Sabtu, 07 Juni 2025

Filsafat Manusia: Menyelami Hakikat, Eksistensi, dan Tujuan Kehidupan

Filsafat Manusia

Menyelami Hakikat, Eksistensi, dan Tujuan Kehidupan


Alihkan ke: Objek Kajian Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat manusia sebagai cabang filsafat yang menelaah secara mendalam hakikat, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Dimulai dari definisi dan konsep dasar, artikel ini menelusuri perkembangan historis pemikiran tentang manusia dari zaman klasik hingga kontemporer, mencakup pemikiran Plato, Aristoteles, Ibn Sina, Descartes, Heidegger, hingga Sartre dan Levinas. Melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, manusia dipahami bukan hanya sebagai entitas biologis, tetapi sebagai subjek yang sadar, rasional, bermoral, dan terbuka terhadap relasi eksistensial. Artikel ini juga mengkaji relevansi filsafat manusia dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti reduksionisme, transhumanisme, krisis ekologis, dan relativisme nilai, serta menunjukkan peran filsafat manusia dalam kehidupan nyata, khususnya dalam pendidikan, politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan relasi sosial. Dengan demikian, filsafat manusia tidak hanya menjadi medan teoritis, tetapi juga menawarkan orientasi reflektif dan etis yang penting bagi pembangunan pribadi dan sosial di era modern.

Kata Kunci: Filsafat manusia, eksistensi, ontologi, kesadaran, nilai, etika, teknologi, krisis makna, relasi, pendidikan.


PEMBAHASAN

Kajian tentang Manusia dalam Filsafat


1.           Pendahuluan

Pertanyaan tentang manusia merupakan salah satu isu sentral dalam filsafat sepanjang sejarahnya. Dalam upaya memahami hakikat realitas, para filsuf tidak pernah mengabaikan aspek yang paling dekat dan esensial dari keberadaan itu sendiri: manusia. Filsafat manusia (philosophical anthropology) hadir sebagai cabang filsafat yang secara khusus mengkaji manusia bukan hanya dari sudut pandang biologis atau psikologis, melainkan dari aspek yang lebih mendalam, yakni eksistensi, kesadaran, nilai, dan tujuan hidup. Ia menanyakan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: siapakah kita, mengapa kita ada, dan apa tujuan dari keberadaan kita di dunia ini¹.

Dalam perkembangan sejarah pemikiran, manusia telah dipahami secara beragam: sebagai animal rationale menurut Aristoteles, sebagai res cogitans menurut Descartes, sebagai eksistensi yang mendahului esensi menurut Sartre, hingga sebagai makhluk yang berada dalam dunia dan memahami keberadaannya menurut Heidegger². Setiap pandangan ini menegaskan bahwa manusia bukanlah sekadar objek kajian empiris, melainkan juga subjek reflektif yang mampu mempertanyakan dirinya sendiri dan eksistensinya di dunia.

Urgensi filsafat manusia semakin meningkat dalam konteks kontemporer, di mana manusia menghadapi tantangan kompleks seperti krisis identitas, dehumanisasi akibat teknologi, dan pergeseran nilai dalam masyarakat global. Di tengah arus materialisme dan relativisme nilai, filsafat manusia menawarkan ruang reflektif yang penting untuk menata kembali arah hidup dan tanggung jawab moral manusia sebagai makhluk berakal dan bermakna³. Ia mengajak manusia untuk tidak hanya “menjadi ada”, tetapi juga menjadi sadar akan keberadaannya, relasinya dengan yang lain, dan tanggung jawabnya terhadap dunia.

Lebih jauh, pembahasan tentang manusia dalam filsafat tidak dapat dilepaskan dari interdisiplinaritas dengan ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, teologi, dan ilmu budaya. Namun yang membedakan pendekatan filsafat manusia adalah kedalaman reflektif dan intensionalitas dalam memahami keberadaan manusia secara menyeluruh dan fundamental⁴. Ia tidak hanya mendeskripsikan fakta tentang manusia, tetapi menggali makna di balik fakta tersebut.

Oleh karena itu, artikel ini akan menyelami secara sistematis beragam pendekatan dan dimensi dalam filsafat manusia, mulai dari aspek ontologis tentang hakikat manusia, aspek epistemologis mengenai pengetahuan dan kesadaran manusia, hingga dimensi aksiologis yang membahas nilai dan makna hidup manusia. Dengan cara ini, filsafat manusia diharapkan dapat menjadi landasan kritis dan transformatif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan terdalam tentang diri dan dunia yang kita huni.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 7.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23; Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67.

[3]                Josef Pieper, Leisure: The Basis of Culture, trans. Gerald Malsbary (San Francisco: Ignatius Press, 2009), 69–71.

[4]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xiii–xiv.


2.           Konsep Dasar Filsafat Manusia

Filsafat manusia merupakan cabang filsafat yang secara sistematis dan reflektif mengkaji hakikat, eksistensi, serta tujuan manusia sebagai makhluk yang unik dan kompleks. Ia bukan hanya mempertanyakan apa itu manusia, tetapi juga mengapa manusia ada, bagaimana manusia memahami dirinya sendiri, dan apa makna keberadaannya dalam kosmos. Dengan demikian, filsafat manusia tidak bersifat deskriptif sebagaimana ilmu-ilmu empiris, tetapi bersifat spekulatif dan normatif—membuka ruang bagi refleksi terdalam mengenai eksistensi diri dan nilai-nilai yang mengiringinya¹.

Pada dasarnya, filsafat manusia memuat tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dimensi ontologis membahas tentang hakikat keberadaan manusia: apakah manusia sekadar materi (corpus), ataukah juga memiliki dimensi immaterial seperti jiwa (psyche) atau roh (spiritus). Dimensi epistemologis mempertanyakan bagaimana manusia mengetahui dirinya dan dunianya, serta bagaimana kesadaran dan akal budi memainkan peran dalam pencarian makna hidup. Adapun dimensi aksiologis menyentuh aspek nilai dan etika: apakah manusia memiliki tujuan moral, tanggung jawab sosial, dan cita-cita kebajikan dalam hidupnya².

Yang membedakan filsafat manusia dari pendekatan lainnya adalah fokusnya pada totalitas manusia sebagai makhluk yang utuh. Psikologi misalnya, cenderung mengkaji aspek kejiwaan manusia secara fungsional dan empirik. Sosiologi meneliti manusia dalam interaksi sosialnya. Biologi menguraikan manusia dari perspektif organisme hidup. Namun, filsafat manusia melampaui batas-batas tersebut dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat transendental dan reflektif: bukan hanya “bagaimana manusia bertindak,” tetapi “mengapa manusia bertindak,” dan “apa makna dari tindakannya tersebut”³.

Dalam sejarah pemikiran, manusia sering didefinisikan melalui berbagai pendekatan. Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon logon echon—makhluk yang memiliki logos atau rasio⁴. Thomas Aquinas memandang manusia sebagai substansi individual dari kodrat rasional yang diciptakan menurut citra Tuhan⁵. Sementara itu, Immanuel Kant melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sebagai alat bagi tujuan lain⁶. Masing-masing definisi ini mencerminkan fokus yang berbeda, tetapi semuanya menggarisbawahi kompleksitas ontologis dan moral dari manusia sebagai subjek.

Dalam konteks yang lebih luas, filsafat manusia juga memperhatikan dinamika keberadaan manusia dalam sejarah, budaya, dan spiritualitas. Filsafat tidak mengisolasi manusia dari realitas sosialnya, tetapi justru menempatkannya dalam relasi dengan dunia, sesama, dan yang transenden. Manusia, dalam kerangka ini, dipahami bukan sebagai entitas statis, tetapi sebagai makhluk yang senantiasa berada dalam proses menjadi—dalam perebutan identitas dan makna⁷.

Oleh karena itu, memahami konsep dasar filsafat manusia adalah langkah awal yang krusial untuk memahami seluruh tema yang akan dikembangkan dalam kajian ini. Tanpa pemahaman yang jelas mengenai landasan filsafat manusia, diskusi mengenai eksistensi, nilai, dan tujuan hidup akan kehilangan konteks reflektif yang mendalam. Maka dari itu, bab-bab selanjutnya akan mengelaborasi dimensi-dimensi tersebut secara lebih rinci, dalam rangka menggali pemahaman yang utuh dan kritis mengenai manusia.


Footnotes

[1]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (Chicago: Henry Regnery Company, 1950), 15.

[2]                Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans. Peter Heath (London: Routledge & Kegan Paul, 1954), 267–270.

[3]                Erich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of Ethics (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1947), 3–5.

[4]                Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1253a10.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 29, a. 1.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:429.

[7]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 32–35.


3.           Sejarah dan Perkembangan Filsafat Manusia

Perjalanan sejarah filsafat manusia mencerminkan dinamika peradaban manusia dalam memahami dirinya sendiri, baik sebagai makhluk biologis, sosial, maupun spiritual. Sejak zaman kuno hingga era kontemporer, manusia telah menjadi subjek refleksi filosofis yang tak pernah habis dibahas. Setiap periode sejarah filsafat menghadirkan perspektif unik tentang hakikat manusia, yang terpengaruh oleh konteks kebudayaan, agama, dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masanya.

3.1.       Filsafat Klasik: Rasionalitas dan Kodrat Alamiah

Dalam filsafat Yunani kuno, manusia dipahami terutama sebagai makhluk rasional. Socrates adalah tokoh awal yang menekankan pentingnya “mengenal diri sendiri” (gnothi seauton) sebagai landasan kehidupan etis¹. Plato menggambarkan manusia sebagai jiwa yang terpenjara dalam tubuh, dan menempatkan rasio sebagai kekuatan tertinggi dalam struktur kepribadian manusia². Aristoteles, murid Plato, mengembangkan gagasan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk politik) dan animal rationale (makhluk berakal), yang hanya akan mencapai aktualisasi diri dalam kehidupan bermasyarakat³. Dalam pandangan mereka, manusia memiliki kodrat yang tetap dan tujuan yang inheren dalam struktur alam semesta.

3.2.       Filsafat Abad Pertengahan: Teologi dan Citra Ilahi

Pada abad pertengahan, filsafat manusia dipengaruhi kuat oleh teologi Kristen, Islam, dan Yahudi. Dalam tradisi Kristen, manusia dipahami sebagai imago Dei—citra Allah—yang diciptakan untuk hidup dalam relasi dengan Tuhan⁴. Agustinus menekankan pentingnya kehendak dan hati nurani dalam merespons kasih karunia ilahi. Sedangkan Thomas Aquinas, melalui pendekatan skolastiknya, mengintegrasikan filsafat Aristotelian dengan doktrin Kristen, menjelaskan manusia sebagai substansi individual yang rasional, sekaligus makhluk moral dan spiritual⁵.

Di dunia Islam, pemikiran filsafat manusia mengalami kemajuan signifikan. Al-Farabi menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial yang hanya dapat mewujudkan potensi akalnya dalam kehidupan bernegara. Ibn Sina memformulasikan teori jiwa manusia sebagai substansi yang tidak bergantung pada materi dan kekal setelah kematian⁶. Sementara itu, al-Ghazali mengkritik pendekatan rasionalis yang ekstrem, dan menekankan pentingnya aspek spiritual serta hubungan hati dengan Tuhan⁷.

3.3.       Filsafat Modern: Subjektivitas dan Kesadaran Diri

Zaman modern membawa pergeseran tajam dalam pemahaman tentang manusia. Fokus berpindah dari hakikat objektif menuju subjektivitas dan kesadaran diri. René Descartes dengan cogito-nya (Cogito ergo sum) meletakkan dasar pemikiran modern dengan menempatkan kesadaran diri sebagai titik tolak seluruh pengetahuan⁸. Dalam pandangan ini, manusia adalah subjek berpikir yang otonom.

Immanuel Kant kemudian menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang memiliki martabat karena ia mampu bertindak menurut hukum moral yang ia tetapkan sendiri. Bagi Kant, manusia tidak hanya berakal, tetapi juga memiliki nilai intrinsik sebagai tujuan pada dirinya sendiri⁹. Sementara itu, G.W.F. Hegel menafsirkan manusia sebagai makhluk historis yang berkembang melalui dialektika kesadaran, menuju realisasi roh absolut¹⁰.

3.4.       Filsafat Kontemporer: Eksistensialisme dan Fenomenologi

Abad ke-20 ditandai dengan berkembangnya eksistensialisme dan fenomenologi sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan modern. Tokoh seperti Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche mempertanyakan keyakinan lama dan menegaskan pentingnya keberanian manusia untuk memilih dan menciptakan makna hidupnya sendiri. Martin Heidegger memandang manusia (Dasein) sebagai makhluk yang “ada-di-dalam-dunia” dan memiliki kesadaran akan kematian, yang mendorongnya untuk hidup secara autentik¹¹.

Jean-Paul Sartre menolak esensi yang melekat sebelum eksistensi, dan menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab penuh atas tindakannya. Bagi Sartre, eksistensi manusia adalah proyek terbuka yang diciptakan melalui pilihan-pilihannya¹². Di sisi lain, Maurice Merleau-Ponty menawarkan pendekatan fenomenologis terhadap tubuh manusia sebagai subjek yang merasakan dan berada dalam dunia secara konkret, bukan sekadar objek bagi ilmu pengetahuan¹³.

3.5.       Kontribusi Filsafat Timur dan Tradisi Non-Barat

Di luar tradisi Barat, filsafat Timur juga memberikan kontribusi penting dalam memahami manusia. Dalam Konfusianisme, manusia dilihat sebagai makhluk yang bermoral dan bertumbuh melalui relasi sosial yang harmonis. Dalam filsafat Buddha, manusia adalah makhluk yang terus-menerus mengalami perubahan dan penderitaan, dan pembebasan dicapai melalui pencerahan dan penghapusan keinginan duniawi¹⁴. Tradisi-tradisi ini memperkaya khazanah filsafat manusia dengan menekankan aspek etika, harmoni, dan transformasi spiritual.


Footnotes

[1]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 38a.

[2]                Plato, Phaedrus, trans. Alexander Nehamas and Paul Woodruff (Indianapolis: Hackett Publishing, 1995), 246a–247c.

[3]                Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1253a1–3.

[4]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), X.27.38.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 75, a. 1.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 74–77.

[7]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 152–153.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[9]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:428–429.

[10]             G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 104–109.

[11]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 279–311.

[12]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 60–70.

[13]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), 93–102.

[14]             Edward Conze, Buddhist Thought in India (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1967), 45–48.


4.           Ontologi Manusia: Hakikat dan Keberadaan

Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat keberadaan atau eksistensi sebagai realitas paling fundamental. Dalam konteks filsafat manusia, pendekatan ontologis menanyakan: “Apa itu manusia?”, “Apa struktur terdalam dari eksistensinya?”, dan “Bagaimana manusia menjadi ada di dunia ini?” Pertanyaan ini bukan semata-mata biologis atau empiris, melainkan menyentuh aspek metafisis yang lebih mendalam dan menyeluruh¹.

4.1.       Tubuh, Jiwa, dan Roh: Struktur Ontologis Manusia

Sejak zaman Yunani Kuno, manusia telah dipahami sebagai makhluk yang terdiri dari unsur jasmani dan nonjasmani. Plato membedakan tubuh (soma) yang bersifat sementara dan jiwa (psyche) yang bersifat abadi. Jiwa dianggap sebagai hakikat sejati manusia yang berasal dari dunia ide dan terpenjara dalam tubuh fisik². Aristoteles melengkapi pandangan ini dengan konsep hylomorphism, yakni bahwa manusia terdiri dari materi (hyle) dan bentuk (morphe), di mana jiwa adalah bentuk dari tubuh yang memungkinkan aktivitas hidup³.

Pandangan ini berlanjut dalam filsafat Kristen dan Islam. Thomas Aquinas menekankan bahwa manusia adalah substantial unity antara tubuh dan jiwa; jiwa rasional adalah bentuk substansial dari tubuh manusia⁴. Dalam pemikiran Islam, Ibn Sina menyatakan bahwa jiwa manusia adalah substansi yang immaterial, kekal, dan bersumber dari Tuhan, serta memiliki kemampuan untuk mengenal realitas spiritual⁵.

Dalam konteks modern, pemisahan antara tubuh dan jiwa menjadi bahan kritik. Beberapa filsuf seperti Descartes menegaskan dualisme ontologis antara res extensa (materi) dan res cogitans (pikiran)⁶, namun pendekatan ini kemudian dipertanyakan oleh pendekatan fenomenologis dan eksistensial yang lebih integral.

4.2.       Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Personal

Salah satu unsur utama dalam pemahaman ontologis tentang manusia adalah rasionalitas. Aristoteles menyebut manusia sebagai satu-satunya makhluk hidup yang memiliki logos atau akal budi. Rasionalitas ini bukan hanya untuk berpikir, tetapi juga untuk membedakan antara yang benar dan salah, serta membangun masyarakat yang adil⁷.

Namun, filsafat kontemporer memperluas pemahaman ini dengan menekankan dimensi personalitas dan kebebasan. Martin Buber, misalnya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk relasional yang menyadari dirinya melalui hubungan dialogis dengan sesama dalam relasi Aku-Engkau⁸. Sementara itu, Gabriel Marcel menyebut manusia sebagai misteri eksistensial, bukan sekadar objek untuk dianalisis, melainkan subjek yang hidup, merasa, dan mencari makna⁹.

4.3.       Kebebasan, Kesadaran Diri, dan Keberadaan yang Otentik

Eksistensialisme membawa terobosan penting dalam cara memahami keberadaan manusia. Jean-Paul Sartre menolak adanya esensi bawaan dalam diri manusia; menurutnya, eksistensi mendahului esensi (existence precedes essence)—artinya, manusia pertama-tama ada, lalu menentukan siapa dirinya melalui pilihan-pilihan hidupnya¹⁰. Dalam paradigma ini, manusia adalah makhluk bebas, namun kebebasan itu datang dengan tanggung jawab penuh atas dirinya sendiri.

Heidegger memberikan dimensi yang lebih ontologis melalui konsep Dasein (ada-di-dalam-dunia). Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki pemahaman akan keberadaan, dan mampu merenungkan keberadaannya sendiri. Dasein hidup dalam ketegangan antara otentisitas (hidup sesuai potensi terdalamnya) dan ketidakotentikan (terjebak dalam rutinitas sosial)¹¹. Kesadaran akan kematian (Sein zum Tode) menjadi pendorong manusia untuk hidup secara autentik.

4.4.       Dialektika Individualitas dan Relasionalitas

Manusia tidak dapat dipahami hanya sebagai individu terisolasi. Ia adalah makhluk yang berada dalam relasi, baik dengan sesama, dunia, maupun dengan Yang Transenden. Dalam filsafat Emmanuel Levinas, manusia diartikan sebagai makhluk etis yang pertama-tama merespons kehadiran “yang lain” (autrui) melalui wajah yang menyerukan tanggung jawab moral¹². Ontologi manusia dalam pendekatan ini bukanlah soal esensi tetap, melainkan relasi yang terus terbentuk melalui keterbukaan dan empati terhadap yang lain.

Dengan demikian, keberadaan manusia adalah keberadaan yang terbuka, dinamis, dan penuh potensi. Ia bukan makhluk yang selesai, tetapi senantiasa dalam proses menjadi (homo viator)—peziarah yang menempuh jalan menuju aktualisasi diri dan pemahaman akan makna.


Footnotes

[1]                John Macquarrie, Existentialism (Philadelphia: Westminster Press, 1972), 97.

[2]                Plato, Phaedo, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1977), 66b–67b.

[3]                Aristotle, De Anima, trans. Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin Books, 1986), II.1–2.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 76, a. 1–2.

[5]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 69–72.

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a3–20.

[8]                Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 3–6.

[9]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1950), 117.

[10]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[11]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 279–311.

[12]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 197–201.


5.           Epistemologi Manusia: Akal, Kesadaran, dan Pengetahuan

Epistemologi atau teori pengetahuan adalah salah satu cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, dan validitas pengetahuan. Dalam konteks filsafat manusia, epistemologi menjadi krusial karena menyangkut bagaimana manusia mengenali dirinya, memahami dunia sekitarnya, dan menafsirkan makna hidup. Sebagai makhluk yang sadar dan berpikir, manusia tidak hanya mengalami realitas, tetapi juga menafsirkannya melalui akal dan kesadaran reflektif¹.

5.1.       Akal sebagai Alat dan Daya Pengetahuan

Sejak zaman Yunani Kuno, akal (nous atau logos) telah dianggap sebagai inti dari kemampuan manusia untuk mengetahui. Plato menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui akal yang mengingat bentuk-bentuk ideal (anamnesis) yang pernah dilihat jiwa sebelum turun ke dunia jasmani². Aristoteles, sebaliknya, menekankan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman empiris yang diolah oleh akal melalui proses abstraksi³.

Pada zaman modern, René Descartes menjadikan akal sebagai dasar mutlak kepastian. Dalam Meditationes, ia mengemukakan cogito ergo sum sebagai kebenaran pertama yang tak dapat diragukan, dan dari sana membangun sistem pengetahuan melalui deduksi rasional⁴. Namun, pendekatan ini dikritik oleh para empiris seperti John Locke dan David Hume yang menganggap bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman inderawi, bukan dari ide bawaan atau akal semata⁵.

Ketegangan antara rasionalisme dan empirisme akhirnya dijembatani oleh Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa pengetahuan berasal dari hasil interaksi antara materi empiris (dari pengalaman) dan bentuk a priori (dari akal). Bagi Kant, akal manusia membentuk realitas melalui kategori-kategori pemikiran seperti ruang, waktu, dan kausalitas⁶. Dengan demikian, manusia bukan hanya penerima pasif informasi, tetapi juga pencipta aktif struktur pengetahuan.

5.2.       Kesadaran Diri dan Refleksi Eksistensial

Kesadaran (consciousness) adalah aspek mendalam dari subjek manusia yang memungkinkan pengalaman subjektif dan refleksi atas keberadaan. Dalam filsafat fenomenologi, kesadaran bukan sekadar kapasitas kognitif, melainkan juga intensional—selalu tentang sesuatu, sebagaimana ditegaskan oleh Edmund Husserl⁷. Manusia memiliki kemampuan untuk merefleksikan dirinya sebagai subjek yang sadar dan mengalami dunia.

Jean-Paul Sartre membedakan antara kesadaran-naif (pre-reflective consciousness) dan kesadaran reflektif, yang memungkinkan manusia mengenali dirinya sebagai subjek yang ada, bertindak, dan bertanggung jawab⁸. Refleksi ini menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang mampu mempertanyakan keberadaannya sendiri dan menilai tindakannya secara moral.

Kesadaran juga terkait erat dengan identitas dan waktu. Paul Ricoeur menekankan bahwa narasi diri (self-narrative) adalah bentuk kesadaran yang mengaitkan pengalaman masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu struktur makna yang utuh⁹. Dengan kata lain, manusia mengenali dirinya bukan hanya sebagai subjek kognitif, tetapi juga sebagai makhluk historis yang hidup dalam alur waktu dan makna.

5.3.       Batasan dan Kemungkinan Pengetahuan Manusia

Meskipun manusia memiliki kemampuan rasional dan reflektif, pengetahuan manusia tetap terbatas. Martin Heidegger menyatakan bahwa pemahaman manusia terhadap realitas tidak pernah mutlak, karena manusia terlempar ke dalam dunia (Geworfenheit) dan selalu berada dalam horizon pengertian yang terbatas¹⁰. Bahkan dalam ilmu pengetahuan modern, batasan epistemik semakin diakui, misalnya melalui prinsip ketidakpastian dalam fisika kuantum, atau relativitas budaya dalam ilmu sosial.

Keterbatasan ini justru membuka ruang bagi kebijaksanaan, yaitu kemampuan untuk mengenali bahwa tidak semua hal dapat diketahui dengan pasti. Gabriel Marcel menyebut bahwa pengetahuan tentang manusia bukan sekadar masalah objektif, melainkan suatu misteri yang hanya dapat didekati melalui keterlibatan pribadi dan cinta¹¹.

Dengan demikian, epistemologi manusia tidak hanya mengandalkan akal dan logika formal, tetapi juga melibatkan dimensi eksistensial, spiritual, dan etis dalam proses pencarian kebenaran. Pengetahuan yang sejati bukan hanya tentang “menguasai dunia”, tetapi tentang “mengerti diri sendiri dan tempatnya dalam semesta”.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 3.

[2]                Plato, Meno, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1981), 81d–86c.

[3]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.19.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §IV.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.

[7]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 60–63.

[8]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 82–87.

[9]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–118.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–180.

[11]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1950), 106–108.


6.           Aksiologi Manusia: Moralitas, Tujuan Hidup, dan Makna

Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai (values), terutama nilai etis dan estetis. Dalam konteks filsafat manusia, aksiologi menjelajahi dimensi terdalam dari eksistensi manusia: apa yang baik, apa yang patut dilakukan, dan apa tujuan dari kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk bernilai tidak hanya hidup dan berpikir, tetapi juga mengejar kebaikan, memaknai pengalaman, dan bertanggung jawab secara moral atas tindakannya¹.

6.1.       Manusia sebagai Subjek Etis

Filsafat menempatkan manusia sebagai subjek moral yang memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan salah. Sejak Socrates, kehidupan yang tidak direfleksikan dianggap tidak layak dijalani, karena hanya melalui refleksi moral manusia dapat menemukan arah hidupnya². Immanuel Kant kemudian mengembangkan gagasan bahwa manusia adalah makhluk otonom yang tunduk pada hukum moral yang ia berikan sendiri melalui akal praktis. Prinsip moral utamanya, yakni imperatif kategoris, menyatakan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat³.

Lebih lanjut, manusia bukan hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga terhadap sesama. Dalam etika Levinasian, Emmanuel Levinas menekankan bahwa tanggung jawab etis muncul dari kehadiran wajah orang lain yang “memanggil” manusia untuk bertindak adil⁴. Artinya, nilai moral tidak bersifat abstrak, melainkan konkret dalam relasi antarpribadi yang nyata.

6.2.       Tujuan Hidup: Antara Teleologi dan Eksistensialisme

Pertanyaan tentang tujuan hidup telah menjadi tema sentral sejak zaman kuno. Aristoteles memahami bahwa semua makhluk memiliki telos, yaitu tujuan atau akhir yang ingin dicapai. Dalam konteks manusia, telos itu adalah eudaimonia—kehidupan yang baik dan bahagia yang dicapai melalui kebajikan⁵. Bagi Aristoteles, manusia yang hidup sesuai dengan kebajikan (arete) akan mencapai bentuk kehidupan yang paling sempurna.

Namun, dalam konteks modern dan kontemporer, muncul pendekatan eksistensialis yang menolak adanya tujuan bawaan dalam diri manusia. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa manusia terlempar ke dalam dunia tanpa tujuan yang telah ditentukan, dan oleh karena itu harus menciptakan makna hidupnya sendiri melalui pilihan-pilihan eksistensial⁶. Makna hidup tidak ditemukan, tetapi diciptakan melalui tindakan bebas dan otentik.

Viktor Frankl, melalui logoterapinya, menunjukkan bahwa pencarian makna adalah dorongan utama manusia. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, Frankl menyatakan bahwa bahkan dalam penderitaan yang ekstrem seperti di kamp konsentrasi, manusia tetap mampu menemukan makna—dan makna itulah yang memungkinkan ia bertahan⁷.

6.3.       Nilai dan Relativisme: Apakah Ada Nilai yang Bersifat Universal?

Dalam dunia yang plural dan multikultural, timbul pertanyaan tentang apakah nilai-nilai moral bersifat universal atau relatif terhadap budaya, waktu, dan situasi. Max Scheler, seorang fenomenolog aksiologis, menyatakan bahwa nilai memiliki hirarki objektif—nilai vital, nilai spiritual, dan nilai religius—dan manusia sebagai makhluk nilai memiliki kemampuan intuitif untuk mengenalinya⁸.

Sebaliknya, pendekatan relativistik menyatakan bahwa nilai adalah konstruksi sosial yang berubah tergantung konteks historis dan budaya. Pandangan ini menantang keyakinan akan kebenaran moral universal, tetapi juga menimbulkan risiko nihilisme, yaitu anggapan bahwa tidak ada nilai yang benar-benar bermakna atau mengikat⁹.

Filsafat manusia di sini mengambil posisi tengah yang kritis: mengakui konteks dan keberagaman nilai, namun tetap mempertahankan bahwa nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia bersifat fundamental bagi eksistensi dan koeksistensi manusia yang bermartabat¹⁰.

6.4.       Makna Hidup sebagai Orientasi Nilai

Makna hidup bukan hanya soal memahami “apa yang terjadi” dalam hidup, tetapi juga mengapa dan untuk apa kita menjalaninya. Dalam pandangan Gabriel Marcel, makna hidup tidak dapat direduksi menjadi formula atau teori, tetapi hadir dalam pengalaman cinta, kesetiaan, dan pengharapan¹¹. Makna adalah sesuatu yang dialami, bukan sekadar dijelaskan secara logis.

Dengan demikian, pencarian nilai dan makna adalah aktivitas ontologis dan eksistensial yang menyatu dalam kehidupan manusia sehari-hari. Manusia bukan hanya penanya tentang kebenaran, tetapi juga pencipta arah dan nilai melalui tindakan yang bertanggung jawab. Tanpa dimensi aksiologis ini, filsafat manusia akan kehilangan jiwanya—karena manusia yang tidak menghidupi nilai akan kehilangan kemanusiaannya sendiri.


Footnotes

[1]                John Dewey, Theory of Valuation (Chicago: University of Chicago Press, 1939), 10–12.

[2]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 38a.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:428.

[4]                Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), 86–89.

[5]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b22–1098a20.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.

[7]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 104–115.

[8]                Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 88–95.

[9]                Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 22–23.

[10]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 4–7.

[11]             Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope, trans. Emma Craufurd (San Francisco: Ignatius Press, 2010), 56–60.


7.           Manusia dalam Hubungan Eksistensial

Manusia, sebagai makhluk eksistensial, tidak pernah hidup dalam keterisolasian mutlak. Keberadaan manusia selalu berada dalam relasi—baik dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam semesta, maupun dengan Yang Transenden. Hubungan-hubungan ini bukan sekadar interaksi eksternal, melainkan bagian hakiki dari struktur eksistensi manusia. Filsafat manusia, dalam banyak tradisi, memandang bahwa “ada” manusia adalah “ada-bersama” (Mitsein) yang membuka dimensi etis, spiritual, dan eksistensial secara menyeluruh¹.

7.1.       Relasi Manusia dengan Tuhan: Eksistensi dalam Dimensi Transenden

Pertanyaan tentang Tuhan dan relasi manusia dengan Yang Mutlak merupakan inti dari eksistensi religius manusia. Dalam filsafat agama, Søren Kierkegaard memandang hubungan manusia dengan Tuhan sebagai suatu lompatan iman (leap of faith) yang mendefinisikan eksistensi autentik². Relasi ini bersifat paradoksal: manusia yang terbatas, fana, dan penuh dosa mendekat kepada Yang Tidak Terbatas, namun justru dalam ketegangan inilah manusia menemukan eksistensinya yang sejati.

Gabriel Marcel menekankan bahwa eksistensi manusia tidak bisa dimengerti hanya dari segi rasional atau material. Keterbukaan terhadap Misteri—yang dalam konteks religius disebut sebagai Allah—merupakan aspek terdalam dari eksistensi manusia. Melalui relasi dialogis dengan Tuhan, manusia menemukan makna yang melampaui dirinya sendiri³.

Tradisi Islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi yang diciptakan dengan kehormatan dan diberi amanah untuk beribadah kepada Allah (QS. Al-Dzariyat [51] ayat 56). Dalam filsafat Ibn Sina dan al-Ghazali, pencarian manusia terhadap Tuhan adalah jalan spiritual menuju aktualisasi jiwa dan kebahagiaan abadi⁴.

7.2.       Relasi Manusia dengan Sesama: Etika Dialogis dan Tanggung Jawab

Eksistensi manusia juga ditandai oleh keterhubungan dengan sesama. Martin Buber menyatakan bahwa relasi otentik antar manusia hanya mungkin terjadi dalam bentuk Aku–Engkau (I–Thou), bukan Aku–Itu (I–It). Relasi Aku–Engkau bersifat dialogis, setara, dan membuka ruang untuk kehadiran pribadi yang utuh⁵. Dalam pandangan ini, hubungan manusia bukanlah hubungan instrumen atau alat, melainkan keterbukaan eksistensial satu terhadap yang lain.

Emmanuel Levinas memperdalam aspek ini dengan menyatakan bahwa wajah orang lain adalah panggilan etis yang tidak dapat diabaikan. Dalam melihat wajah sesama, manusia tidak hanya melihat makhluk biologis, tetapi menghadapi tanggung jawab yang mendalam dan tidak tereduksi⁶. Eksistensi manusia baru menjadi utuh saat ia merespons keberadaan orang lain dalam bentuk kasih, solidaritas, dan keadilan.

7.3.       Relasi Manusia dengan Alam: Kesadaran Ekologis dan Eksistensi Simbiotik

Kesadaran manusia akan alam telah mengalami pergeseran seiring waktu. Dalam modernitas, alam sering direduksi sebagai objek untuk dieksploitasi. Namun filsafat kontemporer, terutama ekofenomenologi, berupaya mengembalikan relasi ekologis sebagai bagian integral dari eksistensi manusia. Hans Jonas mengembangkan etika tanggung jawab yang menyatakan bahwa manusia tidak boleh hanya memikirkan dampak langsung dari tindakannya, tetapi juga akibatnya bagi generasi mendatang dan keberlangsungan ekosistem⁷.

Manusia bukanlah penguasa mutlak atas alam, melainkan bagian dari jejaring kehidupan. Dalam tradisi filsafat Timur dan mistisisme Islam, hubungan dengan alam dipandang sebagai bagian dari keterhubungan spiritual. Ibn ‘Arabi, misalnya, menekankan bahwa seluruh kosmos adalah manifestasi dari kehadiran Ilahi, dan dengan demikian harus dihormati dan dikasihi⁸.

7.4.       Krisis Eksistensial dalam Hubungan

Kerapuhan hubungan eksistensial manusia juga menjadi tema penting dalam filsafat kontemporer. Alienasi, keterasingan, dan kehilangan makna sering kali muncul sebagai akibat dari keretakan relasi—baik dengan Tuhan, sesama, maupun alam. Albert Camus berbicara tentang absurditas sebagai kondisi dasar manusia modern: pencarian makna dalam dunia yang diam. Namun justru dalam kesadaran akan absurditas itu, manusia diberi ruang untuk menciptakan makna secara otentik⁹.

Krisis ini juga terlihat dalam teknologi dan kehidupan digital yang dapat mereduksi relasi menjadi kontak fungsional dan dangkal. Dalam konteks ini, filsafat manusia mengingatkan akan pentingnya kualitas relasi eksistensial, bukan sekadar kuantitas interaksi sosial.

7.5.       Relasi sebagai Inti Eksistensi

Pada akhirnya, relasi bukanlah pelengkap dari keberadaan manusia, tetapi struktur ontologis yang menyusun eksistensinya. Manusia adalah makhluk yang hidup dalam keterbukaan terhadap Yang Lain: Tuhan, sesama, dan dunia. Dalam keterbukaan ini, manusia menjelma menjadi pribadi yang utuh—menjadi bukan hanya ada, tetapi ada-bersama dan ada-untuk.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 152–155.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 52–58.

[3]                Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1950), 173–175.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 108–112; Al-Ghazali, The Alchemy of Happiness, trans. Claud Field (London: Moffat, Yard and Co., 1910), 15–17.

[5]                Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 3–6.

[6]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–198.

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 121–125.

[8]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 105–110.

[9]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 11–13.


8.           Tantangan Kontemporer dalam Kajian Filsafat Manusia

Dalam era modern dan postmodern, filsafat manusia menghadapi tantangan multidimensional yang menguji kembali asumsi-asumsi klasik mengenai hakikat dan eksistensi manusia. Globalisasi, perkembangan teknologi digital, bioteknologi, krisis ekologis, hingga relativisme budaya telah menciptakan konteks baru yang menuntut reorientasi terhadap pemahaman tentang manusia. Tantangan-tantangan ini tidak hanya bersifat teknis atau sosial, melainkan bersifat ontologis dan aksiologis, menyentuh jantung dari eksistensi dan nilai kemanusiaan itu sendiri¹.

8.1.       Reduksionisme Materialistik dan Krisis Identitas Manusia

Salah satu tantangan utama dalam kajian filsafat manusia dewasa ini adalah reduksionisme materialistik, yakni kecenderungan untuk memandang manusia hanya sebagai kumpulan proses biologis atau neurokimia. Dalam kerangka ini, kesadaran, kehendak bebas, bahkan moralitas sering kali dianggap sebagai ilusi dari aktivitas otak².

Pandangan ini banyak dikemukakan oleh ilmuwan seperti Daniel Dennett dan Richard Dawkins, yang memandang pikiran manusia sebagai hasil dari evolusi dan algoritma seleksi alam. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya aspek-aspek spiritual dan moral dalam memahami manusia³. Dalam menghadapi reduksionisme ini, filsafat manusia ditantang untuk menegaskan kembali dimensi interioritas, makna, dan nilai yang tidak dapat direduksi menjadi data biologis belaka⁴.

8.2.       Teknologi, Transhumanisme, dan Manipulasi Kodrat Manusia

Kemajuan pesat di bidang bioteknologi dan kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan gerakan transhumanisme, yang mendorong manusia untuk mengatasi keterbatasan biologisnya melalui teknologi. Tokoh-tokoh seperti Ray Kurzweil meramalkan tercapainya singularity, yaitu titik di mana kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia⁵.

Meskipun menjanjikan peningkatan kualitas hidup, transhumanisme juga mengundang kritik etis dan filosofis: Apakah intervensi teknologi terhadap tubuh manusia akan merusak martabat kodratinya? Apakah manusia yang dimodifikasi masih dapat disebut manusia? Filsuf Jürgen Habermas memperingatkan bahwa manipulasi genetika terhadap manusia dapat mengubah subjek moral menjadi objek desain, yang pada akhirnya mengaburkan batas antara ciptaan dan pencipta⁶.

8.3.       Krisis Ekologis dan Relasi Manusia dengan Alam

Perusakan lingkungan yang semakin masif menunjukkan bahwa manusia modern telah tercerabut dari relasi ekologisnya. Pandangan yang menempatkan manusia sebagai “penguasa alam” telah menyebabkan eksploitasi yang membabi buta terhadap sumber daya alam, dan menghasilkan krisis iklim global.

Filsafat lingkungan kontemporer, seperti yang dikembangkan oleh Arne Naess dalam konsep deep ecology, menantang antroposentrisme dan mendorong pengakuan akan nilai intrinsik semua bentuk kehidupan⁷. Tantangan bagi filsafat manusia adalah mengintegrasikan kesadaran ekologis ke dalam kerangka eksistensial, sehingga manusia tidak lagi menjadi subjek yang menguasai, tetapi bagian dari jaringan kehidupan yang saling bergantung.

8.4.       Relativisme Budaya dan Erosi Nilai Universal

Dalam masyarakat plural dan multikultural, terjadi pergeseran dari klaim kebenaran universal menuju relativisme budaya dan moral. Sementara relativisme dapat memperkuat toleransi dan keberagaman, ia juga berpotensi mengikis standar etis universal yang diperlukan untuk membela martabat manusia, terutama dalam konteks pelanggaran HAM, ketidakadilan sosial, dan kekerasan struktural⁸.

Alasdair MacIntyre, dalam After Virtue, menyebut bahwa masyarakat modern kehilangan dasar etis karena melemahkan narasi moral tradisional dan menggantikannya dengan fragmentasi nilai-nilai individualistik⁹. Filsafat manusia kini ditantang untuk menemukan kembali fondasi etis yang kokoh dan kontekstual, yang dapat menjembatani antara universalisme dan relativisme secara seimbang.

8.5.       Krisis Makna dan Alienasi dalam Kehidupan Modern

Globalisasi, urbanisasi, dan digitalisasi telah menciptakan keterputusan eksistensial antara manusia dengan diri, sesama, dan dunia. Akibatnya, muncul gejala krisis makna, di mana manusia mengalami keterasingan (alienation) di tengah kehidupan yang serba cepat, instan, dan terfragmentasi.

Viktor Frankl menggambarkan kondisi ini sebagai existential vacuum, yaitu kekosongan makna yang muncul ketika manusia tidak lagi memiliki arah hidup yang jelas¹⁰. Dalam konteks ini, filsafat manusia berperan sebagai medan refleksi eksistensial untuk menghidupkan kembali pertanyaan-pertanyaan dasar: “Untuk apa aku hidup?”, “Apa yang benar-benar bernilai?”, “Bagaimana seharusnya aku hidup bersama orang lain?

8.6.       Ketimpangan Global dan Kemanusiaan yang Terpinggirkan

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah ketimpangan global yang mengancam integritas kemanusiaan. Miliaran manusia hidup dalam kemiskinan, kekerasan, dan marginalisasi. Dalam situasi ini, filsafat manusia tidak cukup menjadi refleksi teoritis, tetapi harus menjadi kritik sosial dan etika praksis.

Paul Ricoeur menyatakan bahwa filsafat manusia tidak boleh hanya bertanya tentang “siapa aku”, tetapi juga tentang “siapa sesamaku”, dan bagaimana aku bertanggung jawab terhadap penderitaannya¹¹. Dalam semangat inilah, filsafat manusia menemukan panggilan transformatifnya—bukan hanya untuk berpikir, tetapi juga untuk bertindak demi kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, The Malaise of Modernity (Toronto: Anansi, 1991), 1–3.

[2]                Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind–Brain (Cambridge: MIT Press, 1986), 9–12.

[3]                Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University Press, 1976), 1–4.

[4]                Roger Scruton, The Soul of the World (Princeton: Princeton University Press, 2014), 25–28.

[5]                Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 9–10.

[6]                Jürgen Habermas, The Future of Human Nature, trans. Hella Beister and William Rehg (Cambridge: Polity Press, 2003), 19–21.

[7]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1 (1973): 95–100.

[8]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 212–215.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 2–3.

[10]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.

[11]             Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 10–13.


9.           Relevansi Filsafat Manusia dalam Kehidupan Nyata

Filsafat manusia bukan sekadar wacana teoritis yang bergerak dalam tataran spekulatif, tetapi merupakan medan refleksi yang menyentuh langsung kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai dimensi kehidupan—pendidikan, politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan relasi sosial—pemahaman mendalam tentang manusia sangat menentukan arah, etika, dan kualitas tindakan. Filsafat manusia menyediakan kerangka konseptual yang membantu individu dan masyarakat menafsirkan eksistensi, menyusun nilai, serta membangun tata kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan¹.

9.1.       Filsafat Manusia dan Pendidikan: Mendidik Manusia Seutuhnya

Pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan, melainkan juga proses pemanusiaan manusia (humanisasi). Dalam pandangan filsuf seperti Paulo Freire, pendidikan harus membebaskan, bukan menindas; membentuk kesadaran kritis, bukan sekadar kepatuhan mekanis². Filsafat manusia membantu dunia pendidikan menyadari bahwa peserta didik bukan objek yang diisi, tetapi subjek yang aktif, unik, dan otonom.

Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, juga menekankan bahwa pendidikan harus memperhatikan potensi kodrati manusia dan membimbingnya agar menjadi manusia merdeka secara utuh: lahir, batin, dan sosial³. Tanpa pemahaman filosofis tentang manusia sebagai makhluk yang berpikir, merasa, dan bertanggung jawab, pendidikan akan terjebak dalam teknokratisme dan kehilangan ruh kemanusiaannya.

9.2.       Filsafat Manusia dan Politik: Menjaga Martabat dalam Kekuasaan

Dalam ranah politik, filsafat manusia berperan sebagai dasar etika publik yang mempertanyakan: Apa arti kekuasaan dalam kaitannya dengan martabat manusia? Apakah kebijakan publik mencerminkan penghargaan terhadap hak dan kebebasan manusia sebagai warga negara dan pribadi?

Hannah Arendt memperingatkan bahaya dehumanisasi dalam sistem politik totalitarian, di mana individu direduksi menjadi massa yang dapat dimanipulasi dan dikontrol tanpa ruang untuk berpikir dan bertindak bebas⁴. Filsafat manusia mengingatkan bahwa sistem politik yang baik adalah yang mengakui, menghargai, dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan—seperti keadilan, kebebasan, dan partisipasi.

9.3.       Filsafat Manusia dan Budaya: Membangun Identitas dan Makna

Budaya adalah ekspresi kolektif dari pencarian makna manusia dalam hidup. Filsafat manusia memberikan fondasi ontologis dan aksiologis bagi penciptaan, pemeliharaan, dan transformasi budaya. Dalam dunia yang dilanda homogenisasi global, filsafat manusia membantu menegaskan pentingnya identitas budaya, narasi lokal, dan spiritualitas tradisional yang membentuk jati diri manusia⁵.

Sebagaimana ditekankan oleh Charles Taylor, manusia menemukan dirinya dalam horizons of significance, yaitu lanskap makna yang diwariskan oleh budaya dan sejarahnya. Dalam situasi krisis identitas, filsafat manusia dapat memulihkan pemahaman yang mendalam akan akar eksistensial yang menyatukan individu dengan komunitasnya⁶.

9.4.       Filsafat Manusia dan Ilmu Pengetahuan: Memanusiakan Teknologi

Kemajuan sains dan teknologi memberikan dampak besar bagi kehidupan manusia. Namun, tanpa panduan filsafat manusia, sains dapat menjadi kekuatan yang netral secara moral dan bahkan merusak. Filsafat manusia menekankan bahwa teknologi harus dikembangkan dengan memperhatikan dampaknya terhadap martabat, kebebasan, dan integritas manusia.

Hans Jonas, dalam etikanya tentang tanggung jawab, menggarisbawahi bahwa kemajuan teknologi membawa serta kewajiban etis untuk mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang terhadap umat manusia dan planet ini⁷. Dengan kata lain, filsafat manusia menjadi pengingat bahwa apa yang mungkin secara teknis belum tentu benar secara etis.

9.5.       Filsafat Manusia dalam Relasi Sosial: Menumbuhkan Empati dan Tanggung Jawab

Kehidupan sosial sering kali terjebak dalam relasi transaksional yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan. Filsafat manusia mengajarkan bahwa relasi antarindividu bukan sekadar interaksi, tetapi perjumpaan eksistensial. Relasi yang autentik dilandasi oleh empati, pengakuan, dan tanggung jawab.

Martin Buber menyebut bahwa manusia hanya menjadi sepenuhnya manusia dalam hubungan “Aku–Engkau”, bukan “Aku–Itu”⁸. Dalam konteks ini, filsafat manusia mendorong pembentukan masyarakat yang lebih manusiawi, di mana solidaritas dan penghormatan menjadi prinsip dasar.

9.6.       Filsafat Manusia dan Ketahanan Moral dalam Krisis

Krisis global—pandemi, perang, ketidakadilan sosial, dan perubahan iklim—menyentakkan kita pada kenyataan bahwa manusia rapuh namun juga tangguh. Filsafat manusia mengajarkan bahwa di tengah penderitaan, manusia tetap mampu bertanya, merenung, dan bangkit mencari makna. Itulah ciri khas manusia sebagai makhluk eksistensial.

Viktor Frankl menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi ekstrem, manusia tetap dapat memilih sikapnya, menemukan makna, dan mempertahankan martabatnya sebagai pribadi⁹. Dalam dunia yang terus berubah, filsafat manusia memberikan keteguhan moral yang tak tergantikan.


Kesimpulan Antarseksi

Relevansi filsafat manusia dalam kehidupan nyata tampak dalam kemampuannya menjembatani antara pemikiran dan tindakan, antara prinsip dan praktik, antara makna dan kebijakan. Filsafat ini tidak hanya mengajak untuk berpikir lebih dalam, tetapi juga untuk hidup lebih manusiawi, berakar pada nilai, relasi, dan tanggung jawab.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy, trans. A. H. C. Downes (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 19.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–75.

[3]                Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, ed. Majelis Luhur Tamansiswa (Yogyakarta: MLTS, 2009), 22–25.

[4]                Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 136–137.

[5]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[6]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 27–29.

[7]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 34–37.

[8]                Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 3–4.

[9]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 115–117.


10.       Penutup

Filsafat manusia merupakan medan refleksi yang tak henti-hentinya menuntun kita untuk menyelami kedalaman eksistensi, kesadaran, dan nilai-nilai yang menyusun hakikat manusia. Dalam perjalanannya, ia telah menjadi pusat perhatian pemikiran dari masa ke masa—mulai dari konsep dualisme tubuh dan jiwa dalam filsafat klasik, refleksi teologis dalam abad pertengahan, hingga pemikiran eksistensial dan fenomenologis di zaman modern dan kontemporer. Filsafat manusia bukan hanya mempersoalkan apa itu manusia, tetapi juga bagaimana manusia ada, mengapa ia hidup, dan untuk apa ia hidup¹.

Melalui pendekatan ontologis, filsafat manusia menyingkap bahwa manusia bukan sekadar entitas biologis, melainkan eksistensi yang sadar dan terbuka terhadap makna, nilai, serta relasi dengan dunia dan Tuhan². Dalam aspek epistemologis, manusia dikenali sebagai makhluk yang tidak hanya mengetahui, tetapi juga merenungkan pengetahuannya, dan dalam aspek aksiologis, manusia menjadi pusat nilai dan subjek etika yang bertanggung jawab atas hidupnya dan lingkungannya³.

Di tengah kompleksitas zaman kontemporer—yang ditandai oleh krisis identitas, dehumanisasi teknologi, relativisme moral, dan ketimpangan global—filsafat manusia hadir sebagai penuntun reflektif dan kritis yang mengembalikan perhatian kita kepada dimensi terdalam dari keberadaan. Ia tidak memberikan jawaban yang bersifat final, tetapi mengajak manusia untuk terus-menerus bertanya dan mencari makna hidup secara otentik dan bertanggung jawab⁴.

Filsafat manusia juga membuktikan relevansinya dalam berbagai dimensi kehidupan nyata: dalam pendidikan, ia menekankan pemanusiaan peserta didik; dalam politik, ia menyoroti nilai martabat dan keadilan; dalam budaya, ia menjadi landasan pemaknaan identitas; dalam teknologi, ia menjadi penyeimbang etis terhadap kemajuan; dan dalam relasi sosial, ia menumbuhkan kesadaran akan empati dan tanggung jawab antarpribadi⁵.

Pengetahuan tentang manusia bukan sekadar urusan akademik, melainkan panggilan untuk hidup lebih manusiawi, yakni hidup yang menyadari keberadaan, menghargai sesama, dan terbuka terhadap nilai-nilai transendental yang melampaui kalkulasi rasional. Dengan demikian, filsafat manusia menjadi ruang yang menghubungkan antara pikiran dan tindakan, antara refleksi dan praksis, serta antara kebebasan dan tanggung jawab eksistensial⁶.

Akhirnya, menyelami filsafat manusia berarti kembali ke akar persoalan: siapa kita, mengapa kita ada, dan bagaimana kita hidup secara bermakna. Dengan pertanyaan-pertanyaan inilah, filsafat manusia tidak pernah selesai—karena selama manusia masih ada, selama itu pula ia akan mencari dan menciptakan makna.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 3–5.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 33–35.

[3]                Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans. Peter Heath (London: Routledge & Kegan Paul, 1954), 266–268.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 52–54.

[5]                Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1992), 1–4.

[6]                Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope, trans. Emma Craufurd (San Francisco: Ignatius Press, 2010), 94–96.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Aristotle. (1975). Posterior analytics (J. Barnes, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1986). De anima (H. Lawson-Tancred, Trans.). Penguin Books.

Aristotle. (1998). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith, Trans.). Charles Scribner’s Sons.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. SUNY Press.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind–brain. MIT Press.

Dawkins, R. (1976). The selfish gene. Oxford University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Dewey, J. (1939). Theory of valuation. University of Chicago Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Beacon Press.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Gilson, E. (1991). The spirit of mediaeval philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press.

Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.

Habermas, J. (2003). The future of human nature (H. Beister & W. Rehg, Trans.). Polity Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kurzweil, R. (2005). The singularity is near: When humans transcend biology. Viking.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Levinas, E. (1985). Ethics and infinity: Conversations with Philippe Nemo (R. A. Cohen, Trans.). Duquesne University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Marcel, G. (1950). The mystery of being (G. S. Fraser, Trans.). Henry Regnery.

Marcel, G. (2010). Homo viator: Introduction to a metaphysic of hope (E. Craufurd, Trans.). Ignatius Press.

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement. Inquiry, 16(1), 95–100.

Plato. (1977). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Plato. (1981). Meno (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Plato. (1995). Phaedrus (A. Nehamas & P. Woodruff, Trans.). Hackett Publishing.

Plato. (2000). Apology (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Ricoeur, P. (1966). Freedom and nature: The voluntary and the involuntary (E. Kohák, Trans.). Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (2000). The just (D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Sandel, M. (2009). Justice: What’s the right thing to do? Farrar, Straus and Giroux.

Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Scheler, M. (1954). The nature of sympathy (P. Heath, Trans.). Routledge & Kegan Paul.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.). Northwestern University Press.

Scruton, R. (2014). The soul of the world. Princeton University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1991). The malaise of modernity. Anansi.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar