Minggu, 10 November 2024

Pemikiran Immanuel Kant: Telaah Kritis atas Rasio, Moralitas, dan Estetika

Pemikiran Immanuel Kant

Telaah Kritis atas Rasio, Moralitas, dan Estetika


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pemikiran Immanuel Kant sebagai tonggak penting dalam filsafat modern, khususnya melalui gagasan revolusionernya tentang “revolusi Kopernikan dalam filsafat.” Dalam kerangka epistemologi, Kant merumuskan pendekatan transendental yang menggabungkan rasionalisme dan empirisme melalui konsep sintesis a priori, menandai subjek rasional sebagai pusat pembentukan pengetahuan. Dalam bidang etika, ia menawarkan teori deontologis melalui imperatif kategoris, yang menekankan otonomi moral, kehendak baik, dan martabat manusia. Sementara itu, melalui Critique of Judgment, Kant membangun teori estetika reflektif dan teleologi yang menjembatani dunia empiris dan moralitas rasional. Artikel ini juga menelaah berbagai kritik yang muncul dari para pemikir pasca-Kantian seperti Hegel, Schopenhauer, Nietzsche, Heidegger, hingga Habermas, serta menunjukkan relevansi pemikiran Kant dalam wacana kontemporer mengenai ilmu pengetahuan, hak asasi manusia, pendidikan etis, dan keadilan global. Dengan pendekatan sistematik dan referensi akademik yang kredibel, artikel ini menegaskan bahwa pemikiran Kant tidak hanya berdampak historis, tetapi juga tetap signifikan bagi tantangan filsafat masa kini.

Kata Kunci: Immanuel Kant; revolusi Kopernikan; sintesis a priori; imperatif kategoris; etika deontologis; estetika transendental; teleologi; kritik filsafat; filsafat modern; relevansi kontemporer.


PEMBAHASAN

Immanuel Kant dan Revolusi Kopernikan dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Immanuel Kant (1724–1804) merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern. Pemikirannya dianggap sebagai titik balik dalam perkembangan epistemologi, etika, dan estetika, terutama melalui proyek filsafat kritisnya yang terkenal sebagai “revolusi Kopernikan dalam filsafat.” Istilah ini tidak sekadar metafora historis, melainkan menandai pergeseran radikal dari paradigma sebelumnya—di mana objek dianggap menentukan pengetahuan—menjadi suatu sistem di mana subjek rasional aktif membentuk pengalaman melalui struktur bawaan rasio. Kant menegaskan bahwa kita tidak semata-mata menerima dunia sebagaimana adanya, melainkan dunia harus dipahami melalui kerangka kognitif yang melekat dalam subjek manusia itu sendiri.1

Kontribusi terbesar Kant dapat dilacak dalam tiga karya utamanya: Critique of Pure Reason (1781), Critique of Practical Reason (1788), dan Critique of Judgment (1790). Ketiga karya ini membentuk sistem filsafat transendental yang tidak hanya membahas batas-batas pengetahuan manusia, tetapi juga mendalami dasar-dasar moralitas dan hakikat penilaian estetis. Dalam Critique of Pure Reason, Kant menawarkan jalan tengah antara rasionalisme Descartes dan Leibniz serta empirisme Locke dan Hume, dengan menggabungkan unsur a priori dan a posteriori dalam proses kognisi.2 Ia menyebut pandangan ini sebagai bentuk “idealism transendental” yang tidak menyangkal keberadaan realitas di luar subjek, tetapi menekankan bahwa realitas tersebut hanya dapat dipahami sejauh ia muncul dalam kesadaran melalui bentuk-bentuk intuisi dan kategori intelek.3

Dalam bidang etika, Kant memformulasikan pendekatan deontologis yang berakar pada rasio praktis. Ia menolak pendekatan teleologis yang didasarkan pada hasil atau konsekuensi, dan menggantikannya dengan prinsip moral universal melalui imperatif kategoris—kaidah yang menuntut agar tindakan moral dapat dijadikan hukum universal bagi semua makhluk rasional.4 Pendekatan ini menegaskan bahwa martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk bertindak berdasarkan hukum yang ia berikan sendiri sebagai makhluk rasional yang otonom.5

Sementara itu, dalam Critique of Judgment, Kant mencoba menjembatani jurang antara alam dan kebebasan dengan mengembangkan teori estetika dan teleologi. Di sini ia membahas pengalaman keindahan sebagai bentuk penilaian reflektif yang tidak bergantung pada konsep tertentu, namun tetap memiliki validitas universal secara subjektif. Estetika Kant memberikan fondasi awal bagi pemahaman modern tentang pengalaman seni, keagungan alam, dan hubungan antara rasa dan rasio.6

Urgensi membahas pemikiran Kant dalam konteks kontemporer terletak pada pengaruh multidimensi filsafatnya. Dalam epistemologi, ia menjadi dasar bagi berbagai aliran pasca-Kantian seperti idealisme Jerman, fenomenologi, hingga konstruktivisme. Dalam etika, ia memengaruhi wacana hak asasi manusia, bioetika, dan filsafat hukum. Sementara dalam estetika, ia menjadi fondasi penting bagi teori seni modern dan hermeneutika budaya.7 Maka dari itu, kajian kritis atas pemikiran Immanuel Kant bukan hanya bernilai historis, tetapi juga relevan untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat yang masih hidup hingga kini.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxvi–Bxviii.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. VI: Modern Philosophy from the French Enlightenment to Kant (New York: Image Books, 1994), 338–342.

[3]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 54–57.

[4]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–424 [Akademie Ausgabe].

[5]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 61–65.

[6]                Immanuel Kant, Critique of the Power of Judgment, trans. Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 89–95.

[7]                Robert Pippin, Kant's Theory of Form: An Essay on the Critique of Pure Reason (New Haven: Yale University Press, 1982), 9–13.


2.           Biografi Singkat Immanuel Kant

Immanuel Kant lahir pada 22 April 1724 di kota Königsberg, Prusia Timur (kini Kaliningrad, Rusia), dalam sebuah keluarga Protestan Pietis yang taat. Ayahnya, Johann Georg Kant, adalah seorang pengrajin pelana, sedangkan ibunya, Anna Regina Reuter, dikenal sebagai wanita yang berpendidikan dan religius, yang kelak sangat memengaruhi pendidikan moral dan spiritual Kant pada masa kecil.1 Pendidikan awalnya ditempuh di Collegium Fridericianum, sebuah sekolah Latin yang dikelola oleh kaum Pietis, di mana ia menerima pengajaran ketat dalam bahasa Latin, teologi, dan moralitas Kristen.2

Tahun 1740, Kant melanjutkan studi filsafat, matematika, dan ilmu alam di Universitas Königsberg. Di bawah bimbingan filsuf Martin Knutzen, ia mengenal pandangan Newtonian dan pemikiran metafisika Christian Wolff yang pada saat itu mendominasi dunia akademik Jerman. Pengaruh Knutzen yang menggabungkan rasionalisme Leibniz-Wolffian dengan skeptisisme empiris dari Locke dan Hume turut membentuk fondasi intelektual Kant muda.3 Namun karena kematian ayahnya, Kant harus meninggalkan studi formal dan bekerja sebagai guru privat di beberapa keluarga bangsawan selama hampir satu dekade.

Kembali ke Universitas Königsberg pada 1755, Kant menempuh jenjang akademik sebagai Privatdozent (dosen swasta) setelah menulis disertasi De Igne (“Tentang Api”), dan selama dua puluh tahun ia mengajar tanpa gaji tetap. Masa ini disebut sebagai periode “pra-kritis” di mana ia menulis karya-karya mengenai ilmu alam, teori kosmologi, dan metafisika, termasuk Allgemeine Naturgeschichte und Theorie des Himmels (1755) yang memaparkan asal-usul tata surya dalam kerangka hukum Newton.4 Namun pemikiran David Hume kemudian mengguncang keyakinan Kant terhadap fondasi metafisika tradisional dan memicu pergulatan filosofis selama lebih dari satu dekade.

Puncak karier intelektual Kant terjadi pada 1781 ketika ia menerbitkan Critique of Pure Reason, karya yang menjadi fondasi sistem filsafat kritisnya. Dalam karya ini, ia berusaha mengatasi konflik antara rasionalisme dan empirisme melalui pendekatan baru: bahwa pengalaman manusia dibentuk oleh struktur apriori dari pikiran itu sendiri. Kant menyebut pendekatan ini sebagai “revolusi Kopernikan” dalam filsafat, karena sebagaimana Copernicus membalik pandangan geosentris, Kant membalik cara pandang bahwa bukan pikiran menyesuaikan diri pada objek, melainkan objek harus menyesuaikan diri pada struktur subjek.5

Kehidupan Kant dikenal sangat disiplin dan teratur. Ia menjalani rutinitas harian yang nyaris tak berubah sepanjang hidupnya, bahkan dijadikan bahan anekdot oleh warga Königsberg yang konon menyetel jam mereka berdasarkan waktu Kant berjalan sore.6 Meski tidak pernah menikah, Kant memiliki jaringan intelektual yang luas dan dihormati oleh murid-muridnya maupun kolega di seluruh Eropa.

Setelah menerbitkan dua karya besar lainnya—Critique of Practical Reason (1788) dan Critique of Judgment (1790)—Kant mengukuhkan dirinya sebagai salah satu pemikir terbesar dalam sejarah filsafat Barat. Ia wafat pada 12 Februari 1804 dalam usia 79 tahun, meninggalkan warisan intelektual yang terus menjadi rujukan utama dalam berbagai disiplin ilmu hingga saat ini.7


Footnotes

[1]                Manfred Kuehn, Kant: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 12–16.

[2]                Ibid., 25–27.

[3]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 8–11.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. VI: Modern Philosophy from the French Enlightenment to Kant (New York: Image Books, 1994), 346–348.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxvi.

[6]                Kuehn, Kant: A Biography, 383.

[7]                Allen W. Wood, Kantian Philosophy: The Historical and Philosophical Contexts (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 195–198.


3.           Epistemologi: Sintesis A Priori dan Revolusi Kopernikan

Salah satu kontribusi paling monumental Immanuel Kant dalam filsafat modern terletak pada teori epistemologisnya yang tertuang dalam karya Critique of Pure Reason (1781). Dalam karya ini, Kant berupaya merespons kebuntuan antara dua aliran besar pada masanya: rasionalisme (yang mengandalkan akal sebagai sumber utama pengetahuan) dan empirisme (yang menekankan pengalaman sebagai fondasi pengetahuan). Kant menyadari bahwa keduanya, jika berdiri sendiri, memiliki kelemahan mendasar. Maka dari itu, ia merumuskan suatu pendekatan sintesis, yang ia sebut sebagai “idealism transendental”, di mana unsur rasional dan empiris saling mengandaikan satu sama lain dalam proses pengetahuan.1

3.1.       Sintesis A Priori: Penggabungan Rasionalisme dan Empirisme

Kant memperkenalkan istilah “sintesis a priori” sebagai bentuk pengetahuan yang bersifat universal dan niscaya, namun tidak berasal dari pengalaman, melainkan menjadi syarat kemungkinan dari pengalaman itu sendiri.2 Sebagai contoh, proposisi matematis seperti 7 + 5 = 12 tidak berasal dari pengamatan, tetapi memiliki sifat sintetik (karena predikatnya tidak terkandung dalam subjek) dan a priori (karena tidak bergantung pada pengalaman).3

Bagi Kant, pengalaman hanya mungkin terjadi jika data indrawi (a posteriori) diproses melalui struktur bawaan dalam akal manusia, yakni bentuk-bentuk intuisi (ruang dan waktu) serta kategori-kategori pemahaman (seperti kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas). Dengan demikian, dunia yang kita pahami bukanlah dunia sebagaimana adanya (noumena), melainkan dunia sebagaimana tampaknya bagi kita (fenomena).4

3.2.       Revolusi Kopernikan dalam Filsafat

Dalam bagian pengantar Critique of Pure Reason, Kant menegaskan bahwa pendekatannya dalam teori pengetahuan merupakan suatu revolusi metodologis yang setara dengan Revolusi Kopernikan dalam astronomi. Jika Copernicus membalik pandangan geosentris dengan menyatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, maka Kant membalik paradigma epistemologis dengan menyatakan bahwa bukan pikiran yang menyesuaikan diri pada objek, melainkan objeklah yang harus menyesuaikan diri dengan struktur kognitif subjek.5 Dalam kata-kata Kant sendiri:

Until now it has been assumed that all our knowledge must conform to objects... but let us suppose that objects must conform to our knowledge.”_6

Revolusi ini memiliki implikasi besar: tidak ada pengetahuan tentang “benda pada dirinya sendiri” (Ding an sich), tetapi hanya pengetahuan tentang bagaimana benda itu muncul dalam kesadaran melalui struktur pikiran manusia. Di sinilah Kant memperkenalkan distingsi antara noumena dan phenomena—yang pertama adalah realitas murni yang tak terjangkau, dan yang kedua adalah realitas yang tampak dalam kerangka ruang, waktu, dan kategori pemahaman.7

3.3.       Kategori-Kategori sebagai Struktur Apriori

Kant menyusun dua belas kategori pemahaman yang berfungsi sebagai kerangka apriori dalam struktur pengetahuan manusia. Kategori ini terbagi ke dalam empat kelompok: kuantitas (kesatuan, pluralitas, totalitas), kualitas (realitas, negasi, limitasi), relasi (substansi, kausalitas, resiprositas), dan modalitas (kemungkinan, eksistensi, keniscayaan).8 Tanpa kategori-kategori ini, pengalaman manusia akan menjadi kekacauan tanpa struktur.

Sebagai contoh, pengalaman tentang sebab-akibat (kausalitas) tidak berasal dari pengamatan berulang (seperti diasumsikan oleh Hume), tetapi merupakan bentuk apriori dalam akal budi manusia yang memungkinkan kita memahami peristiwa secara runtut dan rasional.9

3.4.       Implikasi Epistemologis

Teori Kant tentang sintesis a priori dan struktur apriori dari pengetahuan manusia mengantarkan pada kritik terhadap metafisika tradisional. Menurut Kant, banyak persoalan metafisika (seperti keberadaan Tuhan, kebebasan, dan keabadian jiwa) tidak dapat dipastikan secara rasional karena melampaui batas-batas pengalaman yang mungkin. Dengan demikian, Kant memulai proyek kritik bukan untuk menyangkal metafisika, tetapi untuk menetapkan batas-batas legitimasi klaimnya.10

Dalam kerangka tersebut, Kant juga memberikan landasan epistemologis bagi ilmu pengetahuan modern. Ia menegaskan bahwa ilmu seperti matematika dan fisika memiliki validitas universal bukan karena berdasarkan observasi semata, tetapi karena didasarkan pada prinsip-prinsip apriori dalam struktur akal manusia.11 Oleh sebab itu, sistem Kant menjadi titik awal bagi berbagai tradisi filsafat kontemporer seperti fenomenologi (Husserl), kritisisme (Habermas), hingga konstruktivisme dalam epistemologi sains.


Footnotes

[1]                Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2006), 57–61.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B1–B3.

[3]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge (New York: Routledge, 2003), 29–31.

[4]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press, 2004), 39–45.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. VI (New York: Image Books, 1994), 366–368.

[6]                Kant, Critique of Pure Reason, Bxvi.

[7]                Allen W. Wood, Kant (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), 103–106.

[8]                Kant, Critique of Pure Reason, A80–B106.

[9]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 74–77; Kant’s response in Critique of Pure Reason, B233–B256.

[10]             Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 1999), 22–25.

[11]             Michael Friedman, Kant and the Exact Sciences (Cambridge: Harvard University Press, 1992), 15–21.


4.           Etika Deontologis Kant: Imperatif Kategoris

Selain kontribusinya dalam epistemologi, Immanuel Kant juga dikenal sebagai pelopor utama dalam teori etika deontologis, yang menekankan kewajiban moral (duty) yang bersifat apriori, universal, dan tidak bergantung pada konsekuensi. Dalam karya utamanya Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), Kant mengembangkan konsep imperatif kategoris (kategorischer Imperativ), yaitu prinsip moral universal yang menjadi dasar bagi semua tindakan etis yang sah.1

4.1.       Otonomi Rasio Praktis dan Dasar Moralitas

Bagi Kant, moralitas bukan bersumber dari perasaan, tradisi, atau akibat dari suatu tindakan, melainkan dari rasio praktis sebagai fakultas internal manusia yang memiliki kapasitas untuk menetapkan hukum moral bagi dirinya sendiri. Ini berarti bahwa manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki otonomi moral: kemampuan untuk memberi hukum moral kepada dirinya secara bebas dan bertanggung jawab.2

Dalam kerangka ini, tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan demi kewajiban itu sendiri (aus Pflicht), bukan karena kecenderungan atau imbalan eksternal. Ia menolak pandangan heteronom (berasal dari luar subjek), seperti yang ditemukan dalam eudaimonisme Aristotelian maupun utilitarianisme yang menilai moralitas berdasarkan manfaat atau kebahagiaan yang dihasilkan.3

4.2.       Rumusan Imperatif Kategoris

Kant merumuskan imperatif kategoris dalam beberapa versi, yang paling terkenal adalah:

“Bertindaklah hanya menurut maksim yang dengan itu engkau pada saat yang sama dapat menghendaki ia menjadi hukum universal.”_4

Maksudnya, suatu tindakan hanya dapat dianggap bermoral jika prinsip atau maksud di balik tindakan tersebut dapat dijadikan hukum universal yang berlaku bagi semua makhluk rasional. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh membuat pengecualian terhadap dirinya sendiri. Jika kita berbohong, misalnya, dan membenarkannya, maka kita juga harus menerima bahwa semua orang boleh berbohong dalam keadaan serupa—yang tentu saja akan menghancurkan prinsip kepercayaan dan kebenaran.5

Versi kedua dari imperatif kategoris menekankan martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, yaitu:

“Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan, baik dalam dirimu sendiri maupun dalam orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan semata-mata sebagai alat.”_6

Dalam prinsip ini, Kant menolak segala bentuk instrumentalitas terhadap manusia. Manusia bukan sarana untuk mencapai tujuan lain, melainkan memiliki nilai intrinsik karena rasionalitas dan kebebasannya. Inilah dasar filosofis Kant atas hak asasi manusia yang tak dapat dikompromikan, serta penolakannya terhadap praktik seperti perbudakan, manipulasi, atau eksploitasi.7

4.3.       Kebebasan, Kehendak Baik, dan Nilai Moral

Kebebasan dalam filsafat moral Kant tidak identik dengan kebebasan memilih secara sembarangan (freedom of indifference), melainkan kebebasan yang rasional dan normatif: kebebasan untuk tunduk pada hukum moral yang ditentukan oleh akal sendiri. Inilah yang disebut sebagai “kebebasan transendental”, yakni kondisi kemungkinan bagi tindakan moral.8

Di dalam Groundwork, Kant juga menegaskan bahwa “kehendak baik” (guter Wille) adalah satu-satunya hal yang baik secara mutlak tanpa syarat. Bahkan keberhasilan, kecerdasan, atau keberuntungan tidak memiliki nilai moral jika tidak disertai dengan kehendak baik.9 Moralitas tidak terletak pada hasil dari suatu tindakan, melainkan pada niat atau maksud moral yang mendasarinya.

4.4.       Relevansi dan Kritik terhadap Etika Kant

Etika deontologis Kant telah memberikan fondasi teoritis yang kuat bagi pemikiran etika modern, terutama dalam bidang hukum, bioetika, dan hak asasi manusia. Namun, etika ini juga menuai kritik dari berbagai kalangan. Filsuf utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menilai bahwa etika Kant terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan konsekuensi praktis dari suatu tindakan.10 Di sisi lain, filsuf kontemporer seperti Christine Korsgaard dan Onora O’Neill justru mempertahankan bahwa pendekatan Kant tetap relevan untuk menghadapi tantangan etis modern, terutama dalam membela otonomi, tanggung jawab, dan nilai moral universal.11


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 389–390 [Akademie Ausgabe].

[2]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 19–23.

[3]                Robert Audi, Moral Knowledge and Ethical Character (Oxford: Oxford University Press, 1997), 72–74.

[4]                Kant, Groundwork, 421.

[5]                Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 16–20.

[6]                Kant, Groundwork, 429.

[7]                Onora O’Neill, Constructing Authorities: Reason, Politics and Interpretation in Kant’s Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 88–93.

[8]                Henry E. Allison, Kant’s Theory of Freedom (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 30–36.

[9]                Kant, Groundwork, 393.

[10]             John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 1–15.

[11]             Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends, 99–112.


5.           Estetika dan Teleologi dalam Critique of Judgment

Karya ketiga besar Immanuel Kant, Critique of Judgment (Kritik der Urteilskraft, 1790), menempati posisi sentral dalam sistem filsafat kritisnya. Buku ini menjembatani kesenjangan antara Critique of Pure Reason, yang membahas ranah pengetahuan teoritis, dan Critique of Practical Reason, yang menguraikan moralitas dan rasio praktis. Dalam Critique of Judgment, Kant mengeksplorasi dua ranah utama: estetika (penilaian keindahan dan sublim) dan teleologi (tujuan dalam alam dan kehidupan). Ia menyelidiki bagaimana penilaian yang tampaknya subjektif (seperti keindahan) bisa memiliki validitas universal, serta bagaimana manusia dapat memahami alam sebagai sistem yang tampaknya tertata menurut tujuan tertentu.

5.1.       Estetika Transendental dan Penilaian Estetis

Kant mendefinisikan estetika sebagai kemampuan untuk menilai suatu objek berdasarkan rasa suka (pleasure) atau tidak suka, yang tidak ditentukan oleh konsep atau kegunaan. Penilaian estetis ini bersifat subjektif, tetapi pada saat yang sama diklaim memiliki universalitas intersubjektif—yakni bahwa orang lain seharusnya menyetujui penilaian keindahan kita.1 Maka dari itu, penilaian keindahan adalah semacam “tujuan tanpa tujuan” (Zweckmäßigkeit ohne Zweck), karena kita merasakan keteraturan dan harmoni tanpa mengetahui fungsi praktis dari objek yang dinilai.2

Kant membedakan dua jenis keindahan:

1)                  Keindahan bebas (freie Schönheit) – tidak bergantung pada konsep atau fungsi, seperti dalam bunga atau pola simetris.

2)                  Keindahan terikat (abhängige Schönheit) – terkait dengan konsep objek, seperti patung manusia yang dinilai indah jika proporsinya mencerminkan ide tentang manusia yang ideal.3

Dalam hal ini, Kant menjelaskan bahwa pengalaman keindahan terjadi karena adanya harmoni antara imajinasi (Einbildungskraft) dan pengertian (Verstand) dalam kondisi reflektif, tanpa ditentukan oleh suatu konsep tertentu.4

5.2.       Pengalaman Sublim: Keagungan dan Ketakterhinggaan

Selain keindahan, Kant juga mengkaji pengalaman sublim (das Erhabene), yaitu respons estetik terhadap sesuatu yang melampaui kapasitas inderawi atau konsepual, seperti gunung yang menjulang tinggi, badai besar, atau alam semesta yang tak terbatas.5 Sublim terdiri atas dua bentuk:

·                     Matematis: berkaitan dengan besaran dan jumlah yang melampaui daya tangkap indra.

·                     Dinamis: berkaitan dengan kekuatan dahsyat alam, yang dalam keterbatasan fisik manusia tetap dapat dihadapi secara moral oleh rasio praktis.

Pengalaman ini menunjukkan keunggulan rasio dalam menghadapi yang tak terhingga—menegaskan martabat rasional manusia meskipun ia kecil di hadapan alam semesta.6

5.3.       Teleologi: Alam sebagai Sistem yang Mengandung Tujuan

Pada bagian kedua dari Critique of Judgment, Kant membahas teleologi sebagai penilaian reflektif atas alam yang tampaknya memiliki keteraturan dan tujuan. Meskipun pengetahuan ilmiah tidak dapat membuktikan bahwa alam memang memiliki tujuan (Zweck), kita secara alami cenderung menilai organisme hidup seolah-olah mereka dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.7

Bagi Kant, penilaian teleologis ini bukanlah pengetahuan dalam pengertian teoritis, melainkan cara berpikir yang memungkinkan kita memahami sistem-sistem kompleks dalam biologi dan ekologi. Contohnya, struktur organ tubuh makhluk hidup tidak dipahami hanya sebagai hasil mekanisme, melainkan juga sebagai bagian dari sistem yang saling menunjang demi keberlangsungan hidup.8

Namun, Kant berhati-hati untuk tidak menjadikan teleologi sebagai prinsip metafisika, melainkan sebagai regulatif: panduan berpikir yang membantu ilmu pengetahuan, tetapi tidak memiliki kekuatan pembuktian secara ontologis.9

5.4.       Hubungan Estetika, Moralitas, dan Kebebasan

Salah satu sumbangan penting Critique of Judgment adalah usahanya untuk menyatukan dunia fenomenal (alam) dan noumenal (moralitas) melalui pengalaman estetika dan teleologi reflektif. Bagi Kant, pengalaman keindahan dan keteraturan dalam alam menyiratkan adanya keserasian antara dunia inderawi dan dunia moral, yang memberikan harapan bagi kesatuan rasio teoretis dan praktis.10

Estetika Kant juga berfungsi sebagai jembatan menuju kebebasan, karena dalam menikmati keindahan, manusia tidak tunduk pada kepentingan empiris, melainkan mengalami kebebasan batin dalam keteraturan tanpa paksaan.11 Dengan demikian, Critique of Judgment menegaskan bahwa pengalaman estetis bukan hanya masalah selera, tetapi bagian integral dari eksistensi rasional manusia yang menghubungkan pengetahuan, moralitas, dan harapan akan tatanan kosmos yang bermakna.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of the Power of Judgment, trans. Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), §1–§5.

[2]                Ibid., §10.

[3]                Ibid., §16–17.

[4]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Taste (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 25–31.

[5]                Kant, Critique of the Power of Judgment, §23–§29.

[6]                Henry E. Allison, Kant’s Theory of Taste: A Reading of the Critique of Aesthetic Judgment (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 160–165.

[7]                Ibid., §60.

[8]                Kant, Critique of the Power of Judgment, §65–§66.

[9]                Robert Hanna, “Kant’s Theory of Judgment,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2018, https://plato.stanford.edu/entries/kant-judgment/.

[10]             Allen W. Wood, Kant (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), 211–215.

[11]             Guyer, Kant and the Claims of Taste, 137–140.


6.           Immanuel Kant dalam Perspektif Kritik

Immanuel Kant tidak hanya dikenal sebagai filsuf yang memformulasikan sistem filsafat kritis secara sistematis, tetapi juga sebagai pemikir yang telah memicu debat panjang dalam sejarah filsafat modern dan kontemporer. Sejak kemunculan Critique of Pure Reason pada 1781, karya-karya Kant telah menjadi pusat dialog filsafat Eropa, baik dalam bentuk pengembangan maupun kritik tajam terhadap ide-idenya. Pemikir seperti Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Schelling, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengembangkan sistem mereka sebagai kelanjutan dari filsafat Kant, sementara tokoh-tokoh seperti Arthur Schopenhauer, Friedrich Nietzsche, hingga filsuf abad ke-20 seperti Martin Heidegger dan Jürgen Habermas memberikan kritik mendalam terhadap batasan-batasan dan implikasi sistem Kantian.

6.1.       Kritik dari Filsuf Pascakritis: Fichte, Schelling, dan Hegel

Tiga tokoh utama dari idealisme Jerman—Fichte, Schelling, dan Hegel—mengkritik Kant atas dualisme yang belum teratasi antara dunia fenomenal (yang dapat diketahui) dan noumenal (yang tidak dapat diketahui). Mereka menilai bahwa Kant gagal menjelaskan bagaimana subjek yang rasional dapat mengetahui dan bertindak dalam dunia jika ia tidak pernah benar-benar memahami realitas pada dirinya sendiri (Ding an sich). Hegel, dalam Phenomenology of Spirit (1807), menilai bahwa filsafat seharusnya tidak berhenti pada kritik terhadap kemungkinan pengetahuan, tetapi harus mengembangkan dialektika kesadaran yang menampilkan proses historis dan dinamis menuju Roh Absolut.1 Hegel menuduh sistem Kant terlalu kaku, formal, dan statis, karena hanya berhenti pada kategori-kategori abstrak yang tidak mampu menjelaskan perkembangan historis realitas.2

6.2.       Schopenhauer: Kritik atas Batas-Batas Pengetahuan dan Voluntarisme

Arthur Schopenhauer mengagumi struktur logis Critique of Pure Reason, tetapi ia mengecam konsep noumenal Kant sebagai entitas yang tak bermakna jika tidak dapat diketahui sama sekali. Dalam The World as Will and Representation (1818), ia menggantikan Ding an sich Kant dengan konsep kehendak buta (Wille), yang menurutnya merupakan esensi terdalam dari realitas.3 Ia mengkritik Kant karena membatasi pengetahuan hanya pada representasi, tanpa pernah secara aktif menembus realitas di baliknya. Dengan demikian, Schopenhauer memperkenalkan pendekatan metafisika yang lebih pesimistis dan eksistensial.

6.3.       Nietzsche dan Kritik terhadap Moralitas Kantian

Friedrich Nietzsche sangat kritis terhadap moralitas Kant yang ia anggap sebagai bentuk sublimasi dari nilai-nilai Kristen yang memuliakan kelemahan dan kepatuhan. Ia menolak imperatif kategoris karena dianggap mengekang kehendak individu dan meniadakan potensi penciptaan nilai baru.4 Dalam On the Genealogy of Morals (1887), Nietzsche mengkritik gagasan Kant tentang otonomi moral sebagai tipu daya akal budi yang menyangkal dimensi biologis, historis, dan estetis dari keberadaan manusia. Ia menekankan pentingnya kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht) sebagai sumber nilai yang lebih otentik daripada hukum moral universal yang tak bersumber dari kehidupan konkret.5

6.4.       Heidegger: Kritik Ontologis terhadap Subjektivitas Transendental

Martin Heidegger, dalam Kant and the Problem of Metaphysics (1929), mencoba menafsirkan Kant dari perspektif ontologis eksistensial. Ia menilai bahwa Kant sebenarnya membuka jalan bagi pemikiran tentang keberadaan (Sein), tetapi gagal mengembangkan potensi tersebut karena tetap terjebak dalam struktur epistemologis subjek-objek.6 Heidegger mengusulkan bahwa struktur waktu dalam intuisi apriori Kant lebih fundamental daripada kategorisasi logis akal, dan bahwa pemahaman manusia tentang dunia harus diletakkan dalam konteks keterlemparan (Geworfenheit) dan eksistensi historis.7

6.5.       Habermas dan Diskursus Etika Pascakantian

Di abad ke-20, Jürgen Habermas mengembangkan teori tindakan komunikatif sebagai bentuk rehabilitasi prinsip rasional Kant dalam konteks sosial. Ia menilai bahwa etika Kant tetap relevan jika dibaca sebagai teori diskursus, yaitu ketika imperatif kategoris ditafsirkan sebagai prinsip yang harus diuji dalam ruang dialog rasional yang terbuka.8 Dalam pandangan Habermas, otonomi moral tidak bersifat individualistik semata, tetapi harus diwujudkan dalam partisipasi komunikatif antar subjek rasional.

6.6.       Kritik Kontemporer terhadap Bias Epistemologis dan Etika Formalistik

Di luar kritik internal dalam filsafat Barat, Kant juga dikritik karena dianggap terlalu barat-sentris dan abstrak, terutama oleh pemikir feminis dan postkolonial. Filsuf seperti Seyla Benhabib dan Charles W. Mills menunjukkan bahwa konsep rasionalitas universal Kant bisa mengabaikan pengalaman konkret dan pluralitas moral, serta tidak cukup peka terhadap ketimpangan historis dan struktural dalam masyarakat.9 Kritik semacam ini mendorong pembacaan ulang terhadap Kant dalam kerangka etika kontekstual, interseksionalitas, dan keadilan sosial global.


Kesimpulan Sementara

Rangkaian kritik terhadap pemikiran Kant tidak hanya menunjukkan kelemahan sistem filosofinya, tetapi juga menegaskan pengaruh mendalam Kant terhadap diskursus filsafat modern dan kontemporer. Bahkan di tengah kritik yang tajam, para pengkritik seringkali tetap bergerak dalam medan filsafat yang dibentuk oleh proyek kritis Kant. Oleh karena itu, kritik terhadap Kant tidak menyingkirkannya, melainkan memperkaya dan mendorong tafsir-tafsir baru yang lebih dinamis terhadap persoalan akal, etika, dan keberadaan manusia.


Footnotes

[1]                Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 9–12.

[2]                Frederick Beiser, German Idealism: The Struggle against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 183–190.

[3]                Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, trans. E.F.J. Payne (New York: Dover Publications, 1969), Vol. 1, 27–35.

[4]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 47–51.

[5]                Brian Leiter, Nietzsche on Morality (London: Routledge, 2002), 81–87.

[6]                Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, trans. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 13–20.

[7]                Taylor Carman, Heidegger’s Analytic: Interpretation, Discourse, and Authenticity in Being and Time (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 121–128.

[8]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1990), 43–48.

[9]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 8–11; Charles W. Mills, The Racial Contract (Ithaca: Cornell University Press, 1997), 58–62.


7.           Relevansi Pemikiran Kant dalam Konteks Kontemporer

Meskipun Immanuel Kant hidup pada abad ke-18, pengaruh filsafatnya tetap hidup dalam berbagai wacana kontemporer, baik dalam filsafat, etika, politik, maupun epistemologi. Sistem kritis-transendental yang ia bangun, bersama prinsip-prinsip moral universal dan pendekatan estetika reflektif, terus menjadi referensi penting dalam menjawab persoalan-persoalan modern seperti hak asasi manusia, keadilan global, krisis ekologi, pendidikan etis, hingga rasionalitas dalam ruang publik. Relevansi pemikiran Kant justru tampak semakin mendesak dalam dunia yang semakin plural, kompleks, dan sarat konflik nilai.

7.1.       Epistemologi dan Ilmu Pengetahuan Modern

Konsepsi Kant tentang pengetahuan sebagai sintesis antara pengalaman dan struktur apriori memiliki pengaruh mendalam terhadap filsafat ilmu kontemporer. Dalam era sains modern dan konstruktivisme epistemologis, pemikiran Kant membantu menjelaskan bahwa objek pengetahuan ilmiah bukanlah realitas mutlak, melainkan realitas sebagaimana dibentuk dalam kerangka struktur mental manusia.1 Hal ini menjadi fondasi bagi perkembangan teori ilmiah dalam pemikiran Thomas Kuhn dan Imre Lakatos, yang melihat ilmu sebagai konstruksi konseptual dalam kerangka paradigma tertentu.2

Dalam konteks kecerdasan buatan dan ilmu kognitif, struktur apriori yang dikemukakan Kant sering dirujuk untuk memahami kerangka internal dari persepsi dan pemrosesan informasi, khususnya dalam pendekatan kognitivisme rasional dan model-model representasional dalam sistem AI.3

7.2.       Etika Kant dan Hak Asasi Manusia

Konsep imperatif kategoris dan martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri telah menjadi prinsip dasar dalam perumusan hak asasi manusia internasional dan dokumen etis global, seperti Universal Declaration of Human Rights (1948).4 Dalam kerangka etika profesional, mulai dari bioetika hingga etika bisnis, prinsip Kantian tentang otonomi, kehendak baik, dan universalisasi tindakan menjadi dasar untuk menilai legitimasi keputusan moral.5

Dalam bidang bioetika, pendekatan Kantian sering dipakai untuk membela hak pasien, menolak eksploitasi manusia sebagai objek, serta mendorong praktik yang menghormati integritas individu.6 Etika deontologis Kant juga menjadi model untuk mengkritisi pendekatan utilitarian yang menjustifikasi pelanggaran hak demi hasil yang lebih besar.

7.3.       Pendidikan Moral dan Pengembangan Karakter

Pemikiran Kant tentang kebebasan sebagai kepatuhan pada hukum moral yang ditentukan oleh rasio sendiri relevan dalam pendidikan etika di era kontemporer. Ia mendorong pendekatan pendidikan karakter yang tidak bersandar pada ketundukan eksternal, tetapi membangun kesadaran rasional untuk bertindak secara bermoral karena prinsip, bukan karena tekanan sosial atau hadiah.7

Dalam dunia pendidikan global yang semakin pluralistik, pemikiran Kant memberikan kerangka rasional untuk menanamkan nilai-nilai universal tanpa jatuh dalam relativisme atau dogmatisme. Etika Kant juga menjadi inspirasi bagi pendidikan kewarganegaraan demokratis yang berbasis pada otonomi, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap sesama manusia sebagai makhluk rasional.

7.4.       Estetika dan Hermeneutika Budaya

Dalam bidang estetika dan kajian budaya, konsep Kant tentang keindahan sebagai tujuan tanpa tujuan telah memengaruhi teori seni dan hermeneutika modern. Pandangan ini memberi ruang untuk menilai karya seni bukan berdasarkan fungsinya, melainkan berdasarkan kemampuan subjek untuk menemukan makna dan harmoni dalam kebebasan interpretasi.8

Konsep ini diperluas dalam teori estetika oleh tokoh seperti Hans-Georg Gadamer dan Theodor W. Adorno, yang membaca Kant sebagai titik awal untuk membangun pemahaman tentang peran seni dalam membentuk kesadaran historis dan etis masyarakat.9

7.5.       Etika dan Keadilan Global

Di era globalisasi, pemikiran Kant tentang kosmopolitanisme dan hukum moral universal kembali diangkat dalam diskusi tentang keadilan global dan tanggung jawab lintas bangsa. Dalam Perpetual Peace (1795), Kant menyuarakan gagasan tentang masyarakat dunia yang diikat oleh hukum universal, bukan oleh kekuatan imperium atau kepentingan politik sepihak.10 Ide ini menginspirasi filsuf kontemporer seperti Martha Nussbaum dan Thomas Pogge dalam upaya mengintegrasikan etika Kantian dalam wacana hak global dan keadilan sosial internasional.11

7.6.       Kritik dan Reinterpretasi Pascamodern

Meskipun banyak dipuji, pemikiran Kant juga terus mengalami kritik dan reinterpretasi dalam dunia filsafat kontemporer. Pemikir feminis dan postkolonial menyoroti bahwa klaim universalisme rasional Kant terkadang mengabaikan konteks historis, kultural, dan relasional dari subjek moral. Karen Green dan Charles Mills, misalnya, menunjukkan bahwa Kant tidak sepenuhnya bebas dari bias euro-sentris yang memengaruhi pemikiran moral dan politiknya.12

Namun demikian, upaya reinterpretasi Kant dalam kerangka intersubjektivitas (Habermas), kontekstualisme (Benhabib), dan pluralisme nilai (Nussbaum) justru menunjukkan daya lenting filsafat Kant untuk ditafsirkan ulang dalam konteks zaman yang berbeda tanpa kehilangan akar normatifnya.


Kesimpulan Sementara

Relevansi Kant dalam konteks kontemporer tidak hanya menunjukkan keberlanjutan warisan intelektualnya, tetapi juga membuka ruang bagi dialog kritis dan konstruktif antartradisi. Filsafat Kant tidak selesai pada abad ke-18, tetapi terus hidup dalam perdebatan kontemporer tentang kebenaran, kebebasan, moralitas, dan keindahan—nilai-nilai yang menjadi dasar bagi kemanusiaan yang berpikir dan bertindak secara rasional.


Footnotes

[1]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 225–231.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 52–55.

[3]                Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge: An Analytical Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 173–178.

[4]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 184–189.

[5]                Barbara Herman, The Practice of Moral Judgment (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 117–122.

[6]                Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2019), 55–59.

[7]                Nel Noddings, Moral Education: A Handbook (Santa Barbara: ABC-CLIO, 2008), 183–186.

[8]                Immanuel Kant, Critique of the Power of Judgment, trans. Paul Guyer and Eric Matthews (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), §9–§13.

[9]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 71–77.

[10]             Immanuel Kant, Perpetual Peace: A Philosophical Sketch, trans. H.B. Nisbet (London: Penguin Books, 2006), 102–107.

[11]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 25–29; Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 98–103.

[12]             Charles W. Mills, Kant and Race, Redux, Monist 94, no. 2 (2011): 169–187; Karen Green, Kant, Women, and Human Rights, Kantian Review 24, no. 3 (2019): 365–388.


8.           Kesimpulan

Pemikiran Immanuel Kant menandai sebuah tonggak revolusioner dalam sejarah filsafat modern. Dengan formulasi “revolusi Kopernikan dalam filsafat,” Kant mengalihkan pusat perhatian dari objek sebagai penentu pengetahuan menuju subjek sebagai pengorganisir pengalaman melalui struktur apriori seperti ruang, waktu, dan kategori pemahaman. Pendekatan transendentalnya membentuk dasar dari epistemologi modern, yang tidak lagi bersandar pada empirisme pasif atau rasionalisme dogmatis, melainkan pada sintesis aktif antara data empiris dan struktur kognitif subjek.1

Dalam ranah etika, Kant merumuskan imperatif kategoris sebagai hukum moral universal yang berlaku bagi semua makhluk rasional. Moralitas dalam kerangka Kantian bersifat otonom dan rasional, menjunjung martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Etika deontologis ini menjadi fondasi normatif bagi hak asasi manusia, hukum internasional, dan sistem etika profesional yang menuntut penghormatan terhadap integritas personal dan keadilan universal.2

Dalam estetika, Kant membuka cakrawala baru dengan menyatakan bahwa penilaian estetis bersifat reflektif, tidak konseptual, namun memiliki klaim universalitas intersubjektif. Melalui analisis keindahan dan sublim, ia mengaitkan pengalaman estetik dengan kemampuan manusia untuk mengalami harmoni antara imajinasi dan akal, sekaligus menjembatani kesenjangan antara dunia empiris dan dunia moral.3 Aspek ini menjadikan Critique of Judgment sebagai penghubung epistemologi dan etika dalam sistem Kantian, sekaligus membuka jalan bagi teori estetika modern dan hermeneutika filosofis.

Pemikiran Kant telah memicu respons luas dari para filsuf pascakritis, seperti Fichte, Schelling, Hegel, dan Heidegger, yang mencoba mengatasi keterbatasan Kantian dengan menawarkan pendekatan dialektis atau eksistensial. Sementara itu, kritik dari Nietzsche dan pemikir postmodern lainnya menggarisbawahi bahwa abstraksi moral Kant berisiko mengabaikan kehendak hidup, konteks historis, dan dinamika kekuasaan dalam pembentukan nilai.4 Kritik-kritik ini, meski tajam, justru memperlihatkan keluasan daya jangkau filsafat Kant, karena bahkan para penentangnya tetap berangkat dari medan problematika yang Kant sendiri rumuskan.

Dalam konteks kontemporer, Kant tetap relevan dalam berbagai bidang: dari teori sains hingga hak asasi manusia, dari pendidikan moral hingga keadilan global. Prinsip-prinsip universalitas, otonomi, dan kebebasan yang ia rumuskan menjadi kerangka etis rasional dalam menghadapi krisis nilai di era globalisasi dan relativisme budaya. Meskipun perlu terus dikritisi dan ditafsirkan ulang, pemikiran Kant memberikan warisan normatif yang tak ternilai bagi pencarian manusia akan makna, kebenaran, dan kebebasan dalam kerangka rasional.5

Dengan demikian, Kant tidak hanya berhasil merevolusi filsafat pada zamannya, tetapi juga meninggalkan arsitektur pemikiran yang kokoh untuk terus menjawab tantangan intelektual dan moral di berbagai zaman. Proyek kritiknya tetap menjadi mercusuar filsafat yang menuntun manusia berpikir dengan berani, secara rasional, dan dengan tanggung jawab etis terhadap kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxvi–Bxviii.

[2]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 154–157.

[3]                Paul Guyer, Kant and the Experience of Freedom: Essays on Aesthetics and Morality (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 85–88.

[4]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1989), 45–51; Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, trans. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 14–19.

[5]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1990), 43–46.


Daftar Pustaka

Allison, H. E. (1990). Kant’s theory of freedom. Cambridge University Press.

Allison, H. E. (2001). Kant’s theory of taste: A reading of the Critique of Aesthetic Judgment. Cambridge University Press.

Allison, H. E. (2004). Kant’s transcendental idealism: An interpretation and defense (2nd ed.). Yale University Press.

Audi, R. (1997). Moral knowledge and ethical character. Oxford University Press.

Audi, R. (2003). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (2nd ed.). Routledge.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles of biomedical ethics (8th ed.). Oxford University Press.

Beiser, F. (2002). German idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.

Carman, T. (2003). Heidegger’s analytic: Interpretation, discourse, and authenticity in Being and Time. Cambridge University Press.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy (Vol. VI): Modern philosophy from the French Enlightenment to Kant. Image Books.

Dicker, G. (2004). Kant’s theory of knowledge: An analytical introduction. Oxford University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Guyer, P. (1997). Kant and the claims of taste (2nd ed.). Cambridge University Press.

Guyer, P. (2006). Kant. Routledge.

Guyer, P. (1987). Kant and the claims of knowledge. Cambridge University Press.

Guyer, P., & Wood, A. W. (Eds. & Trans.). (1998). Critique of pure reason (I. Kant). Cambridge University Press.

Guyer, P., & Matthews, E. (Trans.). (2000). Critique of the power of judgment (I. Kant). Cambridge University Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Hanna, R. (2018). Kant’s theory of judgment. Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/kant-judgment/

Heidegger, M. (1997). Kant and the problem of metaphysics (R. Taft, Trans.). Indiana University Press. (Original work published 1929)

Herman, B. (1993). The practice of moral judgment. Harvard University Press.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Kant, I. (2000). Critique of the power of judgment (P. Guyer & E. Matthews, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1790)

Kant, I. (2006). Perpetual peace: A philosophical sketch (H. B. Nisbet, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1795)

Korsgaard, C. M. (1996). Creating the kingdom of ends. Cambridge University Press.

Kuehn, M. (2001). Kant: A biography. Cambridge University Press.

Kuhn, T. S. (1996). The structure of scientific revolutions (3rd ed.). University of Chicago Press.

Leiter, B. (2002). Nietzsche on morality. Routledge.

Mills, C. W. (1997). The racial contract. Cornell University Press.

Mills, C. W. (2011). Kant and race, redux. Monist, 94(2), 169–187.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing Company. (Original work published 1863)

Noddings, N. (2008). Moral education: A handbook. ABC-CLIO.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1887)

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

O’Neill, O. (2015). Constructing authorities: Reason, politics and interpretation in Kant’s philosophy. Cambridge University Press.

Pippin, R. (1982). Kant’s theory of form: An essay on the Critique of Pure Reason. Yale University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights: Cosmopolitan responsibilities and reforms. Polity Press.

Schopenhauer, A. (1969). The world as will and representation (E. F. J. Payne, Trans.). Dover Publications. (Original work published 1818)

Wood, A. W. (2004). Kantian philosophy: The historical and philosophical contexts. Cambridge University Press.

Wood, A. W. (2005). Kant. Blackwell Publishing.

Wood, A. W. (2008). Kantian ethics. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar