Kamis, 12 Juni 2025

Fenomenalisme: Antara Realitas dan Persepsi

Fenomenalisme

Antara Realitas dan Persepsi


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji fenomenalisme sebagai salah satu aliran dalam cabang filsafat ontologi yang memandang bahwa eksistensi suatu objek bergantung pada kemungkinan atau aktualitas pengalaman perseptual terhadapnya. Fenomenalisme menempati posisi epistemologis dan ontologis yang menengahi antara realisme dan idealisme, dengan menekankan bahwa realitas tidak dapat dilepaskan dari pengalaman subjektif. Kajian ini diawali dengan pengantar teoritis mengenai ontologi dan perbedaan pandangan metafisik mendasar, kemudian dilanjutkan dengan penjabaran pengertian dan prinsip dasar fenomenalisme, serta telaah atas akar historis dan perkembangan aliran ini melalui tokoh-tokoh penting seperti George Berkeley, Immanuel Kant, John Stuart Mill, dan A. J. Ayer. Selain itu, artikel ini juga membahas kritik-kritik terhadap fenomenalisme, termasuk dari filsafat realis, analitik, dan ilmu saraf kognitif, yang menunjukkan keterbatasan reduksionisme pengalaman. Meskipun demikian, fenomenalisme tetap relevan dalam diskursus kontemporer, terutama dalam fenomenologi, filsafat pikiran, serta kajian mengenai realitas virtual dan ontologi digital. Dengan pendekatan analitis-kritis dan sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini menyimpulkan bahwa fenomenalisme tetap merupakan kerangka penting dalam menjelaskan relasi antara realitas dan persepsi dalam dunia yang semakin kompleks secara epistemologis dan teknologis.

Kata Kunci: Fenomenalisme, Ontologi, Persepsi, Realitas, George Berkeley, Immanuel Kant, Epistemologi, Realitas Virtual, Filsafat Pikiran, Fenomenologi.


PEMBAHASAN

Fenomenalisme dalam Filsafat Ontologi


1.           Pendahuluan

Filsafat sebagai disiplin pengetahuan yang menelaah pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, dan realitas, telah lama tertarik pada masalah hubungan antara kesadaran manusia dan realitas objektif. Salah satu cabang utama filsafat yang mengkaji persoalan ini adalah ontologi, yakni kajian tentang hakikat keberadaan dan struktur realitas secara umum. Dalam kerangka ontologi, muncul berbagai pendekatan metafisis yang mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya "ada" — apakah realitas bersifat material, spiritual, mental, atau hanya representasi dari pengalaman subjektif.

Salah satu aliran penting dalam diskursus ontologis adalah fenomenalisme, yang berpendapat bahwa eksistensi suatu objek bergantung pada kemungkinan atau aktualitas pengalaman perseptual terhadapnya. Dengan kata lain, fenomenalisme menyatakan bahwa segala yang dapat dikatakan ada, pada dasarnya adalah kumpulan fenomena — yaitu kesan-kesan pengalaman inderawi yang dialami oleh subjek. Seperti yang dinyatakan oleh George Berkeley, salah satu perintis utama pendekatan ini, "esse est percipi" (untuk menjadi adalah untuk dipersepsi).¹ Pandangan ini menantang asumsi realisme naif yang menganggap bahwa dunia luar eksis secara independen dari pikiran atau persepsi manusia.

Fenomenalisme berkembang dalam konteks ketegangan antara dua kutub besar pemikiran metafisik, yaitu idealisme dan realisme. Bila realisme mengandaikan keberadaan dunia objektif yang independen dari pikiran, maka idealisme menyatakan bahwa realitas adalah konstruksi mental atau spiritual. Fenomenalisme mengambil posisi yang cenderung lebih dekat kepada idealisme, namun menekankan aspek empiris: realitas dipahami bukan sekadar sebagai ide, melainkan sebagai konstelasi pengalaman-pengalaman empiris yang saling berkaitan.² Pendekatan ini tidak hanya memiliki akar dalam pemikiran filsuf seperti Berkeley dan Kant, tetapi juga dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti John Stuart Mill dan A.J. Ayer dalam konteks filsafat analitik dan empirisme logis.³

Kajian terhadap fenomenalisme menjadi relevan bukan hanya dalam konteks perdebatan metafisika klasik, tetapi juga dalam wacana kontemporer mengenai filsafat pikiran, fenomenologi, dan epistemologi ilmu pengetahuan. Dalam era di mana simulasi digital, realitas virtual, dan kecerdasan buatan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, pertanyaan tentang apa yang sungguh-sungguh "nyata" dan bagaimana kita mengetahuinya semakin mendesak untuk ditelaah secara kritis. Fenomenalisme, dengan fokusnya pada pengalaman sebagai dasar ontologis, menawarkan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menginterogasi fenomena-fenomena ini secara filosofis.

Melalui artikel ini, akan diuraikan secara sistematis pengertian fenomenalisme, akar historisnya, kontribusi para pemikir kunci, serta kritik dan relevansi kontemporernya. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana fenomenalisme menjawab pertanyaan klasik dalam ontologi: apakah realitas itu, dan bagaimana kita mengetahuinya?


Catatan Kaki

[1]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing, 1982), 25.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 193–201.

[3]                A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London: Macmillan, 1940), 33–35; John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865), 258–262.


2.           Kerangka Teoretis Ontologi

Secara etimologis, istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani ontos (yang ada) dan logos (ilmu, kajian). Dalam konteks filsafat, ontologi merujuk pada cabang metafisika yang membahas hakikat eksistensi, kategori-kategori dasar dari sesuatu yang ada, serta relasi antar entitas dalam realitas.¹ Ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: apa yang sungguh-sungguh ada?, apakah yang kita sebut “realitas” itu eksis secara objektif?, dan bagaimana struktur dasar dari yang ada itu dibentuk atau dikenali?

Dalam sejarah pemikiran filsafat, ontologi tidak dapat dilepaskan dari perdebatan antara beberapa pendekatan utama, yakni realisme, idealisme, dan fenomenalisme, yang masing-masing menawarkan cara pandang berbeda mengenai relasi antara subjek dan objek, antara pikiran dan dunia luar.

2.1.       Realisme

Realisme dalam filsafat ontologi berpandangan bahwa objek-objek di dunia luar eksis secara independen dari pikiran atau persepsi manusia. Dalam versi yang paling sederhana, realisme menyatakan bahwa meja, pohon, dan gunung tetap ada bahkan jika tidak sedang dipersepsi oleh siapa pun.² Pandangan ini umumnya diasosiasikan dengan filsuf-filsuf seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, dan lebih modern lagi, G. E. Moore.³ Realisme memberikan pijakan kuat bagi sains dan pengetahuan objektif, namun dikritik karena mengabaikan peran aktif kesadaran dalam konstruksi pengetahuan.

2.2.       Idealisme

Sebaliknya, idealisme menegaskan bahwa realitas pada hakikatnya bersifat mental atau spiritual. Segala sesuatu yang dianggap eksis, menurut idealisme, adalah bentuk dari ide atau representasi mental. George Berkeley, sebagai tokoh idealis radikal, menolak keberadaan materi yang tidak dipersepsi: “To be is to be perceived.”⁴ Idealisme menekankan peran kesadaran dalam membentuk dunia, namun dituduh jatuh dalam solipsisme—yakni pandangan bahwa hanya pikiran sendiri yang dapat diyakini eksistensinya.

2.3.       Fenomenalisme

Fenomenalisme muncul sebagai upaya untuk menjembatani dua ekstrem di atas. Dalam kerangka ini, ontologi tidak mendasarkan eksistensi pada benda material yang mandiri (seperti dalam realisme), dan tidak pula mereduksi semua realitas menjadi pikiran murni (seperti dalam idealisme). Sebaliknya, fenomenalisme berpandangan bahwa segala yang ada hanyalah sekumpulan fenomena, yakni kesan-kesan inderawi atau kemungkinan persepsi.⁵ Dengan demikian, eksistensi objek ditentukan oleh kemungkinannya untuk dapat dipersepsi dalam konteks tertentu oleh subjek rasional.

Dalam pendekatan fenomenalis, eksistensi suatu objek adalah fungsi dari relasi antar pengalaman-pengalaman inderawi. Misalnya, mengatakan bahwa "ada meja di ruangan" sama artinya dengan menyatakan bahwa jika seseorang masuk ke ruangan, mengarahkan pandangan ke sudut tertentu, maka ia akan mengalami serangkaian sensasi visual dan taktil yang konsisten dengan “meja.”⁶ A.J. Ayer mengembangkan fenomenalisme ini dalam kerangka empirisme logis, dengan menekankan bahwa pernyataan ontologis hanya bermakna sejauh dapat direduksi pada laporan-laporan pengalaman langsung.⁷

Dengan demikian, fenomenalisme dalam ontologi merupakan pendekatan yang bersifat mediatif dan operasional: ia menyederhanakan struktur realitas menjadi kemungkinan pengalaman, tanpa harus mengklaim realitas sebagai entitas metafisik mutlak ataupun sebagai entitas murni mental. Ini menjadikannya penting dalam memahami epistemologi modern, terutama dalam kaitannya dengan fenomena persepsi, kesadaran, dan struktur pengalaman manusia.


Catatan Kaki

[1]                Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2015), 1–5.

[2]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 100–102.

[3]                G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48 (1903): 433–453.

[4]                George Berkeley, Three Dialogues Between Hylas and Philonous, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 35–38.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 155–164.

[6]                A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London: Macmillan, 1940), 41–44.

[7]                Ibid., 67–69.


3.           Pengertian dan Prinsip Dasar Fenomenalisme

Fenomenalisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat, khususnya dalam ranah ontologi dan epistemologi, yang menyatakan bahwa segala eksistensi objek eksternal tidak lain adalah sekumpulan fenomena atau kesan-kesan pengalaman yang dialami oleh subjek. Dalam pendekatan ini, objek fisik tidak memiliki eksistensi independen di luar kemungkinan atau aktualitas pengalaman inderawi. Dengan kata lain, mengatakan bahwa "meja itu ada" berarti menyatakan bahwa "jika seseorang mengarahkan persepsinya ke suatu lokasi dalam kondisi tertentu, maka ia akan mengalami kesan penglihatan, rabaan, dan pengalaman lainnya yang konsisten dengan 'meja'.

Prinsip sentral dalam fenomenalisme sering kali dirumuskan dalam pernyataan “esse est percipi” (to be is to be perceived), yang diperkenalkan oleh George Berkeley.² Baginya, benda-benda materi tidak memiliki keberadaan objektif di luar pikiran yang memersepsikannya. Dunia fisik, menurut Berkeley, terdiri dari ide-ide yang tertanam dalam pikiran-pikiran dan terpelihara dalam pikiran Tuhan. Meskipun pandangannya sering dianggap sebagai bentuk idealisme subjektif, pemikirannya membuka jalan bagi perumusan fenomenalisme modern yang lebih sistematis dan empiris.

Dalam perkembangan selanjutnya, fenomenalisme mengalami reformulasi yang lebih logis dan operasional, terutama dalam tradisi empirisme logis. Tokoh seperti John Stuart Mill menyatakan bahwa benda-benda fisik dapat didefinisikan sebagai gugusan permanen dari kemungkinan sensasi (permanent possibilities of sensation).³ Misalnya, konsep “batu” tidak menunjuk pada entitas material mutlak, melainkan pada kemungkinan bahwa, jika disentuh atau dilihat dalam kondisi tertentu, subjek akan mengalami sensasi tertentu.⁴

Reformulasi ini diperkuat oleh A.J. Ayer, seorang filsuf dari mazhab filsafat analitik dan positivisme logis. Ayer menekankan bahwa pernyataan tentang benda-benda fisik harus dapat direduksi secara logis kepada laporan-laporan pengamatan empiris.⁵ Dengan demikian, fenomenalisme menyediakan model ontologis yang sangat erat terkait dengan pengalaman dan pengamatan, serta berupaya meminimalkan postulat metafisik tentang dunia luar yang tidak terjangkau langsung oleh kesadaran.

Ciri khas fenomenalisme adalah:

·                     Anti-realisme metafisik: objek fisik tidak dianggap sebagai entitas yang eksis secara mandiri di luar kemungkinan persepsi.

·                     Reduksionisme epistemologis: semua pengetahuan tentang dunia disusun dari data pengalaman inderawi atau kesan fenomenal.

·                     Struktur konseptual berbasis pengalaman: konsep-konsep seperti “meja”, “gunung”, atau “laut” adalah konstruksi linguistik yang merujuk pada pola-pola pengalaman tertentu yang stabil dan berulang.

Namun, penting dicatat bahwa fenomenalisme bukan sekadar teori persepsi, melainkan juga mencakup klaim ontologis: bahwa hakikat “yang ada” adalah apa yang dapat dipersepsi atau mungkin untuk dipersepsi. Ini menjadikan fenomenalisme sebagai posisi yang menarik dalam filsafat ontologi, terutama dalam menghadapi tantangan skeptisisme terhadap dunia luar dan dalam menjembatani antara idealisme dan realisme.

Dalam dunia kontemporer, prinsip-prinsip fenomenalisme menemukan resonansi dalam bidang fenomenologi, terutama dalam karya Edmund Husserl, meskipun terdapat perbedaan metodologis.⁶ Selain itu, pendekatan fenomenalis juga mengilhami berbagai kajian dalam filsafat pikiran, epistemologi kognitif, dan bahkan perdebatan dalam ilmu komputer dan realitas virtual, di mana pertanyaan tentang "keberadaan digital" dan "objek maya" sangat relevan dengan prinsip “ada sejauh bisa dialami”.


Catatan Kaki

[1]                Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 117.

[2]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing, 1982), 25–28.

[3]                John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865), 258.

[4]                Ibid., 261.

[5]                A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London: Macmillan, 1940), 67–70.

[6]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 50–53.


4.           Akar Historis dan Perkembangan Fenomenalisme

Fenomenalisme sebagai aliran filsafat tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari perkembangan panjang dalam sejarah pemikiran filsafat Barat. Akar-akar gagasannya dapat ditelusuri sejak masa Yunani Kuno, mengalami artikulasi sistematis pada era modern, dan mendapatkan bentuk teknis serta analitis yang matang dalam filsafat abad ke-20. Pada tiap tahapannya, fenomenalisme muncul sebagai respons terhadap persoalan klasik tentang relasi antara persepsi subjek dan realitas objektif.

4.1.       Pra-Fenomenalisme: Antisipasi Awal dalam Filsafat Kuno dan Skolastik

Gagasan bahwa realitas bergantung pada pengalaman perseptual dapat ditemukan secara implisit dalam pemikiran Protagoras, yang menyatakan bahwa “manusia adalah ukuran segala sesuatu” (homo mensura).¹ Pandangan ini menempatkan persepsi manusia sebagai dasar penilaian tentang kebenaran dan eksistensi. Meskipun belum berbentuk fenomenalisme sistematis, pemikiran ini menandakan bahwa realitas tampak (phenomena) bisa berbeda-beda tergantung pada subjek pengamat.

Dalam filsafat skolastik Abad Pertengahan, William of Ockham mengembangkan prinsip nominalisme yang menolak keberadaan universal sebagai entitas independen, dan menekankan pentingnya pengalaman individual dalam memperoleh pengetahuan.² Gagasan ini berperan sebagai benih epistemologis bagi fenomenalisme yang kelak muncul dalam konteks modern.

4.2.       Fenomenalisme Klasik: George Berkeley dan Idealisme Subjektif

Fenomenalisme memperoleh bentuk eksplisitnya dalam karya George Berkeley (1685–1753), seorang filsuf Irlandia yang dikenal sebagai pelopor idealisme subjektif. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), Berkeley menolak eksistensi materi sebagai entitas yang terlepas dari persepsi.³ Ia menyatakan bahwa "esse est percipi"—untuk ada, sesuatu harus dipersepsi. Dunia fisik, menurutnya, terdiri dari ide-ide yang eksis dalam pikiran manusia atau pikiran Tuhan.⁴

Berkeley memandang bahwa semua kualitas benda—baik primer seperti bentuk dan ukuran, maupun sekunder seperti warna dan rasa—tergantung pada subjek yang mengalaminya.⁵ Dalam hal ini, ia membuka jalan bagi fenomenalisme, walau tetap dalam kerangka teologis yang kental. Penolakan terhadap realisme materialis oleh Berkeley menjadi titik awal bagi kritik modern terhadap asumsi realitas objektif yang independen dari kesadaran.

4.3.       Peralihan ke Fenomenalisme Empiris: John Stuart Mill dan Ernst Mach

Dalam abad ke-19, fenomenalisme mengalami sekularisasi dan rasionalisasi melalui tokoh seperti John Stuart Mill, yang menyatakan bahwa benda-benda fisik dapat dipahami sebagai kumpulan permanen dari kemungkinan sensasi (permanent possibilities of sensation).⁶ Gagasan ini menandai pergeseran dari kerangka teologis Berkeley ke pendekatan empiris dan operasional. Mill berargumen bahwa keberadaan benda-benda eksternal dapat diartikan sebagai hubungan prediktif antara pengalaman-pengalaman yang dapat diobservasi.

Pemikiran Mill kemudian diperkaya oleh ilmuwan dan filsuf Austria Ernst Mach, yang memperkenalkan pandangan empirio-kritisisme. Mach menolak entitas metafisik seperti ego atau substansi dan menganggap dunia sebagai rangkaian sensasi yang netral secara ontologis.⁷ Ia berusaha menggabungkan pendekatan ilmiah dan fenomenalis dengan menempatkan pengalaman langsung sebagai dasar semua pengetahuan ilmiah.

4.4.       Fenomenalisme Logis: A.J. Ayer dan Filsafat Analitik

Pada abad ke-20, fenomenalisme menemukan formulasi yang lebih ketat dalam lingkup empirisme logis yang berkembang di bawah pengaruh Vienna Circle. Salah satu tokoh utamanya, A. J. Ayer, berupaya mendefinisikan semua proposisi tentang dunia luar dalam istilah proposisi pengalaman inderawi. Dalam The Foundations of Empirical Knowledge (1940), Ayer menyatakan bahwa objek fisik adalah konstruksi logis dari sense-data.⁸ Ia tidak menolak realitas objektif, tetapi mengklaim bahwa pengetahuan tentangnya hanya bermakna bila dapat direduksi pada pengalaman langsung.

Meskipun proyek ini akhirnya menemui berbagai kritik—terutama dari sisi ketidakmampuan untuk sepenuhnya mereduksi proposisi fisik ke data pengalaman tanpa kehilangan makna—formulasi ini menjadi tonggak penting dalam menjadikan fenomenalisme bagian dari filsafat analitik modern.

4.5.       Respon Kontemporer: Fenomenalisme dan Fenomenologi

Meski berbeda dalam metodologi, fenomenalisme juga memiliki keterkaitan terminologis dan tematik dengan fenomenologi, terutama dalam usaha memahami struktur kesadaran dan makna pengalaman. Edmund Husserl mengembangkan gagasan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional—yakni selalu menyadari “sesuatu.”⁹ Walaupun fenomenologi Husserl tidak menyamakan realitas dengan persepsi semata, fokus pada pengalaman sebagai titik tolak pengetahuan membuatnya sejajar secara tematik dengan fenomenalisme.

Dalam era postmodern dan digital, fenomenalisme juga kembali relevan dalam konteks realitas virtual, konstruksi sosial terhadap objek digital, dan relasi manusia dengan dunia maya—yang semuanya menantang pemisahan klasik antara “yang ada” dan “yang tampak.”


Catatan Kaki

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 151e.

[2]                William of Ockham, Ockham’s Theory of Terms: Part I of the Summa Logicae, trans. Michael J. Loux (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1974), 87–89.

[3]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing, 1982), 25–28.

[4]                Ibid., 35.

[5]                Ibid., 48–51.

[6]                John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865), 258–262.

[7]                Ernst Mach, The Analysis of Sensations, trans. C. M. Williams (New York: Dover, 1959), 15–18.

[8]                A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London: Macmillan, 1940), 33–35.

[9]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 84–90.


5.           Tokoh-Tokoh Kunci Fenomenalisme

Fenomenalisme sebagai pendekatan filsafat ontologis dan epistemologis telah mengalami evolusi pemikiran yang panjang melalui kontribusi sejumlah tokoh penting. Mereka tidak hanya menyumbangkan kerangka teoretis yang mendasari fenomenalisme, tetapi juga memperluas jangkauan dan aplikasinya dalam diskursus filsafat modern. Bagian ini mengulas empat tokoh utama yang berperan besar dalam pembentukan dan perkembangan fenomenalisme: George Berkeley, Immanuel Kant, John Stuart Mill, dan A. J. Ayer.

5.1.       George Berkeley (1685–1753): Fondasi Idealisme Subjektif

George Berkeley merupakan tokoh sentral dalam tahap awal fenomenalisme melalui doktrin idealisme subjektif. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), ia menolak eksistensi materi sebagai entitas independen dari persepsi. Baginya, semua yang kita sebut “benda” hanyalah kumpulan ide yang hadir dalam kesadaran; benda tidak memiliki eksistensi di luar pikiran yang memersepsinya.¹

Berkeley merumuskan prinsip “esse est percipi” (to be is to be perceived), yang menekankan bahwa eksistensi bergantung pada keberadaannya dalam pengalaman perseptual.² Dalam sistem teologisnya, keberlanjutan eksistensi objek ketika tidak dipersepsi oleh manusia dijamin oleh persepsi Tuhan yang senantiasa aktif.³ Meski pemikirannya lebih dekat ke idealisme religius daripada fenomenalisme empiris, Berkeley dianggap sebagai pelopor utama pandangan yang menolak realitas objektif independen, suatu ciri esensial dalam fenomenalisme.

5.2.       Immanuel Kant (1724–1804): Fenomena dan Noumena

Immanuel Kant tidak menyebut dirinya fenomenalis, namun kontribusinya sangat signifikan dalam membentuk dasar konseptual bagi pendekatan fenomenalistis. Dalam Critique of Pure Reason (1781), Kant membedakan antara fenomena (hal-ihwal sebagaimana tampak kepada kita dalam pengalaman) dan noumena (hal-ihwal sebagaimana adanya, terlepas dari persepsi kita).⁴

Menurut Kant, pengetahuan manusia terbatas pada fenomena yang dibentuk oleh struktur a priori pikiran—yaitu ruang, waktu, dan kategori-kategori intelektual. Kita tidak pernah bisa mengetahui realitas “pada dirinya sendiri” (das Ding an sich), hanya bagaimana realitas tampak melalui bentuk-bentuk persepsi dan konsep.⁵ Dengan demikian, Kant mewartakan batas epistemologis manusia, yang hanya dapat menjangkau “yang tampak,” sebuah pandangan yang menguatkan postulat dasar fenomenalisme.

5.3.       John Stuart Mill (1806–1873): Kemungkinan Permanen Sensasi

John Stuart Mill memberikan kontribusi penting dalam pengembangan fenomenalisme dalam ranah empirisme. Dalam An Examination of Sir William Hamilton’s Philosophy (1865), Mill mendefinisikan benda fisik sebagai gugusan kemungkinan permanen dari sensasi (permanent possibilities of sensation).⁶ Artinya, eksistensi benda fisik dirujuk melalui pernyataan kondisional: “jika saya melakukan tindakan tertentu, maka saya akan mengalami sensasi tertentu.

Mill berusaha menghindari dualisme antara pikiran dan materi dengan mereduksi segala keberadaan ke dalam interaksi pengalaman empiris, tanpa harus menyangkal stabilitas atau keteraturan dunia luar.⁷ Dalam hal ini, ia mengembangkan fenomenalisme ke arah yang lebih naturalistik dan kompatibel dengan pendekatan ilmiah.

5.4.       A. J. Ayer (1910–1989): Fenomenalisme dalam Empirisme Logis

Alfred Jules Ayer, salah satu tokoh utama empirisme logis dari lingkaran Vienna (Vienna Circle), adalah pengusung fenomenalisme dalam bentuk analitik dan verifikasionis. Dalam The Foundations of Empirical Knowledge (1940), Ayer berargumen bahwa semua pernyataan tentang dunia luar harus dapat direduksi pada laporan-laporan pengalaman langsung (sense-data) agar bermakna.⁸

Ayer mengadopsi model reduksi logis, di mana objek fisik tidak diperlakukan sebagai entitas metafisik, melainkan sebagai konstruksi dari proposisi-proposisi tentang pengalaman.⁹ Dengan demikian, Ayer menganalisis struktur makna dari klaim-klaim ontologis melalui kerangka empiris dan linguistik. Meskipun pendekatannya kemudian dikritik karena sulitnya merekonstruksi objek kompleks hanya dari sense-data, kontribusinya tetap krusial dalam menetapkan fenomenalisme sebagai bagian dari filsafat analitik.


Penutup Sementara

Keempat tokoh tersebut memberikan spektrum kontribusi yang luas terhadap fenomenalisme—dari pendekatan teologis (Berkeley), kritis-rasional (Kant), empiris-naturalistik (Mill), hingga analitik-logis (Ayer). Mereka membentuk fondasi yang memungkinkan fenomenalisme berkembang menjadi salah satu pendekatan penting dalam menjawab pertanyaan ontologis tentang hakikat realitas dan syarat-syarat eksistensial suatu objek.


Catatan Kaki

[1]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing, 1982), 25–30.

[2]                Ibid., 35.

[3]                Ibid., 50–52.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 193–201.

[5]                Ibid., 178–180.

[6]                John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865), 258–262.

[7]                Ibid., 271.

[8]                A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London: Macmillan, 1940), 67–70.

[9]                Ibid., 44–46.


6.           Kritik terhadap Fenomenalisme

Meskipun fenomenalisme memberikan kontribusi penting dalam upaya menjelaskan relasi antara persepsi dan eksistensi, pendekatan ini tidak luput dari kritik yang mendalam dari berbagai mazhab filsafat, baik dalam ranah ontologi, epistemologi, maupun logika bahasa. Kritik-kritik tersebut mencakup persoalan reduksionisme pengalaman, masalah realitas objektif, ancaman solipsisme, dan kesulitan dalam mendefinisikan objek kompleks hanya berdasarkan sense-data. Bagian ini akan menguraikan beberapa kritik utama terhadap fenomenalisme, disertai refleksi atas daya tanggap fenomenalisme terhadap tantangan tersebut.

6.1.       Kritik dari Realisme: Masalah Eksistensi Mandiri Objek

Salah satu kritik paling mendasar datang dari para filsuf realis, yang menolak klaim bahwa eksistensi objek hanya bergantung pada persepsi aktual atau potensial. Menurut G. E. Moore, realitas dunia luar memiliki eksistensi yang independen dari persepsi manusia, dan argumen fenomenalis gagal memberikan dasar ontologis yang memadai untuk menjustifikasi keyakinan kita terhadap keberadaan benda-benda fisik.¹

Moore menekankan bahwa kita memiliki keyakinan intuitif yang tak dapat disangkal bahwa benda seperti meja tetap ada meskipun tidak sedang dipersepsi—sebuah argumen yang ia sebut sebagai “common sense.”² Oleh karena itu, usaha fenomenalisme untuk mendefinisikan objek berdasarkan kondisi pengalaman dipandang sebagai bentuk reduksi artifisial terhadap realitas.

6.2.       Kritik dari Filsafat Analitik: Reduksi yang Gagal

Tokoh-tokoh filsafat analitik seperti Wilfrid Sellars dan P. F. Strawson mengkritik fenomenalisme karena gagal menjelaskan struktur bahasa dan makna dalam representasi dunia nyata. Dalam esainya yang berpengaruh, Empiricism and the Philosophy of Mind, Sellars menunjukkan bahwa tidak mungkin menyusun klaim tentang dunia fisik hanya dari laporan-laporan sense-data karena data tersebut tidak memiliki struktur konseptual yang cukup untuk membangun proposisi bermakna.³

Strawson, dalam karyanya Individuals (1959), menegaskan bahwa identifikasi objek memerlukan kerangka referensi yang melibatkan konsep keberlanjutan dan individualitas, sesuatu yang tidak bisa diberikan hanya oleh kumpulan fenomena atau pengalaman sesaat.⁴ Oleh karena itu, fenomenalisme dianggap tidak memadai secara semantik maupun ontologis dalam menjelaskan bagaimana bahasa dan pikiran merepresentasikan realitas.

6.3.       Masalah Solipsisme dan Subjektivitas Ekstrem

Fenomenalisme, terutama dalam bentuk subjektif yang diwarisi dari Berkeley, sering dikritik karena berpotensi jatuh ke dalam solipsisme, yakni pandangan bahwa hanya pikiran dan persepsi diri sendiri yang bisa dipastikan eksistensinya.⁵ Karena fenomenalisme menyandarkan seluruh eksistensi pada pengalaman perseptual subjek, sulit untuk menjelaskan keberadaan pikiran atau pengalaman orang lain secara objektif.

Kritik ini terutama dilontarkan oleh filsuf-filsuf inter-subjektivis dan realis transendental, yang menekankan pentingnya struktur realitas yang independen dan dapat diverifikasi oleh banyak subjek. Bila semua realitas direduksi ke dalam pengalaman individual, maka tidak ada jaminan untuk komunikasi atau koherensi dalam pengetahuan bersama tentang dunia.

6.4.       Kritik dari Ilmu Saraf dan Kognisi: Persepsi Bukan Representasi Netral

Dalam perkembangan ilmu saraf dan kognisi modern, fenomenalisme dikritik karena mengasumsikan bahwa persepsi adalah representasi langsung dan netral dari dunia luar. Padahal, banyak penelitian menunjukkan bahwa proses perseptual adalah konstruksi aktif yang melibatkan interpretasi, prediksi, dan koreksi berdasarkan model internal otak.⁶

Sebagai contoh, eksperimen dalam psikologi persepsi menunjukkan bahwa sensasi visual diproses secara selektif dan kontekstual, sehingga mustahil menganggapnya sebagai dasar “murni” dari eksistensi objek. Oleh karena itu, pendekatan fenomenalis dianggap menyederhanakan kompleksitas proses persepsi manusia, dan mengabaikan peran konstruktif dari sistem kognitif.

6.5.       Tantangan Ontologis dan Epistemologis Kontemporer

Kritik kontemporer juga mencermati bagaimana fenomenalisme kurang memadai dalam menghadapi problem ontologis baru, seperti eksistensi digital, realitas virtual, dan kecerdasan buatan. Jika eksistensi hanya dikaitkan dengan persepsi aktual atau potensial, bagaimana kita menjelaskan realitas entitas digital yang tidak selalu dipersepsi tetapi memiliki efek kausal dan operasional dalam dunia nyata?

Selain itu, pendekatan fenomenalistis tidak cukup menjelaskan struktur relasi kausal dan eksistensial antar entitas yang tidak tampak langsung oleh indra, seperti quark dalam fisika partikel atau jaringan dalam sistem sosial.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa fenomenalisme memerlukan rekonstruksi dan pengembangan baru agar tetap relevan dalam lanskap pemikiran ontologis dan ilmiah kontemporer.


Refleksi

Meskipun kritik-kritik ini menunjukkan keterbatasan serius dalam teori fenomenalisme, banyak filsuf tetap mengakui kontribusi pentingnya dalam membatasi klaim metafisik berlebihan, dan dalam menekankan peran pengalaman dalam konstruksi pengetahuan. Beberapa pendekatan hybrid, seperti fenomenologi transcendental, berusaha mengambil kelebihan fenomenalisme sembari mengatasi kelemahan-kelemahannya melalui pendekatan yang lebih komprehensif terhadap subjek, objek, dan dunia intersubjektif.


Catatan Kaki

[1]                G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48 (1903): 433–453.

[2]                Ibid., 446.

[3]                Wilfrid Sellars, Empiricism and the Philosophy of Mind, ed. Richard Rorty (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 14–17.

[4]                P. F. Strawson, Individuals: An Essay in Descriptive Metaphysics (London: Methuen, 1959), 35–40.

[5]                George Berkeley, Three Dialogues Between Hylas and Philonous, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 66–69.

[6]                Anil K. Seth, Being You: A New Science of Consciousness (New York: Dutton, 2021), 85–91.

[7]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 183–185.


7.           Relevansi Fenomenalisme dalam Diskursus Kontemporer

Meskipun fenomenalisme sering dikritik karena reduksionisme epistemologis dan kecenderungannya terhadap subjektivisme, gagasan-gagasannya tetap relevan dan bahkan mengalami kebangkitan dalam konteks filsafat kontemporer. Berbagai perkembangan dalam bidang fenomenologi, filsafat pikiran, studi kesadaran, teknologi digital, dan realitas virtual membuka ruang baru bagi pemaknaan dan penerapan pendekatan fenomenalistis. Dalam bagian ini, akan dibahas beberapa area utama di mana fenomenalisme berperan signifikan dalam memperkaya diskursus ontologis dan epistemologis masa kini.

7.1.       Fenomenalisme dan Fenomenologi: Arah Transendental

Salah satu bentuk revitalisasi fenomenalisme terjadi melalui dialog kritis dengan fenomenologi, khususnya dalam tradisi Edmund Husserl dan Maurice Merleau-Ponty. Meski fenomenologi bukan bentuk fenomenalisme murni, terdapat kesamaan metodologis dalam menempatkan pengalaman sebagai titik tolak pengetahuan. Husserl menyatakan bahwa kesadaran bersifat intensional, yakni selalu sadar “akan sesuatu,” yang berarti setiap pengalaman selalu menyimpan korelasi antara subjek dan objek yang disadari.¹

Merleau-Ponty melangkah lebih jauh dengan menekankan tubuh sebagai pusat pengalaman (the lived body), yang membuat eksistensi tidak sekadar hasil persepsi pasif, melainkan proses eksistensial yang melekat pada tubuh yang berkesadaran.² Dalam kerangka ini, fenomenalisme mendapatkan pembaruan sebagai pendekatan yang menolak realisme naif sekaligus menegaskan bahwa realitas adalah apa yang muncul dalam horizon pengalaman yang hidup dan terarah.

7.2.       Filsafat Pikiran dan Ilmu Kognitif: Representasi, Simulasi, dan Kesadaran

Fenomenalisme juga relevan dalam diskursus filsafat pikiran, terutama dalam pembahasan tentang sifat representasional dari pengalaman dan hubungan antara kesadaran dan dunia luar. Pandangan bahwa objek mental dapat direpresentasikan sebagai konstruksi dari data sensorik mendukung pendekatan intentionalisme dan teori representasional dalam studi kesadaran.³

Dalam ilmu kognitif, terutama teori predictive processing, pengalaman dianggap sebagai hasil prediksi otak terhadap input sensorik berdasarkan model internal.⁴ Ini menyiratkan bahwa apa yang dianggap sebagai “realitas” dalam kesadaran adalah hasil konstruksi inferensial, yang mendekati semangat fenomenalisme dalam menyatakan bahwa realitas adalah hasil dari proses persepsi yang aktif, bukan pantulan pasif dari dunia eksternal.

7.3.       Realitas Virtual dan Teknologi Digital: Fenomena Tanpa Objek Material

Munculnya realitas virtual (VR) dan augmented reality (AR) juga menghidupkan kembali relevansi fenomenalisme dalam konteks baru. Dalam lingkungan VR, pengguna mengalami objek-objek dan ruang-ruang yang secara ontologis tidak memiliki eksistensi material, namun tetap memengaruhi emosi, kognisi, dan bahkan keputusan praktis individu. Hal ini sejalan dengan prinsip fenomenalisme bahwa eksistensi suatu hal tergantung pada kemungkinan untuk dialami secara perseptual.⁵

Konsep seperti ontologi digital dalam filsafat informasi, sebagaimana dijelaskan oleh Luciano Floridi, menunjukkan bahwa entitas digital dapat “ada” bukan karena substansi material, tetapi karena status informasional dan interaksinya dalam jaringan sistem yang terstruktur.⁶ Dengan kata lain, eksistensi entitas dalam ruang digital semakin menyerupai eksistensi fenomenalis—ada sejauh bisa dipersepsi, dialami, dan dioperasikan.

7.4.       Perspektif Sosial-Konstruksionis dan Postmodern

Dalam ranah teori sosial dan filsafat postmodern, fenomenalisme beresonansi dengan konstruksionisme sosial, yang menyatakan bahwa realitas sosial terbentuk melalui pengalaman kolektif dan diskursus. Michel Foucault, misalnya, menekankan bahwa “kebenaran” dan “realitas” selalu dikonstruksi melalui struktur pengetahuan dan kekuasaan, bukan berdiri bebas dari persepsi dan pengalaman historis.⁷

Pendekatan ini memanfaatkan semangat fenomenalis dalam membongkar klaim-klaim obyektivitas absolut, dan menunjukkan bahwa realitas yang kita pahami adalah hasil dari proses interpretasi, struktur sosial, dan norma-norma budaya yang berperan dalam pengalaman kita terhadap dunia.

7.5.       Relevansi Etis dan Eksistensial

Akhirnya, fenomenalisme memiliki relevansi dalam wacana eksistensial dan etika kontemporer, karena menekankan bahwa pengalaman personal adalah dasar dari makna dan nilai. Dalam konteks ini, fenomenalisme membantu membuka pemahaman tentang bagaimana manusia mengalami penderitaan, keindahan, kebebasan, dan keterasingan—tema-tema yang penting dalam filsafat eksistensial dan humanistik.


Refleksi

Fenomenalisme, meskipun tidak lagi dominan sebagai aliran filsafat independen, tetap menjadi lensa penting dalam membaca ulang persoalan ontologi dan epistemologi di zaman post-industri, digital, dan post-truth. Kemampuannya untuk menjembatani antara subjek dan objek, antara realitas dan persepsi, menjadikannya relevan dalam menjawab tantangan intelektual masa kini yang melampaui batas-batas filsafat tradisional.


Catatan Kaki

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 44–46.

[2]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), 94–97.

[3]                Michael Tye, Ten Problems of Consciousness: A Representational Theory of the Phenomenal Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 137–140.

[4]                Andy Clark, Surfing Uncertainty: Prediction, Action, and the Embodied Mind (Oxford: Oxford University Press, 2016), 62–67.

[5]                David J. Chalmers, “The Virtual and the Real,” Disputatio 9, no. 46 (2017): 309–352.

[6]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 179–182.

[7]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–135.


8.           Penutup

Fenomenalisme menempati posisi unik dalam khazanah filsafat, terutama dalam kajian ontologi dan epistemologi. Ia tampil sebagai pendekatan yang berusaha menjembatani dua kutub besar dalam sejarah pemikiran metafisika: realisme, yang menegaskan eksistensi dunia luar yang independen dari kesadaran, dan idealisme, yang menempatkan pikiran atau kesadaran sebagai pusat realitas. Fenomenalisme, dengan menekankan bahwa segala sesuatu yang ada harus dapat dirujuk kepada pengalaman perseptual aktual atau potensial, memberikan kerangka ontologis yang berfokus pada apa yang tampak dan dapat dialami.

Sebagaimana telah dibahas dalam bagian sebelumnya, fenomenalisme mengalami evolusi konseptual dari bentuk idealisme subjektif Berkeley, melalui transformasi empiris-analitik dalam karya John Stuart Mill dan A. J. Ayer, hingga pengaruh tidak langsung dalam fenomenologi Husserlian dan filsafat informasi kontemporer.¹ Melalui sejarah pemikiran ini, tampak bahwa fenomenalisme bukan sekadar teori epistemik mengenai persepsi, tetapi juga sebuah postulat ontologis tentang batas-batas dan syarat eksistensi suatu entitas dalam kaitannya dengan subjek yang mengalaminya.

Namun demikian, fenomenalisme tidak lepas dari kritik tajam, baik dari pendekatan realis, filsafat analitik, maupun ilmu saraf dan kognitif.² Masalah solipsisme, keterbatasan representasi sensorik, dan tantangan reduksi objek kompleks menjadi kesan inderawi menunjukkan bahwa fenomenalisme tidak dapat berdiri sendiri sebagai teori total tentang realitas.³ Kritik ini menunjukkan perlunya komplemen konseptual, yang dapat melibatkan pemikiran intersubjektif, konteks linguistik, dan struktur sosial dalam membentuk dan memahami eksistensi.

Di sisi lain, fenomenalisme terus menunjukkan relevansi kontemporernya, terutama dalam kajian mengenai realitas digital, pengalaman virtual, serta struktur kognitif dan afektif kesadaran. Dunia modern yang semakin ditengahi oleh representasi digital dan lingkungan virtual menunjukkan bahwa “keberadaan” semakin didefinisikan oleh kemungkinan untuk dialami, bukan hanya oleh eksistensi material.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip fenomenalisme masih sangat hidup dan kontributif dalam menjawab tantangan zaman.

Dalam refleksi akhir, fenomenalisme dapat dilihat bukan sebagai sistem filsafat yang lengkap dan mutlak, melainkan sebagai kerangka kerja interpretatif yang membantu kita memahami bagaimana subjektivitas dan pengalaman membentuk horizon keberadaan. Ia mengajarkan bahwa yang “ada” bukanlah semata-mata apa yang “terlepas dari kita,” tetapi juga—dan terutama—apa yang menyingkapkan diri dalam pengalaman, dalam kesadaran, dan dalam keterlibatan eksistensial manusia dengan dunia.


Catatan Kaki

[1]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing, 1982); John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865); A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London: Macmillan, 1940); Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982).

[2]                G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48 (1903): 433–453; Wilfrid Sellars, Empiricism and the Philosophy of Mind, ed. Richard Rorty (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997); Anil K. Seth, Being You: A New Science of Consciousness (New York: Dutton, 2021).

[3]                P. F. Strawson, Individuals: An Essay in Descriptive Metaphysics (London: Methuen, 1959), 35–40; Michael Tye, Ten Problems of Consciousness (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 139–143.

[4]                David J. Chalmers, “The Virtual and the Real,” Disputatio 9, no. 46 (2017): 309–352; Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 179–182.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1940). The foundations of empirical knowledge. London: Macmillan.

Berkeley, G. (1982). A treatise concerning the principles of human knowledge (K. P. Winkler, Ed.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Berkeley, G. (1998). Three dialogues between Hylas and Philonous (J. Dancy, Ed.). Oxford: Oxford University Press.

Chalmers, D. J. (2017). The virtual and the real. Disputatio, 9(46), 309–352.

Clark, A. (2016). Surfing uncertainty: Prediction, action, and the embodied mind. Oxford: Oxford University Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York: Pantheon Books.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). The Hague: Martinus Nijhoff. (Original work published 1913)

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Mach, E. (1959). The analysis of sensations (C. M. Williams, Trans.). New York: Dover. (Original work published 1886)

Merleau-Ponty, M. (2012). Phenomenology of perception (D. A. Landes, Trans.). London: Routledge. (Original work published 1945)

Mill, J. S. (1865). An examination of Sir William Hamilton’s philosophy. London: Longmans, Green, Reader, and Dyer.

Moore, G. E. (1903). The refutation of idealism. Mind, 12(48), 433–453.

Sellars, W. (1997). Empiricism and the philosophy of mind (R. Rorty, Ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press. (Original work published 1956)

Seth, A. K. (2021). Being you: A new science of consciousness. New York: Dutton.

Strawson, P. F. (1959). Individuals: An essay in descriptive metaphysics. London: Methuen.

Tye, M. (1995). Ten problems of consciousness: A representational theory of the phenomenal mind. Cambridge, MA: MIT Press.

van Inwagen, P. (2015). Metaphysics (4th ed.). Boulder, CO: Westview Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar