik
Di luar kritik
internal dalam filsafat Barat, Kant juga dikritik karena dianggap terlalu barat-sentris
dan abstrak,
terutama oleh pemikir feminis dan postkolonial. Filsuf seperti Seyla Benhabib
dan Charles W. Mills menunjukkan bahwa konsep rasionalitas universal Kant bisa
mengabaikan pengalaman konkret dan pluralitas moral,
serta tidak cukup peka terhadap ketimpangan historis dan struktural dalam
masyarakat.9 Kritik semacam ini mendorong pembacaan ulang terhadap
Kant dalam kerangka etika kontekstual, interseksionalitas, dan keadilan sosial global.
Kesimpulan
Sementara
Rangkaian kritik
terhadap pemikiran Kant tidak hanya menunjukkan kelemahan sistem filosofinya,
tetapi juga menegaskan pengaruh mendalam Kant terhadap diskursus
filsafat modern dan kontemporer. Bahkan di tengah kritik yang
tajam, para pengkritik seringkali tetap bergerak dalam medan filsafat yang
dibentuk oleh proyek kritis Kant. Oleh karena itu, kritik terhadap Kant tidak
menyingkirkannya, melainkan memperkaya dan mendorong tafsir-tafsir baru yang
lebih dinamis terhadap persoalan akal, etika, dan keberadaan manusia.
Footnotes
[1]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans.
A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 9–12.
[2]
Frederick Beiser, German Idealism: The Struggle against Subjectivism,
1781–1801 (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 183–190.
[3]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation,
trans. E.F.J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), Vol. 1, 27–35.
[4]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 47–51.
[5]
Brian Leiter, Nietzsche on Morality (London: Routledge, 2002),
81–87.
[6]
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, trans.
Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 13–20.
[7]
Taylor Carman, Heidegger’s Analytic: Interpretation, Discourse, and
Authenticity in Being and Time (Cambridge: Cambridge University Press,
2003), 121–128.
[8]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press,
1990), 43–48.
[9]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and
Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 8–11;
Charles W. Mills, The Racial Contract (Ithaca: Cornell University
Press, 1997), 58–62.
7.
Relevansi Pemikiran Kant dalam Konteks
Kontemporer
Meskipun Immanuel
Kant hidup pada abad ke-18, pengaruh filsafatnya tetap hidup dalam berbagai
wacana kontemporer, baik dalam filsafat, etika, politik, maupun epistemologi.
Sistem kritis-transendental yang ia bangun, bersama prinsip-prinsip moral
universal dan pendekatan estetika reflektif, terus menjadi referensi penting
dalam menjawab persoalan-persoalan modern seperti hak asasi manusia, keadilan global,
krisis ekologi, pendidikan etis, hingga rasionalitas dalam ruang publik.
Relevansi pemikiran Kant justru tampak semakin mendesak dalam dunia yang
semakin plural, kompleks, dan sarat konflik nilai.
7.1.
Epistemologi dan Ilmu
Pengetahuan Modern
Konsepsi Kant
tentang pengetahuan sebagai sintesis antara pengalaman
dan struktur apriori memiliki pengaruh mendalam terhadap
filsafat ilmu kontemporer. Dalam era sains modern dan konstruktivisme epistemologis,
pemikiran Kant membantu menjelaskan bahwa objek pengetahuan ilmiah bukanlah
realitas mutlak, melainkan realitas sebagaimana dibentuk dalam kerangka
struktur mental manusia.1 Hal ini menjadi fondasi bagi perkembangan
teori ilmiah dalam pemikiran Thomas Kuhn dan Imre Lakatos, yang melihat ilmu
sebagai konstruksi konseptual dalam kerangka paradigma tertentu.2
Dalam konteks kecerdasan
buatan dan ilmu kognitif, struktur apriori yang dikemukakan
Kant sering dirujuk untuk memahami kerangka internal dari persepsi dan pemrosesan
informasi, khususnya dalam pendekatan kognitivisme rasional dan
model-model representasional dalam sistem AI.3
7.2.
Etika Kant dan Hak
Asasi Manusia
Konsep imperatif kategoris dan martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya
sendiri telah menjadi prinsip dasar dalam perumusan hak
asasi manusia internasional dan dokumen etis global, seperti Universal
Declaration of Human Rights (1948).4 Dalam kerangka
etika profesional, mulai dari bioetika hingga etika bisnis, prinsip Kantian
tentang otonomi, kehendak baik, dan universalisasi
tindakan menjadi dasar untuk menilai legitimasi keputusan
moral.5
Dalam bidang bioetika,
pendekatan Kantian sering dipakai untuk membela hak pasien, menolak eksploitasi
manusia sebagai objek, serta mendorong praktik yang menghormati integritas
individu.6 Etika deontologis Kant juga menjadi model untuk
mengkritisi pendekatan utilitarian yang menjustifikasi pelanggaran hak demi
hasil yang lebih besar.
7.3.
Pendidikan Moral dan
Pengembangan Karakter
Pemikiran Kant
tentang kebebasan sebagai kepatuhan pada hukum moral
yang ditentukan oleh rasio sendiri relevan dalam pendidikan
etika di era kontemporer. Ia mendorong pendekatan pendidikan
karakter yang tidak bersandar pada ketundukan eksternal, tetapi
membangun kesadaran rasional untuk bertindak secara bermoral karena prinsip,
bukan karena tekanan sosial atau hadiah.7
Dalam dunia
pendidikan global yang semakin pluralistik, pemikiran Kant memberikan kerangka
rasional untuk menanamkan nilai-nilai universal tanpa jatuh dalam relativisme
atau dogmatisme. Etika Kant juga menjadi inspirasi bagi pendidikan kewarganegaraan
demokratis yang berbasis pada otonomi, tanggung jawab, dan penghormatan
terhadap sesama manusia sebagai makhluk rasional.
7.4.
Estetika dan
Hermeneutika Budaya
Dalam bidang estetika
dan kajian budaya, konsep Kant tentang keindahan sebagai tujuan
tanpa tujuan telah memengaruhi teori seni dan hermeneutika
modern. Pandangan ini memberi ruang untuk menilai karya seni bukan berdasarkan
fungsinya, melainkan berdasarkan kemampuan subjek untuk menemukan makna dan
harmoni dalam kebebasan interpretasi.8
Konsep ini diperluas
dalam teori estetika oleh tokoh seperti Hans-Georg Gadamer dan Theodor W.
Adorno, yang membaca Kant sebagai titik awal untuk membangun pemahaman tentang peran
seni dalam membentuk kesadaran historis dan etis masyarakat.9
7.5.
Etika dan Keadilan
Global
Di era globalisasi,
pemikiran Kant tentang kosmopolitanisme dan hukum
moral universal kembali diangkat dalam diskusi tentang keadilan
global dan tanggung jawab lintas bangsa. Dalam Perpetual
Peace (1795), Kant menyuarakan gagasan tentang masyarakat
dunia yang diikat oleh hukum universal, bukan oleh kekuatan
imperium atau kepentingan politik sepihak.10 Ide ini menginspirasi
filsuf kontemporer seperti Martha Nussbaum dan Thomas Pogge dalam upaya
mengintegrasikan etika Kantian dalam wacana hak global dan keadilan sosial
internasional.11
7.6.
Kritik dan
Reinterpretasi Pascamodern
Meskipun banyak
dipuji, pemikiran Kant juga terus mengalami kritik dan reinterpretasi dalam
dunia filsafat kontemporer. Pemikir feminis dan postkolonial menyoroti bahwa klaim
universalisme rasional Kant terkadang mengabaikan konteks
historis, kultural, dan relasional dari subjek moral. Karen Green dan Charles
Mills, misalnya, menunjukkan bahwa Kant tidak sepenuhnya bebas dari bias
euro-sentris yang memengaruhi pemikiran moral dan politiknya.12
Namun demikian,
upaya reinterpretasi Kant dalam kerangka intersubjektivitas (Habermas),
kontekstualisme (Benhabib), dan pluralisme nilai (Nussbaum) justru menunjukkan daya
lenting filsafat Kant untuk ditafsirkan ulang dalam konteks zaman
yang berbeda tanpa kehilangan akar normatifnya.
Kesimpulan
Sementara
Relevansi Kant dalam
konteks kontemporer tidak hanya menunjukkan keberlanjutan warisan
intelektualnya, tetapi juga membuka ruang bagi dialog kritis dan konstruktif
antartradisi. Filsafat Kant tidak selesai pada abad ke-18, tetapi terus hidup
dalam perdebatan kontemporer tentang kebenaran, kebebasan, moralitas, dan keindahan—nilai-nilai
yang menjadi dasar bagi kemanusiaan yang berpikir dan bertindak secara
rasional.
Footnotes
[1]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 225–231.
[2]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), 52–55.
[3]
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge: An Analytical
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 173–178.
[4]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008), 184–189.
[5]
Barbara Herman, The Practice of Moral Judgment (Cambridge:
Harvard University Press, 1993), 117–122.
[6]
Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2019), 55–59.
[7]
Nel Noddings, Moral Education: A Handbook (Santa Barbara:
ABC-CLIO, 2008), 183–186.
[8]
Immanuel Kant, Critique of the Power of Judgment, trans. Paul
Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), §9–§13.
[9]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 71–77.
[10]
Immanuel Kant, Perpetual Peace: A Philosophical Sketch, trans.
H.B. Nisbet (London: Penguin Books, 2006), 102–107.
[11]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 25–29;
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press,
2002), 98–103.
[12]
Charles W. Mills, Kant and Race, Redux, Monist 94,
no. 2 (2011): 169–187; Karen Green, Kant, Women, and Human Rights, Kantian
Review 24, no. 3 (2019): 365–388.
8.
Kesimpulan
Pemikiran Immanuel
Kant menandai sebuah tonggak revolusioner dalam sejarah filsafat
modern. Dengan formulasi “revolusi Kopernikan dalam filsafat,”
Kant mengalihkan pusat perhatian dari objek sebagai penentu pengetahuan menuju
subjek sebagai pengorganisir pengalaman melalui struktur apriori seperti ruang,
waktu, dan kategori pemahaman. Pendekatan transendentalnya membentuk dasar dari
epistemologi
modern, yang tidak lagi bersandar pada empirisme pasif atau
rasionalisme dogmatis, melainkan pada sintesis aktif antara data
empiris dan struktur kognitif subjek.1
Dalam ranah etika,
Kant merumuskan imperatif kategoris sebagai
hukum moral universal yang berlaku bagi semua makhluk rasional. Moralitas dalam
kerangka Kantian bersifat otonom dan rasional, menjunjung martabat manusia
sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan
lain. Etika deontologis ini menjadi fondasi normatif bagi hak asasi manusia,
hukum internasional, dan sistem etika profesional yang menuntut penghormatan
terhadap integritas personal dan keadilan universal.2
Dalam estetika, Kant
membuka cakrawala baru dengan menyatakan bahwa penilaian estetis bersifat
reflektif, tidak konseptual, namun memiliki klaim universalitas intersubjektif.
Melalui analisis keindahan dan sublim, ia mengaitkan pengalaman estetik dengan
kemampuan manusia untuk mengalami harmoni antara imajinasi dan akal, sekaligus
menjembatani kesenjangan antara dunia empiris dan dunia moral.3
Aspek ini menjadikan Critique of Judgment sebagai
penghubung epistemologi dan etika dalam sistem Kantian, sekaligus membuka jalan
bagi teori estetika modern dan hermeneutika filosofis.
Pemikiran Kant telah
memicu respons luas dari para filsuf pascakritis, seperti Fichte, Schelling,
Hegel, dan Heidegger, yang mencoba mengatasi keterbatasan Kantian dengan menawarkan
pendekatan dialektis atau eksistensial. Sementara itu, kritik dari Nietzsche
dan pemikir postmodern lainnya menggarisbawahi bahwa abstraksi
moral Kant berisiko mengabaikan kehendak hidup, konteks
historis, dan dinamika kekuasaan dalam pembentukan nilai.4
Kritik-kritik ini, meski tajam, justru memperlihatkan keluasan
daya jangkau filsafat Kant, karena bahkan para penentangnya
tetap berangkat dari medan problematika yang Kant sendiri rumuskan.
Dalam konteks
kontemporer, Kant tetap relevan dalam berbagai bidang: dari teori sains hingga
hak asasi manusia, dari pendidikan moral hingga keadilan global.
Prinsip-prinsip universalitas, otonomi, dan kebebasan yang ia rumuskan menjadi kerangka
etis rasional dalam menghadapi krisis nilai di era globalisasi
dan relativisme budaya. Meskipun perlu terus dikritisi dan ditafsirkan ulang,
pemikiran Kant memberikan warisan normatif yang tak ternilai bagi pencarian
manusia akan makna, kebenaran, dan kebebasan dalam kerangka rasional.5
Dengan demikian,
Kant tidak hanya berhasil merevolusi filsafat pada zamannya, tetapi juga
meninggalkan arsitektur pemikiran yang kokoh
untuk terus menjawab tantangan intelektual dan moral di berbagai zaman. Proyek
kritiknya tetap menjadi mercusuar filsafat yang menuntun manusia berpikir
dengan berani, secara rasional, dan dengan tanggung jawab etis terhadap
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxvi–Bxviii.
[2]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008), 154–157.
[3]
Paul Guyer, Kant and the Experience of Freedom: Essays on
Aesthetics and Morality (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
85–88.
[4]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter
Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 45–51; Martin
Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, trans. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), 14–19.
[5]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press,
1990), 43–46.
Daftar Pustaka
Allison, H. E. (1990). Kant’s
theory of freedom. Cambridge University Press.
Allison, H. E. (2001). Kant’s
theory of taste: A reading of the Critique of Aesthetic Judgment.
Cambridge University Press.
Allison, H. E. (2004). Kant’s
transcendental idealism: An interpretation and defense (2nd ed.). Yale
University Press.
Audi, R. (1997). Moral
knowledge and ethical character. Oxford University Press.
Audi, R. (2003). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (2nd ed.).
Routledge.
Beauchamp, T. L., &
Childress, J. F. (2019). Principles of biomedical ethics (8th ed.).
Oxford University Press.
Beiser, F. (2002). German
idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University
Press.
Benhabib, S. (1992). Situating
the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics.
Routledge.
Carman, T. (2003). Heidegger’s
analytic: Interpretation, discourse, and authenticity in Being and Time.
Cambridge University Press.
Copleston, F. (1994). A
history of philosophy (Vol. VI): Modern philosophy from the French
Enlightenment to Kant. Image Books.
Dicker, G. (2004). Kant’s
theory of knowledge: An analytical introduction. Oxford University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.).
Continuum.
Guyer, P. (1997). Kant
and the claims of taste (2nd ed.). Cambridge University Press.
Guyer, P. (2006). Kant.
Routledge.
Guyer, P. (1987). Kant
and the claims of knowledge. Cambridge University Press.
Guyer, P., & Wood, A.
W. (Eds. & Trans.). (1998). Critique of pure reason (I. Kant).
Cambridge University Press.
Guyer, P., & Matthews,
E. (Trans.). (2000). Critique of the power of judgment (I. Kant).
Cambridge University Press.
Habermas, J. (1990). Moral
consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen,
Trans.). MIT Press.
Hanna, R. (2018). Kant’s
theory of judgment. Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/kant-judgment/
Heidegger, M. (1997). Kant
and the problem of metaphysics (R. Taft, Trans.). Indiana University
Press. (Original work published 1929)
Herman, B. (1993). The
practice of moral judgment. Harvard University Press.
Hume, D. (2000). An
enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford
University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork
for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press. (Original work published 1785)
Kant, I. (2000). Critique
of the power of judgment (P. Guyer & E. Matthews, Trans.). Cambridge
University Press. (Original work published 1790)
Kant, I. (2006). Perpetual
peace: A philosophical sketch (H. B. Nisbet, Trans.). Penguin Books.
(Original work published 1795)
Korsgaard, C. M. (1996). Creating
the kingdom of ends. Cambridge University Press.
Kuehn, M. (2001). Kant:
A biography. Cambridge University Press.
Kuhn, T. S. (1996). The
structure of scientific revolutions (3rd ed.). University of Chicago
Press.
Leiter, B. (2002). Nietzsche
on morality. Routledge.
Mills, C. W. (1997). The
racial contract. Cornell University Press.
Mills, C. W. (2011). Kant
and race, redux. Monist, 94(2), 169–187.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism
(G. Sher, Ed.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1863)
Noddings, N. (2008). Moral
education: A handbook. ABC-CLIO.
Nietzsche, F. (1989). On
the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.).
Vintage Books. (Original work published 1887)
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers
of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard
University Press.
O’Neill, O. (2015). Constructing
authorities: Reason, politics and interpretation in Kant’s philosophy.
Cambridge University Press.
Pippin, R. (1982). Kant’s
theory of form: An essay on the Critique of Pure Reason. Yale University
Press.
Pogge, T. (2002). World
poverty and human rights: Cosmopolitan responsibilities and reforms.
Polity Press.
Schopenhauer, A. (1969). The
world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover
Publications. (Original work published 1818)
Wood, A. W. (2004). Kantian
philosophy: The historical and philosophical contexts. Cambridge
University Press.
Wood, A. W. (2005). Kant.
Blackwell Publishing.
Wood, A. W. (2008). Kantian
ethics. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar