Selasa, 17 Desember 2024

Eudaimonia: Konsep Kebahagiaan Sejati dalam Filsafat Yunani Kuno

Eudaimonia

Konsep Kebahagiaan Sejati dalam Filsafat Yunani Kuno


Abstrak

Eudaimonia adalah konsep kebahagiaan sejati dalam filsafat Yunani Kuno yang melampaui sekadar perasaan senang atau kenikmatan sementara. Istilah ini berasal dari kata Yunani "eu" (baik) dan "daimon" (roh atau jiwa), yang secara harfiah berarti "keadaan memiliki roh yang baik" atau "kesejahteraan yang utuh".

Para filsuf seperti Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles, menekankan bahwa eudaimonia dicapai melalui kehidupan yang dijalani sesuai dengan keutamaan (arete) dan rasionalitas manusia. Aristoteles, dalam karyanya "Nicomachean Ethics", mendefinisikan eudaimonia sebagai tujuan akhir (telos) yang ingin dicapai oleh setiap individu, yang bukan hanya soal kenikmatan fisik, melainkan aktivitas jiwa yang selaras dengan keutamaan.

Dalam perkembangan modern, konsep eudaimonia tetap relevan, terutama dalam psikologi positif yang menekankan aktualisasi potensi individu sebagai jalan menuju kesejahteraan yang utuh. Berbeda dengan pandangan kebahagiaan yang berfokus pada kepuasan material dan emosional, eudaimonia menawarkan perspektif holistik yang mencakup aspek moral, intelektual, dan spiritual manusia.

Kata Kunci: Eudaimonia, Kebahagiaan Sejati, Filsafat Yunani, Aristoteles, Keutamaan (Arete), Etika Nicomachean, Aktualisasi Diri, Psikologi Positif, Kesejahteraan Holistik, Rasionalitas Manusia.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif tentang Konsep Eudaimonia


1.           Pendahuluan

Konsep kebahagiaan telah menjadi perhatian utama pemikiran manusia sepanjang sejarah. Berbagai filsuf, ilmuwan, dan pemuka agama telah berusaha mendefinisikan dan memahami kebahagiaan sebagai salah satu tujuan tertinggi kehidupan manusia. Salah satu konsep kebahagiaan yang paling mendalam dan signifikan berasal dari tradisi filsafat Yunani Kuno, yakni Eudaimonia. Istilah ini tidak sekadar merujuk pada kebahagiaan dalam pengertian emosional, tetapi lebih kepada keadaan kehidupan yang baik dan bermakna, di mana seseorang hidup sesuai dengan keutamaan (virtue) dan mencapai aktualisasi diri yang sempurna.

Secara linguistik, kata Eudaimonia berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni eu yang berarti "baik" atau "sejahtera" dan daimon yang merujuk pada "roh" atau "jiwa" seseorang. Dalam pengertian luas, Eudaimonia sering diterjemahkan sebagai "kebahagiaan sejati" atau "kesejahteraan yang utuh".¹ Konsep ini pertama kali diperkenalkan dan diperdebatkan oleh para filsuf Yunani, seperti Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles dalam karyanya Nicomachean Ethics.² Bagi mereka, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bersifat sementara atau sekadar perasaan subjektif, melainkan kondisi kehidupan yang selaras dengan arete (keutamaan moral dan intelektual) serta rasionalitas manusia.³

Dalam konteks filsafat Aristoteles, Eudaimonia didefinisikan sebagai tujuan akhir (telos) yang ingin dicapai oleh setiap individu.⁴ Kebahagiaan, menurut Aristoteles, bukan hanya soal kenikmatan fisik seperti yang diajarkan oleh kaum Hedonis, melainkan aktivitas jiwa yang selaras dengan keutamaan. Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan tidak dapat dicapai secara instan; ia membutuhkan proses panjang berupa pembiasaan perilaku yang baik dan pengembangan keutamaan moral.⁵

Seiring perkembangan zaman, pemikiran tentang Eudaimonia tetap relevan untuk memahami kebahagiaan dalam kehidupan kontemporer. Berbeda dengan konsep kebahagiaan modern yang sering berfokus pada kepuasan material dan emosional, Eudaimonia menawarkan sebuah perspektif holistik tentang kebahagiaan yang mencakup aspek moral, intelektual, dan spiritual manusia. Bahkan, dalam psikologi positif modern, ide ini kembali dihidupkan oleh tokoh seperti Martin Seligman, yang menggagas konsep "well-being" melalui aktualisasi potensi individu.⁶

Artikel ini akan membahas konsep Eudaimonia secara mendalam, dimulai dari asal-usulnya dalam pemikiran Yunani Kuno hingga aplikasinya dalam kehidupan modern. Dengan merujuk pada pemikiran Aristoteles dan filsuf Stoik, artikel ini juga akan memperbandingkan Eudaimonia dengan konsep kebahagiaan lainnya serta menggali relevansinya bagi individu dan masyarakat saat ini.


Catatan Kaki

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 45.

[2]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 109.

[3]                John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2012), hlm. 82.

[4]                C. D. C. Reeve, Action, Contemplation, and Happiness: An Essay on Aristotle (Cambridge: Harvard University Press, 2012), hlm. 56.

[5]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 23.

[6]                Martin Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011), hlm. 12.


2.           Asal-Usul Konsep Eudaimonia

2.1.       Pengertian Linguistik

Istilah Eudaimonia berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu eu (εὖ) yang berarti “baik” atau “sejahtera,” dan daimon (δαίμων) yang merujuk pada “roh” atau “jiwa.” Secara etimologis, Eudaimonia dapat diartikan sebagai “keadaan memiliki roh yang baik” atau “kesejahteraan yang utuh.”¹ Konsep daimon dalam pemikiran Yunani kuno memiliki makna yang kompleks, seringkali dikaitkan dengan kekuatan ilahi atau roh penjaga yang membimbing kehidupan manusia.² Dalam konteks ini, Eudaimonia mengimplikasikan keadaan di mana seseorang hidup sesuai dengan bimbingan yang selaras dengan kebaikan universal.

Kata Eudaimonia pertama kali muncul dalam teks-teks kuno dan digunakan oleh para filsuf untuk menggambarkan kondisi hidup yang ideal. Berbeda dengan kebahagiaan yang bersifat subjektif dan sementara, Eudaimonia menggambarkan kebahagiaan objektif yang dicapai melalui kehidupan yang selaras dengan keutamaan moral dan akal budi.³ Dalam hal ini, kebahagiaan tidak hanya berarti kesenangan fisik atau emosional, melainkan realisasi penuh potensi diri seseorang sebagai manusia.

2.2.       Perkembangan Awal dalam Filsafat Yunani

Konsep Eudaimonia berkembang seiring munculnya pemikiran etis dalam filsafat Yunani Kuno. Socrates, Plato, dan Aristoteles memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman mendalam tentang kebahagiaan dan tujuan hidup manusia.⁴

·                     Socrates (470–399 SM), sebagai salah satu pionir dalam pemikiran etis, menekankan bahwa kebahagiaan sejati (Eudaimonia) hanya dapat dicapai melalui kebajikan (arete) dan kehidupan yang diperiksa (the examined life).⁵ Menurut Socrates, kebahagiaan tidak bergantung pada kekayaan atau kesenangan material, melainkan pada pemahaman diri dan pengembangan karakter moral yang baik.

·                     Plato (427–347 SM), murid Socrates, memperluas gagasan ini dalam karyanya seperti The Republic. Plato menekankan bahwa Eudaimonia adalah keadaan ketika jiwa manusia mencapai harmoni antara tiga bagiannya: rasional (logistikon), emosional (thymoeides), dan keinginan (epithymetikon).⁶ Menurutnya, kebahagiaan dapat diraih jika akal (rasionalitas) memimpin jiwa dan mengatur emosi serta keinginan sehingga tercipta harmoni internal.⁷

·                     Aristoteles (384–322 SM), murid Plato, mengembangkan gagasan Eudaimonia secara sistematis dalam Nicomachean Ethics. Aristoteles menyatakan bahwa Eudaimonia adalah tujuan akhir (telos) dari kehidupan manusia, yang dicapai melalui aktivitas rasional sesuai dengan keutamaan moral dan intelektual.⁸ Berbeda dengan Plato yang menekankan harmoni jiwa, Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui tindakan nyata yang selaras dengan keutamaan.⁹

2.3.       Signifikansi Konsep Eudaimonia dalam Pemikiran Etis

Konsep Eudaimonia menjadi landasan penting dalam etika Yunani Kuno karena menawarkan perspektif holistik tentang kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari kehidupan manusia. Filsuf-filsuf Yunani berpendapat bahwa manusia sebagai makhluk rasional memiliki kewajiban untuk mengaktualisasikan potensinya melalui tindakan-tindakan yang bermoral dan rasional.⁹ Dalam hal ini, kebahagiaan tidak dilihat sebagai hasil dari pemenuhan hasrat atau keinginan instan, melainkan sebagai hasil dari kehidupan yang baik dan bermakna.

Pandangan ini berlawanan dengan pandangan Hedonisme, yang menekankan bahwa kebahagiaan bersumber dari kesenangan inderawi. Dalam pemikiran Aristoteles, kebahagiaan lebih kompleks dan melibatkan keseimbangan antara kehidupan praktis (praktike) dan kontemplatif (theoria).¹⁰ Dengan demikian, konsep Eudaimonia memberikan kerangka etis yang mendalam untuk memahami kebahagiaan sebagai pencapaian kualitas hidup tertinggi.


Catatan Kaki

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 45.

[2]                John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2012), hlm. 28.

[3]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 122.

[4]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), hlm. 72.

[5]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), hlm. 200.

[6]                Plato, The Republic, diterjemahkan oleh Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), hlm. 130–135.

[7]                Ibid., hlm. 142.

[8]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 109.

[9]                C. D. C. Reeve, Action, Contemplation, and Happiness: An Essay on Aristotle (Cambridge: Harvard University Press, 2012), hlm. 56.

[10]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 23.


3.           Pemikiran Aristoteles tentang Eudaimonia

3.1.       Definisi Menurut Aristoteles

Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles mendefinisikan Eudaimonia sebagai tujuan akhir (telos) dari kehidupan manusia. Menurut Aristoteles, setiap tindakan manusia memiliki tujuan tertentu, namun di antara berbagai tujuan tersebut, terdapat satu tujuan tertinggi yang menjadi akhir dari segala upaya manusia, yakni kebahagiaan sejati atau Eudaimonia.¹ Kebahagiaan dalam konteks ini tidak hanya sekadar perasaan senang atau puas, melainkan keadaan ketika seseorang mengaktualisasikan potensi terbaiknya sesuai dengan keutamaan (virtue) dan rasionalitas

Aristoteles menegaskan bahwa Eudaimonia bukanlah hadiah atau keberuntungan, melainkan sesuatu yang dicapai melalui aktivitas yang bermakna dan berlandaskan keutamaan.³ Dengan demikian, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan aktif dan merupakan hasil dari usaha sadar manusia untuk hidup sesuai dengan keutamaan.

3.2.       Hubungan dengan Arete (Keutamaan)

Bagi Aristoteles, keutamaan (arete) memegang peran kunci dalam pencapaian Eudaimonia. Keutamaan ini dibagi menjadi dua jenis utama:

1)                  Keutamaan Moral (ethike arete):

Keutamaan yang berkaitan dengan perilaku moral, seperti keberanian, keadilan, pengendalian diri, dan kedermawanan.⁴ Keutamaan ini diperoleh melalui pembiasaan (habitus) dan latihan berulang. Seseorang tidak akan menjadi baik hanya dengan mengetahui apa itu keutamaan, tetapi melalui tindakan nyata yang konsisten.⁵

2)                  Keutamaan Intelektual (dianoetike arete):

Keutamaan yang berkaitan dengan akal budi manusia, seperti kebijaksanaan (sophia) dan kecerdasan praktis (phronesis).⁶ Keutamaan ini dikembangkan melalui pembelajaran dan refleksi mendalam.

Menurut Aristoteles, kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kombinasi kedua keutamaan ini, dengan akal budi manusia berperan sebagai pemandu dalam setiap tindakan moral.⁷

3.3.       Prinsip Jalan Tengah (The Golden Mean)

Salah satu konsep penting dalam pemikiran Aristoteles tentang Eudaimonia adalah prinsip jalan tengah atau Golden Mean (mesotes).⁸ Aristoteles menyatakan bahwa keutamaan moral terletak di antara dua ekstrem, yaitu kelebihan (excess) dan kekurangan (deficiency). Misalnya:

·                     Keberanian adalah keutamaan yang berada di tengah-tengah antara pengecut (kekurangan) dan nekad (kelebihan).

·                     Kedermawanan adalah keutamaan yang berada di antara kekikiran (kekurangan) dan pemborosan (kelebihan).⁹

Prinsip ini menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak dapat dicapai melalui tindakan yang berlebihan atau kekurangan, tetapi melalui keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan. Kebiasaan untuk menemukan jalan tengah dalam tindakan sehari-hari menjadi kunci untuk menjalani hidup yang bermoral dan mencapai Eudaimonia.

3.4.       Aktivitas Rasional dan Kebahagiaan

Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki akal budi (zoon logon echon), dan kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam aktivitas rasional yang dilakukan sesuai dengan keutamaan.¹⁰ Aktivitas ini mencerminkan esensi manusia sebagai makhluk rasional, yang membedakannya dari makhluk lain.

Menurut Aristoteles, terdapat dua jenis aktivitas yang dapat membawa manusia menuju Eudaimonia:

1)                  Aktivitas Praktis (praxis): Aktivitas yang melibatkan tindakan moral dan hubungan sosial. Kebahagiaan dapat dicapai melalui perilaku etis yang selaras dengan keutamaan moral.

2)                  Aktivitas Kontemplatif (theoria): Aktivitas intelektual yang melibatkan pemikiran mendalam dan refleksi tentang kebenaran.¹¹ Aristoteles menganggap theoria sebagai bentuk aktivitas tertinggi karena melibatkan penggunaan akal budi dalam bentuk yang paling murni.

3.5.       Kritik dan Penafsiran Modern terhadap Pemikiran Aristoteles

Meskipun pemikiran Aristoteles tentang Eudaimonia sangat berpengaruh, para pemikir modern memberikan sejumlah kritik dan interpretasi terhadap konsep ini. Kritik utama adalah bahwa kebahagiaan menurut Aristoteles terlalu bersifat elit dan teoretis, sehingga tidak mudah diterapkan dalam kehidupan semua orang.¹² Selain itu, pemikiran tentang Eudaimonia dianggap kurang memperhitungkan aspek emosional dan kebahagiaan subjektif.

Namun, dalam konteks modern, gagasan Aristoteles tentang keutamaan dan aktivitas rasional kembali mendapat perhatian melalui psikologi positif. Tokoh seperti Martin Seligman mengembangkan konsep well-being yang menekankan pentingnya aktualisasi potensi manusia, selaras dengan pemikiran Aristoteles tentang kebahagiaan sebagai kehidupan yang bermakna dan produktif.¹³


Catatan Kaki

[1]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 1-3.

[2]                C. D. C. Reeve, Action, Contemplation, and Happiness: An Essay on Aristotle (Cambridge: Harvard University Press, 2012), hlm. 18.

[3]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 45.

[4]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 23.

[5]                Ibid., hlm. 25.

[6]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), hlm. 72.

[7]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 123.

[8]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, hlm. 110.

[9]                J. L. Ackrill, Aristotle the Philosopher (Oxford: Oxford University Press, 1981), hlm. 95.

[10]             Christopher Shields, Aristotle (London: Routledge, 2007), hlm. 202.

[11]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), hlm. 318.

[12]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), hlm. 157.

[13]             Martin Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011), hlm. 23.


4.           Eudaimonia dalam Filsafat Stoikisme

4.1.       Pandangan Stoik tentang Kebahagiaan

Dalam tradisi filsafat Stoikisme, Eudaimonia didefinisikan sebagai kehidupan yang selaras dengan alam (kata phusin) dan dicapai melalui kebajikan (virtue) serta penguasaan diri.¹ Filsafat Stoik menekankan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada faktor-faktor eksternal seperti kekayaan, status sosial, atau kesenangan material, tetapi pada penguasaan terhadap pikiran, emosi, dan perilaku seseorang.

Kaum Stoik percaya bahwa kebahagiaan adalah kondisi batin yang stabil, bebas dari gangguan emosi negatif, yang disebut apatheia (ketenangan jiwa).² Dengan mencapai apatheia, individu mampu menghadapi segala situasi kehidupan —baik kesenangan maupun penderitaan— dengan sikap tenang dan rasional. Hal ini selaras dengan prinsip bahwa manusia tidak memiliki kendali atas peristiwa eksternal, tetapi memiliki kendali penuh atas respons batinnya.

Filsuf Stoik seperti Zeno dari Citium (pendiri Stoikisme), Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius menyatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai jika seseorang hidup sesuai dengan keutamaan moral dan rasionalitas.³ Bagi mereka, hidup berkeutamaan adalah satu-satunya jalan menuju Eudaimonia.

4.2.       Prinsip Kunci Stoikisme tentang Eudaimonia

4.2.1.    Hidup Selaras dengan Alam (kata phusin)

Konsep hidup selaras dengan alam berarti hidup sesuai dengan akal budi (logos) yang ada dalam diri manusia dan alam semesta. Filsafat Stoik memandang alam sebagai tatanan yang rasional dan harmonis. Manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki kewajiban untuk menyesuaikan hidupnya dengan hukum alam tersebut.⁴ Dalam pandangan ini, kebahagiaan dicapai ketika individu bertindak sesuai dengan keutamaan dan memahami tempatnya dalam tatanan kosmis.

4.2.2.    Pentingnya Kebajikan (Virtue)

Bagi kaum Stoik, kebajikan adalah satu-satunya kebaikan yang sejati, sedangkan hal-hal lain seperti kekayaan, kesehatan, atau reputasi hanyalah hal yang "indiferens" (adiaphora).⁵ Virtue Stoik mencakup empat kebajikan utama:

·                     Kebijaksanaan (sophia): Kemampuan memahami dunia secara rasional dan mengambil keputusan yang bijak.

·                     Keberanian (andreia): Keteguhan dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan.

·                     Pengendalian Diri (sophrosyne): Kemampuan mengendalikan emosi dan hasrat.

·                     Keadilan (dikaiosyne): Bertindak adil terhadap diri sendiri dan orang lain.⁶

Epictetus, dalam Enchiridion, menyatakan bahwa kebahagiaan tergantung pada kebajikan moral, yang diperoleh dengan melatih akal budi untuk menilai apa yang berada di bawah kendali manusia dan apa yang tidak.⁷

4.2.3.    Mengatasi Emosi Melalui Apatheia

Konsep apatheia bukan berarti penghapusan emosi secara total, tetapi mencapai keadaan di mana emosi tidak lagi mengganggu kebijaksanaan dan tindakan moral.⁸ Seneca berpendapat bahwa penderitaan berasal dari penilaian yang salah terhadap peristiwa eksternal. Dengan memahami bahwa hal-hal eksternal tidak memiliki kekuasaan atas jiwa, individu dapat meraih ketenangan batin dan kebahagiaan.

4.2.4.    Penerimaan Takdir (Amor Fati)

Kaum Stoik mengajarkan penerimaan terhadap takdir sebagai bagian dari tatanan alam. Marcus Aurelius dalam Meditations menekankan pentingnya menerima segala peristiwa kehidupan dengan lapang dada dan menjadikannya sebagai bagian dari pembelajaran moral.⁹

4.3.       Perbandingan Eudaimonia dalam Stoikisme dan Aristotelianisme

Meskipun baik Aristoteles maupun kaum Stoik mendefinisikan Eudaimonia sebagai kehidupan yang berlandaskan keutamaan, terdapat perbedaan mendasar dalam pemikiran mereka:

·                     Aristoteles menekankan pentingnya aspek eksternal seperti pertemanan, kesehatan, dan keberuntungan untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna.¹⁰

·                     Stoikisme, sebaliknya, menyatakan bahwa kebahagiaan sepenuhnya bergantung pada kebajikan moral dan penguasaan diri, tanpa bergantung pada faktor eksternal apa pun.¹¹

Dengan demikian, kaum Stoik memiliki pendekatan yang lebih internal dan universalis terhadap kebahagiaan, yang dapat dicapai oleh siapa saja tanpa memandang kondisi eksternal mereka.

4.4.       Tokoh-Tokoh Utama dalam Stoikisme dan Pemikiran Mereka tentang Eudaimonia

4.4.1.    Epictetus

Dalam Enchiridion, Epictetus menekankan bahwa kebahagiaan tergantung pada kendali diri dan pemahaman tentang apa yang dapat dikendalikan manusia (pikiran dan tindakan) serta apa yang tidak dapat dikendalikan (peristiwa eksternal).¹²

4.4.2.    Seneca

Dalam karyanya On the Shortness of Life, Seneca menekankan bahwa kebahagiaan terletak pada hidup yang bermakna dan bebas dari perbudakan terhadap keinginan material.¹³

4.4.3.    Marcus Aurelius

Dalam Meditations, Marcus Aurelius menekankan penerimaan terhadap takdir dan pentingnya hidup sesuai dengan kebajikan serta keharmonisan alam semesta.¹⁴


Catatan Kaki

[1]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 2002), hlm. 23.

[2]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Oxford University Press, 1985), hlm. 50.

[3]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), hlm. 41.

[4]                John Sellars, Stoicism (London: Routledge, 2006), hlm. 34.

[5]                Anthony A. Long & David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), hlm. 366.

[6]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism, hlm. 58.

[7]                Epictetus, The Enchiridion, diterjemahkan oleh George Long (New York: Dover Publications, 2004), hlm. 5-7.

[8]                Seneca, On the Shortness of Life, diterjemahkan oleh C.D.N. Costa (New York: Penguin Books, 2005), hlm. 50.

[9]                Marcus Aurelius, Meditations, diterjemahkan oleh Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), hlm. 78.

[10]             Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), hlm. 120.

[11]             A. A. Long, Stoic Studies, hlm. 45.

[12]             Epictetus, The Enchiridion, hlm. 3.

[13]             Seneca, On the Shortness of Life, hlm. 12.

[14]             Marcus Aurelius, Meditations, hlm. 25.


5.           Perbandingan dengan Konsep Kebahagiaan Lainnya

Konsep Eudaimonia dalam pemikiran Yunani Kuno, khususnya Aristoteles dan Stoikisme, memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan konsep kebahagiaan lainnya yang muncul dari tradisi pemikiran berbeda, seperti Hedonisme, Utilitarianisme, dan kebahagiaan dalam perspektif religius. Berikut adalah perbandingan komprehensif antara konsep Eudaimonia dengan beberapa pemikiran kebahagiaan lainnya:

5.1.       Perbandingan dengan Hedonisme

Hedonisme adalah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa kesenangan (pleasure) adalah kebaikan tertinggi dan tujuan hidup manusia.¹ Pandangan ini muncul dalam pemikiran filsuf Yunani seperti Aristippos dari Kirene dan kemudian dikembangkan lebih sistematis oleh Epikuros. Bagi kaum Hedonis, kebahagiaan adalah akumulasi kesenangan dan penghindaran penderitaan.

·                     Fokus pada Kenikmatan Fisik: Hedonisme cenderung berorientasi pada kebahagiaan material dan kenikmatan fisik, meskipun Epikuros menyatakan bahwa kenikmatan yang tertinggi adalah ketenangan batin (ataraxia).²

·                     Perbedaan dengan Eudaimonia: Berbeda dengan Eudaimonia, yang menekankan keutamaan moral dan rasionalitas, Hedonisme melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang lebih bersifat subjektif dan instan.³ Aristoteles mengkritik pandangan ini sebagai pandangan yang “dangkal” karena tidak mempertimbangkan potensi penuh manusia sebagai makhluk rasional.⁴

Contoh: Bagi Aristoteles, seseorang yang hidup hanya untuk mengejar kesenangan fisik tidak dapat mencapai Eudaimonia karena kehidupan tersebut mengabaikan keutamaan moral yang menjadi esensi kebahagiaan sejati.

5.2.       Perbandingan dengan Utilitarianisme

Utilitarianisme, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi adalah kesejahteraan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.⁵ Kebahagiaan diukur berdasarkan manfaat (utility) yang dihasilkan dari suatu tindakan, di mana kebahagiaan diartikan sebagai kenikmatan (pleasure) dan ketiadaan penderitaan.⁶

·                     Orientasi Kolektif: Berbeda dengan Eudaimonia yang menekankan aktualisasi potensi individu, Utilitarianisme berfokus pada kebahagiaan kolektif.

·                     Kualitas Kebahagiaan: John Stuart Mill membedakan antara “kenikmatan tinggi” (intellectual pleasures) dan “kenikmatan rendah” (physical pleasures), yang lebih mendekati gagasan Aristoteles tentang aktivitas rasional sebagai kebahagiaan tertinggi.⁷

·                     Kritik terhadap Utilitarianisme: Aristoteles mungkin akan mengkritik pendekatan Utilitarianisme yang bersifat kuantitatif, sementara Eudaimonia lebih bersifat kualitatif dan berfokus pada tindakan yang selaras dengan keutamaan moral individu.⁸

Contoh: Dalam konteks etika modern, seorang pemimpin yang membuat keputusan demi kesejahteraan mayoritas mungkin bertindak utilitarian, tetapi bagi Aristoteles, keputusan tersebut baru dianggap baik jika selaras dengan keutamaan dan moralitas yang benar.

5.3.       Perbandingan dengan Konsep Kebahagiaan dalam Agama

Dalam berbagai tradisi agama, kebahagiaan sering dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan serta pemenuhan tujuan spiritual. Misalnya:

5.3.1.    Kebahagiaan dalam Islam

Konsep kebahagiaan dalam Islam melibatkan dua dimensi: kebahagiaan duniawi (sa’adah dunya) dan kebahagiaan ukhrawi (sa’adah akhirah). Kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui ketaatan kepada Allah, akhlak yang mulia, dan pencarian makna hidup yang selaras dengan tujuan penciptaan manusia.⁹ Dalam Al-Qur'an, kebahagiaan tidak diukur dari kenikmatan fisik semata, melainkan dari ketenangan hati yang datang melalui dzikrullah (mengingat Allah).¹⁰

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar-Ra’d [43] ayat 28).

5.3.2.    Kebahagiaan dalam Kristen

Dalam teologi Kristen, kebahagiaan tertinggi (beatitudo) adalah persatuan dengan Tuhan dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya.¹¹ Santo Agustinus menyatakan bahwa “Hati manusia tidak akan pernah tenang kecuali beristirahat di dalam Tuhan.” ¹² Perspektif ini menekankan bahwa kebahagiaan bersifat spiritual dan transendental.

5.3.3.    Perbedaan dengan Eudaimonia

Berbeda dengan konsep kebahagiaan religius yang seringkali berfokus pada aspek transendental dan kehidupan setelah mati, Eudaimonia dalam filsafat Yunani berfokus pada kehidupan di dunia ini melalui pengembangan keutamaan moral dan intelektual. Namun, terdapat titik temu dalam konsep keutamaan (virtue) sebagai jalan menuju kebahagiaan.

5.4.       Perbandingan dengan Kebahagiaan Modern (Psikologi Positif)

Dalam psikologi modern, konsep kebahagiaan dikembangkan lebih lanjut oleh para psikolog seperti Martin Seligman melalui pendekatan psikologi positif. Kebahagiaan dalam psikologi positif tidak hanya berfokus pada kenikmatan emosional tetapi juga mencakup:

·                     Keterlibatan (engagement) dalam aktivitas bermakna.

·                     Makna hidup (meaning) melalui aktualisasi potensi diri.¹³

Konsep ini memiliki kesamaan dengan Eudaimonia Aristoteles karena keduanya menekankan kualitas hidup yang diperoleh melalui aktivitas bermakna dan pengembangan potensi terbaik manusia. Namun, psikologi positif lebih menekankan pada pendekatan ilmiah dan empiris dalam memahami kebahagiaan.


Kesimpulan Perbandingan

Konsep Eudaimonia memiliki perbedaan mendasar dengan kebahagiaan dalam Hedonisme, Utilitarianisme, tradisi agama, dan pemikiran modern. Aristoteles dan Stoikisme menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui keutamaan moral dan rasionalitas, sedangkan pendekatan lain cenderung berfokus pada kenikmatan, manfaat kolektif, atau aspek transendental. Meski demikian, pemikiran Eudaimonia tetap relevan hingga saat ini sebagai panduan untuk hidup yang bermakna dan bermoral.


Catatan Kaki

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 44.

[2]                Epicurus, The Art of Happiness, diterjemahkan oleh George K. Strodach (New York: Penguin Books, 2012), hlm. 12.

[3]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 130.

[4]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), hlm. 109.

[5]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), hlm. 14.

[6]                John Stuart Mill, Utilitarianism, diterjemahkan oleh Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 57.

[7]                Ibid., hlm. 45.

[8]                Julia Annas, The Morality of Happiness, hlm. 58.

[9]                Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 234.

[10]             Al-Qur’an, QS. Ar-Ra’d: 28.

[11]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, diterjemahkan oleh Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), hlm. 88.

[12]             Santo Agustinus, Confessions, diterjemahkan oleh Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 30.

[13]             Martin Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011), hlm. 18.


6.           Relevansi Eudaimonia dalam Kehidupan Kontemporer

Konsep Eudaimonia yang berasal dari pemikiran filsafat Yunani Kuno tetap memiliki relevansi yang signifikan dalam konteks kehidupan kontemporer. Di tengah perkembangan modern yang sering kali berfokus pada pencapaian material, kebahagiaan instan, dan kepuasan emosional jangka pendek, gagasan Eudaimonia menawarkan pendekatan holistik tentang kebahagiaan melalui aktualisasi potensi diri, kehidupan bermakna, dan keutamaan moral.

6.1.       Eudaimonia dalam Etika Pribadi dan Pengembangan Karakter

Dalam kehidupan modern, konsep Eudaimonia mendorong individu untuk mencapai kebahagiaan sejati melalui pengembangan karakter moral dan kualitas pribadi.¹ Prinsip ini terlihat dalam praktik-praktik berikut:

·                     Pentingnya Keutamaan Moral:

Nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, dan integritas tetap menjadi fondasi penting dalam kehidupan pribadi dan profesional.² Pendidikan karakter di berbagai lembaga pendidikan modern sering kali berakar pada gagasan ini, di mana kebahagiaan tidak hanya diukur dari kesuksesan material, tetapi juga dari kualitas hidup yang bermoral.

·                     Aktualisasi Diri:

Psikolog humanis Abraham Maslow mengemukakan teori hierarki kebutuhan, di mana aktualisasi diri —sebagai puncak dari kebutuhan manusia— mencerminkan gagasan Aristoteles tentang Eudaimonia.³ Aktualisasi diri mengacu pada pengembangan potensi terbaik individu dan keterlibatan dalam aktivitas yang bermakna.

Contoh: Individu yang mengabdikan dirinya dalam profesi seperti pendidik, tenaga kesehatan, atau relawan sering kali mencapai kepuasan hidup yang mendalam melalui tindakan yang bermanfaat bagi orang lain.

6.2.       Relevansi Eudaimonia dalam Psikologi Positif

Dalam perkembangan psikologi positif, konsep kebahagiaan tidak lagi dipandang semata sebagai emosi yang menyenangkan, melainkan sebagai kesejahteraan hidup yang utuh. Martin Seligman, salah satu pelopor psikologi positif, memperkenalkan model PERMA sebagai pendekatan ilmiah untuk mencapai kebahagiaan:

·                     Positive Emotions: Emosi positif yang menambah kualitas hidup.

·                     Engagement: Keterlibatan dalam aktivitas yang sesuai dengan kekuatan dan minat pribadi.

·                     Relationships: Hubungan yang sehat dan bermakna dengan orang lain.

·                     Meaning: Menemukan makna dalam hidup dan tindakan yang dilakukan.

·                     Accomplishment: Mencapai tujuan yang signifikan melalui usaha yang konsisten.⁴

Gagasan ini sejalan dengan Eudaimonia, di mana kebahagiaan sejati dicapai melalui aktivitas yang bermakna dan pengembangan keutamaan. Psikologi positif memberikan kerangka ilmiah untuk mempraktikkan konsep Eudaimonia dalam kehidupan sehari-hari.

6.3.       Eudaimonia dalam Kehidupan Profesional dan Kepemimpinan

Dalam dunia kerja modern, gagasan Eudaimonia memiliki implikasi penting dalam pengembangan kepemimpinan etis dan budaya organisasi:

·                     Kepemimpinan Berbasis Keutamaan:

Pemimpin yang berlandaskan keutamaan moral, seperti kebijaksanaan, keberanian, dan keadilan, cenderung menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan harmonis.⁵ Kepemimpinan etis tidak hanya berfokus pada pencapaian target material, tetapi juga membangun kepercayaan dan integritas di antara anggota tim.

·                     Kepuasan Kerja dan Makna Hidup:

Banyak studi menunjukkan bahwa individu yang menemukan makna dalam pekerjaan mereka memiliki tingkat kepuasan dan kesejahteraan hidup yang lebih tinggi. Hal ini mencerminkan gagasan Aristoteles bahwa Eudaimonia dicapai melalui keterlibatan aktif dalam aktivitas yang sesuai dengan keutamaan.⁶

Contoh: Perusahaan yang menerapkan corporate social responsibility (CSR) dan fokus pada kesejahteraan karyawan sering kali menciptakan budaya kerja yang lebih sehat dan bermakna.

6.4.       Eudaimonia dan Tantangan Kehidupan Kontemporer

Dalam dunia modern yang penuh dengan tantangan seperti kesenjangan sosial, kecemasan mental, dan konsumtivisme, konsep Eudaimonia dapat menjadi solusi untuk menemukan kebahagiaan sejati:

·                     Mengatasi Hedonisme Konsumtif:

Masyarakat modern cenderung mengejar kepuasan material dan emosional yang bersifat sementara.⁷ Konsep Eudaimonia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dicapai melalui pengembangan diri yang berkelanjutan dan tindakan moral yang bermakna.

·                     Kesehatan Mental dan Ketenangan Jiwa:

Prinsip Stoik tentang apatheia dan penerimaan terhadap apa yang di luar kendali dapat membantu mengatasi kecemasan dan stres yang kerap muncul di era digital.⁸

·                     Kehidupan Berkelanjutan:

Konsep hidup selaras dengan alam (kata phusin) dalam Stoikisme memiliki relevansi dengan upaya modern untuk mencapai keberlanjutan lingkungan dan gaya hidup sederhana.

6.5.       Eudaimonia sebagai Jalan Menuju Kehidupan Bermakna

Secara keseluruhan, Eudaimonia menawarkan panduan etis dan filosofis untuk mencapai kehidupan bermakna dan berkualitas. Melalui aktualisasi potensi diri, pengembangan keutamaan moral, dan keterlibatan dalam aktivitas yang bermakna, individu dapat menemukan kebahagiaan yang lebih stabil dan mendalam dibandingkan sekadar mengejar kesenangan material.


Kesimpulan

Dalam kehidupan kontemporer, konsep Eudaimonia tetap relevan sebagai panduan untuk mencapai kebahagiaan sejati di tengah tuntutan zaman modern. Gagasan Aristoteles tentang kebahagiaan sebagai aktualisasi potensi terbaik manusia dan pandangan Stoik tentang kehidupan selaras dengan alam dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pengembangan karakter, kepemimpinan etis, dan kesehatan mental.


Catatan Kaki

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 85.

[2]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 29.

[3]                Abraham Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row, 1954), hlm. 153.

[4]                Martin Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011), hlm. 25.

[5]                John C. Maxwell, Developing the Leader Within You (Nashville: Thomas Nelson, 2018), hlm. 112.

[6]                Mihaly Csikszentmihalyi, Flow: The Psychology of Optimal Experience (New York: Harper Perennial, 2008), hlm. 41.

[7]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 120.

[8]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), hlm. 58.


7.           Kritik terhadap Konsep Eudaimonia

Konsep Eudaimonia sebagai kebahagiaan sejati dalam pemikiran Yunani Kuno, khususnya Aristoteles, telah menginspirasi banyak pemikir sepanjang sejarah. Namun, gagasan ini tidak luput dari kritik. Kritik terhadap Eudaimonia datang dari berbagai perspektif, termasuk filsafat modern, etika kontemporer, dan pemikiran eksistensialis. Kritik ini berfokus pada aspek elitisme, universalitas, dan keterbatasan praktis dari konsep tersebut.

7.1.       Kritik Elitisme dalam Konsep Eudaimonia

Salah satu kritik utama terhadap Eudaimonia adalah sifatnya yang dianggap elitis. Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui aktivitas rasional dan pengembangan keutamaan moral. Namun, dalam praktiknya, konsep ini tampaknya hanya berlaku bagi individu yang memiliki waktu, sumber daya, dan pendidikan yang memadai.¹

·                     Akses Terbatas:

Kebahagiaan versi Aristoteles lebih mudah dicapai oleh individu yang berasal dari kelas atas, yang memiliki waktu luang untuk kontemplasi dan pengembangan intelektual.² Hal ini membuat konsep Eudaimonia sulit dicapai oleh mereka yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan sosial.

·                     Kritik dari Tradisi Marxist:

Pemikir seperti Karl Marx mengkritik filsafat Yunani karena cenderung mengabaikan struktur sosial dan ekonomi yang mendasari ketidakadilan.³ Marx berpendapat bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai jika ketimpangan ekonomi dan eksploitasi masih terjadi.

Contoh: Seorang pekerja kasar yang sibuk memenuhi kebutuhan dasar tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas kontemplatif yang dianggap oleh Aristoteles sebagai esensi kebahagiaan.

7.2.       Kritik Universalitas: Apakah Eudaimonia Berlaku untuk Semua Orang?

Aristoteles mendefinisikan Eudaimonia sebagai kebahagiaan yang dicapai melalui keutamaan moral dan rasionalitas, namun konsep ini dinilai tidak universal karena mengabaikan kebudayaan dan subjektivitas individu:

·                     Relativisme Budaya:

Kritik dari pemikiran modern, terutama etika relativisme, menyatakan bahwa gagasan kebahagiaan tidak bisa dianggap universal karena sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan nilai-nilai lokal.⁴ Konsep kebahagiaan dalam masyarakat Timur, misalnya, seringkali lebih berorientasi pada harmoni kolektif daripada pencapaian pribadi.

·                     Subjektivitas Kebahagiaan:

Para filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche menekankan bahwa kebahagiaan bersifat subjektif dan bergantung pada pilihan individu.⁵ Mereka mengkritik Eudaimonia yang terlalu menekankan pada satu pandangan “objektif” tentang kebahagiaan, seolah-olah ada satu jalan yang benar untuk semua orang.

Sartre berpendapat bahwa individu bebas mendefinisikan makna hidupnya sendiri, sementara Aristoteles memberikan standar kebahagiaan yang dianggap terlalu normatif.

7.3.       Keterbatasan Praktis dalam Penerapan Konsep Eudaimonia

Konsep Eudaimonia sering dikritik karena sulit diterapkan dalam konteks kehidupan modern yang penuh tantangan dan kompleksitas:

·                     Kesulitan Aktualisasi Keutamaan Moral:

Dalam dunia kontemporer yang penuh persaingan dan tuntutan material, aktualisasi keutamaan moral sering kali menjadi tantangan. Aktivitas yang “berkeutamaan” tidak selalu dihargai atau menghasilkan keuntungan yang nyata.⁶

·                     Pengabaian terhadap Faktor Eksternal:

Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan bergantung pada keutamaan, namun ia juga mengakui peran faktor eksternal seperti kesehatan, teman, dan kekayaan.⁷ Kritik muncul karena konsep ini gagal memberikan solusi bagi individu yang hidup dalam kemiskinan, penyakit, atau situasi sulit lainnya.

Contoh: Seseorang yang hidup dalam kemiskinan struktural mungkin tidak memiliki kendali atas faktor eksternal, sehingga gagasan Eudaimonia menjadi sulit dicapai.

7.4.       Kritik dari Perspektif Hedonisme dan Utilitarianisme

Konsep Eudaimonia, yang menekankan kebahagiaan sebagai aktualisasi potensi terbaik melalui keutamaan, bertentangan dengan pandangan Hedonisme dan Utilitarianisme:

·                     Hedonisme:

Menurut filsuf Hedonis seperti Epikuros, kebahagiaan adalah hasil dari kenikmatan fisik dan ketenangan batin (ataraxia).⁸ Mereka mengkritik Eudaimonia sebagai sesuatu yang terlalu “berat” dan idealis. Hedonisme menekankan bahwa kebahagiaan dapat diperoleh melalui hal-hal sederhana seperti menghindari rasa sakit dan menikmati kehidupan.

·                     Utilitarianisme:

Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mengkritik gagasan kebahagiaan Aristoteles karena dianggap terlalu individualistis.⁹ Utilitarianisme berfokus pada kesejahteraan kolektif, di mana kebahagiaan diukur dari manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

Perbandingan ini menyoroti bahwa Eudaimonia terlalu menekankan pengembangan individu, sementara kebahagiaan kolektif menjadi fokus utama dalam etika utilitarian.

7.5.       Kritik dari Perspektif Eksistensialisme

Eksistensialis seperti Nietzsche dan Sartre menolak ide kebahagiaan yang “ditentukan sebelumnya” seperti dalam konsep Eudaimonia. Mereka berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan radikal untuk menentukan makna hidupnya sendiri:

·                     Nietzsche mengkritik moralitas tradisional, termasuk etika Aristoteles, sebagai bentuk penjinakan manusia yang membatasi kreativitas dan kebebasan individu.¹⁰

·                     Sartre menekankan bahwa setiap individu bertanggung jawab untuk memberikan makna pada hidupnya.¹¹ Gagasan kebahagiaan yang universal dianggap mengabaikan realitas kebebasan individu.

Sartre berpendapat bahwa makna hidup tidak ditemukan melalui keutamaan yang telah ditentukan, melainkan melalui tindakan bebas yang dipilih individu.


Kesimpulan

Meskipun konsep Eudaimonia memberikan panduan etis tentang kebahagiaan sebagai kehidupan yang berlandaskan keutamaan moral dan rasionalitas, kritik dari perspektif elitisme, universalitas, serta keterbatasan praktis menunjukkan bahwa gagasan ini tidak sempurna. Di tengah perdebatan ini, relevansi Eudaimonia dapat diperkaya dengan mempertimbangkan pluralitas budaya, kebebasan individu, dan realitas kontemporer yang lebih kompleks.


Catatan Kaki

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 89.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), hlm. 120.

[3]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, diterjemahkan oleh Martin Milligan (New York: Dover Publications, 2007), hlm. 45.

[4]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), hlm. 35.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism (New Haven: Yale University Press, 2007), hlm. 22.

[6]                Anthony Kenny, Ancient Philosophy: A New History of Western Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 118.

[7]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 109.

[8]                Epicurus, The Art of Happiness, diterjemahkan oleh George K. Strodach (New York: Penguin Books, 2012), hlm. 15.

[9]                John Stuart Mill, Utilitarianism, diterjemahkan oleh Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 52.

[10]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, diterjemahkan oleh R.J. Hollingdale (London: Penguin Books, 2003), hlm. 120.

[11]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, hlm. 29.


8.           Penutup

Konsep Eudaimonia dalam filsafat Yunani Kuno, terutama melalui pemikiran Aristoteles dan kaum Stoik, menawarkan pandangan holistik dan mendalam tentang kebahagiaan sejati. Berbeda dengan kebahagiaan dalam pemikiran hedonis atau utilitarian yang cenderung bersifat subjektif dan kuantitatif, Eudaimonia menekankan kebahagiaan sebagai aktualisasi potensi terbaik manusia melalui keutamaan moral, intelektual, dan keterlibatan dalam kehidupan yang bermakna.¹

Dalam pemikiran Aristoteles, kebahagiaan sejati adalah tujuan akhir (telos) dari kehidupan manusia. Aktualisasi ini dicapai melalui aktivitas rasional dan praktik keutamaan (arete) yang memungkinkan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk berpikir.² Sementara itu, kaum Stoik menekankan bahwa kebahagiaan terletak pada hidup selaras dengan alam, dengan mencapai ketenangan jiwa (apatheia) dan penguasaan diri dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.³ Kedua pendekatan ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada faktor eksternal, tetapi pada kualitas batin dan moralitas individu.

Dalam konteks kehidupan modern, konsep Eudaimonia tetap relevan sebagai respons terhadap gaya hidup yang cenderung konsumtif dan materialistis. Pemikiran ini memberikan alternatif filosofis yang mendorong manusia untuk mencari kebahagiaan melalui pengembangan diri, moralitas, dan makna hidup. Konsep ini sejalan dengan pendekatan kontemporer seperti psikologi positif yang menekankan well-being dan self-actualization sebagai ukuran kebahagiaan.⁴

Namun, konsep Eudaimonia juga menghadapi berbagai kritik, terutama terkait elitisme, keterbatasan praktis, dan universalitas. Pemikiran Aristoteles dianggap terlalu idealis dan sulit diterapkan dalam realitas kehidupan yang penuh tantangan, terutama bagi individu yang hidup dalam kondisi sosial dan ekonomi yang kurang mendukung.⁵ Kritik dari pemikiran eksistensialis menekankan kebebasan individu untuk mendefinisikan makna hidupnya sendiri, di luar standar kebahagiaan yang ditentukan secara universal.⁶

Meskipun demikian, Eudaimonia tetap menawarkan kerangka etis yang kuat untuk memahami kebahagiaan sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar kesenangan emosional. Gagasan ini mengajarkan pentingnya hidup yang bermoral, rasional, dan produktif, di mana manusia dapat mencapai kesejahteraan sejati melalui usaha untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Dalam dunia yang serba cepat dan pragmatis, Eudaimonia mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati adalah hasil dari kualitas hidup yang berlandaskan keutamaan dan keharmonisan dengan diri sendiri serta lingkungan.

Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai Eudaimonia, individu tidak hanya dapat mencapai kebahagiaan pribadi, tetapi juga berkontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Melalui refleksi mendalam dan tindakan berlandaskan keutamaan, konsep ini menawarkan panduan yang abadi untuk menjalani kehidupan yang bermakna, seimbang, dan berkelanjutan.


Catatan Kaki

[1]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 45.

[2]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 109.

[3]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 2002), hlm. 50.

[4]                Martin Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being (New York: Atria Books, 2011), hlm. 12.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), hlm. 120.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism (New Haven: Yale University Press, 2007), hlm. 29.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford University Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company.

Bentham, J. (1907). An introduction to the principles of morals and legislation. Clarendon Press.

Csikszentmihalyi, M. (2008). Flow: The psychology of optimal experience. Harper Perennial.

Epicurus. (2012). The art of happiness (G. K. Strodach, Trans.). Penguin Books.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Long, A. A. (2002). Stoic studies. University of California Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

Marx, K. (2007). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Dover Publications.

Maslow, A. H. (1954). Motivation and personality. Harper & Row.

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press.

Nietzsche, F. (2003). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. Hodder & Stoughton.

Sartre, J. P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A visionary new understanding of happiness and well-being. Atria Books.

Seneca. (2005). On the shortness of life (C. D. N. Costa, Trans.). Penguin Books.

Sellars, J. (2006). Stoicism. Routledge.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar