Selasa, 10 Juni 2025

Komunitarianisme: Reaktualisasi Nilai-Nilai Komunitas dalam Kritik terhadap Liberalisme dan Desain Politik Kontemporer

Komunitarianisme

Reaktualisasi Nilai-Nilai Komunitas dalam Kritik terhadap Liberalisme dan Desain Politik Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran pemikiran komunitarianisme sebagai respons filosofis, politis, dan etis terhadap dominasi liberalisme dalam wacana sosial-politik modern. Berangkat dari kritik terhadap asumsi individualistik liberalisme, komunitarianisme menekankan pentingnya nilai-nilai komunitas, keterikatan moral, dan kebajikan sosial sebagai landasan pembentukan identitas dan keadilan. Artikel ini membahas landasan filosofis komunitarianisme, sejarah perkembangannya, serta kontribusi tokoh-tokoh kunci seperti Michael Sandel, Charles Taylor, Alasdair MacIntyre, dan Amitai Etzioni. Lebih jauh, artikel ini menganalisis perbedaan mendasar antara komunitarianisme dan liberalisme dalam konsep diri, keadilan, kebebasan, dan kebijakan publik. Implikasi komunitarianisme terhadap etika, pendidikan kewargaan, pembangunan berbasis masyarakat, dan kebijakan multikulturalisme juga dieksplorasi secara kritis. Di sisi lain, artikel ini menelaah berbagai kritik terhadap komunitarianisme, termasuk isu konservatisme moral, relativisme normatif, dan eksklusivitas nilai. Dengan merujuk pada dinamika global kontemporer seperti krisis demokrasi, fragmentasi sosial, dan tantangan ekologis, artikel ini menegaskan bahwa komunitarianisme tetap relevan sebagai kerangka normatif alternatif yang mampu menghidupkan kembali solidaritas sosial, tanggung jawab kolektif, dan nilai-nilai publik yang bermakna dalam desain politik masa kini.

Kata Kunci: Komunitarianisme; Liberalisme; Nilai Komunitas; Etika Publik; Keadilan Sosial; Multikulturalisme; Kewargaan; Kebijakan Publik; Identitas Kolektif; Filsafat Politik Kontemporer.


PEMBAHASAN

Komunitarianisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah pemikiran politik modern, liberalisme telah menempati posisi hegemonik sebagai kerangka utama dalam merumuskan prinsip-prinsip keadilan, hak individu, dan sistem demokrasi. Namun, sejak akhir abad ke-20, liberalisme mulai menghadapi tantangan serius, baik secara filosofis maupun praksis, terutama dalam merespons krisis identitas, fragmentasi sosial, dan lemahnya solidaritas komunitas dalam masyarakat pluralistik. Dalam konteks inilah komunitarianisme muncul bukan sekadar sebagai sebuah aliran alternatif, tetapi sebagai respons filosofis yang mengedepankan pentingnya nilai-nilai komunitas, kebajikan sosial, dan tradisi kolektif dalam membentuk kehidupan politik yang berkeadilan.

Komunitarianisme secara konseptual dapat dipahami sebagai pendekatan yang menekankan keterikatan individu pada komunitas moral tertentu dan menolak pandangan liberal tentang individu sebagai agen otonom yang terlepas dari konteks sosial-budaya. Sebagaimana ditegaskan oleh Charles Taylor, komunitarianisme menganggap bahwa identitas pribadi dibentuk dalam ruang intersubjektif, bukan dalam isolasi individualistik sebagaimana diasumsikan dalam teori kontrak sosial liberal klasik¹. Kritik komunitarian terhadap liberalisme bersifat substansial: ia menolak apa yang disebut sebagai "atomisme moral", yaitu gagasan bahwa individu dapat menentukan nilai dan tujuan hidupnya secara mandiri tanpa mengacu pada nilai-nilai sosial yang membentuknya².

Kemunculan komunitarianisme secara artikulatif terjadi pada era 1980-an, terutama melalui karya-karya pemikir seperti Michael Sandel, Charles Taylor, Alasdair MacIntyre, dan Amitai Etzioni. Mereka menyoroti keterbatasan teori keadilan liberal—khususnya yang dikembangkan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice—yang dianggap terlalu formalistik dan mengabaikan akar historis dan kultural dari prinsip-prinsip moral masyarakat³. Misalnya, Sandel dalam Liberalism and the Limits of Justice menyatakan bahwa Rawls secara keliru menggambarkan “self” sebagai entitas yang terlepas dari keterlibatan moral dan historisnya dengan komunitas⁴.

Lebih dari sekadar kritik normatif, komunitarianisme juga menekankan urgensi reaktualisasi nilai-nilai komunitas dalam merespons krisis sosial-politik kontemporer, termasuk meningkatnya keterasingan sosial, krisis representasi demokrasi, dan lemahnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Dalam hal ini, komunitarianisme tidak menolak pentingnya hak individu, tetapi mengajukan pendekatan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab, antara kebebasan dan kebajikan sosial⁵. Oleh karena itu, aliran ini tidak hanya bersifat korektif terhadap liberalisme, tetapi juga konstruktif dalam menawarkan fondasi normatif baru untuk desain politik yang lebih kontekstual dan berakar pada nilai-nilai sosial yang hidup.

Sebagai sebuah kerangka pemikiran, komunitarianisme mengundang refleksi filosofis yang mendalam mengenai hubungan antara individu dan komunitas, serta mengajukan landasan moral alternatif dalam menyusun kembali struktur kehidupan bersama. Kajian ini menjadi sangat penting terutama dalam konteks global yang semakin plural, di mana narasi kebersamaan dan identitas kolektif semakin dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan demokrasi dan keadilan sosial.


Catatan Kaki

[1]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 35–36.

[2]                Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality (New York: Basic Books, 1983), 6–7.

[3]                Stephen Mulhall and Adam Swift, Liberals and Communitarians (Oxford: Blackwell, 1992), 3–5.

[4]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 19–22.

[5]                Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), xv–xvii.


2.           Landasan Filosofis Komunitarianisme

Komunitarianisme sebagai suatu aliran dalam filsafat sosial-politik berakar pada pandangan antropologis dan etis yang menekankan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang identitas dan moralitasnya tidak dapat dilepaskan dari komunitas tempat ia hidup. Berbeda dari pendekatan liberal yang menjadikan individu sebagai entitas otonom dengan hak-hak pra-politik, komunitarianisme menggarisbawahi keterbentukan subjek melalui relasi sosial, budaya, dan historis yang melingkupinya.

Secara filosofis, komunitarianisme berakar pada tradisi pemikiran Aristotelian yang melihat manusia sebagai zoon politikon—makhluk yang hanya dapat mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya dalam kehidupan bersama di dalam polis. Dalam pandangan Aristoteles, kebajikan (virtue) hanya dapat dikembangkan melalui partisipasi dalam komunitas yang membentuk nilai-nilai bersama⁽¹⁾. Akar klasik ini kemudian dikembangkan dalam pemikiran Hegel yang melihat pembentukan kesadaran individu sebagai hasil dari dialektika pengakuan dalam relasi sosial yang konkret⁽²⁾.

Salah satu aspek fundamental komunitarianisme adalah kritiknya terhadap gagasan liberal tentang "self" sebagai entitas yang bebas dari keterikatan sosial. Menurut Michael Sandel, model "self" dalam liberalisme Rawlsian bersifat terlalu abstrak dan tidak mengakui bahwa identitas moral seseorang selalu dikonstruksi dalam ruang komunitas tertentu⁽³⁾. Dalam Liberalism and the Limits of Justice, Sandel menegaskan bahwa individu bukanlah "unencumbered self", tetapi selalu tertanam dalam praktik sosial dan hubungan yang membentuk makna hidup⁽⁴⁾. Oleh karena itu, keadilan tidak bisa dipahami hanya sebagai distribusi hak secara formal, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai-nilai substantif yang dianut oleh komunitas.

Charles Taylor, salah satu filsuf utama komunitarianisme, mengemukakan bahwa identitas manusia terbentuk melalui apa yang ia sebut sebagai "horizon of significance"—sebuah kerangka nilai dan makna yang memungkinkan individu menilai pilihan hidupnya secara bermakna. Tanpa kerangka nilai yang bersifat intersubjektif tersebut, kebebasan akan kehilangan arah dan makna moralnya⁽⁵⁾. Dalam konteks ini, kebebasan bukanlah kemampuan untuk memilih secara sewenang-wenang, melainkan kapasitas untuk bertindak dalam kerangka nilai yang diakui secara kolektif.

Selain itu, Alasdair MacIntyre dalam After Virtue menyoroti krisis moral dalam masyarakat modern yang ditandai oleh fragmentasi nilai dan hilangnya kerangka moral bersama. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, diskursus moral cenderung bersifat emotivistik dan kehilangan dasar rasional yang kokoh karena terputus dari tradisi komunitas yang membentuk praktik kebajikan⁽⁶⁾. Solusi yang ditawarkan MacIntyre bukanlah kembali pada aturan moral universal ala Kant atau utilitarianisme, melainkan kepada narasi dan praktik komunitas yang menghidupkan kembali etika kebajikan Aristotelian.

Secara umum, komunitarianisme menolak dikotomi tajam antara individu dan komunitas yang sering diasumsikan dalam filsafat politik liberal. Bagi komunitarian, individu tidak hanya hidup "di dalam" komunitas, tetapi secara ontologis dibentuk "oleh" komunitas tersebut. Oleh karena itu, konsep keadilan, kebebasan, dan hak harus dipahami dalam konteks relasional dan historis, bukan dalam kerangka abstraksi metafisik tentang individu ideal⁽⁷⁾.

Landasan filosofis ini menegaskan bahwa komunitarianisme bukan sekadar nostalgia terhadap kebersamaan tradisional, tetapi merupakan kritik mendalam terhadap kerangka normatif liberal modern yang cenderung mengabaikan sumber-sumber moralitas dan identitas yang hidup dalam komunitas nyata. Dalam masyarakat yang menghadapi krisis makna dan keterpecahan sosial, komunitarianisme menawarkan kerangka reflektif untuk membangun kembali landasan etis-politik yang lebih berakar dan kontekstual.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 1253a.

[2]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 111–118.

[3]                Michael J. Sandel, “The Procedural Republic and the Unencumbered Self,” Political Theory 12, no. 1 (1984): 81–96.

[4]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 150–153.

[5]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 27–30.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 1–6.

[7]                Stephen Mulhall and Adam Swift, Liberals and Communitarians (Oxford: Blackwell, 1992), 15–18.


3.           Sejarah dan Perkembangan Gagasan Komunitarianisme

Komunitarianisme sebagai suatu aliran pemikiran tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan sebagai hasil dari perkembangan panjang tradisi intelektual yang merefleksikan hubungan antara individu dan komunitas. Meskipun komunitarianisme sebagai istilah baru mulai populer dalam diskursus filsafat politik pada dekade 1980-an, akar-akar pemikirannya dapat ditelusuri sejak filsafat Yunani klasik, terutama dalam karya Aristoteles yang menekankan bahwa manusia hanya dapat merealisasikan potensinya sebagai makhluk etis dalam polis atau komunitas politik⁽¹⁾.

Dalam tradisi pasca-klasik, benih komunitarian juga tampak dalam pemikiran Thomas Aquinas yang mengintegrasikan nilai-nilai moral komunitas ke dalam filsafat politik Kristen, serta dalam pemikiran G.W.F. Hegel yang menekankan bahwa kebebasan sejati hanya dapat dicapai melalui partisipasi dalam tatanan sosial yang rasional⁽²⁾. Hegel menolak pandangan atomistik tentang individu, dan melihat subjektivitas sebagai hasil dialektis dari interaksi sosial yang mengakui nilai-nilai komunal dan institusional⁽³⁾.

Namun, komunitarianisme sebagai gerakan intelektual modern baru memperoleh artikulasi sistematik pada akhir abad ke-20 sebagai respons terhadap dominasi liberalisme dalam filsafat politik Anglo-Amerika. Dominasi ini berpuncak pada karya monumental John Rawls, A Theory of Justice (1971), yang mengusung gagasan tentang "original position" dan "veil of ignorance" sebagai dasar keadilan distributif yang netral terhadap nilai-nilai moral partikular⁽⁴⁾. Bagi para komunitarian, pendekatan Rawls tersebut terlalu mengabaikan konteks historis dan kultural di mana nilai-nilai keadilan terbentuk.

Reaksi terhadap Rawls ini kemudian melahirkan apa yang dikenal sebagai komunitarian turn dalam filsafat politik. Michael Sandel, dalam karyanya Liberalism and the Limits of Justice (1982), mengkritik asumsi Rawls tentang “unencumbered self”, dan menegaskan bahwa identitas moral seseorang selalu dibentuk dalam konteks relasional komunitas⁽⁵⁾. Sandel menyatakan bahwa keadilan tidak bisa dimengerti hanya melalui prosedur formal, melainkan harus mempertimbangkan makna substantif dari kehidupan bersama yang memiliki akar budaya dan moral.

Selanjutnya, Alasdair MacIntyre dalam After Virtue (1981) menyoroti krisis moral modern yang disebabkan oleh hilangnya narasi etis bersama. Ia menyerukan pentingnya kembali pada komunitas tradisional yang mampu menghidupkan kembali praktik-praktik kebajikan dan orientasi hidup bermakna⁽⁶⁾. Sementara itu, Charles Taylor mengembangkan dimensi hermeneutik komunitarianisme melalui refleksi atas pentingnya pengakuan identitas dan konteks budaya dalam pembentukan subjektivitas modern⁽⁷⁾.

Di sisi yang lebih pragmatis, Amitai Etzioni menjadi tokoh penting dalam pengembangan komunitarianisme sebagai gerakan sosial dan kebijakan publik. Melalui The Responsive Communitarian Platform yang ia rintis sejak awal 1990-an, Etzioni berusaha menjembatani antara nilai-nilai komunitas dan hak-hak individu dengan mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam pembangunan moral kolektif dan kebijakan yang berimbang antara kebebasan dan tanggung jawab⁽⁸⁾.

Seiring berkembangnya zaman, komunitarianisme mengalami perluasan makna dan pendekatan. Muncul apa yang disebut sebagai soft communitarianism yang lebih moderat dan terbuka terhadap pluralisme nilai, serta strong communitarianism yang lebih kritis terhadap universalisme moral liberal. Perkembangan ini menunjukkan bahwa komunitarianisme bukanlah gerakan tunggal, melainkan spektrum pemikiran yang mencerminkan respons terhadap berbagai bentuk krisis modernitas, termasuk atomisasi sosial, dekadensi moral, dan keterasingan politik⁽⁹⁾.

Dengan demikian, sejarah komunitarianisme menunjukkan evolusi dari akar klasik ke wacana kontemporer yang berusaha menawarkan alternatif filosofis dan praktis dalam mengelola kehidupan bersama. Komunitarianisme hadir sebagai koreksi terhadap reduksionisme liberal sekaligus sebagai upaya untuk merevitalisasi dasar etis dalam kehidupan politik modern.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 1253a–1254a.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II–II, q. 58.

[3]                G.W.F. Hegel, Philosophy of Right, trans. T.M. Knox (Oxford: Oxford University Press, 1967), 149–156.

[4]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–22.

[5]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 15–20.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 1–15.

[7]                Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition (Princeton: Princeton University Press, 1992), 25–28.

[8]                Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), 1–10.

[9]                Stephen Mulhall and Adam Swift, Liberals and Communitarians (Oxford: Blackwell, 1992), 89–95.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Komunitarianisme

Komunitarianisme sebagai aliran pemikiran sosial-politik modern memperoleh bentuk artikulatifnya melalui kontribusi sejumlah filsuf dan pemikir publik yang secara kritis merefleksikan keterbatasan liberalisme serta menawarkan gagasan alternatif berbasis nilai komunitas. Meskipun masing-masing tokoh memiliki pendekatan yang khas, mereka dipersatukan oleh komitmen terhadap pentingnya komunitas moral sebagai fondasi bagi pembentukan identitas dan tatanan politik yang adil. Empat tokoh sentral dalam komunitarianisme modern adalah Michael Sandel, Charles Taylor, Alasdair MacIntyre, dan Amitai Etzioni.

4.1.       Michael J. Sandel: Kritik terhadap “Unencumbered Self”

Michael Sandel, filsuf politik dari Harvard University, merupakan salah satu tokoh utama komunitarianisme yang terkenal karena kritiknya terhadap teori keadilan liberal John Rawls. Dalam Liberalism and the Limits of Justice, Sandel menolak konsep “self” Rawlsian yang tidak terikat nilai-nilai partikular, menyebutnya sebagai “unencumbered self”—yakni individu abstrak yang dapat menentukan tujuan hidupnya secara independen dari komunitas⁽¹⁾. Bagi Sandel, identitas moral seseorang selalu tertanam dalam keterikatan sosial dan historis, sehingga keadilan harus mempertimbangkan relasi konkret antaranggota komunitas, bukan sekadar prosedur netral⁽²⁾.

4.2.       Charles Taylor: Identitas, Pengakuan, dan Horizon of Significance

Charles Taylor, filsuf asal Kanada, memberikan kontribusi penting dalam pengembangan komunitarianisme melalui analisisnya terhadap pembentukan identitas modern. Dalam Sources of the Self dan Multiculturalism and the Politics of Recognition, Taylor menekankan bahwa identitas manusia dibentuk dalam kerangka nilai yang disebutnya sebagai “horizon of significance”⁽³⁾. Ia mengkritik liberalisme karena gagal mengakui pentingnya konteks budaya dalam proses pembentukan identitas. Taylor juga memperkenalkan konsep recognition (pengakuan) sebagai kebutuhan fundamental manusia, di mana seseorang hanya bisa menjadi subjek moral yang utuh jika diakui secara timbal balik dalam komunitas sosialnya⁽⁴⁾. Oleh karena itu, kebijakan politik harus berpijak pada prinsip pengakuan terhadap identitas kolektif, bukan hanya hak-hak individu.

4.3.       Alasdair MacIntyre: Etika Kebajikan dan Krisis Moral Modern

Alasdair MacIntyre, dalam karya terkenalnya After Virtue, menyajikan kritik filosofis terhadap modernitas moral yang menurutnya telah mengalami fragmentasi nilai. Ia menyoroti bahwa masyarakat modern kehilangan narasi bersama yang menjadi dasar bagi kebajikan moral dan keputusan etis yang bermakna⁽⁵⁾. Menurut MacIntyre, solusi terhadap krisis tersebut adalah dengan kembali pada komunitas-komunitas yang membentuk practices (praktik sosial bermakna) dan traditions, di mana kebajikan seperti kejujuran, keberanian, dan solidaritas dikembangkan secara organik⁽⁶⁾. Pandangan ini menghidupkan kembali etika Aristotelian dalam konteks sosial kontemporer.

4.4.       Amitai Etzioni: Komunitarianisme Responsif dan Kebijakan Publik

Berbeda dari para komunitarian filosofis, Amitai Etzioni memosisikan dirinya sebagai pemikir praktis yang fokus pada penerapan nilai komunitas dalam kebijakan publik. Dalam The Spirit of Community dan berbagai karyanya lainnya, Etzioni mengembangkan konsep responsive communitarianism, yang menyeimbangkan antara hak individu dan tanggung jawab sosial⁽⁷⁾. Ia menolak ekstremisme individualistik liberal tanpa menolak sepenuhnya pentingnya kebebasan individu. Etzioni mendorong pembangunan norma sosial melalui konsensus moral masyarakat sipil, serta mempromosikan keterlibatan aktif warga negara dalam kehidupan komunitas sebagai jalan menuju masyarakat yang beretika dan demokratis⁽⁸⁾.


Tokoh-tokoh ini secara kolektif membentuk landasan intelektual komunitarianisme kontemporer. Meskipun terdapat perbedaan dalam penekanan teoretis maupun pendekatan normatif—dari Taylor yang fokus pada identitas budaya hingga Etzioni yang terjun langsung dalam advokasi kebijakan—mereka sepakat bahwa komunitas bukan sekadar agregat individu, melainkan entitas moral yang membentuk dan mengarahkan tindakan manusia. Dengan demikian, komunitarianisme memperoleh kekuatannya dari pluralitas pendekatan yang membangun sebuah proyek filsafat dan politik berbasis relasionalitas manusia.


Catatan Kaki

[1]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 19–22.

[2]                Michael J. Sandel, “The Procedural Republic and the Unencumbered Self,” Political Theory 12, no. 1 (1984): 81–96.

[3]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 27–30.

[4]                Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition (Princeton: Princeton University Press, 1992), 25–28.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 1–15.

[6]                Ibid., 187–203.

[7]                Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), xv–xvii.

[8]                Amitai Etzioni, “The Responsive Communitarian Platform,” The Responsive Community 1, no. 1 (1991): 1–6.


5.           Komunitarianisme vs Liberalisme

Perdebatan antara komunitarianisme dan liberalisme merupakan salah satu kontestasi filsafat politik paling signifikan dalam wacana kontemporer. Kedua pendekatan ini tidak hanya berbeda dalam asumsi filosofis tentang hakikat manusia dan masyarakat, tetapi juga berimplikasi langsung pada perumusan prinsip keadilan, hak individu, kebebasan, dan desain institusi politik. Meskipun keduanya memiliki kepedulian terhadap etika dan kehidupan bersama, komunitarianisme mengajukan kritik mendalam terhadap fundasi liberalisme yang dianggap terlalu menekankan pada otonomi individual dan mengabaikan peran komunitas sebagai sumber nilai dan identitas.

5.1.       Konsep Diri: Individu Otonom vs Subjek Relasional

Liberalisme, terutama dalam formulasi John Rawls, memandang individu sebagai agen moral yang otonom dan rasional, yang dapat memilih tujuan hidupnya tanpa harus merujuk pada tradisi atau nilai komunitas tertentu. Gagasan tentang original position dan veil of ignorance dalam A Theory of Justice bertumpu pada model "unencumbered self", yakni individu yang dapat melepaskan diri dari keterikatan historis dan sosial demi merumuskan prinsip keadilan secara objektif dan universal⁽¹⁾.

Sebaliknya, komunitarianisme menolak asumsi tersebut dan menegaskan bahwa identitas seseorang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan moral komunitasnya. Michael Sandel menekankan bahwa individu adalah makhluk yang "tertanam" dalam jaringan relasi, komitmen, dan tradisi yang memberikan makna pada pilihan-pilihannya⁽²⁾. Oleh karena itu, pengabaian terhadap dimensi komunitas dalam desain politik akan menghasilkan alienasi moral dan fragmentasi sosial.

5.2.       Keadilan: Proseduralisme Netral vs Substansi Nilai Komunal

Liberalisme cenderung mengedepankan keadilan sebagai prinsip prosedural yang netral terhadap gagasan tentang kebaikan hidup (the good life). Hal ini terlihat dalam konsep overlapping consensus Rawls, yang bertujuan merumuskan prinsip keadilan yang dapat diterima oleh berbagai pandangan hidup yang beragam⁽³⁾. Liberalisme, dalam hal ini, lebih memprioritaskan keadilan sebagai "hak" (rights) ketimbang kebaikan sebagai "kebajikan" (virtues).

Komunitarianisme mengkritik pendekatan ini karena dianggap mengaburkan pentingnya nilai-nilai substantif yang hidup dalam komunitas. Alasdair MacIntyre menekankan bahwa keadilan tidak bisa dilepaskan dari narasi dan praktik yang berkembang dalam komunitas historis tertentu, karena moralitas bersifat kontekstual dan berkembang melalui tradisi⁽⁴⁾. Dalam perspektif ini, keadilan bukanlah hasil dari konsensus prosedural, melainkan buah dari pembinaan kebajikan dalam konteks kehidupan bersama.

5.3.       Kebebasan: Negatif vs Positif dan Relasional

Dalam teori liberal klasik, kebebasan sering dipahami sebagai kebebasan negatif—bebas dari campur tangan pihak luar dalam menentukan tujuan hidup pribadi. Isaiah Berlin membedakan antara kebebasan negatif (freedom from) dan kebebasan positif (freedom to), dan liberalisme cenderung menekankan bentuk pertama⁽⁵⁾.

Komunitarianisme, sebaliknya, lebih menekankan bentuk kebebasan yang relasional dan positif, yakni kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi diri melalui partisipasi aktif dalam komunitas. Charles Taylor, dalam esainya “What’s Wrong with Negative Liberty?”, menyatakan bahwa pemahaman kebebasan yang hanya bersifat negatif justru menutupi bentuk penindasan struktural yang bersumber dari kerangka nilai individualistik yang tak terbantahkan⁽⁶⁾.

5.4.       Peran Negara dan Komunitas

Dalam liberalisme, negara dianggap sebagai penjamin kebebasan individu dengan batasan minimal dalam ranah privat. Negara liberal hanya berfungsi menjamin hak-hak dasar dan menjaga keadilan prosedural. Konsekuensinya, banyak aspek kehidupan moral diserahkan sepenuhnya pada individu, dan negara tidak diharapkan mempromosikan nilai-nilai tertentu.

Sebaliknya, komunitarianisme tidak memisahkan peran negara dari tugas moral untuk memperkuat nilai-nilai komunal yang menopang kohesi sosial. Amitai Etzioni, dalam kerangka responsive communitarianism, menegaskan bahwa negara harus berperan aktif mempromosikan tanggung jawab sosial, solidaritas antarwarga, dan keterlibatan masyarakat sipil dalam pembentukan kebijakan yang bermoral⁽⁷⁾. Namun demikian, komunitarianisme juga menolak otoritarianisme dan menekankan perlunya keseimbangan antara hak dan tanggung jawab.

5.5.       Perspektif Kritis: Ketegangan dan Potensi Rekonsiliasi

Ketegangan antara komunitarianisme dan liberalisme telah memicu perdebatan panjang dalam ranah akademik dan kebijakan publik. Namun, sejumlah pemikir seperti William Galston dan Stephen Macedo mencoba menawarkan jalan tengah dengan mengembangkan liberalisme komunal atau liberalisme nilai, yaitu bentuk liberalisme yang mengakui pentingnya nilai komunitas dalam pembentukan kebijakan publik tanpa mengorbankan prinsip dasar kebebasan individu⁽⁸⁾.

Dengan demikian, meskipun komunitarianisme dan liberalisme sering kali dipertentangkan secara tajam, keduanya juga dapat dilihat sebagai pendekatan yang saling melengkapi dalam upaya membangun masyarakat yang adil, bebas, dan bermakna. Komunitarianisme menawarkan koreksi filosofis dan normatif terhadap kecenderungan liberalisme yang terlalu atomistik, sekaligus memperkaya diskursus demokrasi dengan menekankan akar moral dan kultural dari kehidupan politik.


Catatan Kaki

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–22.

[2]                Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 150–153.

[3]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 133–172.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 204–225.

[5]                Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty,” in Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–172.

[6]                Charles Taylor, “What’s Wrong with Negative Liberty,” in Philosophy and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 211–229.

[7]                Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), 15–28.

[8]                William Galston, Liberal Purposes: Goods, Virtues, and Diversity in the Liberal State (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 3–19.


6.           Konsep Keadilan dan Etika dalam Komunitarianisme

Dalam komunitarianisme, keadilan dan etika bukanlah prinsip-prinsip universal yang terlepas dari kehidupan sosial, melainkan hasil dari tradisi moral dan praktik yang hidup dalam komunitas tertentu. Hal ini membedakan komunitarianisme secara tajam dari pendekatan liberal yang cenderung memformulasikan keadilan secara prosedural dan abstrak. Komunitarianisme menawarkan kerangka keadilan yang berakar pada nilai-nilai bersama dan pemahaman kontekstual terhadap kebajikan moral.

6.1.       Keadilan Kontekstual dan Tradisional

Konsep keadilan dalam komunitarianisme tidak dipahami sebagai prinsip rasional universal yang berdiri di atas semua pandangan hidup, melainkan sebagai ekspresi nilai-nilai komunitas yang terbentuk melalui sejarah, budaya, dan tradisi. Alasdair MacIntyre menegaskan bahwa pertanyaan “apa itu keadilan?” tidak dapat dijawab tanpa terlebih dahulu menjawab “komunitas apa ini, dan nilai-nilai apa yang dihayatinya?”⁽¹⁾. Keadilan, dalam hal ini, merupakan cerminan dari telos komunitas—tujuan moral yang melekat dalam struktur sosial dan budaya yang diwariskan.

Dalam After Virtue, MacIntyre mengkritik model moral modern yang tercerabut dari akar historisnya. Ia berpendapat bahwa keadilan hanya dapat dimengerti melalui narasi dan praktik komunitas yang hidup, bukan melalui prinsip moral yang bersifat ahistoris dan abstrak⁽²⁾. Dengan demikian, komunitarianisme memperkuat pendekatan partikularistik terhadap keadilan, yang menolak homogenisasi nilai-nilai dalam skema politik liberal universal.

6.2.       Etika Kebajikan: Dari Aristoteles ke Komunitarianisme Modern

Komunitarianisme menghidupkan kembali etika kebajikan (virtue ethics) yang berakar pada filsafat Aristoteles. Dalam kerangka ini, tindakan moral tidak diukur berdasarkan konsekuensi atau aturan universal, melainkan berdasarkan sejauh mana tindakan itu mencerminkan kebajikan yang dipupuk dalam komunitas. Kebajikan seperti kejujuran, keberanian, dan kesetiaan memiliki makna moral karena diasosiasikan dengan praktik sosial yang berkelanjutan⁽³⁾.

MacIntyre menyebut komunitas sebagai tempat di mana “practices” berkembang—yakni aktivitas sosial yang secara internal mengandung standar keunggulan dan kebajikan moral. Misalnya, menjadi dokter bukan hanya soal menguasai teknik medis, tetapi juga membina karakter seperti kepedulian, tanggung jawab, dan integritas⁽⁴⁾. Dalam komunitarianisme, praktik-praktik seperti ini menjadi fondasi bagi pembentukan identitas etis individu.

6.3.       Kebajikan Sosial dan Tanggung Jawab Kolektif

Etika komunitarian juga menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dan keterikatan moral antaranggota komunitas. Amitai Etzioni menyatakan bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang seimbang antara hak individu dan kewajiban terhadap sesama⁽⁵⁾. Dalam The Spirit of Community, ia menekankan bahwa komunitas moral adalah komunitas yang tidak hanya memperjuangkan kebebasan, tetapi juga mengembangkan solidaritas dan partisipasi aktif dalam kehidupan publik.

Etzioni mengembangkan konsep moral voice—yakni suara kolektif masyarakat yang membimbing perilaku moral warga negara. Berbeda dari tekanan negara secara koersif, moral voice bekerja melalui norma sosial dan ekspektasi komunitas, seperti dalam keluarga, sekolah, tempat ibadah, atau asosiasi warga⁽⁶⁾. Dalam konteks ini, komunitarianisme menolak model individualisme etis yang mengasingkan individu dari tanggung jawab sosialnya.

6.4.       Tantangan terhadap Relativisme dan Etika Eksklusif

Salah satu tantangan serius yang dihadapi oleh komunitarianisme adalah tuduhan bahwa pendekatannya terhadap keadilan dan etika dapat terjerumus ke dalam relativisme moral dan konservatisme budaya. Karena menekankan partikularitas nilai komunitas, komunitarianisme dinilai berisiko melanggengkan norma-norma yang diskriminatif atau tidak inklusif. Namun, tokoh-tokoh seperti Charles Taylor menanggapi tantangan ini dengan mengajukan pentingnya dialog antarkomunitas, di mana pengakuan terhadap identitas kolektif tidak berarti menutup diri terhadap koreksi normatif dari luar⁽⁷⁾.

Taylor mengusulkan bahwa setiap komunitas harus terbuka terhadap kritik rasional dan komunikasi lintas budaya dalam semangat hermeneutika reflektif, yang menggabungkan pemahaman atas nilai lokal dengan kesadaran akan keterbukaan universalitas⁽⁸⁾. Dengan demikian, komunitarianisme tidak harus terperangkap dalam partikularisme ekstrem, tetapi dapat berkembang sebagai etika relasional yang tetap menghargai pluralitas moral.


Kesimpulan Sementara

Konsep keadilan dan etika dalam komunitarianisme menekankan keterkaitan erat antara individu dan komunitas, antara kebajikan dan praktik sosial, antara hak dan tanggung jawab. Komunitarianisme menolak model keadilan universal yang abstrak, dan sebagai gantinya mengajukan pendekatan normatif yang kontekstual, partisipatif, dan berbasis kebajikan. Dalam dunia yang mengalami fragmentasi nilai dan krisis solidaritas, pendekatan ini menawarkan kerangka alternatif yang potensial untuk membangun kembali dasar moral kehidupan bersama.


Catatan Kaki

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 216.

[2]                Ibid., 223–225.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a–1103a.

[4]                MacIntyre, After Virtue, 187–203.

[5]                Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), xvii–xxii.

[6]                Amitai Etzioni, The New Golden Rule: Community and Morality in a Democratic Society (New York: Basic Books, 1996), 12–18.

[7]                Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition (Princeton: Princeton University Press, 1992), 44–48.

[8]                Charles Taylor, “The Politics of Recognition,” in Multiculturalism, ed. Amy Gutmann (Princeton: Princeton University Press, 1994), 57–61.


7.           Implikasi Politik dan Kebijakan Publik

Komunitarianisme, meskipun berakar pada refleksi filosofis mengenai relasi antara individu dan komunitas, juga memiliki implikasi yang sangat konkret dalam ranah politik dan kebijakan publik. Gagasan-gagasan komunitarian mengusulkan pergeseran paradigma dari fokus eksklusif pada hak-hak individu menuju model politik yang menyeimbangkan antara hak dan tanggung jawab, serta mengakui pentingnya keterlibatan komunitas dalam pembentukan norma dan kebijakan sosial. Pendekatan ini bertujuan membangun masyarakat yang kohesif, etis, dan partisipatif.

7.1.       Penguatan Kewargaan Aktif dan Etika Publik

Salah satu implikasi utama komunitarianisme adalah dorongan untuk membangun kembali citizenship yang aktif dan bertanggung jawab. Alih-alih hanya menjadi penerima hak, warga negara ideal dalam perspektif komunitarian adalah individu yang terlibat dalam kehidupan publik dan berkontribusi terhadap kesejahteraan komunitas. Amitai Etzioni menyatakan bahwa kewargaan sejati mencakup responsibility-bearing citizens yang tidak hanya menuntut kebebasan, tetapi juga menjalankan peran moral dalam masyarakat⁽¹⁾.

Hal ini mengarah pada pentingnya pengembangan etika publik (public ethics), yaitu seperangkat nilai dan norma yang dipertukarkan dalam ranah kehidupan bersama. Pendidikan moral, keterlibatan dalam organisasi masyarakat sipil, dan penguatan kapasitas deliberatif publik menjadi bagian dari strategi politik komunitarian dalam membentuk masyarakat beretika dan demokratis⁽²⁾.

7.2.       Kebijakan yang Berbasis Komunitas (Community-Based Policy)

Komunitarianisme menekankan pentingnya desentralisasi moral dan penguatan struktur sosial lokal. Dalam hal ini, kebijakan publik sebaiknya tidak didesain secara top-down dan seragam, melainkan disesuaikan dengan konteks kultural dan nilai-nilai komunitas setempat. Prinsip ini melahirkan pendekatan community-based policy, di mana lembaga lokal seperti keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan asosiasi warga diberdayakan sebagai aktor utama dalam pembentukan norma sosial⁽³⁾.

Sebagai contoh, dalam isu penanggulangan kenakalan remaja atau kekerasan dalam rumah tangga, komunitarianisme tidak hanya mengandalkan penegakan hukum, tetapi juga intervensi berbasis komunitas seperti dialog moral, mediasi sosial, dan rekonstruksi nilai bersama melalui pendidikan informal⁽⁴⁾.

7.3.       Keseimbangan antara Hak dan Tanggung Jawab

Komunitarianisme berupaya menyeimbangkan ketegangan antara perlindungan hak-hak individual dan pembangunan tanggung jawab sosial. Dalam The Responsive Communitarian Platform, Etzioni dan para kolaboratornya mengusulkan prinsip bahwa “rights must be balanced by responsibilities” sebagai landasan normatif bagi kebijakan publik⁽⁵⁾. Artinya, setiap kebijakan yang memperluas hak individu juga harus disertai upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab sosial dalam pelaksanaannya.

Misalnya, kebijakan kebebasan berekspresi tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian; atau kebebasan ekonomi harus diimbangi dengan kontribusi terhadap kesejahteraan sosial dan lingkungan. Dalam logika ini, komunitarianisme mengusulkan standar kebijakan yang tidak sekadar legal-formal, tetapi juga bermoral dan kontekstual.

7.4.       Penguatan Kohesi Sosial dalam Masyarakat Plural

Dalam konteks masyarakat pluralistik dan multikultural, komunitarianisme menawarkan pendekatan yang tidak hanya toleran, tetapi juga dialogis dan partisipatif. Charles Taylor menggarisbawahi pentingnya politics of recognition, yaitu upaya sistematis untuk mengakui identitas kolektif kelompok-kelompok budaya minoritas tanpa mengorbankan prinsip keadilan sosial yang inklusif⁽⁶⁾. Kebijakan publik dalam kerangka ini tidak bersifat homogenis, melainkan membuka ruang bagi ekspresi identitas lokal dan penguatan solidaritas antarkelompok melalui pendidikan multikultural dan dialog antaragama.

7.5.       Pembangunan Berbasis Nilai Komunal

Komunitarianisme juga memengaruhi orientasi pembangunan sosial dan ekonomi. Konsep pembangunan dalam pendekatan ini tidak hanya diukur dari indikator material seperti pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari peningkatan kualitas relasi sosial, kekuatan jaringan komunitas, dan keberlanjutan moral masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan ini cenderung kritis terhadap model pembangunan neoliberal yang mengabaikan dimensi sosial dan kultural pembangunan manusia⁽⁷⁾.

7.6.       Risiko dan Kritik terhadap Implementasi

Meskipun menjanjikan kerangka kebijakan yang lebih bermoral dan kontekstual, komunitarianisme juga menghadapi risiko potensial ketika diterapkan dalam kebijakan publik. Salah satu kritik utama adalah kecenderungan komunitarianisme terhadap konservatisme moral, di mana nilai-nilai lokal atau tradisional dapat menjadi alat dominasi terhadap kelompok minoritas atau yang berbeda pandangan⁽⁸⁾. Oleh karena itu, komunitarianisme yang responsif harus memastikan bahwa komunitas terbuka terhadap kritik internal dan eksternal, serta menjamin ruang deliberatif yang setara.


Kesimpulan Sementara

Secara keseluruhan, komunitarianisme menawarkan fondasi etis dan sosial yang kuat bagi desain kebijakan publik yang kontekstual, partisipatif, dan berkeadilan. Dengan menekankan peran komunitas dalam pembentukan nilai, etika publik, dan tanggung jawab sosial, komunitarianisme tidak hanya mengoreksi reduksionisme liberal dalam perumusan kebijakan, tetapi juga membangun tatanan politik yang lebih manusiawi dan berakar pada kehidupan nyata masyarakat.


Catatan Kaki

[1]                Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), xvii–xx.

[2]                William A. Galston, “Civic Education in the Liberal State,” in Liberalism, Citizenship and Civic Education, ed. Steven Macedo (New York: Oxford University Press, 2000), 89–98.

[3]                Etzioni, The New Golden Rule: Community and Morality in a Democratic Society (New York: Basic Books, 1996), 114–121.

[4]                Responsive Communitarian Platform, “The Responsive Communitarian Statement,” The Responsive Community 1, no. 1 (1991): 5–10.

[5]                Ibid., 6.

[6]                Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition (Princeton: Princeton University Press, 1992), 25–30.

[7]                Amitai Etzioni, The Moral Dimension: Toward a New Economics (New York: Free Press, 1988), 23–26.

[8]                Nancy Fraser, “Recognition without Ethics?,” Theory, Culture & Society 18, no. 2–3 (2001): 21–42.


8.           Kritik Terhadap Komunitarianisme

Meskipun komunitarianisme menawarkan kritik yang tajam dan konstruktif terhadap liberalisme, serta menyediakan alternatif normatif berbasis nilai-nilai komunitas, aliran ini juga tidak luput dari kritik yang serius, baik dari perspektif liberal, progresif, maupun feminis. Kritik-kritik tersebut mempertanyakan konsekuensi filosofis, politis, dan etis dari komunitarianisme, terutama terkait risiko konservatisme, relativisme moral, eksklusivitas nilai, serta implikasi terhadap kelompok-kelompok rentan.

8.1.       Risiko Konservatisme Moral dan Status Quo

Salah satu kritik utama terhadap komunitarianisme adalah kecenderungannya untuk mempertahankan status quo moral dalam masyarakat. Karena komunitarianisme menekankan nilai-nilai dan praktik komunitas yang sudah ada, maka ia berisiko menjustifikasi struktur sosial yang opresif atau diskriminatif atas nama tradisi atau kebajikan lokal. Hal ini sangat mengkhawatirkan dalam konteks komunitas yang menjunjung patriarki, kasta, atau bentuk dominasi mayoritas lainnya⁽¹⁾.

Martha Nussbaum, misalnya, memperingatkan bahwa pendekatan yang terlalu menekankan partikularitas budaya tanpa kerangka normatif universal dapat mengaburkan pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik budaya tertentu. Ia mengajukan pendekatan capabilities sebagai alternatif yang lebih menjamin martabat manusia secara universal, tanpa mengabaikan konteks kultural⁽²⁾.

8.2.       Relativisme Moral dan Pluralisme Normatif

Komunitarianisme juga dikritik karena cenderung jatuh ke dalam relativisme moral, yaitu pandangan bahwa nilai-nilai moral hanya sah dalam konteks komunitas tertentu dan tidak dapat diuji secara universal. Akibatnya, tidak ada dasar yang cukup kuat untuk menilai atau mengkritik praktik budaya yang tidak etis di luar komunitas yang bersangkutan⁽³⁾. Hal ini sangat problematis ketika menyangkut isu-isu global seperti pelanggaran HAM, eksploitasi, atau ketidakadilan sistemik.

Brian Barry secara tegas menolak relativisme komunitarian dengan menyatakan bahwa prinsip-prinsip keadilan tidak boleh tunduk pada preferensi lokal semata. Ia berargumen bahwa klaim keadilan harus didasarkan pada prinsip moral yang dapat diuji secara rasional lintas budaya⁽⁴⁾.

8.3.       Eksklusivitas dan Homogenisasi Identitas

Kritik lainnya menyasar pada potensi eksklusivitas dan homogenisasi dalam komunitarianisme. Dalam usaha memperkuat kohesi sosial dan identitas komunal, komunitarianisme dapat mengabaikan atau menekan perbedaan internal dalam komunitas, seperti perbedaan gender, orientasi seksual, kelas sosial, atau agama minoritas. Dengan kata lain, definisi “komunitas” bisa menjadi alat dominasi bagi kelompok dominan dalam masyarakat.

Susan Moller Okin menunjukkan bahwa komunitarianisme sering mengasumsikan komunitas sebagai entitas yang stabil dan harmonis, padahal dalam kenyataannya komunitas bisa sangat hirarkis dan penuh konflik internal, terutama terhadap perempuan dan kelompok marjinal⁽⁵⁾. Oleh karena itu, pendekatan komunitarian perlu dikritisi agar tidak melanggengkan struktur subordinatif.

8.4.       Ketegangan dengan Prinsip Hak Asasi Universal

Komunitarianisme yang menekankan partikularisme lokal kadang sulit berdamai dengan prinsip-prinsip universal HAM yang bersifat lintas komunitas dan negara. Dalam beberapa konteks, seperti perdebatan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan identitas kolektif, komunitarianisme cenderung mendahulukan keharmonisan komunitas daripada kebebasan individu⁽⁶⁾.

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana komunitarianisme dapat berfungsi dalam masyarakat plural dan demokratis tanpa mengorbankan hak-hak dasar individu. Para kritikus berpendapat bahwa hak individu tetap harus dijamin sebagai perlindungan terakhir terhadap dominasi sosial dan moral dalam komunitas yang tertutup atau represif.

8.5.       Kompleksitas Praktis dalam Perumusan Kebijakan

Dalam tataran kebijakan, komunitarianisme menghadapi tantangan serius dalam operasionalisasi gagasan-gagasan moral komunitas ke dalam bentuk kebijakan publik yang adil dan inklusif. Ketika nilai-nilai komunitas berbeda tajam satu sama lain, bagaimana negara seharusnya merumuskan kebijakan yang bersifat umum? Komunitarianisme belum memberikan kerangka teoretik yang memadai dalam menyikapi konflik nilai antar komunitas dalam masyarakat plural yang kompleks⁽⁷⁾.


Upaya Refleksi dan Revisi Internal

Beberapa komunitarian kontemporer merespons kritik tersebut dengan merevisi pendekatan mereka. Charles Taylor, misalnya, mengusulkan model komunitarianisme yang dialogis dan terbuka terhadap prinsip deliberatif, di mana komunitas bukan entitas statis, tetapi ruang diskursif yang terus-menerus membentuk dan menegosiasikan nilai-nilainya⁽⁸⁾. Amitai Etzioni juga menegaskan bahwa komunitarianisme yang sehat harus responsif terhadap hak individu dan terbuka terhadap kritik normatif eksternal⁽⁹⁾.


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap komunitarianisme menunjukkan bahwa meskipun aliran ini menawarkan koreksi penting terhadap kelemahan liberalisme, ia juga menyimpan potensi problematis yang serius, khususnya dalam hal perlindungan hak minoritas, pluralisme nilai, dan resistensi terhadap perubahan. Oleh karena itu, komunitarianisme yang berkelanjutan memerlukan prinsip keterbukaan, refleksivitas moral, dan penghormatan terhadap keadilan universal yang dapat diuji secara rasional lintas komunitas.


Catatan Kaki

[1]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 56–80.

[2]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 5–11.

[3]                Michael Walzer, Interpretation and Social Criticism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 19–24.

[4]                Brian Barry, Culture and Equality: An Egalitarian Critique of Multiculturalism (Cambridge: Polity Press, 2001), 28–31.

[5]                Susan Moller Okin, “Is Multiculturalism Bad for Women?” in Is Multiculturalism Bad for Women?, ed. Joshua Cohen et al. (Princeton: Princeton University Press, 1999), 7–24.

[6]                Jeremy Waldron, Law and Disagreement (Oxford: Oxford University Press, 1999), 142–147.

[7]                Stephen Macedo, Diversity and Distrust: Civic Education in a Multicultural Democracy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000), 34–38.

[8]                Charles Taylor, “The Politics of Recognition,” in Multiculturalism, ed. Amy Gutmann (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–73.

[9]                Amitai Etzioni, The New Golden Rule: Community and Morality in a Democratic Society (New York: Basic Books, 1996), 29–36.


9.           Relevansi Komunitarianisme dalam Konteks Global Kontemporer

Di tengah krisis identitas, polarisasi politik, dan disintegrasi sosial yang semakin nyata di berbagai belahan dunia, komunitarianisme kembali mendapatkan tempat sebagai kerangka teoritis yang relevan untuk menata ulang hubungan antara individu, masyarakat, dan negara. Tantangan-tantangan global kontemporer seperti meningkatnya populisme, erosi kepercayaan publik terhadap institusi demokratis, fragmentasi sosial akibat digitalisasi, serta krisis ekologis yang menuntut solidaritas kolektif, semuanya memperlihatkan kelemahan pendekatan liberal yang terlalu menekankan pada atomisme individual. Dalam situasi inilah komunitarianisme tampil sebagai alternatif filosofis dan politis yang menekankan pentingnya keterikatan moral, kebajikan kolektif, dan tanggung jawab sosial.

9.1.       Respons terhadap Krisis Demokrasi dan Polarisasi Politik

Komunitarianisme berperan penting dalam merespons krisis kepercayaan terhadap institusi demokrasi liberal, terutama di negara-negara Barat yang mengalami gejala democratic backsliding. Kehilangan kepercayaan terhadap elite politik, meningkatnya disinformasi, serta memburuknya keterlibatan warga negara telah melemahkan struktur demokrasi representatif⁽¹⁾. Komunitarianisme menawarkan solusi melalui penguatan civic engagement dan revitalisasi masyarakat sipil sebagai arena produksi nilai bersama dan solidaritas sosial.

Amitai Etzioni mendorong pengembangan apa yang disebut sebagai responsive community, yakni komunitas yang tidak hanya aktif secara sosial tetapi juga reflektif secara moral. Dalam kerangka ini, komunitarianisme mendorong rekonstruksi etika publik melalui partisipasi deliberatif dan pemberdayaan warga dalam pengambilan keputusan lokal⁽²⁾.

9.2.       Komunitarianisme dan Tantangan Multikulturalisme

Dalam masyarakat multikultural, komunitarianisme memberikan kerangka penting bagi pengakuan identitas kolektif tanpa mengorbankan prinsip keadilan sosial. Charles Taylor, melalui konsep politics of recognition, mengusulkan bahwa stabilitas sosial dan keadilan hanya dapat dicapai bila masyarakat memberikan ruang terhadap ekspresi budaya, bahasa, dan nilai-nilai minoritas yang membentuk identitas warganya⁽³⁾.

Namun demikian, Taylor juga menekankan bahwa pengakuan tidak boleh bersifat absolut dan tertutup terhadap dialog lintas nilai. Ia mengajukan pendekatan hermeneutis yang memungkinkan dialog antarbudaya berlangsung secara terbuka demi menemukan dasar-dasar normatif yang dapat disepakati bersama⁽⁴⁾. Dalam konteks global yang ditandai oleh migrasi, diaspora, dan konflik identitas, komunitarianisme memberi fondasi penting bagi desain kebijakan integrasi yang manusiawi dan bermartabat.

9.3.       Komunitarianisme dan Solidaritas Ekologis

Krisis iklim dan degradasi lingkungan memerlukan pendekatan yang melampaui kepentingan individual atau nasional sempit. Komunitarianisme menegaskan pentingnya environmental responsibility sebagai bagian dari etika kolektif. Konsep ini mendorong warga untuk melihat keberlanjutan ekologis sebagai komitmen moral bersama, bukan hanya sebagai pilihan privat⁽⁵⁾.

Etzioni mengajukan bahwa norma lingkungan tidak bisa hanya dikembangkan melalui kebijakan pasar atau regulasi pemerintah, melainkan juga melalui pembentukan kesadaran komunitas tentang nilai hidup berkelanjutan. Hal ini mencakup perubahan gaya hidup, penguatan solidaritas lokal, serta pendidikan nilai ekologis sejak dini⁽⁶⁾.

9.4.       Digitalisasi, Individualisme Baru, dan Relevansi Etika Komunal

Globalisasi digital dan ekspansi media sosial telah memperkuat bentuk-bentuk baru individualisme dan keterputusan sosial. Algoritma digital menciptakan ruang gema (echo chambers) yang memperparah polarisasi, serta memperlemah keterlibatan etis di ranah publik⁽⁷⁾. Dalam konteks ini, komunitarianisme mengusulkan pentingnya literasi moral digital dan revitalisasi ruang publik virtual sebagai tempat pertukaran nilai yang bertanggung jawab.

Tokoh-tokoh seperti Robert Putnam, melalui gagasan social capital, menegaskan bahwa menurunnya partisipasi sosial dalam komunitas nyata (misalnya dalam organisasi lokal atau perkumpulan warga) menyebabkan berkurangnya kepercayaan sosial dan kemampuan kolektif masyarakat untuk menyelesaikan masalah bersama⁽⁸⁾. Komunitarianisme, dalam hal ini, mendesak rekonstruksi kembali social bonding yang telah melemah akibat teknologi dan komodifikasi relasi manusia.

9.5.       Studi Kasus: Komunitarianisme dalam Praktik Kebijakan Global

Dalam konteks kebijakan global, pendekatan komunitarian dapat ditemukan dalam berbagai inisiatif pembangunan berbasis masyarakat (community-based development) yang diterapkan di banyak negara berkembang. Misalnya, dalam model participatory rural appraisal (PRA) dan community-driven development (CDD), masyarakat lokal dilibatkan sebagai subjek utama dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan⁽⁹⁾.

Contoh lain adalah pendekatan Asian values yang dikembangkan oleh sejumlah negara Asia Timur, seperti Singapura, yang meskipun kontroversial, mencerminkan semangat komunitarian dalam menyeimbangkan kebebasan individu dan stabilitas sosial melalui internalisasi nilai kolektif, disiplin sosial, dan kepemimpinan etis⁽¹⁰⁾. Meskipun perlu dikritisi secara normatif, fenomena ini menunjukkan bahwa komunitarianisme memiliki aplikasi politis yang luas dan kontekstual.


Kesimpulan Sementara

Komunitarianisme menawarkan respons yang kuat terhadap berbagai tantangan global kontemporer. Dengan menekankan pentingnya nilai bersama, tanggung jawab sosial, dan partisipasi etis, komunitarianisme mampu merevitalisasi ruang publik, memperkuat identitas kolektif yang inklusif, serta mendorong solidaritas lintas batas. Dalam dunia yang kian terfragmentasi oleh individualisme, teknologi, dan konflik nilai, pendekatan komunitarian menjadi semakin relevan untuk merancang desain politik dan kebijakan publik yang berakar pada kemanusiaan dan keterlibatan sosial.


Catatan Kaki

[1]                Yascha Mounk, The People vs. Democracy: Why Our Freedom Is in Danger and How to Save It (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 23–27.

[2]                Amitai Etzioni, The New Golden Rule: Community and Morality in a Democratic Society (New York: Basic Books, 1996), 45–50.

[3]                Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition (Princeton: Princeton University Press, 1992), 25–43.

[4]                Ibid., 66–73.

[5]                Mark Sagoff, The Economy of the Earth: Philosophy, Law, and the Environment (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49–53.

[6]                Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), 191–200.

[7]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 301–315.

[8]                Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 65–85.

[9]                Robert Chambers, Whose Reality Counts? Putting the First Last (London: Intermediate Technology Publications, 1997), 117–122.

[10]             Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W. W. Norton & Company, 2003), 95–103.


10.       Penutup

Komunitarianisme muncul sebagai respons filosofis dan politis yang kuat terhadap berbagai kekurangan dalam paradigma liberalisme modern, khususnya dalam hal ketidakmampuannya menangkap dimensi sosial, historis, dan moral dari kehidupan manusia. Dengan menempatkan komunitas sebagai locus pembentukan identitas moral dan politik, komunitarianisme berhasil menawarkan alternatif yang lebih relasional dan berakar terhadap gagasan tentang keadilan, kebebasan, dan etika publik. Ia tidak hanya mengoreksi liberalisme yang terlalu menekankan pada otonomi individu, tetapi juga mengusulkan tatanan masyarakat yang lebih bermoral, berpartisipasi, dan berorientasi pada kebajikan bersama.

Selama beberapa dekade terakhir, komunitarianisme telah bertransformasi dari sekadar kritik filosofis terhadap liberalisme menjadi kerangka normatif yang dapat dioperasionalisasikan dalam desain kebijakan publik, tata kelola masyarakat multikultural, pendidikan kewargaan, hingga pendekatan pembangunan berbasis komunitas. Pemikiran tokoh-tokohnya—seperti Michael Sandel, Charles Taylor, Alasdair MacIntyre, dan Amitai Etzioni—telah memperkaya perdebatan kontemporer tentang hubungan antara individu dan komunitas, antara hak dan tanggung jawab, antara kebebasan dan solidaritas sosial⁽¹⁾.

Namun demikian, komunitarianisme bukanlah tanpa kekurangan. Kritik-kritik tajam dari kalangan liberal progresif, feminis, dan teoritisi keadilan global menunjukkan bahwa pendekatan komunitarian yang terlalu menekankan partikularitas dan kohesi sosial berisiko menjustifikasi struktur dominasi yang tidak adil dalam komunitas, serta dapat mengaburkan standar moral universal seperti hak asasi manusia⁽²⁾. Oleh karena itu, komunitarianisme kontemporer dituntut untuk terus merefleksikan dirinya secara kritis agar tidak terjebak dalam konservatisme atau relativisme normatif.

Meski demikian, di tengah meningkatnya fragmentasi sosial, krisis ekologis, dan lemahnya keterlibatan publik dalam kehidupan politik modern, komunitarianisme tetap menyajikan kontribusi penting: ia mengingatkan kita bahwa kehidupan bersama yang adil dan bermakna tidak dapat dibangun semata-mata di atas landasan prosedur dan kontrak formal, tetapi juga memerlukan komitmen terhadap nilai-nilai bersama, keterikatan moral, dan pengakuan atas pentingnya komunitas.

Dengan demikian, reaktualisasi komunitarianisme dalam konteks global kontemporer tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh individualisme, pasar bebas, dan disrupsi teknologi, komunitarianisme menawarkan visi alternatif bagi rekonstruksi masyarakat: masyarakat yang lebih beradab, berempati, dan bertanggung jawab secara kolektif⁽³⁾. Oleh karena itu, pengembangan teori dan praktik komunitarianisme menjadi salah satu agenda intelektual dan politik yang patut terus diperjuangkan dalam rangka membangun tata dunia yang lebih etis, inklusif, dan berkeadilan.


Catatan Kaki

[1]                Stephen Mulhall and Adam Swift, Liberals and Communitarians (Oxford: Blackwell, 1992), 115–122; Michael J. Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 149–158.

[2]                Susan Moller Okin, “Is Multiculturalism Bad for Women?” in Is Multiculturalism Bad for Women?, ed. Joshua Cohen et al. (Princeton: Princeton University Press, 1999), 7–24; Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45–50.

[3]                Amitai Etzioni, The New Golden Rule: Community and Morality in a Democratic Society (New York: Basic Books, 1996), 205–210; Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 519–524.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published ca. 350 BCE)

Aristotle. (2000). Politics (B. Jowett, Trans.). Dover Publications. (Original work published ca. 350 BCE)

Barry, B. (2001). Culture and equality: An egalitarian critique of multiculturalism. Polity Press.

Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University Press.

Chambers, R. (1997). Whose reality counts? Putting the first last. Intermediate Technology Publications.

Etzioni, A. (1988). The moral dimension: Toward a new economics. Free Press.

Etzioni, A. (1993). The spirit of community: Rights, responsibilities, and the communitarian agenda. Crown Publishers.

Etzioni, A. (1996). The new golden rule: Community and morality in a democratic society. Basic Books.

Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. Social Text, 25/26, 56–80. https://doi.org/10.2307/466240

Fraser, N. (2001). Recognition without ethics? Theory, Culture & Society, 18(2–3), 21–42. https://doi.org/10.1177/02632760122051760

Galston, W. A. (1991). Liberal purposes: Goods, virtues, and diversity in the liberal state. Cambridge University Press.

Galston, W. A. (2000). Civic education in the liberal state. In S. Macedo (Ed.), Liberalism, citizenship and civic education (pp. 89–98). Oxford University Press.

Hegel, G. W. F. (1967). Philosophy of right (T. M. Knox, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1820)

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1807)

Macedo, S. (2000). Diversity and distrust: Civic education in a multicultural democracy. Harvard University Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Mounk, Y. (2018). The people vs. democracy: Why our freedom is in danger and how to save it. Harvard University Press.

Mulhall, S., & Swift, A. (1992). Liberals and communitarians (2nd ed.). Blackwell.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Okin, S. M. (1999). Is multiculturalism bad for women? In J. Cohen, M. Howard, & M. C. Nussbaum (Eds.), Is multiculturalism bad for women? (pp. 7–24). Princeton University Press.

Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. Simon & Schuster.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Responsive Communitarian Platform. (1991). The responsive communitarian statement. The Responsive Community, 1(1), 5–10.

Sagoff, M. (1988). The economy of the Earth: Philosophy, law, and the environment. Cambridge University Press.

Sandel, M. J. (1982). Liberalism and the limits of justice. Cambridge University Press.

Sandel, M. J. (1984). The procedural republic and the unencumbered self. Political Theory, 12(1), 81–96. https://doi.org/10.1177/0090591784012001005

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1992). Multiculturalism and the politics of recognition. Princeton University Press.

Taylor, C. (1994). The politics of recognition. In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism (pp. 25–73). Princeton University Press.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros. (Original work published 1265–1274)

Walzer, M. (1983). Spheres of justice: A defense of pluralism and equality. Basic Books.

Walzer, M. (1987). Interpretation and social criticism. Harvard University Press.

Waldron, J. (1999). Law and disagreement. Oxford University Press.

Zakaria, F. (2003). The future of freedom: Illiberal democracy at home and abroad. W. W. Norton & Company.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar