Jumat, 06 Juni 2025

Sejarah IPS 11-2: Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Maritim Islam di Indonesia dan Warisannya dalam Kehidupan Masa Kini

Bahan Ajar Sejarah

Jaya di Laut, Berdaulat di Darat

Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Maritim Islam di Indonesia dan Warisannya dalam Kehidupan Masa Kini


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif dinamika dan kontribusi kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia dalam membentuk peradaban Nusantara serta warisannya bagi kehidupan masyarakat masa kini. Berangkat dari konteks historis Islamisasi dan maritimisasi di kepulauan Indonesia sejak abad ke-13 Masehi, kajian ini menelusuri peran penting kerajaan-kerajaan seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Demak, Banten, Makassar, Ternate, dan Tidore dalam berbagai aspek kehidupan: sistem pemerintahan, struktur sosial-budaya, sistem ekonomi maritim, serta jaringan diplomasi dan keilmuan internasional. Melalui pendekatan multidimensional dan berbasis referensi ilmiah yang kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa warisan kerajaan-kerajaan tersebut tidak hanya bertahan dalam bentuk fisik seperti situs sejarah dan lembaga keagamaan, tetapi juga hidup dalam etika niaga, pendidikan Islam, budaya pesisir, dan struktur sosial masyarakat Muslim Indonesia kontemporer. Penegasan terhadap nilai-nilai Islam yang kontekstual, toleran, dan kosmopolitan menjadikan kerajaan-kerajaan ini sebagai model historis yang relevan untuk membangun karakter bangsa dan memperkuat kedaulatan maritim Indonesia masa depan.

Kata Kunci; Kerajaan Maritim Islam, Islamisasi Nusantara, Sejarah Indonesia, Diplomasi Maritim, Warisan Budaya Islam, Sistem Ekonomi Syariah, Identitas Kebangsaan.


PEMBAHASAN

Kajian Historis Kerajaan-Kerajaan Maritim Islam di Indonesia dan Warisannya dalam Kehidupan Masa Kini


1.           Pendahuluan

Sejarah Nusantara pada masa Islam mencerminkan keterjalinan erat antara kekuatan maritim dan dinamika peradaban Islam yang berkembang pesat sejak abad ke-13 Masehi. Kerajaan-kerajaan maritim Islam seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Demak, Banten, Gowa-Tallo, Ternate, dan Tidore tumbuh sebagai pusat-pusat kekuasaan yang tidak hanya mengandalkan kejayaan laut, tetapi juga membentuk identitas kebudayaan, sosial, dan keagamaan masyarakat Indonesia hingga hari ini. Keberadaan mereka merupakan kelanjutan dari tradisi maritim Nusantara yang telah terbangun sejak masa Hindu-Buddha, namun diperkaya dengan nilai-nilai Islam yang membawa transformasi mendalam dalam tata pemerintahan, ekonomi, dan kehidupan spiritual masyarakat pesisir1.

Penyebaran Islam di kepulauan Indonesia berlangsung secara damai melalui jalur perdagangan, jaringan ulama, dan pernikahan antarbudaya, yang pada akhirnya memunculkan pusat-pusat kekuasaan berbasis Islam di wilayah pesisir. Proses islamisasi ini sejalan dengan pergeseran orientasi politik dan ekonomi dari kerajaan agraris ke kerajaan maritim, yang menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis dan jalur perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara2. Dengan menguasai titik-titik penting perdagangan rempah-rempah dan menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam internasional, kerajaan-kerajaan ini menjadi kekuatan yang berpengaruh secara regional maupun global.

Tidak hanya berperan sebagai kekuatan politik, kerajaan-kerajaan maritim Islam juga menjadi pusat intelektual dan spiritual yang memfasilitasi lahirnya jaringan pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah. Ulama-ulama lokal maupun dari luar Nusantara memainkan peran penting dalam pengembangan ajaran Islam yang kontekstual dan adaptif terhadap budaya setempat3. Hal ini menciptakan karakter Islam Nusantara yang moderat, terbuka, dan mampu berdialog dengan tradisi lokal tanpa kehilangan substansi ajaran Islam.

Relevansi kajian terhadap kerajaan-kerajaan maritim Islam sangat penting dalam memahami identitas historis dan kultural bangsa Indonesia. Di tengah tantangan globalisasi dan krisis identitas, menggali kembali nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari kejayaan maritim Islam dapat memberikan inspirasi bagi pembangunan karakter, penguatan budaya maritim, dan pengembangan pendidikan sejarah yang kontekstual. Melalui pendekatan historis yang mendalam, peserta didik tidak hanya diajak untuk mengenali fakta-fakta sejarah, tetapi juga untuk merefleksikan warisan intelektual dan spiritual yang masih hidup dalam praktik sosial, budaya, dan religius masyarakat Indonesia saat ini4.

Dengan demikian, kajian ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia serta menelusuri jejak historisnya dalam kehidupan kontemporer bangsa Indonesia. Pendekatan yang digunakan bersifat multidimensional dan berakar pada sumber-sumber primer maupun kajian ilmiah modern yang otoritatif, agar menghasilkan pemahaman sejarah yang utuh, kritis, dan bermakna.


Footnotes

[1]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Volume Two: Expansion and Crisis (New Haven: Yale University Press, 1993), 128–130.

[2]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 19–21.

[3]                Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamā’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 45–47.

[4]                Taufik Abdullah, Islam and the State in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 67–69.


2.           Konteks Sejarah: Islamisasi dan Maritimisasi Nusantara

Islamisasi dan maritimisasi adalah dua arus besar sejarah yang membentuk wajah peradaban Nusantara sejak abad ke-13 Masehi. Proses islamisasi tidak berdiri sendiri, tetapi berlangsung secara simultan dan dinamis dengan perkembangan jaringan maritim yang melintasi Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Para pedagang, pelaut, ulama, dan cendekiawan dari berbagai penjuru dunia Islam—termasuk Gujarat, Persia, Arab, dan Mesir—menjadi agen utama penyebaran Islam di kawasan ini, memanfaatkan pelabuhan-pelabuhan dagang sebagai titik pertemuan budaya dan agama1.

Pusat-pusat pelabuhan seperti Pasai, Aceh, Banten, dan Makassar berfungsi tidak hanya sebagai simpul perdagangan, tetapi juga sebagai ruang pertukaran intelektual dan spiritual. Di pelabuhan-pelabuhan ini, terjadi akulturasi yang intensif antara ajaran Islam dengan tradisi lokal yang sebelumnya bercorak Hindu-Buddha atau animisme. Islam hadir tidak sebagai kekuatan yang hegemonik secara agresif, melainkan melalui proses akomodasi sosial dan budaya yang mendalam. Hal ini menjelaskan mengapa Islam di Nusantara berkembang secara damai dan diterima luas oleh masyarakat2.

Perkembangan Islam sangat terkait erat dengan maritimisasi Nusantara. Sejak masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, laut telah menjadi poros ekonomi dan politik utama di wilayah kepulauan ini. Namun, transformasi besar terjadi ketika jalur pelayaran internasional mulai didominasi oleh kekuatan-kekuatan Muslim, terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Pergeseran tersebut mempercepat proses pendirian kerajaan-kerajaan Islam yang berorientasi maritim, seperti Kesultanan Aceh Darussalam dan Gowa-Tallo, yang mengambil peran strategis sebagai pengganti pelabuhan-pelabuhan dagang yang sebelumnya dikuasai kekuatan non-Muslim atau kolonial3.

Dalam konteks ini, muncul sebuah fenomena geopolitik baru: kerajaan maritim Islam. Berbeda dari kerajaan agraris sebelumnya yang bergantung pada hasil bumi pedalaman, kerajaan maritim Islam mengandalkan pelayaran, perniagaan internasional, dan kemampuan navigasi laut sebagai basis kekuatan politik dan ekonomi. Kesultanan-kesultanan ini tidak hanya memperluas pengaruhnya melalui armada laut, tetapi juga membentuk jaringan diplomatik dan keagamaan yang luas hingga ke Timur Tengah dan Afrika Utara4.

Lebih jauh, peran ulama dalam jaringan maritim ini tidak dapat diremehkan. Mereka menjadi penghubung ideologis antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dengan pusat-pusat keilmuan Islam di luar negeri, terutama melalui jalur haji dan pendidikan ke Makkah dan Kairo. Jaringan ini tidak hanya menyebarkan ajaran Islam dalam bentuk fikih dan tasawuf, tetapi juga memperkuat legitimasi politik para sultan sebagai pemimpin yang sah menurut hukum Islam5.

Dengan demikian, proses islamisasi di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari konteks maritim yang mendasarinya. Maritimisasi menjadi medium fisik dan struktural, sedangkan islamisasi menjadi transformasi kultural dan spiritual. Keduanya saling memperkuat dan melahirkan tatanan baru dalam sejarah Indonesia: kerajaan-kerajaan maritim Islam yang memiliki identitas kuat, pengaruh luas, dan warisan yang masih dirasakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia hingga kini.


Footnotes

[1]                Michael Laffan, The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and the Narration of a Sufi Past (Princeton: Princeton University Press, 2011), 30–32.

[2]                Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamā’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 21–23.

[3]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Volume One: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press, 1988), 62–65.

[4]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 28–30.

[5]                Taufik Abdullah, Islam and the State in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 83–85.


3.           Kerajaan-Kerajaan Maritim Islam di Indonesia: Tinjauan Historis

Perkembangan kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia merupakan tonggak penting dalam transformasi peradaban Nusantara. Kerajaan-kerajaan ini tidak hanya menguasai jalur perdagangan strategis, tetapi juga menjadi pusat penyebaran Islam, pendidikan, dan diplomasi antarbangsa. Masing-masing kerajaan memiliki karakteristik unik yang mencerminkan dinamika lokal dan interkonektivitas global dalam jaringan Islam maritim.

3.1.       Kesultanan Samudra Pasai

Didirikan sekitar awal abad ke-13 di pesisir utara Sumatra, Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam, terutama melalui pelabuhan-pelabuhannya yang ramai dikunjungi pedagang dari Arab, Gujarat, dan Persia1. Catatan dari Ibnu Battuta yang berkunjung pada abad ke-14 menggambarkan Pasai sebagai pusat keilmuan dan keislaman yang penting di kawasan Asia Tenggara2. Sultan-sultan Pasai menggunakan gelar “Malik” yang menunjukkan pengaruh Arab yang kuat, dan kerajaan ini juga mulai mencetak mata uang emas berlafaz Arab sebagai simbol legitimasi Islam.

3.2.       Kesultanan Aceh Darussalam

Aceh muncul sebagai kekuatan besar setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Kesultanan ini menjadi pusat perdagangan dan kekuasaan maritim yang disegani di kawasan barat Nusantara. Aceh juga menjadi pusat intelektual Islam, terutama di bawah Sultan Iskandar Muda (1607–1636), yang menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Utsmaniyah dan mengundang ulama-ulama besar seperti Nuruddin ar-Raniri dan Syamsuddin al-Sumatrani3. Dalam bidang militer, Aceh terkenal memiliki armada laut kuat dan teknologi meriam yang maju untuk menghadapi ancaman kolonial4.

3.3.       Kesultanan Demak

Sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak memainkan peran strategis dalam menyebarkan Islam ke wilayah pedalaman. Didirikan oleh Raden Patah pada akhir abad ke-15, Demak menjalin hubungan erat dengan para wali (Wali Songo) dan menjadi pusat pertumbuhan dakwah Islam di Jawa. Letaknya yang berada di pesisir utara Jawa memungkinkan Demak mengontrol perdagangan antar-pulau dan menghadapi kekuasaan Majapahit yang sedang melemah5. Demak juga dikenal atas kontribusinya dalam pembangunan Masjid Agung Demak yang menjadi simbol peralihan budaya Hindu-Buddha ke Islam.

3.4.       Kesultanan Banten

Kesultanan Banten tumbuh sebagai pusat perdagangan lada yang penting di barat Jawa sejak abad ke-16. Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai puncak kejayaannya dengan mengembangkan armada laut dan menjalin perdagangan hingga ke Timur Tengah dan Eropa6. Banten juga memiliki sistem pemerintahan dan peradilan Islam yang kuat serta menjadi tempat berkumpulnya ulama dari berbagai daerah. Letaknya yang strategis menjadikan Banten sebagai pelabuhan alternatif dari Malaka yang dikuasai Portugis.

3.5.       Kesultanan Gowa-Tallo (Makassar)

Di kawasan timur Indonesia, Kesultanan Gowa-Tallo berkembang pesat sebagai kerajaan maritim yang kuat secara militer dan ekonomi. Raja Gowa, Sultan Alauddin, memeluk Islam pada awal abad ke-17 dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan7. Pelabuhan Makassar kemudian tumbuh sebagai pusat transit rempah-rempah dan penghubung antara Maluku, Jawa, dan luar negeri. Makassar juga dikenal atas toleransinya terhadap pendatang dan peran pentingnya dalam menyebarkan Islam ke kawasan Indonesia timur.

3.6.       Kesultanan Ternate dan Tidore

Di Kepulauan Maluku, Kesultanan Ternate dan Tidore menjadi kekuatan utama dalam perdagangan cengkih yang sangat bernilai tinggi di pasar dunia. Islamisasi kedua kerajaan ini berlangsung pada abad ke-15 dan diikuti dengan peningkatan hubungan dengan dunia Islam luar. Persaingan antara Ternate dan Tidore sering dimanfaatkan oleh bangsa kolonial, terutama Portugis dan Spanyol, untuk menancapkan pengaruh politik dan ekonomi8. Meski demikian, kedua kesultanan tetap memainkan peran sentral dalam penyebaran Islam dan mempertahankan kedaulatan maritim di wilayah timur Nusantara.


Keenam kerajaan di atas menunjukkan bahwa Islam di Indonesia tidak berkembang dalam ruang yang terisolasi, melainkan melalui interaksi aktif dengan dunia luar yang melibatkan perdagangan, pendidikan, dan diplomasi. Masing-masing kerajaan memberikan kontribusi besar dalam pembentukan tradisi keislaman maritim yang moderat, terbuka, dan berdaya saing tinggi.


Footnotes

[1]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 5–6.

[2]                G.R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts Containing Material on South-East Asia (Leiden: Brill, 1979), 104–106.

[3]                Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 54–58.

[4]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Vol. II: Expansion and Crisis (New Haven: Yale University Press, 1993), 219–221.

[5]                Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2019), 115–117.

[6]                Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII (Jakarta: EFEO & Yayasan Obor Indonesia, 2008), 139–145.

[7]                Andaya, Leonard Y., The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (Leiden: KITLV Press, 1981), 42–44.

[8]                F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der residentie Ternate (Batavia: Landsdrukkerij, 1890), 89–91.


4.           Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia merupakan hasil sintesis antara struktur kekuasaan lokal, nilai-nilai Islam, dan pengaruh dari tradisi pemerintahan Islam internasional. Dalam konteks maritim, bentuk pemerintahan kerajaan-kerajaan ini bersifat sentralistik namun fleksibel dalam menghadapi kompleksitas kawasan pesisir yang kosmopolitan dan multikultural. Legitimasi kekuasaan para sultan sangat bergantung pada dua unsur utama: garis keturunan (nasab) dan otoritas keagamaan yang bersumber dari Islam.

4.1.       Struktur Kekuasaan: Sultan, Wazir, dan Lembaga Pendukung

Sultan menempati posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan sebagai pemimpin politik, militer, sekaligus simbol keagamaan. Gelar "sultan" menggantikan gelar tradisional lokal seperti "raja" atau "penguasa" dan mencerminkan adopsi terhadap terminologi pemerintahan dalam tradisi Islam global. Di bawah sultan terdapat pejabat tinggi seperti wazir (perdana menteri), panglima laut, syahbandar (kepala pelabuhan dan urusan dagang), serta mufti dan qadi yang mengelola urusan keagamaan dan hukum1.

Lembaga peradilan Islam, terutama posisi qadi, memiliki peran penting dalam menerapkan hukum syariah. Di Kesultanan Aceh, misalnya, keberadaan Mahkamah Syariah menjadi penanda bahwa hukum Islam telah dijadikan dasar legal formal dalam mengatur kehidupan sosial dan politik masyarakat2. Dalam beberapa kerajaan, seperti Banten dan Ternate, jabatan keagamaan juga digunakan untuk memperkuat posisi sultan sebagai pemimpin umat, sehingga memperbesar wibawa politiknya.

4.2.       Konsep Legitimasi dan Simbolisme Islam

Legitimasi kekuasaan dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara bertumpu pada pemaknaan religius terhadap kekuasaan. Para sultan kerap kali menyatakan bahwa kekuasaan mereka adalah amanah dari Allah dan dipraktikkan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Hal ini ditegaskan melalui penggunaan gelar-gelar keislaman seperti Zillullah fi al-‘Alam (Bayangan Tuhan di dunia), dan penyematan lafaz Arab pada cap kerajaan, uang logam, serta dokumen resmi3.

Peningkatan legitimasi religius juga dilakukan dengan menjalin hubungan simbolik maupun nyata dengan pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah, terutama melalui pengakuan dari Khilafah Utsmaniyah atau pendidikan para ulama di Makkah dan Kairo. Hal ini terlihat jelas dalam surat-menyurat antara Sultan Aceh dan Khalifah Utsmani pada abad ke-16, yang bertujuan memperkuat posisi Aceh di mata dunia Islam4.

4.3.       Sistem Administratif Maritim

Sebagai kerajaan maritim, sistem administrasi pemerintahan juga mencakup pengelolaan pelabuhan dan perdagangan lintas samudra. Jabatan syahbandar sangat penting karena bertanggung jawab terhadap lalu lintas kapal, pengawasan dagang, dan pemungutan bea masuk. Dalam sistem Kesultanan Makassar, struktur administrasi ini dikenal sangat efisien dan memadai untuk mendukung arus dagang rempah-rempah dari Maluku ke pelabuhan-pelabuhan utama di Jawa dan luar negeri5.

Keunggulan sistem maritim juga tercermin dari organisasi militer laut. Di Kesultanan Banten dan Aceh, armada laut dijadikan alat diplomasi dan pertahanan yang efektif terhadap ancaman kolonial. Armada ini dikelola secara sistematis dengan pembagian tugas yang jelas antara panglima laut, awak kapal, dan pejabat pelabuhan. Integrasi kekuatan maritim ke dalam sistem pemerintahan menjadikan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Indonesia mampu mempertahankan kedaulatan dan mengembangkan jaringan pengaruh hingga ke Asia Tenggara dan Samudra Hindia6.

4.4.       Warisan Sistem Pemerintahan dalam Tradisi Lokal

Meskipun sebagian besar kerajaan maritim Islam telah runtuh sejak abad ke-18 akibat kolonialisme, sistem pemerintahan yang mereka wariskan masih dapat dikenali dalam tata kelola masyarakat adat dan lembaga keagamaan lokal. Di beberapa daerah, gelar-gelar tradisional seperti qadi, imam syar’i, dan syahbandar masih digunakan dalam struktur pemerintahan desa atau institusi adat. Warisan ini menjadi bukti bahwa sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan maritim Islam telah tertanam dalam memori kolektif bangsa Indonesia7.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 134–135.

[2]                Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 77–78.

[3]                G.R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts Containing Material on South-East Asia (Leiden: Brill, 1979), 114–116.

[4]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Vol. II: Expansion and Crisis (New Haven: Yale University Press, 1993), 206–207.

[5]                Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi in the Seventeenth Century (Leiden: KITLV Press, 1981), 92–95.

[6]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 37–39.

[7]                Taufik Abdullah, Islam and the State in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 88–90.


5.           Sistem Sosial dan Budaya

Kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia tidak hanya memainkan peran sebagai kekuatan politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai pusat pembentukan struktur sosial dan budaya masyarakat pesisir Nusantara. Islamisasi yang berlangsung secara damai melalui jalur perdagangan, pernikahan, dan pendidikan menciptakan sistem sosial yang inklusif dan budaya yang adaptif, di mana unsur-unsur lokal dan Islam berpadu secara harmonis.

5.1.       Stratifikasi Sosial Masyarakat Pesisir Islam

Struktur sosial dalam kerajaan-kerajaan maritim Islam umumnya terbagi atas beberapa lapisan yang menunjukkan peran dan kedudukan sosial. Di puncak terdapat keluarga kerajaan atau bangsawan (para sultan, syah, raja), yang memiliki kekuasaan politik dan religius. Di bawahnya adalah para ulama, wazir, dan pegawai istana, yang memegang peran administratif dan keagamaan. Lapisan berikutnya terdiri atas pedagang, pengrajin, dan pelaut, yang menjadi tulang punggung aktivitas ekonomi maritim. Terakhir, terdapat rakyat biasa, termasuk nelayan, petani pesisir, dan budak1.

Berbeda dengan sistem kasta pada masa Hindu-Buddha, stratifikasi sosial dalam kerajaan Islam bersifat lebih terbuka. Seorang non-bangsawan dapat naik derajat sosial melalui pendidikan keagamaan atau keberhasilan dalam dunia niaga. Mobilitas sosial ini ditopang oleh ajaran Islam yang menekankan kesetaraan umat manusia di hadapan Tuhan, sebagaimana tercermin dalam prinsip ukhuwah Islamiyah2.

5.2.       Peran Ulama dan Lembaga Keilmuan

Ulama memiliki posisi yang sangat sentral dalam kehidupan sosial budaya masyarakat kerajaan maritim Islam. Mereka bukan hanya pendakwah, tetapi juga penasihat politik, hakim, guru, dan pemimpin spiritual. Hubungan antara sultan dan ulama sering bersifat simbiotik: sultan memerlukan legitimasi dari ulama, sementara ulama memperoleh perlindungan dan fasilitas dari sultan.

Lembaga pendidikan Islam seperti surau, dayah, dan pesantren berkembang pesat di pusat-pusat pelabuhan. Kesultanan Aceh, misalnya, menjadi tempat berkembangnya tradisi intelektual Islam, dengan hadirnya ulama besar seperti Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri, yang menghasilkan karya-karya tasawuf bercorak sufistik sekaligus filosofis3. Tradisi keilmuan ini juga menguatkan semangat toleransi dan keberagaman dalam masyarakat pesisir.

5.3.       Tradisi Budaya Islam Pesisir: Akulturasi dan Ekspresi Lokal

Budaya kerajaan-kerajaan Islam maritim diwarnai oleh proses akulturasi yang produktif antara nilai-nilai Islam dan tradisi lokal. Hal ini tampak dalam arsitektur masjid yang memadukan gaya lokal dan Islam, seperti Masjid Agung Demak dengan atap limas bersusun tiga dan tiang saka guru berbahan kayu jati, menggambarkan nilai simbolik dari konsep tauhid, syariat, dan hakikat4.

Seni sastra dan kesenian juga berkembang sebagai medium dakwah dan ekspresi budaya. Di Aceh dan Sumatra, muncul karya-karya dalam bentuk hikayat, syair, dan puisi sufistik yang berisi ajaran moral dan spiritual. Di wilayah Jawa dan Banten, kesenian seperti wayang kulit dimanfaatkan oleh para wali untuk menyampaikan pesan-pesan Islam melalui simbolisme lokal, dengan tokoh-tokoh yang diislamkan seperti Semar dan Punakawan5.

Tradisi keagamaan seperti maulid nabi, tahlilan, haul ulama, serta upacara laut seperti ruwatan atau sedekah laut diadaptasi dalam bingkai Islam dan menjadi ekspresi spiritual sekaligus sosial masyarakat pesisir. Hal ini menunjukkan bahwa Islam di kerajaan-kerajaan maritim tidak hadir sebagai kekuatan yang meniadakan budaya lokal, tetapi sebagai sistem nilai yang menyesuaikan diri dan memperkaya kebudayaan setempat6.

5.4.       Warisan Sosial-Budaya dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer

Warisan sosial dan budaya dari kerajaan-kerajaan maritim Islam masih sangat terasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia masa kini. Struktur sosial yang menempatkan ulama dan tokoh agama pada posisi terhormat tetap bertahan, terutama di daerah-daerah pesisir seperti Aceh, Banten, dan Sulawesi Selatan. Lembaga pesantren dan majelis taklim menjadi kelanjutan dari tradisi pendidikan Islam yang berakar sejak masa kerajaan.

Selain itu, praktik-praktik budaya seperti ziarah kubur, penghormatan terhadap wali, dan kesenian berbasis Islam terus hidup dan mengalami revitalisasi dalam berbagai konteks modern. Fenomena ini menandakan bahwa sistem sosial dan budaya kerajaan maritim Islam tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga sumber nilai dan identitas kolektif yang masih hidup dalam masyarakat Indonesia kontemporer7.


Footnotes

[1]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 20–22.

[2]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 141–144.

[3]                Ali Hasjmy, Khazanah Islam: Sejarah dan Kebudayaan Islam di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 87–89.

[4]                Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2019), 127–129.

[5]                Clifford Geertz, The Religion of Java (Glencoe: Free Press, 1960), 22–24.

[6]                Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 191–194.

[7]                Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 89–91.


6.           Sistem Ekonomi Maritim

Sistem ekonomi kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia dibangun di atas fondasi geografis dan historis yang sangat mengandalkan kekuatan laut. Letak strategis Nusantara di jalur perdagangan internasional — menghubungkan Timur Tengah, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara — menjadikan kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Banten, Demak, Gowa, dan Ternate sebagai simpul ekonomi global. Ekonomi maritim ini berkembang pesat melalui penguasaan pelabuhan, pengelolaan komoditas ekspor utama, sistem perpajakan, serta jaringan dagang yang luas dan terorganisir.

6.1.       Perdagangan Internasional dan Komoditas Utama

Komoditas dagang utama kerajaan-kerajaan Islam maritim meliputi rempah-rempah (terutama lada, cengkih, dan pala), hasil hutan, emas, serta kain. Rempah-rempah dari Maluku, misalnya, menjadi daya tarik utama perdagangan global dan dikendalikan secara strategis oleh Kesultanan Ternate dan Tidore. Kesultanan Aceh Darussalam dan Banten menjadi penghubung penting dalam ekspor lada ke pasar dunia, terutama ke India, Timur Tengah, dan Eropa1.

Kesultanan-kesultanan ini tidak hanya bertindak sebagai produsen, tetapi juga sebagai perantara perdagangan internasional (middlemen), yang menguasai logistik, distribusi, dan bea cukai. Pedagang dari Gujarat, Persia, Arab, dan Tiongkok berdatangan ke pelabuhan-pelabuhan utama seperti Pasai, Makassar, dan Banten, di mana interaksi ekonomi sekaligus memperkuat penyebaran Islam2.

6.2.       Peran Pelabuhan dan Syahbandar

Pelabuhan merupakan jantung ekonomi kerajaan maritim. Di setiap pelabuhan utama, kerajaan menunjuk seorang syahbandar — pejabat tinggi yang bertugas mengatur perdagangan, menetapkan tarif, memungut pajak pelabuhan, serta mengawasi pergerakan kapal dan transaksi dagang. Jabatan ini sangat penting dalam menjaga kestabilan ekonomi dan memastikan integrasi kerajaan dalam jaringan perdagangan lintas wilayah3.

Contoh menonjol dari pengelolaan pelabuhan yang efisien terdapat di Makassar, di mana sistem perdagangan terbuka diberlakukan terhadap semua bangsa dan agama. Pelabuhan Makassar tumbuh menjadi pusat transit utama yang menghubungkan Jawa, Maluku, Kalimantan, dan Filipina, serta memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuatan regional terhadap monopoli kolonial4.

6.3.       Sistem Perpajakan dan Keuangan

Untuk menopang aktivitas ekonomi dan pemerintahan, kerajaan-kerajaan maritim memberlakukan sistem perpajakan yang terstruktur. Pendapatan utama negara diperoleh dari bea pelabuhan, pajak atas perdagangan, dan zakat dari umat Islam yang mampu. Zakat tidak hanya berfungsi sebagai instrumen keagamaan, tetapi juga sebagai bagian dari sistem distribusi ekonomi yang mendukung stabilitas sosial5.

Beberapa kerajaan seperti Samudra Pasai dan Aceh bahkan mencetak mata uang sendiri berupa dirham atau dinar berlafaz Arab, yang menandakan kemandirian ekonomi dan keberpihakan terhadap nilai-nilai Islam dalam transaksi keuangan. Ini juga menjadi simbol bahwa kerajaan-kerajaan tersebut terintegrasi dalam sistem moneter dunia Islam6.

6.4.       Etika Niaga Islam dan Hukum Ekonomi Syariah

Islamisasi ekonomi dalam kerajaan-kerajaan maritim tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga normatif. Etika bisnis Islam diterapkan melalui prinsip kejujuran (sidq), amanah, dan larangan terhadap riba. Transaksi dagang diawasi oleh ulama atau qadi untuk memastikan kesesuaiannya dengan hukum syariah. Dalam praktiknya, hukum muamalah seperti akad jual beli (bai’), mudharabah, dan musyarakah mulai dikenal dan dijalankan oleh para pedagang Muslim7.

Pengaruh prinsip ekonomi Islam memperkuat kepercayaan antar-pedagang, baik lokal maupun internasional. Kepercayaan ini menjadi fondasi penting dalam memperluas jaringan niaga serta meningkatkan reputasi pelabuhan-pelabuhan Islam di mata dunia, termasuk dalam relasi dengan pedagang non-Muslim yang tetap diperbolehkan berdagang dengan aman dan adil.

6.5.       Warisan Ekonomi Maritim Islam di Masa Kini

Jejak ekonomi maritim Islam masih hidup dalam warisan pelabuhan-pelabuhan tua, tradisi pasar pesisir, dan praktik perdagangan etis yang dianut oleh banyak komunitas dagang Muslim di Indonesia. Warisan itu juga tampak dalam keberlanjutan sistem wakaf dan zakat, lembaga keuangan syariah, serta jaringan ekonomi berbasis pesantren di beberapa daerah pesisir seperti Gresik, Banten, dan Makassar.

Kesadaran akan kekuatan maritim sebagai identitas ekonomi bangsa Indonesia mendorong pentingnya revitalisasi budaya niaga pesisir dan penguatan etika bisnis Islam di era modern. Dalam konteks ini, sistem ekonomi kerajaan-kerajaan maritim Islam memberikan inspirasi besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia berbasis maritim dan beretika religius.


Footnotes

[1]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Vol. I: The Lands Below the Winds (New Haven: Yale University Press, 1988), 27–32.

[2]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 23–25.

[3]                Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi in the Seventeenth Century (Leiden: KITLV Press, 1981), 75–76.

[4]                Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 65–67.

[5]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 149–151.

[6]                Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII (Jakarta: EFEO & Yayasan Obor Indonesia, 2008), 162–164.

[7]                Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 101–103.


7.           Interaksi Internasional dan Diplomasi Islam Maritim

Salah satu ciri menonjol dari kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia adalah keterlibatan aktif mereka dalam jaringan diplomatik dan perdagangan internasional. Interaksi ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga menyangkut aspek keagamaan, politik, dan kebudayaan. Melalui diplomasi maritim, kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Banten, Makassar, dan Ternate menegaskan eksistensinya sebagai bagian dari dunia Islam global dan pelaku penting dalam geopolitik kawasan Asia Tenggara dan Samudra Hindia.

7.1.       Hubungan dengan Dunia Islam Global

Kerajaan-kerajaan Islam maritim di Indonesia menjalin hubungan erat dengan pusat-pusat kekuasaan dan keilmuan Islam internasional, terutama di Timur Tengah, India, dan Afrika Utara. Kesultanan Aceh Darussalam, misalnya, memiliki korespondensi langsung dengan Khilafah Utsmaniyah di Istanbul. Surat-surat diplomatik yang dikirim oleh Sultan Aceh kepada Sultan Ottoman tidak hanya berisi permintaan bantuan militer melawan Portugis, tetapi juga permohonan pengakuan politik dan religius sebagai bagian dari umat Islam sedunia1.

Sebagai balasannya, Sultan Ottoman mengirimkan hadiah simbolik seperti meriam, senjata api, dan bendera kekhalifahan, yang kemudian digunakan oleh Aceh untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya2. Interaksi ini mencerminkan adanya semangat solidaritas pan-Islamisme awal dan memperlihatkan bagaimana kerajaan-kerajaan Nusantara membayangkan diri sebagai bagian dari satu kesatuan politik umat Islam global.

7.2.       Diplomasi dengan Dunia Non-Muslim

Selain dengan dunia Islam, kerajaan-kerajaan maritim Islam juga menjalin hubungan dengan kekuatan asing non-Muslim. Kesultanan Banten dan Makassar, misalnya, membangun hubungan dagang dengan bangsa Belanda, Inggris, dan Portugis. Namun, hubungan ini tidak selalu berlangsung damai; sering kali diplomasi maritim berubah menjadi konflik militer, terutama ketika kekuatan kolonial berusaha memonopoli perdagangan.

Di Makassar, Sultan Hasanuddin terkenal karena perlawanan gigihnya terhadap monopoli VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atas perdagangan rempah-rempah. Meski akhirnya Makassar ditaklukkan pada tahun 1669, diplomasi Makassar yang terbuka terhadap pedagang dari berbagai bangsa menunjukkan model maritim yang inklusif dan kosmopolitan3.

Demikian pula, Kesultanan Ternate dan Tidore memainkan peran diplomatik yang kompleks dengan bangsa Spanyol dan Portugis, terkadang sebagai sekutu, terkadang sebagai lawan. Persaingan antara kedua kesultanan ini sering dimanfaatkan oleh pihak asing, namun juga menciptakan ruang bagi strategi negosiasi dan resistensi terhadap kolonialisme4.

7.3.       Mobilitas Ulama dan Perdagangan Keilmuan

Diplomasi maritim juga berlangsung dalam bentuk mobilitas ulama dan pelajar. Para ulama dari Aceh, Banten, dan Gowa berlayar ke Makkah, Madinah, Kairo, dan Gujarat untuk menimba ilmu, membentuk jaringan keilmuan transnasional yang turut memperkuat diplomasi intelektual dan kultural. Ulama-ulama tersebut membawa kembali ilmu agama, kitab-kitab, serta legitimasi spiritual dari pusat-pusat Islam dunia ke tanah air mereka.

Sebagai contoh, ulama Aceh seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili dan Nuruddin ar-Raniri dikenal sebagai tokoh transregional yang berperan penting dalam menghubungkan keilmuan Islam Timur Tengah dengan Islam lokal Nusantara5. Jaringan keilmuan ini sekaligus memperkuat pengaruh kerajaan dalam dunia Islam dan meningkatkan status mereka di mata umat Islam internasional.

7.4.       Strategi Pertahanan dan Aliansi Regional

Diplomasi kerajaan-kerajaan maritim Islam juga mencakup strategi pertahanan kolektif. Kerajaan-kerajaan ini saling menjalin aliansi untuk menghadapi ancaman eksternal, terutama kolonialisme Eropa. Koalisi antara Demak dan Jepara, misalnya, pernah melakukan ekspedisi militer untuk merebut Malaka dari Portugis pada tahun 1513. Meskipun gagal, usaha ini mencerminkan semangat solidaritas regional dan keberanian kerajaan-kerajaan Islam dalam mempertahankan kedaulatan wilayah mereka6.

Aliansi juga terjadi dalam bentuk pertukaran senjata, teknologi militer, dan strategi maritim antar kerajaan. Aceh dan Turki Utsmani, misalnya, menjalin hubungan militer yang memungkinkan Aceh membangun armada laut yang kuat, lengkap dengan meriam hasil produksi lokal dan bantuan dari luar7.


Kesimpulan Subbab

Interaksi internasional dan diplomasi yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan maritim Islam menunjukkan bahwa mereka bukan entitas terpencil, melainkan aktor aktif dalam percaturan global. Mereka berhasil mengelola hubungan dengan berbagai kekuatan dunia, memperkuat posisi keislaman, menjaga kedaulatan, serta membangun jaringan keilmuan dan perdagangan lintas benua. Warisan ini menunjukkan bahwa Islam Nusantara telah memiliki akar kuat dalam diplomasi global yang berbasis maritim, inklusif, dan berorientasi keadilan serta martabat.


Footnotes

[1]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Vol. II: Expansion and Crisis (New Haven: Yale University Press, 1993), 213–215.

[2]                Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 80–82.

[3]                Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi in the Seventeenth Century (Leiden: KITLV Press, 1981), 93–95.

[4]                F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der residentie Ternate (Batavia: Landsdrukkerij, 1890), 107–110.

[5]                Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2004), 58–60.

[6]                Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2019), 145–147.

[7]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 34–36.


8.           Pengaruh Warisan Kerajaan Maritim Islam terhadap Masyarakat Indonesia Masa Kini

Warisan sejarah kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia tidak hanya tersimpan dalam arsip atau situs purbakala, melainkan masih hidup dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat kontemporer. Dari sistem sosial keagamaan hingga kebudayaan pesisir, pengaruh kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Banten, Demak, dan Makassar dapat dikenali dalam cara masyarakat Indonesia membangun identitas, praktik keagamaan, dan pola hubungan sosial. Warisan ini tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual, intelektual, dan simbolik, yang terus memberi kontribusi terhadap konstruksi budaya bangsa.

8.1.       Jejak Politik dan Kelembagaan Islam

Salah satu pengaruh utama adalah keberlanjutan nilai-nilai pemerintahan berbasis Islam dalam bentuk lembaga-lembaga keagamaan dan adat. Struktur sosial yang menempatkan ulama sebagai tokoh sentral dalam kehidupan masyarakat merupakan kesinambungan dari peran para ulama istana pada masa kerajaan. Di beberapa daerah seperti Aceh, Banten, dan Sulawesi Selatan, keberadaan lembaga syariah, mahkamah adat, dan pemimpin agama lokal menjadi contoh warisan pemerintahan maritim Islam yang tetap relevan1.

Prinsip-prinsip seperti musyawarah, keadilan, dan amanah yang dahulu digunakan sebagai dasar legitimasi kekuasaan sultan kini banyak dijadikan nilai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal, terutama dalam konteks demokrasi berbasis kearifan lokal. Konsep kepemimpinan yang religius dan moralistik juga terus dihidupkan dalam wacana politik Islam modern di Indonesia2.

8.2.       Tradisi Keagamaan dan Pendidikan Islam

Salah satu warisan paling nyata dari kerajaan-kerajaan maritim Islam adalah sistem pendidikan Islam tradisional. Lembaga-lembaga seperti pesantren, dayah, dan surau, yang telah ada sejak masa kerajaan seperti Demak dan Aceh, tetap menjadi pusat pendidikan Islam hingga kini. Warisan ini tidak hanya terbatas pada struktur kelembagaan, tetapi juga mencakup sistem pengajaran kitab kuning, peran kiai sebagai tokoh sentral, serta tradisi halaqah dan sorogan3.

Di samping itu, praktik keagamaan komunitas seperti maulid nabi, haul ulama, tahlilan, dan ziarah makam wali, yang berakar dari tradisi sufistik istana, masih dilestarikan di berbagai daerah. Masjid-masjid tua seperti Masjid Agung Demak, Masjid Raya Banten, dan Masjid Tua Indrapuri Aceh bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol kontinuitas sejarah Islam maritim Nusantara4.

8.3.       Warisan Budaya Pesisir dan Ekspresi Islam Lokal

Budaya pesisir Indonesia yang berkembang saat ini banyak dipengaruhi oleh interaksi maritim dan Islamisasi pada masa lalu. Hal ini tampak dalam arsitektur, seni pertunjukan, sastra, dan upacara adat. Misalnya, seni hadrah, zapin, syair keagamaan, dan rebana merupakan warisan seni Islam yang hidup dan terus berkembang dalam komunitas nelayan dan pesisir5.

Upacara sedekah laut, ruwatan laut, dan berbagai bentuk ritual maritim lainnya yang disisipi unsur keislaman menjadi bukti bahwa spiritualitas masyarakat pesisir tidak lepas dari sintesis antara nilai-nilai Islam dan tradisi lokal. Budaya ini memperlihatkan bentuk Islam yang kontekstual, yaitu Islam yang menyesuaikan diri dengan ekosistem sosial dan alam Nusantara6.

8.4.       Etika Perdagangan dan Kegiatan Ekonomi Syariah

Sistem perdagangan yang beretika, seperti yang dijalankan di pelabuhan-pelabuhan kerajaan maritim Islam, turut meletakkan fondasi bagi berkembangnya ekonomi syariah modern di Indonesia. Etika niaga Islam—berdasarkan kejujuran (sidq), amanah, larangan riba, dan keadilan dalam transaksi—telah lama menjadi panduan pedagang Muslim Nusantara sejak zaman Kesultanan Pasai, Banten, dan Makassar7.

Saat ini, prinsip-prinsip tersebut hidup kembali dalam bentuk lembaga keuangan syariah, koperasi pesantren, dan pasar halal, yang mengadopsi nilai-nilai Islam sekaligus memberdayakan ekonomi umat. Dengan semakin berkembangnya sistem perbankan syariah dan bisnis berbasis etika Islam, pengaruh warisan ekonomi maritim Islam semakin tampak dalam wajah perekonomian Indonesia kontemporer.

8.5.       Kesadaran Sejarah dan Identitas Kebangsaan

Warisan kerajaan maritim Islam juga menjadi sumber penting bagi pembangunan identitas kebangsaan Indonesia. Situs-situs bersejarah seperti benteng Keraton Ternate, situs Kesultanan Gowa, kompleks makam raja-raja Aceh, dan artefak kerajaan Banten, dijadikan sebagai objek pembelajaran sejarah dan kebanggaan lokal. Pengetahuan akan masa lalu kejayaan Islam maritim berperan dalam membangun kesadaran sejarah yang kuat dan rasa bangga terhadap identitas Islam Indonesia yang toleran, terbuka, dan berdaulat8.

Dalam kurikulum pendidikan, narasi tentang kerajaan Islam tidak lagi hanya sebagai fakta sejarah, melainkan sebagai cerminan kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan karakter dan wawasan kebangsaan. Warisan intelektual, etika, dan spiritual dari kerajaan-kerajaan tersebut kini menjadi sumber inspirasi dalam penguatan pendidikan Islam dan peradaban maritim Indonesia modern.


Footnotes

[1]                Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 191–195.

[2]                M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 173–175.

[3]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 153–156.

[4]                Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IIMaN, 2019), 122–125.

[5]                Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), 145–148.

[6]                Sher Banu A.L. Khan, Sovereignty and the Sea: How Indonesia Became an Archipelagic State (Singapore: NUS Press, 2017), 93–95.

[7]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Vol. I: The Lands Below the Winds (New Haven: Yale University Press, 1988), 88–90.

[8]                M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 4th ed. (Stanford: Stanford University Press, 2008), 39–42.


9.           Penutup

Kajian tentang kerajaan-kerajaan maritim Islam di Indonesia mengungkapkan bahwa sejarah maritim Nusantara bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan fondasi penting bagi pembentukan identitas kultural, politik, dan keagamaan bangsa Indonesia. Kesultanan-kesultanan seperti Aceh, Samudra Pasai, Demak, Banten, Makassar, serta Ternate dan Tidore, bukan hanya berperan sebagai pusat kekuasaan dan perdagangan, tetapi juga sebagai penggerak transformasi sosial dan spiritual masyarakat kepulauan yang majemuk.

Melalui pemanfaatan laut sebagai jalur ekonomi dan diplomasi, kerajaan-kerajaan ini berhasil menjalin hubungan dengan dunia Islam global, membangun pusat-pusat keilmuan, serta menciptakan sistem pemerintahan yang mengintegrasikan norma-norma syariah dengan tradisi lokal. Interaksi maritim yang intensif memungkinkan terjadinya pertukaran ilmu, barang, dan budaya yang memperkuat karakter Islam Nusantara sebagai Islam yang inklusif, toleran, dan kontekstual1.

Warisan-warisan tersebut tetap hidup dalam berbagai bentuk: dari struktur lembaga keagamaan dan pendidikan seperti pesantren, sistem ekonomi berbasis syariah, hingga praktik budaya pesisir yang bernafaskan Islam. Bahkan dalam konteks kontemporer, semangat maritim Islam memberikan inspirasi besar bagi pembangunan karakter bangsa dan penguatan kedaulatan maritim Indonesia. Seperti dicatat oleh Anthony Reid, jaringan kerajaan-kerajaan maritim Islam tidak hanya mengembangkan perdagangan, tetapi juga memajukan kesadaran regional tentang pentingnya otonomi, spiritualitas, dan konektivitas antarbangsa2.

Oleh karena itu, pembelajaran tentang kerajaan-kerajaan maritim Islam tidak boleh hanya berhenti pada aspek kronologis, tetapi perlu dimaknai sebagai bagian dari pendidikan kebangsaan dan karakter. Kesadaran akan akar sejarah maritim yang religius dan kosmopolitan dapat memperkuat integrasi nasional dan memperkaya cara pandang generasi muda terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban, bukan sekadar identitas simbolik.

Revitalisasi nilai-nilai luhur dari kerajaan-kerajaan maritim Islam menjadi urgensi di tengah tantangan modernitas dan globalisasi. Nilai keadilan, etika niaga, toleransi, serta keberanian mempertahankan kedaulatan adalah warisan berharga yang relevan untuk membangun peradaban Indonesia masa depan. Dengan demikian, refleksi terhadap sejarah kejayaan Islam maritim di Nusantara bukan hanya meneguhkan kebanggaan masa lalu, tetapi juga menyemai harapan bagi Indonesia yang lebih bermartabat di masa depan3.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 2002), 135–138.

[2]                Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Vol. I: The Lands Below the Winds (New Haven: Yale University Press, 1988), 143–145.

[3]                Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 199–202.


Daftar Pustaka

Andaya, L. Y. (1981). The heritage of Arung Palakka: A history of South Sulawesi in the seventeenth century. KITLV Press.

Azra, A. (2002). Islam Nusantara: Sejarah sosial intelektual Islam di Indonesia. Mizan.

Azra, A. (2004). The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamā’ in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawai‘i Press.

Bruinessen, M. van. (1995). Kitab kuning, pesantren dan tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Mizan.

de Clercq, F. S. A. (1890). Bijdragen tot de kennis der residentie Ternate. Landsdrukkerij.

Geertz, C. (1960). The religion of Java. Free Press.

Guillot, C. (2008). Banten: Sejarah dan peradaban abad X–XVII. EFEO & Yayasan Obor Indonesia.

Hasjmy, A. (1993). Khazanah Islam: Sejarah dan kebudayaan Islam di Indonesia. Bulan Bintang.

Khan, S. B. A. L. (2017). Sovereignty and the sea: How Indonesia became an archipelagic state. NUS Press.

Ricklefs, M. C. (2008). A history of modern Indonesia since c. 1200 (4th ed.). Stanford University Press.

Reid, A. (1988). Southeast Asia in the age of commerce, 1450–1680, Volume I: The lands below the winds. Yale University Press.

Reid, A. (1993). Southeast Asia in the age of commerce, 1450–1680, Volume II: Expansion and crisis. Yale University Press.

Sunyoto, A. (2019). Atlas Wali Songo: Buku pertama yang mengungkap Wali Songo sebagai fakta sejarah. Pustaka IIMaN.

Tibbetts, G. R. (1979). A study of the Arabic texts containing material on South-East Asia. Brill.

Abdullah, M. A. (1996). Studi agama: Normativitas atau historisitas? Pustaka Pelajar.

Abdullah, T. (1985). Islam and the state in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies.

Abdullah, T. (1987). Islam dan masyarakat: Pantulan sejarah Indonesia. LP3ES.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar