Fenomenalisme
Antara Realitas dan Persepsi
Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji fenomenalisme sebagai salah
satu aliran dalam cabang filsafat ontologi yang memandang bahwa eksistensi
suatu objek bergantung pada kemungkinan atau aktualitas pengalaman perseptual
terhadapnya. Fenomenalisme menempati posisi epistemologis dan ontologis yang
menengahi antara realisme dan idealisme, dengan menekankan bahwa realitas tidak
dapat dilepaskan dari pengalaman subjektif. Kajian ini diawali dengan pengantar
teoritis mengenai ontologi dan perbedaan pandangan metafisik mendasar, kemudian
dilanjutkan dengan penjabaran pengertian dan prinsip dasar fenomenalisme, serta
telaah atas akar historis dan perkembangan aliran ini melalui tokoh-tokoh
penting seperti George Berkeley, Immanuel Kant, John Stuart Mill, dan A. J.
Ayer. Selain itu, artikel ini juga membahas kritik-kritik terhadap
fenomenalisme, termasuk dari filsafat realis, analitik, dan ilmu saraf
kognitif, yang menunjukkan keterbatasan reduksionisme pengalaman. Meskipun
demikian, fenomenalisme tetap relevan dalam diskursus kontemporer, terutama
dalam fenomenologi, filsafat pikiran, serta kajian mengenai realitas virtual
dan ontologi digital. Dengan pendekatan analitis-kritis dan sumber-sumber
akademik yang kredibel, artikel ini menyimpulkan bahwa fenomenalisme tetap
merupakan kerangka penting dalam menjelaskan relasi antara realitas dan
persepsi dalam dunia yang semakin kompleks secara epistemologis dan teknologis.
Kata Kunci: Fenomenalisme, Ontologi, Persepsi, Realitas, George
Berkeley, Immanuel Kant, Epistemologi, Realitas Virtual, Filsafat Pikiran,
Fenomenologi.
PEMBAHASAN
Fenomenalisme dalam Filsafat Ontologi
1.
Pendahuluan
Filsafat sebagai
disiplin pengetahuan yang menelaah pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang
eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, dan realitas, telah lama tertarik pada
masalah hubungan antara kesadaran manusia dan realitas objektif.
Salah satu cabang utama filsafat yang mengkaji persoalan ini adalah ontologi,
yakni kajian tentang hakikat keberadaan dan struktur realitas secara umum.
Dalam kerangka ontologi, muncul berbagai pendekatan metafisis yang mencoba
menjelaskan apa yang sebenarnya "ada" — apakah realitas
bersifat material, spiritual, mental, atau hanya representasi dari pengalaman
subjektif.
Salah satu aliran
penting dalam diskursus ontologis adalah fenomenalisme, yang berpendapat
bahwa eksistensi suatu objek bergantung pada kemungkinan atau aktualitas
pengalaman perseptual terhadapnya. Dengan kata lain, fenomenalisme menyatakan
bahwa segala yang dapat dikatakan ada, pada dasarnya adalah kumpulan fenomena —
yaitu kesan-kesan
pengalaman inderawi yang dialami oleh subjek. Seperti yang
dinyatakan oleh George Berkeley, salah satu perintis utama pendekatan ini,
"esse est percipi" (untuk menjadi adalah untuk dipersepsi).¹
Pandangan ini menantang asumsi realisme naif yang menganggap bahwa dunia luar
eksis secara independen dari pikiran atau persepsi manusia.
Fenomenalisme
berkembang dalam konteks ketegangan antara dua kutub besar pemikiran metafisik,
yaitu idealisme
dan realisme.
Bila realisme mengandaikan keberadaan dunia objektif yang independen dari
pikiran, maka idealisme menyatakan bahwa realitas adalah konstruksi mental atau
spiritual. Fenomenalisme mengambil posisi yang cenderung lebih dekat kepada
idealisme, namun menekankan aspek empiris: realitas dipahami bukan sekadar
sebagai ide, melainkan sebagai konstelasi pengalaman-pengalaman empiris yang
saling berkaitan.² Pendekatan ini tidak hanya memiliki akar
dalam pemikiran filsuf seperti Berkeley dan Kant, tetapi juga dikembangkan
lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti John Stuart Mill dan A.J. Ayer dalam
konteks filsafat analitik dan empirisme logis.³
Kajian terhadap
fenomenalisme menjadi relevan bukan hanya dalam konteks perdebatan metafisika
klasik, tetapi juga dalam wacana kontemporer mengenai filsafat
pikiran, fenomenologi, dan epistemologi ilmu pengetahuan. Dalam
era di mana simulasi digital, realitas virtual, dan kecerdasan buatan menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari, pertanyaan tentang apa yang sungguh-sungguh
"nyata" dan bagaimana kita mengetahuinya semakin mendesak
untuk ditelaah secara kritis. Fenomenalisme, dengan fokusnya pada pengalaman
sebagai dasar ontologis, menawarkan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk
menginterogasi fenomena-fenomena ini secara filosofis.
Melalui artikel ini,
akan diuraikan secara sistematis pengertian fenomenalisme, akar historisnya,
kontribusi para pemikir kunci, serta kritik dan relevansi kontemporernya.
Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana
fenomenalisme menjawab pertanyaan klasik dalam ontologi: apakah
realitas itu, dan bagaimana kita mengetahuinya?
Catatan Kaki
[1]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing,
1982), 25.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 193–201.
[3]
A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London:
Macmillan, 1940), 33–35; John Stuart Mill, An Examination of Sir William
Hamilton’s Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865),
258–262.
2.
Kerangka
Teoretis Ontologi
Secara etimologis,
istilah ontologi berasal dari bahasa
Yunani ontos
(yang ada) dan logos (ilmu, kajian). Dalam konteks
filsafat, ontologi merujuk pada cabang metafisika yang membahas hakikat eksistensi,
kategori-kategori dasar dari sesuatu yang ada, serta relasi antar entitas dalam
realitas.¹ Ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: apa yang
sungguh-sungguh ada?, apakah yang kita sebut “realitas” itu eksis
secara objektif?, dan bagaimana struktur dasar dari yang ada itu
dibentuk atau dikenali?
Dalam sejarah
pemikiran filsafat, ontologi tidak dapat dilepaskan dari perdebatan
antara beberapa pendekatan utama, yakni realisme,
idealisme,
dan fenomenalisme,
yang masing-masing menawarkan cara pandang berbeda mengenai relasi antara
subjek dan objek, antara pikiran dan dunia luar.
2.1.
Realisme
Realisme
dalam filsafat ontologi berpandangan bahwa objek-objek di dunia luar eksis
secara independen dari pikiran atau persepsi manusia. Dalam versi yang paling
sederhana, realisme menyatakan bahwa meja, pohon, dan gunung tetap ada bahkan
jika tidak sedang dipersepsi oleh siapa pun.² Pandangan ini umumnya
diasosiasikan dengan filsuf-filsuf seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, dan
lebih modern lagi, G. E. Moore.³ Realisme memberikan pijakan kuat bagi sains
dan pengetahuan objektif, namun dikritik karena mengabaikan peran aktif
kesadaran dalam konstruksi pengetahuan.
2.2.
Idealisme
Sebaliknya, idealisme
menegaskan bahwa realitas pada hakikatnya bersifat mental atau spiritual.
Segala sesuatu yang dianggap eksis, menurut idealisme, adalah bentuk dari ide
atau representasi mental. George Berkeley, sebagai tokoh idealis radikal,
menolak keberadaan materi yang tidak dipersepsi: “To be is to be perceived.”⁴
Idealisme menekankan peran kesadaran dalam membentuk dunia, namun dituduh jatuh
dalam solipsisme—yakni
pandangan bahwa hanya pikiran sendiri yang dapat diyakini eksistensinya.
2.3.
Fenomenalisme
Fenomenalisme
muncul sebagai upaya untuk menjembatani dua ekstrem di atas. Dalam kerangka
ini, ontologi tidak mendasarkan eksistensi pada benda material yang mandiri
(seperti dalam realisme), dan tidak pula mereduksi semua realitas menjadi
pikiran murni (seperti dalam idealisme). Sebaliknya, fenomenalisme berpandangan
bahwa segala
yang ada hanyalah sekumpulan fenomena, yakni kesan-kesan
inderawi atau kemungkinan persepsi.⁵ Dengan demikian,
eksistensi objek ditentukan oleh kemungkinannya untuk dapat dipersepsi dalam
konteks tertentu oleh subjek rasional.
Dalam pendekatan
fenomenalis, eksistensi suatu objek adalah fungsi dari
relasi antar pengalaman-pengalaman inderawi. Misalnya,
mengatakan bahwa "ada meja di ruangan" sama artinya dengan
menyatakan bahwa jika seseorang masuk ke ruangan, mengarahkan pandangan ke sudut
tertentu, maka ia akan mengalami serangkaian sensasi visual dan taktil yang
konsisten dengan “meja.”⁶ A.J. Ayer mengembangkan fenomenalisme ini
dalam kerangka empirisme logis, dengan menekankan bahwa pernyataan ontologis
hanya bermakna sejauh dapat direduksi pada laporan-laporan pengalaman
langsung.⁷
Dengan demikian, fenomenalisme
dalam ontologi merupakan pendekatan yang bersifat mediatif dan
operasional: ia menyederhanakan struktur realitas menjadi kemungkinan
pengalaman, tanpa harus mengklaim realitas sebagai entitas metafisik mutlak
ataupun sebagai entitas murni mental. Ini menjadikannya penting dalam memahami
epistemologi modern, terutama dalam kaitannya dengan fenomena persepsi,
kesadaran, dan struktur pengalaman manusia.
Catatan Kaki
[1]
Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview
Press, 2015), 1–5.
[2]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 100–102.
[3]
G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48
(1903): 433–453.
[4]
George Berkeley, Three Dialogues Between Hylas and Philonous,
ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 35–38.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 155–164.
[6]
A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London:
Macmillan, 1940), 41–44.
[7]
Ibid., 67–69.
3.
Pengertian
dan Prinsip Dasar Fenomenalisme
Fenomenalisme
merupakan salah satu aliran dalam filsafat, khususnya dalam ranah ontologi dan
epistemologi, yang menyatakan bahwa segala eksistensi objek eksternal tidak
lain adalah sekumpulan fenomena atau kesan-kesan
pengalaman yang dialami oleh subjek. Dalam pendekatan ini,
objek fisik tidak memiliki eksistensi independen di luar kemungkinan atau
aktualitas pengalaman inderawi. Dengan kata lain, mengatakan bahwa "meja
itu ada" berarti menyatakan bahwa "jika seseorang mengarahkan
persepsinya ke suatu lokasi dalam kondisi tertentu, maka ia akan mengalami
kesan penglihatan, rabaan, dan pengalaman lainnya yang konsisten dengan 'meja'."¹
Prinsip sentral
dalam fenomenalisme sering kali dirumuskan dalam pernyataan “esse
est percipi” (to be is to be perceived), yang
diperkenalkan oleh George Berkeley.² Baginya, benda-benda materi tidak memiliki
keberadaan objektif di luar pikiran yang memersepsikannya. Dunia fisik, menurut
Berkeley, terdiri dari ide-ide yang tertanam dalam pikiran-pikiran dan
terpelihara dalam pikiran Tuhan. Meskipun pandangannya sering dianggap sebagai
bentuk idealisme
subjektif, pemikirannya membuka jalan bagi perumusan
fenomenalisme modern yang lebih sistematis dan empiris.
Dalam perkembangan
selanjutnya, fenomenalisme mengalami reformulasi yang lebih logis dan
operasional, terutama dalam tradisi empirisme logis. Tokoh seperti John
Stuart Mill menyatakan bahwa benda-benda fisik dapat
didefinisikan sebagai gugusan permanen dari kemungkinan sensasi
(permanent
possibilities of sensation).³ Misalnya, konsep “batu” tidak
menunjuk pada entitas material mutlak, melainkan pada kemungkinan bahwa, jika
disentuh atau dilihat dalam kondisi tertentu, subjek akan mengalami sensasi
tertentu.⁴
Reformulasi ini
diperkuat oleh A.J. Ayer, seorang filsuf dari
mazhab filsafat analitik dan positivisme logis. Ayer menekankan bahwa pernyataan
tentang benda-benda fisik harus dapat direduksi secara logis kepada
laporan-laporan pengamatan empiris.⁵ Dengan demikian,
fenomenalisme menyediakan model ontologis yang sangat erat terkait dengan
pengalaman dan pengamatan, serta berupaya meminimalkan postulat metafisik
tentang dunia luar yang tidak terjangkau langsung oleh kesadaran.
Ciri khas
fenomenalisme adalah:
·
Anti-realisme
metafisik: objek fisik tidak dianggap sebagai entitas yang
eksis secara mandiri di luar kemungkinan persepsi.
·
Reduksionisme
epistemologis: semua pengetahuan tentang dunia disusun dari
data pengalaman inderawi atau kesan fenomenal.
·
Struktur
konseptual berbasis pengalaman: konsep-konsep seperti “meja”,
“gunung”, atau “laut” adalah konstruksi linguistik yang merujuk
pada pola-pola pengalaman tertentu yang stabil dan berulang.
Namun, penting
dicatat bahwa fenomenalisme bukan sekadar teori persepsi, melainkan juga
mencakup klaim ontologis: bahwa hakikat
“yang ada” adalah apa yang dapat dipersepsi atau mungkin untuk dipersepsi.
Ini menjadikan fenomenalisme sebagai posisi yang menarik dalam filsafat
ontologi, terutama dalam menghadapi tantangan skeptisisme terhadap dunia luar
dan dalam menjembatani antara idealisme dan realisme.
Dalam dunia
kontemporer, prinsip-prinsip fenomenalisme menemukan resonansi dalam bidang fenomenologi,
terutama dalam karya Edmund Husserl, meskipun
terdapat perbedaan metodologis.⁶ Selain itu, pendekatan fenomenalis juga
mengilhami berbagai kajian dalam filsafat pikiran, epistemologi
kognitif, dan bahkan perdebatan dalam ilmu
komputer dan realitas virtual, di mana pertanyaan tentang
"keberadaan digital" dan "objek maya" sangat
relevan dengan prinsip “ada sejauh bisa dialami”.
Catatan Kaki
[1]
Michael Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd
ed. (New York: Routledge, 2006), 117.
[2]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing,
1982), 25–28.
[3]
John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s
Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865), 258.
[4]
Ibid., 261.
[5]
A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London:
Macmillan, 1940), 67–70.
[6]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 50–53.
4.
Akar
Historis dan Perkembangan Fenomenalisme
Fenomenalisme
sebagai aliran filsafat tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil
dari perkembangan panjang dalam sejarah pemikiran filsafat Barat. Akar-akar
gagasannya dapat ditelusuri sejak masa Yunani Kuno, mengalami artikulasi
sistematis pada era modern, dan mendapatkan bentuk teknis serta analitis yang
matang dalam filsafat abad ke-20. Pada tiap tahapannya, fenomenalisme muncul
sebagai respons terhadap persoalan klasik tentang relasi
antara persepsi subjek dan realitas objektif.
4.1.
Pra-Fenomenalisme:
Antisipasi Awal dalam Filsafat Kuno dan Skolastik
Gagasan bahwa
realitas bergantung pada pengalaman perseptual dapat ditemukan secara implisit
dalam pemikiran Protagoras, yang menyatakan bahwa
“manusia adalah ukuran segala sesuatu” (homo mensura).¹ Pandangan ini
menempatkan persepsi manusia sebagai dasar penilaian tentang kebenaran dan
eksistensi. Meskipun belum berbentuk fenomenalisme sistematis, pemikiran ini
menandakan bahwa realitas tampak (phenomena)
bisa berbeda-beda tergantung pada subjek pengamat.
Dalam filsafat
skolastik Abad Pertengahan, William of Ockham mengembangkan
prinsip nominalisme yang menolak keberadaan universal sebagai entitas
independen, dan menekankan pentingnya pengalaman individual dalam memperoleh
pengetahuan.² Gagasan ini berperan sebagai benih epistemologis bagi
fenomenalisme yang kelak muncul dalam konteks modern.
4.2.
Fenomenalisme
Klasik: George Berkeley dan Idealisme Subjektif
Fenomenalisme
memperoleh bentuk eksplisitnya dalam karya George Berkeley (1685–1753),
seorang filsuf Irlandia yang dikenal sebagai pelopor idealisme
subjektif. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge (1710), Berkeley menolak eksistensi materi sebagai
entitas yang terlepas dari persepsi.³ Ia menyatakan bahwa "esse est
percipi"—untuk ada, sesuatu harus dipersepsi. Dunia fisik, menurutnya,
terdiri dari ide-ide yang eksis dalam pikiran manusia atau pikiran Tuhan.⁴
Berkeley memandang
bahwa semua kualitas benda—baik primer seperti bentuk dan ukuran, maupun
sekunder seperti warna dan rasa—tergantung pada subjek yang mengalaminya.⁵
Dalam hal ini, ia membuka jalan bagi fenomenalisme, walau tetap dalam kerangka
teologis yang kental. Penolakan terhadap realisme materialis oleh Berkeley
menjadi titik awal bagi kritik modern terhadap asumsi realitas objektif yang
independen dari kesadaran.
4.3.
Peralihan ke
Fenomenalisme Empiris: John Stuart Mill dan Ernst Mach
Dalam abad ke-19,
fenomenalisme mengalami sekularisasi dan rasionalisasi melalui tokoh seperti John
Stuart Mill, yang menyatakan bahwa benda-benda fisik dapat
dipahami sebagai kumpulan permanen dari kemungkinan sensasi
(permanent
possibilities of sensation).⁶ Gagasan ini menandai pergeseran dari
kerangka teologis Berkeley ke pendekatan empiris dan operasional. Mill
berargumen bahwa keberadaan benda-benda eksternal dapat diartikan sebagai
hubungan prediktif antara pengalaman-pengalaman yang dapat diobservasi.
Pemikiran Mill
kemudian diperkaya oleh ilmuwan dan filsuf Austria Ernst
Mach, yang memperkenalkan pandangan empirio-kritisisme.
Mach menolak entitas metafisik seperti ego atau substansi dan menganggap dunia
sebagai rangkaian sensasi yang netral secara ontologis.⁷ Ia berusaha
menggabungkan pendekatan ilmiah dan fenomenalis dengan menempatkan pengalaman
langsung sebagai dasar semua pengetahuan ilmiah.
4.4.
Fenomenalisme Logis:
A.J. Ayer dan Filsafat Analitik
Pada abad ke-20,
fenomenalisme menemukan formulasi yang lebih ketat dalam lingkup empirisme
logis yang berkembang di bawah pengaruh Vienna
Circle. Salah satu tokoh utamanya, A. J.
Ayer, berupaya mendefinisikan semua proposisi tentang dunia
luar dalam istilah proposisi pengalaman inderawi. Dalam The
Foundations of Empirical Knowledge (1940), Ayer menyatakan bahwa objek
fisik adalah konstruksi logis dari sense-data.⁸ Ia tidak
menolak realitas objektif, tetapi mengklaim bahwa pengetahuan tentangnya hanya
bermakna bila dapat direduksi pada pengalaman langsung.
Meskipun proyek ini
akhirnya menemui berbagai kritik—terutama dari sisi ketidakmampuan untuk
sepenuhnya mereduksi proposisi fisik ke data pengalaman tanpa kehilangan
makna—formulasi ini menjadi tonggak penting dalam menjadikan fenomenalisme
bagian dari filsafat analitik modern.
4.5.
Respon Kontemporer:
Fenomenalisme dan Fenomenologi
Meski berbeda dalam
metodologi, fenomenalisme juga memiliki keterkaitan
terminologis dan tematik dengan fenomenologi, terutama dalam
usaha memahami struktur kesadaran dan makna pengalaman. Edmund
Husserl mengembangkan gagasan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional—yakni
selalu menyadari “sesuatu.”⁹ Walaupun fenomenologi Husserl tidak
menyamakan realitas dengan persepsi semata, fokus pada pengalaman sebagai titik
tolak pengetahuan membuatnya sejajar secara tematik dengan fenomenalisme.
Dalam era postmodern
dan digital, fenomenalisme juga kembali relevan dalam konteks realitas
virtual, konstruksi sosial terhadap objek digital, dan relasi
manusia dengan dunia maya—yang semuanya menantang pemisahan klasik antara “yang
ada” dan “yang tampak.”
Catatan Kaki
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 151e.
[2]
William of Ockham, Ockham’s Theory of Terms: Part I of the Summa
Logicae, trans. Michael J. Loux (Notre Dame, IN: University of Notre Dame
Press, 1974), 87–89.
[3]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing,
1982), 25–28.
[4]
Ibid., 35.
[5]
Ibid., 48–51.
[6]
John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s
Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865), 258–262.
[7]
Ernst Mach, The Analysis of Sensations, trans. C. M. Williams
(New York: Dover, 1959), 15–18.
[8]
A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London:
Macmillan, 1940), 33–35.
[9]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 84–90.
5.
Tokoh-Tokoh
Kunci Fenomenalisme
Fenomenalisme
sebagai pendekatan filsafat ontologis dan epistemologis telah mengalami evolusi
pemikiran yang panjang melalui kontribusi sejumlah tokoh penting. Mereka tidak
hanya menyumbangkan kerangka teoretis yang mendasari fenomenalisme, tetapi juga
memperluas jangkauan dan aplikasinya dalam diskursus filsafat modern. Bagian
ini mengulas empat tokoh utama yang berperan besar dalam pembentukan dan
perkembangan fenomenalisme: George Berkeley, Immanuel
Kant, John Stuart Mill, dan A. J.
Ayer.
5.1.
George Berkeley
(1685–1753): Fondasi Idealisme Subjektif
George Berkeley
merupakan tokoh sentral dalam tahap awal fenomenalisme melalui doktrin idealisme
subjektif. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge (1710), ia menolak eksistensi materi sebagai entitas
independen dari persepsi. Baginya, semua yang kita sebut “benda”
hanyalah kumpulan ide yang hadir dalam kesadaran; benda tidak memiliki
eksistensi di luar pikiran yang memersepsinya.¹
Berkeley merumuskan
prinsip “esse est percipi” (to be is
to be perceived), yang menekankan bahwa eksistensi bergantung pada
keberadaannya dalam pengalaman perseptual.² Dalam sistem teologisnya,
keberlanjutan eksistensi objek ketika tidak dipersepsi oleh manusia dijamin
oleh persepsi Tuhan yang senantiasa aktif.³ Meski pemikirannya lebih dekat ke
idealisme religius daripada fenomenalisme empiris, Berkeley dianggap sebagai pelopor
utama pandangan yang menolak realitas objektif independen,
suatu ciri esensial dalam fenomenalisme.
5.2.
Immanuel Kant
(1724–1804): Fenomena dan Noumena
Immanuel
Kant tidak menyebut dirinya fenomenalis, namun kontribusinya
sangat signifikan dalam membentuk dasar konseptual bagi pendekatan
fenomenalistis. Dalam Critique of Pure Reason (1781),
Kant membedakan antara fenomena (hal-ihwal sebagaimana
tampak kepada kita dalam pengalaman) dan noumena (hal-ihwal sebagaimana
adanya, terlepas dari persepsi kita).⁴
Menurut Kant,
pengetahuan manusia terbatas pada fenomena yang dibentuk oleh struktur a priori
pikiran—yaitu ruang, waktu, dan kategori-kategori intelektual. Kita tidak
pernah bisa mengetahui realitas “pada dirinya sendiri” (das Ding an
sich), hanya bagaimana realitas tampak melalui bentuk-bentuk persepsi dan
konsep.⁵ Dengan demikian, Kant mewartakan batas epistemologis manusia,
yang hanya dapat menjangkau “yang tampak,” sebuah pandangan yang
menguatkan postulat dasar fenomenalisme.
5.3.
John Stuart Mill
(1806–1873): Kemungkinan Permanen Sensasi
John
Stuart Mill memberikan kontribusi penting dalam pengembangan
fenomenalisme dalam ranah empirisme. Dalam An Examination of Sir William Hamilton’s
Philosophy (1865), Mill mendefinisikan benda fisik sebagai gugusan
kemungkinan permanen dari sensasi (permanent possibilities of sensation).⁶
Artinya, eksistensi benda fisik dirujuk melalui pernyataan kondisional: “jika
saya melakukan tindakan tertentu, maka saya akan mengalami sensasi tertentu.”
Mill berusaha
menghindari dualisme antara pikiran dan materi dengan mereduksi segala
keberadaan ke dalam interaksi pengalaman empiris,
tanpa harus menyangkal stabilitas atau keteraturan dunia luar.⁷ Dalam hal ini,
ia mengembangkan fenomenalisme ke arah yang lebih naturalistik dan kompatibel
dengan pendekatan ilmiah.
5.4.
A. J. Ayer
(1910–1989): Fenomenalisme dalam Empirisme Logis
Alfred
Jules Ayer, salah satu tokoh utama empirisme
logis dari lingkaran Vienna (Vienna Circle), adalah pengusung
fenomenalisme dalam bentuk analitik dan verifikasionis. Dalam The
Foundations of Empirical Knowledge (1940), Ayer berargumen bahwa semua
pernyataan tentang dunia luar harus dapat direduksi pada laporan-laporan
pengalaman langsung (sense-data) agar bermakna.⁸
Ayer mengadopsi
model reduksi
logis, di mana objek fisik tidak diperlakukan sebagai entitas
metafisik, melainkan sebagai konstruksi dari proposisi-proposisi tentang
pengalaman.⁹ Dengan demikian, Ayer menganalisis struktur makna
dari klaim-klaim ontologis melalui kerangka empiris dan linguistik. Meskipun
pendekatannya kemudian dikritik karena sulitnya merekonstruksi objek kompleks
hanya dari sense-data, kontribusinya tetap krusial dalam menetapkan
fenomenalisme sebagai bagian dari filsafat analitik.
Penutup Sementara
Keempat tokoh
tersebut memberikan spektrum kontribusi yang luas terhadap fenomenalisme—dari
pendekatan teologis (Berkeley), kritis-rasional (Kant), empiris-naturalistik
(Mill), hingga analitik-logis (Ayer). Mereka membentuk fondasi yang
memungkinkan fenomenalisme berkembang menjadi salah satu pendekatan penting
dalam menjawab pertanyaan ontologis tentang hakikat realitas dan syarat-syarat eksistensial
suatu objek.
Catatan Kaki
[1]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing,
1982), 25–30.
[2]
Ibid., 35.
[3]
Ibid., 50–52.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 193–201.
[5]
Ibid., 178–180.
[6]
John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s
Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865), 258–262.
[7]
Ibid., 271.
[8]
A. J. Ayer, The Foundations of Empirical Knowledge (London:
Macmillan, 1940), 67–70.
[9]
Ibid., 44–46.
6.
Kritik
terhadap Fenomenalisme
Meskipun
fenomenalisme memberikan kontribusi penting dalam upaya menjelaskan relasi
antara persepsi dan eksistensi, pendekatan ini tidak luput dari kritik yang
mendalam dari berbagai mazhab filsafat, baik dalam ranah ontologi,
epistemologi, maupun logika bahasa. Kritik-kritik tersebut mencakup persoalan reduksionisme
pengalaman, masalah realitas objektif, ancaman
solipsisme, dan kesulitan dalam mendefinisikan objek kompleks
hanya berdasarkan sense-data. Bagian ini akan menguraikan beberapa kritik utama
terhadap fenomenalisme, disertai refleksi atas daya tanggap fenomenalisme
terhadap tantangan tersebut.
6.1.
Kritik dari
Realisme: Masalah Eksistensi Mandiri Objek
Salah satu kritik
paling mendasar datang dari para filsuf realis, yang menolak klaim
bahwa eksistensi objek hanya bergantung pada persepsi aktual atau potensial.
Menurut G. E. Moore, realitas dunia
luar memiliki eksistensi yang independen dari
persepsi manusia, dan argumen fenomenalis gagal memberikan dasar ontologis yang
memadai untuk menjustifikasi keyakinan kita terhadap keberadaan benda-benda
fisik.¹
Moore menekankan
bahwa kita memiliki keyakinan intuitif yang tak dapat disangkal
bahwa benda seperti meja tetap ada meskipun tidak sedang dipersepsi—sebuah
argumen yang ia sebut sebagai “common sense.”² Oleh karena itu, usaha
fenomenalisme untuk mendefinisikan objek berdasarkan kondisi pengalaman
dipandang sebagai bentuk reduksi artifisial terhadap realitas.
6.2.
Kritik dari Filsafat
Analitik: Reduksi yang Gagal
Tokoh-tokoh filsafat
analitik seperti Wilfrid Sellars dan P. F.
Strawson mengkritik fenomenalisme karena gagal menjelaskan struktur
bahasa dan makna dalam representasi dunia nyata. Dalam esainya
yang berpengaruh, Empiricism and the Philosophy of Mind,
Sellars menunjukkan bahwa tidak mungkin menyusun klaim tentang dunia
fisik hanya dari laporan-laporan sense-data karena data
tersebut tidak memiliki struktur konseptual yang cukup untuk membangun
proposisi bermakna.³
Strawson, dalam
karyanya Individuals
(1959), menegaskan bahwa identifikasi objek memerlukan kerangka
referensi yang melibatkan konsep keberlanjutan dan individualitas,
sesuatu yang tidak bisa diberikan hanya oleh kumpulan fenomena atau pengalaman
sesaat.⁴ Oleh karena itu, fenomenalisme dianggap tidak
memadai secara semantik maupun ontologis dalam menjelaskan
bagaimana bahasa dan pikiran merepresentasikan realitas.
6.3.
Masalah Solipsisme
dan Subjektivitas Ekstrem
Fenomenalisme,
terutama dalam bentuk subjektif yang diwarisi dari Berkeley, sering dikritik
karena berpotensi
jatuh ke dalam solipsisme, yakni pandangan bahwa hanya pikiran
dan persepsi diri sendiri yang bisa dipastikan eksistensinya.⁵ Karena
fenomenalisme menyandarkan seluruh eksistensi pada pengalaman perseptual
subjek, sulit untuk menjelaskan keberadaan pikiran atau pengalaman orang lain
secara objektif.
Kritik ini terutama
dilontarkan oleh filsuf-filsuf inter-subjektivis dan realis
transendental, yang menekankan pentingnya struktur realitas
yang independen dan dapat diverifikasi oleh banyak subjek. Bila semua realitas
direduksi ke dalam pengalaman individual, maka tidak ada jaminan untuk
komunikasi atau koherensi dalam pengetahuan bersama tentang dunia.
6.4.
Kritik dari Ilmu
Saraf dan Kognisi: Persepsi Bukan Representasi Netral
Dalam perkembangan
ilmu saraf dan kognisi modern, fenomenalisme dikritik karena mengasumsikan
bahwa persepsi adalah representasi langsung dan netral dari dunia luar.
Padahal, banyak penelitian menunjukkan bahwa proses perseptual adalah konstruksi aktif yang
melibatkan interpretasi, prediksi, dan koreksi berdasarkan model internal otak.⁶
Sebagai contoh,
eksperimen dalam psikologi persepsi menunjukkan bahwa sensasi
visual diproses secara selektif dan kontekstual, sehingga
mustahil menganggapnya sebagai dasar “murni” dari eksistensi objek. Oleh karena
itu, pendekatan fenomenalis dianggap menyederhanakan kompleksitas proses persepsi
manusia, dan mengabaikan peran konstruktif dari sistem
kognitif.
6.5.
Tantangan Ontologis
dan Epistemologis Kontemporer
Kritik kontemporer
juga mencermati bagaimana fenomenalisme kurang memadai dalam menghadapi problem
ontologis baru, seperti eksistensi digital, realitas virtual, dan
kecerdasan buatan. Jika eksistensi hanya dikaitkan dengan
persepsi aktual atau potensial, bagaimana kita menjelaskan realitas entitas
digital yang tidak selalu dipersepsi tetapi memiliki efek kausal dan
operasional dalam dunia nyata?
Selain itu,
pendekatan fenomenalistis tidak cukup menjelaskan struktur
relasi kausal dan eksistensial antar entitas yang tidak tampak langsung oleh
indra, seperti quark dalam fisika partikel atau jaringan dalam
sistem sosial.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa fenomenalisme memerlukan rekonstruksi
dan pengembangan baru agar tetap relevan dalam lanskap
pemikiran ontologis dan ilmiah kontemporer.
Refleksi
Meskipun
kritik-kritik ini menunjukkan keterbatasan serius dalam teori fenomenalisme,
banyak filsuf tetap mengakui kontribusi pentingnya dalam membatasi klaim
metafisik berlebihan, dan dalam menekankan peran pengalaman
dalam konstruksi pengetahuan. Beberapa pendekatan hybrid, seperti fenomenologi
transcendental, berusaha mengambil kelebihan fenomenalisme
sembari mengatasi kelemahan-kelemahannya melalui pendekatan yang lebih
komprehensif terhadap subjek, objek, dan dunia intersubjektif.
Catatan Kaki
[1]
G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48
(1903): 433–453.
[2]
Ibid., 446.
[3]
Wilfrid Sellars, Empiricism and the Philosophy of Mind, ed.
Richard Rorty (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 14–17.
[4]
P. F. Strawson, Individuals: An Essay in Descriptive Metaphysics
(London: Methuen, 1959), 35–40.
[5]
George Berkeley, Three Dialogues Between Hylas and Philonous,
ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), 66–69.
[6]
Anil K. Seth, Being You: A New Science of Consciousness (New
York: Dutton, 2021), 85–91.
[7]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 183–185.
7.
Relevansi
Fenomenalisme dalam Diskursus Kontemporer
Meskipun fenomenalisme
sering dikritik karena reduksionisme epistemologis dan kecenderungannya
terhadap subjektivisme, gagasan-gagasannya tetap relevan dan bahkan mengalami
kebangkitan dalam konteks filsafat kontemporer. Berbagai perkembangan dalam
bidang fenomenologi,
filsafat pikiran, studi kesadaran, teknologi digital, dan realitas virtual
membuka ruang baru bagi pemaknaan dan penerapan pendekatan fenomenalistis.
Dalam bagian ini, akan dibahas beberapa area utama di mana fenomenalisme
berperan signifikan dalam memperkaya diskursus ontologis dan epistemologis masa
kini.
7.1.
Fenomenalisme dan
Fenomenologi: Arah Transendental
Salah satu bentuk
revitalisasi fenomenalisme terjadi melalui dialog kritis dengan fenomenologi,
khususnya dalam tradisi Edmund Husserl dan Maurice Merleau-Ponty.
Meski fenomenologi bukan bentuk fenomenalisme murni, terdapat kesamaan
metodologis dalam menempatkan pengalaman sebagai titik tolak
pengetahuan. Husserl menyatakan bahwa kesadaran bersifat intensional,
yakni selalu sadar “akan sesuatu,” yang berarti setiap pengalaman selalu
menyimpan korelasi antara subjek dan objek yang disadari.¹
Merleau-Ponty
melangkah lebih jauh dengan menekankan tubuh sebagai pusat pengalaman
(the lived body), yang membuat eksistensi tidak sekadar hasil persepsi pasif, melainkan
proses eksistensial yang melekat pada tubuh yang berkesadaran.² Dalam kerangka
ini, fenomenalisme mendapatkan pembaruan sebagai pendekatan yang menolak
realisme naif sekaligus menegaskan bahwa realitas adalah apa yang muncul dalam
horizon pengalaman yang hidup dan terarah.
7.2.
Filsafat Pikiran dan
Ilmu Kognitif: Representasi, Simulasi, dan Kesadaran
Fenomenalisme juga
relevan dalam diskursus filsafat pikiran, terutama
dalam pembahasan tentang sifat representasional dari pengalaman
dan hubungan
antara kesadaran dan dunia luar. Pandangan bahwa objek mental
dapat direpresentasikan sebagai konstruksi dari data sensorik mendukung
pendekatan intentionalisme dan teori
representasional dalam studi kesadaran.³
Dalam ilmu
kognitif, terutama teori predictive processing, pengalaman
dianggap sebagai hasil prediksi otak terhadap input sensorik
berdasarkan model internal.⁴ Ini menyiratkan bahwa apa yang dianggap sebagai “realitas”
dalam kesadaran adalah hasil konstruksi inferensial,
yang mendekati semangat fenomenalisme dalam menyatakan bahwa realitas adalah
hasil dari proses persepsi yang aktif, bukan pantulan pasif dari dunia
eksternal.
7.3.
Realitas Virtual dan
Teknologi Digital: Fenomena Tanpa Objek Material
Munculnya realitas
virtual (VR) dan augmented reality (AR) juga
menghidupkan kembali relevansi fenomenalisme dalam konteks baru. Dalam
lingkungan VR, pengguna mengalami objek-objek dan ruang-ruang yang secara
ontologis tidak memiliki eksistensi material, namun tetap
memengaruhi emosi, kognisi, dan bahkan keputusan praktis individu. Hal ini
sejalan dengan prinsip fenomenalisme bahwa eksistensi suatu hal tergantung pada
kemungkinan
untuk dialami secara perseptual.⁵
Konsep seperti ontologi
digital dalam filsafat informasi, sebagaimana dijelaskan oleh Luciano
Floridi, menunjukkan bahwa entitas digital dapat “ada” bukan karena
substansi material, tetapi karena status informasional dan interaksinya dalam
jaringan sistem yang terstruktur.⁶ Dengan kata lain, eksistensi
entitas dalam ruang digital semakin menyerupai eksistensi fenomenalis—ada
sejauh bisa dipersepsi, dialami, dan dioperasikan.
7.4.
Perspektif
Sosial-Konstruksionis dan Postmodern
Dalam ranah teori
sosial dan filsafat postmodern, fenomenalisme beresonansi
dengan konstruksionisme
sosial, yang menyatakan bahwa realitas sosial terbentuk melalui
pengalaman kolektif dan diskursus. Michel Foucault, misalnya, menekankan bahwa
“kebenaran” dan “realitas” selalu dikonstruksi melalui struktur
pengetahuan dan kekuasaan, bukan berdiri bebas dari persepsi dan pengalaman
historis.⁷
Pendekatan ini
memanfaatkan semangat fenomenalis dalam
membongkar klaim-klaim obyektivitas absolut, dan menunjukkan bahwa realitas
yang kita pahami adalah hasil dari proses interpretasi, struktur sosial, dan
norma-norma budaya yang berperan dalam pengalaman kita terhadap dunia.
7.5.
Relevansi Etis dan
Eksistensial
Akhirnya,
fenomenalisme memiliki relevansi dalam wacana eksistensial dan etika kontemporer,
karena menekankan bahwa pengalaman personal adalah dasar dari makna dan nilai.
Dalam konteks ini, fenomenalisme membantu membuka pemahaman tentang bagaimana
manusia mengalami penderitaan, keindahan, kebebasan,
dan keterasingan—tema-tema yang penting dalam filsafat
eksistensial dan humanistik.
Refleksi
Fenomenalisme,
meskipun tidak lagi dominan sebagai aliran filsafat independen, tetap menjadi lensa
penting dalam membaca ulang persoalan ontologi dan epistemologi di zaman
post-industri, digital, dan post-truth. Kemampuannya untuk
menjembatani antara subjek dan objek, antara realitas dan persepsi, menjadikannya
relevan dalam menjawab tantangan intelektual masa kini yang melampaui
batas-batas filsafat tradisional.
Catatan Kaki
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1982), 44–46.
[2]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), 94–97.
[3]
Michael Tye, Ten Problems of Consciousness: A Representational
Theory of the Phenomenal Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 137–140.
[4]
Andy Clark, Surfing Uncertainty: Prediction, Action, and the
Embodied Mind (Oxford: Oxford University Press, 2016), 62–67.
[5]
David J. Chalmers, “The Virtual and the Real,” Disputatio 9,
no. 46 (2017): 309–352.
[6]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 179–182.
[7]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–135.
8.
Penutup
Fenomenalisme
menempati posisi unik dalam khazanah filsafat, terutama dalam kajian ontologi
dan epistemologi. Ia tampil sebagai pendekatan yang berusaha menjembatani dua
kutub besar dalam sejarah pemikiran metafisika: realisme, yang menegaskan
eksistensi dunia luar yang independen dari kesadaran, dan idealisme,
yang menempatkan pikiran atau kesadaran sebagai pusat realitas. Fenomenalisme,
dengan menekankan bahwa segala sesuatu yang ada harus dapat dirujuk kepada pengalaman
perseptual aktual atau potensial, memberikan kerangka ontologis
yang berfokus pada apa yang tampak dan dapat dialami.
Sebagaimana telah
dibahas dalam bagian sebelumnya, fenomenalisme mengalami evolusi konseptual
dari bentuk idealisme subjektif Berkeley,
melalui transformasi empiris-analitik dalam karya John
Stuart Mill dan A. J. Ayer, hingga pengaruh
tidak langsung dalam fenomenologi Husserlian dan filsafat
informasi kontemporer.¹ Melalui sejarah pemikiran ini, tampak
bahwa fenomenalisme bukan sekadar teori epistemik mengenai persepsi, tetapi
juga sebuah postulat ontologis tentang batas-batas dan syarat eksistensi suatu entitas
dalam kaitannya dengan subjek yang mengalaminya.
Namun demikian,
fenomenalisme tidak lepas dari kritik tajam, baik dari
pendekatan realis, filsafat analitik, maupun ilmu saraf dan kognitif.² Masalah
solipsisme, keterbatasan representasi sensorik, dan tantangan reduksi objek
kompleks menjadi kesan inderawi menunjukkan bahwa fenomenalisme tidak dapat
berdiri sendiri sebagai teori total tentang realitas.³ Kritik ini menunjukkan perlunya
komplemen
konseptual, yang dapat melibatkan pemikiran intersubjektif,
konteks linguistik, dan struktur sosial dalam membentuk dan memahami
eksistensi.
Di sisi lain,
fenomenalisme terus menunjukkan relevansi kontemporernya,
terutama dalam kajian mengenai realitas digital, pengalaman
virtual, serta struktur kognitif dan afektif kesadaran.
Dunia modern yang semakin ditengahi oleh representasi digital dan lingkungan
virtual menunjukkan bahwa “keberadaan” semakin didefinisikan oleh kemungkinan
untuk dialami, bukan hanya oleh eksistensi material.⁴ Hal ini
menunjukkan bahwa prinsip-prinsip fenomenalisme masih sangat hidup dan
kontributif dalam menjawab tantangan zaman.
Dalam refleksi
akhir, fenomenalisme dapat dilihat bukan sebagai sistem filsafat yang lengkap
dan mutlak, melainkan sebagai kerangka kerja interpretatif
yang membantu kita memahami bagaimana subjektivitas dan pengalaman membentuk horizon
keberadaan. Ia mengajarkan bahwa yang “ada” bukanlah
semata-mata apa yang “terlepas dari kita,” tetapi juga—dan terutama—apa
yang menyingkapkan
diri dalam pengalaman, dalam kesadaran, dan dalam keterlibatan
eksistensial manusia dengan dunia.
Catatan Kaki
[1]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Kenneth P. Winkler (Indianapolis: Hackett Publishing,
1982); John Stuart Mill, An Examination of Sir William Hamilton’s
Philosophy (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1865); A. J. Ayer, The
Foundations of Empirical Knowledge (London: Macmillan, 1940); Edmund
Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological
Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982).
[2]
G. E. Moore, “The Refutation of Idealism,” Mind 12, no. 48
(1903): 433–453; Wilfrid Sellars, Empiricism and the Philosophy of Mind,
ed. Richard Rorty (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997); Anil K.
Seth, Being You: A New Science of Consciousness (New York: Dutton,
2021).
[3]
P. F. Strawson, Individuals: An Essay in Descriptive Metaphysics
(London: Methuen, 1959), 35–40; Michael Tye, Ten Problems of Consciousness
(Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 139–143.
[4]
David J. Chalmers, “The Virtual and the Real,” Disputatio 9,
no. 46 (2017): 309–352; Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 179–182.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1940). The foundations of empirical
knowledge. London: Macmillan.
Berkeley, G. (1982). A treatise concerning the
principles of human knowledge (K. P. Winkler, Ed.). Indianapolis: Hackett Publishing.
Berkeley, G. (1998). Three dialogues between
Hylas and Philonous (J. Dancy, Ed.). Oxford: Oxford University Press.
Chalmers, D. J. (2017). The virtual and the real. Disputatio,
9(46), 309–352.
Clark, A. (2016). Surfing uncertainty: Prediction,
action, and the embodied mind. Oxford: Oxford University Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford: Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York:
Pantheon Books.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
The Hague: Martinus Nijhoff. (Original work published 1913)
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
(Original work published 1781)
Mach, E. (1959). The analysis of sensations
(C. M. Williams, Trans.). New York: Dover. (Original work published 1886)
Merleau-Ponty, M. (2012). Phenomenology of
perception (D. A. Landes, Trans.). London: Routledge. (Original work
published 1945)
Mill, J. S. (1865). An examination of Sir
William Hamilton’s philosophy. London: Longmans, Green, Reader, and Dyer.
Moore, G. E. (1903). The refutation of idealism. Mind,
12(48), 433–453.
Sellars, W. (1997). Empiricism and the
philosophy of mind (R. Rorty, Ed.). Cambridge, MA: Harvard University
Press. (Original work published 1956)
Seth, A. K. (2021). Being you: A new science of
consciousness. New York: Dutton.
Strawson, P. F. (1959). Individuals: An essay in
descriptive metaphysics. London: Methuen.
Tye, M. (1995). Ten problems of consciousness: A
representational theory of the phenomenal mind. Cambridge, MA: MIT Press.
van Inwagen, P. (2015). Metaphysics (4th
ed.). Boulder, CO: Westview Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar