Kamis, 29 Mei 2025

Negara dan Kebajikan: Negara sebagai Sarana Pembinaan Kebajikan

Negara dan Kebajikan

Negara sebagai Sarana Pembinaan Kebajikan


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran Aristoteles mengenai peran negara sebagai sarana pembinaan kebajikan dalam kerangka etika-politik klasik. Berangkat dari karya Politics dan Nicomachean Ethics, Aristoteles memandang negara tidak hanya sebagai alat untuk menjaga ketertiban sosial, tetapi sebagai komunitas moral yang bertujuan membentuk warga negara yang bajik dan rasional. Pemikiran ini dibangun di atas fondasi ontologis yang teleologis dan etis, di mana manusia sebagai zoon politikon hanya dapat mencapai eudaimonia melalui kehidupan bersama dalam polis. Negara ideal menurut Aristoteles adalah negara yang menyelenggarakan pendidikan moral, membentuk karakter warga melalui hukum yang adil, dan mengintegrasikan etika dalam praktik politik. Artikel ini juga mengkaji relevansi pandangan Aristoteles dalam konteks modern, serta kritik terhadap eksklusivitas dan keterbatasan konseptual yang melekat pada model polis kuno. Di tengah tantangan moral dan disorientasi politik kontemporer, warisan pemikiran Aristoteles tetap signifikan sebagai orientasi normatif dalam upaya membangun masyarakat yang adil, beradab, dan bermartabat.

Kata Kunci: Aristoteles, negara etis, kebajikan, eudaimonia, pendidikan moral, filsafat politik klasik, polis, etika politik.


PEMBAHASAN

Telaah Komprehensif atas Gagasan Aristoteles tentang Politik sebagai Pembinaan Etika


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah filsafat politik klasik, Aristoteles menempati posisi istimewa sebagai pemikir yang menempatkan politik tidak semata-mata dalam kerangka kekuasaan, tetapi sebagai wahana untuk mencapai kehidupan yang baik (eudaimonia). Gagasannya bahwa negara (polis) berfungsi bukan hanya untuk mempertahankan hidup, melainkan untuk mewujudkan kehidupan yang bajik dan bermakna, menjadikan filsafat politik Aristoteles memiliki nuansa etis yang kuat dan khas. Sebagaimana ditegaskan dalam Politics, negara adalah "komunitas yang bertujuan tertinggi", yang bertugas menciptakan kondisi ideal bagi warga untuk mengaktualisasikan potensi moral mereka secara maksimal¹.

Aristoteles berangkat dari premis bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politikon), artinya manusia hanya dapat mencapai kesempurnaan dirinya dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini, negara tidak netral terhadap moralitas, melainkan menjadi institusi yang aktif membentuk karakter warga negara. Sebagaimana dalam Nicomachean Ethics, ia menyatakan bahwa "tujuan akhir politik adalah kebajikan, sebab negara tidak terbentuk hanya untuk hidup bersama, melainkan untuk hidup dengan baik"². Dengan demikian, etika dan politik dalam pemikiran Aristoteles tidak dapat dipisahkan, melainkan saling berkelindan dalam satu sistem pemikiran integral.

Konsep negara sebagai instrumen pembinaan kebajikan ini menjadi sangat relevan untuk ditelaah dalam konteks kontemporer, terutama di tengah tantangan modern yang cenderung memisahkan antara moralitas dan kekuasaan politik. Negara modern sering dipandang sebagai alat administratif atau kekuasaan teknokratis, sementara pembinaan karakter diserahkan kepada lembaga-lembaga non-pemerintah atau institusi agama. Dalam kerangka inilah, penting untuk meninjau kembali pandangan Aristoteles, bukan sebagai solusi teknis, melainkan sebagai tawaran konseptual tentang pentingnya fondasi etis dalam kehidupan bernegara.

Tulisan ini akan menyajikan telaah komprehensif terhadap gagasan Aristoteles tentang negara sebagai sarana pembinaan etika, dengan menempatkan pemikirannya dalam konteks filsafat klasik serta mengaitkannya dengan perkembangan pemikiran politik modern. Harapannya, pembahasan ini tidak hanya menggambarkan keutuhan sistem pemikiran Aristoteles, tetapi juga menghidupkan kembali diskursus tentang pentingnya etika dalam ranah politik, khususnya dalam upaya membangun masyarakat yang adil, beradab, dan bermartabat.


Footnotes

1.      Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book I, 1252a1.

2.      Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), Book I, 1099b29.


2.           Konteks Historis dan Biografis Aristoteles

Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stagira, sebuah kota kecil di wilayah Makedonia, Yunani Utara. Ia adalah putra dari Nikomachos, seorang tabib pribadi Raja Amyntas III, kakek dari Aleksander Agung. Latar belakang ini menempatkan Aristoteles dalam lingkungan yang kaya akan pengetahuan medis dan ilmiah sejak masa mudanya, suatu hal yang sangat memengaruhi metode observasional dan empiris dalam karya-karyanya kemudian⁽¹⁾.

Pada usia tujuh belas tahun, Aristoteles pergi ke Athena untuk belajar di Akademi Plato, lembaga filsafat paling berpengaruh pada masanya. Selama hampir dua dekade (sekitar 367–347 SM), ia mengembangkan pemikirannya dalam lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh filsafat idealisme Platonik. Meski sangat menghormati gurunya, Aristoteles pada akhirnya mengembangkan pendekatan yang berbeda secara radikal, khususnya dalam bidang metafisika, etika, dan politik. Ia menolak pandangan Plato bahwa kebaikan tertinggi hanya dapat ditemukan di dunia ide, dan menggantikannya dengan fokus pada dunia empiris dan konkret, di mana kebajikan dapat dibentuk melalui praktik dan kebiasaan dalam kehidupan nyata⁽²⁾.

Setelah wafatnya Plato, Aristoteles meninggalkan Akademi dan menghabiskan waktu di berbagai kota sebelum akhirnya dipanggil oleh Raja Philip II dari Makedonia untuk menjadi guru bagi putranya, Aleksander (yang kemudian dikenal sebagai Aleksander Agung). Meskipun kedekatannya dengan kekuasaan memberi Aristoteles akses pada realitas politik praktis, ia tetap berkomitmen pada filsafat sebagai jalan untuk memahami hakikat kehidupan manusia yang baik dan adil⁽³⁾.

Pada tahun 335 SM, Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sekolahnya sendiri, yaitu Lyceum, yang terkenal dengan metode pengajaran peripatetik (berjalan sambil berdiskusi). Di sinilah ia menulis sebagian besar karya-karya besarnya, termasuk Politics, Nicomachean Ethics, Metaphysics, dan De Anima. Berbeda dengan Plato yang cenderung berspekulasi mengenai bentuk ideal negara, Aristoteles justru melakukan studi komparatif terhadap berbagai bentuk pemerintahan yang ada di dunia Yunani untuk merumuskan prinsip-prinsip politik yang lebih realistis dan aplikatif⁽⁴⁾.

Konsep negara sebagai sarana pembinaan kebajikan lahir dari konteks peradaban Yunani kuno yang sangat menekankan kehidupan publik dan partisipasi warga negara. Dalam polis, kehidupan sosial dan politik tidak dipisahkan dari kehidupan etis. Warga negara ideal adalah mereka yang tidak hanya terlibat dalam urusan publik, tetapi juga menjalani hidup yang berlandaskan kebajikan. Dengan demikian, pengalaman hidup Aristoteles—baik sebagai intelektual dalam tradisi Platonik maupun sebagai pengamat praktis kehidupan politik di dunia Helenistik—mewarnai secara kuat pandangan filosofisnya bahwa negara seharusnya membentuk karakter warga negara, bukan sekadar menjaga keteraturan hukum⁽⁵⁾.


Footnotes

1.      Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 2.

2.      Terence Irwin, Aristotle's First Principles (Oxford: Clarendon Press, 1988), 45–46.

3.      W.D. Ross, Aristotle (London: Routledge, 2001), 11–12.

4.      Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 23–25.

5.      Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 15–17.


3.           Dasar Ontologis dan Etis Pemikiran Aristoteles

Pemikiran politik Aristoteles tidak berdiri sendiri, melainkan berakar kuat pada kerangka ontologis dan etis yang menyeluruh. Dalam filsafatnya, Aristoteles memandang realitas sebagai sesuatu yang memiliki tujuan akhir atau telos, dan bahwa segala sesuatu bergerak menuju pemenuhan potensinya yang paling sempurna. Pandangan ini dikenal sebagai teori teleologis, yaitu bahwa hakikat sesuatu ditentukan oleh tujuan akhirnya. Hal ini bukan hanya berlaku bagi benda-benda alamiah, tetapi juga bagi kehidupan manusia dan institusi sosial, termasuk negara⁽¹⁾.

Manusia, menurut Aristoteles, memiliki potensi yang hanya dapat diwujudkan melalui kehidupan yang bajik. Ia mendefinisikan manusia sebagai zoon politikon—makhluk yang secara kodrati hidup dalam masyarakat politik—karena hanya dalam konteks kehidupan bersama itulah manusia dapat mencapai kebaikan tertinggi, yakni eudaimonia atau kebahagiaan yang sejati⁽²⁾. Namun, eudaimonia dalam konteks Aristoteles bukanlah sekadar kepuasan emosional atau kenikmatan fisik, melainkan pencapaian hidup yang sesuai dengan kebajikan rasional (virtue of reason). Dalam hal ini, kehidupan politik bukan instrumen sekunder, melainkan medium utama bagi pengaktualan potensi manusia sebagai makhluk rasional dan moral⁽³⁾.

Kebajikan (aretê) dalam filsafat etika Aristoteles adalah disposisi karakter yang terbentuk melalui kebiasaan (hexis), dan bukan sekadar pengetahuan atau bakat alami. Kebajikan seperti keadilan, keberanian, pengendalian diri, dan kebijaksanaan tidak tumbuh dalam ruang hampa, melainkan dibentuk oleh lingkungan sosial dan institusi yang mendukung. Oleh karena itu, negara memainkan peran penting dalam menyediakan struktur sosial, hukum, dan pendidikan yang membentuk karakter warganya. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles dengan tegas menyatakan bahwa "tujuan utama dari politik adalah menciptakan warga negara yang bajik"⁽⁴⁾.

Ontologi teleologis Aristoteles berimplikasi bahwa negara bukan sekadar hasil kontrak sosial atau mekanisme administratif, tetapi entitas alamiah (natural entity) yang muncul dari kebutuhan kodrati manusia. Dalam Politics, Aristoteles menjelaskan bahwa negara tumbuh dari keluarga, lalu desa, dan akhirnya mencapai bentuk tertinggi dalam polis, yang memungkinkan manusia tidak hanya hidup (to zen) tetapi juga hidup dengan baik (to eu zen)⁽⁵⁾. Dengan demikian, negara merupakan ekspresi dari aktualisasi potensi manusia sebagai makhluk sosial dan etis.

Penting dicatat bahwa dalam sistem etika-politik Aristoteles, etika mendahului politik secara teoritis, tetapi politik mengatasi etika dalam hal praktikalitas dan efektivitas. Artinya, meskipun etika menentukan tujuan hidup manusia, politiklah yang menyediakan sarana kolektif untuk mencapainya. Negara, sebagai ruang etika publik, harus diarahkan untuk membentuk warga negara yang tidak hanya patuh hukum, tetapi juga memiliki karakter bajik dan berkontribusi aktif dalam kehidupan bersama.

Dengan landasan ontologis dan etis ini, Aristoteles membangun argumennya bahwa negara ideal adalah negara yang terarah pada pembinaan kebajikan warganya. Dalam konteks inilah, filsafat politiknya menjadi sekaligus deskriptif dan normatif: menjelaskan hakikat manusia dan masyarakat, sekaligus menetapkan tujuan etis yang seharusnya dicapai melalui kehidupan bernegara.


Footnotes

1.      Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 9–10.

2.      Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book I, 1253a2–3.

3.      Terence Irwin, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book I, 1098a16–18.

4.      Aristotle, Nicomachean Ethics, 1099b30–32.

5.      Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 28–30.


4.           Negara sebagai Organisasi Etis

Dalam kerangka filsafat politik Aristoteles, negara bukanlah entitas netral yang hanya bertugas mengatur kehidupan publik, melainkan sebuah organisasi etis (ethical community) yang berfungsi untuk membentuk karakter moral warga negaranya. Bagi Aristoteles, negara ideal (polis) adalah puncak dari perkembangan komunitas manusia yang bermula dari keluarga (oikia) dan desa (kome), lalu mencapai bentuk sempurna dalam polis, yaitu komunitas politik yang mampu mewujudkan hidup yang baik dan bermakna bagi seluruh warga⁽¹⁾.

Aristoteles secara eksplisit menegaskan bahwa tujuan negara bukan hanya untuk memungkinkan manusia hidup (to zen), tetapi agar mereka dapat hidup dengan baik (to eu zen)⁽²⁾. Dalam hal ini, polis tidak hanya dipahami sebagai struktur kelembagaan, tetapi sebagai ruang normatif di mana warga negara dilatih untuk menjalani kehidupan bajik. Dengan demikian, keberadaan negara memiliki dimensi moral yang inheren, yakni untuk menciptakan kondisi di mana kebajikan dapat dipelajari, dikembangkan, dan dijalankan dalam kehidupan bersama⁽³⁾.

Negara, menurut Aristoteles, memiliki tanggung jawab utama dalam mengarahkan warga kepada kehidupan etis melalui hukum, pendidikan, dan struktur sosial yang mendukung praktik kebajikan. Ia menulis bahwa hukum yang baik bukan hanya mengatur perilaku lahiriah, tetapi juga membentuk karakter batin manusia. Oleh karena itu, hukum dalam polis harus didasarkan pada prinsip keadilan dan diarahkan pada kebaikan umum, bukan sekadar kepentingan penguasa⁽⁴⁾. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kerangka pemikiran Aristoteles, hukum bersifat pedagogis: ia tidak hanya melarang dan memerintah, tetapi juga mendidik.

Sebagai organisasi etis, negara menurut Aristoteles juga bertanggung jawab dalam membina ethos (kebiasaan moral) melalui pendidikan publik. Pendidikan bukanlah urusan privat semata, melainkan urusan negara, karena hanya dengan pendidikan yang benar warga negara dapat tumbuh menjadi manusia yang bajik dan bertanggung jawab secara politik. Dalam Politics, Aristoteles menyatakan bahwa "adalah tugas negara untuk menjadikan warganya bajik dan mampu menjalankan fungsi sosialnya secara benar"⁽⁵⁾. Ini menegaskan posisi Aristoteles bahwa dimensi moral adalah esensi dari kehidupan politik.

Konsepsi negara sebagai organisasi etis juga memengaruhi pandangannya terhadap struktur kekuasaan. Ia menggolongkan bentuk pemerintahan berdasarkan tujuan etis: jika kekuasaan dijalankan untuk kebaikan bersama, maka itu adalah bentuk pemerintahan yang benar (monarki, aristokrasi, politeia); tetapi jika kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan, maka itu adalah bentuk menyimpang (tirani, oligarki, demokrasi dalam pengertian negatif)⁽⁶⁾. Penilaian ini kembali menekankan bahwa ukuran keberhasilan negara menurut Aristoteles bukan pada stabilitas atau efisiensi semata, melainkan pada sejauh mana negara tersebut membina warganya untuk hidup bajik.

Dengan demikian, polis dalam filsafat Aristoteles bukanlah instrumen kekuasaan teknokratis atau administratif, melainkan arena etis di mana manusia menyempurnakan kodratnya sebagai makhluk sosial dan rasional. Negara ideal adalah yang mendidik warganya untuk menjadi orang bijak, adil, dan mampu menjalankan kehidupan publik dengan integritas moral. Pandangan ini memberikan sumbangan penting bagi filsafat politik etis, terutama dalam perdebatan kontemporer mengenai peran negara dalam membentuk nilai dan karakter masyarakat.


Footnotes

1.      Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book I, 1252a1–30.

2.      Ibid., 1252b27–30.

3.      Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 35–37.

4.      Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 85–87.

5.      Aristotle, Politics, Book VIII, 1337a10–20.

6.      Ibid., Book III, 1279a22–31.


5.           Pendidikan Moral dalam Negara

Dalam pandangan Aristoteles, pendidikan bukan hanya sarana transmisi pengetahuan, tetapi terutama sebagai medium pembentukan karakter dan kebajikan. Ia berpendapat bahwa paideia (pendidikan) adalah unsur esensial dalam menciptakan warga negara yang bajik dan mampu berkontribusi pada kehidupan politik yang adil. Karena kebajikan tidak muncul secara spontan, melainkan melalui pembiasaan (ethos) dan pelatihan (askêsis), maka negara ideal memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang bertujuan moral dan politik⁽¹⁾.

Dalam Politics Buku VIII, Aristoteles menyatakan secara tegas bahwa pendidikan moral adalah urusan negara, bukan semata-mata hak prerogatif keluarga atau individu. Ia menolak pandangan bahwa setiap orang bebas mendidik anak-anaknya sesuai pandangan pribadi karena hal tersebut berpotensi menghasilkan warga yang tidak harmonis dan tidak mampu hidup bersama dalam komunitas politik yang etis. Sebaliknya, negara harus menetapkan kurikulum dan metode pendidikan yang seragam dan diarahkan pada pembentukan kebajikan sebagai dasar partisipasi politik yang sehat⁽²⁾.

Pendidikan menurut Aristoteles harus mencakup tiga aspek utama: pendidikan tubuh (gymnastikê), pendidikan estetika melalui musik dan seni (mousikê), dan yang paling utama, pendidikan moral dan intelektual. Ia menekankan pentingnya menanamkan kebiasaan baik sejak usia dini agar anak tumbuh menjadi manusia yang memiliki disposisi moral yang tepat. Hal ini sejalan dengan gagasannya dalam Nicomachean Ethics bahwa kebajikan etis diperoleh melalui pembiasaan, bukan sekadar pengajaran teoritis⁽³⁾.

Aristoteles juga memandang bahwa bentuk pendidikan harus disesuaikan dengan struktur pemerintahan suatu negara. Dalam negara yang bertujuan pada kebajikan umum, pendidikan akan diarahkan untuk menanamkan nilai-nilai keadilan, keberanian, penguasaan diri, dan kebijaksanaan. Ini berbeda dengan negara yang hanya berorientasi pada kekuasaan atau kekayaan, di mana pendidikan cenderung bersifat teknis dan utilitarian⁽⁴⁾. Oleh karena itu, kualitas pendidikan yang diselenggarakan negara mencerminkan kualitas moral dari negara itu sendiri.

Penting dicatat bahwa Aristoteles tidak memisahkan pendidikan dari hukum. Ia berpendapat bahwa hukum adalah instrumen pendidikan moral kolektif. Hukum yang baik bukan hanya bersifat represif, tetapi juga edukatif, yakni membentuk ethos warga negara melalui norma yang konsisten dengan kebajikan⁽⁵⁾. Maka, negara yang bijaksana adalah negara yang menetapkan undang-undang yang mendorong praktik kebajikan dan menghukum penyimpangan moral bukan semata-mata demi ketertiban, tetapi demi pembentukan karakter masyarakat.

Gagasan Aristoteles tentang pendidikan moral sebagai fungsi negara memberikan kritik tajam terhadap anggapan liberal modern bahwa moralitas adalah urusan pribadi. Sebaliknya, dalam kerangka Aristotelian, negara memiliki legitimasi dan bahkan tanggung jawab etis untuk memastikan bahwa warganya dididik menjadi manusia yang bajik dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosial-politik. Dengan demikian, pendidikan dalam negara tidak hanya mendukung stabilitas politik, tetapi juga menjadi landasan utama bagi terciptanya masyarakat yang adil dan beradab.


Footnotes

1.      Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 84–85.

2.      Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book VIII, 1337a11–30.

3.      Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book II, 1103a15–25.

4.      Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 178–180.

5.      Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 110–112.


6.           Politik dan Etika: Integrasi atau Pemisahan?

Salah satu kontribusi utama Aristoteles dalam filsafat politik adalah penolakannya terhadap dikotomi antara etika dan politik. Berbeda dengan pendekatan modern yang cenderung memisahkan urusan moral dari struktur kekuasaan politik, Aristoteles justru menempatkan politik sebagai kelanjutan langsung dari etika. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, ia menegaskan bahwa politik adalah bentuk tertinggi dari ilmu praktis karena ia berkaitan langsung dengan kebaikan tertinggi manusia dalam konteks komunitas⁽¹⁾. Oleh karena itu, tujuan politik bukan sekadar mempertahankan keteraturan sosial, melainkan mengupayakan kehidupan bajik bagi seluruh warga negara.

Bagi Aristoteles, setiap komunitas politik ideal harus dibangun di atas dasar-dasar etika. Pemerintahan yang sah tidak hanya dilihat dari struktur formal atau legalitasnya, tetapi dari tujuannya yang etis: apakah kekuasaan itu digunakan demi kebaikan bersama atau untuk keuntungan pribadi segelintir orang. Hal ini tampak jelas dalam klasifikasi bentuk pemerintahan yang ia buat dalam Politics, di mana monarki, aristokrasi, dan politeia dianggap baik jika berorientasi pada kebaikan bersama, sementara tirani, oligarki, dan demokrasi (dalam pengertian negatif) dianggap menyimpang karena hanya mengejar kepentingan kelompok atau individu tertentu⁽²⁾.

Integrasi antara politik dan etika juga terlihat dalam pemahaman Aristoteles tentang keadilan (dikaiosynê) sebagai kebajikan politik yang paling fundamental. Dalam Politics dan Ethics, keadilan dijelaskan bukan hanya sebagai pemberian yang setara atau proporsional, tetapi juga sebagai prinsip yang menjaga harmoni dan keseimbangan dalam komunitas. Negara yang adil, dalam pandangan Aristoteles, adalah negara yang mendistribusikan hak dan kewajiban berdasarkan kontribusi dan kapasitas moral warganya⁽³⁾.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa Aristoteles tidak menyamakan politik dengan moralitas individual. Politik adalah ruang etika yang bersifat publik dan kolektif. Kebajikan politik berbeda dari kebajikan privat dalam ruang keluarga atau pertemanan. Politik menghendaki kebajikan yang berkaitan dengan kehidupan bersama, seperti keadilan, keberanian sipil, dan partisipasi aktif. Karena itu, etika dalam politik menurut Aristoteles adalah etika yang terwujud dalam institusi, hukum, dan kebijakan yang mengarahkan masyarakat menuju kebaikan bersama⁽⁴⁾.

Dalam konteks pemikiran modern, pandangan Aristoteles ini mendapat sambutan positif dari sejumlah filsuf yang menolak reduksi politik menjadi sekadar teknik pengelolaan kekuasaan. Alasdair MacIntyre, misalnya, dalam After Virtue, menyatakan bahwa moralitas hanya dapat berkembang dalam kerangka komunitas yang memiliki tujuan bersama, suatu gagasan yang bersumber langsung dari warisan Aristotelian⁽⁵⁾. Demikian pula Martha Nussbaum menekankan pentingnya pendidikan moral dan keadilan distributif sebagai aspek utama dari pembangunan politik yang etis, sejalan dengan semangat pemikiran Aristoteles⁽⁶⁾.

Dengan demikian, jawaban Aristoteles terhadap pertanyaan “Apakah etika dan politik harus dipisahkan?” adalah jelas: tidak. Dalam filsafatnya, politik dan etika merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Etika menyediakan tujuan akhir, sedangkan politik menyediakan sarana kolektif untuk mencapainya. Negara yang baik bukanlah negara yang netral terhadap nilai, melainkan yang secara aktif membentuk kondisi bagi terwujudnya kehidupan yang bajik dan bermartabat.


Footnotes

1.      Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book I, 1094a18–21.

2.      Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book III, 1279a22–1279b10.

3.      Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 98–101.

4.      Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 120–123.

5.      Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 148–149.

6.      Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 23–25.


7.           Relevansi Konsep Aristoteles dalam Konteks Modern

Meskipun hidup pada abad ke-4 SM, pemikiran Aristoteles tentang negara sebagai sarana pembinaan kebajikan tetap memiliki relevansi yang kuat dalam diskursus politik dan etika kontemporer. Di tengah dominasi paradigma liberal modern yang menekankan netralitas nilai dalam negara, Aristoteles menghadirkan alternatif filosofis yang menegaskan pentingnya peran negara dalam membentuk karakter moral warganya. Dalam pandangannya, negara bukan hanya alat administratif untuk menjaga ketertiban, tetapi komunitas moral yang bertugas mengarahkan manusia kepada eudaimonia, yakni kehidupan yang bermakna dan bajik⁽¹⁾.

Dalam konteks modern, tantangan utama yang dihadapi banyak negara adalah krisis moral dan fragmentasi nilai di tengah masyarakat pluralistik. Konsep Aristoteles tentang negara etis menawarkan pendekatan normatif yang dapat menjawab kebutuhan akan fondasi moral dalam kehidupan publik. Misalnya, dalam sistem pendidikan, pandangan Aristoteles menginspirasi pentingnya civic education—pendidikan kewarganegaraan yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan hukum atau politik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, keadilan, dan solidaritas⁽²⁾.

Filsuf kontemporer seperti Alasdair MacIntyre telah menghidupkan kembali etika kebajikan Aristotelian sebagai respons terhadap krisis moral modern. Dalam After Virtue, MacIntyre berpendapat bahwa masyarakat modern telah kehilangan pemahaman bersama tentang tujuan hidup manusia, sehingga perlu dikembalikan kepada kerangka komunitas yang memiliki telos moral yang jelas—sebuah gagasan yang sangat Aristotelian⁽³⁾. Ia menegaskan bahwa kebajikan hanya dapat berkembang dalam konteks institusi sosial yang mendukung praktik etis secara berkelanjutan.

Demikian pula, Martha C. Nussbaum memanfaatkan warisan Aristoteles dalam merumuskan pendekatan capabilities, yang menekankan pentingnya pembangunan manusia sebagai inti dari kebijakan negara. Dalam kerangka ini, negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kondisi struktural yang memungkinkan warga mencapai kehidupan yang bermartabat, bukan sekadar bertahan hidup⁽⁴⁾. Pendekatan ini menjembatani teori Aristoteles dengan tuntutan keadilan sosial dan hak asasi manusia dalam dunia global yang kompleks.

Selain itu, dalam wacana kebijakan publik modern, pemikiran Aristoteles menginspirasi model communitarianism, yang menolak pandangan liberal-individualis yang memisahkan etika dari politik. Tokoh seperti Michael Sandel menyatakan bahwa kebijakan publik harus memperhitungkan nilai-nilai bersama dan identitas moral kolektif masyarakat, sebagaimana diafirmasi dalam model polis Aristoteles⁽⁵⁾. Hal ini menjadi penting dalam pengambilan keputusan politik yang adil, seperti dalam isu distribusi sumber daya, pendidikan karakter, dan penguatan demokrasi deliberatif.

Namun demikian, penerapan konsep Aristoteles dalam konteks modern juga harus mempertimbangkan pluralisme nilai, kebebasan individu, dan sistem negara-bangsa yang jauh lebih kompleks dari polis Yunani kuno. Relevansi Aristoteles tidak terletak pada detail institusionalnya, melainkan pada kerangka moralnya yang menempatkan pembinaan karakter sebagai tujuan hakiki dari kehidupan politik. Negara yang baik bukanlah yang netral terhadap nilai, melainkan yang secara adil dan bijak membentuk kondisi bagi warganya untuk menjadi manusia yang bajik dan bertanggung jawab dalam kehidupan bersama.

Dengan demikian, filsafat politik Aristoteles tetap menawarkan orientasi normatif yang penting bagi pembangunan masyarakat modern: bahwa tujuan politik tertinggi bukanlah efisiensi, kekuasaan, atau kebebasan semata, tetapi kehidupan yang baik bersama-sama—sebuah cita-cita yang tetap relevan dalam membangun peradaban yang bermoral dan berkeadaban.


Footnotes

1.      Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book I, 1252b27–30.

2.      Amy Gutmann, Democratic Education (Princeton: Princeton University Press, 1999), 35–38.

3.      Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 136–139.

4.      Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–29.

5.      Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 150–155.


8.           Kritik dan Batasan Konsep Aristoteles

Meskipun pemikiran politik Aristoteles memberikan kontribusi besar terhadap filsafat moral dan politik, berbagai kritik dan batasan telah diajukan terhadap gagasannya, terutama dalam konteks modern yang menekankan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan individu, dan pluralisme. Sebagian besar kritik ini berangkat dari struktur sosial dan asumsi moral yang melekat dalam konteks polis Yunani kuno, yang berbeda secara radikal dengan bentuk negara modern.

Pertama, salah satu kritik paling mendasar terhadap pemikiran politik Aristoteles adalah eksklusivitas politiknya. Dalam Politics, Aristoteles secara eksplisit mengecualikan perempuan, budak, dan orang asing dari status warga negara penuh, karena menurutnya mereka tidak memiliki kapasitas moral dan rasional yang diperlukan untuk partisipasi dalam kehidupan politik⁽¹⁾. Dengan demikian, konsep polis sebagai komunitas etis tertutup ini hanya berlaku bagi segelintir kelompok elite pria bebas. Pandangan ini jelas problematik dalam konteks demokrasi modern yang menjunjung tinggi inklusivitas dan kesetaraan hak asasi manusia.

Kedua, terdapat tendensi paternalistik dalam peran negara menurut Aristoteles. Karena negara memiliki kewajiban moral untuk membina kebajikan warganya, maka ia juga diberi kewenangan yang besar untuk mengatur pendidikan, kehidupan pribadi, dan bahkan pilihan gaya hidup individu. Model ini dapat berujung pada kontrol sosial yang represif jika diterapkan tanpa memperhatikan kebebasan dan otonomi individu. Kritik ini sering diajukan oleh pemikir liberal seperti Isaiah Berlin, yang menekankan pentingnya negative liberty, yaitu kebebasan dari campur tangan negara dalam urusan privat⁽²⁾.

Ketiga, konsep kebajikan yang dijadikan dasar struktur politik dalam pemikiran Aristoteles dianggap bersifat teleologis dan substantif, sehingga sulit diaplikasikan dalam masyarakat pluralistik modern yang tidak memiliki konsensus nilai yang tunggal. Dalam masyarakat demokratis, nilai-nilai moral sering kali bersifat relatif dan bervariasi antar kelompok. Oleh karena itu, penerapan negara etis yang mendikte satu versi “kehidupan yang baik” berisiko menyingkirkan keberagaman pandangan hidup⁽³⁾.

Keempat, gagasan Aristoteles tentang polis sebagai komunitas yang kecil, homogen, dan berbasis hubungan langsung (face-to-face) tidak mudah diterapkan dalam negara modern yang kompleks dan berskala besar. Negara-bangsa kontemporer mencakup jutaan warga, beragam budaya, serta sistem hukum dan administratif yang tidak memungkinkan praktik etika-politik yang bersifat intim seperti dalam polis Yunani. Dalam hal ini, banyak pemikir modern menyatakan bahwa meskipun ideal Aristoteles menarik secara normatif, namun secara praktis ia sulit diimplementasikan tanpa penyesuaian yang substansial⁽⁴⁾.

Namun demikian, sejumlah filsuf kontemporer tetap melihat nilai dari warisan Aristoteles, bukan dalam struktur institusionalnya, tetapi dalam kerangka normatifnya—yaitu bahwa politik seharusnya memiliki orientasi moral dan pendidikan publik harus mencakup pembentukan karakter. Alasdair MacIntyre, misalnya, menyarankan agar kebajikan Aristotelian dipahami sebagai ideal komunitas lokal yang dapat menginspirasi pembentukan practices dan institutions yang beretika dalam masyarakat modern⁽⁵⁾.

Dengan demikian, meskipun pemikiran Aristoteles menghadirkan berbagai keterbatasan ketika diterapkan secara literal dalam konteks modern, nilai-nilai etis yang mendasari filsafat politiknya tetap relevan sebagai koreksi terhadap tendensi teknokratis dan nihilistik dalam politik kontemporer. Tantangan ke depan adalah bagaimana mewarisi semangat etika-politik Aristoteles tanpa mengulang eksklusivisme dan otoritarianismenya.


Footnotes

1.      Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book I, 1254b16–1255a3.

2.      Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty,” in Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–119.

3.      John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 35–38.

4.      Sheldon S. Wolin, Politics and Vision: Continuity and Innovation in Western Political Thought (Princeton: Princeton University Press, 2004), 82–85.

5.      Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 187–191.


9.           Penutup

Pemikiran Aristoteles tentang negara sebagai sarana pembinaan kebajikan menawarkan sumbangan penting dalam sejarah filsafat politik dan etika. Melalui kerangka teleologis dan etis, Aristoteles menunjukkan bahwa negara bukan sekadar entitas administratif atau instrumen kekuasaan, melainkan komunitas moral yang bertujuan membentuk warga negara menjadi pribadi yang bajik dan rasional. Dalam karyanya Politics, Aristoteles menegaskan bahwa tujuan negara adalah untuk memungkinkan warga hidup baik, bukan sekadar hidup layak, dan bahwa kebajikan merupakan inti dari kehidupan politik yang sejati⁽¹⁾.

Dengan menempatkan etika sebagai landasan politik, Aristoteles menolak dikotomi modern antara nilai-nilai moral dan sistem pemerintahan. Sebaliknya, ia memperlihatkan bahwa kehidupan politik yang adil dan berkelanjutan hanya dapat terwujud jika negara secara aktif memelihara, mengajarkan, dan menanamkan nilai-nilai kebajikan kepada warganya⁽²⁾. Pandangan ini tidak hanya mengikat moralitas individu pada konteks publik, tetapi juga memperkuat gagasan bahwa tanggung jawab negara tidak berhenti pada stabilitas hukum dan keamanan, melainkan mencakup pembentukan karakter masyarakat secara kolektif.

Meskipun demikian, sebagaimana telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, pemikiran Aristoteles tidak luput dari kritik. Ketertutupan polis, eksklusi terhadap kelompok tertentu, dan potensi otoritarianisme dalam intervensi negara atas kehidupan pribadi merupakan kelemahan serius jika diterapkan secara literal dalam konteks negara modern yang pluralistik dan demokratis⁽³⁾. Namun demikian, nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat politik Aristoteles tetap memberikan kerangka etis yang penting bagi pembangunan masyarakat yang adil dan bermoral.

Dalam era modern yang sarat dengan tantangan moral, disorientasi nilai, dan politik yang sering kali tereduksi menjadi alat kekuasaan teknis, warisan Aristoteles memberikan arah normatif yang berharga. Ia mengingatkan bahwa politik tanpa orientasi etis akan kehilangan legitimasi dan maknanya. Oleh karena itu, menghidupkan kembali semangat Aristotelian dalam bentuk yang kontekstual dan inklusif dapat menjadi alternatif penting dalam merumuskan visi negara yang tidak hanya kuat secara struktural, tetapi juga beradab secara moral.

Dengan demikian, artikel ini menyimpulkan bahwa gagasan Aristoteles tentang negara sebagai pembina kebajikan bukanlah sisa dari masa lalu yang usang, melainkan fondasi konseptual yang tetap relevan untuk menimbang ulang arah dan tujuan politik kontemporer. Politik, dalam kerangka ini, tidak boleh dilepaskan dari cita-cita pembentukan manusia bajik. Negara, jika ingin menjadi wadah peradaban, harus kembali memeluk etika sebagai jantung dari eksistensinya.


Footnotes

1.      Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), Book I, 1252b27–30.

2.      Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book X, 1180a30–35.

3.      Sheldon S. Wolin, Politics and Vision: Continuity and Innovation in Western Political Thought (Princeton: Princeton University Press, 2004), 85–86.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett, Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca. 350 BCE)

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 350 BCE)

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University Press.

Gutmann, A. (1999). Democratic education (Rev. ed.). Princeton University Press.

Irwin, T. (1988). Aristotle's first principles. Clarendon Press.

Kraut, R. (2002). Aristotle: Political philosophy. Oxford University Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Miller, F. D., Jr. (1995). Nature, justice, and rights in Aristotle’s politics. Clarendon Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits of justice (2nd ed.). Cambridge University Press.

Wolin, S. S. (2004). Politics and vision: Continuity and innovation in Western political thought (Expanded ed.). Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar