Realitas
Perspektif Filsafat Klasik hingga Kontemporer
Alihkan ke: Ontologi dalam Filsafat.
Apa yang ada?; Apa esensi dari realitas?.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep realitas dalam filsafat
dari perspektif historis dan komparatif, mencakup pemikiran dari era klasik
hingga kontemporer, termasuk pendekatan Timur yang bersifat transendental.
Pembahasan diawali dengan telaah definisi dan konteks konseptual realitas,
kemudian dilanjutkan dengan eksplorasi pandangan tokoh-tokoh besar seperti
Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Avicenna, Descartes, Kant, Heidegger,
hingga Baudrillard. Artikel ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang realitas
telah mengalami transformasi signifikan, dari pandangan ontologis-metafisik ke
arah epistemologis, eksistensial, linguistik, bahkan konstruktivis. Selain itu,
pemikiran dari tradisi Hindu, Buddha, dan tasawuf Islam memperkaya wacana
realitas dengan dimensi spiritual dan mistis yang menekankan keterhubungan
antara manusia dan sumber hakiki keberadaan. Kajian ini juga menyoroti implikasi
pemahaman realitas dalam bidang ilmu pengetahuan, etika, teknologi, dan
pendidikan. Dengan pendekatan lintas tradisi dan multidisipliner, artikel ini
menyimpulkan bahwa refleksi atas realitas tidak hanya penting untuk memahami
dunia, tetapi juga untuk membentuk kesadaran manusia yang utuh dan bertanggung
jawab.
Kata Kunci: Realitas, metafisika, eksistensialisme, filsafat
Timur, kesadaran, ontologi, simulasi, Dasein, Brahman, wahdat al-wujūd.
PEMBAHASAN
Menelusuri Hakikat Realitas
1.
Pendahuluan
Realitas merupakan
salah satu tema sentral dalam filsafat yang telah menjadi objek pemikiran sejak
zaman kuno hingga era kontemporer. Dalam kehidupan sehari-hari, kita
menggunakan istilah "realitas" untuk merujuk pada segala
sesuatu yang dianggap benar-benar ada, berlangsung, atau dapat dialami. Namun,
pertanyaan mendasar yang selalu muncul adalah: apakah realitas itu sebenarnya?
Apakah ia bersifat objektif dan independen dari kesadaran manusia, atau justru
terbentuk dan dibatasi oleh persepsi subyektif manusia?
Para filsuf besar
dari berbagai zaman dan aliran pemikiran telah memberikan beragam definisi dan
pendekatan terhadap realitas. Bagi Plato, realitas sejati bukanlah dunia yang
kita lihat dengan indera, melainkan dunia ide yang abadi dan sempurna.¹
Sebaliknya, Aristoteles menyatakan bahwa realitas melekat pada benda-benda
konkret yang dapat diamati, dan menghubungkannya dengan konsep substansi,
aktualitas, dan potensialitas.² Di era modern, René Descartes mempertanyakan
keandalan indera dan membangun fondasi realitas berdasarkan pemikiran yang tak
dapat diragukan: cogito ergo sum—"aku berpikir,
maka aku ada".³
Sementara itu,
Immanuel Kant menghadirkan pendekatan kritis terhadap realitas dengan
membedakan antara dunia seperti yang tampak bagi kita (phenomena)
dan dunia sebagaimana adanya (noumena), yang tak pernah bisa kita
akses secara langsung.⁴ Pandangan ini membuka jalan bagi pertanyaan filosofis
yang lebih kompleks tentang hubungan antara kesadaran manusia dan realitas
objektif. Dalam filsafat kontemporer, Martin Heidegger menggugah pemikiran
tentang eksistensi manusia (Dasein) dan keterlibatannya dalam
dunia sebagai kunci untuk memahami realitas.⁵ Di sisi lain, filsuf postmodern
seperti Jean Baudrillard bahkan mempertanyakan apakah realitas masih ada dalam
dunia modern yang dipenuhi simulasi dan media digital.⁶
Artikel ini
bertujuan untuk menyajikan eksplorasi mendalam mengenai konsep realitas dari
sudut pandang filsafat klasik hingga kontemporer. Dengan pendekatan historis
dan konseptual, artikel ini akan menelusuri bagaimana realitas dipahami,
diperdebatkan, dan direkonstruksi sepanjang sejarah pemikiran manusia.
Harapannya, pembahasan ini tidak hanya memperluas wawasan pembaca, tetapi juga
merangsang kesadaran reflektif terhadap bagaimana kita memandang dan mengalami
dunia di sekitar kita.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 239–240.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
681–682.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.
[6]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
2.
Definisi
dan Konteks Konseptual “Realitas”
Dalam diskursus
filsafat, istilah “realitas” merujuk pada keseluruhan keberadaan yang
ada secara aktual dan independen, baik yang dapat ditangkap oleh pengalaman inderawi
maupun yang hanya dapat dipahami oleh nalar atau intuisi metafisik. Secara
etimologis, kata “realitas” berasal dari bahasa Latin res,
yang berarti “benda” atau “hal”. Istilah ini berkembang dalam
bahasa Latin Abad Pertengahan menjadi realitas, mengacu pada sesuatu yang
memiliki eksistensi objektif atau aktual.¹
Namun,
mendefinisikan realitas secara filosofis tidaklah sesederhana menyamakannya
dengan "apa yang ada". Realitas bukan sekadar apa yang tampak
atau hadir secara fisik, melainkan juga mencakup dimensi yang tak kasatmata:
ide, nilai, kemungkinan, bahkan ketakterhinggaan.² Dalam filsafat metafisika,
realitas sering dipertentangkan dengan ilusi, kemunculan (appearance),
atau non-realitas, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar: Apakah
yang sungguh-sungguh ada? Apa kriteria keberadaan? Dan apakah realitas bersifat
tunggal atau jamak?
Sebagian filsuf
menggarisbawahi perbedaan antara realitas dan kenyataan aktual (actuality).
Dalam pandangan metafisik klasik seperti milik Aristoteles, actuality
merupakan kondisi ketika sesuatu telah mewujud dari potensinya; sedangkan reality
bisa mencakup keseluruhan tatanan keberadaan, termasuk yang belum
teraktualisasi.³ Hal ini memperluas cakupan realitas tidak hanya kepada apa
yang sedang terjadi (actual), tetapi juga kepada apa
yang mungkin (potential) dan yang niscaya (necessary).
Selain itu, terdapat
perbedaan penting antara realitas dan kebenaran.
Kebenaran (truth) berkaitan dengan proposisi atau pernyataan yang sesuai dengan
fakta atau keadaan dunia, sedangkan realitas mengacu pada keadaan dunia itu
sendiri, terlepas dari apakah kita berhasil atau gagal menggambarkannya secara
benar.⁴ Oleh karena itu, seseorang bisa salah dalam memahami atau menyatakan
sesuatu, tetapi objek dari kesalahan itu tetap berada dalam realitas. Inilah
sebabnya mengapa filsafat realitas sering kali berjalan seiring dengan
epistemologi, yaitu teori pengetahuan: untuk memahami realitas, kita harus
memahami bagaimana kita bisa (atau tidak bisa) mengetahuinya.
Dalam ensiklopedia
filsafat modern, Simon Blackburn menjelaskan realitas sebagai “semua yang
benar-benar ada, entah dapat diamati secara langsung maupun tidak.”_⁵
Sedangkan dalam tradisi skolastik yang lebih sistematis, seperti dijelaskan
oleh Edward Feser, realitas dibedakan menjadi berbagai tingkatan: mulai dari
substansi dan aksiden, hingga aktus dan potensia.⁶ Pendekatan semacam ini
menempatkan realitas bukan sebagai sesuatu yang mutlak tunggal atau homogen,
tetapi sebagai struktur berlapis yang bisa dianalisis secara rasional.
Konsep realitas juga
tidak netral secara budaya maupun sejarah. Dalam berbagai sistem filsafat
Timur, misalnya, realitas sering kali dikaitkan dengan prinsip transendental
yang melampaui dunia empiris. Dalam Hindu, dikenal konsep Maya
sebagai tirai ilusi yang menutupi realitas sejati (Brahman), sedangkan dalam filsafat
Buddha, realitas dipahami sebagai kekosongan (śūnyatā) yang menyatakan bahwa
segala hal tidak memiliki inti eksistensi yang tetap.⁷
Dengan demikian,
realitas dalam pengertian filosofis tidak bisa disederhanakan menjadi satu
definisi tunggal. Ia merupakan medan perdebatan yang terbuka, dinamis, dan
senantiasa dipertanyakan, tergantung dari kerangka metafisika, epistemologi,
dan bahkan antropologi filsuf yang mengkaji.
Footnotes
[1]
William Edward Houghton, The Victorian Frame of Mind, 1830–1870
(New Haven: Yale University Press, 1957), 124.
[2]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Oxford
University Press, 1912), 17–21.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
681–683.
[4]
Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford:
Clarendon Press, 1973), 4–5.
[5]
Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2016), 330.
[6]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 45–48.
[7]
S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 1 (Delhi: Oxford
University Press, 2009), 97–103.
3.
Pandangan
Filsafat Klasik terhadap Realitas
Filsafat klasik,
khususnya dalam tradisi Yunani Kuno, menempati posisi penting dalam fondasi
pemahaman tentang realitas. Para filsuf seperti Plato dan Aristoteles
tidak hanya merumuskan pertanyaan metafisis yang mendalam mengenai “apa yang
sungguh-sungguh ada,” tetapi juga menawarkan kerangka konseptual yang terus
mempengaruhi perdebatan filosofis hingga hari ini.
3.1.
Plato: Realitas
Sebagai Dunia Ide
Plato (427–347 SM)
adalah salah satu filsuf pertama yang secara sistematis memisahkan antara dunia
nyata (the real)
dan dunia semu (the apparent). Dalam The
Republic, Plato menjelaskan teori dua dunia: pertama, dunia
inderawi yang dapat berubah dan bersifat sementara; kedua, dunia ide (Forms
atau Ideas),
yang bersifat kekal, tidak berubah, dan merupakan realitas sejati.¹ Bagi Plato,
objek-objek fisik hanyalah bayangan atau salinan dari bentuk-bentuk ideal yang
abadi dan sempurna. Misalnya, pohon yang kita lihat hanyalah partisipasi dalam
bentuk “ke-pohonan” yang ideal.
Konsep ini
digambarkan secara alegoris dalam Mitos Gua, di mana manusia
diibaratkan seperti tahanan yang hanya melihat bayangan di dinding dan
menganggapnya sebagai realitas.² Hanya dengan filsafat dan penggunaan akal,
seseorang dapat keluar dari gua dan mengakses dunia ide yang sejati. Dengan
demikian, bagi Plato, realitas tertinggi adalah non-indrawi,
rasional, dan dapat diketahui melalui pemikiran murni.
3.2.
Aristoteles: Realitas
sebagai Substansi dan Aktualitas
Berbeda dengan
gurunya, Aristoteles (384–322 SM) menolak pemisahan radikal antara dunia ide
dan dunia inderawi. Ia menegaskan bahwa realitas sejati justru terdapat dalam hal-hal
konkret yang ada di dunia ini. Dalam karya Metaphysics,
Aristoteles memperkenalkan konsep substance (ousia)
sebagai inti dari realitas, yakni sesuatu yang berdiri sendiri dan menjadi
dasar bagi eksistensi dan perubahan.³
Aristoteles juga
mengembangkan doktrin aktualitas (actuality)
dan potensialitas
(potentiality)
untuk menjelaskan perubahan. Setiap benda memiliki potensi untuk menjadi
sesuatu, dan realitas terjadi ketika potensi tersebut menjadi aktual. Misalnya,
biji memiliki potensi untuk menjadi pohon; dan ketika pertumbuhan terjadi,
realitas aktual dari pohon itu terwujud.⁴
Selain itu,
Aristoteles membagi eksistensi menjadi sepuluh kategori (categories),
seperti substansi, kualitas, kuantitas, relasi, waktu, tempat, dan lain-lain.⁵
Pendekatan ini mencerminkan upaya Aristoteles untuk menyusun realitas
sebagai struktur yang teratur, logis, dan dapat diklasifikasikan berdasarkan
prinsip-prinsip rasional.
Dengan demikian, Plato
dan Aristoteles menawarkan dua pendekatan mendasar terhadap realitas:
satu yang menekankan transendensi dan idealisme,
dan satu lagi yang berfokus pada imanensi dan empirisisme.
Pandangan mereka menjadi landasan metafisika Barat dan terus dibahas dalam
berbagai perdebatan filosofis sepanjang sejarah.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 239–241.
[2]
Plato, The Republic, Book VII, 514a–520a.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
681–683.
[4]
Ibid., 692–694.
[5]
Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
7–9.
4.
Pandangan
Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat Abad
Pertengahan membawa pemikiran tentang realitas ke dalam lanskap yang lebih
religius dan teologis, khususnya dalam tradisi Kristen, Islam, dan Yahudi. Para
filsuf pada periode ini tidak hanya meneruskan warisan metafisika Yunani,
tetapi juga mencoba mensintesiskannya dengan doktrin-doktrin keagamaan. Fokus
utama mereka adalah memahami realitas dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai
sumber segala yang ada, serta membedakan antara wujud mutlak (Tuhan) dan wujud
kontingen (makhluk). Tokoh-tokoh seperti St. Thomas Aquinas, Avicenna
(Ibnu Sina), dan Averroes (Ibnu Rusyd) memainkan
peran sentral dalam membentuk pemikiran metafisik tentang realitas pada masa
ini.
4.1.
St. Thomas Aquinas:
Realitas sebagai Partisipasi dalam Wujud Ilahi
St. Thomas Aquinas
(1225–1274), filsuf dan teolog Katolik terkemuka, mengembangkan pandangan
tentang realitas yang berpijak pada sintesis pemikiran Aristoteles dan ajaran
Kristen. Dalam kerangka metafisiknya, realitas dipahami melalui konsep “esse”
(keberadaan) dan “essentia” (hakikat). Menurut Aquinas, hanya
Tuhan yang keberadaan-Nya identik dengan hakikat-Nya, sedangkan makhluk-makhluk
lainnya menerima keberadaan secara partisipatif.¹
Konsep “actus
essendi” atau “act of being” menjadi pusat pemikirannya: realitas sejati
adalah keberadaan itu sendiri, dan semua makhluk hanya memiliki wujud sejauh
mereka “berpartisipasi” dalam keberadaan yang dikaruniakan oleh Tuhan.²
Dengan demikian, Aquinas mengaitkan realitas sebagai sesuatu yang bergantung dan
bersumber pada keberadaan Tuhan yang mutlak dan niscaya.³
4.2.
Avicenna (Ibnu Sina):
Wujud dan Esensi dalam Hierarki Keberadaan
Dalam tradisi filsafat
Islam, Avicenna
(980–1037) memainkan peran penting dalam merumuskan hubungan
antara wujud dan esensi. Dalam karyanya Al-Shifa’, ia membedakan antara al-wujūd
(eksistensi) dan al-māhiyyah (esensi), di mana segala
sesuatu dalam dunia ini memiliki esensi yang terpisah dari eksistensinya.⁴
Hanya Tuhan (wājib al-wujūd – yang niscaya
wujudnya) yang memiliki eksistensi yang melekat dalam esensinya.
Menurut Avicenna,
realitas dapat dipahami dalam hirarki: dari yang mungkin ada (mumkin
al-wujūd), yang keberadaannya bergantung pada sebab lain, hingga
yang niscaya ada (wājib al-wujūd), yang tidak
bergantung pada apapun.⁵ Pemikiran ini membentuk fondasi metafisika Islam dan
sangat memengaruhi pemikiran skolastik di Barat, termasuk Aquinas.
4.3.
Averroes (Ibnu Rusyd):
Realitas dan Akal Aktif
Averroes
(1126–1198), komentator besar atas karya Aristoteles, menegaskan pentingnya
akal aktif dalam memahami realitas. Dalam pandangannya, realitas objektif dapat
diketahui oleh manusia melalui pemikiran rasional dan pengaktifan potensi
intelek oleh akal aktif universal.⁶ Dengan demikian, realitas
bukan hanya soal wujud eksternal, tetapi juga melibatkan aktivitas intelektual
manusia dalam memahami keberadaan secara mendalam.
Averroes juga
membela posisi bahwa filsafat dan agama Islam tidak bertentangan dalam memahami
realitas; keduanya menuju pada kebenaran yang sama, meski melalui jalur
epistemik yang berbeda.⁷
Dengan demikian,
filsafat Abad Pertengahan memberikan kontribusi besar dalam menyistematisasi
pemahaman tentang realitas sebagai sesuatu yang bertingkat dan berakar pada
prinsip ketuhanan. Para filsuf masa ini tidak hanya mengembangkan kategori
metafisik yang lebih halus, tetapi juga memperluas horizon pemikiran realitas
dengan menjadikannya sebagai jembatan antara rasio dan wahyu.
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 3, a. 4.
[2]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic
Metaphysics (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2001), 55–58.
[3]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon
Press, 1992), 65–67.
[4]
Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E.
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 28–32.
[5]
Peter Adamson, The Philosophy of Ibn Sina (London: Routledge,
2013), 85–87.
[6]
Averroes, Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the
Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 271–274.
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 2004), 149–152.
5.
Pandangan
Filsafat Modern
Filsafat modern,
yang berkembang sejak abad ke-17, menandai pergeseran paradigma dalam memahami
realitas: dari pendekatan metafisik yang bersandar pada otoritas religius atau
tradisi klasik, menuju pendekatan yang menekankan rasionalitas, subjektivitas,
dan fondasi epistemologis. Para pemikir modern mulai mempertanyakan tidak hanya
apa itu
realitas, tetapi juga bagaimana kita dapat mengetahuinya secara pasti.
Dua tokoh penting dalam perkembangan pemikiran realitas pada era ini adalah René
Descartes dan Immanuel Kant.
5.1.
René Descartes:
Realitas dan Fondasi Kesadaran
René Descartes
(1596–1650), yang dijuluki sebagai bapak filsafat modern, memulai pencariannya
terhadap realitas dengan metode keraguan radikal. Dalam Meditations
on First Philosophy, Descartes meragukan semua yang dapat
diragukan—termasuk indera, tubuh, bahkan dunia luar—untuk menemukan satu
kebenaran yang tak terbantahkan: cogito ergo sum (aku
berpikir, maka aku ada).¹
Menurut Descartes, realitas
yang paling pasti dan pertama adalah eksistensi subjek yang berpikir.
Dari sini, ia membedakan antara dua substansi: res cogitans (substansi
berpikir, yaitu jiwa) dan res extensa (substansi yang
memiliki keluasan, yaitu materi).² Dunia luar dianggap benar-benar ada, tetapi
validitasnya dijamin hanya setelah eksistensi Tuhan dibuktikan, sebagai
penjamin bahwa pikiran manusia tidak terus-menerus ditipu.³
Bagi Descartes, realitas
bersifat dualistik, yaitu terdiri dari dua substansi yang
berbeda namun saling berkaitan. Pandangan ini memicu perdebatan panjang dalam
filsafat modern tentang hubungan antara pikiran dan tubuh, serta antara
kesadaran dan dunia objektif.
5.2.
Immanuel Kant:
Realitas sebagai Noumena dan Fenomena
Immanuel Kant
(1724–1804) melakukan revolusi besar dalam filsafat modern melalui pendekatan
kritisnya terhadap realitas dan pengetahuan. Dalam Critique of Pure Reason, Kant
memperkenalkan distingsi antara dunia sebagaimana tampak
kepada kita (phenomena) dan
dunia sebagaimana adanya (noumena).⁴
Menurut Kant, kita
tidak pernah bisa mengetahui realitas sebagaimana adanya secara langsung,
karena pengalaman kita selalu dimediasi oleh struktur a priori dalam akal
manusia, seperti ruang, waktu, dan kategori pemahaman (sebab-akibat, substansi,
dsb.).⁵ Dengan kata lain, apa yang kita sebut "realitas"
adalah konstruksi yang muncul dari interaksi antara objek dan kemampuan
kognitif kita.
Kant tidak
menyangkal keberadaan dunia luar (noumenal), tetapi menegaskan bahwa ia adalah batas
epistemologis: sesuatu yang harus diandaikan tetapi tidak dapat
diketahui secara empiris atau rasional murni.⁶ Dengan demikian, realitas dalam
pandangan Kant bukanlah sesuatu yang dapat sepenuhnya dijangkau oleh akal atau
indera, melainkan sesuatu yang dibentuk oleh struktur kesadaran manusia
sendiri.
Kedua tokoh ini
menandai dua arah penting dalam filsafat modern: Descartes
meletakkan dasar realitas pada subjek yang berpikir, sedangkan Kant
menekankan keterbatasan dan konstruktivitas pengetahuan manusia terhadap
realitas. Keduanya menolak asumsi bahwa realitas eksternal bisa
diketahui secara langsung dan memberikan kontribusi besar dalam membentuk
dasar-dasar filsafat kritis, rasionalis, dan fenomenologis di masa-masa
berikutnya.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–18.
[2]
Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger
Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), I.48–52.
[3]
John Cottingham, Descartes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 1986), 36–40.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294.
[5]
Robert Paul Wolff, Kant’s Theory of Mental Activity (Cambridge:
Harvard University Press, 1963), 53–57.
[6]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation
and Defense (New Haven: Yale University Press, 2004), 32–36.
6.
Pandangan
Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer
membawa pembahasan tentang realitas ke dalam wilayah yang semakin kompleks,
pluralistik, dan multidisipliner. Tidak ada satu pendekatan dominan, tetapi
berbagai arus pemikiran yang saling bersaing atau melengkapi: dari
eksistensialisme dan fenomenologi, filsafat analitik, hingga postmodernisme dan
realisme ilmiah. Realitas tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tunggal dan
mutlak, melainkan sebagai sesuatu yang ditafsirkan secara kontekstual, dialektis, atau
bahkan dikonstruksi secara sosial dan simbolik.
6.1.
Martin Heidegger: Realitas
sebagai Pengungkapan Ada
Dalam Being
and Time, Martin Heidegger (1889–1976) berusaha mengembalikan
filsafat ke pertanyaan paling fundamental: apa makna “ada” (Sein)?
Heidegger menolak pendekatan metafisika klasik yang melihat realitas sebagai
kumpulan entitas yang ada secara objektif. Sebaliknya, ia memperkenalkan konsep
Dasein—manusia
sebagai makhluk yang “ada-di-dunia” dan memahami keberadaannya melalui
keterlibatannya dalam dunia.¹
Bagi Heidegger, realitas
bukan sekadar kumpulan benda-benda, melainkan sesuatu yang terungkap
melalui pengalaman eksistensial dan praksis hidup manusia.
Dunia menjadi nyata hanya sejauh ia dimaknai dan dijalani. Dalam kerangka ini,
realitas bukanlah sesuatu yang “di luar sana” secara independen, melainkan
sesuatu yang selalu terkait dengan eksistensi manusia dan
pemahamannya akan keberadaan.²
6.2.
Filsafat Analitik:
Realisme vs. Anti-realisme
Dalam tradisi
filsafat analitik, pembahasan realitas banyak berkisar pada perdebatan
antara realisme dan anti-realisme. Realisme, secara umum,
menyatakan bahwa dunia eksternal ada secara independen dari pikiran manusia,
dan bahwa proposisi ilmiah dapat menggambarkan dunia secara benar atau salah.
Tokoh seperti Hilary Putnam awalnya membela realisme ilmiah, namun kemudian
mengembangkan konsep realisme internal, yang
menyatakan bahwa kebenaran dan realitas bersifat konseptual-relasional,
tergantung pada kerangka linguistik atau teoritis tertentu.³
Di sisi lain,
anti-realis seperti Nelson Goodman atau Michael Dummett berpendapat bahwa
realitas tidak bisa dipisahkan dari cara kita mengonstruksi atau mendeskripsikannya,
baik secara bahasa, logika, atau paradigma ilmiah.⁴ Ini menimbulkan pertanyaan:
apakah realitas adalah sesuatu yang kita temukan atau sesuatu yang kita buat?
Perdebatan ini
menunjukkan bahwa dalam filsafat kontemporer, realitas sering kali dipandang bukan sebagai
entitas netral, tetapi sebagai produk interaksi antara dunia dan sistem
representasi yang digunakan manusia untuk memahaminya.
6.3.
Jean Baudrillard:
Hiperrealitas dan Simulasi
Dalam konteks
postmodernisme, Jean Baudrillard (1929–2007) membawa diskusi tentang realitas
ke arah yang lebih radikal. Dalam karyanya Simulacra and Simulation, ia
berargumen bahwa masyarakat kontemporer telah melewati tahap
realitas menuju “hiperrealitas”—sebuah kondisi di mana simulasi
(gambar, tanda, media) tidak lagi merepresentasikan kenyataan, tetapi
menggantikan dan mendahuluinya.⁵
Menurut Baudrillard,
dalam era media dan teknologi, realitas tidak lagi dibentuk oleh pengalaman
langsung, melainkan oleh representasi-representasi yang
bersifat artifisial. Contoh ekstremnya adalah realitas dalam iklan, televisi,
atau media sosial, di mana yang kita konsumsi bukan kenyataan itu sendiri,
melainkan versi estetis atau naratif yang telah dikonstruksi
secara sistematis.⁶
Dalam konteks ini,
pertanyaan ontologis tidak lagi “apa itu realitas?”, tetapi “apakah
realitas masih ada?” atau “apakah kita hanya hidup dalam realitas yang
disimulasikan?” Gagasan ini membuka dimensi baru dalam memahami keberadaan
manusia di tengah perkembangan teknologi dan informasi.
Pandangan-pandangan
kontemporer ini menunjukkan bahwa realitas bukan lagi sekadar objek pengamatan
atau konsep metafisik, melainkan wilayah
interdisipliner yang melibatkan eksistensi, bahasa, sains, budaya, dan media.
Dari Heidegger hingga Baudrillard, realitas dipahami bukan hanya sebagai apa
yang ada, tetapi juga bagaimana ia dialami, dimaknai, dan dikonstruksi.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.
[2]
Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's
Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 1–12.
[3]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 49–82.
[4]
Michael Dummett, Truth and Other Enigmas (Cambridge: Harvard
University Press, 1978), 145–165.
[5]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[6]
Douglas Kellner, Jean Baudrillard: From Marxism to Postmodernism
and Beyond (Cambridge: Polity Press, 1989), 68–70.
7.
Realitas
dalam Perspektif Timur (Opsional)
Berbeda dengan
filsafat Barat yang sering menekankan aspek analitis, dualistik, atau objektif
dalam memahami realitas, filsafat Timur cenderung mengambil pendekatan
yang lebih intuitif, holistik, dan transendental. Dalam tradisi
Hindu, Buddha, dan Islam (khususnya tasawuf), realitas bukan hanya persoalan
ontologi, melainkan juga berkaitan erat dengan pembebasan eksistensial dan penyatuan
dengan sumber mutlak keberadaan. Pemahaman tentang realitas
dalam filsafat Timur sering kali bersifat mistis, metaforis, dan spiritual,
dengan tujuan akhir bukan sekadar mengetahui, tetapi mengalami
dan menyatu dengannya.
7.1.
Hindu: Maya dan
Brahman
Dalam filsafat
Vedanta, yang merupakan salah satu aliran utama dalam Hindu, realitas
sejati adalah Brahman, yaitu prinsip mutlak, abadi, tak
berubah, dan melampaui segala bentuk. Brahman bukan sekadar “Tuhan”
dalam pengertian personal, tetapi hakikat terdalam dari semua eksistensi—“yang
satu tanpa yang kedua” (ekam eva advitiyam).¹
Namun, dunia yang
tampak oleh indera kita disebut maya, yaitu ilusi
atau tirai penampakan yang menutupi realitas sejati. Maya bukan
berarti tidak ada sama sekali, tetapi keberadaannya bersifat
sementara, berubah-ubah, dan tidak mutlak.² Oleh karena itu,
dalam filsafat Hindu, pencerahan (moksha) adalah
proses menyingkap maya dan menyadari bahwa Atman (jiwa individu) sebenarnya
identik dengan Brahman—realitas absolut.³
7.2.
Buddhisme: Sunyata dan
Ketiadaan Inti
Buddhisme mengambil
pendekatan berbeda dengan menolak keberadaan esensi tetap dalam segala hal.
Doktrin anatta (tanpa diri) dan śūnyatā
(kekosongan) menyatakan bahwa tidak ada entitas yang memiliki “inti” yang
kekal, termasuk diri manusia.⁴ Semua fenomena bersifat saling
bergantungan (pratītyasamutpāda) dan tidak
memiliki eksistensi independen.
Dalam pandangan ini,
realitas dipahami bukan sebagai substansi tetap, tetapi sebagai proses yang
senantiasa berubah. Kekosongan bukan berarti nihilisme,
melainkan penegasan bahwa segala sesuatu hanya eksis
sejauh ia saling bergantung dan tidak berdiri sendiri.⁵ Tujuan
spiritual Buddhisme adalah mencapai nirvana, yaitu keadaan
tanpa keterikatan terhadap bentuk-fisik dan identitas, yang
dianggap sebagai pemahaman dan perwujudan tertinggi akan realitas.⁶
7.3.
Islam (Tasawuf): Wujud
dan Penyatuan dengan Tuhan
Dalam filsafat
Islam, khususnya tradisi tasawuf, realitas dipahami melalui konsep wujūd
(eksistensi). Salah satu gagasan paling berpengaruh adalah wahdat
al-wujūd atau “kesatuan eksistensi” yang dipopulerkan
oleh Ibn
‘Arabi (1165–1240). Menurut Ibn ‘Arabi, hanya
Tuhan yang benar-benar memiliki eksistensi mutlak, sedangkan
semua makhluk adalah manifestasi dari eksistensi-Nya.⁷
Makhluk tidak
memiliki eksistensi tersendiri, tetapi hadir sebagai bentuk tajalli
(penampakan) dari sifat-sifat Ilahi. Oleh karena itu, realitas
sejati adalah Tuhan, dan segala yang ada merupakan cermin dari
keberadaan-Nya.⁸ Dalam kerangka ini, pencapaian spiritual
tertinggi adalah penyatuan metaforis dengan Tuhan,
bukan dalam arti ontologis (sebagaimana ditolak oleh akidah Sunni), tetapi
sebagai pemahaman mendalam akan keterhubungan eksistensial antara hamba dan
Tuhannya.⁹
Pandangan Timur
mengenai realitas menunjukkan bahwa realitas bukan hanya objek kontemplasi
filosofis, tetapi juga medan transformasi spiritual. Kesadaran
akan realitas sejati berkaitan erat dengan pembebasan dari penderitaan, keterikatan, dan
kebodohan eksistensial. Dalam hal ini, filsafat Timur
mengajukan alternatif penting bagi wacana metafisika global, yaitu pendekatan
terhadap realitas yang tidak hanya memisahkan antara subjek dan objek,
tetapi justru mengarah pada penyatuan yang menyeluruh antara pengetahu dan
yang diketahui.
Footnotes
[1]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 2 (Delhi:
Oxford University Press, 2009), 15–17.
[2]
Eliot Deutsch, Advaita Vedanta: A Philosophical Reconstruction
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1969), 37–40.
[3]
Upanishads, trans. Eknath Easwaran (Tomales: Nilgiri Press, 2007),
90–92.
[4]
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press,
1974), 55–59.
[5]
Nagarjuna, Mulamadhyamakakarika, trans. Jay L. Garfield, The
Fundamental Wisdom of the Middle Way (Oxford: Oxford University Press,
1995), 68–72.
[6]
Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 64–67.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 79–84.
[8]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
118–120.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 135–138.
8.
Aplikasi
dan Implikasi Pemahaman Realitas
Pemahaman tentang
realitas tidak hanya memiliki konsekuensi teoritis dalam ranah filsafat, tetapi
juga berdampak langsung pada berbagai aspek kehidupan manusia: sains, etika,
teknologi, pendidikan, agama, dan bahkan politik. Setiap paradigma tentang
realitas mengandaikan cara tertentu dalam melihat, menilai, dan bertindak dalam dunia.
Oleh karena itu, mengeksplorasi realitas bukan hanya soal pemahaman metafisik,
tetapi juga pembentukan cara hidup dan struktur peradaban.
8.1.
Dalam Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
Dalam ranah sains,
konsep realitas berkaitan erat dengan ontologi ilmiah—apa yang
dianggap benar-benar ada dan bisa dijelaskan secara objektif. Realisme ilmiah,
misalnya, meyakini bahwa teori-teori ilmiah berusaha menggambarkan dunia
sebagaimana adanya, bahkan jika objeknya tidak dapat diamati secara langsung
(seperti partikel subatomik atau lubang hitam).¹ Sebaliknya, instrumentalisme
atau konstruktivisme ilmiah melihat teori ilmiah sebagai alat
prediksi yang tidak harus mencerminkan realitas objektif,
melainkan hanya bekerja secara praktis dalam kerangka tertentu.²
Implikasinya tampak
jelas dalam perkembangan teknologi. Dalam era digital dan kecerdasan buatan,
realitas virtual (VR), augmented reality (AR), dan simulasi komputer telah mengaburkan
batas antara yang “nyata” dan yang “buatan”.³ Seperti
diperingatkan oleh Baudrillard, ketika simulasi mendominasi, masyarakat bisa
kehilangan pijakan terhadap realitas sejati.⁴ Maka, filsafat realitas membantu
menjaga refleksi kritis atas perkembangan teknologi yang bisa menciptakan
hiperrealitas tanpa kesadaran ontologis.
8.2.
Dalam Etika dan
Kemanusiaan
Pandangan tentang
realitas juga berdampak pada etika dan nilai-nilai kemanusiaan.
Jika realitas dipahami sebagai mekanisme alamiah tanpa tujuan (sebagaimana
dalam naturalisme ekstrem), maka nilai moral cenderung dianggap relatif atau
sebagai konstruksi sosial belaka. Sebaliknya, jika realitas diyakini memiliki
dimensi moral atau spiritual, maka tindakan manusia memiliki makna yang
melampaui kepentingan pragmatis.
Filsuf seperti
Charles Taylor menunjukkan bahwa cara kita memahami realitas berpengaruh pada
bagaimana kita mendefinisikan “diri” dan “kebaikan”.⁵ Dalam
masyarakat modern yang sering menafsirkan realitas secara materialistis,
terjadi krisis makna dan identitas, karena manusia kehilangan keterhubungan
dengan tatanan yang lebih dalam. Pemahaman realitas yang lebih transenden dapat
mengembalikan horizon etis yang kokoh dalam menghadapi tantangan kontemporer
seperti ketidakadilan, kehancuran ekologis, dan dehumanisasi.⁶
8.3.
Dalam Agama dan
Spiritualitas
Pemahaman realitas
dalam konteks spiritual membawa manusia melampaui dunia empiris menuju
dimensi transendental. Dalam hampir semua agama besar, realitas tertinggi
adalah yang
Ilahi, yang menjadi sumber, tujuan, dan penopang seluruh
eksistensi. Konsepsi ini berdampak besar pada pola hidup, ibadah, dan relasi
antar manusia.
Dalam Islam
misalnya, konsep tauhid tidak hanya berarti
keesaan Tuhan, tetapi juga penegasan bahwa realitas tidak otonom,
melainkan selalu dalam keterhubungan dengan kehendak dan ilmu Tuhan.⁷ Dalam
konteks ini, kesadaran akan realitas bukan sekadar kontemplasi, tetapi pengakuan
spiritual yang melahirkan tanggung jawab moral dan penghambaan yang sejati.
8.4.
Dalam Pendidikan dan
Pembentukan Kesadaran
Pemahaman realitas
juga memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Model pendidikan yang hanya
menekankan fakta-fakta empirik tanpa mengajarkan refleksi
filosofis atau kesadaran eksistensial cenderung menghasilkan
manusia yang cakap secara teknis tetapi miskin makna. Pendidikan yang
memperhatikan filsafat realitas akan membantu siswa mengembangkan
cara pandang yang utuh terhadap hidup dan dunia, serta menjadi
subjek yang kritis dan bertanggung jawab.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Paulo Freire, pendidikan sejati adalah proses
pembebasan kesadaran, yang dimulai dari pengenalan akan
kenyataan—bukan hanya sebagai data, tetapi sebagai arena
historis dan kultural yang bisa diubah secara sadar.⁸
Dengan demikian, pemahaman
tentang realitas bukan sekadar problem ontologis, tetapi juga
fondasi bagi kehidupan praktis dan sosial. Di tengah dunia yang
semakin kompleks dan ambigu, refleksi filosofis tentang realitas menjadi
penting untuk menjaga kemanusiaan, integritas moral, dan arah
spiritualitas dalam membangun masa depan.
Footnotes
[1]
Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth
(London: Routledge, 1999), 19–25.
[2]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 5–8.
[3]
Nick Bostrom, “Are You Living in a Computer Simulation?” Philosophical
Quarterly 53, no. 211 (2003): 243–255.
[4]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[5]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–7.
[6]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 2007), 109–112.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 54–58.
[8]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 81–83.
9.
Kesimpulan
Sepanjang sejarah
filsafat, pencarian makna realitas telah menjadi benang
merah yang menyatukan berbagai tradisi pemikiran dari Timur hingga Barat, dari
era kuno hingga kontemporer. Meski pendekatan dan terminologinya beragam, satu
hal yang tetap konstan adalah keinginan manusia untuk memahami
apa yang sungguh-sungguh ada, dan bagaimana relasi antara
manusia sebagai subjek dengan dunia sebagai objek, atau bahkan sebagai bagian
dari kesatuan eksistensial.
Pemikiran Plato
dan Aristoteles
menandai dua paradigma dasar: yang pertama melihat realitas sejati dalam dunia
ide yang transenden, dan yang kedua menempatkan realitas dalam substansi
konkret yang dapat diamati.¹ Pandangan ini dilanjutkan oleh para filsuf abad
pertengahan, seperti Avicenna, Averroes,
dan Thomas
Aquinas, yang mengintegrasikan metafisika Yunani dengan teologi
agama masing-masing, dan menyusun realitas dalam struktur
hierarkis yang berpuncak pada Tuhan sebagai Wujud Absolut.²
Filsafat modern
menggeser titik fokusnya ke epistemologi, dengan Descartes
menekankan fondasi realitas pada kesadaran diri (cogito), sementara Kant
menegaskan bahwa realitas sebagaimana adanya (noumenon) tak bisa diakses secara
langsung oleh akal manusia, melainkan hanya dalam bentuk fenomena yang terstruktur
oleh perangkat kognitif kita.³ Pemikiran ini membuka jalan bagi filsafat
kontemporer yang lebih beragam dan kompleks.
Dalam pemikiran Heidegger,
realitas bukan sekadar benda, tetapi keterbukaan terhadap ada,
sebagaimana dialami oleh manusia sebagai Dasein.⁴ Filsafat analitik
mempertanyakan apakah realitas dapat diketahui secara objektif atau tergantung
pada bahasa dan kerangka teori. Sementara itu, postmodernisme melalui tokoh
seperti Baudrillard, mempertanyakan
apakah realitas masih eksis atau telah digantikan oleh simulasi dan konstruksi
media.⁵
Filsafat Timur
menambah kedalaman perspektif dengan menyajikan realitas sebagai sesuatu yang transenden
dan intuitif: dalam Vedanta, realitas sejati adalah
Brahman,
sementara dunia ini hanyalah maya (ilusi); dalam Buddhisme,
semua fenomena adalah kosong dari inti yang tetap (śūnyatā); dan dalam tasawuf
Islam, realitas tertinggi adalah Wujud Tuhan yang menjadi
sumber segala manifestasi.⁶
Pemahaman akan
realitas memiliki implikasi luas dalam sains, teknologi, etika, spiritualitas,
dan pendidikan. Realitas bukan sekadar objek pemikiran, melainkan ruang di
mana manusia hidup, membuat keputusan, dan menentukan makna keberadaannya.
Dalam dunia yang makin kompleks, cair, dan digital, refleksi filosofis tentang
realitas menjadi penting untuk menjaga keseimbangan antara pengetahuan teknis dan
kedalaman eksistensial.
Akhirnya, kesadaran
akan keberagaman pemahaman tentang realitas tidak seharusnya membawa kita pada
relativisme kosong, melainkan mendorong dialog lintas tradisi, disiplin, dan pengalaman,
sehingga kita dapat menghargai kompleksitas dunia tanpa kehilangan arah dalam
menapaki kehidupan yang bermakna. Sebagaimana diungkapkan oleh Paul Tillich, “filsafat
adalah upaya manusia untuk menjadi sadar akan realitas secara menyeluruh dan
untuk menjawab pertanyaan tentang makna hidup.”_⁷
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
681–683; Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C.
Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 239–241.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 3, a. 4;
Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura
(Provo: Brigham Young University Press, 2005), 28–32.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–18; Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge
University Press, 1998), A235/B294.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.
[5]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[6]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 2 (Delhi:
Oxford University Press, 2009), 15–17; Walpola Rahula, What the Buddha
Taught (New York: Grove Press, 1974), 55–59; William C. Chittick, The
Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination
(Albany: SUNY Press, 1989), 79–84.
[7]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 135.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2013). The philosophy of Ibn Sina.
Routledge.
Allison, H. E. (2004). Kant’s transcendental
idealism: An interpretation and defense (Revised ed.). Yale University
Press.
Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926).
Modern Library.
Aristotle. (2001). Categories (E. M.
Edghill, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp.
7–36). Modern Library.
Averroes. (1954). Tahafut al-Tahafut (S. van
den Bergh, Trans.). Luzac.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Bostrom, N. (2003). Are you living in a computer
simulation? Philosophical Quarterly, 53(211), 243–255. https://doi.org/10.1111/1467-9213.00309
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Clarke, W. N. (2001). The one and the many: A
contemporary Thomistic metaphysics. University of Notre Dame Press.
Cottingham, J. (1986). Descartes: A very short
introduction. Oxford University Press.
Deutsch, E. (1969). Advaita Vedanta: A
philosophical reconstruction. University of Hawaii Press.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Descartes, R. (1983). Principles of philosophy
(V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.
Dreyfus, H. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and time. MIT Press.
Dummett, M. (1978). Truth and other enigmas.
Harvard University Press.
Easwaran, E. (Trans.). (2007). The Upanishads.
Nilgiri Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A
contemporary introduction. Editiones Scholasticae.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Garfield, J. L. (Trans.). (1995). The
fundamental wisdom of the middle way: Nāgārjuna’s Mūlamadhyamakakārikā.
Oxford University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Houghton, W. E. (1957). The Victorian frame of
mind, 1830–1870. Yale University Press.
Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A
comparative study of key philosophical concepts. University of California
Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kellner, D. (1989). Jean Baudrillard: From
Marxism to postmodernism and beyond. Polity Press.
Keown, D. (2000). Buddhism: A very short
introduction. Oxford University Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd
ed.). University of Notre Dame Press.
Marmura, M. E. (Trans.). (2005). The metaphysics
of the healing (Avicenna). Brigham Young University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube,
Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.
Psillos, S. (1999). Scientific realism: How
science tracks truth. Routledge.
Putnam, H. (1981). Reason, truth and history.
Cambridge University Press.
Rahula, W. (1974). What the Buddha taught.
Grove Press.
Radhakrishnan, S. (2009). Indian philosophy:
Volume 2. Oxford University Press.
Rescher, N. (1973). The coherence theory of
truth. Clarendon Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Clarendon Press.
Wolff, R. P. (1963). Kant’s theory of mental
activity: A commentary on the Transcendental Analytic of the Critique of Pure
Reason. Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar