Jumat, 02 Mei 2025

Konfusianisme (儒家, Rujia): Etika, Politik, dan Transformasi Sosial dalam Filsafat Tiongkok Klasik dan Kontemporer

Konfusianisme (儒家, Rujia)

Etika, Politik, dan Transformasi Sosial dalam Filsafat Tiongkok Klasik dan Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Filsafat Berdasarkan Konteks Budaya dan Geografis.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif tradisi filsafat Konfusianisme (儒家, Rujia) sebagai sistem etika, politik, dan sosial yang berkembang dari masa Tiongkok klasik hingga dunia kontemporer. Dimulai dari pemikiran Kongzi (Confucius) pada abad ke-6 SM, artikel ini menelusuri konsep-konsep utama seperti ren (kemanusiaan), li (norma sosial), dan yi (keadilan moral), serta peran tokoh-tokoh penting seperti Mengzi dan Xunzi dalam memperluas kerangka etis dan politik Konfusianisme. Pembahasan dilanjutkan dengan evolusi historisnya, termasuk institusionalisasi pada masa Dinasti Han dan transformasi menjadi Neo-Konfusianisme pada era Song dan Ming. Di era modern, Konfusianisme mengalami revitalisasi sebagai alat diplomasi budaya dan fondasi pendidikan karakter, serta memainkan peran penting dalam etika global dan dialog antarperadaban. Melalui pendekatan perbandingan dengan filsafat Barat, artikel ini menunjukkan bagaimana Konfusianisme memberikan perspektif unik dalam etika kebajikan dan komunitarianisme yang relevan dengan tantangan dunia masa kini. Dengan menggabungkan pendekatan historis, konseptual, dan kontemporer, artikel ini menyimpulkan bahwa Konfusianisme adalah tradisi filsafat hidup yang tidak hanya memiliki makna bagi Asia Timur, tetapi juga bagi diskursus etika dan pembangunan global.

Kata Kunci: Konfusianisme, Kongzi, etika kebajikan, harmoni sosial, filsafat politik Tiongkok, Neo-Konfusianisme, pendidikan karakter, etika global, dialog antarperadaban, komunitarianisme.


PEMBAHASAN

Kajian Konfusianisme (儒家, Rujia) Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Konfusianisme (儒家, Rujia) merupakan salah satu aliran filsafat paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Tiongkok. Sebagai sistem pemikiran yang berakar dari ajaran Kongzi (孔子, Confucius), Konfusianisme lahir dalam konteks zaman Zhou Timur (770–256 SM), khususnya pada masa kekacauan sosial dan politik yang dikenal sebagai Zaman Negara-Negara Berperang (475–221 SM). Pada masa ini, stabilitas politik melemah, dan nilai-nilai moral dalam masyarakat mengalami degradasi, sehingga memunculkan kebutuhan mendesak akan panduan etis dan tata kehidupan sosial yang stabil. Dalam konteks inilah Konfusianisme muncul sebagai solusi filosofis dan praktis terhadap krisis sosial tersebut1.

Konfusianisme pada mulanya bukan merupakan agama formal, melainkan suatu sistem etika dan filsafat politik yang menekankan keharmonisan sosial, keteraturan moral, serta pembentukan karakter individu melalui pendidikan dan kebajikan. Kongzi menekankan pentingnya nilai-nilai seperti ren (, kasih sayang), li (, ritual dan norma), dan xiao (, bakti kepada orang tua) sebagai fondasi bagi tatanan masyarakat yang adil dan beradab2. Dalam hal ini, Konfusianisme tidak hanya membentuk aspek moral individu, tetapi juga merancang struktur sosial-politik yang ideal, dengan pemimpin yang berperilaku sebagai teladan moral bagi rakyatnya.

Seiring berjalannya waktu, Konfusianisme mengalami institusionalisasi sebagai ideologi resmi negara, terutama sejak masa Dinasti Han (206 SM–220 M), dan terus memengaruhi sistem pendidikan, hukum, dan pemerintahan di Tiongkok selama lebih dari dua milenium3. Pengaruhnya bahkan meluas ke berbagai wilayah Asia Timur, seperti Korea, Jepang, dan Vietnam, menjadikannya sebagai fondasi budaya regional yang transnasional. Di abad modern, Konfusianisme mengalami revitalisasi, baik dalam diskursus akademik maupun kebijakan negara, terutama dalam konteks pembangunan karakter, etika bisnis, serta identitas budaya dalam globalisasi4.

Dengan demikian, Konfusianisme tidak hanya relevan sebagai warisan klasik, tetapi juga sebagai sistem nilai yang terus beradaptasi dan berkontribusi terhadap pemikiran etika dan politik kontemporer. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara mendalam berbagai aspek dalam Konfusianisme—dari konsep etis, peran sosial-politik, hingga transformasinya dalam dunia modern—guna menyoroti signifikansinya dalam lintasan sejarah dan tantangan masa kini.


Footnotes

[1]                Bryan W. Van Norden, Introduction to Classical Chinese Philosophy (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2011), 9–13.

[2]                Confucius, The Analects of Confucius, trans. Edward Slingerland (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2003), Book I, 2; Book XII, 2.

[3]                Rodney L. Taylor, The Religious Dimensions of Confucianism (Albany: State University of New York Press, 1990), 67–70.

[4]                Sor-hoon Tan, “Confucianism and the Modern World,” in Confucian Political Philosophy, ed. Daniel A. Bell and Hahm Chaibong (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 219–241.


2.           Asal-Usul dan Tokoh Sentral Konfusianisme

Konfusianisme berakar dari ajaran Kongzi (孔子, Latinisasi: Confucius), seorang pemikir dan guru moral yang hidup pada abad ke-6 hingga ke-5 SM, dalam masa transisi dan ketidakstabilan politik yang dikenal sebagai Zaman Musim Semi dan Gugur (春秋時代, Chunqiu Shidai). Lahir pada tahun 551 SM di negara Lu (sekarang bagian dari Provinsi Shandong), Kongzi tumbuh dalam lingkungan sosial yang sarat kekacauan politik dan keruntuhan nilai-nilai tradisional1. Misinya adalah untuk menghidupkan kembali tatanan moral masyarakat melalui pendidikan, kebajikan, dan penghormatan terhadap tradisi kuno.

Kongzi bukanlah pembuat doktrin dalam arti teologis, melainkan seorang reformis moral yang mengajarkan pentingnya menjadi junzi (君子)manusia berbudi luhurmelalui internalisasi nilai-nilai seperti ren (, kemanusiaan), li (, ritual/norma sosial), dan yi (, kebenaran moral). Ia mengumpulkan dan menyusun kembali teks-teks klasik seperti Shijing (Kitab Lagu), Shujing (Kitab Dokumen), dan Liji (Catatan tentang Ritual), yang kemudian menjadi bagian dari Wujing (, Lima Kitab Klasik) dan fondasi pendidikan Konfusianisme2.

Pemikiran Kongzi terdokumentasi dalam Lunyu (論語, Analek Kongzi), sebuah kumpulan kutipan dan percakapan yang direkam oleh para muridnya. Dalam karya tersebut, Kongzi tidak menawarkan sistem metafisik yang sistematis, melainkan penekanan pada perilaku etis, relasi sosial yang harmonis, serta peran pendidikan dalam pembentukan karakter dan stabilitas negara3.

Setelah wafatnya, ajaran Kongzi mengalami pengembangan dan reinterpretasi oleh para penerusnya. Di antaranya, dua tokoh besar memainkan peran penting dalam pembentukan spektrum pemikiran Konfusianisme: Mengzi (孟子, Mencius) dan Xunzi (荀子).

Mengzi, yang hidup pada abad ke-4 SM, memperluas ajaran Kongzi dengan menegaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (xing shan 性善). Ia menekankan pentingnya empati (ceyin zhi xin 惻隱之心) sebagai dasar moralitas dan memperkenalkan konsep bahwa pemerintahan harus berlandaskan cinta rakyat dan kebajikan moral4. Pandangannya sangat berpengaruh dalam menyusun kerangka etika politik Konfusianisme yang humanistik.

Sebaliknya, Xunzi, yang hidup beberapa dekade kemudian, justru berpandangan bahwa manusia secara alami cenderung pada keinginan dan egoisme (xing e 性惡). Oleh karena itu, ia memandang pendidikan dan ritual sebagai sarana esensial untuk mengatur naluri manusia dan menciptakan masyarakat yang tertib5. Kendati berbeda pandangan mengenai sifat dasar manusia, baik Mengzi maupun Xunzi tetap menjunjung tinggi nilai li dan peran junzi dalam masyarakat.

Kedua tokoh ini menunjukkan dinamika internal Konfusianisme dalam merespons tantangan zaman, dan pemikiran mereka menjadi dasar dari perdebatan filosofis yang terus berlangsung dalam sejarah intelektual Tiongkok. Baik pemikiran Mengzi yang lebih idealistik maupun Xunzi yang lebih realistik berkontribusi terhadap fleksibilitas dan daya hidup Konfusianisme sebagai sistem filsafat yang adaptif.

Dengan demikian, asal-usul Konfusianisme tidak hanya mencakup lahirnya ajaran moral oleh Kongzi, tetapi juga pengembangan lebih lanjut melalui diskursus para pemikir generasi berikutnya, menjadikannya sebuah tradisi filsafat yang terus hidup dan berkembang hingga masa kini.


Footnotes

[1]                Annping Chin, The Authentic Confucius: A Life of Thought and Politics (New York: Scribner, 2007), 3–6.

[2]                Lionel Jensen, Manufacturing Confucianism: Chinese Traditions and Universal Civilization (Durham, NC: Duke University Press, 1997), 83–85.

[3]                Confucius, The Analects, trans. D.C. Lau (London: Penguin Books, 1979), Book II, 1; Book VII, 29.

[4]                Irene Bloom, Mencius and Early Chinese Thought (New York: Columbia University Press, 2009), 35–38.

[5]                Eric L. Hutton, Xunzi: The Complete Text (Princeton: Princeton University Press, 2014), 25–28.


3.           Konsep-Konsep Kunci dalam Konfusianisme

Konfusianisme (儒家) sebagai sistem etika dan filsafat sosial-politik dibangun di atas fondasi nilai-nilai utama yang membentuk karakter individu, mengatur hubungan sosial, dan menopang struktur negara. Konsep-konsep ini bersifat normatif dan teleologis, yakni mengarahkan manusia pada tujuan moral sebagai junzi (君子) atau orang yang berbudi luhur. Di antara konsep-konsep kunci tersebut, terdapat enam nilai utama yang saling berkaitan dan menyusun kerangka etis Konfusianisme secara menyeluruh: ren (), li (), yi (), zhi (), xiao (), dan junzi (君子).

3.1.       Ren () – Kemanusiaan dan Kebajikan Cinta Kasih

Ren adalah inti dari semua kebajikan Konfusianisme dan sering diterjemahkan sebagai “kemanusiaan,” “kasih sayang,” atau “cinta universal”. Kongzi menyebut ren sebagai landasan perilaku etis, yang tercermin dalam sikap empatik terhadap sesama: “Apa yang tidak engkau kehendaki terjadi padamu, jangan lakukan pada orang lain.”_1 Konsep ini mencakup kesadaran moral yang hidup dalam hati manusia dan mendorong tindakan altruistik dalam relasi sosial. Bagi Mengzi, ren adalah manifestasi dari hati yang tidak tega (惻隱之心, ceyin zhi xin), yakni dorongan spontan untuk menolong orang lain2.

3.2.       Li () – Norma Sosial dan Ritual

Li mencakup tatanan perilaku yang diwujudkan melalui etiket, upacara, tradisi, dan norma sosial. Kongzi memandang li sebagai ekspresi konkret dari ren dalam konteks sosial. Ia menekankan bahwa harmoni masyarakat hanya dapat dicapai bila setiap orang menjalankan perannya sesuai dengan li—baik sebagai anak, orang tua, penguasa, maupun rakyat3. Ritual bukanlah sekadar formalitas, tetapi merupakan cara untuk memelihara rasa hormat, keteraturan, dan keutuhan moral dalam komunitas.

3.3.       Yi () – Keadilan Moral

Yi adalah prinsip bertindak berdasarkan apa yang benar secara moral, bukan berdasarkan keuntungan pribadi. Dalam Analek, Kongzi mengisyaratkan bahwa orang mulia (junzi) akan lebih memilih untuk miskin daripada mencederai yi4. Konsep ini memperkuat nilai integritas dan keadilan dalam mengambil keputusan, terutama dalam konteks pemerintahan dan kepemimpinan. Yi menuntut keberanian untuk menegakkan kebenaran walau bertentangan dengan kepentingan pribadi.

3.4.       Zhi () – Kebijaksanaan

Zhi adalah kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan secara praktis memilih tindakan yang paling sesuai dengan prinsip etika. Meski zhi jarang menjadi fokus utama Kongzi, ia tetap menganggapnya penting sebagai landasan berpikir rasional dalam menerapkan ren dan yi. Zhu Xi, seorang tokoh Neo-Konfusianisme, kemudian menekankan zhi sebagai hasil kontemplasi moral yang mendalam dalam mengenali prinsip kebenaran alam semesta (li, )5.

3.5.       Xiao () – Bakti kepada Orang Tua

Xiao adalah bentuk paling dasar dari praktik ren dalam lingkungan keluarga. Konsep ini menekankan pentingnya menghormati, merawat, dan mentaati orang tua serta leluhur. Dalam pandangan Konfusianisme, keluarga merupakan mikro-kosmos negara; oleh karena itu, keharmonisan rumah tangga adalah dasar dari stabilitas sosial6. Nilai xiao juga mewarnai struktur hierarkis masyarakat, yang menempatkan penghormatan pada yang lebih tua dan berwenang sebagai bagian dari moralitas publik.

3.6.       Junzi (君子) – Sosok Ideal dalam Konfusianisme

Junzi secara harfiah berarti “anak seorang bangsawan,” namun dalam Konfusianisme, istilah ini mengalami perluasan makna menjadi “manusia berbudi luhur.” Seorang junzi bukan diukur dari status sosial, melainkan dari karakter etis dan konsistensi moralnya. Kongzi menggambarkan junzi sebagai sosok yang mampu menyeimbangkan ren, li, yi, dan zhi dalam kehidupannya sehari-hari. Ia bertindak tidak demi pengakuan, tetapi demi kebenaran dan keteladanan7.


Dengan saling menopangnya nilai-nilai tersebut, Konfusianisme membentuk sistem etika yang menyeluruh: dimulai dari karakter individu, merembes ke struktur keluarga, hingga membentuk etos pemerintahan. Konsep-konsep ini bukan hanya idealisme moral, tetapi juga pedoman praktis dalam kehidupan sosial-politik Tiongkok klasik maupun modern.


Footnotes

[1]                Confucius, The Analects, trans. D.C. Lau (London: Penguin Books, 1979), Book XV, 23.

[2]                Irene Bloom, Mencius and Early Chinese Thought (New York: Columbia University Press, 2009), 42–45.

[3]                Roger T. Ames and Henry Rosemont Jr., The Analects of Confucius: A Philosophical Translation (New York: Ballantine Books, 1998), Introduction, xii–xv.

[4]                Confucius, The Analects, Book IV, 5.

[5]                Daniel K. Gardner, Learning to Be a Sage: Selections from the Conversations of Master Zhu, Arranged Topically (Berkeley: University of California Press, 1990), 29–33.

[6]                Hsu Cho-yun, Ancient China in Transition: An Analysis of Social Mobility, 722–222 B.C. (Stanford: Stanford University Press, 1965), 115–117.

[7]                Confucius, The Analects, Book I, 2; Book IV, 16.


4.           Etika Sosial dan Politik dalam Konfusianisme

Konfusianisme tidak hanya menawarkan panduan moral individu, tetapi juga membentuk kerangka sosial dan politik yang menyeluruh, yang berpusat pada prinsip keharmonisan, kewajiban, dan kepemimpinan berbasis kebajikan (de, ). Etika sosial-politik dalam Konfusianisme menghubungkan kualitas moral individu dengan stabilitas dan keadilan dalam tatanan masyarakat dan negara. Hal ini menunjukkan bahwa bagi Konfusianisme, pembentukan negara yang baik harus dimulai dari pembentukan manusia yang baik.

4.1.       Keluarga sebagai Dasar Etika Sosial

Konsep sosial dalam Konfusianisme berakar pada struktur keluarga. Nilai xiao (, bakti kepada orang tua) menjadi fondasi utama dalam hubungan sosial, yang kemudian diperluas ke berbagai hubungan hierarkis dalam masyarakat: antara penguasa dan rakyat, suami dan istri, kakak dan adik, teman dan teman1. Keluarga dilihat sebagai mikrokosmos dari negara; apabila keluarga teratur dan harmonis, maka negara pun akan stabil. Relasi sosial dalam Konfusianisme bersifat hierarkis tetapi juga mutualistik—kewajiban dari pihak yang lebih rendah diimbangi oleh keteladanan moral dari pihak yang lebih tinggi2.

4.2.       Pemerintahan yang Berbasis Kebajikan (德治, Dezhi)

Bagi Kongzi, legitimasi politik tidak berasal dari kekuatan atau hukum positif semata, tetapi dari karakter moral pemimpin. Seorang junzi yang memimpin dengan de (, kebajikan) akan mendapatkan loyalitas rakyat tanpa paksaan. Kongzi menyatakan, Jika pemimpin itu benar, maka yang lain akan mengikuti tanpa perintah.”_3 Prinsip ini menolak otoritarianisme dan menekankan kekuasaan yang bersumber dari keteladanan etis.

Konsep pemerintahan berbasis kebajikan kemudian dikembangkan oleh Mengzi. Ia menolak legalisme yang mengandalkan kekuatan dan sanksi hukum, dan mempromosikan prinsip wangdao (王道), jalan raja yang berbudi, sebagai ideal pemerintahan yang manusiawi dan bermoral4. Pemerintah yang gagal memenuhi kebutuhan rakyat atau bertindak zalim kehilangan mandat langit (tianming, 天命) dan dapat digulingkan secara sah.

4.3.       Peran Etika dalam Stabilitas Sosial

Konfusianisme menyusun masyarakat yang tertib melalui peran masing-masing individu sesuai dengan relasi etis yang disebut wulun (五倫), yaitu lima hubungan pokok: antara penguasa dan bawahan, ayah dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, serta antara teman sebaya5. Tiap hubungan ini diatur oleh norma etika: loyalitas, kasih sayang, kepatuhan, keadilan, dan kepercayaan. Dengan demikian, etika sosial bukanlah pilihan personal, melainkan keharusan moral untuk menjaga keharmonisan kolektif.

Dalam praktiknya, etika Konfusianisme diwujudkan melalui pendidikan. Pendidikan bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi proses pembentukan karakter. Kongzi percaya bahwa semua orang memiliki potensi untuk menjadi junzi jika dibina dengan baik, sehingga pendidikan menjadi instrumen sosial utama untuk regenerasi moral dan kestabilan politik6.

4.4.       Meritokrasi dan Anti-Ketidakadilan Sosial

Etika politik Konfusianisme juga melandasi sistem meritokrasi dalam birokrasi kekaisaran Tiongkok. Sistem ujian negara yang didasarkan pada penguasaan terhadap literatur Konfusianisme menjadi sarana untuk memilih pejabat berdasarkan kemampuan, bukan keturunan. Hal ini memperlihatkan nilai Konfusianisme terhadap keadilan sosial dan pengakuan terhadap kebajikan serta kompetensi intelektual sebagai syarat kepemimpinan7.


Melalui relasi yang berjenjang namun saling terikat oleh prinsip moral, Konfusianisme menciptakan sistem sosial-politik yang stabil dan etis. Dalam kerangka ini, kepemimpinan bukanlah otoritas mutlak, melainkan amanah moral yang harus diwujudkan dalam bentuk pengabdian kepada rakyat. Etika sosial-politik Konfusianisme merupakan upaya harmonis untuk menyeimbangkan hierarki dan keadilan melalui pembentukan manusia bermoral sebagai dasar negara yang adil dan makmur.


Footnotes

[1]                Roger T. Ames and David L. Hall, Thinking Through Confucius (Albany: State University of New York Press, 1987), 230–233.

[2]                Wm. Theodore de Bary and Irene Bloom, Sources of Chinese Tradition, Volume 1: From Earliest Times to 1600, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1999), 29–31.

[3]                Confucius, The Analects, trans. D.C. Lau (London: Penguin Books, 1979), Book XIII, 6.

[4]                Bryan W. Van Norden, Virtue Ethics and Consequentialism in Early Chinese Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 157–160.

[5]                Tu Weiming, “The Confucian Tradition in Chinese History,” in Confucianism and Human Rights, ed. Wm. Theodore de Bary and Tu Weiming (New York: Columbia University Press, 1998), 1–9.

[6]                Rodney L. Taylor, The Way of Heaven: An Introduction to Confucian Religious Life (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2000), 71–74.

[7]                Thomas H.C. Lee, Education in Traditional China: A History (Leiden: Brill, 2000), 120–123.


5.           Evolusi Historis dan Diversifikasi Pemikiran

Konfusianisme bukanlah doktrin yang statis, melainkan tradisi intelektual yang terus berevolusi seiring waktu. Dari masa klasik hingga era modern, Konfusianisme telah mengalami reinterpretasi, pengembangan, dan bahkan kritik internal, menjadikannya sistem filsafat yang lentur namun berakar kuat pada nilai-nilai dasar moral dan sosial. Perjalanan historis Konfusianisme dapat dibagi ke dalam beberapa fase penting yang menunjukkan dinamika dan kompleksitas aliran ini dalam merespons perubahan sosial, politik, dan kultural.

5.1.       Institusionalisasi pada Masa Dinasti Han

Setelah masa relatif marginal pada akhir Dinasti Zhou, Konfusianisme mulai mendapatkan legitimasi politik saat Dinasti Han (206 SM–220 M) menjadikannya ideologi resmi negara. Kaisar Wu dari Han secara khusus menunjuk ajaran Konfusius sebagai dasar pendidikan dan seleksi birokrasi, mengintegrasikan Lima Kitab Klasik (, Wujing) ke dalam kurikulum negara1. Pada masa ini, Konfusianisme berasimilasi dengan unsur-unsur kosmologi dan mistisisme, membentuk varian yang dikenal sebagai Han Confucianism yang menggabungkan unsur yin-yang, teori lima elemen (wuxing), dan praktik ramalan2.

5.2.       Kebangkitan Neo-Konfusianisme pada Masa Song dan Ming

Setelah periode dominasi Buddhisme dan Taoisme selama Dinasti Tang, muncul gerakan intelektual besar yang dikenal sebagai Neo-Konfusianisme (宋明理學, Song-Ming Lixue). Tokoh sentralnya, Zhu Xi (1130–1200), melakukan sintesis antara filsafat moral Konfusius, metafisika Buddhis, dan struktur logika Taois. Zhu Xi menekankan konsep li (, prinsip kosmik) sebagai hukum moral universal yang ada dalam segala sesuatu. Ia juga menekankan pentingnya jingzuo (靜坐, meditasi reflektif) sebagai jalan menuju pemahaman etis3.

Zhu Xi menstandardisasi kanon Konfusianisme menjadi Empat Buku (, Sishu)—Analek Kongzi, Mencius, Daxue (Pembelajaran Besar), dan Zhongyong (Doktrin Tengah)—yang menjadi inti ujian sipil selama lebih dari 600 tahun di Tiongkok, Korea, dan Vietnam4.

Pada masa Dinasti Ming, Wang Yangming (1472–1529) menawarkan pendekatan berbeda yang menekankan intuisi moral (liangzhi, 良知) dalam diri manusia. Ia menolak pemisahan antara pengetahuan dan tindakan (zhixing heyi 知行合一), menyatakan bahwa kebenaran moral tidak perlu dicari di luar, melainkan ditemukan dalam nurani manusia. Pendekatan ini lebih spiritual dan personal, dan sangat memengaruhi perkembangan Konfusianisme di Jepang dan Korea5.

5.3.       Interaksi dan Ketegangan dengan Tradisi Lain

Sepanjang sejarahnya, Konfusianisme telah berinteraksi secara intens dengan Buddhisme dan Taoisme. Dalam masa Dinasti Tang dan Song, terjadi sinkretisme di mana ketiga ajaran ini—Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme—dianggap sebagai tiga ajaran besar (san jiao) yang saling melengkapi6. Meskipun sering terjadi pertentangan doktrinal, ketiganya juga mengalami konvergensi dalam praktik keagamaan masyarakat sehari-hari.

Namun, kritik terhadap Konfusianisme juga muncul dari dalam. Para pemikir seperti Liang Qichao dan Kang Youwei pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menyerukan reformasi ajaran Konfusius untuk menyesuaikannya dengan tuntutan modernisasi dan demokrasi. Bagi mereka, Konfusianisme tradisional terlalu konservatif dan hierarkis, sehingga perlu ditransformasikan menjadi sistem nilai yang lebih egaliter dan rasional7.

5.4.       Relevansi Kontemporer dan Revitalisasi Modern

Setelah revolusi 1911 dan terutama selama era Maois, Konfusianisme mengalami dekonstruksi besar-besaran, dianggap sebagai simbol feodalisme dan penghambat kemajuan. Namun sejak dekade 1980-an, Tiongkok kembali menunjukkan minat terhadap warisan Konfusianisme sebagai identitas budaya nasional dan fondasi etika pembangunan8. Pemerintah Tiongkok modern mempromosikan Konfusianisme melalui institusi Confucius Institutes di berbagai negara sebagai bagian dari diplomasi lunak dan promosi nilai-nilai Asia Timur.

Kini, Konfusianisme tidak hanya direvitalisasi sebagai warisan budaya, tetapi juga menjadi bagian dari diskursus etika global, pendidikan karakter, dan filsafat politik alternatif. Dalam konteks globalisasi dan krisis nilai di masyarakat modern, banyak sarjana seperti Tu Weiming melihat Konfusianisme sebagai landasan etis untuk dialog antarperadaban dan solusi terhadap krisis moral universal9.


Footnotes

[1]                Michael Loewe, The Government of the Qin and Han Empires: 221 BCE–220 CE (Indianapolis: Hackett Publishing, 2006), 92–94.

[2]                Benjamin A. Elman, From Philosophy to Philology: Intellectual and Social Aspects of Change in Late Imperial China (Cambridge, MA: Harvard University Asia Center, 1984), 13–17.

[3]                Daniel K. Gardner, Learning to Be a Sage: Selections from the Conversations of Master Zhu, Arranged Topically (Berkeley: University of California Press, 1990), xv–xxi.

[4]                Wing-tsit Chan, A Source Book in Chinese Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 1963), 590–596.

[5]                Philip J. Ivanhoe, Ethics in the Confucian Tradition: The Thought of Wang Yangming (Atlanta: Scholars Press, 1990), 45–49.

[6]                Wm. Theodore de Bary, The Trouble with Confucianism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 21–23.

[7]                Hao Chang, Chinese Intellectuals in Crisis: Search for Order and Meaning, 1890–1911 (Berkeley: University of California Press, 1987), 112–118.

[8]                Joseph Levenson, Confucian China and Its Modern Fate: A Trilogy (Berkeley: University of California Press, 1968), 154–157.

[9]                Tu Weiming, “Multiple Modernities: Implications of the Rise of ‘Confucian’ East Asia,” in The Globalization of Ethics, ed. William M. Sullivan and Will Kymlicka (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 62–70.


6.           Konfusianisme dalam Dunia Modern

Di tengah arus modernisasi, globalisasi, dan krisis nilai yang melanda banyak masyarakat kontemporer, Konfusianisme mengalami revitalisasi sebagai alternatif filosofis dan etika yang relevan bagi tantangan zaman kini. Di Tiongkok dan berbagai negara Asia Timur, Konfusianisme tidak lagi sekadar warisan budaya klasik, tetapi telah dimaknai ulang dalam kerangka pembangunan sosial, ekonomi, dan pendidikan.

6.1.       Revitalisasi di Tiongkok Kontemporer

Sejak dekade 1980-an, pasca era Revolusi Kebudayaan yang anti-tradisional, Tiongkok menunjukkan kebangkitan minat terhadap Konfusianisme. Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, dalam upayanya membangun "masyarakat harmonis" (hexie shehui, 谐社会), memanfaatkan nilai-nilai Konfusianisme seperti harmoni sosial, kewajiban kolektif, dan kepemimpinan berbasis kebajikan sebagai instrumen kebijakan ideologis1. Institusi pendidikan di berbagai tingkatan kembali memasukkan teks-teks Konfusianisme dalam kurikulum, dan pemimpin politik secara terbuka mengutip ajaran Kongzi dalam pidato kenegaraan untuk memperkuat legitimasi moral2.

Selain itu, pemerintah Tiongkok membentuk ratusan Confucius Institutes di luar negeri sebagai bagian dari diplomasi budaya (soft power). Lembaga ini bertujuan mempromosikan bahasa Mandarin, budaya Tiongkok, dan nilai-nilai Konfusianisme dalam bingkai kerja sama internasional3.

6.2.       Konfusianisme sebagai Alternatif Etika Global

Dalam ranah global, para filsuf dan etikaawan kontemporer mulai menaruh perhatian pada Konfusianisme sebagai sumber alternatif bagi etika lintas budaya. Nilai-nilai seperti ren (, kasih sayang), yi (, keadilan moral), dan li (, tatanan sosial) dinilai menawarkan pendekatan komunitarian terhadap moralitas, berbeda dari pendekatan liberal individualistik yang dominan dalam filsafat Barat modern4.

Misalnya, filsuf Tu Weiming mengembangkan gagasan tentang “Konfusianisme baru” (New Confucianism), yang menyatukan spiritualitas moral tradisional dengan nilai-nilai modern seperti hak asasi manusia dan pluralisme. Ia menyebut Konfusianisme sebagai “humanisme spiritual” yang mampu memperkaya dialog etika global, tanpa menegasikan pentingnya rasionalitas dan kebebasan individu5.

6.3.       Konfusianisme dan Pendidikan Karakter

Dalam bidang pendidikan, Konfusianisme menjadi rujukan penting dalam pembentukan kurikulum karakter di berbagai negara Asia, termasuk Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan Taiwan. Nilai-nilai Konfusianisme seperti penghormatan terhadap guru dan orang tua, disiplin diri, dan tanggung jawab sosial diterapkan dalam pengajaran dan kebijakan sekolah. Beberapa studi menunjukkan bahwa etos pendidikan Konfusianisme berkontribusi pada pencapaian akademik tinggi dan stabilitas sosial di negara-negara tersebut6.

Namun, terdapat pula kritik terhadap penerapan Konfusianisme secara literal dalam konteks modern. Nilai-nilai hierarkis dan patriarkal Konfusianisme dinilai bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan demokrasi partisipatoris. Karenanya, beberapa pemikir menekankan pentingnya reinterpretasi kritis terhadap Konfusianisme agar tetap relevan tanpa mengorbankan nilai-nilai modern7.

6.4.       Tantangan dan Peluang dalam Konteks Globalisasi

Dalam era globalisasi, Konfusianisme menghadapi tantangan dari sekularisme, konsumerisme, dan relativisme moral. Namun, di saat yang sama, meningkatnya kekhawatiran atas krisis etika dalam kapitalisme global membuka ruang bagi gagasan etis alternatif yang berbasis pada tanggung jawab sosial dan integritas moral—nilai-nilai yang secara inheren ditawarkan oleh Konfusianisme8.

Dengan demikian, Konfusianisme di era modern tidak hanya menjadi simbol identitas budaya, tetapi juga tawaran etis dan spiritual yang relevan bagi dunia yang tengah mencari kembali fondasi moral dalam menghadapi krisis multidimensi.


Footnotes

[1]                Daniel A. Bell, China’s New Confucianism: Politics and Everyday Life in a Changing Society (Princeton: Princeton University Press, 2008), 12–17.

[2]                Joseph Chan, “Legitimacy, Tradition and Political Reform in China: The Confucian Dimension,” The China Journal 48 (2002): 69–89.

[3]                Jennifer Hubbert, China in the World: An Anthropology of Confucius Institutes, Soft Power, and Globalization (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2019), 3–5.

[4]                Sor-hoon Tan, “Confucianism and the Modern World,” in Confucian Political Philosophy, ed. Daniel A. Bell and Hahm Chaibong (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 219–241.

[5]                Tu Weiming, “The Ecological Turn in New Confucian Humanism: Implications for China and the World,” Daedalus 130, no. 4 (2001): 243–264.

[6]                Yong Zhao, Catching Up or Leading the Way: American Education in the Age of Globalization (Alexandria, VA: ASCD, 2009), 101–104.

[7]                Heisook Kim, “Women in Confucian Thought: Challenges and Reinterpretations,” Dao: A Journal of Comparative Philosophy 13, no. 3 (2014): 341–359.

[8]                Roger T. Ames, “Confucianism and the Crisis of Modernity: Reconsidering the Confucian Model,” in Confucian Cultures of Authority, ed. Peter D. Hershock and Roger T. Ames (Albany: SUNY Press, 2006), 25–48.


7.           Perbandingan dengan Filsafat Barat

Perbandingan antara Konfusianisme dan filsafat Barat memberikan ruang untuk memahami karakteristik masing-masing tradisi pemikiran, serta menyoroti kekuatan dan keterbatasan pendekatan etika, sosial, dan politik yang dikandungnya. Meskipun Konfusianisme dan filsafat Barat berkembang dari latar historis dan budaya yang berbeda, terdapat sejumlah titik temu maupun perbedaan tajam yang signifikan untuk dianalisis, terutama dalam hal etika, pandangan politik, dan filsafat pendidikan.

7.1.       Etika Kebajikan vs. Etika Kewajiban dan Konsekuensialis

Konfusianisme secara umum dapat diklasifikasikan sebagai bentuk etika kebajikan (virtue ethics), mirip dengan filsafat Aristoteles. Baik Konfusianisme maupun Aristotelianisme menekankan pembentukan karakter dan internalisasi kebajikan sebagai fondasi moralitas. Tokoh junzi (君子) dalam Konfusianisme dapat disandingkan dengan phronimos (orang bijaksana) dalam etika Aristoteles—keduanya adalah model ideal manusia yang mencapai kebaikan melalui latihan moral yang konsisten1.

Namun berbeda dengan etika deontologis seperti pada Immanuel Kant yang mengutamakan hukum moral universal dan prinsip categorical imperative, Konfusianisme menekankan konteks relasional dan situasional. Dalam Konfusianisme, tindakan moral dipahami dalam kerangka hubungan sosial yang spesifik, bukan dari kewajiban abstrak universal2.

Demikian pula, Konfusianisme berbeda dari konsekuensialisme utilitarian (misalnya dalam pandangan Jeremy Bentham atau John Stuart Mill), yang menilai moralitas berdasarkan hasil terbesar untuk jumlah orang terbanyak. Sebaliknya, Konfusianisme fokus pada proses dan niat moral sebagai landasan perilaku etis, bukan semata-mata konsekuensi akhir3.

7.2.       Masyarakat Komunitarian vs. Individualisme Liberal

Pandangan sosial Konfusianisme bersifat komunitarian, yakni menempatkan nilai kolektif, tatanan sosial, dan kewajiban moral dalam relasi sosial sebagai pusat kehidupan etis. Konsep-konsep seperti xiao (, bakti) dan li (, norma sosial) menunjukkan bahwa kebajikan individu tumbuh dalam hubungan sosial yang hierarkis namun harmonis4.

Sebaliknya, liberalisme politik Barat (seperti dalam pemikiran John Locke atau John Rawls) lebih menekankan pada hak individu, kebebasan personal, dan kesetaraan dalam struktur hukum. Dalam liberalisme, masyarakat adalah kontrak antarindividu yang otonom, sementara dalam Konfusianisme, individu adalah bagian tak terpisahkan dari jaringan relasi sosial yang sudah ada sebelum individu itu lahir5.

7.3.       Kepemimpinan Moral vs. Demokrasi Partisipatif

Dalam aspek politik, Konfusianisme menekankan kepemimpinan berbasis moralitas (德治, dezhi), di mana pemimpin bertindak sebagai teladan etis bagi rakyat. Legitimasi kekuasaan berasal dari karakter, bukan dari pemilihan atau kontrak sosial6. Ini kontras dengan tradisi demokrasi partisipatif Barat, di mana legitimasi pemerintahan didasarkan pada persetujuan rakyat dan prosedur hukum, bukan moralitas pribadi penguasa.

Meskipun sistem demokrasi liberal menekankan akuntabilitas melalui mekanisme institusional, Konfusianisme lebih menekankan tanggung jawab moral yang melekat secara pribadi pada pemimpin. Hal ini memunculkan perdebatan tentang efektivitas moralitas internal versus sistem pengawasan eksternal dalam tata kelola politik7.

7.4.       Pendidikan sebagai Transformasi Moral

Dalam hal pendidikan, Konfusianisme menganggapnya sebagai proses pembentukan karakter moral, bukan hanya transmisi pengetahuan. Pendidikan adalah jalan menuju menjadi junzi, dengan fokus pada etika, rasa hormat, dan kedisiplinan diri8. Dalam tradisi Barat, pendidikan juga beragam: mulai dari orientasi rasional kritis (Plato), perkembangan otonomi moral (Kant), hingga emansipasi sosial (Paulo Freire).

Perbandingan ini menunjukkan bahwa Konfusianisme dapat memperkaya wacana pendidikan global dengan menekankan dimensi afektif dan etis dari proses belajar, melengkapi pendekatan Barat yang sering lebih menekankan aspek kognitif dan kritis.


Kesimpulan Komparatif

Meskipun terdapat perbedaan mendasar antara Konfusianisme dan filsafat Barat, keduanya juga saling melengkapi. Konfusianisme menawarkan kedalaman pada relasi sosial dan moralitas kolektif, sementara filsafat Barat modern menyediakan kerangka legal dan otonomi individual. Perbandingan ini membuka ruang dialog antartradisi yang dapat mengarah pada pengembangan etika dan politik global yang lebih inklusif dan reflektif terhadap kompleksitas manusia.


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 161–167.

[2]                Stephen C. Angle, Human Rights and Chinese Thought: A Cross-Cultural Inquiry (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 95–100.

[3]                Roger T. Ames and Henry Rosemont Jr., The Analects of Confucius: A Philosophical Translation (New York: Ballantine Books, 1998), Introduction, xxvii–xxx.

[4]                Chenyang Li, The Confucian Philosophy of Harmony (London: Routledge, 2014), 42–44.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice, revised ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3–11.

[6]                Daniel A. Bell, The China Model: Political Meritocracy and the Limits of Democracy (Princeton: Princeton University Press, 2015), 53–60.

[7]                Joseph Chan, Confucian Perfectionism: A Political Philosophy for Modern Times (Princeton: Princeton University Press, 2014), 78–85.

[8]                Tu Weiming, “The Moral Universal from the Perspectives of East Asian Traditions,” in Confucianism for the Modern World, ed. Daniel A. Bell and Hahm Chaibong (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 149–172.


8.           Relevansi Global dan Kontribusi terhadap Dialog Antarperadaban

Dalam era globalisasi yang ditandai oleh pluralitas nilai dan krisis etika global, Konfusianisme telah muncul kembali sebagai sumber moral dan intelektual yang menawarkan kontribusi signifikan terhadap dialog antarperadaban. Kebangkitan Konfusianisme dalam kancah internasional tidak hanya mencerminkan revitalisasi budaya Asia Timur, tetapi juga menandakan potensi aliran ini untuk terlibat dalam pembentukan etika global yang berbasis pada kebajikan, harmoni sosial, dan tanggung jawab kolektif.

8.1.       Konfusianisme dalam Etika Global

Sebagai tradisi filsafat yang menekankan pembentukan karakter dan tanggung jawab relasional, Konfusianisme memberikan alternatif terhadap etika global yang selama ini didominasi oleh pendekatan liberal-individualistik. Konsep ren (, kasih sayang) dan yi (, keadilan moral) dapat dipahami sebagai fondasi dari solidaritas global yang menolak pemisahan antara etika personal dan sosial1. Pandangan ini mendukung etika global yang tidak hanya menjunjung hak individu, tetapi juga menekankan kewajiban moral terhadap komunitas dan lingkungan.

Tokoh seperti Tu Weiming berargumen bahwa Konfusianisme dapat membentuk paradigma “humanisme spiritual” yang melampaui sekularisme Barat dan menawarkan landasan transkultural bagi pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial2.

8.2.       Diplomasi Budaya dan “Soft Power” Asia Timur

Negara-negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang telah memanfaatkan warisan Konfusianisme sebagai bagian dari diplomasi budaya mereka. Pendirian Confucius Institutes oleh pemerintah Tiongkok di berbagai negara menjadi simbol artikulasi nilai-nilai Konfusianisme dalam konteks kerja sama internasional dan promosi citra nasional3.

Konfusianisme dipandang sebagai aset “soft power” karena mengedepankan nilai-nilai seperti kesopanan, ketertiban sosial, dan kerja keras—atribut yang dianggap penting dalam hubungan diplomatik dan perdagangan internasional. Selain itu, prinsip harmoni (he, ) dalam Konfusianisme juga sejalan dengan semangat multilateralisme dan perdamaian dunia4.

8.3.       Pendidikan Karakter dan Pembangunan Berbasis Nilai

Dalam bidang pendidikan global, banyak negara mulai melirik nilai-nilai Konfusianisme untuk memperkuat pendidikan karakter, terutama dalam konteks krisis etika remaja, konsumerisme, dan disintegrasi nilai keluarga. Pendidikan karakter berbasis Konfusianisme mendorong pengembangan moralitas personal dalam konteks relasional dan sosial, bukan sekadar penginternalisasian aturan formal5.

Kurikulum yang mengintegrasikan ajaran Konfusianisme telah diterapkan secara efektif di negara-negara seperti Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan. Keberhasilan mereka dalam membangun masyarakat disiplin, berorientasi prestasi, dan stabil secara sosial menjadi studi kasus tentang relevansi nilai-nilai Konfusianisme dalam pembangunan manusia modern6.

8.4.       Dialog Antarperadaban dan Perdamaian Dunia

Konfusianisme juga memainkan peran penting dalam wacana dialog antarperadaban. Sebagai tradisi yang mengutamakan keharmonisan dan keteraturan moral, Konfusianisme menawarkan pendekatan alternatif terhadap konflik ideologis dan krisis nilai di panggung internasional. Konsep zhongyong (中庸, doktrin tengah) mengajarkan sikap moderat, anti-ekstremisme, dan kompromi yang dapat diterapkan dalam resolusi konflik dan diplomasi global7.

Dalam kerangka ini, Konfusianisme dapat berkontribusi pada pengembangan platform dialog antara dunia Timur dan Barat, antara agama-agama besar dunia, serta antara masyarakat tradisional dan modern. Dengan menekankan pendekatan etik yang reflektif, relasional, dan kontekstual, Konfusianisme membuka ruang untuk pencarian makna bersama dalam masyarakat global yang pluralistik.


Kesimpulan

Relevansi Konfusianisme dalam dunia modern tidak hanya terbatas pada budaya Asia Timur. Nilai-nilainya yang bersifat inklusif, relasional, dan moral-spiritual menjadikannya sebagai aktor penting dalam etika global, pendidikan, pembangunan nilai, dan diplomasi antarbangsa. Sebagai tradisi filsafat yang masih hidup dan dinamis, Konfusianisme menunjukkan kapasitas luar biasa untuk beradaptasi dan memperkaya dialog antarperadaban di dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                Roger T. Ames, “Confucianism and Global Ethics,” in Confucianism for the Modern World, ed. Daniel A. Bell and Hahm Chaibong (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 255–272.

[2]                Tu Weiming, “The Ecological Turn in New Confucian Humanism: Implications for China and the World,” Daedalus 130, no. 4 (2001): 243–264.

[3]                Jennifer Hubbert, China in the World: An Anthropology of Confucius Institutes, Soft Power, and Globalization (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2019), 7–10.

[4]                Sor-hoon Tan, “Confucianism and Peacebuilding,” Asian Philosophy 18, no. 2 (2008): 111–125.

[5]                Bryan W. Van Norden, Virtue Ethics and Consequentialism in Early Chinese Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 181–183.

[6]                Jason Tan, “Education Reforms in Singapore: A Paradigm Shift,” in Education Reform in the Asia-Pacific Region, ed. Anthony Welch (New York: Springer, 2011), 41–56.

[7]                Chenyang Li, The Confucian Philosophy of Harmony (London: Routledge, 2014), 75–82.


9.           Kesimpulan

Konfusianisme (儒家, Rujia) telah membuktikan dirinya sebagai salah satu sistem filsafat paling tahan lama dan dinamis dalam sejarah peradaban manusia. Berakar dari ajaran Kongzi (Confucius) pada abad ke-6 SM, Konfusianisme berkembang dari tradisi etika personal menjadi fondasi moral dan politik bagi peradaban Tiongkok dan Asia Timur secara luas. Dengan menekankan pembentukan karakter melalui kebajikan (ren), keteraturan sosial melalui norma (li), dan keadilan moral (yi), Konfusianisme menawarkan pandangan holistik tentang hubungan antara individu, masyarakat, dan negara.

Dalam konteks sejarah, Konfusianisme berhasil menginstitusionalisasi dirinya sebagai ideologi negara sejak Dinasti Han dan mengalami reinterpretasi kreatif dalam bentuk Neo-Konfusianisme pada masa Dinasti Song dan Ming. Tokoh-tokoh seperti Zhu Xi dan Wang Yangming memperkaya dimensi metafisik dan psikologis ajaran Konfusius, menjadikannya relevan dengan perubahan zaman dan tantangan filosofis yang baru1.

Dalam era modern, Konfusianisme tidak sekadar menjadi artefak budaya, tetapi juga kembali dihidupkan sebagai sumber moralitas publik, landasan pendidikan karakter, dan instrumen diplomasi budaya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, menggunakan Konfusianisme dalam proyek soft power melalui pendirian Confucius Institutes dan retorika politik berbasis harmoni sosial2. Secara internasional, para filsuf seperti Tu Weiming dan Sor-hoon Tan mengusulkan agar Konfusianisme berkontribusi dalam pembentukan etika global dan spiritualitas transkultural yang menjawab krisis ekologi, kesenjangan sosial, dan kekosongan moral masyarakat modern3.

Lebih dari sekadar sistem filsafat Timur, Konfusianisme memperlihatkan potensi sebagai mitra dalam dialog antarperadaban dengan tradisi besar lain seperti liberalisme Barat, Islam, Hindu-Buddha, dan filsafat Afrika. Perbandingan Konfusianisme dengan tradisi etika Barat menunjukkan bahwa pendekatan relasional dan berbasis kebajikan dapat melengkapi kecenderungan individualistik dan prosedural dalam teori moral modern4.

Konfusianisme mengajarkan bahwa transformasi sosial yang berkelanjutan tidak dimulai dari revolusi eksternal, tetapi dari pembinaan karakter moral dalam keluarga, pendidikan, dan kepemimpinan. Dalam dunia yang terus bergulat dengan tantangan global dan disorientasi nilai, Konfusianisme hadir sebagai sistem etika yang tidak hanya menengok ke masa lalu, tetapi juga relevan dalam merancang masa depan yang lebih manusiawi, adil, dan harmonis.


Footnotes

[1]                Daniel K. Gardner, Learning to Be a Sage: Selections from the Conversations of Master Zhu, Arranged Topically (Berkeley: University of California Press, 1990), xv–xxi.

[2]                Jennifer Hubbert, China in the World: An Anthropology of Confucius Institutes, Soft Power, and Globalization (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2019), 7–10.

[3]                Tu Weiming, “The Moral Universal from the Perspectives of East Asian Traditions,” in Confucianism for the Modern World, ed. Daniel A. Bell and Hahm Chaibong (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 149–172.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 165–170.


Daftar Pustaka

Ames, R. T. (2003). Confucianism and global ethics. In D. A. Bell & H. Chaibong (Eds.), Confucianism for the modern world (pp. 255–272). Cambridge University Press.

Ames, R. T., & Rosemont, H., Jr. (1998). The Analects of Confucius: A philosophical translation. Ballantine Books.

Bell, D. A. (2008). China’s new Confucianism: Politics and everyday life in a changing society. Princeton University Press.

Bell, D. A. (2015). The China model: Political meritocracy and the limits of democracy. Princeton University Press.

Bloom, I. (2009). Mencius and early Chinese thought. Columbia University Press.

Chan, J. (2002). Legitimacy, tradition and political reform in China: The Confucian dimension. The China Journal, 48, 69–89.

Chan, J. (2014). Confucian perfectionism: A political philosophy for modern times. Princeton University Press.

Chan, W.-T. (1963). A source book in Chinese philosophy. Princeton University Press.

Chin, A. (2007). The authentic Confucius: A life of thought and politics. Scribner.

de Bary, W. T. (1991). The trouble with Confucianism. Harvard University Press.

de Bary, W. T., & Bloom, I. (Eds.). (1999). Sources of Chinese tradition, volume 1: From earliest times to 1600 (2nd ed.). Columbia University Press.

Elman, B. A. (1984). From philosophy to philology: Intellectual and social aspects of change in late imperial China. Harvard University Asia Center.

Gardner, D. K. (1990). Learning to be a sage: Selections from the conversations of Master Zhu, arranged topically. University of California Press.

Hubbert, J. (2019). China in the world: An anthropology of Confucius Institutes, soft power, and globalization. University of Hawai‘i Press.

Hutton, E. L. (2014). Xunzi: The complete text. Princeton University Press.

Ivanhoe, P. J. (1990). Ethics in the Confucian tradition: The thought of Wang Yangming. Scholars Press.

Jensen, L. (1997). Manufacturing Confucianism: Chinese traditions and universal civilization. Duke University Press.

Kim, H. (2014). Women in Confucian thought: Challenges and reinterpretations. Dao: A Journal of Comparative Philosophy, 13(3), 341–359.

Lee, T. H. C. (2000). Education in traditional China: A history. Brill.

Levenson, J. (1968). Confucian China and its modern fate: A trilogy. University of California Press.

Li, C. (2014). The Confucian philosophy of harmony. Routledge.

Loewe, M. (2006). The government of the Qin and Han empires: 221 BCE–220 CE. Hackett Publishing.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Tan, J. (2011). Education reforms in Singapore: A paradigm shift. In A. Welch (Ed.), Education reform in the Asia-Pacific region (pp. 41–56). Springer.

Tan, S.-H. (2003). Confucianism and the modern world. In D. A. Bell & H. Chaibong (Eds.), Confucian political philosophy (pp. 219–241). Cambridge University Press.

Tan, S.-H. (2008). Confucianism and peacebuilding. Asian Philosophy, 18(2), 111–125.

Taylor, R. L. (1990). The religious dimensions of Confucianism. State University of New York Press.

Taylor, R. L. (2000). The way of heaven: An introduction to Confucian religious life. Orbis Books.

Tu, W. (2001). The ecological turn in New Confucian humanism: Implications for China and the world. Daedalus, 130(4), 243–264.

Tu, W. (2003). The moral universal from the perspectives of East Asian traditions. In D. A. Bell & H. Chaibong (Eds.), Confucianism for the modern world (pp. 149–172). Cambridge University Press.

Tu, W., & de Bary, W. T. (1998). Confucianism and human rights. Columbia University Press.

Van Norden, B. W. (2007). Virtue ethics and consequentialism in early Chinese philosophy. Cambridge University Press.

Van Norden, B. W. (2011). Introduction to classical Chinese philosophy. Hackett Publishing.

Zhao, Y. (2009). Catching up or leading the way: American education in the age of globalization. ASCD.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar