Skeptisisme
Keraguan
terhadap Klaim-Klaim Pengetahuan atau Kebenaran Absolut
Alihkan ke: Empat Aliran Filsafat Utama.
Abstrak
Skeptisisme merupakan salah satu aliran
filsafat yang mempertanyakan kemungkinan memperoleh pengetahuan yang benar dan
mutlak. Aliran ini muncul dalam tradisi filsafat Yunani kuno dan berkembang
melalui pemikiran para tokohnya, seperti Pyrrho, Sextus Empiricus, dan David
Hume. Skeptisisme terbagi menjadi dua bentuk utama, yaitu skeptisisme akademik
yang meragukan kebenaran absolut serta skeptisisme Pyrrhonian yang menangguhkan
penilaian terhadap segala sesuatu. Artikel ini membahas prinsip-prinsip dasar
skeptisisme, metode yang digunakan dalam meragukan klaim kebenaran, serta
pengaruhnya terhadap perkembangan epistemologi dan pemikiran modern. Selain
itu, kajian ini juga mengulas relevansi skeptisisme dalam kehidupan
kontemporer, terutama dalam membangun sikap kritis terhadap informasi dan dogma
yang berkembang di masyarakat. Dengan memahami filsafat skeptisisme, diharapkan
pembaca dapat mengembangkan cara berpikir yang lebih reflektif, analitis, dan
objektif dalam menghadapi berbagai klaim kebenaran.
Kata
Kunci: Skeptisisme, Pyrrho, Sextus Empiricus, Epistemologi,
Kebenaran, Keraguan, Pemikiran Kritis, Filsafat Yunani.
PEMBAHASAN
Kajian
Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
1.1. Definisi Singkat tentang Skeptisisme
Filsafat skeptisisme adalah aliran pemikiran yang
menekankan pada keraguan terhadap klaim-klaim pengetahuan atau kebenaran
absolut. Kata “skeptisisme” berasal dari bahasa Yunani skeptesthai,
yang berarti “melihat” atau “mencari dengan hati-hati” (Russell,
2007). Dalam konteks filsafat, skeptisisme bukan hanya sekadar keraguan,
tetapi juga sikap kritis untuk menangguhkan penilaian terhadap sesuatu yang
tidak dapat dibuktikan secara pasti. Dengan demikian, skeptisisme sering
dipandang sebagai kritik terhadap dogmatisme, yakni kepercayaan tanpa
pertimbangan kritis terhadap suatu prinsip atau klaim.
1.2. Latar Belakang Historis Munculnya Skeptisisme
Skeptisisme muncul sebagai salah satu aliran
pemikiran signifikan dalam tradisi filsafat Yunani Kuno pada abad ke-4 SM.
Pelopornya adalah Pyrrho dari Elis (c. 360–270 SM), yang menekankan
pentingnya “epoché” atau suspensi penilaian sebagai cara mencapai ataraxia
(ketenangan batin) (Sextus Empiricus, 2000). Pada masa ini, skeptisisme
hadir sebagai respons terhadap perkembangan pemikiran dogmatis dari kaum Stoik
dan Epikuros, yang menawarkan penjelasan metafisik dan etis yang dianggap
mapan.
Perkembangan skeptisisme semakin kompleks dengan
kontribusi dari Sextus Empiricus pada abad ke-2 M melalui karya Outlines
of Pyrrhonism. Sextus mengkodifikasi prinsip-prinsip skeptisisme
Pyrrhonian, menjadikannya suatu kerangka berpikir yang lebih sistematis.
Skeptisisme kemudian menemukan tempatnya dalam pemikiran Abad Modern ketika René
Descartes (1596–1650) menggunakan metode keraguan sistematis sebagai
langkah awal dalam membangun fondasi pengetahuan yang lebih kokoh (Descartes,
1996).
1.3. Relevansi Skeptisisme dalam Pemikiran Kontemporer
Dalam era kontemporer, skeptisisme memiliki
relevansi yang luas, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, politik,
maupun kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam sains, skeptisisme berfungsi
sebagai metode untuk terus menguji hipotesis melalui pendekatan empiris yang
kritis. Sementara itu, dalam ranah pemikiran kritis modern, skeptisisme sering
dikaitkan dengan relativisme kebenaran dan postmodernisme (Lyotard, 1984).
Di sisi lain, skeptisisme memberikan pengingat
penting bahwa kebenaran absolut sering kali sulit dicapai karena keterbatasan
indera, nalar, dan bahasa manusia. Dengan kata lain, skeptisisme mendorong
manusia untuk bersikap rendah hati dalam menghadapi klaim-klaim pengetahuan.
Hal ini membuat skeptisisme tetap relevan sebagai alat kritis dalam menghadapi
informasi yang semakin deras di era digital (Popper, 2002).
Catatan Kaki
[1]
Russell, Bertrand. A History of Western
Philosophy. New York: Simon & Schuster, 2007.
[2]
Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism.
Cambridge: Harvard University Press, 2000.
[3]
Descartes, René. Meditations on First Philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
[4]
Lyotard, Jean-François. The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984.
[5]
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge, 2002.
2.
Pengertian
Filsafat Skeptisisme
2.1. Definisi Skeptisisme dalam Konteks Filsafat
Skeptisisme dalam filsafat adalah aliran pemikiran
yang mempertanyakan kemungkinan memperoleh pengetahuan yang pasti dan objektif.
Skeptisisme berasal dari kata Yunani skeptesthai, yang berarti “memeriksa”
atau “menyelidiki”. Dalam terminologi filosofis, skeptisisme mengacu
pada sikap yang meragukan klaim kebenaran, baik yang bersifat inderawi maupun
rasional (Sextus Empiricus, 2000). Secara sederhana, skeptisisme adalah
pendekatan kritis yang mempertanyakan dasar dari segala pengetahuan dan
mendorong manusia untuk menangguhkan penilaian hingga ada bukti yang
benar-benar kuat.
2.2. Perbedaan antara Skeptisisme Radikal dan
Skeptisisme Moderat
Skeptisisme
dapat dikategorikan ke dalam dua jenis utama:
1)
Skeptisisme Radikal
Skeptisisme
radikal adalah pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati tidak mungkin
diperoleh. Para skeptis radikal percaya bahwa tidak ada klaim yang dapat
dikukuhkan dengan kepastian absolut, karena semua bukti bisa diperdebatkan atau
dipertanyakan. Contoh skeptisisme ini ditemukan dalam argumen Pyrrho dari
Elis dan para pengikut Pyrrhonisme, yang mengadvokasi epoché atau “suspensi
penilaian” sebagai respons terhadap keraguan (Sextus Empiricus, 2000).
2)
Skeptisisme Moderat
Skeptisisme
moderat, di sisi lain, tidak menolak kemungkinan adanya pengetahuan sama
sekali, tetapi menekankan perlunya keraguan kritis dalam menguji klaim
kebenaran. Tokoh seperti René Descartes menggunakan skeptisisme sebagai
metode untuk menyaring klaim-klaim yang lemah dan menemukan fondasi pengetahuan
yang kokoh (Descartes, 1996). Descartes memulai dengan keraguan metodis,
namun akhirnya mencapai kebenaran fundamental dalam pernyataannya yang
terkenal: Cogito, ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”).
2.3. Skeptisisme dan Hubungannya dengan Epistemologi
Dalam epistemologi (teori pengetahuan), skeptisisme
memiliki posisi yang sangat penting karena mempertanyakan:
1)
Apakah pengetahuan itu mungkin?
2)
Bagaimana kita bisa yakin bahwa suatu klaim pengetahuan itu benar?
3)
Apa batasan dari kemampuan manusia untuk mengetahui realitas?
Skeptisisme menantang klaim dari berbagai aliran
pemikiran lain seperti dogmatisme (keyakinan pada pengetahuan absolut)
dan rasionalisme (keyakinan pada akal sebagai sumber pengetahuan) (Popkin,
1979). Dengan demikian, skeptisisme mendorong lahirnya metode ilmiah
modern, yang didasarkan pada pengujian empiris dan falsifikasi klaim-klaim
pengetahuan (Popper, 2002).
Skeptisisme juga berhubungan erat dengan argumentasi
regresi tak terbatas, yaitu ide bahwa setiap pembuktian memerlukan
pembuktian lain, sehingga tidak ada kebenaran yang dapat dikukuhkan secara
final (Stroud, 1984). Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang
keabsahan semua pengetahuan.
Catatan Kaki
[1]
Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism.
Cambridge: Harvard University Press, 2000.
[2]
Descartes, René. Meditations on First Philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
[3]
Popkin, Richard H. The History of Scepticism:
From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press, 1979.
[4]
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge, 2002.
[5]
Stroud, Barry. The Significance of Philosophical
Scepticism. Oxford: Clarendon Press, 1984.
3.
Sejarah
Perkembangan Skeptisisme
3.1. Skeptisisme Kuno
Skeptisisme pertama kali muncul dalam tradisi
filsafat Yunani Kuno sebagai respons terhadap klaim-klaim kepastian kebenaran
yang diajukan oleh aliran filsafat seperti Stoisisme dan Epikureanisme. Tokoh
penting dalam fase ini adalah Pyrrho dari Elis (360–270 SM), yang
dianggap sebagai bapak skeptisisme. Pyrrho mengajarkan bahwa manusia tidak
dapat mencapai pengetahuan yang pasti tentang realitas karena segala hal hanya
dapat dipersepsi melalui indera yang terbatas dan subjektif. Oleh karena itu,
ia menyarankan untuk menangguhkan penilaian (epoché) demi mencapai
ketenangan batin (ataraxia) (Sextus Empiricus, 2000).
Sekitar abad ke-2 SM, aliran Skeptisisme
Akademik berkembang di Akademi Plato melalui tokoh seperti Arkesilaos
dan Karnades. Mereka berargumen bahwa semua persepsi inderawi dan
pemikiran rasional memiliki potensi untuk salah, sehingga tidak ada kebenaran
yang dapat dipastikan (Long & Sedley, 1987).
Puncak dari skeptisisme kuno adalah karya Sextus
Empiricus (abad ke-2 M), seorang dokter dan filsuf yang menulis Outlines
of Pyrrhonism. Sextus mengkodifikasi prinsip-prinsip skeptisisme
Pyrrhonian, yang menolak dogmatisme dan mengajarkan bahwa kebijaksanaan
tertinggi adalah menahan diri dari membuat klaim tentang kebenaran absolut (Sextus
Empiricus, 2000).
3.2. Skeptisisme Abad Pertengahan
Pada Abad Pertengahan, skeptisisme mengalami
stagnasi karena dominasi pemikiran teologis yang menempatkan wahyu sebagai
sumber utama pengetahuan. Namun, beberapa tokoh masih mempertahankan elemen
skeptisisme dalam wacana filsafat.
·
Dalam tradisi Islam,
Al-Ghazali (1058–1111)
mengkritik para filsuf rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, dengan
menyatakan bahwa akal manusia terbatas dalam memahami realitas metafisik.
Karyanya, Tahafut al-Falasifah (Incoherence of the Philosophers),
menunjukkan pendekatan skeptis terhadap klaim rasionalisme yang berlebihan (Al-Ghazali,
2000).
·
Dalam tradisi Kristen,
Thomas Aquinas merespon
skeptisisme dengan menekankan kombinasi antara iman dan akal untuk memahami
kebenaran (Aquinas, 2002).
Pada masa ini, skeptisisme berfungsi sebagai
pengingat akan keterbatasan akal manusia, tetapi belum berkembang menjadi
aliran pemikiran independen seperti di era kuno.
3.3. Skeptisisme Modern
Pada abad ke-17, skeptisisme mengalami kebangkitan
dalam pemikiran modern, dimulai dengan René Descartes (1596–1650).
Descartes memperkenalkan metode keraguan sistematis (methodic doubt)
sebagai alat untuk menguji klaim pengetahuan. Dalam karyanya, Meditations on
First Philosophy, Descartes meragukan semua pengetahuan inderawi hingga ia
menemukan fondasi kebenaran yang tak terbantahkan: Cogito, ergo sum (“Aku
berpikir, maka aku ada”) (Descartes, 1996).
Tokoh lain yang penting dalam skeptisisme modern
adalah David Hume (1711–1776). Hume mengkritik induksi sebagai dasar
pengetahuan empiris, menyatakan bahwa generalisasi dari pengalaman masa lalu
tidak dapat memastikan kebenaran di masa depan. Argumennya tentang “kepercayaan
tanpa dasar kepastian” mengguncang fondasi empirisme (Hume, 2000).
Pada masa ini, skeptisisme mendorong perkembangan
ilmu pengetahuan modern dengan memperkenalkan prinsip keraguan kritis dan
perlunya verifikasi empiris.
3.4. Skeptisisme Kontemporer
Dalam filsafat abad ke-20 dan 21, skeptisisme
menjadi landasan bagi kritik terhadap klaim kebenaran universal dalam berbagai
bidang:
1)
Postmodernisme:
Pemikir
seperti Jean-François Lyotard menolak narasi besar (grand narratives)
dan menyatakan bahwa kebenaran selalu bersifat kontekstual dan relatif (Lyotard,
1984).
2)
Filsafat Sains:
Karl Popper
memperkenalkan prinsip falsifikasi, menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah selalu
bersifat sementara dan terbuka terhadap revisi (Popper, 2002).
3)
Analisis Bahasa:
Ludwig Wittgenstein mengkritik bahasa
sebagai sarana untuk memahami kebenaran, menekankan bahwa makna bergantung pada
penggunaan dalam praktik (Wittgenstein, 1953).
Skeptisisme kontemporer, meskipun tidak sekeras
Pyrrhonisme klasik, tetap memainkan peran sentral dalam mempromosikan pemikiran
kritis dan metodologi ilmiah.
Catatan Kaki
[1]
Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism.
Cambridge: Harvard University Press, 2000.
[2]
Long, A. A., & Sedley, D. N. The Hellenistic
Philosophers. Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
[3]
Al-Ghazali. The Incoherence of the Philosophers.
Trans. Michael Marmura. Brigham: Brigham Young University Press, 2000.
[4]
Aquinas, Thomas. Summa Theologica.
Cambridge: Cambridge University Press, 2002.
[5]
Descartes, René. Meditations on First Philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
[6]
Hume, David. An Enquiry Concerning Human
Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.
[7]
Lyotard, Jean-François. The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984.
[8]
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge, 2002.
[9]
Wittgenstein, Ludwig. Philosophical
Investigations. Oxford: Blackwell, 1953.
4.
Konsep-Konsep
Kunci dalam Filsafat Skeptisisme
4.1. Suspensi Penilaian (Epoché)
Salah satu konsep mendasar dalam skeptisisme adalah
epoché, yang berarti "penangguhan penilaian". Konsep
ini pertama kali diperkenalkan oleh Pyrrho dari Elis dan diperkaya oleh Sextus
Empiricus dalam tradisi skeptisisme Pyrrhonian. Menurut Sextus, epoché
adalah sikap menahan diri dari menerima atau menolak klaim kebenaran karena
tidak ada bukti yang memadai untuk menyatakan sesuatu secara pasti. Sikap ini
memungkinkan seseorang mencapai ataraxia atau ketenangan batin (Sextus
Empiricus, 2000).
Epoché bukan berarti menolak kebenaran, melainkan mengakui keterbatasan
manusia dalam mencapai kepastian. Konsep ini kemudian mempengaruhi metode
keraguan sistematis Descartes yang dikenal sebagai "keraguan metodis"
dalam Meditations on First Philosophy (Descartes, 1996).
4.2. Argumen Regresi Tak Terbatas
Argumen regresi tak terbatas adalah kritik
skeptisisme terhadap klaim kebenaran. Argumen ini menyatakan bahwa setiap klaim
pengetahuan memerlukan dasar yang mendukungnya, tetapi dasar itu sendiri
memerlukan bukti tambahan, dan begitu seterusnya tanpa akhir. Akibatnya, tidak
ada kebenaran yang dapat dipastikan karena pembuktian akan selalu berujung pada
rantai yang tak terhingga (Stroud, 1984).
Contoh klasik dari regresi tak terbatas dapat
ditemukan dalam kritik skeptis terhadap prinsip-prinsip dasar epistemologi.
Misalnya, jika seseorang berkata bahwa "A benar karena B,"
maka pertanyaan berikutnya adalah, "Mengapa B benar?" Ini menciptakan
lingkaran yang tak dapat diselesaikan.
4.3. Argumen Relativitas
Skeptisisme juga berlandaskan argumen
relativitas, yang menyatakan bahwa kebenaran dan pengetahuan bersifat
relatif terhadap individu, budaya, atau kondisi tertentu. Argumen ini diperkenalkan
dalam pemikiran Protagoras dengan pernyataan terkenal: "Manusia
adalah ukuran segala sesuatu" (Guthrie, 1971). Dalam pandangan
ini, tidak ada kebenaran universal karena setiap individu memiliki persepsi
yang berbeda tentang realitas.
Relativisme skeptis menekankan bahwa apa yang benar
bagi seseorang mungkin tidak benar bagi orang lain. Hal ini menimbulkan
pertanyaan serius tentang objektivitas pengetahuan.
4.4. Argumen Ketidakterbuktian
Konsep ini menyatakan bahwa tidak ada klaim
pengetahuan yang dapat dibuktikan secara mutlak. Skeptisisme mempertanyakan
kemampuan manusia untuk membuktikan sesuatu dengan pasti karena keterbatasan
indera, akal, dan bahasa. David Hume mengkritik metode induksi dengan
menyatakan bahwa kita tidak dapat membuktikan bahwa masa depan akan serupa
dengan masa lalu hanya berdasarkan pengalaman sebelumnya (Hume, 2000).
Hume menekankan bahwa keyakinan kita tentang
sebab-akibat hanyalah kebiasaan berpikir, bukan pengetahuan yang didasarkan
pada kepastian. Argumen ini menggoyahkan dasar empirisme dan menegaskan bahwa
semua klaim kebenaran bersifat probabilistik, bukan absolut.
4.5. Konsep Ataraxia
Dalam skeptisisme Pyrrhonian, tujuan akhir dari
suspensi penilaian (epoché) adalah mencapai ataraxia, yaitu
ketenangan batin yang bebas dari kebingungan dan konflik. Menurut Pyrrho dan
Sextus Empiricus, manusia sering kali gelisah karena terus-menerus mencari
kepastian di tengah ketidakpastian dunia (Sextus Empiricus, 2000).
Dengan menangguhkan penilaian terhadap klaim
kebenaran, seseorang dapat membebaskan dirinya dari tekanan untuk mencari
kepastian yang tidak mungkin dicapai. Ataraxia, oleh karena itu, merupakan
hasil dari pengakuan atas keterbatasan manusia.
4.6. Kritik Terhadap Indera dan Akal
Skeptisisme juga mempertanyakan keandalan indera
dan akal sebagai sumber pengetahuan. Argumen ini menyatakan:
·
Keterbatasan Indera:
Indera
manusia sering kali memberikan persepsi yang keliru atau kontradiktif. Contoh
klasik adalah tongkat yang terlihat bengkok di dalam air.
·
Keterbatasan Akal:
Akal manusia
juga rentan terhadap kesalahan logis dan prasangka. Pemikiran rasional belum
tentu menghasilkan kebenaran absolut (Popkin, 1979).
Catatan Kaki
[1]
Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism.
Cambridge: Harvard University Press, 2000.
[2]
Descartes, René. Meditations on First Philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
[3]
Stroud, Barry. The Significance of Philosophical
Scepticism. Oxford: Clarendon Press, 1984.
[4]
Guthrie, W. K. C. The Sophists. Cambridge:
Cambridge University Press, 1971.
[5]
Hume, David. An Enquiry Concerning Human
Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.
[6]
Popkin, Richard H. The History of Scepticism:
From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press, 1979.
5.
Tokoh-Tokoh
Utama dalam Skeptisisme
5.1. Pyrrho dari Elis (c. 360–270 SM)
Pyrrho dari Elis adalah tokoh pertama yang dianggap sebagai pendiri skeptisisme dalam
tradisi filsafat Barat. Ia mengembangkan pendekatan keraguan terhadap segala
sesuatu yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Pyrrho percaya bahwa manusia
tidak memiliki kemampuan untuk mencapai pengetahuan yang benar-benar objektif.
Oleh karena itu, ia mengajarkan prinsip epoché (suspensi penilaian)
sebagai cara untuk menghadapi klaim-klaim pengetahuan. Dengan menahan diri dari
memberikan penilaian, seseorang dapat mencapai ataraxia, yaitu
ketenangan batin bebas dari kebimbangan (Sextus Empiricus, 2000).
Pemikiran Pyrrho tidak dituliskan secara langsung
olehnya, tetapi diwariskan melalui pengikutnya seperti Timon dari Phlius
dan kemudian dikodifikasi oleh Sextus Empiricus dalam karyanya.
5.2. Sextus Empiricus (abad ke-2 M)
Sextus Empiricus adalah tokoh kunci dalam skeptisisme Pyrrhonian yang hidup pada abad
ke-2 M. Ia adalah seorang dokter sekaligus filsuf yang menyusun prinsip-prinsip
skeptisisme dalam bentuk yang sistematis. Karya utamanya, Outlines of
Pyrrhonism, menjadi teks fundamental dalam pemikiran skeptis dan
mendefinisikan kerangka berpikir skeptisisme Pyrrhonian.
Sextus Empiricus membedakan skeptisisme Pyrrhonian
dari dogmatisme dan skeptisisme Akademik. Ia menyatakan bahwa skeptisisme
bukanlah penolakan terhadap kebenaran, melainkan sikap mencari dan menguji
semua klaim pengetahuan secara kritis sebelum memberikan penilaian (Sextus
Empiricus, 2000). Sextus menekankan bahwa karena tidak ada bukti yang
pasti, lebih baik menangguhkan penilaian untuk mencapai kedamaian batin.
5.3. René Descartes (1596–1650)
René Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang sering disebut sebagai bapak
filsafat modern. Descartes tidak sepenuhnya seorang skeptis, tetapi ia
menggunakan metode skeptisisme sebagai alat epistemologi. Dalam Meditations
on First Philosophy, Descartes menerapkan keraguan metodis (methodic
doubt) untuk mempertanyakan semua hal yang dapat diragukan, termasuk persepsi
inderawi, akal, dan realitas itu sendiri.
Namun, Descartes mencapai fondasi pengetahuan yang
dianggap tidak dapat diragukan, yakni pernyataannya yang terkenal: Cogito,
ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada"). Dengan demikian,
Descartes menggunakan skeptisisme sebagai metode untuk menemukan kebenaran
absolut (Descartes, 1996).
5.4. David Hume (1711–1776)
David Hume, seorang filsuf empiris Skotlandia, adalah tokoh skeptisisme modern
yang kritis terhadap klaim kepastian pengetahuan, khususnya melalui metode induksi.
Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, Hume menyatakan bahwa
hubungan sebab-akibat bukanlah sesuatu yang dapat dibuktikan secara logis,
melainkan hanya berdasarkan kebiasaan berpikir.
Hume berargumen bahwa kita tidak pernah dapat
memiliki kepastian bahwa masa depan akan serupa dengan masa lalu, karena klaim
tersebut hanya didasarkan pada pengalaman (Hume, 2000). Kritiknya
terhadap induksi dan sebab-akibat mengguncang dasar-dasar empirisme dan ilmu
pengetahuan modern.
5.5. Immanuel Kant (1724–1804)
Immanuel Kant memberikan respon terhadap skeptisisme Hume melalui karyanya Critique
of Pure Reason. Kant menyadari validitas kritik Hume terhadap kepastian
pengetahuan, tetapi ia berusaha membangun sistem epistemologi baru yang
membedakan antara:
1)
Fenomena: Realitas
yang dapat kita pahami melalui indera dan akal.
2)
Noumena: Realitas
pada dirinya sendiri yang tidak dapat kita ketahui secara langsung.
Menurut Kant, meskipun pengetahuan manusia terbatas
pada pengalaman indrawi, kita tetap dapat memiliki pengetahuan sintetis a
priori yang bersifat universal dan niscaya, seperti dalam matematika dan
ilmu pengetahuan alam (Kant, 1998).
5.6. Tokoh-Tokoh Kontemporer
Pada era kontemporer, skeptisisme kembali muncul
dalam berbagai bentuk, terutama dalam:
·
Postmodernisme:
Tokoh
seperti Jean-François Lyotard menolak narasi besar dan menekankan
relativisme pengetahuan (Lyotard, 1984).
·
Filsafat Sains:
Karl Popper
memperkenalkan prinsip falsifikasi, menyatakan bahwa semua teori ilmiah
bersifat sementara dan terbuka terhadap revisi (Popper, 2002).
·
Analisis Bahasa:
Ludwig Wittgenstein mengkritik
bahasa sebagai hambatan dalam memahami realitas (Wittgenstein, 1953).
Catatan Kaki
[1]
Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism.
Cambridge: Harvard University Press, 2000.
[2]
Descartes, René. Meditations on First Philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
[3]
Hume, David. An Enquiry Concerning Human
Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.
[4]
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason.
Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press,
1998.
[5]
Lyotard, Jean-François. The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984.
[6]
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge, 2002.
[7]
Wittgenstein, Ludwig. Philosophical
Investigations. Oxford: Blackwell, 1953.
[8]
Guthrie, W. K. C. The Sophists. Cambridge:
Cambridge University Press, 1971.
6.
Perdebatan
Skeptisisme dengan Aliran Filsafat Lain
6.1. Skeptisisme vs Dogmatisme
Dogmatisme adalah keyakinan bahwa kebenaran
tertentu dapat diketahui secara pasti tanpa keraguan. Para dogmatis, seperti
filsuf Stoik dan Epikurean dalam tradisi Yunani, percaya pada prinsip-prinsip
kebenaran yang mutlak dan tidak tergoyahkan. Sebagai respons, skeptisisme Pyrrhonian
(Pyrrho dari Elis) menolak klaim dogmatis ini dan mengajarkan prinsip epoché
(suspensi penilaian). Sextus Empiricus berpendapat bahwa dogmatisme
justru membawa manusia kepada kebingungan dan konflik batin, karena dogma
cenderung dipertahankan tanpa bukti yang kuat (Sextus Empiricus, 2000).
Perdebatan ini menyoroti dua sikap ekstrem:
dogmatisme yang kaku dan skeptisisme yang meragukan segala sesuatu. Tokoh
modern seperti Immanuel Kant menawarkan jalan tengah dengan mengakui
keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami "noumena"
(realitas pada dirinya sendiri) namun menerima "fenomena"
sebagai pengetahuan yang valid (Kant, 1998).
6.2. Skeptisisme vs Rasionalisme
Rasionalisme mengklaim bahwa akal (reason) adalah sumber utama pengetahuan
dan kebenaran. Filsuf rasionalis seperti Plato, René Descartes,
dan Leibniz percaya bahwa pengetahuan yang pasti dapat diperoleh melalui
deduksi logis dan prinsip-prinsip a priori (sebelum pengalaman).
Sebaliknya, skeptisisme meragukan keandalan akal dalam
mencapai kepastian. David Hume, seorang empiris skeptis, mengkritik
pandangan Descartes yang mengandalkan cogito ergo sum. Hume berpendapat
bahwa keyakinan terhadap hubungan sebab-akibat atau konsep universal tidak
didasarkan pada akal murni, melainkan hanya kebiasaan berpikir (Hume, 2000).
Skeptisisme menantang klaim rasionalis dengan argumen regresi tak terbatas:
bagaimana kita dapat membuktikan bahwa prinsip akal itu sendiri benar?
6.3. Skeptisisme vs Empirisme
Empirisme, yang diajarkan oleh filsuf seperti John Locke dan Francis
Bacon, menegaskan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi.
Namun, skeptisisme mempertanyakan keandalan indera sebagai sumber pengetahuan.
Argumen klasik skeptis adalah bahwa persepsi inderawi sering kali keliru atau
menipu. Contohnya adalah fenomena tongkat yang terlihat bengkok di dalam air
atau ilusi optik yang memperdaya indra manusia (Stroud, 1984).
George Berkeley, seorang empiris idealis, berusaha menjawab skeptisisme dengan
menyatakan bahwa "ada adalah untuk dipersepsi" (esse est
percipi), di mana realitas bergantung pada persepsi. Namun, Hume kemudian
menunjukkan bahwa pengalaman inderawi hanya memberikan pengetahuan yang
bersifat probabilistik, bukan kepastian (Hume, 2000). Perdebatan ini
menunjukkan bahwa skeptisisme berperan penting dalam mendorong empirisme untuk
terus menguji dan memverifikasi klaim pengetahuan.
6.4. Skeptisisme vs Pragmatisme
Pragmatisme muncul sebagai respons terhadap skeptisisme yang meragukan kebenaran
universal. Tokoh pragmatis seperti Charles Sanders Peirce dan William
James berpendapat bahwa nilai kebenaran tidak terletak pada kepastian
absolut, melainkan pada manfaat praktis dari suatu ide. Dalam pandangan
pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang "bekerja" dan dapat
diandalkan dalam praktik kehidupan sehari-hari (James, 1907).
Skeptisisme, di sisi lain, menolak klaim kebenaran
apapun tanpa bukti yang kuat. Namun, pragmatisme mengkritik skeptisisme karena
dianggap tidak produktif dan berpotensi menghambat tindakan. Pragmatismenya
James mengakui keraguan sebagai langkah awal yang penting, tetapi kemudian
mendorong untuk mencapai solusi yang dapat berfungsi dalam realitas.
6.5. Skeptisisme dan Fenomenologi
Fenomenologi, yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl, juga merespons
skeptisisme dengan caranya sendiri. Fenomenologi berfokus pada bagaimana
fenomena muncul dalam kesadaran manusia. Husserl mengajarkan prinsip reduksi
fenomenologis, yang mirip dengan epoché skeptisisme Pyrrhonian,
yakni menangguhkan asumsi tentang dunia luar untuk memahami pengalaman
subjektif secara lebih murni (Husserl, 1931).
Meskipun demikian, skeptisisme tetap mempertanyakan
apakah fenomena yang kita alami benar-benar merepresentasikan realitas
objektif. Di sisi lain, fenomenologi menawarkan solusi dengan fokus pada bagaimana
realitas dialami, bukan pada kebenaran metafisiknya.
6.6. Perdebatan Skeptisisme dalam Filsafat Sains
Dalam filsafat sains, Karl Popper mengadopsi
prinsip skeptisisme untuk mengembangkan falsifikasi, yakni ide bahwa
teori ilmiah tidak dapat dibuktikan benar secara mutlak, melainkan hanya dapat
diuji dan dipalsukan. Popper menolak verifikasi absolut yang dianut oleh
positivisme logis dan menyatakan bahwa teori sains harus selalu terbuka untuk
diuji ulang (Popper, 2002).
Sebaliknya, skeptisisme yang ekstrem dikritik
karena dianggap dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Popper
memberikan keseimbangan dengan menyatakan bahwa meskipun tidak ada kebenaran
mutlak, proses ilmiah dapat mendekati kebenaran melalui pengujian yang
terus-menerus.
Catatan Kaki
[1]
Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism.
Cambridge: Harvard University Press, 2000.
[2]
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason.
Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press,
1998.
[3]
Hume, David. An Enquiry Concerning Human
Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.
[4]
Stroud, Barry. The Significance of Philosophical
Scepticism. Oxford: Clarendon Press, 1984.
[5]
James, William. Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co., 1907.
[6]
Husserl, Edmund. Ideas: General Introduction to
Pure Phenomenology. Trans. W. R. Boyce Gibson. London: Allen & Unwin,
1931.
[7]
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge, 2002.
7.
Implikasi
Skeptisisme dalam Kehidupan
7.1. Implikasi Skeptisisme terhadap Ilmu Pengetahuan
Skeptisisme memiliki dampak signifikan terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Para skeptis menekankan pentingnya meragukan
klaim pengetahuan yang belum diuji secara empiris. Pandangan ini mempengaruhi metode
ilmiah modern, yang berakar pada prinsip falsifikasi yang
dikembangkan oleh Karl Popper. Popper berpendapat bahwa teori ilmiah
tidak dapat dibuktikan benar secara absolut, melainkan harus terbuka untuk
pengujian dan pemalsuan (Popper, 2002).
Melalui pendekatan skeptis, ilmuwan terus menguji
hipotesis, meragukan asumsi yang tidak terbukti, dan menghindari dogmatisme.
Misalnya, kemajuan dalam fisika kuantum dan biologi molekuler terjadi karena
para ilmuwan skeptis terhadap paradigma lama dan terbuka terhadap bukti-bukti
baru.
7.2. Implikasi Skeptisisme terhadap Etika dan Moralitas
Dalam ranah etika, skeptisisme menantang klaim
universal tentang moralitas yang dianggap absolut. Pandangan skeptis mendorong
pemikiran kritis terhadap norma-norma moral yang diterima begitu saja oleh
masyarakat. Tokoh seperti David Hume berpendapat bahwa penilaian moral
bukanlah hasil dari akal murni, melainkan dari perasaan dan kebiasaan (Hume,
2000).
Namun, skeptisisme dalam etika dapat memunculkan
relativisme moral, di mana kebenaran moral dianggap subjektif dan bergantung
pada individu atau budaya tertentu. Hal ini mendorong dialog lebih lanjut
tentang bagaimana membangun kerangka moral yang fleksibel namun tetap
bertanggung jawab di tengah pluralitas nilai.
7.3. Implikasi Skeptisisme terhadap Agama dan
Kepercayaan
Dalam konteks agama, skeptisisme sering kali
berfungsi sebagai kritik terhadap klaim dogmatis dan keyakinan tanpa bukti.
Tokoh seperti Al-Ghazali menggunakan skeptisisme untuk mengkritik
filsafat rasionalis yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Dalam Tahafut
al-Falasifah, Al-Ghazali menegaskan bahwa akal manusia terbatas dalam
memahami realitas transendental (Al-Ghazali, 2000).
Di sisi lain, skeptisisme juga menginspirasi
lahirnya pemikiran keagamaan yang lebih mendalam dan reflektif. Para pemikir
seperti Immanuel Kant menunjukkan bahwa skeptisisme bukan berarti
menolak agama, melainkan mendorong keyakinan yang lebih rasional dan bersifat
moral (Kant, 1998).
7.4. Implikasi Skeptisisme dalam Kehidupan Sehari-Hari
Sikap skeptis memiliki peran praktis dalam
kehidupan sehari-hari, terutama dalam menghadapi informasi yang beredar luas di
era digital. Skeptisisme mendorong individu untuk:
1)
Memverifikasi Informasi:
Dalam dunia
yang dipenuhi berita palsu (fake news) dan disinformasi, sikap skeptis
membantu kita menilai kebenaran informasi sebelum mempercayainya (Popkin,
1979).
2)
Berpikir Kritis:
Sikap
skeptis mengajarkan kita untuk tidak mudah menerima klaim tanpa bukti. Ini
sangat relevan dalam pengambilan keputusan, baik dalam konteks pribadi maupun
profesional.
3)
Menghindari Prasangka dan Bias:
Sikap
skeptis membantu kita mempertanyakan bias dan prasangka yang mungkin kita
miliki, sehingga dapat mengambil sikap yang lebih objektif.
Sebagai contoh, skeptisisme terhadap produk
kesehatan yang beredar di media sosial mendorong individu untuk mencari
validasi ilmiah sebelum menggunakannya.
7.5. Implikasi Skeptisisme terhadap Politik dan
Demokrasi
Dalam ranah politik, skeptisisme mendorong pemikiran
kritis terhadap kekuasaan dan otoritas. Filsuf skeptis menekankan bahwa
klaim politik sering kali dipengaruhi oleh kepentingan tertentu, sehingga perlu
diuji melalui transparansi dan akuntabilitas.
Tokoh seperti Michel Foucault menunjukkan
bahwa skeptisisme terhadap narasi besar dalam politik membantu membongkar
struktur kekuasaan tersembunyi (Foucault, 1980). Dalam demokrasi, sikap
skeptis membentuk warga negara yang kritis dan aktif dalam memeriksa kebijakan
pemerintah, menghindari manipulasi, dan menuntut kebebasan berpikir.
7.6. Kritik terhadap Implikasi Skeptisisme
Meskipun skeptisisme memiliki banyak manfaat,
kritik utama terhadap skeptisisme adalah potensinya untuk melahirkan nihilisme
atau ketidakpercayaan total terhadap segala sesuatu. Jika keraguan dibiarkan tanpa
batas, skeptisisme dapat menghambat tindakan praktis dan melahirkan sikap
apatis (Stroud, 1984).
Untuk itu, tokoh seperti William James dalam
pragmatisme menekankan bahwa keraguan harus diimbangi dengan pencarian solusi
yang praktis. Skeptisisme, jika diterapkan secara moderat, menjadi alat
berpikir kritis yang membangun, bukan menghancurkan (James, 1907).
Catatan Kaki
[1]
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge, 2002.
[2]
Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding.
Oxford: Oxford University Press, 2000.
[3]
Al-Ghazali. The Incoherence of the Philosophers.
Trans. Michael Marmura. Brigham: Brigham Young University Press, 2000.
[4]
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason.
Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press,
1998.
[5]
Popkin, Richard H. The History of Scepticism:
From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press, 1979.
[6]
Foucault, Michel. Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings. New York: Pantheon Books, 1980.
[7]
Stroud, Barry. The Significance of Philosophical
Scepticism. Oxford: Clarendon Press, 1984.
[8]
James, William. Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co., 1907.
8.
Kritik
terhadap Filsafat Skeptisisme
8.1. Apakah Skeptisisme Bertentangan dengan Praktik
Kehidupan Nyata?
Kritik pertama terhadap filsafat skeptisisme adalah
bahwa skeptisisme, terutama dalam bentuk ekstremnya, bertentangan dengan
kehidupan praktis. Sextus Empiricus, sebagai representasi Pyrrhonisme,
menyarankan untuk menangguhkan penilaian (epoché) terhadap semua klaim
kebenaran. Namun, para kritikus berpendapat bahwa sikap ini tidak realistis dan
tidak praktis. Jika seseorang selalu meragukan segala sesuatu, maka ia akan
kesulitan untuk mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. David Hume
menyatakan bahwa meskipun keraguan teoretis bisa dimengerti, dalam praktiknya
manusia tetap harus bertindak berdasarkan keyakinan meskipun tidak memiliki
kepastian absolut (Hume, 2000).
Seperti yang dikemukakan oleh Bertrand Russell,
skeptisisme ekstrem tidak dapat dipertahankan secara konsisten karena kita
masih harus hidup dalam dunia nyata dan mengambil keputusan sehari-hari (Russell,
2007). Tanpa adanya keyakinan, bahkan tindakan sederhana seperti makan atau
berbicara akan menjadi mustahil.
8.2. Argumen Lingkaran: Skeptisisme sebagai Paradoks
Kritik kedua adalah bahwa skeptisisme sering kali
terjebak dalam argumen lingkaran atau bersifat kontradiktif. Jika
seorang skeptis menyatakan bahwa "tidak ada yang dapat diketahui dengan
pasti," maka pernyataan itu sendiri merupakan klaim pengetahuan yang
bertentangan dengan prinsip keraguan total. Dengan kata lain, skeptisisme
ekstrem meruntuhkan dirinya sendiri.
Hal ini dikritik oleh Immanuel Kant yang
menyatakan bahwa meskipun skeptisisme memberikan kritik penting terhadap
dogmatisme, skeptisisme tidak bisa menjadi fondasi filsafat yang stabil. Kant
berpendapat bahwa skeptisisme harus diatasi melalui pendekatan yang lebih
konstruktif, seperti sistem pengetahuan sintetis a priori (Kant,
1998).
8.3. Skeptisisme dan Nihilisme
Skeptisisme ekstrem dapat mengarah pada nihilisme,
yaitu pandangan bahwa tidak ada kebenaran, nilai, atau makna dalam hidup.
Nihilisme muncul ketika semua klaim kebenaran dianggap tidak valid, yang
berujung pada sikap apatis dan penolakan terhadap segala bentuk pengetahuan
atau moralitas. Friedrich Nietzsche memperingatkan bahaya nihilisme ini
dalam karya-karyanya, menyatakan bahwa keraguan yang tidak terkendali dapat
menghancurkan makna hidup manusia (Nietzsche, 1968).
Para pragmatis seperti William James
mengkritik skeptisisme karena dianggap destruktif dan tidak produktif. James
menyatakan bahwa keraguan harus diimbangi dengan tindakan praktis. Ia
menekankan bahwa pengetahuan dan keyakinan memiliki nilai praktis dalam
membantu manusia menjalani kehidupan (James, 1907).
8.4. Relativisme yang Berlebihan
Skeptisisme sering dikaitkan dengan relativisme,
yaitu pandangan bahwa kebenaran bersifat subjektif dan bergantung pada individu
atau budaya tertentu. Namun, kritik utama terhadap relativisme adalah bahwa ia
melemahkan dasar bagi dialog rasional dan pengetahuan objektif. Jika semua
klaim kebenaran dianggap sama validnya, maka tidak ada cara untuk membedakan
antara informasi yang benar dan yang salah.
Karl Popper mengkritik relativisme yang muncul dari skeptisisme, dengan menyatakan
bahwa sains berkembang melalui proses pengujian dan falsifikasi, bukan dengan
menolak kebenaran sama sekali. Popper menegaskan bahwa meskipun tidak ada
kepastian mutlak, kita tetap dapat mendekati kebenaran melalui metode ilmiah (Popper,
2002).
8.5. Kritik dari Rasionalisme dan Empirisme
Para rasionalis dan empiris memberikan kritik
mendasar terhadap skeptisisme. René Descartes, meskipun memulai dengan
keraguan metodis, akhirnya menemukan landasan pengetahuan yang tidak dapat
diragukan: Cogito, ergo sum ("Aku berpikir, maka aku ada").
Descartes membuktikan bahwa skeptisisme dapat diatasi dengan menggunakan akal
sebagai fondasi pengetahuan (Descartes, 1996).
Di sisi lain, John Locke dan George
Berkeley, sebagai empiris, berpendapat bahwa skeptisisme berlebihan
meremehkan kapasitas indera manusia untuk memberikan pengetahuan yang berguna.
Locke menyatakan bahwa pengalaman inderawi, meskipun tidak sempurna, tetap
menjadi dasar pengetahuan yang valid (Locke, 1979).
8.6. Skeptisisme sebagai Alat, Bukan Tujuan
Beberapa filsuf berpendapat bahwa skeptisisme
seharusnya dipandang sebagai alat untuk menguji klaim pengetahuan, bukan
sebagai tujuan akhir. Sikap skeptis yang moderat dapat mendorong pemikiran
kritis dan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi skeptisisme ekstrem justru
menghambat kemajuan.
Karl Popper dan William James menekankan bahwa keraguan harus bersifat
produktif. Skeptisisme yang konstruktif adalah skeptisisme yang membuka ruang
dialog, penelitian, dan inovasi tanpa menjerumuskan manusia ke dalam
keputusasaan atau nihilisme (Popper, 2002; James, 1907).
Catatan Kaki
[1]
Hume, David. An Enquiry Concerning Human
Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.
[2]
Russell, Bertrand. A History of Western
Philosophy. New York: Simon & Schuster, 2007.
[3]
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason.
Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press,
1998.
[4]
Nietzsche, Friedrich. The Will to Power.
Trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale. New York: Vintage Books, 1968.
[5]
James, William. Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co., 1907.
[6]
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge, 2002.
[7]
Descartes, René. Meditations on First Philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
[8]
Locke, John. An Essay Concerning Human
Understanding. Oxford: Clarendon Press, 1979.
9.
Kesimpulan
Filsafat skeptisisme merupakan aliran pemikiran
yang menekankan pada keraguan kritis terhadap klaim pengetahuan, baik
yang berasal dari indera, akal, maupun dogma. Skeptisisme, yang berakar dari
tradisi Yunani Kuno melalui pemikiran Pyrrho dari Elis dan sistematisasi
oleh Sextus Empiricus, mendorong manusia untuk menangguhkan penilaian (epoché)
sebagai respons terhadap keterbatasan akal dan persepsi inderawi. Sikap ini
bukan sekadar keraguan nihilistik, melainkan upaya untuk mencapai ketenangan
batin (ataraxia) dengan mengakui keterbatasan pengetahuan manusia (Sextus
Empiricus, 2000).
Pada masa modern, skeptisisme mengalami
transformasi signifikan. René Descartes menggunakan keraguan metodis
sebagai langkah epistemologis untuk menemukan landasan pengetahuan yang pasti: Cogito,
ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”). Di sisi lain, David Hume
memperluas skeptisisme dengan kritik terhadap induksi dan konsep sebab-akibat,
yang menggoyahkan fondasi empirisme (Hume, 2000; Descartes, 1996).
Implikasi skeptisisme terhadap kehidupan sangat
luas. Dalam ilmu pengetahuan, skeptisisme mendorong metode ilmiah yang
berbasis pengujian dan falsifikasi, sebagaimana dikembangkan oleh Karl
Popper (Popper, 2002). Dalam bidang etika dan agama,
skeptisisme menjadi alat untuk mengkritisi dogma, sehingga mendorong pemahaman
yang lebih reflektif dan mendalam (Kant, 1998; Al-Ghazali, 2000). Di era
kontemporer, skeptisisme berperan penting dalam menghadapi disinformasi dan
berita palsu dengan menanamkan budaya berpikir kritis.
Namun, skeptisisme tidak luput dari kritik. Para
rasionalis dan empiris berpendapat bahwa keraguan yang ekstrem dapat mengarah
pada nihilisme dan kontradiksi internal. Immanuel Kant menekankan
bahwa skeptisisme harus dilampaui melalui pendekatan konstruktif yang mengakui
batas-batas pengetahuan manusia tetapi tetap memberikan fondasi bagi
pengetahuan ilmiah (Kant, 1998). William James menegaskan bahwa
keraguan harus bersifat produktif dan praktis agar tidak berujung pada sikap
apatis (James, 1907).
Secara keseluruhan, skeptisisme adalah alat yang
berharga untuk menguji kebenaran dan menumbuhkan pemikiran kritis. Dalam
bentuknya yang moderat, skeptisisme memungkinkan manusia untuk mencapai
pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas, sambil tetap rendah hati dalam
menghadapi keterbatasan pengetahuan. Sikap skeptis yang seimbang membuka ruang
untuk dialog, penelitian, dan inovasi, menjadikannya fondasi bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, filsafat, dan kehidupan sehari-hari (Popkin, 1979;
Russell, 2007).
Catatan Kaki
[1]
Sextus Empiricus. Outlines of Pyrrhonism. Cambridge:
Harvard University Press, 2000.
[2]
Descartes, René. Meditations on First Philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
[3]
Hume, David. An Enquiry Concerning Human
Understanding. Oxford: Oxford University Press, 2000.
[4]
Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge, 2002.
[5]
Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason.
Trans. Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press,
1998.
[6]
Al-Ghazali. The Incoherence of the Philosophers.
Trans. Michael Marmura. Brigham: Brigham Young University Press, 2000.
[7]
James, William. Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking. New York: Longmans, Green, and Co., 1907.
[8]
Popkin, Richard H. The History of Scepticism:
From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press, 1979.
[9]
Russell, Bertrand. A History of Western
Philosophy. New York: Simon & Schuster, 2007.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the
philosophers (M. Marmura, Trans.). Brigham: Brigham Young University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Hume, D. (2000). An enquiry concerning human
understanding. Oxford: Oxford University Press.
James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some
old ways of thinking. New York: Longmans, Green, and Co.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Locke, J. (1979). An essay concerning human
understanding. Oxford: Clarendon Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.).
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Nietzsche, F. (1968). The will to power (W.
Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). New York: Vintage Books.
Popkin, R. H. (1979). The history of scepticism:
From Erasmus to Descartes. Berkeley: University of California Press.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery. London: Routledge.
Russell, B. (2007). A history of western
philosophy. New York: Simon & Schuster.
Sextus Empiricus. (2000). Outlines of Pyrrhonism
(R. G. Bury, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.
Stroud, B. (1984). The significance of
philosophical scepticism. Oxford: Clarendon Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
Lampiran: Aliran-Aliran Filsafat Skeptisisme
1)
Skeptisisme Pyrrhonian (Pyrrhonism)
o
Arti: Skeptisisme yang menekankan penangguhan penilaian (epoché)
untuk mencapai ketenangan batin (ataraxia).
o
Tokoh Utama: Pyrrho dari Elis, Timon dari Phlius, Sextus Empiricus.
2)
Skeptisisme Akademik (Academic
Skepticism)
o
Arti: Aliran skeptisisme yang berkembang di Akademi Plato dan menyatakan
bahwa kebenaran tidak dapat diketahui secara pasti.
o
Tokoh Utama: Arkesilaos, Karnades.
3)
Skeptisisme Modern (Modern
Skepticism)
o
Arti: Skeptisisme yang muncul di era modern sebagai kritik terhadap
klaim pengetahuan yang tidak terbukti.
o
Tokoh Utama: René Descartes, Michel de Montaigne.
4)
Skeptisisme Empiris (Empirical
Skepticism)
o
Arti: Keraguan terhadap klaim pengetahuan berdasarkan pengalaman
inderawi, dengan fokus pada keterbatasan indera.
o
Tokoh Utama: David Hume.
5)
Skeptisisme Metodis (Methodical
Skepticism)
o
Arti: Keraguan sistematis yang digunakan sebagai metode untuk menemukan
kebenaran.
o
Tokoh Utama: René Descartes.
6)
Skeptisisme Relatif (Relativistic
Skepticism)
o
Arti: Keyakinan bahwa kebenaran bersifat relatif dan bergantung pada
individu atau konteks tertentu.
o
Tokoh Utama: Protagoras.
7)
Skeptisisme Nihilistik (Nihilistic Skepticism)
o
Arti: Pandangan bahwa tidak ada kebenaran, nilai, atau makna yang dapat
diketahui atau diterima.
o
Tokoh Utama: Friedrich Nietzsche.
8)
Skeptisisme Epistemologis (Epistemological Skepticism)
o
Arti: Skeptisisme yang menekankan keraguan terhadap kemungkinan
pengetahuan atau kepastian epistemologis.
o
Tokoh Utama: Sextus Empiricus, Immanuel Kant.
9)
Skeptisisme Moral (Moral
Skepticism)
o
Arti: Keraguan terhadap adanya prinsip moral yang objektif atau
universal.
o
Tokoh Utama: David Hume, Friedrich Nietzsche.
10)
Skeptisisme Ilmiah (Scientific
Skepticism)
o
Arti: Sikap kritis yang menekankan pengujian klaim pengetahuan melalui
metode ilmiah dan falsifikasi.
o
Tokoh Utama: Karl Popper.
11)
Skeptisisme Linguistik (Linguistic Skepticism)
o
Arti: Keraguan terhadap kemampuan bahasa dalam merepresentasikan
realitas secara akurat.
o
Tokoh Utama: Ludwig Wittgenstein.
12)
Skeptisisme Praktis (Practical
Skepticism)
o
Arti: Sikap skeptis yang diterapkan dalam kehidupan praktis, bukan hanya
dalam wacana teoretis.
o
Tokoh Utama: Michel de Montaigne, William James.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar