Rabu, 14 Mei 2025

PPK: Penguatan Pendidikan Karakter

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)

Strategi, Implementasi, dan Tantangan di Satuan Pendidikan


Alihkan ke: Kurikulum 2013, Program Sekolah Berintegritas, Pendidikan Anti Korupsi.

Definisi dan Landasan Pendidikan Karakter, Implementasi Pendidikan Karakter.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep, strategi, dan tantangan dalam implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam kerangka Kurikulum 2013 di satuan pendidikan. PPK merupakan kebijakan nasional yang bertujuan membentuk peserta didik yang berintegritas, religius, mandiri, nasionalis, dan mampu bekerja sama. Berlandaskan pada regulasi formal seperti Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dan Perpres No. 87 Tahun 2017, PPK diintegrasikan secara sistemik ke dalam pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Artikel ini mengulas landasan filosofis PPK yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan pemikiran Ki Hajar Dewantara, serta strategi integrasi melalui pendekatan kontekstual dan metode pembelajaran aktif seperti project-based learning dan inquiry learning. Di sisi lain, tantangan pelaksanaan PPK meliputi rendahnya kompetensi pedagogi karakter guru, lemahnya budaya sekolah, dominasi media sosial, dan kurangnya sinergi antar pihak. Oleh karena itu, artikel ini menawarkan rekomendasi strategis, seperti peningkatan kapasitas guru, penguatan budaya sekolah, literasi digital berbasis etika, dan evaluasi karakter berbasis indikator. Kesimpulannya, keberhasilan PPK membutuhkan pendekatan kolaboratif dan berkelanjutan untuk menjamin pembentukan karakter peserta didik yang utuh di era globalisasi.

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Kurikulum 2013, PPK, Nilai-Nilai Pancasila, Budaya Sekolah, Guru, Media Sosial, Strategi Pembelajaran.


PEMBAHASAN

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam Kurikulum 2013


1.           Pendahuluan

Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pembentukan manusia seutuhnya, tidak hanya dalam aspek intelektual, tetapi juga dalam dimensi moral, spiritual, dan sosial. Dalam konteks Indonesia, hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsanya.¹ Salah satu bentuk konkret dari implementasi tujuan ini adalah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang menjadi program prioritas nasional sejak dicanangkannya Gerakan Nasional Revolusi Mental oleh pemerintah Indonesia.

Urgensi penguatan pendidikan karakter semakin meningkat di tengah pesatnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi. Fenomena dekadensi moral, meningkatnya intoleransi, serta kecenderungan konsumtif dan individualistik pada generasi muda menunjukkan bahwa pendidikan karakter bukan hanya kebutuhan, melainkan keharusan yang mendesak.² PPK hadir sebagai respons sistemik untuk menanggapi tantangan tersebut dan membentuk generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berintegritas dan berdaya saing global dengan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur Pancasila.

Kebijakan PPK secara resmi diatur dalam Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Dalam regulasi tersebut, PPK diposisikan sebagai gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi antara hati (etika), rasa (estetika), pikir (literasi), dan karsa (kinestetika).³ Hal ini sejalan dengan visi Kurikulum 2013 yang mengintegrasikan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara menyeluruh dalam proses pembelajaran.⁴

PPK tidak berjalan sebagai program tambahan, melainkan terintegrasi secara menyeluruh dalam struktur Kurikulum 2013, baik melalui intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. Pendekatan ini bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang menyeluruh dan holistik, membangun budaya sekolah yang mendukung tumbuhnya nilai-nilai karakter seperti religiusitas, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan gotong royong.⁵

Dalam praktiknya, pelaksanaan PPK memerlukan keterlibatan aktif seluruh ekosistem pendidikan: guru, kepala sekolah, orang tua, masyarakat, bahkan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Oleh karena itu, artikel ini bertujuan mengkaji secara sistematis strategi, implementasi, dan tantangan PPK dalam konteks Kurikulum 2013 di satuan pendidikan. Harapannya, tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi upaya penguatan karakter peserta didik sebagai bagian dari pembangunan manusia Indonesia yang utuh dan berkarakter.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara, 2003), Pasal 3.

[2]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 5–10.

[3]                Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017), Pasal 1 ayat (2).

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013: Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 12–13.

[5]                Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 46–47.


2.           Landasan Yuridis dan Filosofis Penguatan Pendidikan Karakter

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) tidak hadir secara tiba-tiba, melainkan berakar pada fondasi yuridis dan filosofis yang kuat. Sebagai program nasional, PPK bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, mandiri, demokratis, serta bertanggung jawab.¹ Dalam hal ini, kerangka hukum dan nilai dasar PPK memberikan legitimasi kuat bagi implementasinya di satuan pendidikan.

2.1.       Landasan Yuridis

Secara yuridis, PPK bertumpu pada sejumlah regulasi penting yang telah menjadi acuan kebijakan pendidikan nasional. Pertama, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berkarakter dan berbudaya.²

Selanjutnya, Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter menjadi tonggak utama gerakan PPK. Dalam regulasi ini, pendidikan karakter diartikan sebagai usaha kolektif dan sistematis dari satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik.³ Nilai-nilai utama yang ditekankan adalah:

·                     Religiusitas: penguatan nilai keimanan dan ketakwaan.

·                     Nasionalisme: semangat cinta tanah air dan kebinekaan.

·                     Integritas: kejujuran dan konsistensi moral.

·                     Kemandirian: tanggung jawab dan daya juang.

·                     Gotong royong: semangat kebersamaan dan solidaritas sosial.⁴

Selain itu, Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal menegaskan bahwa PPK harus terintegrasi dalam kurikulum, pembelajaran, dan kultur sekolah.⁵ Regulasi ini menempatkan PPK bukan sebagai tambahan kegiatan, melainkan bagian integral dari proses pendidikan formal.

2.2.       Landasan Filosofis

Dari sisi filosofis, PPK berakar pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Pancasila bukan hanya menjadi landasan konstitusional, tetapi juga menjadi falsafah hidup bangsa yang membentuk orientasi nilai dalam sistem pendidikan. Enam aspek filsafat Pancasila—ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, keadilan, dan gotong royong—menjadi jiwa bagi pengembangan karakter peserta didik.⁶

Selain Pancasila, pandangan filosofis Ki Hajar Dewantara juga menjadi rujukan penting. Dalam falsafah “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, Ki Hajar menggarisbawahi pentingnya keteladanan dan pendidikan berbasis nilai.⁷ Pendidikan tidak cukup hanya mencerdaskan intelek, tetapi harus membentuk manusia berbudi pekerti luhur.

Paradigma pendidikan karakter juga dipengaruhi oleh pandangan konstruktivisme progresif, di mana peserta didik tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi menginternalisasi nilai melalui pengalaman dan interaksi sosial.⁸ Dengan demikian, pendidikan karakter tidak bersifat doktriner, tetapi dialogis, kontekstual, dan reflektif.

Integrasi antara regulasi hukum dan akar filosofis inilah yang menjadikan PPK sebagai landasan strategis dalam pembangunan manusia Indonesia. Dalam kerangka Kurikulum 2013, PPK tidak hanya menjadi program kebijakan, tetapi jiwa dari seluruh proses pembelajaran yang mendidik manusia berpengetahuan, beretika, dan berbudaya.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 3.

[2]                Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara, 2003), Pasal 3.

[3]                Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017), Pasal 1 ayat (1).

[4]                Ibid., Lampiran I: Nilai-Nilai Utama Penguatan Pendidikan Karakter.

[5]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 2.

[6]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 54–56.

[7]                Ki Hajar Dewantara, Pendidikan: Pemikiran, Konsepsi, dan Keteladanan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 11.

[8]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 41–42.


3.           Integrasi PPK dalam Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 dirancang tidak hanya untuk mengembangkan kompetensi akademik peserta didik, tetapi juga membentuk karakter yang kuat sebagai bagian integral dari pendidikan nasional. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menjadi jiwa dari Kurikulum 2013 karena menyatukan unsur pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap (attitude) ke dalam proses pembelajaran yang utuh dan menyeluruh.¹ Oleh karena itu, integrasi PPK dalam Kurikulum 2013 tidak bersifat simbolik atau insidental, melainkan sistematis, terstruktur, dan menyeluruh.

3.1.       Struktur Kurikulum dan Posisi Strategis PPK

Dalam Kurikulum 2013, kompetensi peserta didik digambarkan dalam empat Kompetensi Inti (KI), yaitu:

1)                  KI-1: Kompetensi spiritual,

2)                  KI-2: Kompetensi sosial,

3)                  KI-3: Pengetahuan, dan

4)                  KI-4: Keterampilan.

Dua kompetensi pertama (spiritual dan sosial) merupakan wadah utama internalisasi nilai-nilai karakter dalam pembelajaran.² Dengan demikian, nilai-nilai PPK secara langsung berada dalam poros pengembangan kompetensi dasar di semua jenjang pendidikan, dari PAUD hingga SMA/MA.³

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa nilai-nilai karakter tidak hanya terintegrasi dalam mata pelajaran tertentu seperti Pendidikan Agama, PPKn, dan Bahasa Indonesia, tetapi juga diimplementasikan dalam seluruh proses pembelajaran lintas mata pelajaran.⁴ Artinya, guru Matematika pun dapat mengembangkan karakter melalui pembiasaan integritas, kerja keras, dan ketekunan dalam menyelesaikan soal.

3.2.       Tiga Jalur Integrasi PPK: Intrakurikuler, Kokurikuler, dan Ekstrakurikuler

Integrasi PPK dalam Kurikulum 2013 dijalankan melalui tiga jalur utama:

1)                  Intrakurikuler:

PPK diintegrasikan langsung ke dalam materi dan proses pembelajaran di kelas. Guru dituntut untuk menyisipkan nilai-nilai karakter dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), baik secara eksplisit melalui indikator sikap maupun secara implisit melalui pendekatan, metode, dan aktivitas belajar.⁵

2)                  Kokurikuler:

Kegiatan pendamping kurikulum seperti project-based learning, praktik lapangan, dan tugas kolaboratif menjadi sarana penguatan nilai karakter. Misalnya, melalui proyek lingkungan hidup, peserta didik dapat menumbuhkan kepedulian, tanggung jawab, dan gotong royong.⁶

3)                  Ekstrakurikuler:

Kegiatan seperti pramuka, paskibra, kegiatan keagamaan, dan organisasi siswa (OSIS) menjadi wahana strategis penguatan nilai-nilai kepemimpinan, solidaritas sosial, kemandirian, dan disiplin.⁷ Ekstrakurikuler menjadi ruang konkret bagi penerapan nilai-nilai karakter dalam situasi non-formal namun bermakna.

3.3.       Peran Guru dan Lingkungan Sekolah dalam Implementasi PPK

Guru dalam Kurikulum 2013 tidak hanya bertugas sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai role model nilai karakter. Keteladanan, interaksi sosial, dan pola komunikasi guru menjadi sarana utama penguatan karakter dalam proses belajar.⁸ Lingkungan sekolah juga perlu dirancang sebagai school culture yang menumbuhkan nilai-nilai kebajikan, melalui pembiasaan positif seperti salam, senyum, sikap tanggung jawab, dan toleransi.

Lebih lanjut, pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 tidak berdiri sendiri, tetapi dikembangkan secara kontekstual dengan muatan lokal dan kebutuhan aktual. Misalnya, di daerah rawan bencana, pendidikan karakter dapat diarahkan pada nilai-nilai kesiapsiagaan, empati, dan kepedulian terhadap sesama. Hal ini menunjukkan bahwa PPK dalam Kurikulum 2013 bersifat adaptif dan relevan dengan konteks sosial-budaya peserta didik.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013: Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 6.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Saku Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP, 2017), 12.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud No. 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbud, 2016), Lampiran.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Penilaian Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2018), 4.

[5]                Kemendikbud, Panduan Penyusunan RPP Integratif Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2018), 9–10.

[6]                Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 95–97.

[7]                Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017), Lampiran I.

[8]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–46.


4.           Pendekatan dan Metode Pelaksanaan PPK

Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam Kurikulum 2013 menuntut pendekatan yang tidak bersifat instruktif semata, melainkan transformatif dan partisipatif. Karakter bukan sekadar ditransfer melalui ceramah atau doktrinasi, tetapi harus ditumbuhkan melalui pengalaman nyata, pembiasaan, dan lingkungan yang mendukung. Oleh karena itu, pendekatan dan metode pelaksanaan PPK menekankan pada pembelajaran yang aktif, reflektif, kontekstual, dan kolaboratif.

4.1.       Pendekatan Kontekstual dan Berbasis Nilai

Pendekatan yang dianjurkan dalam pelaksanaan PPK adalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning), yaitu pembelajaran yang mengaitkan materi akademik dengan kehidupan nyata peserta didik, sehingga nilai-nilai karakter dapat diinternalisasi melalui pengalaman.¹ Dalam pendekatan ini, peserta didik diajak untuk memahami nilai dalam konteks kehidupan sosial mereka, seperti melalui studi kasus, refleksi sosial, atau kegiatan berbasis proyek komunitas.

Selain itu, pendekatan berbasis nilai juga menjadi prinsip utama. Proses pembelajaran didesain agar peserta didik tidak hanya memahami makna suatu nilai, tetapi juga menyadari pentingnya nilai tersebut, memiliki komitmen untuk menjunjungnya, serta terbiasa menerapkannya dalam tindakan.² Hal ini sesuai dengan model pembelajaran karakter yang dikembangkan Thomas Lickona, yaitu melalui tiga dimensi: moral knowing, moral feeling, dan moral action

4.2.       Metode Pembelajaran yang Mendorong Penguatan Karakter

Implementasi pendekatan tersebut dapat dilakukan melalui berbagai metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik Kurikulum 2013:

·                     Inquiry Learning

Metode ini mendorong peserta didik aktif bertanya, mengeksplorasi, dan menemukan nilai-nilai melalui proses berpikir kritis. Contohnya, peserta didik menelaah isu sosial dan merumuskan solusi berdasarkan nilai integritas dan tanggung jawab.⁴

·                     Project-Based Learning (PjBL)

Melalui proyek yang melibatkan kerja sama, tanggung jawab individu dan kelompok, serta pemecahan masalah, peserta didik belajar nilai kolaborasi, kreativitas, dan kemandirian.⁵

·                     Problem-Based Learning (PBL)

Mendorong peserta didik untuk menyelesaikan masalah riil dengan pendekatan nilai. Misalnya, menyusun kampanye anti-bullying yang menumbuhkan nilai empati, keberanian moral, dan solidaritas.⁶

·                     Service Learning

Kegiatan pengabdian masyarakat seperti kegiatan bakti sosial atau lingkungan hidup berfungsi sebagai wahana nyata internalisasi nilai-nilai kemanusiaan, kepedulian, dan gotong royong.⁷

4.3.       Pembiasaan, Keteladanan, dan Budaya Sekolah

Di luar metode pembelajaran formal, PPK juga diimplementasikan melalui pembiasaan dan keteladanan. Keteladanan guru dan tenaga kependidikan dalam perilaku sehari-hari di lingkungan sekolah berkontribusi besar dalam proses pembentukan karakter peserta didik.⁸ Budaya sekolah (school culture) yang menjunjung tinggi nilai-nilai positif seperti disiplin, toleransi, dan tanggung jawab akan menciptakan ekosistem pendidikan yang mendukung PPK secara berkelanjutan.

Kegiatan rutin seperti upacara bendera, pembacaan doa bersama, dan gerakan literasi sekolah menjadi sarana non-instruksional dalam menanamkan nilai-nilai karakter.⁹ Budaya ini diperkuat dengan sistem penghargaan dan konsekuensi yang adil untuk membangun karakter melalui penguatan kebiasaan positif.

4.4.       Kolaborasi Tri Pusat Pendidikan: Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat

Pelaksanaan PPK tidak dapat berjalan optimal tanpa melibatkan tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.⁽¹⁰⁾ Kolaborasi ini menegaskan bahwa pendidikan karakter adalah tanggung jawab kolektif. Orang tua perlu mendukung nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah melalui konsistensi sikap dan keteladanan di rumah. Masyarakat, termasuk tokoh agama dan institusi lokal, juga berperan dalam menyediakan ruang-ruang sosial yang membentuk karakter anak bangsa.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 18.

[2]                Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 32.

[3]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 51–54.

[4]                Nana Sujana, Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005), 75.

[5]                Kemendikbud, Panduan Project-Based Learning dalam Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2018), 5–6.

[6]                Daryanto dan Mulyo Wibowo, Model Pembelajaran Inovatif (Yogyakarta: Gava Media, 2014), 41.

[7]                Suyanto, Revolusi Pendidikan Karakter (Jakarta: Esensi Erlangga, 2013), 112.

[8]                Ki Hajar Dewantara, Pendidikan: Pemikiran, Konsepsi, dan Keteladanan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 22.

[9]                Kemendikbud, Buku Saku Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP, 2017), 19.

[10]             Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017), Pasal 4.


5.           Implementasi PPK di Satuan Pendidikan

Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di satuan pendidikan merupakan bentuk konkret pelaksanaan nilai-nilai dasar kebangsaan dan kemanusiaan dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Implementasi ini tidak hanya berorientasi pada dokumen kurikulum dan perencanaan administratif, tetapi juga menyentuh aspek praksis, seperti kepemimpinan sekolah, peran guru, partisipasi peserta didik, dan keterlibatan masyarakat. Hal ini menuntut kolaborasi semua elemen sekolah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pembentukan karakter.

5.1.       Peran Kepemimpinan Sekolah

Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam menyukseskan implementasi PPK. Sebagai manajer dan pemimpin pembelajaran, kepala sekolah bertanggung jawab mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam visi dan budaya sekolah, serta membangun komitmen kolektif di antara guru dan tenaga kependidikan.¹ Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah menegaskan pentingnya kompetensi kepemimpinan dalam mengembangkan iklim belajar yang mendukung penguatan karakter.²

Di beberapa sekolah, kepala sekolah yang transformatif telah berhasil membentuk budaya karakter yang kuat dengan memfasilitasi program-program seperti pembiasaan pagi, mentoring siswa, komunitas belajar guru, serta penguatan peran wali kelas dalam pembinaan sikap peserta didik.³

5.2.       Praktik Baik Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Kegiatan Sekolah

PPK dapat diimplementasikan secara efektif melalui tiga bentuk kegiatan utama: intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pada kegiatan intrakurikuler, guru menyisipkan nilai-nilai karakter ke dalam pembelajaran melalui metode yang partisipatif dan kontekstual. Misalnya, guru IPS membahas pentingnya nilai gotong royong dalam konteks sejarah perjuangan bangsa.⁴

Pada kegiatan kokurikuler, sekolah dapat menyelenggarakan proyek-proyek tematik seperti Green School Movement, gerakan literasi sekolah, atau aksi sosial yang menekankan pembentukan karakter kolaborasi, empati, dan kepedulian.⁵

Sementara itu, kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, rohis, paskibra, dan klub seni menjadi media ekspresi nilai-nilai seperti kedisiplinan, tanggung jawab, kreativitas, dan nasionalisme.⁶ Satuan pendidikan yang berhasil mengintegrasikan kegiatan ini dengan pendekatan reflektif dan evaluatif umumnya menunjukkan hasil yang positif dalam perilaku siswa sehari-hari.

5.3.       Peran Guru sebagai Agen Pembentukan Karakter

Guru merupakan aktor utama dalam pembentukan karakter siswa. Lebih dari sekadar pengajar, guru berperan sebagai pendidik yang memberi keteladanan, membimbing, serta memfasilitasi pengalaman belajar bermakna.⁷ Dalam Kurikulum 2013, guru didorong untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengintegrasikan indikator sikap, serta menggunakan pendekatan saintifik dan pembelajaran aktif yang mendukung internalisasi nilai.⁸

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyediakan Panduan Penguatan Pendidikan Karakter yang memberi contoh konkrit integrasi karakter ke dalam setiap mata pelajaran, termasuk langkah-langkah reflektif dan asesmen sikap.⁹ Penerapan asesmen sikap berbasis observasi, jurnal guru, dan penilaian diri juga membantu guru dalam memonitor perkembangan karakter peserta didik secara holistik.

5.4.       Peran Komite Sekolah dan Keterlibatan Masyarakat

Implementasi PPK membutuhkan dukungan dari luar kelas. Komite sekolah, tokoh masyarakat, dan lembaga keagamaan lokal dapat berperan dalam menyokong program PPK melalui pendampingan, pemberian keteladanan, dan pembentukan jejaring kemitraan.¹⁰ Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 menegaskan pentingnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam membangun sinergi pembentukan karakter melalui Tri Pusat Pendidikan: sekolah, keluarga, dan masyarakat.¹¹

Program-program berbasis komunitas seperti gerakan anti-bullying, festival budaya lokal, dan pendidikan berbasis kearifan lokal terbukti dapat memperkuat akar karakter peserta didik sesuai konteks sosial dan budaya tempat mereka berada.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 24.

[2]                Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah (Jakarta: Kemendikbud, 2018), Pasal 3.

[3]                Suyanto, Revolusi Pendidikan Karakter (Jakarta: Esensi Erlangga, 2013), 87–88.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Saku Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP, 2017), 14.

[5]                Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 119.

[6]                Kemendikbud, Panduan Kegiatan Ekstrakurikuler dalam Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2018), 6–7.

[7]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 85.

[8]                Kemendikbud, Panduan Penyusunan RPP Integratif PPK (Jakarta: Kemendikbud, 2018), 10.

[9]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Model Pengintegrasian PPK dalam Pembelajaran (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2019), 12–15.

[10]             Daryanto dan Mulyo Wibowo, Model Pembelajaran Inovatif (Yogyakarta: Gava Media, 2014), 132.

[11]             Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017), Pasal 4.


6.           Tantangan dan Kendala dalam Penguatan Pendidikan Karakter

Meskipun Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) telah menjadi bagian integral dari Kurikulum 2013 dan didukung secara yuridis serta filosofis, implementasinya di satuan pendidikan masih menghadapi berbagai tantangan. Kendala ini bersifat multidimensional, mulai dari aspek sumber daya manusia, budaya sekolah, hingga pengaruh sosial dan teknologi yang mendistorsi nilai-nilai karakter yang hendak ditanamkan.

6.1.       Keterbatasan Kompetensi dan Kesadaran Guru

Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan PPK adalah keterbatasan kompetensi guru dalam merancang, mengintegrasikan, dan mengevaluasi nilai-nilai karakter dalam proses pembelajaran. Banyak guru belum sepenuhnya memahami prinsip-prinsip pedagogi karakter, sehingga pendekatan yang dilakukan cenderung bersifat verbalistik dan belum kontekstual.¹

Selain itu, masih terdapat kesenjangan antara kesadaran normatif dan praksis. Beberapa guru menganggap PPK sebagai tanggung jawab mata pelajaran tertentu seperti PPKn atau Pendidikan Agama, sehingga nilai karakter kurang muncul dalam mata pelajaran lain.² Padahal, Kurikulum 2013 menuntut semua guru dari berbagai mata pelajaran untuk berperan aktif dalam pembentukan karakter peserta didik.³

6.2.       Budaya Sekolah yang Belum Mendukung Penuh

PPK sangat bergantung pada budaya sekolah (school culture) yang sehat dan konsisten. Namun kenyataannya, masih banyak satuan pendidikan yang belum memiliki sistem nilai, kebiasaan, dan simbol-simbol yang mendukung internalisasi karakter. Lingkungan belajar yang permisif terhadap perilaku negatif seperti bullying, diskriminasi, atau ketidakdisiplinan akan melemahkan efektivitas PPK.⁴

Hal ini juga diperparah dengan minimnya keteladanan dari tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Ketika nilai yang diajarkan tidak selaras dengan perilaku guru atau staf, peserta didik akan mengalami kebingungan moral (moral dissonance), yang dalam jangka panjang dapat menurunkan efektivitas pendidikan karakter.⁵

6.3.       Ketergantungan pada Pendekatan Instruksional

Dalam beberapa praktik, implementasi PPK masih didominasi oleh pendekatan ceramah atau indoktrinatif yang berfokus pada pemahaman kognitif semata. Pendekatan ini belum menyentuh ranah afektif dan psikomotorik yang seharusnya menjadi prioritas dalam pembentukan karakter.⁶ Padahal, seperti dikemukakan Lickona, pendidikan karakter harus melibatkan aspek knowing the good, feeling the good, and doing the good.⁷

Ketergantungan pada model pengajaran konvensional juga menyebabkan minimnya partisipasi aktif peserta didik dalam pengalaman pembelajaran yang bermakna. Nilai karakter lebih efektif ditanamkan melalui kegiatan nyata yang melibatkan refleksi, tindakan sosial, dan keteladanan.

6.4.       Pengaruh Media Sosial dan Budaya Populer

Di era digital, peserta didik sangat terpapar oleh media sosial dan budaya populer yang sering kali membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan karakter luhur bangsa. Fenomena hoaks, ujaran kebencian, budaya instan, konsumerisme, dan hedonisme telah memengaruhi pola pikir dan perilaku generasi muda.⁸

Pengaruh ini tidak hanya mengaburkan nilai moral yang diajarkan di sekolah, tetapi juga melemahkan peran sekolah sebagai agen utama pembentukan karakter. Peserta didik lebih mudah dipengaruhi oleh figur publik di media sosial daripada oleh guru di ruang kelas.⁹ Oleh karena itu, sekolah harus membekali peserta didik dengan literasi digital yang kritis dan etis sebagai bagian dari pendidikan karakter yang adaptif terhadap perkembangan zaman.

6.5.       Kurangnya Sinergi antara Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat

Sesuai konsep Tri Pusat Pendidikan, pembentukan karakter membutuhkan sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Namun, dalam praktiknya masih banyak kasus di mana orang tua kurang dilibatkan atau tidak memahami peran mereka dalam mendukung program karakter sekolah.¹⁰ Kurangnya koordinasi ini menyebabkan nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah tidak berkelanjutan di lingkungan rumah atau masyarakat.

Keluarga yang tidak memberikan keteladanan, masyarakat yang permisif terhadap kekerasan atau korupsi, serta lingkungan sosial yang kurang mendukung akan menjadi hambatan besar bagi pendidikan karakter yang konsisten dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 23.

[2]                Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), 74.

[3]                Kemendikbud, Model Pengintegrasian PPK dalam Pembelajaran (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2019), 7.

[4]                Suyanto, Revolusi Pendidikan Karakter (Jakarta: Esensi Erlangga, 2013), 102.

[5]                Ki Hajar Dewantara, Pendidikan: Pemikiran, Konsepsi, dan Keteladanan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2004), 27.

[6]                Daryanto dan Mulyo Wibowo, Model Pembelajaran Inovatif (Yogyakarta: Gava Media, 2014), 143.

[7]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 51–52.

[8]                Kominfo RI, Literasi Digital: Modul Pelatihan untuk Guru (Jakarta: Kemenkominfo dan Siberkreasi, 2020), 15.

[9]                Henry Jenkins, Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century (Cambridge: MIT Press, 2009), 12.

[10]             Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017), Pasal 4.


7.           Rekomendasi Strategis untuk Optimalisasi PPK

Untuk menjawab berbagai tantangan dalam implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), diperlukan langkah-langkah strategis yang bersifat sistemik, kolaboratif, dan kontekstual. Optimalisasi PPK tidak cukup hanya dengan regulasi dan perencanaan administratif, tetapi juga harus menyentuh transformasi budaya sekolah, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan penguatan sinergi lintas sektor. Rekomendasi berikut disusun berdasarkan hasil telaah praktik lapangan, regulasi nasional, dan kajian akademik.

7.1.       Peningkatan Kompetensi Guru dalam Pendidikan Karakter

Guru adalah aktor utama dalam keberhasilan PPK. Oleh karena itu, program pelatihan guru harus menekankan penguatan kompetensi pedagogi karakter, termasuk kemampuan untuk mengintegrasikan nilai dalam pembelajaran dan mengevaluasi perkembangan sikap peserta didik secara autentik.¹ Pelatihan tidak cukup bersifat teoritis, tetapi harus melibatkan praktik langsung seperti simulasi RPP karakter, refleksi nilai, dan pembelajaran berbasis proyek.

Pemerintah melalui Kemendikbudristek dapat memperluas program Continuous Professional Development (CPD) yang secara khusus berfokus pada pendidikan karakter, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).²

7.2.       Revitalisasi Budaya Sekolah Berbasis Nilai

Sekolah harus menjadi lingkungan yang merefleksikan nilai-nilai karakter secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Revitalisasi ini mencakup pembiasaan positif, keteladanan guru, penyusunan tata tertib berbasis nilai, serta penciptaan simbol-simbol budaya sekolah yang konsisten.³

Kepala sekolah perlu menginisiasi pembentukan komunitas belajar karakter di sekolah, di mana guru dapat berbagi praktik baik dan refleksi nilai yang diterapkan dalam kelas. Hal ini juga menciptakan suasana kolektif yang memperkuat kultur karakter sekolah.⁴

7.3.       Penguatan Peran Orang Tua dan Masyarakat

Optimalisasi PPK membutuhkan kemitraan yang erat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sekolah perlu secara aktif melibatkan orang tua dalam perencanaan dan pelaksanaan program karakter, misalnya melalui forum orang tua, pelatihan parenting berbasis nilai, dan pelibatan dalam proyek layanan masyarakat.⁵

Masyarakat lokal, termasuk tokoh agama dan lembaga sosial, juga perlu dijadikan mitra dalam mendukung kegiatan yang memperkuat nilai-nilai religiusitas, gotong royong, dan integritas. Hal ini sesuai dengan konsep Tri Pusat Pendidikan yang menjadi dasar pendekatan karakter dalam Perpres No. 87 Tahun 2017.⁶

7.4.       Digitalisasi Berbasis Etika dan Karakter

Transformasi digital yang masif di dunia pendidikan perlu diimbangi dengan literasi digital yang etis dan bernilai. Sekolah harus mengintegrasikan literasi digital dalam kurikulum yang tidak hanya membekali kemampuan teknologi, tetapi juga membentuk sikap kritis, bertanggung jawab, dan anti-hoaks di ruang digital.⁷

Program seperti sekolah ramah digital dan ekosistem pembelajaran daring berbasis karakter dapat dikembangkan melalui modul-modul edukatif yang interaktif dan berbasis nilai.⁸ Dalam hal ini, pendampingan guru dan orang tua menjadi sangat penting untuk memastikan ruang digital menjadi perpanjangan ruang pembelajaran karakter.

7.5.       Monitoring dan Evaluasi Berbasis Indikator Karakter

Penting untuk mengembangkan instrumen penilaian karakter yang objektif dan kontekstual, sehingga kemajuan peserta didik dalam aspek sikap dapat dipantau dan diperbaiki secara sistematis.⁹ Penilaian tidak hanya berdasarkan observasi, tetapi juga dilengkapi dengan penilaian diri (self-assessment), penilaian antar teman (peer assessment), dan portofolio tindakan nyata.

Pemerintah pusat dan daerah perlu menyediakan sistem evaluasi PPK yang terintegrasi dengan supervisi sekolah dan pelaporan berbasis karakter, agar kebijakan tidak hanya berhenti pada tataran administratif, tetapi berdampak pada perubahan perilaku peserta didik secara nyata.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 28.

[2]                Direktorat Jenderal GTK Kemendikbud, Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan untuk Guru (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 9–10.

[3]                Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), 123.

[4]                Suyanto, Revolusi Pendidikan Karakter (Jakarta: Esensi Erlangga, 2013), 115–117.

[5]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Saku Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP, 2017), 18.

[6]                Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017), Pasal 4.

[7]                Kominfo RI, Literasi Digital untuk Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemenkominfo dan Siberkreasi, 2021), 12.

[8]                Henry Jenkins, Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century (Cambridge: MIT Press, 2009), 22.

[9]                Kemendikbudristek, Panduan Penilaian Karakter pada Kurikulum 2013 (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2020), 11–14.


8.           Penutup

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan pendidikan nasional abad ke-21 yang bertujuan mencetak generasi Indonesia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga unggul secara moral dan sosial. Kurikulum 2013 telah menyediakan kerangka sistemik bagi integrasi nilai-nilai karakter dalam seluruh proses pendidikan, baik melalui pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler.¹ Implementasi ini diperkuat oleh regulasi formal, seperti Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 dan berbagai pedoman teknis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang menekankan pentingnya sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.²

Namun demikian, pelaksanaan PPK di satuan pendidikan masih menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks. Permasalahan seperti keterbatasan kompetensi guru, lemahnya budaya sekolah, rendahnya keterlibatan orang tua, serta dominasi pengaruh negatif media sosial telah menjadi hambatan dalam proses internalisasi nilai.³ Oleh sebab itu, PPK memerlukan pendekatan yang holistik dan adaptif, yang mampu menjawab dinamika sosial dan perkembangan zaman.

Langkah strategis yang direkomendasikan mencakup peningkatan kompetensi pendidik dalam pedagogi karakter, revitalisasi kultur sekolah, penguatan literasi digital berbasis etika, serta penyusunan sistem evaluasi karakter yang otentik dan kontekstual.⁴ Dalam hal ini, kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dan kolaboratif menjadi faktor kunci dalam mendorong terwujudnya ekosistem pendidikan karakter yang kuat.

Lebih jauh, pendidikan karakter tidak boleh dipahami sebagai program sesaat, melainkan sebagai jiwa dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan tanpa karakter hanya akan menghasilkan manusia terampil namun kehilangan arah moral dan sosial.⁵ Oleh karena itu, PPK harus terus diperkuat sebagai investasi jangka panjang dalam membentuk warga negara yang berintegritas, bertanggung jawab, dan berkontribusi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan penguatan pada level kebijakan, implementasi lapangan, dan kolaborasi lintas sektor, PPK dapat menjadi fondasi yang kokoh bagi pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang unggul secara komprehensif: intelektual, spiritual, emosional, dan sosial.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Pelaksanaan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 7.

[2]                Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Sekretariat Negara, 2017), Pasal 1.

[3]                Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), 115–117.

[4]                Kemendikbudristek, Panduan Penilaian Karakter pada Kurikulum 2013 (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2020), 9–10.

[5]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 6.


Daftar Pustaka

Daryanto, & Wibowo, M. (2014). Model pembelajaran inovatif. Gava Media.

Jenkins, H. (2009). Confronting the challenges of participatory culture: Media education for the 21st century. MIT Press.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Paradigma.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2020). Literasi digital: Modul pelatihan untuk guru. Kominfo dan Siberkreasi.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2021). Literasi digital untuk pendidikan karakter. Kominfo dan Siberkreasi.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Permendikbud No. 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. https://jdih.kemdikbud.go.id

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017a). Buku saku penguatan pendidikan karakter. Direktorat Pembinaan SMP.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017b). Pedoman pelaksanaan penguatan pendidikan karakter. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018a). Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal. https://jdih.kemdikbud.go.id

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018b). Panduan penyusunan RPP integratif penguatan pendidikan karakter. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018c). Panduan kegiatan ekstrakurikuler dalam penguatan pendidikan karakter. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2019). Model pengintegrasian PPK dalam pembelajaran. Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Panduan penilaian karakter pada Kurikulum 2013. Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (n.d.). Kurikulum 2013: Pedoman pelaksanaan pendidikan karakter. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2018). Permendikbud No. 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. https://jdih.kemdikbud.go.id

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. Bantam Books.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kementerian Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2017). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Sekretariat Negara.

Suyanto. (2013). Revolusi pendidikan karakter. Esensi Erlangga.

Zubaedi. (2011). Desain pendidikan karakter: Konsepsi dan aplikasinya dalam lembaga pendidikan. Kencana Prenada Media Group.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar