Eksistensialisme Etis
Menemukan Makna Moral dalam
Kebebasan dan Keberadaan
Alihkan ke: Aliran Aksiologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji eksistensialisme etis sebagai
salah satu pendekatan dalam filsafat aksiologi yang menempatkan kebebasan individu
dan tanggung jawab personal sebagai fondasi moralitas. Dengan mengacu pada
pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche,
Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus, artikel ini mengurai
bagaimana nilai-nilai moral tidak diturunkan dari prinsip objektif transenden,
tetapi diciptakan melalui keputusan eksistensial yang otentik. Eksistensialisme
etis dikritik karena dianggap subjektif dan nihilistik, namun pendekatan ini
justru menawarkan etika reflektif yang kontekstual dalam menghadapi pluralisme
nilai dan krisis makna di era modern. Artikel ini juga menunjukkan relevansi
eksistensialisme dalam praktik moral kontemporer seperti pendidikan karakter,
hak asasi manusia, dan resistensi terhadap dehumanisasi di era digital. Dengan
demikian, eksistensialisme etis tidak hanya menjadi alternatif filsafat moral
yang radikal, tetapi juga kerangka eksistensial untuk menciptakan kehidupan
yang bermakna dan bertanggung jawab.
Kata Kunci: Eksistensialisme etis; kebebasan; otentisitas;
aksiologi; tanggung jawab; nihilisme; makna hidup; moralitas kontemporer.
PEMBAHASAN
Kajian Aksiologis dalam Filsafat Eksistensialisme
1.
Pendahuluan
Eksistensialisme
muncul sebagai respons filosofis terhadap ketegangan batin manusia modern yang
dilanda krisis makna, kehampaan spiritual, dan keterasingan dalam dunia yang
semakin mekanistik. Gerakan filsafat ini berkembang pesat pada abad ke-19 dan
mencapai puncaknya pada abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia I dan II,
ketika banyak individu mengalami kekosongan nilai dan keruntuhan kepercayaan
terhadap struktur moral dan agama tradisional. Eksistensialisme menawarkan
pendekatan baru terhadap persoalan nilai dan etika, dengan menempatkan
pengalaman subjektif manusia sebagai pusat perenungan filosofis dan dasar
pembentukan makna moral1.
Tidak seperti etika
tradisional yang bertumpu pada norma-norma objektif, hukum alam, atau kehendak
ilahi, eksistensialisme menegaskan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang
harus menciptakan nilai-nilai moralnya sendiri melalui pilihan yang sadar dan
bertanggung jawab. Dalam pandangan eksistensialis, keberadaan manusia
mendahului esensinya—existence precedes essence—yang
berarti bahwa tidak ada “hakikat” tetap yang menentukan jati diri
manusia sebelum ia bertindak. Oleh karena itu, tindakan moral bukanlah hasil
dari penerimaan sistem etika eksternal, melainkan konsekuensi dari keputusan
eksistensial yang otentik2.
Etika dalam
eksistensialisme bukan hanya soal benar atau salah dalam kerangka normatif, tetapi
menyangkut pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana seharusnya manusia hidup
dalam dunia yang absurd dan tidak menawarkan makna inheren? Di sinilah muncul
konsep penting seperti kebebasan radikal, kecemasan eksistensial, tanggung
jawab personal, dan otentisitas sebagai pilar moral dalam kerangka
eksistensialisme3. Dalam konteks ini, moralitas tidak dipandang
sebagai seperangkat perintah universal, tetapi sebagai perwujudan dari komitmen
pribadi terhadap nilai-nilai yang dipilih secara sadar dalam keheningan
keberadaan.
Dalam perkembangan
filsafat aksiologi—yakni cabang filsafat yang membahas hakikat nilai dan
penilaian—eksistensialisme menyumbangkan pendekatan yang khas, yaitu bahwa
nilai bukan sesuatu yang ditemukan secara objektif, tetapi diciptakan melalui
keterlibatan subjek dalam kehidupan yang autentik. Dengan menekankan pentingnya
kebebasan dalam menentukan jalan hidup dan nilai-nilai yang menyertainya,
eksistensialisme tidak hanya menawarkan kritik terhadap moralitas konvensional,
tetapi juga membuka ruang bagi pemaknaan etika yang lebih personal, reflektif,
dan kontekstual4.
Penelitian ini
bertujuan untuk menelusuri bagaimana eksistensialisme merumuskan kerangka etika
yang unik melalui prinsip-prinsip kebebasan, tanggung jawab, dan penciptaan nilai.
Pembahasan akan mencakup pokok-pokok pemikiran tokoh-tokoh utama
eksistensialisme, kritik terhadap pandangan ini, serta relevansinya dalam
kehidupan moral kontemporer.
Footnotes
[1]
Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond
Structuralism and Hermeneutics, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago
Press, 1983), 126.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.
[3]
Charles Guignon, The Cambridge Companion to Heidegger (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 181–185.
[4]
Thomas C. Anderson, The Foundation and Structure of Sartrean Ethics
(Lawrence: University Press of Kansas, 1979), 97–99.
2.
Hakikat
Eksistensialisme sebagai Aliran Filsafat
Eksistensialisme
merupakan salah satu aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu,
pengalaman subjektif, dan tanggung jawab dalam menghadapi kenyataan hidup yang
absurd. Inti dari eksistensialisme terletak pada pengakuan bahwa keberadaan
manusia tidak ditentukan sebelumnya oleh kodrat, Tuhan, atau hukum alam,
melainkan dibentuk oleh pilihan-pilihan yang ia buat dalam kehidupannya yang
nyata. Dalam istilah khas Jean-Paul Sartre, “eksistensi mendahului esensi”
(existence
precedes essence)—yaitu manusia pertama-tama ada,
dan baru kemudian membentuk jati dirinya melalui tindakan dan komitmen bebas1.
Eksistensialisme
muncul dalam bentuk embrionik sejak abad ke-19 melalui pemikiran Søren
Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Kierkegaard, yang dikenal sebagai “bapak
eksistensialisme Kristen”, menyoroti pentingnya subjektivitas dan lompatan
iman dalam pencarian makna hidup. Ia mengkritik agama yang dilembagakan dan
menekankan bahwa keputusan eksistensial terhadap Tuhan harus lahir dari pilihan
personal dan penuh risiko2. Sebaliknya, Nietzsche menyerang
moralitas tradisional dan kepercayaan pada nilai-nilai absolut. Ia
memperkenalkan gagasan tentang “kematian Tuhan” dan menyerukan kelahiran
individu yang mampu menciptakan nilai-nilai baru secara mandiri, yang disebutnya
sebagai Übermensch3.
Memasuki abad ke-20,
eksistensialisme dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf seperti Martin
Heidegger, Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus. Heidegger
menekankan konsep Dasein—manusia sebagai makhluk yang
“ada-di-dalam-dunia” dan menyadari keberadaannya yang sementara. Ia
mengajukan bahwa pengalaman akan kematian (kesementaraan) mendorong manusia
untuk hidup secara otentik4. Sementara itu, Sartre mengembangkan
eksistensialisme dalam bingkai ateistik, menegaskan bahwa tanpa Tuhan, manusia
harus menanggung seluruh beban kebebasannya dan tidak memiliki alasan untuk
menghindari tanggung jawab atas hidupnya5.
Ciri khas
eksistensialisme sebagai filsafat terletak pada penolakannya terhadap sistem
metafisika yang deterministik dan penekanannya pada pengalaman konkret. Dalam
eksistensialisme, manusia adalah pusat dari dunia nilainya sendiri. Kebebasan
bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan keniscayaan yang tidak bisa
dielakkan. Bersamaan dengan itu hadir kecemasan, keputusasaan, dan rasa
bersalah sebagai bagian dari pengalaman eksistensial yang otentik6.
Filosofinya bersifat anti-esensialis, anti-sistemik, dan sering bersikap kritis
terhadap institusi sosial, agama, dan ideologi dominan.
Sebagai filsafat
yang berakar pada humanisme radikal, eksistensialisme tidak hanya berbicara
tentang “apa itu manusia”, tetapi juga menuntut: “bagaimana
seharusnya manusia itu hidup?”. Dalam konteks inilah eksistensialisme
membuka jalan bagi refleksi etis yang mendalam, sebab manusia yang bebas adalah
manusia yang bertanggung jawab terhadap nilai-nilai yang ia bangun, bukan hanya
untuk dirinya sendiri tetapi juga dalam relasinya dengan sesama7.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 82–85.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 125–130.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 279–311.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 553.
[6]
Robert C. Solomon, Existentialism, 2nd ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2006), 87–91.
[7]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 34–38.
3.
Eksistensialisme
dan Aksiologi: Pendekatan terhadap Nilai dan Etika
Dalam kerangka
aksiologi—cabang filsafat yang membahas hakikat nilai (value) dan penilaian
(valuation)—eksistensialisme mengajukan pendekatan yang sangat berbeda dari
tradisi filsafat moral klasik seperti etika deontologis Kantian, etika
teleologis Aristotelian, atau utilitarianisme. Eksistensialisme menolak
keberadaan nilai-nilai objektif dan universal yang bersifat absolut, serta
memandang bahwa nilai moral bukanlah sesuatu yang “ditemukan” oleh
manusia, melainkan “diciptakan” melalui pengalaman eksistensial yang
otentik dan kebebasan yang sadar1.
Pendekatan etis
eksistensialisme berakar pada prinsip bahwa manusia adalah makhluk bebas yang
ditakdirkan untuk membuat pilihan. Dalam pandangan ini, kebebasan bukanlah
privilese opsional, tetapi kodrat dasar manusia yang tak terhindarkan. Namun,
kebebasan tersebut tidak bebas dari tanggung jawab: manusia bertanggung jawab
atas semua pilihannya dan terhadap nilai-nilai yang ia tetapkan dalam
tindakannya sendiri. Sartre menyatakan bahwa “manusia tidak lain adalah apa
yang ia buat dari dirinya sendiri,” dan dengan demikian setiap pilihan
individu sekaligus menjadi pernyataan nilai2.
Eksistensialisme
juga menyoroti otentisitas (authenticity)
sebagai fondasi etika. Hidup yang otentik adalah hidup yang dijalani secara
sadar, dengan pengakuan terhadap kebebasan dan tanggung jawab tanpa bersandar
pada norma eksternal, tekanan sosial, atau dogma agama. Seseorang yang hidup
secara tidak otentik—yang oleh Heidegger disebut dalam keadaan fallenness—akan
menenggelamkan dirinya dalam anonimitas massa dan menghindari beban pilihan
moral melalui penyesuaian pasif3. Dalam konteks ini, etika
eksistensialis menekankan kejujuran eksistensial dan keberanian moral untuk
“menjadi diri sendiri” dalam dunia yang ambigu dan absurd.
Di sisi lain,
eksistensialisme etis tidak berarti jatuh pada relativisme nihilistik. Meskipun
tidak mengakui norma moral objektif yang mengikat semua manusia secara mutlak,
eksistensialisme tetap mempertahankan prinsip tanggung jawab terhadap sesama.
Dalam The
Ethics of Ambiguity, Simone de Beauvoir menekankan bahwa kebebasan
sejati tidak dapat dicapai dengan mengabaikan kebebasan orang lain. Justru
karena nilai-nilai diciptakan dalam relasi dan situasi konkret, maka etika
eksistensialis mensyaratkan keterlibatan aktif dalam membela kemanusiaan dan
solidaritas antarpribadi4.
Pendekatan
aksiologis eksistensialisme juga mengakui realitas ambiguitas dan
ketidakpastian dalam kehidupan moral. Tidak ada jaminan bahwa pilihan yang
dibuat akan benar secara universal, dan setiap tindakan etis selalu melibatkan
risiko. Oleh karena itu, moralitas eksistensialis lebih bersifat reflektif
daripada normatif. Ia menuntut keberanian eksistensial untuk bertindak,
meskipun tanpa kepastian metafisik atau dukungan dari sistem moral yang mapan5.
Dengan demikian,
eksistensialisme menawarkan paradigma etika yang radikal: etika tanpa jaminan,
nilai tanpa fondasi metafisik, dan kebebasan tanpa pelarian. Namun justru dalam
kerangka inilah eksistensialisme menemukan daya filosofisnya dalam dunia modern
yang ditandai oleh pluralisme nilai, kompleksitas moral, dan pencarian makna
yang mendalam.
Footnotes
[1]
Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialism: The
Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds (Lanham: Rowman
& Littlefield, 2001), 203–205.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211–215.
[4]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 55–58.
[5]
Thomas C. Anderson, The Foundation and Structure of Sartrean Ethics
(Lawrence: University Press of Kansas, 1979), 116–118.
4.
Etika
Eksistensialisme dalam Pemikiran Tokoh-Tokoh Sentral
4.1.
Søren Kierkegaard:
Etika Subjektivitas dan Lompatan Iman
Sebagai pelopor
eksistensialisme religius, Søren Kierkegaard menekankan pentingnya subjektivitas
dalam pengalaman moral. Ia berpendapat bahwa kebenaran etis tidak bersifat
objektif dan universal, melainkan ditemukan melalui komitmen personal yang
mendalam. Moralitas yang sejati, menurut Kierkegaard, tidak dapat dicapai
melalui hukum etis yang bersifat publik, tetapi melalui keputusan eksistensial
yang mencerminkan hubungan langsung antara individu dan Tuhan1.
Dalam karyanya Fear and Trembling, Kierkegaard
memperkenalkan konsep “lompatan iman” (leap of
faith), yaitu tindakan melampaui etika universal demi menaati perintah ilahi
secara personal, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Abraham2. Dalam
konteks ini, etika eksistensialis tidak tunduk pada hukum umum, tetapi lahir
dari intensitas subjektivitas dan kesetiaan yang radikal.
4.2.
Friedrich Nietzsche:
Moralitas sebagai Kehendak untuk Berkuasa
Nietzsche menolak
keras moralitas Kristen tradisional yang ia anggap sebagai “moral budak”
karena mengekang kekuatan kreatif manusia. Ia menggugat nilai-nilai universal
yang menurutnya telah kehilangan daya hidup, terutama setelah deklarasi
simbolisnya tentang “kematian Tuhan” (Gott ist
tot)3. Dalam pemikiran etisnya, Nietzsche mendorong
lahirnya manusia unggul (Übermensch),
yakni individu yang mampu menciptakan nilai-nilai baru
berdasarkan kehendak untuk berkuasa (will to power) dan keberanian
eksistensial. Moralitas eksistensialis dalam versi Nietzsche adalah ekspresi
kekuatan afirmatif atas hidup, bukan penyerahan diri pada norma eksternal.
Etika bukanlah kepatuhan terhadap sistem, melainkan tindakan kreatif yang membentuk
jati diri manusia dalam dunia yang nihilistik4.
4.3.
Jean-Paul Sartre:
Etika Otentisitas dan Tanggung Jawab Radikal
Jean-Paul Sartre
membangun fondasi etika eksistensialisme ateistik,
yang menekankan bahwa dalam dunia tanpa Tuhan, manusia sepenuhnya bertanggung
jawab atas dirinya sendiri. Karena eksistensi mendahului esensi,
manusia tidak memiliki hakikat tetap; ia harus menentukan esensinya melalui
tindakan bebas. Dalam hal ini, setiap pilihan individu memuat bobot moral,
karena tidak hanya menentukan siapa dirinya, tetapi juga mengimplikasikan nilai
bagi umat manusia5. Sartre menyebut bahwa dengan memilih bagi
dirinya, manusia “memilih untuk seluruh umat manusia”6.
Namun, kebebasan ini melahirkan kecemasan eksistensial, sebab
tidak ada rujukan absolut untuk membenarkan tindakan. Etika Sartre bersifat
situasional dan menuntut kejujuran eksistensial:
bertindak dalam kesadaran penuh bahwa manusia menciptakan makna hidupnya tanpa
jaminan metafisik.
4.4.
Simone de Beauvoir:
Etika Ambiguitas dan Kebebasan Orang Lain
Simone de Beauvoir,
sebagai tokoh penting dalam filsafat feminis dan eksistensialis, mengembangkan
gagasan etika ambiguitas dalam konteks
relasi antarmanusia. Dalam The Ethics of Ambiguity, ia
menekankan bahwa meskipun manusia bebas, kebebasan sejatinya tidak dapat
direalisasikan secara solipsistik. Etika eksistensialis harus mempertimbangkan kebebasan
orang lain sebagai bagian dari tanggung jawab etis kita7.
Menurut de Beauvoir, kita harus membantu sesama manusia untuk merealisasikan
kebebasannya karena nilai moral tertinggi adalah kebebasan yang berkembang
secara timbal balik. Dalam konteks ini, etika eksistensial bukan hanya
individualistis, tetapi juga inter-subjektif, dibangun di
atas solidaritas dalam dunia yang penuh ambiguitas.
4.5.
Albert Camus:
Pemberontakan Moral dalam Dunia yang Absurditas
Albert Camus,
meskipun tidak menyebut dirinya eksistensialis, memberikan kontribusi besar
dalam etika eksistensial melalui gagasan tentang absurditas.
Dalam The Myth
of Sisyphus, Camus menggambarkan ketegangan antara pencarian makna
oleh manusia dan ketidakpedulian alam semesta. Absurditas ini tidak menjurus
pada keputusasaan, tetapi justru mendorong pemberontakan moral, yaitu
sikap menolak menyerah terhadap absurditas dan tetap hidup dengan integritas
etis8. Dalam The Rebel, Camus menegaskan bahwa
pemberontakan terhadap ketidakadilan dan kekejaman merupakan bentuk solidaritas
etis, di mana individu tetap setia pada nilai kemanusiaan
meskipun tidak ada landasan metafisik yang menjamin moralitas9.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans.
David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press,
1941), 181–183.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin Books, 1985), 42–47.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), 181.
[4]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 128–135.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–25.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 553–555.
[7]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 71–75.
[8]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 119–123.
[9]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York:
Vintage International, 1991), 252–258.
5.
Kritik
dan Kontroversi terhadap Eksistensialisme Etis
Meskipun
eksistensialisme etis telah memberikan sumbangan penting terhadap pemahaman
moralitas dalam konteks kebebasan, tanggung jawab, dan keotentikan, aliran ini
tidak luput dari kritik dan kontroversi. Banyak filsuf dari berbagai tradisi
memandang pendekatan etis eksistensialis sebagai tidak memadai secara normatif,
terlalu subjektif, dan bahkan berbahaya dalam konteks sosial-politik.
5.1.
Tuduhan Relativisme
dan Subjektivisme
Salah satu kritik
paling umum terhadap etika eksistensialis adalah bahwa ia terlalu
subjektif, sehingga membuka jalan bagi relativisme
moral. Karena menolak adanya norma-norma moral universal,
eksistensialisme dinilai tidak memberikan pedoman etis yang kokoh untuk
membedakan tindakan yang benar dari yang salah. Tokoh seperti Alasdair
MacIntyre menyebut etika Sartre sebagai bentuk moralitas “tanpa fondasi
sosial dan historis”, sehingga cenderung jatuh dalam anarki
nilai yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara komunal1.
Dalam pandangan kritikus, penekanan pada kebebasan personal justru berpotensi
membenarkan keputusan moral yang egoistik atau bahkan destruktif.
5.2.
Kritik dari Etika
Deontologis dan Teleologis
Filsafat moral yang
berbasis pada etika deontologis, seperti
dalam ajaran Immanuel Kant, menekankan pentingnya prinsip moral universal yang
dapat dijadikan hukum umum. Dari perspektif ini, etika eksistensialis dipandang
cacat karena tidak menyediakan kriteria objektif untuk mengevaluasi tindakan
manusia. Kantianisme, misalnya, menuntut tindakan berdasarkan imperatif
kategoris—bertindak sedemikian rupa sehingga maksim tindakanmu
dapat dijadikan hukum universal2. Sebaliknya, etika eksistensialis
bersandar pada situasi konkret dan keputusan personal, sehingga menurut para
pengkritiknya, tidak dapat dijadikan dasar untuk membangun masyarakat yang adil
secara rasional dan konsisten.
Begitu pula dari
sudut utilitarianisme,
eksistensialisme dikritik karena terlalu memfokuskan perhatian pada pengalaman
dan otonomi individu, tanpa memperhitungkan konsekuensi sosial dari
tindakan. Etika berbasis utilitas menilai moralitas dari segi manfaat terbesar
bagi jumlah orang terbanyak, sedangkan eksistensialisme lebih menekankan
integritas pribadi meskipun bertentangan dengan kepentingan kolektif3.
5.3.
Masalah Kewajiban
Sosial dan Tanggung Jawab Interpersonal
Kritikus lain
menyatakan bahwa etika eksistensialis rentan terhadap individualisme
ekstrem. Karena keputusan etis diserahkan sepenuhnya pada
individu, maka tidak ada jaminan bahwa orang akan bertindak secara bertanggung
jawab terhadap orang lain. Etika eksistensialis dikhawatirkan melemahkan
komitmen terhadap keadilan sosial, karena tidak memiliki perangkat normatif
yang mewajibkan solidaritas atau pembelaan terhadap yang tertindas4.
Namun, tokoh seperti
Simone
de Beauvoir telah menjawab kritik ini dengan menegaskan bahwa
kebebasan yang sejati tidak terwujud dalam isolasi, melainkan dalam pengakuan
terhadap kebebasan orang lain. Ia berargumen bahwa etika eksistensialis justru
mendasari tanggung jawab interpersonal karena nilai-nilai lahir dalam relasi
yang konkret dan timbal balik5. Akan tetapi, argumen ini tidak
sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran akan lemahnya kontrol sosial terhadap
tindakan personal.
5.4.
Potensi Nihilisme
dan Absennya Makna Objektif
Karena menolak
otoritas moral yang bersifat transenden atau metafisik, eksistensialisme sering
dikaitkan dengan nihilisme, yaitu pandangan
bahwa hidup dan moralitas tidak memiliki makna objektif. Nietzsche sendiri,
sebagai salah satu pelopor eksistensialisme, menyatakan bahwa “kematian
Tuhan” akan mengguncang fondasi seluruh sistem nilai Barat6.
Jika nilai-nilai moral hanyalah konstruksi subjektif, maka tidak ada jaminan
bahwa manusia akan memilih untuk hidup secara etis.
Kritikus seperti Roger
Scruton menilai bahwa eksistensialisme menawarkan kebebasan
yang kosong, karena menghilangkan titik tumpu moral yang lebih tinggi dari
individu itu sendiri. Dalam masyarakat yang membutuhkan stabilitas etika
bersama, kebebasan eksistensialis dapat menimbulkan kekacauan
moral, terutama ketika tidak dibarengi dengan tanggung jawab
sosial yang kuat7.
Meskipun demikian,
para pendukung eksistensialisme berpendapat bahwa kebebasan tanpa fondasi
metafisik bukanlah kelemahan, tetapi justru tantangan moral yang memurnikan
tanggung jawab manusia. Dalam dunia modern yang plural dan kompleks, etika
eksistensialis dapat menjadi alternatif yang reflektif dan kontekstual, asalkan
dijalankan secara otentik dan dengan kesadaran terhadap konsekuensi sosial dari
setiap tindakan.
Footnotes
[1]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 34–36.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 31–33.
[3]
John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2001), 17–22.
[4]
Robert C. Solomon, Existentialism, 2nd ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2006), 102–105.
[5]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 64–70.
[6]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), 181–183.
[7]
Roger Scruton, Modern Philosophy: An Introduction and Survey
(London: Arrow Books, 1995), 402–405.
6.
Relevansi
Eksistensialisme Etis di Era Kontemporer
Dalam lanskap sosial
dan moral abad ke-21 yang ditandai oleh pluralisme nilai, disorientasi
identitas, dan krisis otoritas etika,
eksistensialisme etis mendapatkan kembali relevansinya sebagai pendekatan
filosofis yang menempatkan manusia sebagai pusat penentu nilai dan makna
hidup. Berbeda dengan sistem moral konvensional yang kerap
bersifat normatif dan represif, eksistensialisme menawarkan paradigma etika
yang lebih dialogis, reflektif, dan kontekstual—suatu kebutuhan mendesak dalam
dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi1.
Salah satu aspek
paling penting dari eksistensialisme etis dalam konteks kontemporer adalah
kemampuannya dalam menghadapi nihilisme budaya. Di
tengah merosotnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga otoritatif seperti
agama, negara, dan bahkan sains, eksistensialisme menolak fatalisme pasif dan
mendorong individu untuk menciptakan makna secara aktif melalui tindakan
sadar dan otentik. Sebagaimana dikemukakan Camus, tantangan
hidup yang absurd justru harus dijawab dengan pemberontakan eksistensial yang
meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan meski tanpa jaminan metafisik2.
Relevansi
eksistensialisme juga terlihat dalam pengembangan etika personal dan psikologi
humanistik. Tokoh seperti Viktor E. Frankl—seorang psikiater
yang terinspirasi oleh eksistensialisme—menekankan bahwa manusia tidak semata
mencari kesenangan atau kekuasaan, tetapi makna sebagai kebutuhan
terdalamnya3. Dalam konteks terapi dan pendidikan, nilai-nilai
eksistensialis mendorong otonomi, refleksi diri, dan tanggung jawab personal,
yang sangat penting dalam membentuk karakter individu dalam masyarakat yang
cepat berubah.
Lebih jauh, eksistensialisme
etis memberi ruang bagi ekspresi moral yang lebih inklusif,
terutama dalam konteks keberagaman identitas gender, budaya, dan orientasi
hidup. Simone de Beauvoir, misalnya, membuka jalan bagi etika feminis
eksistensial yang menolak objektivikasi perempuan dan menegaskan pentingnya
kebebasan eksistensial sebagai dasar keadilan antarindividu4. Dalam
masyarakat multikultural, pendekatan ini memungkinkan pengakuan terhadap
pengalaman moral yang plural tanpa harus tunduk pada hegemonik moral tunggal.
Di tengah kemajuan
teknologi dan dominasi algoritma, eksistensialisme etis juga mengajukan pertanyaan
kritis terhadap dehumanisasi dan kehilangan makna dalam dunia digital.
Ketika keputusan moral dan sosial semakin banyak diserahkan pada kecerdasan
buatan, eksistensialisme mengingatkan bahwa hanya manusia yang memiliki kapasitas
kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab—kualitas-kualitas yang
tidak dapat direduksi menjadi data atau statistik5. Dengan demikian,
etika eksistensial memberikan dasar normatif untuk mempertahankan martabat
manusia di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Akhirnya,
eksistensialisme etis tetap relevan sebagai alat kritik terhadap tatanan sosial-politik
yang menindas kebebasan individu. Dalam konteks ketidakadilan
struktural dan pelanggaran hak asasi manusia, etika eksistensial menuntut
keterlibatan aktif dalam menegakkan kebebasan dan solidaritas, bukan sebagai
perintah eksternal, tetapi sebagai komitmen moral yang lahir dari kesadaran
akan kebebasan eksistensial manusia dan tanggung jawabnya terhadap sesama6.
Dengan semua dimensi
tersebut, eksistensialisme etis hadir bukan hanya sebagai sistem filsafat,
tetapi sebagai gaya hidup moral yang
menekankan keberanian untuk memilih, bertindak, dan mencipta nilai dalam dunia
yang serba tidak pasti. Dalam era yang semakin mendambakan keaslian dan
tanggung jawab personal, warisan etika eksistensialis semakin menemukan
gaungnya.
Footnotes
[1]
Charles Guignon and Derk Pereboom, Existentialism: Basic Writings,
2nd ed. (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2001), xvii–xix.
[2]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New
York: Vintage International, 1991), 121–123.
[3]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 99–103.
[4]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and
Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 36–41.
[5]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a
Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 245–249.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 47–49.
7.
Kesimpulan
dan Refleksi Filosofis
Eksistensialisme
etis menawarkan pendekatan yang unik dan radikal dalam memahami moralitas
manusia. Berangkat dari prinsip dasar bahwa eksistensi mendahului esensi,
aliran ini menegaskan bahwa manusia bukanlah makhluk yang ditentukan sebelumnya
oleh hakikat tetap, tetapi menjadi dirinya melalui tindakan,
pilihan, dan komitmen bebas dalam kehidupan yang nyata.
Moralitas, dalam kerangka eksistensialis, tidak berasal dari hukum objektif
yang bersifat transenden, tetapi dibentuk oleh individu dalam keterlibatannya
yang otentik terhadap dunia dan sesama manusia1.
Etika eksistensial
bukanlah sistem normatif yang menyediakan seperangkat aturan universal,
melainkan suatu refleksi mendalam atas kondisi manusia
yang bebas dan bertanggung jawab. Dalam dunia yang kehilangan jaminan
metafisik, seperti yang digambarkan oleh Nietzsche dengan metafora “kematian
Tuhan”, eksistensialisme tidak menawarkan pelarian, tetapi justru
menyerukan pemberdayaan subjek manusia
untuk menciptakan makna dan nilai dalam situasi yang ambigu dan absurd2.
Tokoh-tokoh utama
seperti Kierkegaard, Nietzsche, Sartre, de Beauvoir, dan Camus memperlihatkan
keragaman cara dalam merumuskan etika eksistensial, mulai dari lompatan
iman religius, transvaluasi nilai-nilai moral,
kejujuran
radikal, hingga solidaritas eksistensial. Namun
benang merah di antara semuanya adalah keyakinan bahwa kebebasan merupakan
dasar dari moralitas, dan bahwa setiap tindakan etis lahir dari kesadaran
akan tanggung jawab personal dan kebersamaan dengan sesama3.
Refleksi filosofis
atas eksistensialisme etis memperlihatkan bahwa meskipun pendekatan ini tidak
menawarkan kepastian moral, ia justru membuka ruang bagi keaslian
moral, yaitu tanggung jawab yang lahir bukan dari paksaan
eksternal, melainkan dari komitmen pribadi yang sadar, reflektif, dan jujur.
Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh pluralisme nilai dan kompleksitas
etika, eksistensialisme memberikan fondasi moral yang fleksibel tetapi tidak
relativistik—yakni komitmen terhadap kebebasan yang disertai
pengakuan atas kebebasan orang lain4.
Lebih dari sekadar
filsafat teoretis, eksistensialisme etis mengajarkan keberanian
untuk hidup secara otentik. Ia menantang manusia untuk tidak melarikan
diri dari tanggung jawab, untuk menolak hidup dalam “ketidaktulusan” (bad
faith), dan untuk menjadikan hidup sebagai proyek penciptaan makna
yang terus-menerus. Sartre menyatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas—dan
dari kutukan inilah muncul panggilan etis untuk menjadi pencipta nilai dalam dunia yang tak
memiliki landasan tetap5.
Dengan demikian,
eksistensialisme etis bukanlah penolakan terhadap moralitas, tetapi suatu pembaruan
radikal terhadap cara kita memahami moralitas itu sendiri. Ia
menempatkan manusia bukan sebagai objek hukum moral, melainkan sebagai subjek
moral yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kehidupannya. Dalam dunia yang
semakin tak pasti, etika semacam ini mungkin menjadi satu-satunya etika yang
relevan.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol
Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage Books, 1974), 181–183.
[3]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 70–73.
[4]
Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004),
92–94.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 553–554.
Daftar Pustaka
Beauvoir, S. de. (1976). The ethics of ambiguity
(B. Frechtman, Trans.). Citadel Press. (Asli diterbitkan 1947)
Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C.
Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books. (Asli diterbitkan
1949)
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O'Brien, Trans.). Vintage International. (Asli diterbitkan 1942)
Camus, A. (1991). The rebel (A. Bower,
Trans.). Vintage International. (Asli diterbitkan 1951)
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning.
Beacon Press. (Asli diterbitkan 1946)
Guignon, C. (2004). On being authentic.
Routledge.
Guignon, C., & Pereboom, D. (Eds.). (2001). Existentialism:
Basic writings (2nd ed.). Hackett Publishing Company.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie
& E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Asli diterbitkan 1927)
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Asli
diterbitkan 1785)
Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific
postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University
Press. (Asli diterbitkan 1846)
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin Books. (Asli diterbitkan 1843)
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher,
Ed.). Hackett Publishing Company. (Asli diterbitkan 1863)
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Asli diterbitkan 1882)
Nietzsche, F. (1995). Thus spoke Zarathustra
(W. Kaufmann, Trans.). Modern Library. (Asli diterbitkan 1883–1891)
Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Asli diterbitkan 1943)
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Asli diterbitkan
1946)
Scruton, R. (1995). Modern philosophy: An
introduction and survey. Arrow Books.
Solomon, R. C. (2006). Existentialism (2nd
ed.). Oxford University Press.
Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The
power of talk in a digital age. Penguin Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar