Minggu, 08 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 10-2: Ketentuan Konstitusional dalam UUD NRI Tahun 1945

Bahan Ajar PPKn

Ketentuan Konstitusional dalam UUD NRI Tahun 1945

Pilar-Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif ketentuan-ketentuan konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berkaitan dengan aspek wilayah negara, warga negara dan penduduk, agama dan kepercayaan, serta sistem pertahanan dan keamanan nasional. Keempat aspek ini merupakan pilar fundamental dalam membangun negara hukum yang demokratis, berdaulat, dan inklusif. Kajian ini menunjukkan bahwa UUD NRI 1945 tidak hanya memberikan landasan normatif, tetapi juga mengintegrasikan prinsip-prinsip kedaulatan, keadilan sosial, kebebasan individu, dan ketertiban umum dalam satu kerangka konstitusional yang utuh. Melalui analisis normatif dan kontekstual, termasuk studi kasus aktual seperti sengketa di Laut Natuna, kewarganegaraan ganda, pengakuan terhadap kepercayaan lokal, dan partisipasi warga dalam bela negara, artikel ini menegaskan pentingnya pemahaman konstitusi dalam kehidupan kewarganegaraan. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di tingkat SLTA diharapkan mampu menjadikan konstitusi sebagai living document yang membentuk karakter warga negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya serta mampu berkontribusi dalam menjaga keutuhan NKRI.

Kata Kunci: Konstitusi, UUD 1945, kewarganegaraan, kebebasan beragama, pertahanan dan keamanan, wilayah negara, Pendidikan PPKn, kesadaran konstitusional.


PEMBAHASAN

Ketentuan Konstitusional dalam UUD NRI Tahun 1945


1.           Pendahuluan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan landasan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebagai konstitusi tertulis, UUD ini tidak hanya menetapkan struktur dasar ketatanegaraan, tetapi juga menjadi rujukan utama dalam penyelenggaraan negara, penegakan hukum, dan pemenuhan hak-hak warga negara. Keberadaannya menjadi instrumen hukum tertinggi yang mengikat seluruh komponen bangsa, baik pemerintah maupun rakyat, dalam bingkai negara hukum yang demokratis. Dalam konteks inilah, menelaah ketentuan konstitusional yang mengatur aspek-aspek strategis seperti wilayah negara, status kewarganegaraan dan kependudukan, jaminan atas kebebasan beragama dan berkepercayaan, serta sistem pertahanan dan keamanan nasional menjadi hal yang sangat penting.

Pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan tersebut tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga mencerminkan identitas, karakter, dan arah perjalanan bangsa Indonesia. Ketentuan mengenai wilayah negara, misalnya, menegaskan prinsip kedaulatan yang utuh atas darat, laut, dan udara sebagai satu kesatuan geopolitik dan geoekonomi yang tidak dapat dipisahkan.1 Sementara itu, ketentuan mengenai warga negara dan penduduk menggambarkan ikatan hukum dan sosial antara individu dan negara, yang berdampak langsung pada hak dan kewajiban sipil, politik, dan sosial-ekonomi.2 Dalam bidang agama dan kepercayaan, UUD NRI Tahun 1945 menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya, sebagai bentuk penghormatan terhadap pluralitas dan martabat manusia.3 Terakhir, pada aspek pertahanan dan keamanan, konstitusi mengatur secara eksplisit sistem yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam menjaga kedaulatan negara dan ketertiban umum.4

Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), penelaahan terhadap ketentuan-ketentuan tersebut menjadi sangat relevan. Peserta didik tidak hanya dituntut untuk memahami bunyi pasal-pasal konstitusi, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan, keterlibatan aktif sebagai warga negara, dan kemampuan untuk berpikir kritis terhadap dinamika sosial-politik di sekitarnya. Dengan demikian, pendidikan PPKn berperan strategis dalam membentuk generasi muda yang sadar konstitusi, berkarakter Pancasila, dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 145–147.

[2]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 221–224.

[3]                Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 134–137.

[4]                Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Fungsi Anggaran dan Pengawasan (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 191–194.


2.           Wilayah Negara dalam UUD NRI Tahun 1945

Wilayah negara merupakan unsur esensial yang membentuk keberadaan suatu negara, bersama dengan rakyat dan pemerintahan yang berdaulat. Dalam konteks kenegaraan Indonesia, pengaturan mengenai wilayah negara tercantum secara eksplisit dalam Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang.” Ketentuan ini menegaskan bahwa Indonesia mengadopsi konsep negara kepulauan (archipelagic state) yang diakui dalam hukum internasional, khususnya dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.1

Secara geografis, wilayah Indonesia meliputi daratan, perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen. Konsepsi wilayah ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mencerminkan prinsip kedaulatan penuh negara atas seluruh wilayah yurisdiksinya. Sejak pengakuan Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia menyatakan bahwa semua perairan di antara dan di dalam kepulauan merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah kedaulatannya. Deklarasi ini kemudian menjadi dasar pengakuan internasional terhadap konsep Wawasan Nusantara, yakni pandangan geopolitik yang menekankan kesatuan wilayah darat dan laut sebagai satu kesatuan utuh bangsa Indonesia.2

Dalam praktik ketatanegaraan, pengaturan wilayah negara memiliki implikasi yang luas, baik dalam konteks pertahanan dan keamanan, pengelolaan sumber daya alam, maupun hubungan diplomatik antarnegara. Ketentuan konstitusional tentang wilayah ini mendorong adanya undang-undang sektoral yang mengatur batas-batas wilayah secara lebih teknis, seperti UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia. Penetapan batas wilayah juga sering melibatkan proses negosiasi bilateral atau multilateral, sebagaimana terjadi dalam penyelesaian batas laut dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan Australia.3

Permasalahan aktual yang berkaitan dengan wilayah negara Indonesia antara lain adalah pelanggaran kedaulatan oleh kapal asing, klaim sepihak terhadap wilayah maritim oleh negara lain (seperti konflik Laut Natuna Utara dengan Tiongkok), dan isu pengelolaan pulau-pulau terluar. Dalam konteks ini, ketentuan konstitusional berfungsi sebagai fondasi normatif bagi negara dalam menjaga integritas dan kedaulatan wilayahnya. Penegakan hukum terhadap pelanggaran batas wilayah juga menjadi tanggung jawab strategis dari aparat keamanan, khususnya TNI Angkatan Laut dan Bakamla (Badan Keamanan Laut).4

Dengan demikian, Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945 bukan sekadar deklarasi simbolik, melainkan representasi yuridis atas identitas geopolitik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang harus dijaga kedaulatannya melalui pendekatan hukum, diplomasi, dan pertahanan secara simultan. Pemahaman mendalam terhadap pasal ini menjadi sangat penting dalam pendidikan kewarganegaraan, agar peserta didik memiliki kesadaran konstitusional akan pentingnya menjaga keutuhan wilayah negara sebagai bentuk tanggung jawab kebangsaan.


Footnotes

[1]                Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Alumni, 2003), 157–161.

[2]                Sutarjo Kartohadikoesoemo, Wawasan Nusantara: Konsep dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia, 1990), 24–26.

[3]                Hikmahanto Juwana, “Perkembangan Hukum Laut Internasional dan Implikasinya bagi Indonesia,” Jurnal Hukum Internasional 2, no. 1 (2005): 31–33.

[4]                Hasjim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea (Jakarta: Centre for Southeast Asian Studies, 1995), 87–89.


3.           Ketentuan tentang Warga Negara dan Penduduk

Status sebagai warga negara dan penduduk merupakan elemen fundamental dalam sistem ketatanegaraan modern. Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit mengatur tentang hal ini dalam Pasal 26 hingga Pasal 28, yang menjelaskan definisi, hak-hak dasar, serta prinsip-prinsip keanggotaan dalam suatu negara. Pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “Penduduk ialah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.”1

Dari ketentuan tersebut, dapat ditarik garis pemisah penting antara warga negara dan penduduk. Warga negara adalah subjek hukum yang memiliki ikatan hukum-politik penuh dengan negara, yang meliputi hak dan kewajiban sebagai anggota negara secara permanen. Sementara itu, penduduk mencakup setiap orang yang tinggal di wilayah suatu negara, baik warga negara maupun orang asing, yang hanya terikat pada aspek administratif dan hukum tertentu tanpa memiliki hak politik seperti memilih dan dipilih.2

Dalam praktiknya, status kewarganegaraan di Indonesia mengikuti prinsip ius sanguinis (hak darah), yakni berdasarkan keturunan, dan secara terbatas mengakui prinsip ius soli (hak tanah), terutama dalam kasus anak-anak yang lahir di wilayah Indonesia namun tidak memiliki kewarganegaraan orang tua yang jelas. Prinsip ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang memperjelas kriteria perolehan, kehilangan, dan pemulihan kewarganegaraan Indonesia.3

Lebih lanjut, konstitusi juga menjamin kesetaraan hak antara warga negara dalam segala bidang kehidupan. Dalam Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Hal ini menegaskan prinsip egalitarianisme hukum sebagai karakter utama negara hukum. Selain itu, warga negara juga dijamin dalam hal memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak dan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3), serta Pasal 28.4

Namun, dalam praktik konstitusional dan implementasi yuridis, masih terdapat tantangan signifikan, terutama dalam hal kewarganegaraan ganda, status stateless (tanpa kewarganegaraan), serta diskriminasi administratif terhadap kelompok tertentu. Misalnya, anak hasil perkawinan campuran yang berisiko tidak diakui sebagai warga negara secara otomatis jika tidak segera didaftarkan. Di sisi lain, warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing juga menghadapi kompleksitas hukum yang membutuhkan pengaturan teknis yang cermat untuk menjaga kepastian hukum dan perlindungan hak-haknya.5

Dalam konteks pendidikan PPKn, penelaahan terhadap ketentuan ini sangat penting untuk membangun kesadaran kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Peserta didik tidak hanya dituntut memahami status hukum sebagai warga negara, tetapi juga didorong untuk menginternalisasi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 26.

[2]                Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 218–220.

[3]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 187–189.

[4]                Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 112–114.

[5]                Hikmahanto Juwana, “Masalah Kewarganegaraan Ganda dalam Hukum Indonesia,” Jurnal Hukum Internasional 4, no. 1 (2007): 25–29.


4.           Agama dan Kepercayaan dalam Bingkai Konstitusi

Indonesia merupakan negara dengan keberagaman agama dan kepercayaan yang sangat tinggi. Dalam kerangka konstitusi, negara menjamin kebebasan setiap warga negara dalam memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya. Hal ini tercermin dalam Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...”, serta secara eksplisit ditegaskan kembali dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”1 Ketentuan tersebut menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.

Prinsip yang dipegang dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah negara menjunjung tinggi kebebasan beragama tanpa bersifat sekuler, tetapi juga tidak menjadikan agama tertentu sebagai agama resmi negara. Dalam hal ini, Indonesia menganut model “negara religius inklusif”, yaitu negara yang mengakui keberadaan agama-agama dan menjadikannya bagian dari struktur sosial-politik tanpa mencampuri substansi doktrinal masing-masing agama.2 Negara hadir sebagai fasilitator dan pelindung dalam kehidupan beragama, bukan sebagai penentu kebenaran agama.

Konsep ini menjadi sangat penting dalam konteks pluralitas agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain itu, pengakuan terhadap aliran kepercayaan juga telah diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, yang memutuskan bahwa penganut aliran kepercayaan harus mendapat hak yang sama, termasuk dalam pencatatan identitas di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Putusan ini menandai kemajuan dalam pengakuan hak konstitusional kelompok minoritas yang selama ini berada dalam ketidakpastian hukum.3

Namun, dalam praktiknya, implementasi terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan sering kali menghadapi tantangan serius. Kasus-kasus intoleransi, diskriminasi terhadap penganut kepercayaan lokal, pelarangan pendirian rumah ibadah, serta kekerasan atas nama agama masih kerap terjadi. Padahal, konstitusi menuntut negara untuk aktif memastikan perlindungan terhadap kebebasan beragama, tanpa tekanan mayoritarianisme atau dominasi kelompok tertentu.4 Dalam hal ini, negara berkewajiban mengembangkan kebijakan publik yang inklusif dan edukatif untuk menumbuhkan toleransi dan harmoni antarumat beragama.

Di sisi lain, relasi antara agama dan negara dalam konstitusi juga menimbulkan dialektika antara kebebasan individu dan ketertiban umum. Dalam Pasal 28J ayat (2), ditegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Artinya, kebebasan beragama bukanlah kebebasan absolut, tetapi dapat dibatasi secara proporsional demi menjaga ketertiban dan keamanan publik.5

Dengan demikian, ketentuan konstitusional mengenai agama dan kepercayaan tidak hanya bersifat deklaratif, tetapi merupakan komitmen negara dalam menjamin keadilan sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam pendidikan kewarganegaraan, pemahaman terhadap isu ini sangat penting agar peserta didik mampu menjadi warga negara yang toleran, demokratis, dan menjunjung tinggi pluralitas keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2).

[2]                Yudian Wahyudi, Reformasi Sumberdaya Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: LKIS, 2003), 103–106.

[3]                Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Kolom Kepercayaan dalam KTP (Jakarta: MKRI, 2016).

[4]                Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2019 (Jakarta: Wahid Institute, 2020), 10–13.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), 292–295.


5.           Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara

Sistem pertahanan dan keamanan negara merupakan bagian integral dari keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan mengenai aspek ini tercantum secara eksplisit dalam Pasal 30, yang menegaskan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Ketentuan ini tidak hanya menempatkan pertahanan dan keamanan sebagai urusan pemerintah semata, tetapi juga sebagai tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat dalam menjaga kedaulatan dan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).1

Pasal 30 juga menetapkan dualitas peran institusi negara, yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat pertahanan negara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai alat keamanan dan ketertiban masyarakat. Pembagian fungsi ini diperjelas dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang masing-masing mengatur tugas pokok, fungsi, serta kewenangan institusi tersebut dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia.2 TNI bertugas mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman militer eksternal, sementara Polri lebih difokuskan pada penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban, dan perlindungan masyarakat dari gangguan keamanan internal.

Lebih jauh, sistem pertahanan dan keamanan negara Indonesia secara konseptual menganut prinsip Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Konsep ini menekankan bahwa pertahanan dan keamanan merupakan tanggung jawab bersama antara TNI, Polri, dan seluruh rakyat Indonesia. Sishankamrata didasarkan pada prinsip partisipasi aktif masyarakat, geografi Indonesia yang luas dan strategis, serta kondisi sosial-politik yang pluralistik, sehingga pendekatan ini dianggap paling sesuai untuk menghadapi tantangan keamanan yang kompleks dan multidimensional.3

Implementasi sistem pertahanan dan keamanan nasional tidak dapat dilepaskan dari tantangan aktual, seperti ancaman terorisme, separatisme, konflik horizontal, kejahatan transnasional, hingga pelanggaran batas wilayah oleh kekuatan asing. Dalam konteks ini, konstitusi memberikan mandat agar negara mampu membangun sistem pertahanan dan keamanan yang profesional, modern, dan berbasis hak asasi manusia. Hal ini ditekankan dalam Pasal 28G ayat (1), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.”4 Dengan kata lain, pertahanan dan keamanan bukan hanya instrumen kekuasaan negara, tetapi merupakan bagian dari pemenuhan hak warga negara atas rasa aman dan perlindungan hukum.

Namun demikian, dalam praktiknya, sistem pertahanan dan keamanan nasional masih menghadapi sejumlah tantangan normatif dan operasional. Beberapa isu yang mencuat antara lain adalah ketegangan dalam relasi sipil-militer, penanganan konflik sosial yang melibatkan aparat keamanan, serta reformasi sektor keamanan yang belum sepenuhnya tuntas pasca-reformasi 1998. Oleh karena itu, penguatan sistem ini harus diarahkan pada pendekatan demokratis, transparan, dan akuntabel, sebagaimana diamanatkan dalam prinsip-prinsip konstitusional dan standar hukum internasional.5

Dalam pendidikan PPKn di tingkat SLTA, pemahaman terhadap sistem pertahanan dan keamanan negara menjadi penting untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan rasa tanggung jawab sebagai warga negara. Siswa perlu memahami bahwa kedaulatan negara bukan hanya tanggung jawab TNI atau Polri, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif masyarakat melalui pendidikan bela negara, partisipasi sosial, serta dukungan terhadap supremasi hukum dan perdamaian.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 30.

[2]                Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), Ketahanan Nasional: Konsep dan Strategi (Jakarta: Lemhannas RI, 2019), 66–69.

[3]                Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2010), 91–93.

[4]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28G ayat (1).

[5]                Saldi Isra, Reformasi Sektor Keamanan dalam Perspektif Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 122–124.


6.           Integrasi Antar-Ketentuan Konstitusional

Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah sekumpulan norma yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan sistem hukum yang saling terintegrasi untuk membentuk struktur dan fungsi negara secara utuh. Dalam konteks ini, integrasi antar-ketentuan konstitusional mencerminkan konsistensi norma yang mengatur berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara — mulai dari wilayah negara, status kewarganegaraan dan kependudukan, kebebasan beragama, hingga sistem pertahanan dan keamanan nasional.

Secara substantif, keterkaitan antara wilayah negara (Pasal 25A) dengan pertahanan dan keamanan negara (Pasal 30) menunjukkan bahwa kedaulatan teritorial tidak dapat dijamin tanpa sistem pertahanan yang kuat dan partisipatif. Keutuhan wilayah negara memerlukan perlindungan aktif dari seluruh elemen bangsa, sebagaimana ditegaskan dalam konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Artinya, perlindungan terhadap batas-batas negara tidak hanya menjadi tugas militer, tetapi juga warga negara sebagai bagian integral dari pertahanan nasional.1

Demikian pula, keterkaitan antara ketentuan mengenai warga negara dan penduduk (Pasal 26–28) dengan hak atas kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E dan 29) memperlihatkan jalinan prinsip konstitusional mengenai pengakuan terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai pluralisme. Warga negara tidak hanya diposisikan sebagai subjek hukum, tetapi juga sebagai pribadi merdeka yang dijamin kebebasannya untuk menjalankan keyakinan tanpa diskriminasi. Pengakuan ini menggarisbawahi pentingnya negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi persamaan di hadapan hukum dan penghormatan atas martabat kemanusiaan.2

Integrasi konstitusional ini menjadi sangat penting dalam mencegah konflik antar-norma yang dapat melemahkan kohesi sosial dan efektivitas tata kelola negara. Misalnya, tanpa integrasi yang baik antara kebebasan beragama dan keamanan negara, negara dapat tergelincir dalam praktik-praktik represif atas nama stabilitas politik. Sebaliknya, jika kebebasan warga negara tidak diimbangi dengan tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban, maka dapat timbul anarki yang mengancam keutuhan negara. Oleh karena itu, konstitusi tidak hanya menjamin hak, tetapi juga menetapkan batas dan tanggung jawab warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J, yang menyatakan bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.”3

Lebih lanjut, integrasi ini juga tercermin dalam pendekatan holistik terhadap pembangunan nasional, di mana aspek geopolitik (wilayah), demografi (penduduk dan kewarganegaraan), ideologi dan budaya (agama dan kepercayaan), serta pertahanan (keamanan nasional) harus dirancang secara sinergis. Ketidakhadiran salah satu elemen ini dapat menyebabkan disintegrasi bangsa atau melemahnya fondasi negara.

Dalam konteks pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), pemahaman terhadap integrasi antar-ketentuan konstitusional ini sangat penting untuk membangun kesadaran konstitusional (constitutional awareness). Siswa tidak hanya diajak menghafal pasal-pasal konstitusi, tetapi juga didorong untuk memahami relasi antar-norma dan dampaknya terhadap kehidupan nyata sebagai warga negara. Hal ini sejalan dengan pandangan Jimly Asshiddiqie yang menyebut bahwa konstitusi harus dipahami sebagai “dokumen hidup (living constitution)” yang terus berkembang melalui pemaknaan yang kontekstual dan menyeluruh.4


Footnotes

[1]                Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2010), 121–123.

[2]                Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 78–81.

[3]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28J ayat (2).

[4]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 10–12.


7.           Studi Kasus dan Aplikasi Kontekstual

Untuk memahami implementasi ketentuan konstitusional secara lebih nyata dan kontekstual, penting untuk menelaah sejumlah studi kasus aktual yang mencerminkan dinamika penerapan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan ini berguna untuk menjembatani pemahaman teoretis dengan kondisi empirik, serta mengasah kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam menganalisis isu-isu konstitusional secara integratif.

7.1.       Sengketa Wilayah Laut di Laut Natuna Utara

Salah satu kasus yang mencerminkan pentingnya ketentuan konstitusional mengenai wilayah negara adalah konflik perbatasan laut di Laut Natuna Utara, yang melibatkan pelanggaran oleh kapal-kapal asing, khususnya dari Tiongkok. Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 25A UUD NRI 1945 berhak mempertahankan kedaulatan wilayahnya, termasuk wilayah laut yang ditetapkan secara sah melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982. Namun, klaim Nine Dash Line oleh Tiongkok bertentangan dengan ketentuan internasional dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang telah diakui.1 Kasus ini menunjukkan bagaimana ketentuan konstitusional digunakan sebagai dasar legitimasi negara dalam mempertahankan wilayah teritorialnya melalui jalur diplomasi dan penguatan pertahanan maritim nasional.

7.2.       Kewarganegaraan Ganda dan Status Anak Hasil Perkawinan Campuran

Dalam konteks kewarganegaraan, kasus mengenai anak hasil perkawinan campuran antara WNI dan WNA mengemuka sebagai bentuk problematika hukum dan konstitusional. Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, anak-anak dari perkawinan campuran seringkali kehilangan status kewarganegaraan karena tidak diakui secara otomatis sebagai WNI. Reformasi hukum ini memberikan ruang bagi anak-anak tersebut untuk memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas hingga usia 18 tahun, yang kemudian harus memilih kewarganegaraan tetap.2 Hal ini menunjukkan adaptasi hukum nasional untuk menjamin perlindungan hak anak dan prinsip non-discriminatory citizenship, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

7.3.       Pengakuan terhadap Aliran Kepercayaan dalam Kolom KTP

Isu seputar kebebasan beragama dan kepercayaan mendapat sorotan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, yang mengabulkan permohonan pengakuan hak konstitusional penganut aliran kepercayaan untuk dicantumkan dalam kolom agama pada KTP dan KK. Selama bertahun-tahun, penganut kepercayaan tidak dapat mengakses hak administratif secara penuh karena status mereka tidak diakui secara legal. Mahkamah menegaskan bahwa pembatasan tersebut melanggar hak atas identitas hukum dan hak setara sebagai warga negara yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.3 Kasus ini menjadi tonggak penting dalam memperluas cakupan jaminan konstitusional terhadap pluralitas kepercayaan di Indonesia.

7.4.       Peran TNI dan Polri dalam Penanganan Konflik Sosial dan Bencana

Ketentuan mengenai pertahanan dan keamanan negara juga dapat dilihat melalui peran TNI dan Polri dalam merespons bencana nasional maupun konflik sosial. Misalnya, dalam penanganan bencana alam besar seperti tsunami di Aceh (2004) atau gempa di Palu (2018), TNI tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan, tetapi juga berperan aktif dalam evakuasi, logistik, dan pemulihan infrastruktur. Demikian pula, dalam konflik sosial seperti kerusuhan di Papua, aparat keamanan memainkan peran ganda: menjaga keamanan sekaligus mengupayakan pendekatan persuasif demi mencegah pelanggaran HAM.4 Ini menunjukkan bahwa implementasi Pasal 30 UUD 1945 harus dilakukan secara proporsional, demokratis, dan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

7.5.       Pelibatan Warga dalam Bela Negara

Secara positif, berbagai inisiatif bela negara melalui pendidikan dan pelatihan di kalangan pelajar, mahasiswa, hingga ormas, mencerminkan implementasi prinsip partisipatif sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1). Program seperti Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang dijalankan oleh Kementerian Pertahanan adalah bentuk nyata dari upaya konstitusional untuk menanamkan rasa cinta tanah air, disiplin nasional, dan kesadaran akan pentingnya menjaga kedaulatan negara dari dalam.5


Studi-studi kasus di atas mencerminkan bahwa ketentuan konstitusional tidak bersifat abstrak dan terpisah dari realitas sosial-politik. Sebaliknya, ia menjadi rujukan normatif sekaligus landasan aksi dalam menghadapi berbagai tantangan aktual kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pendidikan kewarganegaraan, analisis kasus semacam ini harus dijadikan media refleksi, diskusi kritis, dan pembentukan sikap aktif dalam menjaga nilai-nilai konstitusional dan keutuhan NKRI.


Footnotes

[1]                Hikmahanto Juwana, “Nine Dash Line dan Tantangan bagi Indonesia di Laut Natuna Utara,” Jurnal Hukum Internasional 14, no. 2 (2017): 127–130.

[2]                Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 200–202.

[3]                Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, diakses melalui www.mkri.id.

[4]                Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Analisis Strategi Nasional dalam Menangani Konflik di Papua (Jakarta: Lemhannas RI, 2020), 65–68.

[5]                Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Laporan Kinerja Program Bela Negara Tahun 2022 (Jakarta: Kemenhan RI, 2022), 34–36.


8.           Penutup

Ketentuan-ketentuan konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak hanya berfungsi sebagai norma dasar hukum, tetapi juga sebagai pilar-pilar utama dalam pembentukan identitas, arah, dan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kajian terhadap aspek-aspek seperti wilayah negara, kewarganegaraan dan kependudukan, kebebasan beragama dan berkepercayaan, serta sistem pertahanan dan keamanan menunjukkan bahwa konstitusi Indonesia mengatur secara komprehensif unsur-unsur fundamental negara yang saling terkait satu sama lain dalam satu sistem yang integratif dan dinamis.

Sebagai negara kepulauan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama, pengaturan konstitusional Indonesia ditujukan untuk menjaga keutuhan wilayah, menjamin hak-hak dasar warga negara, serta memastikan stabilitas dan keamanan nasional dalam bingkai negara hukum demokratis. Ketentuan mengenai wilayah negara (Pasal 25A), misalnya, mempertegas komitmen Indonesia terhadap kedaulatan teritorial yang menyatu dalam konsep Wawasan Nusantara. Demikian pula, pengaturan tentang warga negara dan penduduk (Pasal 26–28), serta agama dan kepercayaan (Pasal 28E dan 29), mencerminkan semangat inklusivitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai nilai dasar konstitusi.1

Dalam hal pertahanan dan keamanan, Pasal 30 menegaskan pentingnya kolaborasi antara kekuatan negara (TNI dan Polri) dan partisipasi aktif warga dalam menjaga kedaulatan negara. Pendekatan ini menunjukkan bahwa konstitusi tidak memisahkan antara hak dan kewajiban, melainkan merancang suatu keseimbangan yang berorientasi pada ketertiban, keadilan, dan kedamaian sosial.2

Studi kasus yang dibahas sebelumnya juga menunjukkan bahwa ketentuan konstitusional memiliki aplikasi langsung dan strategis terhadap realitas kontemporer bangsa. Dari sengketa perbatasan laut hingga pengakuan hak penganut kepercayaan, konstitusi telah menjadi alat legitimasi dalam memperjuangkan keadilan, melindungi hak warga, dan memperkuat kedaulatan. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 patut dipahami sebagai dokumen yang hidup dan progresif, yang mampu menjawab dinamika zaman melalui interpretasi yang kontekstual dan berorientasi pada kepentingan rakyat.3

Bagi dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan konstitusional ini sangat penting dalam membentuk karakter peserta didik sebagai warga negara yang sadar konstitusi, cinta tanah air, dan aktif dalam kehidupan demokratis. Pembelajaran tidak cukup berhenti pada aspek kognitif (pemahaman teks pasal), tetapi juga harus menyentuh aspek afektif (kesadaran dan sikap) serta psikomotorik (partisipasi dan tindakan nyata). Pendidikan konstitusi yang berbasis nilai, refleksi, dan studi kasus nyata akan membentuk generasi yang bukan hanya tahu hak dan kewajibannya, tetapi juga mampu berkontribusi dalam menjaga keutuhan NKRI dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 55–57.

[2]                Saldi Isra, Reformasi Sektor Keamanan dalam Perspektif Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 111–113.

[3]                Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 169–172.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2005). Hukum tata negara dan pilar-pilar demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2007). Pokok-pokok hukum tata negara Indonesia pasca reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Asshiddiqie, J. (2016). Pengantar ilmu hukum tata negara. Jakarta: Rajawali Pers.

Djalal, H. (1995). Indonesia and the law of the sea. Jakarta: Centre for Southeast Asian Studies.

Farida, M. F. (2007). Ilmu perundang-undangan: Jenis, fungsi, dan materi muatan. Yogyakarta: Kanisius.

Indrati, M. F. (2007). Ilmu perundang-undangan. Yogyakarta: Kanisius.

Isra, S. (2010). Pergeseran fungsi legislasi: Menguatnya fungsi anggaran dan pengawasan. Jakarta: Rajawali Pers.

Isra, S. (2014). Reformasi sektor keamanan dalam perspektif konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.

Juwana, H. (2005). Perkembangan hukum laut internasional dan implikasinya bagi Indonesia. Jurnal Hukum Internasional, 2(1), 31–33.

Juwana, H. (2007). Masalah kewarganegaraan ganda dalam hukum Indonesia. Jurnal Hukum Internasional, 4(1), 25–29.

Juwana, H. (2017). Nine dash line dan tantangan bagi Indonesia di Laut Natuna Utara. Jurnal Hukum Internasional, 14(2), 127–130.

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2022). Laporan kinerja program bela negara tahun 2022. Jakarta: Kemenhan RI.

Kartohadikoesoemo, S. (1990). Wawasan nusantara: Konsep dan implementasinya. Jakarta: Gramedia.

Kusumaatmadja, M., & Agoes, E. R. (2003). Pengantar hukum internasional. Bandung: Alumni.

Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. (2019). Ketahanan nasional: Konsep dan strategi. Jakarta: Lemhannas RI.

Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. (2020). Analisis strategi nasional dalam menangani konflik di Papua. Jakarta: Lemhannas RI.

Mahfud MD. (2010). Dasar dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Mahfud MD. (2011). Politik hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2016). Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016. Diakses dari https://www.mkri.id

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Wahid Institute. (2020). Laporan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2019. Jakarta: Wahid Institute.

Widjajanto, A. (2010). Strategi pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Wahyudi, Y. (2003). Reformasi sumberdaya ilmu-ilmu keislaman. Yogyakarta: LKiS.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar