Pluralisme
Keragaman Realitas sebagai Asas Eksistensial
Alihkan ke: Aliran Filsafat Ontologi.
Abstrak
Artikel ini membahas pluralisme sebagai salah satu
aliran dalam filsafat ontologi yang menekankan keragaman realitas sebagai asas
eksistensial. Pluralisme menolak reduksionisme ontologis yang melihat realitas
sebagai satu substansi tunggal (monisme) atau dua substansi
utama (dualisme), dan sebagai gantinya menegaskan keberadaan banyak
entitas yang otonom namun saling berelasi. Melalui kajian historis terhadap
pemikiran tokoh-tokoh utama seperti Empedokles, Anaxagoras, Leibniz, William
James, dan Whitehead, artikel ini menunjukkan bahwa pluralisme memiliki fondasi
konseptual yang kuat dan berkembang secara dinamis. Pembahasan meliputi
prinsip-prinsip dasar pluralisme, permasalahan metafisik yang dihadapinya,
serta implikasinya dalam bidang epistemologi, etika, filsafat agama, dan
politik. Kritik terhadap pluralisme juga dianalisis secara kritis untuk
menunjukkan respons-respons filosofis yang menguatkan posisinya sebagai
pendekatan ontologis yang relevan. Artikel ini menegaskan bahwa pluralisme
memiliki daya jangkau luas dalam diskursus kontemporer—terutama dalam
menghadapi kompleksitas dunia pascamodern, perkembangan teknologi, keberagaman
budaya, dan krisis ekologis—sehingga menawarkan kerangka ontologis yang
terbuka, dinamis, dan inklusif dalam memahami realitas.
Kata Kunci: Pluralisme, ontologi, metafisika, keragaman
realitas, epistemologi pluralistik, filsafat kontemporer, multikulturalisme,
filsafat proses.
PEMBAHASAN
Pluralisme dalam Ontologi
1.
Pendahuluan
Ontologi, sebagai cabang utama dalam filsafat,
berupaya menjawab pertanyaan paling mendasar tentang apa yang
sungguh-sungguh ada dan bagaimana struktur dasar realitas itu terbentuk.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah realitas itu tunggal atau jamak?”,
“apakah segala sesuatu dapat direduksi pada satu substansi atau prinsip?”
dan “bagaimana relasi antar-entitas dalam eksistensi?” menjadi titik
tolak dari spekulasi ontologis sepanjang sejarah pemikiran manusia. Dalam
konteks inilah pluralisme muncul sebagai salah satu aliran penting yang
menawarkan jawaban alternatif terhadap dominasi pemikiran monistik dan dualistis
dalam metafisika.
Pluralisme dalam ontologi berpandangan bahwa
realitas terdiri atas banyak entitas yang tidak dapat direduksi kepada
satu substansi tunggal atau prinsip utama. Berbeda dengan monisme yang
menyatakan bahwa segala sesuatu pada akhirnya adalah satu (misalnya, hanya
materi atau hanya kesadaran), dan dualisme yang mempertahankan dikotomi dasar
(seperti tubuh dan jiwa), pluralisme menegaskan adanya keragaman esensial
dalam eksistensi itu sendiri. Pemikiran pluralistik menekankan bahwa dunia
tidak bersifat homogen, melainkan tersusun dari entitas-entitas yang berdiri
sendiri namun tetap saling terhubung dalam cara-cara yang kompleks dan dinamis.¹
Gagasan pluralisme tidak hanya memiliki akar dalam
filsafat klasik seperti yang dikemukakan oleh Empedokles—yang
mengusulkan bahwa empat elemen dasar (tanah, air, udara, api) adalah asas dari
segala sesuatu—tetapi juga menemukan bentuknya yang lebih konseptual dan
sistematis dalam pemikiran Gottfried Wilhelm Leibniz melalui teori monadologi,
serta dalam filsafat pragmatis William James yang menggambarkan semesta
sebagai “multiverse” alih-alih “universe”.²³ Pluralisme juga
menjadi relevan dalam filsafat kontemporer, terutama dalam diskursus yang
mengedepankan kompleksitas, relativitas perspektif, dan keberagaman dalam
realitas sosial, budaya, serta teknologi.
Dalam kerangka ini, pluralisme tidak sekadar
menjadi sebuah pandangan metafisik, melainkan sebuah paradigma ontologis
yang membuka ruang bagi keterlibatan berbagai entitas dan relasi tanpa
mengorbankan otonomi masing-masing unsur. Penegasan atas pluralitas realitas
ini menjadi penting dalam memahami dunia yang semakin saling berjejaring dan
beragam dalam manifestasi keberadaannya. Oleh karena itu, pembahasan tentang
pluralisme dalam ontologi bukan hanya penting secara teoritis, tetapi juga
memiliki implikasi luas dalam filsafat ilmu, etika, hingga filsafat agama dan
politik.⁴
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2014), 2–5.
[2]
Richard McKirahan, Philosophy Before Socrates:
An Introduction with Texts and Commentary, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2011), 296–303.
[3]
William James, A Pluralistic Universe
(Cambridge: Harvard University Press, 1977), 321–325.
[4]
Michael P. Lynch, Truth as One and Many
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–67.
2.
Definisi
dan Konsep Dasar Pluralisme
Dalam ontologi, pluralisme merujuk pada
pandangan bahwa realitas terdiri dari banyak entitas atau substansi yang
berdiri sendiri, dan tidak dapat direduksi menjadi satu prinsip tunggal
sebagaimana yang diajukan dalam monisme, atau dua substansi utama seperti dalam
dualisme. Pluralisme mengakui keragaman eksistensial sebagai ciri
mendasar dunia, dengan menyatakan bahwa segala yang ada tidak berasal dari satu
sumber universal, melainkan dari sejumlah entitas atau asas yang saling berbeda
namun koeksisten.¹
Secara etimologis, istilah “pluralisme”
berasal dari bahasa Latin pluralis yang berarti “lebih dari satu”,
dan digunakan dalam filsafat untuk menandai posisi ontologis yang mengafirmasi
keberagaman esensial dalam struktur realitas.² Dalam konteks metafisika,
pluralisme menolak reduksionisme, yaitu usaha menyederhanakan semua fenomena ke
dalam satu kategori ontologis seperti materi, ide, atau kehendak. Sebaliknya,
pluralisme mendukung keanekaragaman ontologis, di mana bentuk-bentuk
eksistensi seperti benda fisik, kesadaran, nilai-nilai, relasi, dan peristiwa
semuanya memiliki status keberadaan yang mandiri.
William James, salah satu filsuf yang secara eksplisit membela pluralisme,
menggambarkan dunia ini sebagai “multiverse”—bukan “universe”—untuk
menekankan bahwa realitas tidak bersatu dalam satu sistem tertutup, melainkan
terbuka, majemuk, dan tidak sepenuhnya dapat direkonsiliasi secara harmonis.³
Ia menyatakan bahwa “pluralism means only that the world is not one unit of
fact, but possibly many, and that the unity of the world, if it exists at all,
is not fully given, but must be worked out piecemeal.”⁴ Pendekatan ini
membuka kemungkinan untuk memandang dunia sebagai ruang relasi kompleks
antar entitas yang tidak kehilangan identitas uniknya masing-masing.
Dalam ontologi kontemporer, pluralisme dikembangkan
dalam berbagai bentuk:
·
Pluralisme metafisik, yang
mempertahankan bahwa realitas terdiri dari jenis-jenis entitas yang berbeda
secara substansial (seperti objek fisik, peristiwa, proposisi, dan kesadaran).
·
Pluralisme kosmologis, yang
mengakui keberadaan banyak pusat asal atau prinsip kosmis dalam penciptaan dan
evolusi dunia.
·
Pluralisme epistemologis, yang menyatakan bahwa tidak ada satu cara pengetahuan yang dapat
mengungkap seluruh struktur realitas, sehingga dibutuhkan pendekatan jamak
(multimethod).
Dengan demikian, pluralisme dalam pengertian
ontologis bukan hanya mengajukan keragaman sebagai suatu fakta empiris, tetapi
sebagai asas eksistensial yang fundamental. Pandangan ini menantang
kecenderungan sistem-sistem metafisika besar yang menuntut kesatuan mutlak,
dengan menegaskan bahwa realitas itu bersifat majemuk, terbuka, dan tidak
tereduksi.⁵
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2014), 14–16.
[2]
W.T. Stace, A Critical History of Greek
Philosophy (London: Macmillan, 1920), 145.
[3]
William James, A Pluralistic Universe
(Cambridge: Harvard University Press, 1977), 320.
[4]
Ibid., 329.
[5]
Michael J. Loux, Metaphysics: A Contemporary
Introduction, 3rd ed. (New York: Routledge, 2006), 216–218.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Pemikiran Pluralistik
Gagasan pluralisme
dalam ontologi memiliki akar historis yang panjang dan berlapis, berkembang
dari refleksi awal para filsuf Yunani hingga sistem pemikiran metafisika modern
dan kontemporer. Sepanjang sejarah filsafat, pluralisme muncul sebagai respons
terhadap kecenderungan reduksionisme ontologis,
terutama yang diasosiasikan dengan monisme Eleatik (Parmenides) dan kemudian
sistem metafisika Spinozistik.
3.1. Filsafat Yunani Kuno: Awal Pluralisme Metafisik
Salah satu penggagas
pluralisme pertama adalah Empedokles (abad ke-5 SM), yang
mengusulkan bahwa segala sesuatu di dunia tersusun dari empat unsur dasar:
tanah, air, udara, dan api. Ia menolak gagasan bahwa hanya ada satu prinsip
dasar realitas (seperti air menurut Thales atau udara menurut Anaximenes), dan
menegaskan bahwa perubahan dan keragaman dunia hanya dapat dijelaskan jika
realitas memiliki lebih dari satu unsur penyusun.¹
Empedokles juga memperkenalkan dua kekuatan metafisik yang bekerja dalam realitas—Love
(kasih) dan Strife (permusuhan)—yang
menjelaskan proses penyatuan dan perpecahan antar unsur.²
Filsuf lain yang
turut memperkuat fondasi pluralisme adalah Anaxagoras, yang memperkenalkan
konsep nous
(akal kosmis) sebagai prinsip pengatur keragaman seeds atau benih-benih unsur di
alam semesta.³ Dengan pendekatan ini, Anaxagoras memandang bahwa segala
realitas terbentuk dari gabungan unsur-unsur kecil yang tidak identik, dan
perbedaan dalam segala hal berasal dari percampuran proporsional unsur-unsur
tersebut.
3.2. Tradisi Filsafat Timur: Perspektif Pluralistik yang
Paralel
Pemikiran
pluralistik juga dapat ditemukan dalam tradisi filsafat Timur. Dalam filsafat
India, khususnya dalam sistem Sāṃkhya, dunia dianggap
tersusun dari dua prinsip metafisis utama: purusha (kesadaran) dan prakriti
(materi), yang darinya muncul keragaman fenomena.⁴ Meskipun bersifat dualistik,
sistem ini secara implisit mendukung pluralisme entitas melalui konsep 24
elemen turunan (tattva) yang membentuk alam semesta.⁵
3.3. Pluralisme dalam Filsafat Modern: Sistem
Monadologis dan Realisme Jamak
Pluralisme
mendapatkan artikulasi filosofis yang lebih sistematis dalam pemikiran Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646–1716) melalui teori monadologi.
Menurut Leibniz, realitas terdiri atas unit-unit substansial tak-terbagi yang
disebut monad,
masing-masing memiliki perspektif dan aktivitas sendiri. Setiap monad bersifat
otonom dan tidak saling mempengaruhi secara kausal, namun secara harmoni
diprogram oleh Tuhan melalui apa yang disebut sebagai harmonia
praestabilita (harmoni yang telah ditentukan sebelumnya).⁶
Monadologinya mewakili pluralisme metafisik murni: realitas sebagai kumpulan
entitas unik yang berdiri sendiri.
Dalam filsafat abad
ke-19 dan awal abad ke-20, William James mengembangkan
bentuk pluralisme yang lebih eksistensial dan pragmatis. Ia menentang
metafisika sistematik yang menyatukan segala sesuatu dalam satu kerangka
totalitas (seperti Hegel), dan justru menekankan “semesta
yang terbuka” (open universe) yang memungkinkan munculnya
kemungkinan baru, perbedaan pengalaman, dan konflik nilai.⁷ Dalam karyanya A
Pluralistic Universe, James menyatakan bahwa pluralisme adalah
pengakuan terhadap kenyataan bahwa dunia ini “a world not yet one, but
trying to become one,” dengan kata lain, tidak ditentukan sepenuhnya oleh
struktur ontologis tunggal.⁸
3.4. Pluralisme dalam Filsafat Kontemporer
Pemikiran
pluralistik terus berkembang dalam filsafat abad ke-20 dan ke-21. Alfred
North Whitehead, melalui process philosophy, memandang
realitas bukan sebagai entitas statis, melainkan sebagai proses yang
berlangsung terus-menerus. Dalam kerangka ini, realitas dipahami sebagai
jaringan entitas yang saling berproses (occasions of experience), dan tidak
dapat dijelaskan secara tunggal.⁹ Selain itu, dalam filsafat kontemporer
postmodern, pluralisme dihidupkan kembali sebagai kritik terhadap narasi besar
(grand narratives), dan sebagai penegasan atas keragaman identitas, perspektif,
dan struktur makna dalam realitas sosial dan budaya.¹⁰
Dari jejak historis
ini, jelas bahwa pluralisme dalam ontologi bukanlah gagasan baru, tetapi telah
menjadi aliran penting dalam usaha memahami struktur eksistensial dunia. Ia
menjadi fondasi bagi sistem filsafat yang tidak menutup kemungkinan keragaman,
tetapi justru mengafirmasi kompleksitas sebagai unsur asli dari realitas itu
sendiri.
Footnotes
[1]
Richard McKirahan, Philosophy Before Socrates: An Introduction with
Texts and Commentary, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2011),
296–299.
[2]
Ibid., 302–303.
[3]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers, rev. ed.
(London: Routledge, 1982), 362–364.
[4]
M. Hiriyanna, Outlines of Indian Philosophy (London: George
Allen & Unwin, 1932), 231–233.
[5]
Surendranath Dasgupta, A History of Indian Philosophy, vol. 1
(Cambridge: Cambridge University Press, 1922), 226–230.
[6]
G.W. Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford:
Clarendon Press, 1898), §§1–20.
[7]
William James, Pragmatism and Other Essays (New York:
Washington Square Press, 1963), 133–136.
[8]
William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard
University Press, 1977), 325.
[9]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–24.
[10]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
4.
Prinsip-Prinsip
Ontologis dalam Pluralisme
Pluralisme sebagai
aliran dalam ontologi tidak hanya menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak
unsur, tetapi juga membangun kerangka prinsip-prinsip filosofis
yang menjelaskan struktur, hubungan, dan status ontologis dari keberagaman
tersebut. Prinsip-prinsip ini menjelaskan mengapa dan bagaimana
pluralitas eksistensial dapat dipahami sebagai hal yang mendasar, bukan sekadar
gejala sekunder atau derivatif dari satu realitas tunggal.
4.1. Keragaman Esensial (Essential Diversity)
Prinsip pertama
pluralisme adalah keragaman esensial: realitas
bukan hanya tampak majemuk secara fenomenal, tetapi memang majemuk
pada tingkat esensial. Artinya, pluralitas bukan ilusi,
melainkan sifat ontologis yang melekat pada eksistensi itu sendiri. Hal ini
bertentangan dengan posisi monistik seperti dalam sistem Parmenides yang
menganggap keragaman sebagai ilusi persepsi.¹ Dalam sistem Leibniz, misalnya,
setiap monad
memiliki kualitas yang unik dan tidak identik satu sama lain, mencerminkan
keberagaman esensial dalam wujud yang paling mendalam.²
4.2. Otonomi dan Independensi Entitas (Ontological
Autonomy)
Pluralisme juga
mengakui bahwa entitas memiliki otoritas eksistensial sendiri.
Tidak ada satu entitas yang secara mutlak mendominasi atau mengendalikan
eksistensi entitas lainnya. Prinsip ini dikenal sebagai ontological
autonomy, yaitu pandangan bahwa tiap entitas memiliki status
ontologis yang otonom.³ Dalam filsafat Whitehead, misalnya, setiap actual
occasion (momen aktual) memiliki keberadaan aktual yang tidak
ditentukan secara total oleh entitas lain, walaupun tetap berada dalam jaringan
relasi.⁴
4.3. Relasi Dinamis antar Entitas
Meski pluralisme
menekankan keberbedaan, ia tidak menyangkal relasi antar entitas. Justru
sebaliknya, pluralisme ontologis melihat bahwa realitas merupakan jaringan
relasi dinamis, di mana entitas saling memengaruhi,
berinteraksi, dan membentuk struktur koheren tanpa kehilangan otonomi
masing-masing. Dalam pendekatan ini, relasi bukan sekadar atribut tambahan,
tetapi merupakan bagian integral dari eksistensi.⁵ Whitehead menyebutnya
sebagai "relationality of becoming", di mana menjadi itu sendiri
adalah hasil dari keterlibatan antar momen aktual.⁶
4.4. Non-Reduksionisme dan Multikausalitas
Pluralisme menolak
pandangan reduksionisme ontologis, yakni
penyederhanaan segala bentuk eksistensi ke dalam satu jenis substansi atau
prinsip kausalitas tunggal. Sebaliknya, pluralisme mengakui adanya multikausalitas,
yaitu bahwa berbagai bentuk realitas memiliki sebab dan asal-usul yang
berbeda-beda.⁷ Ini penting dalam menjelaskan fenomena kompleks seperti
kesadaran, nilai moral, atau relasi sosial, yang tidak dapat direduksi menjadi
semata-mata materi atau determinisme fisik.⁸
4.5. Keterbukaan Ontologis (Ontological Openness)
Prinsip penting
lainnya adalah bahwa dunia pluralistik bersifat terbuka: ia tidak ditentukan
secara final oleh struktur tunggal atau hukum universal yang rigid. Dalam
semesta pluralistik, selalu terbuka kemungkinan munculnya entitas baru, bentuk
eksistensi baru, atau cara relasi baru. Ini berbeda dari metafisika totalistik
yang berusaha menutup dunia dalam sistem rasional tertutup.⁹ Dalam semangat
ini, William James menggambarkan dunia plural sebagai “uncompleted and
always in the making.”¹⁰
Kesimpulan Subbagian
Prinsip-prinsip
ontologis pluralisme menyusun fondasi filosofis yang kokoh untuk menegaskan
bahwa realitas tidak hanya terdiri dari banyak hal, tetapi keragaman itu
bersifat mendasar, aktif, dan terus berkembang. Kerangka ini memberi alternatif
yang kuat terhadap sistem metafisika yang bersifat menyederhanakan, dan membuka
ruang konseptual bagi realitas yang kompleks, relasional, dan dinamis.
Footnotes
[1]
G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic
Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 270.
[2]
G.W. Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford:
Clarendon Press, 1898), §§8–14.
[3]
Michael J. Loux dan Thomas M. Crisp, Metaphysics: A Contemporary
Introduction, 4th ed. (New York: Routledge, 2017), 219–220.
[4]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 27–29.
[5]
Nicholas Rescher, Pluralism: Against the Demand for Consensus
(Oxford: Oxford University Press, 1995), 18–21.
[6]
Whitehead, Process and Reality, 41.
[7]
Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview
Press, 2014), 87–91.
[8]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory
(New York: Oxford University Press, 1996), 93–98.
[9]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxvii.
[10]
William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard
University Press, 1977), 321–322.
5.
Tokoh-Tokoh
Kunci dan Pandangan Mereka
Pluralisme sebagai
aliran ontologis telah diperkaya oleh pemikiran para filsuf dari berbagai zaman
yang menawarkan pemahaman berbeda terhadap keragaman realitas. Tokoh-tokoh
berikut ini berperan penting dalam membentuk fondasi teoretis pluralisme dan
memperluas cakupan aplikasinya dalam pemikiran metafisika.
5.1. Empedokles (ca. 495–435 SM): Pluralisme Unsur
Sebagai filsuf
pra-Sokratik, Empedokles merupakan salah satu
tokoh awal yang secara eksplisit menolak monisme Eleatik. Ia berpendapat bahwa
seluruh realitas tersusun dari empat unsur dasar—tanah, air,
udara, dan api—yang tak dapat direduksi satu sama lain.⁽¹⁾ Proses perubahan
terjadi bukan karena penciptaan dari ketiadaan, tetapi melalui penggabungan
dan pemisahan unsur-unsur ini di bawah pengaruh dua kekuatan
metafisik: Love
(philia) dan Strife (neikos).⁽²⁾ Bagi
Empedokles, keberagaman dunia bersumber dari interaksi kompleks antar unsur
yang setara secara ontologis.
5.2. Anaxagoras (ca. 500–428 SM): Nous dan Benih-Benih
Segala Sesuatu
Anaxagoras
melanjutkan warisan pluralistik dengan gagasan bahwa realitas terbentuk dari aneka
benih (spermata) yang hadir dalam segala hal. Ia menyatakan
bahwa setiap benda mengandung unsur dari semua hal lainnya, dan perbedaan
hanyalah perihal dominasi salah satu unsur tertentu.⁽³⁾ Anaxagoras
memperkenalkan konsep nous (akal kosmis) sebagai prinsip
pengatur yang menginisiasi gerakan dan keteraturan dalam
semesta yang majemuk.⁽⁴⁾ Dengan demikian, ia menggabungkan
pluralitas material dengan satu prinsip immaterial yang mengaturnya.
5.3. G.W. Leibniz (1646–1716): Monadologi dan Dunia
Jamak
Dalam filsafat
modern, Gottfried Wilhelm Leibniz
memberikan kontribusi besar melalui teorinya tentang monad.
Dalam Monadology,
ia menyatakan bahwa alam semesta terdiri atas entitas metafisik sederhana dan
tidak dapat dibagi—monad—yang bersifat otonom, non-materi, dan berbeda satu
sama lain.⁽⁵⁾ Setiap monad mencerminkan alam semesta dari sudut pandangnya
sendiri dan berkembang menurut prinsip internal, tanpa interaksi kausal
eksternal. Pluralisme Leibniz bersifat metafisik dan harmoni, karena
meskipun entitasnya majemuk, semuanya terkoordinasi melalui harmonia
praestabilita oleh Tuhan.⁽⁶⁾
5.4. William James (1842–1910): Pluralisme Eksistensial
dan Pragmatis
Sebagai tokoh utama
dalam aliran pragmatisme Amerika, William James mengembangkan pluralisme
ontologis dengan pendekatan eksistensial. Ia menolak sistem
filsafat tertutup yang totalistik seperti Hegelianisme, dan menegaskan bahwa
realitas adalah “semesta yang belum selesai” (unfinished
universe), penuh kemungkinan, perbedaan, dan konflik nilai.⁽⁷⁾
Dalam A
Pluralistic Universe, ia menulis bahwa “the world is not one
unit of fact, but possibly many,” dan mengkritik ide “absolute unity”
sebagai bentuk kekerasan terhadap pengalaman hidup yang kompleks.⁽⁸⁾ James
menekankan keterbukaan ontologis dan
menolak reduksionisme sistematis.
5.5. Alfred North Whitehead (1861–1947): Filsafat Proses
dan Relasi
Whitehead,
melalui karya monumentalnya Process and Reality, membangun
sistem metafisika berbasis pluralitas dinamis. Ia
memandang realitas sebagai rangkaian peristiwa aktual (actual
occasions) yang saling terkait dalam jaringan relasional yang terus
berubah.⁽⁹⁾ Tidak ada entitas yang statis; semua keberadaan adalah hasil dari
proses menjadi. Dalam pandangan ini, pluralitas bukan sekadar perbedaan jumlah,
tetapi struktur realitas itu sendiri, yang bersifat relasional
dan terbuka.⁽¹⁰⁾ Filsafat proses Whitehead memberikan kontribusi besar terhadap
pluralisme kontemporer, khususnya dalam diskursus ekologi, sistem kompleks, dan
spiritualitas.
Kesimpulan Subbagian
Kontribusi para
tokoh di atas menunjukkan bahwa pluralisme bukan sekadar sebuah konsep
metafisik statis, melainkan sebuah cara memahami realitas sebagai jaringan
entitas yang beragam, independen, dan dinamis. Dari kerangka
unsur-unsur Empedokles hingga teori monad Leibniz dan proses dinamis Whitehead,
pluralisme terus berkembang sebagai pendekatan ontologis yang mempertahankan
kompleksitas dan multivokalitas eksistensi.
Footnotes
[1]
Richard McKirahan, Philosophy Before Socrates: An Introduction with
Texts and Commentary, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2011),
296–299.
[2]
Ibid., 301–302.
[3]
Jonathan Barnes, The Presocratic Philosophers, rev. ed.
(London: Routledge, 1982), 362–364.
[4]
G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic
Philosophers, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
371–373.
[5]
G.W. Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford:
Clarendon Press, 1898), §§1–20.
[6]
Ibid., §§57–78.
[7]
William James, Pragmatism and Other Essays (New York:
Washington Square Press, 1963), 144–148.
[8]
William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard
University Press, 1977), 321–326.
[9]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–29.
[10]
Ibid., 35–37.
6.
Pluralisme
dan Permasalahan Metafisik
Meskipun pluralisme
dalam ontologi menawarkan pemahaman yang lebih inklusif dan realistis terhadap
kompleksitas dunia, pendekatan ini juga memunculkan sejumlah permasalahan
metafisik yang tidak sederhana. Masalah-masalah ini berkaitan
dengan bagaimana pluralisme menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti
identitas, perubahan, kesatuan, kausalitas, dan hubungan antara entitas yang
beragam. Dalam konteks ini, pluralisme ditantang untuk tetap menjaga koherensi
ontologis sambil mempertahankan keragaman esensial yang menjadi
karakter utamanya.
6.1. Masalah Identitas dan Perubahan
Salah satu persoalan
klasik dalam metafisika adalah bagaimana sesuatu bisa berubah tanpa kehilangan
identitasnya. Dalam kerangka pluralisme, di mana entitas
dianggap independen dan unik, perubahan dapat mengaburkan batas identitas. Jika
entitas selalu berada dalam proses menjadi (seperti dalam filsafat proses
Whitehead), maka bagaimana kita dapat menetapkan identitas yang tetap dari
entitas tersebut?⁽¹⁾ Pluralisme harus menjelaskan bagaimana perbedaan tidak
berarti disolusi, dan bagaimana kontinuitas dapat dikonstruksi tanpa
mengingkari pluralitas.
Whitehead memecahkan
ini dengan menyatakan bahwa entitas tidak memiliki “identitas substansial”
yang tetap, tetapi memiliki identitas sebagai proses aktualisasi,
yaitu pola historis yang terbentuk dari rangkaian peristiwa aktual.⁽²⁾ Namun
pendekatan ini tetap menuai kritik karena tampak menggantikan substansi dengan
fluks, yang sulit dijadikan dasar identitas yang stabil.
6.2. Masalah Kesatuan dalam Keragaman
Pluralisme juga
menghadapi tantangan dalam menjelaskan kesatuan realitas. Jika dunia
terdiri dari banyak unsur yang berbeda dan tidak dapat direduksi, bagaimana
mungkin terdapat struktur ontologis yang kohesif?
Apakah pluralisme mengarah pada fragmentasi ontologis, atau masih memungkinkan
pengakuan atas suatu bentuk kesatuan fungsional atau harmoni?
Leibniz menjawab
persoalan ini dengan konsep harmonia praestabilita, bahwa
monad-monad yang majemuk tetap terkoordinasi oleh kehendak Tuhan, sehingga menciptakan
kesatuan
harmonis di tengah pluralitas substansial.⁽³⁾ Namun pendekatan
ini mengandalkan asumsi teistik yang tidak selalu dapat diterima dalam kerangka
metafisika sekuler kontemporer. Alternatifnya, filsuf seperti William James
menolak totalitas koheren dan mengusulkan semesta yang tidak sepenuhnya satu,
tetapi “dalam proses menjadi satu”—yakni semesta yang bersifat terbuka
dan partisipatif.⁽⁴⁾
6.3. Relasi dan Interaksi antar Entitas
Salah satu kritik
umum terhadap pluralisme metafisik, terutama dalam bentuk ekstrem seperti
monadologi, adalah ketiadaan interaksi kausal antar entitas.
Jika entitas-entitas metafisik benar-benar otonom dan tertutup (seperti monad
Leibniz), maka bagaimana menjelaskan hubungan nyata,
perubahan, atau proses di dunia empiris?
Whitehead mengatasi
problem ini dengan menggantikan entitas statis dengan peristiwa dinamis yang terbentuk
dalam jaringan relasi kausal.⁽⁵⁾ Dalam filsafat proses, entitas
berinteraksi secara inheren melalui “prehensions” (penyerapan pengalaman
dari entitas lain), sehingga hubungan menjadi struktur dasar realitas, bukan
sekadar fenomena sekunder.⁽⁶⁾ Pendekatan ini menjadi solusi pluralistik yang
tetap mempertahankan interdependensi ontologis di
tengah keberagaman.
6.4. Masalah Reduksi dan Hierarki Ontologis
Pluralisme juga
bergulat dengan masalah reduksi dan hierarki.
Jika tidak semua entitas setara (misalnya: pikiran vs. materi, nilai vs.
fakta), maka bagaimana pluralisme menata relasi hierarkis tanpa kembali pada
bentuk reduksionisme terselubung? Dalam pluralisme sejati, tidak boleh ada satu
domain yang mengklaim keutamaan ontologis mutlak.
Pluralisme
epistemologis, seperti yang dikembangkan oleh Hilary Putnam dan Michael
Lynch, menyatakan bahwa berbagai jenis realitas memerlukan kategori
penjelasan yang berbeda, dan tidak ada satu kerangka epistemik
atau ontologis yang cukup untuk menjelaskan semuanya.⁽⁷⁾ Dengan demikian,
pluralisme bukan hanya pengakuan atas banyaknya entitas, tetapi juga keragaman
cara keberadaan (modes of being) dan keragaman
cara mengetahui (modes of knowing).
6.5. Risiko Relativisme Ontologis
Permasalahan
metafisik terakhir yang sering diarahkan kepada pluralisme adalah risiko relativisme
ontologis—yakni anggapan bahwa jika semuanya berbeda dan tidak
ada satu prinsip universal, maka segala hal dapat dianggap ada menurut kriteria
apa pun. Ini akan melemahkan klaim objektivitas dan memungkinkan masuknya
kekacauan konseptual.
Namun para pembela
pluralisme menanggapi bahwa pluralisme tidak identik dengan relativisme
ekstrem. Pluralisme mengakui adanya kriteria internal dalam setiap domain ontologis,
sehingga pluralitas tidak berarti kekacauan, melainkan tatanan
jamak yang koheren dalam perbedaannya.⁽⁸⁾ Dalam hal ini,
pluralisme berdiri di antara dua kutub ekstrem: absolutisme dan relativisme.
Kesimpulan Subbagian
Pluralisme sebagai
teori ontologis yang menegaskan keragaman realitas harus berhadapan dengan
serangkaian masalah metafisik serius. Namun justru dalam menjawab
tantangan-tantangan ini, pluralisme memperlihatkan kekuatan reflektifnya: ia
mampu mempertahankan keragaman tanpa menolak keterhubungan, mendukung dinamika
perubahan tanpa mengorbankan kontinuitas, serta menolak dominasi tunggal tanpa
jatuh ke dalam relativisme. Ini menunjukkan bahwa pluralisme bukan sekadar
posisi metafisik, tetapi sebuah strategi filsafat untuk memahami dunia
yang kompleks dan berlapis.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview
Press, 2014), 104–106.
[2]
Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David Ray
Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 23–24.
[3]
G.W. Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford:
Clarendon Press, 1898), §§56–60.
[4]
William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard
University Press, 1977), 326–328.
[5]
Whitehead, Process and Reality, 35–38.
[6]
Ibid., 45–48.
[7]
Michael P. Lynch, Truth as One and Many (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 71–73.
[8]
Nicholas Rescher, The Strife of Systems: An Essay on the Grounds
and Implications of Philosophical Diversity (Pittsburgh: University of
Pittsburgh Press, 1985), 91–94.
7.
Implikasi
Pluralisme dalam Bidang Filsafat Lain
Pluralisme ontologis
tidak hanya memiliki dampak dalam ruang metafisika, tetapi juga memberikan pengaruh
signifikan terhadap cabang-cabang filsafat lainnya, seperti
epistemologi, etika, filsafat agama, dan filsafat politik. Karena pluralisme
menegaskan bahwa realitas itu jamak, berlapis, dan tidak dapat direduksi kepada
satu prinsip tunggal, maka pendekatan ini memperkaya cara kita memahami
pengetahuan, nilai, keimanan, dan kehidupan sosial-politik. Di bawah ini akan
diuraikan bagaimana pluralisme ontologis memperluas horizon dalam beberapa
disiplin filsafat.
7.1. Dalam Epistemologi: Keanekaragaman Perspektif dan
Kebenaran Jamak
Pluralisme ontologis
melahirkan pluralisme epistemologis, yakni
pandangan bahwa pengetahuan tidak bisa diklaim secara tunggal dan absolut,
melainkan beragam berdasarkan konteks, pendekatan, dan
kerangka dunia. Dalam perspektif ini, kebenaran bukanlah satu
blok tunggal yang bersifat absolut, melainkan jamak dan beraneka cara pengungkapannya,
tergantung pada objek pengetahuan dan metode pendekatannya.¹
Filsuf seperti Michael
Lynch mengusulkan bahwa kebenaran harus dipahami sebagai
sesuatu yang “satu dan banyak” (truth as one and many): satu dalam
fungsi, tetapi banyak dalam wujudnya.² Ia berpendapat bahwa tidak ada satu
teori kebenaran tunggal yang memadai untuk semua jenis pernyataan—misalnya,
teori koherensi untuk norma moral, teori korespondensi untuk fakta fisik, dan
teori pragmatis untuk praktik sosial. Dengan demikian, pluralisme epistemologis
memungkinkan keterbukaan terhadap berbagai bentuk pengetahuan,
tanpa kehilangan aspirasi rasionalitas.
7.2. Dalam Etika: Pengakuan terhadap Pluralitas Nilai
dan Prinsip Moral
Dalam ranah etika,
pluralisme ontologis memberi dasar bagi pluralisme nilai (value
pluralism), yaitu keyakinan bahwa terdapat berbagai jenis nilai moral yang sah,
dan tidak semua nilai dapat diukur dengan satu ukuran universal.³
Isaiah
Berlin, sebagai salah satu pengusung value pluralism,
menyatakan bahwa dalam dunia nyata, nilai-nilai moral seperti kebebasan,
keadilan, dan belas kasih sering kali tidak dapat direkonsiliasi secara sempurna.⁴
Pluralisme mendorong kita untuk menerima kenyataan bahwa konflik nilai bukanlah
bentuk kesalahan moral, tetapi ekspresi dari kompleksitas realitas moral itu sendiri.
Dalam konteks ini, pluralisme memperkuat toleransi, kompromi, dan dialog antar
sistem etika yang berbeda.
7.3. Dalam Filsafat Agama: Dasar Ontologis bagi
Toleransi dan Keragaman Iman
Dalam filsafat
agama, pluralisme ontologis mendukung pandangan bahwa berbagai
tradisi keagamaan mencerminkan aspek yang berbeda dari realitas transenden.
Pandangan ini menolak klaim tunggal dan eksklusif atas kebenaran ilahi dan
membuka jalan bagi pluralisme religius, yakni
pengakuan atas keabsahan dan makna spiritual dalam berbagai agama.⁵
John
Hick, seorang tokoh penting dalam teologi pluralistik,
berpendapat bahwa agama-agama besar dunia merupakan respons manusia yang
berbeda terhadap Realitas Transenden yang sama,
yang ia sebut sebagai The Real.⁶ Perspektif ini berpijak
pada pengakuan pluralisme ontologis, bahwa transendensi tidak dapat direduksi
ke dalam satu bentuk fenomenal atau satu bahasa teologis.
7.4. Dalam Filsafat Politik: Legitimasi terhadap Multikulturalisme
dan Demokrasi Deliberatif
Pluralisme ontologis
juga memberikan dasar filosofis bagi filsafat politik pluralistik,
yang menghargai keberagaman identitas, pandangan hidup, dan struktur sosial.
Dalam masyarakat modern yang multikultural, pluralisme menjadi landasan
normatif untuk menghormati keberbedaan tanpa memaksakan
homogenisasi budaya atau ideologi.⁷
Filsuf seperti Charles
Taylor dan William Galston menegaskan
bahwa negara demokratis seharusnya memberi ruang bagi komunitas dan individu untuk
menyuarakan
nilai-nilai mereka sendiri, selama tidak mengancam prinsip
keadilan umum.⁸ Dalam kerangka pluralistik ini, demokrasi deliberatif menjadi
model politik yang paling cocok, karena melibatkan dialog antar posisi yang
beragam tanpa perlu menyatukannya secara paksa dalam satu pandangan dominan.
Kesimpulan Subbagian
Dengan menegaskan
bahwa realitas bersifat jamak dan tidak dapat direduksi, pluralisme ontologis
memberikan kerangka konseptual yang kuat untuk memahami keanekaragaman
dalam pengetahuan, nilai, keyakinan, dan kehidupan sosial-politik.
Implikasinya luas dan mendalam: dari epistemologi yang inklusif, etika yang
dialogis, hingga politik yang demokratis dan teologis yang terbuka. Pluralisme
tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga menawarkan etos keberagaman sebagai asas hidup
bersama.
Footnotes
[1]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 128–130.
[2]
Michael P. Lynch, Truth as One and Many (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 3–5.
[3]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 60–62.
[4]
Isaiah Berlin, The Crooked Timber of Humanity: Chapters in the
History of Ideas, ed. Henry Hardy (Princeton: Princeton University Press,
1990), 79–81.
[5]
Gavin D’Costa, The Meeting of Religions and the Trinity
(Edinburgh: T&T Clark, 2000), 56–58.
[6]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 240–244.
[7]
Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of
Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995), 76–78.
[8]
William Galston, Liberal Pluralism: The Implications of Value
Pluralism for Political Theory and Practice (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 6–12.
8.
Kritik
dan Evaluasi terhadap Pluralisme
Sebagai aliran dalam
ontologi yang menekankan keragaman dan kompleksitas realitas, pluralisme telah
menjadi titik tolak penting dalam filsafat kontemporer. Namun demikian,
pluralisme bukan tanpa kritik. Para pemikir dari berbagai aliran metafisika
menyoroti sejumlah masalah filosofis mendasar yang
ditimbulkan oleh pendekatan pluralistik. Kritik-kritik ini berkisar dari
tuduhan incoherence, relativisme ontologis, hingga ketidakmampuan pluralisme
memberikan kerangka yang konsisten dan praktis bagi pemahaman realitas. Di sisi
lain, pluralisme juga memiliki respons kritis dan kekuatan tersendiri dalam
menjawab tantangan tersebut.
8.1. Tuduhan Incoherence dan Fragmentasi Realitas
Salah satu kritik
paling umum terhadap pluralisme adalah tuduhan ketidakkoherenan internal. Para
pengkritik berpendapat bahwa dengan mengafirmasi keberadaan banyak entitas atau
prinsip tanpa satu kesatuan struktural yang mengikatnya, pluralisme cenderung mengarah
pada fragmentasi pemahaman tentang realitas.⁽¹⁾ Dalam konteks
ini, pluralisme dianggap tidak mampu memberikan jawaban sistematis tentang
bagaimana berbagai entitas atau domain realitas dapat saling terhubung dan
bekerja dalam satu tatanan dunia.
Filsuf
analitik seperti Alvin Plantinga menyatakan bahwa tanpa asumsi
dasar tertentu yang mengatur keragaman realitas, pluralisme dapat kehilangan
daya penjelas dan jatuh pada posisi metafisik yang kabur.⁽²⁾ Jika setiap
entitas sepenuhnya otonom, maka bagaimana menjelaskan keteraturan, kausalitas,
atau relasi fungsional di antara mereka?
8.2. Risiko Relativisme Ontologis dan Epistemologis
Kritik lain yang
sering diarahkan kepada pluralisme adalah bahwa ia membuka jalan bagi relativisme
ontologis, yaitu pandangan bahwa semua cara eksistensi sama
benarnya dan tidak ada landasan obyektif untuk menilai superioritas suatu
entitas atau struktur realitas.⁽³⁾ Dalam versi yang lebih ekstrem, pluralisme
dituding dapat merelatifkan struktur pengetahuan itu sendiri, sehingga mengaburkan
batas antara realitas objektif dan konstruksi sosial.
Sebagai contoh, Paul
Boghossian mengkritik pluralisme epistemologis sebagai bentuk “epistemic
incoherence” karena menolak adanya standar universal dalam penilaian
kebenaran.⁽⁴⁾ Dalam konteks ini, pluralisme dianggap mengaburkan batas antara
sains dan kepercayaan, fakta dan opini, sehingga melemahkan proyek rasionalitas
kritis dalam filsafat.
8.3. Kritik dari Monisme dan Materialisme Reduksionis
Dari sudut pandang monisme,
baik idealistik maupun materialistik, pluralisme dikritik sebagai pendekatan
yang tidak
efisien secara ontologis. Sebuah sistem metafisika seharusnya
mencari penjelasan paling sederhana dan ekonomis, yakni dengan mereduksi
seluruh realitas pada satu prinsip dasar—apakah itu kesadaran (seperti dalam
idealisme) atau materi (seperti dalam materialisme ilmiah).⁽⁵⁾
Daniel
Dennett, misalnya, menolak pluralisme metafisik dalam studi
kesadaran karena dianggap terlalu spekulatif dan tidak konsisten dengan prinsip
naturalistik.⁽⁶⁾ Bagi kaum materialis eliminatif, keberagaman yang diakui oleh
pluralisme hanyalah kompleksitas fenomenal yang
pada akhirnya dapat dijelaskan melalui proses fisik atau biologis.
8.4. Tantangan terhadap Konsistensi dan Keteraplikasian
Pluralisme juga
dikritik karena kesulitannya dalam diterapkan secara konsisten
dalam praktik ilmiah dan logika sistematis. Para filsuf logika
dan ilmuwan sering kali membutuhkan kerangka ontologis yang stabil dan dapat
direduksi untuk membangun hukum universal atau model prediktif. Dalam banyak
kasus, pluralisme dianggap tidak kompatibel dengan kebutuhan formalisasi
dan universalitas dalam sains.⁽⁷⁾
Lebih lanjut,
pluralisme bisa dianggap tidak praktis karena menyulitkan pengambilan keputusan
etis dan politik. Jika semua nilai dan entitas dianggap memiliki status
ontologis yang setara, bagaimana mungkin kita menyusun prioritas, membuat
evaluasi, atau menyelesaikan konflik secara normatif?
8.5. Evaluasi dan Respons dari Pendukung Pluralisme
Meskipun kritik
terhadap pluralisme cukup kuat, banyak pemikir pluralis memberikan respons
filosofis yang tajam dan mendalam. Nicholas Rescher, misalnya,
menegaskan bahwa pluralisme tidak harus incoherent, selama kita memahami bahwa
dunia memang kompleks, berlapis, dan mengandung dimensi yang
tak dapat direduksi satu sama lain.⁽⁸⁾ Pluralisme bukan
penolakan terhadap rasionalitas, melainkan ekspresi dari rasionalitas yang
mampu menghadapi kenyataan dunia yang tidak seragam.
William
James juga dengan tegas menolak bahwa pluralisme identik dengan
kekacauan. Baginya, pluralisme adalah pengakuan terhadap kenyataan yang masih terbuka
dan berkembang, yang justru lebih realistis dibandingkan sistem
metafisika absolut yang cenderung mengunci dunia dalam struktur rasional
tertutup.⁽⁹⁾
Dengan demikian,
pluralisme dapat dianggap sebagai bentuk ontologi dinamis, yang lebih
cocok untuk memahami dunia dalam konteks postmodern, global, dan kompleks
seperti saat ini. Ia tidak menjanjikan kepastian mutlak, tetapi kerangka
konseptual yang fleksibel dan terbuka terhadap kenyataan yang terus bergerak.
Kesimpulan Subbagian
Pluralisme sebagai
aliran ontologis memang tidak lepas dari kritik, baik dari sisi koherensi,
epistemologi, hingga keteraplikasian praktisnya. Namun, kekuatan pluralisme
justru terletak pada kemampuannya merespons tantangan-tantangan itu secara
reflektif dan kontekstual. Pluralisme tidak menawarkan sistem metafisika
tertutup, melainkan cara berpikir yang menghargai keragaman,
keterbukaan, dan dinamika realitas, yang semakin relevan di
tengah kompleksitas dunia kontemporer.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed. (Boulder, CO: Westview
Press, 2014), 123–125.
[2]
Alvin Plantinga, Warrant and Proper Function (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 211–213.
[3]
Richard Rorty, Objectivity, Relativism, and Truth: Philosophical
Papers, Volume 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 22–26.
[4]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against Relativism and
Constructivism (Oxford: Oxford University Press, 2006), 13–17.
[5]
Jaegwon Kim, Philosophy of Mind, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2006), 76–79.
[6]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little,
Brown, 1991), 408–412.
[7]
W.V.O. Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1953), 44–46.
[8]
Nicholas Rescher, The Strife of Systems: An Essay on the Grounds
and Implications of Philosophical Diversity (Pittsburgh: University of
Pittsburgh Press, 1985), 95–98.
[9]
William James, A Pluralistic Universe (Cambridge: Harvard
University Press, 1977), 327–329.
9.
Relevansi
Pluralisme dalam Diskursus Ontologis Kontemporer
Dalam lanskap
pemikiran filsafat kontemporer, pluralisme ontologis mengalami kebangkitan
makna dan fungsi, terutama sebagai respons terhadap tantangan
kompleksitas, fragmentasi, dan krisis representasi yang menjadi ciri khas era
modern dan postmodern. Pluralisme menawarkan kerangka konseptual yang lentur dan terbuka,
yang memungkinkan pemahaman realitas secara berlapis, majemuk, dan dinamis.
Dalam konteks ini, pluralisme tidak hanya relevan sebagai doktrin metafisik,
tetapi juga sebagai paradigma ontologis transdisipliner
yang menyentuh ranah ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, hingga ekologi.
9.1. Pluralisme dan Ontologi Pascamodern
Dalam wacana
pascamodern, pluralisme berfungsi sebagai reaksi terhadap klaim totalitas dan
universalitas yang dikemukakan oleh sistem metafisika modern,
seperti rasionalisme Cartesian, idealisme Hegelian, dan positivisme logis.
Filsuf seperti Jean-François Lyotard secara
tegas menolak metanarratives (narasi besar) yang
mengklaim menjelaskan segala sesuatu dalam satu sistem tunggal, dan sebagai
gantinya mengusulkan pendekatan yang menegaskan “incommensurability” atau
ketaksetarajaman antar diskursus.¹ Pluralisme dalam konteks ini menjadi model
ontologis yang koheren dengan dunia pascamodern: dunia yang
terdiri dari banyak realitas sosial, budaya, dan bahasa yang tidak selalu dapat
direduksi atau direkonsiliasi.
9.2. Pluralisme dan Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Dalam epistemologi
sains dan filsafat ilmu, pluralisme ontologis mendukung pendekatan pluralisme
metodologis dan ontologi domain-spesifik. Para
filsuf sains seperti Nancy Cartwright berpendapat
bahwa hukum-hukum
ilmiah tidak berlaku universal untuk seluruh realitas,
melainkan bekerja secara lokal dalam sistem atau konteks tertentu.² Artinya,
realitas tidak tunduk pada satu sistem hukum alam tunggal, tetapi terdiri dari
berbagai order
atau tatanan parsial yang masing-masing memerlukan pendekatan analitis
tersendiri.
Pandangan ini juga
mendorong berkembangnya ontologi plural dalam ilmu komputer dan sistem
informasi, di mana model realitas dibangun secara kontekstual
berdasarkan kebutuhan pengguna atau domain aplikasi.³ Dengan kata lain,
pluralisme menjadi landasan konseptual untuk memahami dan membangun
representasi dunia yang tidak seragam secara ontologis.
9.3. Pluralisme dan Teknologi Digital
Perkembangan
teknologi digital, terutama realitas virtual, augmented reality,
dan kecerdasan
buatan, semakin menunjukkan bahwa realitas tidak lagi dapat
dipahami secara tunggal. Pluralisme memberikan dasar ontologis untuk menerima keberadaan
entitas digital sebagai bagian dari lanskap eksistensial baru.⁴
Dunia virtual tidak sekadar tiruan realitas fisik, melainkan realitas
ontologis yang memiliki struktur, agensi, dan dinamika sendiri.
Dalam konteks ini,
pluralisme membantu menjembatani pemikiran filosofis dengan tantangan teknologi
kontemporer, dengan mengakui bahwa realitas digital bukan ilusi belaka,
melainkan perlu didekati sebagai lapisan ontologis baru yang koeksisten dengan
realitas fisik dan sosial.
9.4. Pluralisme dalam Filsafat Ekologi dan Alam
Filsafat lingkungan
dan ekologi kontemporer juga mengadopsi prinsip pluralisme untuk mengakui keberagaman
bentuk kehidupan, sistem ekologis, dan nilai-nilai non-antropocentris.
Alih-alih memandang alam sebagai objek pasif atau sekadar sumber daya,
pluralisme ontologis membuka ruang bagi pengakuan terhadap agensi
non-manusia, seperti hewan, tumbuhan, bahkan entitas geologis,
sebagai aktor eksistensial dalam jaringan kehidupan.⁵
Filsuf seperti Bruno
Latour dan Timothy Morton mengembangkan
pendekatan ini dalam kerangka “object-oriented ontology” dan ekologi
gelap, yang menolak dikotomi klasik antara subjek dan objek.⁶
Pluralisme ontologis dalam konteks ini memberikan dasar untuk etika
ekologis yang menghormati keberagaman entitas secara setara,
tanpa reduksi hierarkis.
9.5. Pluralisme dan Kehidupan Multikultural Global
Dalam konteks
globalisasi dan pluralitas budaya, pluralisme ontologis memainkan peran penting
dalam menyusun ontologi keberagaman manusia
yang tidak jatuh pada homogenisasi atau relativisme. Pluralisme memberikan
dasar filosofis untuk menghargai berbagai bentuk kehidupan,
identitas, sistem kepercayaan, dan cara mengada, sebagai
sesuatu yang sah secara ontologis.
Filsuf seperti Bhikhu
Parekh dan Charles Taylor menekankan
pentingnya pluralisme sebagai prinsip normatif dalam masyarakat majemuk,
yang memungkinkan pengakuan terhadap identitas kolektif tanpa menegaskan
dominasi budaya tertentu.⁷ Dalam dunia yang semakin saling terkait namun tetap
berbeda, pluralisme menjadi kerangka filsafat yang merayakan
keberagaman tanpa kehilangan komitmen terhadap dialog dan keadilan.
Kesimpulan Subbagian
Pluralisme dalam
diskursus ontologis kontemporer bukan hanya tetap relevan, tetapi menjadi
semakin sentral dan strategis dalam
menjawab tantangan zaman. Ia bukan sekadar respons terhadap kekakuan metafisika
klasik, tetapi pendekatan filosofis yang mampu merangkul dunia
yang majemuk, kompleks, dan terus berkembang. Dalam bidang
ilmu, teknologi, ekologi, dan sosial budaya, pluralisme ontologis menjadi jembatan
yang menghubungkan filsafat dengan kenyataan hidup yang penuh keragaman.
Footnotes
[1]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxvii.
[2]
Nancy Cartwright, The Dappled World: A Study of the Boundaries of
Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 2–6.
[3]
Ron Giere, Scientific Perspectivism (Chicago: University of
Chicago Press, 2006), 92–95.
[4]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 10–14.
[5]
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 189–192.
[6]
Bruno Latour, We Have Never Been Modern, trans. Catherine
Porter (Cambridge: Harvard University Press, 1993), 103–105; Timothy Morton, Ecology
without Nature: Rethinking Environmental Aesthetics (Cambridge: Harvard
University Press, 2007), 119–124.
[7]
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and
Political Theory, 2nd ed. (London: Palgrave Macmillan, 2006), 87–90;
Charles Taylor, Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition,
ed. Amy Gutmann (Princeton: Princeton University Press, 1994), 25–30.
10. Kesimpulan
Pluralisme dalam ontologi bukan hanya sebuah posisi
metafisik, tetapi merupakan kerangka konseptual yang merevolusi cara kita
memahami realitas dalam segala keragaman dan dinamika yang menyertainya.
Dengan menolak reduksionisme—baik dalam bentuk monisme substansial maupun
dualisme oposisi—pluralisme mengakui bahwa realitas terdiri atas banyak
entitas, dimensi, dan struktur yang tidak dapat direduksi ke dalam satu
prinsip universal.¹
Melalui pembacaan historis terhadap para pemikir
pluralis seperti Empedokles, Anaxagoras, Leibniz, William
James, dan Whitehead, kita dapat melihat bahwa pluralisme berkembang
dari spekulasi kosmologis hingga menjadi sistem metafisika yang matang dan
reflektif.²³ Tokoh-tokoh ini menunjukkan bahwa pluralitas bukanlah gangguan
bagi filsafat, tetapi justru cerminan otentik dari kenyataan yang sedang
berlangsung dan selalu berubah.
Dalam menghadapi permasalahan metafisik klasik
seperti identitas, kesatuan, relasi, dan kausalitas, pluralisme mengusulkan
pendekatan yang lebih dinamis dan kontekstual. Meski menerima kritik terkait
potensi incoherence, relativisme, dan ketidakefisienan ontologis, pluralisme
tetap memiliki kapasitas tanggapan yang rasional dan filosofis.⁴⁵
Respons dari para filsuf seperti Nicholas Rescher dan William James membuktikan
bahwa pluralisme bukan bentuk kelemahan, tetapi justru strategi epistemik yang
realistis dalam menghadapi kerumitan realitas.
Lebih jauh, relevansi pluralisme semakin
menonjol dalam diskursus kontemporer, baik dalam filsafat pascamodern,
epistemologi sains, teknologi digital, ekologi, maupun teori sosial-politik.
Pluralisme mendukung keberagaman perspektif dalam sains (Nancy Cartwright),
memperluas cakrawala realitas digital (Luciano Floridi), serta memberikan dasar
filosofis bagi demokrasi dan multikulturalisme (Charles Taylor, Bhikhu
Parekh).⁶⁷
Dengan demikian, pluralisme dalam ontologi dapat
disimpulkan sebagai pandangan metafisik yang tidak hanya menggambarkan
realitas sebagaimana adanya, tetapi juga memberikan kerangka
interpretatif yang kaya, terbuka, dan inklusif untuk menanggapi
kompleksitas dunia. Ia mengajak kita untuk memahami dunia bukan sebagai sistem
yang sudah selesai dan tertutup, melainkan sebagai semesta yang masih
terbuka, plural, dan sedang terus diciptakan.⁸ Dalam era global yang
ditandai oleh keragaman nilai, identitas, dan cara hidup, pluralisme menjadi
salah satu fondasi filosofis yang paling kuat untuk mengartikulasikan kehidupan
bersama secara adil, reflektif, dan transformatif.
Footnotes
[1]
Peter van Inwagen, Metaphysics, 4th ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2014), 15–16.
[2]
Richard McKirahan, Philosophy Before Socrates:
An Introduction with Texts and Commentary, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2011), 296–303.
[3]
William James, A Pluralistic Universe
(Cambridge: Harvard University Press, 1977), 320–326.
[4]
Nicholas Rescher, The Strife of Systems: An
Essay on the Grounds and Implications of Philosophical Diversity
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1985), 91–98.
[5]
Paul Boghossian, Fear of Knowledge: Against
Relativism and Constructivism (Oxford: Oxford University Press, 2006),
13–17.
[6]
Nancy Cartwright, The Dappled World: A Study of
the Boundaries of Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1999),
2–6.
[7]
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory, 2nd ed. (London: Palgrave
Macmillan, 2006), 87–90.
[8]
William James, A Pluralistic Universe,
326–328.
Daftar Pustaka
Barnes, J. (1982). The Presocratic philosophers
(Rev. ed.). Routledge.
Berlin, I. (1990). The crooked timber of
humanity: Chapters in the history of ideas (H. Hardy, Ed.). Princeton
University Press.
Boghossian, P. (2006). Fear of knowledge:
Against relativism and constructivism. Oxford University Press.
Cartwright, N. (1999). The dappled world: A
study of the boundaries of science. Cambridge University Press.
Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In
search of a fundamental theory. Oxford University Press.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained.
Little, Brown.
D’Costa, G. (2000). The meeting of religions and
the Trinity. T&T Clark.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Giere, R. N. (2006). Scientific perspectivism.
University of Chicago Press.
Hick, J. (1989). An interpretation of religion:
Human responses to the transcendent. Yale University Press.
James, W. (1963). Pragmatism and other essays.
Washington Square Press.
James, W. (1977). A pluralistic universe.
Harvard University Press.
Kim, J. (2006). Philosophy of mind (2nd
ed.). Westview Press.
Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M.
(1983). The Presocratic philosophers (2nd ed.). Cambridge University
Press.
Latour, B. (1993). We have never been modern
(C. Porter, Trans.). Harvard University Press.
Leibniz, G. W. (1898). Monadology (R. Latta,
Trans.). Clarendon Press.
Loux, M. J., & Crisp, T. M. (2017). Metaphysics:
A contemporary introduction (4th ed.). Routledge.
Lynch, M. P. (2009). Truth as one and many.
Oxford University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University
of Minnesota Press.
McKirahan, R. (2011). Philosophy before
Socrates: An introduction with texts and commentary (2nd ed.). Hackett
Publishing.
Morton, T. (2007). Ecology without nature:
Rethinking environmental aesthetics. Harvard University Press.
Parekh, B. (2006). Rethinking multiculturalism:
Cultural diversity and political theory (2nd ed.). Palgrave Macmillan.
Plantinga, A. (1993). Warrant and proper
function. Oxford University Press.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the mastery of
nature. Routledge.
Putnam, H. (1981). Reason, truth and history.
Cambridge University Press.
Quine, W. V. O. (1953). From a logical point of
view. Harvard University Press.
Rescher, N. (1985). The strife of systems: An
essay on the grounds and implications of philosophical diversity.
University of Pittsburgh Press.
Rescher, N. (1995). Pluralism: Against the
demand for consensus. Oxford University Press.
Stace, W. T. (1920). A critical history of Greek
philosophy. Macmillan.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1994). Multiculturalism: Examining
the politics of recognition (A. Gutmann, Ed.). Princeton University Press.
van Inwagen, P. (2014). Metaphysics (4th
ed.). Westview Press.
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality
(D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). Free Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar