Bahan Ajar PPKn
Ketentuan Konstitusional dalam UUD NRI Tahun 1945
Pilar-Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
ketentuan-ketentuan konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berkaitan dengan aspek wilayah negara,
warga negara dan penduduk, agama dan kepercayaan, serta sistem pertahanan dan
keamanan nasional. Keempat aspek ini merupakan pilar fundamental dalam
membangun negara hukum yang demokratis, berdaulat, dan inklusif. Kajian ini
menunjukkan bahwa UUD NRI 1945 tidak hanya memberikan landasan normatif, tetapi
juga mengintegrasikan prinsip-prinsip kedaulatan, keadilan sosial, kebebasan
individu, dan ketertiban umum dalam satu kerangka konstitusional yang utuh.
Melalui analisis normatif dan kontekstual, termasuk studi kasus aktual seperti
sengketa di Laut Natuna, kewarganegaraan ganda, pengakuan terhadap kepercayaan
lokal, dan partisipasi warga dalam bela negara, artikel ini menegaskan
pentingnya pemahaman konstitusi dalam kehidupan kewarganegaraan. Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di tingkat SLTA diharapkan mampu
menjadikan konstitusi sebagai living document yang membentuk karakter warga
negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya serta mampu berkontribusi dalam
menjaga keutuhan NKRI.
Kata Kunci: Konstitusi, UUD 1945, kewarganegaraan, kebebasan
beragama, pertahanan dan keamanan, wilayah negara, Pendidikan PPKn, kesadaran
konstitusional.
PEMBAHASAN
Ketentuan Konstitusional dalam UUD NRI Tahun 1945
1.
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan landasan
fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebagai konstitusi
tertulis, UUD ini tidak hanya menetapkan struktur dasar ketatanegaraan, tetapi
juga menjadi rujukan utama dalam penyelenggaraan negara, penegakan hukum, dan
pemenuhan hak-hak warga negara. Keberadaannya menjadi instrumen hukum tertinggi
yang mengikat seluruh komponen bangsa, baik pemerintah maupun rakyat, dalam
bingkai negara hukum yang demokratis. Dalam konteks inilah, menelaah ketentuan
konstitusional yang mengatur aspek-aspek strategis seperti wilayah negara,
status kewarganegaraan dan kependudukan, jaminan atas kebebasan beragama dan
berkepercayaan, serta sistem pertahanan dan keamanan nasional menjadi hal yang
sangat penting.
Pemahaman terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga
mencerminkan identitas, karakter, dan arah perjalanan bangsa Indonesia.
Ketentuan mengenai wilayah negara, misalnya,
menegaskan prinsip kedaulatan yang utuh atas darat, laut, dan udara sebagai
satu kesatuan geopolitik dan geoekonomi yang tidak dapat dipisahkan.1
Sementara itu, ketentuan mengenai warga negara dan penduduk
menggambarkan ikatan hukum dan sosial antara individu dan negara, yang
berdampak langsung pada hak dan kewajiban sipil, politik, dan sosial-ekonomi.2
Dalam bidang agama dan kepercayaan, UUD NRI
Tahun 1945 menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan
beribadah sesuai keyakinannya, sebagai bentuk penghormatan terhadap pluralitas
dan martabat manusia.3 Terakhir, pada aspek pertahanan
dan keamanan, konstitusi mengatur secara eksplisit sistem yang
melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam menjaga kedaulatan negara dan
ketertiban umum.4
Dalam konteks
pendidikan kewarganegaraan di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA),
penelaahan terhadap ketentuan-ketentuan tersebut menjadi sangat relevan.
Peserta didik tidak hanya dituntut untuk memahami bunyi pasal-pasal konstitusi,
tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan, keterlibatan aktif
sebagai warga negara, dan kemampuan untuk berpikir kritis terhadap dinamika
sosial-politik di sekitarnya. Dengan demikian, pendidikan PPKn berperan
strategis dalam membentuk generasi muda yang sadar konstitusi, berkarakter
Pancasila, dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2016), 145–147.
[2]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 221–224.
[3]
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), 134–137.
[4]
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Fungsi Anggaran
dan Pengawasan (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 191–194.
2.
Wilayah
Negara dalam UUD NRI Tahun 1945
Wilayah negara
merupakan unsur esensial yang membentuk keberadaan suatu negara, bersama dengan
rakyat dan pemerintahan yang berdaulat. Dalam konteks kenegaraan Indonesia,
pengaturan mengenai wilayah negara tercantum secara eksplisit dalam Pasal
25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang.” Ketentuan ini
menegaskan bahwa Indonesia mengadopsi konsep negara kepulauan (archipelagic state)
yang diakui dalam hukum internasional, khususnya dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.1
Secara geografis,
wilayah Indonesia meliputi daratan, perairan pedalaman, laut teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen. Konsepsi wilayah
ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mencerminkan prinsip
kedaulatan penuh negara atas seluruh wilayah yurisdiksinya. Sejak pengakuan Deklarasi
Djuanda 1957, Indonesia menyatakan bahwa semua perairan di
antara dan di dalam kepulauan merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah
kedaulatannya. Deklarasi ini kemudian menjadi dasar pengakuan internasional
terhadap konsep Wawasan Nusantara, yakni
pandangan geopolitik yang menekankan kesatuan wilayah darat dan laut sebagai
satu kesatuan utuh bangsa Indonesia.2
Dalam praktik
ketatanegaraan, pengaturan wilayah negara memiliki implikasi yang luas, baik
dalam konteks pertahanan dan keamanan, pengelolaan sumber daya alam, maupun
hubungan diplomatik antarnegara. Ketentuan konstitusional tentang wilayah ini
mendorong adanya undang-undang sektoral yang
mengatur batas-batas wilayah secara lebih teknis, seperti UU No.
43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dan UU No. 5
Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia. Penetapan batas wilayah juga
sering melibatkan proses negosiasi bilateral atau multilateral, sebagaimana
terjadi dalam penyelesaian batas laut dengan negara tetangga seperti Malaysia,
Filipina, dan Australia.3
Permasalahan aktual
yang berkaitan dengan wilayah negara Indonesia antara lain adalah pelanggaran
kedaulatan oleh kapal asing, klaim sepihak terhadap wilayah maritim oleh negara
lain (seperti konflik Laut Natuna Utara dengan Tiongkok), dan isu pengelolaan
pulau-pulau terluar. Dalam konteks ini, ketentuan konstitusional berfungsi
sebagai fondasi normatif bagi negara dalam menjaga integritas dan kedaulatan
wilayahnya. Penegakan hukum terhadap pelanggaran batas wilayah juga menjadi
tanggung jawab strategis dari aparat keamanan, khususnya TNI Angkatan Laut dan
Bakamla (Badan Keamanan Laut).4
Dengan demikian,
Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945 bukan sekadar deklarasi simbolik, melainkan
representasi yuridis atas identitas geopolitik Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, yang harus dijaga kedaulatannya
melalui pendekatan hukum, diplomasi, dan pertahanan secara simultan. Pemahaman
mendalam terhadap pasal ini menjadi sangat penting dalam pendidikan
kewarganegaraan, agar peserta didik memiliki kesadaran konstitusional akan
pentingnya menjaga keutuhan wilayah negara sebagai bentuk tanggung jawab
kebangsaan.
Footnotes
[1]
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum
Internasional (Bandung: Alumni, 2003), 157–161.
[2]
Sutarjo Kartohadikoesoemo, Wawasan Nusantara: Konsep dan
Implementasinya (Jakarta: Gramedia, 1990), 24–26.
[3]
Hikmahanto Juwana, “Perkembangan Hukum Laut Internasional dan
Implikasinya bagi Indonesia,” Jurnal Hukum Internasional 2, no. 1
(2005): 31–33.
[4]
Hasjim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea (Jakarta:
Centre for Southeast Asian Studies, 1995), 87–89.
3.
Ketentuan
tentang Warga Negara dan Penduduk
Status sebagai warga
negara dan penduduk merupakan elemen fundamental dalam sistem ketatanegaraan
modern. Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 secara eksplisit mengatur tentang hal ini dalam Pasal 26
hingga Pasal 28, yang menjelaskan definisi, hak-hak dasar,
serta prinsip-prinsip keanggotaan dalam suatu negara. Pasal 26 ayat (1)
menyebutkan bahwa “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara”, sedangkan ayat (2) menyatakan
bahwa “Penduduk
ialah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.”1
Dari ketentuan
tersebut, dapat ditarik garis pemisah penting antara warga
negara dan penduduk. Warga negara adalah
subjek hukum yang memiliki ikatan hukum-politik penuh dengan negara, yang
meliputi hak dan kewajiban sebagai anggota negara secara permanen. Sementara
itu, penduduk mencakup setiap orang yang tinggal di wilayah suatu negara, baik
warga negara maupun orang asing, yang hanya terikat pada aspek administratif
dan hukum tertentu tanpa memiliki hak politik seperti memilih dan dipilih.2
Dalam praktiknya,
status kewarganegaraan di Indonesia mengikuti prinsip ius
sanguinis (hak darah), yakni berdasarkan keturunan, dan secara
terbatas mengakui prinsip ius soli (hak tanah), terutama
dalam kasus anak-anak yang lahir di wilayah Indonesia namun tidak memiliki
kewarganegaraan orang tua yang jelas. Prinsip ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
yang memperjelas kriteria perolehan, kehilangan, dan pemulihan kewarganegaraan
Indonesia.3
Lebih lanjut,
konstitusi juga menjamin kesetaraan hak antara warga
negara dalam segala bidang kehidupan. Dalam Pasal 27 ayat (1) disebutkan
bahwa “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Hal ini menegaskan prinsip egalitarianisme hukum sebagai
karakter utama negara hukum. Selain itu, warga negara juga dijamin dalam hal
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak dan kebebasan untuk
berserikat dan berkumpul sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3),
serta Pasal 28.4
Namun, dalam praktik
konstitusional dan implementasi yuridis, masih terdapat tantangan signifikan,
terutama dalam hal kewarganegaraan ganda, status
stateless (tanpa kewarganegaraan), serta diskriminasi
administratif terhadap kelompok tertentu. Misalnya, anak hasil perkawinan
campuran yang berisiko tidak diakui sebagai warga negara secara otomatis jika
tidak segera didaftarkan. Di sisi lain, warga negara Indonesia yang menikah
dengan warga negara asing juga menghadapi kompleksitas hukum yang membutuhkan
pengaturan teknis yang cermat untuk menjaga kepastian hukum dan perlindungan
hak-haknya.5
Dalam konteks
pendidikan PPKn, penelaahan terhadap ketentuan ini sangat penting untuk
membangun kesadaran kewarganegaraan yang
bertanggung jawab. Peserta didik tidak hanya dituntut memahami status hukum
sebagai warga negara, tetapi juga didorong untuk menginternalisasi nilai-nilai
keadilan, kesetaraan, dan partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 26.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 218–220.
[3]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), 187–189.
[4]
Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 112–114.
[5]
Hikmahanto Juwana, “Masalah Kewarganegaraan Ganda dalam Hukum
Indonesia,” Jurnal Hukum Internasional 4, no. 1 (2007): 25–29.
4.
Agama
dan Kepercayaan dalam Bingkai Konstitusi
Indonesia merupakan
negara dengan keberagaman agama dan kepercayaan yang sangat tinggi. Dalam
kerangka konstitusi, negara menjamin kebebasan setiap warga negara dalam memeluk
agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya. Hal ini tercermin dalam Pasal
28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...”, serta
secara eksplisit ditegaskan kembali dalam Pasal 29 ayat (2) yang
berbunyi: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”1
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah bagian dari hak
asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Prinsip yang
dipegang dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah negara menjunjung tinggi kebebasan beragama
tanpa bersifat sekuler, tetapi juga tidak menjadikan agama
tertentu sebagai agama resmi negara. Dalam hal ini, Indonesia menganut model “negara
religius inklusif”, yaitu negara yang mengakui keberadaan
agama-agama dan menjadikannya bagian dari struktur sosial-politik tanpa
mencampuri substansi doktrinal masing-masing agama.2 Negara hadir
sebagai fasilitator dan pelindung dalam kehidupan beragama, bukan sebagai
penentu kebenaran agama.
Konsep ini menjadi
sangat penting dalam konteks pluralitas agama yang diakui di Indonesia, yakni
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain itu,
pengakuan terhadap aliran kepercayaan juga telah
diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, yang
memutuskan bahwa penganut aliran kepercayaan harus mendapat hak yang sama,
termasuk dalam pencatatan identitas di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Putusan ini
menandai kemajuan dalam pengakuan hak konstitusional
kelompok minoritas yang selama ini berada dalam ketidakpastian
hukum.3
Namun, dalam
praktiknya, implementasi terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan sering
kali menghadapi tantangan serius. Kasus-kasus intoleransi, diskriminasi
terhadap penganut kepercayaan lokal, pelarangan pendirian rumah ibadah, serta
kekerasan atas nama agama masih kerap terjadi. Padahal, konstitusi menuntut
negara untuk aktif memastikan perlindungan terhadap kebebasan beragama, tanpa
tekanan mayoritarianisme atau dominasi kelompok tertentu.4 Dalam hal
ini, negara berkewajiban mengembangkan kebijakan publik yang inklusif dan
edukatif untuk menumbuhkan toleransi dan harmoni antarumat beragama.
Di sisi lain, relasi
antara agama dan negara dalam konstitusi juga menimbulkan dialektika antara kebebasan
individu dan ketertiban umum. Dalam Pasal
28J ayat (2), ditegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain. Artinya, kebebasan beragama bukanlah kebebasan absolut, tetapi
dapat dibatasi secara proporsional demi menjaga ketertiban dan keamanan publik.5
Dengan demikian,
ketentuan konstitusional mengenai agama dan kepercayaan tidak hanya bersifat
deklaratif, tetapi merupakan komitmen negara dalam menjamin keadilan
sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam
pendidikan kewarganegaraan, pemahaman terhadap isu ini sangat penting agar
peserta didik mampu menjadi warga negara yang toleran, demokratis, dan
menjunjung tinggi pluralitas keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28E
ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2).
[2]
Yudian Wahyudi, Reformasi Sumberdaya Ilmu-Ilmu Keislaman
(Yogyakarta: LKIS, 2003), 103–106.
[3]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor
97/PUU-XIV/2016 tentang Kolom Kepercayaan dalam KTP (Jakarta: MKRI, 2016).
[4]
Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Indonesia Tahun 2019 (Jakarta: Wahid Institute, 2020), 10–13.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), 292–295.
5.
Sistem
Pertahanan dan Keamanan Negara
Sistem pertahanan
dan keamanan negara merupakan bagian integral dari keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pengaturan mengenai aspek ini tercantum secara
eksplisit dalam Pasal 30, yang menegaskan bahwa
“tiap-tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara.” Ketentuan ini tidak hanya menempatkan pertahanan dan
keamanan sebagai urusan pemerintah semata, tetapi juga sebagai tanggung jawab
kolektif seluruh elemen masyarakat dalam menjaga kedaulatan dan integritas
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).1
Pasal 30 juga
menetapkan dualitas peran institusi negara, yaitu Tentara
Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat pertahanan negara dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai alat keamanan dan
ketertiban masyarakat. Pembagian fungsi ini diperjelas dalam Undang-Undang
No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang masing-masing
mengatur tugas pokok, fungsi, serta kewenangan institusi tersebut dalam
kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia.2 TNI bertugas
mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman militer eksternal, sementara
Polri lebih difokuskan pada penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban, dan
perlindungan masyarakat dari gangguan keamanan internal.
Lebih jauh, sistem
pertahanan dan keamanan negara Indonesia secara konseptual menganut prinsip Sistem
Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Konsep
ini menekankan bahwa pertahanan dan keamanan merupakan tanggung jawab bersama
antara TNI, Polri, dan seluruh rakyat Indonesia. Sishankamrata didasarkan pada
prinsip partisipasi aktif masyarakat, geografi Indonesia yang luas dan
strategis, serta kondisi sosial-politik yang pluralistik, sehingga pendekatan
ini dianggap paling sesuai untuk menghadapi tantangan keamanan yang kompleks
dan multidimensional.3
Implementasi sistem
pertahanan dan keamanan nasional tidak dapat dilepaskan dari tantangan aktual,
seperti ancaman terorisme, separatisme, konflik horizontal, kejahatan
transnasional, hingga pelanggaran batas wilayah oleh kekuatan asing. Dalam
konteks ini, konstitusi memberikan mandat agar negara mampu membangun sistem
pertahanan dan keamanan yang profesional, modern, dan berbasis hak asasi
manusia. Hal ini ditekankan dalam Pasal 28G ayat (1), yang menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.”4 Dengan
kata lain, pertahanan dan keamanan bukan hanya instrumen kekuasaan negara,
tetapi merupakan bagian dari pemenuhan hak warga negara atas rasa aman dan
perlindungan hukum.
Namun demikian,
dalam praktiknya, sistem pertahanan dan keamanan nasional masih menghadapi
sejumlah tantangan normatif dan operasional. Beberapa isu yang mencuat antara
lain adalah ketegangan dalam relasi sipil-militer, penanganan konflik sosial
yang melibatkan aparat keamanan, serta reformasi sektor keamanan yang belum
sepenuhnya tuntas pasca-reformasi 1998. Oleh karena itu, penguatan sistem ini
harus diarahkan pada pendekatan demokratis, transparan, dan akuntabel,
sebagaimana diamanatkan dalam prinsip-prinsip konstitusional dan standar hukum
internasional.5
Dalam pendidikan
PPKn di tingkat SLTA, pemahaman terhadap sistem pertahanan dan keamanan negara
menjadi penting untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan rasa tanggung jawab
sebagai warga negara. Siswa perlu memahami bahwa kedaulatan negara bukan hanya
tanggung jawab TNI atau Polri, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif
masyarakat melalui pendidikan bela negara, partisipasi sosial, serta dukungan
terhadap supremasi hukum dan perdamaian.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 30.
[2]
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), Ketahanan Nasional: Konsep
dan Strategi (Jakarta: Lemhannas RI, 2019), 66–69.
[3]
Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2010), 91–93.
[4]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28G
ayat (1).
[5]
Saldi Isra, Reformasi Sektor Keamanan dalam Perspektif Konstitusi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 122–124.
6.
Integrasi
Antar-Ketentuan Konstitusional
Ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah sekumpulan
norma yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan sistem hukum yang saling
terintegrasi untuk membentuk struktur dan fungsi negara secara utuh. Dalam
konteks ini, integrasi antar-ketentuan konstitusional mencerminkan konsistensi
norma yang mengatur berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara — mulai
dari wilayah negara, status kewarganegaraan dan kependudukan, kebebasan
beragama, hingga sistem pertahanan dan keamanan nasional.
Secara substantif,
keterkaitan antara wilayah negara (Pasal 25A)
dengan pertahanan
dan keamanan negara (Pasal 30) menunjukkan bahwa kedaulatan
teritorial tidak dapat dijamin tanpa sistem pertahanan yang kuat dan
partisipatif. Keutuhan wilayah negara memerlukan perlindungan aktif dari
seluruh elemen bangsa, sebagaimana ditegaskan dalam konsep Sistem
Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).
Artinya, perlindungan terhadap batas-batas negara tidak hanya menjadi tugas
militer, tetapi juga warga negara sebagai bagian integral dari pertahanan
nasional.1
Demikian pula,
keterkaitan antara ketentuan mengenai warga negara dan penduduk
(Pasal 26–28) dengan hak atas kebebasan beragama dan berkepercayaan
(Pasal 28E dan 29) memperlihatkan jalinan prinsip konstitusional mengenai
pengakuan terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai pluralisme. Warga negara
tidak hanya diposisikan sebagai subjek hukum, tetapi juga sebagai pribadi
merdeka yang dijamin kebebasannya untuk menjalankan keyakinan tanpa diskriminasi.
Pengakuan ini menggarisbawahi pentingnya negara hukum demokratis yang
menjunjung tinggi persamaan di hadapan hukum dan penghormatan atas martabat
kemanusiaan.2
Integrasi
konstitusional ini menjadi sangat penting dalam mencegah konflik
antar-norma yang dapat melemahkan kohesi sosial dan efektivitas
tata kelola negara. Misalnya, tanpa integrasi yang baik antara kebebasan
beragama dan keamanan negara, negara dapat tergelincir dalam praktik-praktik
represif atas nama stabilitas politik. Sebaliknya, jika kebebasan warga negara
tidak diimbangi dengan tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
maka dapat timbul anarki yang mengancam keutuhan negara. Oleh karena itu,
konstitusi tidak hanya menjamin hak, tetapi juga menetapkan batas dan tanggung
jawab warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J, yang menyatakan
bahwa “dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan
yang ditetapkan oleh undang-undang.”3
Lebih lanjut,
integrasi ini juga tercermin dalam pendekatan holistik terhadap pembangunan nasional,
di mana aspek geopolitik (wilayah), demografi (penduduk dan kewarganegaraan),
ideologi dan budaya (agama dan kepercayaan), serta pertahanan (keamanan
nasional) harus dirancang secara sinergis. Ketidakhadiran salah satu elemen ini
dapat menyebabkan disintegrasi bangsa atau melemahnya fondasi negara.
Dalam konteks
pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), pemahaman
terhadap integrasi antar-ketentuan konstitusional ini sangat penting untuk
membangun kesadaran konstitusional (constitutional
awareness). Siswa tidak hanya diajak menghafal pasal-pasal
konstitusi, tetapi juga didorong untuk memahami relasi antar-norma dan
dampaknya terhadap kehidupan nyata sebagai warga negara. Hal ini sejalan dengan
pandangan Jimly Asshiddiqie yang menyebut bahwa konstitusi harus dipahami
sebagai “dokumen
hidup (living constitution)” yang terus berkembang melalui
pemaknaan yang kontekstual dan menyeluruh.4
Footnotes
[1]
Andi Widjajanto, Strategi Pertahanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Jakarta: Gramedia, 2010), 121–123.
[2]
Mahfud MD, Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), 78–81.
[3]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28J
ayat (2).
[4]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), 10–12.
7.
Studi
Kasus dan Aplikasi Kontekstual
Untuk memahami
implementasi ketentuan konstitusional secara lebih nyata dan kontekstual,
penting untuk menelaah sejumlah studi kasus aktual yang
mencerminkan dinamika penerapan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan
ini berguna untuk menjembatani pemahaman teoretis dengan kondisi empirik, serta
mengasah kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam menganalisis isu-isu
konstitusional secara integratif.
7.1.
Sengketa Wilayah
Laut di Laut Natuna Utara
Salah satu kasus
yang mencerminkan pentingnya ketentuan konstitusional mengenai wilayah
negara adalah konflik perbatasan laut di Laut
Natuna Utara, yang melibatkan pelanggaran oleh kapal-kapal
asing, khususnya dari Tiongkok. Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 25A
UUD NRI 1945 berhak mempertahankan kedaulatan wilayahnya, termasuk wilayah laut
yang ditetapkan secara sah melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Namun, klaim Nine Dash Line oleh Tiongkok
bertentangan dengan ketentuan internasional dan batas Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) Indonesia yang telah diakui.1 Kasus ini menunjukkan bagaimana
ketentuan konstitusional digunakan sebagai dasar legitimasi negara dalam
mempertahankan wilayah teritorialnya melalui jalur diplomasi dan penguatan
pertahanan maritim nasional.
7.2.
Kewarganegaraan
Ganda dan Status Anak Hasil Perkawinan Campuran
Dalam konteks kewarganegaraan,
kasus mengenai anak hasil perkawinan campuran
antara WNI dan WNA mengemuka sebagai bentuk problematika hukum dan
konstitusional. Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, anak-anak dari perkawinan
campuran seringkali kehilangan status kewarganegaraan karena tidak diakui
secara otomatis sebagai WNI. Reformasi hukum ini memberikan ruang bagi
anak-anak tersebut untuk memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas
hingga usia 18 tahun, yang kemudian harus memilih kewarganegaraan tetap.2
Hal ini menunjukkan adaptasi hukum nasional untuk menjamin perlindungan hak
anak dan prinsip non-discriminatory citizenship,
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
7.3.
Pengakuan terhadap
Aliran Kepercayaan dalam Kolom KTP
Isu seputar kebebasan
beragama dan kepercayaan mendapat sorotan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016, yang mengabulkan
permohonan pengakuan hak konstitusional penganut aliran kepercayaan untuk
dicantumkan dalam kolom agama pada KTP dan KK.
Selama bertahun-tahun, penganut kepercayaan tidak dapat mengakses hak
administratif secara penuh karena status mereka tidak diakui secara legal.
Mahkamah menegaskan bahwa pembatasan tersebut melanggar hak atas identitas
hukum dan hak setara sebagai warga negara yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (2)
dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.3 Kasus ini menjadi tonggak penting
dalam memperluas cakupan jaminan konstitusional terhadap pluralitas kepercayaan
di Indonesia.
7.4.
Peran TNI dan Polri
dalam Penanganan Konflik Sosial dan Bencana
Ketentuan mengenai pertahanan
dan keamanan negara juga dapat dilihat melalui peran TNI dan
Polri dalam merespons bencana nasional maupun konflik sosial.
Misalnya, dalam penanganan bencana alam besar seperti tsunami
di Aceh (2004) atau gempa di Palu (2018), TNI tidak
hanya menjalankan fungsi pertahanan, tetapi juga berperan aktif dalam evakuasi,
logistik, dan pemulihan infrastruktur. Demikian pula, dalam konflik sosial
seperti kerusuhan di Papua, aparat
keamanan memainkan peran ganda: menjaga keamanan sekaligus mengupayakan
pendekatan persuasif demi mencegah pelanggaran HAM.4 Ini menunjukkan
bahwa implementasi Pasal 30 UUD 1945 harus dilakukan secara proporsional,
demokratis, dan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
7.5.
Pelibatan Warga
dalam Bela Negara
Secara positif,
berbagai inisiatif bela negara melalui pendidikan dan pelatihan di kalangan
pelajar, mahasiswa, hingga ormas, mencerminkan implementasi prinsip
partisipatif sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1). Program seperti Pembinaan
Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang dijalankan oleh Kementerian
Pertahanan adalah bentuk nyata dari upaya konstitusional untuk menanamkan rasa
cinta tanah air, disiplin nasional, dan kesadaran akan pentingnya menjaga kedaulatan
negara dari dalam.5
Studi-studi kasus di
atas mencerminkan bahwa ketentuan konstitusional tidak bersifat abstrak dan
terpisah dari realitas sosial-politik. Sebaliknya, ia menjadi rujukan normatif
sekaligus landasan aksi dalam menghadapi berbagai tantangan aktual kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam pendidikan kewarganegaraan, analisis kasus
semacam ini harus dijadikan media refleksi, diskusi kritis, dan pembentukan
sikap aktif dalam menjaga nilai-nilai konstitusional dan keutuhan NKRI.
Footnotes
[1]
Hikmahanto Juwana, “Nine Dash Line dan Tantangan bagi Indonesia di Laut
Natuna Utara,” Jurnal Hukum
Internasional 14, no. 2 (2017):
127–130.
[2]
Maria Farida Indrati, Ilmu
Perundang-undangan (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), 200–202.
[3]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, diakses melalui www.mkri.id.
[4]
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Analisis Strategi Nasional dalam Menangani Konflik di Papua (Jakarta: Lemhannas RI, 2020), 65–68.
[5]
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Laporan Kinerja Program Bela Negara Tahun 2022 (Jakarta: Kemenhan RI, 2022), 34–36.
8.
Penutup
Ketentuan-ketentuan
konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak hanya berfungsi sebagai norma dasar hukum,
tetapi juga sebagai pilar-pilar utama dalam pembentukan identitas,
arah, dan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kajian terhadap aspek-aspek seperti wilayah negara, kewarganegaraan dan
kependudukan, kebebasan beragama dan berkepercayaan, serta sistem pertahanan
dan keamanan menunjukkan bahwa konstitusi Indonesia mengatur secara
komprehensif unsur-unsur fundamental negara yang saling terkait satu sama lain
dalam satu sistem yang integratif dan dinamis.
Sebagai negara
kepulauan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama, pengaturan
konstitusional Indonesia ditujukan untuk menjaga keutuhan
wilayah, menjamin hak-hak dasar warga negara,
serta memastikan stabilitas dan keamanan nasional
dalam bingkai negara hukum demokratis. Ketentuan mengenai wilayah negara
(Pasal 25A), misalnya, mempertegas komitmen Indonesia terhadap kedaulatan
teritorial yang menyatu dalam konsep Wawasan Nusantara. Demikian pula,
pengaturan tentang warga negara dan penduduk
(Pasal 26–28), serta agama dan kepercayaan (Pasal
28E dan 29), mencerminkan semangat inklusivitas dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia sebagai nilai dasar konstitusi.1
Dalam hal pertahanan
dan keamanan, Pasal 30 menegaskan pentingnya kolaborasi antara
kekuatan negara (TNI dan Polri) dan partisipasi aktif warga dalam menjaga
kedaulatan negara. Pendekatan ini menunjukkan bahwa konstitusi tidak memisahkan
antara hak dan kewajiban, melainkan merancang suatu keseimbangan yang
berorientasi pada ketertiban, keadilan, dan kedamaian sosial.2
Studi kasus yang
dibahas sebelumnya juga menunjukkan bahwa ketentuan konstitusional memiliki aplikasi
langsung dan strategis terhadap realitas kontemporer bangsa.
Dari sengketa perbatasan laut hingga pengakuan hak penganut kepercayaan,
konstitusi telah menjadi alat legitimasi dalam memperjuangkan keadilan,
melindungi hak warga, dan memperkuat kedaulatan. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun
1945 patut dipahami sebagai dokumen yang hidup dan progresif, yang mampu
menjawab dinamika zaman melalui interpretasi yang kontekstual dan berorientasi
pada kepentingan rakyat.3
Bagi dunia
pendidikan, khususnya dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn),
pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan konstitusional ini sangat penting dalam
membentuk karakter peserta didik sebagai warga negara yang sadar konstitusi, cinta tanah
air, dan aktif dalam kehidupan demokratis. Pembelajaran tidak
cukup berhenti pada aspek kognitif (pemahaman teks pasal), tetapi juga harus
menyentuh aspek afektif (kesadaran dan sikap) serta psikomotorik (partisipasi
dan tindakan nyata). Pendidikan konstitusi yang berbasis nilai, refleksi, dan
studi kasus nyata akan membentuk generasi yang bukan hanya tahu hak dan
kewajibannya, tetapi juga mampu berkontribusi dalam menjaga keutuhan NKRI dan
mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 55–57.
[2]
Saldi Isra, Reformasi Sektor Keamanan dalam Perspektif Konstitusi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 111–113.
[3]
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), 169–172.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2005). Hukum tata negara dan
pilar-pilar demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2007). Pokok-pokok hukum tata
negara Indonesia pasca reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Asshiddiqie, J. (2016). Pengantar ilmu hukum
tata negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Djalal, H. (1995). Indonesia and the law of the
sea. Jakarta: Centre for Southeast Asian Studies.
Farida, M. F. (2007). Ilmu perundang-undangan:
Jenis, fungsi, dan materi muatan. Yogyakarta: Kanisius.
Indrati, M. F. (2007). Ilmu perundang-undangan.
Yogyakarta: Kanisius.
Isra, S. (2010). Pergeseran fungsi legislasi: Menguatnya
fungsi anggaran dan pengawasan. Jakarta: Rajawali Pers.
Isra, S. (2014). Reformasi sektor keamanan dalam
perspektif konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.
Juwana, H. (2005). Perkembangan hukum laut
internasional dan implikasinya bagi Indonesia. Jurnal Hukum Internasional,
2(1), 31–33.
Juwana, H. (2007). Masalah kewarganegaraan ganda
dalam hukum Indonesia. Jurnal Hukum Internasional, 4(1), 25–29.
Juwana, H. (2017). Nine dash line dan tantangan
bagi Indonesia di Laut Natuna Utara. Jurnal Hukum Internasional, 14(2),
127–130.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. (2022). Laporan
kinerja program bela negara tahun 2022. Jakarta: Kemenhan RI.
Kartohadikoesoemo, S. (1990). Wawasan nusantara:
Konsep dan implementasinya. Jakarta: Gramedia.
Kusumaatmadja, M., & Agoes, E. R. (2003). Pengantar
hukum internasional. Bandung: Alumni.
Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.
(2019). Ketahanan nasional: Konsep dan strategi. Jakarta: Lemhannas RI.
Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.
(2020). Analisis strategi nasional dalam menangani konflik di Papua.
Jakarta: Lemhannas RI.
Mahfud MD. (2010). Dasar dan struktur
ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Mahfud MD. (2011). Politik hukum di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2016). Putusan
Nomor 97/PUU-XIV/2016. Diakses dari https://www.mkri.id
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Wahid Institute. (2020). Laporan kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2019. Jakarta: Wahid
Institute.
Widjajanto, A. (2010). Strategi pertahanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Wahyudi, Y. (2003). Reformasi sumberdaya
ilmu-ilmu keislaman. Yogyakarta: LKiS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar