Selasa, 10 Juni 2025

Eksistensialisme Etis: Menemukan Makna Moral dalam Kebebasan dan Keberadaan

Eksistensialisme Etis

Menemukan Makna Moral dalam Kebebasan dan Keberadaan


Alihkan ke: Aliran Aksiologi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji eksistensialisme etis sebagai salah satu pendekatan dalam filsafat aksiologi yang menempatkan kebebasan individu dan tanggung jawab personal sebagai fondasi moralitas. Dengan mengacu pada pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus, artikel ini mengurai bagaimana nilai-nilai moral tidak diturunkan dari prinsip objektif transenden, tetapi diciptakan melalui keputusan eksistensial yang otentik. Eksistensialisme etis dikritik karena dianggap subjektif dan nihilistik, namun pendekatan ini justru menawarkan etika reflektif yang kontekstual dalam menghadapi pluralisme nilai dan krisis makna di era modern. Artikel ini juga menunjukkan relevansi eksistensialisme dalam praktik moral kontemporer seperti pendidikan karakter, hak asasi manusia, dan resistensi terhadap dehumanisasi di era digital. Dengan demikian, eksistensialisme etis tidak hanya menjadi alternatif filsafat moral yang radikal, tetapi juga kerangka eksistensial untuk menciptakan kehidupan yang bermakna dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Eksistensialisme etis; kebebasan; otentisitas; aksiologi; tanggung jawab; nihilisme; makna hidup; moralitas kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Aksiologis dalam Filsafat Eksistensialisme


1.           Pendahuluan

Eksistensialisme muncul sebagai respons filosofis terhadap ketegangan batin manusia modern yang dilanda krisis makna, kehampaan spiritual, dan keterasingan dalam dunia yang semakin mekanistik. Gerakan filsafat ini berkembang pesat pada abad ke-19 dan mencapai puncaknya pada abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia I dan II, ketika banyak individu mengalami kekosongan nilai dan keruntuhan kepercayaan terhadap struktur moral dan agama tradisional. Eksistensialisme menawarkan pendekatan baru terhadap persoalan nilai dan etika, dengan menempatkan pengalaman subjektif manusia sebagai pusat perenungan filosofis dan dasar pembentukan makna moral1.

Tidak seperti etika tradisional yang bertumpu pada norma-norma objektif, hukum alam, atau kehendak ilahi, eksistensialisme menegaskan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang harus menciptakan nilai-nilai moralnya sendiri melalui pilihan yang sadar dan bertanggung jawab. Dalam pandangan eksistensialis, keberadaan manusia mendahului esensinya—existence precedes essence—yang berarti bahwa tidak ada “hakikat” tetap yang menentukan jati diri manusia sebelum ia bertindak. Oleh karena itu, tindakan moral bukanlah hasil dari penerimaan sistem etika eksternal, melainkan konsekuensi dari keputusan eksistensial yang otentik2.

Etika dalam eksistensialisme bukan hanya soal benar atau salah dalam kerangka normatif, tetapi menyangkut pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana seharusnya manusia hidup dalam dunia yang absurd dan tidak menawarkan makna inheren? Di sinilah muncul konsep penting seperti kebebasan radikal, kecemasan eksistensial, tanggung jawab personal, dan otentisitas sebagai pilar moral dalam kerangka eksistensialisme3. Dalam konteks ini, moralitas tidak dipandang sebagai seperangkat perintah universal, tetapi sebagai perwujudan dari komitmen pribadi terhadap nilai-nilai yang dipilih secara sadar dalam keheningan keberadaan.

Dalam perkembangan filsafat aksiologi—yakni cabang filsafat yang membahas hakikat nilai dan penilaian—eksistensialisme menyumbangkan pendekatan yang khas, yaitu bahwa nilai bukan sesuatu yang ditemukan secara objektif, tetapi diciptakan melalui keterlibatan subjek dalam kehidupan yang autentik. Dengan menekankan pentingnya kebebasan dalam menentukan jalan hidup dan nilai-nilai yang menyertainya, eksistensialisme tidak hanya menawarkan kritik terhadap moralitas konvensional, tetapi juga membuka ruang bagi pemaknaan etika yang lebih personal, reflektif, dan kontekstual4.

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri bagaimana eksistensialisme merumuskan kerangka etika yang unik melalui prinsip-prinsip kebebasan, tanggung jawab, dan penciptaan nilai. Pembahasan akan mencakup pokok-pokok pemikiran tokoh-tokoh utama eksistensialisme, kritik terhadap pandangan ini, serta relevansinya dalam kehidupan moral kontemporer.


Footnotes

[1]                Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1983), 126.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.

[3]                Charles Guignon, The Cambridge Companion to Heidegger (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 181–185.

[4]                Thomas C. Anderson, The Foundation and Structure of Sartrean Ethics (Lawrence: University Press of Kansas, 1979), 97–99.


2.           Hakikat Eksistensialisme sebagai Aliran Filsafat

Eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu, pengalaman subjektif, dan tanggung jawab dalam menghadapi kenyataan hidup yang absurd. Inti dari eksistensialisme terletak pada pengakuan bahwa keberadaan manusia tidak ditentukan sebelumnya oleh kodrat, Tuhan, atau hukum alam, melainkan dibentuk oleh pilihan-pilihan yang ia buat dalam kehidupannya yang nyata. Dalam istilah khas Jean-Paul Sartre, “eksistensi mendahului esensi” (existence precedes essence)—yaitu manusia pertama-tama ada, dan baru kemudian membentuk jati dirinya melalui tindakan dan komitmen bebas1.

Eksistensialisme muncul dalam bentuk embrionik sejak abad ke-19 melalui pemikiran Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Kierkegaard, yang dikenal sebagai “bapak eksistensialisme Kristen”, menyoroti pentingnya subjektivitas dan lompatan iman dalam pencarian makna hidup. Ia mengkritik agama yang dilembagakan dan menekankan bahwa keputusan eksistensial terhadap Tuhan harus lahir dari pilihan personal dan penuh risiko2. Sebaliknya, Nietzsche menyerang moralitas tradisional dan kepercayaan pada nilai-nilai absolut. Ia memperkenalkan gagasan tentang “kematian Tuhan” dan menyerukan kelahiran individu yang mampu menciptakan nilai-nilai baru secara mandiri, yang disebutnya sebagai Übermensch3.

Memasuki abad ke-20, eksistensialisme dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus. Heidegger menekankan konsep Dasein—manusia sebagai makhluk yang “ada-di-dalam-dunia” dan menyadari keberadaannya yang sementara. Ia mengajukan bahwa pengalaman akan kematian (kesementaraan) mendorong manusia untuk hidup secara otentik4. Sementara itu, Sartre mengembangkan eksistensialisme dalam bingkai ateistik, menegaskan bahwa tanpa Tuhan, manusia harus menanggung seluruh beban kebebasannya dan tidak memiliki alasan untuk menghindari tanggung jawab atas hidupnya5.

Ciri khas eksistensialisme sebagai filsafat terletak pada penolakannya terhadap sistem metafisika yang deterministik dan penekanannya pada pengalaman konkret. Dalam eksistensialisme, manusia adalah pusat dari dunia nilainya sendiri. Kebebasan bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Bersamaan dengan itu hadir kecemasan, keputusasaan, dan rasa bersalah sebagai bagian dari pengalaman eksistensial yang otentik6. Filosofinya bersifat anti-esensialis, anti-sistemik, dan sering bersikap kritis terhadap institusi sosial, agama, dan ideologi dominan.

Sebagai filsafat yang berakar pada humanisme radikal, eksistensialisme tidak hanya berbicara tentang “apa itu manusia”, tetapi juga menuntut: “bagaimana seharusnya manusia itu hidup?”. Dalam konteks inilah eksistensialisme membuka jalan bagi refleksi etis yang mendalam, sebab manusia yang bebas adalah manusia yang bertanggung jawab terhadap nilai-nilai yang ia bangun, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga dalam relasinya dengan sesama7.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 82–85.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 125–130.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 279–311.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 553.

[6]                Robert C. Solomon, Existentialism, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006), 87–91.

[7]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 34–38.


3.           Eksistensialisme dan Aksiologi: Pendekatan terhadap Nilai dan Etika

Dalam kerangka aksiologi—cabang filsafat yang membahas hakikat nilai (value) dan penilaian (valuation)—eksistensialisme mengajukan pendekatan yang sangat berbeda dari tradisi filsafat moral klasik seperti etika deontologis Kantian, etika teleologis Aristotelian, atau utilitarianisme. Eksistensialisme menolak keberadaan nilai-nilai objektif dan universal yang bersifat absolut, serta memandang bahwa nilai moral bukanlah sesuatu yang “ditemukan” oleh manusia, melainkan “diciptakan” melalui pengalaman eksistensial yang otentik dan kebebasan yang sadar1.

Pendekatan etis eksistensialisme berakar pada prinsip bahwa manusia adalah makhluk bebas yang ditakdirkan untuk membuat pilihan. Dalam pandangan ini, kebebasan bukanlah privilese opsional, tetapi kodrat dasar manusia yang tak terhindarkan. Namun, kebebasan tersebut tidak bebas dari tanggung jawab: manusia bertanggung jawab atas semua pilihannya dan terhadap nilai-nilai yang ia tetapkan dalam tindakannya sendiri. Sartre menyatakan bahwa “manusia tidak lain adalah apa yang ia buat dari dirinya sendiri,” dan dengan demikian setiap pilihan individu sekaligus menjadi pernyataan nilai2.

Eksistensialisme juga menyoroti otentisitas (authenticity) sebagai fondasi etika. Hidup yang otentik adalah hidup yang dijalani secara sadar, dengan pengakuan terhadap kebebasan dan tanggung jawab tanpa bersandar pada norma eksternal, tekanan sosial, atau dogma agama. Seseorang yang hidup secara tidak otentik—yang oleh Heidegger disebut dalam keadaan fallenness—akan menenggelamkan dirinya dalam anonimitas massa dan menghindari beban pilihan moral melalui penyesuaian pasif3. Dalam konteks ini, etika eksistensialis menekankan kejujuran eksistensial dan keberanian moral untuk “menjadi diri sendiri” dalam dunia yang ambigu dan absurd.

Di sisi lain, eksistensialisme etis tidak berarti jatuh pada relativisme nihilistik. Meskipun tidak mengakui norma moral objektif yang mengikat semua manusia secara mutlak, eksistensialisme tetap mempertahankan prinsip tanggung jawab terhadap sesama. Dalam The Ethics of Ambiguity, Simone de Beauvoir menekankan bahwa kebebasan sejati tidak dapat dicapai dengan mengabaikan kebebasan orang lain. Justru karena nilai-nilai diciptakan dalam relasi dan situasi konkret, maka etika eksistensialis mensyaratkan keterlibatan aktif dalam membela kemanusiaan dan solidaritas antarpribadi4.

Pendekatan aksiologis eksistensialisme juga mengakui realitas ambiguitas dan ketidakpastian dalam kehidupan moral. Tidak ada jaminan bahwa pilihan yang dibuat akan benar secara universal, dan setiap tindakan etis selalu melibatkan risiko. Oleh karena itu, moralitas eksistensialis lebih bersifat reflektif daripada normatif. Ia menuntut keberanian eksistensial untuk bertindak, meskipun tanpa kepastian metafisik atau dukungan dari sistem moral yang mapan5.

Dengan demikian, eksistensialisme menawarkan paradigma etika yang radikal: etika tanpa jaminan, nilai tanpa fondasi metafisik, dan kebebasan tanpa pelarian. Namun justru dalam kerangka inilah eksistensialisme menemukan daya filosofisnya dalam dunia modern yang ditandai oleh pluralisme nilai, kompleksitas moral, dan pencarian makna yang mendalam.


Footnotes

[1]                Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialism: The Existentialists and Their Nineteenth-Century Backgrounds (Lanham: Rowman & Littlefield, 2001), 203–205.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211–215.

[4]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 55–58.

[5]                Thomas C. Anderson, The Foundation and Structure of Sartrean Ethics (Lawrence: University Press of Kansas, 1979), 116–118.


4.           Etika Eksistensialisme dalam Pemikiran Tokoh-Tokoh Sentral

4.1.       Søren Kierkegaard: Etika Subjektivitas dan Lompatan Iman

Sebagai pelopor eksistensialisme religius, Søren Kierkegaard menekankan pentingnya subjektivitas dalam pengalaman moral. Ia berpendapat bahwa kebenaran etis tidak bersifat objektif dan universal, melainkan ditemukan melalui komitmen personal yang mendalam. Moralitas yang sejati, menurut Kierkegaard, tidak dapat dicapai melalui hukum etis yang bersifat publik, tetapi melalui keputusan eksistensial yang mencerminkan hubungan langsung antara individu dan Tuhan1. Dalam karyanya Fear and Trembling, Kierkegaard memperkenalkan konsep “lompatan iman” (leap of faith), yaitu tindakan melampaui etika universal demi menaati perintah ilahi secara personal, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Abraham2. Dalam konteks ini, etika eksistensialis tidak tunduk pada hukum umum, tetapi lahir dari intensitas subjektivitas dan kesetiaan yang radikal.

4.2.       Friedrich Nietzsche: Moralitas sebagai Kehendak untuk Berkuasa

Nietzsche menolak keras moralitas Kristen tradisional yang ia anggap sebagai “moral budak” karena mengekang kekuatan kreatif manusia. Ia menggugat nilai-nilai universal yang menurutnya telah kehilangan daya hidup, terutama setelah deklarasi simbolisnya tentang “kematian Tuhan” (Gott ist tot)3. Dalam pemikiran etisnya, Nietzsche mendorong lahirnya manusia unggul (Übermensch), yakni individu yang mampu menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan kehendak untuk berkuasa (will to power) dan keberanian eksistensial. Moralitas eksistensialis dalam versi Nietzsche adalah ekspresi kekuatan afirmatif atas hidup, bukan penyerahan diri pada norma eksternal. Etika bukanlah kepatuhan terhadap sistem, melainkan tindakan kreatif yang membentuk jati diri manusia dalam dunia yang nihilistik4.

4.3.       Jean-Paul Sartre: Etika Otentisitas dan Tanggung Jawab Radikal

Jean-Paul Sartre membangun fondasi etika eksistensialisme ateistik, yang menekankan bahwa dalam dunia tanpa Tuhan, manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Karena eksistensi mendahului esensi, manusia tidak memiliki hakikat tetap; ia harus menentukan esensinya melalui tindakan bebas. Dalam hal ini, setiap pilihan individu memuat bobot moral, karena tidak hanya menentukan siapa dirinya, tetapi juga mengimplikasikan nilai bagi umat manusia5. Sartre menyebut bahwa dengan memilih bagi dirinya, manusia “memilih untuk seluruh umat manusia”6. Namun, kebebasan ini melahirkan kecemasan eksistensial, sebab tidak ada rujukan absolut untuk membenarkan tindakan. Etika Sartre bersifat situasional dan menuntut kejujuran eksistensial: bertindak dalam kesadaran penuh bahwa manusia menciptakan makna hidupnya tanpa jaminan metafisik.

4.4.       Simone de Beauvoir: Etika Ambiguitas dan Kebebasan Orang Lain

Simone de Beauvoir, sebagai tokoh penting dalam filsafat feminis dan eksistensialis, mengembangkan gagasan etika ambiguitas dalam konteks relasi antarmanusia. Dalam The Ethics of Ambiguity, ia menekankan bahwa meskipun manusia bebas, kebebasan sejatinya tidak dapat direalisasikan secara solipsistik. Etika eksistensialis harus mempertimbangkan kebebasan orang lain sebagai bagian dari tanggung jawab etis kita7. Menurut de Beauvoir, kita harus membantu sesama manusia untuk merealisasikan kebebasannya karena nilai moral tertinggi adalah kebebasan yang berkembang secara timbal balik. Dalam konteks ini, etika eksistensial bukan hanya individualistis, tetapi juga inter-subjektif, dibangun di atas solidaritas dalam dunia yang penuh ambiguitas.

4.5.       Albert Camus: Pemberontakan Moral dalam Dunia yang Absurditas

Albert Camus, meskipun tidak menyebut dirinya eksistensialis, memberikan kontribusi besar dalam etika eksistensial melalui gagasan tentang absurditas. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menggambarkan ketegangan antara pencarian makna oleh manusia dan ketidakpedulian alam semesta. Absurditas ini tidak menjurus pada keputusasaan, tetapi justru mendorong pemberontakan moral, yaitu sikap menolak menyerah terhadap absurditas dan tetap hidup dengan integritas etis8. Dalam The Rebel, Camus menegaskan bahwa pemberontakan terhadap ketidakadilan dan kekejaman merupakan bentuk solidaritas etis, di mana individu tetap setia pada nilai kemanusiaan meskipun tidak ada landasan metafisik yang menjamin moralitas9.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 181–183.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 42–47.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181.

[4]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 128–135.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–25.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 553–555.

[7]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 71–75.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 119–123.

[9]                Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage International, 1991), 252–258.


5.           Kritik dan Kontroversi terhadap Eksistensialisme Etis

Meskipun eksistensialisme etis telah memberikan sumbangan penting terhadap pemahaman moralitas dalam konteks kebebasan, tanggung jawab, dan keotentikan, aliran ini tidak luput dari kritik dan kontroversi. Banyak filsuf dari berbagai tradisi memandang pendekatan etis eksistensialis sebagai tidak memadai secara normatif, terlalu subjektif, dan bahkan berbahaya dalam konteks sosial-politik.

5.1.       Tuduhan Relativisme dan Subjektivisme

Salah satu kritik paling umum terhadap etika eksistensialis adalah bahwa ia terlalu subjektif, sehingga membuka jalan bagi relativisme moral. Karena menolak adanya norma-norma moral universal, eksistensialisme dinilai tidak memberikan pedoman etis yang kokoh untuk membedakan tindakan yang benar dari yang salah. Tokoh seperti Alasdair MacIntyre menyebut etika Sartre sebagai bentuk moralitas “tanpa fondasi sosial dan historis”, sehingga cenderung jatuh dalam anarki nilai yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara komunal1. Dalam pandangan kritikus, penekanan pada kebebasan personal justru berpotensi membenarkan keputusan moral yang egoistik atau bahkan destruktif.

5.2.       Kritik dari Etika Deontologis dan Teleologis

Filsafat moral yang berbasis pada etika deontologis, seperti dalam ajaran Immanuel Kant, menekankan pentingnya prinsip moral universal yang dapat dijadikan hukum umum. Dari perspektif ini, etika eksistensialis dipandang cacat karena tidak menyediakan kriteria objektif untuk mengevaluasi tindakan manusia. Kantianisme, misalnya, menuntut tindakan berdasarkan imperatif kategoris—bertindak sedemikian rupa sehingga maksim tindakanmu dapat dijadikan hukum universal2. Sebaliknya, etika eksistensialis bersandar pada situasi konkret dan keputusan personal, sehingga menurut para pengkritiknya, tidak dapat dijadikan dasar untuk membangun masyarakat yang adil secara rasional dan konsisten.

Begitu pula dari sudut utilitarianisme, eksistensialisme dikritik karena terlalu memfokuskan perhatian pada pengalaman dan otonomi individu, tanpa memperhitungkan konsekuensi sosial dari tindakan. Etika berbasis utilitas menilai moralitas dari segi manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak, sedangkan eksistensialisme lebih menekankan integritas pribadi meskipun bertentangan dengan kepentingan kolektif3.

5.3.       Masalah Kewajiban Sosial dan Tanggung Jawab Interpersonal

Kritikus lain menyatakan bahwa etika eksistensialis rentan terhadap individualisme ekstrem. Karena keputusan etis diserahkan sepenuhnya pada individu, maka tidak ada jaminan bahwa orang akan bertindak secara bertanggung jawab terhadap orang lain. Etika eksistensialis dikhawatirkan melemahkan komitmen terhadap keadilan sosial, karena tidak memiliki perangkat normatif yang mewajibkan solidaritas atau pembelaan terhadap yang tertindas4.

Namun, tokoh seperti Simone de Beauvoir telah menjawab kritik ini dengan menegaskan bahwa kebebasan yang sejati tidak terwujud dalam isolasi, melainkan dalam pengakuan terhadap kebebasan orang lain. Ia berargumen bahwa etika eksistensialis justru mendasari tanggung jawab interpersonal karena nilai-nilai lahir dalam relasi yang konkret dan timbal balik5. Akan tetapi, argumen ini tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran akan lemahnya kontrol sosial terhadap tindakan personal.

5.4.       Potensi Nihilisme dan Absennya Makna Objektif

Karena menolak otoritas moral yang bersifat transenden atau metafisik, eksistensialisme sering dikaitkan dengan nihilisme, yaitu pandangan bahwa hidup dan moralitas tidak memiliki makna objektif. Nietzsche sendiri, sebagai salah satu pelopor eksistensialisme, menyatakan bahwa “kematian Tuhan” akan mengguncang fondasi seluruh sistem nilai Barat6. Jika nilai-nilai moral hanyalah konstruksi subjektif, maka tidak ada jaminan bahwa manusia akan memilih untuk hidup secara etis.

Kritikus seperti Roger Scruton menilai bahwa eksistensialisme menawarkan kebebasan yang kosong, karena menghilangkan titik tumpu moral yang lebih tinggi dari individu itu sendiri. Dalam masyarakat yang membutuhkan stabilitas etika bersama, kebebasan eksistensialis dapat menimbulkan kekacauan moral, terutama ketika tidak dibarengi dengan tanggung jawab sosial yang kuat7.


Meskipun demikian, para pendukung eksistensialisme berpendapat bahwa kebebasan tanpa fondasi metafisik bukanlah kelemahan, tetapi justru tantangan moral yang memurnikan tanggung jawab manusia. Dalam dunia modern yang plural dan kompleks, etika eksistensialis dapat menjadi alternatif yang reflektif dan kontekstual, asalkan dijalankan secara otentik dan dengan kesadaran terhadap konsekuensi sosial dari setiap tindakan.


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 34–36.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 31–33.

[3]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2001), 17–22.

[4]                Robert C. Solomon, Existentialism, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2006), 102–105.

[5]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 64–70.

[6]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181–183.

[7]                Roger Scruton, Modern Philosophy: An Introduction and Survey (London: Arrow Books, 1995), 402–405.


6.           Relevansi Eksistensialisme Etis di Era Kontemporer

Dalam lanskap sosial dan moral abad ke-21 yang ditandai oleh pluralisme nilai, disorientasi identitas, dan krisis otoritas etika, eksistensialisme etis mendapatkan kembali relevansinya sebagai pendekatan filosofis yang menempatkan manusia sebagai pusat penentu nilai dan makna hidup. Berbeda dengan sistem moral konvensional yang kerap bersifat normatif dan represif, eksistensialisme menawarkan paradigma etika yang lebih dialogis, reflektif, dan kontekstual—suatu kebutuhan mendesak dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi1.

Salah satu aspek paling penting dari eksistensialisme etis dalam konteks kontemporer adalah kemampuannya dalam menghadapi nihilisme budaya. Di tengah merosotnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga otoritatif seperti agama, negara, dan bahkan sains, eksistensialisme menolak fatalisme pasif dan mendorong individu untuk menciptakan makna secara aktif melalui tindakan sadar dan otentik. Sebagaimana dikemukakan Camus, tantangan hidup yang absurd justru harus dijawab dengan pemberontakan eksistensial yang meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan meski tanpa jaminan metafisik2.

Relevansi eksistensialisme juga terlihat dalam pengembangan etika personal dan psikologi humanistik. Tokoh seperti Viktor E. Frankl—seorang psikiater yang terinspirasi oleh eksistensialisme—menekankan bahwa manusia tidak semata mencari kesenangan atau kekuasaan, tetapi makna sebagai kebutuhan terdalamnya3. Dalam konteks terapi dan pendidikan, nilai-nilai eksistensialis mendorong otonomi, refleksi diri, dan tanggung jawab personal, yang sangat penting dalam membentuk karakter individu dalam masyarakat yang cepat berubah.

Lebih jauh, eksistensialisme etis memberi ruang bagi ekspresi moral yang lebih inklusif, terutama dalam konteks keberagaman identitas gender, budaya, dan orientasi hidup. Simone de Beauvoir, misalnya, membuka jalan bagi etika feminis eksistensial yang menolak objektivikasi perempuan dan menegaskan pentingnya kebebasan eksistensial sebagai dasar keadilan antarindividu4. Dalam masyarakat multikultural, pendekatan ini memungkinkan pengakuan terhadap pengalaman moral yang plural tanpa harus tunduk pada hegemonik moral tunggal.

Di tengah kemajuan teknologi dan dominasi algoritma, eksistensialisme etis juga mengajukan pertanyaan kritis terhadap dehumanisasi dan kehilangan makna dalam dunia digital. Ketika keputusan moral dan sosial semakin banyak diserahkan pada kecerdasan buatan, eksistensialisme mengingatkan bahwa hanya manusia yang memiliki kapasitas kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab—kualitas-kualitas yang tidak dapat direduksi menjadi data atau statistik5. Dengan demikian, etika eksistensial memberikan dasar normatif untuk mempertahankan martabat manusia di tengah perkembangan teknologi yang pesat.

Akhirnya, eksistensialisme etis tetap relevan sebagai alat kritik terhadap tatanan sosial-politik yang menindas kebebasan individu. Dalam konteks ketidakadilan struktural dan pelanggaran hak asasi manusia, etika eksistensial menuntut keterlibatan aktif dalam menegakkan kebebasan dan solidaritas, bukan sebagai perintah eksternal, tetapi sebagai komitmen moral yang lahir dari kesadaran akan kebebasan eksistensial manusia dan tanggung jawabnya terhadap sesama6.

Dengan semua dimensi tersebut, eksistensialisme etis hadir bukan hanya sebagai sistem filsafat, tetapi sebagai gaya hidup moral yang menekankan keberanian untuk memilih, bertindak, dan mencipta nilai dalam dunia yang serba tidak pasti. Dalam era yang semakin mendambakan keaslian dan tanggung jawab personal, warisan etika eksistensialis semakin menemukan gaungnya.


Footnotes

[1]                Charles Guignon and Derk Pereboom, Existentialism: Basic Writings, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 2001), xvii–xix.

[2]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O'Brien (New York: Vintage International, 1991), 121–123.

[3]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 99–103.

[4]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 36–41.

[5]                Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 245–249.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 47–49.


7.           Kesimpulan dan Refleksi Filosofis

Eksistensialisme etis menawarkan pendekatan yang unik dan radikal dalam memahami moralitas manusia. Berangkat dari prinsip dasar bahwa eksistensi mendahului esensi, aliran ini menegaskan bahwa manusia bukanlah makhluk yang ditentukan sebelumnya oleh hakikat tetap, tetapi menjadi dirinya melalui tindakan, pilihan, dan komitmen bebas dalam kehidupan yang nyata. Moralitas, dalam kerangka eksistensialis, tidak berasal dari hukum objektif yang bersifat transenden, tetapi dibentuk oleh individu dalam keterlibatannya yang otentik terhadap dunia dan sesama manusia1.

Etika eksistensial bukanlah sistem normatif yang menyediakan seperangkat aturan universal, melainkan suatu refleksi mendalam atas kondisi manusia yang bebas dan bertanggung jawab. Dalam dunia yang kehilangan jaminan metafisik, seperti yang digambarkan oleh Nietzsche dengan metafora “kematian Tuhan”, eksistensialisme tidak menawarkan pelarian, tetapi justru menyerukan pemberdayaan subjek manusia untuk menciptakan makna dan nilai dalam situasi yang ambigu dan absurd2.

Tokoh-tokoh utama seperti Kierkegaard, Nietzsche, Sartre, de Beauvoir, dan Camus memperlihatkan keragaman cara dalam merumuskan etika eksistensial, mulai dari lompatan iman religius, transvaluasi nilai-nilai moral, kejujuran radikal, hingga solidaritas eksistensial. Namun benang merah di antara semuanya adalah keyakinan bahwa kebebasan merupakan dasar dari moralitas, dan bahwa setiap tindakan etis lahir dari kesadaran akan tanggung jawab personal dan kebersamaan dengan sesama3.

Refleksi filosofis atas eksistensialisme etis memperlihatkan bahwa meskipun pendekatan ini tidak menawarkan kepastian moral, ia justru membuka ruang bagi keaslian moral, yaitu tanggung jawab yang lahir bukan dari paksaan eksternal, melainkan dari komitmen pribadi yang sadar, reflektif, dan jujur. Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh pluralisme nilai dan kompleksitas etika, eksistensialisme memberikan fondasi moral yang fleksibel tetapi tidak relativistik—yakni komitmen terhadap kebebasan yang disertai pengakuan atas kebebasan orang lain4.

Lebih dari sekadar filsafat teoretis, eksistensialisme etis mengajarkan keberanian untuk hidup secara otentik. Ia menantang manusia untuk tidak melarikan diri dari tanggung jawab, untuk menolak hidup dalam “ketidaktulusan” (bad faith), dan untuk menjadikan hidup sebagai proyek penciptaan makna yang terus-menerus. Sartre menyatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas—dan dari kutukan inilah muncul panggilan etis untuk menjadi pencipta nilai dalam dunia yang tak memiliki landasan tetap5.

Dengan demikian, eksistensialisme etis bukanlah penolakan terhadap moralitas, tetapi suatu pembaruan radikal terhadap cara kita memahami moralitas itu sendiri. Ia menempatkan manusia bukan sebagai objek hukum moral, melainkan sebagai subjek moral yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kehidupannya. Dalam dunia yang semakin tak pasti, etika semacam ini mungkin menjadi satu-satunya etika yang relevan.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–23.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181–183.

[3]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 70–73.

[4]                Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004), 92–94.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 553–554.


Daftar Pustaka

Beauvoir, S. de. (1976). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press. (Asli diterbitkan 1947)

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books. (Asli diterbitkan 1949)

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O'Brien, Trans.). Vintage International. (Asli diterbitkan 1942)

Camus, A. (1991). The rebel (A. Bower, Trans.). Vintage International. (Asli diterbitkan 1951)

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press. (Asli diterbitkan 1946)

Guignon, C. (2004). On being authentic. Routledge.

Guignon, C., & Pereboom, D. (Eds.). (2001). Existentialism: Basic writings (2nd ed.). Hackett Publishing Company.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Asli diterbitkan 1927)

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Asli diterbitkan 1785)

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University Press. (Asli diterbitkan 1846)

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books. (Asli diterbitkan 1843)

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett Publishing Company. (Asli diterbitkan 1863)

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books. (Asli diterbitkan 1882)

Nietzsche, F. (1995). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Modern Library. (Asli diterbitkan 1883–1891)

Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press. (Asli diterbitkan 1943)

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press. (Asli diterbitkan 1946)

Scruton, R. (1995). Modern philosophy: An introduction and survey. Arrow Books.

Solomon, R. C. (2006). Existentialism (2nd ed.). Oxford University Press.

Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. Penguin Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar