Selasa, 10 Juni 2025

Marxisme: Sejarah, Konsep Kunci, dan Relevansi Kontemporer

Marxisme

Sejarah, Konsep Kunci, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif perkembangan Marxisme sebagai aliran utama dalam filsafat sosial-politik, sejak kemunculannya pada abad ke-19 hingga relevansinya di abad ke-21. Dimulai dari latar historis, pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels dianalisis sebagai respons kritis terhadap kapitalisme industri dan ketimpangan kelas. Artikel ini menjelaskan asumsi-asumsi dasar epistemologis Marxisme, termasuk materialisme historis dan dialektika materialis, serta konsep-konsep kunci seperti kelas sosial, alienasi, nilai-lebih, dan revolusi proletariat. Dalam perkembangannya, Marxisme mengalami diversifikasi, mencakup Marxisme-Leninisme, Marxisme Struktural, Neo-Marxisme, hingga pendekatan analitis, ekologis, dan feminis. Artikel ini juga mengeksplorasi relevansi Marxisme dalam menghadapi krisis kapitalisme kontemporer, ketimpangan global, transformasi digital, dan degradasi lingkungan. Di sisi lain, berbagai kritik dan kontroversi terhadap Marxisme—baik dari kalangan liberal, anarkis, maupun internal Marxis sendiri—dikaji secara kritis untuk memahami keterbatasan dan tantangan ideologisnya. Dengan pendekatan interdisipliner dan historis-filosofis, artikel ini menegaskan bahwa Marxisme tetap menjadi perangkat intelektual dan praksis yang vital dalam menghadapi persoalan struktural dunia kontemporer.

Kata Kunci: Marxisme; kapitalisme; kelas sosial; nilai-lebih; pendidikan kritis; pascakolonialisme; ideologi; filsafat sosial-politik; transformasi sosial; materialisme historis.


PEMBAHASAN

Marxisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Marxisme merupakan salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik modern. Ia lahir sebagai kritik radikal terhadap struktur masyarakat kapitalis yang berkembang pesat pada abad ke-19 di Eropa Barat. Didirikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, Marxisme memadukan kritik ekonomi-politik, filsafat sejarah, serta pemikiran revolusioner dalam satu kerangka teoritis yang menyeluruh. Gagasan ini tidak hanya memengaruhi dunia akademik, tetapi juga menjadi inspirasi utama bagi berbagai gerakan politik, revolusi sosial, dan transformasi sistem negara di berbagai belahan dunia, seperti Uni Soviet, Tiongkok, dan Kuba¹.

Secara fundamental, Marxisme mengangkat problematika ketimpangan kelas, dominasi ekonomi, dan peran ideologi dalam mempertahankan status quo. Dalam pengertian filosofis, ia tidak sekadar menganalisis struktur sosial yang ada, tetapi juga mengupayakan perubahan melalui praksis revolusioner. Marx menyatakan bahwa "para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, namun persoalannya adalah bagaimana mengubahnya"². Pandangan ini menjadikan Marxisme bukan hanya sebagai sistem pemikiran, tetapi juga sebagai gerakan politik dan ideologi perubahan sosial yang aktif.

Dalam konteks sejarah pemikiran, Marxisme menawarkan epistemologi yang khas melalui apa yang disebut sebagai materialisme historis, yakni pendekatan yang menekankan pentingnya kondisi material dan ekonomi dalam membentuk struktur sosial, budaya, dan politik. Konsep-konsep seperti basis dan suprastruktur, pertentangan kelas, dan alienasi menjadi kunci dalam membedah dinamika sosial dalam kerangka Marxis. Marxisme juga mengembangkan pendekatan dialektika materialis yang berbeda dari dialektika idealis Hegel, dengan menekankan bahwa perubahan sosial tidak ditentukan oleh ide, tetapi oleh konflik yang muncul dari hubungan produksi dalam masyarakat³.

Namun demikian, seiring dengan perubahan zaman dan munculnya tantangan-tantangan baru, Marxisme mengalami perkembangan serta transformasi. Dari bentuk klasiknya yang ortodoks, hingga pada wujud neo-Marxisme dan pendekatan-pendekatan interdisipliner lainnya, Marxisme terus menjadi rujukan penting dalam memahami globalisasi, krisis kapitalisme, serta berbagai ketimpangan struktural yang terjadi hingga abad ke-21⁴.

Dalam artikel ini, akan dibahas secara sistematis sejarah perkembangan Marxisme, konsep-konsep kunci yang membentuk kerangka filsafat sosial-politiknya, serta sejauh mana relevansi pemikiran Marx dan para pengikutnya dalam menghadapi tantangan sosial-politik kontemporer. Dengan menggunakan pendekatan historis dan filosofis, tulisan ini berupaya memberikan pemahaman menyeluruh terhadap kontribusi Marxisme sebagai paradigma kritik sosial yang masih aktual hingga kini.


Footnotes

[1]                David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave Macmillan, 1980), 3–5.

[2]                Karl Marx, Theses on Feuerbach (1845), thesis XI, dalam The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton & Company, 1978), 145.

[3]                Terry Eagleton, Marxism and Literary Criticism (Berkeley: University of California Press, 1976), 3–6.

[4]                Alex Callinicos, The Revolutionary Ideas of Karl Marx (Chicago: Haymarket Books, 2012), 9–14.


2.           Latar Historis Marxisme

Marxisme sebagai suatu sistem pemikiran tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil dari pergulatan intelektual dan sosial yang kompleks di Eropa pada abad ke-19. Dua tokoh utama di balik kelahiran aliran ini, Karl Marx (1818–1883) dan Friedrich Engels (1820–1895), merupakan intelektual Jerman yang tumbuh dalam atmosfer perubahan besar: munculnya revolusi industri, ekspansi kapitalisme, dan munculnya kesenjangan sosial yang mencolok di tengah masyarakat borjuis yang sedang naik daun¹.

2.1.       Kondisi Sosial-Ekonomi Abad ke-19

Revolusi Industri yang berlangsung sejak akhir abad ke-18 di Inggris dan kemudian menjalar ke Eropa daratan telah mengubah wajah masyarakat secara radikal. Kapitalisme industri mendorong percepatan urbanisasi dan pembentukan kelas buruh baru (proletariat) yang bekerja di bawah kondisi eksploitasi ekstrem. Kaum borjuis sebagai pemilik modal menguasai alat produksi dan kekuasaan ekonomi, sementara kelas pekerja hidup dalam kemiskinan struktural. Fenomena ini menjadi perhatian utama Marx dan Engels yang menyaksikan langsung penderitaan kaum proletar, khususnya saat Engels menulis The Condition of the Working Class in England (1845)².

2.2.       Pengaruh Filsafat Hegel dan Materialisme Feuerbach

Secara filosofis, Marxisme dipengaruhi secara mendalam oleh pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831), terutama konsep dialektika. Namun, jika Hegel menggunakan dialektika idealis yang menempatkan roh (geist) sebagai motor perubahan sejarah, Marx justru melakukan “pembalikan dialektika” ke dalam bentuk materialis. Menurut Marx, bukan kesadaran yang menentukan keberadaan, melainkan sebaliknya—kondisi material dan ekonomi-lah yang menentukan kesadaran³.

Selain Hegel, Ludwig Feuerbach juga memberikan kontribusi penting dalam fase awal pemikiran Marx. Kritik Feuerbach terhadap agama sebagai proyeksi manusia atas kekuasaannya sendiri turut membentuk pandangan kritis Marx terhadap ideologi dan suprastruktur. Namun, Marx kemudian mengkritik Feuerbach karena tidak mampu menjelaskan perubahan sosial secara aktif, karena Feuerbach hanya berhenti pada kritik kontemplatif tanpa praksis⁴.

2.3.       Kolaborasi Intelektual Marx dan Engels

Pertemuan Marx dan Engels pada awal 1840-an menjadi titik penting dalam sejarah Marxisme. Kolaborasi keduanya menghasilkan berbagai karya monumental, termasuk The Communist Manifesto (1848), yang menyerukan solidaritas internasional kaum buruh dan perlawanan terhadap dominasi kapitalis. Manifesto ini menegaskan bahwa "sejarah dari segala masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas"⁵. Gagasan-gagasan dalam Manifesto menggabungkan analisis ekonomi, teori sosial, dan agenda revolusioner dalam satu kerangka sistematis yang revolusioner.

2.4.       Publikasi Das Kapital dan Fondasi Ekonomi Politik Marxisme

Karya utama Marx, Das Kapital (Volume I diterbitkan pada 1867), memperlihatkan analisis mendalam terhadap mekanisme kapitalisme, khususnya teori nilai-lebih (surplus value), akumulasi modal, dan proses eksploitasi tenaga kerja. Dengan pendekatan kritis terhadap ekonomi politik klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo, Marx menyingkap struktur relasi sosial yang tersembunyi di balik sistem produksi kapitalis⁶. Engels kemudian membantu menyusun dan menerbitkan Volume II dan III pasca wafatnya Marx.

2.5.       Penyebaran Internasional dan Institusionalisasi Marxisme

Setelah kematian Marx, pemikiran Marxis mulai menyebar luas, terutama melalui organisasi politik seperti Internasional Pertama (First International, 1864–1876) dan Internasional Kedua (Second International, 1889–1916). Pada awal abad ke-20, Marxisme semakin mengakar sebagai basis ideologis berbagai gerakan buruh, partai komunis, dan revolusi sosial di seluruh dunia, terutama pasca Revolusi Bolshevik di Rusia (1917) yang menandai bentuk institusional pertama dari pemerintahan berbasis Marxisme-Leninisme⁷.


Footnotes

[1]                David McLellan, Karl Marx: A Biography, 4th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2006), 5–9.

[2]                Friedrich Engels, The Condition of the Working Class in England, trans. Florence Kelley (Oxford: Oxford University Press, 2009), 39–45.

[3]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), xi.

[4]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Dover Publications, 2008), 11–14.

[5]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3.

[6]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 125–128.

[7]                Eric Hobsbawm, How to Change the World: Reflections on Marx and Marxism (New Haven: Yale University Press, 2011), 77–85.


3.           Asumsi Dasar dan Paradigma Epistemologis

Marxisme tidak hanya merupakan teori sosial atau kritik ekonomi, tetapi juga berdiri di atas fondasi epistemologis dan ontologis yang khas. Sebagai suatu weltanschauung (pandangan dunia), Marxisme menyajikan suatu sistem pengetahuan yang bertolak dari realitas material dan bertujuan membongkar serta mengubah struktur sosial yang eksploitatif. Asumsi dasarnya berpijak pada materialisme historis, dialektika materialis, dan prinsip praksis, yang menjadi pilar utama dalam memahami masyarakat serta proses perubahan sosial secara ilmiah dan revolusioner.

3.1.       Materialisme Historis: Struktur Ekonomi sebagai Basis Realitas Sosial

Asumsi paling fundamental dalam Marxisme adalah bahwa kondisi material dan hubungan produksi menentukan bentuk-bentuk kesadaran sosial, politik, dan budaya. Dalam kerangka ini, basis ekonomi (mode produksi dan relasi produksi) menjadi fondasi yang menopang suprastruktur (ideologi, hukum, politik, agama, dll.). Marx menyatakan secara tegas bahwa “bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, melainkan keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya”¹.

Konsepsi ini secara radikal menolak idealisme dalam filsafat Barat, yang cenderung menempatkan ide atau kesadaran sebagai motor perubahan sejarah. Sebaliknya, Marxisme memandang perubahan sosial sebagai hasil dari konflik dalam mode produksi yang menimbulkan pertentangan kelas. Sejarah, dalam pandangan Marx, bukanlah narasi moral atau gagasan, tetapi medan perjuangan kelas-kelas sosial yang saling bertentangan².

3.2.       Dialektika Materialis: Metodologi Perubahan dan Realitas

Paradigma dialektika materialis dalam Marxisme dikembangkan sebagai respon kritis terhadap dialektika Hegelian. Jika Hegel melihat sejarah sebagai proses realisasi Roh Absolut melalui pertentangan ide-ide, maka Marx membalik posisi tersebut dengan menyatakan bahwa materi dan kerja manusia adalah penggerak utama sejarah. Dialektika materialis mengakui bahwa realitas bersifat dinamis, kontradiktif, dan berubah melalui konflik internal dalam sistem sosial³.

Metode dialektika ini tidak hanya deskriptif, tetapi juga eksploratif dan transformatif. Ia mengungkap kontradiksi dalam sistem kapitalisme—misalnya antara produktivitas dan upah rendah, atau antara akumulasi modal dan kemiskinan massal—sebagai pemicu utama ketegangan sosial dan revolusi. Bagi Marx, perubahan bukanlah hasil reformasi moral, tetapi konsekuensi logis dari kontradiksi internal dalam struktur produksi⁴.

3.3.       Teori Pengetahuan: Ilmu Sosial sebagai Kritik dan Praksis

Marxisme menawarkan suatu paradigma epistemologis yang menolak netralitas ilmiah ala positivisme. Dalam pandangan Marx dan Engels, ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari intervensi praksis. Dengan kata lain, teori harus membimbing tindakan, dan tindakan harus terus merefleksikan teori dalam konteks material yang berubah. Oleh karena itu, Marxisme menekankan peran intelektual sebagai agen transformasi, bukan sekadar pengamat pasif realitas⁵.

Prinsip ini diekspresikan dalam Tesis tentang Feuerbach yang terkenal: “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dalam berbagai cara; tugasnya adalah mengubahnya”⁶. Ini menandakan bahwa kebenaran dalam Marxisme bukan hanya diuji melalui korespondensi logis atau empiris, tetapi melalui kemampuannya untuk memobilisasi perubahan sosial yang membebaskan.

3.4.       Pandangan Kelas dan Ideologi

Marxisme juga mengasumsikan bahwa setiap bentuk pengetahuan dan ideologi merefleksikan kepentingan kelas tertentu. Ideologi dominan adalah ideologi kelas yang berkuasa, yang berfungsi untuk mempertahankan relasi produksi dan menutupi kontradiksi sosial. Oleh sebab itu, tugas ilmu sosial menurut Marxisme adalah mengungkap relasi kekuasaan tersembunyi di balik bentuk-bentuk pemikiran dominan, termasuk dalam hukum, agama, moralitas, dan bahkan filsafat itu sendiri⁷.

Dengan demikian, epistemologi Marxisme bersifat kritikal dan ideologis: ia tidak mengklaim objektivitas universal, melainkan memihak kepada kelas yang tertindas, yakni proletariat, dan berusaha mengembangkan bentuk pengetahuan yang membebaskan dan emansipatoris⁸.


Footnotes

[1]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), xi.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3–5.

[3]                Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University Press, 2011), 42–45.

[4]                Alex Callinicos, The Revolutionary Ideas of Karl Marx (Chicago: Haymarket Books, 2012), 30–34.

[5]                David Harvey, A Companion to Marx's Capital, Vol. 1 (London: Verso, 2010), 14–16.

[6]                Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton, 1978), 145.

[7]                Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), 127–186.

[8]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 110–115.


4.           Konsep-Konsep Pokok dalam Marxisme

Marxisme membentuk suatu sistem filsafat sosial-politik yang khas dengan seperangkat konsep utama yang saling berkaitan secara dialektis. Konsep-konsep ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari kerangka besar yang menjelaskan dinamika struktur sosial, proses historis, dan relasi kekuasaan dalam masyarakat kapitalis. Dalam bagian ini akan dibahas konsep-konsep kunci dalam Marxisme, yakni: kelas sosial dan pertentangan kelas, mode produksi dan basis–suprastruktur, alienasi, nilai-lebih, serta revolusi sosial dan diktatoriat proletariat.

4.1.       Kelas Sosial dan Pertentangan Kelas

Bagi Marx, sejarah seluruh masyarakat hingga saat ini adalah sejarah pertentangan kelas. Masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas yang berkonflik berdasarkan posisi mereka dalam sistem produksi. Dalam kapitalisme, dua kelas utama adalah borjuasi (pemilik alat produksi) dan proletariat (kelas pekerja yang menjual tenaga kerjanya)¹. Pertentangan antara keduanya bersifat struktural dan inheren karena relasi produksi kapitalistik bersifat eksploitatif: buruh menghasilkan nilai lebih yang diambil oleh kapitalis.

Pertentangan kelas bukan hanya konflik ekonomi, tetapi juga mencakup dimensi ideologis dan politis. Dalam kondisi tertentu, pertentangan ini akan memuncak dalam bentuk revolusi sosial, yang menjadi motor penggerak perubahan historis².

4.2.       Mode Produksi dan Struktur Basis–Suprastruktur

Marxisme menempatkan mode produksi—yakni cara manusia mengorganisasi produksi barang dan jasa—sebagai determinan utama struktur sosial. Setiap mode produksi (feodalisme, kapitalisme, sosialisme) memiliki basis (infrastruktur ekonomi) dan suprastruktur (lembaga-lembaga politik, hukum, agama, pendidikan, dan ideologi)³.

Menurut Marx, suprastruktur berfungsi untuk melegitimasi dan mempertahankan basis yang ada. Sebagai contoh, hukum dan sistem pendidikan dalam masyarakat kapitalis cenderung mendukung relasi produksi yang eksploitatif dengan menyebarkan ideologi meritokrasi, kerja keras, dan kepatuhan⁴.

4.3.       Alienasi (Entfremdung)

Konsep alienasi atau keterasingan mengacu pada kondisi di mana pekerja kehilangan hubungan esensial dengan hasil kerjanya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama manusia. Dalam sistem kapitalis, buruh tidak memiliki kontrol atas proses produksi atau hasil kerjanya; ia menjadi komoditas yang diperdagangkan di pasar tenaga kerja⁵.

Alienasi tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga eksistensial dan sosial. Buruh menjadi asing terhadap dirinya sendiri karena kerja dipaksakan demi upah, bukan sebagai ekspresi kreatif atau kebebasan manusia. Marx mengembangkan gagasan ini secara eksplisit dalam Manuskrip Ekonomi dan Filosofis (1844)⁶.

4.4.       Nilai-Lebih (Mehrwert)

Salah satu kontribusi utama Marx dalam ekonomi politik adalah teori nilai-lebih (surplus value). Menurutnya, nilai suatu komoditas ditentukan oleh jumlah waktu kerja sosial yang diperlukan untuk memproduksinya. Namun, kapitalis membayar buruh lebih sedikit dari nilai yang ia hasilkan, dan selisih ini menjadi nilai-lebih yang diambil sebagai laba oleh kapitalis⁷.

Proses ini disebut eksploitasi karena buruh menghasilkan nilai yang tidak dikembalikan kepadanya dalam bentuk upah. Nilai-lebih merupakan fondasi dari akumulasi kapital, dan pada saat yang sama, menciptakan ketimpangan serta krisis dalam sistem kapitalis.

4.5.       Revolusi Sosial dan Diktatoriat Proletariat

Marx dan Engels meyakini bahwa kapitalisme tidak akan runtuh karena kontradiksi internal semata, tetapi memerlukan intervensi revolusioner oleh kelas proletar. Dalam Manifesto Komunis, mereka menyerukan persatuan internasional buruh untuk menggulingkan dominasi borjuis dan mendirikan masyarakat tanpa kelas⁸.

Transisi menuju masyarakat komunis memerlukan diktatoriat proletariat, yaitu periode di mana kelas pekerja mengambil alih kekuasaan negara untuk menghancurkan sisa-sisa struktur lama dan membangun tatanan baru yang egaliter⁹. Namun, diktatoriat ini bukan bentuk tirani, melainkan bentuk kekuasaan rakyat yang bertujuan menghapuskan kelas sosial secara keseluruhan.

4.6.       Internasionalisme Proletar

Dalam visi Marx, perjuangan kelas bersifat internasional. Kapitalisme adalah sistem global, maka perlawanan terhadapnya juga harus lintas batas negara dan etnis. Oleh karena itu, Marx menutup Manifesto Komunis dengan seruan: _“Proletar dari seluruh dunia, bersatulah!”_¹⁰. Prinsip internasionalisme ini menjadi dasar bagi gerakan-gerakan sosialis di berbagai negara yang berupaya membangun solidaritas lintas bangsa dalam menghadapi imperialisme dan eksploitasi global.


Footnotes

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3–4.

[2]                Alex Callinicos, The Revolutionary Ideas of Karl Marx (Chicago: Haymarket Books, 2012), 41–44.

[3]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. N. I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr, 1904), xi.

[4]                Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), 127–186.

[5]                Bertell Ollman, Alienation: Marx’s Conception of Man in Capitalist Society, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 131–139.

[6]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 70–74.

[7]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 324–345.

[8]                Marx and Engels, The Communist Manifesto, 29–31.

[9]                David McLellan, Karl Marx: A Biography, 4th ed. (London: Palgrave Macmillan, 2006), 313–318.

[10]             Marx and Engels, The Communist Manifesto, 32.


5.           Perkembangan dan Variasi Marxisme

Marxisme, sejak dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels pada abad ke-19, telah mengalami perkembangan intelektual dan politik yang signifikan. Seiring dengan perubahan sosial dan historis di berbagai belahan dunia, Marxisme tidak lagi hadir sebagai doktrin tunggal, melainkan telah melahirkan berbagai varian pemikiran dan praksis. Ragam Marxisme ini mencerminkan respon terhadap konteks historis, ekonomi, dan kultural yang berbeda, sekaligus menandai fleksibilitas dan daya hidup Marxisme sebagai paradigma filsafat sosial-politik.

5.1.       Marxisme Ortodoks dan Leninisme

Pasca wafatnya Marx, sejumlah pengikutnya berusaha menyistematisasi ajarannya dalam bentuk yang lebih ketat, yang kemudian dikenal sebagai Marxisme ortodoks. Karl Kautsky dan Georgi Plekhanov menekankan determinisme ekonomi dan menganggap revolusi proletariat sebagai keniscayaan historis yang tidak dapat dicegah¹.

Lenin, pemimpin Revolusi Bolshevik 1917, mengembangkan Marxisme ortodoks ke dalam bentuk Marxisme-Leninisme yang menekankan peran sentral partai pelopor dan kebutuhan akan revolusi yang terorganisir secara disiplin. Dalam What is to Be Done?, Lenin menekankan bahwa kesadaran kelas tidak muncul secara otomatis dari pengalaman, melainkan harus ditanamkan dari luar oleh organisasi revolusioner². Lenin juga mengembangkan teori imperialisme sebagai tahap akhir dari kapitalisme global³.

5.2.       Marxisme Struktural: Louis Althusser dan Kritik Ideologi

Pada dekade 1960-an, muncul pendekatan strukturalis dalam Marxisme yang dikembangkan oleh filsuf Prancis Louis Althusser. Ia menolak humanisme Marxis dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih "ilmiah", yang menekankan bahwa struktur sosial lebih menentukan daripada subjek⁴. Althusser juga memperkenalkan konsep aparatus ideologis negara (ISA) yang mencakup lembaga-lembaga seperti sekolah, keluarga, media, dan agama, yang berfungsi mereproduksi relasi produksi kapitalis secara halus dan tidak koersif⁵.

5.3.       Neo-Marxisme dan Mazhab Frankfurt

Neo-Marxisme muncul sebagai kritik terhadap reduksionisme ekonomi dalam Marxisme ortodoks. Tokoh-tokoh seperti Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse dari Mazhab Frankfurt menggabungkan Marxisme dengan psikoanalisis, teori budaya, dan kritik terhadap rasionalitas instrumental⁶.

Mazhab ini mengembangkan Teori Kritis, yang tidak hanya menjelaskan struktur sosial, tetapi juga bertujuan mengemansipasi masyarakat dari dominasi ideologis dan teknokrasi. Dalam One-Dimensional Man, Marcuse mengecam masyarakat industri maju yang membentuk manusia menjadi pasif, konsumtif, dan tidak kritis⁷.

5.4.       Marxisme Humanis dan Pengaruh Hegelian

Beberapa pemikir Marxis berusaha menghidupkan kembali aspek humanistik dalam pemikiran Marx, terutama dengan menekankan manuskrip awal Marx seperti Manuskrip Ekonomi dan Filosofis 1844. Tokoh seperti Erich Fromm dan György Lukács mengembangkan Marxisme yang menekankan kesadaran kelas, keseluruhan sosial (totalitas), dan objektivasi dalam kerja⁸. Lukács dalam History and Class Consciousness menyoroti pentingnya kesadaran kelas revolusioner sebagai faktor subjektif dalam sejarah⁹.

5.5.       Marxisme Analitis

Pada akhir abad ke-20, berkembang pendekatan Marxisme analitis yang mencoba menyusun kembali Marxisme dengan metodologi filsafat analitik Anglo-Amerika. Tokoh-tokoh seperti G. A. Cohen, Jon Elster, dan John Roemer berusaha membangun teori eksplanatoris yang koheren tentang eksploitasi dan keadilan distributif dengan kerangka logika dan rasionalitas¹⁰. Cohen dalam Karl Marx’s Theory of History: A Defence membela determinisme historis Marx dengan pendekatan analitik yang ketat.

5.6.       Marxisme Kontemporer dan Ekologi, Gender, serta Postkolonialisme

Dalam dekade terakhir, Marxisme juga dikembangkan untuk merespons isu-isu kontemporer, termasuk krisis ekologi, feminisme, dan teori pascakolonial. Marxisme ekologi menyoroti relasi antara kapitalisme dan kerusakan lingkungan, seperti yang dikembangkan oleh John Bellamy Foster dalam Marx's Ecology¹¹.

Sementara itu, feminisme Marxis—seperti yang diperjuangkan oleh Silvia Federici dan Angela Davis—menyoroti peran reproduksi sosial dan kerja domestik sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem kapitalis¹². Dalam konteks global, teori-teori Marxis juga diadaptasi dalam kajian postkolonial, seperti dalam karya Frantz Fanon, yang menggabungkan Marxisme dengan perjuangan dekolonisasi¹³.


Kesimpulan Sementara

Perkembangan dan variasi Marxisme menunjukkan bahwa ia bukanlah sistem dogmatis yang kaku, melainkan tradisi intelektual yang terus hidup dan berkembang. Ragam pemikiran ini memperkaya khazanah filsafat sosial-politik dan memungkinkan adaptasi Marxisme terhadap konteks zaman yang terus berubah, tanpa kehilangan esensinya sebagai kritik terhadap penindasan dan eksploitasi struktural.


Footnotes

[1]                David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave Macmillan, 1980), 26–33.

[2]                Vladimir I. Lenin, What Is to Be Done?, trans. Joe Fineberg and George Hanna (Beijing: Foreign Languages Press, 1973), 75–83.

[3]                Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 88–92.

[4]                Louis Althusser, For Marx, trans. Ben Brewster (London: Verso, 2005), 11–17.

[5]                Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), 127–186.

[6]                Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–106.

[7]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 45–67.

[8]                Erich Fromm, Marx's Concept of Man (New York: Frederick Ungar Publishing, 1961), 21–25.

[9]                György Lukács, History and Class Consciousness, trans. Rodney Livingstone (Cambridge, MA: MIT Press, 1971), 76–88.

[10]             G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Oxford: Clarendon Press, 1978), 3–20.

[11]             John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 13–16.

[12]             Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 63–70.

[13]             Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 37–45.


6.           Marxisme dan Kritik Terhadap Kapitalisme

Salah satu kontribusi paling signifikan dari Marxisme dalam ranah filsafat sosial-politik adalah kritiknya yang mendalam dan sistematis terhadap kapitalisme. Kapitalisme, sebagai sistem ekonomi berbasis kepemilikan pribadi atas alat produksi dan pencarian laba, bagi Marx dan para penerusnya, menyimpan kontradiksi internal yang akan menimbulkan krisis dan penderitaan sosial. Kritik Marxis terhadap kapitalisme mencakup berbagai dimensi: eksploitasi ekonomi, alienasi manusia, dominanasi ideologi, dan ketimpangan struktural yang berkelanjutan. Kritik ini bukan hanya bersifat teoretis, tetapi juga bertujuan untuk mendorong perubahan sosial yang radikal melalui emansipasi kelas pekerja.

6.1.       Eksploitasi Ekonomi dan Nilai-Lebih

Inti dari eksploitasi kapitalis menurut Marx terletak pada penghisapan nilai-lebih (surplus value). Kapitalis membayar buruh dengan upah yang lebih rendah dari nilai yang dihasilkan oleh kerja mereka, dan selisihnya menjadi keuntungan bagi kapitalis¹. Proses ini bukanlah hasil keserakahan individual, melainkan logika sistemik dari kapitalisme itu sendiri. Karena keuntungan hanya diperoleh dengan memperbesar nilai-lebih, maka kapitalisme mendorong kerja berlebihan, upah murah, dan efisiensi produksi yang menekan tenaga kerja manusia.

Selain itu, sistem upah menyembunyikan realitas hubungan kekuasaan antara buruh dan kapitalis. Seolah-olah terjadi pertukaran setara antara upah dan kerja, padahal sebenarnya terjadi relasi eksploitasi yang terstruktur².

6.2.       Alienasi dan Dehumanisasi

Kapitalisme juga menciptakan alienasi, yaitu keterasingan manusia dari hakikat kemanusiaannya. Dalam Manuskrip Ekonomi dan Filosofis (1844), Marx menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalis, buruh terasing dari:

·                     Produk kerjanya, yang menjadi milik kapitalis.

·                     Aktivitas kerjanya, yang menjadi beban bukan ekspresi diri.

·                     Sifat kemanusiaannya, karena ia dianggap sekadar alat produksi.

·                     Sesama manusia, karena hubungan sosial dikomodifikasi³.

Proses ini menyebabkan dehumanisasi, di mana manusia tidak lagi menjadi subjek kreatif, melainkan objek yang diatur oleh mekanisme produksi. Akibatnya, nilai-nilai kemanusiaan direduksi menjadi nilai tukar dan profitabilitas belaka⁴.

6.3.       Ideologi dan Ilusi Kebebasan

Salah satu aspek penting dalam kritik Marxis adalah fungsi ideologi dalam mempertahankan dominasi kapitalisme. Ideologi adalah sistem gagasan yang membuat relasi sosial yang eksploitatif tampak alami, wajar, dan tidak dapat dipertanyakan. Louis Althusser menyebut lembaga-lembaga seperti sekolah, keluarga, dan media sebagai aparatus ideologis negara (ISA) yang mereproduksi kesadaran tunduk pada kapitalisme⁵.

Kapitalisme memproduksi ilusi kebebasan, di mana individu merasa bebas memilih pekerjaan atau membeli barang, padahal seluruh pilihan mereka dibentuk oleh logika pasar dan kebutuhan modal. Dalam konteks ini, ideologi bekerja bukan melalui paksaan, tetapi melalui persetujuan yang diproduksi secara kultural dan psikologis⁶.

6.4.       Akumulasi Modal dan Ketimpangan Global

Marxisme menyoroti bahwa kapitalisme bergerak berdasarkan logika akumulasi tanpa batas, yang pada akhirnya menciptakan ketimpangan ekstrem antara kelas dan wilayah. Dalam Das Kapital, Marx menjelaskan bahwa proses ini mengarah pada sentralisasi kekayaan, monopoli, dan penghisapan tenaga kerja dari wilayah-wilayah pinggiran⁷.

Imperialisme, seperti yang dikembangkan oleh Lenin, dipahami sebagai ekspansi kapitalisme ke wilayah koloni demi mencari pasar baru, bahan mentah, dan tenaga kerja murah. Ini menciptakan relasi pusat-pinggiran (core-periphery) di tingkat global, dengan negara-negara industri mengontrol sirkulasi kapital dan produksi dunia⁸.

6.5.       Krisis Kapitalisme sebagai Kontradiksi Internal

Kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang tak terhindarkan. Di satu sisi, ia menghasilkan kemajuan teknologi dan produktivitas, tetapi di sisi lain, menciptakan kemiskinan relatif, pengangguran, dan instabilitas ekonomi. Kapitalisme rentan terhadap krisis karena overproduksi, penurunan tingkat laba, dan konflik kelas yang terus meningkat⁹.

David Harvey menekankan bahwa krisis kapitalisme bukanlah deviasi dari sistem, melainkan bagian inheren dari logika akumulatifnya. Setiap upaya menyelesaikan krisis hanya akan menciptakan krisis baru di tempat lain—baik secara spasial, temporal, atau sosial¹⁰.


Kesimpulan Sementara

Marxisme menyajikan kritik yang komprehensif dan sistematis terhadap kapitalisme dengan membongkar akar-akar struktural dari eksploitasi, dominasi, dan alienasi. Ia tidak hanya menyoroti ketimpangan ekonomi, tetapi juga mekanisme ideologis dan politik yang mempertahankan ketimpangan tersebut. Oleh karena itu, Marxisme tidak hanya menjadi alat analisis, tetapi juga proyek emansipatoris yang mendorong perubahan radikal menuju masyarakat tanpa kelas.


Footnotes

[1]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Volume I, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 324–329.

[2]                David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave Macmillan, 1980), 41–44.

[3]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 70–85.

[4]                Bertell Ollman, Alienation: Marx’s Conception of Man in Capitalist Society, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 143–155.

[5]                Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), 135–140.

[6]                Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London: Verso, 1989), 28–33.

[7]                Marx, Capital, 926–940.

[8]                V. I. Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 78–86.

[9]                Ernest Mandel, Late Capitalism, trans. Joris De Bres (London: Verso, 1975), 110–124.

[10]             David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2010), 45–58.


7.           Marxisme dalam Konteks Postmodern dan Pascakolonial

Pada akhir abad ke-20, Marxisme menghadapi tantangan serius dari dua arus intelektual besar: postmodernisme dan teori pascakolonial. Kedua pendekatan ini mengkritik klaim universalitas, determinisme historis, dan reduksionisme kelas dalam Marxisme klasik. Namun, alih-alih sepenuhnya menggantikan Marxisme, pendekatan postmodern dan pascakolonial justru telah memicu dialog dan pembaruan pemikiran Marxis, terutama dalam ranah identitas, budaya, dan relasi global. Oleh karena itu, membahas posisi Marxisme dalam lanskap intelektual kontemporer menuntut pemahaman terhadap dinamika dan ketegangan antara tradisi Marxis dan dua pendekatan tersebut.

7.1.       Marxisme dan Kritik Postmodernisme

Postmodernisme, yang mencuat pasca-1960-an, menolak narasi besar (grand narratives) seperti yang dikandung dalam proyek modernitas dan ideologi emansipatoris seperti Marxisme. Tokoh-tokoh seperti Jean-François Lyotard dan Michel Foucault menekankan fragmentasi, pluralitas identitas, dan skeptisisme terhadap totalitas¹. Dalam pandangan ini, Marxisme dianggap terlalu menyederhanakan realitas sosial dengan membatasi analisis pada konflik kelas dan determinasi ekonomi.

Namun, sejumlah pemikir seperti Fredric Jameson berupaya mempertahankan Marxisme sebagai alat analisis postmodern. Dalam karyanya Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism, Jameson menafsirkan postmodernisme bukan sebagai akhir sejarah, tetapi sebagai fase budaya dari kapitalisme lanjut, di mana kapital meresap ke dalam seluruh aspek estetika dan kehidupan sehari-hari². Dengan demikian, postmodernisme tidak meniadakan Marxisme, tetapi menantangnya untuk mengembangkan analisis yang lebih sensitif terhadap keragaman kultural dan simbolik.

7.2.       Marxisme dan Teori Pascakolonial

Teori pascakolonial berkembang sebagai respons terhadap pengalaman penjajahan, dominasi kultural, dan identitas hibrid di dunia Selatan. Tokoh-tokoh seperti Edward Said, Gayatri Chakravorty Spivak, dan Homi K. Bhabha mengkritik universalitas teori-teori Barat, termasuk Marxisme, yang cenderung mengabaikan kompleksitas pengalaman kolonial dan struktur budaya lokal³.

Namun, hubungan antara Marxisme dan pascakolonialisme bersifat ambivalen. Di satu sisi, Marx sendiri memberikan kritik awal terhadap kolonialisme, misalnya dalam analisisnya terhadap India dan relasi Timur–Barat⁴. Di sisi lain, para pemikir pascakolonial menunjukkan bahwa Marxisme sering kali menyamakan pengalaman dunia kolonial dengan skema historis Eropa, sehingga gagal memahami logika kekuasaan yang bersifat diskursif dan kultural⁵.

7.3.       Fanon dan Marxisme Radikal dalam Konteks Kolonial

Salah satu tokoh penting yang menjembatani Marxisme dengan pascakolonialisme adalah Frantz Fanon. Dalam The Wretched of the Earth, Fanon menggunakan kerangka Marxis untuk menjelaskan kolonialisme sebagai bentuk eksploitasi ekonomi dan dehumanisasi rasial. Namun, ia juga memperkaya Marxisme dengan analisis psikologis, ras, dan kekerasan pembebasan⁶.

Fanon menolak pendekatan euro-sentris yang mengabaikan subyektivitas masyarakat terjajah, dan menekankan bahwa revolusi dalam konteks kolonial tidak bisa disamakan begitu saja dengan revolusi proletariat di Eropa. Ia memperlihatkan bagaimana kolonialisme bekerja melalui penginternalisasian inferioritas, dan oleh karenanya pembebasan harus mencakup dimensi kultural dan eksistensial⁷.

7.4.       Perkawinan Kritis: Marxisme Kultural dan Dekolonisasi

Dalam dekade-dekade terakhir, sejumlah pemikir berupaya menjembatani Marxisme dengan postmodernisme dan pascakolonialisme melalui pendekatan yang disebut Marxisme kultural atau Marxisme dekolonial. Pemikir seperti Vivek Chibber dalam Postcolonial Theory and the Specter of Capital mengkritik teori pascakolonial karena melemahkan potensi kritik struktural terhadap kapitalisme global⁸.

Chibber berargumen bahwa, meskipun konteks kolonial memiliki karakteristik khusus, prinsip-prinsip eksploitasi dan dominasi kelas tetap relevan. Dengan kata lain, Marxisme tidak perlu ditinggalkan, tetapi diperluas agar lebih peka terhadap perbedaan historis dan kultural. Upaya ini menjadi bagian dari revitalisasi Marxisme di tengah wacana identitas, globalisasi, dan krisis kapitalisme abad ke-21.


Kesimpulan Sementara

Kehadiran postmodernisme dan pascakolonialisme telah memberikan tantangan kritis terhadap asumsi-asumsi dasar Marxisme. Namun, ketimbang ditinggalkan, Marxisme justru mengalami refleksi dan rekonstruksi internal, sehingga mampu menanggapi dinamika kontemporer tanpa kehilangan visi emansipatorisnya. Dalam konteks dunia yang semakin kompleks dan beragam, dialog antara Marxisme dan pendekatan kritis lainnya memperkaya daya analisis dan relevansi Marxisme di abad ke-21.


Footnotes

[1]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiii–xxv.

[2]                Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism (Durham, NC: Duke University Press, 1991), 3–5.

[3]                Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London: Routledge, 1994), 5–7; Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf, 1993), xi–xii.

[4]                Karl Marx, “The British Rule in India,” New-York Daily Tribune, June 25, 1853, in Karl Marx: Selected Writings, ed. David McLellan (Oxford: Oxford University Press, 2000), 329–333.

[5]                Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?” in Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, ed. Patrick Williams and Laura Chrisman (New York: Columbia University Press, 1994), 66–111.

[6]                Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, trans. Richard Philcox (New York: Grove Press, 2004), 1–62.

[7]                Lewis R. Gordon, Fanon and the Crisis of European Man: An Essay on Philosophy and the Human Sciences (New York: Routledge, 1995), 17–25.

[8]                Vivek Chibber, Postcolonial Theory and the Specter of Capital (London: Verso, 2013), 1–13.


8.           Marxisme dan Pendidikan Kritis

Dalam tradisi Marxis, pendidikan bukanlah aktivitas yang netral, melainkan medan ideologis di mana dominasi kelas dipertahankan atau dilawan. Pendidikan dalam perspektif Marxisme dipahami sebagai bagian dari aparatus ideologis negara (ISA), yang bekerja untuk mereproduksi struktur sosial kapitalis melalui internalisasi nilai-nilai dominan. Namun, seiring perkembangan teori sosial kritis, Marxisme juga melahirkan pendekatan pendidikan kritis, yang berupaya membebaskan individu dari bentuk-bentuk penindasan struktural dan ideologis melalui kesadaran dan tindakan transformatif.

8.1.       Pendidikan sebagai Reproduksi Ideologi Kelas

Louis Althusser, dalam esainya yang berpengaruh “Ideology and Ideological State Apparatuses”, menjelaskan bahwa lembaga pendidikan memainkan peran sentral dalam mereproduksi relasi produksi melalui mekanisme ideologis yang halus namun efektif¹. Sekolah, menurutnya, menanamkan nilai-nilai seperti disiplin, hierarki, ketaatan, dan meritokrasi—semua yang diperlukan untuk menjadikan individu “layak” bagi pasar tenaga kerja kapitalis.

Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga mengonstruksi kesadaran kelas yang sesuai dengan kepentingan kapital. Dalam proses ini, struktur ketimpangan sosial tidak hanya dipertahankan secara ekonomi dan politis, tetapi juga melalui legitimasi simbolik yang diproduksi oleh sistem pendidikan².

8.2.       Paulo Freire dan Pedagogi Pembebasan

Respon kritis terhadap pendidikan sebagai alat dominasi kapitalis muncul secara kuat dalam pemikiran Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf asal Brasil, yang karyanya Pedagogy of the Oppressed menjadi salah satu tonggak utama pendidikan kritis berbasis Marxis. Freire mengkritik model pendidikan “gaya bank”, yaitu pendekatan pedagogis di mana guru menanamkan pengetahuan secara satu arah kepada murid yang pasif, seolah mereka adalah “tabungan” yang harus diisi³.

Sebagai gantinya, Freire mengusulkan pendidikan dialogis, di mana guru dan murid belajar bersama sebagai subjek, bukan objek. Tujuan dari proses ini adalah kesadaran kritis (conscientização), yakni kemampuan untuk membaca realitas sosial secara reflektif dan bertindak untuk mengubahnya⁴. Dalam hal ini, pendidikan bukan sekadar proses intelektual, tetapi praktik emansipatoris yang terkait langsung dengan perjuangan melawan ketidakadilan struktural.

8.3.       Sekolah sebagai Arena Kontestasi Kelas

Sejumlah studi neo-Marxis seperti yang dilakukan oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America menunjukkan bahwa sistem sekolah mencerminkan struktur relasi sosial produksi yang lebih luas. Mereka menegaskan bahwa kurikulum, disiplin, dan evaluasi dalam sekolah modern dirancang untuk menyesuaikan murid dengan peran kerja yang akan mereka tempati dalam hierarki kapitalis⁵.

Bahkan dalam pendidikan tinggi, institusi akademik cenderung mereproduksi elitisme dan eksklusi, membatasi akses kelompok marjinal, serta mengemas ilmu sebagai alat produksi, bukan pembebasan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi alat domestikasi, bukan transendensi, kecuali jika secara sadar diubah melalui praksis kritis⁶.

8.4.       Pendidikan Kritis sebagai Alat Perlawanan Sosial

Dalam semangat Marxis, pendidikan kritis bukan sekadar teori, melainkan strategi praksis. Gerakan sosial, aktivisme mahasiswa, pendidikan rakyat, dan komunitas belajar alternatif menjadi arena emansipasi di luar struktur formal. Pendidikan tidak hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi membongkar struktur kekuasaan dalam wacana, kebijakan, dan relasi sosial⁷.

Model-model pendidikan berbasis komunitas yang menekankan kesetaraan, partisipasi aktif, dan refleksi sosial mencerminkan semangat Marxisme dalam menciptakan kesadaran kelas dan solidaritas kolektif. Pendidikan kritis tidak hanya mengajarkan “apa yang salah”, tetapi juga “apa yang harus dilakukan” untuk menciptakan dunia yang lebih adil.


Kesimpulan Sementara

Marxisme menawarkan lensa kritis untuk memahami bagaimana pendidikan bekerja dalam sistem kapitalisme—baik sebagai alat reproduksi ideologis maupun sebagai potensi emansipasi. Melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Althusser dan Freire, serta kajian struktural institusi pendidikan modern, kita melihat bahwa pendidikan bukan ruang netral, melainkan arena perjuangan kelas. Pendidikan kritis yang berakar pada tradisi Marxis membuka jalan bagi transformasi sosial yang sejati melalui kesadaran, refleksi, dan tindakan kolektif.


Footnotes

[1]                Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, in Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), 143–147.

[2]                Michael Apple, Ideology and Curriculum, 3rd ed. (New York: Routledge, 2004), 27–31.

[3]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–76.

[4]                Ibid., 81–84.

[5]                Samuel Bowles and Herbert Gintis, Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life (New York: Basic Books, 1976), 102–107.

[6]                Henry A. Giroux, Theory and Resistance in Education: Towards a Pedagogy for the Opposition (Westport: Bergin & Garvey, 2001), 35–38.

[7]                Peter McLaren, Critical Pedagogy and Predatory Culture: Oppositional Politics in a Postmodern Era (New York: Routledge, 1995), 88–92.


9.           Relevansi Marxisme dalam Dunia Kontemporer

Meskipun sering dianggap sebagai doktrin yang lahir dari abad ke-19, Marxisme terus menunjukkan relevansinya dalam menganalisis dinamika dunia kontemporer, khususnya dalam menghadapi krisis global, ketimpangan sosial, dan bentuk-bentuk dominasi baru dalam sistem kapitalisme mutakhir. Dalam era globalisasi neoliberal, krisis ekologi, transformasi digital, dan gerakan sosial transnasional, Marxisme tetap menjadi alat kritik dan refleksi yang tajam terhadap struktur kekuasaan yang mendominasi kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya.

9.1.       Ketimpangan Global dan Krisis Kapitalisme

Kapitalisme abad ke-21 memperlihatkan tingkat akumulasi kekayaan dan ketimpangan sosial yang semakin ekstrem. Laporan Oxfam tahun 2023 mengungkapkan bahwa 1% populasi terkaya dunia memiliki hampir separuh kekayaan global¹. Marxisme memberikan pemahaman yang mendalam tentang ketimpangan ini melalui analisis nilai-lebih, eksploitasi, dan akumulasi modal, yang masih menjadi ciri mendasar dari kapitalisme kontemporer.

David Harvey menegaskan bahwa krisis dalam kapitalisme bukanlah anomali, tetapi bagian inheren dari logika sistem tersebut. Krisis keuangan global 2008, misalnya, memperlihatkan bagaimana ekspansi kapital spekulatif dan deregulasi pasar menghasilkan ketidakstabilan yang menimpa kelas pekerja dan kelompok rentan². Dalam konteks ini, pendekatan Marxis memberikan kerangka untuk memahami krisis tidak hanya sebagai kegagalan kebijakan, tetapi sebagai kontradiksi struktural dari sistem kapitalis itu sendiri.

9.2.       Teknologi, Platform Digital, dan Eksploitasi Baru

Transformasi digital dan ekonomi berbasis platform (seperti Gojek, Uber, Amazon) menciptakan bentuk baru dari eksploitasi tenaga kerja dalam struktur yang tampak fleksibel namun sangat terkontrol. Istilah seperti “precariat” menggambarkan kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian, tanpa perlindungan sosial yang memadai³.

Para pemikir Marxis kontemporer seperti Nick Srnicek menunjukkan bahwa kapitalisme digital memusatkan kekayaan dan kekuasaan pada platform besar yang mengontrol data, infrastruktur, dan relasi kerja global⁴. Dalam hal ini, Marxisme tetap relevan dalam mengungkap bentuk-bentuk baru dominasi ekonomi dalam sistem digital, yang sering disamarkan dengan bahasa inovasi dan efisiensi.

9.3.       Perubahan Iklim dan Kritik Ekologi Marxis

Krisis ekologis global—mulai dari pemanasan global, perusakan hutan, hingga pencemaran laut—menjadi bukti bahwa logika akumulatif kapitalisme bertentangan dengan keberlanjutan ekologis. John Bellamy Foster, dalam Marx’s Ecology, menyoroti bagaimana pemikiran Marx dapat dibaca sebagai kritik awal terhadap perusakan alam oleh produksi kapitalistik yang tak terbatas⁵.

Marxisme ekologis menekankan bahwa krisis iklim bukan sekadar akibat konsumsi individu, tetapi akibat dari sistem produksi dan distribusi yang mengejar profit tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Dalam konteks ini, Marxisme menawarkan solusi struktural dan sistemik terhadap isu-isu ekologi, yang melampaui pendekatan moral individualistik dari green capitalism.

9.4.       Marxisme dan Politik Identitas

Marxisme juga dihadapkan pada tantangan politik identitas, yang menekankan perjuangan berbasis ras, gender, etnisitas, dan orientasi seksual. Meskipun beberapa pengkritik menilai Marxisme terlalu fokus pada kelas dan mengabaikan bentuk-bentuk penindasan lain, pendekatan Marxis dapat menyediakan kerangka struktural untuk memahami akar ekonomi dari dominasi identitas tersebut.

Pemikir seperti Angela Davis dan Nancy Fraser telah berupaya menjembatani Marxisme dengan feminisme dan antirasisme. Fraser, misalnya, mengusulkan “feminisme untuk 99%” sebagai upaya menggabungkan kritik terhadap patriarki dan neoliberalisme dalam satu agenda transformasi sosial⁶. Ini menunjukkan bahwa Marxisme tetap relevan dalam memahami interseksionalitas penindasan dalam sistem kapitalisme global.

9.5.       Kebangkitan Gerakan Kiri dan Alternatif Sosialis

Beberapa tahun terakhir memperlihatkan kebangkitan kembali gerakan kiri di berbagai belahan dunia, mulai dari Latin Amerika (Bolivia, Venezuela, Brasil) hingga gerakan kiri progresif di Eropa dan Amerika Serikat (misalnya Bernie Sanders dan Jeremy Corbyn). Meskipun tidak seluruhnya mengidentifikasi diri sebagai Marxis, agenda-agenda sosial mereka merefleksikan kritik struktural terhadap neoliberalisme, privatisasi, dan ketimpangan kelas⁷.

Selain itu, munculnya gerakan buruh digital, koperasi platform, dan bentuk-bentuk ekonomi solidaritas menunjukkan upaya merumuskan alternatif ekonomi non-kapitalis yang sejalan dengan semangat emansipatoris Marxis. Gerakan ini menandai relevansi praksis Marxisme dalam menciptakan model ekonomi yang berbasis pada kebutuhan, bukan keuntungan.


Kesimpulan Sementara

Dalam dunia yang diwarnai oleh krisis multidimensi—ekonomi, ekologi, politik, dan budaya—Marxisme tetap hadir sebagai kerangka teoritis dan praksis yang tajam untuk menganalisis dan menghadapi persoalan struktural kontemporer. Relevansinya tidak terletak pada dogmatisme, melainkan pada kemampuannya beradaptasi, mengkritik, dan menyusun alternatif terhadap logika dominasi kapitalis yang terus berkembang dalam bentuk-bentuk baru. Marxisme bukanlah sisa sejarah, tetapi alat baca dan aksi yang tetap vital dalam membayangkan dan membangun masa depan yang lebih adil.


Footnotes

[1]                Oxfam International, Survival of the Richest: How We Must Tax the Super-Rich Now to Fight Inequality (Nairobi: Oxfam International, 2023), 5–8.

[2]                David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2010), 83–87.

[3]                Guy Standing, The Precariat: The New Dangerous Class (London: Bloomsbury Academic, 2011), 10–15.

[4]                Nick Srnicek, Platform Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2017), 33–45.

[5]                John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature (New York: Monthly Review Press, 2000), 29–35.

[6]                Nancy Fraser et al., Feminism for the 99%: A Manifesto (London: Verso, 2019), 11–18.

[7]                Bhaskar Sunkara, The Socialist Manifesto: The Case for Radical Politics in an Era of Extreme Inequality (New York: Basic Books, 2019), 103–109.


10.       Kritik dan Kontroversi terhadap Marxisme

Meskipun Marxisme telah memberikan kontribusi besar dalam pemikiran sosial-politik dan menjadi inspirasi bagi berbagai gerakan revolusioner serta kritik sistem kapitalis, ia juga menjadi sasaran beragam kritik dan kontroversi, baik dari kalangan liberal, konservatif, anarkis, hingga dari dalam tradisi Marxis itu sendiri. Kritik-kritik tersebut mencakup aspek teoritis, metodologis, moral, dan praktis, serta muncul dalam berbagai konteks historis dan ideologis yang berbeda.

10.1.    Kritik dari Tradisi Liberal: Individualisme dan Kebebasan

Kalangan liberal sering menuduh Marxisme mengabaikan kebebasan individu dan pluralitas sosial. Dalam sistem liberal, hak atas milik pribadi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan memilih dianggap sebagai pilar fundamental demokrasi. Marxisme, dengan visinya tentang kepemilikan kolektif dan supremasi kelas proletar, dianggap cenderung totalitarian dan mengarah pada pembatasan kebebasan sipil¹.

Isaiah Berlin, misalnya, membedakan antara kebebasan negatif (bebas dari paksaan) dan kebebasan positif (kemampuan untuk bertindak sesuai kehendak). Ia mengkritik ideologi total seperti Marxisme karena mengorbankan kebebasan negatif demi pembebasan kolektif yang sering berujung pada penindasan². Dalam praktiknya, negara-negara yang mengklaim diri sebagai sosialis—seperti Uni Soviet atau Tiongkok pada masa Mao—sering kali memperlihatkan bentuk kekuasaan otoriter, yang memperkuat kritik ini.

10.2.    Kritik dari Anarkisme: Negara sebagai Instrumen Represi

Dari sisi kiri non-Marxis, khususnya anarkisme, Marxisme dikritik karena terlalu menekankan peran negara dalam transisi menuju sosialisme. Tokoh seperti Mikhail Bakunin menentang konsep “diktatoriat proletariat”, karena menurutnya semua bentuk negara, bahkan yang dipimpin oleh kelas pekerja, akan berujung pada tirani baru dan pembentukan kelas penguasa yang baru³.

Pertentangan ini tampak jelas dalam perpecahan antara kubu Marx dan Bakunin dalam Internasional Pertama (First International) pada akhir abad ke-19. Bagi kaum anarkis, revolusi sejati tidak boleh berhenti pada penguasaan alat negara, tetapi harus menghancurkan negara itu sendiri dan membentuk organisasi sosial berbasis otonomi, federasi bebas, dan pengambilan keputusan kolektif⁴.

10.3.    Kritik dari Dalam: Determinisme Ekonomi dan Voluntaris Politik

Dari dalam tradisi Marxis sendiri, terdapat kritik terhadap determinisme ekonomi dalam Marxisme ortodoks yang terlalu menyederhanakan perubahan sosial sebagai akibat dari faktor ekonomi semata. Tokoh seperti Antonio Gramsci menekankan pentingnya “hegemoni budaya”, yaitu dominasi kelas penguasa melalui konsensus ideologis, bukan hanya melalui kontrol ekonomi atau represif⁵. Bagi Gramsci, perubahan sosial membutuhkan perjuangan di bidang budaya, pendidikan, dan bahasa—bukan hanya perubahan struktural ekonomi.

Sebaliknya, dalam tradisi Marxisme-Leninisme, kritik diarahkan pada voluntarisme politik, yakni keyakinan bahwa perubahan sosial dapat dipaksakan secara cepat melalui organisasi partai revolusioner, tanpa memperhatikan kondisi material yang memadai. Praktik ini sering berujung pada otoritarianisme dan alienasi massa, seperti yang terlihat dalam Revolusi Kebudayaan Tiongkok dan pembersihan politik di era Stalin⁶.

10.4.    Kontroversi Historis: Totalitarianisme dan Kekerasan Negara

Salah satu kontroversi paling berat terhadap Marxisme datang dari pengalaman historis negara-negara yang mengklaim mengimplementasikan sosialisme. Rezim seperti Uni Soviet di bawah Stalin, Kamboja di bawah Pol Pot, dan Tiongkok di bawah Mao Zedong telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, pembersihan politik, dan kelaparan massal akibat kebijakan kolektivisasi yang gagal⁷.

Para kritikus menyatakan bahwa ideologi Marxis memberikan justifikasi bagi penggunaan kekerasan oleh negara demi “tujuan historis”, dan karenanya memiliki kecenderungan inheren menuju otoritarianisme. Meskipun banyak pemikir Marxis menolak interpretasi tersebut sebagai distorsi terhadap ajaran Marx, fakta historis tetap menjadi tantangan serius terhadap kredibilitas proyek sosialisme dalam praksis⁸.

10.5.    Krisis Legitimasi Pascakejatuhan Blok Timur

Kejatuhan Tembok Berlin dan runtuhnya Uni Soviet pada akhir 1980-an dan awal 1990-an menandai krisis legitimasi besar bagi Marxisme di ranah geopolitik. Banyak pihak menyimpulkan bahwa Marxisme telah gagal sebagai model ekonomi dan sistem pemerintahan. Di tengah dominasi global kapitalisme neoliberal, Marxisme dianggap sebagai warisan usang dari masa lalu yang tidak relevan bagi generasi baru⁹.

Namun demikian, kebangkitan kembali kritik sosial berbasis Marxis pasca-krisis keuangan global 2008, serta meningkatnya ketimpangan ekonomi dan krisis ekologis, membuktikan bahwa Marxisme belum mati, melainkan terus mengalami refleksi kritis, adaptasi, dan pembaruan.


Kesimpulan Sementara

Marxisme bukan doktrin tanpa cela, melainkan tradisi pemikiran yang hidup dan selalu diperdebatkan. Kritik dari luar dan dalam Marxisme menunjukkan bahwa kekuatan dan kelemahannya terletak pada ambisi besar untuk menjelaskan dan mengubah dunia secara total. Kontroversi yang menyertainya mencerminkan kompleksitas dalam menggabungkan teori dengan praksis. Dalam konteks ini, kritik terhadap Marxisme justru menjadi pemicu bagi pengembangan bentuk-bentuk Marxisme yang lebih reflektif, demokratis, dan kontekstual, yang terus relevan dalam menjawab tantangan dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                John Gray, Liberalism (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1986), 54–58.

[2]                Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1958), 13–15.

[3]                Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, ed. and trans. Marshall Shatz (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 134–138.

[4]                Peter Marshall, Demanding the Impossible: A History of Anarchism (London: HarperCollins, 1992), 312–318.

[5]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 245–250.

[6]                Richard Pipes, Communism: A History (New York: Modern Library, 2001), 115–118.

[7]                Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes, Terror, Repression, trans. Jonathan Murphy and Mark Kramer (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 1–27.

[8]                Slavoj Žižek, Did Somebody Say Totalitarianism? (London: Verso, 2001), 2–5.

[9]                Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York: Free Press, 1992), 62–66.


11.       Penutup

Marxisme telah menempuh perjalanan panjang sejak kelahirannya pada pertengahan abad ke-19. Sebagai salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik modern, Marxisme tidak hanya membentuk kerangka teoretis dalam menganalisis masyarakat kapitalis, tetapi juga menjadi kekuatan praksis yang melandasi berbagai transformasi sosial, revolusi politik, dan agenda keadilan kelas di berbagai belahan dunia. Dari materialisme historis dan dialektika materialis hingga gagasan tentang kelas sosial, nilai-lebih, alienasi, dan revolusi, Marxisme menghadirkan satu sistem pemikiran yang menyatukan kritik dan aksi sosial secara integral.

Sebagaimana dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya, konsep-konsep pokok Marxisme telah mengalami pengayaan dan adaptasi dalam beragam konteks sejarah dan geografis. Perkembangan ini terlihat dalam munculnya varian-varian seperti Marxisme-Leninisme, Marxisme Struktural, Neo-Marxisme, Marxisme Analitis, dan bahkan Marxisme Ekologis dan Feminis, yang masing-masing memberikan sumbangan penting terhadap kompleksitas dan relevansi Marxisme dalam menganalisis dinamika kontemporer¹.

Kekuatan utama Marxisme terletak pada kemampuannya menyingkap relasi kekuasaan yang tersembunyi di balik struktur sosial dan ekonomi, serta dalam menyediakan alat konseptual untuk memahami ketimpangan dan dominasi secara sistemik. Di tengah realitas dunia yang semakin kompleks—yang ditandai oleh krisis kapitalisme global, kehancuran ekologis, ketimpangan digital, dan kemunculan kembali gerakan otoriter—Marxisme masih menjadi salah satu pendekatan teoritis yang paling konsisten dalam menyoroti akar struktural persoalan sosial².

Namun, Marxisme juga bukan tanpa kelemahan. Kritik terhadap determinisme ekonomi, dogmatisme ideologis, dan praktik otoritarian dalam sejarah sosialisme negara memperlihatkan bahwa penerapan Marxisme seringkali menyimpang dari semangat emansipatoris aslinya. Oleh sebab itu, Marxisme yang relevan dengan zaman bukanlah Marxisme yang beku dalam dogma, tetapi Marxisme yang terus membuka diri terhadap kritik, refleksi, dan rekonstruksi, seperti yang dilakukan oleh pemikir-pemikir kritis dari dalam tradisi itu sendiri³.

Lebih dari sekadar warisan sejarah, Marxisme hari ini masih dapat menjadi sumber inspirasi dalam membangun gerakan pembebasan, baik di bidang ekonomi, budaya, pendidikan, maupun lingkungan. Marxisme yang dibarengi dengan sensitivitas terhadap isu-isu identitas, dekolonisasi, dan keberlanjutan dapat menghadirkan alternatif visioner bagi dunia yang tengah dilanda krisis makna, eksklusi sosial, dan alienasi massal⁴.

Dengan demikian, relevansi Marxisme di abad ke-21 terletak pada keberaniannya untuk menolak tatanan dunia yang timpang, menawarkan analisis struktural yang tajam, serta mengupayakan transformasi sosial yang adil dan manusiawi. Sebagaimana dikatakan Marx sendiri, "Filsuf-filsuf hanya menafsirkan dunia dalam berbagai cara; yang terpenting adalah mengubahnya."⁵


Footnotes

[1]                David McLellan, Marxism after Marx (London: Palgrave Macmillan, 1980), 75–92.

[2]                David Harvey, A Companion to Marx’s Capital, Volume 1 (London: Verso, 2010), 24–31.

[3]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 240–245.

[4]                Nancy Fraser, The Old is Dying and the New Cannot Be Born (London: Verso, 2019), 41–46.

[5]                Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” in The Marx-Engels Reader, ed. Robert C. Tucker (New York: W. W. Norton & Company, 1978), 145.


Daftar Pustaka

Althusser, L. (1971). Lenin and philosophy and other essays (B. Brewster, Trans.). Monthly Review Press.

Apple, M. W. (2004). Ideology and curriculum (3rd ed.). Routledge.

Bakunin, M. (1990). Statism and anarchy (M. Shatz, Ed. & Trans.). Cambridge University Press.

Berlin, I. (1958). Two concepts of liberty. Oxford University Press.

Bhabha, H. K. (1994). The location of culture. Routledge.

Bowles, S., & Gintis, H. (1976). Schooling in capitalist America: Educational reform and the contradictions of economic life. Basic Books.

Chibber, V. (2013). Postcolonial theory and the specter of capital. Verso.

Courtois, S., Kramer, M., & Murphy, J. (1999). The black book of communism: Crimes, terror, repression (J. Murphy & M. Kramer, Trans.). Harvard University Press.

Davis, A. (1983). Women, race, and class. Vintage.

Fanon, F. (2004). The wretched of the Earth (R. Philcox, Trans.). Grove Press.

Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology: Materialism and nature. Monthly Review Press.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Fraser, N., Arruzza, C., & Bhattacharya, T. (2019). Feminism for the 99%: A manifesto. Verso.

Fraser, N. (2019). The old is dying and the new cannot be born. Verso.

Fromm, E. (1961). Marx’s concept of man. Frederick Ungar Publishing.

Fukuyama, F. (1992). The end of history and the last man. Free Press.

Giroux, H. A. (2001). Theory and resistance in education: Towards a pedagogy for the opposition. Bergin & Garvey.

Gordon, L. R. (1995). Fanon and the crisis of European man: An essay on philosophy and the human sciences. Routledge.

Gray, J. (1986). Liberalism. University of Minnesota Press.

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds. & Trans.). International Publishers.

Harvey, D. (2010). A companion to Marx’s Capital, Volume 1. Verso.

Harvey, D. (2010). The enigma of capital and the crises of capitalism. Oxford University Press.

Hobsbawm, E. (2011). How to change the world: Reflections on Marx and Marxism. Yale University Press.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Jameson, F. (1991). Postmodernism, or, the cultural logic of late capitalism. Duke University Press.

Lenin, V. I. (1939). Imperialism, the highest stage of capitalism. International Publishers.

Lenin, V. I. (1973). What is to be done? (J. Fineberg & G. Hanna, Trans.). Foreign Languages Press.

Lukács, G. (1971). History and class consciousness (R. Livingstone, Trans.). MIT Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.

Marshall, P. (1992). Demanding the impossible: A history of anarchism. HarperCollins.

Marx, K. (1904). A contribution to the critique of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr.

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy, Volume I (B. Fowkes, Trans.). Penguin Books.

Marx, K. (1964). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International Publishers.

Marx, K., & Engels, F. (1992). The communist manifesto (D. McLellan, Ed.). Oxford University Press.

McLellan, D. (1980). Marxism after Marx. Palgrave Macmillan.

McLellan, D. (2006). Karl Marx: A biography (4th ed.). Palgrave Macmillan.

McLaren, P. (1995). Critical pedagogy and predatory culture: Oppositional politics in a postmodern era. Routledge.

Ollman, B. (1976). Alienation: Marx’s conception of man in capitalist society (2nd ed.). Cambridge University Press.

Oxfam International. (2023). Survival of the richest: How we must tax the super-rich now to fight inequality. https://www.oxfam.org/en/research/survival-richest

Pipes, R. (2001). Communism: A history. Modern Library.

Said, E. (1993). Culture and imperialism. Knopf.

Spivak, G. C. (1994). Can the subaltern speak? In P. Williams & L. Chrisman (Eds.), Colonial discourse and post-colonial theory: A reader (pp. 66–111). Columbia University Press.

Srnicek, N. (2017). Platform capitalism. Polity Press.

Standing, G. (2011). The precariat: The new dangerous class. Bloomsbury Academic.

Sunkara, B. (2019). The socialist manifesto: The case for radical politics in an era of extreme inequality. Basic Books.

Žižek, S. (1989). The sublime object of ideology. Verso.

Žižek, S. (2001). Did somebody say totalitarianism? Five interventions in the (mis)use of a notion. Verso.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar