Ekologisme Politik
Paradigma Alternatif dalam Respons terhadap Krisis
Lingkungan Global
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas ekologisme politik sebagai
paradigma alternatif dalam merespons krisis lingkungan global yang semakin
mendesak. Berangkat dari kegagalan pendekatan teknokratis dan kapitalistik
dalam mengatasi degradasi ekologi, ekologisme politik ditawarkan sebagai
kerangka normatif dan praksis yang menekankan pentingnya keadilan ekologis,
demokrasi partisipatoris, dan hubungan interdependen antara manusia dan alam.
Artikel ini menguraikan secara sistematis definisi dan ruang lingkup ekologisme
politik, akar historis dan filosofisnya, prinsip-prinsip dasar, serta variasi
pendekatan yang ada di dalamnya—mulai dari yang radikal hingga reformis. Lebih
lanjut, pembahasan mencakup bagaimana ekologisme politik diimplementasikan
dalam kebijakan dan institusi, terutama melalui partai hijau, agenda transisi
energi, dan tata kelola kota berkelanjutan. Perhatian khusus juga diberikan
pada dinamika ekologisme politik di negara berkembang, yang memperlihatkan
perjuangan komunitas lokal dan masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup
dari eksploitasi ekologis. Artikel ini juga mengulas kritik-kritik terhadap
ekologisme politik, sekaligus menegaskan relevansi paradigmatik ekologisme
dalam konteks krisis iklim, ketimpangan global, dan kebutuhan akan transformasi
politik peradaban. Dengan pendekatan reflektif dan berbasis sumber ilmiah
terkini, artikel ini menyimpulkan bahwa ekologisme politik merupakan jawaban
komprehensif terhadap tantangan ekologis abad ke-21, serta menawarkan dasar
filosofis dan strategis untuk membangun dunia yang berkelanjutan dan
berkeadilan ekologis.
Kata Kunci: Ekologisme Politik, Keadilan Ekologis, Krisis
Lingkungan Global, Demokrasi Partisipatoris, Energi Terbarukan, Degrowth,
Gerakan Hijau, Masyarakat Adat, Keadilan Iklim, Ekosentrisme.
PEMBAHASAN
Ekologisme Politik dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Dewasa ini, krisis
lingkungan telah menjadi salah satu tantangan paling mendesak dalam diskursus
global. Fenomena seperti perubahan iklim, kepunahan biodiversitas, degradasi
tanah, polusi air dan udara, serta deforestasi masif bukan hanya sekadar
persoalan teknis ekologis, melainkan juga mencerminkan krisis sistemik dalam
cara manusia berinteraksi dengan alam. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) tahun 2023 secara tegas menyatakan bahwa aktivitas manusia adalah
penyebab utama meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan
iklim secara global. Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan suhu
bumi rata-rata telah melebihi 1,1°C dibandingkan era pra-industri, dan
diperkirakan akan terus meningkat tanpa transformasi sistemik yang mendalam
dalam kebijakan dan perilaku manusia¹.
Dalam konteks
tersebut, munculnya ekologisme politik sebagai
sebuah paradigma alternatif merupakan respons atas ketidakcukupan
pendekatan-pendekatan konvensional yang cenderung bersifat teknokratis,
antroposentris, dan ekonomistik dalam menangani krisis ekologis. Berbeda dari
sekadar aktivisme lingkungan yang bersifat reaktif, ekologisme politik
mengusung pendekatan normatif yang menyentuh akar ideologis, struktural, dan
filosofis dari relasi manusia-alam, serta menawarkan kerangka kebijakan yang
lebih holistik, demokratis, dan berkelanjutan².
Secara historis,
ekologisme politik tidak lahir dalam ruang hampa. Ia muncul dari sintesis
antara gerakan lingkungan hidup tahun 1960-an dan 1970-an, kritik terhadap
modernitas dan kapitalisme industri, serta pemikiran filsafat alam dan keadilan
sosial. Gerakan ini menolak pandangan dominan dalam ilmu politik modern yang
memisahkan urusan manusia dan alam, dan sebaliknya menyerukan pembaruan paradigma
menuju koeksistensi ekologis³. Dalam kerangka ini, ekologisme tidak hanya
berbicara tentang pelestarian lingkungan, tetapi juga tentang rekonstruksi
sosial-politik yang adil, inklusif, dan ekologis.
Perhatian terhadap politik
hijau (green politics) dan transisi menuju ekodemokrasi
kini menjadi semakin relevan, seiring meningkatnya kesadaran global akan
keterbatasan model pembangunan linear dan eksploitasi sumber daya yang tidak
berkelanjutan. Bahkan, dalam beberapa negara, partai-partai hijau telah menjadi
kekuatan politik yang signifikan, dengan agenda transformasi energi, keadilan
ekologis, dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan⁴. Oleh karena
itu, kajian tentang ekologisme politik bukan hanya penting sebagai teori
alternatif, tetapi juga sebagai upaya untuk merumuskan masa depan peradaban
yang selaras dengan daya dukung planet.
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji ekologisme politik sebagai paradigma alternatif dalam
menghadapi krisis lingkungan global. Melalui pendekatan historis, filosofis,
dan praktis, pembahasan ini akan menelaah prinsip-prinsip dasar ekologisme,
bentuk-bentuk variasinya, hingga penerapannya dalam politik kontemporer. Dengan
demikian, tulisan ini diharapkan dapat memperkaya wacana politik kontemporer
dalam upaya membangun tatanan dunia yang berkeadilan ekologis.
Footnotes
[1]
Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2023:
Synthesis Report (Geneva: IPCC, 2023), 12–15.
[2]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an
Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992),
3–5.
[3]
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 17–20.
[4]
Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy and Green Political
Thought: Sustainability, Rights and Citizenship (London: Routledge, 1996),
1–3.
2.
Pengertian dan Ruang Lingkup Ekologisme Politik
Ekologisme
politik (political ecology atau political environmentalism)
merupakan suatu aliran pemikiran dan gerakan sosial-politik yang menjadikan
kelestarian ekologis sebagai prinsip dasar dalam pengaturan kehidupan bersama,
baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global. Tidak seperti pendekatan
lingkungan yang hanya bersifat teknis atau manajerial, ekologisme politik
memandang bahwa krisis ekologi merupakan produk dari struktur politik, ekonomi,
dan nilai-nilai budaya yang dominan dalam masyarakat modern¹.
Andrew Dobson secara
eksplisit membedakan antara lingkunganisme (environmentalism)
dan ekologisme
(ecologism).
Lingkunganisme berfokus pada pengelolaan lingkungan hidup dalam kerangka sistem
ekonomi dan politik yang sudah ada, sedangkan ekologisme menuntut perubahan
sistemik dalam cara hidup manusia, termasuk struktur produksi, konsumsi, dan
kekuasaan, agar sesuai dengan batas-batas ekologis². Oleh karena itu, ekologisme
politik bukan hanya sebuah sikap terhadap lingkungan, tetapi juga suatu
paradigma alternatif terhadap tatanan sosial-politik yang dominan.
Ruang lingkup
ekologisme politik mencakup berbagai dimensi yang saling terkait:
2.1.
Dimensi Filsafat dan Etika
Ekologisme politik
dibangun di atas etika ekologis yang menolak antroposentrisme (pusat manusia)
dan mendukung ekosentrisme, yaitu pandangan
bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik. Prinsip ini mengafirmasi
hak-hak entitas non-manusia seperti hewan, tumbuhan, dan ekosistem untuk eksis
dan berkembang, tanpa hanya dinilai dari manfaatnya bagi manusia³.
2.2.
Dimensi Politik dan Kelembagaan
Secara politis,
ekologisme memperjuangkan munculnya bentuk-bentuk demokrasi yang lebih
partisipatoris, desentralistik, dan akomodatif terhadap keberagaman lokal. Ia
menuntut agar pengambilan kebijakan melibatkan komunitas secara langsung,
menghargai kearifan lokal, serta berpijak pada prinsip keadilan ekologis dan
intergenerasional⁴. Ekologisme menolak model politik elitis dan hierarkis yang
kerap melanggengkan eksploitasi lingkungan.
2.3.
Dimensi Ekonomi
Dalam bidang
ekonomi, ekologisme menentang logika pertumbuhan tak terbatas yang menjadi
fondasi kapitalisme modern. Sebagai gantinya, ia menawarkan konsep seperti ekonomi
hijau, ekonomi sirkular, atau bahkan degrowth,
yaitu pendekatan yang memprioritaskan keberlanjutan dan kesejahteraan ekologis
di atas ekspansi ekonomi yang destruktif⁵.
2.4.
Dimensi Sosial dan Budaya
Ekologisme juga
mencerminkan keprihatinan terhadap dampak sosial dari kerusakan lingkungan,
terutama terhadap kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan,
dan kelas pekerja. Karena itu, ekologisme sering bersinggungan dengan isu-isu
keadilan sosial, feminisme, dan hak-hak komunitas lokal⁶.
Melalui pendekatan
multidimensi tersebut, ekologisme politik tidak hanya bertujuan menyelamatkan
lingkungan, tetapi juga membangun ulang struktur kehidupan manusia berdasarkan
prinsip kesalingterhubungan, batas ekologis, dan keadilan. Ia hadir sebagai
alternatif radikal terhadap narasi dominan yang memisahkan manusia dari alam,
dan menjadi penanda penting dalam evolusi pemikiran sosial-politik kontemporer.
Footnotes
[1]
John Barry, Environment and Social Theory, 2nd ed. (London:
Routledge, 2007), 22–25.
[2]
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 2–3.
[3]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an
Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992),
47–51.
[4]
Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy and Green
Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship (London:
Routledge, 1996), 10–12.
[5]
Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press,
2009), 4–6.
[6]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the
Postmodern (London: Zed Books, 1997), 89–93.
3.
Akar Historis dan Filosofis Ekologisme Politik
Ekologisme politik
bukanlah konstruksi teoretis yang muncul tiba-tiba, melainkan hasil akumulasi
historis dari berbagai dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang berakar
sejak pertengahan abad ke-20. Dalam konteks ini, pemahaman atas dimensi
historis dan filosofis ekologisme politik menjadi penting untuk melihatnya
tidak semata sebagai gerakan kontemporer, tetapi sebagai suatu transformasi
paradigma yang berakar dalam kritik mendalam terhadap modernitas dan
rasionalitas instrumental.
3.1.
Gerakan Lingkungan Modern (1960–1970-an)
Gelombang awal yang
membentuk ekologisme politik muncul dari kebangkitan gerakan
lingkungan modern pada dekade 1960–1970-an, terutama di
negara-negara Barat. Pemicunya antara lain adalah meningkatnya kesadaran publik
terhadap dampak destruktif industrialisasi dan modernisasi terhadap ekosistem.
Buku Rachel Carson, Silent Spring (1962), secara luas
dianggap sebagai titik tolak penting karena membuka mata dunia terhadap bahaya
pestisida sintetis terhadap kehidupan liar dan kesehatan manusia¹. Karya ini
tidak hanya memicu lahirnya gerakan ekologi radikal, tetapi juga memperkuat
gagasan bahwa krisis lingkungan bukan sekadar akibat teknis, melainkan buah
dari sistem sosial dan ekonomi yang eksploitatif.
Pada dekade
berikutnya, berbagai gerakan anti-nuklir, pro-pelestarian alam, dan komunitas
hijau tumbuh pesat. Di Eropa, gerakan-gerakan ini mulai bermetamorfosis menjadi
partai
politik hijau, seperti Die Grünen di Jerman, yang membawa isu
lingkungan ke ranah institusi formal². Dari sinilah ekologisme mulai
mendapatkan dimensi politiknya secara eksplisit.
3.2.
Kritik terhadap Modernitas dan Rasionalitas
Barat
Secara filosofis,
ekologisme politik lahir sebagai kritik terhadap paradigma modernitas
Barat, yang mendasarkan pembangunan dan kemajuan pada
eksploitasi sumber daya alam dan penguasaan atas alam melalui teknologi. Para
pemikir ekologis seperti Murray Bookchin mengkritik
struktur hierarkis dan kapitalistik sebagai akar dari dominasi manusia atas
alam, dan menyerukan bentuk baru masyarakat ekologis berbasis komunitas,
desentralisasi, dan ekologi sosial³.
Sementara itu, Arne
Naess, filsuf Norwegia, mengembangkan gagasan deep
ecology (ekologi dalam) sebagai respons terhadap pendekatan
dangkal (shallow ecology) yang hanya berfokus pada pengelolaan sumber daya.
Menurut Naess, perlindungan lingkungan harus dimulai dari perubahan radikal
dalam cara manusia memandang dirinya dalam kosmos—yakni sebagai bagian integral
dari alam, bukan penguasa atasnya⁴.
Ekologisme juga
diperkaya oleh kontribusi ekofeminisme, yang mengaitkan
penindasan terhadap alam dengan penindasan terhadap perempuan. Tokoh seperti Vandana
Shiva menunjukkan bagaimana sistem kapitalis dan patriarkal
secara simultan mengeksploitasi tubuh perempuan dan alam, dan menyerukan
pembebasan ganda melalui solidaritas ekologis dan sosial⁵.
3.3.
Pengaruh Filsafat Timur dan Tradisi Pribumi
Selain bersumber
dari tradisi Barat, ekologisme politik juga mendapat inspirasi dari filsafat
Timur dan kosmologi komunitas pribumi. Pandangan dunia dalam ajaran Taoisme,
Buddhisme, dan Islam—yang menekankan harmoni antara manusia dan alam—telah
menjadi referensi etis dan spiritual bagi banyak aktivis dan pemikir ekologis
kontemporer⁶. Konsep tawhid dalam Islam, misalnya,
dipahami dalam dimensi ekologis sebagai keterhubungan antara Tuhan, manusia,
dan alam, yang melahirkan tanggung jawab moral atas pelestarian ciptaan⁷.
Begitu pula dalam
tradisi masyarakat adat di Amerika Latin, konsep Buen
Vivir (hidup selaras) mengusung visi alternatif terhadap
pembangunan linear, dan kini banyak diadopsi sebagai dasar kebijakan ekologis
negara seperti Bolivia dan Ekuador⁸.
Dengan demikian,
akar historis dan filosofis ekologisme politik sangatlah kompleks dan plural.
Ia lahir dari persilangan antara gerakan sosial progresif, refleksi filosofis
atas modernitas, serta warisan nilai-nilai ekologis dari berbagai kebudayaan.
Semua ini menjadikan ekologisme politik bukan hanya sebagai reaksi ekologis,
melainkan sebagai tawaran paradigma alternatif yang menyeluruh terhadap tata
kehidupan modern.
Footnotes
[1]
Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962).
[2]
Wolfgang Rüdig, “Green Parties in National Governments: From Protest to
Acquiescence?,” Environmental Politics 15, no. 1 (2006): 110–35.
[3]
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution
of Hierarchy (Oakland: AK Press, 2005), 17–25.
[4]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long‐Range Ecology Movement: A
Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[5]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development
(London: Zed Books, 1988), 38–42.
[6]
Mary Evelyn Tucker and John Grim, eds., Religion and Ecology: Can
the Climate Change? (Cambridge: Center for the Study of World Religions,
2001), 11–15.
[7]
Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha
Publishers, 2002), 21–28.
[8]
Eduardo Gudynas, “Buen Vivir: Today’s Tomorrow,” Development
54, no. 4 (2011): 441–47.
4.
Prinsip-Prinsip Dasar Ekologisme Politik
Ekologisme politik,
sebagai suatu paradigma politik dan etika baru, bertumpu pada sejumlah prinsip
dasar yang membedakannya dari aliran politik arus utama seperti liberalisme,
sosialisme, dan konservatisme. Prinsip-prinsip ini merepresentasikan reaksi teoretis
dan normatif terhadap krisis ekologis global, dengan titik tolak pada
keberlanjutan ekologis, kesetaraan antar-spesies, serta keadilan sosial dan
generasional. Secara umum, prinsip-prinsip utama ekologisme politik meliputi:
4.1.
Keadilan Ekologis dan Keberlanjutan
Salah satu prinsip
paling fundamental dari ekologisme politik adalah keadilan
ekologis (ecological justice), yakni
keyakinan bahwa krisis lingkungan tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik,
tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial. Konsep ini menyoroti bagaimana
komunitas miskin dan termarjinalkan sering kali menanggung beban terbesar dari
kerusakan lingkungan, padahal mereka berkontribusi paling sedikit terhadap
penyebabnya¹.
Keadilan ekologis
terkait erat dengan keberlanjutan, yaitu kemampuan
sistem sosial dan ekologis untuk bertahan dalam jangka panjang tanpa merusak
daya dukung planet. Prinsip ini mengharuskan adanya pergeseran dari model
pembangunan berbasis eksploitasi menjadi pola hidup dan kebijakan yang
mempertimbangkan keseimbangan jangka panjang antara manusia dan alam².
4.2.
Interdependensi antara Manusia dan Alam
Ekologisme politik
menolak dikotomi klasik antara manusia dan alam yang telah lama melekat dalam
tradisi filsafat Barat. Sebaliknya, ekologisme menekankan prinsip interdependensi—bahwa
manusia bukan entitas terpisah dari alam, melainkan bagian integral dari
jaringan kehidupan yang saling terkait³. Pandangan ini menggeser kerangka
hubungan manusia-alam dari dominasi menuju koeksistensi.
Dengan demikian,
segala keputusan politik harus memperhitungkan dampaknya terhadap
keberlangsungan ekologis, karena kerusakan pada satu komponen alam akan
berdampak pada keseluruhan sistem kehidupan, termasuk manusia⁴.
4.3.
Demokrasi Ekologis dan Partisipasi Komunitas
Ekologisme politik
berpandangan bahwa perlindungan lingkungan tidak dapat diserahkan sepenuhnya
kepada otoritas pusat atau teknokrat, melainkan harus didasarkan pada demokrasi
ekologis—yakni model partisipasi politik yang memungkinkan
komunitas lokal memiliki suara dalam pengambilan keputusan lingkungan yang
memengaruhi kehidupan mereka⁵.
Demokrasi ekologis
juga mencakup ide bahwa semua makhluk hidup dan entitas alam memiliki "kepentingan"
yang layak untuk dipertimbangkan dalam sistem pengambilan kebijakan, suatu
konsep yang dikenal sebagai representasi ekologis atau
bahkan “hak-hak alam”⁶. Pendekatan ini menantang gagasan klasik tentang
demokrasi liberal yang hanya berpusat pada manusia dan rasionalitas individual.
4.4.
Anti-Antroposentrisme dan Kritik terhadap
Modernitas
Prinsip berikutnya
adalah anti-antroposentrisme,
yakni penolakan terhadap pandangan bahwa manusia adalah pusat dan puncak dari
alam semesta. Ekologisme mengkritik warisan modernitas yang melihat alam hanya
sebagai sumber daya untuk dieksploitasi guna kepentingan manusia, dan
sebaliknya mengajukan etos ekosentris, di mana nilai
intrinsik diberikan kepada semua bentuk kehidupan⁷.
Kritik ini juga
meluas pada sistem ekonomi kapitalistik dan logika pertumbuhan tanpa batas,
yang dianggap sebagai penyebab utama degradasi lingkungan. Ekologisme
menegaskan perlunya reorientasi nilai dalam politik
dan ekonomi agar sejalan dengan batas ekologis bumi dan nilai kehidupan
non-manusia⁸.
Dengan demikian,
prinsip-prinsip dasar ekologisme politik bukan hanya menawarkan jalan keluar
terhadap krisis ekologis, tetapi juga menggugat secara mendasar struktur
kekuasaan, nilai, dan hubungan manusia dengan alam. Ekologisme hadir sebagai
paradigma normatif yang mengintegrasikan dimensi etika, sosial, politik, dan
ekologis dalam satu kerangka perjuangan kolektif untuk keberlanjutan dan
keadilan.
Footnotes
[1]
David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories,
Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 71–75.
[2]
John Barry, Rethinking Green Politics: Nature, Virtue and Progress
(London: Sage Publications, 1999), 45–49.
[3]
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty
(Cambridge: MIT Press, 2004), 91–93.
[4]
James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford:
Oxford University Press, 2000), 14–18.
[5]
Brian Doherty and Matthew Paterson, eds., Environmental Politics: A
Reader (London: Routledge, 2000), 220–224.
[6]
Peter Burdon, Earth Jurisprudence: Private Property and the
Environment (London: Routledge, 2014), 33–36.
[7]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 170–173.
[8]
Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press,
2009), 16–19.
5.
Variasi dalam Ekologisme Politik
Ekologisme politik
bukanlah suatu entitas monolitik. Sebaliknya, ia mencakup beragam
spektrum pemikiran dan praksis yang memiliki orientasi,
strategi, dan agenda yang berbeda. Variasi ini lahir dari perbedaan dalam cara
memahami akar permasalahan lingkungan, nilai-nilai dasar yang diusung, serta
pendekatan politik yang digunakan. Secara garis besar, variasi utama dalam
ekologisme politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk:
5.1.
Ekologisme Radikal (Radical Ecology)
Kelompok ini berakar
dari gagasan bahwa krisis ekologis bersifat sistemik dan
struktural, sehingga solusi yang dibutuhkan juga harus
menyentuh akar-akar ketimpangan sosial dan relasi kuasa. Ciri khas pendekatan
ini adalah:
·
Penolakan terhadap
kapitalisme, patriarki, dan dominasi hierarkis sebagai penyebab utama
kerusakan lingkungan;
·
Penekanan pada transformasi
sosial total dan perubahan nilai budaya.
Beberapa aliran
dalam ekologisme radikal mencakup:
·
Deep Ecology
– Diperkenalkan oleh Arne Naess, aliran ini menekankan nilai intrinsik
dari semua makhluk hidup dan menyerukan perubahan mendalam dalam kesadaran
manusia⁽¹⁾.
·
Ekofeminisme
– Menghubungkan eksploitasi alam dengan penindasan terhadap perempuan, serta
menuntut pembebasan ganda dari sistem patriarkal⁽²⁾.
·
Ekososialisme
– Mengintegrasikan prinsip-prinsip sosialisme dengan keadilan ekologis, dengan
tokoh seperti Joel Kovel dan Michael Löwy yang menyoroti
kesamaan antara eksploitasi buruh dan eksploitasi alam⁽³⁾.
Pendekatan radikal
ini sering dikritik karena dianggap utopis, tetapi ia memainkan peran penting
dalam menggeser batas-batas wacana politik dan memunculkan visi transformatif.
5.2.
Ekologisme Reformis (Reformist Ecology /
Environmentalism)
Berbeda dari
pendekatan radikal, ekologisme reformis berusaha bekerja
dalam kerangka institusi yang ada untuk mendorong perubahan
bertahap menuju keberlanjutan. Pendekatan ini banyak diadopsi oleh:
·
Partai-partai hijau
di Eropa dan negara-negara demokratis lainnya;
·
LSM lingkungan
global seperti Greenpeace dan WWF.
Ciri-ciri utama
pendekatan ini antara lain:
·
Fokus pada kebijakan
publik dan teknologi ramah lingkungan;
·
Advokasi untuk pengurangan
emisi karbon, energi terbarukan, dan ekonomi hijau;
·
Upaya mengintegrasikan
prinsip lingkungan ke dalam model pasar dan negara yang sudah
ada⁽⁴⁾.
Meskipun dianggap
lebih pragmatis dan realistik, ekologisme reformis kerap dikritik karena terlalu
kompromistis dan kurang menyentuh akar-akar struktural dari
krisis lingkungan.
5.3.
Ekologisme Alternatif dan Hybrid
(Alternatif-Hibrid)
Di luar dikotomi
radikal-reformis, muncul bentuk-bentuk ekologisme alternatif yang
menggabungkan unsur budaya, spiritualitas, dan nilai-nilai komunitarian.
Contohnya:
·
Green Anarchism,
yang memadukan prinsip anti-otoritarian dengan kehidupan yang selaras dengan
alam⁽⁵⁾;
·
Spiritual Ecology,
yang menekankan pentingnya kesadaran spiritual dalam relasi manusia dan alam;
·
Kosmovisi Pribumi
seperti Buen Vivir (Andes) atau Tanah sebagai Ibu (masyarakat
adat Asia Tenggara) yang menawarkan model kosmologis non-Barat untuk tata
kehidupan berkelanjutan⁽⁶⁾.
Pendekatan ini
seringkali lebih berbasis nilai dan identitas kultural,
dan menjadi penting dalam konteks lokal dan komunitas adat.
Kesimpulan Sementara
Variasi dalam
ekologisme politik mencerminkan kekayaan pendekatan dan strategi
dalam merespons krisis lingkungan global. Mulai dari transformasi radikal,
reformasi kebijakan, hingga spiritualitas ekologis, semuanya menunjukkan bahwa
perjuangan untuk keberlanjutan harus menghargai pluralitas jalan, tanpa
mengabaikan kompleksitas sosial-politik dan ekologis yang dihadapi umat manusia
hari ini.
Footnotes
[1]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long‐Range Ecology Movement: A
Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.
[2]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development
(London: Zed Books, 1988), 45–47.
[3]
Joel Kovel and Michael Löwy, “An Ecosocialist Manifesto,” Capitalism
Nature Socialism 12, no. 1 (2001): 11–20.
[4]
Neil Carter, The Politics of the Environment: Ideas, Activism,
Policy, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2018), 98–101.
[5]
John Zerzan, Against Civilization: Readings and Reflections
(Port Townsend: Feral House, 2005), 56–59.
[6]
Eduardo Gudynas, “Buen Vivir: Today’s Tomorrow,” Development
54, no. 4 (2011): 441–447.
6.
Ekologisme Politik dalam Tataran Praktis dan
Institusional
Meski lahir dari
pemikiran normatif dan gerakan akar rumput, ekologisme politik juga telah memasuki
ruang-ruang institusional dan praktik pemerintahan, baik dalam
bentuk partai politik, kebijakan publik, maupun model tata kelola lingkungan
alternatif. Transformasi dari wacana ke kebijakan menjadi bukti bahwa ekologisme
politik bukan hanya idealisme utopis, tetapi juga kekuatan praktis yang dapat
memengaruhi arah pembangunan dan struktur kekuasaan.
6.1.
Partai Hijau dan Institusionalisasi Politik
Hijau
Sejak akhir 1970-an,
gerakan lingkungan mulai bermetamorfosis menjadi partai-partai
politik hijau (green parties) yang menempati
posisi formal dalam sistem politik demokratis. Partai Hijau Jerman (Die
Grünen), yang didirikan pada 1980, menjadi model utama bagi partai
hijau di berbagai negara. Mereka mengusung platform yang menggabungkan ekologi,
demokrasi partisipatoris, keadilan sosial, dan non-kekerasan,
serta menolak politik pembangunan tradisional berbasis pertumbuhan ekonomi
eksploitatif¹.
Partai-partai hijau
telah berhasil memperoleh kursi di parlemen dan bahkan posisi dalam kabinet
pemerintahan di negara-negara seperti Jerman, Finlandia, dan Selandia Baru.
Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran penting dalam mendorong agenda transisi
energi, perlindungan keanekaragaman hayati, serta regulasi karbon⁽²⁾.
Misalnya, Jerman melalui koalisi yang melibatkan Die Grünen mendorong Energiewende,
sebuah kebijakan transisi energi menuju sumber terbarukan dan penghentian
PLTN⁽³⁾.
6.2.
Agenda Kebijakan: Energi Terbarukan, Ekonomi
Sirkular, dan Degrowth
Ekologisme politik
juga telah memberi kontribusi dalam membentuk kerangka kebijakan alternatif,
terutama di bidang energi dan ekonomi. Kebijakan berbasis energi
terbarukan dan ekonomi sirkular adalah wujud konkret
penerapan prinsip keberlanjutan dalam kebijakan negara dan daerah. Ekonomi
sirkular menekankan pada reduksi, daur ulang, dan penggunaan ulang material
untuk meminimalkan limbah dan ketergantungan pada sumber daya baru⁴.
Sementara itu,
muncul pula gerakan degrowth, yakni pendekatan
ekonomi yang menolak paradigma pertumbuhan ekonomi tak terbatas. Pendekatan ini
mendorong penyusutan sektor-sektor ekonomi yang destruktif secara ekologis,
sambil memperluas praktik sosial seperti kerja kolektif, agrikultur
berkelanjutan, dan ekonomi solidaritas⁵. Degrowth bukanlah stagnasi, melainkan reorganisasi
nilai dan tujuan ekonomi berdasarkan batas-batas ekologis.
6.3.
Tata Kelola Lokal dan Kota Berkelanjutan
Di tingkat lokal,
prinsip-prinsip ekologisme politik telah menginspirasi model
tata kelola kota yang berkelanjutan. Kota-kota seperti Curitiba
(Brasil), Copenhagen (Denmark), dan Freiburg
(Jerman) menjadi contoh penerapan prinsip hijau dalam tata
ruang, transportasi publik, energi, dan partisipasi warga⁶. Di Freiburg,
penggunaan energi surya secara massal dan pengendalian ketat atas pembangunan
wilayah hijau menjadikan kota ini model bagi “green urbanism”⁷.
Inovasi-inovasi
lokal ini menunjukkan bahwa transformasi ekologis tidak harus menunggu dari
atas (top-down), tetapi bisa digerakkan melalui prakarsa komunitas dan pemerintah lokal
yang memiliki komitmen ekologis dan mekanisme partisipatif.
6.4.
Peran Lembaga Internasional dan Kebijakan
Global
Di tingkat global,
lembaga-lembaga seperti United Nations Environment Programme (UNEP)
dan kerangka kerja seperti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP)
menjadi ruang artikulasi nilai-nilai ekologisme politik dalam bentuk perjanjian
multilateral. Perjanjian Paris 2015 merupakan tonggak penting dalam upaya
global menurunkan emisi karbon dan mempertahankan suhu global agar tidak
melebihi ambang batas 1,5°C⁸.
Namun demikian, banyak
pengamat mengkritik efektivitas lembaga-lembaga ini karena cenderung terjebak
dalam retorika ekologis tanpa sanksi tegas, serta kurang
responsif terhadap ketimpangan struktural antara negara maju dan berkembang⁹.
Oleh karena itu, penguatan institusi global yang lebih demokratis dan
berkeadilan ekologis tetap menjadi agenda penting bagi ekologisme politik.
Dengan demikian,
ekologisme politik tidak hanya hadir sebagai ideologi alternatif, tetapi juga
telah berhasil menembus institusi-institusi formal dan memengaruhi praktik
kebijakan di berbagai tingkat. Meski tantangannya masih besar, kiprah
ekologisme dalam tataran praktis membuktikan bahwa paradigma ekologis dapat
diartikulasikan menjadi struktur pemerintahan dan sistem kebijakan yang konkret
dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Wolfgang Rüdig, “Green Parties in National Governments: From Protest to
Acquiescence?,” Environmental Politics 15, no. 1 (2006): 110–35.
[2]
Neil Carter, The Politics of the Environment: Ideas, Activism,
Policy, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2018), 168–170.
[3]
Miranda A. Schreurs, “Multi‐Level Governance and Climate Change Policy
in Germany and the UK,” Environmental Politics 17, no. 4 (2008):
612–628.
[4]
Ken Webster, The Circular Economy: A Wealth of Flows (Cowes:
Ellen MacArthur Foundation Publishing, 2015), 20–25.
[5]
Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era
(London: Routledge, 2014), 1–7.
[6]
Timothy Beatley, Green Cities of Europe: Global Lessons on Green
Urbanism (Washington, DC: Island Press, 2012), 39–54.
[7]
Peter Newman and Isabella Jennings, Cities as Sustainable
Ecosystems: Principles and Practices (Washington, DC: Island Press, 2008),
122–124.
[8]
United Nations, Paris Agreement, 2015, https://unfccc.int/files/essential_background/convention/application/pdf/english_paris_agreement.pdf.
[9]
Clive L. Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New
Political Economy 15, no. 2 (2010): 169–195.
7.
Ekologisme Politik di Negara Berkembang
Ekologisme politik
di negara-negara berkembang menghadapi konteks, tantangan, dan dinamika yang
sangat berbeda dibandingkan dengan negara-negara maju. Jika di Barat ekologisme
sering muncul dalam bentuk partai hijau dan kebijakan pasca-industri, maka di
negara-negara berkembang, ia berkembang dalam medan sosial-politik yang
kompleks: ketimpangan ekonomi, warisan kolonialisme, pertumbuhan penduduk yang
tinggi, dan tuntutan pembangunan yang mendesak. Di tengah ketegangan antara
pembangunan dan pelestarian lingkungan, ekologisme politik tampil sebagai narasi
tandingan yang menuntut keadilan ekologis, partisipasi komunitas, dan
penghormatan terhadap kearifan lokal.
7.1.
Tantangan Ekologisme di Tengah Pembangunan dan
Industrialisasi
Negara-negara
berkembang sering kali mengalami tekanan ganda: di satu sisi, mereka menghadapi
tuntutan pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan, sementara di sisi
lain, mereka menjadi arena eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi
transnasional. Dalam kerangka ini, kebijakan pro-lingkungan kerap dipandang
sebagai hambatan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama bila tidak disertai
dengan insentif dan dukungan internasional¹.
Misalnya, di Asia
Tenggara dan Afrika, proyek-proyek ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan kelapa
sawit, dan pembangunan infrastruktur besar kerap dilakukan atas nama
pembangunan nasional, namun berdampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat
adat². Dalam banyak kasus, penolakan terhadap proyek-proyek ini memunculkan
gerakan resistensi berbasis ekologisme, yang menggabungkan tuntutan atas hak
tanah, pelestarian alam, dan keadilan sosial³.
7.2.
Relasi antara Ekologisme, Kolonialisme
Lingkungan, dan Keadilan Global
Salah satu kritik
utama yang diajukan oleh ekologisme politik di negara berkembang adalah terkait
kolonialisme
lingkungan (environmental colonialism)—yakni
dominasi negara-negara industri dalam mendikte kebijakan lingkungan global
tanpa mempertimbangkan tanggung jawab historis mereka atas krisis ekologis⁴.
Banyak negara di Selatan Global menganggap bahwa pembatasan emisi, konservasi
hutan, atau larangan pembangunan berbasis karbon justru menjadi bentuk baru
dari dominasi ekonomi dan politik⁵.
Sebagai tanggapan,
muncul wacana keadilan iklim global (climate
justice) yang menuntut agar negara-negara maju membayar "utang
ekologis" kepada negara berkembang melalui pendanaan, transfer
teknologi, dan pengakuan atas hak-hak ekologis komunitas lokal⁶. Pendekatan ini
sejalan dengan prinsip common but differentiated responsibilities
(CBDR) yang menjadi fondasi dalam negosiasi iklim internasional
sejak Konferensi Rio 1992.
7.3.
Gerakan Ekologis Komunitas dan Masyarakat Adat
Ekologisme politik
di negara berkembang sering mengambil bentuk gerakan berbasis komunitas.
Gerakan ini tidak selalu dikemas dalam istilah akademik, tetapi muncul dari pengalaman
konkret komunitas dalam mempertahankan ruang hidupnya dari kerusakan
lingkungan. Contoh penting adalah gerakan Chipko di India
(1970-an), yang dipimpin oleh perempuan desa dalam mempertahankan hutan dari
penebangan komersial dengan memeluk pohon-pohon secara simbolik⁷.
Di Amerika Latin,
gerakan masyarakat adat seperti Zapatista di Meksiko dan
komunitas Andes dengan konsep Buen Vivir (Kehidupan yang Baik)
menunjukkan bentuk ekologisme yang kuat secara spiritual dan komunal⁸. Di
Indonesia, gerakan penolakan tambang dan reklamasi oleh masyarakat adat di
Kalimantan, Papua, dan Sulawesi memperlihatkan bagaimana perjuangan ekologis
terhubung erat dengan isu kedaulatan tanah dan hak hidup tradisional⁹.
Gerakan-gerakan ini
bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap perusakan lingkungan, tetapi juga
mengartikulasikan kosmovisi alternatif, di mana
hubungan manusia dengan alam dilandaskan pada kesalingterhubungan, kesucian,
dan keberlanjutan lintas generasi.
7.4.
Peran LSM, Organisasi Keagamaan, dan Gerakan
Sosial Baru
Dalam konteks negara
berkembang, LSM lokal dan internasional
memainkan peran penting sebagai jembatan antara gerakan akar rumput dan
kebijakan publik. Mereka tidak hanya menyuarakan pelanggaran lingkungan, tetapi
juga memberikan pendidikan, advokasi hukum, dan dukungan teknis bagi komunitas
rentan.
Organisasi keagamaan
juga menunjukkan keterlibatan signifikan dalam ekologisme politik. Misalnya, “Laudato
Si’” oleh Paus Fransiskus menegaskan bahwa perawatan bumi adalah
tanggung jawab moral umat beriman⁽¹⁰⁾. Di dunia Islam, tokoh seperti Fazlun
Khalid dan The Islamic Foundation for Ecology and
Environmental Sciences (IFEES) menyerukan etika lingkungan
berdasarkan prinsip tauhid, amanah, dan mizan (keseimbangan)⁽¹¹⁾.
Sementara itu,
muncul pula gerakan sosial baru yang lebih
cair dan lintas isu, seperti Fridays for Future (yang juga menjangkau negara
berkembang), Extinction Rebellion, dan koalisi petani-muda yang mengusung
pertanian agroekologis sebagai bentuk perlawanan terhadap agribisnis skala
besar.
Kesimpulan Sementara
Ekologisme politik
di negara berkembang adalah arena perjuangan multi-dimensi yang
mempertemukan isu lingkungan, keadilan sosial, kedaulatan lokal, dan resistensi
terhadap neo-kolonialisme. Ia sering kali berwujud dalam gerakan komunitas,
ekspresi spiritual, serta narasi keadilan global yang menuntut struktur baru
dalam hubungan internasional. Dalam konteks ini, ekologisme politik menjadi
kekuatan yang relevan dan tak terpisahkan dari perjuangan demokrasi substantif
dan hak hidup yang berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Joan Martínez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of
Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar Publishing,
2002), 12–15.
[2]
Marcus Colchester, Salvaging Nature: Indigenous Peoples, Protected
Areas and Biodiversity Conservation (Geneva: UNRISD, 2003), 25–29.
[3]
Alfons Palma and Tamara Perelmuter, “Environmental Conflicts and
Resistance Movements in Latin America,” Globalizations 16, no. 7
(2019): 1121–1135.
[4]
Vandana Shiva, Soil Not Oil: Environmental Justice in a Time of
Climate Crisis (London: Zed Books, 2008), 83–88.
[5]
Clive Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New Political
Economy 15, no. 2 (2010): 169–195.
[6]
Timmons Roberts and Bradley Parks, A Climate of Injustice: Global
Inequality, North-South Politics, and Climate Policy (Cambridge: MIT Press,
2007), 113–119.
[7]
Ramachandra Guha, How Much Should a Person Consume?:
Environmentalism in India and the United States (Berkeley: University of
California Press, 2006), 57–61.
[8]
Eduardo Gudynas, “Buen Vivir: Today’s Tomorrow,” Development
54, no. 4 (2011): 441–447.
[9]
JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), “Laporan Advokasi 2022: Konflik
Tambang dan Krisis Sosial-Ekologis,” https://www.jatam.org.
[10]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13–20.
[11]
Fazlun Khalid, Signs on the Earth: Islam, Modernity and the Climate
Crisis (Markfield: Kube Publishing, 2019), 45–52.
8.
Kritik terhadap Ekologisme Politik
Meskipun ekologisme
politik telah menjadi salah satu kerangka pemikiran alternatif yang paling
penting dalam menghadapi krisis lingkungan global, pendekatan ini tidak lepas
dari kritik. Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai arah: dari pihak
konservatif yang menilai ekologisme terlalu mengancam tatanan ekonomi-politik
yang ada, dari kalangan progresif yang mempersoalkan efektivitas strategi
ekologisme, hingga dari dalam tubuh ekologisme sendiri yang mempertanyakan
ketidakkonsistenan antara teori dan praktik.
8.1.
Tuduhan Utopianisme dan Ketidakterjangkauan
Realistis
Salah satu kritik
utama terhadap ekologisme politik adalah bahwa ia terlalu utopis,
dengan harapan akan terbentuk masyarakat ekologis yang kooperatif, adil, dan
berkelanjutan tanpa memberikan peta jalan yang konkret dan realistis⁽¹⁾. Para
pengkritik menilai bahwa gagasan seperti degrowth, demokrasi ekologis, atau
pengakuan hak-hak alam seringkali tidak kompatibel dengan sistem
ekonomi-politik global yang telah terintegrasi dalam jaringan kapitalisme dan
globalisasi.
Lebih jauh, gagasan
untuk mengurangi konsumsi, mendesentralisasi kekuasaan, atau mengubah gaya
hidup masyarakat modern dinilai bertentangan dengan aspirasi banyak negara
berkembang yang masih bergelut dalam kemiskinan dan mengejar pertumbuhan
ekonomi⁽²⁾.
8.2.
Ketegangan antara Ekologisme dan Demokrasi
Liberal
Beberapa kalangan
mempermasalahkan potensi konflik antara ekologisme politik dan prinsip-prinsip
demokrasi liberal. Misalnya, jika ekologisme menghendaki
pembatasan konsumsi atau regulasi lingkungan yang ketat, maka dapat muncul
persoalan tentang pembatasan kebebasan individu
dan konflik dengan preferensi mayoritas dalam sistem demokrasi
representatif⁽³⁾. Hal ini menimbulkan dilema: sejauh mana negara atau komunitas
boleh memaksakan tindakan ekologis demi kepentingan jangka panjang, sekalipun
bertentangan dengan kehendak publik saat ini?
Dalam konteks ini, Andrew
Dobson menyatakan bahwa ekologisme membutuhkan konsep demokrasi
yang lebih deliberatif dan partisipatoris, yang berbeda dari demokrasi liberal
berbasis preferensi individu⁽⁴⁾.
8.3.
Kecenderungan Elitis dan Eropa-Sentris
Ekologisme politik
juga dikritik karena cenderung berbasis pada nilai-nilai kelas menengah urban,
terutama di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Gerakan hijau sering
dianggap tidak cukup mewakili kepentingan kelas pekerja, komunitas miskin, atau
masyarakat adat yang memiliki cara pandang ekologis yang berbeda⁽⁵⁾. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa ekologisme politik adalah proyek kaum elite yang
memiliki akses terhadap pendidikan, teknologi, dan gaya hidup berkelanjutan.
Lebih lanjut, proyek
ekologisme global juga dinilai bersifat Eropa-sentris, karena
mengekspor standar kebijakan dan nilai-nilai yang tidak selalu relevan atau
kontekstual bagi masyarakat di belahan dunia lain⁽⁶⁾.
8.4.
Inkonsistensi antara Retorika dan Praktik
Di banyak negara,
terutama di Eropa, partai-partai hijau telah masuk ke dalam struktur kekuasaan.
Namun, hal ini memunculkan kritik mengenai inkonsistensi antara retorika ekologis dan
praktik pemerintahan. Ketika partai hijau memegang kekuasaan,
mereka kerap harus berkompromi dalam koalisi politik, mendukung kebijakan
transisi yang lambat, atau bahkan mengesahkan proyek yang bertentangan dengan
prinsip ekologis demi stabilitas politik⁽⁷⁾.
Contohnya, Partai
Hijau Jerman (Die Grünen) mendapat sorotan karena mendukung kebijakan
pengiriman senjata dan perluasan infrastruktur energi yang tetap bergantung
pada bahan bakar fosil, meskipun dalam kerangka transisi energi⁽⁸⁾. Hal ini
menunjukkan bahwa realitas politik sering memaksa ekologisme tunduk pada
pragmatisme kekuasaan.
8.5.
Fragmentasi Internal dan Kekaburan Konseptual
Terakhir, kritik
juga diarahkan pada fragmentasi internal ekologisme politik,
yang terdiri dari berbagai pendekatan seperti deep ecology, ekofeminisme,
ekososialisme, anarko-ekologisme, dan lain-lain. Beragamnya perspektif ini,
meskipun memperkaya secara intelektual, juga menyebabkan kekaburan
konseptual dan kesulitan dalam menyusun agenda bersama⁽⁹⁾.
Perbedaan strategi antara reformis dan radikal, atau antara aktivisme akar
rumput dan institusional, sering menimbulkan ketegangan dalam gerakan itu
sendiri.
Kesimpulan Sementara
Kritik-kritik
terhadap ekologisme politik penting untuk dipahami sebagai bagian dari dinamika
pemikiran kritis dalam membangun paradigma alternatif. Kritik tersebut bukan
alasan untuk menolak ekologisme, melainkan sebagai peluang untuk memperkuatnya
melalui refleksi diri, strategi yang lebih kontekstual, dan keterbukaan
terhadap dialog lintas ideologi dan budaya. Ekologisme politik, agar tetap
relevan, harus mampu menjawab tantangan realisme politik, pluralitas sosial,
dan dinamika kekuasaan yang terus berubah.
Footnotes
[1]
John Barry, Environment and Social Theory, 2nd ed. (London:
Routledge, 2007), 152–155.
[2]
Bjørn Lomborg, The Skeptical Environmentalist: Measuring the Real
State of the World (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 54–58.
[3]
William Ophuls, Ecology and the Politics of Scarcity Revisited: The
Unraveling of the American Dream (New York: W.H. Freeman, 1992), 115–117.
[4]
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 144–147.
[5]
David Schlosberg and Lisette B. Collins, “From Environmental to Climate
Justice: Climate Change and the Discourse of Environmental Justice,” Wiley
Interdisciplinary Reviews: Climate Change 5, no. 3 (2014): 359–374.
[6]
Dipesh Chakrabarty, “The Climate of History: Four Theses,” Critical
Inquiry 35, no. 2 (2009): 197–222.
[7]
Wolfgang Rüdig, “Green Parties and the Politics of the Environment in
Europe,” in The Europeanization of National Politics?, ed. Robert
Ladrech (London: Palgrave, 2010), 81–83.
[8]
Melanie Arndt, “Climate Policy and Geopolitics: The Green Party and the
Contradictions of Power,” German Politics and Society 39, no. 3
(2021): 29–33.
[9]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an
Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992),
205–210.
9.
Relevansi Ekologisme Politik dalam Konteks
Global Kontemporer
Di tengah
intensifikasi krisis iklim, kelangkaan sumber daya, dan ketimpangan ekologis
global, ekologisme politik semakin menunjukkan
relevansinya sebagai paradigma alternatif dalam merumuskan arah
pembangunan dan tata kelola dunia. Perubahan lingkungan bukan lagi sekadar isu
sektoral, melainkan telah menjadi fondasi dari berbagai konflik, instabilitas
sosial, dan transformasi geopolitik. Dalam lanskap kontemporer yang ditandai
oleh ketidakpastian ekologis, ekologisme politik tampil sebagai kerangka
konseptual dan praksis yang tidak hanya menawarkan analisis kritis, tetapi juga
solusi normatif dan strategis.
9.1.
Krisis Iklim sebagai Tantangan Peradaban
Laporan terbaru dari
Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) mengonfirmasi bahwa dunia berada di
ambang batas suhu kritis. Tanpa perubahan sistemik, peningkatan suhu global
diperkirakan melampaui 1,5°C dalam dekade ini, yang akan memicu dampak
irreversible terhadap ekosistem dan sistem manusia⁽¹⁾. Dalam konteks ini,
pendekatan teknokratis dan pasar tidak cukup memadai; diperlukan pendekatan
politik yang berakar pada etika ekologis, keadilan sosial, dan transformasi
struktural, sebagaimana dikedepankan dalam ekologisme
politik⁽²⁾.
Ekologisme tidak
hanya menyerukan mitigasi, tetapi juga adaptasi berbasis komunitas dan keadilan
iklim yang menempatkan masyarakat rentan sebagai aktor utama dalam membangun
ketahanan ekologis.
9.2.
Transisi Energi dan Perubahan Tata Ekonomi
Dunia
Percepatan transisi
menuju energi terbarukan merupakan salah satu agenda utama yang mencerminkan
pengaruh nilai-nilai ekologisme dalam kebijakan global. Negara-negara seperti
Jerman, Denmark, dan India telah menetapkan target ambisius untuk menghapus
bahan bakar fosil dan mengembangkan ekonomi hijau⁽³⁾. Namun,
ekologisme politik tidak hanya berhenti pada pergantian teknologi, tetapi
menuntut perubahan dalam struktur produksi dan konsumsi, termasuk kritik
terhadap mitos pertumbuhan ekonomi tak terbatas
yang menjadi fondasi neoliberalisme⁽⁴⁾.
Dalam konteks ini,
gagasan seperti degrowth, just
transition, dan ekonomi sirkular memperoleh
momentum sebagai bagian dari gerakan global untuk menata ulang hubungan manusia
dengan alam dan antar-manusia⁽⁵⁾.
9.3.
Respon terhadap Krisis Sosial-Ekologis
Multidimensi
Krisis ekologis
kontemporer memiliki dimensi multidimensi: perubahan iklim, kehilangan
biodiversitas, kerawanan pangan, konflik air, hingga migrasi iklim. Ekologisme
politik, dengan pendekatan lintas disiplin dan multisektor, mampu menawarkan
analisis yang komprehensif atas keterkaitan antara isu-isu tersebut.
Misalnya, feminisme
ekologis (ecofeminism) menjelaskan bagaimana perempuan di
komunitas agraris paling terdampak oleh krisis iklim, dan pada saat yang sama
memainkan peran penting dalam menjaga kedaulatan pangan dan keberlanjutan
lokal⁽⁶⁾. Demikian pula, ekologisme dekolonial
menunjukkan bagaimana komunitas adat dan masyarakat Selatan Global perlu
dilibatkan dalam pengambilan kebijakan global sebagai subjek, bukan objek,
pembangunan⁽⁷⁾.
9.4.
Globalisasi Nilai-Nilai Ekologis dalam
Pendidikan dan Kesadaran Publik
Ekologisme politik
juga telah menyentuh ranah pendidikan, etika publik, dan kesadaran
kolektif. Kurikulum pendidikan lingkungan, gerakan iklim yang
melibatkan generasi muda seperti Fridays for Future, dan
meningkatnya popularitas gaya hidup berkelanjutan di masyarakat urban,
menunjukkan bahwa nilai-nilai ekologis kini telah menjadi bagian dari kesadaran
global⁽⁸⁾.
Meski belum selalu
terlembagakan dalam kebijakan, perubahan paradigma budaya ini
penting sebagai basis jangka panjang bagi transformasi institusional. Dalam hal
ini, ekologisme politik berkontribusi membentuk imaginary baru tentang dunia yang
adil secara ekologis dan sosial.
9.5.
Peluang dan Tantangan Menuju Tata Dunia
Berkeadilan Ekologis
Ekologisme politik
memberi kontribusi krusial dalam perdebatan tentang masa
depan tata dunia: apakah dunia akan tetap mengikuti logika
eksploitasi sumber daya yang merusak, atau membangun peradaban baru berbasis
harmoni, keadilan, dan keberlanjutan. Agenda ini semakin mendesak ketika krisis
ekologis mulai berdampak pada stabilitas politik global, meningkatkan konflik
sumber daya, dan memperdalam ketimpangan Utara-Selatan.
Namun, peluang
tersebut dibarengi tantangan besar: resistensi dari aktor ekonomi-politik
dominan, polarisasi ideologis, dan lemahnya kapasitas negara-negara berkembang
untuk membiayai transisi hijau. Oleh karena itu, relevansi ekologisme politik
harus dibarengi dengan komitmen kolektif, penguatan
gerakan sosial, dan reformasi institusi global agar lebih inklusif dan
demokratis⁽⁹⁾.
Kesimpulan Sementara
Dalam dunia yang
dihadapkan pada krisis eksistensial ekologis, ekologisme politik bukan lagi
sekadar alternatif ideologis, melainkan suatu kebutuhan historis. Ia hadir
sebagai paradigma yang menyatukan visi etis, struktur politik, dan strategi
kebijakan untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Relevansinya di abad
ke-21 terletak pada kemampuannya menavigasi kompleksitas zaman, menumbuhkan
solidaritas ekologis lintas batas, dan membentuk tatanan dunia yang lebih adil
bagi seluruh makhluk hidup.
Footnotes
[1]
IPCC, Climate Change 2023: Synthesis Report (Geneva: IPCC,
2023), 6–9.
[2]
Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and
Sovereignty (Cambridge: MIT Press, 2004), 18–22.
[3]
Miranda Schreurs and Yves Tiberghien, “Multilevel Reinforcement:
Explaining European Union Leadership in Climate Change Mitigation,” Global
Environmental Politics 7, no. 4 (2007): 19–46.
[4]
Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press,
2009), 10–14.
[5]
Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era
(London: Routledge, 2014), 1–7.
[6]
Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the
Postmodern (London: Zed Books, 1997), 115–120.
[7]
Marisol de la Cadena and Mario Blaser, eds., A World of Many Worlds
(Durham: Duke University Press, 2018), 1–5.
[8]
Eva Lövbrand et al., “The Political in Environmental Research:
Epistemologies, Strategies, Outcomes,” Environmental Politics 24, no.
5 (2015): 741–750.
[9]
Timmons Roberts and Bradley Parks, A Climate of Injustice: Global
Inequality, North-South Politics, and Climate Policy (Cambridge: MIT
Press, 2007), 189–195.
10.
Penutup
Krisis ekologis
global telah mendorong lahirnya berbagai bentuk tanggapan politik, namun hanya
sedikit yang mampu menawarkan pendekatan sekomprehensif dan sekritis ekologisme
politik. Sebagai suatu paradigma, ekologisme politik tidak
sekadar menyerukan pelestarian lingkungan dalam pengertian teknis atau
administratif, melainkan mengusulkan transformasi menyeluruh terhadap cara
manusia hidup, memerintah, dan berelasi dengan alam. Ia menantang fondasi
ideologis modernitas—seperti antroposentrisme, kapitalisme, dan pertumbuhan
ekonomi tanpa batas—serta menawarkan prinsip-prinsip etis seperti keadilan
ekologis, interdependensi makhluk hidup, dan demokrasi partisipatoris⁽¹⁾.
Sepanjang pembahasan
artikel ini, terlihat bahwa ekologisme politik bersifat dinamis dan plural:
mencakup berbagai bentuk dan pendekatan, dari ekologisme radikal hingga
reformis, dari gerakan komunitas lokal hingga advokasi kebijakan global. Ia
mampu beroperasi di berbagai level—lokal, nasional, dan internasional—dan dalam
berbagai sektor—energi, pertanian, tata ruang, hingga pendidikan dan
spiritualitas. Ekologisme politik juga memberi tempat bagi suara-suara yang
selama ini terpinggirkan dalam narasi pembangunan arus utama, seperti
masyarakat adat, perempuan, generasi muda, dan komunitas Global South⁽²⁾.
Namun demikian,
tidak dapat disangkal bahwa ekologisme politik juga menghadapi tantangan
besar. Dari tuduhan utopis, ketegangan dengan sistem demokrasi
liberal, hingga inkonsistensi kebijakan dalam praktik kekuasaan, ekologisme
politik belum sepenuhnya berhasil menjadi kekuatan hegemonik di arena politik
global⁽³⁾. Selain itu, fragmentasi internal dan kekaburan konseptual menuntut
penguatan kerangka teoritik yang lebih kohesif dan strategi gerakan yang lebih
terkoordinasi⁽⁴⁾.
Meskipun demikian,
relevansi ekologisme politik dalam dunia kontemporer terus meningkat. Di tengah
ancaman perubahan iklim, degradasi ekosistem, dan krisis sosial-ekologis yang
bersifat sistemik, ekologisme politik menyajikan visi baru tentang tata dunia
yang tidak
hanya adil terhadap manusia, tetapi juga terhadap seluruh makhluk hidup dan
generasi masa depan. Ia mengajak umat manusia untuk
meninggalkan paradigma dominasi dan eksploitatif, menuju model kehidupan yang
bersandar pada keberlanjutan, solidaritas ekologis, dan etika tanggung jawab
planeter⁽⁵⁾.
Dengan demikian,
ekologisme politik bukan sekadar proyek politik, melainkan juga proyek
peradaban. Dalam menghadapi abad ke-21 yang penuh tantangan
ekologis eksistensial, tidak cukup lagi mempertahankan politik lama dengan wajah
hijau. Yang dibutuhkan adalah reimajinasi radikal terhadap politik itu
sendiri, agar selaras dengan realitas planet yang rentan dan
terbatas. Ekologisme politik menyediakan fondasi awal untuk perjalanan panjang
tersebut.
Footnotes
[1]
Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an
Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992),
25–28.
[2]
Joan Martínez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of
Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar Publishing,
2002), 19–22.
[3]
Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London:
Routledge, 2007), 155–158.
[4]
Brian Doherty and Matthew Paterson, eds., Environmental Politics: A
Reader (London: Routledge, 2000), 213–216.
[5]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 445–450.
Daftar Pustaka
Barry, J. (1999). Rethinking
green politics: Nature, virtue and progress. Sage Publications.
Barry, J. (2007). Environment
and social theory (2nd ed.). Routledge.
Burdon, P. (2014). Earth
jurisprudence: Private property and the environment. Routledge.
Carson, R. (1962). Silent
spring. Houghton Mifflin.
Carter, N. (2018). The
politics of the environment: Ideas, activism, policy (3rd ed.). Cambridge
University Press.
Chakrabarty, D. (2009). The
climate of history: Four theses. Critical Inquiry, 35(2), 197–222.
Colchester, M. (2003). Salvaging
nature: Indigenous peoples, protected areas and biodiversity conservation.
UNRISD.
De la Cadena, M., &
Blaser, M. (Eds.). (2018). A world of many worlds. Duke University
Press.
Dobson, A. (2007). Green
political thought (4th ed.). Routledge.
Doherty, B., & De Geus,
M. (Eds.). (1996). Democracy and green political thought: Sustainability,
rights and citizenship. Routledge.
Doherty, B., &
Paterson, M. (Eds.). (2000). Environmental politics: A reader.
Routledge.
Eckersley, R. (1992). Environmentalism
and political theory: Toward an ecocentric approach. State University of
New York Press.
Eckersley, R. (2004). The
green state: Rethinking democracy and sovereignty. MIT Press.
Gudynas, E. (2011). Buen
Vivir: Today’s tomorrow. Development, 54(4), 441–447.
Guha, R. (2006). How
much should a person consume? Environmentalism in India and the United States.
University of California Press.
IPCC. (2023). Climate
change 2023: Synthesis report. Intergovernmental Panel on Climate Change. https://www.ipcc.ch/report/ar6/syr/
Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM). (2022). Laporan advokasi 2022: Konflik tambang dan krisis
sosial-ekologis. https://www.jatam.org
Kallis, G., Kerschner, C.,
& Martinez-Alier, J. (2014). Degrowth: A vocabulary for a new era.
Routledge.
Khalid, F. (2002). Islam
and the environment. Ta-Ha Publishers.
Khalid, F. (2019). Signs
on the earth: Islam, modernity and the climate crisis. Kube Publishing.
Klein, N. (2014). This
changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.
Kovel, J., & Löwy, M.
(2001). An ecosocialist manifesto. Capitalism Nature Socialism, 12(1),
11–20.
Latouche, S. (2009). Farewell
to growth. Polity Press.
Lomborg, B. (2001). The
skeptical environmentalist: Measuring the real state of the world.
Cambridge University Press.
Lövbrand, E., Beck, S.,
Chilvers, J., Forsyth, T., Hedrén, J., Hulme, M., ... & Vasileiadou, E.
(2015). The political in environmental research: Epistemologies, strategies,
outcomes. Environmental Politics, 24(5), 741–750.
Martínez-Alier, J. (2002). The
environmentalism of the poor: A study of ecological conflicts and valuation.
Edward Elgar Publishing.
Naess, A. (1973). The
shallow and the deep, long-range ecology movement: A summary. Inquiry, 16(1–4),
95–100.
Naess, A. (1989). Ecology,
community and lifestyle: Outline of an ecosophy. Cambridge University
Press.
Newman, P., & Jennings,
I. (2008). Cities as sustainable ecosystems: Principles and practices.
Island Press.
Ophuls, W. (1992). Ecology
and the politics of scarcity revisited: The unraveling of the American dream.
W.H. Freeman.
Pope Francis. (2015). Laudato
Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Roberts, J. T., &
Parks, B. C. (2007). A climate of injustice: Global inequality, North–South
politics, and climate policy. MIT Press.
Rüdig, W. (2006). Green
parties in national governments: From protest to acquiescence? Environmental
Politics, 15(1), 110–135.
Salleh, A. (1997). Ecofeminism
as politics: Nature, Marx and the postmodern. Zed Books.
Schlosberg, D. (2007). Defining
environmental justice: Theories, movements, and nature. Oxford University
Press.
Schlosberg, D., &
Collins, L. B. (2014). From environmental to climate justice: Climate change
and the discourse of environmental justice. Wiley Interdisciplinary
Reviews: Climate Change, 5(3), 359–374.
Schreurs, M. A., &
Tiberghien, Y. (2007). Multilevel reinforcement: Explaining European Union
leadership in climate change mitigation. Global Environmental Politics, 7(4),
19–46.
Schreurs, M. A. (2008).
Multi‐level governance and climate change policy in Germany and the UK. Environmental
Politics, 17(4), 612–628.
Shiva, V. (1988). Staying
alive: Women, ecology and development. Zed Books.
Shiva, V. (2008). Soil
not oil: Environmental justice in a time of climate crisis. Zed Books.
Spash, C. L. (2010). The
brave new world of carbon trading. New Political Economy, 15(2),
169–195.
Tucker, M. E., & Grim,
J. (Eds.). (2001). Religion and ecology: Can the climate change?
Center for the Study of World Religions.
Webster, K. (2015). The
circular economy: A wealth of flows. Ellen MacArthur Foundation
Publishing.
Zerzan, J. (2005). Against
civilization: Readings and reflections. Feral House.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar