Selasa, 12 November 2024

Realitas: Perspektif Filsafat Klasik hingga Kontemporer

Realitas

Perspektif Filsafat Klasik hingga Kontemporer


Alihkan ke: Ontologi dalam Filsafat.

Apa yang ada?; Apa esensi dari realitas?.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep realitas dalam filsafat dari perspektif historis dan komparatif, mencakup pemikiran dari era klasik hingga kontemporer, termasuk pendekatan Timur yang bersifat transendental. Pembahasan diawali dengan telaah definisi dan konteks konseptual realitas, kemudian dilanjutkan dengan eksplorasi pandangan tokoh-tokoh besar seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Avicenna, Descartes, Kant, Heidegger, hingga Baudrillard. Artikel ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang realitas telah mengalami transformasi signifikan, dari pandangan ontologis-metafisik ke arah epistemologis, eksistensial, linguistik, bahkan konstruktivis. Selain itu, pemikiran dari tradisi Hindu, Buddha, dan tasawuf Islam memperkaya wacana realitas dengan dimensi spiritual dan mistis yang menekankan keterhubungan antara manusia dan sumber hakiki keberadaan. Kajian ini juga menyoroti implikasi pemahaman realitas dalam bidang ilmu pengetahuan, etika, teknologi, dan pendidikan. Dengan pendekatan lintas tradisi dan multidisipliner, artikel ini menyimpulkan bahwa refleksi atas realitas tidak hanya penting untuk memahami dunia, tetapi juga untuk membentuk kesadaran manusia yang utuh dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Realitas, metafisika, eksistensialisme, filsafat Timur, kesadaran, ontologi, simulasi, Dasein, Brahman, wahdat al-wujūd.


PEMBAHASAN

Menelusuri Hakikat Realitas


1.           Pendahuluan

Realitas merupakan salah satu tema sentral dalam filsafat yang telah menjadi objek pemikiran sejak zaman kuno hingga era kontemporer. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan istilah "realitas" untuk merujuk pada segala sesuatu yang dianggap benar-benar ada, berlangsung, atau dapat dialami. Namun, pertanyaan mendasar yang selalu muncul adalah: apakah realitas itu sebenarnya? Apakah ia bersifat objektif dan independen dari kesadaran manusia, atau justru terbentuk dan dibatasi oleh persepsi subyektif manusia?

Para filsuf besar dari berbagai zaman dan aliran pemikiran telah memberikan beragam definisi dan pendekatan terhadap realitas. Bagi Plato, realitas sejati bukanlah dunia yang kita lihat dengan indera, melainkan dunia ide yang abadi dan sempurna.¹ Sebaliknya, Aristoteles menyatakan bahwa realitas melekat pada benda-benda konkret yang dapat diamati, dan menghubungkannya dengan konsep substansi, aktualitas, dan potensialitas.² Di era modern, René Descartes mempertanyakan keandalan indera dan membangun fondasi realitas berdasarkan pemikiran yang tak dapat diragukan: cogito ergo sum—"aku berpikir, maka aku ada".³

Sementara itu, Immanuel Kant menghadirkan pendekatan kritis terhadap realitas dengan membedakan antara dunia seperti yang tampak bagi kita (phenomena) dan dunia sebagaimana adanya (noumena), yang tak pernah bisa kita akses secara langsung.⁴ Pandangan ini membuka jalan bagi pertanyaan filosofis yang lebih kompleks tentang hubungan antara kesadaran manusia dan realitas objektif. Dalam filsafat kontemporer, Martin Heidegger menggugah pemikiran tentang eksistensi manusia (Dasein) dan keterlibatannya dalam dunia sebagai kunci untuk memahami realitas.⁵ Di sisi lain, filsuf postmodern seperti Jean Baudrillard bahkan mempertanyakan apakah realitas masih ada dalam dunia modern yang dipenuhi simulasi dan media digital.⁶

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan eksplorasi mendalam mengenai konsep realitas dari sudut pandang filsafat klasik hingga kontemporer. Dengan pendekatan historis dan konseptual, artikel ini akan menelusuri bagaimana realitas dipahami, diperdebatkan, dan direkonstruksi sepanjang sejarah pemikiran manusia. Harapannya, pembahasan ini tidak hanya memperluas wawasan pembaca, tetapi juga merangsang kesadaran reflektif terhadap bagaimana kita memandang dan mengalami dunia di sekitar kita.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 239–240.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 681–682.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.

[6]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.


2.           Definisi dan Konteks Konseptual “Realitas”

Dalam diskursus filsafat, istilah “realitas” merujuk pada keseluruhan keberadaan yang ada secara aktual dan independen, baik yang dapat ditangkap oleh pengalaman inderawi maupun yang hanya dapat dipahami oleh nalar atau intuisi metafisik. Secara etimologis, kata “realitas” berasal dari bahasa Latin res, yang berarti “benda” atau “hal”. Istilah ini berkembang dalam bahasa Latin Abad Pertengahan menjadi realitas, mengacu pada sesuatu yang memiliki eksistensi objektif atau aktual.¹

Namun, mendefinisikan realitas secara filosofis tidaklah sesederhana menyamakannya dengan "apa yang ada". Realitas bukan sekadar apa yang tampak atau hadir secara fisik, melainkan juga mencakup dimensi yang tak kasatmata: ide, nilai, kemungkinan, bahkan ketakterhinggaan.² Dalam filsafat metafisika, realitas sering dipertentangkan dengan ilusi, kemunculan (appearance), atau non-realitas, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar: Apakah yang sungguh-sungguh ada? Apa kriteria keberadaan? Dan apakah realitas bersifat tunggal atau jamak?

Sebagian filsuf menggarisbawahi perbedaan antara realitas dan kenyataan aktual (actuality). Dalam pandangan metafisik klasik seperti milik Aristoteles, actuality merupakan kondisi ketika sesuatu telah mewujud dari potensinya; sedangkan reality bisa mencakup keseluruhan tatanan keberadaan, termasuk yang belum teraktualisasi.³ Hal ini memperluas cakupan realitas tidak hanya kepada apa yang sedang terjadi (actual), tetapi juga kepada apa yang mungkin (potential) dan yang niscaya (necessary).

Selain itu, terdapat perbedaan penting antara realitas dan kebenaran. Kebenaran (truth) berkaitan dengan proposisi atau pernyataan yang sesuai dengan fakta atau keadaan dunia, sedangkan realitas mengacu pada keadaan dunia itu sendiri, terlepas dari apakah kita berhasil atau gagal menggambarkannya secara benar.⁴ Oleh karena itu, seseorang bisa salah dalam memahami atau menyatakan sesuatu, tetapi objek dari kesalahan itu tetap berada dalam realitas. Inilah sebabnya mengapa filsafat realitas sering kali berjalan seiring dengan epistemologi, yaitu teori pengetahuan: untuk memahami realitas, kita harus memahami bagaimana kita bisa (atau tidak bisa) mengetahuinya.

Dalam ensiklopedia filsafat modern, Simon Blackburn menjelaskan realitas sebagai “semua yang benar-benar ada, entah dapat diamati secara langsung maupun tidak.”_⁵ Sedangkan dalam tradisi skolastik yang lebih sistematis, seperti dijelaskan oleh Edward Feser, realitas dibedakan menjadi berbagai tingkatan: mulai dari substansi dan aksiden, hingga aktus dan potensia.⁶ Pendekatan semacam ini menempatkan realitas bukan sebagai sesuatu yang mutlak tunggal atau homogen, tetapi sebagai struktur berlapis yang bisa dianalisis secara rasional.

Konsep realitas juga tidak netral secara budaya maupun sejarah. Dalam berbagai sistem filsafat Timur, misalnya, realitas sering kali dikaitkan dengan prinsip transendental yang melampaui dunia empiris. Dalam Hindu, dikenal konsep Maya sebagai tirai ilusi yang menutupi realitas sejati (Brahman), sedangkan dalam filsafat Buddha, realitas dipahami sebagai kekosongan (śūnyatā) yang menyatakan bahwa segala hal tidak memiliki inti eksistensi yang tetap.⁷

Dengan demikian, realitas dalam pengertian filosofis tidak bisa disederhanakan menjadi satu definisi tunggal. Ia merupakan medan perdebatan yang terbuka, dinamis, dan senantiasa dipertanyakan, tergantung dari kerangka metafisika, epistemologi, dan bahkan antropologi filsuf yang mengkaji.


Footnotes

[1]                William Edward Houghton, The Victorian Frame of Mind, 1830–1870 (New Haven: Yale University Press, 1957), 124.

[2]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Oxford University Press, 1912), 17–21.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 681–683.

[4]                Nicholas Rescher, The Coherence Theory of Truth (Oxford: Clarendon Press, 1973), 4–5.

[5]                Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2016), 330.

[6]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 45–48.

[7]                S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 1 (Delhi: Oxford University Press, 2009), 97–103.


3.           Pandangan Filsafat Klasik terhadap Realitas

Filsafat klasik, khususnya dalam tradisi Yunani Kuno, menempati posisi penting dalam fondasi pemahaman tentang realitas. Para filsuf seperti Plato dan Aristoteles tidak hanya merumuskan pertanyaan metafisis yang mendalam mengenai “apa yang sungguh-sungguh ada,” tetapi juga menawarkan kerangka konseptual yang terus mempengaruhi perdebatan filosofis hingga hari ini.

3.1.       Plato: Realitas Sebagai Dunia Ide

Plato (427–347 SM) adalah salah satu filsuf pertama yang secara sistematis memisahkan antara dunia nyata (the real) dan dunia semu (the apparent). Dalam The Republic, Plato menjelaskan teori dua dunia: pertama, dunia inderawi yang dapat berubah dan bersifat sementara; kedua, dunia ide (Forms atau Ideas), yang bersifat kekal, tidak berubah, dan merupakan realitas sejati.¹ Bagi Plato, objek-objek fisik hanyalah bayangan atau salinan dari bentuk-bentuk ideal yang abadi dan sempurna. Misalnya, pohon yang kita lihat hanyalah partisipasi dalam bentuk “ke-pohonan” yang ideal.

Konsep ini digambarkan secara alegoris dalam Mitos Gua, di mana manusia diibaratkan seperti tahanan yang hanya melihat bayangan di dinding dan menganggapnya sebagai realitas.² Hanya dengan filsafat dan penggunaan akal, seseorang dapat keluar dari gua dan mengakses dunia ide yang sejati. Dengan demikian, bagi Plato, realitas tertinggi adalah non-indrawi, rasional, dan dapat diketahui melalui pemikiran murni.

3.2.       Aristoteles: Realitas sebagai Substansi dan Aktualitas

Berbeda dengan gurunya, Aristoteles (384–322 SM) menolak pemisahan radikal antara dunia ide dan dunia inderawi. Ia menegaskan bahwa realitas sejati justru terdapat dalam hal-hal konkret yang ada di dunia ini. Dalam karya Metaphysics, Aristoteles memperkenalkan konsep substance (ousia) sebagai inti dari realitas, yakni sesuatu yang berdiri sendiri dan menjadi dasar bagi eksistensi dan perubahan.³

Aristoteles juga mengembangkan doktrin aktualitas (actuality) dan potensialitas (potentiality) untuk menjelaskan perubahan. Setiap benda memiliki potensi untuk menjadi sesuatu, dan realitas terjadi ketika potensi tersebut menjadi aktual. Misalnya, biji memiliki potensi untuk menjadi pohon; dan ketika pertumbuhan terjadi, realitas aktual dari pohon itu terwujud.⁴

Selain itu, Aristoteles membagi eksistensi menjadi sepuluh kategori (categories), seperti substansi, kualitas, kuantitas, relasi, waktu, tempat, dan lain-lain.⁵ Pendekatan ini mencerminkan upaya Aristoteles untuk menyusun realitas sebagai struktur yang teratur, logis, dan dapat diklasifikasikan berdasarkan prinsip-prinsip rasional.


Dengan demikian, Plato dan Aristoteles menawarkan dua pendekatan mendasar terhadap realitas: satu yang menekankan transendensi dan idealisme, dan satu lagi yang berfokus pada imanensi dan empirisisme. Pandangan mereka menjadi landasan metafisika Barat dan terus dibahas dalam berbagai perdebatan filosofis sepanjang sejarah.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 239–241.

[2]                Plato, The Republic, Book VII, 514a–520a.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 681–683.

[4]                Ibid., 692–694.

[5]                Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 7–9.


4.           Pandangan Filsafat Abad Pertengahan

Filsafat Abad Pertengahan membawa pemikiran tentang realitas ke dalam lanskap yang lebih religius dan teologis, khususnya dalam tradisi Kristen, Islam, dan Yahudi. Para filsuf pada periode ini tidak hanya meneruskan warisan metafisika Yunani, tetapi juga mencoba mensintesiskannya dengan doktrin-doktrin keagamaan. Fokus utama mereka adalah memahami realitas dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai sumber segala yang ada, serta membedakan antara wujud mutlak (Tuhan) dan wujud kontingen (makhluk). Tokoh-tokoh seperti St. Thomas Aquinas, Avicenna (Ibnu Sina), dan Averroes (Ibnu Rusyd) memainkan peran sentral dalam membentuk pemikiran metafisik tentang realitas pada masa ini.

4.1.       St. Thomas Aquinas: Realitas sebagai Partisipasi dalam Wujud Ilahi

St. Thomas Aquinas (1225–1274), filsuf dan teolog Katolik terkemuka, mengembangkan pandangan tentang realitas yang berpijak pada sintesis pemikiran Aristoteles dan ajaran Kristen. Dalam kerangka metafisiknya, realitas dipahami melalui konsep “esse” (keberadaan) dan “essentia” (hakikat). Menurut Aquinas, hanya Tuhan yang keberadaan-Nya identik dengan hakikat-Nya, sedangkan makhluk-makhluk lainnya menerima keberadaan secara partisipatif.¹

Konsep “actus essendi” atau “act of being” menjadi pusat pemikirannya: realitas sejati adalah keberadaan itu sendiri, dan semua makhluk hanya memiliki wujud sejauh mereka “berpartisipasi” dalam keberadaan yang dikaruniakan oleh Tuhan.² Dengan demikian, Aquinas mengaitkan realitas sebagai sesuatu yang bergantung dan bersumber pada keberadaan Tuhan yang mutlak dan niscaya

4.2.       Avicenna (Ibnu Sina): Wujud dan Esensi dalam Hierarki Keberadaan

Dalam tradisi filsafat Islam, Avicenna (980–1037) memainkan peran penting dalam merumuskan hubungan antara wujud dan esensi. Dalam karyanya Al-Shifa’, ia membedakan antara al-wujūd (eksistensi) dan al-māhiyyah (esensi), di mana segala sesuatu dalam dunia ini memiliki esensi yang terpisah dari eksistensinya.⁴ Hanya Tuhan (wājib al-wujūd – yang niscaya wujudnya) yang memiliki eksistensi yang melekat dalam esensinya.

Menurut Avicenna, realitas dapat dipahami dalam hirarki: dari yang mungkin ada (mumkin al-wujūd), yang keberadaannya bergantung pada sebab lain, hingga yang niscaya ada (wājib al-wujūd), yang tidak bergantung pada apapun.⁵ Pemikiran ini membentuk fondasi metafisika Islam dan sangat memengaruhi pemikiran skolastik di Barat, termasuk Aquinas.

4.3.       Averroes (Ibnu Rusyd): Realitas dan Akal Aktif

Averroes (1126–1198), komentator besar atas karya Aristoteles, menegaskan pentingnya akal aktif dalam memahami realitas. Dalam pandangannya, realitas objektif dapat diketahui oleh manusia melalui pemikiran rasional dan pengaktifan potensi intelek oleh akal aktif universal.⁶ Dengan demikian, realitas bukan hanya soal wujud eksternal, tetapi juga melibatkan aktivitas intelektual manusia dalam memahami keberadaan secara mendalam.

Averroes juga membela posisi bahwa filsafat dan agama Islam tidak bertentangan dalam memahami realitas; keduanya menuju pada kebenaran yang sama, meski melalui jalur epistemik yang berbeda.⁷


Dengan demikian, filsafat Abad Pertengahan memberikan kontribusi besar dalam menyistematisasi pemahaman tentang realitas sebagai sesuatu yang bertingkat dan berakar pada prinsip ketuhanan. Para filsuf masa ini tidak hanya mengembangkan kategori metafisik yang lebih halus, tetapi juga memperluas horizon pemikiran realitas dengan menjadikannya sebagai jembatan antara rasio dan wahyu.


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 3, a. 4.

[2]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2001), 55–58.

[3]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 65–67.

[4]                Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 28–32.

[5]                Peter Adamson, The Philosophy of Ibn Sina (London: Routledge, 2013), 85–87.

[6]                Averroes, Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 271–274.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 149–152.


5.           Pandangan Filsafat Modern

Filsafat modern, yang berkembang sejak abad ke-17, menandai pergeseran paradigma dalam memahami realitas: dari pendekatan metafisik yang bersandar pada otoritas religius atau tradisi klasik, menuju pendekatan yang menekankan rasionalitas, subjektivitas, dan fondasi epistemologis. Para pemikir modern mulai mempertanyakan tidak hanya apa itu realitas, tetapi juga bagaimana kita dapat mengetahuinya secara pasti. Dua tokoh penting dalam perkembangan pemikiran realitas pada era ini adalah René Descartes dan Immanuel Kant.

5.1.       René Descartes: Realitas dan Fondasi Kesadaran

René Descartes (1596–1650), yang dijuluki sebagai bapak filsafat modern, memulai pencariannya terhadap realitas dengan metode keraguan radikal. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes meragukan semua yang dapat diragukan—termasuk indera, tubuh, bahkan dunia luar—untuk menemukan satu kebenaran yang tak terbantahkan: cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).¹

Menurut Descartes, realitas yang paling pasti dan pertama adalah eksistensi subjek yang berpikir. Dari sini, ia membedakan antara dua substansi: res cogitans (substansi berpikir, yaitu jiwa) dan res extensa (substansi yang memiliki keluasan, yaitu materi).² Dunia luar dianggap benar-benar ada, tetapi validitasnya dijamin hanya setelah eksistensi Tuhan dibuktikan, sebagai penjamin bahwa pikiran manusia tidak terus-menerus ditipu.³

Bagi Descartes, realitas bersifat dualistik, yaitu terdiri dari dua substansi yang berbeda namun saling berkaitan. Pandangan ini memicu perdebatan panjang dalam filsafat modern tentang hubungan antara pikiran dan tubuh, serta antara kesadaran dan dunia objektif.

5.2.       Immanuel Kant: Realitas sebagai Noumena dan Fenomena

Immanuel Kant (1724–1804) melakukan revolusi besar dalam filsafat modern melalui pendekatan kritisnya terhadap realitas dan pengetahuan. Dalam Critique of Pure Reason, Kant memperkenalkan distingsi antara dunia sebagaimana tampak kepada kita (phenomena) dan dunia sebagaimana adanya (noumena).⁴

Menurut Kant, kita tidak pernah bisa mengetahui realitas sebagaimana adanya secara langsung, karena pengalaman kita selalu dimediasi oleh struktur a priori dalam akal manusia, seperti ruang, waktu, dan kategori pemahaman (sebab-akibat, substansi, dsb.).⁵ Dengan kata lain, apa yang kita sebut "realitas" adalah konstruksi yang muncul dari interaksi antara objek dan kemampuan kognitif kita.

Kant tidak menyangkal keberadaan dunia luar (noumenal), tetapi menegaskan bahwa ia adalah batas epistemologis: sesuatu yang harus diandaikan tetapi tidak dapat diketahui secara empiris atau rasional murni.⁶ Dengan demikian, realitas dalam pandangan Kant bukanlah sesuatu yang dapat sepenuhnya dijangkau oleh akal atau indera, melainkan sesuatu yang dibentuk oleh struktur kesadaran manusia sendiri.


Kedua tokoh ini menandai dua arah penting dalam filsafat modern: Descartes meletakkan dasar realitas pada subjek yang berpikir, sedangkan Kant menekankan keterbatasan dan konstruktivitas pengetahuan manusia terhadap realitas. Keduanya menolak asumsi bahwa realitas eksternal bisa diketahui secara langsung dan memberikan kontribusi besar dalam membentuk dasar-dasar filsafat kritis, rasionalis, dan fenomenologis di masa-masa berikutnya.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–18.

[2]                Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), I.48–52.

[3]                John Cottingham, Descartes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 1986), 36–40.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294.

[5]                Robert Paul Wolff, Kant’s Theory of Mental Activity (Cambridge: Harvard University Press, 1963), 53–57.

[6]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press, 2004), 32–36.


6.           Pandangan Filsafat Kontemporer

Filsafat kontemporer membawa pembahasan tentang realitas ke dalam wilayah yang semakin kompleks, pluralistik, dan multidisipliner. Tidak ada satu pendekatan dominan, tetapi berbagai arus pemikiran yang saling bersaing atau melengkapi: dari eksistensialisme dan fenomenologi, filsafat analitik, hingga postmodernisme dan realisme ilmiah. Realitas tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tunggal dan mutlak, melainkan sebagai sesuatu yang ditafsirkan secara kontekstual, dialektis, atau bahkan dikonstruksi secara sosial dan simbolik.

6.1.       Martin Heidegger: Realitas sebagai Pengungkapan Ada

Dalam Being and Time, Martin Heidegger (1889–1976) berusaha mengembalikan filsafat ke pertanyaan paling fundamental: apa makna “ada” (Sein)? Heidegger menolak pendekatan metafisika klasik yang melihat realitas sebagai kumpulan entitas yang ada secara objektif. Sebaliknya, ia memperkenalkan konsep Dasein—manusia sebagai makhluk yang “ada-di-dunia” dan memahami keberadaannya melalui keterlibatannya dalam dunia.¹

Bagi Heidegger, realitas bukan sekadar kumpulan benda-benda, melainkan sesuatu yang terungkap melalui pengalaman eksistensial dan praksis hidup manusia. Dunia menjadi nyata hanya sejauh ia dimaknai dan dijalani. Dalam kerangka ini, realitas bukanlah sesuatu yang “di luar sana” secara independen, melainkan sesuatu yang selalu terkait dengan eksistensi manusia dan pemahamannya akan keberadaan

6.2.       Filsafat Analitik: Realisme vs. Anti-realisme

Dalam tradisi filsafat analitik, pembahasan realitas banyak berkisar pada perdebatan antara realisme dan anti-realisme. Realisme, secara umum, menyatakan bahwa dunia eksternal ada secara independen dari pikiran manusia, dan bahwa proposisi ilmiah dapat menggambarkan dunia secara benar atau salah. Tokoh seperti Hilary Putnam awalnya membela realisme ilmiah, namun kemudian mengembangkan konsep realisme internal, yang menyatakan bahwa kebenaran dan realitas bersifat konseptual-relasional, tergantung pada kerangka linguistik atau teoritis tertentu.³

Di sisi lain, anti-realis seperti Nelson Goodman atau Michael Dummett berpendapat bahwa realitas tidak bisa dipisahkan dari cara kita mengonstruksi atau mendeskripsikannya, baik secara bahasa, logika, atau paradigma ilmiah.⁴ Ini menimbulkan pertanyaan: apakah realitas adalah sesuatu yang kita temukan atau sesuatu yang kita buat?

Perdebatan ini menunjukkan bahwa dalam filsafat kontemporer, realitas sering kali dipandang bukan sebagai entitas netral, tetapi sebagai produk interaksi antara dunia dan sistem representasi yang digunakan manusia untuk memahaminya.

6.3.       Jean Baudrillard: Hiperrealitas dan Simulasi

Dalam konteks postmodernisme, Jean Baudrillard (1929–2007) membawa diskusi tentang realitas ke arah yang lebih radikal. Dalam karyanya Simulacra and Simulation, ia berargumen bahwa masyarakat kontemporer telah melewati tahap realitas menuju “hiperrealitas”—sebuah kondisi di mana simulasi (gambar, tanda, media) tidak lagi merepresentasikan kenyataan, tetapi menggantikan dan mendahuluinya.⁵

Menurut Baudrillard, dalam era media dan teknologi, realitas tidak lagi dibentuk oleh pengalaman langsung, melainkan oleh representasi-representasi yang bersifat artifisial. Contoh ekstremnya adalah realitas dalam iklan, televisi, atau media sosial, di mana yang kita konsumsi bukan kenyataan itu sendiri, melainkan versi estetis atau naratif yang telah dikonstruksi secara sistematis.⁶

Dalam konteks ini, pertanyaan ontologis tidak lagi “apa itu realitas?”, tetapi “apakah realitas masih ada?” atau “apakah kita hanya hidup dalam realitas yang disimulasikan?” Gagasan ini membuka dimensi baru dalam memahami keberadaan manusia di tengah perkembangan teknologi dan informasi.


Pandangan-pandangan kontemporer ini menunjukkan bahwa realitas bukan lagi sekadar objek pengamatan atau konsep metafisik, melainkan wilayah interdisipliner yang melibatkan eksistensi, bahasa, sains, budaya, dan media. Dari Heidegger hingga Baudrillard, realitas dipahami bukan hanya sebagai apa yang ada, tetapi juga bagaimana ia dialami, dimaknai, dan dikonstruksi.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.

[2]                Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 1–12.

[3]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 49–82.

[4]                Michael Dummett, Truth and Other Enigmas (Cambridge: Harvard University Press, 1978), 145–165.

[5]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[6]                Douglas Kellner, Jean Baudrillard: From Marxism to Postmodernism and Beyond (Cambridge: Polity Press, 1989), 68–70.


7.           Realitas dalam Perspektif Timur (Opsional)

Berbeda dengan filsafat Barat yang sering menekankan aspek analitis, dualistik, atau objektif dalam memahami realitas, filsafat Timur cenderung mengambil pendekatan yang lebih intuitif, holistik, dan transendental. Dalam tradisi Hindu, Buddha, dan Islam (khususnya tasawuf), realitas bukan hanya persoalan ontologi, melainkan juga berkaitan erat dengan pembebasan eksistensial dan penyatuan dengan sumber mutlak keberadaan. Pemahaman tentang realitas dalam filsafat Timur sering kali bersifat mistis, metaforis, dan spiritual, dengan tujuan akhir bukan sekadar mengetahui, tetapi mengalami dan menyatu dengannya.

7.1.       Hindu: Maya dan Brahman

Dalam filsafat Vedanta, yang merupakan salah satu aliran utama dalam Hindu, realitas sejati adalah Brahman, yaitu prinsip mutlak, abadi, tak berubah, dan melampaui segala bentuk. Brahman bukan sekadar “Tuhan” dalam pengertian personal, tetapi hakikat terdalam dari semua eksistensi—“yang satu tanpa yang kedua” (ekam eva advitiyam).¹

Namun, dunia yang tampak oleh indera kita disebut maya, yaitu ilusi atau tirai penampakan yang menutupi realitas sejati. Maya bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi keberadaannya bersifat sementara, berubah-ubah, dan tidak mutlak.² Oleh karena itu, dalam filsafat Hindu, pencerahan (moksha) adalah proses menyingkap maya dan menyadari bahwa Atman (jiwa individu) sebenarnya identik dengan Brahman—realitas absolut.³

7.2.       Buddhisme: Sunyata dan Ketiadaan Inti

Buddhisme mengambil pendekatan berbeda dengan menolak keberadaan esensi tetap dalam segala hal. Doktrin anatta (tanpa diri) dan śūnyatā (kekosongan) menyatakan bahwa tidak ada entitas yang memiliki “inti” yang kekal, termasuk diri manusia.⁴ Semua fenomena bersifat saling bergantungan (pratītyasamutpāda) dan tidak memiliki eksistensi independen.

Dalam pandangan ini, realitas dipahami bukan sebagai substansi tetap, tetapi sebagai proses yang senantiasa berubah. Kekosongan bukan berarti nihilisme, melainkan penegasan bahwa segala sesuatu hanya eksis sejauh ia saling bergantung dan tidak berdiri sendiri.⁵ Tujuan spiritual Buddhisme adalah mencapai nirvana, yaitu keadaan tanpa keterikatan terhadap bentuk-fisik dan identitas, yang dianggap sebagai pemahaman dan perwujudan tertinggi akan realitas.⁶

7.3.       Islam (Tasawuf): Wujud dan Penyatuan dengan Tuhan

Dalam filsafat Islam, khususnya tradisi tasawuf, realitas dipahami melalui konsep wujūd (eksistensi). Salah satu gagasan paling berpengaruh adalah wahdat al-wujūd atau “kesatuan eksistensi” yang dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi (1165–1240). Menurut Ibn ‘Arabi, hanya Tuhan yang benar-benar memiliki eksistensi mutlak, sedangkan semua makhluk adalah manifestasi dari eksistensi-Nya.⁷

Makhluk tidak memiliki eksistensi tersendiri, tetapi hadir sebagai bentuk tajalli (penampakan) dari sifat-sifat Ilahi. Oleh karena itu, realitas sejati adalah Tuhan, dan segala yang ada merupakan cermin dari keberadaan-Nya.⁸ Dalam kerangka ini, pencapaian spiritual tertinggi adalah penyatuan metaforis dengan Tuhan, bukan dalam arti ontologis (sebagaimana ditolak oleh akidah Sunni), tetapi sebagai pemahaman mendalam akan keterhubungan eksistensial antara hamba dan Tuhannya.⁹


Pandangan Timur mengenai realitas menunjukkan bahwa realitas bukan hanya objek kontemplasi filosofis, tetapi juga medan transformasi spiritual. Kesadaran akan realitas sejati berkaitan erat dengan pembebasan dari penderitaan, keterikatan, dan kebodohan eksistensial. Dalam hal ini, filsafat Timur mengajukan alternatif penting bagi wacana metafisika global, yaitu pendekatan terhadap realitas yang tidak hanya memisahkan antara subjek dan objek, tetapi justru mengarah pada penyatuan yang menyeluruh antara pengetahu dan yang diketahui.


Footnotes

[1]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 2 (Delhi: Oxford University Press, 2009), 15–17.

[2]                Eliot Deutsch, Advaita Vedanta: A Philosophical Reconstruction (Honolulu: University of Hawaii Press, 1969), 37–40.

[3]                Upanishads, trans. Eknath Easwaran (Tomales: Nilgiri Press, 2007), 90–92.

[4]                Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 55–59.

[5]                Nagarjuna, Mulamadhyamakakarika, trans. Jay L. Garfield, The Fundamental Wisdom of the Middle Way (Oxford: Oxford University Press, 1995), 68–72.

[6]                Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 64–67.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 79–84.

[8]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 118–120.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 135–138.


8.           Aplikasi dan Implikasi Pemahaman Realitas

Pemahaman tentang realitas tidak hanya memiliki konsekuensi teoritis dalam ranah filsafat, tetapi juga berdampak langsung pada berbagai aspek kehidupan manusia: sains, etika, teknologi, pendidikan, agama, dan bahkan politik. Setiap paradigma tentang realitas mengandaikan cara tertentu dalam melihat, menilai, dan bertindak dalam dunia. Oleh karena itu, mengeksplorasi realitas bukan hanya soal pemahaman metafisik, tetapi juga pembentukan cara hidup dan struktur peradaban.

8.1.       Dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam ranah sains, konsep realitas berkaitan erat dengan ontologi ilmiah—apa yang dianggap benar-benar ada dan bisa dijelaskan secara objektif. Realisme ilmiah, misalnya, meyakini bahwa teori-teori ilmiah berusaha menggambarkan dunia sebagaimana adanya, bahkan jika objeknya tidak dapat diamati secara langsung (seperti partikel subatomik atau lubang hitam).¹ Sebaliknya, instrumentalisme atau konstruktivisme ilmiah melihat teori ilmiah sebagai alat prediksi yang tidak harus mencerminkan realitas objektif, melainkan hanya bekerja secara praktis dalam kerangka tertentu.²

Implikasinya tampak jelas dalam perkembangan teknologi. Dalam era digital dan kecerdasan buatan, realitas virtual (VR), augmented reality (AR), dan simulasi komputer telah mengaburkan batas antara yang “nyata” dan yang “buatan”.³ Seperti diperingatkan oleh Baudrillard, ketika simulasi mendominasi, masyarakat bisa kehilangan pijakan terhadap realitas sejati.⁴ Maka, filsafat realitas membantu menjaga refleksi kritis atas perkembangan teknologi yang bisa menciptakan hiperrealitas tanpa kesadaran ontologis.

8.2.       Dalam Etika dan Kemanusiaan

Pandangan tentang realitas juga berdampak pada etika dan nilai-nilai kemanusiaan. Jika realitas dipahami sebagai mekanisme alamiah tanpa tujuan (sebagaimana dalam naturalisme ekstrem), maka nilai moral cenderung dianggap relatif atau sebagai konstruksi sosial belaka. Sebaliknya, jika realitas diyakini memiliki dimensi moral atau spiritual, maka tindakan manusia memiliki makna yang melampaui kepentingan pragmatis.

Filsuf seperti Charles Taylor menunjukkan bahwa cara kita memahami realitas berpengaruh pada bagaimana kita mendefinisikan “diri” dan “kebaikan”.⁵ Dalam masyarakat modern yang sering menafsirkan realitas secara materialistis, terjadi krisis makna dan identitas, karena manusia kehilangan keterhubungan dengan tatanan yang lebih dalam. Pemahaman realitas yang lebih transenden dapat mengembalikan horizon etis yang kokoh dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti ketidakadilan, kehancuran ekologis, dan dehumanisasi.⁶

8.3.       Dalam Agama dan Spiritualitas

Pemahaman realitas dalam konteks spiritual membawa manusia melampaui dunia empiris menuju dimensi transendental. Dalam hampir semua agama besar, realitas tertinggi adalah yang Ilahi, yang menjadi sumber, tujuan, dan penopang seluruh eksistensi. Konsepsi ini berdampak besar pada pola hidup, ibadah, dan relasi antar manusia.

Dalam Islam misalnya, konsep tauhid tidak hanya berarti keesaan Tuhan, tetapi juga penegasan bahwa realitas tidak otonom, melainkan selalu dalam keterhubungan dengan kehendak dan ilmu Tuhan.⁷ Dalam konteks ini, kesadaran akan realitas bukan sekadar kontemplasi, tetapi pengakuan spiritual yang melahirkan tanggung jawab moral dan penghambaan yang sejati.

8.4.       Dalam Pendidikan dan Pembentukan Kesadaran

Pemahaman realitas juga memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Model pendidikan yang hanya menekankan fakta-fakta empirik tanpa mengajarkan refleksi filosofis atau kesadaran eksistensial cenderung menghasilkan manusia yang cakap secara teknis tetapi miskin makna. Pendidikan yang memperhatikan filsafat realitas akan membantu siswa mengembangkan cara pandang yang utuh terhadap hidup dan dunia, serta menjadi subjek yang kritis dan bertanggung jawab.

Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, pendidikan sejati adalah proses pembebasan kesadaran, yang dimulai dari pengenalan akan kenyataan—bukan hanya sebagai data, tetapi sebagai arena historis dan kultural yang bisa diubah secara sadar.⁸


Dengan demikian, pemahaman tentang realitas bukan sekadar problem ontologis, tetapi juga fondasi bagi kehidupan praktis dan sosial. Di tengah dunia yang semakin kompleks dan ambigu, refleksi filosofis tentang realitas menjadi penting untuk menjaga kemanusiaan, integritas moral, dan arah spiritualitas dalam membangun masa depan.


Footnotes

[1]                Stathis Psillos, Scientific Realism: How Science Tracks Truth (London: Routledge, 1999), 19–25.

[2]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 5–8.

[3]                Nick Bostrom, “Are You Living in a Computer Simulation?” Philosophical Quarterly 53, no. 211 (2003): 243–255.

[4]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[5]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–7.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 109–112.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 54–58.

[8]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 81–83.


9.           Kesimpulan

Sepanjang sejarah filsafat, pencarian makna realitas telah menjadi benang merah yang menyatukan berbagai tradisi pemikiran dari Timur hingga Barat, dari era kuno hingga kontemporer. Meski pendekatan dan terminologinya beragam, satu hal yang tetap konstan adalah keinginan manusia untuk memahami apa yang sungguh-sungguh ada, dan bagaimana relasi antara manusia sebagai subjek dengan dunia sebagai objek, atau bahkan sebagai bagian dari kesatuan eksistensial.

Pemikiran Plato dan Aristoteles menandai dua paradigma dasar: yang pertama melihat realitas sejati dalam dunia ide yang transenden, dan yang kedua menempatkan realitas dalam substansi konkret yang dapat diamati.¹ Pandangan ini dilanjutkan oleh para filsuf abad pertengahan, seperti Avicenna, Averroes, dan Thomas Aquinas, yang mengintegrasikan metafisika Yunani dengan teologi agama masing-masing, dan menyusun realitas dalam struktur hierarkis yang berpuncak pada Tuhan sebagai Wujud Absolut

Filsafat modern menggeser titik fokusnya ke epistemologi, dengan Descartes menekankan fondasi realitas pada kesadaran diri (cogito), sementara Kant menegaskan bahwa realitas sebagaimana adanya (noumenon) tak bisa diakses secara langsung oleh akal manusia, melainkan hanya dalam bentuk fenomena yang terstruktur oleh perangkat kognitif kita.³ Pemikiran ini membuka jalan bagi filsafat kontemporer yang lebih beragam dan kompleks.

Dalam pemikiran Heidegger, realitas bukan sekadar benda, tetapi keterbukaan terhadap ada, sebagaimana dialami oleh manusia sebagai Dasein.⁴ Filsafat analitik mempertanyakan apakah realitas dapat diketahui secara objektif atau tergantung pada bahasa dan kerangka teori. Sementara itu, postmodernisme melalui tokoh seperti Baudrillard, mempertanyakan apakah realitas masih eksis atau telah digantikan oleh simulasi dan konstruksi media.⁵

Filsafat Timur menambah kedalaman perspektif dengan menyajikan realitas sebagai sesuatu yang transenden dan intuitif: dalam Vedanta, realitas sejati adalah Brahman, sementara dunia ini hanyalah maya (ilusi); dalam Buddhisme, semua fenomena adalah kosong dari inti yang tetap (śūnyatā); dan dalam tasawuf Islam, realitas tertinggi adalah Wujud Tuhan yang menjadi sumber segala manifestasi.⁶

Pemahaman akan realitas memiliki implikasi luas dalam sains, teknologi, etika, spiritualitas, dan pendidikan. Realitas bukan sekadar objek pemikiran, melainkan ruang di mana manusia hidup, membuat keputusan, dan menentukan makna keberadaannya. Dalam dunia yang makin kompleks, cair, dan digital, refleksi filosofis tentang realitas menjadi penting untuk menjaga keseimbangan antara pengetahuan teknis dan kedalaman eksistensial.

Akhirnya, kesadaran akan keberagaman pemahaman tentang realitas tidak seharusnya membawa kita pada relativisme kosong, melainkan mendorong dialog lintas tradisi, disiplin, dan pengalaman, sehingga kita dapat menghargai kompleksitas dunia tanpa kehilangan arah dalam menapaki kehidupan yang bermakna. Sebagaimana diungkapkan oleh Paul Tillich, “filsafat adalah upaya manusia untuk menjadi sadar akan realitas secara menyeluruh dan untuk menjawab pertanyaan tentang makna hidup.”_⁷


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 681–683; Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 239–241.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 3, a. 4; Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 28–32.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), 17–18; Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–35.

[5]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[6]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Volume 2 (Delhi: Oxford University Press, 2009), 15–17; Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 55–59; William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 79–84.

[7]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 135.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2013). The philosophy of Ibn Sina. Routledge.

Allison, H. E. (2004). Kant’s transcendental idealism: An interpretation and defense (Revised ed.). Yale University Press.

Aristotle. (2001). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 681–926). Modern Library.

Aristotle. (2001). Categories (E. M. Edghill, Trans.). In R. McKeon (Ed.), The basic works of Aristotle (pp. 7–36). Modern Library.

Averroes. (1954). Tahafut al-Tahafut (S. van den Bergh, Trans.). Luzac.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Bostrom, N. (2003). Are you living in a computer simulation? Philosophical Quarterly, 53(211), 243–255. https://doi.org/10.1111/1467-9213.00309

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Clarke, W. N. (2001). The one and the many: A contemporary Thomistic metaphysics. University of Notre Dame Press.

Cottingham, J. (1986). Descartes: A very short introduction. Oxford University Press.

Deutsch, E. (1969). Advaita Vedanta: A philosophical reconstruction. University of Hawaii Press.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Descartes, R. (1983). Principles of philosophy (V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.

Dreyfus, H. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and time. MIT Press.

Dummett, M. (1978). Truth and other enigmas. Harvard University Press.

Easwaran, E. (Trans.). (2007). The Upanishads. Nilgiri Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Garfield, J. L. (Trans.). (1995). The fundamental wisdom of the middle way: Nāgārjuna’s Mūlamadhyamakakārikā. Oxford University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Houghton, W. E. (1957). The Victorian frame of mind, 1830–1870. Yale University Press.

Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical concepts. University of California Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kellner, D. (1989). Jean Baudrillard: From Marxism to postmodernism and beyond. Polity Press.

Keown, D. (2000). Buddhism: A very short introduction. Oxford University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Marmura, M. E. (Trans.). (2005). The metaphysics of the healing (Avicenna). Brigham Young University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Psillos, S. (1999). Scientific realism: How science tracks truth. Routledge.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.

Radhakrishnan, S. (2009). Indian philosophy: Volume 2. Oxford University Press.

Rescher, N. (1973). The coherence theory of truth. Clarendon Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

Wolff, R. P. (1963). Kant’s theory of mental activity: A commentary on the Transcendental Analytic of the Critique of Pure Reason. Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar