Filsafat Manusia
Menyelami Hakikat, Eksistensi, dan Tujuan Kehidupan
Alihkan ke: Objek
Kajian Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat
manusia sebagai cabang filsafat yang menelaah secara mendalam hakikat,
eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Dimulai dari definisi dan konsep
dasar, artikel ini menelusuri perkembangan historis pemikiran tentang manusia
dari zaman klasik hingga kontemporer, mencakup pemikiran Plato, Aristoteles,
Ibn Sina, Descartes, Heidegger, hingga Sartre dan Levinas. Melalui pendekatan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis, manusia dipahami bukan hanya sebagai
entitas biologis, tetapi sebagai subjek yang sadar, rasional, bermoral, dan terbuka
terhadap relasi eksistensial. Artikel ini juga mengkaji relevansi filsafat
manusia dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti reduksionisme,
transhumanisme, krisis ekologis, dan relativisme nilai, serta menunjukkan peran
filsafat manusia dalam kehidupan nyata, khususnya dalam pendidikan, politik,
budaya, ilmu pengetahuan, dan relasi sosial. Dengan demikian, filsafat manusia
tidak hanya menjadi medan teoritis, tetapi juga menawarkan orientasi reflektif
dan etis yang penting bagi pembangunan pribadi dan sosial di era modern.
Kata Kunci: Filsafat manusia, eksistensi, ontologi, kesadaran,
nilai, etika, teknologi, krisis makna, relasi, pendidikan.
PEMBAHASAN
Kajian tentang Manusia dalam Filsafat
1.
Pendahuluan
Pertanyaan tentang
manusia merupakan salah satu isu sentral dalam filsafat sepanjang sejarahnya.
Dalam upaya memahami hakikat realitas, para filsuf tidak pernah mengabaikan
aspek yang paling dekat dan esensial dari keberadaan itu sendiri: manusia.
Filsafat manusia (philosophical anthropology) hadir sebagai cabang filsafat
yang secara khusus mengkaji manusia bukan hanya dari sudut pandang biologis
atau psikologis, melainkan dari aspek yang lebih mendalam, yakni eksistensi,
kesadaran, nilai, dan tujuan hidup. Ia menanyakan pertanyaan-pertanyaan
mendasar seperti: siapakah kita, mengapa
kita ada, dan apa tujuan dari keberadaan kita di dunia ini¹.
Dalam perkembangan
sejarah pemikiran, manusia telah dipahami secara beragam: sebagai animal
rationale menurut Aristoteles, sebagai res cogitans menurut Descartes,
sebagai eksistensi
yang mendahului esensi menurut Sartre, hingga sebagai makhluk yang
berada dalam dunia dan memahami keberadaannya menurut Heidegger². Setiap
pandangan ini menegaskan bahwa manusia bukanlah sekadar objek kajian empiris,
melainkan juga subjek reflektif yang mampu mempertanyakan dirinya sendiri dan
eksistensinya di dunia.
Urgensi filsafat
manusia semakin meningkat dalam konteks kontemporer, di mana manusia menghadapi
tantangan kompleks seperti krisis identitas, dehumanisasi akibat teknologi, dan
pergeseran nilai dalam masyarakat global. Di tengah arus materialisme dan
relativisme nilai, filsafat manusia menawarkan ruang reflektif yang penting
untuk menata kembali arah hidup dan tanggung jawab moral manusia sebagai
makhluk berakal dan bermakna³. Ia mengajak manusia untuk tidak hanya “menjadi
ada”, tetapi juga menjadi sadar akan keberadaannya,
relasinya dengan yang lain, dan tanggung jawabnya terhadap dunia.
Lebih jauh,
pembahasan tentang manusia dalam filsafat tidak dapat dilepaskan dari
interdisiplinaritas dengan ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, teologi, dan
ilmu budaya. Namun yang membedakan pendekatan filsafat manusia adalah kedalaman
reflektif dan intensionalitas dalam memahami keberadaan manusia
secara menyeluruh dan fundamental⁴. Ia tidak hanya mendeskripsikan fakta
tentang manusia, tetapi menggali makna di balik fakta tersebut.
Oleh karena itu,
artikel ini akan menyelami secara sistematis beragam pendekatan dan dimensi
dalam filsafat manusia, mulai dari aspek ontologis tentang hakikat manusia,
aspek epistemologis mengenai pengetahuan dan kesadaran manusia, hingga dimensi
aksiologis yang membahas nilai dan makna hidup manusia. Dengan cara ini,
filsafat manusia diharapkan dapat menjadi landasan kritis dan transformatif
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan terdalam tentang diri dan dunia yang kita
huni.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (New York:
Fordham University Press, 1986), 7.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23; Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper
& Row, 1962), 67.
[3]
Josef Pieper, Leisure: The Basis of Culture, trans. Gerald
Malsbary (San Francisco: Ignatius Press, 2009), 69–71.
[4]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xiii–xiv.
2.
Konsep Dasar Filsafat Manusia
Filsafat manusia
merupakan cabang filsafat yang secara sistematis dan reflektif mengkaji
hakikat, eksistensi, serta tujuan manusia sebagai makhluk yang unik dan
kompleks. Ia bukan hanya mempertanyakan apa itu manusia, tetapi juga mengapa
manusia ada, bagaimana manusia memahami dirinya sendiri,
dan apa
makna keberadaannya dalam kosmos. Dengan demikian, filsafat
manusia tidak bersifat deskriptif sebagaimana ilmu-ilmu empiris, tetapi bersifat
spekulatif dan normatif—membuka ruang bagi refleksi terdalam mengenai
eksistensi diri dan nilai-nilai yang mengiringinya¹.
Pada dasarnya,
filsafat manusia memuat tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis,
dan aksiologis.
Dimensi ontologis membahas tentang hakikat keberadaan manusia: apakah manusia
sekadar materi (corpus), ataukah juga memiliki dimensi immaterial seperti jiwa
(psyche) atau roh (spiritus). Dimensi epistemologis mempertanyakan bagaimana
manusia mengetahui dirinya dan dunianya, serta bagaimana kesadaran dan akal
budi memainkan peran dalam pencarian makna hidup. Adapun dimensi aksiologis
menyentuh aspek nilai dan etika: apakah manusia memiliki tujuan moral, tanggung
jawab sosial, dan cita-cita kebajikan dalam hidupnya².
Yang membedakan
filsafat manusia dari pendekatan lainnya adalah fokusnya pada totalitas
manusia sebagai makhluk yang utuh. Psikologi misalnya,
cenderung mengkaji aspek kejiwaan manusia secara fungsional dan empirik.
Sosiologi meneliti manusia dalam interaksi sosialnya. Biologi menguraikan
manusia dari perspektif organisme hidup. Namun, filsafat manusia melampaui
batas-batas tersebut dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat transendental
dan reflektif: bukan hanya “bagaimana manusia bertindak,”
tetapi “mengapa manusia bertindak,” dan “apa makna dari tindakannya
tersebut”³.
Dalam sejarah
pemikiran, manusia sering didefinisikan melalui berbagai pendekatan.
Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon logon echon—makhluk yang
memiliki logos atau rasio⁴. Thomas Aquinas memandang manusia sebagai substansi
individual dari kodrat rasional yang diciptakan menurut citra
Tuhan⁵. Sementara itu, Immanuel Kant melihat manusia sebagai tujuan pada
dirinya sendiri (end in itself), bukan sebagai alat bagi tujuan lain⁶.
Masing-masing definisi ini mencerminkan fokus yang berbeda, tetapi semuanya
menggarisbawahi kompleksitas ontologis dan moral dari manusia sebagai subjek.
Dalam konteks yang
lebih luas, filsafat manusia juga memperhatikan dinamika keberadaan manusia
dalam sejarah, budaya, dan spiritualitas. Filsafat tidak mengisolasi manusia
dari realitas sosialnya, tetapi justru menempatkannya dalam relasi dengan
dunia, sesama, dan yang transenden. Manusia, dalam kerangka ini, dipahami bukan
sebagai entitas statis, tetapi sebagai makhluk yang senantiasa berada dalam
proses menjadi—dalam perebutan identitas dan makna⁷.
Oleh karena itu,
memahami konsep dasar filsafat manusia adalah langkah awal yang krusial untuk
memahami seluruh tema yang akan dikembangkan dalam kajian ini. Tanpa pemahaman
yang jelas mengenai landasan filsafat manusia, diskusi mengenai eksistensi,
nilai, dan tujuan hidup akan kehilangan konteks reflektif yang mendalam. Maka
dari itu, bab-bab selanjutnya akan mengelaborasi dimensi-dimensi tersebut
secara lebih rinci, dalam rangka menggali pemahaman yang utuh dan kritis
mengenai manusia.
Footnotes
[1]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser
(Chicago: Henry Regnery Company, 1950), 15.
[2]
Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans. Peter Heath
(London: Routledge & Kegan Paul, 1954), 267–270.
[3]
Erich Fromm, Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of
Ethics (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1947), 3–5.
[4]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1253a10.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 29, a. 1.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:429.
[7]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 32–35.
3.
Sejarah dan Perkembangan Filsafat Manusia
Perjalanan sejarah
filsafat manusia mencerminkan dinamika peradaban manusia dalam memahami dirinya
sendiri, baik sebagai makhluk biologis, sosial, maupun spiritual. Sejak zaman
kuno hingga era kontemporer, manusia telah menjadi subjek refleksi filosofis
yang tak pernah habis dibahas. Setiap periode sejarah filsafat menghadirkan
perspektif unik tentang hakikat manusia, yang terpengaruh oleh konteks
kebudayaan, agama, dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masanya.
3.1.
Filsafat Klasik: Rasionalitas dan Kodrat
Alamiah
Dalam filsafat
Yunani kuno, manusia dipahami terutama sebagai makhluk rasional. Socrates
adalah tokoh awal yang menekankan pentingnya “mengenal diri sendiri” (gnothi
seauton) sebagai landasan kehidupan etis¹. Plato
menggambarkan manusia sebagai jiwa yang terpenjara dalam tubuh, dan menempatkan
rasio sebagai kekuatan tertinggi dalam struktur kepribadian manusia². Aristoteles,
murid Plato, mengembangkan gagasan bahwa manusia adalah zoon
politikon (makhluk politik) dan animal rationale (makhluk berakal),
yang hanya akan mencapai aktualisasi diri dalam kehidupan bermasyarakat³. Dalam
pandangan mereka, manusia memiliki kodrat yang tetap dan tujuan yang inheren
dalam struktur alam semesta.
3.2.
Filsafat Abad Pertengahan: Teologi dan Citra
Ilahi
Pada abad
pertengahan, filsafat manusia dipengaruhi kuat oleh teologi Kristen, Islam, dan
Yahudi. Dalam tradisi Kristen, manusia dipahami sebagai imago
Dei—citra Allah—yang diciptakan untuk hidup dalam relasi dengan
Tuhan⁴. Agustinus menekankan pentingnya
kehendak dan hati nurani dalam merespons kasih karunia ilahi. Sedangkan Thomas
Aquinas, melalui pendekatan skolastiknya, mengintegrasikan
filsafat Aristotelian dengan doktrin Kristen, menjelaskan manusia sebagai
substansi individual yang rasional, sekaligus makhluk moral dan spiritual⁵.
Di dunia Islam,
pemikiran filsafat manusia mengalami kemajuan signifikan. Al-Farabi
menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial yang hanya dapat mewujudkan
potensi akalnya dalam kehidupan bernegara. Ibn Sina memformulasikan teori
jiwa manusia sebagai substansi yang tidak bergantung pada materi dan kekal
setelah kematian⁶. Sementara itu, al-Ghazali mengkritik
pendekatan rasionalis yang ekstrem, dan menekankan pentingnya aspek spiritual
serta hubungan hati dengan Tuhan⁷.
3.3.
Filsafat Modern: Subjektivitas dan Kesadaran
Diri
Zaman modern membawa
pergeseran tajam dalam pemahaman tentang manusia. Fokus berpindah dari hakikat
objektif menuju subjektivitas dan kesadaran diri.
René
Descartes dengan cogito-nya (Cogito ergo sum) meletakkan dasar
pemikiran modern dengan menempatkan kesadaran diri sebagai titik tolak seluruh
pengetahuan⁸. Dalam pandangan ini, manusia adalah subjek berpikir yang otonom.
Immanuel
Kant kemudian menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional
yang memiliki martabat karena ia mampu bertindak menurut hukum moral yang ia
tetapkan sendiri. Bagi Kant, manusia tidak hanya berakal, tetapi juga memiliki
nilai intrinsik sebagai tujuan pada dirinya sendiri⁹. Sementara itu, G.W.F.
Hegel menafsirkan manusia sebagai makhluk historis yang
berkembang melalui dialektika kesadaran, menuju realisasi roh absolut¹⁰.
3.4.
Filsafat Kontemporer: Eksistensialisme dan
Fenomenologi
Abad ke-20 ditandai
dengan berkembangnya eksistensialisme dan fenomenologi sebagai respons terhadap
krisis kemanusiaan modern. Tokoh seperti Søren Kierkegaard dan Friedrich
Nietzsche mempertanyakan keyakinan lama dan menegaskan
pentingnya keberanian manusia untuk memilih dan menciptakan makna hidupnya
sendiri. Martin Heidegger memandang
manusia (Dasein) sebagai makhluk yang “ada-di-dalam-dunia” dan memiliki
kesadaran akan kematian, yang mendorongnya untuk hidup secara autentik¹¹.
Jean-Paul
Sartre menolak esensi yang melekat sebelum eksistensi, dan
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab penuh atas
tindakannya. Bagi Sartre, eksistensi manusia adalah proyek terbuka yang
diciptakan melalui pilihan-pilihannya¹². Di sisi lain, Maurice
Merleau-Ponty menawarkan pendekatan fenomenologis terhadap
tubuh manusia sebagai subjek yang merasakan dan berada dalam dunia secara
konkret, bukan sekadar objek bagi ilmu pengetahuan¹³.
3.5.
Kontribusi Filsafat Timur dan Tradisi Non-Barat
Di luar tradisi
Barat, filsafat Timur juga memberikan kontribusi penting dalam memahami
manusia. Dalam Konfusianisme, manusia dilihat
sebagai makhluk yang bermoral dan bertumbuh melalui relasi sosial yang
harmonis. Dalam filsafat Buddha, manusia adalah
makhluk yang terus-menerus mengalami perubahan dan penderitaan, dan pembebasan
dicapai melalui pencerahan dan penghapusan keinginan duniawi¹⁴. Tradisi-tradisi
ini memperkaya khazanah filsafat manusia dengan menekankan aspek etika,
harmoni, dan transformasi spiritual.
Footnotes
[1]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 38a.
[2]
Plato, Phaedrus, trans. Alexander Nehamas and Paul Woodruff
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1995), 246a–247c.
[3]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1253a1–3.
[4]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), X.27.38.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 75, a. 1.
[6]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 74–77.
[7]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, trans.
Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 152–153.
[8]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[9]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:428–429.
[10]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 104–109.
[11]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 279–311.
[12]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 60–70.
[13]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), 93–102.
[14]
Edward Conze, Buddhist Thought in India (Ann Arbor: University
of Michigan Press, 1967), 45–48.
4.
Ontologi Manusia: Hakikat dan Keberadaan
Ontologi merupakan
cabang filsafat yang membahas hakikat keberadaan atau eksistensi sebagai
realitas paling fundamental. Dalam konteks filsafat manusia, pendekatan
ontologis menanyakan: “Apa itu manusia?”, “Apa
struktur terdalam dari eksistensinya?”, dan “Bagaimana
manusia menjadi ada di dunia ini?” Pertanyaan ini bukan
semata-mata biologis atau empiris, melainkan menyentuh aspek metafisis yang
lebih mendalam dan menyeluruh¹.
4.1.
Tubuh, Jiwa, dan Roh: Struktur Ontologis
Manusia
Sejak zaman Yunani
Kuno, manusia telah dipahami sebagai makhluk yang terdiri dari unsur jasmani
dan nonjasmani. Plato membedakan tubuh (soma) yang bersifat sementara dan jiwa
(psyche) yang bersifat abadi. Jiwa dianggap sebagai hakikat sejati manusia yang
berasal dari dunia ide dan terpenjara dalam tubuh fisik². Aristoteles
melengkapi pandangan ini dengan konsep hylomorphism, yakni bahwa manusia
terdiri dari materi (hyle) dan bentuk (morphe), di mana jiwa adalah bentuk dari
tubuh yang memungkinkan aktivitas hidup³.
Pandangan ini
berlanjut dalam filsafat Kristen dan Islam. Thomas Aquinas menekankan bahwa
manusia adalah substantial unity antara tubuh dan
jiwa; jiwa rasional adalah bentuk substansial dari tubuh manusia⁴. Dalam
pemikiran Islam, Ibn Sina menyatakan bahwa jiwa manusia adalah substansi yang
immaterial, kekal, dan bersumber dari Tuhan, serta memiliki kemampuan untuk
mengenal realitas spiritual⁵.
Dalam konteks
modern, pemisahan antara tubuh dan jiwa menjadi bahan kritik. Beberapa filsuf
seperti Descartes menegaskan dualisme ontologis antara res
extensa (materi) dan res cogitans (pikiran)⁶, namun
pendekatan ini kemudian dipertanyakan oleh pendekatan fenomenologis dan
eksistensial yang lebih integral.
4.2.
Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Personal
Salah satu unsur
utama dalam pemahaman ontologis tentang manusia adalah rasionalitas.
Aristoteles menyebut manusia sebagai satu-satunya makhluk hidup yang memiliki logos
atau akal budi. Rasionalitas ini bukan hanya untuk berpikir, tetapi juga untuk
membedakan antara yang benar dan salah, serta membangun masyarakat yang adil⁷.
Namun, filsafat
kontemporer memperluas pemahaman ini dengan menekankan dimensi personalitas dan
kebebasan. Martin Buber, misalnya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk
relasional yang menyadari dirinya melalui hubungan dialogis dengan sesama dalam
relasi Aku-Engkau⁸.
Sementara itu, Gabriel Marcel menyebut manusia sebagai misteri eksistensial,
bukan sekadar objek untuk dianalisis, melainkan subjek yang hidup, merasa, dan
mencari makna⁹.
4.3.
Kebebasan, Kesadaran Diri, dan Keberadaan yang
Otentik
Eksistensialisme
membawa terobosan penting dalam cara memahami keberadaan manusia. Jean-Paul
Sartre menolak adanya esensi bawaan dalam diri manusia; menurutnya, eksistensi
mendahului esensi (existence precedes essence)—artinya,
manusia pertama-tama ada, lalu menentukan siapa dirinya melalui pilihan-pilihan
hidupnya¹⁰. Dalam paradigma ini, manusia adalah makhluk bebas, namun kebebasan
itu datang dengan tanggung jawab penuh atas dirinya sendiri.
Heidegger memberikan
dimensi yang lebih ontologis melalui konsep Dasein (ada-di-dalam-dunia).
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki pemahaman akan keberadaan,
dan mampu merenungkan keberadaannya sendiri. Dasein hidup dalam ketegangan
antara otentisitas (hidup sesuai potensi terdalamnya) dan ketidakotentikan
(terjebak dalam rutinitas sosial)¹¹. Kesadaran akan kematian (Sein zum
Tode) menjadi pendorong manusia untuk hidup secara autentik.
4.4.
Dialektika Individualitas dan Relasionalitas
Manusia tidak dapat
dipahami hanya sebagai individu terisolasi. Ia adalah makhluk yang berada dalam
relasi, baik dengan sesama, dunia, maupun dengan Yang Transenden. Dalam
filsafat Emmanuel Levinas, manusia diartikan sebagai makhluk etis yang
pertama-tama merespons kehadiran “yang lain” (autrui)
melalui wajah yang menyerukan tanggung jawab moral¹². Ontologi manusia dalam
pendekatan ini bukanlah soal esensi tetap, melainkan relasi yang terus
terbentuk melalui keterbukaan dan empati terhadap yang lain.
Dengan demikian,
keberadaan manusia adalah keberadaan yang terbuka, dinamis, dan penuh potensi.
Ia bukan makhluk yang selesai, tetapi senantiasa dalam proses menjadi (homo
viator)—peziarah yang menempuh jalan menuju aktualisasi diri dan
pemahaman akan makna.
Footnotes
[1]
John Macquarrie, Existentialism (Philadelphia: Westminster
Press, 1972), 97.
[2]
Plato, Phaedo, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1977), 66b–67b.
[3]
Aristotle, De Anima, trans. Hugh Lawson-Tancred (London:
Penguin Books, 1986), II.1–2.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 76, a. 1–2.
[5]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 69–72.
[6]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a3–20.
[8]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 3–6.
[9]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser
(Chicago: Henry Regnery, 1950), 117.
[10]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[11]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 279–311.
[12]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 197–201.
5.
Epistemologi Manusia: Akal, Kesadaran, dan
Pengetahuan
Epistemologi atau
teori pengetahuan adalah salah satu cabang filsafat yang membahas sumber,
struktur, dan validitas pengetahuan. Dalam konteks filsafat manusia,
epistemologi menjadi krusial karena menyangkut bagaimana manusia mengenali dirinya, memahami
dunia sekitarnya, dan menafsirkan makna hidup. Sebagai makhluk
yang sadar dan berpikir, manusia tidak hanya mengalami realitas, tetapi juga
menafsirkannya melalui akal dan kesadaran reflektif¹.
5.1.
Akal sebagai Alat dan Daya Pengetahuan
Sejak zaman Yunani
Kuno, akal (nous atau logos)
telah dianggap sebagai inti dari kemampuan manusia untuk mengetahui. Plato
menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui akal yang
mengingat bentuk-bentuk ideal (anamnesis) yang pernah dilihat jiwa
sebelum turun ke dunia jasmani². Aristoteles, sebaliknya,
menekankan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman empiris yang diolah oleh
akal melalui proses abstraksi³.
Pada zaman modern, René
Descartes menjadikan akal sebagai dasar mutlak kepastian. Dalam
Meditationes,
ia mengemukakan cogito ergo sum sebagai kebenaran
pertama yang tak dapat diragukan, dan dari sana membangun sistem pengetahuan
melalui deduksi rasional⁴. Namun, pendekatan ini dikritik oleh para empiris
seperti John Locke dan David
Hume yang menganggap bahwa pengetahuan bersumber dari
pengalaman inderawi, bukan dari ide bawaan atau akal semata⁵.
Ketegangan antara
rasionalisme dan empirisme akhirnya dijembatani oleh Immanuel
Kant, yang menyatakan bahwa pengetahuan berasal dari hasil
interaksi antara materi empiris (dari pengalaman) dan bentuk a priori (dari
akal). Bagi Kant, akal manusia membentuk realitas melalui kategori-kategori
pemikiran seperti ruang, waktu, dan kausalitas⁶. Dengan demikian, manusia bukan
hanya penerima pasif informasi, tetapi juga pencipta aktif struktur
pengetahuan.
5.2.
Kesadaran Diri dan Refleksi Eksistensial
Kesadaran (consciousness)
adalah aspek mendalam dari subjek manusia yang memungkinkan pengalaman
subjektif dan refleksi atas keberadaan. Dalam filsafat fenomenologi, kesadaran
bukan sekadar kapasitas kognitif, melainkan juga intensional—selalu
tentang
sesuatu, sebagaimana ditegaskan oleh Edmund Husserl⁷. Manusia
memiliki kemampuan untuk merefleksikan dirinya sebagai subjek yang sadar dan
mengalami dunia.
Jean-Paul
Sartre membedakan antara kesadaran-naif (pre-reflective
consciousness) dan kesadaran reflektif, yang
memungkinkan manusia mengenali dirinya sebagai subjek yang ada, bertindak, dan
bertanggung jawab⁸. Refleksi ini menjadikan manusia sebagai satu-satunya
makhluk yang mampu mempertanyakan keberadaannya sendiri dan menilai tindakannya
secara moral.
Kesadaran juga
terkait erat dengan identitas dan waktu. Paul
Ricoeur menekankan bahwa narasi diri (self-narrative)
adalah bentuk kesadaran yang mengaitkan pengalaman masa lalu, masa kini, dan
masa depan dalam satu struktur makna yang utuh⁹. Dengan kata lain, manusia
mengenali dirinya bukan hanya sebagai subjek kognitif, tetapi juga sebagai
makhluk historis yang hidup dalam alur waktu dan makna.
5.3.
Batasan dan Kemungkinan Pengetahuan Manusia
Meskipun manusia
memiliki kemampuan rasional dan reflektif, pengetahuan manusia tetap terbatas. Martin
Heidegger menyatakan bahwa pemahaman manusia terhadap realitas
tidak pernah mutlak, karena manusia terlempar ke dalam dunia (Geworfenheit)
dan selalu berada dalam horizon pengertian yang terbatas¹⁰. Bahkan dalam ilmu
pengetahuan modern, batasan epistemik semakin diakui, misalnya melalui prinsip
ketidakpastian dalam fisika kuantum, atau relativitas budaya dalam ilmu sosial.
Keterbatasan ini
justru membuka ruang bagi kebijaksanaan, yaitu kemampuan
untuk mengenali bahwa tidak semua hal dapat diketahui dengan pasti. Gabriel
Marcel menyebut bahwa pengetahuan tentang manusia bukan sekadar
masalah objektif, melainkan suatu misteri yang hanya dapat didekati melalui
keterlibatan pribadi dan cinta¹¹.
Dengan demikian,
epistemologi manusia tidak hanya mengandalkan akal dan logika formal, tetapi
juga melibatkan dimensi eksistensial, spiritual, dan etis dalam proses
pencarian kebenaran. Pengetahuan yang sejati bukan hanya tentang “menguasai
dunia”, tetapi tentang “mengerti diri sendiri dan tempatnya dalam
semesta”.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 3.
[2]
Plato, Meno, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1981), 81d–86c.
[3]
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes
(Oxford: Clarendon Press, 1975), II.19.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Meditation II.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §IV.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75.
[7]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 60–63.
[8]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 82–87.
[9]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–118.
[10]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 174–180.
[11]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser
(Chicago: Henry Regnery, 1950), 106–108.
6.
Aksiologi Manusia: Moralitas, Tujuan Hidup, dan
Makna
Aksiologi adalah
cabang filsafat yang membahas tentang nilai (values), terutama nilai etis
dan estetis.
Dalam konteks filsafat manusia, aksiologi menjelajahi dimensi terdalam dari
eksistensi manusia: apa yang baik, apa yang patut dilakukan, dan
apa tujuan dari kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk bernilai
tidak hanya hidup dan berpikir, tetapi juga mengejar kebaikan, memaknai pengalaman, dan
bertanggung jawab secara moral atas tindakannya¹.
6.1.
Manusia sebagai Subjek Etis
Filsafat menempatkan
manusia sebagai subjek moral yang memiliki kemampuan untuk membedakan antara
yang benar dan salah. Sejak Socrates, kehidupan yang tidak
direfleksikan dianggap tidak layak dijalani, karena hanya melalui refleksi
moral manusia dapat menemukan arah hidupnya². Immanuel Kant kemudian
mengembangkan gagasan bahwa manusia adalah makhluk otonom yang tunduk pada
hukum moral yang ia berikan sendiri melalui akal praktis. Prinsip moral
utamanya, yakni imperatif kategoris, menyatakan bahwa manusia harus
diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat³.
Lebih lanjut, manusia
bukan hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga terhadap
sesama. Dalam etika Levinasian, Emmanuel Levinas menekankan
bahwa tanggung jawab etis muncul dari kehadiran wajah orang lain yang “memanggil”
manusia untuk bertindak adil⁴. Artinya, nilai moral tidak bersifat abstrak,
melainkan konkret dalam relasi antarpribadi yang nyata.
6.2.
Tujuan Hidup: Antara Teleologi dan
Eksistensialisme
Pertanyaan tentang tujuan
hidup telah menjadi tema sentral sejak zaman kuno. Aristoteles
memahami bahwa semua makhluk memiliki telos, yaitu tujuan atau akhir yang
ingin dicapai. Dalam konteks manusia, telos itu adalah eudaimonia—kehidupan
yang baik dan bahagia yang dicapai melalui kebajikan⁵. Bagi Aristoteles,
manusia yang hidup sesuai dengan kebajikan (arete) akan mencapai bentuk
kehidupan yang paling sempurna.
Namun, dalam konteks
modern dan kontemporer, muncul pendekatan eksistensialis yang menolak adanya
tujuan bawaan dalam diri manusia. Jean-Paul Sartre menegaskan
bahwa manusia terlempar ke dalam dunia tanpa
tujuan yang telah ditentukan, dan oleh karena itu harus menciptakan
makna hidupnya sendiri melalui pilihan-pilihan eksistensial⁶.
Makna hidup tidak ditemukan, tetapi diciptakan melalui tindakan bebas
dan otentik.
Viktor
Frankl, melalui logoterapinya, menunjukkan bahwa pencarian
makna adalah dorongan utama manusia. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, Frankl
menyatakan bahwa bahkan dalam penderitaan yang ekstrem seperti di kamp
konsentrasi, manusia tetap mampu menemukan makna—dan makna itulah yang memungkinkan
ia bertahan⁷.
6.3.
Nilai dan Relativisme: Apakah Ada Nilai yang
Bersifat Universal?
Dalam dunia yang
plural dan multikultural, timbul pertanyaan tentang apakah
nilai-nilai moral bersifat universal atau relatif terhadap
budaya, waktu, dan situasi. Max Scheler, seorang
fenomenolog aksiologis, menyatakan bahwa nilai memiliki hirarki objektif—nilai
vital, nilai spiritual, dan nilai religius—dan manusia sebagai makhluk nilai
memiliki kemampuan intuitif untuk mengenalinya⁸.
Sebaliknya,
pendekatan relativistik menyatakan bahwa
nilai adalah konstruksi sosial yang berubah tergantung konteks historis dan
budaya. Pandangan ini menantang keyakinan akan kebenaran moral universal,
tetapi juga menimbulkan risiko nihilisme, yaitu anggapan bahwa
tidak ada nilai yang benar-benar bermakna atau mengikat⁹.
Filsafat manusia di
sini mengambil posisi tengah yang kritis: mengakui konteks dan keberagaman
nilai, namun tetap mempertahankan bahwa nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan
penghargaan terhadap martabat manusia bersifat fundamental bagi
eksistensi dan koeksistensi manusia yang bermartabat¹⁰.
6.4.
Makna Hidup sebagai Orientasi Nilai
Makna hidup bukan
hanya soal memahami “apa yang terjadi” dalam hidup, tetapi juga mengapa
dan untuk
apa kita menjalaninya. Dalam pandangan Gabriel
Marcel, makna hidup tidak dapat direduksi menjadi formula atau
teori, tetapi hadir dalam pengalaman cinta, kesetiaan, dan pengharapan¹¹. Makna
adalah sesuatu yang dialami, bukan sekadar
dijelaskan secara logis.
Dengan demikian,
pencarian nilai dan makna adalah aktivitas ontologis dan eksistensial yang
menyatu dalam kehidupan manusia sehari-hari. Manusia bukan hanya penanya
tentang kebenaran, tetapi juga pencipta arah dan nilai melalui tindakan yang
bertanggung jawab. Tanpa dimensi aksiologis ini, filsafat manusia akan
kehilangan jiwanya—karena manusia yang tidak menghidupi nilai akan kehilangan
kemanusiaannya sendiri.
Footnotes
[1]
John Dewey, Theory of Valuation (Chicago: University of
Chicago Press, 1939), 10–12.
[2]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 38a.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 4:428.
[4]
Emmanuel Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe
Nemo, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press,
1985), 86–89.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b22–1098a20.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.
[7]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–115.
[8]
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values,
trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University
Press, 1973), 88–95.
[9]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 22–23.
[10]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 4–7.
[11]
Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope,
trans. Emma Craufurd (San Francisco: Ignatius Press, 2010), 56–60.
7.
Manusia dalam Hubungan Eksistensial
Manusia, sebagai
makhluk eksistensial, tidak pernah hidup dalam keterisolasian mutlak. Keberadaan
manusia selalu berada dalam relasi—baik dengan dirinya sendiri,
dengan sesama manusia, dengan alam semesta, maupun dengan Yang Transenden.
Hubungan-hubungan ini bukan sekadar interaksi eksternal, melainkan bagian
hakiki dari struktur eksistensi manusia. Filsafat manusia, dalam banyak
tradisi, memandang bahwa “ada” manusia adalah “ada-bersama”
(Mitsein)
yang membuka dimensi etis, spiritual, dan eksistensial secara menyeluruh¹.
7.1.
Relasi Manusia dengan Tuhan: Eksistensi dalam
Dimensi Transenden
Pertanyaan tentang
Tuhan dan relasi manusia dengan Yang Mutlak merupakan inti dari eksistensi
religius manusia. Dalam filsafat agama, Søren Kierkegaard memandang
hubungan manusia dengan Tuhan sebagai suatu lompatan iman (leap of
faith) yang mendefinisikan eksistensi autentik². Relasi ini
bersifat paradoksal: manusia yang terbatas, fana, dan penuh dosa mendekat
kepada Yang Tidak Terbatas, namun justru dalam ketegangan inilah manusia
menemukan eksistensinya yang sejati.
Gabriel
Marcel menekankan bahwa eksistensi manusia tidak bisa
dimengerti hanya dari segi rasional atau material. Keterbukaan terhadap
Misteri—yang dalam konteks religius disebut sebagai Allah—merupakan aspek
terdalam dari eksistensi manusia. Melalui relasi dialogis dengan Tuhan, manusia
menemukan makna yang melampaui dirinya sendiri³.
Tradisi Islam
memandang manusia sebagai khalifah di bumi yang diciptakan
dengan kehormatan dan diberi amanah untuk beribadah kepada Allah (QS.
Al-Dzariyat [51] ayat 56). Dalam filsafat Ibn Sina dan al-Ghazali, pencarian
manusia terhadap Tuhan adalah jalan spiritual menuju aktualisasi jiwa dan
kebahagiaan abadi⁴.
7.2.
Relasi Manusia dengan Sesama: Etika Dialogis
dan Tanggung Jawab
Eksistensi manusia
juga ditandai oleh keterhubungan dengan sesama. Martin Buber menyatakan bahwa
relasi otentik antar manusia hanya mungkin terjadi dalam bentuk Aku–Engkau
(I–Thou), bukan Aku–Itu (I–It). Relasi Aku–Engkau
bersifat dialogis, setara, dan membuka ruang untuk kehadiran pribadi yang
utuh⁵. Dalam pandangan ini, hubungan manusia bukanlah hubungan instrumen atau
alat, melainkan keterbukaan eksistensial satu terhadap yang lain.
Emmanuel
Levinas memperdalam aspek ini dengan menyatakan bahwa wajah
orang lain adalah panggilan etis yang tidak dapat diabaikan. Dalam melihat
wajah sesama, manusia tidak hanya melihat makhluk biologis, tetapi menghadapi
tanggung jawab yang mendalam dan tidak tereduksi⁶. Eksistensi manusia baru
menjadi utuh saat ia merespons keberadaan orang lain dalam bentuk kasih,
solidaritas, dan keadilan.
7.3.
Relasi Manusia dengan Alam: Kesadaran Ekologis
dan Eksistensi Simbiotik
Kesadaran manusia
akan alam telah mengalami pergeseran seiring waktu. Dalam modernitas, alam
sering direduksi sebagai objek untuk dieksploitasi. Namun filsafat kontemporer,
terutama ekofenomenologi, berupaya mengembalikan relasi
ekologis sebagai bagian integral dari eksistensi manusia. Hans
Jonas mengembangkan etika tanggung jawab yang menyatakan bahwa
manusia tidak boleh hanya memikirkan dampak langsung dari tindakannya, tetapi
juga akibatnya bagi generasi mendatang dan keberlangsungan ekosistem⁷.
Manusia bukanlah
penguasa mutlak atas alam, melainkan bagian dari jejaring kehidupan. Dalam
tradisi filsafat Timur dan mistisisme Islam, hubungan dengan alam dipandang
sebagai bagian dari keterhubungan spiritual. Ibn ‘Arabi, misalnya, menekankan
bahwa seluruh kosmos adalah manifestasi dari kehadiran Ilahi, dan dengan
demikian harus dihormati dan dikasihi⁸.
7.4.
Krisis Eksistensial dalam Hubungan
Kerapuhan hubungan
eksistensial manusia juga menjadi tema penting dalam filsafat kontemporer.
Alienasi, keterasingan, dan kehilangan makna sering kali muncul sebagai akibat
dari keretakan relasi—baik dengan Tuhan, sesama, maupun alam. Albert
Camus berbicara tentang absurditas sebagai kondisi dasar
manusia modern: pencarian makna dalam dunia yang diam. Namun justru dalam
kesadaran akan absurditas itu, manusia diberi ruang untuk menciptakan
makna secara otentik⁹.
Krisis ini juga
terlihat dalam teknologi dan kehidupan digital yang dapat mereduksi relasi
menjadi kontak fungsional dan dangkal. Dalam konteks ini, filsafat manusia mengingatkan
akan pentingnya kualitas relasi eksistensial, bukan
sekadar kuantitas interaksi sosial.
7.5.
Relasi sebagai Inti Eksistensi
Pada akhirnya,
relasi bukanlah pelengkap dari keberadaan manusia, tetapi struktur
ontologis yang menyusun eksistensinya. Manusia adalah makhluk
yang hidup dalam keterbukaan terhadap Yang Lain: Tuhan, sesama, dan dunia.
Dalam keterbukaan ini, manusia menjelma menjadi pribadi yang utuh—menjadi bukan
hanya ada,
tetapi ada-bersama
dan ada-untuk.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 152–155.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 52–58.
[3]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G.S. Fraser
(Chicago: Henry Regnery, 1950), 173–175.
[4]
Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 2006), 108–112;
Al-Ghazali, The Alchemy of Happiness, trans. Claud Field (London:
Moffat, Yard and Co., 1910), 15–17.
[5]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 3–6.
[6]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–198.
[7]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 121–125.
[8]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 105–110.
[9]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New
York: Vintage International, 1991), 11–13.
8.
Tantangan Kontemporer dalam Kajian Filsafat
Manusia
Dalam era modern dan
postmodern, filsafat manusia menghadapi tantangan multidimensional yang menguji
kembali asumsi-asumsi klasik mengenai hakikat dan eksistensi manusia.
Globalisasi, perkembangan teknologi digital, bioteknologi, krisis ekologis,
hingga relativisme budaya telah menciptakan konteks baru yang menuntut
reorientasi terhadap pemahaman tentang manusia. Tantangan-tantangan ini tidak
hanya bersifat teknis atau sosial, melainkan bersifat ontologis
dan aksiologis, menyentuh jantung dari eksistensi dan nilai
kemanusiaan itu sendiri¹.
8.1.
Reduksionisme Materialistik dan Krisis
Identitas Manusia
Salah satu tantangan
utama dalam kajian filsafat manusia dewasa ini adalah reduksionisme
materialistik, yakni kecenderungan untuk memandang manusia
hanya sebagai kumpulan proses biologis atau neurokimia. Dalam kerangka ini,
kesadaran, kehendak bebas, bahkan moralitas sering kali dianggap sebagai ilusi
dari aktivitas otak².
Pandangan ini banyak
dikemukakan oleh ilmuwan seperti Daniel Dennett dan Richard
Dawkins, yang memandang pikiran manusia sebagai hasil dari
evolusi dan algoritma seleksi alam. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan
hilangnya aspek-aspek spiritual dan moral dalam memahami manusia³. Dalam
menghadapi reduksionisme ini, filsafat manusia ditantang untuk menegaskan
kembali dimensi interioritas, makna, dan nilai
yang tidak dapat direduksi menjadi data biologis belaka⁴.
8.2.
Teknologi, Transhumanisme, dan Manipulasi
Kodrat Manusia
Kemajuan pesat di
bidang bioteknologi
dan kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan gerakan transhumanisme,
yang mendorong manusia untuk mengatasi keterbatasan biologisnya melalui
teknologi. Tokoh-tokoh seperti Ray Kurzweil meramalkan
tercapainya singularity, yaitu titik di mana
kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia⁵.
Meskipun menjanjikan
peningkatan kualitas hidup, transhumanisme juga mengundang kritik etis dan
filosofis: Apakah intervensi teknologi terhadap tubuh
manusia akan merusak martabat kodratinya? Apakah manusia yang dimodifikasi
masih dapat disebut manusia? Filsuf Jürgen
Habermas memperingatkan bahwa manipulasi genetika terhadap
manusia dapat mengubah subjek moral menjadi objek desain, yang pada akhirnya
mengaburkan batas antara ciptaan dan pencipta⁶.
8.3.
Krisis Ekologis dan Relasi Manusia dengan Alam
Perusakan lingkungan
yang semakin masif menunjukkan bahwa manusia modern telah tercerabut
dari relasi ekologisnya. Pandangan yang menempatkan manusia
sebagai “penguasa alam” telah menyebabkan eksploitasi yang membabi buta
terhadap sumber daya alam, dan menghasilkan krisis iklim global.
Filsafat lingkungan
kontemporer, seperti yang dikembangkan oleh Arne Naess dalam konsep deep
ecology, menantang antroposentrisme dan mendorong pengakuan akan
nilai intrinsik semua bentuk kehidupan⁷. Tantangan bagi filsafat manusia adalah
mengintegrasikan
kesadaran ekologis ke dalam kerangka eksistensial, sehingga
manusia tidak lagi menjadi subjek yang menguasai, tetapi bagian dari jaringan
kehidupan yang saling bergantung.
8.4.
Relativisme Budaya dan Erosi Nilai Universal
Dalam masyarakat
plural dan multikultural, terjadi pergeseran dari klaim kebenaran universal
menuju relativisme
budaya dan moral. Sementara relativisme dapat memperkuat
toleransi dan keberagaman, ia juga berpotensi mengikis standar etis universal
yang diperlukan untuk membela martabat manusia, terutama dalam konteks
pelanggaran HAM, ketidakadilan sosial, dan kekerasan struktural⁸.
Alasdair
MacIntyre, dalam After Virtue, menyebut bahwa
masyarakat modern kehilangan dasar etis karena melemahkan narasi moral
tradisional dan menggantikannya dengan fragmentasi nilai-nilai
individualistik⁹. Filsafat manusia kini ditantang untuk menemukan
kembali fondasi etis yang kokoh dan kontekstual, yang dapat
menjembatani antara universalisme dan relativisme secara seimbang.
8.5.
Krisis Makna dan Alienasi dalam Kehidupan
Modern
Globalisasi,
urbanisasi, dan digitalisasi telah menciptakan keterputusan eksistensial
antara manusia dengan diri, sesama, dan dunia. Akibatnya, muncul gejala krisis
makna, di mana manusia mengalami keterasingan (alienation)
di tengah kehidupan yang serba cepat, instan, dan terfragmentasi.
Viktor
Frankl menggambarkan kondisi ini sebagai existential
vacuum, yaitu kekosongan makna yang muncul ketika manusia tidak
lagi memiliki arah hidup yang jelas¹⁰. Dalam konteks ini, filsafat manusia
berperan sebagai medan refleksi eksistensial untuk menghidupkan kembali
pertanyaan-pertanyaan dasar: “Untuk apa aku hidup?”, “Apa yang
benar-benar bernilai?”, “Bagaimana seharusnya aku hidup bersama orang
lain?”
8.6.
Ketimpangan Global dan Kemanusiaan yang
Terpinggirkan
Tantangan lain yang
tak kalah penting adalah ketimpangan global yang
mengancam integritas kemanusiaan. Miliaran manusia hidup dalam kemiskinan,
kekerasan, dan marginalisasi. Dalam situasi ini, filsafat manusia tidak cukup
menjadi refleksi teoritis, tetapi harus menjadi kritik sosial dan etika praksis.
Paul
Ricoeur menyatakan bahwa filsafat manusia tidak boleh hanya
bertanya tentang “siapa aku”, tetapi juga tentang “siapa sesamaku”,
dan bagaimana aku bertanggung jawab terhadap penderitaannya¹¹. Dalam semangat
inilah, filsafat manusia menemukan panggilan transformatifnya—bukan hanya untuk
berpikir, tetapi juga untuk bertindak demi kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, The Malaise of Modernity (Toronto: Anansi,
1991), 1–3.
[2]
Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science
of the Mind–Brain (Cambridge: MIT Press, 1986), 9–12.
[3]
Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University
Press, 1976), 1–4.
[4]
Roger Scruton, The Soul of the World (Princeton: Princeton
University Press, 2014), 25–28.
[5]
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend
Biology (New York: Viking, 2005), 9–10.
[6]
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature, trans. Hella
Beister and William Rehg (Cambridge: Polity Press, 2003), 19–21.
[7]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry
16, no. 1 (1973): 95–100.
[8]
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 212–215.
[9]
Alasdair MacIntyre, After Virtue, 3rd ed. (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 2007), 2–3.
[10]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.
[11]
Paul Ricoeur, The Just, trans. David Pellauer (Chicago:
University of Chicago Press, 2000), 10–13.
9.
Relevansi Filsafat Manusia dalam Kehidupan
Nyata
Filsafat manusia
bukan sekadar wacana teoritis yang bergerak dalam tataran spekulatif, tetapi
merupakan medan refleksi yang menyentuh langsung
kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai dimensi
kehidupan—pendidikan, politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan relasi
sosial—pemahaman mendalam tentang manusia sangat menentukan arah, etika, dan kualitas
tindakan. Filsafat manusia menyediakan kerangka
konseptual yang membantu individu dan masyarakat menafsirkan eksistensi,
menyusun nilai, serta membangun tata kehidupan yang bermartabat dan
berkelanjutan¹.
9.1.
Filsafat Manusia dan Pendidikan: Mendidik
Manusia Seutuhnya
Pendidikan bukan
hanya proses transfer pengetahuan, melainkan juga proses
pemanusiaan manusia (humanisasi). Dalam pandangan filsuf
seperti Paulo Freire, pendidikan harus
membebaskan, bukan menindas; membentuk kesadaran kritis, bukan sekadar
kepatuhan mekanis². Filsafat manusia membantu dunia pendidikan menyadari bahwa
peserta didik bukan objek yang diisi, tetapi subjek yang aktif, unik, dan
otonom.
Ki Hajar
Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, juga menekankan bahwa
pendidikan harus memperhatikan potensi kodrati manusia dan membimbingnya agar
menjadi manusia merdeka secara utuh: lahir, batin, dan sosial³. Tanpa pemahaman
filosofis tentang manusia sebagai makhluk yang berpikir, merasa, dan bertanggung
jawab, pendidikan akan terjebak dalam teknokratisme dan kehilangan ruh
kemanusiaannya.
9.2.
Filsafat Manusia dan Politik: Menjaga Martabat
dalam Kekuasaan
Dalam ranah politik,
filsafat manusia berperan sebagai dasar etika publik yang
mempertanyakan: Apa arti kekuasaan dalam kaitannya dengan
martabat manusia? Apakah kebijakan publik mencerminkan penghargaan terhadap hak
dan kebebasan manusia sebagai warga negara dan pribadi?
Hannah
Arendt memperingatkan bahaya dehumanisasi dalam sistem politik
totalitarian, di mana individu direduksi menjadi massa yang dapat dimanipulasi
dan dikontrol tanpa ruang untuk berpikir dan bertindak bebas⁴. Filsafat manusia
mengingatkan bahwa sistem politik yang baik adalah yang mengakui, menghargai,
dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan—seperti keadilan, kebebasan, dan
partisipasi.
9.3.
Filsafat Manusia dan Budaya: Membangun
Identitas dan Makna
Budaya adalah
ekspresi kolektif dari pencarian makna manusia dalam hidup. Filsafat manusia
memberikan fondasi ontologis dan aksiologis bagi
penciptaan, pemeliharaan, dan transformasi budaya. Dalam dunia
yang dilanda homogenisasi global, filsafat manusia membantu menegaskan
pentingnya identitas budaya, narasi lokal, dan spiritualitas tradisional yang
membentuk jati diri manusia⁵.
Sebagaimana
ditekankan oleh Charles Taylor, manusia
menemukan dirinya dalam horizons of significance, yaitu
lanskap makna yang diwariskan oleh budaya dan sejarahnya. Dalam situasi krisis
identitas, filsafat manusia dapat memulihkan pemahaman yang mendalam akan akar
eksistensial yang menyatukan individu dengan komunitasnya⁶.
9.4.
Filsafat Manusia dan Ilmu Pengetahuan:
Memanusiakan Teknologi
Kemajuan sains dan
teknologi memberikan dampak besar bagi kehidupan manusia. Namun, tanpa
panduan filsafat manusia, sains dapat menjadi kekuatan yang
netral secara moral dan bahkan merusak. Filsafat manusia menekankan bahwa
teknologi harus dikembangkan dengan memperhatikan dampaknya
terhadap martabat, kebebasan, dan integritas manusia.
Hans
Jonas, dalam etikanya tentang tanggung jawab, menggarisbawahi
bahwa kemajuan teknologi membawa serta kewajiban etis untuk mempertimbangkan
konsekuensi jangka panjang terhadap umat manusia dan planet ini⁷. Dengan kata
lain, filsafat manusia menjadi pengingat bahwa apa yang mungkin secara teknis
belum tentu benar secara etis.
9.5.
Filsafat Manusia dalam Relasi Sosial:
Menumbuhkan Empati dan Tanggung Jawab
Kehidupan sosial
sering kali terjebak dalam relasi transaksional yang kering dari nilai-nilai
kemanusiaan. Filsafat manusia mengajarkan bahwa relasi antarindividu bukan sekadar interaksi,
tetapi perjumpaan eksistensial. Relasi yang autentik dilandasi
oleh empati, pengakuan, dan tanggung jawab.
Martin
Buber menyebut bahwa manusia hanya menjadi sepenuhnya manusia
dalam hubungan “Aku–Engkau”, bukan “Aku–Itu”⁸. Dalam konteks ini,
filsafat manusia mendorong pembentukan masyarakat yang lebih manusiawi, di mana
solidaritas dan penghormatan menjadi prinsip dasar.
9.6.
Filsafat Manusia dan Ketahanan Moral dalam
Krisis
Krisis
global—pandemi, perang, ketidakadilan sosial, dan perubahan iklim—menyentakkan
kita pada kenyataan bahwa manusia rapuh namun juga tangguh. Filsafat manusia
mengajarkan bahwa di tengah penderitaan, manusia tetap mampu
bertanya, merenung, dan bangkit mencari makna. Itulah ciri khas
manusia sebagai makhluk eksistensial.
Viktor
Frankl menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi ekstrem, manusia
tetap dapat memilih sikapnya, menemukan makna, dan mempertahankan martabatnya
sebagai pribadi⁹. Dalam dunia yang terus berubah, filsafat manusia memberikan
keteguhan moral yang tak tergantikan.
Kesimpulan Antarseksi
Relevansi filsafat
manusia dalam kehidupan nyata tampak dalam kemampuannya menjembatani
antara pemikiran dan tindakan, antara prinsip dan praktik, antara makna dan
kebijakan. Filsafat ini tidak hanya mengajak untuk berpikir
lebih dalam, tetapi juga untuk hidup lebih manusiawi, berakar
pada nilai, relasi, dan tanggung jawab.
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Mediaeval Philosophy, trans. A.
H. C. Downes (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 19.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–75.
[3]
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, ed. Majelis Luhur Tamansiswa
(Yogyakarta: MLTS, 2009), 22–25.
[4]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of
Chicago Press, 1958), 136–137.
[5]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York:
Basic Books, 1973), 5–6.
[6]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 27–29.
[7]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 34–37.
[8]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 3–4.
[9]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch
(Boston: Beacon Press, 2006), 115–117.
10.
Penutup
Filsafat manusia
merupakan medan refleksi yang tak henti-hentinya menuntun kita untuk menyelami
kedalaman eksistensi, kesadaran, dan nilai-nilai yang menyusun hakikat manusia.
Dalam perjalanannya, ia telah menjadi pusat perhatian pemikiran dari masa ke
masa—mulai dari konsep dualisme tubuh dan jiwa dalam filsafat klasik, refleksi
teologis dalam abad pertengahan, hingga pemikiran eksistensial dan
fenomenologis di zaman modern dan kontemporer. Filsafat manusia bukan hanya
mempersoalkan apa itu manusia, tetapi juga bagaimana
manusia ada, mengapa ia hidup, dan untuk
apa ia hidup¹.
Melalui pendekatan
ontologis, filsafat manusia menyingkap bahwa manusia bukan sekadar entitas
biologis, melainkan eksistensi yang sadar dan terbuka terhadap makna, nilai,
serta relasi dengan dunia dan Tuhan². Dalam aspek epistemologis, manusia
dikenali sebagai makhluk yang tidak hanya mengetahui, tetapi juga merenungkan
pengetahuannya, dan dalam aspek aksiologis, manusia menjadi
pusat nilai dan subjek etika yang bertanggung jawab atas hidupnya dan
lingkungannya³.
Di tengah
kompleksitas zaman kontemporer—yang ditandai oleh krisis identitas,
dehumanisasi teknologi, relativisme moral, dan ketimpangan global—filsafat
manusia hadir sebagai penuntun reflektif dan kritis
yang mengembalikan perhatian kita kepada dimensi terdalam dari keberadaan. Ia
tidak memberikan jawaban yang bersifat final, tetapi mengajak manusia untuk
terus-menerus bertanya dan mencari makna hidup secara otentik
dan bertanggung jawab⁴.
Filsafat manusia
juga membuktikan relevansinya dalam berbagai dimensi kehidupan nyata: dalam
pendidikan, ia menekankan pemanusiaan peserta didik; dalam politik, ia
menyoroti nilai martabat dan keadilan; dalam budaya, ia menjadi landasan
pemaknaan identitas; dalam teknologi, ia menjadi penyeimbang etis terhadap
kemajuan; dan dalam relasi sosial, ia menumbuhkan kesadaran akan empati dan
tanggung jawab antarpribadi⁵.
Pengetahuan tentang
manusia bukan sekadar urusan akademik, melainkan panggilan untuk hidup
lebih manusiawi, yakni hidup yang menyadari keberadaan,
menghargai sesama, dan terbuka terhadap nilai-nilai transendental yang melampaui
kalkulasi rasional. Dengan demikian, filsafat manusia menjadi ruang yang
menghubungkan antara pikiran dan tindakan, antara refleksi dan praksis, serta
antara kebebasan dan tanggung jawab eksistensial⁶.
Akhirnya, menyelami
filsafat manusia berarti kembali ke akar persoalan: siapa kita, mengapa
kita ada, dan bagaimana kita hidup secara bermakna.
Dengan pertanyaan-pertanyaan inilah, filsafat manusia tidak pernah
selesai—karena selama manusia masih ada, selama itu pula ia akan mencari dan
menciptakan makna.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary,
trans. Erazim Kohák (Evanston: Northwestern University Press, 1966), 3–5.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 33–35.
[3]
Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans. Peter Heath
(London: Routledge & Kegan Paul, 1954), 266–268.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 52–54.
[5]
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard
University Press, 1992), 1–4.
[6]
Gabriel Marcel, Homo Viator: Introduction to a Metaphysic of Hope,
trans. Emma Craufurd (San Francisco: Ignatius Press, 2010), 94–96.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1958). The human condition.
University of Chicago Press.
Aristotle. (1975). Posterior analytics (J.
Barnes, Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1986). De anima (H.
Lawson-Tancred, Trans.). Penguin Books.
Aristotle. (1998). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve,
Trans.). Hackett Publishing.
Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith,
Trans.). Charles Scribner’s Sons.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage International.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. SUNY Press.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy:
Toward a unified science of the mind–brain. MIT Press.
Dawkins, R. (1976). The selfish gene. Oxford
University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Dewey, J. (1939). Theory of valuation.
University of Chicago Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning
(I. Lasch, Trans.). Beacon Press.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. Basic Books.
Gilson, E. (1991). The spirit of mediaeval
philosophy (A. H. C. Downes, Trans.). University of Notre Dame Press.
Goodman, L. E. (2006). Avicenna. Routledge.
Habermas, J. (2003). The future of human nature
(H. Beister & W. Rehg, Trans.). Polity Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kurzweil, R. (2005). The singularity is near:
When humans transcend biology. Viking.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Levinas, E. (1985). Ethics and infinity:
Conversations with Philippe Nemo (R. A. Cohen, Trans.). Duquesne University
Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd
ed.). University of Notre Dame Press.
Marcel, G. (1950). The mystery of being (G.
S. Fraser, Trans.). Henry Regnery.
Marcel, G. (2010). Homo viator: Introduction to
a metaphysic of hope (E. Craufurd, Trans.). Ignatius Press.
Naess, A. (1973). The shallow and the deep,
long-range ecology movement. Inquiry, 16(1), 95–100.
Plato. (1977). Phaedo (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett Publishing.
Plato. (1981). Meno (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett Publishing.
Plato. (1995). Phaedrus (A. Nehamas & P.
Woodruff, Trans.). Hackett Publishing.
Plato. (2000). Apology (G. M. A. Grube,
Trans.). Hackett Publishing.
Ricoeur, P. (1966). Freedom and nature: The
voluntary and the involuntary (E. Kohák, Trans.). Northwestern University
Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (2000). The just (D. Pellauer,
Trans.). University of Chicago Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge University Press.
Sandel, M. (2009). Justice: What’s the right
thing to do? Farrar, Straus and Giroux.
Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Scheler, M. (1954). The nature of sympathy
(P. Heath, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and
non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.).
Northwestern University Press.
Scruton, R. (2014). The soul of the world.
Princeton University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity.
Harvard University Press.
Taylor, C. (1991). The malaise of modernity.
Anansi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar