Bahan Ajar Sejarah
Jaya di Laut, Berdaulat di Darat
Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Maritim Islam di
Indonesia dan Warisannya dalam Kehidupan Masa Kini
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif dinamika
dan kontribusi kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia dalam membentuk
peradaban Nusantara serta warisannya bagi kehidupan masyarakat masa kini.
Berangkat dari konteks historis Islamisasi dan maritimisasi di kepulauan
Indonesia sejak abad ke-13 Masehi, kajian ini menelusuri peran penting
kerajaan-kerajaan seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Demak, Banten,
Makassar, Ternate, dan Tidore dalam berbagai aspek kehidupan: sistem
pemerintahan, struktur sosial-budaya, sistem ekonomi maritim, serta jaringan
diplomasi dan keilmuan internasional. Melalui pendekatan multidimensional dan
berbasis referensi ilmiah yang kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa warisan
kerajaan-kerajaan tersebut tidak hanya bertahan dalam bentuk fisik seperti situs
sejarah dan lembaga keagamaan, tetapi juga hidup dalam etika niaga, pendidikan
Islam, budaya pesisir, dan struktur sosial masyarakat Muslim Indonesia
kontemporer. Penegasan terhadap nilai-nilai Islam yang kontekstual, toleran,
dan kosmopolitan menjadikan kerajaan-kerajaan ini sebagai model historis yang
relevan untuk membangun karakter bangsa dan memperkuat kedaulatan maritim
Indonesia masa depan.
Kata Kunci; Kerajaan Maritim Islam, Islamisasi Nusantara,
Sejarah Indonesia, Diplomasi Maritim, Warisan Budaya Islam, Sistem Ekonomi
Syariah, Identitas Kebangsaan.
PEMBAHASAN
Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Maritim Islam di
Indonesia dan Warisannya dalam Kehidupan Masa Kini
1.
Pendahuluan
Sejarah Nusantara
pada masa Islam mencerminkan keterjalinan erat antara kekuatan maritim dan
dinamika peradaban Islam yang berkembang pesat sejak abad ke-13 Masehi.
Kerajaan-kerajaan maritim Islam seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Demak,
Banten, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore tumbuh sebagai pusat-pusat kekuasaan
yang tidak hanya mengandalkan kejayaan laut, tetapi juga membentuk identitas
kebudayaan, sosial, dan keagamaan masyarakat Indonesia hingga hari ini.
Keberadaan mereka merupakan kelanjutan dari tradisi maritim Nusantara yang
telah terbangun sejak masa Hindu-Buddha, namun diperkaya dengan nilai-nilai
Islam yang membawa transformasi mendalam dalam tata pemerintahan, ekonomi, dan
kehidupan spiritual masyarakat pesisir1.
Penyebaran Islam di
kepulauan Indonesia berlangsung secara damai melalui jalur perdagangan,
jaringan ulama, dan pernikahan antarbudaya, yang pada akhirnya memunculkan
pusat-pusat kekuasaan berbasis Islam di wilayah pesisir. Proses islamisasi ini
sejalan dengan pergeseran orientasi politik dan ekonomi dari kerajaan agraris
ke kerajaan maritim, yang menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis dan jalur
perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara2. Dengan
menguasai titik-titik penting perdagangan rempah-rempah dan menjalin hubungan
diplomatik dengan dunia Islam internasional, kerajaan-kerajaan ini menjadi
kekuatan yang berpengaruh secara regional maupun global.
Tidak hanya berperan
sebagai kekuatan politik, kerajaan-kerajaan maritim Islam juga menjadi pusat
intelektual dan spiritual yang memfasilitasi lahirnya jaringan pendidikan Islam
seperti pesantren dan madrasah. Ulama-ulama lokal maupun dari luar Nusantara
memainkan peran penting dalam pengembangan ajaran Islam yang kontekstual dan
adaptif terhadap budaya setempat3. Hal ini menciptakan karakter
Islam Nusantara yang moderat, terbuka, dan mampu berdialog dengan tradisi lokal
tanpa kehilangan substansi ajaran Islam.
Relevansi kajian
terhadap kerajaan-kerajaan maritim Islam sangat penting dalam memahami
identitas historis dan kultural bangsa Indonesia. Di tengah tantangan globalisasi
dan krisis identitas, menggali kembali nilai-nilai kebangsaan yang bersumber
dari kejayaan maritim Islam dapat memberikan inspirasi bagi pembangunan
karakter, penguatan budaya maritim, dan pengembangan pendidikan sejarah yang
kontekstual. Melalui pendekatan historis yang mendalam, peserta didik tidak
hanya diajak untuk mengenali fakta-fakta sejarah, tetapi juga untuk
merefleksikan warisan intelektual dan spiritual yang masih hidup dalam praktik
sosial, budaya, dan religius masyarakat Indonesia saat ini4.
Dengan demikian,
kajian ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif dinamika politik,
sosial, ekonomi, dan budaya kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia serta
menelusuri jejak historisnya dalam kehidupan kontemporer bangsa Indonesia.
Pendekatan yang digunakan bersifat multidimensional dan berakar pada
sumber-sumber primer maupun kajian ilmiah modern yang otoritatif, agar
menghasilkan pemahaman sejarah yang utuh, kritis, dan bermakna.
Footnotes
[1]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680,
Volume Two: Expansion and Crisis (New Haven: Yale University Press, 1993),
128–130.
[2]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 19–21.
[3]
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia:
Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamā’ in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 45–47.
[4]
Taufik Abdullah, Islam and the State in Indonesia (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 67–69.
2.
Konteks Sejarah: Islamisasi dan Maritimisasi
Nusantara
Islamisasi dan
maritimisasi adalah dua arus besar sejarah yang membentuk wajah peradaban
Nusantara sejak abad ke-13 Masehi. Proses islamisasi tidak berdiri sendiri,
tetapi berlangsung secara simultan dan dinamis dengan perkembangan jaringan
maritim yang melintasi Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Para pedagang,
pelaut, ulama, dan cendekiawan dari berbagai penjuru dunia Islam—termasuk
Gujarat, Persia, Arab, dan Mesir—menjadi agen utama penyebaran Islam di kawasan
ini, memanfaatkan pelabuhan-pelabuhan dagang sebagai titik pertemuan budaya dan
agama1.
Pusat-pusat
pelabuhan seperti Pasai, Aceh, Banten, dan Makassar berfungsi tidak hanya
sebagai simpul perdagangan, tetapi juga sebagai ruang pertukaran intelektual
dan spiritual. Di pelabuhan-pelabuhan ini, terjadi akulturasi yang intensif
antara ajaran Islam dengan tradisi lokal yang sebelumnya bercorak Hindu-Buddha
atau animisme. Islam hadir tidak sebagai kekuatan yang hegemonik secara
agresif, melainkan melalui proses akomodasi sosial dan budaya yang mendalam.
Hal ini menjelaskan mengapa Islam di Nusantara berkembang secara damai dan
diterima luas oleh masyarakat2.
Perkembangan Islam
sangat terkait erat dengan maritimisasi Nusantara. Sejak masa kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit, laut telah menjadi poros ekonomi dan politik utama di
wilayah kepulauan ini. Namun, transformasi besar terjadi ketika jalur pelayaran
internasional mulai didominasi oleh kekuatan-kekuatan Muslim, terutama setelah
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Pergeseran tersebut
mempercepat proses pendirian kerajaan-kerajaan Islam yang berorientasi maritim,
seperti Kesultanan Aceh Darussalam dan Gowa-Tallo, yang mengambil peran
strategis sebagai pengganti pelabuhan-pelabuhan dagang yang sebelumnya dikuasai
kekuatan non-Muslim atau kolonial3.
Dalam konteks ini,
muncul sebuah fenomena geopolitik baru: kerajaan maritim Islam. Berbeda
dari kerajaan agraris sebelumnya yang bergantung pada hasil bumi pedalaman,
kerajaan maritim Islam mengandalkan pelayaran, perniagaan internasional, dan
kemampuan navigasi laut sebagai basis kekuatan politik dan ekonomi.
Kesultanan-kesultanan ini tidak hanya memperluas pengaruhnya melalui armada
laut, tetapi juga membentuk jaringan diplomatik dan keagamaan yang luas hingga
ke Timur Tengah dan Afrika Utara4.
Lebih jauh, peran
ulama dalam jaringan maritim ini tidak dapat diremehkan. Mereka menjadi
penghubung ideologis antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dengan
pusat-pusat keilmuan Islam di luar negeri, terutama melalui jalur haji dan
pendidikan ke Makkah dan Kairo. Jaringan ini tidak hanya menyebarkan ajaran
Islam dalam bentuk fikih dan tasawuf, tetapi juga memperkuat legitimasi politik
para sultan sebagai pemimpin yang sah menurut hukum Islam5.
Dengan demikian,
proses islamisasi di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari konteks maritim yang
mendasarinya. Maritimisasi menjadi medium fisik dan struktural, sedangkan
islamisasi menjadi transformasi kultural dan spiritual. Keduanya saling
memperkuat dan melahirkan tatanan baru dalam sejarah Indonesia:
kerajaan-kerajaan maritim Islam yang memiliki identitas kuat, pengaruh luas,
dan warisan yang masih dirasakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia hingga
kini.
Footnotes
[1]
Michael Laffan, The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and
the Narration of a Sufi Past (Princeton: Princeton University Press,
2011), 30–32.
[2]
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia:
Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamā’ in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 21–23.
[3]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680,
Volume One: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press,
1988), 62–65.
[4]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 28–30.
[5]
Taufik Abdullah, Islam and the State in Indonesia (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 83–85.
3.
Kerajaan-Kerajaan Maritim Islam di Indonesia:
Tinjauan Historis
Perkembangan
kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia merupakan tonggak penting dalam
transformasi peradaban Nusantara. Kerajaan-kerajaan ini tidak hanya menguasai
jalur perdagangan strategis, tetapi juga menjadi pusat penyebaran Islam,
pendidikan, dan diplomasi antarbangsa. Masing-masing kerajaan memiliki
karakteristik unik yang mencerminkan dinamika lokal dan interkonektivitas
global dalam jaringan Islam maritim.
3.1.
Kesultanan Samudra
Pasai
Didirikan sekitar
awal abad ke-13 di pesisir utara Sumatra, Samudra Pasai merupakan kerajaan
Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini berkembang pesat sebagai pusat
perdagangan dan penyebaran Islam, terutama melalui pelabuhan-pelabuhannya yang
ramai dikunjungi pedagang dari Arab, Gujarat, dan Persia1. Catatan
dari Ibnu Battuta yang berkunjung pada abad ke-14 menggambarkan Pasai sebagai
pusat keilmuan dan keislaman yang penting di kawasan Asia Tenggara2.
Sultan-sultan Pasai menggunakan gelar “Malik” yang menunjukkan pengaruh Arab
yang kuat, dan kerajaan ini juga mulai mencetak mata uang emas berlafaz Arab
sebagai simbol legitimasi Islam.
3.2.
Kesultanan Aceh
Darussalam
Aceh muncul sebagai
kekuatan besar setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis tahun 1511.
Kesultanan ini menjadi pusat perdagangan dan kekuasaan maritim yang disegani di
kawasan barat Nusantara. Aceh juga menjadi pusat intelektual Islam, terutama di
bawah Sultan Iskandar Muda (1607–1636), yang menjalin hubungan diplomatik
dengan Kesultanan Utsmaniyah dan mengundang ulama-ulama besar seperti Nuruddin
ar-Raniri dan Syamsuddin al-Sumatrani3. Dalam bidang militer, Aceh
terkenal memiliki armada laut kuat dan teknologi meriam yang maju untuk
menghadapi ancaman kolonial4.
3.3.
Kesultanan Demak
Sebagai kerajaan
Islam pertama di Jawa, Demak memainkan peran strategis dalam menyebarkan Islam
ke wilayah pedalaman. Didirikan oleh Raden Patah pada akhir abad ke-15, Demak
menjalin hubungan erat dengan para wali (Wali Songo) dan menjadi pusat
pertumbuhan dakwah Islam di Jawa. Letaknya yang berada di pesisir utara Jawa
memungkinkan Demak mengontrol perdagangan antar-pulau dan menghadapi kekuasaan
Majapahit yang sedang melemah5. Demak juga dikenal atas
kontribusinya dalam pembangunan Masjid Agung Demak yang menjadi simbol
peralihan budaya Hindu-Buddha ke Islam.
3.4.
Kesultanan Banten
Kesultanan Banten
tumbuh sebagai pusat perdagangan lada yang penting di barat Jawa sejak abad
ke-16. Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai puncak kejayaannya
dengan mengembangkan armada laut dan menjalin perdagangan hingga ke Timur
Tengah dan Eropa6. Banten juga memiliki sistem pemerintahan dan
peradilan Islam yang kuat serta menjadi tempat berkumpulnya ulama dari berbagai
daerah. Letaknya yang strategis menjadikan Banten sebagai pelabuhan alternatif
dari Malaka yang dikuasai Portugis.
3.5.
Kesultanan
Gowa-Tallo (Makassar)
Di kawasan timur
Indonesia, Kesultanan Gowa-Tallo berkembang pesat sebagai kerajaan maritim yang
kuat secara militer dan ekonomi. Raja Gowa, Sultan Alauddin, memeluk Islam pada
awal abad ke-17 dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan7.
Pelabuhan Makassar kemudian tumbuh sebagai pusat transit rempah-rempah dan
penghubung antara Maluku, Jawa, dan luar negeri. Makassar juga dikenal atas
toleransinya terhadap pendatang dan peran pentingnya dalam menyebarkan Islam ke
kawasan Indonesia timur.
3.6.
Kesultanan Ternate
dan Tidore
Di Kepulauan Maluku,
Kesultanan Ternate dan Tidore menjadi kekuatan utama dalam perdagangan cengkih
yang sangat bernilai tinggi di pasar dunia. Islamisasi kedua kerajaan ini
berlangsung pada abad ke-15 dan diikuti dengan peningkatan hubungan dengan
dunia Islam luar. Persaingan antara Ternate dan Tidore sering dimanfaatkan oleh
bangsa kolonial, terutama Portugis dan Spanyol, untuk menancapkan pengaruh
politik dan ekonomi8. Meski demikian, kedua kesultanan tetap memainkan
peran sentral dalam penyebaran Islam dan mempertahankan kedaulatan maritim di
wilayah timur Nusantara.
Keenam kerajaan di
atas menunjukkan bahwa Islam di Indonesia tidak berkembang dalam ruang yang
terisolasi, melainkan melalui interaksi aktif dengan dunia luar yang melibatkan
perdagangan, pendidikan, dan diplomasi. Masing-masing kerajaan memberikan
kontribusi besar dalam pembentukan tradisi keislaman maritim yang moderat,
terbuka, dan berdaya saing tinggi.
Footnotes
[1]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 5–6.
[2]
G.R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts Containing Material on
South-East Asia (Leiden: Brill, 1979), 104–106.
[3]
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia
(Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 54–58.
[4]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680,
Vol. II: Expansion and Crisis (New Haven: Yale University Press, 1993),
219–221.
[5]
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2019),
115–117.
[6]
Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII
(Jakarta: EFEO & Yayasan Obor Indonesia, 2008), 139–145.
[7]
Andaya, Leonard Y., The Heritage of Arung Palakka: A History of
South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Leiden: KITLV Press,
1981), 42–44.
[8]
F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der residentie Ternate
(Batavia: Landsdrukkerij, 1890), 89–91.
4.
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan
maritim Islam di Indonesia merupakan hasil sintesis antara struktur kekuasaan
lokal, nilai-nilai Islam, dan pengaruh dari tradisi pemerintahan Islam
internasional. Dalam konteks maritim, bentuk pemerintahan kerajaan-kerajaan ini
bersifat sentralistik namun fleksibel dalam menghadapi kompleksitas kawasan
pesisir yang kosmopolitan dan multikultural. Legitimasi kekuasaan para sultan
sangat bergantung pada dua unsur utama: garis keturunan (nasab) dan otoritas
keagamaan yang bersumber dari Islam.
4.1.
Struktur Kekuasaan:
Sultan, Wazir, dan Lembaga Pendukung
Sultan menempati
posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan sebagai pemimpin politik, militer,
sekaligus simbol keagamaan. Gelar "sultan" menggantikan gelar
tradisional lokal seperti "raja" atau "penguasa" dan
mencerminkan adopsi terhadap terminologi pemerintahan dalam tradisi Islam
global. Di bawah sultan terdapat pejabat tinggi seperti wazir
(perdana menteri), panglima laut, syahbandar (kepala pelabuhan
dan urusan dagang), serta mufti dan qadi yang mengelola urusan keagamaan dan
hukum1.
Lembaga peradilan
Islam, terutama posisi qadi, memiliki peran penting
dalam menerapkan hukum syariah. Di Kesultanan Aceh, misalnya, keberadaan
Mahkamah Syariah menjadi penanda bahwa hukum Islam telah dijadikan dasar legal
formal dalam mengatur kehidupan sosial dan politik masyarakat2.
Dalam beberapa kerajaan, seperti Banten dan Ternate, jabatan keagamaan juga
digunakan untuk memperkuat posisi sultan sebagai pemimpin umat, sehingga
memperbesar wibawa politiknya.
4.2.
Konsep Legitimasi
dan Simbolisme Islam
Legitimasi kekuasaan
dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara bertumpu pada
pemaknaan religius terhadap kekuasaan. Para sultan kerap kali menyatakan bahwa
kekuasaan mereka adalah amanah dari Allah dan dipraktikkan sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam. Hal ini ditegaskan melalui penggunaan gelar-gelar
keislaman seperti Zillullah fi al-‘Alam (Bayangan
Tuhan di dunia), dan penyematan lafaz Arab pada cap kerajaan, uang logam, serta
dokumen resmi3.
Peningkatan
legitimasi religius juga dilakukan dengan menjalin hubungan simbolik maupun
nyata dengan pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah, terutama melalui
pengakuan dari Khilafah Utsmaniyah atau pendidikan para ulama di Makkah dan
Kairo. Hal ini terlihat jelas dalam surat-menyurat antara Sultan Aceh dan
Khalifah Utsmani pada abad ke-16, yang bertujuan memperkuat posisi Aceh di mata
dunia Islam4.
4.3.
Sistem Administratif
Maritim
Sebagai kerajaan
maritim, sistem administrasi pemerintahan juga mencakup pengelolaan pelabuhan
dan perdagangan lintas samudra. Jabatan syahbandar sangat penting
karena bertanggung jawab terhadap lalu lintas kapal, pengawasan dagang, dan
pemungutan bea masuk. Dalam sistem Kesultanan Makassar, struktur administrasi
ini dikenal sangat efisien dan memadai untuk mendukung arus dagang
rempah-rempah dari Maluku ke pelabuhan-pelabuhan utama di Jawa dan luar negeri5.
Keunggulan sistem
maritim juga tercermin dari organisasi militer laut. Di Kesultanan Banten dan
Aceh, armada laut dijadikan alat diplomasi dan pertahanan yang efektif terhadap
ancaman kolonial. Armada ini dikelola secara sistematis dengan pembagian tugas
yang jelas antara panglima laut, awak kapal, dan pejabat pelabuhan. Integrasi
kekuatan maritim ke dalam sistem pemerintahan menjadikan kerajaan-kerajaan
Islam di pesisir Indonesia mampu mempertahankan kedaulatan dan mengembangkan
jaringan pengaruh hingga ke Asia Tenggara dan Samudra Hindia6.
4.4.
Warisan Sistem
Pemerintahan dalam Tradisi Lokal
Meskipun sebagian
besar kerajaan maritim Islam telah runtuh sejak abad ke-18 akibat kolonialisme,
sistem pemerintahan yang mereka wariskan masih dapat dikenali dalam tata kelola
masyarakat adat dan lembaga keagamaan lokal. Di beberapa daerah, gelar-gelar
tradisional seperti qadi, imam syar’i, dan syahbandar
masih digunakan dalam struktur pemerintahan desa atau institusi adat. Warisan
ini menjadi bukti bahwa sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan maritim Islam
telah tertanam dalam memori kolektif bangsa Indonesia7.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam
di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 134–135.
[2]
Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became
an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 77–78.
[3]
G.R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts Containing Material on
South-East Asia (Leiden: Brill, 1979), 114–116.
[4]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680,
Vol. II: Expansion and Crisis (New Haven: Yale University Press, 1993),
206–207.
[5]
Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of
South Sulawesi in the Seventeenth Century (Leiden: KITLV Press, 1981),
92–95.
[6]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 37–39.
[7]
Taufik Abdullah, Islam and the State in Indonesia (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 88–90.
5.
Sistem Sosial dan Budaya
Kerajaan-kerajaan
maritim Islam di Indonesia tidak hanya memainkan peran sebagai kekuatan politik
dan ekonomi, tetapi juga sebagai pusat pembentukan struktur sosial dan budaya
masyarakat pesisir Nusantara. Islamisasi yang berlangsung secara damai melalui
jalur perdagangan, pernikahan, dan pendidikan menciptakan sistem sosial yang
inklusif dan budaya yang adaptif, di mana unsur-unsur lokal dan Islam berpadu
secara harmonis.
5.1.
Stratifikasi Sosial
Masyarakat Pesisir Islam
Struktur sosial
dalam kerajaan-kerajaan maritim Islam umumnya terbagi atas beberapa lapisan
yang menunjukkan peran dan kedudukan sosial. Di puncak terdapat keluarga
kerajaan atau bangsawan (para sultan, syah,
raja),
yang memiliki kekuasaan politik dan religius. Di bawahnya adalah para ulama,
wazir,
dan pegawai
istana, yang memegang peran administratif dan keagamaan.
Lapisan berikutnya terdiri atas pedagang, pengrajin,
dan pelaut,
yang menjadi tulang punggung aktivitas ekonomi maritim. Terakhir, terdapat rakyat
biasa, termasuk nelayan, petani pesisir, dan budak1.
Berbeda dengan
sistem kasta pada masa Hindu-Buddha, stratifikasi sosial dalam kerajaan Islam
bersifat lebih terbuka. Seorang non-bangsawan dapat naik derajat sosial melalui
pendidikan keagamaan atau keberhasilan dalam dunia niaga. Mobilitas sosial ini
ditopang oleh ajaran Islam yang menekankan kesetaraan umat manusia di hadapan
Tuhan, sebagaimana tercermin dalam prinsip ukhuwah Islamiyah2.
5.2.
Peran Ulama dan
Lembaga Keilmuan
Ulama memiliki
posisi yang sangat sentral dalam kehidupan sosial budaya masyarakat kerajaan
maritim Islam. Mereka bukan hanya pendakwah, tetapi juga penasihat politik,
hakim, guru, dan pemimpin spiritual. Hubungan antara sultan dan ulama sering
bersifat simbiotik: sultan memerlukan legitimasi dari ulama, sementara ulama
memperoleh perlindungan dan fasilitas dari sultan.
Lembaga pendidikan
Islam seperti surau, dayah,
dan pesantren
berkembang pesat di pusat-pusat pelabuhan. Kesultanan Aceh, misalnya, menjadi
tempat berkembangnya tradisi intelektual Islam, dengan hadirnya ulama besar
seperti Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri, yang menghasilkan karya-karya
tasawuf bercorak sufistik sekaligus filosofis3. Tradisi
keilmuan ini juga menguatkan semangat toleransi dan keberagaman dalam
masyarakat pesisir.
5.3.
Tradisi Budaya Islam
Pesisir: Akulturasi dan Ekspresi Lokal
Budaya
kerajaan-kerajaan Islam maritim diwarnai oleh proses akulturasi
yang produktif antara nilai-nilai Islam dan tradisi lokal. Hal ini tampak dalam
arsitektur masjid yang memadukan gaya lokal dan Islam, seperti Masjid
Agung Demak dengan atap limas bersusun tiga dan tiang saka guru
berbahan kayu jati, menggambarkan nilai simbolik dari konsep tauhid,
syariat,
dan hakikat4.
Seni sastra dan
kesenian juga berkembang sebagai medium dakwah dan ekspresi budaya. Di Aceh dan
Sumatra, muncul karya-karya dalam bentuk hikayat, syair,
dan puisi
sufistik yang berisi ajaran moral dan spiritual. Di wilayah
Jawa dan Banten, kesenian seperti wayang kulit dimanfaatkan oleh
para wali untuk menyampaikan pesan-pesan Islam melalui simbolisme lokal, dengan
tokoh-tokoh yang diislamkan seperti Semar dan Punakawan5.
Tradisi keagamaan
seperti maulid nabi, tahlilan,
haul
ulama, serta upacara laut seperti ruwatan
atau sedekah
laut diadaptasi dalam bingkai Islam dan menjadi ekspresi spiritual
sekaligus sosial masyarakat pesisir. Hal ini menunjukkan bahwa Islam di
kerajaan-kerajaan maritim tidak hadir sebagai kekuatan yang meniadakan budaya lokal,
tetapi sebagai sistem nilai yang menyesuaikan diri dan memperkaya kebudayaan
setempat6.
5.4.
Warisan
Sosial-Budaya dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer
Warisan sosial dan
budaya dari kerajaan-kerajaan maritim Islam masih sangat terasa dalam kehidupan
masyarakat Indonesia masa kini. Struktur sosial yang menempatkan ulama dan
tokoh agama pada posisi terhormat tetap bertahan, terutama di daerah-daerah
pesisir seperti Aceh, Banten, dan Sulawesi Selatan. Lembaga pesantren dan
majelis taklim menjadi kelanjutan dari tradisi pendidikan Islam yang berakar
sejak masa kerajaan.
Selain itu,
praktik-praktik budaya seperti ziarah kubur, penghormatan
terhadap wali, dan kesenian berbasis Islam terus
hidup dan mengalami revitalisasi dalam berbagai konteks modern. Fenomena ini
menandakan bahwa sistem sosial dan budaya kerajaan maritim Islam tidak hanya
menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga sumber nilai dan identitas kolektif
yang masih hidup dalam masyarakat Indonesia kontemporer7.
Footnotes
[1]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 20–22.
[2]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam
di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 141–144.
[3]
Ali Hasjmy, Khazanah Islam: Sejarah dan Kebudayaan Islam di
Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 87–89.
[4]
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2019),
127–129.
[5]
Clifford Geertz, The Religion of Java (Glencoe: Free Press,
1960), 22–24.
[6]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1987), 191–194.
[7]
Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became
an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 89–91.
6.
Sistem Ekonomi Maritim
Sistem ekonomi
kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia dibangun di atas fondasi geografis
dan historis yang sangat mengandalkan kekuatan laut. Letak strategis Nusantara
di jalur perdagangan internasional — menghubungkan Timur Tengah, India,
Tiongkok, dan Asia Tenggara — menjadikan kerajaan-kerajaan seperti Aceh,
Banten, Demak, Gowa, dan Ternate sebagai simpul ekonomi global. Ekonomi maritim
ini berkembang pesat melalui penguasaan pelabuhan, pengelolaan komoditas ekspor
utama, sistem perpajakan, serta jaringan dagang yang luas dan terorganisir.
6.1.
Perdagangan
Internasional dan Komoditas Utama
Komoditas dagang
utama kerajaan-kerajaan Islam maritim meliputi rempah-rempah (terutama lada,
cengkih, dan pala), hasil hutan, emas, serta kain. Rempah-rempah dari Maluku,
misalnya, menjadi daya tarik utama perdagangan global dan dikendalikan secara
strategis oleh Kesultanan Ternate dan Tidore. Kesultanan Aceh Darussalam dan
Banten menjadi penghubung penting dalam ekspor lada ke pasar dunia, terutama ke
India, Timur Tengah, dan Eropa1.
Kesultanan-kesultanan
ini tidak hanya bertindak sebagai produsen, tetapi juga sebagai perantara
perdagangan internasional (middlemen), yang menguasai logistik,
distribusi, dan bea cukai. Pedagang dari Gujarat, Persia, Arab, dan Tiongkok
berdatangan ke pelabuhan-pelabuhan utama seperti Pasai, Makassar, dan Banten,
di mana interaksi ekonomi sekaligus memperkuat penyebaran Islam2.
6.2.
Peran Pelabuhan dan
Syahbandar
Pelabuhan merupakan
jantung ekonomi kerajaan maritim. Di setiap pelabuhan utama, kerajaan menunjuk
seorang syahbandar — pejabat tinggi
yang bertugas mengatur perdagangan, menetapkan tarif, memungut pajak pelabuhan,
serta mengawasi pergerakan kapal dan transaksi dagang. Jabatan ini sangat
penting dalam menjaga kestabilan ekonomi dan memastikan integrasi kerajaan
dalam jaringan perdagangan lintas wilayah3.
Contoh menonjol dari
pengelolaan pelabuhan yang efisien terdapat di Makassar, di mana sistem
perdagangan terbuka diberlakukan terhadap semua bangsa dan agama. Pelabuhan
Makassar tumbuh menjadi pusat transit utama yang menghubungkan Jawa, Maluku,
Kalimantan, dan Filipina, serta memainkan peran penting dalam menjaga
keseimbangan kekuatan regional terhadap monopoli kolonial4.
6.3.
Sistem Perpajakan
dan Keuangan
Untuk menopang
aktivitas ekonomi dan pemerintahan, kerajaan-kerajaan maritim memberlakukan
sistem perpajakan yang terstruktur. Pendapatan utama negara diperoleh dari bea
pelabuhan, pajak atas perdagangan, dan zakat
dari umat Islam yang mampu. Zakat tidak hanya berfungsi sebagai instrumen
keagamaan, tetapi juga sebagai bagian dari sistem distribusi ekonomi yang mendukung
stabilitas sosial5.
Beberapa kerajaan
seperti Samudra Pasai dan Aceh bahkan mencetak mata uang sendiri berupa dirham
atau dinar berlafaz Arab, yang menandakan kemandirian ekonomi dan keberpihakan
terhadap nilai-nilai Islam dalam transaksi keuangan. Ini juga menjadi simbol
bahwa kerajaan-kerajaan tersebut terintegrasi dalam sistem moneter dunia Islam6.
6.4.
Etika Niaga Islam
dan Hukum Ekonomi Syariah
Islamisasi ekonomi
dalam kerajaan-kerajaan maritim tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga normatif.
Etika bisnis Islam diterapkan melalui prinsip kejujuran (sidq),
amanah, dan larangan terhadap riba. Transaksi dagang diawasi oleh ulama atau
qadi untuk memastikan kesesuaiannya dengan hukum syariah. Dalam praktiknya,
hukum muamalah seperti akad jual beli (bai’), mudharabah,
dan musyarakah
mulai dikenal dan dijalankan oleh para pedagang Muslim7.
Pengaruh prinsip
ekonomi Islam memperkuat kepercayaan antar-pedagang, baik lokal maupun
internasional. Kepercayaan ini menjadi fondasi penting dalam memperluas
jaringan niaga serta meningkatkan reputasi pelabuhan-pelabuhan Islam di mata
dunia, termasuk dalam relasi dengan pedagang non-Muslim yang tetap
diperbolehkan berdagang dengan aman dan adil.
6.5.
Warisan Ekonomi
Maritim Islam di Masa Kini
Jejak ekonomi
maritim Islam masih hidup dalam warisan pelabuhan-pelabuhan tua, tradisi pasar
pesisir, dan praktik perdagangan etis yang dianut oleh banyak komunitas dagang
Muslim di Indonesia. Warisan itu juga tampak dalam keberlanjutan sistem wakaf
dan zakat, lembaga keuangan syariah, serta jaringan ekonomi berbasis pesantren
di beberapa daerah pesisir seperti Gresik, Banten, dan Makassar.
Kesadaran akan
kekuatan maritim sebagai identitas ekonomi bangsa Indonesia mendorong
pentingnya revitalisasi budaya niaga pesisir dan penguatan etika bisnis Islam
di era modern. Dalam konteks ini, sistem ekonomi kerajaan-kerajaan maritim
Islam memberikan inspirasi besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia berbasis
maritim dan beretika religius.
Footnotes
[1]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680,
Vol. I: The Lands Below the Winds (New Haven: Yale University Press,
1988), 27–32.
[2]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 23–25.
[3]
Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of
South Sulawesi in the Seventeenth Century (Leiden: KITLV Press, 1981),
75–76.
[4]
Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became
an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 65–67.
[5]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam
di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 149–151.
[6]
Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII
(Jakarta: EFEO & Yayasan Obor Indonesia, 2008), 162–164.
[7]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1987), 101–103.
7.
Interaksi Internasional dan Diplomasi Islam
Maritim
Salah satu ciri
menonjol dari kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia adalah keterlibatan
aktif mereka dalam jaringan diplomatik dan perdagangan internasional. Interaksi
ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga menyangkut aspek keagamaan,
politik, dan kebudayaan. Melalui diplomasi maritim, kerajaan-kerajaan seperti
Aceh, Banten, Makassar, dan Ternate menegaskan eksistensinya sebagai bagian
dari dunia Islam global dan pelaku penting dalam geopolitik kawasan Asia
Tenggara dan Samudra Hindia.
7.1.
Hubungan dengan
Dunia Islam Global
Kerajaan-kerajaan
Islam maritim di Indonesia menjalin hubungan erat dengan pusat-pusat kekuasaan
dan keilmuan Islam internasional, terutama di Timur Tengah, India, dan Afrika
Utara. Kesultanan Aceh Darussalam, misalnya, memiliki korespondensi langsung
dengan Khilafah Utsmaniyah di Istanbul. Surat-surat diplomatik yang dikirim
oleh Sultan Aceh kepada Sultan Ottoman tidak hanya berisi permintaan bantuan
militer melawan Portugis, tetapi juga permohonan pengakuan politik dan religius
sebagai bagian dari umat Islam sedunia1.
Sebagai balasannya,
Sultan Ottoman mengirimkan hadiah simbolik seperti meriam, senjata api, dan
bendera kekhalifahan, yang kemudian digunakan oleh Aceh untuk memperkuat
legitimasi kekuasaannya2. Interaksi ini mencerminkan adanya semangat
solidaritas pan-Islamisme awal dan memperlihatkan bagaimana kerajaan-kerajaan
Nusantara membayangkan diri sebagai bagian dari satu kesatuan politik umat
Islam global.
7.2.
Diplomasi dengan
Dunia Non-Muslim
Selain dengan dunia
Islam, kerajaan-kerajaan maritim Islam juga menjalin hubungan dengan kekuatan
asing non-Muslim. Kesultanan Banten dan Makassar, misalnya, membangun hubungan
dagang dengan bangsa Belanda, Inggris, dan Portugis. Namun, hubungan ini tidak
selalu berlangsung damai; sering kali diplomasi maritim berubah menjadi konflik
militer, terutama ketika kekuatan kolonial berusaha memonopoli perdagangan.
Di Makassar, Sultan
Hasanuddin terkenal karena perlawanan gigihnya terhadap monopoli VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atas perdagangan rempah-rempah. Meski
akhirnya Makassar ditaklukkan pada tahun 1669, diplomasi Makassar yang terbuka
terhadap pedagang dari berbagai bangsa menunjukkan model maritim yang inklusif dan
kosmopolitan3.
Demikian pula,
Kesultanan Ternate dan Tidore memainkan peran diplomatik yang kompleks dengan
bangsa Spanyol dan Portugis, terkadang sebagai sekutu, terkadang sebagai lawan.
Persaingan antara kedua kesultanan ini sering dimanfaatkan oleh pihak asing,
namun juga menciptakan ruang bagi strategi negosiasi dan resistensi terhadap
kolonialisme4.
7.3.
Mobilitas Ulama dan
Perdagangan Keilmuan
Diplomasi maritim
juga berlangsung dalam bentuk mobilitas ulama dan pelajar. Para ulama dari
Aceh, Banten, dan Gowa berlayar ke Makkah, Madinah, Kairo, dan Gujarat untuk
menimba ilmu, membentuk jaringan keilmuan transnasional yang turut memperkuat
diplomasi intelektual dan kultural. Ulama-ulama tersebut membawa kembali ilmu
agama, kitab-kitab, serta legitimasi spiritual dari pusat-pusat Islam dunia ke
tanah air mereka.
Sebagai contoh,
ulama Aceh seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili dan Nuruddin ar-Raniri dikenal
sebagai tokoh transregional yang berperan penting dalam menghubungkan keilmuan
Islam Timur Tengah dengan Islam lokal Nusantara5. Jaringan keilmuan
ini sekaligus memperkuat pengaruh kerajaan dalam dunia Islam dan meningkatkan
status mereka di mata umat Islam internasional.
7.4.
Strategi Pertahanan
dan Aliansi Regional
Diplomasi
kerajaan-kerajaan maritim Islam juga mencakup strategi pertahanan kolektif.
Kerajaan-kerajaan ini saling menjalin aliansi untuk menghadapi ancaman
eksternal, terutama kolonialisme Eropa. Koalisi antara Demak dan Jepara,
misalnya, pernah melakukan ekspedisi militer untuk merebut Malaka dari Portugis
pada tahun 1513. Meskipun gagal, usaha ini mencerminkan semangat solidaritas
regional dan keberanian kerajaan-kerajaan Islam dalam mempertahankan kedaulatan
wilayah mereka6.
Aliansi juga terjadi
dalam bentuk pertukaran senjata, teknologi militer, dan strategi maritim antar
kerajaan. Aceh dan Turki Utsmani, misalnya, menjalin hubungan militer yang
memungkinkan Aceh membangun armada laut yang kuat, lengkap dengan meriam hasil
produksi lokal dan bantuan dari luar7.
Kesimpulan Subbab
Interaksi
internasional dan diplomasi yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan maritim
Islam menunjukkan bahwa mereka bukan entitas terpencil, melainkan aktor aktif
dalam percaturan global. Mereka berhasil mengelola hubungan dengan berbagai
kekuatan dunia, memperkuat posisi keislaman, menjaga kedaulatan, serta
membangun jaringan keilmuan dan perdagangan lintas benua. Warisan ini
menunjukkan bahwa Islam Nusantara telah memiliki akar kuat dalam diplomasi
global yang berbasis maritim, inklusif, dan berorientasi keadilan serta
martabat.
Footnotes
[1]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680,
Vol. II: Expansion and Crisis (New Haven: Yale University Press, 1993),
213–215.
[2]
Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became
an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 80–82.
[3]
Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of
South Sulawesi in the Seventeenth Century (Leiden: KITLV Press, 1981),
93–95.
[4]
F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der residentie Ternate
(Batavia: Landsdrukkerij, 1890), 107–110.
[5]
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia
(Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 58–60.
[6]
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2019),
145–147.
[7]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 34–36.
8.
Pengaruh Warisan Kerajaan Maritim Islam
terhadap Masyarakat Indonesia Masa Kini
Warisan sejarah
kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia tidak hanya tersimpan dalam arsip
atau situs purbakala, melainkan masih hidup dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat kontemporer. Dari sistem sosial keagamaan hingga kebudayaan pesisir,
pengaruh kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Banten, Demak, dan Makassar dapat
dikenali dalam cara masyarakat Indonesia membangun identitas, praktik
keagamaan, dan pola hubungan sosial. Warisan ini tidak hanya bersifat material,
tetapi juga spiritual, intelektual, dan simbolik, yang terus memberi kontribusi
terhadap konstruksi budaya bangsa.
8.1.
Jejak Politik dan
Kelembagaan Islam
Salah satu pengaruh
utama adalah keberlanjutan nilai-nilai pemerintahan berbasis Islam dalam bentuk
lembaga-lembaga keagamaan dan adat. Struktur sosial yang menempatkan ulama
sebagai tokoh sentral dalam kehidupan masyarakat merupakan kesinambungan dari
peran para ulama istana pada masa kerajaan. Di beberapa daerah seperti Aceh,
Banten, dan Sulawesi Selatan, keberadaan lembaga syariah, mahkamah adat, dan
pemimpin agama lokal menjadi contoh warisan pemerintahan maritim Islam yang
tetap relevan1.
Prinsip-prinsip
seperti musyawarah, keadilan,
dan amanah
yang dahulu digunakan sebagai dasar legitimasi kekuasaan sultan kini banyak
dijadikan nilai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal, terutama dalam
konteks demokrasi berbasis kearifan lokal. Konsep kepemimpinan yang religius
dan moralistik juga terus dihidupkan dalam wacana politik Islam modern di
Indonesia2.
8.2.
Tradisi Keagamaan
dan Pendidikan Islam
Salah satu warisan
paling nyata dari kerajaan-kerajaan maritim Islam adalah sistem pendidikan
Islam tradisional. Lembaga-lembaga seperti pesantren,
dayah,
dan surau,
yang telah ada sejak masa kerajaan seperti Demak dan Aceh, tetap menjadi pusat
pendidikan Islam hingga kini. Warisan ini tidak hanya terbatas pada struktur
kelembagaan, tetapi juga mencakup sistem pengajaran kitab kuning, peran kiai
sebagai tokoh sentral, serta tradisi halaqah dan sorogan3.
Di samping itu, praktik
keagamaan komunitas seperti maulid nabi, haul
ulama, tahlilan, dan ziarah
makam wali, yang berakar dari tradisi sufistik istana, masih
dilestarikan di berbagai daerah. Masjid-masjid tua seperti Masjid Agung Demak,
Masjid Raya Banten, dan Masjid Tua Indrapuri Aceh bukan hanya menjadi tempat
ibadah, tetapi juga simbol kontinuitas sejarah Islam maritim Nusantara4.
8.3.
Warisan Budaya Pesisir
dan Ekspresi Islam Lokal
Budaya pesisir
Indonesia yang berkembang saat ini banyak dipengaruhi oleh interaksi maritim
dan Islamisasi pada masa lalu. Hal ini tampak dalam arsitektur,
seni pertunjukan, sastra, dan upacara adat. Misalnya, seni hadrah,
zapin, syair keagamaan, dan rebana merupakan warisan seni Islam
yang hidup dan terus berkembang dalam komunitas nelayan dan pesisir5.
Upacara sedekah
laut, ruwatan laut, dan berbagai
bentuk ritual maritim lainnya yang disisipi unsur keislaman menjadi bukti bahwa
spiritualitas masyarakat pesisir tidak lepas dari sintesis antara nilai-nilai
Islam dan tradisi lokal. Budaya ini memperlihatkan bentuk Islam
yang kontekstual, yaitu Islam yang menyesuaikan diri dengan
ekosistem sosial dan alam Nusantara6.
8.4.
Etika Perdagangan
dan Kegiatan Ekonomi Syariah
Sistem perdagangan
yang beretika, seperti yang dijalankan di pelabuhan-pelabuhan kerajaan maritim
Islam, turut meletakkan fondasi bagi berkembangnya ekonomi
syariah modern di Indonesia. Etika niaga Islam—berdasarkan
kejujuran (sidq),
amanah, larangan riba, dan keadilan dalam transaksi—telah lama menjadi panduan
pedagang Muslim Nusantara sejak zaman Kesultanan Pasai, Banten, dan Makassar7.
Saat ini,
prinsip-prinsip tersebut hidup kembali dalam bentuk lembaga
keuangan syariah, koperasi pesantren, dan pasar
halal, yang mengadopsi nilai-nilai Islam sekaligus
memberdayakan ekonomi umat. Dengan semakin berkembangnya sistem perbankan
syariah dan bisnis berbasis etika Islam, pengaruh warisan ekonomi maritim Islam
semakin tampak dalam wajah perekonomian Indonesia kontemporer.
8.5.
Kesadaran Sejarah
dan Identitas Kebangsaan
Warisan kerajaan
maritim Islam juga menjadi sumber penting bagi pembangunan identitas
kebangsaan Indonesia. Situs-situs bersejarah seperti benteng
Keraton Ternate, situs Kesultanan Gowa, kompleks makam raja-raja Aceh, dan
artefak kerajaan Banten, dijadikan sebagai objek pembelajaran sejarah dan
kebanggaan lokal. Pengetahuan akan masa lalu kejayaan Islam maritim berperan
dalam membangun kesadaran sejarah yang kuat dan rasa bangga terhadap identitas
Islam Indonesia yang toleran, terbuka, dan berdaulat8.
Dalam kurikulum
pendidikan, narasi tentang kerajaan Islam tidak lagi hanya sebagai fakta
sejarah, melainkan sebagai cerminan kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan
karakter dan wawasan kebangsaan. Warisan intelektual, etika, dan spiritual dari
kerajaan-kerajaan tersebut kini menjadi sumber inspirasi dalam penguatan
pendidikan Islam dan peradaban maritim Indonesia modern.
Footnotes
[1]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1987), 191–195.
[2]
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 173–175.
[3]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam
di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 153–156.
[4]
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2019),
122–125.
[5]
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
(Bandung: Mizan, 1995), 145–148.
[6]
Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became
an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 93–95.
[7]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680,
Vol. I: The Lands Below the Winds (New Haven: Yale University Press,
1988), 88–90.
[8]
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200,
4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 39–42.
9.
Penutup
Kajian tentang
kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia mengungkapkan bahwa sejarah
maritim Nusantara bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan fondasi penting
bagi pembentukan identitas kultural, politik, dan keagamaan bangsa Indonesia.
Kesultanan-kesultanan seperti Aceh, Samudra Pasai, Demak, Banten, Makassar,
serta Ternate dan Tidore, bukan hanya berperan sebagai pusat kekuasaan dan
perdagangan, tetapi juga sebagai penggerak transformasi sosial dan spiritual
masyarakat kepulauan yang majemuk.
Melalui pemanfaatan
laut sebagai jalur ekonomi dan diplomasi, kerajaan-kerajaan ini berhasil
menjalin hubungan dengan dunia Islam global, membangun pusat-pusat keilmuan,
serta menciptakan sistem pemerintahan yang mengintegrasikan norma-norma syariah
dengan tradisi lokal. Interaksi maritim yang intensif memungkinkan terjadinya
pertukaran ilmu, barang, dan budaya yang memperkuat karakter Islam Nusantara
sebagai Islam yang inklusif, toleran, dan kontekstual1.
Warisan-warisan
tersebut tetap hidup dalam berbagai bentuk: dari struktur lembaga keagamaan dan
pendidikan seperti pesantren, sistem ekonomi berbasis syariah, hingga praktik
budaya pesisir yang bernafaskan Islam. Bahkan dalam konteks kontemporer,
semangat maritim Islam memberikan inspirasi besar bagi pembangunan karakter
bangsa dan penguatan kedaulatan maritim Indonesia. Seperti dicatat oleh Anthony
Reid, jaringan kerajaan-kerajaan maritim Islam tidak hanya mengembangkan
perdagangan, tetapi juga memajukan kesadaran regional tentang pentingnya
otonomi, spiritualitas, dan konektivitas antarbangsa2.
Oleh karena itu,
pembelajaran tentang kerajaan-kerajaan maritim Islam tidak boleh hanya berhenti
pada aspek kronologis, tetapi perlu dimaknai sebagai bagian dari pendidikan
kebangsaan dan karakter. Kesadaran akan akar sejarah maritim yang religius dan
kosmopolitan dapat memperkuat integrasi nasional dan memperkaya cara pandang
generasi muda terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban, bukan sekadar identitas
simbolik.
Revitalisasi
nilai-nilai luhur dari kerajaan-kerajaan maritim Islam menjadi urgensi di
tengah tantangan modernitas dan globalisasi. Nilai keadilan, etika niaga,
toleransi, serta keberanian mempertahankan kedaulatan adalah warisan berharga
yang relevan untuk membangun peradaban Indonesia masa depan. Dengan demikian,
refleksi terhadap sejarah kejayaan Islam maritim di Nusantara bukan hanya
meneguhkan kebanggaan masa lalu, tetapi juga menyemai harapan bagi Indonesia
yang lebih bermartabat di masa depan3.
Footnotes
[1]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam
di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 135–138.
[2]
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680,
Vol. I: The Lands Below the Winds (New Haven: Yale University Press,
1988), 143–145.
[3]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1987), 199–202.
Daftar Pustaka
Andaya, L. Y. (1981). The heritage of Arung
Palakka: A history of South Sulawesi in the seventeenth century. KITLV
Press.
Azra, A. (2002). Islam Nusantara: Sejarah sosial
intelektual Islam di Indonesia. Mizan.
Azra, A. (2004). The origins of Islamic
reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern
‘Ulamā’ in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawai‘i
Press.
Bruinessen, M. van. (1995). Kitab kuning,
pesantren dan tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan.
de Clercq, F. S. A. (1890). Bijdragen tot de
kennis der residentie Ternate. Landsdrukkerij.
Geertz, C. (1960). The religion of Java.
Free Press.
Guillot, C. (2008). Banten: Sejarah dan
peradaban abad X–XVII. EFEO & Yayasan Obor Indonesia.
Hasjmy, A. (1993). Khazanah Islam: Sejarah dan kebudayaan
Islam di Indonesia. Bulan Bintang.
Khan, S. B. A. L. (2017). Sovereignty and the
sea: How Indonesia became an archipelagic state. NUS Press.
Ricklefs, M. C. (2008). A history of modern
Indonesia since c. 1200 (4th ed.). Stanford University Press.
Reid, A. (1988). Southeast Asia in the age of
commerce, 1450–1680, Volume I: The lands below the winds. Yale University
Press.
Reid, A. (1993). Southeast Asia in the age of
commerce, 1450–1680, Volume II: Expansion and crisis. Yale University
Press.
Sunyoto, A. (2019). Atlas Wali Songo: Buku
pertama yang mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah. Pustaka IIMaN.
Tibbetts, G. R. (1979). A study of the Arabic
texts containing material on South-East Asia. Brill.
Abdullah, M. A. (1996). Studi agama: Normativitas
atau historisitas? Pustaka Pelajar.
Abdullah, T. (1985). Islam and the state in
Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies.
Abdullah, T. (1987). Islam dan masyarakat:
Pantulan sejarah Indonesia. LP3ES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar