Rabu, 13 November 2024

Pengetahuan: Perspektif Filsafat dari Klasik hingga Kontemporer

Pengetahuan

Perspektif Filsafat dari Klasik hingga Kontemporer


Alihkan ke: Pengetahuan Dalam Konteks Filsafat, Dimensi Pengetahuan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji perkembangan konsep pengetahuan (epistemologi) dalam filsafat dari masa klasik hingga era kontemporer. Dimulai dari definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief dalam pemikiran Plato, pembahasan dilanjutkan dengan eksplorasi terhadap klasifikasi pengetahuan, teori-teori kebenaran, serta syarat-syarat yang menjadikan suatu keyakinan sah sebagai pengetahuan. Artikel ini juga menyoroti berbagai sumber pengetahuan yang diakui dalam tradisi filsafat, seperti rasio, pengalaman, intuisi, wahyu, dan testimoni. Kritik terhadap kemungkinan dan batasan pengetahuan dikaji melalui pendekatan skeptisisme, positivisme, postmodernisme, dan dekonstruksi. Di bagian akhir, artikel membahas tantangan kontemporer seperti fenomena post-truth, epistemic injustice, serta perubahan struktur otoritas pengetahuan dalam era digital. Dengan pendekatan komprehensif dan interdisipliner, artikel ini berupaya menunjukkan bahwa epistemologi bukan sekadar studi tentang apa yang kita ketahui, tetapi juga bagaimana, mengapa, dan untuk siapa pengetahuan itu dibentuk dan digunakan. Refleksi kritis terhadap dinamika pengetahuan ini menjadi penting untuk membangun fondasi intelektual yang kuat, etis, dan relevan dalam menghadapi kompleksitas zaman.

Kata Kunci: Epistemologi, Pengetahuan, Justified True Belief, Gettier, Rasionalisme, Empirisme, Wahyu, Postmodernisme, Post-truth, Epistemic Injustice.


PEMBAHASAN

Menelusuri Hakikat Pengetahuan


1.           Pendahuluan

Filsafat sepanjang sejarahnya telah berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas, kebenaran, moralitas, dan tentu saja, pengetahuan. Di antara cabang-cabang filsafat lainnya, epistemologi—yaitu cabang filsafat yang membahas asal-usul, batasan, dan validitas pengetahuan—memegang posisi yang sangat penting. Hal ini dikarenakan setiap bentuk pemikiran filsafat maupun ilmu pengetahuan lainnya, secara eksplisit atau implisit, mengandaikan adanya bentuk tertentu dari pengetahuan yang dianggap sah dan benar. Sebagaimana dinyatakan oleh Bertrand Russell, “Filsafat dimulai dengan rasa ingin tahu, seperti halnya sains; namun ia berakhir dengan kesadaran akan keterbatasan pengetahuan.”_¹

Perdebatan mengenai apa itu pengetahuan, bagaimana kita mengetahuinya, serta apa yang membuat sebuah keyakinan menjadi pengetahuan yang sah telah berlangsung sejak zaman Yunani Kuno. Plato, dalam dialog Theaetetus, merumuskan definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief atau kepercayaan yang benar dan dibenarkan.² Definisi ini, meski tampak sederhana, memicu perdebatan epistemologis yang panjang hingga masa kontemporer. Seiring berjalannya waktu, berbagai aliran filsafat seperti rasionalisme, empirisme, skeptisisme, fenomenologi, hingga konstruktivisme sosial memberikan kontribusi penting terhadap perluasan cakrawala pemahaman kita mengenai pengetahuan.

Relevansi pembahasan tentang pengetahuan tidak hanya bersifat teoritis, melainkan juga praktis. Dalam era informasi dan post-truth saat ini, di mana batas antara fakta dan opini kian kabur, muncul pertanyaan baru: Bagaimana kita dapat membedakan pengetahuan yang sah dari sekadar klaim atau narasi?³ Dalam konteks ini, epistemologi tidak lagi menjadi wacana elitis para filsuf, melainkan menjadi kebutuhan dasar untuk mempertahankan integritas intelektual dan keberlangsungan masyarakat yang rasional.

Lebih dari itu, tradisi filsafat non-Barat juga telah menyumbangkan kekayaan perspektif terhadap konsep pengetahuan. Dalam filsafat Islam, misalnya, pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui akal dan pengalaman, tetapi juga melalui intuisi dan wahyu, sebagaimana ditegaskan oleh tokoh seperti Al-Ghazali dan Mulla Sadra.⁴ Pendekatan ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa bersifat holistik dan tidak semata-mata reduksionis, suatu gagasan yang akhir-akhir ini juga mendapatkan perhatian dalam epistemologi post-kolonial.

Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk menyusuri dan menelaah berbagai pendekatan filsafat terhadap pengetahuan, mulai dari masa klasik hingga kontemporer, baik dari tradisi Barat maupun Timur. Harapannya, pembaca dapat memahami kompleksitas epistemologi serta menemukan relevansi praktisnya dalam kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 1.

[2]                Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d–210d.

[3]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 5–6.

[4]                Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952); Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfar al-Arba‘a), trans. and ed. Ibrahim Kalin (London: Islamic Texts Society, 2008).


2.           Pengertian Pengetahuan dalam Filsafat

Dalam konteks filsafat, pengetahuan bukan sekadar informasi yang dikumpulkan atau data yang dihafalkan, melainkan sebuah konsep kompleks yang berkaitan erat dengan kepercayaan, kebenaran, dan justifikasi. Secara etimologis, istilah pengetahuan berasal dari bahasa Yunani epistēmē yang berarti ilmu atau pengetahuan sejati, berbeda dari doxa yang berarti opini atau pendapat semata.¹ Dari sinilah muncul cabang filsafat yang dikenal sebagai epistemologi, yakni studi kritis dan sistematis tentang sifat, sumber, batas, dan validitas pengetahuan.

Secara umum, pengetahuan dalam filsafat dipahami sebagai kepercayaan yang benar dan memiliki justifikasi (justified true belief). Formulasi klasik ini pertama kali dikemukakan secara eksplisit oleh Plato dalam dialog Theaetetus, di mana ia mencoba membedakan antara pengetahuan sejati dan sekadar opini yang belum diverifikasi secara logis dan empiris.² Menurut definisi ini, agar seseorang dapat dikatakan “mengetahui” sesuatu, maka ia harus (1) meyakini kebenaran proposisi tersebut, (2) proposisi itu memang benar, dan (3) ia memiliki alasan atau justifikasi yang memadai untuk mempercayainya.

Namun, definisi tersebut tidak luput dari kritik. Salah satu kritik paling terkenal datang dari Edmund Gettier melalui artikel pendeknya pada tahun 1963 yang berjudul Is Justified True Belief Knowledge?.³ Dalam artikel tersebut, Gettier menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki kepercayaan yang benar dan dibenarkan, namun tetap secara intuitif gagal untuk disebut “mengetahui” karena justifikasi yang digunakan bersifat kebetulan atau tidak langsung berhubungan dengan kebenaran yang diyakini. Ini memunculkan apa yang kemudian dikenal sebagai Gettier problem, yaitu tantangan terhadap kecukupan definisi pengetahuan klasik.

Selain definisi klasik tersebut, dalam wacana filsafat modern dan kontemporer, konsep pengetahuan mengalami perluasan. Misalnya, Gilbert Ryle membedakan antara “knowing that” (pengetahuan proposisional) dan “knowing how” (pengetahuan praktis).⁴ Sementara itu, Michael Polanyi memperkenalkan istilah tacit knowledge—pengetahuan yang kita miliki tetapi sulit diartikulasikan secara verbal, seperti keterampilan mengendarai sepeda atau memainkan alat musik.⁵

Dalam filsafat Islam, pengetahuan (‘ilm) tidak hanya mencakup pengetahuan rasional, tetapi juga pengetahuan intuitif dan spiritual. Al-Ghazali membagi pengetahuan menjadi dua kategori besar: pengetahuan lahiriah (‘ilm al-zahir) yang diperoleh melalui pancaindra dan akal, dan pengetahuan batiniah (‘ilm al-batin) yang diperoleh melalui penyucian jiwa dan pencerahan ilahi.⁶ Konsep ini memperluas cakrawala epistemologi dengan memasukkan dimensi spiritual dan eksistensial sebagai bagian integral dari proses mengetahui.

Dengan demikian, pengertian pengetahuan dalam filsafat mencakup dimensi yang jauh lebih luas dibandingkan pemahaman sehari-hari. Ia merupakan perpaduan antara keyakinan, kebenaran, justifikasi, serta konteks epistemik yang melingkupinya—baik dalam kerangka rasional, empiris, maupun spiritual. Dalam konteks inilah epistemologi menjadi pusat dari banyak perdebatan filosofis yang tidak hanya mempengaruhi ilmu pengetahuan, tetapi juga etika, politik, dan kehidupan personal manusia.


Footnotes

[1]                Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2004), 226.

[2]                Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d–210d.

[3]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[4]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1949), 25–28.

[5]                Michael Polanyi, The Tacit Dimension (New York: Doubleday, 1966), 4–6.

[6]                Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952), 32–35.


3.           Klasifikasi Pengetahuan

Dalam wacana filsafat, pengetahuan tidak dipahami sebagai entitas tunggal, melainkan terbagi ke dalam berbagai bentuk berdasarkan sumber, sifat, maupun cara pencapaiannya. Klasifikasi ini penting karena masing-masing jenis pengetahuan memiliki karakteristik epistemologis tersendiri, serta memunculkan metode dan pendekatan yang berbeda dalam mencari kebenaran. Beberapa bentuk klasifikasi pengetahuan yang paling berpengaruh dalam tradisi filsafat antara lain adalah pembedaan antara a priori dan a posteriori, pengetahuan proposisional dan praktis, serta pengetahuan langsung dan tidak langsung.

3.1.       Pengetahuan a priori dan a posteriori

Pembedaan antara pengetahuan a priori dan a posteriori merupakan warisan penting dari filsafat modern, terutama oleh Immanuel Kant. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang diperoleh secara independen dari pengalaman, sedangkan a posteriori diperoleh melalui pengalaman empirik.¹ Misalnya, proposisi matematika seperti “2 + 2 = 4” dianggap a priori karena kebenarannya dapat diketahui tanpa perlu observasi, sedangkan proposisi seperti “Air mendidih pada suhu 100°C” adalah a posteriori karena bergantung pada pengalaman dunia nyata.

Kant menjelaskan bahwa meskipun pengetahuan a priori tidak berasal dari pengalaman, ia tetap mungkin digunakan untuk memahami pengalaman itu sendiri melalui struktur bawaan pikiran manusia.² Inilah yang mendasari revolusi kopernikan Kant dalam filsafat, bahwa subjek turut aktif dalam membentuk objek pengetahuan, bukan sekadar pasif menerima informasi.

3.2.       Pengetahuan Proposisional (Knowing That) dan Praktis (Knowing How)

Dalam karya The Concept of Mind, Gilbert Ryle membedakan antara dua jenis pengetahuan penting: knowing that (pengetahuan proposisional) dan knowing how (pengetahuan praktis).³ Knowing that merujuk pada pengetahuan yang dapat dirumuskan dalam bentuk proposisi atau pernyataan, seperti “Bumi mengelilingi Matahari.” Sementara itu, knowing how mencakup keterampilan atau keahlian, seperti “mengetahui cara mengendarai sepeda,” yang tidak selalu dapat dijelaskan secara verbal tetapi dapat diterapkan dalam tindakan.

Distingsi ini menyoroti bahwa tidak semua bentuk pengetahuan dapat direduksi menjadi proposisi-proposisi. Bahkan, dalam banyak aspek kehidupan praktis, pengetahuan dalam bentuk know-how justru lebih dominan dan esensial.

3.3.       Pengetahuan Langsung dan Tidak Langsung

Bertrand Russell mengemukakan pembagian pengetahuan menjadi dua: knowledge by acquaintance (pengetahuan langsung) dan knowledge by description (pengetahuan tidak langsung).⁴ Pengetahuan langsung adalah pengetahuan yang diperoleh melalui hubungan langsung dengan objeknya, seperti persepsi terhadap warna merah atau rasa sakit. Sementara itu, pengetahuan tidak langsung diperoleh melalui perantara, seperti membaca tentang suatu negara yang belum pernah kita kunjungi.

Klasifikasi ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, manusia membangun pengetahuannya berdasarkan deskripsi dan representasi, bukan pengalaman langsung. Hal ini sangat relevan dalam era informasi modern, ketika pengetahuan banyak diperoleh dari media, buku, atau internet.

3.4.       Pengetahuan Eksplisit dan Tersirat

Selain itu, Michael Polanyi memperkenalkan konsep tacit knowledge—pengetahuan yang kita miliki namun sulit diekspresikan secara verbal.⁵ Misalnya, seorang tukang kayu ahli mungkin tidak mampu menjelaskan semua gerakan intuitif yang ia lakukan saat mengukir, namun pengetahuan itu tetap nyata dan efektif. Ia membedakan ini dari explicit knowledge, yaitu pengetahuan yang dapat dikomunikasikan secara jelas, misalnya dalam bentuk buku atau manual.

3.5.       Klasifikasi dalam Epistemologi Islam

Dalam epistemologi Islam, klasifikasi pengetahuan juga mencakup dimensi yang tidak ditemukan dalam filsafat Barat klasik. Ibn Sina membagi pengetahuan ke dalam dua jenis utama: pengetahuan yang diperoleh (ilm al-husuli) dan pengetahuan yang hadir (ilm al-huduri).⁶ Ilm al-husuli mirip dengan pengetahuan konseptual yang diperoleh melalui proses kognitif, sementara ilm al-huduri adalah pengetahuan intuitif dan langsung, seperti kesadaran diri atau pengetahuan Allah terhadap makhluk-Nya. Pembagian ini menggarisbawahi peran penting intuisi, iluminasi, dan pengalaman spiritual dalam tradisi filsafat Islam.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 136–139.

[2]                Ibid., 144–145.

[3]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1949), 25–32.

[4]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1912), 46–50.

[5]                Michael Polanyi, The Tacit Dimension (New York: Doubleday, 1966), 4–10.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 99–102.


4.           Teori-teori Kebenaran Pengetahuan

Kebenaran merupakan unsur esensial dalam definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief.¹ Tanpa kebenaran, keyakinan atau kepercayaan tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan sejati. Namun, apa yang dimaksud dengan “kebenaran” sendiri telah menjadi pokok perdebatan panjang dalam filsafat. Sepanjang sejarah, para filsuf telah mengembangkan berbagai teori kebenaran untuk menjelaskan syarat objektivitas dan validitas pengetahuan. Setidaknya ada empat teori kebenaran utama yang menjadi rujukan dalam epistemologi: korespondensi, koherensi, pragmatis, dan konstruktivis.

4.1.       Teori Kebenaran Korespondensi

Teori korespondensi merupakan teori kebenaran yang paling klasik dan intuitif. Ia menyatakan bahwa suatu proposisi adalah benar apabila sesuai (berkorespondensi) dengan realitas atau fakta yang ada di dunia.² Aristoteles dalam Metaphysics menyatakan, “Untuk mengatakan bahwa yang ada itu tidak ada, atau bahwa yang tidak ada itu ada, adalah salah; dan untuk mengatakan bahwa yang ada itu ada, atau yang tidak ada itu tidak ada, adalah benar.”_³

Teori ini telah menjadi fondasi bagi banyak pendekatan ilmiah dan rasional dalam memahami dunia. Namun demikian, teori ini juga menghadapi tantangan ketika diterapkan pada proposisi-proposisi non-empiris, seperti dalam matematika, moralitas, atau metafisika. Selain itu, pertanyaan tentang bagaimana kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa suatu proposisi benar-benar sesuai dengan realitas menjadi tantangan epistemologis tersendiri.

4.2.       Teori Kebenaran Koherensi

Berbeda dari korespondensi, teori koherensi menyatakan bahwa suatu proposisi adalah benar jika ia secara konsisten dan logis cocok dengan sistem kepercayaan atau proposisi lainnya yang telah diterima sebagai benar.⁴ Teori ini lebih menekankan pada kesalingterhubungan internal dari proposisi dalam suatu sistem, bukan pada hubungan langsung dengan realitas objektif.

Tokoh-tokoh seperti Benedictus de Spinoza dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel banyak menggunakan pendekatan ini dalam sistem filsafat mereka yang bersifat holistik.⁵ Dalam konteks ilmu pengetahuan, teori koherensi sering digunakan dalam teori-teori ilmiah yang saling mendukung satu sama lain dalam kerangka logika dan konsistensi, meski mungkin belum terverifikasi secara empiris.

Namun, kritik terhadap teori ini menyatakan bahwa sistem yang koheren belum tentu mencerminkan realitas yang sebenarnya. Dua sistem keyakinan yang saling bertentangan bisa saja masing-masing koheren secara internal, tapi tidak berarti keduanya benar secara objektif.

4.3.       Teori Kebenaran Pragmatis

Teori pragmatis menilai kebenaran berdasarkan manfaat praktis dan konsekuensi aplikatif dari suatu proposisi.⁶ Suatu ide dianggap benar jika ia “berfungsi”, memberi hasil yang memuaskan dalam pengalaman, atau terbukti berguna dalam memecahkan masalah. Tokoh utama teori ini adalah Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey.

William James menyatakan bahwa “kebenaran adalah apa yang terbukti bermanfaat untuk diyakini.”_⁷ Dengan kata lain, kebenaran bukanlah sesuatu yang bersifat statis dan absolut, tetapi berkembang sesuai dengan konteks dan pengalaman.

Kritik terhadap teori ini datang dari mereka yang melihat adanya risiko relativisme, yaitu ketika kebenaran ditentukan oleh utilitas semata, tanpa tolok ukur objektif. Sebuah keyakinan bisa jadi “berguna” dalam satu konteks tapi tidak dalam konteks lain, atau bahkan menyesatkan.

4.4.       Teori Kebenaran Konstruktivis dan Postmodern

Dalam perspektif postmodernisme dan konstruktivisme sosial, kebenaran dianggap sebagai produk konstruksi sosial dan bahasa, bukan sebagai representasi objektif dari realitas eksternal.⁸ Tokoh seperti Michel Foucault dan Richard Rorty menolak gagasan kebenaran universal yang tunggal, dan lebih menekankan pada hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan narasi dominan.

Menurut Foucault, setiap rezim pengetahuan menghasilkan “rejim kebenaran” yang ditentukan oleh struktur kekuasaan dan institusi sosial.⁹ Kebenaran, dalam kerangka ini, bersifat historis, politis, dan berubah-ubah.

Meskipun pendekatan ini memberikan kontribusi besar dalam mengkritik dominasi narasi tunggal dalam epistemologi Barat, ia juga dikritik karena berpotensi merelatifkan semua klaim kebenaran hingga tidak ada pijakan epistemik yang stabil sama sekali.


Penutup Subbab

Keempat teori ini menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah konsep tunggal yang disepakati semua pihak, melainkan medan perdebatan yang dinamis dan sarat nuansa. Dalam praktiknya, berbagai teori kebenaran ini bisa saling melengkapi tergantung pada konteks penggunaan, jenis proposisi yang dibahas, dan disiplin ilmu yang diterapkan.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d.

[2]                Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001), 1011b25.

[4]                Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 87–90.

[5]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), Preface.

[6]                William James, Pragmatism (New York: Longmans, Green & Co., 1907), 34–37.

[7]                Ibid., 45.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 385–386.

[9]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–132.


5.           Syarat-Syarat Pengetahuan yang Sahih

Sejak masa Yunani Kuno, filsuf telah berupaya membedakan antara opini (doxa) dan pengetahuan sejati (epistēmē). Pembedaan ini menjadi penting karena tidak semua hal yang diyakini seseorang dapat dikategorikan sebagai pengetahuan. Oleh karena itu, para filsuf mengajukan sejumlah syarat agar suatu keyakinan dapat dianggap sebagai pengetahuan yang sahih (genuine knowledge).


5.1.       Justified True Belief: Model Klasik

Model paling berpengaruh dalam sejarah epistemologi Barat adalah definisi klasik pengetahuan sebagai kepercayaan yang benar dan dibenarkan (justified true belief). Formulasi ini secara sistematis dijelaskan oleh Plato dalam Theaetetus, meskipun masih bersifat problematis dalam dialog tersebut.¹ Menurut model ini, agar seseorang dapat dikatakan “mengetahui” suatu proposisi PP, maka tiga syarat harus terpenuhi:

1)                  Kepercayaan (belief) – Subjek S percaya bahwa PP benar.

2)                  Kebenaran (truth) – Proposisi PP memang benar secara faktual.

3)                  Justifikasi (justification) – S memiliki alasan atau pembenaran yang memadai untuk percaya bahwa PP benar.²

Model ini telah lama dijadikan kerangka utama dalam epistemologi, terutama karena memberikan struktur analitis yang jelas untuk mengevaluasi klaim pengetahuan.

5.2.       Kritik Gettier dan Masalah Epistemik

Definisi klasik ini mulai dipertanyakan secara serius setelah Edmund Gettier menerbitkan artikel singkat namun revolusioner berjudul Is Justified True Belief Knowledge? pada tahun 1963.³ Dalam artikel tersebut, Gettier menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki kepercayaan yang benar dan dibenarkan, tetapi hanya kebetulan bahwa kepercayaannya benar. Artinya, justifikasi yang diberikan tidak secara langsung menjamin kebenaran proposisi tersebut.

Contoh kasus Gettier (seperti proposisi “Orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki sepuluh koin di sakunya” berdasarkan bukti keliru namun hasilnya benar) menunjukkan adanya celah epistemik dalam model justified true belief.⁴ Sejak saat itu, para filsuf epistemologi berlomba-lomba mengajukan revisi atau perluasan model tersebut agar mampu mengatasi Gettier problem.

5.3.       Reliabilisme dan Epistemologi Kebajikan

Salah satu pendekatan kontemporer yang muncul sebagai tanggapan terhadap kritik Gettier adalah reliabilisme. Teori ini berargumen bahwa yang penting bukan hanya justifikasi internal, tetapi juga proses kognitif yang digunakan harus dapat diandalkan (reliable).⁵ Artinya, suatu keyakinan dapat disebut sebagai pengetahuan jika dihasilkan oleh mekanisme kognitif yang biasanya menghasilkan kebenaran—seperti persepsi yang normal, ingatan yang sehat, atau deduksi logis.

Pendekatan lain yang penting adalah epistemologi kebajikan (virtue epistemology), yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari kapasitas intelektual yang unggul atau kebajikan kognitif seperti kejujuran intelektual, ketelitian, dan kerendahan hati epistemik.⁶ Menurut tokoh seperti Ernest Sosa, pengetahuan adalah keyakinan benar yang diperoleh karena kecakapan intelektual seseorang, bukan karena keberuntungan.⁷ Dengan kata lain, pengetahuan bukan hanya tentang proposisi dan justifikasinya, tetapi juga tentang karakter epistemik si pencari kebenaran.

5.4.       Menuju Syarat-Syarat yang Lebih Holistik

Seiring berkembangnya filsafat dan ilmu pengetahuan, pendekatan terhadap syarat-syarat pengetahuan pun menjadi lebih holistik dan interdisipliner. Dalam banyak konteks, misalnya pendidikan atau kebijakan publik, pengetahuan tidak hanya dinilai berdasarkan logika dan keabsahan metodologis, tetapi juga mencakup dimensi sosial, budaya, dan etis.

Dalam filsafat Islam, pengetahuan yang sahih tidak hanya harus benar secara rasional dan empiris, tetapi juga berlandaskan pada sumber-sumber ilahiyah. Al-Ghazali menegaskan pentingnya penyucian hati (tazkiyatun nafs) sebagai prasyarat bagi pengetahuan yang benar, karena hawa nafsu dan bias batin dapat mengaburkan kebenaran.⁸ Dengan demikian, kriteria epistemik dalam filsafat Islam mencakup dimensi moral dan spiritual selain dimensi intelektual.


Penutup Subbab

Berbagai model dan pendekatan ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang sahih tidak bisa direduksi hanya pada satu dimensi saja. Ia harus memenuhi syarat kognitif (percaya dan benar), epistemologis (justifikasi atau reliabilitas), serta dalam beberapa tradisi juga syarat moral dan spiritual. Pemahaman ini menjadi penting, terutama dalam era informasi saat ini, di mana kebenaran sering dikaburkan oleh opini dan manipulasi.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d–210d.

[2]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition.

[3]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[4]                Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 30–33.

[5]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 50–58.

[6]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 13–15.

[7]                Ernest Sosa, “Knowledge in Perspective: Selected Essays in Epistemology” (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 225–230.

[8]                Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952), 44–48.


6.           Sumber-Sumber Pengetahuan

Dalam kajian epistemologi, pembahasan mengenai sumber pengetahuan menjadi krusial karena berkaitan langsung dengan keabsahan dan legitimasi dari apa yang disebut sebagai “pengetahuan”. Sejak zaman kuno, para filsuf telah mengidentifikasi dan memperdebatkan berbagai sumber yang memungkinkan manusia memperoleh pengetahuan. Di antara sumber-sumber utama yang paling sering dikaji dan dijadikan tolok ukur epistemologis adalah rasio, pengalaman indrawi, intuisi, wahyu, dan otoritas. Masing-masing sumber memiliki peran, kekuatan, dan keterbatasan tertentu, tergantung pada konteks filsafat dan budaya tempat gagasan tersebut berkembang.

6.1.       Rasionalisme: Pengetahuan dari Akal

Rasionalisme adalah pandangan epistemologis yang menekankan bahwa akal (reason) adalah sumber utama dan paling dapat diandalkan dalam memperoleh pengetahuan, terutama pengetahuan yang bersifat universal dan niscaya. Tokoh-tokoh seperti René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz percaya bahwa akal manusia memiliki kemampuan bawaan untuk menemukan kebenaran melalui deduksi logis tanpa harus bergantung pada pengalaman indrawi.¹

Descartes dalam Meditations on First Philosophy menyatakan bahwa satu-satunya landasan pengetahuan yang tak diragukan adalah kemampuan berpikir itu sendiri, sebagaimana dalam cogito-nya yang terkenal: Cogito ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”).² Menurut para rasionalis, kebenaran matematika dan prinsip logika merupakan contoh pengetahuan yang tidak tergantung pada pengalaman, melainkan dapat diketahui melalui akal murni.

6.2.       Empirisme: Pengetahuan dari Pengalaman

Berbeda dari rasionalisme, empirisme menegaskan bahwa pengalaman indrawi (sense experience) adalah sumber utama pengetahuan. Filsuf seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume berpendapat bahwa manusia dilahirkan tanpa pengetahuan bawaan (tabula rasa), dan semua pengetahuan berasal dari pengalaman, baik eksternal melalui pancaindra maupun internal melalui refleksi.³

Locke menyatakan bahwa “tidak ada sesuatu pun dalam intelek kecuali sebelumnya ada dalam indera” (nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu).⁴ David Hume melangkah lebih jauh dengan meragukan eksistensi hubungan sebab-akibat sebagai sesuatu yang benar-benar bisa diketahui secara pasti, karena semua hubungan tersebut hanyalah asosiasi ide yang sering terjadi berdasarkan kebiasaan (habit).⁵

6.3.       Intuisi: Pengetahuan Langsung dan Non-Diskursif

Intuisi adalah bentuk pengetahuan yang diperoleh secara langsung dan seketika, tanpa melalui proses penalaran atau pembuktian empiris. Dalam filsafat Barat, intuisi sering dianggap sebagai bentuk a priori knowledge yang dirasakan langsung oleh pikiran.⁶ Henri Bergson, filsuf Prancis abad ke-20, menempatkan intuisi sebagai kemampuan mendalam untuk memahami hakikat waktu dan kehidupan, melampaui apa yang dapat dicapai oleh akal atau metode ilmiah.⁷

Dalam konteks ini, intuisi dianggap sebagai sarana untuk mencapai bentuk kebenaran yang lebih eksistensial dan personal, terutama dalam bidang seni, spiritualitas, dan moralitas.

6.4.       Wahyu: Sumber Transenden dalam Tradisi Keagamaan

Dalam filsafat Islam dan teologi monoteistik secara umum, wahyu (revelation) dipandang sebagai sumber pengetahuan tertinggi dan paling otoritatif karena berasal langsung dari Tuhan. Wahyu tidak bisa dicapai oleh akal atau pengalaman semata, tetapi diterima oleh para nabi sebagai petunjuk ilahi.⁸

Al-Ghazali membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang diperoleh (ilm kasbi) dan pengetahuan yang diberikan oleh Allah secara langsung melalui ilham atau wahyu (ilm ladunni).⁹ Sumber ini berperan penting dalam memahami dimensi metafisik dan moral dari realitas, yang tidak dapat diakses oleh akal atau indera.

6.5.       Otoritas dan Testimoni: Pengetahuan dari Orang Lain

Meskipun sering diabaikan dalam epistemologi klasik, pengetahuan yang diperoleh dari otoritas atau kesaksian (testimoni) memainkan peran besar dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar informasi yang kita ketahui, seperti sejarah, sains, atau berita, tidak berasal dari pengalaman langsung, tetapi dari kepercayaan terhadap otoritas yang kompeten.

Filsuf kontemporer seperti Elizabeth Fricker menekankan bahwa testimoni merupakan bentuk sumber pengetahuan yang sah, asalkan terdapat alasan untuk mempercayai kredibilitas sumbernya.¹⁰ Dalam masyarakat modern yang kompleks, pengetahuan berbasis otoritas menjadi tak terhindarkan dan memerlukan prinsip evaluatif yang jelas.


Penutup Subbab

Beragamnya sumber pengetahuan mencerminkan kompleksitas realitas manusia dalam memahami dunia dan dirinya sendiri. Tidak ada satu sumber pun yang bisa mengklaim supremasi mutlak, karena masing-masing memiliki konteks, fungsi, dan batasnya. Dalam dunia filsafat dan juga dalam kehidupan praktis, integrasi yang kritis terhadap berbagai sumber ini menjadi kunci dalam membangun pengetahuan yang utuh, sahih, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (London: Routledge, 2002), 24–27.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1975), Book II, Chapter I.

[4]                Ibid., II.I.2.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Section IV.

[6]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2002), 88.

[7]                Henri Bergson, An Introduction to Metaphysics, trans. T.E. Hulme (New York: Macmillan, 1912), 24–29.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 75–78.

[9]                Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952), 55–58.

[10]             Elizabeth Fricker, “Second-Hand Knowledge,” Philosophy and Phenomenological Research 73, no. 3 (2006): 592–618.


7.           Kritik terhadap Kemungkinan dan Batasan Pengetahuan

Seiring perkembangan filsafat, muncul pula keraguan mendasar terhadap kemungkinan memperoleh pengetahuan yang benar-benar sahih dan universal. Berbagai aliran filsafat telah mengajukan kritik terhadap kemampuan manusia dalam mengetahui realitas secara utuh, baik melalui akal, pengalaman, maupun metode ilmiah. Kritik ini membuka cakrawala reflektif mengenai batas epistemik—yakni keterbatasan cara berpikir, persepsi, bahasa, dan bahkan paradigma kognitif dalam mengakses kebenaran.

7.1.       Skeptisisme: Keraguan sebagai Titik Awal dan Tantangan

Skeptisisme adalah posisi epistemologis yang menyangsikan atau bahkan menolak kemungkinan pengetahuan yang pasti. Akar skeptisisme dapat ditelusuri kembali ke Pyrrho dari Elis, yang berpendapat bahwa karena indra dan akal kita sering menyesatkan, maka sikap terbaik adalah epokhē (menahan penilaian).¹

Dalam filsafat modern, skeptisisme dipopulerkan oleh René Descartes dalam Meditations on First Philosophy, yang secara metodologis meragukan segala hal—indera, tubuh, bahkan matematika—demi mencari landasan yang tak terbantahkan bagi pengetahuan.² Ia akhirnya menemukan fondasi tersebut dalam cogito: “Aku berpikir, maka aku ada.”

Namun, skeptisisme radikal muncul dalam karya David Hume, yang menunjukkan bahwa kita tidak pernah benar-benar mengetahui hubungan sebab-akibat; yang kita lihat hanyalah rangkaian kebiasaan (habitual conjunction), bukan kepastian logis.³ Ini menimbulkan problem serius bagi ilmu pengetahuan dan filsafat, karena meragukan dasar rasional dari pengetahuan empiris.

7.2.       Kritik Positivisme: Batas Metodologi Ilmiah

Pada abad ke-20, positivisme logis yang dikembangkan oleh Lingkaran Wina mengusulkan bahwa pernyataan hanya bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris atau secara logis.⁴ Akan tetapi, teori ini sendiri gagal memenuhi kriterianya: pernyataan “semua pernyataan bermakna harus dapat diverifikasi” tidak bisa diverifikasi secara empiris, sehingga menjadi self-refuting.

Karl Popper mengkritik prinsip verifikasi dan menggantinya dengan falsifikasi: teori ilmiah tidak pernah dapat dibuktikan benar, hanya bisa dibuktikan salah.⁵ Meskipun falsifikasi menjadi kontribusi penting bagi filsafat ilmu, pendekatan ini tetap menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat tentatif dan terbuka untuk direvisi, bukan absolut.

7.3.       Relativisme Epistemik dan Postmodernisme

Dalam konteks postmodern, kritik terhadap pengetahuan berkembang menjadi relativisme epistemik, yakni pandangan bahwa kebenaran dan pengetahuan bersifat relatif terhadap konteks budaya, bahasa, dan kekuasaan. Tokoh seperti Michel Foucault menyatakan bahwa pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari struktur kekuasaan; setiap rezim kebenaran dibentuk oleh wacana dominan dan institusi sosial.⁶

Jean-François Lyotard, dalam The Postmodern Condition, menolak narasi besar (grand narratives) yang mengklaim kebenaran universal.⁷ Sebagai gantinya, ia menyarankan agar kita menghargai keragaman bentuk-bentuk pengetahuan kecil dan lokal (petits récits), termasuk pengalaman subjektif dan ekspresi budaya minoritas.

Namun, relativisme ini menghadapi kritik keras karena dianggap meniadakan dasar obyektif untuk menilai antara pengetahuan yang sah dan yang keliru, serta membuka ruang bagi disinformasi dan manipulasi opini publik dalam era post-truth.⁸

7.4.       Krisis Representasi dan Bahasa

Sejumlah filsuf kontemporer, seperti Jacques Derrida, mengajukan kritik lebih lanjut terhadap kemampuan bahasa untuk merepresentasikan realitas secara akurat. Dalam pandangan dekonstruktif, makna selalu ditunda (différance) dan tak pernah hadir secara final.⁹ Ini berarti setiap klaim pengetahuan yang disampaikan melalui bahasa selalu bersifat terbuka, ambigu, dan dipengaruhi oleh permainan tanda (play of signifiers).

Pendekatan ini memperluas kritik epistemologis ke ranah linguistik dan semiotik, serta menunjukkan bahwa pengetahuan tidak pernah bebas nilai dan tidak mungkin sepenuhnya objektif.


Penutup Subbab

Kritik-kritik ini tidak harus dipahami sebagai penolakan terhadap pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai peringatan akan keterbatasannya. Skeptisisme, relativisme, dan dekonstruksi epistemik justru dapat menjadi pengingat akan perlunya kerendahan hati intelektual, serta dorongan untuk terus merefleksikan dasar-dasar keyakinan kita. Dalam dunia yang kompleks dan penuh informasi seperti sekarang, kesadaran akan batas pengetahuan menjadi bagian dari kearifan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 3–5.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 16–22.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Section IV.

[4]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books, 2001 [1936]), 16–20.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002 [1959]), 33–34.

[6]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–132.

[7]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[8]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 9–11.

[9]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 61–63.


8.           Pengetahuan dalam Era Kontemporer

Memasuki abad ke-21, tantangan epistemologis mengalami transformasi yang signifikan. Perkembangan teknologi informasi, globalisasi budaya, dan kompleksitas sosial-politik telah menciptakan ekosistem pengetahuan yang sangat berbeda dari era sebelumnya. Pengetahuan kini tidak lagi dimonopoli oleh lembaga akademik atau otoritas tradisional, melainkan tersebar dalam jaringan digital yang cair, cepat, dan sering kali tidak terverifikasi. Dalam konteks inilah muncul keprihatinan baru terkait validitas, otoritas, dan etika pengetahuan kontemporer.

8.1.       Pengetahuan dalam Filsafat Analitik Kontemporer

Dalam tradisi filsafat analitik, diskursus epistemologi terus berkembang setelah munculnya problem Gettier. Isu-isu baru seperti epistemologi sosial, epistemologi kebajikan, dan epistemologi kontekstual menjadi sorotan penting.⁽¹⁾

Misalnya, Alvin Goldman mengembangkan epistemic reliabilism, sebuah pendekatan yang menilai pengetahuan berdasarkan keandalan proses kognitif yang digunakan.⁽²⁾ Sementara itu, Ernest Sosa mengembangkan model virtue epistemology, yang menekankan pentingnya kapasitas intelektual subjek dalam menghasilkan keyakinan yang benar.⁽³⁾ Pendekatan-pendekatan ini menggeser epistemologi dari sekadar relasi antara subjek dan proposisi, menuju perhatian pada konteks sosial, psikologis, dan karakter epistemik.

8.2.       Postmodernisme dan Kritik terhadap Metanarasi Kebenaran

Filsafat postmodern memberikan sumbangsih penting dalam mengkritisi asumsi bahwa pengetahuan bersifat netral, objektif, dan universal. Tokoh seperti Jean-François Lyotard menolak metanarasi—narasi besar yang mendikte apa yang dianggap sebagai pengetahuan sah dalam suatu masyarakat. Ia menekankan pluralitas bentuk pengetahuan, termasuk narasi-narasi lokal yang sering dikesampingkan oleh epistemologi modernis.⁽⁴⁾

Richard Rorty, dalam Philosophy and the Mirror of Nature, menolak gagasan bahwa pikiran manusia adalah cermin realitas. Baginya, kebenaran adalah hasil solidaritas komunitas dan bukan cerminan dari realitas eksternal yang objektif.⁽⁵⁾ Kritik ini membuka ruang bagi epistemologi yang lebih inklusif, meskipun juga memicu perdebatan tentang relativisme kebenaran.

8.3.       Pengetahuan Digital dan Epistemologi Media

Munculnya internet dan media sosial telah mengubah secara drastis cara pengetahuan diakses, disebarkan, dan dibentuk. Dalam dunia digital, informasi bersaing bukan hanya berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan visibilitas, algoritma, dan daya tarik emosional.⁽⁶⁾ Fenomena ini melahirkan apa yang disebut sebagai era post-truth, yaitu kondisi di mana emosi dan opini pribadi lebih berpengaruh daripada fakta objektif.

Lee McIntyre, dalam bukunya Post-Truth, menjelaskan bahwa post-truth bukan hanya sekadar kebohongan publik, melainkan bentuk serangan sistematis terhadap landasan epistemik masyarakat.⁽⁷⁾ Pengetahuan menjadi mudah dipalsukan, direkayasa, dan dikomodifikasi untuk kepentingan politik dan ekonomi, sehingga menimbulkan krisis kepercayaan terhadap otoritas pengetahuan.

8.4.       Epistemic Injustice: Ketidakadilan dalam Distribusi Pengetahuan

Salah satu kontribusi penting dari epistemologi kontemporer adalah konsep epistemic injustice, yang diperkenalkan oleh Miranda Fricker. Ia mendefinisikannya sebagai bentuk ketidakadilan yang terjadi ketika seseorang dirugikan dalam kapasitasnya sebagai subjek pengetahuan, baik karena prasangka sosial maupun diskriminasi sistemik.⁽⁸⁾

Fricker membedakan antara dua bentuk epistemic injustice:

·                     Testimonial injustice, ketika kesaksian seseorang dianggap kurang kredibel karena identitas sosialnya (misalnya gender, ras, atau kelas).

·                     Hermeneutical injustice, ketika seseorang tidak memiliki akses terhadap alat-alat konseptual untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya karena dominasi narasi budaya tertentu.⁽⁹⁾

Konsep ini mendorong perlunya pendekatan epistemologi yang lebih etis, empatik, dan inklusif, serta memperjuangkan keadilan dalam produksi dan distribusi pengetahuan.


Penutup Subbab

Pengetahuan dalam era kontemporer bukan hanya menghadapi tantangan metodologis, tetapi juga tantangan ontologis, politik, dan etis. Kompleksitas zaman ini menuntut kita untuk tidak hanya memproduksi pengetahuan yang benar, tetapi juga bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan moral dari pengetahuan tersebut. Dengan demikian, epistemologi kontemporer bukan lagi sekadar kajian tentang “apa yang kita ketahui”, tetapi juga tentang “siapa yang berhak tahu”, “bagaimana kita tahu”, dan “untuk apa pengetahuan digunakan”.


Footnotes

[1]                Duncan Pritchard, Epistemology (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2006), 137–152.

[2]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 50–65.

[3]                Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and Reflective Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–45.

[4]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.

[5]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 5–7.

[6]                José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 112–118.

[7]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 10–15.

[8]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–7.

[9]                Ibid., 147–148.


9.           Penutup

Sepanjang sejarah filsafat, pencarian akan hakikat pengetahuan telah menjadi salah satu proyek intelektual paling mendasar dan berkelanjutan. Dimulai dari definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief oleh Plato, epistemologi berkembang menjadi medan yang semakin kompleks, mencakup analisis terhadap struktur pengetahuan, sumber-sumbernya, dan syarat-syarat yang menjadikannya sahih.¹ Seiring munculnya kritik dari Edmund Gettier, para filsuf mulai meninjau kembali model epistemologis yang selama berabad-abad dianggap memadai.²

Diskursus epistemologis tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga memiliki dampak langsung terhadap cara manusia memandang realitas, membangun sistem kepercayaan, dan menjalankan kehidupan sosialnya. Dalam tradisi rasionalisme dan empirisme, akal dan pengalaman menjadi pilar utama bagi pencarian kebenaran.³ Sementara itu, dalam filsafat Islam dan tradisi spiritual lainnya, wahyu dan intuisi menambah dimensi transenden pada bangunan epistemologis manusia.⁴

Kritik terhadap kemungkinan dan batasan pengetahuan, yang dikembangkan oleh para skeptis, postmodernis, dan teoritikus media, menunjukkan bahwa pengetahuan tidak pernah berada dalam ruang hampa nilai dan kekuasaan. Sebaliknya, ia selalu terikat pada struktur sosial, politik, dan bahasa yang melingkupinya.⁵ Hal ini menjadi semakin nyata dalam era kontemporer, terutama dalam konteks post-truth, di mana kebenaran sering dikaburkan oleh emosi, opini subjektif, dan disinformasi digital.⁶

Konsep seperti epistemic injustice, sebagaimana dikembangkan oleh Miranda Fricker, menegaskan pentingnya dimensi etis dalam produksi dan distribusi pengetahuan.⁷ Artinya, epistemologi kontemporer tidak hanya mempertanyakan “bagaimana kita mengetahui”, tetapi juga “siapa yang didengar dan dipercaya”, serta “apa konsekuensi dari mengetahui atau tidak mengetahui”. Ini membuka arah baru bagi filsafat pengetahuan yang lebih inklusif, transdisipliner, dan berkeadilan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa epistemologi bukanlah proyek yang telah selesai, melainkan medan refleksi yang terus berkembang seiring perubahan zaman. Keterbukaan terhadap pendekatan-pendekatan baru, kesadaran akan batas-batas pengetahuan, serta komitmen terhadap keadilan epistemik menjadi prasyarat untuk membangun pengetahuan yang tidak hanya sahih secara logis, tetapi juga bermakna secara manusiawi dan bermoral secara sosial.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d–210d.

[2]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[3]                Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (London: Routledge, 2002), 24–42.

[4]                Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952), 55–58.

[5]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 5–7.

[6]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 9–12.

[7]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–7.


Daftar Pustaka

Annas, J., & Barnes, J. (1985). The modes of scepticism: Ancient texts and modern interpretations. Cambridge University Press.

Ayer, A. J. (2001). Language, truth and logic (Original work published 1936). Penguin Books.

BonJour, L. (1985). The structure of empirical knowledge. Harvard University Press.

BonJour, L. (2002). Epistemology: Classic problems and contemporary responses. Rowman & Littlefield.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1641)

Dancy, J. (1985). An introduction to contemporary epistemology. Blackwell.

Derrida, J. (1997). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press. (Original work published 1967)

Dijck, J. van. (2013). The culture of connectivity: A critical history of social media. Oxford University Press.

Fricker, E. (2006). Second-hand knowledge. Philosophy and Phenomenological Research, 73(3), 592–618.

Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.

Goldman, A. (1986). Epistemology and cognition. Harvard University Press.

Ghazali, A. (1952). The deliverance from error (W. M. Watt, Trans.). Ashraf Press. (Original work: Al-Munqidh min al-Dalal)

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original work published 1748)

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green & Co.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding. Oxford University Press. (Original work published 1690)

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press. (Original work published 1979)

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Plato. (1892). Theaetetus (B. Jowett, Trans.). In The dialogues of Plato. Clarendon Press.

Polanyi, M. (1966). The tacit dimension. Doubleday.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge. (Original work published 1959)

Pritchard, D. (2006). Epistemology. Palgrave Macmillan.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Russell, B. (1912). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. University of Chicago Press.

Scruton, R. (2002). A short history of modern philosophy: From Descartes to Wittgenstein. Routledge.

Sosa, E. (1991). Knowledge in perspective: Selected essays in epistemology. Cambridge University Press.

Sosa, E. (2007). A virtue epistemology: Apt belief and reflective knowledge. Oxford University Press.

Zagzebski, L. T. (1996). Virtues of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of knowledge. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar