Sabtu, 31 Mei 2025

Pemikiran Pyrrho: Asal-Usul, Ajaran, dan Relevansinya dalam Tradisi Filsafat Barat

Pemikiran Pyrrho

Asal-Usul, Ajaran, dan Relevansinya dalam Tradisi Filsafat Barat


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran Pyrrho dari Elis, tokoh kunci dalam sejarah filsafat Yunani Kuno yang dikenal sebagai perintis skeptisisme radikal. Dengan menelaah latar belakang historis, ajaran utama, serta warisan intelektualnya, tulisan ini menyoroti tiga prinsip utama yang menjadi fondasi Pyrrhonisme: ketidaktetapan (adiaphora), penangguhan penilaian (epoché), dan pencapaian ketenangan batin (ataraxia). Melalui pendekatan ini, Pyrrho tidak hanya merumuskan sebuah epistemologi yang menolak klaim kebenaran mutlak, tetapi juga menawarkan suatu etika hidup yang berorientasi pada stabilitas psikologis dan kebebasan dari penderitaan. Artikel ini juga mengkaji pengaruh ajaran Pyrrho terhadap pemikiran Helenistik, skeptisisme modern, dan filsafat ilmu kontemporer, termasuk kontribusinya terhadap diskursus pluralisme, psikologi, dan metode ilmiah. Di tengah krisis epistemologis dan konflik ideologis masa kini, pemikiran Pyrrho tetap relevan sebagai pendekatan intelektual yang mengedepankan kerendahan hati epistemologis, dialog tanpa dogma, dan kedamaian batin dalam menghadapi ketidakpastian.

Kata Kunci: Pyrrho dari Elis, skeptisisme, epoché, ataraxia, filsafat Yunani Kuno, filsafat Hellenistik, epistemologi, etika skeptik, filsafat modern, keraguan radikal.


PEMBAHASAN

Pyrrho dari Elis dan Filsafat Skeptisisme


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat Barat, era pasca-Sokratik ditandai oleh berkembangnya berbagai aliran filsafat yang merespons krisis epistemologis dan etis setelah runtuhnya keyakinan pada rasionalisme dogmatis khas filsafat klasik. Salah satu respons paling radikal terhadap krisis ini muncul dalam bentuk skeptisisme, sebuah pendekatan filsafat yang tidak hanya mempertanyakan validitas pengetahuan manusia, tetapi juga menyoroti keterbatasan indra, akal, dan bahasa dalam memahami realitas. Tokoh utama yang dianggap sebagai pelopor aliran ini adalah Pyrrho dari Elis (±360–270 SM), seorang filsuf Yunani yang hidup pada masa transisi dari filsafat klasik ke periode Hellenistik.

Munculnya skeptisisme Pyrrhonian bukanlah sekadar sebuah alternatif intelektual terhadap dogmatisme, melainkan sebuah bentuk kritik epistemologis yang mendalam terhadap keyakinan akan pengetahuan yang pasti dan dapat diandalkan. Pyrrho mengembangkan ajarannya berdasarkan pengalaman pribadinya, termasuk dalam perjalanannya bersama Alexander Agung ke Timur, yang mempertemukannya dengan berbagai bentuk pemikiran non-Yunani, terutama yang bersifat spiritual dan kontemplatif. Beberapa peneliti bahkan berspekulasi bahwa interaksinya dengan para fakir India atau pemikir Buddhis kuno turut memengaruhi doktrin “ketidaktetapan” dan “ketenangan batin” yang menjadi inti pemikirannya.¹

Filsafat Pyrrho kemudian dikenal luas melalui muridnya, Timon dari Phlius, yang menjadi penyambung lidah ajaran tersebut. Namun, pemikiran Pyrrho sendiri bersifat oral dan tidak meninggalkan karya tulis langsung. Karena itu, pemahaman kita tentang doktrinnya sangat bergantung pada catatan para filsuf lain, terutama melalui karya Diogenes Laertius dan para filsuf skeptik akademik dan Neoplatonis yang mengomentarinya.² Ajaran Pyrrho bersandar pada tiga prinsip utama: ketidaktetapan segala hal (adiaphora), keharusan menangguhkan penilaian (epoché), dan hasil akhir berupa ketenangan jiwa (ataraxia).⁴

Urgensi untuk menelaah kembali pemikiran Pyrrho tidak hanya terletak pada nilai historisnya sebagai pelopor skeptisisme, tetapi juga karena relevansinya dalam berbagai wacana kontemporer—mulai dari debat epistemologi, relativisme budaya, hingga etika publik dalam masyarakat plural. Dalam dunia yang semakin diliputi oleh klaim absolut atas kebenaran, pendekatan skeptik Pyrrhonian mengajarkan kita untuk menunda penghakiman, bersikap rendah hati secara intelektual, dan mengejar ketenangan batin dalam ketidakpastian.⁵ Kajian ini bertujuan untuk menyajikan pemahaman menyeluruh tentang ajaran Pyrrho, latar belakang historisnya, pengaruh intelektualnya, serta relevansinya dalam perkembangan filsafat Barat dari zaman kuno hingga era modern.


Catatan Kaki

[1]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 25–27.

[2]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–108.

[3]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 1–4.

[4]                A.A. Long and D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1:470–480.

[5]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 280–285.


2.           Konteks Historis dan Biografi Intelektual Pyrrho

Pyrrho lahir sekitar tahun 360 SM di kota kecil Elis, wilayah barat laut Peloponnesos, Yunani. Ia hidup pada masa transisi penting dalam sejarah intelektual Yunani, yaitu masa pergeseran dari filsafat klasik yang didominasi oleh pemikiran Plato dan Aristoteles ke fase filsafat Hellenistik yang lebih praktis dan terapeutik dalam orientasinya. Masa hidup Pyrrho juga bersamaan dengan munculnya filsafat Stoik dan Epikurean, yang masing-masing menawarkan pandangan hidup untuk mencapai kebahagiaan dalam dunia yang tidak pasti dan penuh penderitaan.¹

Sumber utama mengenai kehidupan Pyrrho berasal dari karya Diogenes Laertius, yang menyatakan bahwa Pyrrho awalnya mempelajari seni lukis sebelum beralih ke dunia filsafat. Ia disebut pernah menjadi pengikut Anaxarchus, seorang filsuf dari sekolah Demokritos yang terkenal karena ajarannya mengenai relativisme perseptual dan atomisme.² Bersama Anaxarchus, Pyrrho ikut serta dalam ekspedisi militer Alexander Agung ke Asia, sebuah perjalanan yang kelak menjadi titik balik penting dalam evolusi intelektualnya.³

Selama perjalanan tersebut, Pyrrho diduga melakukan kontak langsung dengan para pemikir dan pertapa dari India dan wilayah-wilayah timur lainnya, seperti para Gymnosophist dan Brahmana, yang mengajarkan kehidupan lepas dari penderitaan duniawi melalui pelepasan keterikatan terhadap dunia luar.⁴ Walaupun tidak ada bukti eksplisit yang menunjukkan interaksi sistematik antara Pyrrho dan pemikiran Buddhis, beberapa sarjana kontemporer mengajukan hipotesis tentang pengaruh ajaran Buddhisme awal—khususnya konsep ketidakkekalan (anicca), pelepasan penilaian, dan ketenangan batin—terhadap pemikiran Pyrrhonian.⁵ Argumen ini diperkuat oleh kesamaan struktural antara doktrin “penangguhan penilaian” (epoché) Pyrrho dan sikap “non-attachment” dalam ajaran Buddhis Theravāda.⁶

Setelah kembali ke Yunani, Pyrrho memilih hidup sederhana dan tidak pernah mendirikan sekolah formal. Meski demikian, ia dihormati oleh warga kota Elis dan bahkan dianugerahi status sebagai pendeta serta dibebaskan dari pajak.⁷ Pengetahuan kita tentang ajarannya terutama diturunkan oleh Timon dari Phlius, muridnya yang lebih muda, yang menulis puisi-puisi filosofis (seperti Silloi) yang menggambarkan Pyrrho sebagai seorang bijak yang tidak terikat pada dogma.⁸

Dengan demikian, konteks historis dan biografi intelektual Pyrrho memperlihatkan bahwa filsafat skeptisisme tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi berkembang dalam lanskap filsafat Hellenistik yang semakin menekankan dimensi praktis dan terapeutik dari filsafat. Pengalaman lintas budaya Pyrrho selama kampanye Alexander Agung menjadi elemen kunci dalam pembentukan pandangan radikalnya mengenai keterbatasan pengetahuan dan pentingnya ketenangan batin.


Catatan Kaki

[1]                A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1986), 1–4.

[2]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–62.

[3]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 19–22.

[4]                Charles Kahn, “Did the Greeks Believe in Ataraxia?,” in The Skeptical Tradition, ed. Myles Burnyeat (Berkeley: University of California Press, 1983), 252–254.

[5]                Thomas McEvilley, The Shape of Ancient Thought: Comparative Studies in Greek and Indian Philosophies (New York: Allworth Press, 2002), 417–422.

[6]                Adrian Kuzminski, Pyrrhonism: How the Ancient Greeks Reinvented Buddhism (Lanham: Lexington Books, 2008), 36–47.

[7]                Diogenes Laertius, Lives, 9.66.

[8]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 11–13.


3.           Ajaran Utama Pyrrho: Fondasi Skeptisisme

Ajaran filsafat Pyrrho didasarkan pada bentuk skeptisisme radikal yang mengusulkan bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat sejati segala sesuatu. Skeptisisme ini bukan sekadar strategi retoris atau metode intelektual, melainkan suatu cara hidup yang diarahkan pada pencapaian ketenangan batin (ataraxia) melalui penangguhan penilaian (epoché) dan kesadaran akan ketidaktetapan atau ketidakterhinggaan dalam segala hal (adiaphora).¹ Ajaran Pyrrho tidak dituangkan langsung dalam tulisan pribadinya, tetapi direkonstruksi dari karya-karya muridnya seperti Timon dari Phlius, serta para komentator kemudian seperti Sextus Empiricus dan Diogenes Laertius

3.1.       Segalanya adalah Adiaphora (Ketidaktetapan)

Pyrrho meyakini bahwa objek-objek di dunia tidak memiliki sifat hakiki yang dapat diketahui secara pasti. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu itu “tidak dapat dibedakan” (adiaphora), “tidak stabil” (astathmēta), dan “tidak dapat diputuskan” (anepikrita).³ Karena segala fenomena memiliki sisi kontradiktif dan bisa ditafsirkan secara berbeda-beda, maka tidak ada alasan rasional yang memadai untuk berpihak pada salah satu pandangan atas kenyataan.⁴ Dengan demikian, upaya untuk memperoleh pengetahuan yang pasti akan selalu berakhir pada kebingungan dan pertentangan, bukan pada kepastian.

3.2.       Epoché: Menangguhkan Penilaian

Dari premis pertama ini, Pyrrho menyimpulkan bahwa satu-satunya respons rasional terhadap dunia yang tidak dapat dipastikan adalah penangguhan penilaian (epoché). Ini berarti tidak mengafirmasi maupun menyangkal proposisi mana pun tentang kenyataan. Pyrrho tidak mengatakan bahwa tidak ada yang benar, melainkan bahwa manusia tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui mana yang benar dengan kepastian.⁵ Oleh karena itu, bersikap apatis terhadap perdebatan epistemologis menjadi tindakan yang paling masuk akal, karena tidak ada bukti atau argumen yang secara meyakinkan mengungguli yang lain.

3.3.       Ataraxia: Ketenangan Batin sebagai Tujuan Hidup

Konsekuensi praktis dari penangguhan penilaian adalah tercapainya ataraxia, yakni kondisi ketenangan batin yang bebas dari gangguan emosional.⁶ Bagi Pyrrho, akar penderitaan manusia berasal dari pengharapan, kekhawatiran, dan penilaian subjektif terhadap dunia yang tidak pasti. Dengan melepaskan diri dari tuntutan untuk mengetahui atau memihak pada suatu klaim kebenaran, seseorang dapat mencapai keadaan batin yang stabil dan tenteram.⁷ Dalam hal ini, ajaran Pyrrho memiliki dimensi terapeutik yang khas dalam filsafat Hellenistik: filsafat bukan hanya sebagai aktivitas spekulatif, tetapi sebagai jalan hidup yang menuntun kepada eudaimonia (kebahagiaan sejati).

3.4.       Anti-Dogmatisme dan Polemik terhadap Filsafat Dogmatik

Pyrrho juga menentang pendekatan dogmatis dalam filsafat, terutama yang mengklaim pengetahuan tertentu tentang dunia, seperti dalam sistem filsafat Plato dan Aristoteles.⁸ Ia menyamakan para filsuf dogmatik dengan orang yang buta yang tidak sadar bahwa mereka tersesat. Oleh karena itu, Pyrrho mengajukan gaya hidup skeptis sebagai alternatif terhadap filsafat spekulatif yang mencoba memahami hakikat segala sesuatu namun justru melahirkan lebih banyak konflik dan kekacauan batin.

Ajaran Pyrrho berbeda secara prinsipil dengan skeptisisme akademik yang berkembang kemudian di Akademia Platonik di bawah pimpinan Arkesilaos dan Karneades. Para skeptik akademik menyatakan bahwa pengetahuan tidak mungkin dicapai, sedangkan Pyrrho dan para pengikutnya—yang disebut sebagai Pyrrhonian—tidak membuat klaim semacam itu. Mereka bahkan menangguhkan penilaian terhadap proposisi bahwa pengetahuan itu mustahil.⁹ Ini menunjukkan bahwa Pyrrhonisme adalah bentuk skeptisisme yang lebih konsisten dan radikal.

Dengan demikian, ajaran Pyrrho menghadirkan suatu model berpikir yang menolak klaim pengetahuan mutlak, mendorong kerendahan hati intelektual, dan menawarkan ketenangan batin melalui pelepasan dari tuntutan epistemologis yang tidak mungkin dipenuhi secara meyakinkan.


Catatan Kaki

[1]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45–47.

[2]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–69.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.10–13.

[4]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 20–24.

[5]                A.A. Long and D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1:471–475.

[6]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 287–290.

[7]                Myles Burnyeat, “Can the Skeptic Live His Skepticism?,” in The Skeptical Tradition, ed. Myles Burnyeat (Berkeley: University of California Press, 1983), 117–118.

[8]                Long, Hellenistic Philosophy, 12–13.

[9]                Bett, Pyrrho, 59–61.


4.           Epistemologi Pyrrhonis: Pengetahuan, Indra, dan Rasionalitas

Epistemologi Pyrrhonian berangkat dari keraguan radikal terhadap kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan yang pasti mengenai dunia luar. Pyrrho dan para pengikutnya meyakini bahwa baik indra maupun rasio tidak dapat diandalkan sebagai alat yang valid untuk menjangkau kebenaran objektif. Dalam kerangka ini, skeptisisme Pyrrhonian tidak hanya merupakan kritik terhadap metode-metode kognitif yang umum digunakan dalam filsafat Yunani Kuno, tetapi juga sebuah penolakan sistematis terhadap seluruh proyek epistemologis yang berorientasi pada fondasi kebenaran yang stabil dan universal.

4.1.       Kritik terhadap Indra sebagai Sumber Pengetahuan

Pyrrho melihat bahwa persepsi indrawi bersifat subjektif, tidak konsisten, dan rentan terhadap ilusi. Ia menunjukkan bahwa apa yang tampak bagi satu orang bisa sangat berbeda bagi orang lain, atau bahkan bagi individu yang sama dalam kondisi yang berbeda. Misalnya, madu terasa manis bagi kebanyakan orang, namun terasa pahit bagi orang yang sedang sakit; sehingga, dari sudut pandang skeptisisme, tidak ada alasan yang pasti untuk menerima persepsi yang satu lebih benar daripada yang lain.¹ Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa indra tidak dapat menjadi dasar yang dapat diandalkan untuk membangun pengetahuan yang objektif dan universal.

Sextus Empiricus, salah satu sumber utama ajaran Pyrrhonian, menjelaskan bahwa keraguan terhadap indra tidak muncul dari penyangkalan langsung terhadap validitasnya, melainkan dari pengamatan bahwa pengalaman indrawi selalu bervariasi secara relatif: antara spesies, antara individu, bahkan dalam individu yang sama pada waktu yang berbeda.² Maka, tidak ada cara untuk keluar dari sirkularitas perseptual tanpa mengasumsikan otoritas satu perspektif atas yang lain—dan inilah yang justru ingin dihindari oleh pendekatan skeptis.

4.2.       Rasionalitas dan Ketidakmungkinan Justifikasi Akhir

Selain indra, skeptisisme Pyrrhonian juga mengkritik rasionalitas sebagai sumber pengetahuan. Para Pyrrhonis berpendapat bahwa argumen rasional tidak pernah dapat menghasilkan kepastian, karena setiap premis yang digunakan dalam suatu argumen membutuhkan justifikasi, yang pada gilirannya juga membutuhkan premis lain, dan seterusnya, dalam regresi tak berujung (infinite regress).³ Ini dikenal sebagai problem akrasia epistemologis, di mana tidak ada titik pijak final yang dapat digunakan untuk menghentikan rantai penalaran.

Lebih jauh, Pyrrho dan pengikutnya menolak penetapan kriteria kebenaran (misalnya, koherensi atau korespondensi), karena setiap kriteria semacam itu akan memerlukan validasi dari luar dirinya sendiri, dan karenanya tidak dapat digunakan sebagai dasar non-relatif.⁴ Oleh sebab itu, mereka menyimpulkan bahwa satu-satunya posisi yang koheren secara rasional adalah tidak membuat klaim kognitif apa pun—tidak menyatakan bahwa pengetahuan mungkin, tetapi juga tidak menyatakan bahwa pengetahuan mustahil.

4.3.       Epoché sebagai Respon Epistemologis

Sebagai konsekuensi atas keterbatasan indra dan akal, Pyrrho mengajukan epoché, atau penangguhan penilaian, sebagai sikap epistemologis yang tepat. Ini bukan berarti skeptisisme Pyrrhonian menolak semua pengalaman atau tidak mengakui bahwa fenomena terjadi, melainkan bahwa ia tidak membuat penilaian ontologis terhadap apa yang dialami.⁵ Pyrrhonian tetap hidup sesuai dengan kebiasaan, hukum, dan persepsi sehari-hari, namun tanpa melekatkan klaim kebenaran ontologis pada pengalaman tersebut.⁶

Dalam hal ini, Pyrrhonisme berbeda dari nihilisme epistemologis, karena tidak menyatakan bahwa tidak ada yang benar, melainkan menolak memberikan penghakiman tentang kebenaran. Ini membuat pendekatan mereka unik, karena menangguhkan penilaian bahkan terhadap kemungkinan pengetahuan itu sendiri, menjadikan posisi mereka sebagai bentuk skeptisisme yang konsisten secara internal dan radikal.

4.4.       Konsekuensi terhadap Konsep Pengetahuan

Secara keseluruhan, epistemologi Pyrrhonis mengakibatkan dekonstruksi terhadap semua konsep klasik mengenai pengetahuan, termasuk epistēmē (pengetahuan ilmiah), doxa (opini), dan aletheia (kebenaran). Mereka memperlihatkan bahwa setiap klaim tentang dunia berhadapan dengan pertentangan yang setara kuatnya, sehingga tidak dapat dipastikan mana yang lebih layak dipercaya.⁷ Oleh karena itu, dalam perspektif Pyrrhonian, ketenangan batin lebih penting daripada pengejaran pengetahuan yang penuh kecemasan dan pertentangan.


Catatan Kaki

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–62.

[2]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.14–18.

[3]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 60–62.

[4]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 25–27.

[5]                A.A. Long and D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1:470–473.

[6]                Myles Burnyeat, “The Sceptic in His Place and Time,” in Philosophy in History, eds. Richard Rorty, J.B. Schneewind, and Quentin Skinner (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 235–263.

[7]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 295–298.


5.           Etika dalam Skeptisisme Pyrrhonis

Salah satu aspek yang membedakan Pyrrhonisme dari bentuk skeptisisme lain adalah orientasinya yang sangat praktis dan etis. Bagi Pyrrho dan para pengikutnya, skeptisisme bukan hanya sebuah posisi epistemologis, melainkan juga sebuah cara hidup (bios philosophikos) yang bertujuan mengantar individu pada ketenangan batin (ataraxia). Etika Pyrrhonian tidak dibangun di atas fondasi normatif atau teleologis seperti dalam filsafat Aristoteles, melainkan berakar pada pemahaman mendalam mengenai keterbatasan pengetahuan manusia dan akibat psikologis dari kecenderungan manusia untuk menilai, memihak, dan mengejar kepastian.

5.1.       Ataraxia sebagai Tujuan Etis Tertinggi

Konsep kunci dalam etika Pyrrhonis adalah ataraxia, yang berarti ketenangan batin, kebebasan dari keresahan dan gangguan emosional. Menurut Pyrrho, penderitaan manusia bersumber dari keterikatan emosional terhadap keyakinan-keyakinan yang tidak pasti: kecemasan terhadap masa depan, kemarahan terhadap ketidakadilan, dan harapan berlebihan terhadap kesuksesan atau pengakuan.¹ Dengan menangguhkan penilaian (epoché) terhadap semua klaim tentang apa yang baik dan buruk secara absolut, seseorang dapat melepaskan diri dari kecemasan tersebut dan mencapai keadaan netral emosional yang damai.²

Keadaan ataraxia dalam Pyrrhonisme bukanlah hasil dari pemenuhan keinginan atau perolehan pengetahuan, melainkan dari pelepasan terhadap keharusan untuk memiliki opini pasti tentang dunia.³ Ini menjadikan Pyrrhonisme bukan sekadar bentuk skeptisisme teoritis, tetapi juga sebagai terapi mental, mirip dengan pendekatan Stoik dan Epikurean yang juga menekankan kedamaian batin sebagai tujuan hidup.⁴

5.2.       Sikap Netral terhadap Nilai-Nilai Moral

Dalam kerangka Pyrrhonian, tidak ada nilai moral yang dapat diklaim secara mutlak benar atau salah, baik atau buruk. Nilai-nilai tersebut bersifat relatif terhadap individu, budaya, dan kondisi. Oleh karena itu, Pyrrho tidak mengajarkan etika normatif dalam pengertian konvensional, tetapi justru menganjurkan sikap pasif dan netral terhadap pertimbangan moral, asalkan tindakan-tindakan eksternal tetap sesuai dengan kebiasaan sosial (nomos).⁵

Hal ini bukan berarti Pyrrho menganjurkan amoralitas atau ketidakpedulian terhadap etika, tetapi ia menyarankan agar seseorang bertindak sesuai adat tanpa melekatkan makna moral yang tetap pada tindakan tersebut.⁶ Misalnya, seseorang dapat memenuhi kewajiban sosial dan hukum, tetapi tanpa meyakini bahwa tindakan tersebut secara intrinsik benar atau salah. Dengan cara ini, Pyrrhonisme menghindari konflik batin yang muncul dari klaim-klaim moral yang absolutis.

5.3.       Etika Non-Dogmatis dan Ketaatan terhadap Konvensi

Pyrrhonis menyadari bahwa kehidupan sehari-hari menuntut tindakan. Maka, meskipun mereka menangguhkan penilaian terhadap realitas atau nilai-nilai, mereka tidak menangguhkan tindakan praktis. Mereka hidup sesuai dengan empat pedoman pragmatis, yaitu: (1) panduan dari alam, (2) dorongan naluriah, (3) hukum dan kebiasaan, serta (4) pengajaran seni dan keterampilan.⁷ Dengan mengikuti struktur kehidupan sehari-hari tanpa menyatakan keyakinan epistemologis atau moral, seorang Pyrrhonis dapat menjalani hidup secara fungsional dan damai tanpa terjebak dalam konflik intelektual atau etis.

Etika Pyrrhonis dapat dilihat sebagai bentuk “minimalisme moral”, di mana prioritas bukan pada pencapaian kebajikan yang ideal, tetapi pada pencapaian kondisi batin yang stabil dan bebas dari gejolak.⁸ Dengan demikian, Pyrrhonisme menawarkan alternatif etis terhadap pendekatan-pendekatan dogmatis yang justru kerap menjadi sumber konflik dan penderitaan.

5.4.       Kritik terhadap Etika Tradisional

Etika Pyrrhonian secara implisit merupakan kritik terhadap filsafat moral konvensional, terutama yang berbasis pada rasionalisme normatif seperti dalam etika Plato dan Aristoteles. Pyrrho menolak gagasan bahwa kebahagiaan tergantung pada pencapaian suatu bentuk “kebaikan” objektif, karena hal itu justru membuka jalan bagi spekulasi dan perselisihan tanpa akhir.⁹ Sebaliknya, ketenangan dan kebahagiaan justru dapat dicapai dengan melepaskan diri dari pencarian terhadap kebaikan yang tidak dapat dipastikan keberadaannya.


Catatan Kaki

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–66.

[2]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.25–30.

[3]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 55–58.

[4]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 280–295.

[5]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 29–32.

[6]                A.A. Long and D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1:475–478.

[7]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, I.23.

[8]                Myles Burnyeat, “The Sceptic in His Place and Time,” in Philosophy in History, eds. Richard Rorty, J.B. Schneewind, and Quentin Skinner (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 242–246.

[9]                Bett, Pyrrho, 60–61.


6.           Pengaruh dan Warisan Intelektual

Meskipun Pyrrho tidak meninggalkan karya tulis apa pun, ajaran-ajarannya memiliki pengaruh jangka panjang yang signifikan dalam sejarah filsafat Barat, khususnya dalam pengembangan tradisi skeptisisme. Melalui para muridnya, terutama Timon dari Phlius, dan kemudian melalui para penulis skeptis seperti Sextus Empiricus, pemikiran Pyrrho menjadi fondasi utama bagi apa yang kemudian dikenal sebagai skeptisisme Pyrrhonian. Warisan intelektual Pyrrho tidak hanya terbatas pada periode Helenistik, tetapi juga meninggalkan jejak yang kuat dalam filsafat modern, termasuk dalam karya-karya Michel de Montaigne, David Hume, dan bahkan dalam metodologi ilmiah yang berkembang setelah Renaisans.

6.1.       Penerusan Ajaran melalui Timon dari Phlius

Sumber utama pemikiran Pyrrho berasal dari Timon dari Phlius, seorang penyair dan filsuf yang hidup sezaman dengan Pyrrho dan menjadi murid terdekatnya. Timon menulis dalam bentuk puisi satir seperti Silloi, yang isinya mengejek para filsuf dogmatis dan mengagungkan Pyrrho sebagai satu-satunya bijak yang sejati.¹ Dalam karya-karya ini, Timon menyampaikan ajaran Pyrrho secara sistematis dan menjadi figur kunci dalam formalisasi Pyrrhonisme sebagai mazhab filsafat

6.2.       Sextus Empiricus dan Sistematika Skeptisisme Pyrrhonian

Penerus paling berpengaruh dari tradisi Pyrrhonian adalah Sextus Empiricus (abad ke-2 M), seorang dokter dari mazhab Empiris dan filsuf skeptik yang menyusun pemikiran Pyrrhonian secara lengkap dalam karyanya Outlines of Pyrrhonism dan Against the Mathematicians.³ Dalam karya-karya tersebut, Sextus merumuskan “sepuluh cara” (tropos) skeptisisme dari Aenesidemos dan “lima cara” Agrippa, yang menunjukkan bahwa tidak ada klaim pengetahuan yang bebas dari kontradiksi, circularity, atau ketergantungan pada relativitas.⁴ Melalui Sextus, skeptisisme Pyrrhonian menjadi sistem filsafat yang tidak hanya bersifat kritik, tetapi juga menyediakan metodologi filsafat praktis.

Sextus Empiricus merupakan jembatan utama antara filsafat Helenistik dan dunia modern karena karya-karyanya berhasil bertahan dan ditemukan kembali pada masa Renaisans.⁵ Ia menjadi pintu masuk utama bagi para pemikir modern untuk mengenal dan merefleksikan skeptisisme klasik.

6.3.       Pengaruh terhadap Skeptisisme Modern dan Epistemologi Barat

Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan kemudian ke dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya, karya Sextus Empiricus mulai memberi dampak besar terhadap filsafat modern, terutama pada masa Renaisans dan Abad Pencerahan. Skeptisisme Pyrrhonian memengaruhi tokoh-tokoh seperti Michel de Montaigne, yang dalam Essais-nya secara eksplisit mengutip dan mengadopsi prinsip-prinsip penangguhan penilaian sebagai cara hidup yang bijak.⁶

Skeptisisme Pyrrhonian juga memberikan dorongan epistemologis bagi pemikir seperti René Descartes, yang dalam Meditationes de Prima Philosophia menggunakan metode keraguan radikal untuk menemukan landasan pengetahuan yang tidak dapat diragukan.⁷ Meskipun Descartes berujung pada pemulihan rasionalisme (dengan cogito sebagai titik tolak), metode skeptik yang ia gunakan secara jelas menunjukkan pengaruh dari tradisi Pyrrhonian sebagai alat untuk menyaring keyakinan yang tidak sahih.

Lebih jauh lagi, David Hume, filsuf empiris Skotlandia, menunjukkan skeptisisme mendalam terhadap konsep kausalitas dan pengetahuan induktif. Ia menolak adanya hubungan niscaya antara sebab dan akibat, serta menyatakan bahwa kepercayaan manusia terhadap sebab-akibat hanyalah produk kebiasaan psikologis, bukan hasil dari penalaran rasional.⁸ Kritik Hume terhadap fondasi empirisme dan rasionalisme ini dianggap sebagai salah satu penerapan skeptisisme Pyrrhonian dalam konteks filsafat modern.

6.4.       Resonansi dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodologi Kontemporer

Warisan Pyrrhonian juga terasa dalam epistemologi ilmiah modern, terutama dalam prinsip anti-dogmatisme dan kerendahan hati epistemologis. Pendekatan falsifikasionisme dalam sains, seperti yang diajukan oleh Karl Popper, menolak kepastian absolut dan menekankan pentingnya pengujian dan keterbukaan terhadap revisi sebagai ciri khas metode ilmiah.⁹ Dalam kerangka ini, Pyrrho dapat dipandang sebagai pendahulu epistemologi ilmiah yang kritis, yang menolak klaim kebenaran final dan menyerukan kewaspadaan terhadap kesimpulan-kesimpulan yang tidak dapat dipastikan.


Catatan Kaki

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.105.

[2]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 48–52.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.1–8.

[4]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 33–37.

[5]                Luciano Floridi, Scepticism and the Foundation of Epistemology: A Study in the Metalogical Fallacies (Leiden: Brill, 1996), 42–44.

[6]                Michel de Montaigne, Essais, ed. Pierre Villey (Paris: Presses Universitaires de France, 1992), I.14.

[7]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Descartes (Oxford: Oxford University Press, 2003), 91–95.

[8]                David Hume, An Enquiry concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), §IV–V.

[9]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans Freidrich (London: Routledge, 2002), 33–37.


7.           Relevansi Pemikiran Pyrrho di Era Kontemporer

Meskipun hidup lebih dari dua milenium yang lalu, Pyrrho dari Elis tetap relevan dalam diskursus intelektual kontemporer. Ajarannya yang berakar pada keraguan epistemologis, penangguhan penilaian, dan pencarian ketenangan batin, kini mendapatkan resonansi baru dalam berbagai konteks—mulai dari filsafat ilmu, etika pluralistik, psikologi eksistensial, hingga teori komunikasi. Dalam era yang ditandai oleh fragmentasi pengetahuan, disinformasi, dan polarisasi ideologis, pendekatan Pyrrhonian menawarkan alternatif intelektual yang menekankan kehati-hatian, kerendahan hati epistemologis, dan stabilitas batin dalam menghadapi ketidakpastian.

7.1.       Kritik terhadap Dogmatisme dan Relativisme Ekstrem

Salah satu kontribusi paling signifikan dari Pyrrho adalah kritiknya terhadap dogmatisme, yakni keyakinan mutlak terhadap kebenaran tertentu tanpa mempertimbangkan kemungkinan kesalahan atau perspektif alternatif. Kritik ini sangat relevan dalam era digital saat ini, di mana overload informasi sering kali mendorong individu atau kelompok untuk bertahan dalam gelembung kognitif yang sempit.¹ Pyrrhonisme mengajarkan bahwa penangguhan penilaian adalah respons rasional terhadap realitas yang kompleks dan saling bertentangan.

Namun, skeptisisme Pyrrhonian juga menghindari relativisme ekstrem, karena ia tidak menggantikan satu kebenaran dengan klaim kebenaran lain yang bersifat relativistik, melainkan menangguhkan pengambilan posisi secara keseluruhan.² Dalam dunia pascamodern yang rawan terhadap relativisme nihilistik, sikap Pyrrhonian menawarkan jalan tengah yang tidak menafikan kemungkinan dialog, tetapi juga tidak tergelincir dalam dogma.

7.2.       Relevansi dalam Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmiah

Pyrrhonisme secara tak langsung berkontribusi pada perkembangan filsafat ilmu modern, terutama melalui pengaruhnya terhadap skeptisisme metodologis dalam sains. Seperti yang dikembangkan oleh Karl Popper, falsifikasionisme menolak ide bahwa ilmu pengetahuan dapat membuktikan teori secara mutlak. Sebaliknya, teori hanya dapat dipertahankan sejauh belum dibantah.³ Prinsip ini mencerminkan semangat Pyrrhonian dalam menangguhkan klaim akhir atas kebenaran dan terus membuka diri terhadap koreksi.⁴

Selain itu, dalam konteks penelitian lintas budaya atau interdisipliner, pendekatan skeptis juga membantu menghindari klaim kognitif yang terlalu universalistik. Pyrrhonisme, dengan penekanan pada keragaman persepsi dan keraguan terhadap “tatanan objektif”, menjadi perangkat konseptual yang penting dalam menelaah konstruksi sosial terhadap kebenaran dan pengetahuan.⁵

7.3.       Kebijaksanaan Emosional dan Psikologi Kesehatan Mental

Dalam era yang ditandai oleh krisis kesehatan mental, ajaran Pyrrho tentang ataraxia memperoleh makna baru. Gagasan bahwa ketenangan batin dapat dicapai melalui pembebasan dari penilaian dan ekspektasi berlebihan sejalan dengan prinsip-prinsip modern dalam psikologi mindfulness, terapi perilaku kognitif, dan filosofi stoik kontemporer.⁶ Pyrrhonisme mengajarkan bahwa banyak penderitaan manusia bukan berasal dari realitas objektif, tetapi dari penilaian subjektif yang tidak pasti dan sering kali keliru terhadap realitas tersebut.⁷

Dalam praktik, pendekatan Pyrrhonian dapat membantu individu mengembangkan kebijaksanaan emosional, yaitu kemampuan untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap perubahan, ketidakpastian, atau konflik. Ini bukan sikap pasif, melainkan strategi aktif untuk mempertahankan keseimbangan psikologis di tengah dunia yang penuh gejolak.

7.4.       Kontribusi terhadap Etika dan Dialog Antarbudaya

Etika Pyrrhonian yang anti-dogmatis dan inklusif juga memiliki implikasi penting dalam konteks pluralisme moral dan budaya. Dalam masyarakat multikultural yang kompleks, klaim kebenaran etis tunggal sering kali menjadi sumber konflik. Dengan menangguhkan penghakiman atas superioritas suatu sistem nilai, Pyrrhonisme membuka ruang untuk dialog antarbudaya yang lebih setara dan toleran.⁸

Dalam dunia global yang diwarnai oleh migrasi, teknologi, dan komunikasi lintas batas, etika skeptis Pyrrhonian mengajarkan kerendahan hati moral—yakni kesadaran bahwa posisi etis kita mungkin tidak lebih benar daripada posisi orang lain.⁹ Ini bukan berarti menolak nilai atau moralitas, tetapi memelihara kesediaan untuk mendengar, memahami, dan mempertimbangkan perspektif alternatif tanpa langsung menghakimi.


Catatan Kaki

[1]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Descartes (Oxford: Oxford University Press, 2003), 245–250.

[2]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 42–44.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans Friedrich (London: Routledge, 2002), 40–45.

[4]                Luciano Floridi, Scepticism and the Foundation of Epistemology: A Study in the Metalogical Fallacies (Leiden: Brill, 1996), 55–58.

[5]                Lorraine Code, Ecological Thinking: The Politics of Epistemic Location (Oxford: Oxford University Press, 2006), 17–22.

[6]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 300–303.

[7]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.12–13.

[8]                Myles Burnyeat, “The Sceptic in His Place and Time,” in Philosophy in History, eds. Richard Rorty, J.B. Schneewind, and Quentin Skinner (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 253–256.

[9]                Martha Nussbaum, “Patriotism and Cosmopolitanism,” in For Love of Country? (Boston: Beacon Press, 1996), 5–20.


8.           Kesimpulan

Pemikiran Pyrrho dari Elis menempati posisi yang unik dan signifikan dalam sejarah filsafat Barat, terutama sebagai fondasi awal dari skeptisisme filosofis yang konsisten dan sistematis. Berakar pada ketidakpercayaan terhadap kemampuan indra dan rasio dalam memberikan pengetahuan yang pasti, Pyrrho mengembangkan pendekatan filsafat yang lebih bersifat praktis dan terapeutik daripada spekulatif. Inti ajarannya—yakni ketidaktetapan segala sesuatu (adiaphora), penangguhan penilaian (epoché), dan pencapaian ketenangan batin (ataraxia)—menggambarkan sebuah filsafat hidup yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari penderitaan akibat penghakiman yang terburu-buru dan keyakinan yang tidak berdasar.¹

Tidak seperti aliran skeptisisme akademik yang berkembang di Akademia Platonik dan sering kali tetap terjebak dalam spekulasi teoretis, Pyrrhonisme mempertahankan posisi non-dogmatis secara radikal, dengan menolak membuat klaim apa pun, bahkan klaim bahwa pengetahuan itu mustahil.² Posisi ini, meskipun secara logis tampak ekstrem, justru menunjukkan kerendahan hati epistemologis yang mendalam dan menjadi inspirasi bagi berbagai pemikir lintas zaman.

Warisan intelektual Pyrrho tidak berhenti di era Helenistik. Melalui karya-karya Sextus Empiricus, ajarannya menjangkau dunia filsafat modern, memengaruhi pemikiran Montaigne, Descartes, Hume, dan Popper, serta memberi kontribusi penting dalam pembentukan prinsip-prinsip skeptisisme metodologis dan ilmiah.³ Pyrrho juga menjadi referensi penting dalam wacana kontemporer mengenai pluralisme, toleransi, dan krisis epistemologis, menawarkan suatu bentuk kebijaksanaan yang tidak terjebak dalam absolutisme atau relativisme, melainkan menekankan kesabaran intelektual dan keterbukaan terhadap ketidaktahuan.⁴

Lebih dari sekadar sebuah sistem pemikiran, filsafat Pyrrho adalah praktik hidup yang mengajarkan bahwa ketenangan dan kebahagiaan dapat ditemukan bukan melalui pengetahuan yang sempurna, tetapi melalui penerimaan atas keterbatasan kita sebagai makhluk yang tidak pernah sepenuhnya tahu. Dalam dunia yang terus berubah, sarat konflik penafsiran dan banjir informasi, Pyrrhonisme tetap relevan sebagai pendekatan etis dan intelektual yang menawarkan jalan menuju keseimbangan batin dan dialog yang sehat.

Dengan demikian, Pyrrho dari Elis telah meninggalkan jejak abadi dalam tradisi filsafat Barat, tidak hanya sebagai pelopor skeptisisme, tetapi juga sebagai penggagas filsafat kehidupan yang tetap berbicara dengan kuat kepada zaman kita.


Catatan Kaki

[1]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 55–60.

[2]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 38–41.

[3]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to Descartes (Oxford: Oxford University Press, 2003), 92–97.

[4]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 298–305.


Daftar Pustaka

Annas, J., & Barnes, J. (1985). The modes of scepticism: Ancient texts and modern interpretations. Cambridge University Press.

Bett, R. (2000). Pyrrho, his antecedents and his legacy. Oxford University Press.

Burnyeat, M. (1983). Can the sceptic live his scepticism? In M. Burnyeat (Ed.), The skeptical tradition (pp. 117–148). University of California Press.

Burnyeat, M. (1984). The sceptic in his place and time. In R. Rorty, J. B. Schneewind, & Q. Skinner (Eds.), Philosophy in history (pp. 225–254). Cambridge University Press.

Code, L. (2006). Ecological thinking: The politics of epistemic location. Oxford University Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Floridi, L. (1996). Scepticism and the foundation of epistemology: A study in the metalogical fallacies. Brill.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1748)

Kuzminski, A. (2008). Pyrrhonism: How the ancient Greeks reinvented Buddhism. Lexington Books.

Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (2nd ed.). University of California Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.

McEvilley, T. (2002). The shape of ancient thought: Comparative studies in Greek and Indian philosophies. Allworth Press.

Montaigne, M. de. (1992). Essais (P. Villey, Ed.). Presses Universitaires de France.

Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (1996). Patriotism and cosmopolitanism. In M. C. Nussbaum & J. Cohen (Eds.), For love of country? (pp. 3–17). Beacon Press.

Popkin, R. H. (2003). The history of scepticism from Erasmus to Descartes (Rev. ed.). Oxford University Press.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery (H. Friedrich, Trans.). Routledge. (Original work published 1934)

Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar