Bahan Ajar Sejarah
Dampak Dua Perang Dunia terhadap Tatanan Politik Global
Dari Liga Bangsa-Bangsa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran Sejarah IPS.
Abstrak
Artikel ini mengkaji pengaruh dua perang dunia
terhadap transformasi tatanan politik global, dengan fokus pada kelahiran dan
perbandingan dua organisasi internasional utama: Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui pendekatan historis dan analitis,
artikel ini menguraikan kegagalan LBB dalam mencegah konflik besar pada abad
ke-20 serta bagaimana pengalaman tersebut menjadi dasar pembentukan PBB dengan
struktur, prinsip, dan cakupan kerja yang lebih efektif dan universal.
Pembahasan meliputi latar belakang Perang Dunia I dan II, dinamika politik
global pasca-perang, pembentukan sistem hukum internasional, proses
dekolonisasi, serta peran PBB dalam memelihara perdamaian, memfasilitasi
diplomasi multilateral, dan menghadapi tantangan kontemporer. Dengan mengacu
pada sumber-sumber primer dan literatur akademik terkini, artikel ini
menegaskan bahwa pemahaman terhadap dinamika sejarah internasional pascaperang
adalah kunci untuk membangun kesadaran global, mendorong nilai-nilai
kemanusiaan, dan memperkuat komitmen terhadap perdamaian dunia.
Kata Kunci: Perang Dunia I; Perang Dunia II; Liga
Bangsa-Bangsa; Perserikatan Bangsa-Bangsa; tatanan politik global; sistem
internasional; hukum internasional; dekolonisasi; diplomasi multilateral;
perdamaian dunia.
PEMBAHASAN
Dampak Dua Perang Dunia terhadap Tatanan Politik Global
1.
Pendahuluan
Abad ke-20 ditandai oleh dua
peristiwa perang besar yang tidak hanya mengubah lanskap politik dan sosial
negara-negara yang terlibat, tetapi juga mendefinisikan ulang prinsip-prinsip
dasar hubungan internasional. Perang Dunia I
(1914–1918) dan Perang Dunia II
(1939–1945) meninggalkan dampak mendalam bagi peradaban modern:
dari kehancuran fisik dan psikologis, hingga pergeseran tatanan kekuasaan
global yang sangat menentukan arah dunia kontemporer. Dua perang tersebut bukan
sekadar benturan militer antarkekuatan besar, tetapi juga merupakan katalis
bagi kelahiran sistem-sistem politik baru yang berupaya menciptakan perdamaian
jangka panjang dan stabilitas global melalui institusi internasional.
Setelah Perang Dunia I,
muncul kesadaran mendalam akan pentingnya mencegah konflik serupa di masa
depan. Hal ini melahirkan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations,
LBB) pada tahun 1919, yang merupakan lembaga internasional
pertama yang didirikan secara formal dengan mandat untuk menjaga perdamaian
dunia melalui diplomasi, arbitrasi, dan sanksi ekonomi terhadap agresor.1
Namun, LBB terbukti lemah dalam merespons ancaman nyata dari negara-negara
agresor seperti Jepang, Italia, dan Jerman. Kegagalannya dalam menanggulangi
konflik besar pada dekade 1930-an menjadi salah satu penyebab langsung dari
meletusnya Perang Dunia II.2
Setelah Perang Dunia II yang
lebih destruktif, kebutuhan akan lembaga internasional yang lebih efektif dan
representatif menjadi mendesak. Pada tahun 1945, lahirlah Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nations, PBB), hasil dari konsensus
politik global yang tercapai melalui berbagai konferensi penting seperti
Dumbarton Oaks, Yalta, dan San Francisco. PBB tidak hanya mewarisi sebagian
gagasan LBB, tetapi juga memperbaikinya dengan struktur dan mekanisme yang
lebih kuat serta dukungan lebih luas dari negara-negara anggota.3
Sejak saat itu, PBB menjadi simbol utama dari upaya kolektif umat manusia untuk
menciptakan perdamaian, keadilan, dan kerja sama internasional dalam dunia yang
semakin kompleks.
Kajian terhadap pengaruh dua
perang dunia terhadap tatanan politik global, khususnya dalam konteks
pembentukan dan transformasi LBB dan PBB, menjadi penting untuk memahami akar
sejarah sistem internasional saat ini. Melalui analisis ini, para pelajar dan
generasi muda dapat menelaah bagaimana tragedi besar dunia membentuk
lembaga-lembaga multilateral, serta menilai sejauh mana peran lembaga-lembaga
tersebut dalam menghadapi tantangan global abad ke-21 seperti konflik
bersenjata, perubahan iklim, pelanggaran HAM, dan krisis kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Margaret MacMillan, Paris 1919: Six Months That Changed the World
(New York: Random House, 2001), 93–97.
[2]
Zara Steiner, The Lights That Failed: European International
History 1919–1933 (Oxford: Oxford University Press, 2005), 701–710.
[3]
Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future
of the United Nations (New York: Random House, 2006), 15–23.
2.
Perang Dunia I dan Kelahiran Liga Bangsa-Bangsa
(LBB)
2.1.
Latar Belakang
Perang Dunia I
Perang Dunia I (1914–1918)
meletus sebagai akibat dari kombinasi faktor kompleks seperti nasionalisme
ekstrem, rivalitas kekuatan besar Eropa, perlombaan senjata, serta sistem aliansi
yang rapuh. Pembunuhan Archduke Franz Ferdinand dari Austria-Hungaria di
Sarajevo pada 28 Juni 1914 menjadi pemicu langsung yang mempercepat konfrontasi
bersenjata antara Blok Sentral (Jerman, Austria-Hungaria, dan Kekaisaran
Ottoman) dan Blok Sekutu (Britania Raya, Prancis, Rusia, dan kemudian Amerika
Serikat).¹
Perang ini berlangsung selama
empat tahun dengan korban jiwa lebih dari 16 juta orang dan kerusakan ekonomi
serta infrastruktur di Eropa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dunia
menyaksikan bagaimana kemajuan teknologi militer seperti senapan mesin, gas
beracun, dan artileri berat justru memperparah penderitaan umat manusia.²
Kejadian ini melahirkan kesadaran global tentang urgensi untuk membentuk sistem
internasional baru guna mencegah terulangnya konflik serupa di masa depan.
2.2.
Gagasan dan
Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa
Di tengah kehancuran moral
dan material yang ditinggalkan Perang Dunia I, muncul harapan akan perdamaian
dunia yang abadi. Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, menjadi tokoh
sentral yang memprakarsai pembentukan lembaga internasional guna menjaga
perdamaian. Dalam pidatonya yang terkenal, Fourteen Points (8 Januari
1918), Wilson menyatakan bahwa “sebuah asosiasi umum bangsa-bangsa harus
dibentuk… untuk memberikan jaminan saling menghormati kemerdekaan dan
integritas wilayah negara besar dan kecil.”³
Hasil Konferensi Perdamaian
Paris (1919) yang menandai akhir perang menjadi titik awal lahirnya Liga
Bangsa-Bangsa (League of Nations, LBB). LBB secara resmi
dibentuk melalui Pasal I hingga Pasal XXVI dari Perjanjian
Versailles, dan mulai beroperasi pada 10 Januari 1920, dengan
markas di Jenewa, Swiss.⁴ LBB adalah organisasi internasional pertama dalam
sejarah modern yang dibentuk dengan tujuan utama mencegah perang melalui sistem
kolektif, diplomasi, dan penyelesaian sengketa secara damai.
2.3.
Struktur dan Tujuan
Liga Bangsa-Bangsa
LBB dirancang dengan struktur
organisasi yang mencakup:
·
Majelis
Umum: forum bagi semua negara anggota untuk membahas isu-isu
global;
·
Dewan:
badan eksekutif yang terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap;
·
Sekretariat:
badan administratif yang melaksanakan keputusan organisasi;
·
Mahkamah
Internasional (The Permanent Court of International Justice)
dan badan-badan khusus lainnya.⁵
Tujuan utama LBB adalah:
1)
Menjaga perdamaian dan keamanan
internasional;
2)
Mempromosikan kerja sama
antarnegara dalam bidang ekonomi dan sosial;
3)
Menyelesaikan konflik melalui
negosiasi dan arbitrase;
4)
Melakukan intervensi non-militer
terhadap negara agresor melalui sanksi ekonomi.
2.4.
Tantangan dan
Keterbatasan
Meskipun secara idealis LBB
memiliki visi yang mulia, realitas politik internasional memperlihatkan
kelemahan fundamentalnya. Di antaranya adalah:
·
Tidak semua negara besar
bergabung: Amerika Serikat tidak pernah menjadi anggota,
meskipun Wilson adalah inisiator utama. Kongres AS menolak meratifikasi
Perjanjian Versailles karena kekhawatiran terhadap kedaulatan nasional.⁶
·
Tidak memiliki kekuatan
militer permanen, sehingga tidak mampu menindak negara yang melanggar hukum internasional.
·
Struktur keanggotaan yang
tidak inklusif dan ketergantungan pada konsensus memperlambat proses
pengambilan keputusan.
·
Ketidakmampuan dalam
mencegah berbagai agresi: misalnya, invasi Jepang ke Manchuria (1931),
pendudukan Italia di Ethiopia (1935), dan kebangkitan Nazi Jerman yang
menginvasi Polandia (1939).⁷
Kegagalan LBB dalam
menanggulangi berbagai krisis politik dan militer internasional menjadi
preseden bagi munculnya kembali perang global yang lebih destruktif: Perang
Dunia II.
Footnotes
[1]
David Stevenson, Cataclysm: The First World War as Political
Tragedy (New York: Basic Books, 2004), 15–22.
[2]
John Keegan, The First World War (New York: Vintage Books,
2000), 289–290.
[3]
Woodrow Wilson, The Papers of Woodrow Wilson, ed. Arthur S.
Link (Princeton: Princeton University Press, 1966), vol. 45, 534–537.
[4]
Margaret MacMillan, Paris 1919: Six Months That Changed the World
(New York: Random House, 2001), 92–96.
[5]
F. P. Walters, A History of the League of Nations (London:
Oxford University Press, 1952), 134–145.
[6]
Thomas J. Knock, To End All Wars: Woodrow Wilson and the Quest for
a New World Order (New York: Oxford University Press, 1992), 216–219.
[7]
Zara Steiner, The Triumph of the Dark: European International
History 1933–1939 (Oxford: Oxford University Press, 2011), 210–223.
3.
Kegagalan LBB dan Jalan Menuju Perang Dunia II
3.1.
Ketidakefektifan LBB
dalam Menjaga Perdamaian Global
Meskipun dibentuk dengan
tujuan mulia untuk menjaga perdamaian dunia, Liga Bangsa-Bangsa
(LBB) menunjukkan kelemahan serius dalam menjalankan mandatnya
sepanjang dekade 1920-an dan 1930-an. Salah satu masalah utama LBB adalah ketiadaan
kekuatan militer permanen yang membuatnya tidak memiliki alat
pemaksaan terhadap negara anggota yang melakukan pelanggaran terhadap hukum
internasional. Selain itu, keputusan LBB hanya dapat diambil melalui konsensus,
yang menyebabkan lambannya respons terhadap krisis mendesak dan mengurangi
efektivitas lembaga tersebut.1
Kelemahan struktural ini
diperparah oleh absennya negara-negara kunci,
terutama Amerika Serikat yang menolak bergabung meskipun merupakan inisiator
utama LBB. Ketiadaan AS—kekuatan ekonomi dan militer terbesar pasca-Perang
Dunia I—membuat LBB kehilangan legitimasi serta kekuatan politik yang sangat
dibutuhkan untuk memediasi dan menengahi konflik global.2
3.2.
Kasus-Kasus
Kegagalan Intervensi LBB
Terdapat beberapa peristiwa
penting yang memperlihatkan kegagalan LBB dalam mencegah atau menghentikan
tindakan agresi negara anggota maupun non-anggota, yang pada akhirnya membuka
jalan menuju Perang Dunia II.
1)
Invasi Jepang ke
Manchuria (1931)
Pada tahun 1931, Jepang melancarkan agresi
militer terhadap wilayah Manchuria di Tiongkok dan membentuk negara boneka
bernama Manchukuo. LBB membentuk
komisi penyelidikan (Komisi Lytton) yang menyimpulkan bahwa Jepang adalah
agresor dan menyerukan penarikan pasukan.3 Namun,
LBB gagal mengambil langkah tegas—seperti sanksi militer atau ekonomi—sehingga
Jepang keluar dari organisasi tersebut pada 1933 tanpa konsekuensi berarti.4
2)
Invasi Italia ke
Ethiopia (1935)
Italia di bawah Benito Mussolini menginvasi
Ethiopia (Abyssinia), salah satu negara anggota LBB, sebagai bagian dari ambisi
imperialisme fasis. Meskipun LBB menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Italia,
sanksi tersebut tidak mencakup komoditas penting seperti minyak dan tidak
melibatkan semua negara anggota, sehingga tidak efektif. Akibatnya, Italia
berhasil mencaplok Ethiopia tanpa hambatan besar.5
3)
Remiliterisasi
Rhineland oleh Jerman (1936)
Jerman Nazi melanggar ketentuan Perjanjian
Versailles dan Locarno dengan mengirimkan pasukan ke Rhineland. Tindakan ini
mendapat kecaman internasional, tetapi LBB tidak memberikan respons apapun.
Kebijakan appeasement yang diambil
oleh Inggris dan Prancis justru mendorong agresivitas Jerman.6
4)
Penyerbuan Jerman ke
Austria dan Cekoslowakia (1938–1939)
Ketika Jerman melakukan Anschluss
terhadap Austria dan kemudian mencaplok Sudetenland di Cekoslowakia, LBB
kembali gagal bertindak tegas. Meskipun terjadi pelanggaran terang-terangan
terhadap kedaulatan negara lain, LBB tidak mampu mencegah ekspansi militerisme
Nazi yang terus berlanjut hingga pecahnya Perang Dunia II.7
3.3.
Jalan Menuju Perang
Dunia II
Kegagalan LBB dalam mencegah
berbagai agresi tersebut menciptakan iklim ketidakpercayaan terhadap mekanisme
keamanan kolektif internasional. Negara-negara agresor seperti Jerman, Jepang,
dan Italia merasa tidak terancam oleh konsekuensi internasional dan terus
melanjutkan ekspansi militer mereka. Sementara itu, negara-negara demokratis di
Eropa lebih memilih strategi kompromi yang dikenal sebagai appeasement,
dengan harapan dapat menghindari konflik berskala besar.
Namun, kebijakan tersebut
justru memberikan ruang gerak yang luas bagi kekuatan fasis untuk memperluas
pengaruhnya. Ketika Jerman menginvasi Polandia pada 1 September 1939, Inggris
dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman—tanda dimulainya Perang
Dunia II, dan sekaligus menjadi bukti akhir dari kegagalan LBB
dalam menjalankan peran yang diharapkan dari sebuah lembaga penjaga perdamaian
dunia.8
Footnotes
[1]
F. P. Walters, A History of the League of Nations (London:
Oxford University Press, 1952), 248–255.
[2]
Thomas J. Knock, To End All Wars: Woodrow Wilson and the Quest for
a New World Order (New York: Oxford University Press, 1992), 225–229.
[3]
Ian Nish, Japan’s Struggle with Internationalism: Japan, China, and
the League of Nations, 1931–3 (London: Kegan Paul, 1993), 54–61.
[4]
Zara Steiner, The Triumph of the Dark: European International
History 1933–1939 (Oxford: Oxford University Press, 2011), 82–85.
[5]
Richard Overy, The Road to War (New York: Penguin Books,
2000), 45–48.
[6]
Martin Gilbert, The Second World War: A Complete History (New
York: Holt Paperbacks, 2004), 6–8.
[7]
Gerhard L. Weinberg, A World at Arms: A Global History of World War
II (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 17–22.
[8]
Antony Beevor, The Second World War (New York: Little, Brown
and Company, 2012), 15–19.
4.
Perang Dunia II dan Kebutuhan Akan Tatanan
Global Baru
4.1.
Skala Kehancuran
Perang Dunia II
Perang Dunia II (1939–1945)
merupakan konflik militer terbesar dalam sejarah umat manusia, melibatkan lebih
dari 100 juta personel militer dari lebih dari 30 negara. Jumlah korban tewas
diperkirakan mencapai lebih dari 70 juta jiwa, termasuk korban sipil akibat
pembantaian massal, pengeboman besar-besaran, dan genosida Holocaust.1
Kerusakan infrastruktur dan ekonomi meluas ke hampir seluruh belahan dunia,
meninggalkan luka sosial dan politik yang dalam.
Perang ini menunjukkan betapa
lemahnya sistem perdamaian internasional yang dibangun sebelumnya, sekaligus
memperlihatkan bahwa ancaman terhadap perdamaian tidak hanya datang dari
negara-negara besar tetapi juga dari ideologi totalitarian yang memanipulasi
kekuasaan politik demi ekspansi dan dominasi.2 Dunia
menyadari bahwa upaya menjaga perdamaian tidak bisa lagi diserahkan kepada
sistem ad hoc atau kebijakan nasional semata, tetapi harus dilakukan secara
kolektif dengan mekanisme yang lebih efektif dan inklusif.
4.2.
Munculnya Kesadaran
Akan Tatanan Internasional Baru
Setelah mengalami dua perang
dunia dalam waktu kurang dari tiga dekade, para pemimpin global sampai pada
kesimpulan bahwa dibutuhkan suatu lembaga internasional baru yang lebih kuat
dan kredibel daripada Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Lembaga ini harus memiliki
legitimasi yang lebih besar, melibatkan partisipasi luas dari negara-negara
besar dan kecil, serta dilengkapi dengan sistem keamanan kolektif yang dapat
mencegah terulangnya konflik global berskala besar.
Kesadaran ini mulai
dirumuskan bahkan sebelum perang berakhir. Salah satu tonggak penting adalah Deklarasi
Atlantik (Atlantic Charter) yang diumumkan pada Agustus 1941
oleh Presiden Franklin D. Roosevelt (Amerika Serikat) dan Perdana Menteri
Winston Churchill (Inggris). Deklarasi ini menekankan pentingnya hak menentukan
nasib sendiri, perdamaian global, dan kerjasama internasional sebagai prinsip
dasar dunia pascaperang.3
4.3.
Proses Pembentukan
Lembaga Baru: Menuju Perserikatan Bangsa-Bangsa
Keseriusan negara-negara
Sekutu untuk membentuk lembaga pengganti LBB terus berkembang melalui beberapa
konferensi internasional penting:
·
Konferensi
Dumbarton Oaks (Agustus–Oktober 1944) di Washington, D.C., yang
menyusun rancangan struktur dan prinsip lembaga internasional baru yang kelak bernama
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di sinilah diperkenalkan struktur Dewan
Keamanan, Majelis Umum, dan lembaga-lembaga lainnya.4
·
Konferensi
Yalta (Februari 1945), yang mempertemukan tiga pemimpin
besar—Roosevelt, Churchill, dan Stalin—untuk menyepakati prosedur pembentukan
dan keanggotaan tetap Dewan Keamanan, termasuk pemberian hak veto kepada lima
anggota tetap (AS, Inggris, Prancis, Uni Soviet, dan Tiongkok). Hal ini
dilakukan untuk menjamin keterlibatan aktif kekuatan besar dalam menjaga stabilitas
dunia.5
·
Konferensi
San Francisco (April–Juni 1945) yang secara resmi merumuskan
dan mengesahkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN
Charter). Piagam ini ditandatangani oleh 50 negara dan mulai
berlaku pada 24 Oktober 1945—tanggal yang kini diperingati sebagai Hari PBB.6
4.4.
Tujuan dan Harapan
dari Tatanan Baru
Pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tidak hanya merupakan upaya menggantikan LBB, tetapi juga
simbol komitmen baru umat manusia untuk menghindari bencana perang dunia
ketiga. PBB dirancang dengan tujuan utama:
1)
Menjaga perdamaian dan keamanan
internasional;
2)
Mengembangkan hubungan
persahabatan antarbangsa berdasarkan prinsip persamaan hak dan penentuan nasib
sendiri;
3)
Mendorong kerjasama internasional
dalam penyelesaian masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan;
4)
Menjadi pusat koordinasi tindakan
internasional dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut.7
Berbeda dari LBB, PBB
dilengkapi dengan struktur yang lebih fungsional dan keanggotaan yang lebih
inklusif. PBB juga diberi kewenangan untuk membentuk pasukan perdamaian,
menerapkan sanksi internasional, dan menangani isu lintas batas seperti hak
asasi manusia, lingkungan hidup, serta pembangunan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Antony Beevor, The Second World War (New York: Little, Brown
and Company, 2012), xviii–xix.
[2]
Richard Overy, Why the Allies Won (New York: W. W. Norton,
1995), 9–12.
[3]
Winston S. Churchill, The Second World War: The Grand Alliance
(Boston: Houghton Mifflin, 1950), 448–450.
[4]
Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United
Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 96–105.
[5]
Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future
of the United Nations (New York: Random House, 2006), 30–34.
[6]
Ruth Russell, A History of the United Nations Charter
(Washington, DC: Brookings Institution, 1958), 512–520.
[7]
United Nations, Charter of the United Nations and Statute of the
International Court of Justice (San Francisco: United Nations, 1945),
Preamble and Chapter I.
5.
Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
5.1.
Latar Belakang dan
Landasan Hukum Pembentukan
Pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nations, PBB) merupakan puncak dari
respons komunitas internasional terhadap kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan
kehancuran global yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II. Tujuan utama pendirian
PBB adalah menciptakan kerangka kerja yang lebih kuat dan efektif untuk menjaga
perdamaian, mencegah konflik bersenjata, dan meningkatkan kerjasama
internasional.
PBB secara resmi didirikan
pada 24 Oktober 1945, ketika Piagam PBB (United
Nations Charter) mulai berlaku setelah diratifikasi oleh lima anggota
tetap Dewan Keamanan dan mayoritas dari 50 negara penandatangan.1
Tanggal tersebut kini diperingati sebagai Hari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UN Day). Piagam PBB yang disusun dalam Konferensi
San Francisco (April–Juni 1945) menjadi konstitusi dasar organisasi ini,
mencakup prinsip-prinsip hukum internasional dan tujuan universal kemanusiaan.
5.2.
Prinsip-Prinsip
Dasar dalam Piagam PBB
Piagam PBB terdiri dari 19
Bab dan 111 Pasal, yang secara menyeluruh mengatur struktur,
fungsi, dan tujuan organisasi. Beberapa prinsip dasar
yang menjadi landasan moral dan hukum PBB antara lain:
1)
Sovereign equality
(kesetaraan kedaulatan) semua negara anggota;
2)
Penyelesaian sengketa
internasional secara damai;
3)
Larangan penggunaan kekerasan
terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain;
4)
Kerja sama dalam memajukan HAM,
pembangunan sosial-ekonomi, dan keadilan internasional;
5)
Non-intervensi dalam urusan
domestik negara lain, kecuali dalam situasi yang membahayakan perdamaian dunia.2
Prinsip-prinsip ini merupakan
pembaruan dari sistem LBB yang dinilai lemah, dan ditujukan untuk memberikan
landasan yang lebih kokoh bagi stabilitas internasional jangka panjang.
5.3.
Struktur Organisasi
PBB
PBB dirancang dengan struktur
kelembagaan yang kompleks namun sistematis, mencakup enam organ
utama dan berbagai lembaga afiliasi. Berikut adalah ringkasan struktur
tersebut:
1)
Majelis Umum (General
Assembly): Forum deliberatif utama yang terdiri dari semua
negara anggota; setiap negara memiliki satu suara.
2)
Dewan Keamanan
(Security Council): Bertanggung jawab atas perdamaian dan
keamanan internasional; terdiri dari 15 anggota, termasuk 5
anggota tetap (AS, Inggris, Prancis, Uni Soviet/Rusia, dan
Tiongkok) dengan hak veto.3
3)
Dewan Ekonomi dan
Sosial (ECOSOC): Mengkoordinasi kerja sama internasional di
bidang ekonomi, sosial, dan HAM.
4)
Dewan Perwalian
(Trusteeship Council): Mengawasi wilayah-wilayah yang belum
merdeka (sudah tidak aktif sejak 1994).
5)
Mahkamah Internasional
(International Court of Justice): Badan kehakiman utama yang
bermarkas di Den Haag, Belanda.
6)
Sekretariat:
Badan administratif di bawah Sekretaris Jenderal, yang bertanggung jawab untuk
menjalankan tugas-tugas PBB secara harian.
Selain itu, PBB memiliki
berbagai badan khusus seperti UNESCO,
WHO, FAO, ILO, dan UNICEF yang bekerja dalam kerangka kerja
sama multilateral sesuai mandat tematiknya.
5.4.
Keanggotaan dan
Universalitas
Pada saat pendiriannya, PBB
beranggotakan 50 negara, termasuk
Indonesia sebagai penandatangan piagam, meskipun secara resmi baru menjadi
anggota ke-60 pada 28 September 1950.4 Hingga
kini, keanggotaan PBB telah berkembang menjadi 193 negara,
mencerminkan hampir seluruh negara berdaulat di dunia.
Keanggotaan yang hampir
universal ini memberikan legitimasi tinggi terhadap PBB sebagai forum utama
hubungan internasional dan penjaga norma global. Meski demikian, hubungan
antara negara-negara besar dan pengaruh politik global masih mewarnai dinamika
internal lembaga ini.
5.5.
Pembaruan dan
Harapan Global
Pembentukan PBB
merepresentasikan upaya paling ambisius dalam sejarah modern untuk menciptakan
tatanan internasional yang berdasarkan hukum, keadilan, dan kolaborasi. Berbeda
dengan LBB yang eksklusif dan lemah secara institusional, PBB lahir dari
pengalaman pahit dua perang dunia dan diharapkan mampu menjadi penjaga
perdamaian dan promotor pembangunan global yang berkelanjutan.
Meski menghadapi banyak
tantangan, terutama dalam reformasi Dewan Keamanan dan efektivitas penanganan
konflik kontemporer, keberadaan PBB tetap menjadi simbol
dan instrumen utama sistem politik global pasca-1945.5
Footnotes
[1]
Ruth Russell, A History of the United Nations Charter
(Washington, DC: Brookings Institution, 1958), 512.
[2]
United Nations, Charter of the United Nations and Statute of the
International Court of Justice (San Francisco: United Nations, 1945),
Chapter I.
[3]
Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future
of the United Nations (New York: Random House, 2006), 36–42.
[4]
United Nations, Membership of the United Nations, accessed
June 2025, https://www.un.org/en/about-us/member-states.
[5]
Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United
Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 253–257.
6.
Perbandingan antara Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
6.1.
Latar Historis dan
Konteks Pembentukan
Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
dibentuk pada tahun 1919 sebagai hasil dari Konferensi Perdamaian Paris
pasca-Perang Dunia I, dengan maksud mencegah terulangnya konflik global melalui
sistem keamanan kolektif dan diplomasi internasional. Sebaliknya, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) lahir pada tahun 1945 sebagai respons terhadap kegagalan LBB
dan kehancuran dahsyat Perang Dunia II, dengan mandat yang lebih luas, struktur
lebih kuat, dan partisipasi yang lebih inklusif.1
PBB tidak sekadar melanjutkan
LBB, melainkan merupakan perombakan total terhadap sistem lama yang telah
terbukti tidak efektif. Berbagai kekurangan LBB menjadi pelajaran berharga
dalam merancang struktur dan prinsip kerja PBB agar lebih mampu menjalankan
peran globalnya secara nyata.
6.2.
Keanggotaan dan
Representasi
LBB memiliki keanggotaan yang
terbatas. Meskipun pada masa puncaknya mencapai 58 negara, absennya kekuatan
utama seperti Amerika Serikat sejak awal telah melemahkan legitimasi organisasi
tersebut. Sebaliknya, PBB sejak awal didesain sebagai organisasi universal,
terbuka bagi semua negara berdaulat yang berkomitmen terhadap Piagam PBB. Saat
ini, keanggotaannya mencakup 193 negara, menjadikannya
organisasi internasional terbesar dan paling representatif di dunia.2
Keanggotaan PBB yang hampir
universal memberikan legitimasi moral dan politik yang jauh lebih tinggi
dibandingkan LBB, yang sering dianggap elitis dan euro-sentris dalam
pendekatannya.
6.3.
Struktur Kelembagaan
dan Fungsi
Dari sisi struktur, LBB
terdiri dari Majelis Umum, Dewan, dan Sekretariat, tanpa adanya badan yudisial
yang aktif dan tanpa kekuatan militer tetap. Tidak ada sistem yang memungkinkan
tindakan cepat dan tegas terhadap ancaman keamanan.3 PBB,
sebaliknya, memiliki struktur yang lebih kompleks dan fungsional:
·
Dewan
Keamanan sebagai organ eksekutif utama yang berwenang
menetapkan tindakan militer atau sanksi;
·
Majelis
Umum yang inklusif;
·
Sekretariat
yang kuat secara administratif;
·
Mahkamah
Internasional yang aktif menyelesaikan sengketa hukum
antarnegara;
·
Beragam badan khusus dan
program yang menangani isu sosial, ekonomi, dan kemanusiaan.
PBB juga memiliki kekuatan
operasional nyata, termasuk pembentukan pasukan
penjaga perdamaian (peacekeeping) dan pengiriman misi
kemanusiaan internasional, yang tidak pernah dimiliki oleh LBB.4
6.4.
Sistem Pengambilan
Keputusan
Salah satu kekurangan utama
LBB adalah sistem pengambilan keputusan berdasarkan konsensus
total, yang memungkinkan satu negara kecil memveto keputusan
kolektif. Hal ini sering kali mengakibatkan kelumpuhan organisasi. PBB, melalui
Dewan Keamanan, mengadopsi sistem hak veto bagi lima
anggota tetap yang merupakan kekuatan besar dunia. Meskipun
sistem ini juga kontroversial, keberadaan kekuatan veto menjamin partisipasi
aktif negara-negara adidaya dan mencegah mereka menarik diri dari sistem
internasional.5
6.5.
Efektivitas dalam
Menangani Krisis Global
Secara historis, LBB gagal
menangani agresi militer oleh negara-negara seperti Jepang, Italia, dan Jerman
yang mengarah pada Perang Dunia II. PBB, meskipun tidak sempurna, telah
memainkan peran signifikan dalam berbagai konflik, termasuk mediasi di Perang Korea,
Perang Teluk, konflik Rwanda, Kosovo, dan konflik Timur Tengah. PBB juga
berperan aktif dalam promosi hak asasi manusia, bantuan kemanusiaan,
pengurangan kemiskinan global, dan penanganan perubahan iklim.6
6.6.
Citra dan Relevansi
Global
LBB kehilangan kredibilitasnya
sebelum akhirnya dibubarkan pada tahun 1946. PBB, meskipun menghadapi kritik
terhadap dominasi Dewan Keamanan atau ketidakefektifan dalam beberapa konflik,
tetap menjadi forum global utama untuk
diplomasi multilateral dan solusi bersama. Lembaga ini terus diperbaharui untuk
menghadapi tantangan global abad ke-21, seperti terorisme internasional,
pandemi global, dan ketimpangan pembangunan.
6.7.
Perbandingan Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Disajikan secara deskriptif
berdasarkan aspek-aspek utama:
6.7.1.
Tahun
Pendirian
·
LBB:
Didirikan pada tahun 1919 sebagai hasil dari
Perjanjian Versailles setelah Perang Dunia I.
·
PBB:
Resmi berdiri pada 24 Oktober 1945, setelah
berakhirnya Perang Dunia II, melalui Piagam San Francisco.
6.7.2.
Jumlah
Keanggotaan
·
LBB:
Pada masa puncaknya memiliki 58 negara anggota, namun
tidak mencakup semua kekuatan besar dunia.
·
PBB:
Memiliki 193 negara anggota (per
tahun 2025), hampir mencakup seluruh negara berdaulat di dunia.
6.7.3.
Keikutsertaan
Amerika Serikat
·
LBB:
Amerika Serikat tidak pernah menjadi anggota,
meskipun merupakan penggagas utamanya (melalui Presiden Woodrow Wilson).
·
PBB:
Amerika Serikat merupakan anggota pendiri yang
aktif terlibat dalam proses perancangannya.
6.7.4.
Struktur
Organisasi
·
LBB:
þ Majelis Umum
þ Dewan
þ Sekretariat
þ Tidak memiliki lembaga peradilan yang kuat maupun
badan khusus.
·
PBB:
þ Majelis Umum
þ Dewan Keamanan
þ Dewan Ekonomi dan Sosial
þ Mahkamah Internasional
þ Sekretariat
þ Beragam badan khusus (UNESCO, WHO, ILO, UNICEF,
dll.)
6.7.5.
Hak
Veto
·
LBB:
Tidak mengenal sistem hak veto, namun
keputusannya harus melalui konsensus bulat, yang
menyebabkan kelumpuhan dalam pengambilan keputusan.
·
PBB:
Menerapkan hak veto untuk 5
anggota tetap Dewan Keamanan (AS, Inggris, Prancis, Rusia,
Tiongkok), sebagai bentuk kompromi terhadap realitas kekuasaan global.
6.7.6.
Pasukan
Perdamaian
·
LBB:
Tidak memiliki pasukan penjaga perdamaian atau
otoritas militer untuk menindak negara agresor.
·
PBB:
Memiliki pasukan penjaga perdamaian (UN
Peacekeeping Forces) yang dapat dikerahkan atas mandat Dewan
Keamanan.
6.7.7.
Efektivitas
Penanganan Krisis
·
LBB:
Terbukti tidak efektif, terutama
dalam menghadapi agresi militer Jepang, Italia, dan Jerman sebelum Perang Dunia
II.
·
PBB:
Memiliki rekam jejak lebih baik,
meskipun tidak sempurna, dalam menangani konflik seperti Perang Korea, Perang
Teluk, dan intervensi kemanusiaan di berbagai wilayah.
6.7.8.
Lembaga
Yudisial
·
LBB:
Mempunyai pengadilan internasional permanen,
tetapi kurang aktif dan tidak memiliki otoritas
eksekusi.
·
PBB:
Dilengkapi dengan Mahkamah Internasional
yang aktif menyelesaikan sengketa antarnegara dan memberikan pendapat hukum
atas isu global.
Footnotes
[1]
Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future
of the United Nations (New York: Random House, 2006), 27–32.
[2]
United Nations, Membership of the United Nations, accessed
June 2025, https://www.un.org/en/about-us/member-states.
[3]
F. P. Walters, A History of the League of Nations (London:
Oxford University Press, 1952), 136–144.
[4]
Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United
Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 226–231.
[5]
Thomas G. Weiss and Sam Daws, eds., The Oxford Handbook on the
United Nations (Oxford: Oxford University Press, 2007), 46–49.
[6]
Margaret P. Karns, Karen A. Mingst, and Kendall W. Stiles, International
Organizations: The Politics and Processes of Global Governance (Boulder:
Lynne Rienner Publishers, 2015), 150–167.
7.
Dampak Jangka Panjang Terhadap Kehidupan
Politik Global
7.1.
Konsolidasi Sistem
Politik Internasional Pasca-1945
Lahirnya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) setelah Perang Dunia II membawa perubahan signifikan
terhadap sistem hubungan internasional. PBB memperkuat kerangka
hukum dan kelembagaan global, menggantikan paradigma kekuasaan
absolut negara dengan prinsip kerja sama multilateral,
penyelesaian damai, dan perlindungan
hak asasi manusia.1 Sejak
1945, PBB menjadi platform utama yang mendorong konsensus global dalam
pengelolaan isu-isu lintas batas, seperti konflik bersenjata, disarmamen,
perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.
Keberadaan PBB menciptakan rezim
internasional yang lebih terstruktur, di mana norma-norma dan
konvensi hukum internasional memainkan peran penting dalam membatasi tindakan
unilateralisasi oleh negara-negara besar. Meskipun tidak memiliki otoritas
absolut, struktur PBB berfungsi sebagai penyeimbang dalam sistem politik global
modern.2
7.2.
Pembentukan Norma
dan Hukum Internasional
Salah satu kontribusi jangka
panjang paling penting dari sistem pasca-perang adalah penguatan
norma hukum internasional. PBB menjadi motor utama dalam
merancang dan memberlakukan berbagai konvensi internasional
yang menjadi dasar hukum global, seperti:
·
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (1948);
·
Konvensi
Genosida (1948);
·
Konvensi
Jenewa tentang Hukum Perang (1949);
·
Konvensi
PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan berbagai perjanjian
lainnya.3
Peran Mahkamah Internasional
serta lembaga-lembaga ad hoc seperti International Criminal
Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International
Criminal Court (ICC) memperlihatkan bagaimana konflik
pascaperang dapat ditangani dengan mekanisme hukum global yang menuntut
akuntabilitas individu maupun negara.
7.3.
Polarisasi Global
dan Perang Dingin
Meskipun PBB diharapkan
menjadi wadah persatuan, pada kenyataannya, sistem internasional pasca-1945
segera terbagi ke dalam dua blok kekuatan besar:
blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin oleh
Uni Soviet. Perang Dingin (1947–1991) menciptakan ketegangan global yang
berlangsung selama empat dekade dan berujung pada konflik-proksi di Korea,
Vietnam, Afghanistan, dan kawasan lain.4
Namun demikian, PBB tetap
memainkan peran penting sebagai arena diplomatik, sekalipun dibatasi oleh hak
veto anggota tetap Dewan Keamanan, yang kerap digunakan untuk
melindungi kepentingan nasional masing-masing blok. Meskipun tidak mampu
mencegah semua konflik, keberadaan PBB membantu menahan skala dan frekuensi
perang besar seperti Perang Dunia I dan II.5
7.4.
Dekolonisasi dan
Perubahan Peta Politik Dunia
Salah satu implikasi penting
dari tatanan global baru adalah percepatan proses dekolonisasi
di Asia, Afrika, dan Karibia. Dengan dukungan normatif dari Piagam PBB dan
dukungan politik dari negara-negara berkembang, puluhan bangsa merdeka antara
tahun 1945 hingga 1975, mengakhiri dominasi kolonialisme Eropa.6
PBB secara aktif mendukung
proses ini melalui Komite Khusus untuk Dekolonisasi
dan pengakuan terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi semua bangsa. Hasilnya
adalah perluasan jumlah negara berdaulat
dan terciptanya realitas geopolitik multipolar yang lebih mencerminkan
keberagaman dunia.
7.5.
Institusionalisasi
Diplomasi Multilateral
PBB juga menciptakan budaya diplomasi
multilateral sebagai standar dalam menyelesaikan isu-isu
internasional. Berbagai forum seperti Majelis Umum, ECOSOC, dan COP (Conference
of Parties) tentang perubahan iklim telah menjadi tempat bertemunya kepentingan
nasional dalam semangat kolaborasi global.
Melalui badan-badan seperti UNESCO,
WHO, UNHCR, dan UNDP, PBB menginstitusionalisasikan kerja sama
global di bidang pendidikan, kesehatan, pengungsi, dan pembangunan. Hal ini
menciptakan dimensi baru dalam politik internasional:
negara tidak hanya dinilai dari kekuatan militernya, tetapi juga dari
kontribusinya terhadap kemanusiaan dan stabilitas dunia.7
7.6.
Tantangan
Kontemporer dan Relevansi Abad ke-21
Meskipun telah memainkan
peran besar dalam stabilisasi politik global, PBB juga menghadapi tantangan
serius di abad ke-21. Ketidaksetaraan pengaruh di Dewan
Keamanan, krisis pengungsi, konflik berkepanjangan (Suriah, Palestina), dan
perubahan iklim menunjukkan batas-batas efektivitas organisasi ini.
Namun demikian, PBB tetap
menjadi satu-satunya lembaga yang diakui secara universal
dan memiliki kapasitas kelembagaan untuk memfasilitasi respons internasional
terhadap krisis global. Upaya reformasi terhadap struktur PBB, terutama komposisi
Dewan Keamanan, masih menjadi agenda penting dalam
menyempurnakan peran organisasi ini di masa depan.8
Kesimpulan Subbagian
Secara keseluruhan, dampak
jangka panjang dua perang dunia dan lahirnya PBB dapat dilihat dari
terbentuknya sistem internasional yang lebih
legalistik, inklusif, dan berorientasi damai. Meski tidak
sempurna, keberadaan PBB dan sistem multilateral yang dibangunnya telah menahan
potensi pecahnya perang global baru dan membuka ruang lebih luas bagi
perdamaian, keadilan, dan pembangunan bersama.
Footnotes
[1]
Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future
of the United Nations (New York: Random House, 2006), 52–55.
[2]
Margaret P. Karns, Karen A. Mingst, and Kendall W. Stiles, International
Organizations: The Politics and Processes of Global Governance, 3rd ed.
(Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2015), 22–24.
[3]
United Nations, Multilateral Treaties Deposited with the
Secretary-General, accessed June 2025, https://treaties.un.org/.
[4]
John Lewis Gaddis, The Cold War: A New History (New York:
Penguin Press, 2005), 35–42.
[5]
Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United
Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 261–265.
[6]
A. G. Hopkins, American Empire: A Global History (Princeton:
Princeton University Press, 2018), 624–629.
[7]
Thomas G. Weiss, What's Wrong with the United Nations and How to
Fix It (Cambridge: Polity Press, 2016), 109–113.
[8]
Edward C. Luck, UN Security Council: Practice and Promise (New
York: Routledge, 2006), 89–94.
8.
Penutup
Dua perang dunia pada abad
ke-20 bukan sekadar tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah, tetapi juga
titik balik dalam pembentukan sistem politik global yang baru. Kedua perang
tersebut menjadi katalis bagi upaya kolektif umat manusia untuk menciptakan
mekanisme internasional yang dapat mencegah bencana serupa di
masa depan. Dalam konteks ini, Liga Bangsa-Bangsa
(LBB) merupakan upaya awal yang ambisius namun tidak efektif,
sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
lahir dari evaluasi menyeluruh terhadap kegagalan tersebut dan membawa harapan
baru bagi perdamaian dan stabilitas dunia.1
Transformasi dari LBB ke PBB
mencerminkan evolusi pemikiran politik internasional:
dari diplomasi tertutup dan kepentingan sepihak menuju kerja sama multilateral,
dari kedaulatan absolut menuju prinsip tanggung jawab kolektif, dan dari
kekuasaan imperialis menuju hak asasi dan kedaulatan rakyat. Struktur PBB yang
lebih inklusif, sistem hukum internasional yang lebih mapan, serta kemampuannya
dalam merespons krisis kemanusiaan dan konflik bersenjata menunjukkan adanya
kemajuan signifikan dalam tatanan global pasca-1945.2
Namun demikian, realitas
politik dunia menunjukkan bahwa tantangan terhadap sistem ini masih sangat
nyata. Ketimpangan dalam hak veto Dewan Keamanan,
ketidakmampuan dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan seperti di Palestina,
Suriah, atau Sudan, serta meningkatnya unilateralisme dan
populisme dalam politik global memperlihatkan bahwa sistem
internasional pascaperang belum sepenuhnya ideal dan membutuhkan reformasi
mendalam.3 Di tengah kompleksitas ini, peran PBB tetap penting
sebagai simbol harapan dan wadah diplomasi global
yang terus berproses.
Dari sudut pandang pendidikan
sejarah, memahami dinamika antara dua perang dunia dan pembentukan lembaga
internasional seperti LBB dan PBB sangat penting untuk:
·
Menggugah kesadaran akan
pentingnya perdamaian dunia dan peran aktif warga negara global;
·
Memahami bahwa tatanan
internasional bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dibentuk oleh interaksi
sejarah, konflik, dan kesepakatan kolektif;
·
Menyadarkan generasi muda
bahwa sistem internasional yang adil dan damai hanya dapat dibangun melalui kerja
sama lintas bangsa, dialog, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan
universal.
Dengan demikian, pembelajaran
sejarah bukan hanya tentang peristiwa masa lalu, tetapi juga tentang membangun
kesadaran dan tanggung jawab masa depan. Mengingat dan memahami
sejarah dua perang dunia serta upaya pembentukan tatanan damai global merupakan
langkah awal untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berperikemanusiaan.4
Footnotes
[1]
Stephen C. Schlesinger, Act of Creation: The Founding of the United
Nations (Boulder: Westview Press, 2003), 2–5.
[2]
Paul Kennedy, The Parliament of Man: The Past, Present, and Future
of the United Nations (New York: Random House, 2006), 60–63.
[3]
Thomas G. Weiss, What's Wrong with the United Nations and How to
Fix It (Cambridge: Polity Press, 2016), 115–118.
[4]
Margaret P. Karns, Karen A. Mingst, and Kendall W. Stiles, International
Organizations: The Politics and Processes of Global Governance, 3rd ed.
(Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2015), 381–385.
Daftar Pustaka
Beevor, A. (2012). The Second World War.
Little, Brown and Company.
Churchill, W. S. (1950). The grand alliance
(Vol. 3). Houghton Mifflin.
Gaddis, J. L. (2005). The Cold War: A new
history. Penguin Press.
Hopkins, A. G. (2018). American empire: A global
history. Princeton University Press.
Karns, M. P., Mingst, K. A., & Stiles, K. W.
(2015). International organizations: The politics and processes of global
governance (3rd ed.). Lynne Rienner Publishers.
Keegan, J. (2000). The First World War.
Vintage Books.
Kennedy, P. (2006). The parliament of man: The
past, present, and future of the United Nations. Random House.
Knock, T. J. (1992). To end all wars: Woodrow
Wilson and the quest for a new world order. Oxford University Press.
Luck, E. C. (2006). UN Security Council:
Practice and promise. Routledge.
MacMillan, M. (2001). Paris 1919: Six months
that changed the world. Random House.
Nish, I. (1993). Japan’s struggle with
internationalism: Japan, China, and the League of Nations, 1931–3. Kegan
Paul.
Overy, R. (1995). Why the Allies won. W. W.
Norton.
Overy, R. (2000). The road to war. Penguin
Books.
Russell, R. (1958). A history of the United
Nations Charter: The role of the United States 1940–1945. Brookings
Institution.
Schlesinger, S. C. (2003). Act of creation: The
founding of the United Nations. Westview Press.
Steiner, Z. (2005). The lights that failed:
European international history 1919–1933. Oxford University Press.
Steiner, Z. (2011). The triumph of the dark:
European international history 1933–1939. Oxford University Press.
Stevenson, D. (2004). Cataclysm: The First World
War as political tragedy. Basic Books.
United Nations. (1945). Charter of the United
Nations and Statute of the International Court of Justice. https://www.un.org/en/about-us/un-charter
United Nations. (2025). Membership of the United
Nations. https://www.un.org/en/about-us/member-states
United Nations. (2025). Multilateral treaties
deposited with the Secretary-General. https://treaties.un.org/
Walters, F. P. (1952). A history of the League
of Nations. Oxford University Press.
Weinberg, G. L. (2005). A world at arms: A
global history of World War II. Cambridge University Press.
Weiss, T. G. (2016). What’s wrong with the
United Nations and how to fix it (2nd ed.). Polity Press.
Weiss, T. G., & Daws, S. (Eds.). (2007). The
Oxford handbook on the United Nations. Oxford University Press.
Wilson, W. (1966). The papers of Woodrow Wilson
(A. S. Link, Ed., Vol. 45). Princeton University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar