Eudaimonia
Konsep Kebahagiaan Sejati dalam Filsafat Yunani Kuno
Abstrak
Eudaimonia adalah konsep
kebahagiaan sejati dalam filsafat Yunani Kuno yang melampaui sekadar perasaan
senang atau kenikmatan sementara. Istilah ini berasal dari kata Yunani "eu"
(baik) dan "daimon" (roh atau jiwa), yang secara harfiah
berarti "keadaan memiliki roh yang baik" atau "kesejahteraan
yang utuh".
Para filsuf seperti Socrates,
Plato, dan terutama Aristoteles, menekankan bahwa eudaimonia dicapai melalui
kehidupan yang dijalani sesuai dengan keutamaan (arete) dan rasionalitas
manusia. Aristoteles, dalam karyanya "Nicomachean Ethics",
mendefinisikan eudaimonia sebagai tujuan akhir (telos) yang ingin dicapai oleh
setiap individu, yang bukan hanya soal kenikmatan fisik, melainkan aktivitas
jiwa yang selaras dengan keutamaan.
Dalam perkembangan modern,
konsep eudaimonia tetap relevan, terutama dalam psikologi positif yang
menekankan aktualisasi potensi individu sebagai jalan menuju kesejahteraan yang
utuh. Berbeda dengan pandangan kebahagiaan yang berfokus pada kepuasan material
dan emosional, eudaimonia menawarkan perspektif holistik yang mencakup aspek
moral, intelektual, dan spiritual manusia.
Kata Kunci: Eudaimonia, Kebahagiaan Sejati, Filsafat Yunani, Aristoteles, Keutamaan
(Arete), Etika Nicomachean, Aktualisasi Diri, Psikologi Positif, Kesejahteraan Holistik,
Rasionalitas Manusia.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif tentang Konsep Eudaimonia
1.
Pendahuluan
Konsep kebahagiaan telah menjadi perhatian utama
pemikiran manusia sepanjang sejarah. Berbagai filsuf, ilmuwan, dan pemuka agama
telah berusaha mendefinisikan dan memahami kebahagiaan sebagai salah satu
tujuan tertinggi kehidupan manusia. Salah satu konsep kebahagiaan yang paling
mendalam dan signifikan berasal dari tradisi filsafat Yunani Kuno, yakni Eudaimonia.
Istilah ini tidak sekadar merujuk pada kebahagiaan dalam pengertian emosional,
tetapi lebih kepada keadaan kehidupan yang baik dan bermakna, di mana seseorang
hidup sesuai dengan keutamaan (virtue) dan mencapai aktualisasi diri
yang sempurna.
Secara linguistik, kata Eudaimonia berasal
dari bahasa Yunani kuno, yakni eu yang berarti "baik"
atau "sejahtera" dan daimon yang merujuk pada "roh"
atau "jiwa" seseorang. Dalam pengertian luas, Eudaimonia
sering diterjemahkan sebagai "kebahagiaan sejati" atau "kesejahteraan
yang utuh".¹ Konsep ini pertama kali diperkenalkan dan diperdebatkan
oleh para filsuf Yunani, seperti Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles
dalam karyanya Nicomachean Ethics.² Bagi mereka, kebahagiaan bukanlah
sesuatu yang bersifat sementara atau sekadar perasaan subjektif, melainkan kondisi
kehidupan yang selaras dengan arete (keutamaan moral dan intelektual)
serta rasionalitas manusia.³
Dalam konteks filsafat
Aristoteles, Eudaimonia didefinisikan sebagai tujuan akhir (telos)
yang ingin dicapai oleh setiap individu.⁴ Kebahagiaan, menurut Aristoteles,
bukan hanya soal kenikmatan fisik seperti yang diajarkan oleh kaum Hedonis,
melainkan aktivitas jiwa yang selaras dengan keutamaan. Aristoteles
menekankan bahwa kebahagiaan tidak dapat dicapai secara instan; ia membutuhkan
proses panjang berupa pembiasaan perilaku yang baik dan pengembangan keutamaan
moral.⁵
Seiring perkembangan zaman, pemikiran tentang
Eudaimonia tetap relevan untuk memahami kebahagiaan dalam kehidupan
kontemporer. Berbeda dengan konsep kebahagiaan modern yang sering berfokus pada
kepuasan material dan emosional, Eudaimonia menawarkan sebuah perspektif
holistik tentang kebahagiaan yang mencakup aspek moral, intelektual, dan
spiritual manusia. Bahkan, dalam psikologi positif modern, ide ini kembali
dihidupkan oleh tokoh seperti Martin Seligman, yang menggagas konsep
"well-being" melalui aktualisasi potensi individu.⁶
Artikel ini akan membahas konsep Eudaimonia secara
mendalam, dimulai dari asal-usulnya dalam pemikiran Yunani Kuno hingga
aplikasinya dalam kehidupan modern. Dengan merujuk pada pemikiran
Aristoteles dan filsuf
Stoik, artikel ini juga akan memperbandingkan Eudaimonia dengan konsep
kebahagiaan lainnya serta menggali relevansinya bagi individu dan masyarakat
saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Julia Annas, The Morality of Happiness
(Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 45.
[2]
Aristoteles, Nicomachean Ethics,
diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1999), hlm. 109.
[3]
John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of
Life in Ancient Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2012),
hlm. 82.
[4]
C. D. C. Reeve, Action, Contemplation, and
Happiness: An Essay on Aristotle (Cambridge: Harvard University Press,
2012), hlm. 56.
[5]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 23.
[6]
Martin Seligman, Flourish: A Visionary New
Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011),
hlm. 12.
2.
Asal-Usul
Konsep Eudaimonia
2.1. Pengertian Linguistik
Istilah Eudaimonia
berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu eu (εὖ) yang berarti “baik” atau “sejahtera,” dan daimon (δαίμων) yang merujuk pada “roh” atau “jiwa.” Secara etimologis, Eudaimonia dapat diartikan sebagai “keadaan
memiliki roh yang baik” atau “kesejahteraan yang utuh.”¹ Konsep daimon
dalam pemikiran Yunani kuno memiliki makna yang kompleks, seringkali dikaitkan
dengan kekuatan ilahi atau roh penjaga yang membimbing kehidupan manusia.² Dalam konteks ini, Eudaimonia
mengimplikasikan keadaan di mana seseorang hidup sesuai dengan bimbingan yang
selaras dengan kebaikan universal.
Kata Eudaimonia
pertama kali muncul dalam teks-teks kuno dan digunakan oleh para filsuf untuk
menggambarkan kondisi hidup yang ideal. Berbeda dengan kebahagiaan yang
bersifat subjektif dan sementara, Eudaimonia menggambarkan kebahagiaan
objektif yang dicapai melalui kehidupan yang selaras dengan
keutamaan moral dan akal budi.³ Dalam hal ini, kebahagiaan tidak hanya berarti
kesenangan fisik atau emosional, melainkan realisasi penuh potensi diri seseorang
sebagai manusia.
2.2.
Perkembangan Awal dalam Filsafat Yunani
Konsep Eudaimonia
berkembang seiring munculnya pemikiran etis dalam filsafat Yunani Kuno.
Socrates, Plato, dan Aristoteles memainkan peran penting dalam membentuk
pemahaman mendalam tentang kebahagiaan dan tujuan hidup manusia.⁴
·
Socrates
(470–399 SM), sebagai salah satu pionir dalam pemikiran etis, menekankan bahwa
kebahagiaan sejati (Eudaimonia) hanya dapat
dicapai melalui kebajikan (arete) dan kehidupan yang
diperiksa (the examined life).⁵ Menurut
Socrates, kebahagiaan tidak bergantung pada kekayaan atau kesenangan material,
melainkan pada pemahaman diri dan pengembangan karakter moral yang baik.
·
Plato
(427–347 SM), murid Socrates, memperluas gagasan ini dalam karyanya seperti The
Republic. Plato menekankan bahwa Eudaimonia
adalah keadaan ketika jiwa manusia mencapai harmoni antara tiga bagiannya:
rasional (logistikon), emosional (thymoeides),
dan keinginan (epithymetikon).⁶ Menurutnya,
kebahagiaan dapat diraih jika akal (rasionalitas) memimpin jiwa dan mengatur
emosi serta keinginan sehingga tercipta harmoni internal.⁷
·
Aristoteles
(384–322 SM), murid Plato, mengembangkan gagasan Eudaimonia
secara sistematis dalam Nicomachean Ethics.
Aristoteles menyatakan bahwa Eudaimonia adalah tujuan
akhir (telos) dari kehidupan manusia, yang dicapai melalui aktivitas
rasional sesuai dengan keutamaan moral dan
intelektual.⁸ Berbeda dengan Plato yang menekankan harmoni
jiwa, Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui
tindakan nyata yang selaras dengan keutamaan.⁹
2.3.
Signifikansi Konsep Eudaimonia dalam Pemikiran
Etis
Konsep Eudaimonia
menjadi landasan penting dalam etika Yunani Kuno karena menawarkan perspektif
holistik tentang kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari kehidupan manusia. Filsuf-filsuf
Yunani berpendapat bahwa manusia sebagai makhluk rasional memiliki kewajiban
untuk mengaktualisasikan
potensinya melalui tindakan-tindakan yang bermoral dan
rasional.⁹ Dalam hal ini, kebahagiaan tidak dilihat sebagai hasil dari
pemenuhan hasrat atau keinginan instan, melainkan sebagai hasil dari kehidupan
yang baik dan bermakna.
Pandangan ini
berlawanan dengan pandangan Hedonisme, yang menekankan
bahwa kebahagiaan bersumber dari kesenangan inderawi. Dalam pemikiran
Aristoteles, kebahagiaan lebih kompleks dan melibatkan keseimbangan antara
kehidupan praktis (praktike) dan kontemplatif (theoria).¹⁰
Dengan demikian, konsep Eudaimonia memberikan kerangka etis
yang mendalam untuk memahami kebahagiaan sebagai pencapaian kualitas hidup
tertinggi.
Catatan Kaki
[1]
Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford:
Oxford University Press, 1993), hlm. 45.
[2]
John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient
Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2012), hlm. 28.
[3]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 122.
[4]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford
University Press, 1989), hlm. 72.
[5]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher
(Cambridge: Cambridge University Press, 1991), hlm. 200.
[6]
Plato, The Republic, diterjemahkan oleh
Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), hlm. 130–135.
[7]
Ibid., hlm. 142.
[8]
Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan
oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 109.
[9]
C. D. C. Reeve, Action, Contemplation, and Happiness: An Essay
on Aristotle (Cambridge: Harvard University Press, 2012), hlm. 56.
[10]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), hlm. 23.
3.
Pemikiran
Aristoteles tentang Eudaimonia
3.1.
Definisi Menurut Aristoteles
Dalam karyanya Nicomachean
Ethics, Aristoteles mendefinisikan Eudaimonia sebagai tujuan akhir
(telos)
dari kehidupan manusia. Menurut Aristoteles, setiap tindakan manusia memiliki
tujuan tertentu, namun di antara berbagai tujuan tersebut, terdapat satu tujuan
tertinggi yang menjadi akhir dari segala upaya manusia, yakni kebahagiaan
sejati atau Eudaimonia.¹ Kebahagiaan dalam
konteks ini tidak hanya sekadar perasaan senang atau puas, melainkan keadaan ketika
seseorang mengaktualisasikan potensi terbaiknya sesuai
dengan keutamaan (virtue) dan rasionalitas.²
Aristoteles
menegaskan bahwa Eudaimonia bukanlah hadiah atau
keberuntungan, melainkan sesuatu yang dicapai melalui aktivitas
yang bermakna dan berlandaskan keutamaan.³ Dengan
demikian, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan aktif dan
merupakan hasil dari usaha sadar manusia untuk hidup sesuai dengan keutamaan.
3.2.
Hubungan dengan Arete (Keutamaan)
Bagi Aristoteles,
keutamaan (arete)
memegang peran kunci dalam pencapaian Eudaimonia. Keutamaan ini dibagi
menjadi dua jenis utama:
1)
Keutamaan
Moral (ethike arete):
Keutamaan yang berkaitan dengan perilaku
moral, seperti keberanian, keadilan, pengendalian diri, dan kedermawanan.⁴ Keutamaan
ini diperoleh melalui pembiasaan (habitus) dan latihan berulang.
Seseorang tidak akan menjadi baik hanya dengan mengetahui apa itu keutamaan,
tetapi melalui tindakan nyata yang konsisten.⁵
2)
Keutamaan
Intelektual (dianoetike arete):
Keutamaan yang berkaitan dengan akal
budi manusia, seperti kebijaksanaan (sophia) dan kecerdasan praktis (phronesis).⁶
Keutamaan ini dikembangkan melalui pembelajaran dan refleksi mendalam.
Menurut Aristoteles,
kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kombinasi kedua keutamaan ini,
dengan akal budi manusia berperan sebagai pemandu dalam setiap tindakan moral.⁷
3.3.
Prinsip Jalan Tengah (The Golden Mean)
Salah satu konsep
penting dalam pemikiran Aristoteles tentang Eudaimonia adalah prinsip jalan
tengah atau Golden Mean (mesotes).⁸
Aristoteles menyatakan bahwa keutamaan moral terletak di antara dua ekstrem,
yaitu kelebihan
(excess) dan kekurangan (deficiency).
Misalnya:
·
Keberanian adalah keutamaan
yang berada di tengah-tengah antara pengecut (kekurangan) dan nekad
(kelebihan).
·
Kedermawanan adalah
keutamaan yang berada di antara kekikiran (kekurangan) dan pemborosan
(kelebihan).⁹
Prinsip ini
menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak dapat dicapai melalui tindakan yang
berlebihan atau kekurangan, tetapi melalui keseimbangan dalam setiap aspek
kehidupan. Kebiasaan untuk menemukan jalan tengah dalam tindakan sehari-hari
menjadi kunci untuk menjalani hidup yang bermoral dan mencapai Eudaimonia.
3.4.
Aktivitas Rasional dan Kebahagiaan
Aristoteles
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki akal
budi (zoon logon echon), dan kebahagiaan
sejati dapat ditemukan dalam aktivitas rasional yang
dilakukan sesuai dengan keutamaan.¹⁰ Aktivitas ini mencerminkan esensi manusia
sebagai makhluk rasional, yang membedakannya dari makhluk lain.
Menurut Aristoteles,
terdapat dua jenis aktivitas yang dapat membawa manusia menuju Eudaimonia:
1)
Aktivitas
Praktis (praxis): Aktivitas yang melibatkan
tindakan moral dan hubungan sosial. Kebahagiaan dapat dicapai melalui perilaku
etis yang selaras dengan keutamaan moral.
2)
Aktivitas
Kontemplatif (theoria): Aktivitas intelektual
yang melibatkan pemikiran mendalam dan refleksi tentang kebenaran.¹¹
Aristoteles menganggap theoria sebagai bentuk aktivitas
tertinggi karena melibatkan penggunaan akal budi dalam bentuk yang paling
murni.
3.5.
Kritik dan Penafsiran Modern terhadap Pemikiran
Aristoteles
Meskipun pemikiran
Aristoteles tentang Eudaimonia sangat berpengaruh, para
pemikir modern memberikan sejumlah kritik dan interpretasi terhadap konsep ini.
Kritik utama adalah bahwa kebahagiaan menurut Aristoteles terlalu bersifat elit
dan teoretis,
sehingga tidak mudah diterapkan dalam kehidupan semua orang.¹² Selain itu,
pemikiran tentang Eudaimonia dianggap kurang
memperhitungkan aspek emosional dan kebahagiaan subjektif.
Namun, dalam konteks
modern, gagasan Aristoteles tentang keutamaan dan aktivitas rasional kembali
mendapat perhatian melalui psikologi positif. Tokoh
seperti Martin Seligman mengembangkan
konsep well-being
yang menekankan pentingnya aktualisasi potensi manusia, selaras dengan
pemikiran Aristoteles tentang kebahagiaan sebagai kehidupan yang bermakna dan
produktif.¹³
Catatan Kaki
[1]
Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan
oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 1-3.
[2]
C. D. C. Reeve, Action, Contemplation, and Happiness: An Essay
on Aristotle (Cambridge: Harvard University Press, 2012), hlm. 18.
[3]
Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford:
Oxford University Press, 1993), hlm. 45.
[4]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), hlm. 23.
[5]
Ibid., hlm. 25.
[6]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford
University Press, 1989), hlm. 72.
[7]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western
Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 123.
[8]
Aristoteles, Nicomachean Ethics, hlm. 110.
[9]
J. L. Ackrill, Aristotle the Philosopher (Oxford:
Oxford University Press, 1981), hlm. 95.
[10]
Christopher Shields, Aristotle (London: Routledge,
2007), hlm. 202.
[11]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness
(Cambridge: Cambridge University Press, 1986), hlm. 318.
[12]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2007), hlm. 157.
[13]
Martin Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of
Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011), hlm. 23.
4.
Eudaimonia
dalam Filsafat Stoikisme
4.1.
Pandangan Stoik tentang Kebahagiaan
Dalam tradisi
filsafat Stoikisme, Eudaimonia
didefinisikan sebagai kehidupan yang selaras dengan alam
(kata
phusin) dan dicapai melalui kebajikan (virtue) serta penguasaan
diri.¹ Filsafat Stoik menekankan bahwa kebahagiaan tidak
bergantung pada faktor-faktor eksternal seperti kekayaan, status sosial, atau
kesenangan material, tetapi pada penguasaan terhadap pikiran, emosi, dan
perilaku seseorang.
Kaum Stoik percaya
bahwa kebahagiaan adalah kondisi batin yang stabil,
bebas dari gangguan emosi negatif, yang disebut apatheia (ketenangan jiwa).² Dengan
mencapai apatheia,
individu mampu menghadapi segala situasi kehidupan —baik kesenangan maupun
penderitaan— dengan sikap tenang dan rasional. Hal ini selaras dengan prinsip
bahwa manusia tidak memiliki kendali atas peristiwa eksternal, tetapi memiliki
kendali penuh atas respons batinnya.
Filsuf Stoik seperti
Zeno
dari Citium (pendiri Stoikisme), Seneca,
Epictetus,
dan Marcus
Aurelius menyatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai jika
seseorang hidup sesuai dengan keutamaan moral dan rasionalitas.³ Bagi mereka,
hidup berkeutamaan adalah satu-satunya jalan menuju Eudaimonia.
4.2.
Prinsip Kunci Stoikisme tentang Eudaimonia
4.2.1.
Hidup Selaras dengan
Alam (kata phusin)
Konsep hidup selaras
dengan alam berarti hidup sesuai dengan akal budi (logos) yang ada
dalam diri manusia dan alam semesta. Filsafat Stoik memandang alam sebagai
tatanan yang rasional dan harmonis. Manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki
kewajiban untuk menyesuaikan hidupnya dengan hukum alam tersebut.⁴ Dalam
pandangan ini, kebahagiaan dicapai ketika individu bertindak sesuai dengan
keutamaan dan memahami tempatnya dalam tatanan kosmis.
4.2.2.
Pentingnya Kebajikan
(Virtue)
Bagi kaum Stoik,
kebajikan adalah satu-satunya kebaikan yang sejati,
sedangkan hal-hal lain seperti kekayaan, kesehatan, atau reputasi hanyalah hal
yang "indiferens" (adiaphora).⁵ Virtue Stoik mencakup
empat kebajikan utama:
·
Kebijaksanaan
(sophia):
Kemampuan memahami dunia secara rasional dan mengambil keputusan yang bijak.
·
Keberanian
(andreia):
Keteguhan dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan.
·
Pengendalian
Diri (sophrosyne): Kemampuan mengendalikan
emosi dan hasrat.
·
Keadilan
(dikaiosyne):
Bertindak adil terhadap diri sendiri dan orang lain.⁶
Epictetus, dalam Enchiridion,
menyatakan bahwa kebahagiaan tergantung pada kebajikan moral, yang diperoleh
dengan melatih
akal budi untuk menilai apa yang berada di bawah kendali
manusia dan apa yang tidak.⁷
4.2.3.
Mengatasi Emosi
Melalui Apatheia
Konsep apatheia
bukan berarti penghapusan emosi secara total, tetapi mencapai keadaan di mana
emosi tidak lagi mengganggu kebijaksanaan dan tindakan moral.⁸ Seneca
berpendapat bahwa penderitaan berasal dari penilaian yang salah terhadap
peristiwa eksternal. Dengan memahami bahwa hal-hal eksternal tidak memiliki
kekuasaan atas jiwa, individu dapat meraih ketenangan batin dan kebahagiaan.
4.2.4.
Penerimaan Takdir (Amor
Fati)
Kaum Stoik
mengajarkan penerimaan terhadap takdir
sebagai bagian dari tatanan alam. Marcus Aurelius dalam Meditations
menekankan pentingnya menerima segala peristiwa kehidupan dengan lapang dada
dan menjadikannya sebagai bagian dari pembelajaran moral.⁹
4.3.
Perbandingan Eudaimonia dalam Stoikisme dan
Aristotelianisme
Meskipun baik
Aristoteles maupun kaum Stoik mendefinisikan Eudaimonia sebagai kehidupan yang
berlandaskan keutamaan, terdapat perbedaan mendasar dalam pemikiran mereka:
·
Aristoteles
menekankan pentingnya aspek eksternal seperti pertemanan, kesehatan, dan
keberuntungan untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna.¹⁰
·
Stoikisme,
sebaliknya, menyatakan bahwa kebahagiaan sepenuhnya bergantung pada kebajikan
moral dan penguasaan diri, tanpa bergantung pada faktor eksternal apa pun.¹¹
Dengan demikian,
kaum Stoik memiliki pendekatan yang lebih internal dan universalis
terhadap kebahagiaan, yang dapat dicapai oleh siapa saja tanpa memandang
kondisi eksternal mereka.
4.4.
Tokoh-Tokoh Utama dalam Stoikisme dan Pemikiran
Mereka tentang Eudaimonia
4.4.1.
Epictetus
Dalam Enchiridion,
Epictetus menekankan bahwa kebahagiaan tergantung pada kendali
diri dan pemahaman tentang apa yang dapat dikendalikan manusia
(pikiran dan tindakan) serta apa yang tidak dapat dikendalikan (peristiwa
eksternal).¹²
4.4.2.
Seneca
Dalam karyanya On the
Shortness of Life, Seneca menekankan bahwa kebahagiaan terletak
pada hidup
yang bermakna dan bebas dari perbudakan terhadap keinginan
material.¹³
4.4.3.
Marcus Aurelius
Dalam Meditations,
Marcus Aurelius menekankan penerimaan terhadap takdir dan pentingnya hidup
sesuai dengan kebajikan serta keharmonisan alam semesta.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University
of California Press, 2002), hlm. 23.
[2]
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism
(Oxford: Oxford University Press, 1985), hlm. 50.
[3]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness
(London: Hodder & Stoughton, 2013), hlm. 41.
[4]
John Sellars, Stoicism (London: Routledge, 2006),
hlm. 34.
[5]
Anthony A. Long & David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), hlm. 366.
[6]
Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism,
hlm. 58.
[7]
Epictetus, The Enchiridion, diterjemahkan oleh
George Long (New York: Dover Publications, 2004), hlm. 5-7.
[8]
Seneca, On the Shortness of Life,
diterjemahkan oleh C.D.N. Costa (New York: Penguin Books, 2005), hlm. 50.
[9]
Marcus Aurelius, Meditations, diterjemahkan oleh
Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), hlm. 78.
[10]
Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan
oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), hlm. 120.
[11]
A. A. Long, Stoic Studies, hlm. 45.
[12]
Epictetus, The Enchiridion, hlm. 3.
[13]
Seneca, On the Shortness of Life, hlm. 12.
[14]
Marcus Aurelius, Meditations, hlm. 25.
5.
Perbandingan
dengan Konsep Kebahagiaan Lainnya
Konsep Eudaimonia dalam pemikiran Yunani
Kuno, khususnya Aristoteles dan Stoikisme, memiliki perbedaan mendasar
dibandingkan dengan konsep kebahagiaan lainnya yang muncul dari tradisi
pemikiran berbeda, seperti Hedonisme, Utilitarianisme, dan kebahagiaan
dalam perspektif religius. Berikut adalah perbandingan komprehensif antara
konsep Eudaimonia dengan beberapa pemikiran kebahagiaan lainnya:
5.1.
Perbandingan dengan Hedonisme
Hedonisme adalah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa kesenangan (pleasure)
adalah kebaikan tertinggi dan tujuan hidup manusia.¹ Pandangan ini muncul dalam pemikiran filsuf Yunani seperti Aristippos dari
Kirene dan kemudian dikembangkan lebih sistematis oleh Epikuros.
Bagi kaum Hedonis, kebahagiaan adalah akumulasi kesenangan dan penghindaran
penderitaan.
·
Fokus pada Kenikmatan Fisik: Hedonisme cenderung berorientasi pada kebahagiaan material dan
kenikmatan fisik, meskipun Epikuros menyatakan bahwa kenikmatan yang tertinggi
adalah ketenangan batin (ataraxia).²
·
Perbedaan dengan Eudaimonia: Berbeda dengan Eudaimonia, yang menekankan keutamaan moral
dan rasionalitas, Hedonisme melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang lebih
bersifat subjektif dan instan.³ Aristoteles mengkritik pandangan
ini sebagai pandangan yang “dangkal” karena tidak mempertimbangkan potensi
penuh manusia sebagai makhluk rasional.⁴
Contoh: Bagi Aristoteles, seseorang yang hidup
hanya untuk mengejar kesenangan fisik tidak dapat mencapai Eudaimonia
karena kehidupan tersebut mengabaikan keutamaan moral yang menjadi esensi kebahagiaan sejati.
5.2.
Perbandingan dengan Utilitarianisme
Utilitarianisme, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menyatakan
bahwa kebahagiaan tertinggi adalah kesejahteraan terbesar bagi sebanyak
mungkin orang.⁵ Kebahagiaan diukur berdasarkan manfaat (utility) yang dihasilkan dari
suatu tindakan, di mana kebahagiaan diartikan sebagai kenikmatan (pleasure)
dan ketiadaan penderitaan.⁶
·
Orientasi Kolektif: Berbeda
dengan Eudaimonia yang menekankan aktualisasi potensi individu,
Utilitarianisme berfokus pada kebahagiaan kolektif.
·
Kualitas Kebahagiaan: John
Stuart Mill membedakan antara “kenikmatan tinggi” (intellectual
pleasures) dan “kenikmatan rendah” (physical pleasures), yang
lebih mendekati gagasan Aristoteles tentang aktivitas rasional sebagai
kebahagiaan tertinggi.⁷
·
Kritik terhadap Utilitarianisme: Aristoteles mungkin akan mengkritik pendekatan Utilitarianisme yang
bersifat kuantitatif, sementara Eudaimonia lebih bersifat kualitatif
dan berfokus pada tindakan yang selaras dengan keutamaan moral individu.⁸
Contoh: Dalam konteks etika modern, seorang pemimpin yang membuat keputusan demi kesejahteraan mayoritas mungkin bertindak
utilitarian, tetapi bagi Aristoteles, keputusan tersebut baru dianggap baik
jika selaras dengan keutamaan dan moralitas yang benar.
5.3.
Perbandingan dengan Konsep Kebahagiaan dalam
Agama
Dalam berbagai tradisi agama, kebahagiaan sering dikaitkan dengan hubungan manusia dengan
Tuhan serta pemenuhan tujuan spiritual. Misalnya:
5.3.1.
Kebahagiaan dalam
Islam
Konsep kebahagiaan dalam Islam melibatkan dua
dimensi: kebahagiaan duniawi (sa’adah dunya) dan kebahagiaan
ukhrawi (sa’adah akhirah). Kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai
melalui ketaatan kepada Allah, akhlak yang mulia, dan pencarian
makna hidup yang selaras dengan tujuan penciptaan manusia.⁹ Dalam
Al-Qur'an, kebahagiaan tidak diukur dari kenikmatan fisik semata, melainkan
dari ketenangan hati yang datang melalui dzikrullah (mengingat Allah).¹⁰
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram.” (Qs.
Ar-Ra’d [43] ayat 28).
5.3.2.
Kebahagiaan dalam
Kristen
Dalam teologi Kristen, kebahagiaan tertinggi (beatitudo)
adalah persatuan dengan Tuhan dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya.¹¹
Santo Agustinus menyatakan bahwa “Hati manusia tidak akan pernah tenang
kecuali beristirahat di dalam Tuhan.” ¹² Perspektif ini menekankan bahwa
kebahagiaan bersifat spiritual dan transendental.
5.3.3.
Perbedaan dengan
Eudaimonia
Berbeda dengan konsep kebahagiaan religius yang seringkali
berfokus pada aspek transendental dan kehidupan setelah mati, Eudaimonia
dalam filsafat Yunani berfokus pada kehidupan di dunia ini melalui
pengembangan keutamaan moral dan intelektual. Namun, terdapat titik temu dalam
konsep keutamaan (virtue) sebagai jalan menuju kebahagiaan.
5.4.
Perbandingan dengan Kebahagiaan Modern
(Psikologi Positif)
Dalam psikologi modern, konsep kebahagiaan
dikembangkan lebih lanjut oleh para psikolog seperti Martin Seligman melalui pendekatan psikologi positif.
Kebahagiaan dalam psikologi positif tidak hanya berfokus pada kenikmatan
emosional tetapi juga mencakup:
·
Keterlibatan
(engagement) dalam aktivitas bermakna.
·
Makna hidup (meaning)
melalui aktualisasi potensi diri.¹³
Konsep ini memiliki kesamaan dengan Eudaimonia
Aristoteles karena keduanya menekankan kualitas hidup yang diperoleh melalui aktivitas bermakna dan
pengembangan potensi terbaik manusia. Namun, psikologi positif lebih menekankan
pada pendekatan ilmiah dan empiris dalam memahami kebahagiaan.
Kesimpulan Perbandingan
Konsep Eudaimonia memiliki perbedaan
mendasar dengan kebahagiaan dalam Hedonisme, Utilitarianisme, tradisi agama,
dan pemikiran modern. Aristoteles dan Stoikisme menekankan bahwa kebahagiaan
sejati hanya dapat dicapai melalui keutamaan moral dan rasionalitas,
sedangkan pendekatan lain cenderung berfokus pada kenikmatan, manfaat
kolektif, atau aspek transendental. Meski demikian, pemikiran Eudaimonia
tetap relevan hingga saat ini sebagai panduan untuk hidup yang bermakna dan
bermoral.
Catatan Kaki
[1]
Julia Annas, The Morality of Happiness
(Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 44.
[2]
Epicurus, The Art of Happiness,
diterjemahkan oleh George K. Strodach (New York: Penguin Books, 2012), hlm. 12.
[3]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History
of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 130.
[4]
Aristoteles, Nicomachean Ethics,
diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), hlm.
109.
[5]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), hlm.
14.
[6]
John Stuart Mill, Utilitarianism,
diterjemahkan oleh Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm.
57.
[7]
Ibid., hlm. 45.
[8]
Julia Annas, The Morality of Happiness, hlm.
58.
[9]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid II
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 234.
[10]
Al-Qur’an, QS. Ar-Ra’d: 28.
[11]
Thomas Aquinas, Summa Theologica,
diterjemahkan oleh Fathers of the English Dominican Province (New York:
Benziger Bros., 1947), hlm. 88.
[12]
Santo Agustinus, Confessions, diterjemahkan
oleh Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 30.
[13]
Martin Seligman, Flourish: A Visionary New
Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011),
hlm. 18.
6.
Relevansi
Eudaimonia dalam Kehidupan Kontemporer
Konsep Eudaimonia yang berasal dari
pemikiran filsafat Yunani Kuno tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam
konteks kehidupan kontemporer. Di tengah perkembangan modern yang sering kali
berfokus pada pencapaian material,
kebahagiaan instan, dan kepuasan emosional jangka pendek, gagasan Eudaimonia
menawarkan pendekatan holistik tentang kebahagiaan melalui aktualisasi
potensi diri, kehidupan bermakna, dan keutamaan moral.
6.1. Eudaimonia dalam Etika Pribadi dan Pengembangan
Karakter
Dalam kehidupan modern, konsep Eudaimonia mendorong individu untuk mencapai
kebahagiaan sejati melalui pengembangan karakter moral dan kualitas
pribadi.¹ Prinsip ini terlihat dalam praktik-praktik berikut:
·
Pentingnya Keutamaan Moral:
Nilai-nilai
seperti kejujuran, keberanian, dan integritas tetap menjadi fondasi penting
dalam kehidupan pribadi dan profesional.² Pendidikan karakter di berbagai
lembaga pendidikan modern sering kali berakar pada gagasan ini, di mana kebahagiaan
tidak hanya diukur dari kesuksesan material, tetapi juga dari kualitas hidup
yang bermoral.
·
Aktualisasi Diri:
Psikolog
humanis Abraham Maslow mengemukakan teori hierarki kebutuhan, di
mana aktualisasi diri —sebagai puncak dari kebutuhan manusia— mencerminkan
gagasan Aristoteles tentang Eudaimonia.³ Aktualisasi diri mengacu pada pengembangan
potensi terbaik individu dan keterlibatan dalam aktivitas yang bermakna.
Contoh: Individu yang mengabdikan dirinya dalam profesi seperti pendidik, tenaga
kesehatan, atau
relawan sering kali mencapai kepuasan hidup yang mendalam melalui tindakan yang
bermanfaat bagi orang lain.
6.2. Relevansi Eudaimonia dalam Psikologi Positif
Dalam perkembangan psikologi positif, konsep
kebahagiaan tidak lagi dipandang semata sebagai emosi yang menyenangkan,
melainkan sebagai kesejahteraan hidup yang utuh. Martin Seligman,
salah satu pelopor psikologi positif, memperkenalkan model PERMA sebagai
pendekatan ilmiah untuk mencapai kebahagiaan:
·
Positive Emotions: Emosi positif
yang menambah kualitas hidup.
·
Engagement:
Keterlibatan dalam aktivitas yang sesuai dengan kekuatan dan minat pribadi.
·
Relationships: Hubungan
yang sehat dan bermakna dengan orang lain.
·
Meaning: Menemukan
makna dalam hidup dan tindakan yang dilakukan.
·
Accomplishment: Mencapai
tujuan yang signifikan melalui usaha yang konsisten.⁴
Gagasan ini sejalan dengan Eudaimonia, di
mana kebahagiaan sejati dicapai melalui aktivitas yang bermakna dan pengembangan keutamaan.
Psikologi positif memberikan kerangka ilmiah untuk mempraktikkan konsep Eudaimonia
dalam kehidupan sehari-hari.
6.3. Eudaimonia dalam Kehidupan Profesional dan
Kepemimpinan
Dalam dunia kerja modern, gagasan Eudaimonia
memiliki implikasi penting dalam pengembangan kepemimpinan etis dan budaya
organisasi:
·
Kepemimpinan Berbasis Keutamaan:
Pemimpin
yang berlandaskan keutamaan moral, seperti kebijaksanaan, keberanian, dan
keadilan, cenderung menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan harmonis.⁵
Kepemimpinan etis tidak hanya berfokus pada pencapaian target material, tetapi
juga membangun kepercayaan dan integritas di antara anggota tim.
·
Kepuasan Kerja dan Makna Hidup:
Banyak studi
menunjukkan bahwa individu yang menemukan makna dalam pekerjaan mereka
memiliki tingkat kepuasan dan kesejahteraan hidup yang lebih tinggi. Hal ini
mencerminkan gagasan Aristoteles bahwa Eudaimonia dicapai melalui
keterlibatan aktif dalam aktivitas yang sesuai dengan keutamaan.⁶
Contoh: Perusahaan yang menerapkan corporate social responsibility (CSR)
dan fokus pada
kesejahteraan karyawan sering kali menciptakan budaya kerja yang lebih sehat
dan bermakna.
6.4. Eudaimonia dan Tantangan Kehidupan Kontemporer
Dalam dunia modern yang penuh dengan tantangan
seperti kesenjangan sosial, kecemasan mental, dan konsumtivisme,
konsep Eudaimonia dapat menjadi solusi untuk menemukan kebahagiaan
sejati:
·
Mengatasi Hedonisme Konsumtif:
Masyarakat
modern cenderung mengejar kepuasan material dan emosional yang bersifat
sementara.⁷ Konsep Eudaimonia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati
dicapai melalui pengembangan diri yang berkelanjutan dan tindakan moral yang
bermakna.
·
Kesehatan Mental dan Ketenangan Jiwa:
Prinsip
Stoik tentang apatheia dan penerimaan terhadap apa yang di luar kendali
dapat membantu mengatasi kecemasan dan stres yang kerap muncul di era digital.⁸
·
Kehidupan Berkelanjutan:
Konsep hidup
selaras dengan alam (kata phusin) dalam Stoikisme memiliki relevansi
dengan upaya modern untuk mencapai keberlanjutan lingkungan dan gaya
hidup sederhana.
6.5. Eudaimonia sebagai Jalan Menuju Kehidupan Bermakna
Secara keseluruhan, Eudaimonia menawarkan
panduan etis dan filosofis untuk mencapai kehidupan bermakna dan berkualitas.
Melalui aktualisasi potensi
diri, pengembangan keutamaan moral, dan keterlibatan dalam aktivitas yang
bermakna, individu dapat menemukan kebahagiaan yang lebih stabil dan mendalam
dibandingkan sekadar mengejar kesenangan material.
Kesimpulan
Dalam kehidupan kontemporer, konsep Eudaimonia
tetap relevan sebagai panduan untuk mencapai kebahagiaan sejati di tengah
tuntutan zaman modern. Gagasan Aristoteles tentang kebahagiaan sebagai aktualisasi
potensi terbaik manusia dan pandangan Stoik tentang kehidupan selaras
dengan alam dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pengembangan karakter,
kepemimpinan etis, dan kesehatan mental.
Catatan Kaki
[1]
Julia Annas, The Morality of Happiness
(Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 85.
[2]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 29.
[3]
Abraham Maslow, Motivation and Personality
(New York: Harper & Row, 1954), hlm. 153.
[4]
Martin Seligman, Flourish: A Visionary New
Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011),
hlm. 25.
[5]
John C. Maxwell, Developing the Leader Within
You (Nashville: Thomas Nelson, 2018), hlm. 112.
[6]
Mihaly Csikszentmihalyi, Flow: The Psychology of
Optimal Experience (New York: Harper Perennial, 2008), hlm. 41.
[7]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History
of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 120.
[8]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of
Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), hlm. 58.
7.
Kritik
terhadap Konsep Eudaimonia
Konsep Eudaimonia sebagai kebahagiaan sejati
dalam pemikiran Yunani Kuno, khususnya Aristoteles, telah menginspirasi banyak
pemikir sepanjang sejarah. Namun, gagasan ini tidak luput dari kritik. Kritik terhadap Eudaimonia
datang dari berbagai perspektif, termasuk filsafat modern, etika kontemporer,
dan pemikiran eksistensialis. Kritik ini berfokus pada aspek elitisme, universalitas,
dan keterbatasan praktis dari konsep tersebut.
7.1. Kritik Elitisme dalam Konsep Eudaimonia
Salah satu kritik utama terhadap Eudaimonia
adalah sifatnya yang dianggap elitis. Aristoteles menyatakan bahwa
kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui aktivitas rasional dan pengembangan keutamaan moral.
Namun, dalam praktiknya, konsep ini tampaknya hanya berlaku bagi individu yang
memiliki waktu, sumber daya, dan pendidikan yang memadai.¹
·
Akses Terbatas:
Kebahagiaan
versi Aristoteles lebih mudah dicapai oleh individu yang berasal dari kelas
atas, yang memiliki waktu luang untuk kontemplasi dan pengembangan
intelektual.² Hal ini membuat konsep Eudaimonia sulit dicapai oleh
mereka yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan sosial.
·
Kritik dari Tradisi Marxist:
Pemikir
seperti Karl Marx mengkritik filsafat Yunani karena cenderung mengabaikan
struktur sosial dan ekonomi yang mendasari ketidakadilan.³ Marx berpendapat
bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai jika ketimpangan ekonomi dan
eksploitasi masih terjadi.
Contoh: Seorang pekerja kasar yang sibuk memenuhi kebutuhan dasar tidak
memiliki waktu atau
kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas kontemplatif yang dianggap oleh
Aristoteles sebagai esensi kebahagiaan.
7.2. Kritik Universalitas: Apakah Eudaimonia Berlaku
untuk Semua Orang?
Aristoteles mendefinisikan Eudaimonia
sebagai kebahagiaan yang dicapai melalui keutamaan moral dan rasionalitas, namun konsep ini
dinilai tidak universal karena mengabaikan kebudayaan dan subjektivitas
individu:
·
Relativisme Budaya:
Kritik dari
pemikiran modern, terutama etika relativisme, menyatakan bahwa gagasan
kebahagiaan tidak bisa dianggap universal karena sangat dipengaruhi oleh konteks
budaya dan nilai-nilai lokal.⁴ Konsep kebahagiaan dalam masyarakat Timur,
misalnya, seringkali lebih berorientasi pada harmoni kolektif daripada
pencapaian pribadi.
·
Subjektivitas Kebahagiaan:
Para filsuf
eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche menekankan
bahwa kebahagiaan bersifat subjektif dan bergantung pada pilihan individu.⁵
Mereka mengkritik Eudaimonia yang terlalu menekankan pada satu pandangan
“objektif” tentang kebahagiaan, seolah-olah ada satu jalan yang benar untuk
semua orang.
Sartre berpendapat bahwa individu bebas
mendefinisikan makna hidupnya sendiri, sementara Aristoteles memberikan standar kebahagiaan yang dianggap terlalu
normatif.
7.3. Keterbatasan Praktis dalam Penerapan Konsep
Eudaimonia
Konsep Eudaimonia sering dikritik karena sulit
diterapkan dalam konteks kehidupan modern yang penuh tantangan dan kompleksitas:
·
Kesulitan Aktualisasi Keutamaan Moral:
Dalam dunia
kontemporer yang penuh persaingan dan tuntutan material, aktualisasi keutamaan
moral sering kali menjadi tantangan. Aktivitas yang “berkeutamaan” tidak
selalu dihargai atau menghasilkan keuntungan yang nyata.⁶
·
Pengabaian terhadap Faktor Eksternal:
Aristoteles
menyatakan bahwa kebahagiaan bergantung pada keutamaan, namun ia juga mengakui
peran faktor eksternal seperti kesehatan, teman, dan kekayaan.⁷ Kritik muncul
karena konsep ini gagal memberikan solusi bagi individu yang hidup dalam
kemiskinan, penyakit, atau situasi sulit lainnya.
Contoh: Seseorang yang hidup dalam kemiskinan
struktural mungkin tidak memiliki kendali atas faktor eksternal, sehingga gagasan Eudaimonia
menjadi sulit dicapai.
7.4. Kritik dari Perspektif Hedonisme dan
Utilitarianisme
Konsep Eudaimonia, yang menekankan
kebahagiaan sebagai aktualisasi potensi terbaik melalui keutamaan, bertentangan dengan pandangan Hedonisme dan Utilitarianisme:
·
Hedonisme:
Menurut
filsuf Hedonis seperti Epikuros, kebahagiaan adalah hasil dari kenikmatan
fisik dan ketenangan batin (ataraxia).⁸ Mereka mengkritik Eudaimonia
sebagai sesuatu yang terlalu “berat” dan idealis. Hedonisme menekankan
bahwa kebahagiaan dapat diperoleh melalui hal-hal sederhana seperti menghindari
rasa sakit dan menikmati kehidupan.
·
Utilitarianisme:
Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill mengkritik gagasan kebahagiaan Aristoteles karena
dianggap terlalu individualistis.⁹ Utilitarianisme berfokus pada kesejahteraan
kolektif, di mana kebahagiaan diukur dari manfaat terbesar bagi sebanyak
mungkin orang.
Perbandingan ini menyoroti bahwa Eudaimonia
terlalu menekankan pengembangan individu, sementara kebahagiaan kolektif menjadi fokus utama dalam etika
utilitarian.
7.5. Kritik dari Perspektif Eksistensialisme
Eksistensialis seperti Nietzsche dan Sartre
menolak ide kebahagiaan yang “ditentukan sebelumnya” seperti dalam konsep Eudaimonia. Mereka
berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan radikal untuk menentukan
makna hidupnya sendiri:
·
Nietzsche mengkritik
moralitas tradisional, termasuk etika Aristoteles, sebagai bentuk penjinakan
manusia yang membatasi kreativitas dan kebebasan individu.¹⁰
·
Sartre menekankan
bahwa setiap individu bertanggung jawab untuk memberikan makna pada hidupnya.¹¹
Gagasan kebahagiaan yang universal dianggap mengabaikan realitas kebebasan
individu.
Sartre berpendapat bahwa makna hidup tidak
ditemukan melalui keutamaan yang telah ditentukan, melainkan melalui tindakan
bebas yang dipilih individu.
Kesimpulan
Meskipun konsep Eudaimonia memberikan
panduan etis tentang kebahagiaan sebagai kehidupan yang berlandaskan keutamaan
moral dan rasionalitas, kritik dari perspektif elitisme, universalitas, serta
keterbatasan praktis menunjukkan bahwa gagasan ini tidak sempurna. Di tengah
perdebatan ini, relevansi Eudaimonia dapat diperkaya dengan
mempertimbangkan pluralitas budaya, kebebasan individu, dan realitas
kontemporer yang lebih kompleks.
Catatan Kaki
[1]
Julia Annas, The Morality of Happiness
(Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 89.
[2]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 2007), hlm. 120.
[3]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts
of 1844, diterjemahkan oleh Martin Milligan (New York: Dover Publications,
2007), hlm. 45.
[4]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), hlm. 35.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism
(New Haven: Yale University Press, 2007), hlm. 22.
[6]
Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History
of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 118.
[7]
Aristoteles, Nicomachean Ethics,
diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1999), hlm. 109.
[8]
Epicurus, The Art of Happiness,
diterjemahkan oleh George K. Strodach (New York: Penguin Books, 2012), hlm. 15.
[9]
John Stuart Mill, Utilitarianism,
diterjemahkan oleh Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm.
52.
[10]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
diterjemahkan oleh R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 2003), hlm. 120.
[11]
Sartre, Existentialism Is a Humanism, hlm.
29.
8.
Penutup
Konsep Eudaimonia dalam filsafat Yunani
Kuno, terutama melalui pemikiran
Aristoteles dan kaum
Stoik, menawarkan pandangan holistik dan mendalam tentang
kebahagiaan sejati. Berbeda dengan kebahagiaan dalam pemikiran hedonis atau
utilitarian yang cenderung bersifat subjektif dan kuantitatif, Eudaimonia
menekankan kebahagiaan sebagai aktualisasi potensi terbaik manusia
melalui keutamaan moral, intelektual, dan keterlibatan dalam kehidupan yang
bermakna.¹
Dalam pemikiran
Aristoteles, kebahagiaan sejati adalah tujuan akhir (telos) dari
kehidupan manusia. Aktualisasi ini dicapai melalui aktivitas rasional
dan praktik keutamaan (arete) yang memungkinkan manusia untuk hidup
sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk berpikir.² Sementara itu, kaum Stoik
menekankan bahwa kebahagiaan terletak pada hidup selaras dengan alam,
dengan mencapai ketenangan jiwa (apatheia) dan penguasaan diri dalam
menghadapi berbagai tantangan hidup.³ Kedua pendekatan ini mengajarkan bahwa
kebahagiaan sejati tidak bergantung pada faktor eksternal, tetapi pada kualitas
batin dan moralitas individu.
Dalam konteks kehidupan modern, konsep Eudaimonia
tetap relevan sebagai respons terhadap gaya hidup yang cenderung konsumtif dan
materialistis. Pemikiran ini memberikan alternatif filosofis yang
mendorong manusia untuk mencari kebahagiaan melalui pengembangan diri,
moralitas, dan makna hidup. Konsep ini sejalan dengan pendekatan
kontemporer seperti psikologi positif yang menekankan well-being
dan self-actualization sebagai ukuran kebahagiaan.⁴
Namun, konsep Eudaimonia juga menghadapi
berbagai kritik, terutama terkait elitisme, keterbatasan praktis,
dan universalitas. Pemikiran Aristoteles dianggap terlalu idealis dan
sulit diterapkan dalam realitas kehidupan yang penuh tantangan, terutama bagi
individu yang hidup dalam kondisi sosial dan ekonomi yang kurang mendukung.⁵
Kritik dari pemikiran eksistensialis menekankan kebebasan individu untuk
mendefinisikan makna hidupnya sendiri, di luar standar kebahagiaan yang
ditentukan secara universal.⁶
Meskipun demikian, Eudaimonia tetap
menawarkan kerangka etis yang kuat untuk memahami kebahagiaan sebagai sesuatu
yang lebih dari sekadar kesenangan emosional. Gagasan ini mengajarkan
pentingnya hidup yang bermoral, rasional, dan produktif, di mana manusia
dapat mencapai kesejahteraan sejati melalui usaha untuk menjadi versi terbaik
dari dirinya sendiri. Dalam dunia yang serba cepat dan pragmatis, Eudaimonia
mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati adalah hasil dari kualitas hidup
yang berlandaskan keutamaan dan keharmonisan dengan diri sendiri serta
lingkungan.
Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai Eudaimonia,
individu tidak hanya dapat mencapai kebahagiaan pribadi, tetapi juga
berkontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Melalui refleksi mendalam dan tindakan berlandaskan keutamaan, konsep ini
menawarkan panduan yang abadi untuk menjalani kehidupan yang bermakna, seimbang,
dan berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
Julia Annas, The Morality of Happiness
(Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 45.
[2]
Aristoteles, Nicomachean Ethics,
diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company,
1999), hlm. 109.
[3]
A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley:
University of California Press, 2002), hlm. 50.
[4]
Martin Seligman, Flourish: A Visionary New
Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011),
hlm. 12.
[5]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 2007), hlm. 120.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism
(New Haven: Yale University Press, 2007), hlm. 29.
Daftar Pustaka
Annas, J. (1993). The morality of happiness.
Oxford University Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.
Bentham, J. (1907). An introduction to the
principles of morals and legislation. Clarendon Press.
Csikszentmihalyi, M. (2008). Flow: The
psychology of optimal experience. Harper Perennial.
Epicurus. (2012). The art of happiness (G.
K. Strodach, Trans.). Penguin Books.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. Basic Books.
Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics.
Oxford University Press.
Long, A. A. (2002). Stoic studies.
University of California Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd
ed.). University of Notre Dame Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G.
Hays, Trans.). Modern Library.
Marx, K. (2007). Economic and philosophic
manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Dover Publications.
Maslow, A. H. (1954). Motivation and personality.
Harper & Row.
Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R.
Crisp, Ed.). Oxford University Press.
Nietzsche, F. (2003). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of
happiness. Hodder & Stoughton.
Sartre, J. P. (2007). Existentialism is a humanism
(C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A visionary
new understanding of happiness and well-being. Atria Books.
Seneca. (2005). On the shortness of life (C.
D. N. Costa, Trans.). Penguin Books.
Sellars, J. (2006). Stoicism. Routledge.
Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral
philosopher. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar