Jumat, 06 Juni 2025

Sejarah IPS 11-6: Dampak Dua Perang Dunia terhadap Tatanan Politik Global

Bahan Ajar Sejarah

Dampak Dua Perang Dunia terhadap Tatanan Politik Global

Dari Liga Bangsa-Bangsa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.


Abstrak

Artikel ini mengkaji pengaruh dua perang dunia terhadap transformasi tatanan politik global, dengan fokus pada kelahiran dan perbandingan dua organisasi internasional utama: Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui pendekatan historis dan analitis, artikel ini menguraikan kegagalan LBB dalam mencegah konflik besar pada abad ke-20 serta bagaimana pengalaman tersebut menjadi dasar pembentukan PBB dengan struktur, prinsip, dan cakupan kerja yang lebih efektif dan universal. Pembahasan meliputi latar belakang Perang Dunia I dan II, dinamika politik global pasca-perang, pembentukan sistem hukum internasional, proses dekolonisasi, serta peran PBB dalam memelihara perdamaian, memfasilitasi diplomasi multilateral, dan menghadapi tantangan kontemporer. Dengan mengacu pada sumber-sumber primer dan literatur akademik terkini, artikel ini menegaskan bahwa pemahaman terhadap dinamika sejarah internasional pascaperang adalah kunci untuk membangun kesadaran global, mendorong nilai-nilai kemanusiaan, dan memperkuat komitmen terhadap perdamaian dunia.

Kata Kunci: Perang Dunia I; Perang Dunia II; Liga Bangsa-Bangsa; Perserikatan Bangsa-Bangsa; tatanan politik global; sistem internasional; hukum internasional; dekolonisasi; diplomasi multilateral; perdamaian dunia.


PEMBAHASAN

Dampak Dua Perang Dunia terhadap Tatanan Politik Global


1.           Pendahuluan

Abad ke-20 ditandai oleh dua peristiwa perang besar yang tidak hanya mengubah lanskap politik dan sosial negara-negara yang terlibat, tetapi juga mendefinisikan ulang prinsip-prinsip dasar hubungan internasional. Perang Dunia I (1914–1918) dan Perang Dunia II (1939–1945) meninggalkan dampak mendalam bagi peradaban modern: dari kehancuran fisik dan psikologis, hingga pergeseran tatanan kekuasaan global yang sangat menentukan arah dunia kontemporer. Dua perang tersebut bukan sekadar benturan militer antarkekuatan besar, tetapi juga merupakan katalis bagi kelahiran sistem-sistem politik baru yang berupaya menciptakan perdamaian jangka panjang dan stabilitas global melalui institusi internasional.

Setelah Perang Dunia I, muncul kesadaran mendalam akan pentingnya mencegah konflik serupa di masa depan. Hal ini melahirkan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations, LBB) pada tahun 1919, yang merupakan lembaga internasional pertama yang didirikan secara formal dengan mandat untuk menjaga perdamaian dunia melalui diplomasi, arbitrasi, dan sanksi ekonomi terhadap agresor.1 Namun, LBB terbukti lemah dalam merespons ancaman nyata dari negara-negara agresor seperti Jepang, Italia, dan Jerman. Kegagalannya dalam menanggulangi konflik besar pada dekade 1930-an menjadi salah satu penyebab langsung dari meletusnya Perang Dunia II.2

Setelah Perang Dunia II yang lebih destruktif, kebutuhan akan lembaga internasional yang lebih efektif dan representatif menjadi mendesak. Pada tahun 1945, lahirlah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, PBB), hasil dari konsensus politik global yang tercapai melalui berbagai konferensi penting seperti Dumbarton Oaks, Yalta, dan San Francisco. PBB tidak hanya mewarisi sebagian gagasan LBB, tetapi juga memperbaikinya dengan struktur dan mekanisme yang lebih kuat serta dukungan lebih luas dari negara-negara anggota.3 Sejak saat itu, PBB menjadi simbol utama dari upaya kolektif umat manusia untuk menciptakan perdamaian, keadilan, dan kerja sama internasional dalam dunia yang semakin kompleks.

Kajian terhadap pengaruh dua perang dunia terhadap tatanan politik global, khususnya dalam konteks pembentukan dan transformasi LBB dan PBB, menjadi penting untuk memahami akar sejarah sistem internasional saat ini. Melalui analisis ini, para pelajar dan generasi muda dapat menelaah bagaimana tragedi besar dunia membentuk lembaga-lembaga multilateral, serta menilai sejauh mana peran lembaga-lembaga tersebut dalam menghadapi tantangan global abad ke-21 seperti konflik bersenjata, perubahan iklim, pelanggaran HAM, dan krisis kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Margaret MacMillan, Paris 1919: Six Months That Changed the World (New York: Random House, 2001), 93–97.

[2]                Zara Steiner, The Lights That Failed: European International History 1919–1933 (Oxford: Oxford University Press, 2005), 701–710.

[3]                Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future of the United Nations (New York: Random House, 2006), 15–23.


2.           Perang Dunia I dan Kelahiran Liga Bangsa-Bangsa (LBB)

2.1.       Latar Belakang Perang Dunia I

Perang Dunia I (1914–1918) meletus sebagai akibat dari kombinasi faktor kompleks seperti nasionalisme ekstrem, rivalitas kekuatan besar Eropa, perlombaan senjata, serta sistem aliansi yang rapuh. Pembunuhan Archduke Franz Ferdinand dari Austria-Hungaria di Sarajevo pada 28 Juni 1914 menjadi pemicu langsung yang mempercepat konfrontasi bersenjata antara Blok Sentral (Jerman, Austria-Hungaria, dan Kekaisaran Ottoman) dan Blok Sekutu (Britania Raya, Prancis, Rusia, dan kemudian Amerika Serikat).¹

Perang ini berlangsung selama empat tahun dengan korban jiwa lebih dari 16 juta orang dan kerusakan ekonomi serta infrastruktur di Eropa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dunia menyaksikan bagaimana kemajuan teknologi militer seperti senapan mesin, gas beracun, dan artileri berat justru memperparah penderitaan umat manusia.² Kejadian ini melahirkan kesadaran global tentang urgensi untuk membentuk sistem internasional baru guna mencegah terulangnya konflik serupa di masa depan.

2.2.       Gagasan dan Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa

Di tengah kehancuran moral dan material yang ditinggalkan Perang Dunia I, muncul harapan akan perdamaian dunia yang abadi. Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, menjadi tokoh sentral yang memprakarsai pembentukan lembaga internasional guna menjaga perdamaian. Dalam pidatonya yang terkenal, Fourteen Points (8 Januari 1918), Wilson menyatakan bahwa “sebuah asosiasi umum bangsa-bangsa harus dibentuk… untuk memberikan jaminan saling menghormati kemerdekaan dan integritas wilayah negara besar dan kecil.”³

Hasil Konferensi Perdamaian Paris (1919) yang menandai akhir perang menjadi titik awal lahirnya Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations, LBB). LBB secara resmi dibentuk melalui Pasal I hingga Pasal XXVI dari Perjanjian Versailles, dan mulai beroperasi pada 10 Januari 1920, dengan markas di Jenewa, Swiss.⁴ LBB adalah organisasi internasional pertama dalam sejarah modern yang dibentuk dengan tujuan utama mencegah perang melalui sistem kolektif, diplomasi, dan penyelesaian sengketa secara damai.

2.3.       Struktur dan Tujuan Liga Bangsa-Bangsa

LBB dirancang dengan struktur organisasi yang mencakup:

·                     Majelis Umum: forum bagi semua negara anggota untuk membahas isu-isu global;

·                     Dewan: badan eksekutif yang terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap;

·                     Sekretariat: badan administratif yang melaksanakan keputusan organisasi;

·                     Mahkamah Internasional (The Permanent Court of International Justice) dan badan-badan khusus lainnya.⁵

Tujuan utama LBB adalah:

1)                  Menjaga perdamaian dan keamanan internasional;

2)                  Mempromosikan kerja sama antarnegara dalam bidang ekonomi dan sosial;

3)                  Menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan arbitrase;

4)                  Melakukan intervensi non-militer terhadap negara agresor melalui sanksi ekonomi.

2.4.       Tantangan dan Keterbatasan

Meskipun secara idealis LBB memiliki visi yang mulia, realitas politik internasional memperlihatkan kelemahan fundamentalnya. Di antaranya adalah:

·                     Tidak semua negara besar bergabung: Amerika Serikat tidak pernah menjadi anggota, meskipun Wilson adalah inisiator utama. Kongres AS menolak meratifikasi Perjanjian Versailles karena kekhawatiran terhadap kedaulatan nasional.⁶

·                     Tidak memiliki kekuatan militer permanen, sehingga tidak mampu menindak negara yang melanggar hukum internasional.

·                     Struktur keanggotaan yang tidak inklusif dan ketergantungan pada konsensus memperlambat proses pengambilan keputusan.

·                     Ketidakmampuan dalam mencegah berbagai agresi: misalnya, invasi Jepang ke Manchuria (1931), pendudukan Italia di Ethiopia (1935), dan kebangkitan Nazi Jerman yang menginvasi Polandia (1939).⁷

Kegagalan LBB dalam menanggulangi berbagai krisis politik dan militer internasional menjadi preseden bagi munculnya kembali perang global yang lebih destruktif: Perang Dunia II.


Footnotes

[1]                David Stevenson, Cataclysm: The First World War as Political Tragedy (New York: Basic Books, 2004), 15–22.

[2]                John Keegan, The First World War (New York: Vintage Books, 2000), 289–290.

[3]                Woodrow Wilson, The Papers of Woodrow Wilson, ed. Arthur S. Link (Princeton: Princeton University Press, 1966), vol. 45, 534–537.

[4]                Margaret MacMillan, Paris 1919: Six Months That Changed the World (New York: Random House, 2001), 92–96.

[5]                F. P. Walters, A History of the League of Nations (London: Oxford University Press, 1952), 134–145.

[6]                Thomas J. Knock, To End All Wars: Woodrow Wilson and the Quest for a New World Order (New York: Oxford University Press, 1992), 216–219.

[7]                Zara Steiner, The Triumph of the Dark: European International History 1933–1939 (Oxford: Oxford University Press, 2011), 210–223.


3.           Kegagalan LBB dan Jalan Menuju Perang Dunia II

3.1.       Ketidakefektifan LBB dalam Menjaga Perdamaian Global

Meskipun dibentuk dengan tujuan mulia untuk menjaga perdamaian dunia, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) menunjukkan kelemahan serius dalam menjalankan mandatnya sepanjang dekade 1920-an dan 1930-an. Salah satu masalah utama LBB adalah ketiadaan kekuatan militer permanen yang membuatnya tidak memiliki alat pemaksaan terhadap negara anggota yang melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional. Selain itu, keputusan LBB hanya dapat diambil melalui konsensus, yang menyebabkan lambannya respons terhadap krisis mendesak dan mengurangi efektivitas lembaga tersebut.1

Kelemahan struktural ini diperparah oleh absennya negara-negara kunci, terutama Amerika Serikat yang menolak bergabung meskipun merupakan inisiator utama LBB. Ketiadaan AS—kekuatan ekonomi dan militer terbesar pasca-Perang Dunia I—membuat LBB kehilangan legitimasi serta kekuatan politik yang sangat dibutuhkan untuk memediasi dan menengahi konflik global.2

3.2.       Kasus-Kasus Kegagalan Intervensi LBB

Terdapat beberapa peristiwa penting yang memperlihatkan kegagalan LBB dalam mencegah atau menghentikan tindakan agresi negara anggota maupun non-anggota, yang pada akhirnya membuka jalan menuju Perang Dunia II.

1)                  Invasi Jepang ke Manchuria (1931)

Pada tahun 1931, Jepang melancarkan agresi militer terhadap wilayah Manchuria di Tiongkok dan membentuk negara boneka bernama Manchukuo. LBB membentuk komisi penyelidikan (Komisi Lytton) yang menyimpulkan bahwa Jepang adalah agresor dan menyerukan penarikan pasukan.3 Namun, LBB gagal mengambil langkah tegas—seperti sanksi militer atau ekonomi—sehingga Jepang keluar dari organisasi tersebut pada 1933 tanpa konsekuensi berarti.4

2)                  Invasi Italia ke Ethiopia (1935)

Italia di bawah Benito Mussolini menginvasi Ethiopia (Abyssinia), salah satu negara anggota LBB, sebagai bagian dari ambisi imperialisme fasis. Meskipun LBB menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Italia, sanksi tersebut tidak mencakup komoditas penting seperti minyak dan tidak melibatkan semua negara anggota, sehingga tidak efektif. Akibatnya, Italia berhasil mencaplok Ethiopia tanpa hambatan besar.5

3)                  Remiliterisasi Rhineland oleh Jerman (1936)

Jerman Nazi melanggar ketentuan Perjanjian Versailles dan Locarno dengan mengirimkan pasukan ke Rhineland. Tindakan ini mendapat kecaman internasional, tetapi LBB tidak memberikan respons apapun. Kebijakan appeasement yang diambil oleh Inggris dan Prancis justru mendorong agresivitas Jerman.6

4)                  Penyerbuan Jerman ke Austria dan Cekoslowakia (1938–1939)

Ketika Jerman melakukan Anschluss terhadap Austria dan kemudian mencaplok Sudetenland di Cekoslowakia, LBB kembali gagal bertindak tegas. Meskipun terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara lain, LBB tidak mampu mencegah ekspansi militerisme Nazi yang terus berlanjut hingga pecahnya Perang Dunia II.7

3.3.       Jalan Menuju Perang Dunia II

Kegagalan LBB dalam mencegah berbagai agresi tersebut menciptakan iklim ketidakpercayaan terhadap mekanisme keamanan kolektif internasional. Negara-negara agresor seperti Jerman, Jepang, dan Italia merasa tidak terancam oleh konsekuensi internasional dan terus melanjutkan ekspansi militer mereka. Sementara itu, negara-negara demokratis di Eropa lebih memilih strategi kompromi yang dikenal sebagai appeasement, dengan harapan dapat menghindari konflik berskala besar.

Namun, kebijakan tersebut justru memberikan ruang gerak yang luas bagi kekuatan fasis untuk memperluas pengaruhnya. Ketika Jerman menginvasi Polandia pada 1 September 1939, Inggris dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman—tanda dimulainya Perang Dunia II, dan sekaligus menjadi bukti akhir dari kegagalan LBB dalam menjalankan peran yang diharapkan dari sebuah lembaga penjaga perdamaian dunia.8


Footnotes

[1]                F. P. Walters, A History of the League of Nations (London: Oxford University Press, 1952), 248–255.

[2]                Thomas J. Knock, To End All Wars: Woodrow Wilson and the Quest for a New World Order (New York: Oxford University Press, 1992), 225–229.

[3]                Ian Nish, Japan’s Struggle with Internationalism: Japan, China, and the League of Nations, 1931–3 (London: Kegan Paul, 1993), 54–61.

[4]                Zara Steiner, The Triumph of the Dark: European International History 1933–1939 (Oxford: Oxford University Press, 2011), 82–85.

[5]                Richard Overy, The Road to War (New York: Penguin Books, 2000), 45–48.

[6]                Martin Gilbert, The Second World War: A Complete History (New York: Holt Paperbacks, 2004), 6–8.

[7]                Gerhard L. Weinberg, A World at Arms: A Global History of World War II (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 17–22.

[8]                Antony Beevor, The Second World War (New York: Little, Brown and Company, 2012), 15–19.


4.           Perang Dunia II dan Kebutuhan Akan Tatanan Global Baru

4.1.       Skala Kehancuran Perang Dunia II

Perang Dunia II (1939–1945) merupakan konflik militer terbesar dalam sejarah umat manusia, melibatkan lebih dari 100 juta personel militer dari lebih dari 30 negara. Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai lebih dari 70 juta jiwa, termasuk korban sipil akibat pembantaian massal, pengeboman besar-besaran, dan genosida Holocaust.1 Kerusakan infrastruktur dan ekonomi meluas ke hampir seluruh belahan dunia, meninggalkan luka sosial dan politik yang dalam.

Perang ini menunjukkan betapa lemahnya sistem perdamaian internasional yang dibangun sebelumnya, sekaligus memperlihatkan bahwa ancaman terhadap perdamaian tidak hanya datang dari negara-negara besar tetapi juga dari ideologi totalitarian yang memanipulasi kekuasaan politik demi ekspansi dan dominasi.2 Dunia menyadari bahwa upaya menjaga perdamaian tidak bisa lagi diserahkan kepada sistem ad hoc atau kebijakan nasional semata, tetapi harus dilakukan secara kolektif dengan mekanisme yang lebih efektif dan inklusif.

4.2.       Munculnya Kesadaran Akan Tatanan Internasional Baru

Setelah mengalami dua perang dunia dalam waktu kurang dari tiga dekade, para pemimpin global sampai pada kesimpulan bahwa dibutuhkan suatu lembaga internasional baru yang lebih kuat dan kredibel daripada Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Lembaga ini harus memiliki legitimasi yang lebih besar, melibatkan partisipasi luas dari negara-negara besar dan kecil, serta dilengkapi dengan sistem keamanan kolektif yang dapat mencegah terulangnya konflik global berskala besar.

Kesadaran ini mulai dirumuskan bahkan sebelum perang berakhir. Salah satu tonggak penting adalah Deklarasi Atlantik (Atlantic Charter) yang diumumkan pada Agustus 1941 oleh Presiden Franklin D. Roosevelt (Amerika Serikat) dan Perdana Menteri Winston Churchill (Inggris). Deklarasi ini menekankan pentingnya hak menentukan nasib sendiri, perdamaian global, dan kerjasama internasional sebagai prinsip dasar dunia pascaperang.3

4.3.       Proses Pembentukan Lembaga Baru: Menuju Perserikatan Bangsa-Bangsa

Keseriusan negara-negara Sekutu untuk membentuk lembaga pengganti LBB terus berkembang melalui beberapa konferensi internasional penting:

·                     Konferensi Dumbarton Oaks (Agustus–Oktober 1944) di Washington, D.C., yang menyusun rancangan struktur dan prinsip lembaga internasional baru yang kelak bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di sinilah diperkenalkan struktur Dewan Keamanan, Majelis Umum, dan lembaga-lembaga lainnya.4

·                     Konferensi Yalta (Februari 1945), yang mempertemukan tiga pemimpin besar—Roosevelt, Churchill, dan Stalin—untuk menyepakati prosedur pembentukan dan keanggotaan tetap Dewan Keamanan, termasuk pemberian hak veto kepada lima anggota tetap (AS, Inggris, Prancis, Uni Soviet, dan Tiongkok). Hal ini dilakukan untuk menjamin keterlibatan aktif kekuatan besar dalam menjaga stabilitas dunia.5

·                     Konferensi San Francisco (April–Juni 1945) yang secara resmi merumuskan dan mengesahkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Charter). Piagam ini ditandatangani oleh 50 negara dan mulai berlaku pada 24 Oktober 1945—tanggal yang kini diperingati sebagai Hari PBB.6

4.4.       Tujuan dan Harapan dari Tatanan Baru

Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak hanya merupakan upaya menggantikan LBB, tetapi juga simbol komitmen baru umat manusia untuk menghindari bencana perang dunia ketiga. PBB dirancang dengan tujuan utama:

1)                  Menjaga perdamaian dan keamanan internasional;

2)                  Mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;

3)                  Mendorong kerjasama internasional dalam penyelesaian masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan;

4)                  Menjadi pusat koordinasi tindakan internasional dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut.7

Berbeda dari LBB, PBB dilengkapi dengan struktur yang lebih fungsional dan keanggotaan yang lebih inklusif. PBB juga diberi kewenangan untuk membentuk pasukan perdamaian, menerapkan sanksi internasional, dan menangani isu lintas batas seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta pembangunan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Antony Beevor, The Second World War (New York: Little, Brown and Company, 2012), xviii–xix.

[2]                Richard Overy, Why the Allies Won (New York: W. W. Norton, 1995), 9–12.

[3]                Winston S. Churchill, The Second World War: The Grand Alliance (Boston: Houghton Mifflin, 1950), 448–450.

[4]                Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 96–105.

[5]                Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future of the United Nations (New York: Random House, 2006), 30–34.

[6]                Ruth Russell, A History of the United Nations Charter (Washington, DC: Brookings Institution, 1958), 512–520.

[7]                United Nations, Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice (San Francisco: United Nations, 1945), Preamble and Chapter I.


5.           Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

5.1.       Latar Belakang dan Landasan Hukum Pembentukan

Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, PBB) merupakan puncak dari respons komunitas internasional terhadap kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan kehancuran global yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II. Tujuan utama pendirian PBB adalah menciptakan kerangka kerja yang lebih kuat dan efektif untuk menjaga perdamaian, mencegah konflik bersenjata, dan meningkatkan kerjasama internasional.

PBB secara resmi didirikan pada 24 Oktober 1945, ketika Piagam PBB (United Nations Charter) mulai berlaku setelah diratifikasi oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan dan mayoritas dari 50 negara penandatangan.1 Tanggal tersebut kini diperingati sebagai Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Day). Piagam PBB yang disusun dalam Konferensi San Francisco (April–Juni 1945) menjadi konstitusi dasar organisasi ini, mencakup prinsip-prinsip hukum internasional dan tujuan universal kemanusiaan.

5.2.       Prinsip-Prinsip Dasar dalam Piagam PBB

Piagam PBB terdiri dari 19 Bab dan 111 Pasal, yang secara menyeluruh mengatur struktur, fungsi, dan tujuan organisasi. Beberapa prinsip dasar yang menjadi landasan moral dan hukum PBB antara lain:

1)                  Sovereign equality (kesetaraan kedaulatan) semua negara anggota;

2)                  Penyelesaian sengketa internasional secara damai;

3)                  Larangan penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain;

4)                  Kerja sama dalam memajukan HAM, pembangunan sosial-ekonomi, dan keadilan internasional;

5)                  Non-intervensi dalam urusan domestik negara lain, kecuali dalam situasi yang membahayakan perdamaian dunia.2

Prinsip-prinsip ini merupakan pembaruan dari sistem LBB yang dinilai lemah, dan ditujukan untuk memberikan landasan yang lebih kokoh bagi stabilitas internasional jangka panjang.

5.3.       Struktur Organisasi PBB

PBB dirancang dengan struktur kelembagaan yang kompleks namun sistematis, mencakup enam organ utama dan berbagai lembaga afiliasi. Berikut adalah ringkasan struktur tersebut:

1)                  Majelis Umum (General Assembly): Forum deliberatif utama yang terdiri dari semua negara anggota; setiap negara memiliki satu suara.

2)                  Dewan Keamanan (Security Council): Bertanggung jawab atas perdamaian dan keamanan internasional; terdiri dari 15 anggota, termasuk 5 anggota tetap (AS, Inggris, Prancis, Uni Soviet/Rusia, dan Tiongkok) dengan hak veto.3

3)                  Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC): Mengkoordinasi kerja sama internasional di bidang ekonomi, sosial, dan HAM.

4)                  Dewan Perwalian (Trusteeship Council): Mengawasi wilayah-wilayah yang belum merdeka (sudah tidak aktif sejak 1994).

5)                  Mahkamah Internasional (International Court of Justice): Badan kehakiman utama yang bermarkas di Den Haag, Belanda.

6)                  Sekretariat: Badan administratif di bawah Sekretaris Jenderal, yang bertanggung jawab untuk menjalankan tugas-tugas PBB secara harian.

Selain itu, PBB memiliki berbagai badan khusus seperti UNESCO, WHO, FAO, ILO, dan UNICEF yang bekerja dalam kerangka kerja sama multilateral sesuai mandat tematiknya.

5.4.       Keanggotaan dan Universalitas

Pada saat pendiriannya, PBB beranggotakan 50 negara, termasuk Indonesia sebagai penandatangan piagam, meskipun secara resmi baru menjadi anggota ke-60 pada 28 September 1950.4 Hingga kini, keanggotaan PBB telah berkembang menjadi 193 negara, mencerminkan hampir seluruh negara berdaulat di dunia.

Keanggotaan yang hampir universal ini memberikan legitimasi tinggi terhadap PBB sebagai forum utama hubungan internasional dan penjaga norma global. Meski demikian, hubungan antara negara-negara besar dan pengaruh politik global masih mewarnai dinamika internal lembaga ini.

5.5.       Pembaruan dan Harapan Global

Pembentukan PBB merepresentasikan upaya paling ambisius dalam sejarah modern untuk menciptakan tatanan internasional yang berdasarkan hukum, keadilan, dan kolaborasi. Berbeda dengan LBB yang eksklusif dan lemah secara institusional, PBB lahir dari pengalaman pahit dua perang dunia dan diharapkan mampu menjadi penjaga perdamaian dan promotor pembangunan global yang berkelanjutan.

Meski menghadapi banyak tantangan, terutama dalam reformasi Dewan Keamanan dan efektivitas penanganan konflik kontemporer, keberadaan PBB tetap menjadi simbol dan instrumen utama sistem politik global pasca-1945.5


Footnotes

[1]                Ruth Russell, A History of the United Nations Charter (Washington, DC: Brookings Institution, 1958), 512.

[2]                United Nations, Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice (San Francisco: United Nations, 1945), Chapter I.

[3]                Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future of the United Nations (New York: Random House, 2006), 36–42.

[4]                United Nations, Membership of the United Nations, accessed June 2025, https://www.un.org/en/about-us/member-states.

[5]                Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 253–257.


6.           Perbandingan antara Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

6.1.       Latar Historis dan Konteks Pembentukan

Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dibentuk pada tahun 1919 sebagai hasil dari Konferensi Perdamaian Paris pasca-Perang Dunia I, dengan maksud mencegah terulangnya konflik global melalui sistem keamanan kolektif dan diplomasi internasional. Sebaliknya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir pada tahun 1945 sebagai respons terhadap kegagalan LBB dan kehancuran dahsyat Perang Dunia II, dengan mandat yang lebih luas, struktur lebih kuat, dan partisipasi yang lebih inklusif.1

PBB tidak sekadar melanjutkan LBB, melainkan merupakan perombakan total terhadap sistem lama yang telah terbukti tidak efektif. Berbagai kekurangan LBB menjadi pelajaran berharga dalam merancang struktur dan prinsip kerja PBB agar lebih mampu menjalankan peran globalnya secara nyata.

6.2.       Keanggotaan dan Representasi

LBB memiliki keanggotaan yang terbatas. Meskipun pada masa puncaknya mencapai 58 negara, absennya kekuatan utama seperti Amerika Serikat sejak awal telah melemahkan legitimasi organisasi tersebut. Sebaliknya, PBB sejak awal didesain sebagai organisasi universal, terbuka bagi semua negara berdaulat yang berkomitmen terhadap Piagam PBB. Saat ini, keanggotaannya mencakup 193 negara, menjadikannya organisasi internasional terbesar dan paling representatif di dunia.2

Keanggotaan PBB yang hampir universal memberikan legitimasi moral dan politik yang jauh lebih tinggi dibandingkan LBB, yang sering dianggap elitis dan euro-sentris dalam pendekatannya.

6.3.       Struktur Kelembagaan dan Fungsi

Dari sisi struktur, LBB terdiri dari Majelis Umum, Dewan, dan Sekretariat, tanpa adanya badan yudisial yang aktif dan tanpa kekuatan militer tetap. Tidak ada sistem yang memungkinkan tindakan cepat dan tegas terhadap ancaman keamanan.3 PBB, sebaliknya, memiliki struktur yang lebih kompleks dan fungsional:

·                     Dewan Keamanan sebagai organ eksekutif utama yang berwenang menetapkan tindakan militer atau sanksi;

·                     Majelis Umum yang inklusif;

·                     Sekretariat yang kuat secara administratif;

·                     Mahkamah Internasional yang aktif menyelesaikan sengketa hukum antarnegara;

·                     Beragam badan khusus dan program yang menangani isu sosial, ekonomi, dan kemanusiaan.

PBB juga memiliki kekuatan operasional nyata, termasuk pembentukan pasukan penjaga perdamaian (peacekeeping) dan pengiriman misi kemanusiaan internasional, yang tidak pernah dimiliki oleh LBB.4

6.4.       Sistem Pengambilan Keputusan

Salah satu kekurangan utama LBB adalah sistem pengambilan keputusan berdasarkan konsensus total, yang memungkinkan satu negara kecil memveto keputusan kolektif. Hal ini sering kali mengakibatkan kelumpuhan organisasi. PBB, melalui Dewan Keamanan, mengadopsi sistem hak veto bagi lima anggota tetap yang merupakan kekuatan besar dunia. Meskipun sistem ini juga kontroversial, keberadaan kekuatan veto menjamin partisipasi aktif negara-negara adidaya dan mencegah mereka menarik diri dari sistem internasional.5

6.5.       Efektivitas dalam Menangani Krisis Global

Secara historis, LBB gagal menangani agresi militer oleh negara-negara seperti Jepang, Italia, dan Jerman yang mengarah pada Perang Dunia II. PBB, meskipun tidak sempurna, telah memainkan peran signifikan dalam berbagai konflik, termasuk mediasi di Perang Korea, Perang Teluk, konflik Rwanda, Kosovo, dan konflik Timur Tengah. PBB juga berperan aktif dalam promosi hak asasi manusia, bantuan kemanusiaan, pengurangan kemiskinan global, dan penanganan perubahan iklim.6

6.6.       Citra dan Relevansi Global

LBB kehilangan kredibilitasnya sebelum akhirnya dibubarkan pada tahun 1946. PBB, meskipun menghadapi kritik terhadap dominasi Dewan Keamanan atau ketidakefektifan dalam beberapa konflik, tetap menjadi forum global utama untuk diplomasi multilateral dan solusi bersama. Lembaga ini terus diperbaharui untuk menghadapi tantangan global abad ke-21, seperti terorisme internasional, pandemi global, dan ketimpangan pembangunan.

6.7.       Perbandingan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Disajikan secara deskriptif berdasarkan aspek-aspek utama:

6.7.1.    Tahun Pendirian

·                     LBB: Didirikan pada tahun 1919 sebagai hasil dari Perjanjian Versailles setelah Perang Dunia I.

·                     PBB: Resmi berdiri pada 24 Oktober 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, melalui Piagam San Francisco.

6.7.2.      Jumlah Keanggotaan

·                     LBB: Pada masa puncaknya memiliki 58 negara anggota, namun tidak mencakup semua kekuatan besar dunia.

·                     PBB: Memiliki 193 negara anggota (per tahun 2025), hampir mencakup seluruh negara berdaulat di dunia.

6.7.3.      Keikutsertaan Amerika Serikat

·                     LBB: Amerika Serikat tidak pernah menjadi anggota, meskipun merupakan penggagas utamanya (melalui Presiden Woodrow Wilson).

·                     PBB: Amerika Serikat merupakan anggota pendiri yang aktif terlibat dalam proses perancangannya.

6.7.4.      Struktur Organisasi

·                     LBB:

þ Majelis Umum

þ Dewan

þ Sekretariat

þ Tidak memiliki lembaga peradilan yang kuat maupun badan khusus.

·                     PBB:

þ Majelis Umum

þ Dewan Keamanan

þ Dewan Ekonomi dan Sosial

þ Mahkamah Internasional

þ Sekretariat

þ Beragam badan khusus (UNESCO, WHO, ILO, UNICEF, dll.)

6.7.5.      Hak Veto

·                     LBB: Tidak mengenal sistem hak veto, namun keputusannya harus melalui konsensus bulat, yang menyebabkan kelumpuhan dalam pengambilan keputusan.

·                     PBB: Menerapkan hak veto untuk 5 anggota tetap Dewan Keamanan (AS, Inggris, Prancis, Rusia, Tiongkok), sebagai bentuk kompromi terhadap realitas kekuasaan global.

6.7.6.      Pasukan Perdamaian

·                     LBB: Tidak memiliki pasukan penjaga perdamaian atau otoritas militer untuk menindak negara agresor.

·                     PBB: Memiliki pasukan penjaga perdamaian (UN Peacekeeping Forces) yang dapat dikerahkan atas mandat Dewan Keamanan.

6.7.7.      Efektivitas Penanganan Krisis

·                     LBB: Terbukti tidak efektif, terutama dalam menghadapi agresi militer Jepang, Italia, dan Jerman sebelum Perang Dunia II.

·                     PBB: Memiliki rekam jejak lebih baik, meskipun tidak sempurna, dalam menangani konflik seperti Perang Korea, Perang Teluk, dan intervensi kemanusiaan di berbagai wilayah.

6.7.8.      Lembaga Yudisial

·                     LBB: Mempunyai pengadilan internasional permanen, tetapi kurang aktif dan tidak memiliki otoritas eksekusi.

·                     PBB: Dilengkapi dengan Mahkamah Internasional yang aktif menyelesaikan sengketa antarnegara dan memberikan pendapat hukum atas isu global.


Footnotes

[1]                Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future of the United Nations (New York: Random House, 2006), 27–32.

[2]                United Nations, Membership of the United Nations, accessed June 2025, https://www.un.org/en/about-us/member-states.

[3]                F. P. Walters, A History of the League of Nations (London: Oxford University Press, 1952), 136–144.

[4]                Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 226–231.

[5]                Thomas G. Weiss and Sam Daws, eds., The Oxford Handbook on the United Nations (Oxford: Oxford University Press, 2007), 46–49.

[6]                Margaret P. Karns, Karen A. Mingst, and Kendall W. Stiles, International Organizations: The Politics and Processes of Global Governance (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2015), 150–167.


7.           Dampak Jangka Panjang Terhadap Kehidupan Politik Global

7.1.       Konsolidasi Sistem Politik Internasional Pasca-1945

Lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah Perang Dunia II membawa perubahan signifikan terhadap sistem hubungan internasional. PBB memperkuat kerangka hukum dan kelembagaan global, menggantikan paradigma kekuasaan absolut negara dengan prinsip kerja sama multilateral, penyelesaian damai, dan perlindungan hak asasi manusia.1 Sejak 1945, PBB menjadi platform utama yang mendorong konsensus global dalam pengelolaan isu-isu lintas batas, seperti konflik bersenjata, disarmamen, perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.

Keberadaan PBB menciptakan rezim internasional yang lebih terstruktur, di mana norma-norma dan konvensi hukum internasional memainkan peran penting dalam membatasi tindakan unilateralisasi oleh negara-negara besar. Meskipun tidak memiliki otoritas absolut, struktur PBB berfungsi sebagai penyeimbang dalam sistem politik global modern.2

7.2.       Pembentukan Norma dan Hukum Internasional

Salah satu kontribusi jangka panjang paling penting dari sistem pasca-perang adalah penguatan norma hukum internasional. PBB menjadi motor utama dalam merancang dan memberlakukan berbagai konvensi internasional yang menjadi dasar hukum global, seperti:

·                     Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948);

·                     Konvensi Genosida (1948);

·                     Konvensi Jenewa tentang Hukum Perang (1949);

·                     Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan berbagai perjanjian lainnya.3

Peran Mahkamah Internasional serta lembaga-lembaga ad hoc seperti International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Court (ICC) memperlihatkan bagaimana konflik pascaperang dapat ditangani dengan mekanisme hukum global yang menuntut akuntabilitas individu maupun negara.

7.3.       Polarisasi Global dan Perang Dingin

Meskipun PBB diharapkan menjadi wadah persatuan, pada kenyataannya, sistem internasional pasca-1945 segera terbagi ke dalam dua blok kekuatan besar: blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Perang Dingin (1947–1991) menciptakan ketegangan global yang berlangsung selama empat dekade dan berujung pada konflik-proksi di Korea, Vietnam, Afghanistan, dan kawasan lain.4

Namun demikian, PBB tetap memainkan peran penting sebagai arena diplomatik, sekalipun dibatasi oleh hak veto anggota tetap Dewan Keamanan, yang kerap digunakan untuk melindungi kepentingan nasional masing-masing blok. Meskipun tidak mampu mencegah semua konflik, keberadaan PBB membantu menahan skala dan frekuensi perang besar seperti Perang Dunia I dan II.5

7.4.       Dekolonisasi dan Perubahan Peta Politik Dunia

Salah satu implikasi penting dari tatanan global baru adalah percepatan proses dekolonisasi di Asia, Afrika, dan Karibia. Dengan dukungan normatif dari Piagam PBB dan dukungan politik dari negara-negara berkembang, puluhan bangsa merdeka antara tahun 1945 hingga 1975, mengakhiri dominasi kolonialisme Eropa.6

PBB secara aktif mendukung proses ini melalui Komite Khusus untuk Dekolonisasi dan pengakuan terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi semua bangsa. Hasilnya adalah perluasan jumlah negara berdaulat dan terciptanya realitas geopolitik multipolar yang lebih mencerminkan keberagaman dunia.

7.5.       Institusionalisasi Diplomasi Multilateral

PBB juga menciptakan budaya diplomasi multilateral sebagai standar dalam menyelesaikan isu-isu internasional. Berbagai forum seperti Majelis Umum, ECOSOC, dan COP (Conference of Parties) tentang perubahan iklim telah menjadi tempat bertemunya kepentingan nasional dalam semangat kolaborasi global.

Melalui badan-badan seperti UNESCO, WHO, UNHCR, dan UNDP, PBB menginstitusionalisasikan kerja sama global di bidang pendidikan, kesehatan, pengungsi, dan pembangunan. Hal ini menciptakan dimensi baru dalam politik internasional: negara tidak hanya dinilai dari kekuatan militernya, tetapi juga dari kontribusinya terhadap kemanusiaan dan stabilitas dunia.7

7.6.       Tantangan Kontemporer dan Relevansi Abad ke-21

Meskipun telah memainkan peran besar dalam stabilisasi politik global, PBB juga menghadapi tantangan serius di abad ke-21. Ketidaksetaraan pengaruh di Dewan Keamanan, krisis pengungsi, konflik berkepanjangan (Suriah, Palestina), dan perubahan iklim menunjukkan batas-batas efektivitas organisasi ini.

Namun demikian, PBB tetap menjadi satu-satunya lembaga yang diakui secara universal dan memiliki kapasitas kelembagaan untuk memfasilitasi respons internasional terhadap krisis global. Upaya reformasi terhadap struktur PBB, terutama komposisi Dewan Keamanan, masih menjadi agenda penting dalam menyempurnakan peran organisasi ini di masa depan.8


Kesimpulan Subbagian

Secara keseluruhan, dampak jangka panjang dua perang dunia dan lahirnya PBB dapat dilihat dari terbentuknya sistem internasional yang lebih legalistik, inklusif, dan berorientasi damai. Meski tidak sempurna, keberadaan PBB dan sistem multilateral yang dibangunnya telah menahan potensi pecahnya perang global baru dan membuka ruang lebih luas bagi perdamaian, keadilan, dan pembangunan bersama.


Footnotes

[1]                Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future of the United Nations (New York: Random House, 2006), 52–55.

[2]                Margaret P. Karns, Karen A. Mingst, and Kendall W. Stiles, International Organizations: The Politics and Processes of Global Governance, 3rd ed. (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2015), 22–24.

[3]                United Nations, Multilateral Treaties Deposited with the Secretary-General, accessed June 2025, https://treaties.un.org/.

[4]                John Lewis Gaddis, The Cold War: A New History (New York: Penguin Press, 2005), 35–42.

[5]                Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 261–265.

[6]                A. G. Hopkins, American Empire: A Global History (Princeton: Princeton University Press, 2018), 624–629.

[7]                Thomas G. Weiss, What's Wrong with the United Nations and How to Fix It (Cambridge: Polity Press, 2016), 109–113.

[8]                Edward C. Luck, UN Security Council: Practice and Promise (New York: Routledge, 2006), 89–94.


8.           Penutup

Dua perang dunia pada abad ke-20 bukan sekadar tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah, tetapi juga titik balik dalam pembentukan sistem politik global yang baru. Kedua perang tersebut menjadi katalis bagi upaya kolektif umat manusia untuk menciptakan mekanisme internasional yang dapat mencegah bencana serupa di masa depan. Dalam konteks ini, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) merupakan upaya awal yang ambisius namun tidak efektif, sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir dari evaluasi menyeluruh terhadap kegagalan tersebut dan membawa harapan baru bagi perdamaian dan stabilitas dunia.1

Transformasi dari LBB ke PBB mencerminkan evolusi pemikiran politik internasional: dari diplomasi tertutup dan kepentingan sepihak menuju kerja sama multilateral, dari kedaulatan absolut menuju prinsip tanggung jawab kolektif, dan dari kekuasaan imperialis menuju hak asasi dan kedaulatan rakyat. Struktur PBB yang lebih inklusif, sistem hukum internasional yang lebih mapan, serta kemampuannya dalam merespons krisis kemanusiaan dan konflik bersenjata menunjukkan adanya kemajuan signifikan dalam tatanan global pasca-1945.2

Namun demikian, realitas politik dunia menunjukkan bahwa tantangan terhadap sistem ini masih sangat nyata. Ketimpangan dalam hak veto Dewan Keamanan, ketidakmampuan dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan seperti di Palestina, Suriah, atau Sudan, serta meningkatnya unilateralisme dan populisme dalam politik global memperlihatkan bahwa sistem internasional pascaperang belum sepenuhnya ideal dan membutuhkan reformasi mendalam.3 Di tengah kompleksitas ini, peran PBB tetap penting sebagai simbol harapan dan wadah diplomasi global yang terus berproses.

Dari sudut pandang pendidikan sejarah, memahami dinamika antara dua perang dunia dan pembentukan lembaga internasional seperti LBB dan PBB sangat penting untuk:

·                     Menggugah kesadaran akan pentingnya perdamaian dunia dan peran aktif warga negara global;

·                     Memahami bahwa tatanan internasional bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dibentuk oleh interaksi sejarah, konflik, dan kesepakatan kolektif;

·                     Menyadarkan generasi muda bahwa sistem internasional yang adil dan damai hanya dapat dibangun melalui kerja sama lintas bangsa, dialog, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal.

Dengan demikian, pembelajaran sejarah bukan hanya tentang peristiwa masa lalu, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan tanggung jawab masa depan. Mengingat dan memahami sejarah dua perang dunia serta upaya pembentukan tatanan damai global merupakan langkah awal untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berperikemanusiaan.4


Footnotes

[1]                Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 2–5.

[2]                Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future of the United Nations (New York: Random House, 2006), 60–63.

[3]                Thomas G. Weiss, What's Wrong with the United Nations and How to Fix It (Cambridge: Polity Press, 2016), 115–118.

[4]                Margaret P. Karns, Karen A. Mingst, and Kendall W. Stiles, International Organizations: The Politics and Processes of Global Governance, 3rd ed. (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2015), 381–385.


Daftar Pustaka

Beevor, A. (2012). The Second World War. Little, Brown and Company.

Churchill, W. S. (1950). The grand alliance (Vol. 3). Houghton Mifflin.

Gaddis, J. L. (2005). The Cold War: A new history. Penguin Press.

Hopkins, A. G. (2018). American empire: A global history. Princeton University Press.

Karns, M. P., Mingst, K. A., & Stiles, K. W. (2015). International organizations: The politics and processes of global governance (3rd ed.). Lynne Rienner Publishers.

Keegan, J. (2000). The First World War. Vintage Books.

Kennedy, P. (2006). The parliament of man: The past, present, and future of the United Nations. Random House.

Knock, T. J. (1992). To end all wars: Woodrow Wilson and the quest for a new world order. Oxford University Press.

Luck, E. C. (2006). UN Security Council: Practice and promise. Routledge.

MacMillan, M. (2001). Paris 1919: Six months that changed the world. Random House.

Nish, I. (1993). Japan’s struggle with internationalism: Japan, China, and the League of Nations, 1931–3. Kegan Paul.

Overy, R. (1995). Why the Allies won. W. W. Norton.

Overy, R. (2000). The road to war. Penguin Books.

Russell, R. (1958). A history of the United Nations Charter: The role of the United States 1940–1945. Brookings Institution.

Schlesinger, S. C. (2003). Act of creation: The founding of the United Nations. Westview Press.

Steiner, Z. (2005). The lights that failed: European international history 1919–1933. Oxford University Press.

Steiner, Z. (2011). The triumph of the dark: European international history 1933–1939. Oxford University Press.

Stevenson, D. (2004). Cataclysm: The First World War as political tragedy. Basic Books.

United Nations. (1945). Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice. https://www.un.org/en/about-us/un-charter

United Nations. (2025). Membership of the United Nations. https://www.un.org/en/about-us/member-states

United Nations. (2025). Multilateral treaties deposited with the Secretary-General. https://treaties.un.org/

Walters, F. P. (1952). A history of the League of Nations. Oxford University Press.

Weinberg, G. L. (2005). A world at arms: A global history of World War II. Cambridge University Press.

Weiss, T. G. (2016). What’s wrong with the United Nations and how to fix it (2nd ed.). Polity Press.

Weiss, T. G., & Daws, S. (Eds.). (2007). The Oxford handbook on the United Nations. Oxford University Press.

Wilson, W. (1966). The papers of Woodrow Wilson (A. S. Link, Ed., Vol. 45). Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar