Senin, 12 Mei 2025

Sejarah Filsafat Periode Kontemporer: Transformasi Kesadaran Kritis

Sejarah Filsafat Periode Kontemporer

Transformasi Kesadaran Kritis


Alihkan ke: Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji sejarah filsafat periode kontemporer melalui pendekatan sinkronik dan diakronik untuk memahami kompleksitas pemikiran filosofis dalam merespons tantangan zaman modern hingga pascamodern. Pendekatan diakronik menelusuri transformasi historis dari rasionalitas modern menuju kritik postmodern atas otoritas kebenaran, identitas, dan struktur pengetahuan. Sementara itu, pendekatan sinkronik memetakan spektrum aliran filsafat kontemporer seperti filsafat analitik, kontinental, teori kritis, posthumanisme, hingga ekofilsafat, yang berkembang secara simultan dan saling melengkapi. Artikel ini menunjukkan bahwa filsafat kontemporer telah menggeser orientasi filosofis dari pencarian metafisis dan universalitas menuju refleksi kritis atas kekuasaan, representasi, pluralitas identitas, serta tanggung jawab etis terhadap manusia dan alam. Di tengah krisis global—baik epistemologis, ekologis, maupun sosial—filsafat kontemporer diwariskan sebagai instrumen kesadaran kritis yang membebaskan, dialogis, dan transformatif bagi keberlangsungan peradaban.

Kata Kunci: Filsafat kontemporer; pendekatan sinkronik; pendekatan diakronik; kesadaran kritis; postmodernisme; teori kritis; etika teknologi; pluralitas identitas; dekolonisasi pengetahuan; posthumanisme.


PEMBAHASAN

Kajian Sinkronik dan Diakronik atas Sejarah Filsafat Periode Kontemporer


1.           Pendahuluan

Sejarah filsafat selalu merupakan cermin dari dinamika intelektual yang membentuk kesadaran manusia dalam menanggapi realitas, nilai, dan eksistensi. Filsafat periode kontemporer muncul sebagai respons atas krisis fundamental modernitas yang ditandai dengan keruntuhan kepercayaan terhadap rasionalitas universal, objektivitas kebenaran, dan kemajuan linear sejarah. Abad ke-20 dan awal abad ke-21 menyaksikan pergeseran radikal dalam lanskap pemikiran, di mana filsafat tidak lagi hanya mengulas metafisika atau epistemologi dalam pengertian klasik, tetapi juga memasuki ranah sosial, politik, budaya, bahkan teknologi.

Filsafat kontemporer merupakan arena diskursif yang heterogen, mencakup berbagai aliran seperti filsafat analitik, kontinental, postmodernisme, hingga posthumanisme. Keragaman ini menandai pentingnya pendekatan sinkronik—yakni analisis terhadap berbagai pemikiran yang hidup dan berkembang secara bersamaan dalam ruang waktu tertentu—untuk memahami kontur filsafat kontemporer. Sebagai contoh, ketika filsafat analitik di dunia Anglo-Amerika fokus pada analisis bahasa dan logika, filsafat kontinental di Eropa mengembangkan teori tentang keberadaan, subjektivitas, dan struktur sosial. Kedua aliran ini hidup berdampingan namun menawarkan pendekatan dan horizon makna yang berbeda terhadap problem kemanusiaan1.

Namun, untuk benar-benar memahami dinamika filsafat kontemporer, pendekatan diakronik—yang menelusuri transformasi pemikiran dari satu masa ke masa berikutnya—juga tidak dapat diabaikan. Pemikiran kontemporer tidak lahir dalam ruang hampa; ia merupakan kelanjutan dan sekaligus kritik terhadap warisan filsafat modern, khususnya rasionalisme, idealisme, dan proyek Pencerahan. Dengan demikian, kajian diakronik memungkinkan kita memahami bagaimana pemikiran kontemporer mengatasi, membongkar, atau mendekonstruksi gagasan-gagasan besar sebelumnya, seperti ide tentang subjektivitas, kebenaran, dan moralitas2.

Dalam konteks ini, muncul kesadaran kritis baru yang menjadi ciri utama filsafat kontemporer. Kesadaran ini tidak sekadar mempertanyakan sistem nilai yang mapan, tetapi juga menyingkap struktur kuasa di baliknya, seperti yang dilakukan oleh Michel Foucault dalam analisisnya tentang wacana dan kekuasaan3. Demikian pula, tokoh-tokoh seperti Richard Rorty menggeser perhatian filsafat dari representasi objektif ke praksis linguistik dan intersubjektif4. Filsafat kontemporer tidak hanya berfungsi sebagai refleksi atas dunia, tetapi juga sebagai kritik aktif terhadapnya, yang berupaya membebaskan kesadaran dari batas-batas ideologis, struktural, maupun metafisik.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis sejarah filsafat periode kontemporer secara komprehensif dengan menggunakan dua pendekatan utama—sinkronik dan diakronik—untuk mengeksplorasi kompleksitas pemikiran yang muncul, berkembang, dan bertransformasi. Dengan demikian, diharapkan pembahasan ini dapat memperlihatkan betapa filsafat kontemporer telah menjadi medan transformasi kesadaran yang sangat penting dalam memahami zaman kita: zaman globalisasi, krisis identitas, revolusi teknologi, dan perubahan sosial yang cepat.


Footnotes

[1]                Hans-Johann Glock, What Is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 12–14.

[2]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures (Cambridge: MIT Press, 1987), 1–9.

[3]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 78–81.

[4]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 315–318.


2.           Konteks Historis: Transisi dari Filsafat Modern ke Kontemporer (Pendekatan Diakronik)

Transisi dari filsafat modern ke kontemporer bukanlah pergantian yang tiba-tiba, melainkan proses historis yang berlangsung secara bertahap melalui pergeseran paradigma intelektual, sosial, dan politis. Dalam kerangka diakronik, kita dapat melacak bagaimana keyakinan dominan dalam filsafat modern—terutama mengenai rasionalitas, subjektivitas, dan kemajuan—mengalami krisis, dekonstruksi, dan reinterpretasi seiring perubahan zaman. Periode modern, yang dimulai sejak René Descartes dan berpuncak pada Pencerahan, didasarkan pada kepercayaan bahwa akal budi manusia dapat mengungkap kebenaran objektif dan menciptakan dunia yang rasional melalui sains dan teknologi1.

Namun, seiring berkembangnya sejarah, sejumlah kejadian dan arus pemikiran mengguncang fondasi optimisme modern. Dua Perang Dunia menjadi penanda historis yang mengubah secara drastis persepsi terhadap kemajuan dan rasionalitas. Teknologi yang diidealkan dalam modernitas ternyata menjadi instrumen kehancuran massal, menimbulkan disilusi mendalam terhadap narasi-narasi besar (grand narratives) tentang kemanusiaan dan peradaban2. Inilah momen di mana filsafat kontemporer mulai berkembang sebagai respons terhadap kegagalan proyek modernitas.

Kritik terhadap modernitas secara filosofis dimulai sejak akhir abad ke-19, melalui pemikiran Friedrich Nietzsche yang mendekonstruksi moralitas tradisional dan mengumumkan “kematian Tuhan.”3 Kritik Nietzsche bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga menyasar keyakinan modern terhadap rasio dan kebenaran universal. Bersamaan dengan itu, muncul pula kritik dari Karl Marx terhadap struktur sosial kapitalistik, dan dari Sigmund Freud yang menggugat supremasi kesadaran rasional dengan menunjuk peran bawah sadar dalam diri manusia4. Ketiga tokoh ini, oleh Paul Ricoeur, dijuluki sebagai “para master kecurigaan” (masters of suspicion), yang mengubah arah pemikiran modern menuju refleksi yang lebih kritis dan mendalam terhadap struktur bawah permukaan realitas5.

Memasuki abad ke-20, tradisi filsafat kontinental dan analitik mulai berkembang secara paralel. Di Eropa, Edmund Husserl memperkenalkan fenomenologi sebagai upaya kembali kepada “hal-hal itu sendiri,” yaitu pengalaman kesadaran yang murni dan belum dimediasi oleh konstruksi teoretis6. Muridnya, Martin Heidegger, melanjutkan kritik terhadap metafisika modern dengan menggugat pemahaman manusia sebagai subjek yang menguasai dunia, dan menggantikannya dengan pemahaman eksistensial tentang Dasein—keberadaan yang dilemparkan ke dalam dunia7.

Sementara itu, di ranah filsafat analitik Anglo-Amerika, beralih dari metafisika ke analisis bahasa. Tokoh seperti Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein berusaha memurnikan filsafat melalui logika simbolik dan struktur bahasa, menandai pergeseran dari pencarian hakikat menuju klarifikasi konsep-konsep dan penyelesaian kebingungan filosofis melalui bahasa8.

Krisis epistemologis dan ontologis yang diwarisi dari modernitas mendorong lahirnya refleksi postmodern pada paruh kedua abad ke-20. Jean-François Lyotard menandai peralihan ini dengan pernyataan bahwa “narasi besar telah runtuh,” menandakan hilangnya legitimasi universal dalam pengetahuan, moralitas, dan sejarah9. Dalam paradigma ini, realitas dianggap sebagai konstruksi sosial yang dikondisikan oleh bahasa, kekuasaan, dan sejarah. Filsafat kontemporer dengan demikian mengemban tugas baru: bukan lagi mencari kepastian, melainkan mendekonstruksi struktur-struktur yang menyembunyikan dominasi dan ideologi.

Dengan pendekatan diakronik, kita dapat memahami bahwa filsafat kontemporer bukan sekadar kelanjutan dari tradisi sebelumnya, tetapi juga sebuah transformasi radikal dalam cara berpikir, bertanya, dan memahami eksistensi manusia. Perubahan ini lahir dari konfrontasi terhadap krisis modernitas, serta dari kesadaran bahwa filsafat harus senantiasa merefleksikan dirinya dalam terang sejarah dan konteks zaman.


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 275–280.

[2]                Zygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust (Cambridge: Polity Press, 1989), 1–9.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181.

[4]                Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–36.

[5]                Ibid., 34.

[6]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 49–54.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 36–44.

[8]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43–45.

[9]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.


3.           Aliran-Aliran Utama dalam Filsafat Kontemporer (Pendekatan Sinkronik)

Filsafat kontemporer ditandai oleh keragaman aliran pemikiran yang muncul dan berkembang secara bersamaan dalam lanskap intelektual abad ke-20 dan ke-21. Pendekatan sinkronik memungkinkan kita untuk memetakan spektrum pemikiran ini secara horizontal, tanpa mengabaikan dinamika internal dan interaksi antara masing-masing aliran. Tidak ada satu paradigma dominan dalam filsafat kontemporer, melainkan terdapat banyak kutub diskursus yang saling menanggapi, menolak, atau mereformulasi satu sama lain. Beberapa aliran utama yang membentuk wajah filsafat kontemporer antara lain: filsafat analitik, filsafat kontinental, filsafat kritis, postmodernisme, serta posthumanisme dan ekofilsafat.

3.1.       Filsafat Analitik: Klarifikasi Bahasa dan Logika

Filsafat analitik, yang berkembang terutama di dunia Anglo-Amerika, berfokus pada klarifikasi konseptual melalui logika formal dan analisis bahasa. Tokoh awal seperti Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein menganggap bahwa banyak persoalan filosofis tradisional timbul karena penyalahgunaan bahasa1. Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus merumuskan bahwa batas-batas bahasa adalah batas-batas dunia kita, dan karena itu filsafat harus menelusuri struktur logika dari bahasa proposisional2.

Namun, perkembangan selanjutnya dari filsafat analitik mengalami pergeseran penting. Dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein meninggalkan ideal logika murni dan mengembangkan gagasan tentang “permainan bahasa” (language-games), yang menunjukkan bahwa makna bersifat kontekstual dan sosial3. Aliran ini kemudian mencakup berbagai tema seperti epistemologi reliabilisme, filsafat pikiran, etika terapan, dan bahkan politik, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Saul Kripke, Hilary Putnam, dan Martha Nussbaum4.

3.2.       Filsafat Kontinental: Subjektivitas, Eksistensi, dan Struktur Sosial

Berbeda dari pendekatan formal analitik, filsafat kontinental mencakup tradisi seperti fenomenologi, eksistensialisme, hermeneutika, strukturalisme, dan post-strukturalisme. Filsafat ini berkembang di Eropa daratan dan sangat terpengaruh oleh konteks sejarah, budaya, dan krisis identitas modern. Martin Heidegger menantang metafisika klasik dengan menempatkan keberadaan (Sein) sebagai pertanyaan utama filsafat5, sementara Jean-Paul Sartre dalam eksistensialisme ateistik menekankan kebebasan radikal manusia untuk mencipta makna hidupnya di dunia yang absurd6.

Kemudian, aliran ini mengalami transformasi radikal melalui Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Jean Baudrillard. Foucault, misalnya, menyingkap bagaimana struktur pengetahuan selalu berkaitan dengan relasi kekuasaan, sehingga kebenaran tidak lagi netral melainkan terikat pada rezim wacana7. Derrida dengan dekonstruksi menunjukkan ketidakstabilan makna dan menolak adanya pusat atau fondasi tunggal dalam teks dan realitas8. Aliran ini sangat berpengaruh dalam teori budaya, studi gender, dan postkolonialisme.

3.3.       Teori Kritis: Rasionalitas dan Emansipasi

Teori kritis, terutama dari Mazhab Frankfurt, berkembang sebagai respons terhadap kegagalan modernitas dan dominasi rasionalitas instrumental. Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment mengecam bahwa Pencerahan, alih-alih membebaskan manusia, justru menciptakan bentuk baru dari penindasan melalui rasionalisasi sistemik dan budaya massa9. Jürgen Habermas, generasi kedua dari mazhab ini, mencoba merehabilitasi proyek modernitas dengan merumuskan teori tindakan komunikatif, yaitu rasionalitas yang berakar pada intersubjektivitas dan diskursus etis10.

Teori kritis kontemporer juga telah berkembang dalam arah interdisipliner, merambah ke isu-isu seperti demokrasi deliberatif, multikulturalisme, dan hak asasi manusia, sambil mempertahankan semangat emansipatoris yang menjadi cirinya sejak awal.

3.4.       Postmodernisme: Krisis Makna dan Dekonstruksi Realitas

Postmodernisme menandai hilangnya kepercayaan terhadap narasi besar dan stabilitas makna. Jean-François Lyotard menyatakan bahwa "ketidakpercayaan terhadap metanarasi" adalah ciri utama zaman postmodern11. Dalam iklim ini, tidak ada lagi satu kebenaran universal, melainkan pluralitas perspektif dan fragmentasi identitas. Jean Baudrillard mengembangkan gagasan tentang simulacra dan hiperrealitas, yaitu keadaan ketika representasi telah menggantikan realitas itu sendiri12.

Aliran ini sering disalahpahami sebagai relativistik mutlak, padahal intinya terletak pada penyingkapan struktur dominasi yang tersembunyi dalam representasi dan narasi yang dianggap netral. Postmodernisme mempengaruhi bidang estetika, arsitektur, kritik sastra, hingga teori sosial.

3.5.       Posthumanisme dan Ekofilsafat: Etika di Era Transhuman dan Bumi yang Terluka

Filsafat kontemporer juga menyaksikan kemunculan gagasan-gagasan baru yang melampaui humanisme klasik. Posthumanisme, yang digagas oleh tokoh seperti Donna Haraway dan N. Katherine Hayles, mempertanyakan batas-batas antara manusia, mesin, dan alam. Dalam manifestonya, Haraway membayangkan cyborg sebagai metafora untuk identitas hibrid dan penolakan terhadap dikotomi tradisional seperti manusia-alam, laki-laki-perempuan13.

Sementara itu, ekofilsafat menanggapi krisis ekologi global dengan pendekatan filosofis yang radikal terhadap hubungan manusia dan alam. Arne Naess dalam deep ecology menolak pandangan antroposentris dan mengusulkan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik14. Pemikiran ini semakin relevan di tengah ancaman perubahan iklim dan degradasi lingkungan.


Penutup Sementara

Pemetaan sinkronik terhadap aliran-aliran filsafat kontemporer menunjukkan bahwa tidak ada satu jalan tunggal dalam pencarian makna dan kebenaran. Justru dalam keragaman dan dialog antar pendekatan inilah, filsafat kontemporer menemukan vitalitas dan relevansinya dalam memahami dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic Philosophy and Phenomenology (New York: Routledge, 2007), 3–8.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1961), Proposition 5.6.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–25.

[4]                Martha C. Nussbaum, Love's Knowledge: Essays on Philosophy and Literature (New York: Oxford University Press, 1990), 12–14.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 55–63.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–25.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–30.

[8]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 158–163.

[9]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–100.

[10]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–282.

[11]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.

[12]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[13]             Donna Haraway, A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century, in Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.

[14]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–31.


4.           Isu-Isu Kunci dalam Filsafat Kontemporer (Pendekatan Sinkronik dan Diakronik)

Filsafat kontemporer bukan hanya dibentuk oleh aliran-aliran besar yang berdampingan, tetapi juga oleh isu-isu kunci yang muncul sebagai respons terhadap tantangan zaman. Isu-isu ini tidak bisa dilepaskan dari konteks historis yang membentuknya (pendekatan diakronik) dan sekaligus saling berdialog dalam lanskap pemikiran yang hidup secara bersamaan (pendekatan sinkronik). Dalam konteks ini, setidaknya terdapat lima isu utama yang secara konsisten menjadi medan eksplorasi dan perdebatan dalam filsafat kontemporer: identitas dan subjektivitas, relativisme dan dekonstruksi kebenaran, etika teknologi dan bioetika, keadilan sosial dan ekologi, serta filsafat pikiran dan kecerdasan buatan.

4.1.       Identitas dan Subjektivitas dalam Dunia Cair

Salah satu warisan paling kompleks dari filsafat modern adalah konsep subjektivitas sebagai entitas rasional, otonom, dan stabil. Namun, filsafat kontemporer menggugat konstruksi ini melalui berbagai pendekatan yang menyoroti keberagaman identitas sebagai hasil konstruksi historis, sosial, dan diskursif. Judith Butler, dalam teorinya tentang performativitas gender, menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang esensial atau tetap, melainkan dibentuk secara performatif dalam relasi sosial1. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Michel Foucault, yang menganalisis subjek sebagai produk dari relasi kuasa dan wacana2.

Transformasi ini merupakan hasil dari perkembangan pemikiran sejak Nietzsche dan Freud, yang menyingkap ketidakkonsistenan dan kedalaman tersembunyi dari ego manusia, hingga akhirnya berkembang menjadi kritik terhadap essentialist subject. Dunia postmodern ditandai dengan "identitas cair" yang tidak lagi bisa dipahami secara final atau tunggal3.

4.2.       Relativisme, Dekonstruksi, dan Krisis Kebenaran

Dalam filsafat kontemporer, truth claims tidak lagi dianggap sebagai representasi netral atas kenyataan objektif. Aliran postmodernisme, terutama melalui karya Jacques Derrida, mendekonstruksi kepercayaan terhadap pusat makna atau fondasi absolut dalam bahasa dan pemikiran4. Realitas dipahami sebagai konstruksi sosial yang terus berubah, dan kebenaran menjadi relatif terhadap konteks dan bahasa.

Namun, relativisme ini bukan tanpa kritik. Jürgen Habermas, misalnya, mencoba mempertahankan rasionalitas komunikatif sebagai dasar normatif dalam masyarakat plural, menentang nihilisme epistemik yang dapat melemahkan proyek emansipasi sosial5. Perdebatan antara relativisme postmodern dan rasionalitas deliberatif inilah yang membentuk arus intelektual kontemporer secara sinkronik, meskipun keduanya lahir dari akar kritik yang sama terhadap modernitas.

4.3.       Etika Teknologi dan Bioetika

Kemajuan teknologi dan ilmu biomedis telah melahirkan persoalan-persoalan etis baru yang tidak ditemukan dalam filsafat klasik. Bioetika mengangkat isu-isu seperti aborsi, eugenika, rekayasa genetik, hak pasien, dan euthanasia. Filsuf seperti Peter Singer memperluas etika utilitarian ke dalam bidang hak-hak hewan dan manusia non-kompeten, menantang batasan etika tradisional berbasis hak kodrati6.

Sementara itu, etika teknologi menyoroti persoalan-persoalan seputar privasi data, kecerdasan buatan (AI), algoritma, dan dampaknya terhadap kebebasan serta kemanusiaan. Luciano Floridi, misalnya, memperkenalkan “infosfer” sebagai ekosistem baru yang menuntut paradigma etika informasi7. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, filsafat dituntut untuk menyusun kerangka etis yang mampu menjawab kompleksitas dunia digital dan transhuman.

4.4.       Keadilan Sosial dan Ekologi

Filsafat kontemporer juga mengalami perluasan medan ke arah aktivisme sosial dan ekologi. Berbagai teori keadilan dikembangkan sebagai tanggapan terhadap ketimpangan global, diskriminasi rasial dan gender, serta eksklusi sosial. Nancy Fraser menggabungkan pendekatan distributif dan rekognitif dalam teori keadilan yang menyentuh baik aspek ekonomi maupun kultural8.

Dalam bidang ekofilsafat, muncul pendekatan seperti deep ecology (Arne Naess), ecofeminism, dan postcolonial ecology, yang menantang dominasi antroposentris dan membuka ruang bagi etika lingkungan yang lebih inklusif9. Filsafat kontemporer tidak hanya merefleksikan realitas, tetapi juga menjadi instrumen advokasi untuk perubahan sistemik.

4.5.       Filsafat Pikiran, Kecerdasan Buatan, dan Kesadaran

Perkembangan neurosains dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan pertanyaan filosofis mendalam tentang kesadaran, identitas, dan hakikat pikiran. Dalam debat antara materialisme reduksionis dan dualitas fenomenal, muncul pertanyaan apakah kesadaran manusia dapat sepenuhnya dijelaskan oleh proses fisik di otak.

Tokoh seperti David Chalmers mengajukan the hard problem of consciousness—mengapa dan bagaimana pengalaman subjektif muncul dari proses neural—yang tetap menjadi perdebatan besar dalam filsafat pikiran kontemporer10. Di sisi lain, keberadaan AI dan model pembelajaran mesin (machine learning) mengundang diskusi tentang agensi non-manusia, otonomi teknologi, dan tanggung jawab moral.


Simpulan Sementara

Isu-isu kunci dalam filsafat kontemporer memperlihatkan bagaimana bidang ini telah bergeser dari spekulasi metafisik menjadi medan refleksi multidimensi atas dunia yang kompleks, terfragmentasi, dan dinamis. Melalui pendekatan sinkronik, kita dapat memahami ragam wacana yang hadir secara bersamaan; sementara melalui pendekatan diakronik, kita bisa menelusuri transformasi kesadaran yang menjadi fondasi bagi munculnya berbagai isu ini. Filsafat kontemporer, dengan demikian, tidak hanya menanggapi zaman, tetapi juga membentuk cara kita memahami dan merespons dunia.


Footnotes

[1]                Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–28.

[2]                Michel Foucault, The History of Sexuality: Volume I: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 92–98.

[3]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–10.

[4]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278–293.

[5]                Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 18–22.

[6]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 108–115.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–17.

[8]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–19.

[9]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 29–35.

[10]             David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 93–96.


5.           Pengaruh Kontekstual: Filsafat Kontemporer dalam Budaya dan Politik Global

Filsafat kontemporer tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan politik tempat ia berkembang. Bila pendekatan diakronik membantu kita memahami bagaimana ide-ide filosofis berevolusi sebagai tanggapan atas dinamika sejarah, maka pendekatan sinkronik mengungkap bagaimana ide-ide tersebut hadir dan beroperasi dalam ruang global yang kompleks dan saling terhubung. Dalam konteks globalisasi, perubahan struktur politik, serta pertukaran budaya yang intensif, filsafat kontemporer memainkan peran penting dalam membingkai dan mengkritisi realitas dunia kontemporer.

5.1.       Globalisasi, Kapitalisme Lanjut, dan Krisis Demokrasi

Salah satu kontribusi penting filsafat kontemporer adalah kritiknya terhadap dinamika globalisasi dan kapitalisme lanjut. Slavoj Žižek dan Alain Badiou, misalnya, menyoroti bagaimana neoliberalisme telah menggerus solidaritas sosial, menggantikan politik ideologis dengan manajemen teknokratik yang mengabaikan dimensi etis1. Dalam konteks ini, demokrasi liberal menghadapi krisis legitimasi, karena semakin banyak keputusan penting diambil oleh lembaga-lembaga yang tidak terpilih secara demokratis (seperti korporasi global dan badan keuangan internasional).

Chantal Mouffe, dalam pemikirannya tentang demokrasi agonistik, menyatakan bahwa politik kontemporer membutuhkan ruang bagi konflik yang konstruktif dan artikulasi perbedaan, bukan penyeragaman oleh konsensus neoliberalisme2. Filsafat kontemporer dengan demikian menjadi instrumen untuk mempertanyakan tatanan politik yang tampak "alamiah", namun sesungguhnya sarat kekuasaan dan dominasi tersembunyi.

5.2.       Filsafat dan Politik Identitas di Era Pascakolonial

Pengaruh kontekstual filsafat juga tampak jelas dalam pergulatan identitas pascakolonial. Pemikir seperti Frantz Fanon dan Gayatri Chakravorty Spivak memperluas ranah filsafat dengan mengangkat pengalaman subaltern dan menantang struktur epistemik kolonial yang masih mengakar dalam filsafat Barat3. Wacana poskolonial menunjukkan bagaimana bahasa, pengetahuan, dan representasi telah dijadikan alat penjajahan, dan bagaimana filsafat perlu membuka diri terhadap pluralitas epistemik dari dunia non-Barat.

Dalam pendekatan sinkronik, kita dapat melihat pertumbuhan filsafat-filsafat lokal yang mencoba mengartikulasikan pemikiran kritis dalam konteks masing-masing: filsafat Islam kontemporer (Ali Shariati, Mohammed Arkoun), filsafat Afrika (Kwasi Wiredu, Achille Mbembe), dan filsafat Amerika Latin (Enrique Dussel, Walter Mignolo). Semua ini menunjukkan bahwa filsafat kontemporer telah berkembang menjadi wacana yang semakin inklusif dan transkultural.

5.3.       Media, Budaya Populer, dan Kritik Ideologi

Filsafat kontemporer juga memberikan alat kritis untuk membaca dan membongkar struktur ideologis dalam budaya populer dan media massa. Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang hiperrealitas, menunjukkan bagaimana media tidak sekadar merepresentasikan realitas, tetapi menciptakan realitas yang lebih dominan dari kenyataan itu sendiri4. Budaya massa, dalam pandangan ini, menjadi medan pertarungan simbolik di mana identitas dan makna dibentuk, direkayasa, dan dikomodifikasi.

Di sisi lain, filsuf seperti bell hooks dan Henry Giroux mengembangkan kritik kultural terhadap sistem pendidikan, media, dan sinema yang dianggap memperkuat struktur dominasi ras, kelas, dan gender5. Dalam konteks ini, filsafat menjadi alat untuk membongkar mitos-mitos ideologis yang tersembunyi dalam praktik budaya sehari-hari, dan menawarkan narasi alternatif yang lebih adil dan reflektif.

5.4.       Interaksi Filsafat Timur dan Barat: Menuju Dialog Peradaban

Perkembangan filsafat kontemporer juga ditandai oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya dialog antarperadaban dan antartradisi intelektual. Ketika filsafat Barat menghadapi krisis metafisika dan etika, banyak pemikir mulai membuka ruang terhadap kebijaksanaan Timur—termasuk pemikiran Islam, Konfusianisme, Taoisme, dan Hinduisme—sebagai sumber alternatif untuk mengatasi kebuntuan modernitas.

Tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr dan Tu Weiming menekankan perlunya revitalisasi spiritual dan etika berbasis tradisi lokal untuk menyeimbangkan dampak modernitas sekular dan konsumtif6. Sementara itu, dalam konteks pluralisme agama dan multikulturalisme, pemikiran Tariq Ramadan dan Amartya Sen mencoba menjembatani nilai-nilai universal dan partikular secara produktif.

Pendekatan diakronik dalam hal ini memungkinkan kita melihat bagaimana filsafat non-Barat telah lama memiliki tradisi reflektif yang dalam, sementara pendekatan sinkronik menunjukkan bagaimana tradisi-tradisi tersebut kini aktif berinteraksi dalam medan pemikiran global.


Kesimpulan Sementara

Pengaruh filsafat kontemporer dalam konteks budaya dan politik global memperlihatkan fungsinya yang jauh melampaui refleksi teoretis. Ia hadir sebagai kritik aktif terhadap hegemoni global, sebagai pembela pluralitas identitas, dan sebagai jembatan antara berbagai tradisi intelektual yang dahulu terpinggirkan. Dengan membaca filsafat kontemporer melalui lensa sinkronik dan diakronik, kita menyadari bahwa filsafat bukan hanya mengikuti zaman, tetapi juga membentuk arah peradaban.


Footnotes

[1]                Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2011), 13–19.

[2]                Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000), 101–105.

[3]                Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–3; Gayatri Chakravorty Spivak, Can the Subaltern Speak?, in Colonial Discourse and Post-Colonial Theory, eds. Patrick Williams and Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–111.

[4]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[5]                bell hooks, Reel to Real: Race, Sex, and Class at the Movies (New York: Routledge, 1996), 3–5; Henry A. Giroux, The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and the Eclipse of Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2004), 42–47.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 81–86; Tu Weiming, Confucianism in Historical Perspective (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 23–30.


6.           Warisan Filsafat Kontemporer bagi Dunia Modern

Filsafat kontemporer tidak hanya merefleksikan zaman, tetapi juga mewariskan seperangkat paradigma baru yang secara signifikan memengaruhi cara manusia modern berpikir, bertindak, dan membangun struktur sosial. Melalui pendekatan diakronik, kita dapat melacak jejak transformasi historis filsafat dari rasionalisme dan humanisme modern menuju kompleksitas posmodern dan posthuman. Sementara itu, melalui pendekatan sinkronik, kita dapat mengamati bagaimana berbagai aliran filsafat kontemporer—meskipun berbeda pendekatan dan metodologi—secara bersamaan menyumbang pada penyusunan kembali kerangka etika, epistemologi, dan praksis dalam dunia global saat ini.

6.1.       Dekonstruksi terhadap Rasionalitas Tunggal dan Emansipasi Pluralitas

Salah satu warisan terbesar filsafat kontemporer adalah kritik radikal terhadap klaim universalitas dan keabsolutan dalam rasionalitas modern. Filsuf seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Jean-François Lyotard telah menunjukkan bahwa narasi besar yang mengklaim netralitas rasio sesungguhnya menyembunyikan relasi kuasa dan ideologi1. Filsafat kontemporer membongkar hegemoni epistemik ini dan membuka ruang bagi pluralitas perspektif, termasuk pengalaman-pengalaman yang terpinggirkan oleh dominasi kolonial, patriarkal, dan kapitalistik.

Warisan ini berdampak luas dalam ilmu sosial, humaniora, dan bahkan dalam pendekatan kebijakan publik yang kini mulai mempertimbangkan keberagaman kultural, lokalitas epistemik, dan inklusi sosial sebagai prinsip dasar demokrasi kontemporer2.

6.2.       Reposisi Etika dalam Konteks Krisis Global

Filsafat kontemporer mewariskan pemahaman baru mengenai etika yang tidak lagi berbasis pada prinsip-prinsip universal abstrak, tetapi bersifat kontekstual, relasional, dan responsif terhadap situasi konkret. Dalam bidang bioetika dan etika teknologi, misalnya, filsuf-filsuf seperti Donna Haraway dan Peter Singer mengajak untuk mempertimbangkan tanggung jawab manusia dalam interaksinya dengan kehidupan non-manusia dan teknologi3. Ini menjadi sangat relevan di era perubahan iklim, pandemi global, dan revolusi digital, yang menuntut kerangka etis baru.

Etika kontemporer juga mencerminkan perubahan dari pendekatan antroposentris ke eko-sentris dan kosmosentris, sebagaimana terlihat dalam pemikiran Arne Naess dan deep ecology4. Dalam hal ini, filsafat kontemporer memberi warisan etis yang memungkinkan manusia mempertimbangkan ulang relasinya dengan bumi dan seluruh sistem kehidupan secara lebih utuh.

6.3.       Reformulasi Konsep Subjek dan Identitas

Filsafat kontemporer mengubah cara pandang kita terhadap subjek. Jika filsafat modern menekankan subjek sebagai agen rasional yang otonom, maka pemikiran kontemporer justru menunjukkan bahwa subjek terbentuk dalam jaringan wacana, kuasa, dan relasi sosial. Pemikiran Judith Butler tentang performativitas gender, serta pendekatan post-struktural terhadap identitas oleh Stuart Hall dan Homi Bhabha, telah menggoyahkan fondasi identitas esensialis dan membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dinamis, terbuka, dan kontekstual5.

Warisan ini terasa dalam praktik sosial dan politik kontemporer yang lebih terbuka terhadap ekspresi identitas gender, orientasi seksual, budaya minoritas, dan pengalaman diaspora. Dunia modern, dengan segala kompleksitasnya, semakin mengakui identitas sebagai konstruksi yang dinegosiasikan secara terus-menerus, bukan warisan tetap yang dibawa sejak lahir.

6.4.       Filsafat sebagai Kritik Ideologi dan Pendidikan Kesadaran

Filsafat kontemporer juga telah mewariskan peran penting sebagai instrumen kritik ideologi dan pembebasan kesadaran. Tradisi teori kritis dari Mazhab Frankfurt hingga critical pedagogy yang dikembangkan oleh Paulo Freire menempatkan filsafat sebagai praksis yang memampukan individu untuk menyadari struktur penindasan dan mengubah realitas sosial secara aktif6.

Dalam konteks pendidikan, pemikiran filsafat kontemporer membentuk pendekatan pembelajaran yang lebih dialogis, reflektif, dan membebaskan. Ini menandai pergeseran dari model transfer pengetahuan ke model emansipasi intelektual yang berakar pada kesadaran kritis.

6.5.       Pembentukan Paradigma Inklusif dalam Wacana Global

Akhirnya, warisan filsafat kontemporer juga tampak dalam pelebaran ranah filsafat ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dianggap periferal. Melalui pendekatan postkolonial dan dialog antartradisi, filsafat kontemporer mendorong dekolonisasi epistemologi—yakni pengakuan terhadap sistem pengetahuan non-Barat sebagai bagian sah dari refleksi filsafat global7.

Pemikiran seperti decolonial turn (Walter Mignolo), epistemologies of the South (Boaventura de Sousa Santos), dan filsafat Islam kontemporer telah memperkaya diskursus global dengan keragaman perspektif. Warisan ini menantang hegemoni Eropa-sentris dan membuka filsafat pada kemungkinan menjadi ruang dialog lintas budaya yang sejati.


Kesimpulan Sementara

Warisan filsafat kontemporer bagi dunia modern tidak hanya terletak pada teori atau diskursus, melainkan dalam kemampuannya membentuk kesadaran baru yang reflektif, kritis, dan inklusif. Dengan membongkar tatanan lama dan menawarkan paradigma alternatif, filsafat kontemporer menjadi fondasi bagi dunia yang lebih demokratis, berkeadilan, dan berkesadaran ekologis. Melalui lensa sinkronik, warisan ini tampak dalam ragam pendekatan yang saling menanggapi; sementara secara diakronik, ia menjadi kelanjutan dan sekaligus koreksi atas proyek filsafat sebelumnya. Filsafat kontemporer, dengan demikian, bukan sekadar warisan intelektual, melainkan juga panduan transformatif bagi peradaban manusia modern.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133; Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 23–25.

[2]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 12–19.

[3]                Donna Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 15–21; Peter Singer, Animal Liberation, 2nd ed. (New York: Harper Perennial, 2009), 13–18.

[4]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 36–41.

[5]                Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of "Sex" (New York: Routledge, 1993), 2–5; Stuart Hall, Cultural Identity and Diaspora, in Identity: Community, Culture, Difference, ed. Jonathan Rutherford (London: Lawrence & Wishart, 1990), 222–237.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–86.

[7]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 16–21.


7.           Penutup

Filsafat periode kontemporer muncul bukan sebagai kesinambungan linier dari masa lalu, melainkan sebagai medan transformasi yang kompleks, reflektif, dan kritis terhadap warisan modernitas. Melalui pendekatan diakronik, dapat kita lihat bagaimana filsafat ini menandai pergeseran dari proyek rasionalitas universal menuju pengakuan atas kontingensi sejarah, keterbatasan bahasa, dan pluralitas perspektif. Sementara pendekatan sinkronik memperlihatkan keberagaman aliran yang berkembang secara simultan—baik dalam bentuk kritik dekonstruktif, rekonstruksi etika, maupun pembukaan terhadap epistemologi non-Barat—semuanya menunjukkan dinamika dialogis yang menjadi ciri utama pemikiran kontemporer.

Di tengah ketidakstabilan dunia modern—dari krisis ekologi, revolusi teknologi, pandemi global, hingga disorientasi identitas—filsafat kontemporer menawarkan sesuatu yang sangat fundamental: kesadaran kritis. Kesadaran ini bukan hanya untuk menilai dunia, tetapi juga untuk menginterogasi kerangka berpikir yang selama ini mendasari persepsi kita terhadap realitas, kebenaran, dan makna. Dalam istilah Foucault, filsafat bukan lagi tentang memahami dunia sebagaimana adanya, melainkan tentang “membuat hidup tidak bisa lagi dijalani seperti biasa.”1

Warisan paling penting dari filsafat kontemporer adalah bahwa ia menggeser pusat perhatian dari kepastian menuju kewaspadaan, dari dogma universal ke konteks partikular, dan dari identitas tetap ke konstruksi relasional. Paradigma-paradigma seperti posthumanisme, teori kritis, dekonstruksi, dan ekofilsafat membuka ruang etis dan intelektual yang lebih terbuka terhadap kompleksitas zaman.

Lebih jauh lagi, filsafat kontemporer telah membongkar klaim-klaim hegemonik dalam sejarah intelektual Barat dan memberikan ruang bagi tradisi-tradisi filosofis dari Selatan global. Walter Mignolo menyebut proses ini sebagai dekolonisasi pengetahuan, yakni upaya untuk menyeimbangkan wacana global yang terlalu lama dimonopoli oleh episteme Eropa modern2. Inilah salah satu pencapaian penting dari kesadaran kontemporer yang bersifat transkultural dan transdisipliner.

Namun demikian, warisan filsafat kontemporer tidaklah tanpa tantangan. Fragmentasi makna, relativisme berlebihan, dan kebingungan etis dapat muncul ketika kritik tidak disertai rekonstruksi normatif yang jelas. Maka, tanggung jawab filsafat ke depan adalah tidak hanya membongkar dan menganalisis, tetapi juga menyusun horizon baru bagi nilai-nilai kebersamaan, keadilan, dan keberlanjutan dalam dunia yang terus berubah.

Dengan demikian, filsafat kontemporer bukanlah akhir dari sejarah pemikiran, melainkan pembukaan menuju kesadaran baru yang lebih reflektif, inklusif, dan dialogis. Filsafat ini bukan hanya untuk memahami zaman, tetapi untuk mengubah cara kita hadir di dalamnya—sebuah transformasi yang hanya mungkin terjadi bila kita bersedia berpikir ulang secara radikal atas apa yang selama ini dianggap wajar.


Footnotes

[1]                Michel Foucault, The Foucault Reader, ed. Paul Rabinow (New York: Pantheon Books, 1984), 343.

[2]                Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 18–22.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press. (Original work published 1947)

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Bauman, Z. (1989). Modernity and the Holocaust. Polity Press.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Beaney, M. (2007). The analytic turn: Analysis in early analytic philosophy and phenomenology. Routledge.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Butler, J. (1993). Bodies that matter: On the discursive limits of "sex". Routledge.

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Fanon, F. (2004). The wretched of the earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press. (Original work published 1961)

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1990). The history of sexuality: Volume I: An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the "postsocialist" condition. Routledge.

Giroux, H. A. (2004). The terror of neoliberalism: Authoritarianism and the eclipse of democracy. Paradigm Publishers.

Glock, H.-J. (2008). What is analytic philosophy? Cambridge University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Volume One: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Hall, S. (1990). Cultural identity and diaspora. In J. Rutherford (Ed.), Identity: Community, culture, difference (pp. 222–237). Lawrence & Wishart.

Haraway, D. (1991). A cyborg manifesto: Science, technology, and socialist-feminism in the late twentieth century. In Simians, cyborgs, and women: The reinvention of nature (pp. 149–181). Routledge.

Haraway, D. (2008). When species meet. University of Minnesota Press.

hooks, b. (1996). Reel to real: Race, sex, and class at the movies. Routledge.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

Mignolo, W. D. (2011). The darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke University Press.

Mouffe, C. (2000). The democratic paradox. Verso.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (1990). Love's knowledge: Essays on philosophy and literature. Oxford University Press.

Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Singer, P. (2009). Animal liberation (2nd ed.). Harper Perennial.

Spivak, G. C. (1994). Can the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 66–111). Columbia University Press.

Tarnas, R. (1991). The passion of the Western mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. Ballantine Books.

Tu, W. (1985). Confucianism in historical perspective. Institute of Southeast Asian Studies.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Wittgenstein, L. (1961). Tractatus logico-philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinness, Trans.). Routledge.

Žižek, S. (2011). Living in the end times. Verso.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar