Rabu, 11 Juni 2025

Ekologisme Politik: Paradigma Alternatif dalam Respons terhadap Krisis Lingkungan Global

Ekologisme Politik

Paradigma Alternatif dalam Respons terhadap Krisis Lingkungan Global


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas ekologisme politik sebagai paradigma alternatif dalam merespons krisis lingkungan global yang semakin mendesak. Berangkat dari kegagalan pendekatan teknokratis dan kapitalistik dalam mengatasi degradasi ekologi, ekologisme politik ditawarkan sebagai kerangka normatif dan praksis yang menekankan pentingnya keadilan ekologis, demokrasi partisipatoris, dan hubungan interdependen antara manusia dan alam. Artikel ini menguraikan secara sistematis definisi dan ruang lingkup ekologisme politik, akar historis dan filosofisnya, prinsip-prinsip dasar, serta variasi pendekatan yang ada di dalamnya—mulai dari yang radikal hingga reformis. Lebih lanjut, pembahasan mencakup bagaimana ekologisme politik diimplementasikan dalam kebijakan dan institusi, terutama melalui partai hijau, agenda transisi energi, dan tata kelola kota berkelanjutan. Perhatian khusus juga diberikan pada dinamika ekologisme politik di negara berkembang, yang memperlihatkan perjuangan komunitas lokal dan masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup dari eksploitasi ekologis. Artikel ini juga mengulas kritik-kritik terhadap ekologisme politik, sekaligus menegaskan relevansi paradigmatik ekologisme dalam konteks krisis iklim, ketimpangan global, dan kebutuhan akan transformasi politik peradaban. Dengan pendekatan reflektif dan berbasis sumber ilmiah terkini, artikel ini menyimpulkan bahwa ekologisme politik merupakan jawaban komprehensif terhadap tantangan ekologis abad ke-21, serta menawarkan dasar filosofis dan strategis untuk membangun dunia yang berkelanjutan dan berkeadilan ekologis.

Kata Kunci: Ekologisme Politik, Keadilan Ekologis, Krisis Lingkungan Global, Demokrasi Partisipatoris, Energi Terbarukan, Degrowth, Gerakan Hijau, Masyarakat Adat, Keadilan Iklim, Ekosentrisme.


PEMBAHASAN

Ekologisme Politik dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Dewasa ini, krisis lingkungan telah menjadi salah satu tantangan paling mendesak dalam diskursus global. Fenomena seperti perubahan iklim, kepunahan biodiversitas, degradasi tanah, polusi air dan udara, serta deforestasi masif bukan hanya sekadar persoalan teknis ekologis, melainkan juga mencerminkan krisis sistemik dalam cara manusia berinteraksi dengan alam. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2023 secara tegas menyatakan bahwa aktivitas manusia adalah penyebab utama meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim secara global. Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan suhu bumi rata-rata telah melebihi 1,1°C dibandingkan era pra-industri, dan diperkirakan akan terus meningkat tanpa transformasi sistemik yang mendalam dalam kebijakan dan perilaku manusia¹.

Dalam konteks tersebut, munculnya ekologisme politik sebagai sebuah paradigma alternatif merupakan respons atas ketidakcukupan pendekatan-pendekatan konvensional yang cenderung bersifat teknokratis, antroposentris, dan ekonomistik dalam menangani krisis ekologis. Berbeda dari sekadar aktivisme lingkungan yang bersifat reaktif, ekologisme politik mengusung pendekatan normatif yang menyentuh akar ideologis, struktural, dan filosofis dari relasi manusia-alam, serta menawarkan kerangka kebijakan yang lebih holistik, demokratis, dan berkelanjutan².

Secara historis, ekologisme politik tidak lahir dalam ruang hampa. Ia muncul dari sintesis antara gerakan lingkungan hidup tahun 1960-an dan 1970-an, kritik terhadap modernitas dan kapitalisme industri, serta pemikiran filsafat alam dan keadilan sosial. Gerakan ini menolak pandangan dominan dalam ilmu politik modern yang memisahkan urusan manusia dan alam, dan sebaliknya menyerukan pembaruan paradigma menuju koeksistensi ekologis³. Dalam kerangka ini, ekologisme tidak hanya berbicara tentang pelestarian lingkungan, tetapi juga tentang rekonstruksi sosial-politik yang adil, inklusif, dan ekologis.

Perhatian terhadap politik hijau (green politics) dan transisi menuju ekodemokrasi kini menjadi semakin relevan, seiring meningkatnya kesadaran global akan keterbatasan model pembangunan linear dan eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan. Bahkan, dalam beberapa negara, partai-partai hijau telah menjadi kekuatan politik yang signifikan, dengan agenda transformasi energi, keadilan ekologis, dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan⁴. Oleh karena itu, kajian tentang ekologisme politik bukan hanya penting sebagai teori alternatif, tetapi juga sebagai upaya untuk merumuskan masa depan peradaban yang selaras dengan daya dukung planet.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji ekologisme politik sebagai paradigma alternatif dalam menghadapi krisis lingkungan global. Melalui pendekatan historis, filosofis, dan praktis, pembahasan ini akan menelaah prinsip-prinsip dasar ekologisme, bentuk-bentuk variasinya, hingga penerapannya dalam politik kontemporer. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat memperkaya wacana politik kontemporer dalam upaya membangun tatanan dunia yang berkeadilan ekologis.


Footnotes

[1]                Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2023: Synthesis Report (Geneva: IPCC, 2023), 12–15.

[2]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992), 3–5.

[3]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 17–20.

[4]                Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship (London: Routledge, 1996), 1–3.


2.           Pengertian dan Ruang Lingkup Ekologisme Politik

Ekologisme politik (political ecology atau political environmentalism) merupakan suatu aliran pemikiran dan gerakan sosial-politik yang menjadikan kelestarian ekologis sebagai prinsip dasar dalam pengaturan kehidupan bersama, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global. Tidak seperti pendekatan lingkungan yang hanya bersifat teknis atau manajerial, ekologisme politik memandang bahwa krisis ekologi merupakan produk dari struktur politik, ekonomi, dan nilai-nilai budaya yang dominan dalam masyarakat modern¹.

Andrew Dobson secara eksplisit membedakan antara lingkunganisme (environmentalism) dan ekologisme (ecologism). Lingkunganisme berfokus pada pengelolaan lingkungan hidup dalam kerangka sistem ekonomi dan politik yang sudah ada, sedangkan ekologisme menuntut perubahan sistemik dalam cara hidup manusia, termasuk struktur produksi, konsumsi, dan kekuasaan, agar sesuai dengan batas-batas ekologis². Oleh karena itu, ekologisme politik bukan hanya sebuah sikap terhadap lingkungan, tetapi juga suatu paradigma alternatif terhadap tatanan sosial-politik yang dominan.

Ruang lingkup ekologisme politik mencakup berbagai dimensi yang saling terkait:

2.1.       Dimensi Filsafat dan Etika

Ekologisme politik dibangun di atas etika ekologis yang menolak antroposentrisme (pusat manusia) dan mendukung ekosentrisme, yaitu pandangan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik. Prinsip ini mengafirmasi hak-hak entitas non-manusia seperti hewan, tumbuhan, dan ekosistem untuk eksis dan berkembang, tanpa hanya dinilai dari manfaatnya bagi manusia³.

2.2.       Dimensi Politik dan Kelembagaan

Secara politis, ekologisme memperjuangkan munculnya bentuk-bentuk demokrasi yang lebih partisipatoris, desentralistik, dan akomodatif terhadap keberagaman lokal. Ia menuntut agar pengambilan kebijakan melibatkan komunitas secara langsung, menghargai kearifan lokal, serta berpijak pada prinsip keadilan ekologis dan intergenerasional⁴. Ekologisme menolak model politik elitis dan hierarkis yang kerap melanggengkan eksploitasi lingkungan.

2.3.       Dimensi Ekonomi

Dalam bidang ekonomi, ekologisme menentang logika pertumbuhan tak terbatas yang menjadi fondasi kapitalisme modern. Sebagai gantinya, ia menawarkan konsep seperti ekonomi hijau, ekonomi sirkular, atau bahkan degrowth, yaitu pendekatan yang memprioritaskan keberlanjutan dan kesejahteraan ekologis di atas ekspansi ekonomi yang destruktif⁵.

2.4.       Dimensi Sosial dan Budaya

Ekologisme juga mencerminkan keprihatinan terhadap dampak sosial dari kerusakan lingkungan, terutama terhadap kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, perempuan, dan kelas pekerja. Karena itu, ekologisme sering bersinggungan dengan isu-isu keadilan sosial, feminisme, dan hak-hak komunitas lokal⁶.

Melalui pendekatan multidimensi tersebut, ekologisme politik tidak hanya bertujuan menyelamatkan lingkungan, tetapi juga membangun ulang struktur kehidupan manusia berdasarkan prinsip kesalingterhubungan, batas ekologis, dan keadilan. Ia hadir sebagai alternatif radikal terhadap narasi dominan yang memisahkan manusia dari alam, dan menjadi penanda penting dalam evolusi pemikiran sosial-politik kontemporer.


Footnotes

[1]                John Barry, Environment and Social Theory, 2nd ed. (London: Routledge, 2007), 22–25.

[2]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 2–3.

[3]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992), 47–51.

[4]                Brian Doherty and Marius de Geus, eds., Democracy and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship (London: Routledge, 1996), 10–12.

[5]                Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press, 2009), 4–6.

[6]                Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 89–93.


3.           Akar Historis dan Filosofis Ekologisme Politik

Ekologisme politik bukanlah konstruksi teoretis yang muncul tiba-tiba, melainkan hasil akumulasi historis dari berbagai dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang berakar sejak pertengahan abad ke-20. Dalam konteks ini, pemahaman atas dimensi historis dan filosofis ekologisme politik menjadi penting untuk melihatnya tidak semata sebagai gerakan kontemporer, tetapi sebagai suatu transformasi paradigma yang berakar dalam kritik mendalam terhadap modernitas dan rasionalitas instrumental.

3.1.       Gerakan Lingkungan Modern (1960–1970-an)

Gelombang awal yang membentuk ekologisme politik muncul dari kebangkitan gerakan lingkungan modern pada dekade 1960–1970-an, terutama di negara-negara Barat. Pemicunya antara lain adalah meningkatnya kesadaran publik terhadap dampak destruktif industrialisasi dan modernisasi terhadap ekosistem. Buku Rachel Carson, Silent Spring (1962), secara luas dianggap sebagai titik tolak penting karena membuka mata dunia terhadap bahaya pestisida sintetis terhadap kehidupan liar dan kesehatan manusia¹. Karya ini tidak hanya memicu lahirnya gerakan ekologi radikal, tetapi juga memperkuat gagasan bahwa krisis lingkungan bukan sekadar akibat teknis, melainkan buah dari sistem sosial dan ekonomi yang eksploitatif.

Pada dekade berikutnya, berbagai gerakan anti-nuklir, pro-pelestarian alam, dan komunitas hijau tumbuh pesat. Di Eropa, gerakan-gerakan ini mulai bermetamorfosis menjadi partai politik hijau, seperti Die Grünen di Jerman, yang membawa isu lingkungan ke ranah institusi formal². Dari sinilah ekologisme mulai mendapatkan dimensi politiknya secara eksplisit.

3.2.       Kritik terhadap Modernitas dan Rasionalitas Barat

Secara filosofis, ekologisme politik lahir sebagai kritik terhadap paradigma modernitas Barat, yang mendasarkan pembangunan dan kemajuan pada eksploitasi sumber daya alam dan penguasaan atas alam melalui teknologi. Para pemikir ekologis seperti Murray Bookchin mengkritik struktur hierarkis dan kapitalistik sebagai akar dari dominasi manusia atas alam, dan menyerukan bentuk baru masyarakat ekologis berbasis komunitas, desentralisasi, dan ekologi sosial³.

Sementara itu, Arne Naess, filsuf Norwegia, mengembangkan gagasan deep ecology (ekologi dalam) sebagai respons terhadap pendekatan dangkal (shallow ecology) yang hanya berfokus pada pengelolaan sumber daya. Menurut Naess, perlindungan lingkungan harus dimulai dari perubahan radikal dalam cara manusia memandang dirinya dalam kosmos—yakni sebagai bagian integral dari alam, bukan penguasa atasnya⁴.

Ekologisme juga diperkaya oleh kontribusi ekofeminisme, yang mengaitkan penindasan terhadap alam dengan penindasan terhadap perempuan. Tokoh seperti Vandana Shiva menunjukkan bagaimana sistem kapitalis dan patriarkal secara simultan mengeksploitasi tubuh perempuan dan alam, dan menyerukan pembebasan ganda melalui solidaritas ekologis dan sosial⁵.

3.3.       Pengaruh Filsafat Timur dan Tradisi Pribumi

Selain bersumber dari tradisi Barat, ekologisme politik juga mendapat inspirasi dari filsafat Timur dan kosmologi komunitas pribumi. Pandangan dunia dalam ajaran Taoisme, Buddhisme, dan Islam—yang menekankan harmoni antara manusia dan alam—telah menjadi referensi etis dan spiritual bagi banyak aktivis dan pemikir ekologis kontemporer⁶. Konsep tawhid dalam Islam, misalnya, dipahami dalam dimensi ekologis sebagai keterhubungan antara Tuhan, manusia, dan alam, yang melahirkan tanggung jawab moral atas pelestarian ciptaan⁷.

Begitu pula dalam tradisi masyarakat adat di Amerika Latin, konsep Buen Vivir (hidup selaras) mengusung visi alternatif terhadap pembangunan linear, dan kini banyak diadopsi sebagai dasar kebijakan ekologis negara seperti Bolivia dan Ekuador⁸.


Dengan demikian, akar historis dan filosofis ekologisme politik sangatlah kompleks dan plural. Ia lahir dari persilangan antara gerakan sosial progresif, refleksi filosofis atas modernitas, serta warisan nilai-nilai ekologis dari berbagai kebudayaan. Semua ini menjadikan ekologisme politik bukan hanya sebagai reaksi ekologis, melainkan sebagai tawaran paradigma alternatif yang menyeluruh terhadap tata kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Rachel Carson, Silent Spring (Boston: Houghton Mifflin, 1962).

[2]                Wolfgang Rüdig, “Green Parties in National Governments: From Protest to Acquiescence?,” Environmental Politics 15, no. 1 (2006): 110–35.

[3]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Oakland: AK Press, 2005), 17–25.

[4]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long‐Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[5]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development (London: Zed Books, 1988), 38–42.

[6]                Mary Evelyn Tucker and John Grim, eds., Religion and Ecology: Can the Climate Change? (Cambridge: Center for the Study of World Religions, 2001), 11–15.

[7]                Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 2002), 21–28.

[8]                Eduardo Gudynas, “Buen Vivir: Today’s Tomorrow,” Development 54, no. 4 (2011): 441–47.


4.           Prinsip-Prinsip Dasar Ekologisme Politik

Ekologisme politik, sebagai suatu paradigma politik dan etika baru, bertumpu pada sejumlah prinsip dasar yang membedakannya dari aliran politik arus utama seperti liberalisme, sosialisme, dan konservatisme. Prinsip-prinsip ini merepresentasikan reaksi teoretis dan normatif terhadap krisis ekologis global, dengan titik tolak pada keberlanjutan ekologis, kesetaraan antar-spesies, serta keadilan sosial dan generasional. Secara umum, prinsip-prinsip utama ekologisme politik meliputi:

4.1.       Keadilan Ekologis dan Keberlanjutan

Salah satu prinsip paling fundamental dari ekologisme politik adalah keadilan ekologis (ecological justice), yakni keyakinan bahwa krisis lingkungan tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial. Konsep ini menyoroti bagaimana komunitas miskin dan termarjinalkan sering kali menanggung beban terbesar dari kerusakan lingkungan, padahal mereka berkontribusi paling sedikit terhadap penyebabnya¹.

Keadilan ekologis terkait erat dengan keberlanjutan, yaitu kemampuan sistem sosial dan ekologis untuk bertahan dalam jangka panjang tanpa merusak daya dukung planet. Prinsip ini mengharuskan adanya pergeseran dari model pembangunan berbasis eksploitasi menjadi pola hidup dan kebijakan yang mempertimbangkan keseimbangan jangka panjang antara manusia dan alam².

4.2.       Interdependensi antara Manusia dan Alam

Ekologisme politik menolak dikotomi klasik antara manusia dan alam yang telah lama melekat dalam tradisi filsafat Barat. Sebaliknya, ekologisme menekankan prinsip interdependensi—bahwa manusia bukan entitas terpisah dari alam, melainkan bagian integral dari jaringan kehidupan yang saling terkait³. Pandangan ini menggeser kerangka hubungan manusia-alam dari dominasi menuju koeksistensi.

Dengan demikian, segala keputusan politik harus memperhitungkan dampaknya terhadap keberlangsungan ekologis, karena kerusakan pada satu komponen alam akan berdampak pada keseluruhan sistem kehidupan, termasuk manusia⁴.

4.3.       Demokrasi Ekologis dan Partisipasi Komunitas

Ekologisme politik berpandangan bahwa perlindungan lingkungan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada otoritas pusat atau teknokrat, melainkan harus didasarkan pada demokrasi ekologis—yakni model partisipasi politik yang memungkinkan komunitas lokal memiliki suara dalam pengambilan keputusan lingkungan yang memengaruhi kehidupan mereka⁵.

Demokrasi ekologis juga mencakup ide bahwa semua makhluk hidup dan entitas alam memiliki "kepentingan" yang layak untuk dipertimbangkan dalam sistem pengambilan kebijakan, suatu konsep yang dikenal sebagai representasi ekologis atau bahkan “hak-hak alam”⁶. Pendekatan ini menantang gagasan klasik tentang demokrasi liberal yang hanya berpusat pada manusia dan rasionalitas individual.

4.4.       Anti-Antroposentrisme dan Kritik terhadap Modernitas

Prinsip berikutnya adalah anti-antroposentrisme, yakni penolakan terhadap pandangan bahwa manusia adalah pusat dan puncak dari alam semesta. Ekologisme mengkritik warisan modernitas yang melihat alam hanya sebagai sumber daya untuk dieksploitasi guna kepentingan manusia, dan sebaliknya mengajukan etos ekosentris, di mana nilai intrinsik diberikan kepada semua bentuk kehidupan⁷.

Kritik ini juga meluas pada sistem ekonomi kapitalistik dan logika pertumbuhan tanpa batas, yang dianggap sebagai penyebab utama degradasi lingkungan. Ekologisme menegaskan perlunya reorientasi nilai dalam politik dan ekonomi agar sejalan dengan batas ekologis bumi dan nilai kehidupan non-manusia⁸.


Dengan demikian, prinsip-prinsip dasar ekologisme politik bukan hanya menawarkan jalan keluar terhadap krisis ekologis, tetapi juga menggugat secara mendasar struktur kekuasaan, nilai, dan hubungan manusia dengan alam. Ekologisme hadir sebagai paradigma normatif yang mengintegrasikan dimensi etika, sosial, politik, dan ekologis dalam satu kerangka perjuangan kolektif untuk keberlanjutan dan keadilan.


Footnotes

[1]                David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature (Oxford: Oxford University Press, 2007), 71–75.

[2]                John Barry, Rethinking Green Politics: Nature, Virtue and Progress (London: Sage Publications, 1999), 45–49.

[3]                Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge: MIT Press, 2004), 91–93.

[4]                James Lovelock, Gaia: A New Look at Life on Earth (Oxford: Oxford University Press, 2000), 14–18.

[5]                Brian Doherty and Matthew Paterson, eds., Environmental Politics: A Reader (London: Routledge, 2000), 220–224.

[6]                Peter Burdon, Earth Jurisprudence: Private Property and the Environment (London: Routledge, 2014), 33–36.

[7]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 170–173.

[8]                Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press, 2009), 16–19.


5.           Variasi dalam Ekologisme Politik

Ekologisme politik bukanlah suatu entitas monolitik. Sebaliknya, ia mencakup beragam spektrum pemikiran dan praksis yang memiliki orientasi, strategi, dan agenda yang berbeda. Variasi ini lahir dari perbedaan dalam cara memahami akar permasalahan lingkungan, nilai-nilai dasar yang diusung, serta pendekatan politik yang digunakan. Secara garis besar, variasi utama dalam ekologisme politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk:

5.1.       Ekologisme Radikal (Radical Ecology)

Kelompok ini berakar dari gagasan bahwa krisis ekologis bersifat sistemik dan struktural, sehingga solusi yang dibutuhkan juga harus menyentuh akar-akar ketimpangan sosial dan relasi kuasa. Ciri khas pendekatan ini adalah:

·                     Penolakan terhadap kapitalisme, patriarki, dan dominasi hierarkis sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan;

·                     Penekanan pada transformasi sosial total dan perubahan nilai budaya.

Beberapa aliran dalam ekologisme radikal mencakup:

·                     Deep Ecology – Diperkenalkan oleh Arne Naess, aliran ini menekankan nilai intrinsik dari semua makhluk hidup dan menyerukan perubahan mendalam dalam kesadaran manusia⁽¹⁾.

·                     Ekofeminisme – Menghubungkan eksploitasi alam dengan penindasan terhadap perempuan, serta menuntut pembebasan ganda dari sistem patriarkal⁽²⁾.

·                     Ekososialisme – Mengintegrasikan prinsip-prinsip sosialisme dengan keadilan ekologis, dengan tokoh seperti Joel Kovel dan Michael Löwy yang menyoroti kesamaan antara eksploitasi buruh dan eksploitasi alam⁽³⁾.

Pendekatan radikal ini sering dikritik karena dianggap utopis, tetapi ia memainkan peran penting dalam menggeser batas-batas wacana politik dan memunculkan visi transformatif.

5.2.       Ekologisme Reformis (Reformist Ecology / Environmentalism)

Berbeda dari pendekatan radikal, ekologisme reformis berusaha bekerja dalam kerangka institusi yang ada untuk mendorong perubahan bertahap menuju keberlanjutan. Pendekatan ini banyak diadopsi oleh:

·                     Partai-partai hijau di Eropa dan negara-negara demokratis lainnya;

·                     LSM lingkungan global seperti Greenpeace dan WWF.

Ciri-ciri utama pendekatan ini antara lain:

·                     Fokus pada kebijakan publik dan teknologi ramah lingkungan;

·                     Advokasi untuk pengurangan emisi karbon, energi terbarukan, dan ekonomi hijau;

·                     Upaya mengintegrasikan prinsip lingkungan ke dalam model pasar dan negara yang sudah ada⁽⁴⁾.

Meskipun dianggap lebih pragmatis dan realistik, ekologisme reformis kerap dikritik karena terlalu kompromistis dan kurang menyentuh akar-akar struktural dari krisis lingkungan.

5.3.       Ekologisme Alternatif dan Hybrid (Alternatif-Hibrid)

Di luar dikotomi radikal-reformis, muncul bentuk-bentuk ekologisme alternatif yang menggabungkan unsur budaya, spiritualitas, dan nilai-nilai komunitarian. Contohnya:

·                     Green Anarchism, yang memadukan prinsip anti-otoritarian dengan kehidupan yang selaras dengan alam⁽⁵⁾;

·                     Spiritual Ecology, yang menekankan pentingnya kesadaran spiritual dalam relasi manusia dan alam;

·                     Kosmovisi Pribumi seperti Buen Vivir (Andes) atau Tanah sebagai Ibu (masyarakat adat Asia Tenggara) yang menawarkan model kosmologis non-Barat untuk tata kehidupan berkelanjutan⁽⁶⁾.

Pendekatan ini seringkali lebih berbasis nilai dan identitas kultural, dan menjadi penting dalam konteks lokal dan komunitas adat.


Kesimpulan Sementara

Variasi dalam ekologisme politik mencerminkan kekayaan pendekatan dan strategi dalam merespons krisis lingkungan global. Mulai dari transformasi radikal, reformasi kebijakan, hingga spiritualitas ekologis, semuanya menunjukkan bahwa perjuangan untuk keberlanjutan harus menghargai pluralitas jalan, tanpa mengabaikan kompleksitas sosial-politik dan ekologis yang dihadapi umat manusia hari ini.


Footnotes

[1]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long‐Range Ecology Movement: A Summary,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[2]                Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development (London: Zed Books, 1988), 45–47.

[3]                Joel Kovel and Michael Löwy, “An Ecosocialist Manifesto,” Capitalism Nature Socialism 12, no. 1 (2001): 11–20.

[4]                Neil Carter, The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2018), 98–101.

[5]                John Zerzan, Against Civilization: Readings and Reflections (Port Townsend: Feral House, 2005), 56–59.

[6]                Eduardo Gudynas, “Buen Vivir: Today’s Tomorrow,” Development 54, no. 4 (2011): 441–447.


6.           Ekologisme Politik dalam Tataran Praktis dan Institusional

Meski lahir dari pemikiran normatif dan gerakan akar rumput, ekologisme politik juga telah memasuki ruang-ruang institusional dan praktik pemerintahan, baik dalam bentuk partai politik, kebijakan publik, maupun model tata kelola lingkungan alternatif. Transformasi dari wacana ke kebijakan menjadi bukti bahwa ekologisme politik bukan hanya idealisme utopis, tetapi juga kekuatan praktis yang dapat memengaruhi arah pembangunan dan struktur kekuasaan.

6.1.       Partai Hijau dan Institusionalisasi Politik Hijau

Sejak akhir 1970-an, gerakan lingkungan mulai bermetamorfosis menjadi partai-partai politik hijau (green parties) yang menempati posisi formal dalam sistem politik demokratis. Partai Hijau Jerman (Die Grünen), yang didirikan pada 1980, menjadi model utama bagi partai hijau di berbagai negara. Mereka mengusung platform yang menggabungkan ekologi, demokrasi partisipatoris, keadilan sosial, dan non-kekerasan, serta menolak politik pembangunan tradisional berbasis pertumbuhan ekonomi eksploitatif¹.

Partai-partai hijau telah berhasil memperoleh kursi di parlemen dan bahkan posisi dalam kabinet pemerintahan di negara-negara seperti Jerman, Finlandia, dan Selandia Baru. Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran penting dalam mendorong agenda transisi energi, perlindungan keanekaragaman hayati, serta regulasi karbon⁽²⁾. Misalnya, Jerman melalui koalisi yang melibatkan Die Grünen mendorong Energiewende, sebuah kebijakan transisi energi menuju sumber terbarukan dan penghentian PLTN⁽³⁾.

6.2.       Agenda Kebijakan: Energi Terbarukan, Ekonomi Sirkular, dan Degrowth

Ekologisme politik juga telah memberi kontribusi dalam membentuk kerangka kebijakan alternatif, terutama di bidang energi dan ekonomi. Kebijakan berbasis energi terbarukan dan ekonomi sirkular adalah wujud konkret penerapan prinsip keberlanjutan dalam kebijakan negara dan daerah. Ekonomi sirkular menekankan pada reduksi, daur ulang, dan penggunaan ulang material untuk meminimalkan limbah dan ketergantungan pada sumber daya baru⁴.

Sementara itu, muncul pula gerakan degrowth, yakni pendekatan ekonomi yang menolak paradigma pertumbuhan ekonomi tak terbatas. Pendekatan ini mendorong penyusutan sektor-sektor ekonomi yang destruktif secara ekologis, sambil memperluas praktik sosial seperti kerja kolektif, agrikultur berkelanjutan, dan ekonomi solidaritas⁵. Degrowth bukanlah stagnasi, melainkan reorganisasi nilai dan tujuan ekonomi berdasarkan batas-batas ekologis.

6.3.       Tata Kelola Lokal dan Kota Berkelanjutan

Di tingkat lokal, prinsip-prinsip ekologisme politik telah menginspirasi model tata kelola kota yang berkelanjutan. Kota-kota seperti Curitiba (Brasil), Copenhagen (Denmark), dan Freiburg (Jerman) menjadi contoh penerapan prinsip hijau dalam tata ruang, transportasi publik, energi, dan partisipasi warga⁶. Di Freiburg, penggunaan energi surya secara massal dan pengendalian ketat atas pembangunan wilayah hijau menjadikan kota ini model bagi “green urbanism”⁷.

Inovasi-inovasi lokal ini menunjukkan bahwa transformasi ekologis tidak harus menunggu dari atas (top-down), tetapi bisa digerakkan melalui prakarsa komunitas dan pemerintah lokal yang memiliki komitmen ekologis dan mekanisme partisipatif.

6.4.       Peran Lembaga Internasional dan Kebijakan Global

Di tingkat global, lembaga-lembaga seperti United Nations Environment Programme (UNEP) dan kerangka kerja seperti Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) menjadi ruang artikulasi nilai-nilai ekologisme politik dalam bentuk perjanjian multilateral. Perjanjian Paris 2015 merupakan tonggak penting dalam upaya global menurunkan emisi karbon dan mempertahankan suhu global agar tidak melebihi ambang batas 1,5°C⁸.

Namun demikian, banyak pengamat mengkritik efektivitas lembaga-lembaga ini karena cenderung terjebak dalam retorika ekologis tanpa sanksi tegas, serta kurang responsif terhadap ketimpangan struktural antara negara maju dan berkembang⁹. Oleh karena itu, penguatan institusi global yang lebih demokratis dan berkeadilan ekologis tetap menjadi agenda penting bagi ekologisme politik.


Dengan demikian, ekologisme politik tidak hanya hadir sebagai ideologi alternatif, tetapi juga telah berhasil menembus institusi-institusi formal dan memengaruhi praktik kebijakan di berbagai tingkat. Meski tantangannya masih besar, kiprah ekologisme dalam tataran praktis membuktikan bahwa paradigma ekologis dapat diartikulasikan menjadi struktur pemerintahan dan sistem kebijakan yang konkret dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Wolfgang Rüdig, “Green Parties in National Governments: From Protest to Acquiescence?,” Environmental Politics 15, no. 1 (2006): 110–35.

[2]                Neil Carter, The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2018), 168–170.

[3]                Miranda A. Schreurs, “Multi‐Level Governance and Climate Change Policy in Germany and the UK,” Environmental Politics 17, no. 4 (2008): 612–628.

[4]                Ken Webster, The Circular Economy: A Wealth of Flows (Cowes: Ellen MacArthur Foundation Publishing, 2015), 20–25.

[5]                Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era (London: Routledge, 2014), 1–7.

[6]                Timothy Beatley, Green Cities of Europe: Global Lessons on Green Urbanism (Washington, DC: Island Press, 2012), 39–54.

[7]                Peter Newman and Isabella Jennings, Cities as Sustainable Ecosystems: Principles and Practices (Washington, DC: Island Press, 2008), 122–124.

[8]                United Nations, Paris Agreement, 2015, https://unfccc.int/files/essential_background/convention/application/pdf/english_paris_agreement.pdf.

[9]                Clive L. Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New Political Economy 15, no. 2 (2010): 169–195.


7.           Ekologisme Politik di Negara Berkembang

Ekologisme politik di negara-negara berkembang menghadapi konteks, tantangan, dan dinamika yang sangat berbeda dibandingkan dengan negara-negara maju. Jika di Barat ekologisme sering muncul dalam bentuk partai hijau dan kebijakan pasca-industri, maka di negara-negara berkembang, ia berkembang dalam medan sosial-politik yang kompleks: ketimpangan ekonomi, warisan kolonialisme, pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan tuntutan pembangunan yang mendesak. Di tengah ketegangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan, ekologisme politik tampil sebagai narasi tandingan yang menuntut keadilan ekologis, partisipasi komunitas, dan penghormatan terhadap kearifan lokal.

7.1.       Tantangan Ekologisme di Tengah Pembangunan dan Industrialisasi

Negara-negara berkembang sering kali mengalami tekanan ganda: di satu sisi, mereka menghadapi tuntutan pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan, sementara di sisi lain, mereka menjadi arena eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi transnasional. Dalam kerangka ini, kebijakan pro-lingkungan kerap dipandang sebagai hambatan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama bila tidak disertai dengan insentif dan dukungan internasional¹.

Misalnya, di Asia Tenggara dan Afrika, proyek-proyek ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan pembangunan infrastruktur besar kerap dilakukan atas nama pembangunan nasional, namun berdampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat adat². Dalam banyak kasus, penolakan terhadap proyek-proyek ini memunculkan gerakan resistensi berbasis ekologisme, yang menggabungkan tuntutan atas hak tanah, pelestarian alam, dan keadilan sosial³.

7.2.       Relasi antara Ekologisme, Kolonialisme Lingkungan, dan Keadilan Global

Salah satu kritik utama yang diajukan oleh ekologisme politik di negara berkembang adalah terkait kolonialisme lingkungan (environmental colonialism)—yakni dominasi negara-negara industri dalam mendikte kebijakan lingkungan global tanpa mempertimbangkan tanggung jawab historis mereka atas krisis ekologis⁴. Banyak negara di Selatan Global menganggap bahwa pembatasan emisi, konservasi hutan, atau larangan pembangunan berbasis karbon justru menjadi bentuk baru dari dominasi ekonomi dan politik⁵.

Sebagai tanggapan, muncul wacana keadilan iklim global (climate justice) yang menuntut agar negara-negara maju membayar "utang ekologis" kepada negara berkembang melalui pendanaan, transfer teknologi, dan pengakuan atas hak-hak ekologis komunitas lokal⁶. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR) yang menjadi fondasi dalam negosiasi iklim internasional sejak Konferensi Rio 1992.

7.3.       Gerakan Ekologis Komunitas dan Masyarakat Adat

Ekologisme politik di negara berkembang sering mengambil bentuk gerakan berbasis komunitas. Gerakan ini tidak selalu dikemas dalam istilah akademik, tetapi muncul dari pengalaman konkret komunitas dalam mempertahankan ruang hidupnya dari kerusakan lingkungan. Contoh penting adalah gerakan Chipko di India (1970-an), yang dipimpin oleh perempuan desa dalam mempertahankan hutan dari penebangan komersial dengan memeluk pohon-pohon secara simbolik⁷.

Di Amerika Latin, gerakan masyarakat adat seperti Zapatista di Meksiko dan komunitas Andes dengan konsep Buen Vivir (Kehidupan yang Baik) menunjukkan bentuk ekologisme yang kuat secara spiritual dan komunal⁸. Di Indonesia, gerakan penolakan tambang dan reklamasi oleh masyarakat adat di Kalimantan, Papua, dan Sulawesi memperlihatkan bagaimana perjuangan ekologis terhubung erat dengan isu kedaulatan tanah dan hak hidup tradisional⁹.

Gerakan-gerakan ini bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap perusakan lingkungan, tetapi juga mengartikulasikan kosmovisi alternatif, di mana hubungan manusia dengan alam dilandaskan pada kesalingterhubungan, kesucian, dan keberlanjutan lintas generasi.

7.4.       Peran LSM, Organisasi Keagamaan, dan Gerakan Sosial Baru

Dalam konteks negara berkembang, LSM lokal dan internasional memainkan peran penting sebagai jembatan antara gerakan akar rumput dan kebijakan publik. Mereka tidak hanya menyuarakan pelanggaran lingkungan, tetapi juga memberikan pendidikan, advokasi hukum, dan dukungan teknis bagi komunitas rentan.

Organisasi keagamaan juga menunjukkan keterlibatan signifikan dalam ekologisme politik. Misalnya, “Laudato Si’” oleh Paus Fransiskus menegaskan bahwa perawatan bumi adalah tanggung jawab moral umat beriman⁽¹⁰⁾. Di dunia Islam, tokoh seperti Fazlun Khalid dan The Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES) menyerukan etika lingkungan berdasarkan prinsip tauhid, amanah, dan mizan (keseimbangan)⁽¹¹⁾.

Sementara itu, muncul pula gerakan sosial baru yang lebih cair dan lintas isu, seperti Fridays for Future (yang juga menjangkau negara berkembang), Extinction Rebellion, dan koalisi petani-muda yang mengusung pertanian agroekologis sebagai bentuk perlawanan terhadap agribisnis skala besar.


Kesimpulan Sementara

Ekologisme politik di negara berkembang adalah arena perjuangan multi-dimensi yang mempertemukan isu lingkungan, keadilan sosial, kedaulatan lokal, dan resistensi terhadap neo-kolonialisme. Ia sering kali berwujud dalam gerakan komunitas, ekspresi spiritual, serta narasi keadilan global yang menuntut struktur baru dalam hubungan internasional. Dalam konteks ini, ekologisme politik menjadi kekuatan yang relevan dan tak terpisahkan dari perjuangan demokrasi substantif dan hak hidup yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Joan Martínez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2002), 12–15.

[2]                Marcus Colchester, Salvaging Nature: Indigenous Peoples, Protected Areas and Biodiversity Conservation (Geneva: UNRISD, 2003), 25–29.

[3]                Alfons Palma and Tamara Perelmuter, “Environmental Conflicts and Resistance Movements in Latin America,” Globalizations 16, no. 7 (2019): 1121–1135.

[4]                Vandana Shiva, Soil Not Oil: Environmental Justice in a Time of Climate Crisis (London: Zed Books, 2008), 83–88.

[5]                Clive Spash, “The Brave New World of Carbon Trading,” New Political Economy 15, no. 2 (2010): 169–195.

[6]                Timmons Roberts and Bradley Parks, A Climate of Injustice: Global Inequality, North-South Politics, and Climate Policy (Cambridge: MIT Press, 2007), 113–119.

[7]                Ramachandra Guha, How Much Should a Person Consume?: Environmentalism in India and the United States (Berkeley: University of California Press, 2006), 57–61.

[8]                Eduardo Gudynas, “Buen Vivir: Today’s Tomorrow,” Development 54, no. 4 (2011): 441–447.

[9]                JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), “Laporan Advokasi 2022: Konflik Tambang dan Krisis Sosial-Ekologis,” https://www.jatam.org.

[10]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 13–20.

[11]             Fazlun Khalid, Signs on the Earth: Islam, Modernity and the Climate Crisis (Markfield: Kube Publishing, 2019), 45–52.


8.           Kritik terhadap Ekologisme Politik

Meskipun ekologisme politik telah menjadi salah satu kerangka pemikiran alternatif yang paling penting dalam menghadapi krisis lingkungan global, pendekatan ini tidak lepas dari kritik. Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai arah: dari pihak konservatif yang menilai ekologisme terlalu mengancam tatanan ekonomi-politik yang ada, dari kalangan progresif yang mempersoalkan efektivitas strategi ekologisme, hingga dari dalam tubuh ekologisme sendiri yang mempertanyakan ketidakkonsistenan antara teori dan praktik.

8.1.       Tuduhan Utopianisme dan Ketidakterjangkauan Realistis

Salah satu kritik utama terhadap ekologisme politik adalah bahwa ia terlalu utopis, dengan harapan akan terbentuk masyarakat ekologis yang kooperatif, adil, dan berkelanjutan tanpa memberikan peta jalan yang konkret dan realistis⁽¹⁾. Para pengkritik menilai bahwa gagasan seperti degrowth, demokrasi ekologis, atau pengakuan hak-hak alam seringkali tidak kompatibel dengan sistem ekonomi-politik global yang telah terintegrasi dalam jaringan kapitalisme dan globalisasi.

Lebih jauh, gagasan untuk mengurangi konsumsi, mendesentralisasi kekuasaan, atau mengubah gaya hidup masyarakat modern dinilai bertentangan dengan aspirasi banyak negara berkembang yang masih bergelut dalam kemiskinan dan mengejar pertumbuhan ekonomi⁽²⁾.

8.2.       Ketegangan antara Ekologisme dan Demokrasi Liberal

Beberapa kalangan mempermasalahkan potensi konflik antara ekologisme politik dan prinsip-prinsip demokrasi liberal. Misalnya, jika ekologisme menghendaki pembatasan konsumsi atau regulasi lingkungan yang ketat, maka dapat muncul persoalan tentang pembatasan kebebasan individu dan konflik dengan preferensi mayoritas dalam sistem demokrasi representatif⁽³⁾. Hal ini menimbulkan dilema: sejauh mana negara atau komunitas boleh memaksakan tindakan ekologis demi kepentingan jangka panjang, sekalipun bertentangan dengan kehendak publik saat ini?

Dalam konteks ini, Andrew Dobson menyatakan bahwa ekologisme membutuhkan konsep demokrasi yang lebih deliberatif dan partisipatoris, yang berbeda dari demokrasi liberal berbasis preferensi individu⁽⁴⁾.

8.3.       Kecenderungan Elitis dan Eropa-Sentris

Ekologisme politik juga dikritik karena cenderung berbasis pada nilai-nilai kelas menengah urban, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Gerakan hijau sering dianggap tidak cukup mewakili kepentingan kelas pekerja, komunitas miskin, atau masyarakat adat yang memiliki cara pandang ekologis yang berbeda⁽⁵⁾. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ekologisme politik adalah proyek kaum elite yang memiliki akses terhadap pendidikan, teknologi, dan gaya hidup berkelanjutan.

Lebih lanjut, proyek ekologisme global juga dinilai bersifat Eropa-sentris, karena mengekspor standar kebijakan dan nilai-nilai yang tidak selalu relevan atau kontekstual bagi masyarakat di belahan dunia lain⁽⁶⁾.

8.4.       Inkonsistensi antara Retorika dan Praktik

Di banyak negara, terutama di Eropa, partai-partai hijau telah masuk ke dalam struktur kekuasaan. Namun, hal ini memunculkan kritik mengenai inkonsistensi antara retorika ekologis dan praktik pemerintahan. Ketika partai hijau memegang kekuasaan, mereka kerap harus berkompromi dalam koalisi politik, mendukung kebijakan transisi yang lambat, atau bahkan mengesahkan proyek yang bertentangan dengan prinsip ekologis demi stabilitas politik⁽⁷⁾.

Contohnya, Partai Hijau Jerman (Die Grünen) mendapat sorotan karena mendukung kebijakan pengiriman senjata dan perluasan infrastruktur energi yang tetap bergantung pada bahan bakar fosil, meskipun dalam kerangka transisi energi⁽⁸⁾. Hal ini menunjukkan bahwa realitas politik sering memaksa ekologisme tunduk pada pragmatisme kekuasaan.

8.5.       Fragmentasi Internal dan Kekaburan Konseptual

Terakhir, kritik juga diarahkan pada fragmentasi internal ekologisme politik, yang terdiri dari berbagai pendekatan seperti deep ecology, ekofeminisme, ekososialisme, anarko-ekologisme, dan lain-lain. Beragamnya perspektif ini, meskipun memperkaya secara intelektual, juga menyebabkan kekaburan konseptual dan kesulitan dalam menyusun agenda bersama⁽⁹⁾. Perbedaan strategi antara reformis dan radikal, atau antara aktivisme akar rumput dan institusional, sering menimbulkan ketegangan dalam gerakan itu sendiri.


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik terhadap ekologisme politik penting untuk dipahami sebagai bagian dari dinamika pemikiran kritis dalam membangun paradigma alternatif. Kritik tersebut bukan alasan untuk menolak ekologisme, melainkan sebagai peluang untuk memperkuatnya melalui refleksi diri, strategi yang lebih kontekstual, dan keterbukaan terhadap dialog lintas ideologi dan budaya. Ekologisme politik, agar tetap relevan, harus mampu menjawab tantangan realisme politik, pluralitas sosial, dan dinamika kekuasaan yang terus berubah.


Footnotes

[1]                John Barry, Environment and Social Theory, 2nd ed. (London: Routledge, 2007), 152–155.

[2]                Bjørn Lomborg, The Skeptical Environmentalist: Measuring the Real State of the World (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 54–58.

[3]                William Ophuls, Ecology and the Politics of Scarcity Revisited: The Unraveling of the American Dream (New York: W.H. Freeman, 1992), 115–117.

[4]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 144–147.

[5]                David Schlosberg and Lisette B. Collins, “From Environmental to Climate Justice: Climate Change and the Discourse of Environmental Justice,” Wiley Interdisciplinary Reviews: Climate Change 5, no. 3 (2014): 359–374.

[6]                Dipesh Chakrabarty, “The Climate of History: Four Theses,” Critical Inquiry 35, no. 2 (2009): 197–222.

[7]                Wolfgang Rüdig, “Green Parties and the Politics of the Environment in Europe,” in The Europeanization of National Politics?, ed. Robert Ladrech (London: Palgrave, 2010), 81–83.

[8]                Melanie Arndt, “Climate Policy and Geopolitics: The Green Party and the Contradictions of Power,” German Politics and Society 39, no. 3 (2021): 29–33.

[9]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992), 205–210.


9.           Relevansi Ekologisme Politik dalam Konteks Global Kontemporer

Di tengah intensifikasi krisis iklim, kelangkaan sumber daya, dan ketimpangan ekologis global, ekologisme politik semakin menunjukkan relevansinya sebagai paradigma alternatif dalam merumuskan arah pembangunan dan tata kelola dunia. Perubahan lingkungan bukan lagi sekadar isu sektoral, melainkan telah menjadi fondasi dari berbagai konflik, instabilitas sosial, dan transformasi geopolitik. Dalam lanskap kontemporer yang ditandai oleh ketidakpastian ekologis, ekologisme politik tampil sebagai kerangka konseptual dan praksis yang tidak hanya menawarkan analisis kritis, tetapi juga solusi normatif dan strategis.

9.1.       Krisis Iklim sebagai Tantangan Peradaban

Laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengonfirmasi bahwa dunia berada di ambang batas suhu kritis. Tanpa perubahan sistemik, peningkatan suhu global diperkirakan melampaui 1,5°C dalam dekade ini, yang akan memicu dampak irreversible terhadap ekosistem dan sistem manusia⁽¹⁾. Dalam konteks ini, pendekatan teknokratis dan pasar tidak cukup memadai; diperlukan pendekatan politik yang berakar pada etika ekologis, keadilan sosial, dan transformasi struktural, sebagaimana dikedepankan dalam ekologisme politik⁽²⁾.

Ekologisme tidak hanya menyerukan mitigasi, tetapi juga adaptasi berbasis komunitas dan keadilan iklim yang menempatkan masyarakat rentan sebagai aktor utama dalam membangun ketahanan ekologis.

9.2.       Transisi Energi dan Perubahan Tata Ekonomi Dunia

Percepatan transisi menuju energi terbarukan merupakan salah satu agenda utama yang mencerminkan pengaruh nilai-nilai ekologisme dalam kebijakan global. Negara-negara seperti Jerman, Denmark, dan India telah menetapkan target ambisius untuk menghapus bahan bakar fosil dan mengembangkan ekonomi hijau⁽³⁾. Namun, ekologisme politik tidak hanya berhenti pada pergantian teknologi, tetapi menuntut perubahan dalam struktur produksi dan konsumsi, termasuk kritik terhadap mitos pertumbuhan ekonomi tak terbatas yang menjadi fondasi neoliberalisme⁽⁴⁾.

Dalam konteks ini, gagasan seperti degrowth, just transition, dan ekonomi sirkular memperoleh momentum sebagai bagian dari gerakan global untuk menata ulang hubungan manusia dengan alam dan antar-manusia⁽⁵⁾.

9.3.       Respon terhadap Krisis Sosial-Ekologis Multidimensi

Krisis ekologis kontemporer memiliki dimensi multidimensi: perubahan iklim, kehilangan biodiversitas, kerawanan pangan, konflik air, hingga migrasi iklim. Ekologisme politik, dengan pendekatan lintas disiplin dan multisektor, mampu menawarkan analisis yang komprehensif atas keterkaitan antara isu-isu tersebut.

Misalnya, feminisme ekologis (ecofeminism) menjelaskan bagaimana perempuan di komunitas agraris paling terdampak oleh krisis iklim, dan pada saat yang sama memainkan peran penting dalam menjaga kedaulatan pangan dan keberlanjutan lokal⁽⁶⁾. Demikian pula, ekologisme dekolonial menunjukkan bagaimana komunitas adat dan masyarakat Selatan Global perlu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan global sebagai subjek, bukan objek, pembangunan⁽⁷⁾.

9.4.       Globalisasi Nilai-Nilai Ekologis dalam Pendidikan dan Kesadaran Publik

Ekologisme politik juga telah menyentuh ranah pendidikan, etika publik, dan kesadaran kolektif. Kurikulum pendidikan lingkungan, gerakan iklim yang melibatkan generasi muda seperti Fridays for Future, dan meningkatnya popularitas gaya hidup berkelanjutan di masyarakat urban, menunjukkan bahwa nilai-nilai ekologis kini telah menjadi bagian dari kesadaran global⁽⁸⁾.

Meski belum selalu terlembagakan dalam kebijakan, perubahan paradigma budaya ini penting sebagai basis jangka panjang bagi transformasi institusional. Dalam hal ini, ekologisme politik berkontribusi membentuk imaginary baru tentang dunia yang adil secara ekologis dan sosial.

9.5.       Peluang dan Tantangan Menuju Tata Dunia Berkeadilan Ekologis

Ekologisme politik memberi kontribusi krusial dalam perdebatan tentang masa depan tata dunia: apakah dunia akan tetap mengikuti logika eksploitasi sumber daya yang merusak, atau membangun peradaban baru berbasis harmoni, keadilan, dan keberlanjutan. Agenda ini semakin mendesak ketika krisis ekologis mulai berdampak pada stabilitas politik global, meningkatkan konflik sumber daya, dan memperdalam ketimpangan Utara-Selatan.

Namun, peluang tersebut dibarengi tantangan besar: resistensi dari aktor ekonomi-politik dominan, polarisasi ideologis, dan lemahnya kapasitas negara-negara berkembang untuk membiayai transisi hijau. Oleh karena itu, relevansi ekologisme politik harus dibarengi dengan komitmen kolektif, penguatan gerakan sosial, dan reformasi institusi global agar lebih inklusif dan demokratis⁽⁹⁾.


Kesimpulan Sementara

Dalam dunia yang dihadapkan pada krisis eksistensial ekologis, ekologisme politik bukan lagi sekadar alternatif ideologis, melainkan suatu kebutuhan historis. Ia hadir sebagai paradigma yang menyatukan visi etis, struktur politik, dan strategi kebijakan untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Relevansinya di abad ke-21 terletak pada kemampuannya menavigasi kompleksitas zaman, menumbuhkan solidaritas ekologis lintas batas, dan membentuk tatanan dunia yang lebih adil bagi seluruh makhluk hidup.


Footnotes

[1]                IPCC, Climate Change 2023: Synthesis Report (Geneva: IPCC, 2023), 6–9.

[2]                Robyn Eckersley, The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge: MIT Press, 2004), 18–22.

[3]                Miranda Schreurs and Yves Tiberghien, “Multilevel Reinforcement: Explaining European Union Leadership in Climate Change Mitigation,” Global Environmental Politics 7, no. 4 (2007): 19–46.

[4]                Serge Latouche, Farewell to Growth (Cambridge: Polity Press, 2009), 10–14.

[5]                Giorgos Kallis et al., Degrowth: A Vocabulary for a New Era (London: Routledge, 2014), 1–7.

[6]                Ariel Salleh, Ecofeminism as Politics: Nature, Marx and the Postmodern (London: Zed Books, 1997), 115–120.

[7]                Marisol de la Cadena and Mario Blaser, eds., A World of Many Worlds (Durham: Duke University Press, 2018), 1–5.

[8]                Eva Lövbrand et al., “The Political in Environmental Research: Epistemologies, Strategies, Outcomes,” Environmental Politics 24, no. 5 (2015): 741–750.

[9]                Timmons Roberts and Bradley Parks, A Climate of Injustice: Global Inequality, North-South Politics, and Climate Policy (Cambridge: MIT Press, 2007), 189–195.


10.       Penutup

Krisis ekologis global telah mendorong lahirnya berbagai bentuk tanggapan politik, namun hanya sedikit yang mampu menawarkan pendekatan sekomprehensif dan sekritis ekologisme politik. Sebagai suatu paradigma, ekologisme politik tidak sekadar menyerukan pelestarian lingkungan dalam pengertian teknis atau administratif, melainkan mengusulkan transformasi menyeluruh terhadap cara manusia hidup, memerintah, dan berelasi dengan alam. Ia menantang fondasi ideologis modernitas—seperti antroposentrisme, kapitalisme, dan pertumbuhan ekonomi tanpa batas—serta menawarkan prinsip-prinsip etis seperti keadilan ekologis, interdependensi makhluk hidup, dan demokrasi partisipatoris⁽¹⁾.

Sepanjang pembahasan artikel ini, terlihat bahwa ekologisme politik bersifat dinamis dan plural: mencakup berbagai bentuk dan pendekatan, dari ekologisme radikal hingga reformis, dari gerakan komunitas lokal hingga advokasi kebijakan global. Ia mampu beroperasi di berbagai level—lokal, nasional, dan internasional—dan dalam berbagai sektor—energi, pertanian, tata ruang, hingga pendidikan dan spiritualitas. Ekologisme politik juga memberi tempat bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan dalam narasi pembangunan arus utama, seperti masyarakat adat, perempuan, generasi muda, dan komunitas Global South⁽²⁾.

Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa ekologisme politik juga menghadapi tantangan besar. Dari tuduhan utopis, ketegangan dengan sistem demokrasi liberal, hingga inkonsistensi kebijakan dalam praktik kekuasaan, ekologisme politik belum sepenuhnya berhasil menjadi kekuatan hegemonik di arena politik global⁽³⁾. Selain itu, fragmentasi internal dan kekaburan konseptual menuntut penguatan kerangka teoritik yang lebih kohesif dan strategi gerakan yang lebih terkoordinasi⁽⁴⁾.

Meskipun demikian, relevansi ekologisme politik dalam dunia kontemporer terus meningkat. Di tengah ancaman perubahan iklim, degradasi ekosistem, dan krisis sosial-ekologis yang bersifat sistemik, ekologisme politik menyajikan visi baru tentang tata dunia yang tidak hanya adil terhadap manusia, tetapi juga terhadap seluruh makhluk hidup dan generasi masa depan. Ia mengajak umat manusia untuk meninggalkan paradigma dominasi dan eksploitatif, menuju model kehidupan yang bersandar pada keberlanjutan, solidaritas ekologis, dan etika tanggung jawab planeter⁽⁵⁾.

Dengan demikian, ekologisme politik bukan sekadar proyek politik, melainkan juga proyek peradaban. Dalam menghadapi abad ke-21 yang penuh tantangan ekologis eksistensial, tidak cukup lagi mempertahankan politik lama dengan wajah hijau. Yang dibutuhkan adalah reimajinasi radikal terhadap politik itu sendiri, agar selaras dengan realitas planet yang rentan dan terbatas. Ekologisme politik menyediakan fondasi awal untuk perjalanan panjang tersebut.


Footnotes

[1]                Robyn Eckersley, Environmentalism and Political Theory: Toward an Ecocentric Approach (Albany: State University of New York Press, 1992), 25–28.

[2]                Joan Martínez-Alier, The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2002), 19–22.

[3]                Andrew Dobson, Green Political Thought, 4th ed. (London: Routledge, 2007), 155–158.

[4]                Brian Doherty and Matthew Paterson, eds., Environmental Politics: A Reader (London: Routledge, 2000), 213–216.

[5]                Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. the Climate (New York: Simon & Schuster, 2014), 445–450.


Daftar Pustaka

Barry, J. (1999). Rethinking green politics: Nature, virtue and progress. Sage Publications.

Barry, J. (2007). Environment and social theory (2nd ed.). Routledge.

Burdon, P. (2014). Earth jurisprudence: Private property and the environment. Routledge.

Carson, R. (1962). Silent spring. Houghton Mifflin.

Carter, N. (2018). The politics of the environment: Ideas, activism, policy (3rd ed.). Cambridge University Press.

Chakrabarty, D. (2009). The climate of history: Four theses. Critical Inquiry, 35(2), 197–222.

Colchester, M. (2003). Salvaging nature: Indigenous peoples, protected areas and biodiversity conservation. UNRISD.

De la Cadena, M., & Blaser, M. (Eds.). (2018). A world of many worlds. Duke University Press.

Dobson, A. (2007). Green political thought (4th ed.). Routledge.

Doherty, B., & De Geus, M. (Eds.). (1996). Democracy and green political thought: Sustainability, rights and citizenship. Routledge.

Doherty, B., & Paterson, M. (Eds.). (2000). Environmental politics: A reader. Routledge.

Eckersley, R. (1992). Environmentalism and political theory: Toward an ecocentric approach. State University of New York Press.

Eckersley, R. (2004). The green state: Rethinking democracy and sovereignty. MIT Press.

Gudynas, E. (2011). Buen Vivir: Today’s tomorrow. Development, 54(4), 441–447.

Guha, R. (2006). How much should a person consume? Environmentalism in India and the United States. University of California Press.

IPCC. (2023). Climate change 2023: Synthesis report. Intergovernmental Panel on Climate Change. https://www.ipcc.ch/report/ar6/syr/

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). (2022). Laporan advokasi 2022: Konflik tambang dan krisis sosial-ekologis. https://www.jatam.org

Kallis, G., Kerschner, C., & Martinez-Alier, J. (2014). Degrowth: A vocabulary for a new era. Routledge.

Khalid, F. (2002). Islam and the environment. Ta-Ha Publishers.

Khalid, F. (2019). Signs on the earth: Islam, modernity and the climate crisis. Kube Publishing.

Klein, N. (2014). This changes everything: Capitalism vs. the climate. Simon & Schuster.

Kovel, J., & Löwy, M. (2001). An ecosocialist manifesto. Capitalism Nature Socialism, 12(1), 11–20.

Latouche, S. (2009). Farewell to growth. Polity Press.

Lomborg, B. (2001). The skeptical environmentalist: Measuring the real state of the world. Cambridge University Press.

Lövbrand, E., Beck, S., Chilvers, J., Forsyth, T., Hedrén, J., Hulme, M., ... & Vasileiadou, E. (2015). The political in environmental research: Epistemologies, strategies, outcomes. Environmental Politics, 24(5), 741–750.

Martínez-Alier, J. (2002). The environmentalism of the poor: A study of ecological conflicts and valuation. Edward Elgar Publishing.

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement: A summary. Inquiry, 16(1–4), 95–100.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy. Cambridge University Press.

Newman, P., & Jennings, I. (2008). Cities as sustainable ecosystems: Principles and practices. Island Press.

Ophuls, W. (1992). Ecology and the politics of scarcity revisited: The unraveling of the American dream. W.H. Freeman.

Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Roberts, J. T., & Parks, B. C. (2007). A climate of injustice: Global inequality, North–South politics, and climate policy. MIT Press.

Rüdig, W. (2006). Green parties in national governments: From protest to acquiescence? Environmental Politics, 15(1), 110–135.

Salleh, A. (1997). Ecofeminism as politics: Nature, Marx and the postmodern. Zed Books.

Schlosberg, D. (2007). Defining environmental justice: Theories, movements, and nature. Oxford University Press.

Schlosberg, D., & Collins, L. B. (2014). From environmental to climate justice: Climate change and the discourse of environmental justice. Wiley Interdisciplinary Reviews: Climate Change, 5(3), 359–374.

Schreurs, M. A., & Tiberghien, Y. (2007). Multilevel reinforcement: Explaining European Union leadership in climate change mitigation. Global Environmental Politics, 7(4), 19–46.

Schreurs, M. A. (2008). Multi‐level governance and climate change policy in Germany and the UK. Environmental Politics, 17(4), 612–628.

Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology and development. Zed Books.

Shiva, V. (2008). Soil not oil: Environmental justice in a time of climate crisis. Zed Books.

Spash, C. L. (2010). The brave new world of carbon trading. New Political Economy, 15(2), 169–195.

Tucker, M. E., & Grim, J. (Eds.). (2001). Religion and ecology: Can the climate change? Center for the Study of World Religions.

Webster, K. (2015). The circular economy: A wealth of flows. Ellen MacArthur Foundation Publishing.

Zerzan, J. (2005). Against civilization: Readings and reflections. Feral House.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar