Jumat, 20 Desember 2024

Filsafat Skeptisisme

Skeptisisme

Keraguan terhadap Klaim-Klaim Pengetahuan atau Kebenaran Absolut


Alihkan ke: Empat Aliran Filsafat Utama.


Abstrak

Skeptisisme merupakan salah satu aliran filsafat yang mempertanyakan kemungkinan memperoleh pengetahuan yang benar dan mutlak. Aliran ini muncul dalam tradisi filsafat Yunani kuno dan berkembang melalui pemikiran para tokohnya, seperti Pyrrho, Sextus Empiricus, dan David Hume. Skeptisisme terbagi menjadi dua bentuk utama, yaitu skeptisisme akademik yang meragukan kebenaran absolut serta skeptisisme Pyrrhonian yang menangguhkan penilaian terhadap segala sesuatu. Artikel ini membahas prinsip-prinsip dasar skeptisisme, metode yang digunakan dalam meragukan klaim kebenaran, serta pengaruhnya terhadap perkembangan epistemologi dan pemikiran modern. Selain itu, kajian ini juga mengulas relevansi skeptisisme dalam kehidupan kontemporer, terutama dalam membangun sikap kritis terhadap informasi dan dogma yang berkembang di masyarakat. Dengan memahami filsafat skeptisisme, diharapkan pembaca dapat mengembangkan cara berpikir yang lebih reflektif, analitis, dan objektif dalam menghadapi berbagai klaim kebenaran.

Kata Kunci: Skeptisisme, Pyrrho, Sextus Empiricus, Epistemologi, Kebenaran, Keraguan, Pemikiran Kritis, Filsafat Yunani.


PEMBAHASAN

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

1.1.       Definisi Singkat tentang Skeptisisme

Filsafat skeptisisme adalah aliran pemikiran yang menekankan pada keraguan terhadap klaim-klaim pengetahuan atau kebenaran absolut. Kata “skeptisisme” berasal dari bahasa Yunani skeptesthai, yang berarti “melihat” atau “mencari dengan hati-hati(Russell, 2007). Dalam konteks filsafat, skeptisisme bukan hanya sekadar keraguan, tetapi juga sikap kritis untuk menangguhkan penilaian terhadap sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara pasti. Dengan demikian, skeptisisme sering dipandang sebagai kritik terhadap dogmatisme, yakni kepercayaan tanpa pertimbangan kritis terhadap suatu prinsip atau klaim.

1.2.       Latar Belakang Historis Munculnya Skeptisisme

Skeptisisme muncul sebagai salah satu aliran pemikiran signifikan dalam tradisi filsafat Yunani Kuno pada abad ke-4 SM. Pelopornya adalah Pyrrho dari Elis (c. 360–270 SM), yang menekankan pentingnya “epoché” atau suspensi penilaian sebagai cara mencapai ataraxia (ketenangan batin) (Sextus Empiricus, 2000). Pada masa ini, skeptisisme hadir sebagai respons terhadap perkembangan pemikiran dogmatis dari kaum Stoik dan Epikuros, yang menawarkan penjelasan metafisik dan etis yang dianggap mapan.

Perkembangan skeptisisme semakin kompleks dengan kontribusi dari Sextus Empiricus pada abad ke-2 M melalui karya Outlines of Pyrrhonism. Sextus mengkodifikasi prinsip-prinsip skeptisisme Pyrrhonian, menjadikannya suatu kerangka berpikir yang lebih sistematis. Skeptisisme kemudian menemukan tempatnya dalam pemikiran Abad Modern ketika René Descartes (1596–1650) menggunakan metode keraguan sistematis sebagai langkah awal dalam membangun fondasi pengetahuan yang lebih kokoh (Descartes, 1996).

1.3.       Relevansi Skeptisisme dalam Pemikiran Kontemporer

Dalam era kontemporer, skeptisisme memiliki relevansi yang luas, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, politik, maupun kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam sains, skeptisisme berfungsi sebagai metode untuk terus menguji hipotesis melalui pendekatan empiris yang kritis. Sementara itu, dalam ranah pemikiran kritis modern, skeptisisme sering dikaitkan dengan relativisme kebenaran dan postmodernisme (Lyotard, 1984).

Di sisi lain, skeptisisme memberikan pengingat penting bahwa kebenaran absolut sering kali sulit dicapai karena keterbatasan indera, nalar, dan bahasa manusia. Dengan kata lain, skeptisisme mendorong manusia untuk bersikap rendah hati dalam menghadapi klaim-klaim pengetahuan. Hal ini membuat skeptisisme tetap relevan sebagai alat kritis dalam menghadapi informasi yang semakin deras di era digital (Popper, 2002).


Catatan Kaki

[1]                Russell, Bertrand. A History of Western Philosophy. New York: Simon & Schuster, 2007.

[2]                Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism. Cambridge: Harvard University Press, 2000.

[3]                Descartes, René. Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

[4]                Lyotard, Jean-François. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984.

[5]                Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.


2.           Pengertian Filsafat Skeptisisme

2.1.       Definisi Skeptisisme dalam Konteks Filsafat

Skeptisisme dalam filsafat adalah aliran pemikiran yang mempertanyakan kemungkinan memperoleh pengetahuan yang pasti dan objektif. Skeptisisme berasal dari kata Yunani skeptesthai, yang berarti “memeriksa” atau “menyelidiki”. Dalam terminologi filosofis, skeptisisme mengacu pada sikap yang meragukan klaim kebenaran, baik yang bersifat inderawi maupun rasional (Sextus Empiricus, 2000). Secara sederhana, skeptisisme adalah pendekatan kritis yang mempertanyakan dasar dari segala pengetahuan dan mendorong manusia untuk menangguhkan penilaian hingga ada bukti yang benar-benar kuat.

2.2.       Perbedaan antara Skeptisisme Radikal dan Skeptisisme Moderat

Skeptisisme dapat dikategorikan ke dalam dua jenis utama:

1)                  Skeptisisme Radikal

Skeptisisme radikal adalah pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati tidak mungkin diperoleh. Para skeptis radikal percaya bahwa tidak ada klaim yang dapat dikukuhkan dengan kepastian absolut, karena semua bukti bisa diperdebatkan atau dipertanyakan. Contoh skeptisisme ini ditemukan dalam argumen Pyrrho dari Elis dan para pengikut Pyrrhonisme, yang mengadvokasi epoché atau “suspensi penilaian” sebagai respons terhadap keraguan (Sextus Empiricus, 2000).

2)                  Skeptisisme Moderat

Skeptisisme moderat, di sisi lain, tidak menolak kemungkinan adanya pengetahuan sama sekali, tetapi menekankan perlunya keraguan kritis dalam menguji klaim kebenaran. Tokoh seperti René Descartes menggunakan skeptisisme sebagai metode untuk menyaring klaim-klaim yang lemah dan menemukan fondasi pengetahuan yang kokoh (Descartes, 1996). Descartes memulai dengan keraguan metodis, namun akhirnya mencapai kebenaran fundamental dalam pernyataannya yang terkenal: Cogito, ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”).

2.3.       Skeptisisme dan Hubungannya dengan Epistemologi

Dalam epistemologi (teori pengetahuan), skeptisisme memiliki posisi yang sangat penting karena mempertanyakan:

1)                  Apakah pengetahuan itu mungkin?

2)                  Bagaimana kita bisa yakin bahwa suatu klaim pengetahuan itu benar?

3)                  Apa batasan dari kemampuan manusia untuk mengetahui realitas?

Skeptisisme menantang klaim dari berbagai aliran pemikiran lain seperti dogmatisme (keyakinan pada pengetahuan absolut) dan rasionalisme (keyakinan pada akal sebagai sumber pengetahuan) (Popkin, 1979). Dengan demikian, skeptisisme mendorong lahirnya metode ilmiah modern, yang didasarkan pada pengujian empiris dan falsifikasi klaim-klaim pengetahuan (Popper, 2002).

Skeptisisme juga berhubungan erat dengan argumentasi regresi tak terbatas, yaitu ide bahwa setiap pembuktian memerlukan pembuktian lain, sehingga tidak ada kebenaran yang dapat dikukuhkan secara final (Stroud, 1984). Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keabsahan semua pengetahuan.


Catatan Kaki

[1]                Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism. Cambridge: Harvard University Press, 2000.

[2]                Descartes, René. Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

[3]                Popkin, Richard H. The History of Scepticism: From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press, 1979.

[4]                Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.

[5]                Stroud, Barry. The Significance of Philosophical Scepticism. Oxford: Clarendon Press, 1984.


3.           Sejarah Perkembangan Skeptisisme

3.1.       Skeptisisme Kuno

Skeptisisme pertama kali muncul dalam tradisi filsafat Yunani Kuno sebagai respons terhadap klaim-klaim kepastian kebenaran yang diajukan oleh aliran filsafat seperti Stoisisme dan Epikureanisme. Tokoh penting dalam fase ini adalah Pyrrho dari Elis (360–270 SM), yang dianggap sebagai bapak skeptisisme. Pyrrho mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mencapai pengetahuan yang pasti tentang realitas karena segala hal hanya dapat dipersepsi melalui indera yang terbatas dan subjektif. Oleh karena itu, ia menyarankan untuk menangguhkan penilaian (epoché) demi mencapai ketenangan batin (ataraxia) (Sextus Empiricus, 2000).

Sekitar abad ke-2 SM, aliran Skeptisisme Akademik berkembang di Akademi Plato melalui tokoh seperti Arkesilaos dan Karnades. Mereka berargumen bahwa semua persepsi inderawi dan pemikiran rasional memiliki potensi untuk salah, sehingga tidak ada kebenaran yang dapat dipastikan (Long & Sedley, 1987).

Puncak dari skeptisisme kuno adalah karya Sextus Empiricus (abad ke-2 M), seorang dokter dan filsuf yang menulis Outlines of Pyrrhonism. Sextus mengkodifikasi prinsip-prinsip skeptisisme Pyrrhonian, yang menolak dogmatisme dan mengajarkan bahwa kebijaksanaan tertinggi adalah menahan diri dari membuat klaim tentang kebenaran absolut (Sextus Empiricus, 2000).

3.2.       Skeptisisme Abad Pertengahan

Pada Abad Pertengahan, skeptisisme mengalami stagnasi karena dominasi pemikiran teologis yang menempatkan wahyu sebagai sumber utama pengetahuan. Namun, beberapa tokoh masih mempertahankan elemen skeptisisme dalam wacana filsafat.

·                     Dalam tradisi Islam,

Al-Ghazali (1058–1111) mengkritik para filsuf rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, dengan menyatakan bahwa akal manusia terbatas dalam memahami realitas metafisik. Karyanya, Tahafut al-Falasifah (Incoherence of the Philosophers), menunjukkan pendekatan skeptis terhadap klaim rasionalisme yang berlebihan (Al-Ghazali, 2000).

·                     Dalam tradisi Kristen,

Thomas Aquinas merespon skeptisisme dengan menekankan kombinasi antara iman dan akal untuk memahami kebenaran (Aquinas, 2002).

Pada masa ini, skeptisisme berfungsi sebagai pengingat akan keterbatasan akal manusia, tetapi belum berkembang menjadi aliran pemikiran independen seperti di era kuno.

3.3.       Skeptisisme Modern

Pada abad ke-17, skeptisisme mengalami kebangkitan dalam pemikiran modern, dimulai dengan René Descartes (1596–1650). Descartes memperkenalkan metode keraguan sistematis (methodic doubt) sebagai alat untuk menguji klaim pengetahuan. Dalam karyanya, Meditations on First Philosophy, Descartes meragukan semua pengetahuan inderawi hingga ia menemukan fondasi kebenaran yang tak terbantahkan: Cogito, ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”) (Descartes, 1996).

Tokoh lain yang penting dalam skeptisisme modern adalah David Hume (1711–1776). Hume mengkritik induksi sebagai dasar pengetahuan empiris, menyatakan bahwa generalisasi dari pengalaman masa lalu tidak dapat memastikan kebenaran di masa depan. Argumennya tentang “kepercayaan tanpa dasar kepastian” mengguncang fondasi empirisme (Hume, 2000).

Pada masa ini, skeptisisme mendorong perkembangan ilmu pengetahuan modern dengan memperkenalkan prinsip keraguan kritis dan perlunya verifikasi empiris.

3.4.       Skeptisisme Kontemporer

Dalam filsafat abad ke-20 dan 21, skeptisisme menjadi landasan bagi kritik terhadap klaim kebenaran universal dalam berbagai bidang:

1)                  Postmodernisme:

Pemikir seperti Jean-François Lyotard menolak narasi besar (grand narratives) dan menyatakan bahwa kebenaran selalu bersifat kontekstual dan relatif (Lyotard, 1984).

2)                  Filsafat Sains:

Karl Popper memperkenalkan prinsip falsifikasi, menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah selalu bersifat sementara dan terbuka terhadap revisi (Popper, 2002).

3)                  Analisis Bahasa:

 Ludwig Wittgenstein mengkritik bahasa sebagai sarana untuk memahami kebenaran, menekankan bahwa makna bergantung pada penggunaan dalam praktik (Wittgenstein, 1953).

Skeptisisme kontemporer, meskipun tidak sekeras Pyrrhonisme klasik, tetap memainkan peran sentral dalam mempromosikan pemikiran kritis dan metodologi ilmiah.


Catatan Kaki

[1]                Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism. Cambridge: Harvard University Press, 2000.

[2]                Long, A. A., & Sedley, D. N. The Hellenistic Philosophers. Cambridge: Cambridge University Press, 1987.

[3]                Al-Ghazali. The Incoherence of the Philosophers. Trans. Michael Marmura. Brigham: Brigham Young University Press, 2000.

[4]                Aquinas, Thomas. Summa Theologica. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.

[5]                Descartes, René. Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

[6]                Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.

[7]                Lyotard, Jean-François. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984.

[8]                Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.

[9]                Wittgenstein, Ludwig. Philosophical Investigations. Oxford: Blackwell, 1953.


4.           Konsep-Konsep Kunci dalam Filsafat Skeptisisme

4.1.       Suspensi Penilaian (Epoché)

Salah satu konsep mendasar dalam skeptisisme adalah epoché, yang berarti "penangguhan penilaian". Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Pyrrho dari Elis dan diperkaya oleh Sextus Empiricus dalam tradisi skeptisisme Pyrrhonian. Menurut Sextus, epoché adalah sikap menahan diri dari menerima atau menolak klaim kebenaran karena tidak ada bukti yang memadai untuk menyatakan sesuatu secara pasti. Sikap ini memungkinkan seseorang mencapai ataraxia atau ketenangan batin (Sextus Empiricus, 2000).

Epoché bukan berarti menolak kebenaran, melainkan mengakui keterbatasan manusia dalam mencapai kepastian. Konsep ini kemudian mempengaruhi metode keraguan sistematis Descartes yang dikenal sebagai "keraguan metodis" dalam Meditations on First Philosophy (Descartes, 1996).

4.2.       Argumen Regresi Tak Terbatas

Argumen regresi tak terbatas adalah kritik skeptisisme terhadap klaim kebenaran. Argumen ini menyatakan bahwa setiap klaim pengetahuan memerlukan dasar yang mendukungnya, tetapi dasar itu sendiri memerlukan bukti tambahan, dan begitu seterusnya tanpa akhir. Akibatnya, tidak ada kebenaran yang dapat dipastikan karena pembuktian akan selalu berujung pada rantai yang tak terhingga (Stroud, 1984).

Contoh klasik dari regresi tak terbatas dapat ditemukan dalam kritik skeptis terhadap prinsip-prinsip dasar epistemologi. Misalnya, jika seseorang berkata bahwa "A benar karena B," maka pertanyaan berikutnya adalah, "Mengapa B benar?" Ini menciptakan lingkaran yang tak dapat diselesaikan.

4.3.       Argumen Relativitas

Skeptisisme juga berlandaskan argumen relativitas, yang menyatakan bahwa kebenaran dan pengetahuan bersifat relatif terhadap individu, budaya, atau kondisi tertentu. Argumen ini diperkenalkan dalam pemikiran Protagoras dengan pernyataan terkenal: "Manusia adalah ukuran segala sesuatu" (Guthrie, 1971). Dalam pandangan ini, tidak ada kebenaran universal karena setiap individu memiliki persepsi yang berbeda tentang realitas.

Relativisme skeptis menekankan bahwa apa yang benar bagi seseorang mungkin tidak benar bagi orang lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang objektivitas pengetahuan.

4.4.       Argumen Ketidakterbuktian

Konsep ini menyatakan bahwa tidak ada klaim pengetahuan yang dapat dibuktikan secara mutlak. Skeptisisme mempertanyakan kemampuan manusia untuk membuktikan sesuatu dengan pasti karena keterbatasan indera, akal, dan bahasa. David Hume mengkritik metode induksi dengan menyatakan bahwa kita tidak dapat membuktikan bahwa masa depan akan serupa dengan masa lalu hanya berdasarkan pengalaman sebelumnya (Hume, 2000).

Hume menekankan bahwa keyakinan kita tentang sebab-akibat hanyalah kebiasaan berpikir, bukan pengetahuan yang didasarkan pada kepastian. Argumen ini menggoyahkan dasar empirisme dan menegaskan bahwa semua klaim kebenaran bersifat probabilistik, bukan absolut.

4.5.       Konsep Ataraxia

Dalam skeptisisme Pyrrhonian, tujuan akhir dari suspensi penilaian (epoché) adalah mencapai ataraxia, yaitu ketenangan batin yang bebas dari kebingungan dan konflik. Menurut Pyrrho dan Sextus Empiricus, manusia sering kali gelisah karena terus-menerus mencari kepastian di tengah ketidakpastian dunia (Sextus Empiricus, 2000).

Dengan menangguhkan penilaian terhadap klaim kebenaran, seseorang dapat membebaskan dirinya dari tekanan untuk mencari kepastian yang tidak mungkin dicapai. Ataraxia, oleh karena itu, merupakan hasil dari pengakuan atas keterbatasan manusia.

4.6.       Kritik Terhadap Indera dan Akal

Skeptisisme juga mempertanyakan keandalan indera dan akal sebagai sumber pengetahuan. Argumen ini menyatakan:

·                     Keterbatasan Indera:

Indera manusia sering kali memberikan persepsi yang keliru atau kontradiktif. Contoh klasik adalah tongkat yang terlihat bengkok di dalam air.

·                     Keterbatasan Akal:

Akal manusia juga rentan terhadap kesalahan logis dan prasangka. Pemikiran rasional belum tentu menghasilkan kebenaran absolut (Popkin, 1979).


Catatan Kaki

[1]                Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism. Cambridge: Harvard University Press, 2000.

[2]                Descartes, René. Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

[3]                Stroud, Barry. The Significance of Philosophical Scepticism. Oxford: Clarendon Press, 1984.

[4]                Guthrie, W. K. C. The Sophists. Cambridge: Cambridge University Press, 1971.

[5]                Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.

[6]                Popkin, Richard H. The History of Scepticism: From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press, 1979.


5.           Tokoh-Tokoh Utama dalam Skeptisisme

5.1.       Pyrrho dari Elis (c. 360–270 SM)

Pyrrho dari Elis adalah tokoh pertama yang dianggap sebagai pendiri skeptisisme dalam tradisi filsafat Barat. Ia mengembangkan pendekatan keraguan terhadap segala sesuatu yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Pyrrho percaya bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencapai pengetahuan yang benar-benar objektif. Oleh karena itu, ia mengajarkan prinsip epoché (suspensi penilaian) sebagai cara untuk menghadapi klaim-klaim pengetahuan. Dengan menahan diri dari memberikan penilaian, seseorang dapat mencapai ataraxia, yaitu ketenangan batin bebas dari kebimbangan (Sextus Empiricus, 2000).

Pemikiran Pyrrho tidak dituliskan secara langsung olehnya, tetapi diwariskan melalui pengikutnya seperti Timon dari Phlius dan kemudian dikodifikasi oleh Sextus Empiricus dalam karyanya.

5.2.       Sextus Empiricus (abad ke-2 M)

Sextus Empiricus adalah tokoh kunci dalam skeptisisme Pyrrhonian yang hidup pada abad ke-2 M. Ia adalah seorang dokter sekaligus filsuf yang menyusun prinsip-prinsip skeptisisme dalam bentuk yang sistematis. Karya utamanya, Outlines of Pyrrhonism, menjadi teks fundamental dalam pemikiran skeptis dan mendefinisikan kerangka berpikir skeptisisme Pyrrhonian.

Sextus Empiricus membedakan skeptisisme Pyrrhonian dari dogmatisme dan skeptisisme Akademik. Ia menyatakan bahwa skeptisisme bukanlah penolakan terhadap kebenaran, melainkan sikap mencari dan menguji semua klaim pengetahuan secara kritis sebelum memberikan penilaian (Sextus Empiricus, 2000). Sextus menekankan bahwa karena tidak ada bukti yang pasti, lebih baik menangguhkan penilaian untuk mencapai kedamaian batin.

5.3.       René Descartes (1596–1650)

René Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang sering disebut sebagai bapak filsafat modern. Descartes tidak sepenuhnya seorang skeptis, tetapi ia menggunakan metode skeptisisme sebagai alat epistemologi. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menerapkan keraguan metodis (methodic doubt) untuk mempertanyakan semua hal yang dapat diragukan, termasuk persepsi inderawi, akal, dan realitas itu sendiri.

Namun, Descartes mencapai fondasi pengetahuan yang dianggap tidak dapat diragukan, yakni pernyataannya yang terkenal: Cogito, ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada"). Dengan demikian, Descartes menggunakan skeptisisme sebagai metode untuk menemukan kebenaran absolut (Descartes, 1996).

5.4.       David Hume (1711–1776)

David Hume, seorang filsuf empiris Skotlandia, adalah tokoh skeptisisme modern yang kritis terhadap klaim kepastian pengetahuan, khususnya melalui metode induksi. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, Hume menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat bukanlah sesuatu yang dapat dibuktikan secara logis, melainkan hanya berdasarkan kebiasaan berpikir.

Hume berargumen bahwa kita tidak pernah dapat memiliki kepastian bahwa masa depan akan serupa dengan masa lalu, karena klaim tersebut hanya didasarkan pada pengalaman (Hume, 2000). Kritiknya terhadap induksi dan sebab-akibat mengguncang dasar-dasar empirisme dan ilmu pengetahuan modern.

5.5.       Immanuel Kant (1724–1804)

Immanuel Kant memberikan respon terhadap skeptisisme Hume melalui karyanya Critique of Pure Reason. Kant menyadari validitas kritik Hume terhadap kepastian pengetahuan, tetapi ia berusaha membangun sistem epistemologi baru yang membedakan antara:

1)                  Fenomena: Realitas yang dapat kita pahami melalui indera dan akal.

2)                  Noumena: Realitas pada dirinya sendiri yang tidak dapat kita ketahui secara langsung.

Menurut Kant, meskipun pengetahuan manusia terbatas pada pengalaman indrawi, kita tetap dapat memiliki pengetahuan sintetis a priori yang bersifat universal dan niscaya, seperti dalam matematika dan ilmu pengetahuan alam (Kant, 1998).

5.6.       Tokoh-Tokoh Kontemporer

Pada era kontemporer, skeptisisme kembali muncul dalam berbagai bentuk, terutama dalam:

·                     Postmodernisme:

Tokoh seperti Jean-François Lyotard menolak narasi besar dan menekankan relativisme pengetahuan (Lyotard, 1984).

·                     Filsafat Sains:

Karl Popper memperkenalkan prinsip falsifikasi, menyatakan bahwa semua teori ilmiah bersifat sementara dan terbuka terhadap revisi (Popper, 2002).

·                     Analisis Bahasa:

Ludwig Wittgenstein mengkritik bahasa sebagai hambatan dalam memahami realitas (Wittgenstein, 1953).


Catatan Kaki

[1]                Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism. Cambridge: Harvard University Press, 2000.

[2]                Descartes, René. Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

[3]                Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.

[4]                Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.

[5]                Lyotard, Jean-François. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984.

[6]                Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.

[7]                Wittgenstein, Ludwig. Philosophical Investigations. Oxford: Blackwell, 1953.

[8]                Guthrie, W. K. C. The Sophists. Cambridge: Cambridge University Press, 1971.


6.           Perdebatan Skeptisisme dengan Aliran Filsafat Lain

6.1.       Skeptisisme vs Dogmatisme

Dogmatisme adalah keyakinan bahwa kebenaran tertentu dapat diketahui secara pasti tanpa keraguan. Para dogmatis, seperti filsuf Stoik dan Epikurean dalam tradisi Yunani, percaya pada prinsip-prinsip kebenaran yang mutlak dan tidak tergoyahkan. Sebagai respons, skeptisisme Pyrrhonian (Pyrrho dari Elis) menolak klaim dogmatis ini dan mengajarkan prinsip epoché (suspensi penilaian). Sextus Empiricus berpendapat bahwa dogmatisme justru membawa manusia kepada kebingungan dan konflik batin, karena dogma cenderung dipertahankan tanpa bukti yang kuat (Sextus Empiricus, 2000).

Perdebatan ini menyoroti dua sikap ekstrem: dogmatisme yang kaku dan skeptisisme yang meragukan segala sesuatu. Tokoh modern seperti Immanuel Kant menawarkan jalan tengah dengan mengakui keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami "noumena" (realitas pada dirinya sendiri) namun menerima "fenomena" sebagai pengetahuan yang valid (Kant, 1998).

6.2.       Skeptisisme vs Rasionalisme

Rasionalisme mengklaim bahwa akal (reason) adalah sumber utama pengetahuan dan kebenaran. Filsuf rasionalis seperti Plato, René Descartes, dan Leibniz percaya bahwa pengetahuan yang pasti dapat diperoleh melalui deduksi logis dan prinsip-prinsip a priori (sebelum pengalaman).

Sebaliknya, skeptisisme meragukan keandalan akal dalam mencapai kepastian. David Hume, seorang empiris skeptis, mengkritik pandangan Descartes yang mengandalkan cogito ergo sum. Hume berpendapat bahwa keyakinan terhadap hubungan sebab-akibat atau konsep universal tidak didasarkan pada akal murni, melainkan hanya kebiasaan berpikir (Hume, 2000). Skeptisisme menantang klaim rasionalis dengan argumen regresi tak terbatas: bagaimana kita dapat membuktikan bahwa prinsip akal itu sendiri benar?

6.3.       Skeptisisme vs Empirisme

Empirisme, yang diajarkan oleh filsuf seperti John Locke dan Francis Bacon, menegaskan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi. Namun, skeptisisme mempertanyakan keandalan indera sebagai sumber pengetahuan. Argumen klasik skeptis adalah bahwa persepsi inderawi sering kali keliru atau menipu. Contohnya adalah fenomena tongkat yang terlihat bengkok di dalam air atau ilusi optik yang memperdaya indra manusia (Stroud, 1984).

George Berkeley, seorang empiris idealis, berusaha menjawab skeptisisme dengan menyatakan bahwa "ada adalah untuk dipersepsi" (esse est percipi), di mana realitas bergantung pada persepsi. Namun, Hume kemudian menunjukkan bahwa pengalaman inderawi hanya memberikan pengetahuan yang bersifat probabilistik, bukan kepastian (Hume, 2000). Perdebatan ini menunjukkan bahwa skeptisisme berperan penting dalam mendorong empirisme untuk terus menguji dan memverifikasi klaim pengetahuan.

6.4.       Skeptisisme vs Pragmatisme

Pragmatisme muncul sebagai respons terhadap skeptisisme yang meragukan kebenaran universal. Tokoh pragmatis seperti Charles Sanders Peirce dan William James berpendapat bahwa nilai kebenaran tidak terletak pada kepastian absolut, melainkan pada manfaat praktis dari suatu ide. Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang "bekerja" dan dapat diandalkan dalam praktik kehidupan sehari-hari (James, 1907).

Skeptisisme, di sisi lain, menolak klaim kebenaran apapun tanpa bukti yang kuat. Namun, pragmatisme mengkritik skeptisisme karena dianggap tidak produktif dan berpotensi menghambat tindakan. Pragmatismenya James mengakui keraguan sebagai langkah awal yang penting, tetapi kemudian mendorong untuk mencapai solusi yang dapat berfungsi dalam realitas.

6.5.       Skeptisisme dan Fenomenologi

Fenomenologi, yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl, juga merespons skeptisisme dengan caranya sendiri. Fenomenologi berfokus pada bagaimana fenomena muncul dalam kesadaran manusia. Husserl mengajarkan prinsip reduksi fenomenologis, yang mirip dengan epoché skeptisisme Pyrrhonian, yakni menangguhkan asumsi tentang dunia luar untuk memahami pengalaman subjektif secara lebih murni (Husserl, 1931).

Meskipun demikian, skeptisisme tetap mempertanyakan apakah fenomena yang kita alami benar-benar merepresentasikan realitas objektif. Di sisi lain, fenomenologi menawarkan solusi dengan fokus pada bagaimana realitas dialami, bukan pada kebenaran metafisiknya.

6.6.       Perdebatan Skeptisisme dalam Filsafat Sains

Dalam filsafat sains, Karl Popper mengadopsi prinsip skeptisisme untuk mengembangkan falsifikasi, yakni ide bahwa teori ilmiah tidak dapat dibuktikan benar secara mutlak, melainkan hanya dapat diuji dan dipalsukan. Popper menolak verifikasi absolut yang dianut oleh positivisme logis dan menyatakan bahwa teori sains harus selalu terbuka untuk diuji ulang (Popper, 2002).

Sebaliknya, skeptisisme yang ekstrem dikritik karena dianggap dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Popper memberikan keseimbangan dengan menyatakan bahwa meskipun tidak ada kebenaran mutlak, proses ilmiah dapat mendekati kebenaran melalui pengujian yang terus-menerus.


Catatan Kaki

[1]                Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism. Cambridge: Harvard University Press, 2000.

[2]                Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.

[3]                Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.

[4]                Stroud, Barry. The Significance of Philosophical Scepticism. Oxford: Clarendon Press, 1984.

[5]                James, William. Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co., 1907.

[6]                Husserl, Edmund. Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology. Trans. W. R. Boyce Gibson. London: Allen & Unwin, 1931.

[7]                Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.


7.           Implikasi Skeptisisme dalam Kehidupan

7.1.       Implikasi Skeptisisme terhadap Ilmu Pengetahuan

Skeptisisme memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Para skeptis menekankan pentingnya meragukan klaim pengetahuan yang belum diuji secara empiris. Pandangan ini mempengaruhi metode ilmiah modern, yang berakar pada prinsip falsifikasi yang dikembangkan oleh Karl Popper. Popper berpendapat bahwa teori ilmiah tidak dapat dibuktikan benar secara absolut, melainkan harus terbuka untuk pengujian dan pemalsuan (Popper, 2002).

Melalui pendekatan skeptis, ilmuwan terus menguji hipotesis, meragukan asumsi yang tidak terbukti, dan menghindari dogmatisme. Misalnya, kemajuan dalam fisika kuantum dan biologi molekuler terjadi karena para ilmuwan skeptis terhadap paradigma lama dan terbuka terhadap bukti-bukti baru.

7.2.       Implikasi Skeptisisme terhadap Etika dan Moralitas

Dalam ranah etika, skeptisisme menantang klaim universal tentang moralitas yang dianggap absolut. Pandangan skeptis mendorong pemikiran kritis terhadap norma-norma moral yang diterima begitu saja oleh masyarakat. Tokoh seperti David Hume berpendapat bahwa penilaian moral bukanlah hasil dari akal murni, melainkan dari perasaan dan kebiasaan (Hume, 2000).

Namun, skeptisisme dalam etika dapat memunculkan relativisme moral, di mana kebenaran moral dianggap subjektif dan bergantung pada individu atau budaya tertentu. Hal ini mendorong dialog lebih lanjut tentang bagaimana membangun kerangka moral yang fleksibel namun tetap bertanggung jawab di tengah pluralitas nilai.

7.3.       Implikasi Skeptisisme terhadap Agama dan Kepercayaan

Dalam konteks agama, skeptisisme sering kali berfungsi sebagai kritik terhadap klaim dogmatis dan keyakinan tanpa bukti. Tokoh seperti Al-Ghazali menggunakan skeptisisme untuk mengkritik filsafat rasionalis yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali menegaskan bahwa akal manusia terbatas dalam memahami realitas transendental (Al-Ghazali, 2000).

Di sisi lain, skeptisisme juga menginspirasi lahirnya pemikiran keagamaan yang lebih mendalam dan reflektif. Para pemikir seperti Immanuel Kant menunjukkan bahwa skeptisisme bukan berarti menolak agama, melainkan mendorong keyakinan yang lebih rasional dan bersifat moral (Kant, 1998).

7.4.       Implikasi Skeptisisme dalam Kehidupan Sehari-Hari

Sikap skeptis memiliki peran praktis dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menghadapi informasi yang beredar luas di era digital. Skeptisisme mendorong individu untuk:

1)                  Memverifikasi Informasi:

Dalam dunia yang dipenuhi berita palsu (fake news) dan disinformasi, sikap skeptis membantu kita menilai kebenaran informasi sebelum mempercayainya (Popkin, 1979).

2)                  Berpikir Kritis:

Sikap skeptis mengajarkan kita untuk tidak mudah menerima klaim tanpa bukti. Ini sangat relevan dalam pengambilan keputusan, baik dalam konteks pribadi maupun profesional.

3)                  Menghindari Prasangka dan Bias:

Sikap skeptis membantu kita mempertanyakan bias dan prasangka yang mungkin kita miliki, sehingga dapat mengambil sikap yang lebih objektif.

Sebagai contoh, skeptisisme terhadap produk kesehatan yang beredar di media sosial mendorong individu untuk mencari validasi ilmiah sebelum menggunakannya.

7.5.       Implikasi Skeptisisme terhadap Politik dan Demokrasi

Dalam ranah politik, skeptisisme mendorong pemikiran kritis terhadap kekuasaan dan otoritas. Filsuf skeptis menekankan bahwa klaim politik sering kali dipengaruhi oleh kepentingan tertentu, sehingga perlu diuji melalui transparansi dan akuntabilitas.

Tokoh seperti Michel Foucault menunjukkan bahwa skeptisisme terhadap narasi besar dalam politik membantu membongkar struktur kekuasaan tersembunyi (Foucault, 1980). Dalam demokrasi, sikap skeptis membentuk warga negara yang kritis dan aktif dalam memeriksa kebijakan pemerintah, menghindari manipulasi, dan menuntut kebebasan berpikir.

7.6.       Kritik terhadap Implikasi Skeptisisme

Meskipun skeptisisme memiliki banyak manfaat, kritik utama terhadap skeptisisme adalah potensinya untuk melahirkan nihilisme atau ketidakpercayaan total terhadap segala sesuatu. Jika keraguan dibiarkan tanpa batas, skeptisisme dapat menghambat tindakan praktis dan melahirkan sikap apatis (Stroud, 1984).

Untuk itu, tokoh seperti William James dalam pragmatisme menekankan bahwa keraguan harus diimbangi dengan pencarian solusi yang praktis. Skeptisisme, jika diterapkan secara moderat, menjadi alat berpikir kritis yang membangun, bukan menghancurkan (James, 1907).


Catatan Kaki

[1]                Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.

[2]                Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.

[3]                Al-Ghazali. The Incoherence of the Philosophers. Trans. Michael Marmura. Brigham: Brigham Young University Press, 2000.

[4]                Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.

[5]                Popkin, Richard H. The History of Scepticism: From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press, 1979.

[6]                Foucault, Michel. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings. New York: Pantheon Books, 1980.

[7]                Stroud, Barry. The Significance of Philosophical Scepticism. Oxford: Clarendon Press, 1984.

[8]                James, William. Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co., 1907.


8.           Kritik terhadap Filsafat Skeptisisme

8.1.       Apakah Skeptisisme Bertentangan dengan Praktik Kehidupan Nyata?

Kritik pertama terhadap filsafat skeptisisme adalah bahwa skeptisisme, terutama dalam bentuk ekstremnya, bertentangan dengan kehidupan praktis. Sextus Empiricus, sebagai representasi Pyrrhonisme, menyarankan untuk menangguhkan penilaian (epoché) terhadap semua klaim kebenaran. Namun, para kritikus berpendapat bahwa sikap ini tidak realistis dan tidak praktis. Jika seseorang selalu meragukan segala sesuatu, maka ia akan kesulitan untuk mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. David Hume menyatakan bahwa meskipun keraguan teoretis bisa dimengerti, dalam praktiknya manusia tetap harus bertindak berdasarkan keyakinan meskipun tidak memiliki kepastian absolut (Hume, 2000).

Seperti yang dikemukakan oleh Bertrand Russell, skeptisisme ekstrem tidak dapat dipertahankan secara konsisten karena kita masih harus hidup dalam dunia nyata dan mengambil keputusan sehari-hari (Russell, 2007). Tanpa adanya keyakinan, bahkan tindakan sederhana seperti makan atau berbicara akan menjadi mustahil.

8.2.       Argumen Lingkaran: Skeptisisme sebagai Paradoks

Kritik kedua adalah bahwa skeptisisme sering kali terjebak dalam argumen lingkaran atau bersifat kontradiktif. Jika seorang skeptis menyatakan bahwa "tidak ada yang dapat diketahui dengan pasti," maka pernyataan itu sendiri merupakan klaim pengetahuan yang bertentangan dengan prinsip keraguan total. Dengan kata lain, skeptisisme ekstrem meruntuhkan dirinya sendiri.

Hal ini dikritik oleh Immanuel Kant yang menyatakan bahwa meskipun skeptisisme memberikan kritik penting terhadap dogmatisme, skeptisisme tidak bisa menjadi fondasi filsafat yang stabil. Kant berpendapat bahwa skeptisisme harus diatasi melalui pendekatan yang lebih konstruktif, seperti sistem pengetahuan sintetis a priori (Kant, 1998).

8.3.       Skeptisisme dan Nihilisme

Skeptisisme ekstrem dapat mengarah pada nihilisme, yaitu pandangan bahwa tidak ada kebenaran, nilai, atau makna dalam hidup. Nihilisme muncul ketika semua klaim kebenaran dianggap tidak valid, yang berujung pada sikap apatis dan penolakan terhadap segala bentuk pengetahuan atau moralitas. Friedrich Nietzsche memperingatkan bahaya nihilisme ini dalam karya-karyanya, menyatakan bahwa keraguan yang tidak terkendali dapat menghancurkan makna hidup manusia (Nietzsche, 1968).

Para pragmatis seperti William James mengkritik skeptisisme karena dianggap destruktif dan tidak produktif. James menyatakan bahwa keraguan harus diimbangi dengan tindakan praktis. Ia menekankan bahwa pengetahuan dan keyakinan memiliki nilai praktis dalam membantu manusia menjalani kehidupan (James, 1907).

8.4.       Relativisme yang Berlebihan

Skeptisisme sering dikaitkan dengan relativisme, yaitu pandangan bahwa kebenaran bersifat subjektif dan bergantung pada individu atau budaya tertentu. Namun, kritik utama terhadap relativisme adalah bahwa ia melemahkan dasar bagi dialog rasional dan pengetahuan objektif. Jika semua klaim kebenaran dianggap sama validnya, maka tidak ada cara untuk membedakan antara informasi yang benar dan yang salah.

Karl Popper mengkritik relativisme yang muncul dari skeptisisme, dengan menyatakan bahwa sains berkembang melalui proses pengujian dan falsifikasi, bukan dengan menolak kebenaran sama sekali. Popper menegaskan bahwa meskipun tidak ada kepastian mutlak, kita tetap dapat mendekati kebenaran melalui metode ilmiah (Popper, 2002).

8.5.       Kritik dari Rasionalisme dan Empirisme

Para rasionalis dan empiris memberikan kritik mendasar terhadap skeptisisme. René Descartes, meskipun memulai dengan keraguan metodis, akhirnya menemukan landasan pengetahuan yang tidak dapat diragukan: Cogito, ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada"). Descartes membuktikan bahwa skeptisisme dapat diatasi dengan menggunakan akal sebagai fondasi pengetahuan (Descartes, 1996).

Di sisi lain, John Locke dan George Berkeley, sebagai empiris, berpendapat bahwa skeptisisme berlebihan meremehkan kapasitas indera manusia untuk memberikan pengetahuan yang berguna. Locke menyatakan bahwa pengalaman inderawi, meskipun tidak sempurna, tetap menjadi dasar pengetahuan yang valid (Locke, 1979).

8.6.       Skeptisisme sebagai Alat, Bukan Tujuan

Beberapa filsuf berpendapat bahwa skeptisisme seharusnya dipandang sebagai alat untuk menguji klaim pengetahuan, bukan sebagai tujuan akhir. Sikap skeptis yang moderat dapat mendorong pemikiran kritis dan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi skeptisisme ekstrem justru menghambat kemajuan.

Karl Popper dan William James menekankan bahwa keraguan harus bersifat produktif. Skeptisisme yang konstruktif adalah skeptisisme yang membuka ruang dialog, penelitian, dan inovasi tanpa menjerumuskan manusia ke dalam keputusasaan atau nihilisme (Popper, 2002; James, 1907).


Catatan Kaki

[1]                Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.

[2]                Russell, Bertrand. A History of Western Philosophy. New York: Simon & Schuster, 2007.

[3]                Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.

[4]                Nietzsche, Friedrich. The Will to Power. Trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale. New York: Vintage Books, 1968.

[5]                James, William. Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co., 1907.

[6]                Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.

[7]                Descartes, René. Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

[8]                Locke, John. An Essay Concerning Human Understanding. Oxford: Clarendon Press, 1979.


9.           Kesimpulan

Filsafat skeptisisme merupakan aliran pemikiran yang menekankan pada keraguan kritis terhadap klaim pengetahuan, baik yang berasal dari indera, akal, maupun dogma. Skeptisisme, yang berakar dari tradisi Yunani Kuno melalui pemikiran Pyrrho dari Elis dan sistematisasi oleh Sextus Empiricus, mendorong manusia untuk menangguhkan penilaian (epoché) sebagai respons terhadap keterbatasan akal dan persepsi inderawi. Sikap ini bukan sekadar keraguan nihilistik, melainkan upaya untuk mencapai ketenangan batin (ataraxia) dengan mengakui keterbatasan pengetahuan manusia (Sextus Empiricus, 2000).

Pada masa modern, skeptisisme mengalami transformasi signifikan. René Descartes menggunakan keraguan metodis sebagai langkah epistemologis untuk menemukan landasan pengetahuan yang pasti: Cogito, ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”). Di sisi lain, David Hume memperluas skeptisisme dengan kritik terhadap induksi dan konsep sebab-akibat, yang menggoyahkan fondasi empirisme (Hume, 2000; Descartes, 1996).

Implikasi skeptisisme terhadap kehidupan sangat luas. Dalam ilmu pengetahuan, skeptisisme mendorong metode ilmiah yang berbasis pengujian dan falsifikasi, sebagaimana dikembangkan oleh Karl Popper (Popper, 2002). Dalam bidang etika dan agama, skeptisisme menjadi alat untuk mengkritisi dogma, sehingga mendorong pemahaman yang lebih reflektif dan mendalam (Kant, 1998; Al-Ghazali, 2000). Di era kontemporer, skeptisisme berperan penting dalam menghadapi disinformasi dan berita palsu dengan menanamkan budaya berpikir kritis.

Namun, skeptisisme tidak luput dari kritik. Para rasionalis dan empiris berpendapat bahwa keraguan yang ekstrem dapat mengarah pada nihilisme dan kontradiksi internal. Immanuel Kant menekankan bahwa skeptisisme harus dilampaui melalui pendekatan konstruktif yang mengakui batas-batas pengetahuan manusia tetapi tetap memberikan fondasi bagi pengetahuan ilmiah (Kant, 1998). William James menegaskan bahwa keraguan harus bersifat produktif dan praktis agar tidak berujung pada sikap apatis (James, 1907).

Secara keseluruhan, skeptisisme adalah alat yang berharga untuk menguji kebenaran dan menumbuhkan pemikiran kritis. Dalam bentuknya yang moderat, skeptisisme memungkinkan manusia untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas, sambil tetap rendah hati dalam menghadapi keterbatasan pengetahuan. Sikap skeptis yang seimbang membuka ruang untuk dialog, penelitian, dan inovasi, menjadikannya fondasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan kehidupan sehari-hari (Popkin, 1979; Russell, 2007).


Catatan Kaki

[1]                Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism. Cambridge: Harvard University Press, 2000.

[2]                Descartes, René. Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

[3]                Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.

[4]                Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.

[5]                Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason. Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.

[6]                Al-Ghazali. The Incoherence of the Philosophers. Trans. Michael Marmura. Brigham: Brigham Young University Press, 2000.

[7]                James, William. Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co., 1907.

[8]                Popkin, Richard H. The History of Scepticism: From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press, 1979.

[9]                Russell, Bertrand. A History of Western Philosophy. New York: Simon & Schuster, 2007.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the philosophers (M. Marmura, Trans.). Brigham: Brigham Young University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding. Oxford: Oxford University Press.

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. New York: Longmans, Green, and Co.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Locke, J. (1979). An essay concerning human understanding. Oxford: Clarendon Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Nietzsche, F. (1968). The will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). New York: Vintage Books.

Popkin, R. H. (1979). The history of scepticism: From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

Russell, B. (2007). A history of western philosophy. New York: Simon & Schuster.

Sextus Empiricus. (2000). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.

Stroud, B. (1984). The significance of philosophical scepticism. Oxford: Clarendon Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.


Lampiran: Aliran-Aliran Filsafat Skeptisisme

1)                 Skeptisisme Pyrrhonian (Pyrrhonism)

o        Arti: Skeptisisme yang menekankan penangguhan penilaian (epoché) untuk mencapai ketenangan batin (ataraxia).

o        Tokoh Utama: Pyrrho dari Elis, Timon dari Phlius, Sextus Empiricus.

2)                 Skeptisisme Akademik (Academic Skepticism)

o        Arti: Aliran skeptisisme yang berkembang di Akademi Plato dan menyatakan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui secara pasti.

o        Tokoh Utama: Arkesilaos, Karnades.

3)                 Skeptisisme Modern (Modern Skepticism)

o        Arti: Skeptisisme yang muncul di era modern sebagai kritik terhadap klaim pengetahuan yang tidak terbukti.

o        Tokoh Utama: René Descartes, Michel de Montaigne.

4)                 Skeptisisme Empiris (Empirical Skepticism)

o        Arti: Keraguan terhadap klaim pengetahuan berdasarkan pengalaman inderawi, dengan fokus pada keterbatasan indera.

o        Tokoh Utama: David Hume.

5)                 Skeptisisme Metodis (Methodical Skepticism)

o        Arti: Keraguan sistematis yang digunakan sebagai metode untuk menemukan kebenaran.

o        Tokoh Utama: René Descartes.

6)                 Skeptisisme Relatif (Relativistic Skepticism)

o        Arti: Keyakinan bahwa kebenaran bersifat relatif dan bergantung pada individu atau konteks tertentu.

o        Tokoh Utama: Protagoras.

7)                 Skeptisisme Nihilistik (Nihilistic Skepticism)

o        Arti: Pandangan bahwa tidak ada kebenaran, nilai, atau makna yang dapat diketahui atau diterima.

o        Tokoh Utama: Friedrich Nietzsche.

8)                 Skeptisisme Epistemologis (Epistemological Skepticism)

o        Arti: Skeptisisme yang menekankan keraguan terhadap kemungkinan pengetahuan atau kepastian epistemologis.

o        Tokoh Utama: Sextus Empiricus, Immanuel Kant.

9)                 Skeptisisme Moral (Moral Skepticism)

o        Arti: Keraguan terhadap adanya prinsip moral yang objektif atau universal.

o        Tokoh Utama: David Hume, Friedrich Nietzsche.

10)             Skeptisisme Ilmiah (Scientific Skepticism)

o        Arti: Sikap kritis yang menekankan pengujian klaim pengetahuan melalui metode ilmiah dan falsifikasi.

o        Tokoh Utama: Karl Popper.

11)             Skeptisisme Linguistik (Linguistic Skepticism)

o        Arti: Keraguan terhadap kemampuan bahasa dalam merepresentasikan realitas secara akurat.

o        Tokoh Utama: Ludwig Wittgenstein.

12)             Skeptisisme Praktis (Practical Skepticism)

o        Arti: Sikap skeptis yang diterapkan dalam kehidupan praktis, bukan hanya dalam wacana teoretis.

o        Tokoh Utama: Michel de Montaigne, William James.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar