Kamis, 12 Juni 2025

Pluralisme: Keragaman Realitas sebagai Asas Eksistensial

Pluralisme

Keragaman Realitas sebagai Asas Eksistensial


Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.


Abstrak

Artikel ini membahas pluralisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat ontologi yang menekankan keragaman realitas sebagai asas eksistensial. Pluralisme menolak reduksionisme ontologis yang melihat realitas sebagai satu substansi tunggal (monisme) atau dua substansi utama (dualisme), dan sebagai gantinya menegaskan keberadaan banyak entitas yang otonom namun saling berelasi. Melalui kajian historis terhadap pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Empedokles, Anaxagoras, Leibniz, William James, dan Whitehead, artikel ini menunjukkan bahwa pluralisme memiliki fondasi konseptual yang kuat dan berkembang secara dinamis. Pembahasan meliputi prinsip-prinsip dasar pluralisme, permasalahan metafisik yang dihadapinya, serta implikasinya dalam bidang epistemologi, etika, filsafat agama, dan politik. Kritik terhadap pluralisme juga dianalisis secara kritis untuk menunjukkan respons-respons filosofis yang menguatkan posisinya sebagai pendekatan ontologis yang relevan. Artikel ini menegaskan bahwa pluralisme memiliki daya jangkau luas dalam diskursus kontemporer—terutama dalam menghadapi kompleksitas dunia pascamodern, perkembangan teknologi, keberagaman budaya, dan krisis ekologis—sehingga menawarkan kerangka ontologis yang terbuka, dinamis, dan inklusif dalam memahami realitas.

Kata Kunci: Pluralisme, ontologi, metafisika, keragaman realitas, epistemologi pluralistik, filsafat kontemporer, multikulturalisme, filsafat proses.


PEMBAHASAN

Pluralisme dalam Ontologi


1.           Pendahuluan

Ontologi, sebagai cabang utama dalam filsafat, berupaya menjawab pertanyaan paling mendasar tentang apa yang sungguh-sungguh ada dan bagaimana struktur dasar realitas itu terbentuk. Pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah realitas itu tunggal atau jamak?”, “apakah segala sesuatu dapat direduksi pada satu substansi atau prinsip?” dan “bagaimana relasi antar-entitas dalam eksistensi?” menjadi titik tolak dari spekulasi ontologis sepanjang sejarah pemikiran manusia. Dalam konteks inilah pluralisme muncul sebagai salah satu aliran penting yang menawarkan jawaban alternatif terhadap dominasi pemikiran monistik dan dualistis dalam metafisika.

Pluralisme dalam ontologi berpandangan bahwa realitas terdiri atas banyak entitas yang tidak dapat direduksi kepada satu substansi tunggal atau prinsip utama. Berbeda dengan monisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu pada akhirnya adalah satu (misalnya, hanya materi atau hanya kesadaran), dan dualisme yang mempertahankan dikotomi dasar (seperti tubuh dan jiwa), pluralisme menegaskan adanya keragaman esensial dalam eksistensi itu sendiri. Pemikiran pluralistik menekankan bahwa dunia tidak bersifat homogen, melainkan tersusun dari entitas-entitas yang berdiri sendiri namun tetap saling terhubung dalam cara-cara yang kompleks dan dinamis.¹

Gagasan pluralisme tidak hanya memiliki akar dalam filsafat klasik seperti yang dikemukakan oleh Empedokles—yang mengusulkan bahwa empat elemen dasar (tanah, air, udara, api) adalah asas dari segala sesuatu—tetapi juga menemukan bentuknya yang lebih konseptual dan sistematis dalam pemikiran Gottfried Wilhelm Leibniz melalui teori monadologi, serta dalam filsafat pragmatis William James yang menggambarkan semesta sebagai “multiverse” alih-alih “universe”.²³ Pluralisme juga menjadi relevan dalam filsafat kontemporer, terutama dalam diskursus yang mengedepankan kompleksitas, relativitas perspektif, dan keberagaman dalam realitas sosial, budaya, serta teknologi.

Dalam kerangka ini, pluralisme tidak sekadar menjadi sebuah pandangan metafisik, melainkan sebuah paradigma ontologis yang membuka ruang bagi keterlibatan berbagai entitas dan relasi tanpa mengorbankan otonomi masing-masing unsur. Penegasan atas pluralitas realitas ini menjadi penting dalam memahami dunia yang semakin saling berjejaring dan beragam dalam manifestasi keberadaannya. Oleh karena itu, pembahasan tentang pluralisme dalam ontologi bukan hanya penting secara teoritis, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam filsafat ilmu, etika, hingga filsafat agama dan politik.⁴


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2014), 2–5.

[2]                Richard McKirahan, Philosophy Before Socrates: An Introduction with Texts and Commentary, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2011), 296–303.

[3]                William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 321–325.

[4]                Michael P. Lynch, Truth as One and Many (Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–67.


2.           Definisi dan Konsep Dasar Pluralisme

Dalam ontologi, pluralisme merujuk pada pandangan bahwa realitas terdiri dari banyak entitas atau substansi yang berdiri sendiri, dan tidak dapat direduksi menjadi satu prinsip tunggal sebagaimana yang diajukan dalam monisme, atau dua substansi utama seperti dalam dualisme. Pluralisme mengakui keragaman eksistensial sebagai ciri mendasar dunia, dengan menyatakan bahwa segala yang ada tidak berasal dari satu sumber universal, melainkan dari sejumlah entitas atau asas yang saling berbeda namun koeksisten.¹

Secara etimologis, istilah “pluralisme” berasal dari bahasa Latin pluralis yang berarti “lebih dari satu”, dan digunakan dalam filsafat untuk menandai posisi ontologis yang mengafirmasi keberagaman esensial dalam struktur realitas.² Dalam konteks metafisika, pluralisme menolak reduksionisme, yaitu usaha menyederhanakan semua fenomena ke dalam satu kategori ontologis seperti materi, ide, atau kehendak. Sebaliknya, pluralisme mendukung keanekaragaman ontologis, di mana bentuk-bentuk eksistensi seperti benda fisik, kesadaran, nilai-nilai, relasi, dan peristiwa semuanya memiliki status keberadaan yang mandiri.

William James, salah satu filsuf yang secara eksplisit membela pluralisme, menggambarkan dunia ini sebagai “multiverse”—bukan “universe”—untuk menekankan bahwa realitas tidak bersatu dalam satu sistem tertutup, melainkan terbuka, majemuk, dan tidak sepenuhnya dapat direkonsiliasi secara harmonis.³ Ia menyatakan bahwa “pluralism means only that the world is not one unit of fact, but possibly many, and that the unity of the world, if it exists at all, is not fully given, but must be worked out piecemeal.”⁴ Pendekatan ini membuka kemungkinan untuk memandang dunia sebagai ruang relasi kompleks antar entitas yang tidak kehilangan identitas uniknya masing-masing.

Dalam ontologi kontemporer, pluralisme dikembangkan dalam berbagai bentuk:

·                     Pluralisme metafisik, yang mempertahankan bahwa realitas terdiri dari jenis-jenis entitas yang berbeda secara substansial (seperti objek fisik, peristiwa, proposisi, dan kesadaran).

·                     Pluralisme kosmologis, yang mengakui keberadaan banyak pusat asal atau prinsip kosmis dalam penciptaan dan evolusi dunia.

·                     Pluralisme epistemologis, yang menyatakan bahwa tidak ada satu cara pengetahuan yang dapat mengungkap seluruh struktur realitas, sehingga dibutuhkan pendekatan jamak (multimethod).

Dengan demikian, pluralisme dalam pengertian ontologis bukan hanya mengajukan keragaman sebagai suatu fakta empiris, tetapi sebagai asas eksistensial yang fundamental. Pandangan ini menantang kecenderungan sistem-sistem metafisika besar yang menuntut kesatuan mutlak, dengan menegaskan bahwa realitas itu bersifat majemuk, terbuka, dan tidak tereduksi.⁵


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2014), 14–16.

[2]                W.T. Stace, A Critical History of Greek Philosophy (London: Macmillan, 1920), 145.

[3]                William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 320.

[4]                Ibid., 329.

[5]                Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 216–218.


3.           Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralistik

Gagasan pluralisme dalam ontologi memiliki akar historis yang panjang dan berlapis, berkembang dari refleksi awal para filsuf Yunani hingga sistem pemikiran metafisika modern dan kontemporer. Sepanjang sejarah filsafat, pluralisme muncul sebagai respons terhadap kecenderungan reduksionisme ontologis, terutama yang diasosiasikan dengan monisme Eleatik (Parmenides) dan kemudian sistem metafisika Spinozistik.

3.1.       Filsafat Yunani Kuno: Awal Pluralisme Metafisik

Salah satu penggagas pluralisme pertama adalah Empedokles (abad ke-5 SM), yang mengusulkan bahwa segala sesuatu di dunia tersusun dari empat unsur dasar: tanah, air, udara, dan api. Ia menolak gagasan bahwa hanya ada satu prinsip dasar realitas (seperti air menurut Thales atau udara menurut Anaximenes), dan menegaskan bahwa perubahan dan keragaman dunia hanya dapat dijelaskan jika realitas memiliki lebih dari satu unsur penyusun.¹ Empedokles juga memperkenalkan dua kekuatan metafisik yang bekerja dalam realitas—Love (kasih) dan Strife (permusuhan)—yang menjelaskan proses penyatuan dan perpecahan antar unsur.²

Filsuf lain yang turut memperkuat fondasi pluralisme adalah Anaxagoras, yang memperkenalkan konsep nous (akal kosmis) sebagai prinsip pengatur keragaman seeds atau benih-benih unsur di alam semesta.³ Dengan pendekatan ini, Anaxagoras memandang bahwa segala realitas terbentuk dari gabungan unsur-unsur kecil yang tidak identik, dan perbedaan dalam segala hal berasal dari percampuran proporsional unsur-unsur tersebut.

3.2.       Tradisi Filsafat Timur: Perspektif Pluralistik yang Paralel

Pemikiran pluralistik juga dapat ditemukan dalam tradisi filsafat Timur. Dalam filsafat India, khususnya dalam sistem Sāṃkhya, dunia dianggap tersusun dari dua prinsip metafisis utama: purusha (kesadaran) dan prakriti (materi), yang darinya muncul keragaman fenomena.⁴ Meskipun bersifat dualistik, sistem ini secara implisit mendukung pluralisme entitas melalui konsep 24 elemen turunan (tattva) yang membentuk alam semesta.⁵

3.3.       Pluralisme dalam Filsafat Modern: Sistem Monadologis dan Realisme Jamak

Pluralisme mendapatkan artikulasi filosofis yang lebih sistematis dalam pemikiran Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716) melalui teori monadologi. Menurut Leibniz, realitas terdiri atas unit-unit substansial tak-terbagi yang disebut monad, masing-masing memiliki perspektif dan aktivitas sendiri. Setiap monad bersifat otonom dan tidak saling mempengaruhi secara kausal, namun secara harmoni diprogram oleh Tuhan melalui apa yang disebut sebagai harmonia praestabilita (harmoni yang telah ditentukan sebelumnya).⁶ Monadologinya mewakili pluralisme metafisik murni: realitas sebagai kumpulan entitas unik yang berdiri sendiri.

Dalam filsafat abad ke-19 dan awal abad ke-20, William James mengembangkan bentuk pluralisme yang lebih eksistensial dan pragmatis. Ia menentang metafisika sistematik yang menyatukan segala sesuatu dalam satu kerangka totalitas (seperti Hegel), dan justru menekankan “semesta yang terbuka” (open universe) yang memungkinkan munculnya kemungkinan baru, perbedaan pengalaman, dan konflik nilai.⁷ Dalam karyanya A Pluralistic Universe, James menyatakan bahwa pluralisme adalah pengakuan terhadap kenyataan bahwa dunia ini “a world not yet one, but trying to become one,” dengan kata lain, tidak ditentukan sepenuhnya oleh struktur ontologis tunggal.⁸

3.4.       Pluralisme dalam Filsafat Kontemporer

Pemikiran pluralistik terus berkembang dalam filsafat abad ke-20 dan ke-21. Alfred North Whitehead, melalui process philosophy, memandang realitas bukan sebagai entitas statis, melainkan sebagai proses yang berlangsung terus-menerus. Dalam kerangka ini, realitas dipahami sebagai jaringan entitas yang saling berproses (occasions of experience), dan tidak dapat dijelaskan secara tunggal.⁹ Selain itu, dalam filsafat kontemporer postmodern, pluralisme dihidupkan kembali sebagai kritik terhadap narasi besar (grand narratives), dan sebagai penegasan atas keragaman identitas, perspektif, dan struktur makna dalam realitas sosial dan budaya.¹⁰

Dari jejak historis ini, jelas bahwa pluralisme dalam ontologi bukanlah gagasan baru, tetapi telah menjadi aliran penting dalam usaha memahami struktur eksistensial dunia. Ia menjadi fondasi bagi sistem filsafat yang tidak menutup kemungkinan keragaman, tetapi justru mengafirmasi kompleksitas sebagai unsur asli dari realitas itu sendiri.


Footnotes

[1]                Richard McKirahan, Philosophy Before Socrates: An Introduction with Texts and Commentary, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2011), 296–299.

[2]                Ibid., 302–303.

[3]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers, rev. ed. (London: Routledge, 1982), 362–364.

[4]                M. Hiriyanna, Outlines of Indian Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1932), 231–233.

[5]                Surendranath Dasgupta, A History of Indian Philosophy, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1922), 226–230.

[6]                G.W. Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford: Clarendon Press, 1898), §§1–20.

[7]                William James, Pragmatism and Other Essays (New York: Washington Square Press, 1963), 133–136.

[8]                William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 325.

[9]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–24.

[10]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.


4.           Prinsip-Prinsip Ontologis dalam Pluralisme

Pluralisme sebagai aliran dalam ontologi tidak hanya menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur, tetapi juga membangun kerangka prinsip-prinsip filosofis yang menjelaskan struktur, hubungan, dan status ontologis dari keberagaman tersebut. Prinsip-prinsip ini menjelaskan mengapa dan bagaimana pluralitas eksistensial dapat dipahami sebagai hal yang mendasar, bukan sekadar gejala sekunder atau derivatif dari satu realitas tunggal.

4.1.       Keragaman Esensial (Essential Diversity)

Prinsip pertama pluralisme adalah keragaman esensial: realitas bukan hanya tampak majemuk secara fenomenal, tetapi memang majemuk pada tingkat esensial. Artinya, pluralitas bukan ilusi, melainkan sifat ontologis yang melekat pada eksistensi itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan posisi monistik seperti dalam sistem Parmenides yang menganggap keragaman sebagai ilusi persepsi.¹ Dalam sistem Leibniz, misalnya, setiap monad memiliki kualitas yang unik dan tidak identik satu sama lain, mencerminkan keberagaman esensial dalam wujud yang paling mendalam.²

4.2.       Otonomi dan Independensi Entitas (Ontological Autonomy)

Pluralisme juga mengakui bahwa entitas memiliki otoritas eksistensial sendiri. Tidak ada satu entitas yang secara mutlak mendominasi atau mengendalikan eksistensi entitas lainnya. Prinsip ini dikenal sebagai ontological autonomy, yaitu pandangan bahwa tiap entitas memiliki status ontologis yang otonom.³ Dalam filsafat Whitehead, misalnya, setiap actual occasion (momen aktual) memiliki keberadaan aktual yang tidak ditentukan secara total oleh entitas lain, walaupun tetap berada dalam jaringan relasi.⁴

4.3.       Relasi Dinamis antar Entitas

Meski pluralisme menekankan keberbedaan, ia tidak menyangkal relasi antar entitas. Justru sebaliknya, pluralisme ontologis melihat bahwa realitas merupakan jaringan relasi dinamis, di mana entitas saling memengaruhi, berinteraksi, dan membentuk struktur koheren tanpa kehilangan otonomi masing-masing. Dalam pendekatan ini, relasi bukan sekadar atribut tambahan, tetapi merupakan bagian integral dari eksistensi.⁵ Whitehead menyebutnya sebagai "relationality of becoming", di mana menjadi itu sendiri adalah hasil dari keterlibatan antar momen aktual.⁶

4.4.       Non-Reduksionisme dan Multikausalitas

Pluralisme menolak pandangan reduksionisme ontologis, yakni penyederhanaan segala bentuk eksistensi ke dalam satu jenis substansi atau prinsip kausalitas tunggal. Sebaliknya, pluralisme mengakui adanya multikausalitas, yaitu bahwa berbagai bentuk realitas memiliki sebab dan asal-usul yang berbeda-beda.⁷ Ini penting dalam menjelaskan fenomena kompleks seperti kesadaran, nilai moral, atau relasi sosial, yang tidak dapat direduksi menjadi semata-mata materi atau determinisme fisik.⁸

4.5.       Keterbukaan Ontologis (Ontological Openness)

Prinsip penting lainnya adalah bahwa dunia pluralistik bersifat terbuka: ia tidak ditentukan secara final oleh struktur tunggal atau hukum universal yang rigid. Dalam semesta pluralistik, selalu terbuka kemungkinan munculnya entitas baru, bentuk eksistensi baru, atau cara relasi baru. Ini berbeda dari metafisika totalistik yang berusaha menutup dunia dalam sistem rasional tertutup.⁹ Dalam semangat ini, William James menggambarkan dunia plural sebagai “uncompleted and always in the making.”¹⁰


Kesimpulan Subbagian

Prinsip-prinsip ontologis pluralisme menyusun fondasi filosofis yang kokoh untuk menegaskan bahwa realitas tidak hanya terdiri dari banyak hal, tetapi keragaman itu bersifat mendasar, aktif, dan terus berkembang. Kerangka ini memberi alternatif yang kuat terhadap sistem metafisika yang bersifat menyederhanakan, dan membuka ruang konseptual bagi realitas yang kompleks, relasional, dan dinamis.


Footnotes

[1]                G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 270.

[2]                G.W. Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford: Clarendon Press, 1898), §§8–14.

[3]                Michael J. Loux dan Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2017), 219–220.

[4]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 27–29.

[5]                Nicholas Rescher, Pluralism: Against the Demand for Consensus (Oxford: Oxford University Press, 1995), 18–21.

[6]                Whitehead, Process and Reality, 41.

[7]                Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2014), 87–91.

[8]                David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 93–98.

[9]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxvii.

[10]             William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 321–322.


5.           Tokoh-Tokoh Kunci dan Pandangan Mereka

Pluralisme sebagai aliran ontologis telah diperkaya oleh pemikiran para filsuf dari berbagai zaman yang menawarkan pemahaman berbeda terhadap keragaman realitas. Tokoh-tokoh berikut ini berperan penting dalam membentuk fondasi teoretis pluralisme dan memperluas cakupan aplikasinya dalam pemikiran metafisika.

5.1.       Empedokles (ca. 495–435 SM): Pluralisme Unsur

Sebagai filsuf pra-Sokratik, Empedokles merupakan salah satu tokoh awal yang secara eksplisit menolak monisme Eleatik. Ia berpendapat bahwa seluruh realitas tersusun dari empat unsur dasar—tanah, air, udara, dan api—yang tak dapat direduksi satu sama lain.⁽¹⁾ Proses perubahan terjadi bukan karena penciptaan dari ketiadaan, tetapi melalui penggabungan dan pemisahan unsur-unsur ini di bawah pengaruh dua kekuatan metafisik: Love (philia) dan Strife (neikos).⁽²⁾ Bagi Empedokles, keberagaman dunia bersumber dari interaksi kompleks antar unsur yang setara secara ontologis.

5.2.       Anaxagoras (ca. 500–428 SM): Nous dan Benih-Benih Segala Sesuatu

Anaxagoras melanjutkan warisan pluralistik dengan gagasan bahwa realitas terbentuk dari aneka benih (spermata) yang hadir dalam segala hal. Ia menyatakan bahwa setiap benda mengandung unsur dari semua hal lainnya, dan perbedaan hanyalah perihal dominasi salah satu unsur tertentu.⁽³⁾ Anaxagoras memperkenalkan konsep nous (akal kosmis) sebagai prinsip pengatur yang menginisiasi gerakan dan keteraturan dalam semesta yang majemuk.⁽⁴⁾ Dengan demikian, ia menggabungkan pluralitas material dengan satu prinsip immaterial yang mengaturnya.

5.3.       G.W. Leibniz (1646–1716): Monadologi dan Dunia Jamak

Dalam filsafat modern, Gottfried Wilhelm Leibniz memberikan kontribusi besar melalui teorinya tentang monad. Dalam Monadology, ia menyatakan bahwa alam semesta terdiri atas entitas metafisik sederhana dan tidak dapat dibagi—monad—yang bersifat otonom, non-materi, dan berbeda satu sama lain.⁽⁵⁾ Setiap monad mencerminkan alam semesta dari sudut pandangnya sendiri dan berkembang menurut prinsip internal, tanpa interaksi kausal eksternal. Pluralisme Leibniz bersifat metafisik dan harmoni, karena meskipun entitasnya majemuk, semuanya terkoordinasi melalui harmonia praestabilita oleh Tuhan.⁽⁶⁾

5.4.       William James (1842–1910): Pluralisme Eksistensial dan Pragmatis

Sebagai tokoh utama dalam aliran pragmatisme Amerika, William James mengembangkan pluralisme ontologis dengan pendekatan eksistensial. Ia menolak sistem filsafat tertutup yang totalistik seperti Hegelianisme, dan menegaskan bahwa realitas adalah “semesta yang belum selesai” (unfinished universe), penuh kemungkinan, perbedaan, dan konflik nilai.⁽⁷⁾ Dalam A Pluralistic Universe, ia menulis bahwa “the world is not one unit of fact, but possibly many,” dan mengkritik ide “absolute unity” sebagai bentuk kekerasan terhadap pengalaman hidup yang kompleks.⁽⁸⁾ James menekankan keterbukaan ontologis dan menolak reduksionisme sistematis.

5.5.       Alfred North Whitehead (1861–1947): Filsafat Proses dan Relasi

Whitehead, melalui karya monumentalnya Process and Reality, membangun sistem metafisika berbasis pluralitas dinamis. Ia memandang realitas sebagai rangkaian peristiwa aktual (actual occasions) yang saling terkait dalam jaringan relasional yang terus berubah.⁽⁹⁾ Tidak ada entitas yang statis; semua keberadaan adalah hasil dari proses menjadi. Dalam pandangan ini, pluralitas bukan sekadar perbedaan jumlah, tetapi struktur realitas itu sendiri, yang bersifat relasional dan terbuka.⁽¹⁰⁾ Filsafat proses Whitehead memberikan kontribusi besar terhadap pluralisme kontemporer, khususnya dalam diskursus ekologi, sistem kompleks, dan spiritualitas.


Kesimpulan Subbagian

Kontribusi para tokoh di atas menunjukkan bahwa pluralisme bukan sekadar sebuah konsep metafisik statis, melainkan sebuah cara memahami realitas sebagai jaringan entitas yang beragam, independen, dan dinamis. Dari kerangka unsur-unsur Empedokles hingga teori monad Leibniz dan proses dinamis Whitehead, pluralisme terus berkembang sebagai pendekatan ontologis yang mempertahankan kompleksitas dan multivokalitas eksistensi.


Footnotes

[1]                Richard McKirahan, Philosophy Before Socrates: An Introduction with Texts and Commentary, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2011), 296–299.

[2]                Ibid., 301–302.

[3]                Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers, rev. ed. (London: Routledge, 1982), 362–364.

[4]                G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 371–373.

[5]                G.W. Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford: Clarendon Press, 1898), §§1–20.

[6]                Ibid., §§57–78.

[7]                William James, Pragmatism and Other Essays (New York: Washington Square Press, 1963), 144–148.

[8]                William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 321–326.

[9]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–29.

[10]             Ibid., 35–37.


6.           Pluralisme dan Permasalahan Metafisik

Meskipun pluralisme dalam ontologi menawarkan pemahaman yang lebih inklusif dan realistis terhadap kompleksitas dunia, pendekatan ini juga memunculkan sejumlah permasalahan metafisik yang tidak sederhana. Masalah-masalah ini berkaitan dengan bagaimana pluralisme menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti identitas, perubahan, kesatuan, kausalitas, dan hubungan antara entitas yang beragam. Dalam konteks ini, pluralisme ditantang untuk tetap menjaga koherensi ontologis sambil mempertahankan keragaman esensial yang menjadi karakter utamanya.

6.1.       Masalah Identitas dan Perubahan

Salah satu persoalan klasik dalam metafisika adalah bagaimana sesuatu bisa berubah tanpa kehilangan identitasnya. Dalam kerangka pluralisme, di mana entitas dianggap independen dan unik, perubahan dapat mengaburkan batas identitas. Jika entitas selalu berada dalam proses menjadi (seperti dalam filsafat proses Whitehead), maka bagaimana kita dapat menetapkan identitas yang tetap dari entitas tersebut?⁽¹⁾ Pluralisme harus menjelaskan bagaimana perbedaan tidak berarti disolusi, dan bagaimana kontinuitas dapat dikonstruksi tanpa mengingkari pluralitas.

Whitehead memecahkan ini dengan menyatakan bahwa entitas tidak memiliki “identitas substansial” yang tetap, tetapi memiliki identitas sebagai proses aktualisasi, yaitu pola historis yang terbentuk dari rangkaian peristiwa aktual.⁽²⁾ Namun pendekatan ini tetap menuai kritik karena tampak menggantikan substansi dengan fluks, yang sulit dijadikan dasar identitas yang stabil.

6.2.       Masalah Kesatuan dalam Keragaman

Pluralisme juga menghadapi tantangan dalam menjelaskan kesatuan realitas. Jika dunia terdiri dari banyak unsur yang berbeda dan tidak dapat direduksi, bagaimana mungkin terdapat struktur ontologis yang kohesif? Apakah pluralisme mengarah pada fragmentasi ontologis, atau masih memungkinkan pengakuan atas suatu bentuk kesatuan fungsional atau harmoni?

Leibniz menjawab persoalan ini dengan konsep harmonia praestabilita, bahwa monad-monad yang majemuk tetap terkoordinasi oleh kehendak Tuhan, sehingga menciptakan kesatuan harmonis di tengah pluralitas substansial.⁽³⁾ Namun pendekatan ini mengandalkan asumsi teistik yang tidak selalu dapat diterima dalam kerangka metafisika sekuler kontemporer. Alternatifnya, filsuf seperti William James menolak totalitas koheren dan mengusulkan semesta yang tidak sepenuhnya satu, tetapi “dalam proses menjadi satu”—yakni semesta yang bersifat terbuka dan partisipatif.⁽⁴⁾

6.3.       Relasi dan Interaksi antar Entitas

Salah satu kritik umum terhadap pluralisme metafisik, terutama dalam bentuk ekstrem seperti monadologi, adalah ketiadaan interaksi kausal antar entitas. Jika entitas-entitas metafisik benar-benar otonom dan tertutup (seperti monad Leibniz), maka bagaimana menjelaskan hubungan nyata, perubahan, atau proses di dunia empiris?

Whitehead mengatasi problem ini dengan menggantikan entitas statis dengan peristiwa dinamis yang terbentuk dalam jaringan relasi kausal.⁽⁵⁾ Dalam filsafat proses, entitas berinteraksi secara inheren melalui “prehensions” (penyerapan pengalaman dari entitas lain), sehingga hubungan menjadi struktur dasar realitas, bukan sekadar fenomena sekunder.⁽⁶⁾ Pendekatan ini menjadi solusi pluralistik yang tetap mempertahankan interdependensi ontologis di tengah keberagaman.

6.4.       Masalah Reduksi dan Hierarki Ontologis

Pluralisme juga bergulat dengan masalah reduksi dan hierarki. Jika tidak semua entitas setara (misalnya: pikiran vs. materi, nilai vs. fakta), maka bagaimana pluralisme menata relasi hierarkis tanpa kembali pada bentuk reduksionisme terselubung? Dalam pluralisme sejati, tidak boleh ada satu domain yang mengklaim keutamaan ontologis mutlak.

Pluralisme epistemologis, seperti yang dikembangkan oleh Hilary Putnam dan Michael Lynch, menyatakan bahwa berbagai jenis realitas memerlukan kategori penjelasan yang berbeda, dan tidak ada satu kerangka epistemik atau ontologis yang cukup untuk menjelaskan semuanya.⁽⁷⁾ Dengan demikian, pluralisme bukan hanya pengakuan atas banyaknya entitas, tetapi juga keragaman cara keberadaan (modes of being) dan keragaman cara mengetahui (modes of knowing).

6.5.       Risiko Relativisme Ontologis

Permasalahan metafisik terakhir yang sering diarahkan kepada pluralisme adalah risiko relativisme ontologis—yakni anggapan bahwa jika semuanya berbeda dan tidak ada satu prinsip universal, maka segala hal dapat dianggap ada menurut kriteria apa pun. Ini akan melemahkan klaim objektivitas dan memungkinkan masuknya kekacauan konseptual.

Namun para pembela pluralisme menanggapi bahwa pluralisme tidak identik dengan relativisme ekstrem. Pluralisme mengakui adanya kriteria internal dalam setiap domain ontologis, sehingga pluralitas tidak berarti kekacauan, melainkan tatanan jamak yang koheren dalam perbedaannya.⁽⁸⁾ Dalam hal ini, pluralisme berdiri di antara dua kutub ekstrem: absolutisme dan relativisme.


Kesimpulan Subbagian

Pluralisme sebagai teori ontologis yang menegaskan keragaman realitas harus berhadapan dengan serangkaian masalah metafisik serius. Namun justru dalam menjawab tantangan-tantangan ini, pluralisme memperlihatkan kekuatan reflektifnya: ia mampu mempertahankan keragaman tanpa menolak keterhubungan, mendukung dinamika perubahan tanpa mengorbankan kontinuitas, serta menolak dominasi tunggal tanpa jatuh ke dalam relativisme. Ini menunjukkan bahwa pluralisme bukan sekadar posisi metafisik, tetapi sebuah strategi filsafat untuk memahami dunia yang kompleks dan berlapis.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2014), 104–106.

[2]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–24.

[3]                G.W. Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford: Clarendon Press, 1898), §§56–60.

[4]                William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 326–328.

[5]                Whitehead, Process and Reality, 35–38.

[6]                Ibid., 45–48.

[7]                Michael P. Lynch, Truth as One and Many (Oxford: Oxford University Press, 2009), 71–73.

[8]                Nicholas Rescher, The Strife of Systems: An Essay on the Grounds and Implications of Philosophical Diversity (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1985), 91–94.


7.           Implikasi Pluralisme dalam Bidang Filsafat Lain

Pluralisme ontologis tidak hanya memiliki dampak dalam ruang metafisika, tetapi juga memberikan pengaruh signifikan terhadap cabang-cabang filsafat lainnya, seperti epistemologi, etika, filsafat agama, dan filsafat politik. Karena pluralisme menegaskan bahwa realitas itu jamak, berlapis, dan tidak dapat direduksi kepada satu prinsip tunggal, maka pendekatan ini memperkaya cara kita memahami pengetahuan, nilai, keimanan, dan kehidupan sosial-politik. Di bawah ini akan diuraikan bagaimana pluralisme ontologis memperluas horizon dalam beberapa disiplin filsafat.

7.1.       Dalam Epistemologi: Keanekaragaman Perspektif dan Kebenaran Jamak

Pluralisme ontologis melahirkan pluralisme epistemologis, yakni pandangan bahwa pengetahuan tidak bisa diklaim secara tunggal dan absolut, melainkan beragam berdasarkan konteks, pendekatan, dan kerangka dunia. Dalam perspektif ini, kebenaran bukanlah satu blok tunggal yang bersifat absolut, melainkan jamak dan beraneka cara pengungkapannya, tergantung pada objek pengetahuan dan metode pendekatannya.¹

Filsuf seperti Michael Lynch mengusulkan bahwa kebenaran harus dipahami sebagai sesuatu yang “satu dan banyak” (truth as one and many): satu dalam fungsi, tetapi banyak dalam wujudnya.² Ia berpendapat bahwa tidak ada satu teori kebenaran tunggal yang memadai untuk semua jenis pernyataan—misalnya, teori koherensi untuk norma moral, teori korespondensi untuk fakta fisik, dan teori pragmatis untuk praktik sosial. Dengan demikian, pluralisme epistemologis memungkinkan keterbukaan terhadap berbagai bentuk pengetahuan, tanpa kehilangan aspirasi rasionalitas.

7.2.       Dalam Etika: Pengakuan terhadap Pluralitas Nilai dan Prinsip Moral

Dalam ranah etika, pluralisme ontologis memberi dasar bagi pluralisme nilai (value pluralism), yaitu keyakinan bahwa terdapat berbagai jenis nilai moral yang sah, dan tidak semua nilai dapat diukur dengan satu ukuran universal.³

Isaiah Berlin, sebagai salah satu pengusung value pluralism, menyatakan bahwa dalam dunia nyata, nilai-nilai moral seperti kebebasan, keadilan, dan belas kasih sering kali tidak dapat direkonsiliasi secara sempurna.⁴ Pluralisme mendorong kita untuk menerima kenyataan bahwa konflik nilai bukanlah bentuk kesalahan moral, tetapi ekspresi dari kompleksitas realitas moral itu sendiri. Dalam konteks ini, pluralisme memperkuat toleransi, kompromi, dan dialog antar sistem etika yang berbeda.

7.3.       Dalam Filsafat Agama: Dasar Ontologis bagi Toleransi dan Keragaman Iman

Dalam filsafat agama, pluralisme ontologis mendukung pandangan bahwa berbagai tradisi keagamaan mencerminkan aspek yang berbeda dari realitas transenden. Pandangan ini menolak klaim tunggal dan eksklusif atas kebenaran ilahi dan membuka jalan bagi pluralisme religius, yakni pengakuan atas keabsahan dan makna spiritual dalam berbagai agama.⁵

John Hick, seorang tokoh penting dalam teologi pluralistik, berpendapat bahwa agama-agama besar dunia merupakan respons manusia yang berbeda terhadap Realitas Transenden yang sama, yang ia sebut sebagai The Real.⁶ Perspektif ini berpijak pada pengakuan pluralisme ontologis, bahwa transendensi tidak dapat direduksi ke dalam satu bentuk fenomenal atau satu bahasa teologis.

7.4.       Dalam Filsafat Politik: Legitimasi terhadap Multikulturalisme dan Demokrasi Deliberatif

Pluralisme ontologis juga memberikan dasar filosofis bagi filsafat politik pluralistik, yang menghargai keberagaman identitas, pandangan hidup, dan struktur sosial. Dalam masyarakat modern yang multikultural, pluralisme menjadi landasan normatif untuk menghormati keberbedaan tanpa memaksakan homogenisasi budaya atau ideologi.⁷

Filsuf seperti Charles Taylor dan William Galston menegaskan bahwa negara demokratis seharusnya memberi ruang bagi komunitas dan individu untuk menyuarakan nilai-nilai mereka sendiri, selama tidak mengancam prinsip keadilan umum.⁸ Dalam kerangka pluralistik ini, demokrasi deliberatif menjadi model politik yang paling cocok, karena melibatkan dialog antar posisi yang beragam tanpa perlu menyatukannya secara paksa dalam satu pandangan dominan.


Kesimpulan Subbagian

Dengan menegaskan bahwa realitas bersifat jamak dan tidak dapat direduksi, pluralisme ontologis memberikan kerangka konseptual yang kuat untuk memahami keanekaragaman dalam pengetahuan, nilai, keyakinan, dan kehidupan sosial-politik. Implikasinya luas dan mendalam: dari epistemologi yang inklusif, etika yang dialogis, hingga politik yang demokratis dan teologis yang terbuka. Pluralisme tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga menawarkan etos keberagaman sebagai asas hidup bersama.


Footnotes

[1]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 128–130.

[2]                Michael P. Lynch, Truth as One and Many (Oxford: Oxford University Press, 2009), 3–5.

[3]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 60–62.

[4]                Isaiah Berlin, The Crooked Timber of Humanity: Chapters in the History of Ideas, ed. Henry Hardy (Princeton: Princeton University Press, 1990), 79–81.

[5]                Gavin D’Costa, The Meeting of Religions and the Trinity (Edinburgh: T&T Clark, 2000), 56–58.

[6]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 240–244.

[7]                Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 76–78.

[8]                William Galston, Liberal Pluralism: The Implications of Value Pluralism for Political Theory and Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 6–12.


8.           Kritik dan Evaluasi terhadap Pluralisme

Sebagai aliran dalam ontologi yang menekankan keragaman dan kompleksitas realitas, pluralisme telah menjadi titik tolak penting dalam filsafat kontemporer. Namun demikian, pluralisme bukan tanpa kritik. Para pemikir dari berbagai aliran metafisika menyoroti sejumlah masalah filosofis mendasar yang ditimbulkan oleh pendekatan pluralistik. Kritik-kritik ini berkisar dari tuduhan incoherence, relativisme ontologis, hingga ketidakmampuan pluralisme memberikan kerangka yang konsisten dan praktis bagi pemahaman realitas. Di sisi lain, pluralisme juga memiliki respons kritis dan kekuatan tersendiri dalam menjawab tantangan tersebut.

8.1.       Tuduhan Incoherence dan Fragmentasi Realitas

Salah satu kritik paling umum terhadap pluralisme adalah tuduhan ketidakkoherenan internal. Para pengkritik berpendapat bahwa dengan mengafirmasi keberadaan banyak entitas atau prinsip tanpa satu kesatuan struktural yang mengikatnya, pluralisme cenderung mengarah pada fragmentasi pemahaman tentang realitas.⁽¹⁾ Dalam konteks ini, pluralisme dianggap tidak mampu memberikan jawaban sistematis tentang bagaimana berbagai entitas atau domain realitas dapat saling terhubung dan bekerja dalam satu tatanan dunia.

Filsuf analitik seperti Alvin Plantinga menyatakan bahwa tanpa asumsi dasar tertentu yang mengatur keragaman realitas, pluralisme dapat kehilangan daya penjelas dan jatuh pada posisi metafisik yang kabur.⁽²⁾ Jika setiap entitas sepenuhnya otonom, maka bagaimana menjelaskan keteraturan, kausalitas, atau relasi fungsional di antara mereka?

8.2.       Risiko Relativisme Ontologis dan Epistemologis

Kritik lain yang sering diarahkan kepada pluralisme adalah bahwa ia membuka jalan bagi relativisme ontologis, yaitu pandangan bahwa semua cara eksistensi sama benarnya dan tidak ada landasan obyektif untuk menilai superioritas suatu entitas atau struktur realitas.⁽³⁾ Dalam versi yang lebih ekstrem, pluralisme dituding dapat merelatifkan struktur pengetahuan itu sendiri, sehingga mengaburkan batas antara realitas objektif dan konstruksi sosial.

Sebagai contoh, Paul Boghossian mengkritik pluralisme epistemologis sebagai bentuk “epistemic incoherence” karena menolak adanya standar universal dalam penilaian kebenaran.⁽⁴⁾ Dalam konteks ini, pluralisme dianggap mengaburkan batas antara sains dan kepercayaan, fakta dan opini, sehingga melemahkan proyek rasionalitas kritis dalam filsafat.

8.3.       Kritik dari Monisme dan Materialisme Reduksionis

Dari sudut pandang monisme, baik idealistik maupun materialistik, pluralisme dikritik sebagai pendekatan yang tidak efisien secara ontologis. Sebuah sistem metafisika seharusnya mencari penjelasan paling sederhana dan ekonomis, yakni dengan mereduksi seluruh realitas pada satu prinsip dasar—apakah itu kesadaran (seperti dalam idealisme) atau materi (seperti dalam materialisme ilmiah).⁽⁵⁾

Daniel Dennett, misalnya, menolak pluralisme metafisik dalam studi kesadaran karena dianggap terlalu spekulatif dan tidak konsisten dengan prinsip naturalistik.⁽⁶⁾ Bagi kaum materialis eliminatif, keberagaman yang diakui oleh pluralisme hanyalah kompleksitas fenomenal yang pada akhirnya dapat dijelaskan melalui proses fisik atau biologis.

8.4.       Tantangan terhadap Konsistensi dan Keteraplikasian

Pluralisme juga dikritik karena kesulitannya dalam diterapkan secara konsisten dalam praktik ilmiah dan logika sistematis. Para filsuf logika dan ilmuwan sering kali membutuhkan kerangka ontologis yang stabil dan dapat direduksi untuk membangun hukum universal atau model prediktif. Dalam banyak kasus, pluralisme dianggap tidak kompatibel dengan kebutuhan formalisasi dan universalitas dalam sains.⁽⁷⁾

Lebih lanjut, pluralisme bisa dianggap tidak praktis karena menyulitkan pengambilan keputusan etis dan politik. Jika semua nilai dan entitas dianggap memiliki status ontologis yang setara, bagaimana mungkin kita menyusun prioritas, membuat evaluasi, atau menyelesaikan konflik secara normatif?

8.5.       Evaluasi dan Respons dari Pendukung Pluralisme

Meskipun kritik terhadap pluralisme cukup kuat, banyak pemikir pluralis memberikan respons filosofis yang tajam dan mendalam. Nicholas Rescher, misalnya, menegaskan bahwa pluralisme tidak harus incoherent, selama kita memahami bahwa dunia memang kompleks, berlapis, dan mengandung dimensi yang tak dapat direduksi satu sama lain.⁽⁸⁾ Pluralisme bukan penolakan terhadap rasionalitas, melainkan ekspresi dari rasionalitas yang mampu menghadapi kenyataan dunia yang tidak seragam.

William James juga dengan tegas menolak bahwa pluralisme identik dengan kekacauan. Baginya, pluralisme adalah pengakuan terhadap kenyataan yang masih terbuka dan berkembang, yang justru lebih realistis dibandingkan sistem metafisika absolut yang cenderung mengunci dunia dalam struktur rasional tertutup.⁽⁹⁾

Dengan demikian, pluralisme dapat dianggap sebagai bentuk ontologi dinamis, yang lebih cocok untuk memahami dunia dalam konteks postmodern, global, dan kompleks seperti saat ini. Ia tidak menjanjikan kepastian mutlak, tetapi kerangka konseptual yang fleksibel dan terbuka terhadap kenyataan yang terus bergerak.


Kesimpulan Subbagian

Pluralisme sebagai aliran ontologis memang tidak lepas dari kritik, baik dari sisi koherensi, epistemologi, hingga keteraplikasian praktisnya. Namun, kekuatan pluralisme justru terletak pada kemampuannya merespons tantangan-tantangan itu secara reflektif dan kontekstual. Pluralisme tidak menawarkan sistem metafisika tertutup, melainkan cara berpikir yang menghargai keragaman, keterbukaan, dan dinamika realitas, yang semakin relevan di tengah kompleksitas dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2014), 123–125.

[2]                Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (Oxford: Oxford University Press, 1993), 211–213.

[3]                Richard Rorty, Objectivity, Relativism, and Truth: Philosophical Papers, Volume 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 22–26.

[4]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 13–17.

[5]                Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2006), 76–79.

[6]                Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 408–412.

[7]                W.V.O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 44–46.

[8]                Nicholas Rescher, The Strife of Systems: An Essay on the Grounds and Implications of Philosophical Diversity (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1985), 95–98.

[9]                William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 327–329.


9.           Relevansi Pluralisme dalam Diskursus Ontologis Kontemporer

Dalam lanskap pemikiran filsafat kontemporer, pluralisme ontologis mengalami kebangkitan makna dan fungsi, terutama sebagai respons terhadap tantangan kompleksitas, fragmentasi, dan krisis representasi yang menjadi ciri khas era modern dan postmodern. Pluralisme menawarkan kerangka konseptual yang lentur dan terbuka, yang memungkinkan pemahaman realitas secara berlapis, majemuk, dan dinamis. Dalam konteks ini, pluralisme tidak hanya relevan sebagai doktrin metafisik, tetapi juga sebagai paradigma ontologis transdisipliner yang menyentuh ranah ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, hingga ekologi.

9.1.       Pluralisme dan Ontologi Pascamodern

Dalam wacana pascamodern, pluralisme berfungsi sebagai reaksi terhadap klaim totalitas dan universalitas yang dikemukakan oleh sistem metafisika modern, seperti rasionalisme Cartesian, idealisme Hegelian, dan positivisme logis. Filsuf seperti Jean-François Lyotard secara tegas menolak metanarratives (narasi besar) yang mengklaim menjelaskan segala sesuatu dalam satu sistem tunggal, dan sebagai gantinya mengusulkan pendekatan yang menegaskan “incommensurability” atau ketaksetarajaman antar diskursus.¹ Pluralisme dalam konteks ini menjadi model ontologis yang koheren dengan dunia pascamodern: dunia yang terdiri dari banyak realitas sosial, budaya, dan bahasa yang tidak selalu dapat direduksi atau direkonsiliasi.

9.2.       Pluralisme dan Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Dalam epistemologi sains dan filsafat ilmu, pluralisme ontologis mendukung pendekatan pluralisme metodologis dan ontologi domain-spesifik. Para filsuf sains seperti Nancy Cartwright berpendapat bahwa hukum-hukum ilmiah tidak berlaku universal untuk seluruh realitas, melainkan bekerja secara lokal dalam sistem atau konteks tertentu.² Artinya, realitas tidak tunduk pada satu sistem hukum alam tunggal, tetapi terdiri dari berbagai order atau tatanan parsial yang masing-masing memerlukan pendekatan analitis tersendiri.

Pandangan ini juga mendorong berkembangnya ontologi plural dalam ilmu komputer dan sistem informasi, di mana model realitas dibangun secara kontekstual berdasarkan kebutuhan pengguna atau domain aplikasi.³ Dengan kata lain, pluralisme menjadi landasan konseptual untuk memahami dan membangun representasi dunia yang tidak seragam secara ontologis.

9.3.       Pluralisme dan Teknologi Digital

Perkembangan teknologi digital, terutama realitas virtual, augmented reality, dan kecerdasan buatan, semakin menunjukkan bahwa realitas tidak lagi dapat dipahami secara tunggal. Pluralisme memberikan dasar ontologis untuk menerima keberadaan entitas digital sebagai bagian dari lanskap eksistensial baru.⁴ Dunia virtual tidak sekadar tiruan realitas fisik, melainkan realitas ontologis yang memiliki struktur, agensi, dan dinamika sendiri.

Dalam konteks ini, pluralisme membantu menjembatani pemikiran filosofis dengan tantangan teknologi kontemporer, dengan mengakui bahwa realitas digital bukan ilusi belaka, melainkan perlu didekati sebagai lapisan ontologis baru yang koeksisten dengan realitas fisik dan sosial.

9.4.       Pluralisme dalam Filsafat Ekologi dan Alam

Filsafat lingkungan dan ekologi kontemporer juga mengadopsi prinsip pluralisme untuk mengakui keberagaman bentuk kehidupan, sistem ekologis, dan nilai-nilai non-antropocentris. Alih-alih memandang alam sebagai objek pasif atau sekadar sumber daya, pluralisme ontologis membuka ruang bagi pengakuan terhadap agensi non-manusia, seperti hewan, tumbuhan, bahkan entitas geologis, sebagai aktor eksistensial dalam jaringan kehidupan.⁵

Filsuf seperti Bruno Latour dan Timothy Morton mengembangkan pendekatan ini dalam kerangka “object-oriented ontology” dan ekologi gelap, yang menolak dikotomi klasik antara subjek dan objek.⁶ Pluralisme ontologis dalam konteks ini memberikan dasar untuk etika ekologis yang menghormati keberagaman entitas secara setara, tanpa reduksi hierarkis.

9.5.       Pluralisme dan Kehidupan Multikultural Global

Dalam konteks globalisasi dan pluralitas budaya, pluralisme ontologis memainkan peran penting dalam menyusun ontologi keberagaman manusia yang tidak jatuh pada homogenisasi atau relativisme. Pluralisme memberikan dasar filosofis untuk menghargai berbagai bentuk kehidupan, identitas, sistem kepercayaan, dan cara mengada, sebagai sesuatu yang sah secara ontologis.

Filsuf seperti Bhikhu Parekh dan Charles Taylor menekankan pentingnya pluralisme sebagai prinsip normatif dalam masyarakat majemuk, yang memungkinkan pengakuan terhadap identitas kolektif tanpa menegaskan dominasi budaya tertentu.⁷ Dalam dunia yang semakin saling terkait namun tetap berbeda, pluralisme menjadi kerangka filsafat yang merayakan keberagaman tanpa kehilangan komitmen terhadap dialog dan keadilan.


Kesimpulan Subbagian

Pluralisme dalam diskursus ontologis kontemporer bukan hanya tetap relevan, tetapi menjadi semakin sentral dan strategis dalam menjawab tantangan zaman. Ia bukan sekadar respons terhadap kekakuan metafisika klasik, tetapi pendekatan filosofis yang mampu merangkul dunia yang majemuk, kompleks, dan terus berkembang. Dalam bidang ilmu, teknologi, ekologi, dan sosial budaya, pluralisme ontologis menjadi jembatan yang menghubungkan filsafat dengan kenyataan hidup yang penuh keragaman.


Footnotes

[1]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxvii.

[2]                Nancy Cartwright, The Dappled World: A Study of the Boundaries of Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 2–6.

[3]                Ron Giere, Scientific Perspectivism (Chicago: University of Chicago Press, 2006), 92–95.

[4]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 10–14.

[5]                Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 189–192.

[6]                Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 103–105; Timothy Morton, Ecology without Nature: Rethinking Environmental Aesthetics (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 119–124.

[7]                Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, 2nd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2006), 87–90; Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–30.


10.       Kesimpulan

Pluralisme dalam ontologi bukan hanya sebuah posisi metafisik, tetapi merupakan kerangka konseptual yang merevolusi cara kita memahami realitas dalam segala keragaman dan dinamika yang menyertainya. Dengan menolak reduksionisme—baik dalam bentuk monisme substansial maupun dualisme oposisi—pluralisme mengakui bahwa realitas terdiri atas banyak entitas, dimensi, dan struktur yang tidak dapat direduksi ke dalam satu prinsip universal.¹

Melalui pembacaan historis terhadap para pemikir pluralis seperti Empedokles, Anaxagoras, Leibniz, William James, dan Whitehead, kita dapat melihat bahwa pluralisme berkembang dari spekulasi kosmologis hingga menjadi sistem metafisika yang matang dan reflektif.²³ Tokoh-tokoh ini menunjukkan bahwa pluralitas bukanlah gangguan bagi filsafat, tetapi justru cerminan otentik dari kenyataan yang sedang berlangsung dan selalu berubah.

Dalam menghadapi permasalahan metafisik klasik seperti identitas, kesatuan, relasi, dan kausalitas, pluralisme mengusulkan pendekatan yang lebih dinamis dan kontekstual. Meski menerima kritik terkait potensi incoherence, relativisme, dan ketidakefisienan ontologis, pluralisme tetap memiliki kapasitas tanggapan yang rasional dan filosofis.⁴⁵ Respons dari para filsuf seperti Nicholas Rescher dan William James membuktikan bahwa pluralisme bukan bentuk kelemahan, tetapi justru strategi epistemik yang realistis dalam menghadapi kerumitan realitas.

Lebih jauh, relevansi pluralisme semakin menonjol dalam diskursus kontemporer, baik dalam filsafat pascamodern, epistemologi sains, teknologi digital, ekologi, maupun teori sosial-politik. Pluralisme mendukung keberagaman perspektif dalam sains (Nancy Cartwright), memperluas cakrawala realitas digital (Luciano Floridi), serta memberikan dasar filosofis bagi demokrasi dan multikulturalisme (Charles Taylor, Bhikhu Parekh).⁶⁷

Dengan demikian, pluralisme dalam ontologi dapat disimpulkan sebagai pandangan metafisik yang tidak hanya menggambarkan realitas sebagaimana adanya, tetapi juga memberikan kerangka interpretatif yang kaya, terbuka, dan inklusif untuk menanggapi kompleksitas dunia. Ia mengajak kita untuk memahami dunia bukan sebagai sistem yang sudah selesai dan tertutup, melainkan sebagai semesta yang masih terbuka, plural, dan sedang terus diciptakan.⁸ Dalam era global yang ditandai oleh keragaman nilai, identitas, dan cara hidup, pluralisme menjadi salah satu fondasi filosofis yang paling kuat untuk mengartikulasikan kehidupan bersama secara adil, reflektif, dan transformatif.


Footnotes

[1]                Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2014), 15–16.

[2]                Richard McKirahan, Philosophy Before Socrates: An Introduction with Texts and Commentary, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2011), 296–303.

[3]                William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard University Press, 1977), 320–326.

[4]                Nicholas Rescher, The Strife of Systems: An Essay on the Grounds and Implications of Philosophical Diversity (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1985), 91–98.

[5]                Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and Constructivism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 13–17.

[6]                Nancy Cartwright, The Dappled World: A Study of the Boundaries of Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 2–6.

[7]                Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, 2nd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2006), 87–90.

[8]                William James, A Pluralistic Universe, 326–328.


Daftar Pustaka

Barnes, J. (1982). The Presocratic philosophers (Rev. ed.). Routledge.

Berlin, I. (1990). The crooked timber of humanity: Chapters in the history of ideas (H. Hardy, Ed.). Princeton University Press.

Boghossian, P. (2006). Fear of knowledge: Against relativism and constructivism. Oxford University Press.

Cartwright, N. (1999). The dappled world: A study of the boundaries of science. Cambridge University Press.

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown.

D’Costa, G. (2000). The meeting of religions and the Trinity. T&T Clark.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Giere, R. N. (2006). Scientific perspectivism. University of Chicago Press.

Hick, J. (1989). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent. Yale University Press.

James, W. (1963). Pragmatism and other essays. Washington Square Press.

James, W. (1977). A pluralistic universe. Harvard University Press.

Kim, J. (2006). Philosophy of mind (2nd ed.). Westview Press.

Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M. (1983). The Presocratic philosophers (2nd ed.). Cambridge University Press.

Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Harvard University Press.

Leibniz, G. W. (1898). Monadology (R. Latta, Trans.). Clarendon Press.

Loux, M. J., & Crisp, T. M. (2017). Metaphysics: A contemporary introduction (4th ed.). Routledge.

Lynch, M. P. (2009). Truth as one and many. Oxford University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

McKirahan, R. (2011). Philosophy before Socrates: An introduction with texts and commentary (2nd ed.). Hackett Publishing.

Morton, T. (2007). Ecology without nature: Rethinking environmental aesthetics. Harvard University Press.

Parekh, B. (2006). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity and political theory (2nd ed.). Palgrave Macmillan.

Plantinga, A. (1993). Warrant and proper function. Oxford University Press.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of nature. Routledge.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Quine, W. V. O. (1953). From a logical point of view. Harvard University Press.

Rescher, N. (1985). The strife of systems: An essay on the grounds and implications of philosophical diversity. University of Pittsburgh Press.

Rescher, N. (1995). Pluralism: Against the demand for consensus. Oxford University Press.

Stace, W. T. (1920). A critical history of Greek philosophy. Macmillan.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1994). Multiculturalism: Examining the politics of recognition (A. Gutmann, Ed.). Princeton University Press.

van Inwagen, P. (2014). Metaphysics (4th ed.). Westview Press.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar