Pengetahuan
Perspektif Filsafat dari Klasik hingga Kontemporer
Alihkan ke: Pengetahuan Dalam Konteks Filsafat, Dimensi Pengetahuan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji perkembangan konsep
pengetahuan (epistemologi) dalam filsafat dari masa klasik hingga era
kontemporer. Dimulai dari definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief dalam pemikiran Plato, pembahasan dilanjutkan dengan eksplorasi
terhadap klasifikasi pengetahuan, teori-teori kebenaran, serta syarat-syarat
yang menjadikan suatu keyakinan sah sebagai pengetahuan. Artikel ini juga
menyoroti berbagai sumber pengetahuan yang diakui dalam tradisi filsafat,
seperti rasio, pengalaman, intuisi, wahyu, dan testimoni. Kritik terhadap
kemungkinan dan batasan pengetahuan dikaji melalui pendekatan skeptisisme,
positivisme, postmodernisme, dan dekonstruksi. Di bagian akhir, artikel
membahas tantangan kontemporer seperti fenomena post-truth, epistemic
injustice, serta perubahan struktur otoritas pengetahuan dalam era digital.
Dengan pendekatan komprehensif dan interdisipliner, artikel ini berupaya
menunjukkan bahwa epistemologi bukan sekadar studi tentang apa yang kita
ketahui, tetapi juga bagaimana, mengapa, dan untuk siapa pengetahuan itu
dibentuk dan digunakan. Refleksi kritis terhadap dinamika pengetahuan ini
menjadi penting untuk membangun fondasi intelektual yang kuat, etis, dan
relevan dalam menghadapi kompleksitas zaman.
Kata Kunci: Epistemologi, Pengetahuan, Justified True Belief,
Gettier, Rasionalisme, Empirisme, Wahyu, Postmodernisme, Post-truth, Epistemic
Injustice.
PEMBAHASAN
Menelusuri Hakikat Pengetahuan
1.
Pendahuluan
Filsafat sepanjang
sejarahnya telah berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang hakikat
realitas, kebenaran, moralitas, dan tentu saja, pengetahuan. Di antara cabang-cabang
filsafat lainnya, epistemologi—yaitu cabang
filsafat yang membahas asal-usul, batasan, dan validitas pengetahuan—memegang
posisi yang sangat penting. Hal ini dikarenakan setiap bentuk pemikiran
filsafat maupun ilmu pengetahuan lainnya, secara eksplisit atau implisit,
mengandaikan adanya bentuk tertentu dari pengetahuan yang dianggap sah dan
benar. Sebagaimana dinyatakan oleh Bertrand Russell, “Filsafat dimulai
dengan rasa ingin tahu, seperti halnya sains; namun ia berakhir dengan
kesadaran akan keterbatasan pengetahuan.”_¹
Perdebatan mengenai
apa itu pengetahuan, bagaimana kita mengetahuinya, serta apa yang membuat
sebuah keyakinan menjadi pengetahuan yang sah telah berlangsung sejak zaman
Yunani Kuno. Plato, dalam dialog Theaetetus, merumuskan definisi
klasik pengetahuan sebagai justified true belief atau
kepercayaan yang benar dan dibenarkan.² Definisi ini, meski tampak sederhana,
memicu perdebatan epistemologis yang panjang hingga masa kontemporer. Seiring
berjalannya waktu, berbagai aliran filsafat seperti rasionalisme,
empirisme, skeptisisme, fenomenologi, hingga konstruktivisme
sosial memberikan kontribusi penting terhadap perluasan
cakrawala pemahaman kita mengenai pengetahuan.
Relevansi pembahasan
tentang pengetahuan tidak hanya bersifat teoritis, melainkan juga praktis.
Dalam era informasi dan post-truth saat ini, di mana batas
antara fakta dan opini kian kabur, muncul pertanyaan baru: Bagaimana kita dapat
membedakan pengetahuan yang sah dari sekadar klaim atau narasi?³ Dalam konteks
ini, epistemologi tidak lagi menjadi wacana elitis para filsuf, melainkan
menjadi kebutuhan dasar untuk mempertahankan integritas intelektual dan
keberlangsungan masyarakat yang rasional.
Lebih dari itu,
tradisi filsafat non-Barat juga telah menyumbangkan kekayaan perspektif
terhadap konsep pengetahuan. Dalam filsafat Islam, misalnya, pengetahuan tidak
hanya diperoleh melalui akal dan pengalaman, tetapi juga melalui intuisi dan
wahyu, sebagaimana ditegaskan oleh tokoh seperti Al-Ghazali
dan Mulla
Sadra.⁴ Pendekatan ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa
bersifat holistik dan tidak semata-mata reduksionis, suatu gagasan yang
akhir-akhir ini juga mendapatkan perhatian dalam epistemologi post-kolonial.
Dengan demikian,
artikel ini bertujuan untuk menyusuri dan menelaah berbagai pendekatan filsafat
terhadap pengetahuan, mulai dari masa klasik hingga kontemporer, baik dari
tradisi Barat maupun Timur. Harapannya, pembaca dapat memahami kompleksitas
epistemologi serta menemukan relevansi praktisnya dalam kehidupan modern.
Footnotes
[1]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1912), 1.
[2]
Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The
Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d–210d.
[3]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 5–6.
[4]
Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The
Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952); Mulla Sadra, The
Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfar
al-Arba‘a), trans. and ed. Ibrahim Kalin (London: Islamic Texts Society,
2008).
2.
Pengertian
Pengetahuan dalam Filsafat
Dalam konteks
filsafat, pengetahuan bukan sekadar
informasi yang dikumpulkan atau data yang dihafalkan, melainkan sebuah konsep
kompleks yang berkaitan erat dengan kepercayaan, kebenaran, dan justifikasi.
Secara etimologis, istilah pengetahuan berasal dari bahasa
Yunani epistēmē
yang berarti ilmu atau pengetahuan sejati, berbeda dari doxa
yang berarti opini atau pendapat semata.¹ Dari sinilah muncul cabang filsafat
yang dikenal sebagai epistemologi, yakni studi
kritis dan sistematis tentang sifat, sumber, batas, dan validitas pengetahuan.
Secara umum,
pengetahuan dalam filsafat dipahami sebagai kepercayaan yang benar dan memiliki justifikasi
(justified true belief). Formulasi klasik ini pertama kali dikemukakan secara
eksplisit oleh Plato dalam dialog Theaetetus, di mana ia mencoba
membedakan antara pengetahuan sejati dan sekadar opini yang belum diverifikasi
secara logis dan empiris.² Menurut definisi ini, agar seseorang dapat dikatakan
“mengetahui” sesuatu, maka ia harus (1) meyakini kebenaran proposisi
tersebut, (2) proposisi itu memang benar, dan (3) ia memiliki alasan atau
justifikasi yang memadai untuk mempercayainya.
Namun, definisi
tersebut tidak luput dari kritik. Salah satu kritik paling terkenal datang dari
Edmund Gettier melalui artikel pendeknya pada tahun 1963 yang berjudul Is
Justified True Belief Knowledge?.³ Dalam artikel tersebut, Gettier
menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki kepercayaan yang benar dan
dibenarkan, namun tetap secara intuitif gagal untuk disebut “mengetahui”
karena justifikasi yang digunakan bersifat kebetulan atau tidak langsung
berhubungan dengan kebenaran yang diyakini. Ini memunculkan apa yang kemudian
dikenal sebagai Gettier problem, yaitu
tantangan terhadap kecukupan definisi pengetahuan klasik.
Selain definisi
klasik tersebut, dalam wacana filsafat modern dan kontemporer, konsep
pengetahuan mengalami perluasan. Misalnya, Gilbert Ryle membedakan antara “knowing
that” (pengetahuan proposisional) dan “knowing how” (pengetahuan
praktis).⁴ Sementara itu, Michael Polanyi memperkenalkan istilah tacit
knowledge—pengetahuan yang kita miliki tetapi sulit
diartikulasikan secara verbal, seperti keterampilan mengendarai sepeda atau
memainkan alat musik.⁵
Dalam filsafat
Islam, pengetahuan (‘ilm) tidak hanya mencakup
pengetahuan rasional, tetapi juga pengetahuan intuitif dan spiritual.
Al-Ghazali membagi pengetahuan menjadi dua kategori besar: pengetahuan lahiriah
(‘ilm
al-zahir) yang diperoleh melalui pancaindra dan akal, dan
pengetahuan batiniah (‘ilm al-batin) yang diperoleh
melalui penyucian jiwa dan pencerahan ilahi.⁶ Konsep ini memperluas cakrawala
epistemologi dengan memasukkan dimensi spiritual dan eksistensial sebagai
bagian integral dari proses mengetahui.
Dengan demikian,
pengertian pengetahuan dalam filsafat mencakup dimensi yang jauh lebih luas
dibandingkan pemahaman sehari-hari. Ia merupakan perpaduan antara keyakinan,
kebenaran, justifikasi, serta konteks epistemik yang melingkupinya—baik dalam
kerangka rasional, empiris, maupun spiritual. Dalam konteks inilah epistemologi
menjadi pusat dari banyak perdebatan filosofis yang tidak hanya mempengaruhi
ilmu pengetahuan, tetapi juga etika, politik, dan kehidupan personal manusia.
Footnotes
[1]
Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western
Philosophy (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2004), 226.
[2]
Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The
Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d–210d.
[3]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[4]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of
Chicago Press, 1949), 25–28.
[5]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (New York: Doubleday,
1966), 4–6.
[6]
Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The
Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952), 32–35.
3.
Klasifikasi
Pengetahuan
Dalam wacana
filsafat, pengetahuan tidak dipahami sebagai entitas tunggal, melainkan terbagi
ke dalam berbagai bentuk berdasarkan sumber, sifat, maupun cara pencapaiannya.
Klasifikasi ini penting karena masing-masing jenis pengetahuan memiliki
karakteristik epistemologis tersendiri, serta memunculkan metode dan pendekatan
yang berbeda dalam mencari kebenaran. Beberapa bentuk klasifikasi pengetahuan
yang paling berpengaruh dalam tradisi filsafat antara lain adalah pembedaan
antara a priori
dan a posteriori, pengetahuan proposisional dan praktis,
serta pengetahuan
langsung dan tidak langsung.
3.1.
Pengetahuan a priori dan a posteriori
Pembedaan antara
pengetahuan a priori dan a
posteriori merupakan warisan penting dari filsafat modern, terutama
oleh Immanuel
Kant. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang
diperoleh secara independen dari pengalaman, sedangkan a
posteriori diperoleh melalui pengalaman empirik.¹ Misalnya,
proposisi matematika seperti “2 + 2 = 4” dianggap a priori karena kebenarannya dapat
diketahui tanpa perlu observasi, sedangkan proposisi seperti “Air mendidih pada
suhu 100°C” adalah a posteriori karena bergantung pada
pengalaman dunia nyata.
Kant menjelaskan
bahwa meskipun pengetahuan a priori tidak berasal dari
pengalaman, ia tetap mungkin digunakan untuk memahami pengalaman itu sendiri
melalui struktur bawaan pikiran manusia.² Inilah yang mendasari revolusi
kopernikan Kant dalam filsafat, bahwa subjek turut aktif dalam membentuk objek
pengetahuan, bukan sekadar pasif menerima informasi.
3.2.
Pengetahuan Proposisional (Knowing That)
dan Praktis (Knowing How)
Dalam karya The
Concept of Mind, Gilbert Ryle membedakan antara
dua jenis pengetahuan penting: knowing that (pengetahuan
proposisional) dan knowing how (pengetahuan praktis).³
Knowing
that merujuk pada pengetahuan yang dapat dirumuskan dalam bentuk
proposisi atau pernyataan, seperti “Bumi mengelilingi Matahari.”
Sementara itu, knowing how mencakup keterampilan
atau keahlian, seperti “mengetahui cara mengendarai sepeda,” yang tidak
selalu dapat dijelaskan secara verbal tetapi dapat diterapkan dalam tindakan.
Distingsi ini
menyoroti bahwa tidak semua bentuk pengetahuan dapat direduksi menjadi
proposisi-proposisi. Bahkan, dalam banyak aspek kehidupan praktis, pengetahuan
dalam bentuk know-how justru lebih dominan dan
esensial.
3.3.
Pengetahuan Langsung dan Tidak Langsung
Bertrand
Russell mengemukakan pembagian pengetahuan menjadi dua: knowledge
by acquaintance (pengetahuan langsung) dan knowledge
by description (pengetahuan tidak langsung).⁴ Pengetahuan langsung
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui hubungan langsung dengan objeknya,
seperti persepsi terhadap warna merah atau rasa sakit. Sementara itu,
pengetahuan tidak langsung diperoleh melalui perantara, seperti membaca tentang
suatu negara yang belum pernah kita kunjungi.
Klasifikasi ini
menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, manusia membangun pengetahuannya
berdasarkan deskripsi dan representasi, bukan pengalaman langsung. Hal ini
sangat relevan dalam era informasi modern, ketika pengetahuan banyak diperoleh
dari media, buku, atau internet.
3.4.
Pengetahuan Eksplisit dan Tersirat
Selain itu, Michael
Polanyi memperkenalkan konsep tacit knowledge—pengetahuan yang
kita miliki namun sulit diekspresikan secara verbal.⁵ Misalnya, seorang tukang
kayu ahli mungkin tidak mampu menjelaskan semua gerakan intuitif yang ia
lakukan saat mengukir, namun pengetahuan itu tetap nyata dan efektif. Ia
membedakan ini dari explicit knowledge, yaitu
pengetahuan yang dapat dikomunikasikan secara jelas, misalnya dalam bentuk buku
atau manual.
3.5.
Klasifikasi dalam Epistemologi Islam
Dalam epistemologi
Islam, klasifikasi pengetahuan juga mencakup dimensi yang tidak ditemukan dalam
filsafat Barat klasik. Ibn Sina membagi pengetahuan ke
dalam dua jenis utama: pengetahuan yang diperoleh (ilm al-husuli) dan pengetahuan yang
hadir (ilm al-huduri).⁶
Ilm
al-husuli mirip dengan pengetahuan konseptual yang diperoleh
melalui proses kognitif, sementara ilm al-huduri adalah pengetahuan
intuitif dan langsung, seperti kesadaran diri atau pengetahuan Allah terhadap
makhluk-Nya. Pembagian ini menggarisbawahi peran penting intuisi, iluminasi,
dan pengalaman spiritual dalam tradisi filsafat Islam.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 136–139.
[2]
Ibid., 144–145.
[3]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (Chicago: University of
Chicago Press, 1949), 25–32.
[4]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 1912), 46–50.
[5]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (New York: Doubleday,
1966), 4–10.
[6]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 99–102.
4.
Teori-teori
Kebenaran Pengetahuan
Kebenaran merupakan
unsur esensial dalam definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief.¹ Tanpa kebenaran, keyakinan atau kepercayaan tidak
dapat dikatakan sebagai pengetahuan sejati. Namun, apa yang dimaksud dengan “kebenaran”
sendiri telah menjadi pokok perdebatan panjang dalam filsafat. Sepanjang
sejarah, para filsuf telah mengembangkan berbagai teori
kebenaran untuk menjelaskan syarat objektivitas dan validitas
pengetahuan. Setidaknya ada empat teori kebenaran utama yang menjadi rujukan
dalam epistemologi: korespondensi, koherensi, pragmatis, dan
konstruktivis.
4.1.
Teori Kebenaran Korespondensi
Teori korespondensi
merupakan teori kebenaran yang paling klasik dan intuitif. Ia menyatakan bahwa
suatu proposisi adalah benar apabila sesuai (berkorespondensi) dengan realitas
atau fakta yang ada di dunia.² Aristoteles dalam Metaphysics menyatakan, “Untuk
mengatakan bahwa yang ada itu tidak ada, atau bahwa yang tidak ada itu ada,
adalah salah; dan untuk mengatakan bahwa yang ada itu ada, atau yang tidak ada
itu tidak ada, adalah benar.”_³
Teori ini telah
menjadi fondasi bagi banyak pendekatan ilmiah dan rasional dalam memahami
dunia. Namun demikian, teori ini juga menghadapi tantangan ketika diterapkan
pada proposisi-proposisi non-empiris, seperti dalam matematika, moralitas, atau
metafisika. Selain itu, pertanyaan tentang bagaimana kita dapat mengetahui
dengan pasti bahwa suatu proposisi benar-benar sesuai dengan realitas menjadi
tantangan epistemologis tersendiri.
4.2.
Teori Kebenaran Koherensi
Berbeda dari
korespondensi, teori koherensi menyatakan bahwa
suatu proposisi adalah benar jika ia secara konsisten dan logis cocok dengan
sistem kepercayaan atau proposisi lainnya yang telah diterima sebagai benar.⁴
Teori ini lebih menekankan pada kesalingterhubungan internal dari
proposisi dalam suatu sistem, bukan pada hubungan langsung dengan realitas
objektif.
Tokoh-tokoh seperti Benedictus
de Spinoza dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel
banyak menggunakan pendekatan ini dalam sistem filsafat mereka yang bersifat
holistik.⁵ Dalam konteks ilmu pengetahuan, teori koherensi sering digunakan
dalam teori-teori ilmiah yang saling mendukung satu sama lain dalam kerangka
logika dan konsistensi, meski mungkin belum terverifikasi secara empiris.
Namun, kritik
terhadap teori ini menyatakan bahwa sistem yang koheren belum tentu
mencerminkan realitas yang sebenarnya. Dua sistem keyakinan yang saling
bertentangan bisa saja masing-masing koheren secara internal, tapi tidak
berarti keduanya benar secara objektif.
4.3.
Teori Kebenaran Pragmatis
Teori pragmatis
menilai kebenaran berdasarkan manfaat praktis dan konsekuensi aplikatif
dari suatu proposisi.⁶ Suatu ide dianggap benar jika ia “berfungsi”,
memberi hasil yang memuaskan dalam pengalaman, atau terbukti berguna dalam
memecahkan masalah. Tokoh utama teori ini adalah Charles
Sanders Peirce, William James, dan John
Dewey.
William James
menyatakan bahwa “kebenaran adalah apa yang terbukti bermanfaat untuk
diyakini.”_⁷ Dengan kata lain, kebenaran bukanlah sesuatu yang bersifat
statis dan absolut, tetapi berkembang sesuai dengan konteks dan pengalaman.
Kritik terhadap
teori ini datang dari mereka yang melihat adanya risiko relativisme,
yaitu ketika kebenaran ditentukan oleh utilitas semata, tanpa tolok ukur
objektif. Sebuah keyakinan bisa jadi “berguna” dalam satu konteks tapi
tidak dalam konteks lain, atau bahkan menyesatkan.
4.4.
Teori Kebenaran Konstruktivis dan Postmodern
Dalam perspektif postmodernisme
dan konstruktivisme sosial, kebenaran dianggap sebagai produk konstruksi
sosial dan bahasa, bukan sebagai representasi objektif dari
realitas eksternal.⁸ Tokoh seperti Michel Foucault dan Richard
Rorty menolak gagasan kebenaran universal yang tunggal, dan
lebih menekankan pada hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan narasi
dominan.
Menurut Foucault,
setiap rezim pengetahuan menghasilkan “rejim kebenaran” yang ditentukan
oleh struktur kekuasaan dan institusi sosial.⁹ Kebenaran, dalam kerangka ini,
bersifat historis, politis, dan berubah-ubah.
Meskipun pendekatan
ini memberikan kontribusi besar dalam mengkritik dominasi narasi tunggal dalam
epistemologi Barat, ia juga dikritik karena berpotensi merelatifkan semua klaim
kebenaran hingga tidak ada pijakan epistemik yang stabil sama sekali.
Penutup Subbab
Keempat teori ini
menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah konsep tunggal yang
disepakati semua pihak, melainkan medan perdebatan yang dinamis
dan sarat nuansa. Dalam praktiknya, berbagai teori kebenaran ini bisa saling
melengkapi tergantung pada konteks penggunaan, jenis proposisi yang dibahas,
dan disiplin ilmu yang diterapkan.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The
Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d.
[2]
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross, in The Basic
Works of Aristotle, ed. Richard McKeon (New York: Modern Library, 2001),
1011b25.
[4]
Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge
(Cambridge: Harvard University Press, 1985), 87–90.
[5]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), Preface.
[6]
William James, Pragmatism (New York: Longmans, Green &
Co., 1907), 34–37.
[7]
Ibid., 45.
[8]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 385–386.
[9]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–132.
5.
Syarat-Syarat
Pengetahuan yang Sahih
Sejak masa Yunani
Kuno, filsuf telah berupaya membedakan antara opini (doxa) dan pengetahuan
sejati (epistēmē). Pembedaan ini menjadi penting karena tidak
semua hal yang diyakini seseorang dapat dikategorikan sebagai pengetahuan. Oleh
karena itu, para filsuf mengajukan sejumlah syarat agar suatu keyakinan
dapat dianggap sebagai pengetahuan yang sahih (genuine
knowledge).
5.1.
Justified True Belief: Model Klasik
Model paling
berpengaruh dalam sejarah epistemologi Barat adalah definisi klasik pengetahuan
sebagai kepercayaan yang benar dan dibenarkan
(justified true belief). Formulasi ini secara sistematis dijelaskan oleh Plato
dalam Theaetetus,
meskipun masih bersifat problematis dalam dialog tersebut.¹ Menurut model ini,
agar seseorang dapat dikatakan “mengetahui” suatu proposisi PP,
maka tiga syarat harus terpenuhi:
1)
Kepercayaan (belief)
– Subjek S percaya bahwa PP benar.
2)
Kebenaran (truth)
– Proposisi PP memang benar secara
faktual.
3)
Justifikasi
(justification) – S memiliki alasan atau pembenaran yang
memadai untuk percaya bahwa PP
benar.²
Model ini telah lama
dijadikan kerangka utama dalam epistemologi, terutama karena memberikan
struktur analitis yang jelas untuk mengevaluasi klaim pengetahuan.
5.2.
Kritik Gettier dan Masalah Epistemik
Definisi klasik ini
mulai dipertanyakan secara serius setelah Edmund Gettier menerbitkan
artikel singkat namun revolusioner berjudul Is Justified True Belief Knowledge?
pada tahun 1963.³ Dalam artikel tersebut, Gettier menunjukkan bahwa seseorang
dapat memiliki kepercayaan yang benar dan dibenarkan, tetapi hanya
kebetulan bahwa kepercayaannya benar. Artinya, justifikasi yang
diberikan tidak secara langsung menjamin kebenaran proposisi tersebut.
Contoh kasus Gettier
(seperti proposisi “Orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki sepuluh
koin di sakunya” berdasarkan bukti keliru namun hasilnya benar) menunjukkan
adanya celah
epistemik dalam model justified true belief.⁴ Sejak saat
itu, para filsuf epistemologi berlomba-lomba mengajukan revisi atau perluasan
model tersebut agar mampu mengatasi Gettier problem.
5.3.
Reliabilisme dan Epistemologi Kebajikan
Salah satu pendekatan
kontemporer yang muncul sebagai tanggapan terhadap kritik Gettier adalah reliabilisme.
Teori ini berargumen bahwa yang penting bukan hanya justifikasi internal,
tetapi juga proses kognitif yang digunakan
harus dapat diandalkan (reliable).⁵ Artinya, suatu keyakinan dapat disebut
sebagai pengetahuan jika dihasilkan oleh mekanisme kognitif yang biasanya
menghasilkan kebenaran—seperti persepsi yang normal, ingatan yang sehat, atau
deduksi logis.
Pendekatan lain yang
penting adalah epistemologi kebajikan (virtue epistemology),
yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari kapasitas
intelektual yang unggul atau kebajikan kognitif seperti
kejujuran intelektual, ketelitian, dan kerendahan hati epistemik.⁶ Menurut
tokoh seperti Ernest Sosa, pengetahuan adalah
keyakinan benar yang diperoleh karena kecakapan intelektual seseorang, bukan
karena keberuntungan.⁷ Dengan kata lain, pengetahuan bukan hanya tentang
proposisi dan justifikasinya, tetapi juga tentang karakter
epistemik si pencari kebenaran.
5.4.
Menuju Syarat-Syarat yang Lebih Holistik
Seiring
berkembangnya filsafat dan ilmu pengetahuan, pendekatan terhadap syarat-syarat
pengetahuan pun menjadi lebih holistik dan interdisipliner. Dalam banyak
konteks, misalnya pendidikan atau kebijakan publik, pengetahuan tidak hanya
dinilai berdasarkan logika dan keabsahan metodologis, tetapi juga mencakup dimensi
sosial, budaya, dan etis.
Dalam filsafat
Islam, pengetahuan yang sahih tidak hanya harus benar secara rasional dan
empiris, tetapi juga berlandaskan pada sumber-sumber ilahiyah.
Al-Ghazali menegaskan pentingnya penyucian hati (tazkiyatun nafs)
sebagai prasyarat bagi pengetahuan yang benar, karena hawa nafsu dan bias batin
dapat mengaburkan kebenaran.⁸ Dengan demikian, kriteria epistemik dalam
filsafat Islam mencakup dimensi moral dan spiritual selain dimensi intelektual.
Penutup Subbab
Berbagai model dan
pendekatan ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang sahih tidak bisa direduksi
hanya pada satu dimensi saja. Ia harus memenuhi syarat kognitif (percaya dan
benar), epistemologis (justifikasi atau reliabilitas), serta dalam beberapa
tradisi juga syarat moral dan spiritual. Pemahaman ini menjadi penting,
terutama dalam era informasi saat ini, di mana kebenaran sering dikaburkan oleh
opini dan manipulasi.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The
Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d–210d.
[2]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition.
[3]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[4]
Jonathan Dancy, An Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 30–33.
[5]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard
University Press, 1986), 50–58.
[6]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 13–15.
[7]
Ernest Sosa, “Knowledge in Perspective: Selected Essays in
Epistemology” (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 225–230.
[8]
Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The
Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952), 44–48.
6.
Sumber-Sumber
Pengetahuan
Dalam kajian
epistemologi, pembahasan mengenai sumber pengetahuan menjadi
krusial karena berkaitan langsung dengan keabsahan dan legitimasi dari apa yang
disebut sebagai “pengetahuan”. Sejak zaman kuno, para filsuf telah
mengidentifikasi dan memperdebatkan berbagai sumber yang memungkinkan manusia
memperoleh pengetahuan. Di antara sumber-sumber utama yang paling sering dikaji
dan dijadikan tolok ukur epistemologis adalah rasio, pengalaman indrawi, intuisi, wahyu, dan
otoritas. Masing-masing sumber memiliki peran, kekuatan, dan
keterbatasan tertentu, tergantung pada konteks filsafat dan budaya tempat
gagasan tersebut berkembang.
6.1.
Rasionalisme: Pengetahuan dari Akal
Rasionalisme
adalah pandangan epistemologis yang menekankan bahwa akal
(reason) adalah sumber utama dan paling dapat diandalkan dalam
memperoleh pengetahuan, terutama pengetahuan yang bersifat universal dan
niscaya. Tokoh-tokoh seperti René Descartes, Baruch
Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz
percaya bahwa akal manusia memiliki kemampuan bawaan untuk menemukan kebenaran
melalui deduksi logis tanpa harus bergantung pada pengalaman indrawi.¹
Descartes dalam Meditations
on First Philosophy menyatakan bahwa satu-satunya landasan
pengetahuan yang tak diragukan adalah kemampuan berpikir itu sendiri,
sebagaimana dalam cogito-nya yang terkenal: Cogito ergo sum
(“Aku berpikir, maka aku ada”).² Menurut para rasionalis, kebenaran
matematika dan prinsip logika merupakan contoh pengetahuan yang tidak
tergantung pada pengalaman, melainkan dapat diketahui melalui akal murni.
6.2.
Empirisme: Pengetahuan dari Pengalaman
Berbeda dari
rasionalisme, empirisme menegaskan bahwa pengalaman
indrawi (sense experience) adalah sumber utama pengetahuan.
Filsuf seperti John Locke, George
Berkeley, dan David Hume berpendapat bahwa
manusia dilahirkan tanpa pengetahuan bawaan (tabula rasa), dan semua pengetahuan
berasal dari pengalaman, baik eksternal melalui pancaindra maupun internal
melalui refleksi.³
Locke menyatakan
bahwa “tidak ada sesuatu pun dalam intelek kecuali sebelumnya ada dalam
indera” (nihil est in intellectu quod
non prius fuerit in sensu).⁴ David Hume melangkah lebih jauh
dengan meragukan eksistensi hubungan sebab-akibat sebagai sesuatu yang
benar-benar bisa diketahui secara pasti, karena semua hubungan tersebut
hanyalah asosiasi ide yang sering terjadi berdasarkan kebiasaan (habit).⁵
6.3.
Intuisi: Pengetahuan Langsung dan Non-Diskursif
Intuisi
adalah bentuk pengetahuan yang diperoleh secara langsung dan seketika, tanpa
melalui proses penalaran atau pembuktian empiris. Dalam filsafat Barat, intuisi
sering dianggap sebagai bentuk a priori knowledge yang dirasakan
langsung oleh pikiran.⁶ Henri Bergson, filsuf Prancis
abad ke-20, menempatkan intuisi sebagai kemampuan mendalam untuk memahami
hakikat waktu dan kehidupan, melampaui apa yang dapat dicapai oleh akal atau
metode ilmiah.⁷
Dalam konteks ini,
intuisi dianggap sebagai sarana untuk mencapai bentuk kebenaran yang lebih
eksistensial dan personal, terutama dalam bidang seni, spiritualitas, dan
moralitas.
6.4.
Wahyu: Sumber Transenden dalam Tradisi
Keagamaan
Dalam filsafat Islam
dan teologi monoteistik secara umum, wahyu (revelation) dipandang
sebagai sumber pengetahuan tertinggi dan paling otoritatif karena berasal
langsung dari Tuhan. Wahyu tidak bisa dicapai oleh akal atau pengalaman semata,
tetapi diterima oleh para nabi sebagai petunjuk ilahi.⁸
Al-Ghazali
membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang diperoleh (ilm
kasbi) dan pengetahuan yang diberikan oleh Allah secara langsung
melalui ilham atau wahyu (ilm ladunni).⁹ Sumber ini berperan
penting dalam memahami dimensi metafisik dan moral dari realitas, yang tidak
dapat diakses oleh akal atau indera.
6.5.
Otoritas dan Testimoni: Pengetahuan dari Orang
Lain
Meskipun sering
diabaikan dalam epistemologi klasik, pengetahuan yang diperoleh dari otoritas
atau kesaksian
(testimoni) memainkan peran besar dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagian besar informasi yang kita ketahui, seperti sejarah, sains, atau
berita, tidak berasal dari pengalaman langsung, tetapi dari kepercayaan
terhadap otoritas yang kompeten.
Filsuf kontemporer
seperti Elizabeth Fricker menekankan
bahwa testimoni merupakan bentuk sumber pengetahuan yang sah, asalkan terdapat
alasan untuk mempercayai kredibilitas sumbernya.¹⁰ Dalam masyarakat modern yang
kompleks, pengetahuan berbasis otoritas menjadi tak terhindarkan dan memerlukan
prinsip evaluatif yang jelas.
Penutup Subbab
Beragamnya sumber
pengetahuan mencerminkan kompleksitas realitas manusia dalam memahami dunia dan
dirinya sendiri. Tidak ada satu sumber pun yang bisa mengklaim supremasi
mutlak, karena masing-masing memiliki konteks, fungsi, dan batasnya. Dalam
dunia filsafat dan juga dalam kehidupan praktis, integrasi yang kritis terhadap
berbagai sumber ini menjadi kunci dalam membangun pengetahuan yang utuh, sahih,
dan bermakna.
Footnotes
[1]
Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes
to Wittgenstein (London: Routledge, 2002), 24–27.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (Oxford:
Oxford University Press, 1975), Book II, Chapter I.
[4]
Ibid., II.I.2.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Section IV.
[6]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham: Rowman & Littlefield, 2002), 88.
[7]
Henri Bergson, An Introduction to Metaphysics, trans. T.E.
Hulme (New York: Macmillan, 1912), 24–29.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 75–78.
[9]
Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The
Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952), 55–58.
[10]
Elizabeth Fricker, “Second-Hand Knowledge,” Philosophy and
Phenomenological Research 73, no. 3 (2006): 592–618.
7.
Kritik
terhadap Kemungkinan dan Batasan Pengetahuan
Seiring perkembangan
filsafat, muncul pula keraguan mendasar terhadap kemungkinan
memperoleh pengetahuan yang benar-benar sahih dan universal.
Berbagai aliran filsafat telah mengajukan kritik terhadap kemampuan manusia
dalam mengetahui realitas secara utuh, baik melalui akal, pengalaman, maupun
metode ilmiah. Kritik ini membuka cakrawala reflektif mengenai batas
epistemik—yakni keterbatasan cara berpikir, persepsi, bahasa,
dan bahkan paradigma kognitif dalam mengakses kebenaran.
7.1.
Skeptisisme: Keraguan sebagai Titik Awal dan
Tantangan
Skeptisisme
adalah posisi epistemologis yang menyangsikan atau bahkan menolak kemungkinan
pengetahuan yang pasti. Akar skeptisisme dapat ditelusuri kembali ke Pyrrho
dari Elis, yang berpendapat bahwa karena indra dan akal kita
sering menyesatkan, maka sikap terbaik adalah epokhē (menahan penilaian).¹
Dalam filsafat
modern, skeptisisme dipopulerkan oleh René Descartes dalam Meditations
on First Philosophy, yang secara metodologis meragukan segala
hal—indera, tubuh, bahkan matematika—demi mencari landasan yang tak
terbantahkan bagi pengetahuan.² Ia akhirnya menemukan fondasi tersebut dalam cogito:
“Aku
berpikir, maka aku ada.”
Namun, skeptisisme
radikal muncul dalam karya David Hume, yang menunjukkan
bahwa kita tidak pernah benar-benar mengetahui hubungan sebab-akibat; yang kita
lihat hanyalah rangkaian kebiasaan (habitual conjunction), bukan kepastian
logis.³ Ini menimbulkan problem serius bagi ilmu pengetahuan dan filsafat,
karena meragukan dasar rasional dari pengetahuan empiris.
7.2.
Kritik Positivisme: Batas Metodologi Ilmiah
Pada abad ke-20, positivisme
logis yang dikembangkan oleh Lingkaran Wina mengusulkan
bahwa pernyataan hanya bermakna jika dapat diverifikasi secara empiris atau
secara logis.⁴ Akan tetapi, teori ini sendiri gagal memenuhi kriterianya:
pernyataan “semua pernyataan bermakna harus dapat diverifikasi” tidak
bisa diverifikasi secara empiris, sehingga menjadi self-refuting.
Karl
Popper mengkritik prinsip verifikasi dan menggantinya dengan
falsifikasi: teori ilmiah tidak pernah dapat dibuktikan benar, hanya bisa
dibuktikan salah.⁵ Meskipun falsifikasi menjadi kontribusi penting bagi
filsafat ilmu, pendekatan ini tetap menunjukkan bahwa pengetahuan
ilmiah bersifat tentatif dan terbuka untuk direvisi, bukan
absolut.
7.3.
Relativisme Epistemik dan Postmodernisme
Dalam konteks
postmodern, kritik terhadap pengetahuan berkembang menjadi relativisme
epistemik, yakni pandangan bahwa kebenaran dan pengetahuan
bersifat relatif terhadap konteks budaya, bahasa, dan kekuasaan. Tokoh seperti Michel
Foucault menyatakan bahwa pengetahuan tidak bisa dilepaskan
dari struktur kekuasaan; setiap rezim kebenaran dibentuk oleh wacana dominan
dan institusi sosial.⁶
Jean-François
Lyotard, dalam The Postmodern Condition, menolak
narasi besar (grand narratives) yang mengklaim
kebenaran universal.⁷ Sebagai gantinya, ia menyarankan agar kita menghargai
keragaman bentuk-bentuk pengetahuan kecil dan lokal (petits
récits), termasuk pengalaman subjektif dan ekspresi budaya
minoritas.
Namun, relativisme
ini menghadapi kritik keras karena dianggap meniadakan dasar obyektif untuk
menilai antara pengetahuan yang sah dan yang keliru, serta membuka ruang bagi
disinformasi dan manipulasi opini publik dalam era post-truth.⁸
7.4.
Krisis Representasi dan Bahasa
Sejumlah filsuf
kontemporer, seperti Jacques Derrida, mengajukan
kritik lebih lanjut terhadap kemampuan bahasa untuk merepresentasikan
realitas secara akurat. Dalam pandangan dekonstruktif, makna
selalu ditunda (différance) dan tak pernah hadir
secara final.⁹ Ini berarti setiap klaim pengetahuan yang disampaikan melalui
bahasa selalu bersifat terbuka, ambigu, dan dipengaruhi oleh permainan tanda (play of
signifiers).
Pendekatan ini
memperluas kritik epistemologis ke ranah linguistik dan semiotik, serta
menunjukkan bahwa pengetahuan tidak pernah bebas nilai
dan tidak mungkin sepenuhnya objektif.
Penutup Subbab
Kritik-kritik ini
tidak harus dipahami sebagai penolakan terhadap pengetahuan itu sendiri,
melainkan sebagai peringatan akan keterbatasannya. Skeptisisme, relativisme,
dan dekonstruksi epistemik justru dapat menjadi pengingat akan perlunya kerendahan hati
intelektual, serta dorongan untuk terus merefleksikan
dasar-dasar keyakinan kita. Dalam dunia yang kompleks dan penuh informasi
seperti sekarang, kesadaran akan batas pengetahuan menjadi bagian dari kearifan
itu sendiri.
Footnotes
[1]
Julia Annas and Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient
Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press,
1985), 3–5.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 16–22.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Section IV.
[4]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books,
2001 [1936]), 16–20.
[5]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002 [1959]), 33–34.
[6]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–132.
[7]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[8]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 9–11.
[9]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 61–63.
8.
Pengetahuan
dalam Era Kontemporer
Memasuki abad ke-21,
tantangan epistemologis mengalami transformasi yang signifikan. Perkembangan
teknologi informasi, globalisasi budaya, dan kompleksitas sosial-politik telah
menciptakan ekosistem pengetahuan yang sangat berbeda
dari era sebelumnya. Pengetahuan kini tidak lagi dimonopoli oleh lembaga
akademik atau otoritas tradisional, melainkan tersebar dalam jaringan digital
yang cair, cepat, dan sering kali tidak terverifikasi. Dalam konteks inilah
muncul keprihatinan baru terkait validitas, otoritas, dan etika pengetahuan
kontemporer.
8.1.
Pengetahuan dalam Filsafat Analitik Kontemporer
Dalam tradisi
filsafat analitik, diskursus epistemologi terus berkembang setelah munculnya
problem Gettier.
Isu-isu baru seperti epistemologi sosial, epistemologi
kebajikan, dan epistemologi kontekstual
menjadi sorotan penting.⁽¹⁾
Misalnya, Alvin
Goldman mengembangkan epistemic reliabilism, sebuah
pendekatan yang menilai pengetahuan berdasarkan keandalan proses kognitif yang
digunakan.⁽²⁾ Sementara itu, Ernest Sosa mengembangkan model
virtue
epistemology, yang menekankan pentingnya kapasitas intelektual
subjek dalam menghasilkan keyakinan yang benar.⁽³⁾ Pendekatan-pendekatan ini
menggeser epistemologi dari sekadar relasi antara subjek dan proposisi, menuju
perhatian pada konteks sosial, psikologis, dan karakter
epistemik.
8.2.
Postmodernisme dan Kritik terhadap Metanarasi
Kebenaran
Filsafat postmodern
memberikan sumbangsih penting dalam mengkritisi asumsi bahwa pengetahuan
bersifat netral, objektif, dan universal. Tokoh seperti Jean-François
Lyotard menolak metanarasi—narasi besar yang
mendikte apa yang dianggap sebagai pengetahuan sah dalam suatu masyarakat. Ia
menekankan pluralitas bentuk pengetahuan, termasuk narasi-narasi lokal yang
sering dikesampingkan oleh epistemologi modernis.⁽⁴⁾
Richard
Rorty, dalam Philosophy and the Mirror of Nature,
menolak gagasan bahwa pikiran manusia adalah cermin realitas. Baginya,
kebenaran adalah hasil solidaritas komunitas dan bukan cerminan dari realitas
eksternal yang objektif.⁽⁵⁾ Kritik ini membuka ruang bagi epistemologi
yang lebih inklusif, meskipun juga memicu perdebatan tentang
relativisme kebenaran.
8.3.
Pengetahuan Digital dan Epistemologi Media
Munculnya internet
dan media sosial telah mengubah secara drastis cara pengetahuan diakses, disebarkan, dan
dibentuk. Dalam dunia digital, informasi bersaing bukan hanya
berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan visibilitas, algoritma, dan daya
tarik emosional.⁽⁶⁾ Fenomena ini melahirkan apa yang disebut sebagai era post-truth, yaitu kondisi di mana emosi dan opini pribadi lebih
berpengaruh daripada fakta objektif.
Lee
McIntyre, dalam bukunya Post-Truth, menjelaskan bahwa
post-truth bukan hanya sekadar kebohongan publik, melainkan bentuk serangan
sistematis terhadap landasan epistemik masyarakat.⁽⁷⁾ Pengetahuan menjadi mudah
dipalsukan, direkayasa, dan dikomodifikasi untuk kepentingan politik dan
ekonomi, sehingga menimbulkan krisis kepercayaan terhadap otoritas
pengetahuan.
8.4.
Epistemic Injustice: Ketidakadilan dalam
Distribusi Pengetahuan
Salah satu
kontribusi penting dari epistemologi kontemporer adalah konsep epistemic
injustice, yang diperkenalkan oleh Miranda
Fricker. Ia mendefinisikannya sebagai bentuk ketidakadilan yang
terjadi ketika seseorang dirugikan dalam kapasitasnya sebagai subjek
pengetahuan, baik karena prasangka sosial maupun diskriminasi sistemik.⁽⁸⁾
Fricker membedakan
antara dua bentuk epistemic injustice:
·
Testimonial
injustice, ketika kesaksian seseorang dianggap kurang kredibel
karena identitas sosialnya (misalnya gender, ras, atau kelas).
·
Hermeneutical
injustice, ketika seseorang tidak memiliki akses terhadap
alat-alat konseptual untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya karena dominasi
narasi budaya tertentu.⁽⁹⁾
Konsep ini mendorong
perlunya pendekatan epistemologi yang lebih etis, empatik, dan inklusif,
serta memperjuangkan keadilan dalam produksi dan distribusi pengetahuan.
Penutup Subbab
Pengetahuan dalam
era kontemporer bukan hanya menghadapi tantangan metodologis, tetapi juga
tantangan ontologis, politik, dan etis. Kompleksitas zaman ini menuntut kita
untuk tidak hanya memproduksi pengetahuan yang benar, tetapi juga bertanggung
jawab terhadap dampak sosial dan moral dari pengetahuan tersebut.
Dengan demikian, epistemologi kontemporer bukan lagi sekadar kajian tentang “apa
yang kita ketahui”, tetapi juga tentang “siapa yang berhak tahu”, “bagaimana
kita tahu”, dan “untuk apa pengetahuan digunakan”.
Footnotes
[1]
Duncan Pritchard, Epistemology (Basingstoke: Palgrave
Macmillan, 2006), 137–152.
[2]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard
University Press, 1986), 50–65.
[3]
Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and Reflective
Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–45.
[4]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 5–7.
[6]
José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History of
Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 112–118.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 10–15.
[8]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–7.
[9]
Ibid., 147–148.
9.
Penutup
Sepanjang sejarah
filsafat, pencarian akan hakikat pengetahuan telah
menjadi salah satu proyek intelektual paling mendasar dan berkelanjutan.
Dimulai dari definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief oleh Plato,
epistemologi berkembang menjadi medan yang semakin kompleks, mencakup analisis
terhadap struktur pengetahuan, sumber-sumbernya, dan syarat-syarat yang
menjadikannya sahih.¹ Seiring munculnya kritik dari Edmund Gettier, para filsuf
mulai meninjau kembali model epistemologis yang selama berabad-abad dianggap
memadai.²
Diskursus
epistemologis tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga memiliki dampak
langsung terhadap cara manusia memandang realitas, membangun
sistem kepercayaan, dan menjalankan kehidupan sosialnya. Dalam
tradisi rasionalisme dan empirisme, akal dan pengalaman menjadi pilar utama
bagi pencarian kebenaran.³ Sementara itu, dalam filsafat Islam dan tradisi
spiritual lainnya, wahyu dan intuisi menambah dimensi transenden pada bangunan
epistemologis manusia.⁴
Kritik terhadap
kemungkinan dan batasan pengetahuan, yang dikembangkan oleh para skeptis,
postmodernis, dan teoritikus media, menunjukkan bahwa pengetahuan
tidak pernah berada dalam ruang hampa nilai dan kekuasaan.
Sebaliknya, ia selalu terikat pada struktur sosial, politik, dan bahasa yang
melingkupinya.⁵ Hal ini menjadi semakin nyata dalam era kontemporer, terutama
dalam konteks post-truth, di mana kebenaran
sering dikaburkan oleh emosi, opini subjektif, dan disinformasi digital.⁶
Konsep seperti epistemic
injustice, sebagaimana dikembangkan oleh Miranda Fricker,
menegaskan pentingnya dimensi etis dalam produksi dan distribusi pengetahuan.⁷
Artinya, epistemologi kontemporer tidak hanya mempertanyakan “bagaimana kita
mengetahui”, tetapi juga “siapa yang didengar dan dipercaya”, serta
“apa konsekuensi dari mengetahui atau tidak mengetahui”. Ini membuka
arah baru bagi filsafat pengetahuan yang lebih inklusif, transdisipliner, dan
berkeadilan.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa epistemologi bukanlah proyek yang telah selesai,
melainkan medan refleksi yang terus berkembang seiring perubahan zaman.
Keterbukaan terhadap pendekatan-pendekatan baru, kesadaran akan batas-batas
pengetahuan, serta komitmen terhadap keadilan epistemik menjadi prasyarat untuk
membangun pengetahuan yang tidak hanya sahih secara logis, tetapi juga bermakna
secara manusiawi dan bermoral secara sosial.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett, in The
Dialogues of Plato (Oxford: Clarendon Press, 1892), 201d–210d.
[2]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?,” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[3]
Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes
to Wittgenstein (London: Routledge, 2002), 24–42.
[4]
Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, trans. W.M. Watt as The
Deliverance from Error (Lahore: Ashraf Press, 1952), 55–58.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 5–7.
[6]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 9–12.
[7]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–7.
Daftar Pustaka
Annas, J., & Barnes, J. (1985). The modes of
scepticism: Ancient texts and modern interpretations. Cambridge University
Press.
Ayer, A. J. (2001). Language, truth and logic
(Original work published 1936). Penguin Books.
BonJour, L. (1985). The structure of empirical
knowledge. Harvard University Press.
BonJour, L. (2002). Epistemology: Classic
problems and contemporary responses. Rowman & Littlefield.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press. (Original
work published 1641)
Dancy, J. (1985). An introduction to
contemporary epistemology. Blackwell.
Derrida, J. (1997). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press. (Original work published 1967)
Dijck, J. van. (2013). The culture of
connectivity: A critical history of social media. Oxford University Press.
Fricker, E. (2006). Second-hand knowledge. Philosophy
and Phenomenological Research, 73(3), 592–618.
Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power
and the ethics of knowing. Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief
knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.
Goldman, A. (1986). Epistemology and cognition.
Harvard University Press.
Ghazali, A. (1952). The deliverance from error
(W. M. Watt, Trans.). Ashraf Press. (Original work: Al-Munqidh min al-Dalal)
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Original
work published 1748)
James, W. (1907). Pragmatism: A new name for
some old ways of thinking. Longmans, Green & Co.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work
published 1781)
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding. Oxford University Press. (Original work published 1690)
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press. (Original work published 1979)
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Plato. (1892). Theaetetus (B. Jowett,
Trans.). In The dialogues of Plato. Clarendon Press.
Polanyi, M. (1966). The tacit dimension.
Doubleday.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery. Routledge. (Original work published 1959)
Pritchard, D. (2006). Epistemology. Palgrave
Macmillan.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Ryle, G. (1949). The concept of mind.
University of Chicago Press.
Scruton, R. (2002). A short history of modern
philosophy: From Descartes to Wittgenstein. Routledge.
Sosa, E. (1991). Knowledge in perspective:
Selected essays in epistemology. Cambridge University Press.
Sosa, E. (2007). A virtue epistemology: Apt
belief and reflective knowledge. Oxford University Press.
Zagzebski, L. T. (1996). Virtues of the mind: An
inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of knowledge.
Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar