Negara dan Kebajikan
Negara sebagai Sarana Pembinaan Kebajikan
Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
Aristoteles mengenai peran negara sebagai sarana pembinaan kebajikan dalam
kerangka etika-politik klasik. Berangkat dari karya Politics dan Nicomachean
Ethics, Aristoteles memandang negara tidak hanya sebagai alat untuk menjaga
ketertiban sosial, tetapi sebagai komunitas moral yang bertujuan membentuk
warga negara yang bajik dan rasional. Pemikiran ini dibangun di atas fondasi
ontologis yang teleologis dan etis, di mana manusia sebagai zoon politikon
hanya dapat mencapai eudaimonia melalui kehidupan bersama dalam polis.
Negara ideal menurut Aristoteles adalah negara yang menyelenggarakan pendidikan
moral, membentuk karakter warga melalui hukum yang adil, dan mengintegrasikan
etika dalam praktik politik. Artikel ini juga mengkaji relevansi pandangan
Aristoteles dalam konteks modern, serta kritik terhadap eksklusivitas dan
keterbatasan konseptual yang melekat pada model polis kuno. Di tengah
tantangan moral dan disorientasi politik kontemporer, warisan pemikiran
Aristoteles tetap signifikan sebagai orientasi normatif dalam upaya membangun
masyarakat yang adil, beradab, dan bermartabat.
Kata Kunci: Aristoteles, negara etis, kebajikan, eudaimonia,
pendidikan moral, filsafat politik klasik, polis, etika politik.
PEMBAHASAN
Telaah Komprehensif atas Gagasan Aristoteles tentang
Politik sebagai Pembinaan Etika
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah
filsafat politik klasik, Aristoteles menempati posisi istimewa sebagai pemikir
yang menempatkan politik tidak semata-mata dalam kerangka kekuasaan, tetapi
sebagai wahana untuk mencapai kehidupan yang baik (eudaimonia). Gagasannya bahwa
negara (polis)
berfungsi bukan hanya untuk mempertahankan hidup, melainkan untuk mewujudkan
kehidupan yang bajik dan bermakna, menjadikan filsafat politik Aristoteles
memiliki nuansa etis yang kuat dan khas. Sebagaimana ditegaskan dalam Politics,
negara adalah "komunitas yang bertujuan tertinggi", yang
bertugas menciptakan kondisi ideal bagi warga untuk mengaktualisasikan potensi
moral mereka secara maksimal¹.
Aristoteles
berangkat dari premis bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon
politikon), artinya manusia hanya dapat mencapai kesempurnaan
dirinya dalam kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini, negara tidak netral
terhadap moralitas, melainkan menjadi institusi yang aktif membentuk karakter
warga negara. Sebagaimana dalam Nicomachean Ethics, ia menyatakan
bahwa "tujuan akhir politik adalah kebajikan, sebab negara tidak
terbentuk hanya untuk hidup bersama, melainkan untuk hidup dengan baik"².
Dengan demikian, etika dan politik dalam pemikiran Aristoteles tidak dapat
dipisahkan, melainkan saling berkelindan dalam satu sistem pemikiran integral.
Konsep negara
sebagai instrumen pembinaan kebajikan ini menjadi sangat relevan untuk ditelaah
dalam konteks kontemporer, terutama di tengah tantangan modern yang cenderung
memisahkan antara moralitas dan kekuasaan politik. Negara modern sering
dipandang sebagai alat administratif atau kekuasaan teknokratis, sementara
pembinaan karakter diserahkan kepada lembaga-lembaga non-pemerintah atau
institusi agama. Dalam kerangka inilah, penting untuk meninjau kembali
pandangan Aristoteles, bukan sebagai solusi teknis, melainkan sebagai tawaran
konseptual tentang pentingnya fondasi etis dalam kehidupan bernegara.
Tulisan ini akan
menyajikan telaah komprehensif terhadap gagasan Aristoteles tentang negara sebagai
sarana pembinaan etika, dengan menempatkan pemikirannya dalam konteks filsafat
klasik serta mengaitkannya dengan perkembangan pemikiran politik modern.
Harapannya, pembahasan ini tidak hanya menggambarkan keutuhan sistem pemikiran
Aristoteles, tetapi juga menghidupkan kembali diskursus tentang pentingnya
etika dalam ranah politik, khususnya dalam upaya membangun masyarakat yang
adil, beradab, dan bermartabat.
Footnotes
1. Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford:
Clarendon Press, 1885), Book I, 1252a1.
2. Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1999), Book I, 1099b29.
2.
Konteks
Historis dan Biografis Aristoteles
Aristoteles lahir
pada tahun 384 SM di Stagira, sebuah kota kecil di wilayah Makedonia, Yunani
Utara. Ia adalah putra dari Nikomachos, seorang tabib pribadi Raja Amyntas III,
kakek dari Aleksander Agung. Latar belakang ini menempatkan Aristoteles dalam
lingkungan yang kaya akan pengetahuan medis dan ilmiah sejak masa mudanya,
suatu hal yang sangat memengaruhi metode observasional dan empiris dalam
karya-karyanya kemudian⁽¹⁾.
Pada usia tujuh
belas tahun, Aristoteles pergi ke Athena untuk belajar di Akademi Plato,
lembaga filsafat paling berpengaruh pada masanya. Selama hampir dua dekade
(sekitar 367–347 SM), ia mengembangkan pemikirannya dalam lingkungan yang
sangat dipengaruhi oleh filsafat idealisme Platonik. Meski sangat menghormati
gurunya, Aristoteles pada akhirnya mengembangkan pendekatan yang berbeda secara
radikal, khususnya dalam bidang metafisika, etika, dan politik. Ia menolak
pandangan Plato bahwa kebaikan tertinggi hanya dapat ditemukan di dunia ide,
dan menggantikannya dengan fokus pada dunia empiris dan konkret, di mana
kebajikan dapat dibentuk melalui praktik dan kebiasaan dalam kehidupan nyata⁽²⁾.
Setelah wafatnya
Plato, Aristoteles meninggalkan Akademi dan menghabiskan waktu di berbagai kota
sebelum akhirnya dipanggil oleh Raja Philip II dari Makedonia untuk menjadi
guru bagi putranya, Aleksander (yang kemudian dikenal sebagai Aleksander Agung).
Meskipun kedekatannya dengan kekuasaan memberi Aristoteles akses pada realitas
politik praktis, ia tetap berkomitmen pada filsafat sebagai jalan untuk
memahami hakikat kehidupan manusia yang baik dan adil⁽³⁾.
Pada tahun 335 SM,
Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sekolahnya sendiri, yaitu Lyceum,
yang terkenal dengan metode pengajaran peripatetik (berjalan sambil
berdiskusi). Di sinilah ia menulis sebagian besar karya-karya besarnya,
termasuk Politics,
Nicomachean
Ethics, Metaphysics, dan De Anima.
Berbeda dengan Plato yang cenderung berspekulasi mengenai bentuk ideal negara,
Aristoteles justru melakukan studi komparatif terhadap berbagai bentuk
pemerintahan yang ada di dunia Yunani untuk merumuskan prinsip-prinsip politik
yang lebih realistis dan aplikatif⁽⁴⁾.
Konsep negara
sebagai sarana pembinaan kebajikan lahir dari konteks peradaban Yunani kuno
yang sangat menekankan kehidupan publik dan partisipasi warga negara. Dalam polis,
kehidupan sosial dan politik tidak dipisahkan dari kehidupan etis. Warga negara
ideal adalah mereka yang tidak hanya terlibat dalam urusan publik, tetapi juga
menjalani hidup yang berlandaskan kebajikan. Dengan demikian, pengalaman hidup
Aristoteles—baik sebagai intelektual dalam tradisi Platonik maupun sebagai
pengamat praktis kehidupan politik di dunia Helenistik—mewarnai secara kuat
pandangan filosofisnya bahwa negara seharusnya membentuk karakter warga negara,
bukan sekadar menjaga keteraturan hukum⁽⁵⁾.
Footnotes
1. Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 2.
2. Terence Irwin, Aristotle's First Principles (Oxford:
Clarendon Press, 1988), 45–46.
3. W.D. Ross, Aristotle (London: Routledge, 2001), 11–12.
4. Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 23–25.
5. Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in
Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 15–17.
3.
Dasar
Ontologis dan Etis Pemikiran Aristoteles
Pemikiran politik
Aristoteles tidak berdiri sendiri, melainkan berakar kuat pada kerangka
ontologis dan etis yang menyeluruh. Dalam filsafatnya, Aristoteles memandang
realitas sebagai sesuatu yang memiliki tujuan akhir atau telos,
dan bahwa segala sesuatu bergerak menuju pemenuhan potensinya yang paling sempurna.
Pandangan ini dikenal sebagai teori teleologis, yaitu bahwa
hakikat sesuatu ditentukan oleh tujuan akhirnya. Hal ini bukan hanya berlaku
bagi benda-benda alamiah, tetapi juga bagi kehidupan manusia dan institusi
sosial, termasuk negara⁽¹⁾.
Manusia, menurut
Aristoteles, memiliki potensi yang hanya dapat diwujudkan melalui kehidupan
yang bajik. Ia mendefinisikan manusia sebagai zoon politikon—makhluk yang secara
kodrati hidup dalam masyarakat politik—karena hanya dalam konteks kehidupan
bersama itulah manusia dapat mencapai kebaikan tertinggi, yakni eudaimonia
atau kebahagiaan yang sejati⁽²⁾. Namun, eudaimonia dalam konteks
Aristoteles bukanlah sekadar kepuasan emosional atau kenikmatan fisik,
melainkan pencapaian hidup yang sesuai dengan kebajikan rasional (virtue of
reason). Dalam hal ini, kehidupan politik bukan instrumen sekunder, melainkan
medium utama bagi pengaktualan potensi manusia sebagai makhluk rasional dan
moral⁽³⁾.
Kebajikan (aretê)
dalam filsafat etika Aristoteles adalah disposisi karakter yang terbentuk
melalui kebiasaan (hexis), dan bukan sekadar
pengetahuan atau bakat alami. Kebajikan seperti keadilan, keberanian,
pengendalian diri, dan kebijaksanaan tidak tumbuh dalam ruang hampa, melainkan
dibentuk oleh lingkungan sosial dan institusi yang mendukung. Oleh karena itu,
negara memainkan peran penting dalam menyediakan struktur sosial, hukum, dan
pendidikan yang membentuk karakter warganya. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles
dengan tegas menyatakan bahwa "tujuan utama dari politik adalah menciptakan
warga negara yang bajik"⁽⁴⁾.
Ontologi teleologis
Aristoteles berimplikasi bahwa negara bukan sekadar hasil kontrak sosial atau
mekanisme administratif, tetapi entitas alamiah (natural entity) yang muncul dari
kebutuhan kodrati manusia. Dalam Politics, Aristoteles menjelaskan
bahwa negara tumbuh dari keluarga, lalu desa, dan akhirnya mencapai bentuk
tertinggi dalam polis, yang memungkinkan manusia
tidak hanya hidup (to zen) tetapi juga hidup dengan
baik (to eu
zen)⁽⁵⁾. Dengan demikian, negara merupakan ekspresi dari
aktualisasi potensi manusia sebagai makhluk sosial dan etis.
Penting dicatat
bahwa dalam sistem etika-politik Aristoteles, etika mendahului politik secara
teoritis, tetapi politik mengatasi etika dalam hal praktikalitas dan
efektivitas. Artinya, meskipun etika menentukan tujuan hidup manusia,
politiklah yang menyediakan sarana kolektif untuk mencapainya. Negara, sebagai
ruang etika publik, harus diarahkan untuk membentuk warga negara yang tidak
hanya patuh hukum, tetapi juga memiliki karakter bajik dan berkontribusi aktif
dalam kehidupan bersama.
Dengan landasan
ontologis dan etis ini, Aristoteles membangun argumennya bahwa negara ideal
adalah negara yang terarah pada pembinaan kebajikan warganya. Dalam konteks
inilah, filsafat politiknya menjadi sekaligus deskriptif dan normatif:
menjelaskan hakikat manusia dan masyarakat, sekaligus menetapkan tujuan etis
yang seharusnya dicapai melalui kehidupan bernegara.
Footnotes
1. Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 9–10.
2. Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford:
Clarendon Press, 1885), Book I, 1253a2–3.
3. Terence Irwin, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book I, 1098a16–18.
4. Aristotle, Nicomachean Ethics, 1099b30–32.
5. Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in
Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 28–30.
4.
Negara
sebagai Organisasi Etis
Dalam kerangka
filsafat politik Aristoteles, negara bukanlah entitas netral yang hanya
bertugas mengatur kehidupan publik, melainkan sebuah organisasi etis (ethical
community) yang berfungsi untuk membentuk karakter moral warga
negaranya. Bagi Aristoteles, negara ideal (polis) adalah puncak dari
perkembangan komunitas manusia yang bermula dari keluarga (oikia)
dan desa (kome),
lalu mencapai bentuk sempurna dalam polis, yaitu komunitas politik yang
mampu mewujudkan hidup yang baik dan bermakna bagi seluruh warga⁽¹⁾.
Aristoteles secara
eksplisit menegaskan bahwa tujuan negara bukan hanya untuk memungkinkan manusia
hidup (to zen),
tetapi agar mereka dapat hidup dengan baik (to eu zen)⁽²⁾. Dalam hal ini, polis
tidak hanya dipahami sebagai struktur kelembagaan, tetapi sebagai ruang
normatif di mana warga negara dilatih untuk menjalani kehidupan bajik. Dengan
demikian, keberadaan negara memiliki dimensi moral yang inheren, yakni untuk
menciptakan kondisi di mana kebajikan dapat dipelajari, dikembangkan, dan
dijalankan dalam kehidupan bersama⁽³⁾.
Negara, menurut
Aristoteles, memiliki tanggung jawab utama dalam mengarahkan warga kepada
kehidupan etis melalui hukum, pendidikan, dan struktur sosial yang mendukung
praktik kebajikan. Ia menulis bahwa hukum yang baik bukan hanya mengatur
perilaku lahiriah, tetapi juga membentuk karakter batin manusia. Oleh karena
itu, hukum dalam polis harus didasarkan pada prinsip
keadilan dan diarahkan pada kebaikan umum, bukan sekadar kepentingan
penguasa⁽⁴⁾. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kerangka pemikiran Aristoteles,
hukum bersifat pedagogis: ia tidak hanya melarang dan memerintah, tetapi juga
mendidik.
Sebagai organisasi
etis, negara menurut Aristoteles juga bertanggung jawab dalam membina ethos
(kebiasaan moral) melalui pendidikan publik. Pendidikan bukanlah urusan privat
semata, melainkan urusan negara, karena hanya dengan pendidikan yang benar
warga negara dapat tumbuh menjadi manusia yang bajik dan bertanggung jawab
secara politik. Dalam Politics, Aristoteles menyatakan
bahwa "adalah tugas negara untuk menjadikan warganya bajik dan mampu
menjalankan fungsi sosialnya secara benar"⁽⁵⁾. Ini menegaskan posisi
Aristoteles bahwa dimensi moral adalah esensi dari kehidupan politik.
Konsepsi negara
sebagai organisasi etis juga memengaruhi pandangannya terhadap struktur
kekuasaan. Ia menggolongkan bentuk pemerintahan berdasarkan tujuan etis: jika
kekuasaan dijalankan untuk kebaikan bersama, maka itu adalah bentuk
pemerintahan yang benar (monarki, aristokrasi, politeia); tetapi jika kekuasaan
hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan, maka itu adalah bentuk
menyimpang (tirani, oligarki, demokrasi dalam pengertian negatif)⁽⁶⁾. Penilaian
ini kembali menekankan bahwa ukuran keberhasilan negara menurut Aristoteles
bukan pada stabilitas atau efisiensi semata, melainkan pada sejauh mana negara tersebut
membina warganya untuk hidup bajik.
Dengan demikian, polis
dalam filsafat Aristoteles bukanlah instrumen kekuasaan teknokratis atau
administratif, melainkan arena etis di mana manusia menyempurnakan kodratnya
sebagai makhluk sosial dan rasional. Negara ideal adalah yang mendidik warganya
untuk menjadi orang bijak, adil, dan mampu menjalankan kehidupan publik dengan
integritas moral. Pandangan ini memberikan sumbangan penting bagi filsafat
politik etis, terutama dalam perdebatan kontemporer mengenai peran negara dalam
membentuk nilai dan karakter masyarakat.
Footnotes
1. Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford:
Clarendon Press, 1885), Book I, 1252a1–30.
2. Ibid., 1252b27–30.
3. Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in
Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 35–37.
4. Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 85–87.
5. Aristotle, Politics, Book VIII, 1337a10–20.
6. Ibid., Book III, 1279a22–31.
5.
Pendidikan
Moral dalam Negara
Dalam pandangan
Aristoteles, pendidikan bukan hanya sarana transmisi pengetahuan, tetapi
terutama sebagai medium pembentukan karakter dan kebajikan. Ia berpendapat
bahwa paideia
(pendidikan) adalah unsur esensial dalam menciptakan warga negara yang bajik
dan mampu berkontribusi pada kehidupan politik yang adil. Karena kebajikan
tidak muncul secara spontan, melainkan melalui pembiasaan (ethos)
dan pelatihan (askêsis), maka negara ideal
memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang bertujuan
moral dan politik⁽¹⁾.
Dalam Politics
Buku VIII, Aristoteles menyatakan secara tegas bahwa pendidikan moral adalah
urusan negara, bukan semata-mata hak prerogatif keluarga atau individu. Ia
menolak pandangan bahwa setiap orang bebas mendidik anak-anaknya sesuai pandangan
pribadi karena hal tersebut berpotensi menghasilkan warga yang tidak harmonis
dan tidak mampu hidup bersama dalam komunitas politik yang etis. Sebaliknya,
negara harus menetapkan kurikulum dan metode pendidikan yang seragam dan
diarahkan pada pembentukan kebajikan sebagai dasar partisipasi politik yang
sehat⁽²⁾.
Pendidikan menurut
Aristoteles harus mencakup tiga aspek utama: pendidikan tubuh (gymnastikê),
pendidikan estetika melalui musik dan seni (mousikê), dan yang paling utama,
pendidikan moral dan intelektual. Ia menekankan pentingnya menanamkan kebiasaan
baik sejak usia dini agar anak tumbuh menjadi manusia yang memiliki disposisi
moral yang tepat. Hal ini sejalan dengan gagasannya dalam Nicomachean
Ethics bahwa kebajikan etis diperoleh melalui pembiasaan, bukan
sekadar pengajaran teoritis⁽³⁾.
Aristoteles juga
memandang bahwa bentuk pendidikan harus disesuaikan dengan struktur
pemerintahan suatu negara. Dalam negara yang bertujuan pada kebajikan umum,
pendidikan akan diarahkan untuk menanamkan nilai-nilai keadilan, keberanian,
penguasaan diri, dan kebijaksanaan. Ini berbeda dengan negara yang hanya
berorientasi pada kekuasaan atau kekayaan, di mana pendidikan cenderung
bersifat teknis dan utilitarian⁽⁴⁾. Oleh karena itu, kualitas pendidikan yang diselenggarakan
negara mencerminkan kualitas moral dari negara itu sendiri.
Penting dicatat
bahwa Aristoteles tidak memisahkan pendidikan dari hukum. Ia berpendapat bahwa
hukum adalah instrumen pendidikan moral kolektif. Hukum yang baik bukan hanya
bersifat represif, tetapi juga edukatif, yakni membentuk ethos
warga negara melalui norma yang konsisten dengan kebajikan⁽⁵⁾. Maka, negara
yang bijaksana adalah negara yang menetapkan undang-undang yang mendorong
praktik kebajikan dan menghukum penyimpangan moral bukan semata-mata demi
ketertiban, tetapi demi pembentukan karakter masyarakat.
Gagasan Aristoteles
tentang pendidikan moral sebagai fungsi negara memberikan kritik tajam terhadap
anggapan liberal modern bahwa moralitas adalah urusan pribadi. Sebaliknya, dalam
kerangka Aristotelian, negara memiliki legitimasi dan bahkan tanggung jawab
etis untuk memastikan bahwa warganya dididik menjadi manusia yang bajik dan
bertanggung jawab dalam kehidupan sosial-politik. Dengan demikian, pendidikan
dalam negara tidak hanya mendukung stabilitas politik, tetapi juga menjadi
landasan utama bagi terciptanya masyarakat yang adil dan beradab.
Footnotes
1. Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 84–85.
2. Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford:
Clarendon Press, 1885), Book VIII, 1337a11–30.
3. Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book II, 1103a15–25.
4. Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in
Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 178–180.
5. Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 110–112.
6.
Politik
dan Etika: Integrasi atau Pemisahan?
Salah satu
kontribusi utama Aristoteles dalam filsafat politik adalah penolakannya
terhadap dikotomi antara etika dan politik. Berbeda dengan pendekatan modern
yang cenderung memisahkan urusan moral dari struktur kekuasaan politik,
Aristoteles justru menempatkan politik sebagai kelanjutan langsung dari etika.
Dalam karyanya Nicomachean Ethics, ia menegaskan
bahwa politik adalah bentuk tertinggi dari ilmu praktis karena ia berkaitan
langsung dengan kebaikan tertinggi manusia dalam konteks komunitas⁽¹⁾. Oleh
karena itu, tujuan politik bukan sekadar mempertahankan keteraturan sosial,
melainkan mengupayakan kehidupan bajik bagi seluruh warga negara.
Bagi Aristoteles,
setiap komunitas politik ideal harus dibangun di atas dasar-dasar etika.
Pemerintahan yang sah tidak hanya dilihat dari struktur formal atau
legalitasnya, tetapi dari tujuannya yang etis: apakah kekuasaan itu digunakan
demi kebaikan bersama atau untuk keuntungan pribadi segelintir orang. Hal ini
tampak jelas dalam klasifikasi bentuk pemerintahan yang ia buat dalam Politics,
di mana monarki, aristokrasi, dan politeia dianggap baik jika
berorientasi pada kebaikan bersama, sementara tirani, oligarki, dan demokrasi
(dalam pengertian negatif) dianggap menyimpang karena hanya mengejar kepentingan
kelompok atau individu tertentu⁽²⁾.
Integrasi antara
politik dan etika juga terlihat dalam pemahaman Aristoteles tentang keadilan (dikaiosynê)
sebagai kebajikan politik yang paling fundamental. Dalam Politics
dan Ethics,
keadilan dijelaskan bukan hanya sebagai pemberian yang setara atau
proporsional, tetapi juga sebagai prinsip yang menjaga harmoni dan keseimbangan
dalam komunitas. Negara yang adil, dalam pandangan Aristoteles, adalah negara
yang mendistribusikan hak dan kewajiban berdasarkan kontribusi dan kapasitas
moral warganya⁽³⁾.
Namun demikian,
penting untuk dicatat bahwa Aristoteles tidak menyamakan politik dengan
moralitas individual. Politik adalah ruang etika yang bersifat publik dan
kolektif. Kebajikan politik berbeda dari kebajikan privat dalam ruang keluarga
atau pertemanan. Politik menghendaki kebajikan yang berkaitan dengan kehidupan
bersama, seperti keadilan, keberanian sipil, dan partisipasi aktif. Karena itu,
etika dalam politik menurut Aristoteles adalah etika yang terwujud dalam
institusi, hukum, dan kebijakan yang mengarahkan masyarakat menuju kebaikan
bersama⁽⁴⁾.
Dalam konteks
pemikiran modern, pandangan Aristoteles ini mendapat sambutan positif dari
sejumlah filsuf yang menolak reduksi politik menjadi sekadar teknik pengelolaan
kekuasaan. Alasdair MacIntyre, misalnya, dalam After Virtue, menyatakan bahwa
moralitas hanya dapat berkembang dalam kerangka komunitas yang memiliki tujuan
bersama, suatu gagasan yang bersumber langsung dari warisan Aristotelian⁽⁵⁾.
Demikian pula Martha Nussbaum menekankan pentingnya pendidikan moral dan
keadilan distributif sebagai aspek utama dari pembangunan politik yang etis,
sejalan dengan semangat pemikiran Aristoteles⁽⁶⁾.
Dengan demikian,
jawaban Aristoteles terhadap pertanyaan “Apakah etika dan politik harus
dipisahkan?” adalah jelas: tidak. Dalam filsafatnya, politik dan etika
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Etika menyediakan tujuan akhir,
sedangkan politik menyediakan sarana kolektif untuk mencapainya. Negara yang
baik bukanlah negara yang netral terhadap nilai, melainkan yang secara aktif
membentuk kondisi bagi terwujudnya kehidupan yang bajik dan bermartabat.
Footnotes
1. Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book I, 1094a18–21.
2. Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford:
Clarendon Press, 1885), Book III, 1279a22–1279b10.
3. Fred D. Miller, Jr., Nature, Justice, and Rights in
Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 98–101.
4. Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 120–123.
5. Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 148–149.
6. Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human
Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
23–25.
7.
Relevansi
Konsep Aristoteles dalam Konteks Modern
Meskipun hidup pada
abad ke-4 SM, pemikiran Aristoteles tentang negara sebagai sarana pembinaan
kebajikan tetap memiliki relevansi yang kuat dalam diskursus politik dan etika
kontemporer. Di tengah dominasi paradigma liberal modern yang menekankan
netralitas nilai dalam negara, Aristoteles menghadirkan alternatif filosofis
yang menegaskan pentingnya peran negara dalam membentuk karakter moral warganya.
Dalam pandangannya, negara bukan hanya alat administratif untuk menjaga
ketertiban, tetapi komunitas moral yang bertugas mengarahkan manusia kepada eudaimonia,
yakni kehidupan yang bermakna dan bajik⁽¹⁾.
Dalam konteks
modern, tantangan utama yang dihadapi banyak negara adalah krisis moral dan
fragmentasi nilai di tengah masyarakat pluralistik. Konsep Aristoteles tentang
negara etis menawarkan pendekatan normatif yang dapat menjawab kebutuhan akan
fondasi moral dalam kehidupan publik. Misalnya, dalam sistem pendidikan,
pandangan Aristoteles menginspirasi pentingnya civic education—pendidikan
kewarganegaraan yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan hukum atau politik,
tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, keadilan, dan
solidaritas⁽²⁾.
Filsuf kontemporer
seperti Alasdair MacIntyre telah menghidupkan kembali etika kebajikan
Aristotelian sebagai respons terhadap krisis moral modern. Dalam After
Virtue, MacIntyre berpendapat bahwa masyarakat modern telah
kehilangan pemahaman bersama tentang tujuan hidup manusia, sehingga perlu
dikembalikan kepada kerangka komunitas yang memiliki telos
moral yang jelas—sebuah gagasan yang sangat Aristotelian⁽³⁾. Ia menegaskan
bahwa kebajikan hanya dapat berkembang dalam konteks institusi sosial yang mendukung
praktik etis secara berkelanjutan.
Demikian pula,
Martha C. Nussbaum memanfaatkan warisan Aristoteles dalam merumuskan pendekatan
capabilities,
yang menekankan pentingnya pembangunan manusia sebagai inti dari kebijakan
negara. Dalam kerangka ini, negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan
kondisi struktural yang memungkinkan warga mencapai kehidupan yang bermartabat,
bukan sekadar bertahan hidup⁽⁴⁾. Pendekatan ini menjembatani teori Aristoteles
dengan tuntutan keadilan sosial dan hak asasi manusia dalam dunia global yang
kompleks.
Selain itu, dalam
wacana kebijakan publik modern, pemikiran Aristoteles menginspirasi model communitarianism,
yang menolak pandangan liberal-individualis yang memisahkan etika dari politik.
Tokoh seperti Michael Sandel menyatakan bahwa kebijakan publik harus
memperhitungkan nilai-nilai bersama dan identitas moral kolektif masyarakat,
sebagaimana diafirmasi dalam model polis Aristoteles⁽⁵⁾. Hal ini menjadi
penting dalam pengambilan keputusan politik yang adil, seperti dalam isu
distribusi sumber daya, pendidikan karakter, dan penguatan demokrasi
deliberatif.
Namun demikian,
penerapan konsep Aristoteles dalam konteks modern juga harus mempertimbangkan
pluralisme nilai, kebebasan individu, dan sistem negara-bangsa yang jauh lebih
kompleks dari polis Yunani kuno. Relevansi
Aristoteles tidak terletak pada detail institusionalnya, melainkan pada
kerangka moralnya yang menempatkan pembinaan karakter sebagai tujuan hakiki
dari kehidupan politik. Negara yang baik bukanlah yang netral terhadap nilai,
melainkan yang secara adil dan bijak membentuk kondisi bagi warganya untuk
menjadi manusia yang bajik dan bertanggung jawab dalam kehidupan bersama.
Dengan demikian,
filsafat politik Aristoteles tetap menawarkan orientasi normatif yang penting
bagi pembangunan masyarakat modern: bahwa tujuan politik tertinggi bukanlah
efisiensi, kekuasaan, atau kebebasan semata, tetapi kehidupan yang baik bersama-sama—sebuah
cita-cita yang tetap relevan dalam membangun peradaban yang bermoral dan
berkeadaban.
Footnotes
1. Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford:
Clarendon Press, 1885), Book I, 1252b27–30.
2. Amy Gutmann, Democratic Education (Princeton: Princeton
University Press, 1999), 35–38.
3. Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 136–139.
4. Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human
Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
25–29.
5. Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 150–155.
8.
Kritik
dan Batasan Konsep Aristoteles
Meskipun pemikiran
politik Aristoteles memberikan kontribusi besar terhadap filsafat moral dan
politik, berbagai kritik dan batasan telah diajukan terhadap gagasannya,
terutama dalam konteks modern yang menekankan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan
individu, dan pluralisme. Sebagian besar kritik ini berangkat dari struktur
sosial dan asumsi moral yang melekat dalam konteks polis Yunani kuno, yang berbeda
secara radikal dengan bentuk negara modern.
Pertama, salah satu
kritik paling mendasar terhadap pemikiran politik Aristoteles adalah eksklusivitas
politiknya. Dalam Politics, Aristoteles secara
eksplisit mengecualikan perempuan, budak, dan orang asing dari status warga negara
penuh, karena menurutnya mereka tidak memiliki kapasitas moral dan rasional
yang diperlukan untuk partisipasi dalam kehidupan politik⁽¹⁾. Dengan demikian,
konsep polis
sebagai komunitas etis tertutup ini hanya berlaku bagi segelintir kelompok
elite pria bebas. Pandangan ini jelas problematik dalam konteks demokrasi
modern yang menjunjung tinggi inklusivitas dan kesetaraan hak asasi manusia.
Kedua, terdapat tendensi
paternalistik dalam peran negara menurut Aristoteles. Karena
negara memiliki kewajiban moral untuk membina kebajikan warganya, maka ia juga
diberi kewenangan yang besar untuk mengatur pendidikan, kehidupan pribadi, dan
bahkan pilihan gaya hidup individu. Model ini dapat berujung pada kontrol sosial
yang represif jika diterapkan tanpa memperhatikan kebebasan dan otonomi
individu. Kritik ini sering diajukan oleh pemikir liberal seperti Isaiah
Berlin, yang menekankan pentingnya negative liberty, yaitu kebebasan
dari campur tangan negara dalam urusan privat⁽²⁾.
Ketiga, konsep kebajikan
yang dijadikan dasar struktur politik dalam pemikiran Aristoteles dianggap
bersifat teleologis dan substantif,
sehingga sulit diaplikasikan dalam masyarakat pluralistik modern yang tidak
memiliki konsensus nilai yang tunggal. Dalam masyarakat demokratis, nilai-nilai
moral sering kali bersifat relatif dan bervariasi antar kelompok. Oleh karena
itu, penerapan negara etis yang mendikte satu versi “kehidupan yang baik”
berisiko menyingkirkan keberagaman pandangan hidup⁽³⁾.
Keempat, gagasan
Aristoteles tentang polis sebagai komunitas yang kecil,
homogen, dan berbasis hubungan langsung (face-to-face) tidak mudah diterapkan
dalam negara
modern yang kompleks dan berskala besar. Negara-bangsa
kontemporer mencakup jutaan warga, beragam budaya, serta sistem hukum dan
administratif yang tidak memungkinkan praktik etika-politik yang bersifat intim
seperti dalam polis Yunani. Dalam hal ini, banyak
pemikir modern menyatakan bahwa meskipun ideal Aristoteles menarik secara
normatif, namun secara praktis ia sulit diimplementasikan tanpa penyesuaian
yang substansial⁽⁴⁾.
Namun demikian,
sejumlah filsuf kontemporer tetap melihat nilai dari warisan Aristoteles, bukan
dalam struktur institusionalnya, tetapi dalam kerangka normatifnya—yaitu
bahwa politik seharusnya memiliki orientasi moral dan pendidikan publik harus
mencakup pembentukan karakter. Alasdair MacIntyre, misalnya, menyarankan agar
kebajikan Aristotelian dipahami sebagai ideal komunitas lokal yang dapat
menginspirasi pembentukan practices dan institutions
yang beretika dalam masyarakat modern⁽⁵⁾.
Dengan demikian,
meskipun pemikiran Aristoteles menghadirkan berbagai keterbatasan ketika
diterapkan secara literal dalam konteks modern, nilai-nilai etis yang mendasari
filsafat politiknya tetap relevan sebagai koreksi terhadap tendensi teknokratis
dan nihilistik dalam politik kontemporer. Tantangan ke depan adalah bagaimana
mewarisi semangat etika-politik Aristoteles tanpa mengulang eksklusivisme dan
otoritarianismenya.
Footnotes
1. Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford:
Clarendon Press, 1885), Book I, 1254b16–1255a3.
2. Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty,” in Four Essays on
Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–119.
3. John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 35–38.
4. Sheldon S. Wolin, Politics and Vision: Continuity and
Innovation in Western Political Thought (Princeton: Princeton University
Press, 2004), 82–85.
5. Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 187–191.
9.
Penutup
Pemikiran
Aristoteles tentang negara sebagai sarana pembinaan kebajikan menawarkan
sumbangan penting dalam sejarah filsafat politik dan etika. Melalui kerangka
teleologis dan etis, Aristoteles menunjukkan bahwa negara bukan sekadar entitas
administratif atau instrumen kekuasaan, melainkan komunitas moral yang
bertujuan membentuk warga negara menjadi pribadi yang bajik dan rasional. Dalam
karyanya Politics,
Aristoteles menegaskan bahwa tujuan negara adalah untuk memungkinkan warga
hidup baik,
bukan sekadar hidup layak, dan bahwa kebajikan
merupakan inti dari kehidupan politik yang sejati⁽¹⁾.
Dengan menempatkan
etika sebagai landasan politik, Aristoteles menolak dikotomi modern antara
nilai-nilai moral dan sistem pemerintahan. Sebaliknya, ia memperlihatkan bahwa
kehidupan politik yang adil dan berkelanjutan hanya dapat terwujud jika negara
secara aktif memelihara, mengajarkan, dan menanamkan nilai-nilai kebajikan
kepada warganya⁽²⁾. Pandangan ini tidak hanya mengikat moralitas individu pada
konteks publik, tetapi juga memperkuat gagasan bahwa tanggung jawab negara
tidak berhenti pada stabilitas hukum dan keamanan, melainkan mencakup
pembentukan karakter masyarakat secara kolektif.
Meskipun demikian,
sebagaimana telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, pemikiran Aristoteles
tidak luput dari kritik. Ketertutupan polis, eksklusi terhadap kelompok
tertentu, dan potensi otoritarianisme dalam intervensi negara atas kehidupan
pribadi merupakan kelemahan serius jika diterapkan secara literal dalam konteks
negara modern yang pluralistik dan demokratis⁽³⁾. Namun demikian, nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam filsafat politik Aristoteles tetap memberikan
kerangka etis yang penting bagi pembangunan masyarakat yang adil dan bermoral.
Dalam era modern
yang sarat dengan tantangan moral, disorientasi nilai, dan politik yang sering
kali tereduksi menjadi alat kekuasaan teknis, warisan Aristoteles memberikan
arah normatif yang berharga. Ia mengingatkan bahwa politik tanpa orientasi etis
akan kehilangan legitimasi dan maknanya. Oleh karena itu, menghidupkan kembali
semangat Aristotelian dalam bentuk yang kontekstual dan inklusif dapat menjadi
alternatif penting dalam merumuskan visi negara yang tidak hanya kuat secara
struktural, tetapi juga beradab secara moral.
Dengan demikian,
artikel ini menyimpulkan bahwa gagasan Aristoteles tentang negara sebagai
pembina kebajikan bukanlah sisa dari masa lalu yang usang, melainkan fondasi
konseptual yang tetap relevan untuk menimbang ulang arah dan tujuan politik
kontemporer. Politik, dalam kerangka ini, tidak boleh dilepaskan dari cita-cita
pembentukan manusia bajik. Negara, jika ingin menjadi wadah peradaban, harus
kembali memeluk etika sebagai jantung dari eksistensinya.
Footnotes
1. Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford:
Clarendon Press, 1885), Book I, 1252b27–30.
2. Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book X, 1180a30–35.
3. Sheldon S. Wolin, Politics and Vision: Continuity and
Innovation in Western Political Thought (Princeton: Princeton University
Press, 2004), 85–86.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett,
Trans.). Oxford University Press. (Original work published ca. 350 BCE)
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 350
BCE)
Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction.
Oxford University Press.
Berlin, I. (1969). Four essays on liberty.
Oxford University Press.
Gutmann, A. (1999). Democratic education
(Rev. ed.). Princeton University Press.
Irwin, T. (1988). Aristotle's first principles.
Clarendon Press.
Kraut, R. (2002). Aristotle: Political
philosophy. Oxford University Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Miller, F. D., Jr. (1995). Nature, justice, and
rights in Aristotle’s politics. Clarendon Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Rawls, J. (1993). Political liberalism.
Columbia University Press.
Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits
of justice (2nd ed.). Cambridge University Press.
Wolin, S. S. (2004). Politics and vision:
Continuity and innovation in Western political thought (Expanded ed.).
Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar