Sejarah Filsafat Periode Kontemporer
Transformasi Kesadaran Kritis
Alihkan ke: Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji sejarah filsafat periode
kontemporer melalui pendekatan sinkronik dan diakronik untuk memahami
kompleksitas pemikiran filosofis dalam merespons tantangan zaman modern hingga
pascamodern. Pendekatan diakronik menelusuri transformasi historis dari
rasionalitas modern menuju kritik postmodern atas otoritas kebenaran,
identitas, dan struktur pengetahuan. Sementara itu, pendekatan sinkronik
memetakan spektrum aliran filsafat kontemporer seperti filsafat analitik,
kontinental, teori kritis, posthumanisme, hingga ekofilsafat, yang berkembang
secara simultan dan saling melengkapi. Artikel ini menunjukkan bahwa filsafat
kontemporer telah menggeser orientasi filosofis dari pencarian metafisis dan
universalitas menuju refleksi kritis atas kekuasaan, representasi, pluralitas
identitas, serta tanggung jawab etis terhadap manusia dan alam. Di tengah krisis
global—baik epistemologis, ekologis, maupun sosial—filsafat kontemporer
diwariskan sebagai instrumen kesadaran kritis yang membebaskan, dialogis, dan
transformatif bagi keberlangsungan peradaban.
Kata Kunci: Filsafat kontemporer; pendekatan sinkronik;
pendekatan diakronik; kesadaran kritis; postmodernisme; teori kritis; etika
teknologi; pluralitas identitas; dekolonisasi pengetahuan; posthumanisme.
PEMBAHASAN
Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Sejarah Filsafat Periode
Kontemporer
1.
Pendahuluan
Sejarah filsafat
selalu merupakan cermin dari dinamika intelektual yang membentuk kesadaran
manusia dalam menanggapi realitas, nilai, dan eksistensi. Filsafat periode
kontemporer muncul sebagai respons atas krisis fundamental modernitas yang ditandai
dengan keruntuhan kepercayaan terhadap rasionalitas universal, objektivitas
kebenaran, dan kemajuan linear sejarah. Abad ke-20 dan awal abad ke-21
menyaksikan pergeseran radikal dalam lanskap pemikiran, di mana filsafat tidak
lagi hanya mengulas metafisika atau epistemologi dalam pengertian klasik,
tetapi juga memasuki ranah sosial, politik, budaya, bahkan teknologi.
Filsafat kontemporer
merupakan arena diskursif yang heterogen, mencakup berbagai aliran seperti
filsafat analitik, kontinental, postmodernisme, hingga posthumanisme. Keragaman
ini menandai pentingnya pendekatan sinkronik—yakni analisis
terhadap berbagai pemikiran yang hidup dan berkembang secara bersamaan dalam
ruang waktu tertentu—untuk memahami kontur filsafat kontemporer. Sebagai contoh,
ketika filsafat analitik di dunia Anglo-Amerika fokus pada analisis bahasa dan
logika, filsafat kontinental di Eropa mengembangkan teori tentang keberadaan,
subjektivitas, dan struktur sosial. Kedua aliran ini hidup berdampingan namun
menawarkan pendekatan dan horizon makna yang berbeda terhadap problem
kemanusiaan1.
Namun, untuk
benar-benar memahami dinamika filsafat kontemporer, pendekatan diakronik—yang
menelusuri transformasi pemikiran dari satu masa ke masa berikutnya—juga tidak
dapat diabaikan. Pemikiran kontemporer tidak lahir dalam ruang hampa; ia
merupakan kelanjutan dan sekaligus kritik terhadap warisan filsafat modern,
khususnya rasionalisme, idealisme, dan proyek Pencerahan. Dengan demikian,
kajian diakronik memungkinkan kita memahami bagaimana pemikiran kontemporer
mengatasi, membongkar, atau mendekonstruksi gagasan-gagasan besar sebelumnya,
seperti ide tentang subjektivitas, kebenaran, dan moralitas2.
Dalam konteks ini,
muncul kesadaran kritis baru yang menjadi ciri utama filsafat kontemporer.
Kesadaran ini tidak sekadar mempertanyakan sistem nilai yang mapan, tetapi juga
menyingkap struktur kuasa di baliknya, seperti yang dilakukan oleh Michel
Foucault dalam analisisnya tentang wacana dan kekuasaan3. Demikian
pula, tokoh-tokoh seperti Richard Rorty menggeser perhatian filsafat dari
representasi objektif ke praksis linguistik dan intersubjektif4.
Filsafat kontemporer tidak hanya berfungsi sebagai refleksi atas dunia, tetapi
juga sebagai kritik aktif terhadapnya, yang berupaya membebaskan kesadaran dari
batas-batas ideologis, struktural, maupun metafisik.
Kajian ini bertujuan
untuk menganalisis sejarah filsafat periode kontemporer secara komprehensif
dengan menggunakan dua pendekatan utama—sinkronik dan diakronik—untuk
mengeksplorasi kompleksitas pemikiran yang muncul, berkembang, dan
bertransformasi. Dengan demikian, diharapkan pembahasan ini dapat
memperlihatkan betapa filsafat kontemporer telah menjadi medan transformasi
kesadaran yang sangat penting dalam memahami zaman kita: zaman globalisasi,
krisis identitas, revolusi teknologi, dan perubahan sosial yang cepat.
Footnotes
[1]
Hans-Johann Glock, What Is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 12–14.
[2]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve
Lectures (Cambridge: MIT Press, 1987), 1–9.
[3]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings,
1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 78–81.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 315–318.
2.
Konteks
Historis: Transisi dari Filsafat Modern ke Kontemporer (Pendekatan Diakronik)
Transisi dari
filsafat modern ke kontemporer bukanlah pergantian yang tiba-tiba, melainkan
proses historis yang berlangsung secara bertahap melalui pergeseran paradigma
intelektual, sosial, dan politis. Dalam kerangka diakronik, kita dapat melacak
bagaimana keyakinan dominan dalam filsafat modern—terutama mengenai rasionalitas,
subjektivitas, dan kemajuan—mengalami krisis, dekonstruksi, dan reinterpretasi
seiring perubahan zaman. Periode modern, yang dimulai sejak René Descartes dan
berpuncak pada Pencerahan, didasarkan pada kepercayaan bahwa akal budi manusia
dapat mengungkap kebenaran objektif dan menciptakan dunia yang rasional melalui
sains dan teknologi1.
Namun, seiring
berkembangnya sejarah, sejumlah kejadian dan arus pemikiran mengguncang fondasi
optimisme modern. Dua Perang Dunia menjadi penanda historis yang mengubah
secara drastis persepsi terhadap kemajuan dan rasionalitas. Teknologi yang
diidealkan dalam modernitas ternyata menjadi instrumen kehancuran massal, menimbulkan
disilusi mendalam terhadap narasi-narasi besar (grand narratives) tentang
kemanusiaan dan peradaban2. Inilah momen di mana filsafat
kontemporer mulai berkembang sebagai respons terhadap kegagalan proyek
modernitas.
Kritik terhadap
modernitas secara filosofis dimulai sejak akhir abad ke-19, melalui pemikiran
Friedrich Nietzsche yang mendekonstruksi moralitas tradisional dan mengumumkan
“kematian Tuhan.”3 Kritik Nietzsche bukan hanya bersifat teologis,
tetapi juga menyasar keyakinan modern terhadap rasio dan kebenaran universal.
Bersamaan dengan itu, muncul pula kritik dari Karl Marx terhadap struktur
sosial kapitalistik, dan dari Sigmund Freud yang menggugat supremasi kesadaran
rasional dengan menunjuk peran bawah sadar dalam diri manusia4.
Ketiga tokoh ini, oleh Paul Ricoeur, dijuluki sebagai “para master
kecurigaan” (masters of suspicion), yang mengubah arah pemikiran
modern menuju refleksi yang lebih kritis dan mendalam terhadap struktur bawah
permukaan realitas5.
Memasuki abad ke-20,
tradisi filsafat kontinental dan analitik mulai berkembang secara paralel. Di
Eropa, Edmund Husserl memperkenalkan fenomenologi sebagai upaya
kembali kepada “hal-hal itu sendiri,” yaitu pengalaman kesadaran yang
murni dan belum dimediasi oleh konstruksi teoretis6. Muridnya,
Martin Heidegger, melanjutkan kritik terhadap metafisika modern dengan
menggugat pemahaman manusia sebagai subjek yang menguasai dunia, dan
menggantikannya dengan pemahaman eksistensial tentang Dasein—keberadaan
yang dilemparkan ke dalam dunia7.
Sementara itu, di
ranah filsafat analitik Anglo-Amerika, beralih dari metafisika ke analisis
bahasa. Tokoh seperti Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein berusaha
memurnikan filsafat melalui logika simbolik dan struktur bahasa, menandai
pergeseran dari pencarian hakikat menuju klarifikasi konsep-konsep dan
penyelesaian kebingungan filosofis melalui bahasa8.
Krisis epistemologis
dan ontologis yang diwarisi dari modernitas mendorong lahirnya refleksi
postmodern pada paruh kedua abad ke-20. Jean-François Lyotard menandai
peralihan ini dengan pernyataan bahwa “narasi besar telah runtuh,”
menandakan hilangnya legitimasi universal dalam pengetahuan, moralitas, dan
sejarah9. Dalam paradigma ini, realitas dianggap sebagai konstruksi
sosial yang dikondisikan oleh bahasa, kekuasaan, dan sejarah. Filsafat
kontemporer dengan demikian mengemban tugas baru: bukan lagi mencari kepastian,
melainkan mendekonstruksi struktur-struktur yang menyembunyikan dominasi dan
ideologi.
Dengan pendekatan
diakronik, kita dapat memahami bahwa filsafat kontemporer bukan sekadar
kelanjutan dari tradisi sebelumnya, tetapi juga sebuah transformasi
radikal dalam cara berpikir, bertanya, dan memahami eksistensi
manusia. Perubahan ini lahir dari konfrontasi terhadap krisis modernitas, serta
dari kesadaran bahwa filsafat harus senantiasa merefleksikan dirinya dalam
terang sejarah dan konteks zaman.
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the
Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991),
275–280.
[2]
Zygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust (Cambridge: Polity
Press, 1989), 1–9.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), 181.
[4]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation,
trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–36.
[5]
Ibid., 34.
[6]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 49–54.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 36–44.
[8]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans.
G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43–45.
[9]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.
3.
Aliran-Aliran
Utama dalam Filsafat Kontemporer (Pendekatan Sinkronik)
Filsafat kontemporer
ditandai oleh keragaman aliran pemikiran yang muncul dan berkembang secara
bersamaan dalam lanskap intelektual abad ke-20 dan ke-21. Pendekatan sinkronik
memungkinkan kita untuk memetakan spektrum pemikiran ini secara horizontal,
tanpa mengabaikan dinamika internal dan interaksi antara masing-masing aliran.
Tidak ada satu paradigma dominan dalam filsafat kontemporer, melainkan terdapat
banyak kutub diskursus yang saling menanggapi, menolak, atau mereformulasi satu
sama lain. Beberapa aliran utama yang membentuk wajah filsafat kontemporer
antara lain: filsafat analitik, filsafat kontinental, filsafat kritis,
postmodernisme, serta posthumanisme dan ekofilsafat.
3.1.
Filsafat Analitik: Klarifikasi Bahasa dan
Logika
Filsafat analitik,
yang berkembang terutama di dunia Anglo-Amerika, berfokus pada klarifikasi
konseptual melalui logika formal dan analisis bahasa. Tokoh awal seperti Gottlob
Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig
Wittgenstein menganggap bahwa banyak persoalan filosofis
tradisional timbul karena penyalahgunaan bahasa1. Wittgenstein dalam
Tractatus
Logico-Philosophicus merumuskan bahwa batas-batas bahasa adalah
batas-batas dunia kita, dan karena itu filsafat harus menelusuri struktur
logika dari bahasa proposisional2.
Namun, perkembangan
selanjutnya dari filsafat analitik mengalami pergeseran penting. Dalam Philosophical
Investigations, Wittgenstein meninggalkan ideal logika murni dan
mengembangkan gagasan tentang “permainan bahasa” (language-games),
yang menunjukkan bahwa makna bersifat kontekstual dan sosial3.
Aliran ini kemudian mencakup berbagai tema seperti epistemologi reliabilisme,
filsafat pikiran, etika terapan, dan bahkan politik, sebagaimana terlihat dalam
karya-karya Saul Kripke, Hilary Putnam, dan Martha Nussbaum4.
3.2.
Filsafat Kontinental: Subjektivitas,
Eksistensi, dan Struktur Sosial
Berbeda dari
pendekatan formal analitik, filsafat kontinental mencakup tradisi seperti fenomenologi,
eksistensialisme,
hermeneutika,
strukturalisme,
dan post-strukturalisme.
Filsafat ini berkembang di Eropa daratan dan sangat terpengaruh oleh konteks
sejarah, budaya, dan krisis identitas modern. Martin Heidegger menantang
metafisika klasik dengan menempatkan keberadaan (Sein) sebagai pertanyaan utama filsafat5,
sementara Jean-Paul Sartre dalam
eksistensialisme ateistik menekankan kebebasan radikal manusia untuk mencipta
makna hidupnya di dunia yang absurd6.
Kemudian, aliran ini
mengalami transformasi radikal melalui Michel Foucault, Jacques
Derrida, dan Jean Baudrillard. Foucault,
misalnya, menyingkap bagaimana struktur pengetahuan selalu berkaitan dengan
relasi kekuasaan, sehingga kebenaran tidak lagi netral melainkan terikat pada
rezim wacana7. Derrida dengan dekonstruksi menunjukkan
ketidakstabilan makna dan menolak adanya pusat atau fondasi tunggal dalam teks
dan realitas8. Aliran ini sangat berpengaruh dalam teori budaya,
studi gender, dan postkolonialisme.
3.3.
Teori Kritis: Rasionalitas dan Emansipasi
Teori kritis,
terutama dari Mazhab Frankfurt, berkembang
sebagai respons terhadap kegagalan modernitas dan dominasi rasionalitas instrumental.
Theodor
Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic
of Enlightenment mengecam bahwa Pencerahan, alih-alih membebaskan
manusia, justru menciptakan bentuk baru dari penindasan melalui rasionalisasi
sistemik dan budaya massa9. Jürgen Habermas, generasi kedua
dari mazhab ini, mencoba merehabilitasi proyek modernitas dengan merumuskan
teori tindakan komunikatif, yaitu rasionalitas yang berakar pada intersubjektivitas
dan diskursus etis10.
Teori kritis
kontemporer juga telah berkembang dalam arah interdisipliner, merambah ke
isu-isu seperti demokrasi deliberatif, multikulturalisme, dan hak asasi
manusia, sambil mempertahankan semangat emansipatoris yang menjadi cirinya
sejak awal.
3.4.
Postmodernisme: Krisis Makna dan Dekonstruksi
Realitas
Postmodernisme
menandai hilangnya kepercayaan terhadap narasi besar dan stabilitas makna. Jean-François
Lyotard menyatakan bahwa "ketidakpercayaan terhadap
metanarasi" adalah ciri utama zaman postmodern11. Dalam
iklim ini, tidak ada lagi satu kebenaran universal, melainkan pluralitas
perspektif dan fragmentasi identitas. Jean Baudrillard mengembangkan
gagasan tentang simulacra dan hiperrealitas, yaitu
keadaan ketika representasi telah menggantikan realitas itu sendiri12.
Aliran ini sering
disalahpahami sebagai relativistik mutlak, padahal intinya terletak pada
penyingkapan struktur dominasi yang tersembunyi dalam representasi dan narasi
yang dianggap netral. Postmodernisme mempengaruhi bidang estetika, arsitektur,
kritik sastra, hingga teori sosial.
3.5.
Posthumanisme dan Ekofilsafat: Etika di Era
Transhuman dan Bumi yang Terluka
Filsafat kontemporer
juga menyaksikan kemunculan gagasan-gagasan baru yang melampaui humanisme
klasik. Posthumanisme, yang digagas
oleh tokoh seperti Donna Haraway dan N.
Katherine Hayles, mempertanyakan batas-batas antara manusia,
mesin, dan alam. Dalam manifestonya, Haraway membayangkan cyborg
sebagai metafora untuk identitas hibrid dan penolakan terhadap dikotomi
tradisional seperti manusia-alam, laki-laki-perempuan13.
Sementara itu, ekofilsafat
menanggapi krisis ekologi global dengan pendekatan filosofis yang radikal
terhadap hubungan manusia dan alam. Arne Naess dalam deep
ecology menolak pandangan antroposentris dan mengusulkan bahwa
semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik14. Pemikiran ini
semakin relevan di tengah ancaman perubahan iklim dan degradasi lingkungan.
Penutup Sementara
Pemetaan sinkronik
terhadap aliran-aliran filsafat kontemporer menunjukkan bahwa tidak ada satu
jalan tunggal dalam pencarian makna dan kebenaran. Justru dalam keragaman dan
dialog antar pendekatan inilah, filsafat kontemporer menemukan vitalitas dan
relevansinya dalam memahami dunia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic
Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 3–8.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans.
D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1961), Proposition 5.6.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–25.
[4]
Martha C. Nussbaum, Love's Knowledge: Essays on Philosophy and
Literature (New York: Oxford University Press, 1990), 12–14.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 55–63.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–25.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–30.
[8]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–163.
[9]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–100.
[10]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One:
Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston:
Beacon Press, 1984), 273–282.
[11]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv.
[12]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[13]
Donna Haraway, A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and
Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century, in Simians, Cyborgs,
and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.
[14]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 28–31.
4.
Isu-Isu
Kunci dalam Filsafat Kontemporer (Pendekatan Sinkronik dan Diakronik)
Filsafat kontemporer
bukan hanya dibentuk oleh aliran-aliran besar yang berdampingan, tetapi juga
oleh isu-isu
kunci yang muncul sebagai respons terhadap tantangan zaman. Isu-isu
ini tidak bisa dilepaskan dari konteks historis yang membentuknya (pendekatan
diakronik) dan sekaligus saling berdialog dalam lanskap
pemikiran yang hidup secara bersamaan (pendekatan sinkronik). Dalam
konteks ini, setidaknya terdapat lima isu utama yang secara konsisten menjadi
medan eksplorasi dan perdebatan dalam filsafat kontemporer: identitas dan
subjektivitas, relativisme dan dekonstruksi kebenaran, etika teknologi dan
bioetika, keadilan sosial dan ekologi, serta filsafat pikiran dan kecerdasan
buatan.
4.1.
Identitas dan
Subjektivitas dalam Dunia Cair
Salah satu warisan
paling kompleks dari filsafat modern adalah konsep subjektivitas sebagai
entitas rasional, otonom, dan stabil. Namun, filsafat kontemporer menggugat
konstruksi ini melalui berbagai pendekatan yang menyoroti keberagaman identitas
sebagai hasil konstruksi historis, sosial, dan diskursif. Judith
Butler, dalam teorinya tentang performativitas gender,
menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang esensial atau tetap,
melainkan dibentuk secara performatif dalam relasi sosial1. Gagasan
ini sejalan dengan pemikiran Michel Foucault, yang
menganalisis subjek sebagai produk dari relasi kuasa dan wacana2.
Transformasi ini
merupakan hasil dari perkembangan pemikiran sejak Nietzsche dan Freud, yang
menyingkap ketidakkonsistenan dan kedalaman tersembunyi dari ego manusia,
hingga akhirnya berkembang menjadi kritik terhadap essentialist subject. Dunia
postmodern ditandai dengan "identitas cair" yang tidak lagi
bisa dipahami secara final atau tunggal3.
4.2.
Relativisme,
Dekonstruksi, dan Krisis Kebenaran
Dalam filsafat
kontemporer, truth claims tidak lagi dianggap
sebagai representasi netral atas kenyataan objektif. Aliran postmodernisme,
terutama melalui karya Jacques Derrida,
mendekonstruksi kepercayaan terhadap pusat makna atau fondasi absolut dalam
bahasa dan pemikiran4. Realitas dipahami sebagai konstruksi sosial
yang terus berubah, dan kebenaran menjadi relatif terhadap konteks dan bahasa.
Namun, relativisme
ini bukan tanpa kritik. Jürgen Habermas, misalnya,
mencoba mempertahankan rasionalitas komunikatif sebagai dasar normatif dalam
masyarakat plural, menentang nihilisme epistemik yang dapat melemahkan proyek
emansipasi sosial5. Perdebatan antara relativisme postmodern dan
rasionalitas deliberatif inilah yang membentuk arus intelektual kontemporer
secara sinkronik, meskipun keduanya lahir dari akar kritik yang sama terhadap
modernitas.
4.3.
Etika Teknologi dan
Bioetika
Kemajuan teknologi
dan ilmu biomedis telah melahirkan persoalan-persoalan etis baru yang tidak
ditemukan dalam filsafat klasik. Bioetika mengangkat isu-isu
seperti aborsi, eugenika, rekayasa genetik, hak pasien, dan euthanasia. Filsuf
seperti Peter Singer memperluas etika
utilitarian ke dalam bidang hak-hak hewan dan manusia non-kompeten, menantang
batasan etika tradisional berbasis hak kodrati6.
Sementara itu, etika
teknologi menyoroti persoalan-persoalan seputar privasi data,
kecerdasan buatan (AI), algoritma, dan dampaknya terhadap kebebasan serta
kemanusiaan. Luciano Floridi, misalnya,
memperkenalkan “infosfer” sebagai ekosistem baru yang menuntut paradigma
etika informasi7. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, filsafat
dituntut untuk menyusun kerangka etis yang mampu menjawab kompleksitas dunia
digital dan transhuman.
4.4.
Keadilan Sosial dan
Ekologi
Filsafat kontemporer
juga mengalami perluasan medan ke arah aktivisme sosial dan ekologi. Berbagai
teori keadilan dikembangkan sebagai tanggapan terhadap ketimpangan global,
diskriminasi rasial dan gender, serta eksklusi sosial. Nancy
Fraser menggabungkan pendekatan distributif dan rekognitif
dalam teori keadilan yang menyentuh baik aspek ekonomi maupun kultural8.
Dalam bidang
ekofilsafat, muncul pendekatan seperti deep ecology (Arne Naess), ecofeminism,
dan postcolonial
ecology, yang menantang dominasi antroposentris dan membuka
ruang bagi etika lingkungan yang lebih inklusif9. Filsafat
kontemporer tidak hanya merefleksikan realitas, tetapi juga menjadi instrumen
advokasi untuk perubahan sistemik.
4.5.
Filsafat Pikiran,
Kecerdasan Buatan, dan Kesadaran
Perkembangan neurosains
dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan pertanyaan filosofis mendalam tentang
kesadaran, identitas, dan hakikat pikiran. Dalam debat antara materialisme
reduksionis dan dualitas fenomenal, muncul
pertanyaan apakah kesadaran manusia dapat sepenuhnya dijelaskan oleh proses
fisik di otak.
Tokoh seperti David
Chalmers mengajukan the hard problem of consciousness—mengapa
dan bagaimana pengalaman subjektif muncul dari proses neural—yang tetap menjadi
perdebatan besar dalam filsafat pikiran kontemporer10. Di sisi lain,
keberadaan AI dan model pembelajaran mesin (machine learning) mengundang
diskusi tentang agensi non-manusia, otonomi teknologi, dan tanggung jawab
moral.
Simpulan Sementara
Isu-isu kunci dalam
filsafat kontemporer memperlihatkan bagaimana bidang ini telah bergeser dari
spekulasi metafisik menjadi medan refleksi multidimensi atas dunia yang
kompleks, terfragmentasi, dan dinamis. Melalui pendekatan sinkronik, kita dapat
memahami ragam wacana yang hadir secara bersamaan; sementara melalui pendekatan
diakronik, kita bisa menelusuri transformasi kesadaran yang menjadi fondasi
bagi munculnya berbagai isu ini. Filsafat kontemporer, dengan demikian, tidak
hanya menanggapi zaman, tetapi juga membentuk cara kita memahami dan merespons
dunia.
Footnotes
[1]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (New York: Routledge, 1990), 25–28.
[2]
Michel Foucault, The History of Sexuality: Volume I: An
Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 92–98.
[3]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 6–10.
[4]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.
[5]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT
Press, 1996), 18–22.
[6]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 108–115.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 1–17.
[8]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
"Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–19.
[9]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 29–35.
[10]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 93–96.
5.
Pengaruh
Kontekstual: Filsafat Kontemporer dalam Budaya dan Politik Global
Filsafat kontemporer
tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan politik tempat ia
berkembang. Bila pendekatan diakronik membantu kita
memahami bagaimana ide-ide filosofis berevolusi sebagai tanggapan atas dinamika
sejarah, maka pendekatan sinkronik mengungkap bagaimana
ide-ide tersebut hadir dan beroperasi dalam ruang global yang kompleks dan
saling terhubung. Dalam konteks globalisasi, perubahan struktur politik, serta
pertukaran budaya yang intensif, filsafat kontemporer memainkan peran penting
dalam membingkai dan mengkritisi realitas dunia kontemporer.
5.1.
Globalisasi,
Kapitalisme Lanjut, dan Krisis Demokrasi
Salah satu
kontribusi penting filsafat kontemporer adalah kritiknya terhadap dinamika
globalisasi dan kapitalisme lanjut. Slavoj Žižek dan Alain
Badiou, misalnya, menyoroti bagaimana neoliberalisme telah
menggerus solidaritas sosial, menggantikan politik ideologis dengan manajemen
teknokratik yang mengabaikan dimensi etis1. Dalam konteks ini,
demokrasi liberal menghadapi krisis legitimasi, karena semakin banyak keputusan
penting diambil oleh lembaga-lembaga yang tidak terpilih secara demokratis
(seperti korporasi global dan badan keuangan internasional).
Chantal
Mouffe, dalam pemikirannya tentang demokrasi agonistik,
menyatakan bahwa politik kontemporer membutuhkan ruang bagi konflik yang
konstruktif dan artikulasi perbedaan, bukan penyeragaman oleh konsensus
neoliberalisme2. Filsafat kontemporer dengan demikian menjadi
instrumen untuk mempertanyakan tatanan politik yang tampak "alamiah",
namun sesungguhnya sarat kekuasaan dan dominasi tersembunyi.
5.2.
Filsafat dan Politik
Identitas di Era Pascakolonial
Pengaruh kontekstual
filsafat juga tampak jelas dalam pergulatan identitas pascakolonial. Pemikir
seperti Frantz Fanon dan Gayatri
Chakravorty Spivak memperluas ranah filsafat dengan mengangkat
pengalaman subaltern dan menantang struktur epistemik kolonial yang masih
mengakar dalam filsafat Barat3. Wacana poskolonial menunjukkan
bagaimana bahasa, pengetahuan, dan representasi telah dijadikan alat
penjajahan, dan bagaimana filsafat perlu membuka diri terhadap pluralitas
epistemik dari dunia non-Barat.
Dalam pendekatan
sinkronik, kita dapat melihat pertumbuhan filsafat-filsafat lokal yang mencoba
mengartikulasikan pemikiran kritis dalam konteks masing-masing: filsafat Islam
kontemporer (Ali Shariati, Mohammed Arkoun), filsafat Afrika (Kwasi Wiredu,
Achille Mbembe), dan filsafat Amerika Latin (Enrique Dussel, Walter Mignolo).
Semua ini menunjukkan bahwa filsafat kontemporer telah berkembang menjadi
wacana yang semakin inklusif dan transkultural.
5.3.
Media, Budaya
Populer, dan Kritik Ideologi
Filsafat kontemporer
juga memberikan alat kritis untuk membaca dan membongkar struktur ideologis
dalam budaya populer dan media massa. Jean Baudrillard, dalam
teorinya tentang hiperrealitas, menunjukkan bagaimana media tidak sekadar
merepresentasikan realitas, tetapi menciptakan realitas yang lebih dominan dari
kenyataan itu sendiri4. Budaya massa, dalam pandangan ini, menjadi
medan pertarungan simbolik di mana identitas dan makna dibentuk, direkayasa,
dan dikomodifikasi.
Di sisi lain, filsuf
seperti bell hooks dan Henry
Giroux mengembangkan kritik kultural terhadap sistem
pendidikan, media, dan sinema yang dianggap memperkuat struktur dominasi ras,
kelas, dan gender5. Dalam konteks ini, filsafat menjadi alat untuk
membongkar mitos-mitos ideologis yang tersembunyi dalam praktik budaya
sehari-hari, dan menawarkan narasi alternatif yang lebih adil dan reflektif.
5.4.
Interaksi Filsafat
Timur dan Barat: Menuju Dialog Peradaban
Perkembangan
filsafat kontemporer juga ditandai oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya
dialog antarperadaban dan antartradisi intelektual. Ketika filsafat Barat
menghadapi krisis metafisika dan etika, banyak pemikir mulai membuka ruang
terhadap kebijaksanaan Timur—termasuk pemikiran Islam, Konfusianisme, Taoisme,
dan Hinduisme—sebagai sumber alternatif untuk mengatasi kebuntuan modernitas.
Tokoh seperti Seyyed
Hossein Nasr dan Tu Weiming menekankan perlunya
revitalisasi spiritual dan etika berbasis tradisi lokal untuk menyeimbangkan
dampak modernitas sekular dan konsumtif6. Sementara itu, dalam
konteks pluralisme agama dan multikulturalisme, pemikiran Tariq
Ramadan dan Amartya Sen mencoba
menjembatani nilai-nilai universal dan partikular secara produktif.
Pendekatan diakronik
dalam hal ini memungkinkan kita melihat bagaimana filsafat non-Barat telah lama
memiliki tradisi reflektif yang dalam, sementara pendekatan sinkronik
menunjukkan bagaimana tradisi-tradisi tersebut kini aktif berinteraksi dalam
medan pemikiran global.
Kesimpulan Sementara
Pengaruh filsafat
kontemporer dalam konteks budaya dan politik global memperlihatkan fungsinya
yang jauh melampaui refleksi teoretis. Ia hadir sebagai kritik aktif terhadap
hegemoni global, sebagai pembela pluralitas identitas, dan sebagai jembatan
antara berbagai tradisi intelektual yang dahulu terpinggirkan. Dengan membaca
filsafat kontemporer melalui lensa sinkronik dan diakronik, kita menyadari
bahwa filsafat bukan hanya mengikuti zaman, tetapi juga membentuk arah
peradaban.
Footnotes
[1]
Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2011),
13–19.
[2]
Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000),
101–105.
[3]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–3; Gayatri Chakravorty Spivak, Can
the Subaltern Speak?, in Colonial Discourse and Post-Colonial Theory,
eds. Patrick Williams and Laura Chrisman (New York: Columbia University Press,
1994), 66–111.
[4]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[5]
bell hooks, Reel to Real: Race, Sex, and Class at the Movies
(New York: Routledge, 1996), 3–5; Henry A. Giroux, The Terror of
Neoliberalism: Authoritarianism and the Eclipse of Democracy (Boulder:
Paradigm Publishers, 2004), 42–47.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 81–86; Tu Weiming, Confucianism in Historical Perspective
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 23–30.
6.
Warisan
Filsafat Kontemporer bagi Dunia Modern
Filsafat kontemporer
tidak hanya merefleksikan zaman, tetapi juga mewariskan seperangkat paradigma
baru yang secara signifikan memengaruhi cara manusia modern berpikir,
bertindak, dan membangun struktur sosial. Melalui pendekatan diakronik,
kita dapat melacak jejak transformasi historis filsafat dari rasionalisme dan
humanisme modern menuju kompleksitas posmodern dan posthuman. Sementara itu,
melalui pendekatan sinkronik, kita dapat mengamati
bagaimana berbagai aliran filsafat kontemporer—meskipun berbeda pendekatan dan
metodologi—secara bersamaan menyumbang pada penyusunan kembali kerangka etika,
epistemologi, dan praksis dalam dunia global saat ini.
6.1.
Dekonstruksi
terhadap Rasionalitas Tunggal dan Emansipasi Pluralitas
Salah satu warisan
terbesar filsafat kontemporer adalah kritik radikal terhadap klaim
universalitas dan keabsolutan dalam rasionalitas modern. Filsuf seperti Michel
Foucault, Jacques Derrida, dan Jean-François
Lyotard telah menunjukkan bahwa narasi besar yang mengklaim
netralitas rasio sesungguhnya menyembunyikan relasi kuasa dan ideologi1.
Filsafat kontemporer membongkar hegemoni epistemik ini dan membuka ruang bagi
pluralitas perspektif, termasuk pengalaman-pengalaman yang terpinggirkan oleh
dominasi kolonial, patriarkal, dan kapitalistik.
Warisan ini
berdampak luas dalam ilmu sosial, humaniora, dan bahkan dalam pendekatan
kebijakan publik yang kini mulai mempertimbangkan keberagaman kultural, lokalitas
epistemik, dan inklusi sosial sebagai prinsip dasar demokrasi kontemporer2.
6.2.
Reposisi Etika dalam
Konteks Krisis Global
Filsafat kontemporer
mewariskan pemahaman baru mengenai etika yang tidak lagi berbasis pada
prinsip-prinsip universal abstrak, tetapi bersifat kontekstual, relasional, dan
responsif terhadap situasi konkret. Dalam bidang bioetika
dan etika
teknologi, misalnya, filsuf-filsuf seperti Donna
Haraway dan Peter Singer mengajak untuk
mempertimbangkan tanggung jawab manusia dalam interaksinya dengan kehidupan
non-manusia dan teknologi3. Ini menjadi sangat relevan di era perubahan
iklim, pandemi global, dan revolusi digital, yang menuntut kerangka etis baru.
Etika kontemporer
juga mencerminkan perubahan dari pendekatan antroposentris ke eko-sentris
dan kosmosentris, sebagaimana terlihat dalam pemikiran Arne
Naess dan deep ecology4. Dalam
hal ini, filsafat kontemporer memberi warisan etis yang memungkinkan manusia
mempertimbangkan ulang relasinya dengan bumi dan seluruh sistem kehidupan
secara lebih utuh.
6.3.
Reformulasi Konsep
Subjek dan Identitas
Filsafat kontemporer
mengubah cara pandang kita terhadap subjek. Jika filsafat modern menekankan
subjek sebagai agen rasional yang otonom, maka pemikiran kontemporer justru
menunjukkan bahwa subjek terbentuk dalam jaringan wacana, kuasa, dan relasi
sosial. Pemikiran Judith Butler tentang
performativitas gender, serta pendekatan post-struktural terhadap identitas
oleh Stuart
Hall dan Homi Bhabha, telah menggoyahkan
fondasi identitas esensialis dan membuka jalan bagi pemahaman yang lebih
dinamis, terbuka, dan kontekstual5.
Warisan ini terasa
dalam praktik sosial dan politik kontemporer yang lebih terbuka terhadap
ekspresi identitas gender, orientasi seksual, budaya minoritas, dan pengalaman
diaspora. Dunia modern, dengan segala kompleksitasnya, semakin mengakui
identitas sebagai konstruksi yang dinegosiasikan secara terus-menerus, bukan
warisan tetap yang dibawa sejak lahir.
6.4.
Filsafat sebagai
Kritik Ideologi dan Pendidikan Kesadaran
Filsafat kontemporer
juga telah mewariskan peran penting sebagai instrumen kritik
ideologi dan pembebasan kesadaran. Tradisi teori
kritis dari Mazhab Frankfurt hingga critical
pedagogy yang dikembangkan oleh Paulo Freire menempatkan
filsafat sebagai praksis yang memampukan individu untuk menyadari struktur
penindasan dan mengubah realitas sosial secara aktif6.
Dalam konteks
pendidikan, pemikiran filsafat kontemporer membentuk pendekatan pembelajaran
yang lebih dialogis, reflektif, dan membebaskan. Ini menandai pergeseran dari
model transfer pengetahuan ke model emansipasi intelektual yang berakar pada
kesadaran kritis.
6.5.
Pembentukan
Paradigma Inklusif dalam Wacana Global
Akhirnya, warisan
filsafat kontemporer juga tampak dalam pelebaran ranah filsafat ke
wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap periferal. Melalui pendekatan
postkolonial dan dialog antartradisi, filsafat kontemporer mendorong dekolonisasi
epistemologi—yakni pengakuan terhadap sistem pengetahuan non-Barat
sebagai bagian sah dari refleksi filsafat global7.
Pemikiran seperti decolonial
turn (Walter Mignolo), epistemologies of the South
(Boaventura de Sousa Santos), dan filsafat Islam kontemporer telah memperkaya
diskursus global dengan keragaman perspektif. Warisan ini menantang hegemoni
Eropa-sentris dan membuka filsafat pada kemungkinan menjadi ruang dialog lintas
budaya yang sejati.
Kesimpulan Sementara
Warisan filsafat
kontemporer bagi dunia modern tidak hanya terletak pada teori atau diskursus,
melainkan dalam kemampuannya membentuk kesadaran baru yang reflektif, kritis,
dan inklusif. Dengan membongkar tatanan lama dan menawarkan paradigma
alternatif, filsafat kontemporer menjadi fondasi bagi dunia yang lebih
demokratis, berkeadilan, dan berkesadaran ekologis. Melalui lensa sinkronik,
warisan ini tampak dalam ragam pendekatan yang saling menanggapi; sementara
secara diakronik, ia menjadi kelanjutan dan sekaligus koreksi atas proyek
filsafat sebelumnya. Filsafat kontemporer, dengan demikian, bukan sekadar
warisan intelektual, melainkan juga panduan transformatif bagi peradaban
manusia modern.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–133; Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), 23–25.
[2]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 12–19.
[3]
Donna Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2008), 15–21; Peter Singer, Animal Liberation, 2nd
ed. (New York: Harper Perennial, 2009), 13–18.
[4]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 36–41.
[5]
Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of
"Sex" (New York: Routledge, 1993), 2–5; Stuart Hall, Cultural
Identity and Diaspora, in Identity: Community, Culture, Difference,
ed. Jonathan Rutherford (London: Lawrence & Wishart, 1990), 222–237.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–86.
[7]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 16–21.
7.
Penutup
Filsafat periode
kontemporer muncul bukan sebagai kesinambungan linier dari masa lalu, melainkan
sebagai medan transformasi yang kompleks, reflektif, dan kritis terhadap
warisan modernitas. Melalui pendekatan diakronik, dapat kita lihat
bagaimana filsafat ini menandai pergeseran dari proyek rasionalitas universal
menuju pengakuan atas kontingensi sejarah, keterbatasan bahasa, dan pluralitas
perspektif. Sementara pendekatan sinkronik memperlihatkan
keberagaman aliran yang berkembang secara simultan—baik dalam bentuk kritik
dekonstruktif, rekonstruksi etika, maupun pembukaan terhadap epistemologi
non-Barat—semuanya menunjukkan dinamika dialogis yang menjadi ciri utama
pemikiran kontemporer.
Di tengah
ketidakstabilan dunia modern—dari krisis ekologi, revolusi teknologi, pandemi
global, hingga disorientasi identitas—filsafat kontemporer menawarkan sesuatu
yang sangat fundamental: kesadaran kritis. Kesadaran ini
bukan hanya untuk menilai dunia, tetapi juga untuk menginterogasi kerangka
berpikir yang selama ini mendasari persepsi kita terhadap realitas, kebenaran,
dan makna. Dalam istilah Foucault, filsafat bukan lagi
tentang memahami dunia sebagaimana adanya, melainkan tentang “membuat hidup
tidak bisa lagi dijalani seperti biasa.”1
Warisan paling
penting dari filsafat kontemporer adalah bahwa ia menggeser pusat perhatian
dari kepastian
menuju kewaspadaan,
dari dogma
universal ke konteks partikular, dan dari identitas
tetap ke konstruksi relasional.
Paradigma-paradigma seperti posthumanisme, teori
kritis, dekonstruksi, dan ekofilsafat
membuka ruang etis dan intelektual yang lebih terbuka terhadap kompleksitas
zaman.
Lebih jauh lagi,
filsafat kontemporer telah membongkar klaim-klaim hegemonik dalam sejarah
intelektual Barat dan memberikan ruang bagi tradisi-tradisi filosofis dari
Selatan global. Walter Mignolo menyebut proses
ini sebagai dekolonisasi pengetahuan, yakni
upaya untuk menyeimbangkan wacana global yang terlalu lama dimonopoli oleh
episteme Eropa modern2. Inilah salah satu pencapaian penting dari
kesadaran kontemporer yang bersifat transkultural dan transdisipliner.
Namun demikian,
warisan filsafat kontemporer tidaklah tanpa tantangan. Fragmentasi makna,
relativisme berlebihan, dan kebingungan etis dapat muncul ketika kritik tidak
disertai rekonstruksi normatif yang jelas. Maka, tanggung jawab filsafat ke depan
adalah tidak hanya membongkar dan menganalisis, tetapi juga menyusun
horizon baru bagi nilai-nilai kebersamaan, keadilan, dan
keberlanjutan dalam dunia yang terus berubah.
Dengan demikian,
filsafat kontemporer bukanlah akhir dari sejarah pemikiran, melainkan pembukaan
menuju kesadaran baru yang lebih reflektif, inklusif, dan
dialogis. Filsafat ini bukan hanya untuk memahami zaman, tetapi untuk mengubah
cara kita hadir di dalamnya—sebuah transformasi yang hanya
mungkin terjadi bila kita bersedia berpikir ulang secara radikal atas apa yang
selama ini dianggap wajar.
Footnotes
[1]
Michel Foucault, The Foucault Reader, ed. Paul Rabinow (New
York: Pantheon Books, 1984), 343.
[2]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 18–22.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
(Original work published 1947)
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Bauman, Z. (1989). Modernity and the Holocaust.
Polity Press.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity
Press.
Beaney, M. (2007). The analytic turn: Analysis
in early analytic philosophy and phenomenology. Routledge.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. Routledge.
Butler, J. (1993). Bodies that matter: On the
discursive limits of "sex". Routledge.
Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In
search of a fundamental theory. Oxford University Press.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Fanon, F. (2004). The wretched of the earth
(R. Philcox, Trans.). Grove Press. (Original work published 1961)
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1990). The history of sexuality:
Volume I: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical
reflections on the "postsocialist" condition. Routledge.
Giroux, H. A. (2004). The terror of
neoliberalism: Authoritarianism and the eclipse of democracy. Paradigm
Publishers.
Glock, H.-J. (2008). What is analytic
philosophy? Cambridge University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, Volume One: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy,
Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Hall, S. (1990). Cultural identity and diaspora. In
J. Rutherford (Ed.), Identity: Community, culture, difference (pp.
222–237). Lawrence & Wishart.
Haraway, D. (1991). A cyborg manifesto: Science,
technology, and socialist-feminism in the late twentieth century. In Simians,
cyborgs, and women: The reinvention of nature (pp. 149–181). Routledge.
Haraway, D. (2008). When species meet.
University of Minnesota Press.
hooks, b. (1996). Reel to real: Race, sex, and
class at the movies. Routledge.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
Mignolo, W. D. (2011). The darker side of
Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University
Press.
Mouffe, C. (2000). The democratic paradox.
Verso.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge
University Press.
Nussbaum, M. C. (1990). Love's knowledge: Essays
on philosophy and literature. Oxford University Press.
Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An
essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the
South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Singer, P. (2009). Animal liberation (2nd
ed.). Harper Perennial.
Spivak, G. C. (1994). Can the subaltern speak? In
P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial discourse and post-colonial
theory: A reader (pp. 66–111). Columbia University Press.
Tarnas, R. (1991). The passion of the Western
mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. Ballantine
Books.
Tu, W. (1985). Confucianism in historical perspective.
Institute of Southeast Asian Studies.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
Wittgenstein, L. (1961). Tractatus
logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.).
Routledge.
Žižek, S. (2011). Living in the end times.
Verso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar