Marxisme
Sejarah, Konsep Kunci, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
perkembangan Marxisme sebagai aliran utama dalam filsafat sosial-politik, sejak
kemunculannya pada abad ke-19 hingga relevansinya di abad ke-21. Dimulai dari
latar historis, pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels dianalisis sebagai
respons kritis terhadap kapitalisme industri dan ketimpangan kelas. Artikel ini
menjelaskan asumsi-asumsi dasar epistemologis Marxisme, termasuk materialisme
historis dan dialektika materialis, serta konsep-konsep kunci seperti kelas
sosial, alienasi, nilai-lebih, dan revolusi proletariat. Dalam perkembangannya,
Marxisme mengalami diversifikasi, mencakup Marxisme-Leninisme, Marxisme
Struktural, Neo-Marxisme, hingga pendekatan analitis, ekologis, dan feminis.
Artikel ini juga mengeksplorasi relevansi Marxisme dalam menghadapi krisis
kapitalisme kontemporer, ketimpangan global, transformasi digital, dan
degradasi lingkungan. Di sisi lain, berbagai kritik dan kontroversi terhadap
Marxisme—baik dari kalangan liberal, anarkis, maupun internal Marxis
sendiri—dikaji secara kritis untuk memahami keterbatasan dan tantangan
ideologisnya. Dengan pendekatan interdisipliner dan historis-filosofis, artikel
ini menegaskan bahwa Marxisme tetap menjadi perangkat intelektual dan praksis
yang vital dalam menghadapi persoalan struktural dunia kontemporer.
Kata Kunci: Marxisme; kapitalisme; kelas sosial; nilai-lebih;
pendidikan kritis; pascakolonialisme; ideologi; filsafat sosial-politik;
transformasi sosial; materialisme historis.
PEMBAHASAN
Marxisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Marxisme merupakan
salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik modern. Ia
lahir sebagai kritik radikal terhadap struktur masyarakat kapitalis yang
berkembang pesat pada abad ke-19 di Eropa Barat. Didirikan oleh Karl Marx dan
Friedrich Engels, Marxisme memadukan kritik ekonomi-politik, filsafat sejarah,
serta pemikiran revolusioner dalam satu kerangka teoritis yang menyeluruh.
Gagasan ini tidak hanya memengaruhi dunia akademik, tetapi juga menjadi
inspirasi utama bagi berbagai gerakan politik, revolusi sosial, dan
transformasi sistem negara di berbagai belahan dunia, seperti Uni Soviet,
Tiongkok, dan Kuba¹.
Secara fundamental,
Marxisme mengangkat problematika ketimpangan kelas, dominasi ekonomi, dan peran
ideologi dalam mempertahankan status quo. Dalam pengertian filosofis, ia tidak
sekadar menganalisis struktur sosial yang ada, tetapi juga mengupayakan
perubahan melalui praksis revolusioner. Marx menyatakan bahwa "para
filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, namun persoalannya adalah
bagaimana mengubahnya"². Pandangan ini menjadikan Marxisme bukan hanya
sebagai sistem pemikiran, tetapi juga sebagai gerakan politik dan ideologi
perubahan sosial yang aktif.
Dalam konteks
sejarah pemikiran, Marxisme menawarkan epistemologi yang khas melalui apa yang
disebut sebagai materialisme historis, yakni
pendekatan yang menekankan pentingnya kondisi material dan ekonomi dalam
membentuk struktur sosial, budaya, dan politik. Konsep-konsep seperti basis dan
suprastruktur, pertentangan kelas, dan alienasi menjadi kunci dalam membedah dinamika
sosial dalam kerangka Marxis. Marxisme juga mengembangkan pendekatan dialektika
materialis yang berbeda dari dialektika idealis Hegel, dengan menekankan bahwa
perubahan sosial tidak ditentukan oleh ide, tetapi oleh konflik yang muncul
dari hubungan produksi dalam masyarakat³.
Namun demikian,
seiring dengan perubahan zaman dan munculnya tantangan-tantangan baru, Marxisme
mengalami perkembangan serta transformasi. Dari bentuk klasiknya yang ortodoks,
hingga pada wujud neo-Marxisme dan pendekatan-pendekatan interdisipliner
lainnya, Marxisme terus menjadi rujukan penting dalam memahami globalisasi,
krisis kapitalisme, serta berbagai ketimpangan struktural yang terjadi hingga
abad ke-21⁴.
Dalam artikel ini,
akan dibahas secara sistematis sejarah perkembangan Marxisme, konsep-konsep
kunci yang membentuk kerangka filsafat sosial-politiknya, serta sejauh mana
relevansi pemikiran Marx dan para pengikutnya dalam menghadapi tantangan
sosial-politik kontemporer. Dengan menggunakan pendekatan historis dan filosofis,
tulisan ini berupaya memberikan pemahaman menyeluruh terhadap kontribusi
Marxisme sebagai paradigma kritik sosial yang masih aktual hingga kini.
Footnotes
[1]
David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave
Macmillan, 1980), 3–5.
[2]
Karl Marx, Theses on Feuerbach (1845), thesis XI, dalam The
Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton &
Company, 1978), 145.
[3]
Terry Eagleton, Marxism and Literary Criticism (Berkeley:
University of California Press, 1976), 3–6.
[4]
Alex Callinicos, The Revolutionary Ideas of Karl Marx
(Chicago: Haymarket Books, 2012), 9–14.
2.
Latar Historis Marxisme
Marxisme sebagai
suatu sistem pemikiran tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil
dari pergulatan intelektual dan sosial yang kompleks di Eropa pada abad ke-19.
Dua tokoh utama di balik kelahiran aliran ini, Karl Marx (1818–1883) dan
Friedrich Engels (1820–1895), merupakan intelektual Jerman yang tumbuh dalam
atmosfer perubahan besar: munculnya revolusi industri, ekspansi kapitalisme,
dan munculnya kesenjangan sosial yang mencolok di tengah masyarakat borjuis
yang sedang naik daun¹.
2.1.
Kondisi Sosial-Ekonomi Abad ke-19
Revolusi Industri
yang berlangsung sejak akhir abad ke-18 di Inggris dan kemudian menjalar ke
Eropa daratan telah mengubah wajah masyarakat secara radikal. Kapitalisme
industri mendorong percepatan urbanisasi dan pembentukan kelas buruh baru (proletariat)
yang bekerja di bawah kondisi eksploitasi ekstrem. Kaum borjuis sebagai pemilik
modal menguasai alat produksi dan kekuasaan ekonomi, sementara kelas pekerja
hidup dalam kemiskinan struktural. Fenomena ini menjadi perhatian utama Marx
dan Engels yang menyaksikan langsung penderitaan kaum proletar, khususnya saat
Engels menulis The Condition of the Working Class in England
(1845)².
2.2.
Pengaruh Filsafat Hegel dan Materialisme
Feuerbach
Secara filosofis,
Marxisme dipengaruhi secara mendalam oleh pemikiran Georg Wilhelm Friedrich
Hegel (1770–1831), terutama konsep dialektika. Namun, jika Hegel menggunakan
dialektika idealis yang menempatkan roh (geist) sebagai motor perubahan
sejarah, Marx justru melakukan “pembalikan dialektika” ke dalam
bentuk materialis. Menurut Marx, bukan kesadaran yang menentukan keberadaan,
melainkan sebaliknya—kondisi material dan ekonomi-lah yang menentukan
kesadaran³.
Selain Hegel, Ludwig
Feuerbach juga memberikan kontribusi penting dalam fase awal pemikiran Marx.
Kritik Feuerbach terhadap agama sebagai proyeksi manusia atas kekuasaannya
sendiri turut membentuk pandangan kritis Marx terhadap ideologi dan
suprastruktur. Namun, Marx kemudian mengkritik Feuerbach karena tidak mampu
menjelaskan perubahan sosial secara aktif, karena Feuerbach hanya berhenti pada
kritik kontemplatif tanpa praksis⁴.
2.3.
Kolaborasi Intelektual Marx dan Engels
Pertemuan Marx dan
Engels pada awal 1840-an menjadi titik penting dalam sejarah Marxisme.
Kolaborasi keduanya menghasilkan berbagai karya monumental, termasuk The
Communist Manifesto (1848), yang menyerukan solidaritas
internasional kaum buruh dan perlawanan terhadap dominasi kapitalis. Manifesto
ini menegaskan bahwa "sejarah dari segala masyarakat yang ada hingga
kini adalah sejarah perjuangan kelas"⁵. Gagasan-gagasan dalam
Manifesto menggabungkan analisis ekonomi, teori sosial, dan agenda revolusioner
dalam satu kerangka sistematis yang revolusioner.
2.4.
Publikasi Das Kapital dan Fondasi
Ekonomi Politik Marxisme
Karya utama Marx, Das
Kapital (Volume I diterbitkan pada 1867), memperlihatkan analisis
mendalam terhadap mekanisme kapitalisme, khususnya teori nilai-lebih (surplus
value), akumulasi modal, dan proses eksploitasi tenaga kerja.
Dengan pendekatan kritis terhadap ekonomi politik klasik seperti Adam Smith dan
David Ricardo, Marx menyingkap struktur relasi sosial yang tersembunyi di balik
sistem produksi kapitalis⁶. Engels kemudian membantu menyusun dan menerbitkan
Volume II dan III pasca wafatnya Marx.
2.5.
Penyebaran Internasional dan Institusionalisasi
Marxisme
Setelah kematian
Marx, pemikiran Marxis mulai menyebar luas, terutama melalui organisasi politik
seperti Internasional Pertama (First International, 1864–1876) dan
Internasional Kedua (Second International, 1889–1916). Pada awal abad ke-20,
Marxisme semakin mengakar sebagai basis ideologis berbagai gerakan buruh,
partai komunis, dan revolusi sosial di seluruh dunia, terutama pasca Revolusi
Bolshevik di Rusia (1917) yang menandai bentuk institusional pertama dari
pemerintahan berbasis Marxisme-Leninisme⁷.
Footnotes
[1]
David McLellan, Karl Marx: A Biography, 4th ed. (London:
Palgrave Macmillan, 2006), 5–9.
[2]
Friedrich Engels, The Condition of the Working Class in England,
trans. Florence Kelley (Oxford: Oxford University Press, 2009), 39–45.
[3]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), xi.
[4]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George
Eliot (New York: Dover Publications, 2008), 11–14.
[5]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3.
[6]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 125–128.
[7]
Eric Hobsbawm, How to Change the World: Reflections on Marx and
Marxism (New Haven: Yale University Press, 2011), 77–85.
3.
Asumsi Dasar dan Paradigma Epistemologis
Marxisme tidak hanya
merupakan teori sosial atau kritik ekonomi, tetapi juga berdiri di atas fondasi
epistemologis
dan ontologis yang khas. Sebagai suatu weltanschauung
(pandangan dunia), Marxisme menyajikan suatu sistem pengetahuan yang bertolak
dari realitas material dan bertujuan membongkar serta mengubah struktur sosial
yang eksploitatif. Asumsi dasarnya berpijak pada materialisme
historis, dialektika materialis, dan prinsip
praksis, yang menjadi pilar utama dalam memahami masyarakat
serta proses perubahan sosial secara ilmiah dan revolusioner.
3.1.
Materialisme Historis: Struktur Ekonomi sebagai
Basis Realitas Sosial
Asumsi paling
fundamental dalam Marxisme adalah bahwa kondisi material dan hubungan produksi
menentukan bentuk-bentuk kesadaran sosial, politik, dan budaya.
Dalam kerangka ini, basis ekonomi (mode produksi
dan relasi produksi) menjadi fondasi yang menopang suprastruktur
(ideologi, hukum, politik, agama, dll.). Marx menyatakan secara tegas bahwa “bukan
kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, melainkan keberadaan sosialnya
yang menentukan kesadarannya”¹.
Konsepsi ini secara
radikal menolak idealisme dalam filsafat Barat, yang cenderung menempatkan ide
atau kesadaran sebagai motor perubahan sejarah. Sebaliknya, Marxisme memandang
perubahan sosial sebagai hasil dari konflik dalam mode produksi yang
menimbulkan pertentangan kelas. Sejarah, dalam pandangan Marx, bukanlah narasi
moral atau gagasan, tetapi medan perjuangan kelas-kelas sosial yang saling
bertentangan².
3.2.
Dialektika Materialis: Metodologi Perubahan dan
Realitas
Paradigma dialektika
materialis dalam Marxisme dikembangkan sebagai respon kritis terhadap
dialektika Hegelian. Jika Hegel melihat sejarah sebagai proses realisasi Roh
Absolut melalui pertentangan ide-ide, maka Marx membalik posisi tersebut dengan
menyatakan bahwa materi dan kerja manusia adalah
penggerak utama sejarah. Dialektika materialis mengakui bahwa realitas
bersifat dinamis, kontradiktif, dan berubah melalui konflik internal
dalam sistem sosial³.
Metode dialektika
ini tidak hanya deskriptif, tetapi juga eksploratif dan transformatif. Ia
mengungkap kontradiksi dalam sistem kapitalisme—misalnya antara produktivitas
dan upah rendah, atau antara akumulasi modal dan kemiskinan massal—sebagai
pemicu utama ketegangan sosial dan revolusi. Bagi Marx, perubahan bukanlah
hasil reformasi moral, tetapi konsekuensi logis dari kontradiksi internal dalam
struktur produksi⁴.
3.3.
Teori Pengetahuan: Ilmu Sosial sebagai Kritik
dan Praksis
Marxisme menawarkan
suatu paradigma epistemologis yang menolak netralitas ilmiah ala positivisme.
Dalam pandangan Marx dan Engels, ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari intervensi
praksis. Dengan kata lain, teori harus membimbing tindakan,
dan tindakan harus terus merefleksikan teori dalam konteks material yang
berubah. Oleh karena itu, Marxisme menekankan peran intelektual sebagai agen
transformasi, bukan sekadar pengamat pasif realitas⁵.
Prinsip ini
diekspresikan dalam Tesis tentang Feuerbach yang
terkenal: “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dalam berbagai cara; tugasnya
adalah mengubahnya”⁶. Ini menandakan bahwa kebenaran dalam Marxisme bukan
hanya diuji melalui korespondensi logis atau empiris, tetapi melalui
kemampuannya untuk memobilisasi perubahan sosial yang membebaskan.
3.4.
Pandangan Kelas dan Ideologi
Marxisme juga
mengasumsikan bahwa setiap bentuk pengetahuan dan ideologi merefleksikan
kepentingan kelas tertentu. Ideologi dominan adalah ideologi kelas yang
berkuasa, yang berfungsi untuk mempertahankan relasi produksi
dan menutupi kontradiksi sosial. Oleh sebab itu, tugas ilmu sosial menurut
Marxisme adalah mengungkap relasi kekuasaan tersembunyi di
balik bentuk-bentuk pemikiran dominan, termasuk dalam hukum,
agama, moralitas, dan bahkan filsafat itu sendiri⁷.
Dengan demikian,
epistemologi Marxisme bersifat kritikal dan ideologis: ia
tidak mengklaim objektivitas universal, melainkan memihak kepada kelas yang
tertindas, yakni proletariat, dan berusaha mengembangkan bentuk pengetahuan
yang membebaskan dan emansipatoris⁸.
Footnotes
[1]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), xi.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3–5.
[3]
Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University
Press, 2011), 42–45.
[4]
Alex Callinicos, The Revolutionary Ideas of Karl Marx
(Chicago: Haymarket Books, 2012), 30–34.
[5]
David Harvey, A Companion to Marx's Capital, Vol. 1 (London:
Verso, 2010), 14–16.
[6]
Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader,
ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978), 145.
[7]
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,
in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review
Press, 1971), 127–186.
[8]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of
Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 110–115.
4.
Konsep-Konsep Pokok dalam Marxisme
Marxisme membentuk
suatu sistem filsafat sosial-politik yang khas dengan seperangkat konsep utama
yang saling berkaitan secara dialektis. Konsep-konsep ini tidak berdiri
sendiri, melainkan merupakan bagian dari kerangka besar yang menjelaskan
dinamika struktur sosial, proses historis, dan relasi kekuasaan dalam masyarakat
kapitalis. Dalam bagian ini akan dibahas konsep-konsep kunci dalam Marxisme,
yakni: kelas
sosial dan pertentangan kelas, mode produksi dan basis–suprastruktur,
alienasi,
nilai-lebih,
serta revolusi
sosial dan diktatoriat proletariat.
4.1.
Kelas Sosial dan Pertentangan Kelas
Bagi Marx, sejarah
seluruh masyarakat hingga saat ini adalah sejarah pertentangan
kelas. Masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas yang berkonflik
berdasarkan posisi mereka dalam sistem produksi. Dalam kapitalisme, dua kelas
utama adalah borjuasi (pemilik alat
produksi) dan proletariat (kelas pekerja yang
menjual tenaga kerjanya)¹. Pertentangan antara keduanya bersifat struktural dan
inheren karena relasi produksi kapitalistik bersifat eksploitatif: buruh
menghasilkan nilai lebih yang diambil oleh kapitalis.
Pertentangan kelas
bukan hanya konflik ekonomi, tetapi juga mencakup dimensi ideologis dan
politis. Dalam kondisi tertentu, pertentangan ini akan memuncak dalam bentuk revolusi
sosial, yang menjadi motor penggerak perubahan historis².
4.2.
Mode Produksi dan Struktur Basis–Suprastruktur
Marxisme menempatkan
mode
produksi—yakni cara manusia mengorganisasi produksi barang dan
jasa—sebagai determinan utama struktur sosial. Setiap mode produksi
(feodalisme, kapitalisme, sosialisme) memiliki basis (infrastruktur ekonomi)
dan suprastruktur
(lembaga-lembaga politik, hukum, agama, pendidikan, dan ideologi)³.
Menurut Marx,
suprastruktur berfungsi untuk melegitimasi dan mempertahankan
basis yang ada. Sebagai contoh, hukum dan sistem pendidikan dalam masyarakat
kapitalis cenderung mendukung relasi produksi yang eksploitatif dengan
menyebarkan ideologi meritokrasi, kerja keras, dan kepatuhan⁴.
4.3.
Alienasi (Entfremdung)
Konsep alienasi
atau keterasingan mengacu pada kondisi di mana pekerja kehilangan hubungan
esensial dengan hasil kerjanya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama
manusia. Dalam sistem kapitalis, buruh tidak memiliki kontrol atas proses
produksi atau hasil kerjanya; ia menjadi komoditas yang diperdagangkan
di pasar tenaga kerja⁵.
Alienasi tidak hanya
bersifat ekonomi, tetapi juga eksistensial dan sosial. Buruh menjadi asing
terhadap dirinya sendiri karena kerja dipaksakan demi upah, bukan sebagai
ekspresi kreatif atau kebebasan manusia. Marx mengembangkan gagasan ini secara
eksplisit dalam Manuskrip Ekonomi dan Filosofis
(1844)⁶.
4.4.
Nilai-Lebih (Mehrwert)
Salah satu
kontribusi utama Marx dalam ekonomi politik adalah teori nilai-lebih
(surplus
value). Menurutnya, nilai suatu komoditas ditentukan oleh jumlah
waktu kerja sosial yang diperlukan untuk memproduksinya. Namun,
kapitalis membayar buruh lebih sedikit dari nilai yang ia hasilkan,
dan selisih ini menjadi nilai-lebih yang diambil
sebagai laba oleh kapitalis⁷.
Proses ini disebut
eksploitasi karena buruh menghasilkan nilai yang tidak dikembalikan kepadanya
dalam bentuk upah. Nilai-lebih merupakan fondasi dari akumulasi
kapital, dan pada saat yang sama, menciptakan ketimpangan serta
krisis dalam sistem kapitalis.
4.5.
Revolusi Sosial dan Diktatoriat Proletariat
Marx dan Engels
meyakini bahwa kapitalisme tidak akan runtuh karena kontradiksi internal
semata, tetapi memerlukan intervensi revolusioner oleh kelas proletar.
Dalam Manifesto
Komunis, mereka menyerukan persatuan internasional buruh untuk
menggulingkan dominasi borjuis dan mendirikan masyarakat tanpa kelas⁸.
Transisi menuju
masyarakat komunis memerlukan diktatoriat proletariat, yaitu
periode di mana kelas pekerja mengambil alih kekuasaan negara untuk
menghancurkan sisa-sisa struktur lama dan membangun tatanan baru yang
egaliter⁹. Namun, diktatoriat ini bukan bentuk tirani, melainkan bentuk
kekuasaan rakyat yang bertujuan menghapuskan kelas sosial secara keseluruhan.
4.6.
Internasionalisme Proletar
Dalam visi Marx,
perjuangan kelas bersifat internasional. Kapitalisme
adalah sistem global, maka perlawanan terhadapnya juga harus lintas batas
negara dan etnis. Oleh karena itu, Marx menutup Manifesto Komunis dengan seruan: _“Proletar
dari seluruh dunia, bersatulah!”_¹⁰. Prinsip internasionalisme ini menjadi
dasar bagi gerakan-gerakan sosialis di berbagai negara yang berupaya membangun
solidaritas lintas bangsa dalam menghadapi imperialisme dan eksploitasi global.
Footnotes
[1]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3–4.
[2]
Alex Callinicos, The Revolutionary Ideas of Karl Marx
(Chicago: Haymarket Books, 2012), 41–44.
[3]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), xi.
[4]
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,
in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review
Press, 1971), 127–186.
[5]
Bertell Ollman, Alienation: Marx’s Conception of Man in Capitalist
Society, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 131–139.
[6]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 70–74.
[7]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 324–345.
[8]
Marx and Engels, The Communist Manifesto, 29–31.
[9]
David McLellan, Karl Marx: A Biography, 4th ed. (London:
Palgrave Macmillan, 2006), 313–318.
[10]
Marx and Engels, The Communist Manifesto, 32.
5.
Perkembangan dan Variasi Marxisme
Marxisme, sejak
dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels pada abad ke-19, telah mengalami
perkembangan intelektual dan politik yang signifikan. Seiring dengan perubahan
sosial dan historis di berbagai belahan dunia, Marxisme tidak lagi hadir
sebagai doktrin tunggal, melainkan telah melahirkan berbagai
varian pemikiran dan praksis. Ragam Marxisme ini mencerminkan
respon terhadap konteks historis, ekonomi, dan kultural yang berbeda, sekaligus
menandai fleksibilitas dan daya hidup
Marxisme sebagai paradigma filsafat sosial-politik.
5.1.
Marxisme Ortodoks dan Leninisme
Pasca wafatnya Marx,
sejumlah pengikutnya berusaha menyistematisasi ajarannya dalam bentuk yang
lebih ketat, yang kemudian dikenal sebagai Marxisme ortodoks. Karl Kautsky
dan Georgi Plekhanov menekankan determinisme ekonomi dan menganggap revolusi
proletariat sebagai keniscayaan historis yang tidak dapat dicegah¹.
Lenin, pemimpin
Revolusi Bolshevik 1917, mengembangkan Marxisme ortodoks ke dalam bentuk Marxisme-Leninisme
yang menekankan peran sentral partai pelopor
dan kebutuhan
akan revolusi yang terorganisir secara disiplin. Dalam What is
to Be Done?, Lenin menekankan bahwa kesadaran kelas tidak muncul
secara otomatis dari pengalaman, melainkan harus ditanamkan dari luar oleh
organisasi revolusioner². Lenin juga mengembangkan teori imperialisme
sebagai tahap akhir dari kapitalisme global³.
5.2.
Marxisme Struktural: Louis Althusser dan Kritik
Ideologi
Pada dekade 1960-an,
muncul pendekatan strukturalis dalam Marxisme
yang dikembangkan oleh filsuf Prancis Louis Althusser. Ia menolak
humanisme Marxis dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih "ilmiah",
yang menekankan bahwa struktur sosial lebih menentukan daripada
subjek⁴. Althusser juga memperkenalkan konsep aparatus
ideologis negara (ISA) yang mencakup lembaga-lembaga seperti
sekolah, keluarga, media, dan agama, yang berfungsi mereproduksi relasi
produksi kapitalis secara halus dan tidak koersif⁵.
5.3.
Neo-Marxisme dan Mazhab Frankfurt
Neo-Marxisme
muncul sebagai kritik terhadap reduksionisme ekonomi dalam Marxisme ortodoks.
Tokoh-tokoh seperti Theodor W. Adorno, Max
Horkheimer, dan Herbert Marcuse dari Mazhab
Frankfurt menggabungkan Marxisme dengan psikoanalisis, teori
budaya, dan kritik terhadap rasionalitas instrumental⁶.
Mazhab ini
mengembangkan Teori Kritis, yang tidak hanya menjelaskan
struktur sosial, tetapi juga bertujuan mengemansipasi masyarakat dari dominasi
ideologis dan teknokrasi. Dalam One-Dimensional Man, Marcuse
mengecam masyarakat industri maju yang membentuk manusia menjadi pasif,
konsumtif, dan tidak kritis⁷.
5.4.
Marxisme Humanis dan Pengaruh Hegelian
Beberapa pemikir
Marxis berusaha menghidupkan kembali aspek humanistik dalam pemikiran
Marx, terutama dengan menekankan manuskrip awal Marx seperti Manuskrip
Ekonomi dan Filosofis 1844. Tokoh seperti Erich
Fromm dan György Lukács mengembangkan
Marxisme yang menekankan kesadaran kelas, keseluruhan
sosial (totalitas), dan objektivasi dalam kerja⁸.
Lukács dalam History and Class Consciousness
menyoroti pentingnya kesadaran kelas revolusioner sebagai faktor subjektif
dalam sejarah⁹.
5.5.
Marxisme Analitis
Pada akhir abad
ke-20, berkembang pendekatan Marxisme analitis yang mencoba
menyusun kembali Marxisme dengan metodologi filsafat analitik Anglo-Amerika.
Tokoh-tokoh seperti G. A. Cohen, Jon
Elster, dan John Roemer berusaha membangun
teori eksplanatoris yang koheren tentang eksploitasi dan keadilan distributif
dengan kerangka logika dan rasionalitas¹⁰. Cohen dalam Karl
Marx’s Theory of History: A Defence membela determinisme historis
Marx dengan pendekatan analitik yang ketat.
5.6.
Marxisme Kontemporer dan Ekologi, Gender, serta
Postkolonialisme
Dalam dekade
terakhir, Marxisme juga dikembangkan untuk merespons isu-isu
kontemporer, termasuk krisis ekologi, feminisme, dan teori
pascakolonial. Marxisme ekologi menyoroti
relasi antara kapitalisme dan kerusakan lingkungan, seperti yang dikembangkan
oleh John
Bellamy Foster dalam Marx's Ecology¹¹.
Sementara itu, feminisme
Marxis—seperti yang diperjuangkan oleh Silvia Federici dan
Angela Davis—menyoroti peran reproduksi sosial dan kerja domestik sebagai
bagian tak terpisahkan dari sistem kapitalis¹². Dalam konteks global,
teori-teori Marxis juga diadaptasi dalam kajian postkolonial, seperti dalam
karya Frantz
Fanon, yang menggabungkan Marxisme dengan perjuangan
dekolonisasi¹³.
Kesimpulan Sementara
Perkembangan dan
variasi Marxisme menunjukkan bahwa ia bukanlah sistem dogmatis yang kaku,
melainkan tradisi intelektual yang terus hidup dan
berkembang. Ragam pemikiran ini memperkaya khazanah filsafat
sosial-politik dan memungkinkan adaptasi Marxisme terhadap konteks zaman yang
terus berubah, tanpa kehilangan esensinya sebagai kritik terhadap penindasan
dan eksploitasi struktural.
Footnotes
[1]
David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave
Macmillan, 1980), 26–33.
[2]
Vladimir I. Lenin, What Is to Be Done?, trans. Joe Fineberg
and George Hanna (Beijing: Foreign Languages Press, 1973), 75–83.
[3]
Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York:
International Publishers, 1939), 88–92.
[4]
Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso,
2005), 11–17.
[5]
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,
in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review
Press, 1971), 127–186.
[6]
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment,
trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–106.
[7]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of
Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 45–67.
[8]
Erich Fromm, Marx's Concept of Man (New York: Frederick Ungar
Publishing, 1961), 21–25.
[9]
György Lukács, History and Class Consciousness, trans. Rodney
Livingstone (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 76–88.
[10]
G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Oxford:
Clarendon Press, 1978), 3–20.
[11]
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature
(New York: Monthly Review Press, 2000), 13–16.
[12]
Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and
Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 63–70.
[13]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 37–45.
6.
Marxisme dan Kritik Terhadap Kapitalisme
Salah satu
kontribusi paling signifikan dari Marxisme dalam ranah filsafat sosial-politik
adalah kritiknya
yang mendalam dan sistematis terhadap kapitalisme. Kapitalisme,
sebagai sistem ekonomi berbasis kepemilikan pribadi atas alat produksi dan
pencarian laba, bagi Marx dan para penerusnya, menyimpan kontradiksi internal
yang akan menimbulkan krisis dan penderitaan sosial. Kritik Marxis terhadap
kapitalisme mencakup berbagai dimensi: eksploitasi ekonomi, alienasi
manusia, dominanasi ideologi, dan ketimpangan
struktural yang berkelanjutan. Kritik ini bukan hanya bersifat
teoretis, tetapi juga bertujuan untuk mendorong perubahan sosial yang radikal
melalui emansipasi kelas pekerja.
6.1.
Eksploitasi Ekonomi dan Nilai-Lebih
Inti dari
eksploitasi kapitalis menurut Marx terletak pada penghisapan
nilai-lebih (surplus value).
Kapitalis membayar buruh dengan upah yang lebih rendah dari nilai yang dihasilkan
oleh kerja mereka, dan selisihnya menjadi keuntungan bagi kapitalis¹. Proses
ini bukanlah hasil keserakahan individual, melainkan logika
sistemik dari kapitalisme itu sendiri. Karena keuntungan hanya
diperoleh dengan memperbesar nilai-lebih, maka kapitalisme mendorong kerja
berlebihan, upah murah, dan efisiensi produksi yang menekan tenaga kerja
manusia.
Selain itu, sistem
upah menyembunyikan realitas hubungan kekuasaan antara buruh dan kapitalis.
Seolah-olah terjadi pertukaran setara antara upah dan kerja, padahal sebenarnya
terjadi relasi eksploitasi yang terstruktur².
6.2.
Alienasi dan Dehumanisasi
Kapitalisme juga
menciptakan alienasi, yaitu keterasingan
manusia dari hakikat kemanusiaannya. Dalam Manuskrip Ekonomi dan Filosofis
(1844), Marx menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalis, buruh terasing dari:
·
Produk
kerjanya, yang menjadi milik kapitalis.
·
Aktivitas
kerjanya, yang menjadi beban bukan ekspresi diri.
·
Sifat
kemanusiaannya, karena ia dianggap sekadar alat produksi.
·
Sesama
manusia, karena hubungan sosial dikomodifikasi³.
Proses ini
menyebabkan dehumanisasi, di mana manusia
tidak lagi menjadi subjek kreatif, melainkan objek yang diatur oleh mekanisme
produksi. Akibatnya, nilai-nilai kemanusiaan direduksi menjadi nilai tukar dan
profitabilitas belaka⁴.
6.3.
Ideologi dan Ilusi Kebebasan
Salah satu aspek
penting dalam kritik Marxis adalah fungsi ideologi dalam mempertahankan dominasi
kapitalisme. Ideologi adalah sistem gagasan yang membuat relasi
sosial yang eksploitatif tampak alami, wajar, dan tidak dapat dipertanyakan.
Louis Althusser menyebut lembaga-lembaga seperti sekolah, keluarga, dan media
sebagai aparatus ideologis negara (ISA)
yang mereproduksi kesadaran tunduk pada kapitalisme⁵.
Kapitalisme
memproduksi ilusi kebebasan, di mana individu
merasa bebas memilih pekerjaan atau membeli barang, padahal seluruh pilihan
mereka dibentuk oleh logika pasar dan kebutuhan modal. Dalam konteks ini,
ideologi bekerja bukan melalui paksaan, tetapi melalui persetujuan
yang diproduksi secara kultural dan psikologis⁶.
6.4.
Akumulasi Modal dan Ketimpangan Global
Marxisme menyoroti
bahwa kapitalisme bergerak berdasarkan logika akumulasi tanpa batas,
yang pada akhirnya menciptakan ketimpangan ekstrem antara kelas dan wilayah.
Dalam Das
Kapital, Marx menjelaskan bahwa proses ini mengarah pada sentralisasi
kekayaan, monopoli, dan penghisapan tenaga kerja dari
wilayah-wilayah pinggiran⁷.
Imperialisme,
seperti yang dikembangkan oleh Lenin, dipahami sebagai ekspansi kapitalisme ke
wilayah koloni demi mencari pasar baru, bahan mentah, dan tenaga kerja murah.
Ini menciptakan relasi pusat-pinggiran (core-periphery)
di tingkat global, dengan negara-negara industri mengontrol sirkulasi kapital
dan produksi dunia⁸.
6.5.
Krisis Kapitalisme sebagai Kontradiksi Internal
Kapitalisme
mengandung kontradiksi internal yang tak terhindarkan. Di satu sisi, ia
menghasilkan kemajuan teknologi dan produktivitas,
tetapi di sisi lain, menciptakan kemiskinan relatif, pengangguran, dan
instabilitas ekonomi. Kapitalisme rentan terhadap krisis karena
overproduksi, penurunan tingkat laba, dan konflik kelas yang terus meningkat⁹.
David Harvey
menekankan bahwa krisis kapitalisme bukanlah deviasi dari sistem, melainkan
bagian inheren dari logika akumulatifnya. Setiap upaya menyelesaikan krisis
hanya akan menciptakan krisis baru di tempat lain—baik secara spasial,
temporal, atau sosial¹⁰.
Kesimpulan Sementara
Marxisme menyajikan
kritik yang komprehensif dan sistematis terhadap kapitalisme dengan membongkar
akar-akar struktural dari eksploitasi, dominasi, dan alienasi. Ia tidak hanya
menyoroti ketimpangan ekonomi, tetapi juga mekanisme ideologis dan politik
yang mempertahankan ketimpangan tersebut. Oleh karena itu, Marxisme tidak hanya
menjadi alat analisis, tetapi juga proyek emansipatoris yang
mendorong perubahan radikal menuju masyarakat tanpa kelas.
Footnotes
[1]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 324–329.
[2]
David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave
Macmillan, 1980), 41–44.
[3]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 70–85.
[4]
Bertell Ollman, Alienation: Marx’s Conception of Man in Capitalist
Society, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 143–155.
[5]
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,
in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review
Press, 1971), 135–140.
[6]
Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London: Verso,
1989), 28–33.
[7]
Marx, Capital, 926–940.
[8]
V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New
York: International Publishers, 1939), 78–86.
[9]
Ernest Mandel, Late Capitalism, trans. Joris De Bres (London:
Verso, 1975), 110–124.
[10]
David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 45–58.
7.
Marxisme dalam Konteks Postmodern dan
Pascakolonial
Pada akhir abad
ke-20, Marxisme menghadapi tantangan serius dari dua arus intelektual besar: postmodernisme
dan teori
pascakolonial. Kedua pendekatan ini mengkritik klaim
universalitas, determinisme historis, dan reduksionisme kelas dalam Marxisme
klasik. Namun, alih-alih sepenuhnya menggantikan Marxisme, pendekatan
postmodern dan pascakolonial justru telah memicu dialog dan pembaruan pemikiran Marxis,
terutama dalam ranah identitas, budaya, dan relasi global. Oleh karena itu,
membahas posisi Marxisme dalam lanskap intelektual kontemporer menuntut
pemahaman terhadap dinamika dan ketegangan antara tradisi Marxis dan dua
pendekatan tersebut.
7.1.
Marxisme dan Kritik Postmodernisme
Postmodernisme, yang
mencuat pasca-1960-an, menolak narasi besar (grand
narratives) seperti yang dikandung dalam proyek modernitas dan
ideologi emansipatoris seperti Marxisme. Tokoh-tokoh seperti Jean-François
Lyotard dan Michel Foucault menekankan fragmentasi,
pluralitas identitas, dan skeptisisme terhadap totalitas¹.
Dalam pandangan ini, Marxisme dianggap terlalu menyederhanakan realitas sosial
dengan membatasi analisis pada konflik kelas dan determinasi ekonomi.
Namun, sejumlah
pemikir seperti Fredric Jameson berupaya
mempertahankan Marxisme sebagai alat analisis postmodern. Dalam karyanya Postmodernism,
or, The Cultural Logic of Late Capitalism, Jameson menafsirkan
postmodernisme bukan sebagai akhir sejarah, tetapi sebagai fase
budaya dari kapitalisme lanjut, di mana kapital meresap ke
dalam seluruh aspek estetika dan kehidupan sehari-hari². Dengan demikian,
postmodernisme tidak meniadakan Marxisme, tetapi menantangnya untuk mengembangkan
analisis yang lebih sensitif terhadap keragaman kultural dan simbolik.
7.2.
Marxisme dan Teori Pascakolonial
Teori pascakolonial
berkembang sebagai respons terhadap pengalaman penjajahan, dominasi kultural,
dan identitas hibrid di dunia Selatan. Tokoh-tokoh seperti Edward
Said, Gayatri Chakravorty Spivak, dan
Homi K.
Bhabha mengkritik universalitas teori-teori Barat, termasuk
Marxisme, yang cenderung mengabaikan kompleksitas pengalaman kolonial dan
struktur budaya lokal³.
Namun, hubungan
antara Marxisme dan pascakolonialisme bersifat ambivalen. Di satu sisi, Marx
sendiri memberikan kritik awal terhadap kolonialisme, misalnya dalam
analisisnya terhadap India dan relasi Timur–Barat⁴. Di sisi lain, para pemikir
pascakolonial menunjukkan bahwa Marxisme sering kali menyamakan
pengalaman dunia kolonial dengan skema historis Eropa, sehingga
gagal memahami logika kekuasaan yang bersifat diskursif dan kultural⁵.
7.3.
Fanon dan Marxisme Radikal dalam Konteks
Kolonial
Salah satu tokoh
penting yang menjembatani Marxisme dengan pascakolonialisme adalah Frantz
Fanon. Dalam The Wretched of the Earth, Fanon
menggunakan kerangka Marxis untuk menjelaskan kolonialisme sebagai bentuk
eksploitasi ekonomi dan dehumanisasi rasial. Namun, ia juga memperkaya Marxisme
dengan analisis
psikologis, ras, dan kekerasan pembebasan⁶.
Fanon menolak
pendekatan euro-sentris yang mengabaikan subyektivitas masyarakat terjajah, dan
menekankan bahwa revolusi dalam konteks kolonial tidak bisa disamakan begitu
saja dengan revolusi proletariat di Eropa. Ia memperlihatkan bagaimana kolonialisme
bekerja melalui penginternalisasian inferioritas, dan oleh
karenanya pembebasan harus mencakup dimensi kultural dan
eksistensial⁷.
7.4.
Perkawinan Kritis: Marxisme Kultural dan
Dekolonisasi
Dalam dekade-dekade
terakhir, sejumlah pemikir berupaya menjembatani Marxisme dengan postmodernisme
dan pascakolonialisme melalui pendekatan yang disebut Marxisme
kultural atau Marxisme dekolonial. Pemikir
seperti Vivek Chibber dalam Postcolonial
Theory and the Specter of Capital mengkritik teori pascakolonial
karena melemahkan
potensi kritik struktural terhadap kapitalisme global⁸.
Chibber berargumen
bahwa, meskipun konteks kolonial memiliki karakteristik khusus, prinsip-prinsip
eksploitasi dan dominasi kelas tetap relevan. Dengan kata lain, Marxisme tidak
perlu ditinggalkan, tetapi diperluas agar lebih peka
terhadap perbedaan historis dan kultural. Upaya ini menjadi bagian dari revitalisasi
Marxisme di tengah wacana identitas, globalisasi, dan krisis
kapitalisme abad ke-21.
Kesimpulan Sementara
Kehadiran
postmodernisme dan pascakolonialisme telah memberikan tantangan kritis terhadap
asumsi-asumsi dasar Marxisme. Namun, ketimbang ditinggalkan, Marxisme justru
mengalami refleksi dan rekonstruksi internal,
sehingga mampu menanggapi dinamika kontemporer tanpa kehilangan visi
emansipatorisnya. Dalam konteks dunia yang semakin kompleks dan beragam, dialog
antara Marxisme dan pendekatan kritis lainnya memperkaya daya analisis dan
relevansi Marxisme di abad ke-21.
Footnotes
[1]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.
[2]
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late
Capitalism (Durham, NC: Duke University Press, 1991), 3–5.
[3]
Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge,
1994), 5–7; Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf,
1993), xi–xii.
[4]
Karl Marx, “The British Rule in India,” New-York Daily Tribune,
June 25, 1853, in Karl Marx: Selected Writings, ed. David McLellan
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 329–333.
[5]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Colonial
Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, ed. Patrick Williams and Laura
Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–111.
[6]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard
Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–62.
[7]
Lewis R. Gordon, Fanon and the Crisis of European Man: An Essay on
Philosophy and the Human Sciences (New York: Routledge, 1995), 17–25.
[8]
Vivek Chibber, Postcolonial Theory and the Specter of Capital
(London: Verso, 2013), 1–13.
8.
Marxisme dan Pendidikan Kritis
Dalam tradisi
Marxis, pendidikan bukanlah aktivitas yang netral, melainkan medan ideologis di
mana dominasi kelas dipertahankan atau dilawan. Pendidikan dalam perspektif Marxisme
dipahami sebagai bagian dari aparatus ideologis negara (ISA),
yang bekerja untuk mereproduksi struktur sosial kapitalis melalui internalisasi
nilai-nilai dominan. Namun, seiring perkembangan teori sosial kritis, Marxisme
juga melahirkan pendekatan pendidikan kritis,
yang berupaya membebaskan individu dari bentuk-bentuk penindasan struktural dan
ideologis melalui kesadaran dan tindakan transformatif.
8.1.
Pendidikan sebagai Reproduksi Ideologi Kelas
Louis Althusser,
dalam esainya yang berpengaruh “Ideology and Ideological State Apparatuses”,
menjelaskan bahwa lembaga pendidikan memainkan peran sentral dalam mereproduksi
relasi produksi melalui mekanisme ideologis yang halus namun
efektif¹. Sekolah, menurutnya, menanamkan nilai-nilai seperti disiplin,
hierarki, ketaatan, dan meritokrasi—semua yang diperlukan untuk menjadikan
individu “layak” bagi pasar tenaga kerja kapitalis.
Dengan kata lain,
pendidikan tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga mengonstruksi
kesadaran kelas yang sesuai dengan kepentingan kapital. Dalam
proses ini, struktur ketimpangan sosial tidak hanya dipertahankan secara
ekonomi dan politis, tetapi juga melalui legitimasi simbolik yang diproduksi
oleh sistem pendidikan².
8.2.
Paulo Freire dan Pedagogi Pembebasan
Respon kritis
terhadap pendidikan sebagai alat dominasi kapitalis muncul secara kuat dalam
pemikiran Paulo Freire, seorang pendidik
dan filsuf asal Brasil, yang karyanya Pedagogy of the Oppressed menjadi
salah satu tonggak utama pendidikan kritis berbasis Marxis.
Freire mengkritik model pendidikan “gaya bank”,
yaitu pendekatan pedagogis di mana guru menanamkan pengetahuan secara satu arah
kepada murid yang pasif, seolah mereka adalah “tabungan” yang harus
diisi³.
Sebagai gantinya,
Freire mengusulkan pendidikan dialogis, di mana
guru dan murid belajar bersama sebagai subjek, bukan objek. Tujuan dari proses
ini adalah kesadaran kritis (conscientização),
yakni kemampuan untuk membaca realitas sosial secara reflektif dan bertindak
untuk mengubahnya⁴. Dalam hal ini, pendidikan bukan sekadar proses intelektual,
tetapi praktik
emansipatoris yang terkait langsung dengan perjuangan melawan
ketidakadilan struktural.
8.3.
Sekolah sebagai Arena Kontestasi Kelas
Sejumlah studi
neo-Marxis seperti yang dilakukan oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis
dalam Schooling
in Capitalist America menunjukkan bahwa sistem sekolah mencerminkan
struktur
relasi sosial produksi yang lebih luas. Mereka menegaskan bahwa
kurikulum, disiplin, dan evaluasi dalam sekolah modern dirancang untuk
menyesuaikan murid dengan peran kerja yang akan mereka tempati dalam hierarki
kapitalis⁵.
Bahkan dalam
pendidikan tinggi, institusi akademik cenderung mereproduksi elitisme dan eksklusi,
membatasi akses kelompok marjinal, serta mengemas ilmu sebagai alat produksi,
bukan pembebasan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi alat
domestikasi, bukan transendensi, kecuali jika secara sadar
diubah melalui praksis kritis⁶.
8.4.
Pendidikan Kritis sebagai Alat Perlawanan
Sosial
Dalam semangat
Marxis, pendidikan kritis bukan sekadar teori, melainkan strategi
praksis. Gerakan sosial, aktivisme mahasiswa, pendidikan
rakyat, dan komunitas belajar alternatif menjadi arena
emansipasi di luar struktur formal. Pendidikan tidak hanya
tentang menyampaikan informasi, tetapi membongkar struktur kekuasaan dalam wacana,
kebijakan, dan relasi sosial⁷.
Model-model
pendidikan berbasis komunitas yang menekankan kesetaraan, partisipasi aktif,
dan refleksi sosial mencerminkan semangat Marxisme dalam menciptakan kesadaran
kelas dan solidaritas kolektif. Pendidikan kritis tidak hanya
mengajarkan “apa yang salah”, tetapi juga “apa yang harus dilakukan”
untuk menciptakan dunia yang lebih adil.
Kesimpulan Sementara
Marxisme menawarkan
lensa kritis untuk memahami bagaimana pendidikan bekerja dalam sistem
kapitalisme—baik sebagai alat reproduksi ideologis maupun sebagai potensi
emansipasi. Melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Althusser dan Freire, serta
kajian struktural institusi pendidikan modern, kita melihat bahwa pendidikan
bukan ruang netral, melainkan arena perjuangan kelas.
Pendidikan kritis yang berakar pada tradisi Marxis membuka jalan bagi
transformasi sosial yang sejati melalui kesadaran, refleksi, dan tindakan kolektif.
Footnotes
[1]
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,
in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review
Press, 1971), 143–147.
[2]
Michael Apple, Ideology and Curriculum, 3rd ed. (New York:
Routledge, 2004), 27–31.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–76.
[4]
Ibid., 81–84.
[5]
Samuel Bowles and Herbert Gintis, Schooling in Capitalist America:
Educational Reform and the Contradictions of Economic Life (New York:
Basic Books, 1976), 102–107.
[6]
Henry A. Giroux, Theory and Resistance in Education: Towards a
Pedagogy for the Opposition (Westport: Bergin & Garvey, 2001), 35–38.
[7]
Peter McLaren, Critical Pedagogy and Predatory Culture:
Oppositional Politics in a Postmodern Era (New York: Routledge, 1995),
88–92.
9.
Relevansi Marxisme dalam Dunia Kontemporer
Meskipun sering
dianggap sebagai doktrin yang lahir dari abad ke-19, Marxisme
terus menunjukkan relevansinya dalam menganalisis dinamika dunia kontemporer,
khususnya dalam menghadapi krisis global, ketimpangan sosial, dan bentuk-bentuk
dominasi baru dalam sistem kapitalisme mutakhir. Dalam era globalisasi
neoliberal, krisis ekologi, transformasi digital, dan gerakan sosial
transnasional, Marxisme tetap menjadi alat kritik dan refleksi yang tajam
terhadap struktur kekuasaan yang mendominasi kehidupan ekonomi, sosial, dan
budaya.
9.1.
Ketimpangan Global dan Krisis Kapitalisme
Kapitalisme abad
ke-21 memperlihatkan tingkat akumulasi kekayaan dan ketimpangan
sosial yang semakin ekstrem. Laporan Oxfam tahun 2023
mengungkapkan bahwa 1% populasi terkaya dunia memiliki hampir separuh kekayaan
global¹. Marxisme memberikan pemahaman yang mendalam tentang ketimpangan ini
melalui analisis nilai-lebih, eksploitasi, dan akumulasi modal,
yang masih menjadi ciri mendasar dari kapitalisme kontemporer.
David Harvey
menegaskan bahwa krisis dalam kapitalisme bukanlah anomali,
tetapi bagian inheren dari logika sistem tersebut. Krisis keuangan global 2008,
misalnya, memperlihatkan bagaimana ekspansi kapital spekulatif dan deregulasi
pasar menghasilkan ketidakstabilan yang menimpa kelas pekerja dan kelompok
rentan². Dalam konteks ini, pendekatan Marxis memberikan kerangka untuk
memahami krisis tidak hanya sebagai kegagalan kebijakan, tetapi sebagai kontradiksi
struktural dari sistem kapitalis itu sendiri.
9.2.
Teknologi, Platform Digital, dan Eksploitasi
Baru
Transformasi digital
dan ekonomi berbasis platform (seperti Gojek, Uber, Amazon) menciptakan bentuk
baru dari eksploitasi tenaga kerja dalam
struktur yang tampak fleksibel namun sangat terkontrol. Istilah seperti “precariat”
menggambarkan kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian, tanpa
perlindungan sosial yang memadai³.
Para pemikir Marxis
kontemporer seperti Nick Srnicek menunjukkan bahwa
kapitalisme digital memusatkan kekayaan dan kekuasaan pada platform besar yang
mengontrol data, infrastruktur, dan relasi kerja global⁴. Dalam hal ini,
Marxisme tetap relevan dalam mengungkap bentuk-bentuk baru dominasi ekonomi
dalam sistem digital, yang sering disamarkan dengan bahasa
inovasi dan efisiensi.
9.3.
Perubahan Iklim dan Kritik Ekologi Marxis
Krisis ekologis
global—mulai dari pemanasan global, perusakan hutan, hingga pencemaran
laut—menjadi bukti bahwa logika akumulatif kapitalisme bertentangan
dengan keberlanjutan ekologis. John Bellamy Foster, dalam Marx’s
Ecology, menyoroti bagaimana pemikiran Marx dapat dibaca sebagai
kritik awal terhadap perusakan alam oleh produksi kapitalistik yang tak
terbatas⁵.
Marxisme ekologis
menekankan bahwa krisis iklim bukan sekadar akibat konsumsi individu, tetapi
akibat dari sistem produksi dan distribusi yang mengejar profit tanpa
memperhitungkan daya dukung lingkungan. Dalam konteks ini, Marxisme menawarkan
solusi struktural
dan sistemik terhadap isu-isu ekologi, yang melampaui
pendekatan moral individualistik dari green capitalism.
9.4.
Marxisme dan Politik Identitas
Marxisme juga
dihadapkan pada tantangan politik identitas, yang
menekankan perjuangan berbasis ras, gender, etnisitas, dan orientasi seksual.
Meskipun beberapa pengkritik menilai Marxisme terlalu fokus pada kelas dan
mengabaikan bentuk-bentuk penindasan lain, pendekatan Marxis dapat menyediakan
kerangka struktural untuk memahami akar ekonomi dari dominasi identitas
tersebut.
Pemikir seperti Angela
Davis dan Nancy Fraser telah berupaya
menjembatani Marxisme dengan feminisme dan antirasisme. Fraser, misalnya,
mengusulkan “feminisme untuk 99%” sebagai
upaya menggabungkan kritik terhadap patriarki dan neoliberalisme dalam satu
agenda transformasi sosial⁶. Ini menunjukkan bahwa Marxisme tetap relevan dalam
memahami interseksionalitas penindasan
dalam sistem kapitalisme global.
9.5.
Kebangkitan Gerakan Kiri dan Alternatif
Sosialis
Beberapa tahun
terakhir memperlihatkan kebangkitan kembali gerakan kiri di berbagai
belahan dunia, mulai dari Latin Amerika (Bolivia, Venezuela,
Brasil) hingga gerakan kiri progresif di Eropa dan Amerika Serikat (misalnya
Bernie Sanders dan Jeremy Corbyn). Meskipun tidak seluruhnya mengidentifikasi
diri sebagai Marxis, agenda-agenda sosial mereka merefleksikan
kritik struktural terhadap neoliberalisme, privatisasi, dan ketimpangan kelas⁷.
Selain itu,
munculnya gerakan buruh digital, koperasi platform, dan bentuk-bentuk ekonomi
solidaritas menunjukkan upaya merumuskan alternatif ekonomi non-kapitalis
yang sejalan dengan semangat emansipatoris Marxis. Gerakan ini menandai
relevansi praksis Marxisme dalam menciptakan model ekonomi yang berbasis pada kebutuhan,
bukan keuntungan.
Kesimpulan Sementara
Dalam dunia yang
diwarnai oleh krisis multidimensi—ekonomi, ekologi, politik, dan
budaya—Marxisme tetap hadir sebagai kerangka teoritis dan praksis yang tajam
untuk menganalisis dan menghadapi persoalan struktural kontemporer.
Relevansinya tidak terletak pada dogmatisme, melainkan pada kemampuannya
beradaptasi, mengkritik, dan menyusun alternatif terhadap logika dominasi
kapitalis yang terus berkembang dalam bentuk-bentuk baru.
Marxisme bukanlah sisa sejarah, tetapi alat baca dan aksi yang tetap
vital dalam membayangkan dan membangun masa depan yang lebih adil.
Footnotes
[1]
Oxfam International, Survival of the Richest: How We Must Tax the
Super-Rich Now to Fight Inequality (Nairobi: Oxfam International, 2023),
5–8.
[2]
David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 83–87.
[3]
Guy Standing, The Precariat: The New Dangerous Class (London:
Bloomsbury Academic, 2011), 10–15.
[4]
Nick Srnicek, Platform Capitalism (Cambridge: Polity Press,
2017), 33–45.
[5]
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature
(New York: Monthly Review Press, 2000), 29–35.
[6]
Nancy Fraser et al., Feminism for the 99%: A Manifesto
(London: Verso, 2019), 11–18.
[7]
Bhaskar Sunkara, The Socialist Manifesto: The Case for Radical
Politics in an Era of Extreme Inequality (New York: Basic Books, 2019),
103–109.
10.
Kritik dan Kontroversi terhadap Marxisme
Meskipun Marxisme
telah memberikan kontribusi besar dalam pemikiran sosial-politik dan menjadi
inspirasi bagi berbagai gerakan revolusioner serta kritik sistem kapitalis, ia
juga menjadi sasaran beragam kritik dan kontroversi,
baik dari kalangan liberal, konservatif, anarkis, hingga dari dalam tradisi
Marxis itu sendiri. Kritik-kritik tersebut mencakup aspek teoritis,
metodologis, moral, dan praktis, serta muncul dalam berbagai konteks historis
dan ideologis yang berbeda.
10.1.
Kritik dari Tradisi Liberal: Individualisme dan
Kebebasan
Kalangan liberal
sering menuduh Marxisme mengabaikan kebebasan individu dan pluralitas
sosial. Dalam sistem liberal, hak atas milik pribadi, kebebasan
berekspresi, dan kebebasan memilih dianggap sebagai pilar fundamental
demokrasi. Marxisme, dengan visinya tentang kepemilikan kolektif dan supremasi
kelas proletar, dianggap cenderung totalitarian dan
mengarah pada pembatasan kebebasan sipil¹.
Isaiah Berlin,
misalnya, membedakan antara kebebasan negatif (bebas dari paksaan) dan
kebebasan positif (kemampuan untuk bertindak sesuai kehendak). Ia mengkritik
ideologi total seperti Marxisme karena mengorbankan kebebasan negatif demi
pembebasan kolektif yang sering berujung pada penindasan². Dalam praktiknya,
negara-negara yang mengklaim diri sebagai sosialis—seperti Uni Soviet atau
Tiongkok pada masa Mao—sering kali memperlihatkan bentuk kekuasaan otoriter,
yang memperkuat kritik ini.
10.2.
Kritik dari Anarkisme: Negara sebagai Instrumen
Represi
Dari sisi kiri
non-Marxis, khususnya anarkisme, Marxisme dikritik
karena terlalu
menekankan peran negara dalam transisi menuju sosialisme. Tokoh
seperti Mikhail Bakunin menentang
konsep “diktatoriat
proletariat”, karena menurutnya semua bentuk negara, bahkan
yang dipimpin oleh kelas pekerja, akan berujung pada tirani
baru dan pembentukan kelas penguasa yang baru³.
Pertentangan ini
tampak jelas dalam perpecahan antara kubu Marx dan Bakunin dalam Internasional
Pertama (First International) pada akhir abad ke-19. Bagi kaum anarkis,
revolusi sejati tidak boleh berhenti pada penguasaan alat negara, tetapi harus
menghancurkan negara itu sendiri dan membentuk organisasi sosial berbasis
otonomi, federasi bebas, dan pengambilan keputusan kolektif⁴.
10.3.
Kritik dari Dalam: Determinisme Ekonomi dan
Voluntaris Politik
Dari dalam tradisi
Marxis sendiri, terdapat kritik terhadap determinisme ekonomi dalam
Marxisme ortodoks yang terlalu menyederhanakan perubahan sosial sebagai akibat
dari faktor ekonomi semata. Tokoh seperti Antonio Gramsci menekankan
pentingnya “hegemoni budaya”, yaitu
dominasi kelas penguasa melalui konsensus ideologis, bukan hanya melalui
kontrol ekonomi atau represif⁵. Bagi Gramsci, perubahan sosial membutuhkan
perjuangan di bidang budaya, pendidikan, dan bahasa—bukan hanya perubahan
struktural ekonomi.
Sebaliknya, dalam
tradisi Marxisme-Leninisme, kritik diarahkan pada voluntarisme
politik, yakni keyakinan bahwa perubahan sosial dapat
dipaksakan secara cepat melalui organisasi partai revolusioner, tanpa
memperhatikan kondisi material yang memadai. Praktik ini sering berujung pada otoritarianisme
dan alienasi massa, seperti yang terlihat dalam Revolusi
Kebudayaan Tiongkok dan pembersihan politik di era Stalin⁶.
10.4.
Kontroversi Historis: Totalitarianisme dan
Kekerasan Negara
Salah satu
kontroversi paling berat terhadap Marxisme datang dari pengalaman historis
negara-negara yang mengklaim mengimplementasikan sosialisme. Rezim seperti Uni
Soviet di bawah Stalin, Kamboja di bawah Pol Pot, dan Tiongkok di bawah Mao
Zedong telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, pembersihan politik,
dan kelaparan massal akibat kebijakan kolektivisasi yang gagal⁷.
Para kritikus
menyatakan bahwa ideologi Marxis memberikan justifikasi bagi
penggunaan kekerasan oleh negara demi “tujuan historis”, dan
karenanya memiliki kecenderungan inheren menuju otoritarianisme. Meskipun
banyak pemikir Marxis menolak interpretasi tersebut sebagai distorsi terhadap
ajaran Marx, fakta historis tetap menjadi tantangan serius terhadap
kredibilitas proyek sosialisme dalam praksis⁸.
10.5.
Krisis Legitimasi Pascakejatuhan Blok Timur
Kejatuhan Tembok
Berlin dan runtuhnya Uni Soviet pada akhir 1980-an dan awal 1990-an menandai krisis
legitimasi besar bagi Marxisme di ranah geopolitik. Banyak
pihak menyimpulkan bahwa Marxisme telah gagal sebagai model ekonomi dan sistem
pemerintahan. Di tengah dominasi global kapitalisme neoliberal, Marxisme
dianggap sebagai warisan usang dari masa lalu yang tidak relevan bagi generasi
baru⁹.
Namun demikian,
kebangkitan kembali kritik sosial berbasis Marxis pasca-krisis keuangan global
2008, serta meningkatnya ketimpangan ekonomi dan krisis ekologis, membuktikan
bahwa Marxisme
belum mati, melainkan terus mengalami refleksi kritis,
adaptasi, dan pembaruan.
Kesimpulan Sementara
Marxisme bukan
doktrin tanpa cela, melainkan tradisi pemikiran yang hidup dan selalu
diperdebatkan. Kritik dari luar dan dalam Marxisme menunjukkan
bahwa kekuatan dan kelemahannya terletak pada ambisi besar untuk menjelaskan dan mengubah
dunia secara total. Kontroversi yang menyertainya mencerminkan
kompleksitas dalam menggabungkan teori dengan praksis. Dalam konteks ini,
kritik terhadap Marxisme justru menjadi pemicu bagi pengembangan bentuk-bentuk Marxisme
yang lebih reflektif, demokratis, dan kontekstual, yang terus
relevan dalam menjawab tantangan dunia kontemporer.
Footnotes
[1]
John Gray, Liberalism (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1986), 54–58.
[2]
Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Oxford
University Press, 1958), 13–15.
[3]
Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, ed. and trans. Marshall
Shatz (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 134–138.
[4]
Peter Marshall, Demanding the Impossible: A History of Anarchism
(London: HarperCollins, 1992), 312–318.
[5]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 245–250.
[6]
Richard Pipes, Communism: A History (New York: Modern Library,
2001), 115–118.
[7]
Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes,
Terror, Repression, trans. Jonathan Murphy and Mark Kramer (Cambridge:
Harvard University Press, 1999), 1–27.
[8]
Slavoj Žižek, Did Somebody Say Totalitarianism? (London:
Verso, 2001), 2–5.
[9]
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New
York: Free Press, 1992), 62–66.
11.
Penutup
Marxisme telah
menempuh perjalanan panjang sejak kelahirannya pada pertengahan abad ke-19.
Sebagai salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik
modern, Marxisme tidak hanya membentuk kerangka teoretis dalam menganalisis
masyarakat kapitalis, tetapi juga menjadi kekuatan praksis yang melandasi
berbagai transformasi sosial, revolusi politik, dan agenda keadilan kelas di
berbagai belahan dunia. Dari materialisme historis dan dialektika materialis
hingga gagasan tentang kelas sosial, nilai-lebih, alienasi,
dan revolusi,
Marxisme menghadirkan satu sistem pemikiran yang menyatukan kritik dan aksi
sosial secara integral.
Sebagaimana dibahas
dalam bagian-bagian sebelumnya, konsep-konsep pokok Marxisme
telah mengalami pengayaan dan adaptasi dalam beragam konteks sejarah dan
geografis. Perkembangan ini terlihat dalam munculnya varian-varian seperti Marxisme-Leninisme,
Marxisme Struktural, Neo-Marxisme, Marxisme Analitis, dan
bahkan Marxisme
Ekologis dan Feminis, yang masing-masing memberikan sumbangan
penting terhadap kompleksitas dan relevansi Marxisme dalam menganalisis
dinamika kontemporer¹.
Kekuatan utama
Marxisme terletak pada kemampuannya menyingkap relasi kekuasaan yang
tersembunyi di balik struktur sosial dan ekonomi, serta dalam
menyediakan alat konseptual untuk memahami ketimpangan dan dominasi secara
sistemik. Di tengah realitas dunia yang semakin kompleks—yang ditandai oleh krisis
kapitalisme global, kehancuran ekologis, ketimpangan digital, dan kemunculan
kembali gerakan otoriter—Marxisme masih menjadi salah satu
pendekatan teoritis yang paling konsisten dalam menyoroti akar struktural persoalan sosial².
Namun, Marxisme juga
bukan tanpa kelemahan. Kritik terhadap determinisme ekonomi, dogmatisme ideologis, dan
praktik otoritarian dalam sejarah sosialisme negara
memperlihatkan bahwa penerapan Marxisme seringkali menyimpang dari semangat
emansipatoris aslinya. Oleh sebab itu, Marxisme yang relevan dengan zaman
bukanlah Marxisme yang beku dalam dogma, tetapi Marxisme yang terus membuka diri terhadap
kritik, refleksi, dan rekonstruksi, seperti yang dilakukan oleh
pemikir-pemikir kritis dari dalam tradisi itu sendiri³.
Lebih dari sekadar
warisan sejarah, Marxisme hari ini masih dapat menjadi sumber
inspirasi dalam membangun gerakan pembebasan, baik di bidang
ekonomi, budaya, pendidikan, maupun lingkungan. Marxisme yang dibarengi dengan
sensitivitas terhadap isu-isu identitas, dekolonisasi, dan keberlanjutan
dapat menghadirkan alternatif visioner bagi dunia yang tengah dilanda krisis
makna, eksklusi sosial, dan alienasi massal⁴.
Dengan demikian, relevansi
Marxisme di abad ke-21 terletak pada keberaniannya untuk
menolak tatanan dunia yang timpang, menawarkan analisis struktural yang tajam,
serta mengupayakan transformasi sosial yang adil dan manusiawi. Sebagaimana
dikatakan Marx sendiri, "Filsuf-filsuf hanya menafsirkan dunia dalam
berbagai cara; yang terpenting adalah mengubahnya."⁵
Footnotes
[1]
David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave
Macmillan, 1980), 75–92.
[2]
David Harvey, A Companion to Marx’s Capital, Volume 1 (London:
Verso, 2010), 24–31.
[3]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 240–245.
[4]
Nancy Fraser, The Old is Dying and the New Cannot Be Born
(London: Verso, 2019), 41–46.
[5]
Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader,
ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton & Company, 1978), 145.
Daftar Pustaka
Althusser, L. (1971). Lenin
and philosophy and other essays (B. Brewster, Trans.). Monthly Review
Press.
Apple, M. W. (2004). Ideology
and curriculum (3rd ed.). Routledge.
Bakunin, M. (1990). Statism
and anarchy (M. Shatz, Ed. & Trans.). Cambridge University Press.
Berlin, I. (1958). Two
concepts of liberty. Oxford University Press.
Bhabha, H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Bowles, S., & Gintis,
H. (1976). Schooling in capitalist America: Educational reform and the
contradictions of economic life. Basic Books.
Chibber, V. (2013). Postcolonial
theory and the specter of capital. Verso.
Courtois, S., Kramer, M.,
& Murphy, J. (1999). The black book of communism: Crimes, terror,
repression (J. Murphy & M. Kramer, Trans.). Harvard University Press.
Davis, A. (1983). Women,
race, and class. Vintage.
Fanon, F. (2004). The
wretched of the Earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press.
Foster, J. B. (2000). Marx’s
ecology: Materialism and nature. Monthly Review Press.
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Fraser, N., Arruzza, C.,
& Bhattacharya, T. (2019). Feminism for the 99%: A manifesto.
Verso.
Fraser, N. (2019). The
old is dying and the new cannot be born. Verso.
Fromm, E. (1961). Marx’s
concept of man. Frederick Ungar Publishing.
Fukuyama, F. (1992). The
end of history and the last man. Free Press.
Giroux, H. A. (2001). Theory
and resistance in education: Towards a pedagogy for the opposition. Bergin
& Garvey.
Gordon, L. R. (1995). Fanon
and the crisis of European man: An essay on philosophy and the human sciences.
Routledge.
Gray, J. (1986). Liberalism.
University of Minnesota Press.
Gramsci, A. (1971). Selections
from the prison notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. &
Trans.). International Publishers.
Harvey, D. (2010). A
companion to Marx’s Capital, Volume 1. Verso.
Harvey, D. (2010). The
enigma of capital and the crises of capitalism. Oxford University Press.
Hobsbawm, E. (2011). How
to change the world: Reflections on Marx and Marxism. Yale University
Press.
Horkheimer, M., &
Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott,
Trans.). Stanford University Press.
Jameson, F. (1991). Postmodernism,
or, the cultural logic of late capitalism. Duke University Press.
Lenin, V. I. (1939). Imperialism,
the highest stage of capitalism. International Publishers.
Lenin, V. I. (1973). What
is to be done? (J. Fineberg & G. Hanna, Trans.). Foreign Languages
Press.
Lukács, G. (1971). History
and class consciousness (R. Livingstone, Trans.). MIT Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional
man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.
Marshall, P. (1992). Demanding
the impossible: A history of anarchism. HarperCollins.
Marx, K. (1904). A
contribution to the critique of political economy (N. I. Stone, Trans.).
Charles H. Kerr.
Marx, K. (1990). Capital:
A critique of political economy, Volume I (B. Fowkes, Trans.). Penguin
Books.
Marx, K. (1964). Economic
and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International
Publishers.
Marx, K., & Engels, F.
(1992). The communist manifesto (D. McLellan, Ed.). Oxford University
Press.
McLellan, D. (1980). Marxism
after Marx. Palgrave Macmillan.
McLellan, D. (2006). Karl
Marx: A biography (4th ed.). Palgrave Macmillan.
McLaren, P. (1995). Critical
pedagogy and predatory culture: Oppositional politics in a postmodern era.
Routledge.
Ollman, B. (1976). Alienation:
Marx’s conception of man in capitalist society (2nd ed.). Cambridge
University Press.
Oxfam International.
(2023). Survival of the richest: How we must tax the super-rich now to
fight inequality. https://www.oxfam.org/en/research/survival-richest
Pipes, R. (2001). Communism:
A history. Modern Library.
Said, E. (1993). Culture
and imperialism. Knopf.
Spivak, G. C. (1994). Can
the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial
discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 66–111). Columbia
University Press.
Srnicek, N. (2017). Platform
capitalism. Polity Press.
Standing, G. (2011). The
precariat: The new dangerous class. Bloomsbury Academic.
Sunkara, B. (2019). The
socialist manifesto: The case for radical politics in an era of extreme
inequality. Basic Books.
Žižek, S. (1989). The
sublime object of ideology. Verso.
Žižek, S. (2001). Did
somebody say totalitarianism? Five interventions in the (mis)use of a notion.
Verso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar