Pemikiran Pyrrho
Asal-Usul, Ajaran, dan Relevansinya dalam Tradisi
Filsafat Barat
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran
Pyrrho dari Elis, tokoh kunci dalam sejarah filsafat Yunani Kuno yang dikenal
sebagai perintis skeptisisme radikal. Dengan menelaah latar belakang historis,
ajaran utama, serta warisan intelektualnya, tulisan ini menyoroti tiga prinsip
utama yang menjadi fondasi Pyrrhonisme: ketidaktetapan (adiaphora), penangguhan
penilaian (epoché), dan pencapaian ketenangan batin (ataraxia). Melalui
pendekatan ini, Pyrrho tidak hanya merumuskan sebuah epistemologi yang menolak
klaim kebenaran mutlak, tetapi juga menawarkan suatu etika hidup yang
berorientasi pada stabilitas psikologis dan kebebasan dari penderitaan. Artikel
ini juga mengkaji pengaruh ajaran Pyrrho terhadap pemikiran Helenistik,
skeptisisme modern, dan filsafat ilmu kontemporer, termasuk kontribusinya
terhadap diskursus pluralisme, psikologi, dan metode ilmiah. Di tengah krisis
epistemologis dan konflik ideologis masa kini, pemikiran Pyrrho tetap relevan
sebagai pendekatan intelektual yang mengedepankan kerendahan hati
epistemologis, dialog tanpa dogma, dan kedamaian batin dalam menghadapi
ketidakpastian.
Kata Kunci: Pyrrho dari Elis, skeptisisme, epoché, ataraxia,
filsafat Yunani Kuno, filsafat Hellenistik, epistemologi, etika skeptik,
filsafat modern, keraguan radikal.
PEMBAHASAN
Pyrrho dari Elis dan Filsafat Skeptisisme
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah
filsafat Barat, era pasca-Sokratik ditandai oleh berkembangnya berbagai aliran
filsafat yang merespons krisis epistemologis dan etis setelah runtuhnya keyakinan
pada rasionalisme dogmatis khas filsafat klasik. Salah satu respons paling
radikal terhadap krisis ini muncul dalam bentuk skeptisisme, sebuah pendekatan
filsafat yang tidak hanya mempertanyakan validitas pengetahuan manusia, tetapi
juga menyoroti keterbatasan indra, akal, dan bahasa dalam memahami realitas.
Tokoh utama yang dianggap sebagai pelopor aliran ini adalah Pyrrho
dari Elis (±360–270 SM), seorang filsuf Yunani yang hidup pada
masa transisi dari filsafat klasik ke periode Hellenistik.
Munculnya
skeptisisme Pyrrhonian bukanlah sekadar sebuah alternatif intelektual terhadap
dogmatisme, melainkan sebuah bentuk kritik epistemologis yang mendalam terhadap
keyakinan akan pengetahuan yang pasti dan dapat diandalkan. Pyrrho
mengembangkan ajarannya berdasarkan pengalaman pribadinya, termasuk dalam
perjalanannya bersama Alexander Agung ke Timur, yang mempertemukannya dengan
berbagai bentuk pemikiran non-Yunani, terutama yang bersifat spiritual dan
kontemplatif. Beberapa peneliti bahkan berspekulasi bahwa interaksinya dengan
para fakir India atau pemikir Buddhis kuno turut memengaruhi doktrin “ketidaktetapan”
dan “ketenangan batin” yang menjadi inti pemikirannya.¹
Filsafat Pyrrho
kemudian dikenal luas melalui muridnya, Timon dari Phlius, yang menjadi
penyambung lidah ajaran tersebut. Namun, pemikiran Pyrrho sendiri bersifat oral
dan tidak meninggalkan karya tulis langsung. Karena itu, pemahaman kita tentang
doktrinnya sangat bergantung pada catatan para filsuf lain, terutama melalui
karya Diogenes
Laertius dan para filsuf skeptik akademik dan Neoplatonis yang
mengomentarinya.² Ajaran Pyrrho bersandar pada tiga prinsip utama:
ketidaktetapan segala hal (adiaphora), keharusan menangguhkan penilaian
(epoché), dan hasil akhir berupa ketenangan jiwa (ataraxia).⁴
Urgensi untuk
menelaah kembali pemikiran Pyrrho tidak hanya terletak pada nilai historisnya
sebagai pelopor skeptisisme, tetapi juga karena relevansinya dalam berbagai
wacana kontemporer—mulai dari debat epistemologi, relativisme budaya, hingga
etika publik dalam masyarakat plural. Dalam dunia yang semakin diliputi oleh
klaim absolut atas kebenaran, pendekatan skeptik Pyrrhonian mengajarkan kita
untuk menunda penghakiman, bersikap rendah hati secara intelektual, dan
mengejar ketenangan batin dalam ketidakpastian.⁵ Kajian ini bertujuan untuk
menyajikan pemahaman menyeluruh tentang ajaran Pyrrho, latar belakang
historisnya, pengaruh intelektualnya, serta relevansinya dalam perkembangan
filsafat Barat dari zaman kuno hingga era modern.
Catatan Kaki
[1]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 25–27.
[2]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–108.
[3]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 1–4.
[4]
A.A. Long and D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol.
1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1:470–480.
[5]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 280–285.
2.
Konteks Historis dan Biografi Intelektual
Pyrrho
Pyrrho lahir sekitar
tahun 360 SM di kota kecil Elis, wilayah barat laut
Peloponnesos, Yunani. Ia hidup pada masa transisi penting dalam sejarah
intelektual Yunani, yaitu masa pergeseran dari filsafat klasik yang didominasi
oleh pemikiran Plato dan Aristoteles ke fase filsafat Hellenistik yang lebih
praktis dan terapeutik dalam orientasinya. Masa hidup Pyrrho juga bersamaan
dengan munculnya filsafat Stoik dan Epikurean, yang masing-masing menawarkan
pandangan hidup untuk mencapai kebahagiaan dalam dunia yang tidak pasti dan
penuh penderitaan.¹
Sumber utama
mengenai kehidupan Pyrrho berasal dari karya Diogenes Laertius, yang
menyatakan bahwa Pyrrho awalnya mempelajari seni lukis sebelum beralih ke dunia
filsafat. Ia disebut pernah menjadi pengikut Anaxarchus, seorang filsuf dari
sekolah Demokritos yang terkenal karena ajarannya mengenai relativisme
perseptual dan atomisme.² Bersama Anaxarchus, Pyrrho ikut serta dalam ekspedisi
militer Alexander Agung ke Asia, sebuah perjalanan yang kelak menjadi titik
balik penting dalam evolusi intelektualnya.³
Selama perjalanan
tersebut, Pyrrho diduga melakukan kontak langsung dengan para pemikir dan
pertapa dari India dan wilayah-wilayah timur lainnya, seperti para Gymnosophist
dan Brahmana,
yang mengajarkan kehidupan lepas dari penderitaan duniawi melalui pelepasan
keterikatan terhadap dunia luar.⁴ Walaupun tidak ada bukti eksplisit yang
menunjukkan interaksi sistematik antara Pyrrho dan pemikiran Buddhis, beberapa
sarjana kontemporer mengajukan hipotesis tentang pengaruh ajaran Buddhisme
awal—khususnya konsep ketidakkekalan (anicca), pelepasan penilaian, dan
ketenangan batin—terhadap pemikiran Pyrrhonian.⁵ Argumen ini diperkuat oleh
kesamaan struktural antara doktrin “penangguhan penilaian” (epoché)
Pyrrho dan sikap “non-attachment” dalam ajaran Buddhis Theravāda.⁶
Setelah kembali ke
Yunani, Pyrrho memilih hidup sederhana dan tidak pernah mendirikan sekolah
formal. Meski demikian, ia dihormati oleh warga kota Elis dan bahkan
dianugerahi status sebagai pendeta serta dibebaskan dari pajak.⁷ Pengetahuan
kita tentang ajarannya terutama diturunkan oleh Timon dari Phlius, muridnya
yang lebih muda, yang menulis puisi-puisi filosofis (seperti Silloi)
yang menggambarkan Pyrrho sebagai seorang bijak yang tidak terikat pada dogma.⁸
Dengan demikian,
konteks historis dan biografi intelektual Pyrrho memperlihatkan bahwa filsafat
skeptisisme tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi berkembang dalam lanskap
filsafat Hellenistik yang semakin menekankan dimensi praktis dan terapeutik
dari filsafat. Pengalaman lintas budaya Pyrrho selama kampanye Alexander Agung
menjadi elemen kunci dalam pembentukan pandangan radikalnya mengenai
keterbatasan pengetahuan dan pentingnya ketenangan batin.
Catatan Kaki
[1]
A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics,
2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 1986), 1–4.
[2]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–62.
[3]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 19–22.
[4]
Charles Kahn, “Did the Greeks Believe in Ataraxia?,” in The
Skeptical Tradition, ed. Myles Burnyeat (Berkeley: University of
California Press, 1983), 252–254.
[5]
Thomas McEvilley, The Shape of Ancient Thought: Comparative Studies
in Greek and Indian Philosophies (New York: Allworth Press, 2002),
417–422.
[6]
Adrian Kuzminski, Pyrrhonism: How the Ancient Greeks Reinvented
Buddhism (Lanham: Lexington Books, 2008), 36–47.
[7]
Diogenes Laertius, Lives, 9.66.
[8]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 11–13.
3.
Ajaran Utama Pyrrho: Fondasi Skeptisisme
Ajaran filsafat
Pyrrho didasarkan pada bentuk skeptisisme radikal yang mengusulkan bahwa
manusia tidak dapat mengetahui hakikat sejati segala sesuatu. Skeptisisme ini
bukan sekadar strategi retoris atau metode intelektual, melainkan suatu cara
hidup yang diarahkan pada pencapaian ketenangan batin (ataraxia)
melalui penangguhan penilaian (epoché)
dan kesadaran akan ketidaktetapan atau ketidakterhinggaan
dalam segala hal (adiaphora).¹ Ajaran Pyrrho tidak
dituangkan langsung dalam tulisan pribadinya, tetapi direkonstruksi dari
karya-karya muridnya seperti Timon dari Phlius, serta para
komentator kemudian seperti Sextus Empiricus dan Diogenes
Laertius.²
3.1.
Segalanya adalah Adiaphora (Ketidaktetapan)
Pyrrho meyakini
bahwa objek-objek di dunia tidak memiliki sifat hakiki yang dapat diketahui
secara pasti. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu itu “tidak dapat dibedakan”
(adiaphora),
“tidak stabil” (astathmēta), dan “tidak dapat
diputuskan” (anepikrita).³ Karena segala
fenomena memiliki sisi kontradiktif dan bisa ditafsirkan secara berbeda-beda,
maka tidak ada alasan rasional yang memadai untuk berpihak pada salah satu
pandangan atas kenyataan.⁴ Dengan demikian, upaya untuk memperoleh pengetahuan
yang pasti akan selalu berakhir pada kebingungan dan pertentangan, bukan pada
kepastian.
3.2.
Epoché: Menangguhkan Penilaian
Dari premis pertama
ini, Pyrrho menyimpulkan bahwa satu-satunya respons rasional terhadap dunia
yang tidak dapat dipastikan adalah penangguhan penilaian (epoché).
Ini berarti tidak mengafirmasi maupun menyangkal proposisi mana pun tentang
kenyataan. Pyrrho tidak mengatakan bahwa tidak ada yang benar, melainkan bahwa
manusia tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui mana yang benar dengan
kepastian.⁵ Oleh karena itu, bersikap apatis terhadap perdebatan epistemologis
menjadi tindakan yang paling masuk akal, karena tidak ada bukti atau argumen
yang secara meyakinkan mengungguli yang lain.
3.3.
Ataraxia: Ketenangan Batin sebagai Tujuan Hidup
Konsekuensi praktis
dari penangguhan penilaian adalah tercapainya ataraxia, yakni kondisi
ketenangan batin yang bebas dari gangguan emosional.⁶ Bagi Pyrrho, akar
penderitaan manusia berasal dari pengharapan, kekhawatiran, dan penilaian
subjektif terhadap dunia yang tidak pasti. Dengan melepaskan diri dari tuntutan
untuk mengetahui atau memihak pada suatu klaim kebenaran, seseorang dapat
mencapai keadaan batin yang stabil dan tenteram.⁷ Dalam hal ini, ajaran Pyrrho
memiliki dimensi terapeutik yang khas dalam filsafat Hellenistik: filsafat
bukan hanya sebagai aktivitas spekulatif, tetapi sebagai jalan hidup yang
menuntun kepada eudaimonia (kebahagiaan sejati).
3.4.
Anti-Dogmatisme dan Polemik terhadap Filsafat
Dogmatik
Pyrrho juga
menentang pendekatan dogmatis dalam filsafat, terutama yang mengklaim
pengetahuan tertentu tentang dunia, seperti dalam sistem filsafat Plato dan
Aristoteles.⁸ Ia menyamakan para filsuf dogmatik dengan orang yang buta yang
tidak sadar bahwa mereka tersesat. Oleh karena itu, Pyrrho mengajukan gaya
hidup skeptis sebagai alternatif terhadap filsafat spekulatif yang mencoba
memahami hakikat segala sesuatu namun justru melahirkan lebih banyak konflik
dan kekacauan batin.
Ajaran Pyrrho
berbeda secara prinsipil dengan skeptisisme akademik yang
berkembang kemudian di Akademia Platonik di bawah pimpinan Arkesilaos dan
Karneades. Para skeptik akademik menyatakan bahwa pengetahuan tidak mungkin
dicapai, sedangkan Pyrrho dan para pengikutnya—yang disebut sebagai Pyrrhonian—tidak
membuat klaim semacam itu. Mereka bahkan menangguhkan penilaian terhadap
proposisi bahwa pengetahuan itu mustahil.⁹ Ini menunjukkan bahwa Pyrrhonisme
adalah bentuk skeptisisme yang lebih konsisten dan radikal.
Dengan demikian,
ajaran Pyrrho menghadirkan suatu model berpikir yang menolak klaim pengetahuan
mutlak, mendorong kerendahan hati intelektual, dan menawarkan ketenangan batin
melalui pelepasan dari tuntutan epistemologis yang tidak mungkin dipenuhi
secara meyakinkan.
Catatan Kaki
[1]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 45–47.
[2]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–69.
[3]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.10–13.
[4]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 20–24.
[5]
A.A. Long and D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol.
1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1:471–475.
[6]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 287–290.
[7]
Myles Burnyeat, “Can the Skeptic Live His Skepticism?,” in The
Skeptical Tradition, ed. Myles Burnyeat (Berkeley: University of
California Press, 1983), 117–118.
[8]
Long, Hellenistic Philosophy, 12–13.
[9]
Bett, Pyrrho, 59–61.
4.
Epistemologi Pyrrhonis: Pengetahuan, Indra, dan
Rasionalitas
Epistemologi
Pyrrhonian berangkat dari keraguan radikal terhadap kemampuan manusia untuk
memperoleh pengetahuan yang pasti mengenai
dunia luar. Pyrrho dan para pengikutnya meyakini bahwa baik indra
maupun rasio
tidak dapat diandalkan sebagai alat yang valid untuk menjangkau kebenaran
objektif. Dalam kerangka ini, skeptisisme Pyrrhonian tidak hanya merupakan
kritik terhadap metode-metode kognitif yang umum digunakan dalam filsafat
Yunani Kuno, tetapi juga sebuah penolakan sistematis terhadap seluruh proyek
epistemologis yang berorientasi pada fondasi kebenaran yang stabil dan
universal.
4.1.
Kritik terhadap Indra sebagai Sumber
Pengetahuan
Pyrrho melihat bahwa
persepsi indrawi bersifat subjektif, tidak konsisten, dan rentan terhadap
ilusi. Ia menunjukkan bahwa apa yang tampak bagi satu orang
bisa sangat berbeda bagi orang lain, atau bahkan bagi individu yang sama dalam
kondisi yang berbeda. Misalnya, madu terasa manis bagi kebanyakan orang, namun
terasa pahit bagi orang yang sedang sakit; sehingga, dari sudut pandang
skeptisisme, tidak ada alasan yang pasti untuk menerima persepsi yang satu
lebih benar daripada yang lain.¹ Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa indra
tidak dapat menjadi dasar yang dapat diandalkan untuk membangun pengetahuan
yang objektif dan universal.
Sextus Empiricus,
salah satu sumber utama ajaran Pyrrhonian, menjelaskan bahwa keraguan terhadap
indra tidak muncul dari penyangkalan langsung terhadap validitasnya, melainkan
dari pengamatan
bahwa pengalaman indrawi selalu bervariasi secara relatif:
antara spesies, antara individu, bahkan dalam individu yang sama pada waktu
yang berbeda.² Maka, tidak ada cara untuk keluar dari sirkularitas perseptual
tanpa mengasumsikan otoritas satu perspektif atas yang lain—dan inilah yang
justru ingin dihindari oleh pendekatan skeptis.
4.2.
Rasionalitas dan Ketidakmungkinan Justifikasi
Akhir
Selain indra,
skeptisisme Pyrrhonian juga mengkritik rasionalitas sebagai sumber
pengetahuan. Para Pyrrhonis berpendapat bahwa argumen rasional tidak pernah
dapat menghasilkan kepastian, karena setiap premis yang digunakan dalam suatu
argumen membutuhkan justifikasi, yang pada gilirannya juga membutuhkan premis
lain, dan seterusnya, dalam regresi tak berujung (infinite
regress).³ Ini dikenal sebagai problem akrasia epistemologis,
di mana tidak ada titik pijak final yang dapat digunakan untuk menghentikan
rantai penalaran.
Lebih jauh, Pyrrho
dan pengikutnya menolak penetapan kriteria kebenaran
(misalnya, koherensi atau korespondensi), karena setiap kriteria semacam itu
akan memerlukan validasi dari luar dirinya sendiri, dan karenanya tidak dapat
digunakan sebagai dasar non-relatif.⁴ Oleh sebab itu, mereka menyimpulkan bahwa
satu-satunya posisi yang koheren secara rasional adalah tidak
membuat klaim kognitif apa pun—tidak menyatakan bahwa
pengetahuan mungkin, tetapi juga tidak menyatakan bahwa pengetahuan mustahil.
4.3.
Epoché sebagai Respon Epistemologis
Sebagai konsekuensi
atas keterbatasan indra dan akal, Pyrrho mengajukan epoché,
atau penangguhan
penilaian, sebagai sikap epistemologis yang tepat. Ini bukan
berarti skeptisisme Pyrrhonian menolak semua pengalaman atau tidak mengakui
bahwa fenomena terjadi, melainkan bahwa ia tidak membuat penilaian ontologis
terhadap apa yang dialami.⁵ Pyrrhonian tetap hidup sesuai dengan kebiasaan,
hukum, dan persepsi sehari-hari, namun tanpa melekatkan klaim kebenaran ontologis pada
pengalaman tersebut.⁶
Dalam hal ini,
Pyrrhonisme berbeda dari nihilisme epistemologis, karena tidak menyatakan bahwa
tidak ada yang benar, melainkan menolak memberikan penghakiman tentang
kebenaran. Ini membuat pendekatan mereka unik, karena menangguhkan
penilaian bahkan terhadap kemungkinan pengetahuan itu sendiri,
menjadikan posisi mereka sebagai bentuk skeptisisme yang konsisten secara
internal dan radikal.
4.4.
Konsekuensi terhadap Konsep Pengetahuan
Secara keseluruhan,
epistemologi Pyrrhonis mengakibatkan dekonstruksi terhadap semua konsep klasik
mengenai pengetahuan, termasuk epistēmē (pengetahuan ilmiah), doxa
(opini), dan aletheia (kebenaran). Mereka
memperlihatkan bahwa setiap klaim tentang dunia berhadapan dengan
pertentangan yang setara kuatnya, sehingga tidak dapat
dipastikan mana yang lebih layak dipercaya.⁷ Oleh karena itu, dalam perspektif
Pyrrhonian, ketenangan batin lebih penting daripada
pengejaran pengetahuan yang penuh kecemasan dan pertentangan.
Catatan Kaki
[1]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–62.
[2]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.14–18.
[3]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 60–62.
[4]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 25–27.
[5]
A.A. Long and D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol.
1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1:470–473.
[6]
Myles Burnyeat, “The Sceptic in His Place and Time,” in Philosophy
in History, eds. Richard Rorty, J.B. Schneewind, and Quentin Skinner
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 235–263.
[7]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 295–298.
5.
Etika dalam Skeptisisme Pyrrhonis
Salah satu aspek
yang membedakan Pyrrhonisme dari bentuk skeptisisme lain adalah orientasinya
yang sangat praktis dan etis. Bagi Pyrrho dan para pengikutnya,
skeptisisme bukan hanya sebuah posisi epistemologis, melainkan juga sebuah cara
hidup (bios philosophikos) yang bertujuan
mengantar individu pada ketenangan batin (ataraxia).
Etika Pyrrhonian tidak dibangun di atas fondasi normatif atau teleologis
seperti dalam filsafat Aristoteles, melainkan berakar pada pemahaman mendalam
mengenai keterbatasan pengetahuan manusia
dan akibat psikologis dari kecenderungan manusia untuk menilai, memihak, dan
mengejar kepastian.
5.1.
Ataraxia sebagai Tujuan Etis Tertinggi
Konsep kunci dalam
etika Pyrrhonis adalah ataraxia, yang berarti ketenangan
batin, kebebasan dari keresahan dan gangguan emosional. Menurut
Pyrrho, penderitaan manusia bersumber dari keterikatan emosional terhadap
keyakinan-keyakinan yang tidak pasti: kecemasan terhadap masa depan, kemarahan
terhadap ketidakadilan, dan harapan berlebihan terhadap kesuksesan atau
pengakuan.¹ Dengan menangguhkan penilaian (epoché)
terhadap semua klaim tentang apa yang baik dan buruk secara absolut, seseorang
dapat melepaskan diri dari kecemasan tersebut dan mencapai keadaan netral
emosional yang damai.²
Keadaan ataraxia
dalam Pyrrhonisme bukanlah hasil dari pemenuhan keinginan atau perolehan
pengetahuan, melainkan dari pelepasan terhadap keharusan untuk memiliki
opini pasti tentang dunia.³ Ini menjadikan Pyrrhonisme bukan
sekadar bentuk skeptisisme teoritis, tetapi juga sebagai terapi
mental, mirip dengan pendekatan Stoik dan Epikurean yang juga
menekankan kedamaian batin sebagai tujuan hidup.⁴
5.2.
Sikap Netral terhadap Nilai-Nilai Moral
Dalam kerangka
Pyrrhonian, tidak ada nilai moral yang dapat diklaim secara mutlak benar atau
salah, baik atau buruk. Nilai-nilai tersebut bersifat relatif
terhadap individu, budaya, dan kondisi. Oleh karena itu, Pyrrho
tidak mengajarkan etika normatif dalam pengertian konvensional, tetapi justru
menganjurkan sikap pasif dan netral terhadap pertimbangan
moral, asalkan tindakan-tindakan eksternal tetap sesuai dengan
kebiasaan sosial (nomos).⁵
Hal ini bukan
berarti Pyrrho menganjurkan amoralitas atau ketidakpedulian terhadap etika,
tetapi ia menyarankan agar seseorang bertindak sesuai adat tanpa melekatkan makna
moral yang tetap pada tindakan tersebut.⁶ Misalnya, seseorang
dapat memenuhi kewajiban sosial dan hukum, tetapi tanpa meyakini bahwa tindakan
tersebut secara intrinsik benar atau salah. Dengan cara ini, Pyrrhonisme
menghindari konflik batin yang muncul dari klaim-klaim moral yang absolutis.
5.3.
Etika Non-Dogmatis dan Ketaatan terhadap
Konvensi
Pyrrhonis menyadari
bahwa kehidupan sehari-hari menuntut tindakan. Maka, meskipun mereka
menangguhkan penilaian terhadap realitas atau nilai-nilai, mereka tidak
menangguhkan tindakan praktis. Mereka hidup sesuai dengan empat
pedoman pragmatis, yaitu: (1) panduan dari alam, (2) dorongan
naluriah, (3) hukum dan kebiasaan, serta (4) pengajaran seni dan keterampilan.⁷
Dengan mengikuti struktur kehidupan sehari-hari tanpa menyatakan keyakinan
epistemologis atau moral, seorang Pyrrhonis dapat menjalani
hidup secara fungsional dan damai tanpa terjebak dalam konflik intelektual atau
etis.
Etika Pyrrhonis
dapat dilihat sebagai bentuk “minimalisme moral”, di mana
prioritas bukan pada pencapaian kebajikan yang ideal, tetapi pada pencapaian
kondisi batin yang stabil dan bebas dari gejolak.⁸ Dengan demikian, Pyrrhonisme
menawarkan alternatif etis terhadap pendekatan-pendekatan dogmatis yang justru
kerap menjadi sumber konflik dan penderitaan.
5.4.
Kritik terhadap Etika Tradisional
Etika Pyrrhonian
secara implisit merupakan kritik terhadap filsafat moral konvensional, terutama
yang berbasis pada rasionalisme normatif seperti
dalam etika Plato dan Aristoteles. Pyrrho menolak gagasan bahwa kebahagiaan
tergantung pada pencapaian suatu bentuk “kebaikan” objektif, karena hal
itu justru membuka jalan bagi spekulasi dan perselisihan tanpa akhir.⁹
Sebaliknya, ketenangan dan kebahagiaan justru dapat dicapai dengan melepaskan
diri dari pencarian terhadap kebaikan yang tidak dapat dipastikan keberadaannya.
Catatan Kaki
[1]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.61–66.
[2]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.25–30.
[3]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 55–58.
[4]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 280–295.
[5]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 29–32.
[6]
A.A. Long and D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol.
1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 1:475–478.
[7]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, I.23.
[8]
Myles Burnyeat, “The Sceptic in His Place and Time,” in Philosophy
in History, eds. Richard Rorty, J.B. Schneewind, and Quentin Skinner
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 242–246.
[9]
Bett, Pyrrho, 60–61.
6.
Pengaruh dan Warisan Intelektual
Meskipun Pyrrho
tidak meninggalkan karya tulis apa pun, ajaran-ajarannya memiliki pengaruh
jangka panjang yang signifikan dalam sejarah filsafat Barat,
khususnya dalam pengembangan tradisi skeptisisme. Melalui para muridnya,
terutama Timon dari Phlius, dan kemudian
melalui para penulis skeptis seperti Sextus Empiricus, pemikiran
Pyrrho menjadi fondasi utama bagi apa yang kemudian dikenal sebagai skeptisisme
Pyrrhonian. Warisan intelektual Pyrrho tidak hanya terbatas
pada periode Helenistik, tetapi juga meninggalkan jejak yang kuat dalam
filsafat modern, termasuk dalam karya-karya Michel de Montaigne, David
Hume, dan bahkan dalam metodologi ilmiah yang berkembang
setelah Renaisans.
6.1.
Penerusan Ajaran melalui Timon dari Phlius
Sumber utama
pemikiran Pyrrho berasal dari Timon dari Phlius, seorang
penyair dan filsuf yang hidup sezaman dengan Pyrrho dan menjadi murid
terdekatnya. Timon menulis dalam bentuk puisi satir seperti Silloi,
yang isinya mengejek para filsuf dogmatis dan mengagungkan Pyrrho sebagai
satu-satunya bijak yang sejati.¹ Dalam karya-karya ini, Timon menyampaikan
ajaran Pyrrho secara sistematis dan menjadi figur kunci dalam formalisasi
Pyrrhonisme sebagai mazhab filsafat.²
6.2.
Sextus Empiricus dan Sistematika Skeptisisme
Pyrrhonian
Penerus paling
berpengaruh dari tradisi Pyrrhonian adalah Sextus Empiricus (abad ke-2 M),
seorang dokter dari mazhab Empiris dan filsuf skeptik yang menyusun pemikiran
Pyrrhonian secara lengkap dalam karyanya Outlines of Pyrrhonism dan Against
the Mathematicians.³ Dalam karya-karya tersebut, Sextus merumuskan “sepuluh
cara” (tropos) skeptisisme dari Aenesidemos dan “lima
cara” Agrippa, yang menunjukkan bahwa tidak ada klaim
pengetahuan yang bebas dari kontradiksi, circularity, atau ketergantungan pada
relativitas.⁴ Melalui Sextus, skeptisisme Pyrrhonian menjadi sistem filsafat
yang tidak hanya bersifat kritik, tetapi juga menyediakan metodologi filsafat praktis.
Sextus Empiricus
merupakan jembatan utama antara filsafat Helenistik dan dunia modern karena
karya-karyanya berhasil bertahan dan ditemukan kembali pada masa Renaisans.⁵ Ia
menjadi pintu masuk utama bagi para pemikir modern untuk mengenal dan
merefleksikan skeptisisme klasik.
6.3.
Pengaruh terhadap Skeptisisme Modern dan
Epistemologi Barat
Setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan kemudian ke dalam bahasa-bahasa Eropa
lainnya, karya Sextus Empiricus mulai memberi dampak besar terhadap filsafat modern,
terutama pada masa Renaisans dan Abad Pencerahan.
Skeptisisme Pyrrhonian memengaruhi tokoh-tokoh seperti Michel
de Montaigne, yang dalam Essais-nya secara eksplisit
mengutip dan mengadopsi prinsip-prinsip penangguhan penilaian sebagai cara hidup
yang bijak.⁶
Skeptisisme
Pyrrhonian juga memberikan dorongan epistemologis bagi
pemikir seperti René Descartes, yang dalam Meditationes
de Prima Philosophia menggunakan metode keraguan radikal untuk
menemukan landasan pengetahuan yang tidak dapat diragukan.⁷ Meskipun Descartes
berujung pada pemulihan rasionalisme (dengan cogito sebagai titik tolak),
metode skeptik yang ia gunakan secara jelas menunjukkan pengaruh
dari tradisi Pyrrhonian sebagai alat untuk menyaring keyakinan
yang tidak sahih.
Lebih jauh lagi, David
Hume, filsuf empiris Skotlandia, menunjukkan skeptisisme
mendalam terhadap konsep kausalitas dan pengetahuan induktif. Ia menolak adanya
hubungan niscaya antara sebab dan akibat, serta menyatakan bahwa kepercayaan
manusia terhadap sebab-akibat hanyalah produk kebiasaan psikologis,
bukan hasil dari penalaran rasional.⁸ Kritik Hume terhadap fondasi empirisme
dan rasionalisme ini dianggap sebagai salah satu penerapan
skeptisisme Pyrrhonian dalam konteks filsafat modern.
6.4.
Resonansi dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodologi
Kontemporer
Warisan Pyrrhonian
juga terasa dalam epistemologi ilmiah modern,
terutama dalam prinsip anti-dogmatisme dan kerendahan
hati epistemologis. Pendekatan falsifikasionisme dalam sains,
seperti yang diajukan oleh Karl Popper, menolak kepastian
absolut dan menekankan pentingnya pengujian dan keterbukaan terhadap revisi
sebagai ciri khas metode ilmiah.⁹ Dalam kerangka ini, Pyrrho dapat dipandang
sebagai pendahulu epistemologi ilmiah yang kritis, yang menolak klaim kebenaran
final dan menyerukan kewaspadaan terhadap kesimpulan-kesimpulan yang tidak
dapat dipastikan.
Catatan Kaki
[1]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 9.105.
[2]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 48–52.
[3]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.1–8.
[4]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 33–37.
[5]
Luciano Floridi, Scepticism and the Foundation of Epistemology: A
Study in the Metalogical Fallacies (Leiden: Brill, 1996), 42–44.
[6]
Michel de Montaigne, Essais, ed. Pierre Villey (Paris: Presses
Universitaires de France, 1992), I.14.
[7]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to
Descartes (Oxford: Oxford University Press, 2003), 91–95.
[8]
David Hume, An Enquiry concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), §IV–V.
[9]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans
Freidrich (London: Routledge, 2002), 33–37.
7.
Relevansi Pemikiran Pyrrho di Era Kontemporer
Meskipun hidup lebih
dari dua milenium yang lalu, Pyrrho dari Elis tetap relevan
dalam diskursus intelektual kontemporer. Ajarannya yang berakar pada keraguan
epistemologis, penangguhan penilaian, dan pencarian
ketenangan batin, kini mendapatkan resonansi baru dalam
berbagai konteks—mulai dari filsafat ilmu, etika
pluralistik, psikologi eksistensial, hingga teori
komunikasi. Dalam era yang ditandai oleh fragmentasi
pengetahuan, disinformasi, dan polarisasi
ideologis, pendekatan Pyrrhonian menawarkan alternatif
intelektual yang menekankan kehati-hatian, kerendahan hati epistemologis, dan
stabilitas batin dalam menghadapi ketidakpastian.
7.1.
Kritik terhadap Dogmatisme dan Relativisme
Ekstrem
Salah satu
kontribusi paling signifikan dari Pyrrho adalah kritiknya terhadap dogmatisme,
yakni keyakinan mutlak terhadap kebenaran tertentu tanpa mempertimbangkan
kemungkinan kesalahan atau perspektif alternatif. Kritik ini sangat relevan
dalam era digital saat ini, di mana overload informasi sering kali
mendorong individu atau kelompok untuk bertahan dalam gelembung kognitif yang
sempit.¹ Pyrrhonisme mengajarkan bahwa penangguhan penilaian adalah
respons rasional terhadap realitas yang kompleks dan saling bertentangan.
Namun, skeptisisme
Pyrrhonian juga menghindari relativisme ekstrem, karena ia
tidak menggantikan satu kebenaran dengan klaim kebenaran lain yang bersifat
relativistik, melainkan menangguhkan pengambilan posisi
secara keseluruhan.² Dalam dunia pascamodern yang rawan terhadap relativisme
nihilistik, sikap Pyrrhonian menawarkan jalan tengah yang tidak
menafikan kemungkinan dialog, tetapi juga tidak tergelincir dalam dogma.
7.2.
Relevansi dalam Filsafat Ilmu dan Metodologi
Ilmiah
Pyrrhonisme secara
tak langsung berkontribusi pada perkembangan filsafat ilmu modern, terutama
melalui pengaruhnya terhadap skeptisisme metodologis dalam
sains. Seperti yang dikembangkan oleh Karl Popper, falsifikasionisme
menolak ide bahwa ilmu pengetahuan dapat membuktikan teori secara mutlak.
Sebaliknya, teori hanya dapat dipertahankan sejauh belum dibantah.³ Prinsip ini
mencerminkan semangat Pyrrhonian dalam menangguhkan klaim akhir atas kebenaran
dan terus membuka diri terhadap koreksi.⁴
Selain itu, dalam
konteks penelitian lintas budaya atau interdisipliner,
pendekatan skeptis juga membantu menghindari klaim kognitif yang terlalu
universalistik. Pyrrhonisme, dengan penekanan pada keragaman
persepsi dan keraguan terhadap “tatanan objektif”, menjadi
perangkat konseptual yang penting dalam menelaah konstruksi sosial terhadap
kebenaran dan pengetahuan.⁵
7.3.
Kebijaksanaan Emosional dan Psikologi Kesehatan
Mental
Dalam era yang
ditandai oleh krisis kesehatan mental, ajaran Pyrrho tentang ataraxia
memperoleh makna baru. Gagasan bahwa ketenangan batin dapat dicapai melalui pembebasan
dari penilaian dan ekspektasi berlebihan sejalan dengan
prinsip-prinsip modern dalam psikologi mindfulness, terapi
perilaku kognitif, dan filosofi stoik kontemporer.⁶
Pyrrhonisme mengajarkan bahwa banyak penderitaan manusia bukan berasal dari
realitas objektif, tetapi dari penilaian subjektif yang tidak pasti dan sering
kali keliru terhadap realitas tersebut.⁷
Dalam praktik,
pendekatan Pyrrhonian dapat membantu individu mengembangkan kebijaksanaan
emosional, yaitu kemampuan untuk tidak bereaksi berlebihan
terhadap perubahan, ketidakpastian, atau konflik. Ini bukan sikap pasif,
melainkan strategi aktif untuk mempertahankan
keseimbangan psikologis di tengah dunia yang penuh gejolak.
7.4.
Kontribusi terhadap Etika dan Dialog
Antarbudaya
Etika Pyrrhonian
yang anti-dogmatis
dan inklusif juga memiliki implikasi penting dalam konteks
pluralisme moral dan budaya. Dalam masyarakat multikultural
yang kompleks, klaim kebenaran etis tunggal sering kali menjadi sumber konflik.
Dengan menangguhkan penghakiman atas superioritas suatu sistem nilai,
Pyrrhonisme membuka ruang untuk dialog antarbudaya yang lebih setara dan
toleran.⁸
Dalam dunia global
yang diwarnai oleh migrasi, teknologi, dan komunikasi lintas batas, etika
skeptis Pyrrhonian mengajarkan kerendahan hati moral—yakni
kesadaran bahwa posisi etis kita mungkin tidak lebih benar daripada posisi
orang lain.⁹ Ini bukan berarti menolak nilai atau moralitas, tetapi memelihara
kesediaan untuk mendengar, memahami, dan mempertimbangkan perspektif alternatif
tanpa langsung menghakimi.
Catatan Kaki
[1]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to
Descartes (Oxford: Oxford University Press, 2003), 245–250.
[2]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 42–44.
[3]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans
Friedrich (London: Routledge, 2002), 40–45.
[4]
Luciano Floridi, Scepticism and the Foundation of Epistemology: A
Study in the Metalogical Fallacies (Leiden: Brill, 1996), 55–58.
[5]
Lorraine Code, Ecological Thinking: The Politics of Epistemic
Location (Oxford: Oxford University Press, 2006), 17–22.
[6]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 300–303.
[7]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R.G. Bury
(Cambridge: Harvard University Press, 1933), I.12–13.
[8]
Myles Burnyeat, “The Sceptic in His Place and Time,” in Philosophy
in History, eds. Richard Rorty, J.B. Schneewind, and Quentin Skinner
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 253–256.
[9]
Martha Nussbaum, “Patriotism and Cosmopolitanism,” in For Love of
Country? (Boston: Beacon Press, 1996), 5–20.
8.
Kesimpulan
Pemikiran Pyrrho
dari Elis menempati posisi yang unik dan signifikan dalam
sejarah filsafat Barat, terutama sebagai fondasi awal dari skeptisisme
filosofis yang konsisten dan sistematis. Berakar pada
ketidakpercayaan terhadap kemampuan indra dan rasio dalam memberikan
pengetahuan yang pasti, Pyrrho mengembangkan pendekatan filsafat yang lebih
bersifat praktis dan terapeutik daripada
spekulatif. Inti ajarannya—yakni ketidaktetapan segala sesuatu (adiaphora),
penangguhan
penilaian (epoché), dan pencapaian ketenangan batin (ataraxia)—menggambarkan
sebuah filsafat hidup yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari penderitaan
akibat penghakiman yang terburu-buru dan keyakinan yang tidak berdasar.¹
Tidak seperti aliran
skeptisisme akademik yang berkembang di Akademia Platonik dan sering kali tetap
terjebak dalam spekulasi teoretis, Pyrrhonisme mempertahankan posisi non-dogmatis
secara radikal, dengan menolak membuat klaim apa pun, bahkan
klaim bahwa pengetahuan itu mustahil.² Posisi ini, meskipun secara logis tampak
ekstrem, justru menunjukkan kerendahan hati epistemologis
yang mendalam dan menjadi inspirasi bagi berbagai pemikir lintas zaman.
Warisan intelektual
Pyrrho tidak berhenti di era Helenistik. Melalui karya-karya Sextus Empiricus,
ajarannya menjangkau dunia filsafat modern, memengaruhi
pemikiran Montaigne, Descartes, Hume, dan
Popper,
serta memberi kontribusi penting dalam pembentukan prinsip-prinsip skeptisisme
metodologis dan ilmiah.³ Pyrrho juga menjadi referensi penting
dalam wacana kontemporer mengenai pluralisme, toleransi, dan krisis epistemologis,
menawarkan suatu bentuk kebijaksanaan yang tidak terjebak dalam absolutisme
atau relativisme, melainkan menekankan kesabaran intelektual dan keterbukaan terhadap
ketidaktahuan.⁴
Lebih dari sekadar
sebuah sistem pemikiran, filsafat Pyrrho adalah praktik hidup yang mengajarkan
bahwa ketenangan dan kebahagiaan dapat ditemukan bukan melalui pengetahuan yang
sempurna, tetapi melalui penerimaan atas keterbatasan kita sebagai
makhluk yang tidak pernah sepenuhnya tahu. Dalam dunia yang
terus berubah, sarat konflik penafsiran dan banjir informasi, Pyrrhonisme
tetap relevan sebagai pendekatan etis dan intelektual yang
menawarkan jalan menuju keseimbangan batin dan dialog yang sehat.
Dengan demikian,
Pyrrho dari Elis telah meninggalkan jejak abadi dalam tradisi filsafat Barat,
tidak hanya sebagai pelopor skeptisisme, tetapi juga sebagai penggagas
filsafat kehidupan yang tetap berbicara dengan kuat kepada
zaman kita.
Catatan Kaki
[1]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 55–60.
[2]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 38–41.
[3]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism from Erasmus to
Descartes (Oxford: Oxford University Press, 2003), 92–97.
[4]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in
Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 298–305.
Daftar Pustaka
Annas, J., & Barnes, J. (1985). The modes of
scepticism: Ancient texts and modern interpretations. Cambridge University
Press.
Bett, R. (2000). Pyrrho, his antecedents and his
legacy. Oxford University Press.
Burnyeat, M. (1983). Can the sceptic live his
scepticism? In M. Burnyeat (Ed.), The skeptical tradition (pp. 117–148).
University of California Press.
Burnyeat, M. (1984). The sceptic in his place and
time. In R. Rorty, J. B. Schneewind, & Q. Skinner (Eds.), Philosophy in
history (pp. 225–254). Cambridge University Press.
Code, L. (2006). Ecological thinking: The
politics of epistemic location. Oxford University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent
philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Floridi, L. (1996). Scepticism and the
foundation of epistemology: A study in the metalogical fallacies. Brill.
Hume, D. (2000). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original
work published 1748)
Kuzminski, A. (2008). Pyrrhonism: How the
ancient Greeks reinvented Buddhism. Lexington Books.
Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy:
Stoics, Epicureans, Sceptics (2nd ed.). University of California Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The
Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.
McEvilley, T. (2002). The shape of ancient
thought: Comparative studies in Greek and Indian philosophies. Allworth
Press.
Montaigne, M. de. (1992). Essais (P. Villey,
Ed.). Presses Universitaires de France.
Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire:
Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.
Nussbaum, M. C. (1996). Patriotism and
cosmopolitanism. In M. C. Nussbaum & J. Cohen (Eds.), For love of
country? (pp. 3–17). Beacon Press.
Popkin, R. H. (2003). The history of scepticism
from Erasmus to Descartes (Rev. ed.). Oxford University Press.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery (H. Friedrich, Trans.). Routledge. (Original work published 1934)
Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism
(R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar