Postkolonialisme
Kritik terhadap Warisan Kolonial dan Relevansinya dalam
Dunia Global
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji postkolonialisme sebagai salah
satu arus penting dalam filsafat sosial-politik yang menawarkan kritik sistemik
terhadap warisan kolonialisme dan bentuk-bentuk dominasi global yang terus
berlanjut dalam era kontemporer. Dengan menelusuri asal-usul historis dan
genealogi intelektualnya, artikel ini membahas kontribusi pemikiran dari
tokoh-tokoh utama seperti Edward Said, Gayatri Spivak, Homi Bhabha, dan Frantz
Fanon, serta menjelaskan konsep-konsep kunci seperti orientalisme, subaltern,
hibriditas, dan dekolonisasi pengetahuan. Melalui pendekatan interdisipliner,
postkolonialisme dianalisis dalam relasinya dengan feminisme, Marxisme,
postmodernisme, dan teori dekolonial, serta relevansinya dalam berbagai bidang
seperti pendidikan, media, gerakan sosial, dan ekologi politik. Artikel ini
juga menampilkan studi kasus dari kawasan Global Selatan untuk menunjukkan
penerapan konkret postkolonialisme sebagai perangkat analisis kritis. Dengan
demikian, postkolonialisme tidak hanya menawarkan pembacaan baru atas sejarah
kolonial, tetapi juga menyajikan kerangka normatif untuk mewujudkan dunia yang
lebih adil, inklusif, dan plural.
Kata Kunci: Postkolonialisme; kolonialitas; orientalisme;
subaltern; hibriditas; dekolonisasi; epistemologi global; keadilan sosial;
neokolonialisme; teori kritis.
PEMBAHASAN
Postkolonialisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Filsafat
sosial-politik sebagai medan refleksi kritis terhadap kekuasaan, ketimpangan,
dan keadilan mengalami transformasi signifikan dengan hadirnya postkolonialisme
sebagai sebuah arus pemikiran. Aliran ini muncul sebagai respons atas dominasi
pengetahuan, struktur politik, dan konstruksi identitas yang diwariskan oleh
kolonialisme dan imperialisme Barat. Dalam konteks ini, postkolonialisme bukan
sekadar studi historis mengenai kolonisasi, melainkan kritik epistemologis
terhadap warisan kolonial yang masih terus bekerja dalam institusi sosial,
bahasa, kebudayaan, dan sistem pengetahuan kontemporer1.
Secara historis,
kolonialisme menghasilkan sistem kekuasaan yang tidak hanya mengontrol wilayah
dan ekonomi, tetapi juga membentuk cara berpikir, mendefinisikan identitas
bangsa-bangsa terjajah, serta mendikte apa yang dianggap sebagai pengetahuan
sahih. Dalam banyak hal, pengetahuan kolonial mengonstruksi “yang Lain”
sebagai inferior, tidak rasional, dan butuh “pencerahan” dari dunia
Barat. Wacana ini secara mendalam dikritik oleh Edward Said melalui karyanya Orientalism
(1978), yang menyoroti bagaimana representasi dunia Timur dalam wacana Barat
sarat dengan stereotip dan justifikasi ideologis bagi imperialisme2.
Postkolonialisme
tumbuh dari pengalaman konkret masyarakat yang pernah dijajah dan dikembangkan
lebih lanjut dalam lingkup akademik melalui pemikiran para tokoh seperti Said, Gayatri
Chakravorty Spivak, dan Homi K. Bhabha. Mereka tidak
hanya mengkritisi relasi kuasa lama antara penjajah dan terjajah, tetapi juga
menyodorkan kerangka teoretis baru untuk memahami bagaimana kolonialisme
membentuk subjektivitas, identitas budaya, serta hubungan antara pusat dan
pinggiran3. Dengan demikian, postkolonialisme memainkan peran
penting dalam meradikalisasi filsafat sosial-politik dengan menggeser pusat
perhatian dari narasi Barat universal menuju pengalaman, suara, dan
epistemologi dunia “Global Selatan”.
Di tengah arus
globalisasi dan neokolonialisme—baik dalam bentuk dominasi ekonomi
multinasional, hegemoni budaya Barat, maupun dominasi teknologi dan
pengetahuan—kajian postkolonial menjadi semakin relevan. Hal ini tidak hanya
menyangkut pembacaan ulang terhadap sejarah kolonial, tetapi juga upaya untuk
mendekolonisasi praktik sosial-politik dan pendidikan yang masih mewarisi
logika kolonial. Dalam banyak konteks, seperti pendidikan, media, hukum, dan
bahkan sains, residu kolonialisme masih terdeteksi, sehingga postkolonialisme
hadir untuk mengintervensi dan mengganggu struktur kuasa tersebut4.
Artikel ini
bertujuan untuk menyajikan pemahaman menyeluruh mengenai postkolonialisme dalam
ranah filsafat sosial-politik. Pembahasan akan meliputi sejarah dan landasan
filosofisnya, tokoh-tokoh kunci, konsep-konsep utama, hingga kritik
terhadapnya. Selain itu, relevansi postkolonialisme dalam kehidupan global
kontemporer juga akan dianalisis melalui studi kasus dan refleksi kritis.
Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran
dan mendukung upaya dekolonisasi dalam berbagai bidang kehidupan intelektual
dan praksis sosial.
Footnotes
[1]
Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction
(New York: Columbia University Press, 1998), 3–4.
[2]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1978),
1–28.
[3]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 2–5.
[4]
Walter D. Mignolo, Epistemic Disobedience: Latin America and the
Decolonial Option (Durham: Duke University Press, 2011), 8–12.
2.
Sejarah dan Genealogi Pemikiran Postkolonial
Pemikiran
postkolonial lahir dari pengalaman historis penjajahan yang melanda sebagian
besar wilayah dunia di bawah dominasi kekuatan imperialis Eropa sejak abad
ke-15 hingga pertengahan abad ke-20. Praktik kolonialisme tidak hanya
melibatkan eksploitasi ekonomi dan kekuasaan teritorial, tetapi juga
menciptakan struktur budaya, sosial, dan epistemologis yang menempatkan dunia
Barat sebagai pusat (center) dan dunia non-Barat sebagai pinggiran (periphery)1.
Dalam konteks ini, postkolonialisme berkembang sebagai bentuk perlawanan
intelektual terhadap sisa-sisa struktur tersebut dan sebagai upaya untuk
merekonstruksi identitas, budaya, serta cara berpikir masyarakat yang pernah
dijajah.
2.1.
Periode Awal:
Perlawanan Antikolonial dan Emansipasi Politik
Genealogi pemikiran
postkolonial dapat ditelusuri sejak awal abad ke-20 ketika gerakan antikolonial
mulai mengambil bentuk politik yang lebih terorganisasi. Tokoh-tokoh seperti Mahatma
Gandhi, W.E.B. Du Bois, Aimé
Césaire, dan Frantz Fanon menjadi figur
sentral dalam mengartikulasikan kritik terhadap kolonialisme, baik dari sudut
pandang moral, budaya, maupun psikologis2. Césaire dalam Discourse
on Colonialism (1950) menegaskan bahwa kolonialisme bukan hanya
bentuk dominasi fisik, tetapi juga penghinaan terhadap kemanusiaan3.
Sementara itu, Fanon dalam The Wretched of the Earth (1961)
mengeksplorasi dampak psikologis kolonialisme terhadap bangsa-bangsa terjajah,
khususnya dalam konteks identitas dan kekerasan simbolik yang ditanamkan oleh
penjajah4.
Meskipun karya-karya
mereka muncul sebelum istilah “postkolonialisme” digunakan secara luas,
ide-ide Césaire dan Fanon meletakkan fondasi filosofis dan etis bagi kritik
terhadap kolonialisme dan dampaknya yang berkepanjangan dalam struktur
sosial-politik pascakemerdekaan.
2.2.
Perkembangan
Akademik: Lahirnya Kajian Postkolonial
Postkolonialisme
sebagai bidang studi formal mulai berkembang pada dekade 1970-an dan 1980-an
seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap hubungan antara wacana,
kekuasaan, dan representasi dalam studi sastra, budaya, serta filsafat politik.
Titik balik penting terjadi ketika Edward Said menerbitkan Orientalism
(1978), sebuah karya yang menyoroti bagaimana representasi dunia Timur dalam
teks-teks Barat mencerminkan hubungan kekuasaan dan proses “othering”
(pembentukan identitas ‘yang Lain’)5.
Said menunjukkan
bahwa orientalisme bukanlah sekadar narasi kultural, tetapi perangkat ideologis
yang memungkinkan dan membenarkan dominasi kolonial. Dengan demikian, Orientalism
membuka jalan bagi studi interdisipliner yang melibatkan analisis wacana, teori
kritik, dan sejarah imperialisme sebagai instrumen utama pemahaman
postkolonialisme. Karya ini sangat berpengaruh dalam membentuk kerangka teori
postkolonial dan menjadi referensi sentral bagi para pemikir berikutnya6.
2.3.
Teoretisasi
Lanjutan: Munculnya Spivak dan Bhabha
Pada dekade 1980-an
hingga 1990-an, postkolonialisme mengalami perluasan melalui pemikiran Gayatri
Chakravorty Spivak dan Homi K. Bhabha, yang membawa
diskursus ini ke arah yang lebih teoritis dan kompleks. Spivak dalam esainya
yang terkenal Can the Subaltern Speak? (1988)
mempertanyakan apakah kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara struktural
(subaltern) benar-benar dapat mengartikulasikan suara mereka sendiri dalam
kerangka representasi hegemonik7. Ia mengkritik kecenderungan
intelektual Barat yang mengklaim berbicara atas nama subaltern, tanpa menyadari
reproduksi relasi kuasa yang tersembunyi dalam praktik representasi tersebut.
Sementara itu,
Bhabha memperkenalkan konsep-konsep seperti hibriditas, ambivalensi,
dan mimikri
untuk menggambarkan kompleksitas hubungan antara budaya kolonial dan
pascakolonial. Dalam The Location of Culture (1994), ia
mengajukan bahwa identitas pascakolonial tidak dapat dipahami secara
esensialis, melainkan selalu dalam proses negosiasi dan transgresi batas antara
“penjajah” dan “yang dijajah”8. Gagasan-gagasan ini
membantu memahami bahwa kolonialisme meninggalkan warisan bukan hanya dalam
bentuk trauma atau dominasi, tetapi juga dalam bentuk ruang hibrid tempat munculnya
potensi resistensi dan pembentukan identitas baru.
2.4.
Diversifikasi Global
dan Dekolonisasi Pengetahuan
Seiring
berkembangnya postkolonialisme, muncul pula diversifikasi dalam pendekatan dan
fokusnya. Kajian ini tidak lagi terbatas pada relasi Barat dan Timur, melainkan
juga mencakup konteks Amerika Latin, Afrika Sub-Sahara, dan Asia Tenggara. Para
pemikir seperti Aníbal Quijano dan Walter
Mignolo dari tradisi teori dekolonial Amerika Latin memperluas
fokus postkolonialisme dengan menekankan pentingnya dekolonisasi epistemologis
dan kritik terhadap “kolonialitas kuasa” yang berkelanjutan dalam sistem
pengetahuan modern9.
Pendekatan ini
menggeser perhatian dari sekadar kritik representasi menuju upaya membongkar
fondasi rasionalitas modernitas yang inheren dalam sistem kolonial. Dengan
demikian, genealoginya kini meliputi pertemuan antara pengalaman lokal
masyarakat yang dijajah dan wacana global yang terus berkembang dalam kajian
filsafat sosial-politik kontemporer.
Footnotes
[1]
Robert J.C. Young, Postcolonialism: An Historical Introduction
(Oxford: Blackwell, 2001), 4–6.
[2]
Partha Chatterjee, Nationalist Thought and the Colonial World
(London: Zed Books, 1986), 1–14.
[3]
Aimé Césaire, Discourse on Colonialism, trans. Joan Pinkham
(New York: Monthly Review Press, 2000), 31.
[4]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–20.
[5]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1978),
1–28.
[6]
Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, and Helen Tiffin, The Empire
Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (London:
Routledge, 1989), xi–xv.
[7]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[8]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 1–7.
[9]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 44–47.
3.
Landasan Filsafat dan Teoretisasi Postkolonial
Postkolonialisme
sebagai arus pemikiran dalam filsafat sosial-politik bertumpu pada landasan
filosofis yang kompleks, yang menentang asumsi-asumsi dasar tentang modernitas,
rasionalitas, dan universalisme yang diwariskan oleh proyek kolonial dan
Pencerahan Eropa. Ia berangkat dari kesadaran bahwa kolonialisme tidak hanya
menyisakan luka fisik dan sosial, tetapi juga membentuk sistem pengetahuan dan
kategori berpikir yang terus bekerja secara hegemonik dalam kehidupan
kontemporer. Dalam konteks ini, postkolonialisme bersifat interdisipliner,
menggabungkan teori kritik, dekonstruksi, dan wacana emansipatoris dari Global
Selatan untuk membongkar sisa-sisa kekuasaan kolonial dalam budaya, bahasa, dan
epistemologi1.
3.1.
Ontologi
Postkolonial: Identitas dan Subjektivitas yang Terbentuk oleh Kuasa
Salah satu fondasi
filsafat postkolonial adalah kritik terhadap ontologi kolonial yang
mendikotomikan subjek sebagai “penjajah” dan “yang dijajah”, “Barat”
dan “Timur”, “modern” dan “tradisional”. Dalam perspektif
postkolonial, identitas bukanlah sesuatu yang esensial atau tetap, melainkan
hasil konstruksi sejarah dan relasi kuasa. Konsep subaltern
seperti yang dikembangkan oleh Gayatri Spivak menunjukkan
bahwa subjektivitas kelompok yang terpinggirkan dibentuk dan dibungkam oleh
struktur representasi kolonial maupun pascakolonial. Pertanyaan mendasarnya
adalah: Dapatkah
subaltern berbicara dalam kerangka diskursus hegemonik yang mendefinisikannya
dari luar?2
Demikian pula, Frantz
Fanon menggambarkan bagaimana kolonialisme menginternalisasi
inferioritas dalam diri subjek terjajah melalui bahasa, pendidikan, dan
struktur sosial yang meniru kolonial. Dalam Black Skin, White Masks, ia
menunjukkan bahwa pengalaman subjektif orang kulit hitam di dunia kolonial
adalah trauma ontologis yang tidak dapat direduksi menjadi persoalan ekonomi
atau politik semata3.
3.2.
Epistemologi
Postkolonial: Kritik terhadap Pengetahuan Barat
Filsafat
postkolonial secara fundamental bersifat epistemologis, menantang
dominasi cara berpikir Barat yang telah dilembagakan sebagai “pengetahuan
universal”. Dalam konteks ini, karya Edward Said Orientalism
sangat penting karena ia menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tentang Timur
bukanlah deskripsi objektif, melainkan konstruksi wacana yang melayani
kekuasaan kolonial4. Wacana ilmiah, sastra, dan media bekerja
sebagai instrumen yang membangun “Orient” sebagai objek pasif yang membutuhkan
intervensi dan pengawasan Barat.
Walter
Mignolo dan Aníbal Quijano, dalam tradisi
teori dekolonial, lebih lanjut menegaskan bahwa kolonialisme menciptakan coloniality
of power—struktur kekuasaan global yang menginstitusionalisasikan
pembagian rasial-epistemologis antara pusat (Barat) dan pinggiran (non-Barat)5.
Dengan demikian, tantangan utama postkolonialisme adalah melakukan dekolonisasi
pengetahuan (epistemic decolonization), yaitu dengan membuka
ruang bagi sistem pengetahuan, bahasa, dan nilai-nilai alternatif yang ditindas
atau dikecualikan oleh modernitas kolonial.
3.3.
Bahasa, Representasi,
dan Wacana
Bahasa menjadi medan
utama dalam teoretisasi postkolonial. Kolonialisme tidak hanya menjajah secara
fisik tetapi juga melalui hegemonisasi bahasa, yaitu
dengan memaksakan bahasa kolonial sebagai medium pendidikan, administrasi, dan
wacana publik. Dalam kerangka ini, Homi K. Bhabha memperkenalkan
konsep mimikri
sebagai strategi ganda yang menunjukkan ambivalensi kolonial: penjajah ingin
agar orang terjajah “menjadi seperti kami, tetapi tidak sepenuhnya”6.
Bhabha juga
menegaskan pentingnya hibriditas, yaitu kondisi di
mana identitas pascakolonial tidak bersifat murni atau otentik, melainkan
terbentuk melalui pencampuran dan negosiasi budaya. Hibriditas menggugat klaim
autentisitas budaya dan membuka ruang resistensi di dalam celah-celah struktur
kolonial. Maka, postkolonialisme menolak logika biner (self/other,
Barat/non-Barat) dan mengadopsi pandangan dunia yang lebih plural dan cair7.
3.4.
Relasi Kuasa dan
Kritik terhadap Universalisme
Filsafat
postkolonial juga mengkritik universalisme liberal yang
kerap dijadikan dasar ideologi kolonial. Pencerahan Eropa mempromosikan
nilai-nilai seperti rasionalitas, kebebasan, dan kemajuan, namun nilai-nilai
ini sering digunakan untuk membenarkan penjajahan dengan dalih “misi peradaban”
(civilizing mission). Dipesh Chakrabarty dalam Provincializing
Europe (2000) mengkritik bagaimana sejarah non-Barat sering kali
ditulis dengan standar modernitas Eropa, seolah-olah semua bangsa harus
mengikuti jalur historis yang sama untuk menjadi modern8.
Postkolonialisme menolak
pendekatan evolusionis seperti itu dan justru menekankan pentingnya lokalitas,
historisitas
partikular, dan multiple modernities sebagai
jalan alternatif untuk memahami dinamika sosial-politik di berbagai belahan
dunia. Dengan begitu, postkolonialisme membuka ruang bagi pluralisme filosofis
dan penghargaan terhadap kebijaksanaan lokal.
Kesimpulan Sementara
Secara keseluruhan,
landasan filsafat dan teoretisasi postkolonial mencerminkan semangat dekonstruksi,
emansipasi,
dan pluralisme.
Ia menantang narasi dominan tentang sejarah, identitas, dan pengetahuan, serta
menawarkan kerangka alternatif untuk memahami hubungan kuasa dalam skala lokal
maupun global. Postkolonialisme tidak sekadar membongkar warisan kolonial,
tetapi juga menata kembali horizon filosofis kita agar lebih inklusif terhadap
keberagaman pengalaman manusia.
Footnotes
[1]
Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction
(New York: Columbia University Press, 1998), 8–12.
[2]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[3]
Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, trans. Charles Lam
Markmann (New York: Grove Press, 2008), 82–108.
[4]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1978),
1–28.
[5]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 7–11;
Aníbal Quijano, “Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin America,” Nepantla:
Views from South 1, no. 3 (2000): 533–580.
[6]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 85–92.
[7]
Bhabha, The Location of Culture, 113–121.
[8]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
3–6.
4.
Tokoh-Tokoh Utama dalam Postkolonialisme
Postkolonialisme
sebagai disiplin filsafat sosial-politik terbentuk melalui sumbangsih
intelektual dari berbagai tokoh yang mewakili latar belakang geografis, budaya,
dan disipliner yang beragam. Para pemikir ini tidak hanya menantang warisan
kolonial, tetapi juga memperluas cakrawala teoretis untuk menafsirkan ulang
sejarah, identitas, dan relasi kuasa dalam masyarakat pascakolonial.
Tokoh-tokoh berikut menjadi figur sentral dalam perumusan dan perkembangan
pemikiran postkolonial.
4.1.
Edward W. Said
(1935–2003): Kritik terhadap Representasi dan Diskursus Orientalisme
Edward Said adalah
pelopor utama teori postkolonial kontemporer melalui karyanya yang monumental Orientalism
(1978). Dalam buku ini, Said menganalisis bagaimana dunia Barat—melalui
disiplin seperti sastra, sejarah, dan antropologi—mengkonstruksi Timur sebagai
“yang Lain” (the Other) yang eksotik, irasional, dan inferior.
Orientalisme bukan sekadar bentuk ketertarikan terhadap Timur, melainkan wacana
hegemonik yang melegitimasi dominasi kolonial1.
Said menggunakan
pendekatan Foucauldian untuk menyoroti bagaimana pengetahuan dan kekuasaan
saling terkait dalam membentuk wacana yang mengatur persepsi global terhadap
Timur. Ia menunjukkan bahwa representasi Timur sebagai entitas homogen dan
pasif berfungsi untuk meneguhkan superioritas dan kontrol Barat atas dunia
non-Barat2.
4.2.
Gayatri Chakravorty
Spivak (b. 1942): Subaltern dan Politik Representasi
Gayatri Spivak,
seorang sarjana sastra dan filsuf feminis asal India, terkenal karena esainya Can the
Subaltern Speak? (1988). Dalam tulisan tersebut, Spivak
mengembangkan konsep subaltern, yaitu kelompok yang
secara sistemik terpinggirkan dan tidak memiliki akses untuk mewakili diri
dalam wacana dominan. Ia mempertanyakan klaim intelektual Barat yang seringkali
berbicara atas nama subaltern tanpa benar-benar mengatasi struktur dominasi
representasional yang mereka ciptakan sendiri3.
Spivak juga
menekankan pentingnya menyadari epistemic violence—kekerasan
simbolik yang dilakukan oleh sistem pengetahuan dominan terhadap mereka yang
tak terdengar. Dengan perspektif dekonstruksionis yang dipengaruhi Jacques
Derrida, Spivak menunjukkan bahwa setiap upaya representasi selalu membawa
risiko penyederhanaan dan kolonisasi suara subjek4.
4.3.
Homi K. Bhabha (b.
1949): Hibriditas, Ambivalensi, dan Ruang Ketiga
Homi K. Bhabha
adalah tokoh kunci dalam teorisasi postkolonialisme yang memperkenalkan
sejumlah konsep inovatif seperti hibriditas, mimikri,
dan third
space. Dalam karyanya The Location of Culture (1994),
Bhabha berargumen bahwa kolonialisme tidak menciptakan identitas yang
terpolarisasi secara mutlak, tetapi justru melahirkan bentuk-bentuk budaya yang
saling meniru dan bercampur secara ambivalen5.
Konsep mimikri
menjelaskan bagaimana subjek terjajah meniru perilaku dan norma penjajah,
tetapi dalam bentuk yang tidak pernah utuh. Hal ini menciptakan ruang subversi
di mana kekuasaan kolonial menjadi tidak stabil. Sementara hibriditas
merujuk pada identitas kultural baru yang muncul dari percampuran ini, yang
menantang gagasan kemurnian budaya dan identitas esensialis6.
Bhabha juga
mengusulkan ide tentang ruang ketiga sebagai lokasi
diskursif di mana makna budaya dinegosiasikan dan diartikulasikan kembali, di
luar logika biner penjajah-terjajah. Pandangannya menjadi penting dalam
memahami kompleksitas subjektivitas pascakolonial dalam masyarakat global saat
ini.
4.4.
Frantz Fanon
(1925–1961): Psikopolitik Kolonialisme dan Emansipasi Radikal
Frantz Fanon adalah
seorang psikiater, pejuang kemerdekaan Aljazair, dan filsuf politik yang
memberikan kontribusi radikal dalam pemikiran antikolonial. Karyanya The
Wretched of the Earth (1961) merupakan refleksi tentang kekerasan
kolonial dan kebutuhan akan revolusi dekolonial sebagai jalan pembebasan sejati7.
Fanon berpendapat bahwa kolonialisme menciptakan dehumanisasi sistematis yang
menghancurkan psikis individu terjajah dan merusak tatanan sosial mereka.
Dalam Black
Skin, White Masks (1952), Fanon mengkaji efek psikologis dari
rasialisme kolonial dan mekanisme internalisasi rasa inferioritas. Bagi Fanon,
pembebasan sejati bukan hanya bersifat politik, tetapi juga eksistensial dan
psikis: subjek pascakolonial harus membangun kembali keutuhan identitasnya
secara otonom8.
4.5.
Tokoh-Tokoh Tambahan
dari Global Selatan
Selain tiga tokoh
utama dari ranah akademik Barat, pemikiran postkolonial juga diperluas oleh
para intelektual dari dunia Islam dan Asia. Misalnya:
·
Syed
Hussein Alatas (Malaysia) mengkritik “mitos inferioritas
pribumi” dalam bukunya The Myth of the Lazy Native (1977), dengan
menyoroti bagaimana stereotip kolonial terhadap bangsa Timur digunakan untuk
melegitimasi dominasi ekonomi dan budaya9.
·
Hamid
Dabashi (Iran) menekankan perlunya dekolonisasi
pengetahuan Islam, khususnya dalam menghadapi dominasi
orientalisme dan liberalisme dalam kajian Timur Tengah modern10.
Tokoh-tokoh ini
menunjukkan bahwa postkolonialisme tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga
berakar pada perjuangan konkret masyarakat terjajah dalam mempertahankan
otonomi kultural, politik, dan intelektual mereka.
Kesimpulan Sementara
Para tokoh utama
postkolonialisme telah membuka ruang wacana baru dalam filsafat sosial-politik
dengan menyoroti dimensi-dimensi kekuasaan yang tersembunyi dalam representasi,
identitas, dan sistem pengetahuan. Meskipun pendekatan mereka berbeda—baik dari
aspek metodologi maupun latar sosial—kontribusi mereka saling melengkapi dalam
upaya menafsirkan, mengkritisi, dan mendekolonisasi struktur global yang
diwariskan oleh kolonialisme. Mereka tidak hanya penting bagi studi akademik,
tetapi juga bagi praktik sosial-politik kontemporer yang lebih adil dan
inklusif.
Footnotes
[1]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1978),
1–28.
[2]
Ibid., 94–110.
[3]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[4]
Spivak, “Can the Subaltern Speak?”, 287–290.
[5]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 1–5.
[6]
Ibid., 85–92.
[7]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–25.
[8]
Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, trans. Charles Lam
Markmann (New York: Grove Press, 2008), 82–108.
[9]
Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native (London:
Frank Cass, 1977), 7–12.
[10]
Hamid Dabashi, Post-Orientalism: Knowledge and Power in Time of
Terror (New Brunswick: Transaction Publishers, 2009), 15–20.
5.
Konsep-Konsep Kunci dalam Postkolonialisme
Postkolonialisme
sebagai kerangka teoretis dalam filsafat sosial-politik memiliki sejumlah
konsep kunci yang merefleksikan kompleksitas hubungan antara penjajah dan yang
dijajah, serta dinamika kuasa yang terus berlangsung dalam dunia pascakolonial.
Konsep-konsep ini tidak hanya penting untuk memahami struktur warisan kolonial,
tetapi juga untuk merancang strategi dekonstruksi dan emansipasi dalam konteks
global. Berikut adalah konsep-konsep utama yang membentuk fondasi teoritik
postkolonialisme:
5.1.
Orientalisme
Orientalisme
adalah konsep sentral yang diperkenalkan oleh Edward Said dalam bukunya Orientalism
(1978). Said menunjukkan bahwa “Timur” (Orient) bukanlah representasi
objektif atas suatu realitas geografis, melainkan konstruksi budaya yang
diciptakan oleh Barat untuk menegaskan superioritasnya sendiri. Orientalisme berfungsi
sebagai sistem wacana yang menggambarkan Timur sebagai eksotik, irasional,
statis, dan inferior, sekaligus membenarkan proyek kolonial sebagai misi
peradaban1.
Said menjelaskan
bahwa orientalisme tidak hanya bekerja dalam bidang akademik, tetapi juga dalam
sastra, seni, dan kebijakan luar negeri. Dengan kata lain, orientalisme adalah
ekspresi kuasa kultural yang membentuk persepsi global melalui representasi
ideologis2.
5.2.
Subaltern
Konsep subaltern
merujuk pada kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan dan tidak memiliki
akses terhadap kekuasaan representasi, baik dalam struktur kolonial maupun
pascakolonial. Istilah ini dipinjam dari teori Marxis Italia Antonio Gramsci,
namun dikembangkan lebih lanjut oleh Gayatri Chakravorty Spivak
dalam esainya Can the Subaltern Speak? (1988).
Menurut Spivak,
subaltern bukan hanya tidak terdengar, tetapi tidak dapat berbicara karena sistem
representasi dan epistemologi dominan selalu menenggelamkan suaranya3.
Ia memperingatkan bahwa usaha intelektual berbicara atas nama subaltern justru
berisiko mereproduksi kekuasaan kolonial representasional. Konsep ini
memunculkan pertanyaan etis dan metodologis dalam studi postkolonial: siapa
yang berbicara? Atas nama siapa? Dalam kerangka wacana siapa?
5.3.
Hibriditas
Hibriditas
adalah gagasan kunci yang diperkenalkan oleh Homi K. Bhabha untuk
mendeskripsikan kondisi budaya yang terbentuk dari pertemuan antara dunia
kolonial dan terjajah. Bhabha menolak pandangan bahwa identitas budaya bersifat
tetap atau murni. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa identitas pascakolonial
adalah hasil dari negosiasi, pencampuran, dan artikulasi baru yang terus
berubah4.
Hibriditas membuka
ruang resistensi terhadap kekuasaan kolonial melalui subversi makna yang tidak
stabil. Ini bukan sekadar pencampuran budaya, melainkan medan diskursif di mana
makna hegemonik menjadi rentan terhadap reinterpretasi. Dalam konteks ini,
Bhabha memperkenalkan konsep third space (ruang ketiga)
sebagai lokasi di mana subjek pascakolonial dapat mengartikulasikan identitas
dan agensinya secara kreatif dan merdeka5.
5.4.
Mimikri dan
Ambivalensi
Masih dalam kerangka
pemikiran Bhabha, mimikri merujuk pada strategi
subjek kolonial untuk meniru perilaku, nilai, dan norma penjajah. Namun
peniruan ini tidak pernah total; selalu ada perbedaan kecil yang menciptakan
ketegangan. Mimikri menciptakan kondisi ambivalensi—situasi di mana
penjajah merasa terancam oleh subjek yang menyerupainya tetapi tetap berbeda6.
Ambivalensi
menunjukkan bahwa kekuasaan kolonial tidak pernah stabil sepenuhnya; ia selalu
diganggu oleh ketidakkonsistenan internal dan potensi resistensi. Dengan
demikian, mimikri menjadi bentuk protes terselubung yang membongkar
kepura-puraan otoritas kolonial.
5.5.
Dekolonisasi
Pengetahuan
Salah satu tujuan
utama postkolonialisme adalah dekolonisasi pengetahuan, yaitu
upaya untuk membongkar dominasi sistem epistemologis Barat yang telah
dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan yang sah. Dalam konteks
ini, Aníbal
Quijano mengembangkan konsep coloniality of power, yakni
keberlanjutan struktur kolonial dalam ekonomi, budaya, dan pengetahuan global
meski kolonialisme formal telah berakhir7.
Walter
D. Mignolo menegaskan bahwa dekolonisasi bukan hanya bersifat
politik, tetapi juga kognitif dan epistemik. Dekolonisasi pengetahuan menuntut
pengakuan terhadap kosmologi, tradisi intelektual, dan sistem makna dari Global
Selatan, serta desentralisasi logika modernitas Eropa sebagai pusat peradaban8.
5.6.
Identitas
Pascakolonial
Postkolonialisme
menolak pemahaman identitas sebagai kategori esensial, statis, dan murni.
Sebaliknya, identitas dalam konteks pascakolonial bersifat performatif,
kontingen, dan historis. Identitas dikonstruksi melalui relasi kuasa, bahasa,
dan wacana. Karena itu, postkolonialisme mendorong pembacaan identitas secara
kritis, bukan sebagai warisan yang harus dijaga “kemurniannya”, tetapi
sebagai ruang kreatif untuk membangun subyektivitas baru yang bebas dari
determinasi kolonial9.
Kesimpulan Sementara
Konsep-konsep kunci
dalam postkolonialisme membuka jalan untuk membaca ulang relasi kekuasaan
global dan mengartikulasikan strategi perlawanan terhadap warisan kolonial yang
masih hidup dalam berbagai bentuk. Orientalisme, subaltern, hibriditas,
mimikri, dan dekolonisasi pengetahuan bukan sekadar istilah akademik, tetapi
alat teoritik untuk memahami dan menata ulang struktur sosial-politik yang
lebih adil, setara, dan plural. Melalui konsep-konsep ini, postkolonialisme
tidak hanya memetakan ketimpangan historis, tetapi juga menawarkan arah etis
dan politik untuk dunia yang sedang terus bergerak menuju rekonstruksi
identitas global.
Footnotes
[1]
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1978),
1–28.
[2]
Ibid., 94–110.
[3]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[4]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 2–5.
[5]
Ibid., 36–39.
[6]
Ibid., 85–92.
[7]
Aníbal Quijano, “Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin
America,” Nepantla: Views from South 1, no. 3 (2000): 533–580.
[8]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 44–51.
[9]
Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,” in Identity:
Community, Culture, Difference, ed. Jonathan Rutherford (London: Lawrence
& Wishart, 1990), 222–237.
6.
Kritik Terhadap Postkolonialisme
Meskipun
postkolonialisme telah berperan penting dalam mengungkap warisan kolonial dan membongkar
dominasi epistemologis Barat, aliran ini tidak luput dari berbagai kritik, baik
dari kalangan teoretikus kiri, feminis, aktivis Global Selatan, maupun dari
para sarjana yang mengkhawatirkan implikasi politis dan praktis dari
pendekatannya. Kritik terhadap postkolonialisme mencakup aspek teoretis,
metodologis, representasional, hingga politik
praksis. Beberapa di antaranya bahkan mempertanyakan kapasitas
postkolonialisme untuk benar-benar memberikan solusi terhadap ketimpangan
global kontemporer.
6.1.
Elitisme Akademik
dan Jarak dari Realitas Sosial
Salah satu kritik
paling umum terhadap postkolonialisme adalah kecenderungannya yang terlalu abstrak
dan elitis, terjebak dalam diskursus teoretis yang hanya
beredar di kalangan akademisi elite global. Banyak karya postkolonial—terutama
yang menggunakan pendekatan dekonstruktif atau pascamodern—dituding sulit
diakses oleh masyarakat luas yang menjadi subjek perjuangan itu sendiri1.
Arif
Dirlik, dalam kritiknya yang terkenal, menyebut
postkolonialisme sebagai “identitas elit akademik dunia ketiga di dunia
pertama”, yang lebih sibuk dalam merumuskan ulang representasi daripada
menyentuh akar ketimpangan ekonomi dan eksploitasi yang nyata2.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa postkolonialisme telah menjadi bagian
dari industri akademik global yang justru mempertahankan ketimpangan
representasi yang coba dikritiknya.
6.2.
Kekaburan Konsep dan
Ambiguitas Terminologi
Postkolonialisme
juga dikritik karena kekaburan dalam penggunaan konsep-konsep
kuncinya, seperti “Orient”, “subaltern”, “hibriditas”,
dan “dekolonisasi”. Konsep-konsep ini seringkali dipakai dalam kerangka
diskursif yang ambigu dan tidak operasional secara politik atau sosiologis.
Sebagai contoh, mimikri
dan ambivalensi
yang dikembangkan oleh Homi K. Bhabha dianggap terlalu mengambang dan sukar
diterapkan dalam analisis struktural terhadap sistem ketidakadilan global3.
Beberapa kritikus berpendapat bahwa fokus pada ketidaktentuan dan perbedaan
simbolik justru mengaburkan kondisi material penjajahan baru (neokolonialisme)
yang tetap berlangsung dalam bentuk kontrol ekonomi dan politik.
6.3.
Kecenderungan
Cultural Turn dan Pengabaian Aspek Ekonomi
Kritik dari kalangan
Marxis
dan materialis historis menyoroti bahwa postkolonialisme
terlalu terfokus pada dimensi budaya, bahasa, dan representasi, sehingga mengabaikan
struktur ekonomi global yang menjadi warisan langsung
kolonialisme. Mereka menuduh bahwa postkolonialisme telah menggantikan analisis
kelas dan produksi dengan analisis simbolik dan identitas.
Vivek
Chibber, dalam karyanya Postcolonial Theory and the Specter of Capital
(2013), menuduh para pemikir postkolonial seperti Spivak dan Chakrabarty
mengabaikan universalitas struktur kapitalisme global demi menekankan
partikularisme budaya, padahal bentuk eksploitasi ekonomi tetap serupa antara
Dunia Utara dan Selatan4. Kritik ini menekankan
perlunya pendekatan yang menggabungkan analisis budaya dan ekonomi secara lebih
seimbang.
6.4.
Dilema Representasi
dan Bahaya Eksotisasi Baru
Postkolonialisme
sendiri sering dikritik karena terjebak dalam dilema representasi: ketika
berusaha memberikan suara kepada “yang Lain”, sering kali justru menciptakan
bentuk eksotisasi atau reduksi baru terhadap kompleksitas identitas Global
Selatan.
Kritikus seperti Aijaz
Ahmad mengingatkan bahwa tidak semua narasi dari Dunia Ketiga
adalah otomatis subversif atau antikolonial. Ia menyayangkan kecenderungan
menggeneralisasi pengalaman Dunia Ketiga dan menyamakan semua bentuk ekspresi
non-Barat sebagai bentuk resistensi tanpa analisis kontekstual yang kritis5.
Hal ini dapat mengarah pada pembentukan postcolonial essentialism—yakni
anggapan bahwa semua yang berasal dari Dunia Selatan bersifat otentik dan
progresif.
6.5.
Persaingan dengan
Teori Dekolonial dan Epistemologi Selatan
Dalam beberapa dekade
terakhir, teori dekolonial (decolonial
theory) yang dikembangkan oleh para pemikir Amerika Latin seperti Aníbal
Quijano, Walter Mignolo, dan Boaventura
de Sousa Santos, muncul sebagai alternatif terhadap
postkolonialisme. Teori ini mengkritik bahwa postkolonialisme masih beroperasi
dalam kerangka epistemologis Barat dan belum sepenuhnya melakukan epistemic
disobedience.
Mignolo, misalnya,
menilai bahwa postkolonialisme terlalu terjebak pada wacana posmodern dan belum
melakukan radikalisasi terhadap sistem pengetahuan kolonial yang menyatu dengan
modernitas Barat6. Dekolonialitas,
menurutnya, lebih menekankan pada pengetahuan dari lokalitas yang direpresi dan
membuka jalan bagi pluralitas epistemik yang lebih radikal.
6.6.
Ketidakterlibatan
dalam Politik Emansipatoris Konkret
Beberapa aktivis
sosial dan gerakan emansipatoris mengkritik postkolonialisme karena minim
kontribusi terhadap perjuangan konkret seperti keadilan
lingkungan, hak-hak pekerja, atau perjuangan masyarakat adat. Fokus pada
dekonstruksi wacana tidak cukup untuk melawan rezim-rezim represif atau
kapitalisme global yang menindas.
Dalam konteks ini,
postkolonialisme dituntut untuk tidak hanya menjadi “teori kritik”,
tetapi juga menyusun strategi perubahan sosial yang
nyata, serta memperkuat jejaring solidaritas lintas negara dan budaya. Ini
menjadi tantangan penting bagi keberlanjutan postkolonialisme sebagai proyek
filosofis dan politis.
Kesimpulan Sementara
Kritik terhadap
postkolonialisme menunjukkan bahwa meskipun aliran ini telah membuka ruang
penting untuk memahami dan menantang warisan kolonial, ia tidak kebal terhadap
problem internal: mulai dari keterputusan dengan realitas sosial, bias elitis,
hingga kesenjangan antara simbolik dan material. Kritik ini tidak selalu
bersifat destruktif; justru mereka memperkaya postkolonialisme dengan mendorong
pendekatan yang lebih inklusif, lintas disiplin, dan terlibat langsung dalam
perjuangan global melawan ketidakadilan.
Footnotes
[1]
Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction
(New York: Columbia University Press, 1998), 3–5.
[2]
Arif Dirlik, “The Postcolonial Aura: Third World Criticism in the Age
of Global Capitalism,” Critical Inquiry 20, no. 2 (1994): 328–356.
[3]
Benita Parry, “Problems in Current Theories of Colonial Discourse,” Oxford
Literary Review 9, no. 1–2 (1987): 27–58.
[4]
Vivek Chibber, Postcolonial Theory and the Specter of Capital
(London: Verso, 2013), 2–9.
[5]
Aijaz Ahmad, In Theory: Classes, Nations, Literatures (London:
Verso, 1992), 5–12.
[6]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 44–51.
7.
Postkolonialisme dan Kajian Global: Kasus dan
Aplikasi
Postkolonialisme
tidak berhenti sebagai kerangka konseptual abstrak, tetapi telah berkembang
menjadi pendekatan kritis yang diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan
kontemporer, mulai dari pendidikan, media, kebijakan multikultural, hingga
gerakan sosial global. Aplikasi postkolonialisme dalam skala global berfungsi
untuk membaca
ulang relasi kuasa, menganalisis representasi, dan mendekonstruksi
sistem dominasi epistemologis yang masih berlangsung dalam
bentuk-bentuk baru kolonialisme, atau yang disebut dengan neokolonialisme.
Bagian ini menyajikan beberapa bidang penerapan postkolonialisme serta studi
kasus konkret dari berbagai kawasan dunia.
7.1.
Pendidikan dan
Dekolonisasi Kurikulum
Salah satu ruang
penerapan postkolonialisme yang paling signifikan adalah dalam bidang pendidikan,
khususnya dalam upaya dekolonisasi kurikulum. Di banyak
negara bekas jajahan, sistem pendidikan tetap mereproduksi nilai, pengetahuan,
dan perspektif kolonial yang menempatkan Barat sebagai pusat peradaban dan
model universal.
Gerakan seperti “Rhodes
Must Fall” di Afrika Selatan dan Inggris (2015) merupakan contoh
konkret dari penerapan gagasan postkolonial dalam konteks pendidikan. Mahasiswa
menuntut penghapusan simbol-simbol kolonial dan restrukturisasi kurikulum agar
mencerminkan perspektif lokal dan suara yang terpinggirkan1.
Dekolonisasi
kurikulum juga berarti membuka ruang bagi epistemologi non-Barat dan kearifan
lokal dalam pendidikan formal. Ngũgĩ wa Thiong’o, penulis
Kenya yang juga merupakan tokoh postkolonial terkemuka, mendorong pengajaran
dalam bahasa ibu dan penolakan terhadap “penjajahan bahasa” (linguistic
imperialism) sebagai bagian dari resistensi terhadap warisan kolonial2.
7.2.
Media dan
Representasi Budaya
Postkolonialisme
juga digunakan untuk menganalisis bagaimana media dan industri budaya
menyebarkan wacana kolonial yang terselubung melalui film, iklan, literatur,
dan berita. Representasi stereotip terhadap masyarakat Timur, Dunia Ketiga,
atau kelompok etnis tertentu masih dominan dalam budaya populer global.
Dalam film-film
Hollywood, misalnya, masyarakat Arab sering digambarkan sebagai ekstremis,
patriarkal, atau terbelakang, sebagaimana ditunjukkan dalam kritik Jack Shaheen
dalam Reel Bad
Arabs3. Analisis ini memperkuat
klaim Edward Said tentang orientalisme yang terus beroperasi dalam
bentuk-bentuk simbolik kontemporer.
Postkolonialisme
memberikan kerangka analisis untuk menantang dan merevisi narasi-narasi
tersebut, serta memperjuangkan representasi yang lebih akurat, setara, dan
kontekstual terhadap dunia non-Barat.
7.3.
Politik Identitas
dan Multikulturalisme
Dalam masyarakat
plural kontemporer, isu politik identitas sering kali
diwarnai oleh warisan kolonial dalam pembentukan kategori ras, etnis, agama,
dan kewarganegaraan. Postkolonialisme hadir sebagai kritik terhadap proyek
multikulturalisme liberal yang cenderung mereduksi identitas menjadi “komoditas
kultural” yang dapat dipertontonkan tanpa mengubah struktur
ketidaksetaraan.
Sebagai contoh,
kritik terhadap kebijakan multikulturalisme di Prancis dan Inggris
menyoroti bagaimana negara-negara tersebut mengklaim inklusivitas, tetapi pada
saat yang sama mempertahankan sistem hukum dan ekonomi yang mendiskriminasi
kelompok imigran dari bekas koloni4.
Dalam konteks ini,
postkolonialisme membantu mengungkap bagaimana identitas bukan hanya soal
perbedaan budaya, tetapi juga hasil dari sejarah kolonial yang berkelanjutan.
Ia juga mendukung pembentukan identitas yang lebih cair, dialogis, dan politis,
sebagaimana dikembangkan dalam konsep “hibriditas” oleh Homi Bhabha5.
7.4.
Gerakan Sosial
Global dan Solidaritas Transnasional
Postkolonialisme
telah menginspirasi berbagai gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan
global, dekolonisasi struktural, dan solidaritas transnasional. Hal ini tampak
dalam perjuangan rakyat Palestina, Papua,
Kashmir,
atau penduduk
adat Amazon yang berjuang melawan bentuk-bentuk dominasi
negara-bangsa dan korporasi multinasional.
Gerakan Idle No
More di Kanada dan Land Back di Amerika Utara,
misalnya, merupakan manifestasi perjuangan masyarakat adat untuk mengklaim
kembali tanah, budaya, dan kedaulatan mereka yang telah direbut melalui
kolonisasi dan eksklusi hukum6.
Dalam konteks
Indonesia, penerapan postkolonialisme dapat ditemukan dalam wacana tentang Papua
yang mengalami marginalisasi sistemik, baik secara politik, ekonomi, maupun
budaya. Kajian postkolonial memperlihatkan bagaimana identitas Papua
dikonstruksi secara negatif oleh negara pusat dan media dominan, serta
bagaimana mereka memperjuangkan narasi tandingan atas sejarah dan eksistensi
mereka7.
7.5.
Studi Kasus: India,
Aljazair, dan Amerika Latin
·
India:
Di India, postkolonialisme menjadi landasan
penting dalam mengkritik sistem hukum, bahasa, dan struktur sosial
pascakemerdekaan. Karya-karya Dipesh Chakrabarty
dan Partha Chatterjee menyoroti bagaimana India
mengalami “modernitas dalam ketidaksetaraan”—mengadopsi sistem Barat
tetapi tetap menginternalisasi struktur ketimpangan kolonial8.
·
Aljazair:
Dalam konteks Aljazair, pemikiran Frantz
Fanon menjadi inspirasi bagi gerakan dekolonial radikal.
Perjuangan bersenjata melawan Prancis menjadi simbol penting dari dekolonisasi
politik, namun pascakemerdekaan menghadirkan tantangan baru berupa
neokolonialisme ekonomi dan elitisme nasional9.
·
Amerika
Latin:
Di kawasan ini, teori dekolonial
menjadi lebih menonjol daripada postkolonialisme. Namun, semangat keduanya
sejalan dalam membongkar warisan kolonial dan membangun sistem pengetahuan baru
yang berakar pada pengalaman pribumi dan lokalitas Latin Amerika10.
Kesimpulan Sementara
Postkolonialisme
sebagai pendekatan filsafat sosial-politik tidak hanya bersifat reflektif,
tetapi juga aplikatif. Dalam konteks global, ia digunakan untuk menganalisis
dan menanggapi beragam bentuk dominasi yang tersisa dari kolonialisme klasik
maupun yang hadir dalam bentuk neokolonialisme. Melalui pendidikan, media, politik
identitas, dan gerakan sosial, postkolonialisme terus menjadi alat kritik
sekaligus inspirasi perubahan struktural menuju dunia yang lebih adil,
pluralistik, dan setara.
Footnotes
[1]
Simukai Chigudu, “Rhodes Must Fall: Oxford and Movements for Decolonisation,”
Oxford Development Studies 45, no. 1 (2017): 1–23.
[2]
Ngũgĩ wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language
in African Literature (Portsmouth: Heinemann, 1986), 4–7.
[3]
Jack Shaheen, Reel Bad Arabs: How Hollywood Vilifies a People
(Northampton: Interlink, 2001), 15–25.
[4]
Tariq Modood, Multiculturalism: A Civic Idea (Cambridge:
Polity Press, 2007), 52–60.
[5]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 113–121.
[6]
Glen Coulthard, Red Skin, White Masks: Rejecting the Colonial
Politics of Recognition (Minneapolis: University of Minnesota Press,
2014), 10–16.
[7]
Budi Hernawan, “Papua, Coloniality, and the Challenge of Decolonization
in Indonesia,” The International Journal of Human Rights 23, no. 10
(2019): 1581–1600.
[8]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
3–6.
[9]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 29–45.
[10]
Walter D. Mignolo, The Idea of Latin America (Malden:
Blackwell, 2005), 13–19.
8.
Interseksi dengan Wacana Sosial-Politik Lain
Postkolonialisme
sebagai arus pemikiran tidak berdiri secara terisolasi. Ia berkembang melalui
dialog kritis dengan berbagai aliran filsafat sosial-politik lain, baik sebagai
kolaborator maupun sebagai korektor. Dalam bagian ini akan dibahas interseksi
antara postkolonialisme dengan feminisme, Marxisme,
postmodernisme,
dan teori
dekolonial, mengingat keterkaitan dan ketegangan antar-wacana
tersebut sangat menentukan arah diskursus kritis kontemporer.
8.1.
Postkolonialisme dan
Feminisme: Perempuan, Kolonialisme, dan Representasi
Interseksi antara
postkolonialisme dan feminisme memunculkan feminisme postkolonial, suatu
pendekatan yang mengkritik bias etnosentris dalam feminisme Barat yang sering
mengabaikan perbedaan historis dan kultural perempuan di Dunia Selatan. Para
pemikir seperti Chandra Talpade Mohanty dan Gayatri
Chakravorty Spivak menekankan bahwa representasi perempuan
Dunia Ketiga sebagai “korban pasif” justru mereproduksi wacana kolonial
dan paternalistik1.
Dalam esai terkenal Under
Western Eyes, Mohanty menunjukkan bahwa wacana feminis Barat kerap
menyamaratakan pengalaman perempuan tanpa mempertimbangkan konteks lokal,
kelas, ras, dan sejarah kolonial2. Sementara itu, Spivak
dalam Can the
Subaltern Speak? mengkritik pengabaian terhadap suara perempuan
subaltern yang terjebak dalam struktur representasi hegemonik, baik kolonial
maupun nasionalis3.
Feminisme
postkolonial menuntut pengakuan terhadap agensi perempuan dari Global Selatan
dan perlunya strategi emansipasi yang berakar pada pengalaman lokal dan relasi
kuasa spesifik. Dengan demikian, ia memperkaya kajian postkolonial sekaligus
memperluas cakupan feminisme menjadi lebih plural dan kontekstual.
8.2.
Postkolonialisme dan
Marxisme: Kapitalisme Global dan Perbedaan Pendekatan
Relasi antara
postkolonialisme dan Marxisme penuh dengan dinamika dialog dan kritik. Di satu
sisi, keduanya sama-sama mengkritik struktur kekuasaan global dan warisan
kolonialisme. Namun di sisi lain, mereka berbeda dalam titik
tekan dan pendekatan metodologis.
Marxisme menekankan analisis
kelas dan produksi material dalam memahami penjajahan dan
ketimpangan global, sedangkan postkolonialisme lebih fokus pada representasi,
bahasa, dan identitas. Kritik paling tajam terhadap
postkolonialisme dari perspektif Marxis disuarakan oleh Vivek
Chibber, yang dalam bukunya Postcolonial Theory and the Specter of Capital
menyatakan bahwa teori postkolonial terlalu menekankan partikularisme kultural
dan gagal menangkap logika universal kapitalisme4.
Namun, para pemikir
seperti Dipesh Chakrabarty justru
berupaya mempertemukan keduanya. Dalam Provincializing Europe, ia
mengusulkan agar Marxisme dikontekstualisasikan dengan pengalaman historis
Dunia Selatan tanpa menafikan struktur ekonomi global5.
Interseksi ini menegaskan perlunya pendekatan yang dialektis
antara pembacaan budaya dan ekonomi dalam menganalisis kolonialisme dan
dampaknya yang berkelanjutan.
8.3.
Postkolonialisme dan
Postmodernisme: Kritik atas Narasi Besar dan Identitas Esensialis
Postkolonialisme
juga beririsan dengan postmodernisme, terutama dalam
hal kritik terhadap narasi besar, identitas
esensialis, dan klaim universalisme pengetahuan modern Barat. Keduanya
menekankan fragmentasi, perbedaan, dan dekonstruksi atas kebenaran tunggal.
Pemikir postkolonial
seperti Homi Bhabha mengadopsi
pendekatan poststrukturalis dalam memahami budaya dan kekuasaan. Ia menolak
gagasan tentang identitas nasional atau budaya yang utuh dan justru menyoroti ruang
antara sebagai tempat resistensi dan pembentukan subjektivitas
baru6.
Namun, beberapa
kritikus memperingatkan bahwa keterkaitan postkolonialisme dengan
postmodernisme berpotensi melemahkan komitmen politik yang jelas. Dengan
terlalu menekankan relativisme, postkolonialisme bisa kehilangan arah normatif
dan praksis transformatif yang dibutuhkan dalam perjuangan emansipatoris nyata7.
8.4.
Postkolonialisme dan
Teori Dekolonial: Persilangan dan Divergensi
Salah satu dialog
paling penting dalam wacana kontemporer adalah antara postkolonialisme
dan teori
dekolonial (decolonial theory), terutama yang berkembang di
Amerika Latin. Kedua pendekatan ini sama-sama berupaya membongkar warisan
kolonial, tetapi memiliki akar sejarah dan orientasi epistemologis yang
berbeda.
Teori
dekolonial—dengan tokoh-tokohnya seperti Aníbal
Quijano, Walter D. Mignolo, dan Boaventura
de Sousa Santos—berangkat dari kritik terhadap kolonialitas
sebagai dimensi permanen dari modernitas. Mereka menyerukan pembongkaran
total epistemologi Barat dan pembentukan pluriversitas
pengetahuan yang diakui secara setara8.
Sementara itu,
postkolonialisme dinilai oleh para pemikir dekolonial sebagai masih terlalu
bergantung pada bahasa dan kerangka kerja akademik Barat. Walter Mignolo,
misalnya, menyebut postkolonialisme sebagai “intervensi dalam modernitas
dari dalam”, sedangkan dekolonialitas sebagai “penolakan terhadap
modernitas dari luar”9.
Meski berbeda
orientasi, keduanya dapat saling memperkaya: postkolonialisme menawarkan alat
analisis budaya dan representasi yang tajam, sementara teori dekolonial
menyediakan kritik sistemik terhadap epistemologi global dan tata dunia
pascakolonial.
Kesimpulan Sementara
Interseksi antara
postkolonialisme dan wacana sosial-politik lain menunjukkan kekayaan dan
kompleksitas pendekatan ini dalam menghadapi tantangan global. Hubungan kritis
dengan feminisme, Marxisme, postmodernisme, dan teori dekolonial menguatkan
posisi postkolonialisme sebagai medan reflektif yang terus berkembang dan membuka
ruang untuk hibridisasi teoretis serta koalisi
strategis dalam perjuangan melawan ketidakadilan struktural,
baik dalam tataran ideologis maupun praksis sosial-politik.
Footnotes
[1]
Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing
Theory, Practicing Solidarity (Durham: Duke University Press, 2003), 2–4.
[2]
Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial
Discourses,” Feminist Review 30 (1988): 61–88.
[3]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Marxism
and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg
(Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[4]
Vivek Chibber, Postcolonial Theory and the Specter of Capital
(London: Verso, 2013), 2–15.
[5]
Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe: Postcolonial Thought
and Historical Difference (Princeton: Princeton University Press, 2000),
3–7.
[6]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 113–121.
[7]
Benita Parry, “Problems in Current Theories of Colonial Discourse,” Oxford
Literary Review 9, no. 1–2 (1987): 27–58.
[8]
Walter D. Mignolo and Catherine E. Walsh, On Decoloniality:
Concepts, Analytics, Praxis (Durham: Duke University Press, 2018), 16–18.
[9]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 44–51.
9.
Relevansi Postkolonialisme dalam Dunia
Kontemporer
Meskipun
kolonialisme formal telah berakhir secara politik di sebagian besar wilayah
dunia, warisannya tetap mengakar dalam berbagai dimensi kehidupan global. Dalam
dunia kontemporer yang ditandai oleh globalisasi ekonomi, konflik identitas, krisis
migrasi, dan dominasi epistemik, postkolonialisme menjadi
semakin relevan sebagai kerangka kritis untuk menelaah
dinamika kekuasaan yang tersembunyi dalam struktur politik, budaya, dan
pengetahuan modern. Postkolonialisme membantu membongkar keberlanjutan “kolonialitas”
dalam wujud baru dan memberikan fondasi bagi upaya dekolonisasi yang lebih
substansial.
9.1.
Warisan Kolonial
dalam Sistem Global dan Neokolonialisme
Di era globalisasi,
praktik kolonial tidak sepenuhnya menghilang, melainkan mengalami transformasi
bentuk melalui mekanisme ekonomi, diplomasi, dan teknologi.
Dominasi perusahaan multinasional, utang luar negeri, dan ketimpangan akses
terhadap teknologi serta pasar global mereproduksi struktur ketergantungan khas
kolonial.
Konsep “coloniality
of power” yang diperkenalkan oleh Aníbal
Quijano menegaskan bahwa kolonialisme menciptakan sistem hierarki
rasial dan epistemologis yang tetap hidup meskipun penjajahan formal telah
berakhir1. Hal ini terlihat dalam hubungan antara
negara-negara Global Utara dan Selatan, di mana proses eksploitasi dan
marginalisasi masih berlangsung dalam bentuk neokolonialisme.
9.2.
Krisis Migrasi,
Rasisme, dan Politik Identitas
Krisis migrasi yang
melanda Eropa, Amerika Utara, dan wilayah lain sejak dekade 2010-an
memperlihatkan bagaimana narasi kolonial tentang “yang
Lain” masih mempengaruhi kebijakan dan opini publik. Imigran dari bekas
koloni sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap “identitas nasional”,
mencerminkan warisan orientalisme dan xenofobia kolonial.
Postkolonialisme
relevan untuk membongkar konstruksi identitas nasional yang eksklusif dan
menunjukkan bagaimana narasi rasisme struktural dibentuk oleh sejarah
kolonialisme. Seperti dijelaskan oleh Achille Mbembe,
pascakolonialisme mengungkap bagaimana subjek dari Dunia Selatan tetap berada
dalam posisi “tidak sah” dalam tatanan global yang mendasarkan diri pada
batas-batas rasial dan budaya2.
9.3.
Epistemologi Global
dan Dekolonisasi Pengetahuan
Dalam dunia akademik
dan produksi pengetahuan, postkolonialisme memegang peran strategis dalam
mendorong dekolonisasi epistemik.
Dominasi epistemologi Barat sebagai patokan universal dalam ilmu pengetahuan
mulai dipertanyakan melalui pendekatan postkolonial dan dekolonial yang
menuntut pengakuan terhadap pluralitas epistemik.
Gerakan dekolonisasi
kurikulum yang berkembang di universitas-universitas di Afrika, Amerika Latin,
dan Asia menandai kesadaran bahwa ilmu pengetahuan tidak netral, tetapi sarat
dengan sejarah kolonial yang menyaring siapa yang boleh berbicara dan apa yang
boleh dikatakan3. Postkolonialisme
memberikan alat teoritis untuk membongkar struktur ini dan memperjuangkan produksi
pengetahuan alternatif yang kontekstual dan berakar lokal.
9.4.
Lingkungan Hidup dan
Ekologi Pascakolonial
Krisis lingkungan
global juga memperlihatkan dimensi postkolonial. Banyak wilayah Dunia Selatan
menjadi sasaran eksploitasi sumber daya alam
oleh perusahaan-perusahaan multinasional atas nama pembangunan dan modernisasi.
Dalam konteks ini, postkolonialisme memperluas analisisnya ke ranah ekologi
politik, menyoroti hubungan antara kolonialisme, eksploitasi
lingkungan, dan ketidakadilan ekologis4.
Dekolonisasi dalam
bidang ekologi tidak hanya berarti menghentikan perusakan lingkungan, tetapi
juga menghargai pengetahuan ekologis lokal, spiritualitas tradisional, dan
hubungan komunitas adat dengan alam. Gagasan ini diperkuat dalam pendekatan “epistemologies
of the South” yang dikembangkan oleh Boaventura
de Sousa Santos5.
9.5.
Ruang Digital,
Representasi Global, dan Postkolonialisme Siber
Di era digital,
postkolonialisme mendapat ruang baru dalam analisis dunia maya dan media sosial.
Internet tidak bebas dari bias kolonial; algoritma, infrastruktur teknologi,
dan representasi daring sering kali mereproduksi ketimpangan global dan narasi
hegemonik. Misalnya, dominasi bahasa Inggris dan platform teknologi dari negara
Global Utara mencerminkan kolonisasi digital6.
Postkolonialisme
digital (digital postcolonialism) menjadi pendekatan penting untuk menganalisis
bagaimana teknologi informasi dapat digunakan secara emansipatoris, namun juga
berpotensi menjadi alat reproduksi kekuasaan lama. Ia mengajak untuk
merefleksikan kembali politik akses, produksi konten, dan sirkulasi
wacana di dunia siber.
9.6.
Solidaritas
Transnasional dan Gerakan Sosial Global
Dalam lanskap
gerakan sosial global, postkolonialisme tetap relevan sebagai sumber inspirasi
bagi solidaritas
lintas batas. Gerakan seperti Black Lives Matter, Idle No
More, serta perjuangan masyarakat adat dan imigran di seluruh
dunia, menunjukkan bagaimana ketidakadilan rasial dan kolonial masih menjadi
realitas sehari-hari.
Postkolonialisme
membantu membingkai perjuangan tersebut sebagai bagian dari proses dekolonisasi
yang belum selesai. Ia menegaskan bahwa kolonialisme bukan sekadar sejarah, tetapi
struktur hidup yang masih mengatur relasi kekuasaan dalam skala
global.
Kesimpulan Sementara
Dalam dunia
kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, krisis ekologis, konflik identitas,
dan ketimpangan pengetahuan, postkolonialisme menawarkan perangkat teoritis dan
etis untuk memahami serta mengintervensi realitas yang kompleks tersebut. Ia
menegaskan bahwa warisan kolonial tidak hanya hadir dalam bentuk arsitektur
atau sejarah, melainkan juga dalam cara kita berpikir, mengelola, dan
menghidupi dunia. Dengan demikian, postkolonialisme tetap vital sebagai wacana
filsafat sosial-politik yang hidup dan kontributif dalam membentuk dunia yang
lebih adil, inklusif, dan sadar sejarah.
Footnotes
[1]
Aníbal Quijano, “Coloniality of Power, Eurocentrism, and Latin
America,” Nepantla: Views from South 1, no. 3 (2000): 533–580.
[2]
Achille Mbembe, Necropolitics, trans. Steven Corcoran (Durham:
Duke University Press, 2019), 65–74.
[3]
Walter D. Mignolo and Catherine E. Walsh, On Decoloniality:
Concepts, Analytics, Praxis (Durham: Duke University Press, 2018), 98–104.
[4]
Rob Nixon, Slow Violence and the Environmentalism of the Poor
(Cambridge: Harvard University Press, 2011), 1–3.
[5]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 2–8.
[6]
Paola Ricaurte, “Data Epistemologies, The Coloniality of Power, and
Resistance,” Television & New Media 20, no. 4 (2019): 350–365.
10.
Penutup
Postkolonialisme
telah berkembang menjadi salah satu pendekatan paling signifikan dalam filsafat
sosial-politik kontemporer, tidak hanya karena kemampuannya dalam membongkar
warisan kolonial yang terus bekerja dalam bentuk
neokolonialisme, tetapi juga karena kontribusinya dalam membuka cakrawala baru
terhadap persoalan identitas, representasi, kekuasaan, dan
epistemologi. Dengan memusatkan perhatian pada cara-cara di
mana kolonialisme membentuk dunia modern secara mendalam dan sistemik,
postkolonialisme tidak hanya bertindak sebagai kritik atas sejarah dominasi,
tetapi juga sebagai proyek dekolonisasi pengetahuan dan praksis.
Sebagaimana dibahas
dalam bagian-bagian sebelumnya, postkolonialisme tidak sekadar menelaah masa
lalu, tetapi menghadirkan analisis kritis terhadap struktur global saat
ini—mulai dari pendidikan, media, lingkungan, hingga migrasi
dan teknologi digital. Teori ini menjelaskan bagaimana
kolonialisme tidak berhenti ketika kekuasaan kolonial ditarik mundur, melainkan
berlanjut melalui kolonialitas kekuasaan, pengetahuan, dan
keberadaan yang masih hidup dalam sistem global neoliberal,
relasi antarbangsa, dan struktur domestik negara pascakolonial1.
Dengan kontribusi
pemikiran dari tokoh-tokoh seperti Edward Said, Gayatri Spivak, Homi Bhabha,
Frantz Fanon, dan Ngũgĩ wa Thiong’o, postkolonialisme
memperluas jangkauan refleksi filosofis dan memperkaya pendekatan kritis dalam
kajian sosial-politik. Dalam perkembangannya, pendekatan ini juga terus
berdialog dan berinteraksi secara produktif dengan feminisme, Marxisme, teori
dekolonial, serta gerakan sosial global, meskipun tidak lepas dari berbagai
kritik internal dan eksternal2.
Namun, penting untuk
disadari bahwa postkolonialisme sendiri bukanlah doktrin tunggal atau sistem
pemikiran yang tertutup. Sebaliknya, ia bersifat plural,
kontekstual, dan terus berkembang. Berbagai kritik terhadap
elitisme akademik, bias teoritis, serta kurangnya hubungan langsung dengan
praksis politik justru menjadi pengingat bahwa teori ini harus terus bersifat
reflektif dan terbuka terhadap koreksi serta inovasi metodologis.
Relevansi
postkolonialisme dalam dunia kontemporer ditentukan oleh kemampuannya untuk mewujudkan
solidaritas global, mengartikulasikan perlawanan dari pinggiran,
dan menggagas
kemungkinan-kemungkinan masa depan yang lebih adil secara
sosial, ekonomi, dan epistemologis. Dalam dunia yang masih ditandai oleh
ketimpangan struktural dan konflik identitas akibat sejarah kolonial, postkolonialisme
bukan hanya dibutuhkan, tetapi juga semakin mendesak sebagai
orientasi kritis dan praksis transformatif.
Dengan demikian,
postkolonialisme tetap menjadi salah satu instrumen filosofis yang paling
penting dalam membayangkan ulang politik global: bukan untuk meromantisasi masa
lalu, tetapi untuk menata ulang masa depan di atas
landasan keadilan, keberagaman, dan penghargaan atas pluralitas manusia.
Footnotes
[1]
Walter D. Mignolo, The Darker Side of Western Modernity: Global
Futures, Decolonial Options (Durham: Duke University Press, 2011), 7–11.
[2]
Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction
(New York: Columbia University Press, 1998), 165–170.
Daftar Pustaka
Ahmad, A. (1992). In
theory: Classes, nations, literatures. Verso.
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Chakrabarty, D. (2000). Provincializing
Europe: Postcolonial thought and historical difference. Princeton
University Press.
Chibber, V. (2013). Postcolonial
theory and the specter of capital. Verso.
Chigudu, S. (2017). Rhodes
Must Fall: Oxford and movements for decolonisation. Oxford Development
Studies, 45(1), 1–23. https://doi.org/10.1080/13600818.2016.1224051
Coulthard, G. S. (2014). Red
skin, white masks: Rejecting the colonial politics of recognition.
University of Minnesota Press.
de Sousa Santos, B. (2014).
Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Routledge.
Dirlik, A. (1994). The
postcolonial aura: Third World criticism in the age of global capitalism. Critical
Inquiry, 20(2), 328–356. https://doi.org/10.1086/448714
Fanon, F. (2004). The
wretched of the earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press. (Original work
published 1961)
Fanon, F. (2008). Black
skin, white masks (C. L. Markmann, Trans.). Grove Press. (Original work
published 1952)
Gandhi, L. (1998). Postcolonial
theory: A critical introduction. Columbia University Press.
Mbembe, A. (2019). Necropolitics
(S. Corcoran, Trans.). Duke University Press.
Mignolo, W. D. (2005). The
idea of Latin America. Blackwell.
Mignolo, W. D. (2011). The
darker side of Western modernity: Global futures, decolonial options. Duke
University Press.
Mignolo, W. D., &
Walsh, C. E. (2018). On decoloniality: Concepts, analytics, praxis.
Duke University Press.
Mohanty, C. T. (1988).
Under Western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Feminist
Review, 30, 61–88. https://doi.org/10.1057/fr.1988.42
Mohanty, C. T. (2003). Feminism
without borders: Decolonizing theory, practicing solidarity. Duke
University Press.
Modood, T. (2007). Multiculturalism:
A civic idea. Polity Press.
Nixon, R. (2011). Slow
violence and the environmentalism of the poor. Harvard University Press.
Parry, B. (1987). Problems
in current theories of colonial discourse. Oxford Literary Review,
9(1–2), 27–58.
Quijano, A. (2000).
Coloniality of power, Eurocentrism, and Latin America. Nepantla: Views from
South, 1(3), 533–580.
Ricaurte, P. (2019). Data
epistemologies, the coloniality of power, and resistance. Television &
New Media, 20(4), 350–365. https://doi.org/10.1177/1527476419831640
Said, E. W. (1978). Orientalism.
Vintage Books.
Shaheen, J. G. (2001). Reel
bad Arabs: How Hollywood vilifies a people. Interlink.
Spivak, G. C. (1988). Can
the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and
the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Thiong’o, N. wa. (1986). Decolonising
the mind: The politics of language in African literature. Heinemann.
Young, R. J. C. (2001). Postcolonialism:
An historical introduction. Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar