Minggu, 22 Desember 2024

Empati: Memahami dan Merasakan Apa yang Dialami Orang Lain

 Empati


1.           Pendahuluan

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain, baik secara emosional maupun kognitif. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “empatheia”, yang berarti "masuk ke dalam perasaan orang lain" (empathetic involvement). Dalam literatur psikologi modern, empati sering didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali emosi dan perspektif orang lain, serta merespons secara emosional atau praktis terhadapnya.¹ Empati memainkan peran penting dalam membangun hubungan yang harmonis dan produktif di berbagai aspek kehidupan, baik dalam keluarga, lingkungan kerja, maupun masyarakat luas.

Secara konseptual, empati dianggap sebagai landasan dari interaksi sosial yang sehat. Psikolog Carl Rogers, salah satu tokoh terkemuka dalam bidang psikologi humanistik, menggambarkan empati sebagai “kemampuan untuk masuk ke dunia orang lain seolah-olah itu dunia Anda sendiri tanpa kehilangan ‘seolah-olah’-nya”.² Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya empati dalam memahami orang lain tanpa terjebak dalam emosi mereka, sehingga memungkinkan seseorang untuk memberikan dukungan yang konstruktif.

Dalam konteks sosial, empati menjadi semakin relevan di tengah tantangan dunia modern, seperti meningkatnya ketegangan sosial, polarisasi politik, dan alienasi digital. Menurut laporan Pew Research Center, media sosial dan teknologi sering kali menciptakan jarak emosional yang menghambat kemampuan individu untuk benar-benar terhubung secara empatik.³ Kondisi ini menuntut individu dan masyarakat untuk memperkuat kemampuan empati sebagai bagian dari kecerdasan emosional.

Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyajikan pembahasan mendalam tentang empati, termasuk pengertiannya, dimensi-dimensi yang membentuknya, faktor-faktor yang memengaruhi, serta cara mengembangkan empati dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mendasarkan pembahasan pada literatur kredibel dari bidang psikologi, sosiologi, dan filsafat, artikel ini diharapkan dapat menjadi panduan praktis dan teoritis bagi pembaca untuk memahami serta mempraktikkan empati secara lebih efektif.


Catatan Kaki

[1]              Nancy Eisenberg, The Roots of Prosocial Behavior in Children (New York: Cambridge University Press, 1989), 66.

[2]              Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 284.

[3]              "The Future of Well-Being in a Tech-Saturated World," Pew Research Center, April 2018, https://www.pewresearch.org.


2.           Pengertian Empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan merasakan perasaan, pikiran, dan perspektif orang lain. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani empatheia, yang secara harfiah berarti "merasakan dalam" atau "merasakan bersama".¹ Dalam kajian psikologi modern, empati merujuk pada dua aspek utama, yaitu kemampuan kognitif untuk memahami sudut pandang orang lain dan kemampuan emosional untuk berbagi perasaan yang sama.²

Dari perspektif psikologi, empati sering didefinisikan sebagai “kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi orang lain serta merespons dengan cara yang sesuai.”³ Misalnya, seorang psikolog terkenal, Martin Hoffman, dalam teorinya tentang empati moral, menjelaskan bahwa empati adalah komponen utama dalam pembentukan perilaku prososial—yakni tindakan yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain.⁴ Hoffman juga menekankan bahwa empati memiliki dasar evolusioner, yang menjadikannya elemen penting dalam keberlangsungan hidup manusia melalui hubungan sosial yang harmonis.

Dalam konteks sosial, empati sering dibedakan dari simpati. Simpati adalah perasaan kasihan atau perhatian terhadap penderitaan orang lain, sedangkan empati melibatkan kemampuan untuk "berdiri di sepatu orang lain" dan memahami emosi mereka secara mendalam.⁵ Dengan kata lain, simpati adalah respons yang lebih pasif, sedangkan empati mendorong keterlibatan yang lebih aktif dan mendalam.

Para filsuf juga menawarkan perspektif penting tentang empati. Emmanuel Levinas, seorang filsuf Prancis, memandang empati sebagai fondasi etika interpersonal, di mana seseorang mengakui keberadaan dan pengalaman orang lain sebagai sesuatu yang unik dan layak dihormati.⁶ Pandangan ini menyoroti dimensi moral dari empati sebagai landasan hubungan manusia yang adil dan bermakna.

Secara konseptual, empati juga melibatkan dimensi perilaku. Paul Ekman, seorang ahli psikologi emosi, membagi empati ke dalam tiga jenis:⁷

1)                  Empati Kognitif, yakni kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain.

2)                  Empati Emosional, yaitu kemampuan berbagi perasaan dengan orang lain.

3)                  Empati Kompasioner, yaitu motivasi untuk mengambil tindakan nyata dalam membantu orang lain.

Ketiga jenis ini menunjukkan bahwa empati bukan hanya tentang memahami atau merasakan, tetapi juga tentang bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Dengan demikian, empati adalah keterampilan yang kompleks dan multidimensional, yang berperan penting dalam membentuk hubungan antarmanusia yang sehat dan bermakna.


Catatan Kaki

[1]              Susan Lanzoni, Empathy: A History (New Haven: Yale University Press, 2018), 3.

[2]              Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 96.

[3]              Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994), 19.

[4]              Martin L. Hoffman, Empathy and Moral Development: Implications for Caring and Justice (New York: Cambridge University Press, 2000), 25.

[5]              Theresa Wiseman, “A Concept Analysis of Empathy,” Journal of Advanced Nursing 26, no. 6 (1997): 1162–67.

[6]              Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 187.

[7]              Paul Ekman, Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feelings to Improve Communication and Emotional Life (New York: Holt Paperbacks, 2007), 117.


3.           Dimensi-Dimensi Empati

Empati adalah konsep yang kompleks dan multidimensional, terdiri dari berbagai dimensi yang saling melengkapi untuk menciptakan pemahaman yang utuh terhadap pengalaman orang lain. Para ahli membagi empati menjadi tiga dimensi utama: kognitif, emosional, dan perilaku.¹ Setiap dimensi ini memainkan peran penting dalam membentuk kemampuan seseorang untuk memahami, merasakan, dan merespons pengalaman orang lain.

3.1.       Empati Kognitif

Empati kognitif merujuk pada kemampuan untuk memahami perspektif dan pola pikir orang lain tanpa melibatkan respons emosional secara langsung. Dimensi ini sering disebut sebagai kemampuan perspektif-taking, yaitu mencoba “melihat dunia melalui mata orang lain.”² Menurut Mark H. Davis dalam teorinya tentang empati, dimensi ini memungkinkan seseorang untuk secara rasional memahami alasan di balik tindakan atau perasaan orang lain.³ Misalnya, seorang guru yang menggunakan empati kognitif dapat memahami alasan seorang siswa kesulitan belajar karena faktor eksternal seperti masalah keluarga.

Dalam kajian neuroscience, empati kognitif terkait dengan fungsi prefrontal cortex, yang bertanggung jawab atas kemampuan berpikir abstrak dan pengambilan keputusan.⁴

3.2.       Empati Emosional

Empati emosional adalah kemampuan untuk merasakan emosi yang dialami orang lain. Dimensi ini melibatkan respons afektif yang memungkinkan seseorang untuk berbagi perasaan dengan orang lain.⁵ Martin Hoffman menyebut empati emosional sebagai dasar biologis dari perilaku prososial karena manusia secara alami memiliki kemampuan untuk merasakan penderitaan atau kebahagiaan orang lain melalui proses yang disebut emotional contagion.⁶

Sebagai contoh, ketika seseorang melihat temannya menangis, ia mungkin merasa sedih karena terhubung secara emosional. Empati emosional memungkinkan individu untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, yang pada gilirannya dapat meningkatkan hubungan interpersonal.

3.3.       Empati Perilaku

Dimensi terakhir, empati perilaku, melibatkan tindakan nyata sebagai respons terhadap pemahaman dan perasaan empati terhadap orang lain. Ini sering disebut sebagai compassionate empathy, yang menekankan pada dorongan untuk membantu atau mendukung orang lain yang sedang membutuhkan.⁷ Paul Ekman menjelaskan bahwa empati perilaku adalah puncak dari proses empati karena mencakup tindakan yang nyata untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi orang lain.⁸

Sebagai contoh, ketika seorang dokter memahami dan merasakan penderitaan pasiennya, ia tidak hanya berhenti pada pengertian atau rasa iba, tetapi juga mengambil langkah-langkah medis yang diperlukan untuk meringankan rasa sakit pasien tersebut.


Interaksi Antar Dimensi

Meskipun dimensi-dimensi ini berbeda, mereka saling terkait dan sering kali bekerja secara simultan. Empati kognitif memungkinkan seseorang untuk memahami perspektif orang lain, empati emosional menciptakan koneksi afektif, dan empati perilaku memotivasi tindakan.¹⁰ Keselarasan antara ketiga dimensi ini sangat penting dalam membangun hubungan yang harmonis dan responsif.


Catatan Kaki

[1]              Daniel Batson, Altruism in Humans (New York: Oxford University Press, 2011), 45.

[2]              Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994), 56.

[3]              Mark H. Davis, “Measuring Individual Differences in Empathy,” Journal of Personality and Social Psychology 44, no. 1 (1983): 113–26.

[4]              Jean Decety and Philip L. Jackson, “The Functional Architecture of Human Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004): 71–100.

[5]              Nancy Eisenberg, “Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129 (2010): 71–80.

[6]              Martin L. Hoffman, Empathy and Moral Development: Implications for Caring and Justice (New York: Cambridge University Press, 2000), 29.

[7]              Paul Ekman, Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feelings to Improve Communication and Emotional Life (New York: Holt Paperbacks, 2007), 126.

[8]              Paul Ekman and Daniel Goleman, Compassionate Empathy (San Francisco: Insight Press, 2013), 14.

[9]              Jean Decety, The Social Neuroscience of Empathy (Cambridge: MIT Press, 2009), 117.

[10]          Theresa Wiseman, “A Concept Analysis of Empathy,” Journal of Advanced Nursing 26, no. 6 (1997): 1162–67.


4.           Pentingnya Empati dalam Kehidupan

Empati memainkan peran yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik secara personal maupun sosial. Sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain, empati menjadi fondasi hubungan antarmanusia yang sehat, harmonis, dan bermakna.¹ Pentingnya empati dapat dilihat dalam beberapa konteks berikut:

4.1.       Dalam Hubungan Interpersonal

Empati merupakan komponen utama dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat, baik dalam keluarga, persahabatan, maupun hubungan romantis. Menurut John M. Gottman, seorang psikolog keluarga terkemuka, empati membantu pasangan untuk saling memahami kebutuhan emosional masing-masing, yang merupakan kunci keberhasilan dalam pernikahan.²

Selain itu, empati memungkinkan individu untuk merespons secara konstruktif terhadap konflik. Dengan memahami perspektif orang lain, seseorang dapat menghindari penilaian yang tergesa-gesa dan menciptakan solusi yang lebih inklusif dan adil.³

4.2.       Dalam Lingkungan Kerja

Empati memiliki dampak signifikan dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Pemimpin yang memiliki empati mampu membangun hubungan yang lebih baik dengan timnya, meningkatkan kepuasan kerja, dan mendorong kolaborasi.⁴ Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menjelaskan bahwa empati adalah salah satu inti dari kecerdasan emosional yang membuat seorang pemimpin lebih efektif.⁵

Penelitian oleh Center for Creative Leadership juga menunjukkan bahwa pemimpin yang empatik lebih mampu memahami kebutuhan anggota tim dan menciptakan solusi inovatif dalam menghadapi tantangan.⁶

4.3.       Dalam Pendidikan

Empati memainkan peran penting dalam dunia pendidikan, baik bagi guru maupun siswa. Guru yang menunjukkan empati terhadap siswa dapat menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung perkembangan emosional siswa.⁷ Penelitian oleh Gayle Jennings mengungkapkan bahwa empati guru tidak hanya meningkatkan keterlibatan siswa tetapi juga membantu membangun kepercayaan yang mendalam antara siswa dan pengajar.⁸

Di sisi lain, siswa yang diajarkan untuk berempati akan lebih cenderung menunjukkan perilaku prososial, seperti membantu teman, menghormati perbedaan, dan mengelola konflik secara efektif.

4.4.       Dalam Kepemimpinan

Empati merupakan salah satu atribut utama kepemimpinan yang sukses. Pemimpin yang empatik dapat memahami kebutuhan, aspirasi, dan tantangan yang dihadapi oleh bawahannya.⁹ Hal ini memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang lebih inklusif dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keberagaman.

Simon Sinek, seorang pemikir kepemimpinan modern, menyatakan bahwa empati adalah kunci dalam membangun tim yang tangguh. Pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan bawahannya mampu membangun kepercayaan, yang pada akhirnya meningkatkan loyalitas dan kinerja.¹⁰

4.5.       Dalam Kehidupan Sosial

Empati membantu masyarakat menciptakan hubungan yang lebih harmonis di tengah keragaman budaya, agama, dan latar belakang.¹¹ Dengan memahami perspektif orang lain, seseorang dapat menghormati perbedaan dan mengurangi potensi konflik.¹² Empati juga merupakan dasar dari tindakan-tindakan kemanusiaan, seperti kegiatan sosial dan amal, yang bertujuan untuk meringankan penderitaan orang lain.

4.6.       Dalam Kesehatan Mental

Empati memberikan manfaat psikologis bagi individu yang mengembangkannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang lebih empatik cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih baik, tingkat stres yang lebih rendah, dan kesejahteraan emosional yang lebih tinggi.¹³ Selain itu, empati membantu individu menghindari isolasi sosial dengan menciptakan koneksi emosional yang bermakna.


Catatan Kaki

[1]              Daniel Batson, Altruism in Humans (New York: Oxford University Press, 2011), 78.

[2]              John M. Gottman, The Seven Principles for Making Marriage Work (New York: Harmony Books, 1999), 32.

[3]              Theresa Wiseman, “A Concept Analysis of Empathy,” Journal of Advanced Nursing 26, no. 6 (1997): 1162–67.

[4]              Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.

[5]              Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.

[6]              Center for Creative Leadership, “Empathy in Leadership: Strengthening Relationships, Building Trust,” CCL White Paper Series, 2020.

[7]              Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994), 94.

[8]              Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010), 55.

[9]              Simon Sinek, Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull Together and Others Don’t (New York: Penguin, 2014), 67.

[10]          Simon Sinek, “Empathy: The Key to Leadership Success,” TED Talks, 2016.

[11]          Nancy Eisenberg, “Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129 (2010): 71–80.

[12]          Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 187.

[13]          Jean Decety and Philip L. Jackson, “The Functional Architecture of Human Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004): 71–100.


5.           Teori dan Penelitian Tentang Empati

Pembahasan tentang empati tidak terlepas dari berbagai teori yang dikembangkan oleh para ahli di bidang psikologi, filsafat, dan sosiologi. Selain itu, penelitian empiris terus memperkaya pemahaman tentang bagaimana empati bekerja dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun sosial. Bagian ini akan menguraikan beberapa teori utama dan temuan penelitian yang relevan.

5.1.       Teori Empati

5.1.1.    Teori Perkembangan Empati oleh Martin Hoffman

Martin Hoffman adalah salah satu tokoh terkemuka dalam studi empati, khususnya dalam konteks moralitas. Ia mengembangkan teori perkembangan empati yang menggambarkan bagaimana kemampuan empati berkembang sejak masa bayi hingga dewasa. Hoffman mengidentifikasi empat tahap perkembangan empati:¹

·                     Empati global (infancy): Bayi merespons secara emosional terhadap distress orang lain tanpa memahami sumbernya.

·                     Empati egosentris: Anak kecil mulai memahami bahwa distress berasal dari luar dirinya tetapi masih memproyeksikan perasaan tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya.

·                     Empati untuk perasaan orang lain: Anak-anak dapat membayangkan perasaan orang lain secara lebih realistis dan memahami situasi dari perspektif mereka.

·                     Empati berbasis prinsip: Pada tahap ini, individu dewasa memahami empati dalam konteks nilai-nilai moral dan prinsip universal.

5.1.2.    Teori Perspektif-Taking oleh Mark H. Davis

Mark H. Davis menekankan pentingnya perspective-taking (mengambil perspektif orang lain) sebagai elemen utama dari empati. Perspektif ini melibatkan proses kognitif yang memungkinkan seseorang untuk memahami pikiran, perasaan, dan motivasi orang lain.² Ia mengembangkan Interpersonal Reactivity Index (IRI) sebagai alat pengukur empati yang mencakup dimensi seperti empathetic concern (kepedulian empatik) dan personal distress (distress pribadi).³

5.1.3.    Neurosains Empati oleh Jean Decety

Dalam bidang neurosains, Jean Decety mengajukan pendekatan berbasis otak untuk memahami empati. Ia menyatakan bahwa empati melibatkan tiga komponen utama:⁴

1)                  Kesadaran afektif: Proses emosional yang mencerminkan resonansi dengan orang lain.

2)                  Regulasi emosi: Kemampuan untuk mengatur respons emosional agar tetap terkontrol.

3)                  Perspektif kognitif: Kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain secara rasional.

Decety juga menemukan bahwa aktivitas di area otak seperti anterior insula dan anterior cingulate cortex sangat terkait dengan respons empati.⁵

5.1.4.    Empati dan Etika oleh Emmanuel Levinas

Emmanuel Levinas, seorang filsuf eksistensialis, memandang empati sebagai inti dari etika interpersonal. Ia menekankan pentingnya pengakuan terhadap “Wajah Orang Lain” sebagai langkah pertama dalam membangun hubungan yang berbasis penghormatan dan tanggung jawab.⁶ Menurut Levinas, empati bukan hanya soal memahami orang lain, tetapi juga tindakan etis yang mengutamakan orang lain di atas kepentingan diri.

5.2.       Penelitian Tentang Empati

5.2.1.    Penelitian Empati dan Perilaku Prososial

Penelitian oleh Nancy Eisenberg menunjukkan bahwa empati merupakan prediktor utama perilaku prososial, seperti membantu orang lain, berbagi, dan mendukung dalam situasi sulit.⁷ Eisenberg menemukan bahwa individu yang memiliki tingkat empati tinggi cenderung lebih aktif dalam kegiatan sosial dan relawan.⁸

5.2.2.    Empati dalam Konteks Budaya

Penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Markus dan Kitayama mengungkapkan bahwa empati memiliki variasi dalam manifestasinya tergantung pada budaya. Di budaya kolektivis, empati lebih sering diwujudkan melalui tindakan nyata, sementara di budaya individualis, empati cenderung berfokus pada pengakuan emosional.⁹

5.2.3.    Pengaruh Teknologi Terhadap Empati

Penelitian oleh Pew Research Center menemukan bahwa paparan media sosial secara berlebihan dapat mengurangi kemampuan empati, terutama pada remaja.¹⁰ Interaksi digital sering kali tidak memberikan konteks emosional yang diperlukan untuk mengembangkan empati secara mendalam.¹¹

5.2.4.    Empati dan Kesehatan Mental

Studi oleh Jean Decety dan Philip Jackson menunjukkan bahwa individu dengan gangguan seperti psikopati atau gangguan spektrum autisme memiliki defisit dalam komponen empati tertentu, baik secara kognitif maupun emosional.¹² Penemuan ini membantu memahami peran empati dalam kesehatan mental dan intervensi terapeutik.

5.3.       Relevansi Teori dan Penelitian

Berbagai teori dan penelitian ini menunjukkan bahwa empati bukan hanya fenomena psikologis atau emosional tetapi juga fenomena sosial dan neurologis. Pemahaman tentang empati yang didasarkan pada teori dan data empiris dapat membantu menciptakan strategi untuk meningkatkan empati dalam kehidupan pribadi, pendidikan, dan masyarakat luas.


Catatan Kaki

[1]              Martin L. Hoffman, Empathy and Moral Development: Implications for Caring and Justice (New York: Cambridge University Press, 2000), 45–48.

[2]              Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994), 57.

[3]              Mark H. Davis, “Measuring Individual Differences in Empathy,” Journal of Personality and Social Psychology 44, no. 1 (1983): 113–26.

[4]              Jean Decety, “The Functional Architecture of Human Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004): 71–100.

[5]              Jean Decety and Tania Singer, “The Neural Basis of Empathy,” Nature Reviews Neuroscience 8, no. 1 (2006): 55–66.

[6]              Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194.

[7]              Nancy Eisenberg, “Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129 (2010): 71–80.

[8]              Nancy Eisenberg et al., “The Development of Prosocial Behavior,” Handbook of Child Psychology (New York: Wiley, 2006), 647.

[9]              Hazel Rose Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–53.

[10]          “The Future of Well-Being in a Tech-Saturated World,” Pew Research Center, April 2018, https://www.pewresearch.org.

[11]          Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 89–91.

[12]          Jean Decety and Philip L. Jackson, “The Functional Architecture of Human Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004): 85–87.


6.           Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Empati

Empati, sebagai kemampuan kompleks untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini mencakup aspek biologis, psikologis, sosial, dan budaya yang saling berinteraksi dalam membentuk kemampuan empati seseorang.¹

6.1.       Faktor Biologis

6.1.1.    Genetik

Empati memiliki dasar biologis yang terkait dengan genetik. Penelitian menunjukkan bahwa variasi dalam gen tertentu, seperti gen oxytocin receptor (OXTR), memengaruhi kemampuan empati seseorang.² Oxytocin, yang sering disebut sebagai “hormon cinta,” diketahui berperan dalam meningkatkan hubungan sosial dan perilaku prososial.³

6.1.2.    Struktur dan Fungsi Otak

Neurosains menunjukkan bahwa empati melibatkan aktivitas di area otak tertentu, seperti anterior insula, anterior cingulate cortex, dan mirror neuron system.⁴ Mirror neurons memungkinkan seseorang untuk “merasakan” apa yang dirasakan orang lain dengan cara yang hampir otomatis, misalnya ketika melihat orang lain tersenyum atau menangis.⁵ Kerusakan pada area otak ini dapat mengurangi kemampuan empati, seperti yang terlihat pada individu dengan gangguan spektrum autisme atau psikopati.⁶

6.2.       Faktor Psikologis

6.2.1.    Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional (emotional intelligence) merupakan kemampuan untuk mengenali dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Menurut Daniel Goleman, empati adalah salah satu dari lima komponen utama kecerdasan emosional, dan individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi cenderung memiliki kemampuan empati yang lebih baik.⁷

6.2.2.    Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup, termasuk trauma, kehilangan, atau hubungan yang mendalam, dapat memengaruhi tingkat empati seseorang. Penelitian oleh Eisenberg menunjukkan bahwa individu yang pernah mengalami penderitaan cenderung lebih mampu memahami dan merasakan kesulitan orang lain.⁸ Sebaliknya, pengalaman yang membentuk kepribadian narsistik atau defensif dapat mengurangi empati.⁹

6.3.       Faktor Sosial

6.3.1.    Pola Asuh

Cara seseorang dibesarkan memiliki dampak signifikan pada perkembangan empati. Pola asuh yang penuh perhatian dan kasih sayang cenderung meningkatkan kemampuan empati anak.¹⁰ Sebaliknya, pola asuh yang keras atau pengabaian dapat menghambat perkembangan empati.¹¹

6.3.2.    Lingkungan Sosial

Interaksi dalam kelompok sosial juga memengaruhi empati. Menurut teori kelompok sosial (social identity theory), seseorang lebih mungkin menunjukkan empati terhadap individu yang dianggap “dalam kelompok” (in-group) dibandingkan dengan yang dianggap “luar kelompok” (out-group).¹² Hal ini dapat menjadi kendala dalam hubungan antarbudaya atau antaragama.

6.4.       Faktor Budaya

6.4.1.    Nilai Budaya

Budaya kolektivis, seperti yang ada di Asia, cenderung menekankan empati melalui tindakan nyata yang mendukung keharmonisan kelompok. Sebaliknya, budaya individualis, seperti di Barat, lebih fokus pada empati yang berbasis pengakuan emosional.¹³

6.4.2.    Perbedaan Norma Sosial

Norma sosial dalam budaya yang berbeda memengaruhi cara empati diekspresikan. Misalnya, di beberapa budaya, menunjukkan emosi secara terbuka dianggap tidak pantas, sehingga empati lebih sering disampaikan melalui tindakan daripada kata-kata.¹⁴

6.5.       Faktor Lingkungan

6.5.1.    Pengaruh Media

Media, terutama media sosial, memiliki dampak besar terhadap empati. Penelitian menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap media sosial dapat menyebabkan empathy fatigue, yaitu penurunan kemampuan empati karena terlalu sering terpapar konten emosional.¹⁵

6.5.2.    Pendidikan

Pendidikan yang mendorong pengembangan keterampilan sosial dan kecerdasan emosional dapat meningkatkan empati. Program seperti pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) dan pengajaran nilai-nilai moral telah terbukti efektif dalam mengembangkan empati di kalangan siswa.¹⁶

6.6.       Faktor Gender

Penelitian menunjukkan adanya perbedaan gender dalam empati. Wanita, secara umum, cenderung memiliki kemampuan empati emosional yang lebih tinggi dibandingkan pria, meskipun pria juga dapat menunjukkan empati yang kuat dalam konteks tertentu.¹⁷ Perbedaan ini sebagian besar dipengaruhi oleh norma sosial dan ekspektasi gender.¹⁸


Kesimpulan

Faktor-faktor yang memengaruhi empati mencakup berbagai dimensi yang saling berkaitan. Pemahaman tentang faktor-faktor ini dapat membantu individu dan masyarakat menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan empati, baik melalui pendidikan, pola asuh, maupun kebijakan sosial.


Catatan Kaki

[1]              Daniel Batson, Altruism in Humans (New York: Oxford University Press, 2011), 47.

[2]              Jennifer L. Poulin et al., “Oxytocin and Empathy: Evidence for a Bi-Directional Association,” Psychological Science 23, no. 5 (2012): 552–58.

[3]              Paul Zak, The Moral Molecule: The Source of Love and Prosperity (New York: Dutton, 2012), 78.

[4]              Jean Decety and Tania Singer, “The Neural Basis of Empathy,” Nature Reviews Neuroscience 8, no. 1 (2006): 55–66.

[5]              Marco Iacoboni, Mirroring People: The Science of Empathy and How We Connect with Others (New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2008), 65.

[6]              Simon Baron-Cohen, The Science of Evil: On Empathy and the Origins of Cruelty (New York: Basic Books, 2011), 91.

[7]              Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.

[8]              Nancy Eisenberg et al., “The Development of Prosocial Behavior,” Handbook of Child Psychology (New York: Wiley, 2006), 647.

[9]              Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994), 113.

[10]          Martin Hoffman, Empathy and Moral Development: Implications for Caring and Justice (New York: Cambridge University Press, 2000), 83.

[11]          Bruce J. Ellis and David F. Bjorklund, “Origins of Individual Differences in Empathy,” Developmental Review 25, no. 4 (2005): 457–90.

[12]          Henri Tajfel and John Turner, “An Integrative Theory of Intergroup Conflict,” Social Psychology of Intergroup Relations (Monterey: Brooks/Cole, 1979), 33.

[13]          Hazel Rose Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–53.

[14]          Shalom Schwartz, “Universals in the Content and Structure of Values: Theoretical Advances and Empirical Tests in 20 Countries,” Advances in Experimental Social Psychology 25 (1992): 1–65.

[15]          Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 124.

[16]          Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010), 103.

[17]          Judith A. Hall, Deborah L. Roter, and Cynthia S. Rand, Communication of Caring: Gender Differences in Emotional Empathy (New York: Cambridge University Press, 1996), 67.

[18]          Michael E. Lamb, Fatherhood and Social Policy (New York: Routledge, 2010), 121.


7.           Cara Mengembangkan Empati

Empati adalah keterampilan yang dapat dikembangkan melalui latihan dan pengalaman. Banyak penelitian dan panduan praktik menunjukkan bahwa empati tidak hanya bergantung pada predisposisi biologis, tetapi juga pada pembelajaran dan eksposur terhadap situasi yang memupuk kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain. Berikut adalah beberapa cara untuk mengembangkan empati yang didasarkan pada penelitian dan praktik terbaik:

7.1.       Latihan Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Empati dimulai dari kesadaran diri, yaitu kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi, nilai, dan bias pribadi. Dengan memahami diri sendiri, seseorang dapat lebih objektif dalam melihat perspektif orang lain.¹ Daniel Goleman menekankan bahwa kesadaran diri adalah salah satu komponen utama kecerdasan emosional yang membantu seseorang mengembangkan empati.² Latihan seperti journaling, meditasi, atau refleksi diri dapat membantu meningkatkan kesadaran ini.³

7.2.       Mendengarkan Secara Aktif

Mendengarkan secara aktif berarti memberikan perhatian penuh kepada pembicara tanpa menghakimi atau memotong pembicaraan. Menurut Carl Rogers, seorang tokoh psikologi humanistik, mendengarkan dengan empati menciptakan rasa dihargai pada lawan bicara dan memperkuat hubungan interpersonal.⁴

Beberapa teknik mendengarkan aktif meliputi:⁵

·                     Menghindari gangguan (misalnya, mematikan ponsel).

·                     Mengajukan pertanyaan terbuka untuk klarifikasi.

·                     Mencerminkan kembali apa yang didengar untuk menunjukkan pemahaman.

7.3.       Melatih Perspektif Berbeda

Mengambil perspektif orang lain adalah salah satu komponen utama empati. Hal ini dapat dilatih dengan mencoba memahami bagaimana seseorang melihat suatu situasi dari sudut pandang mereka.⁶

Misalnya, membaca literatur atau menonton film yang menggambarkan pengalaman hidup orang-orang dari latar belakang yang berbeda dapat membantu mengembangkan perspektif ini. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas ini meningkatkan kemampuan kognitif untuk memahami pengalaman emosional orang lain.⁷

7.4.       Mengembangkan Keterampilan Komunikasi Nonverbal

Empati sering kali melibatkan pengenalan ekspresi nonverbal, seperti bahasa tubuh, nada suara, atau ekspresi wajah.⁸ Menurut Paul Ekman, kemampuan untuk mengenali emosi melalui ekspresi wajah sangat penting dalam memahami perasaan orang lain.⁹ Latihan untuk meningkatkan keterampilan ini mencakup observasi langsung atau pelatihan pengenalan mikro-ekspresi.

7.5.       Berlatih Kebaikan dan Tindakan Prososial

Tindakan nyata seperti membantu orang lain tanpa pamrih dapat memperkuat empati. Penelitian menunjukkan bahwa melakukan tindakan prososial, seperti kegiatan sukarela atau membantu orang yang membutuhkan, meningkatkan koneksi emosional dengan orang lain.¹⁰

Misalnya, program pendidikan seperti Roots of Empathy yang melibatkan siswa dalam kegiatan interaktif dengan komunitas, terbukti meningkatkan kemampuan empati pada anak-anak.¹¹

7.6.       Mempraktikkan Meditasi Berbasis Belas Kasih (Compassion Meditation)

Meditasi berbasis belas kasih, seperti Loving-Kindness Meditation (LKM), dapat meningkatkan empati dan perilaku prososial.¹² Penelitian oleh Richard Davidson menunjukkan bahwa meditasi ini secara langsung memengaruhi aktivitas di otak yang terkait dengan empati, seperti insula dan anterior cingulate cortex.¹³

7.7.       Menghadapi Bias dan Prasangka

Empati sering kali terhambat oleh bias dan stereotip terhadap kelompok tertentu. Mengembangkan kesadaran akan bias dan secara aktif menghadapi prasangka ini dapat meningkatkan empati.¹⁴ Salah satu metode yang efektif adalah pelatihan berbasis keadilan sosial yang mendorong individu untuk mengidentifikasi dan mengurangi bias implisit.¹⁵

7.8.       Belajar dari Pengalaman Orang Lain

Mendengar kisah nyata tentang perjuangan atau pengalaman hidup orang lain dapat memperluas pemahaman empati.¹⁶ Misalnya, partisipasi dalam kelompok diskusi antarbudaya atau sesi berbagi cerita sering kali membantu individu memahami perspektif yang berbeda.

7.9.       Pendidikan dan Pelatihan Empati

Program pendidikan formal yang dirancang untuk meningkatkan empati, seperti pelatihan komunikasi antarpribadi atau program kecerdasan emosional, terbukti efektif.¹⁷ Beberapa sekolah telah mengintegrasikan empati dalam kurikulum mereka untuk mengajarkan siswa pentingnya memahami dan menghargai orang lain.¹⁸


Kesimpulan

Mengembangkan empati adalah proses yang membutuhkan kesadaran, latihan, dan dedikasi. Dengan mengintegrasikan strategi ini ke dalam kehidupan sehari-hari, individu dapat meningkatkan kemampuan empati mereka, yang pada akhirnya akan memperkuat hubungan interpersonal dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.


Catatan Kaki

[1]              Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 94.

[2]              Ibid., 96.

[3]              Thich Nhat Hanh, Peace Is Every Step: The Path of Mindfulness in Everyday Life (New York: Bantam Books, 1991), 42.

[4]              Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 284.

[5]              Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994), 57.

[6]              Jean Decety and Philip L. Jackson, “The Functional Architecture of Human Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004): 71–100.

[7]              Raymond A. Mar et al., “Bookworms Versus Nerds: Exposure to Fiction Versus Non-Fiction, Divergent Associations with Social Ability, and the Simulation of Fictional Social Worlds,” Journal of Research in Personality 40, no. 5 (2006): 694–712.

[8]              Paul Ekman, Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feelings to Improve Communication and Emotional Life (New York: Holt Paperbacks, 2007), 117.

[9]              Ibid., 126.

[10]          Nancy Eisenberg et al., “The Development of Prosocial Behavior,” Handbook of Child Psychology (New York: Wiley, 2006), 647.

[11]          Mary Gordon, Roots of Empathy: Changing the World Child by Child (Toronto: Thomas Allen Publishers, 2005), 44.

[12]          Sharon Salzberg, Lovingkindness: The Revolutionary Art of Happiness (Boston: Shambhala Publications, 1995), 68.

[13]          Richard Davidson and Antoine Lutz, “Buddhist Meditation and the Neuroscience of Consciousness,” in The Cambridge Handbook of Consciousness, ed. Philip David Zelazo et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 484.

[14]          Henri Tajfel and John Turner, “An Integrative Theory of Intergroup Conflict,” Social Psychology of Intergroup Relations (Monterey: Brooks/Cole, 1979), 33.

[15]          Patricia G. Devine et al., “Long-Term Reduction in Implicit Race Bias: A Prejudice Habit-Breaking Intervention,” Journal of Experimental Social Psychology 48, no. 6 (2012): 1267–78.

[16]          Brené Brown, Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead (New York: Gotham Books, 2012), 54.

[17]          Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.

[18]          Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010), 103.


8.           Hambatan Empati

Meskipun empati adalah keterampilan yang sangat penting dalam hubungan antarmanusia, ada berbagai hambatan yang dapat menghalangi seseorang untuk mengembangkan dan mengekspresikannya. Hambatan-hambatan ini dapat berasal dari faktor internal seperti kondisi psikologis dan neurologis, maupun faktor eksternal seperti pengaruh lingkungan sosial dan budaya.¹ Berikut adalah beberapa hambatan utama yang menghalangi kemampuan empati.

8.1.       Pengaruh Teknologi dan Media Sosial

Kemajuan teknologi dan penggunaan media sosial yang semakin masif telah memberikan dampak signifikan pada interaksi sosial manusia. Media sosial sering kali menciptakan empathy fatigue—kondisi di mana seseorang merasa kewalahan dengan paparan berulang terhadap penderitaan orang lain di dunia maya.² Selain itu, komunikasi digital yang kurang melibatkan ekspresi wajah dan bahasa tubuh mengurangi konteks emosional yang diperlukan untuk membangun empati.³

Menurut Sherry Turkle, media sosial sering mengarah pada hubungan yang dangkal, di mana individu lebih fokus pada “tampilan diri” daripada benar-benar memahami pengalaman emosional orang lain.⁴

8.2.       Bias dan Stereotip Sosial

Bias dan stereotip sosial adalah hambatan signifikan dalam menumbuhkan empati, terutama terhadap kelompok yang dianggap berbeda. Henri Tajfel dalam teori identitas sosialnya menjelaskan bahwa orang cenderung menunjukkan empati yang lebih besar kepada anggota kelompok mereka sendiri (in-group) dibandingkan dengan anggota kelompok lain (out-group).⁵

Bias ini dapat diperparah oleh prasangka yang mendalam terhadap kelompok tertentu berdasarkan faktor seperti agama, ras, atau orientasi politik. Hal ini membuat individu sulit untuk memahami dan menerima perspektif orang lain.⁶

8.3.       Gangguan Psikologis

Beberapa gangguan psikologis dapat secara langsung memengaruhi kemampuan empati seseorang. Psikopati, misalnya, ditandai dengan kurangnya empati emosional meskipun kemampuan empati kognitif dapat tetap berfungsi.⁷ Individu dengan gangguan spektrum autisme sering kali memiliki kesulitan dalam mengambil perspektif orang lain, yang memengaruhi dimensi empati kognitif mereka.⁸

Penelitian oleh Simon Baron-Cohen menunjukkan bahwa kondisi-kondisi ini terkait dengan defisit dalam sistem saraf yang mendukung empati, seperti aktivitas mirror neurons.⁹

8.4.       Ketakutan Akan Kerentanan

Empati sering kali melibatkan kerentanan emosional, karena seseorang harus membuka diri untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Namun, banyak individu takut terlihat lemah atau tidak mampu mengelola emosi mereka sendiri, sehingga mereka memilih untuk menghindari keterlibatan empatik.¹⁰ Brené Brown menjelaskan bahwa ketakutan akan kerentanan ini sering kali berakar pada rasa malu dan kurangnya kepercayaan diri.¹¹

8.5.       Stres dan Kelelahan Emosional

Stres kronis dan kelelahan emosional dapat mengurangi kapasitas seseorang untuk menunjukkan empati.¹² Dalam konteks pekerjaan, seperti pada profesi kesehatan atau bantuan kemanusiaan, kondisi ini dikenal sebagai compassion fatigue—di mana paparan terus-menerus terhadap penderitaan orang lain mengurangi kemampuan individu untuk merespons dengan empati.¹³

Menurut penelitian oleh Figley, compassion fatigue adalah bentuk burnout yang unik, yang sering kali dialami oleh mereka yang bekerja dalam bidang yang melibatkan tingkat emosi yang tinggi.¹⁴

8.6.       Kurangnya Pendidikan dan Pengalaman

Empati tidak berkembang secara alami pada semua individu. Kurangnya pendidikan atau eksposur terhadap berbagai latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman hidup dapat menjadi hambatan signifikan.¹⁵ Individu yang tidak pernah diajarkan untuk memahami perasaan orang lain atau yang tumbuh dalam lingkungan yang menekankan individualisme ekstrem sering kali memiliki kapasitas empati yang rendah.¹⁶

8.7.       Tekanan Sosial dan Budaya

Budaya yang menekankan persaingan dan individualisme dapat mengurangi kecenderungan empatik.¹⁷ Di banyak masyarakat modern, keberhasilan sering kali diukur berdasarkan pencapaian pribadi, bukan hubungan sosial, yang mengarah pada pengabaian terhadap kebutuhan orang lain.¹⁸

Norma gender juga dapat memengaruhi empati. Misalnya, di beberapa budaya, pria mungkin enggan menunjukkan empati karena hal itu dianggap sebagai tanda kelemahan.¹⁹


Kesimpulan

Hambatan-hambatan empati ini menunjukkan bahwa kemampuan empati tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu tetapi juga oleh lingkungan sosial dan budaya. Dengan mengenali hambatan ini, individu dan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi atau meminimalkannya, seperti melalui pendidikan, terapi, atau perubahan dalam struktur sosial yang mendukung pengembangan empati.


Catatan Kaki

[1]              Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.

[2]              Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 123.

[3]              Jean Twenge et al., “Social Media Use and Empathy,” Current Psychology 38, no. 2 (2019): 228–35.

[4]              Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 67.

[5]              Henri Tajfel and John Turner, “An Integrative Theory of Intergroup Conflict,” Social Psychology of Intergroup Relations (Monterey: Brooks/Cole, 1979), 33.

[6]              Patricia Devine, “Stereotypes and Prejudice: Their Automatic and Controlled Components,” Journal of Personality and Social Psychology 56, no. 1 (1989): 5–18.

[7]              Simon Baron-Cohen, The Science of Evil: On Empathy and the Origins of Cruelty (New York: Basic Books, 2011), 91.

[8]              Ibid., 87.

[9]              Marco Iacoboni, Mirroring People: The Science of Empathy and How We Connect with Others (New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2008), 65.

[10]          Brené Brown, Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead (New York: Gotham Books, 2012), 54.

[11]          Ibid., 58.

[12]          Charles R. Figley, Compassion Fatigue: Coping with Secondary Traumatic Stress Disorder in Those Who Treat the Traumatized (New York: Routledge, 1995), 23.

[13]          Ibid., 29.

[14]          Ibid., 35.

[15]          Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010), 87.

[16]          Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.

[17]          Hazel Rose Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–53.

[18]          Shalom Schwartz, “Universals in the Content and Structure of Values: Theoretical Advances and Empirical Tests in 20 Countries,” Advances in Experimental Social Psychology 25 (1992): 1–65.

[19]          Judith A. Hall, Deborah L. Roter, and Cynthia S. Rand, Communication of Caring: Gender Differences in Emotional Empathy (New York: Cambridge University Press, 1996), 67.


9.           Empati dalam Perspektif Agama dan Filsafat

Empati adalah konsep universal yang telah menjadi inti dari berbagai tradisi agama dan filsafat. Sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain, empati sering kali dianggap sebagai fondasi moral yang mengarahkan manusia untuk hidup dalam harmoni dengan sesamanya.¹ Berikut ini adalah pembahasan empati dalam perspektif agama-agama besar dan pemikiran filsafat.

9.1.       Empati dalam Perspektif Agama

9.1.1.    Islam

Dalam Islam, empati merupakan nilai moral yang dianjurkan untuk menciptakan masyarakat yang penuh kasih sayang. Al-Qur'an menekankan pentingnya memahami dan membantu sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Misalnya, dalam QS. Al-Ma'un [107] ayat 1-3, Allah mencela mereka yang tidak peduli terhadap anak yatim dan fakir miskin.²

Rasulullah Muhammad Saw juga memberikan teladan dalam menunjukkan empati. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda, *“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”*³ Hadis ini menekankan pentingnya merasakan apa yang dirasakan orang lain sebagai wujud iman yang sempurna.

9.1.2.    b. Kristen

Empati merupakan inti ajaran Kristen yang terkandung dalam prinsip kasih (agape). Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru mengajarkan, *“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”*⁴ (Matius 22:39). Ajaran ini menunjukkan bahwa empati adalah bagian dari perintah kasih yang menuntun umat untuk memahami dan membantu sesama tanpa syarat.

Kisah-kisah seperti Perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25-37) juga menjadi contoh konkret bagaimana empati diwujudkan melalui tindakan nyata.

9.1.3.    Hindu dan Buddha

Dalam Hindu dan Buddha, empati terkait erat dengan prinsip ahimsa (tidak menyakiti) dan karuna (belas kasih). Dalam ajaran Buddha, empati diwujudkan melalui compassion meditation yang bertujuan untuk mengembangkan cinta kasih universal terhadap semua makhluk.⁵

Dalai Lama menegaskan bahwa empati adalah inti dari kehidupan spiritual, dengan mengatakan, *“Our prime purpose in this life is to help others. And if you can’t help them, at least don’t hurt them.”*⁶

9.1.4.    Yahudi

Dalam tradisi Yahudi, empati adalah prinsip yang mendasari Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Taurat memerintahkan, *“Cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”*⁷ (Imamat 19:18). Prinsip ini mengarahkan umat untuk berempati dengan penderitaan orang lain dan mengambil tindakan untuk meringankan beban mereka.

9.2.       Empati dalam Perspektif Filsafat

9.2.1.    Emmanuel Levinas: Wajah Orang Lain

Filsuf eksistensialis Emmanuel Levinas memandang empati sebagai inti dari etika interpersonal. Ia menekankan bahwa kehadiran "Wajah Orang Lain" adalah panggilan etis untuk bertanggung jawab.⁸ Dalam filsafatnya, empati bukan hanya tentang memahami orang lain, tetapi juga mengakui hak-hak mereka dan mendahulukan kebutuhan mereka daripada kepentingan diri sendiri.⁹

9.2.2.    Adam Smith: Simpati sebagai Dasar Moral

Dalam karyanya The Theory of Moral Sentiments, Adam Smith menjelaskan bahwa simpati—yang mirip dengan empati—adalah fondasi moral manusia.¹⁰ Ia percaya bahwa manusia secara alami memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, yang kemudian menjadi dasar dari tindakan moral.

9.2.3.    Arthur Schopenhauer: Belas Kasih Sebagai Etika Universal

Arthur Schopenhauer menempatkan belas kasih (compassion) sebagai inti dari etika universal. Ia berpendapat bahwa hanya melalui belas kasih seseorang dapat melampaui egoisme dan hidup selaras dengan orang lain.¹¹ Dalam pandangan ini, empati menjadi sarana untuk memahami penderitaan orang lain dan bertindak untuk menguranginya.

9.2.4.    Martin Buber: Relasi “Aku-Engkau”

Martin Buber, dalam konsep relasi "Aku-Engkau," menekankan pentingnya empati dalam membangun hubungan yang mendalam.¹² Menurutnya, hubungan yang sejati hanya dapat terjadi ketika seseorang melihat orang lain sebagai subjek yang unik, bukan sebagai objek. Empati adalah kunci untuk mencapai hubungan ini.

9.3.       Konvergensi Agama dan Filsafat

Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, agama dan filsafat menunjukkan kesamaan dalam menempatkan empati sebagai elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat. Agama menekankan nilai-nilai spiritual dan tindakan nyata, sementara filsafat memberikan kerangka rasional untuk memahami empati sebagai prinsip moral universal.


Kesimpulan

Empati dalam perspektif agama dan filsafat menunjukkan bahwa kemampuan untuk merasakan dan memahami pengalaman orang lain adalah inti dari kehidupan yang bermoral dan bermakna. Nilai-nilai ini tidak hanya mendorong individu untuk bertindak demi kebaikan sesama, tetapi juga menciptakan harmoni sosial dan kesejahteraan bersama.


Catatan Kaki

[1]              Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.

[2]              QS. Al-Ma’un [107]: 1-3.

[3]              HR. Bukhari, No. 13; HR. Muslim, No. 45.

[4]              Perjanjian Baru, Matius 22:39.

[5]              Sharon Salzberg, Lovingkindness: The Revolutionary Art of Happiness (Boston: Shambhala Publications, 1995), 68.

[6]              Dalai Lama, The Art of Happiness (New York: Riverhead Books, 1998), 54.

[7]              Taurat, Imamat 19:18.

[8]              Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194.

[9]              Ibid., 196.

[10]          Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments (London: A. Millar, 1759), 23.

[11]          Arthur Schopenhauer, On the Basis of Morality (London: Swan Sonnenschein, 1903), 86.

[12]          Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Scribner, 1970), 55.


10.       Manfaat Empati

Empati adalah keterampilan penting yang memiliki dampak luas dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, empati tidak hanya bermanfaat dalam hubungan interpersonal tetapi juga berperan dalam menciptakan harmoni sosial, meningkatkan kesehatan mental, dan membangun lingkungan yang lebih inklusif. Berikut adalah manfaat empati yang didukung oleh berbagai penelitian dan literatur kredibel.

10.1.    Meningkatkan Hubungan Interpersonal

Empati adalah dasar dari hubungan interpersonal yang sehat dan bermakna. Dengan memahami perspektif dan emosi orang lain, seseorang dapat membangun koneksi yang lebih dalam dan mengurangi potensi konflik.¹

Penelitian oleh Carl Rogers menunjukkan bahwa empati adalah elemen kunci dalam membangun hubungan terapeutik antara konselor dan klien, yang juga relevan dalam hubungan keluarga, persahabatan, dan pasangan.² Empati memungkinkan individu untuk merespons dengan cara yang tepat terhadap kebutuhan emosional orang lain, menciptakan hubungan yang lebih harmonis.³

10.2.    Mendorong Perilaku Prososial

Empati meningkatkan perilaku prososial, seperti membantu, berbagi, dan bekerja sama.⁴ Penelitian oleh Nancy Eisenberg menemukan bahwa individu dengan tingkat empati yang tinggi lebih cenderung menunjukkan perilaku altruistik, bahkan dalam situasi sulit.⁵ Sebagai contoh, tindakan-tindakan kemanusiaan yang dilakukan selama bencana alam sering kali didorong oleh empati terhadap penderitaan orang lain.⁶

10.3.    Mengurangi Konflik

Empati memainkan peran penting dalam mengurangi konflik, baik di tingkat personal maupun sosial. Dengan memahami sudut pandang orang lain, seseorang dapat menghindari kesalahpahaman dan menyelesaikan konflik secara konstruktif.⁷ Dalam konteks politik dan sosial, empati membantu mengurangi polarisasi dengan mendorong dialog yang lebih inklusif dan memahami perbedaan pendapat.⁸

10.4.    Meningkatkan Kepemimpinan

Pemimpin yang empatik cenderung lebih efektif dalam memotivasi tim dan membangun kepercayaan.⁹ Penelitian oleh Center for Creative Leadership menunjukkan bahwa empati adalah salah satu ciri utama pemimpin yang sukses karena memungkinkan mereka memahami kebutuhan anggota tim dan menciptakan solusi yang inklusif.¹⁰

Dalam buku Leaders Eat Last, Simon Sinek menegaskan bahwa empati membantu pemimpin menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan produktif, di mana setiap anggota merasa dihargai.¹¹

10.5.    Memperkuat Pendidikan dan Pengembangan Karakter

Empati memainkan peran penting dalam pendidikan, baik untuk guru maupun siswa. Guru yang empatik menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendorong siswa untuk berkembang secara emosional dan akademik.¹² Program pendidikan berbasis empati, seperti Roots of Empathy, telah terbukti meningkatkan kecerdasan emosional dan perilaku prososial siswa.¹³

10.6.    Menjaga Kesehatan Mental

Empati tidak hanya bermanfaat bagi orang yang menerima, tetapi juga bagi yang memberikannya. Melalui koneksi emosional dengan orang lain, individu yang empatik cenderung memiliki kesejahteraan emosional yang lebih baik dan risiko stres yang lebih rendah.¹⁴

Penelitian oleh Richard Davidson menunjukkan bahwa empati dan tindakan belas kasih meningkatkan aktivitas di area otak yang terkait dengan kebahagiaan dan kesejahteraan, seperti insula dan ventromedial prefrontal cortex.¹⁵

10.7.    Membangun Masyarakat yang Harmonis

Empati adalah fondasi masyarakat yang inklusif dan harmonis. Dengan mendorong pemahaman lintas budaya, agama, dan latar belakang sosial, empati membantu menciptakan lingkungan yang lebih toleran.¹⁶ Penelitian oleh Markus dan Kitayama menunjukkan bahwa empati mendorong kerja sama dalam masyarakat kolektivis, sementara dalam masyarakat individualis, empati membantu membangun pengakuan atas hak-hak individu.¹⁷

10.8.    Meningkatkan Kemampuan Beradaptasi

Empati membantu individu dan kelompok untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi yang cepat. Dalam dunia kerja, kemampuan untuk memahami kebutuhan klien, kolega, atau pelanggan adalah keterampilan penting dalam menghadapi tantangan baru.¹⁸ Penelitian oleh Harvard Business Review menunjukkan bahwa empati meningkatkan inovasi dan kolaborasi di tempat kerja.¹⁹


Kesimpulan

Manfaat empati sangat luas, mencakup aspek individu, interpersonal, dan sosial. Dengan mengembangkan empati, individu dapat memperkuat hubungan pribadi, meningkatkan kesehatan mental, dan berkontribusi pada masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Oleh karena itu, empati bukan hanya keterampilan emosional tetapi juga aset penting dalam kehidupan modern.


Catatan Kaki

[1]              Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 284.

[2]              Ibid., 286.

[3]              Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994), 94.

[4]              Daniel Batson, Altruism in Humans (New York: Oxford University Press, 2011), 78.

[5]              Nancy Eisenberg, “Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129 (2010): 71–80.

[6]              Ibid., 75.

[7]              Theresa Wiseman, “A Concept Analysis of Empathy,” Journal of Advanced Nursing 26, no. 6 (1997): 1162–67.

[8]              Simon Sinek, Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull Together and Others Don’t (New York: Penguin, 2014), 54.

[9]              Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.

[10]          Center for Creative Leadership, “Empathy in Leadership: Strengthening Relationships, Building Trust,” CCL White Paper Series, 2020.

[11]          Simon Sinek, Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull Together and Others Don’t (New York: Penguin, 2014), 67.

[12]          Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010), 55.

[13]          Mary Gordon, Roots of Empathy: Changing the World Child by Child (Toronto: Thomas Allen Publishers, 2005), 103.

[14]          Richard Davidson and Antoine Lutz, “Buddhist Meditation and the Neuroscience of Consciousness,” in The Cambridge Handbook of Consciousness, ed. Philip David Zelazo et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 484.

[15]          Ibid., 487.

[16]          Hazel Rose Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–53.

[17]          Ibid., 226.

[18]          Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.

[19]          Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.


11.       Studi Kasus

Studi kasus adalah pendekatan yang efektif untuk menggambarkan bagaimana empati dapat berdampak dalam berbagai situasi kehidupan nyata. Dalam bagian ini, dua contoh kasus disajikan untuk menunjukkan bagaimana empati memainkan peran penting dalam hubungan interpersonal, organisasi, dan penyelesaian konflik. Studi kasus ini berdasarkan penelitian dan peristiwa nyata yang menunjukkan relevansi empati dalam berbagai konteks.

11.1.    Studi Kasus: Empati dalam Kepemimpinan - Jacinda Ardern

Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, sering dipuji karena kepemimpinannya yang berempati, terutama setelah serangan teroris di Christchurch pada tahun 2019.¹ Dalam salah satu pidato pertamanya setelah insiden tersebut, Ardern menunjukkan empati yang mendalam kepada keluarga korban dan komunitas Muslim, dengan mengatakan, *“They are us.”*² Ardern mengenakan hijab sebagai bentuk solidaritas dan mendatangi komunitas Muslim untuk mendengarkan langsung pengalaman dan kebutuhan mereka.³

Pendekatan empatik Ardern tidak hanya membantu meringankan rasa sakit komunitas yang terkena dampak, tetapi juga mendorong solidaritas nasional dan pengakuan global terhadap Selandia Baru sebagai contoh kepemimpinan berbasis empati.⁴ Menurut penelitian oleh Harvard Business Review, gaya kepemimpinan seperti ini meningkatkan kepercayaan dan kolaborasi dalam situasi krisis.⁵

11.2.    Studi Kasus: Empati dalam Pendidikan - Program “Roots of Empathy”

Roots of Empathy adalah program pendidikan berbasis empati yang dimulai oleh Mary Gordon di Kanada pada tahun 1996. Program ini bertujuan untuk mengajarkan anak-anak memahami emosi orang lain melalui interaksi dengan bayi dan pengasuh mereka dalam lingkungan kelas.⁶

Selama satu semester, siswa mengamati perkembangan bayi, belajar mengenali emosi, dan berdiskusi tentang bagaimana cara mendukung orang lain dalam kehidupan sehari-hari.⁷ Penelitian menunjukkan bahwa program ini secara signifikan mengurangi perilaku agresif dan meningkatkan perilaku prososial seperti membantu dan berbagi.⁸

Sebuah studi di British Columbia menemukan bahwa siswa yang mengikuti Roots of Empathy menunjukkan peningkatan sebesar 38% dalam empati emosional dibandingkan dengan kelompok kontrol.⁹ Program ini telah diadopsi di lebih dari 20 negara, menunjukkan potensi besar empati dalam mengubah dinamika pendidikan.¹⁰

11.3.    Studi Kasus: Empati dalam Resolusi Konflik - Truth and Reconciliation Commission (TRC) di Afrika Selatan

Setelah apartheid berakhir, Afrika Selatan mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission, TRC) untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama rezim tersebut.¹¹ Dipimpin oleh Uskup Desmond Tutu, TRC menggunakan empati sebagai alat utama untuk rekonsiliasi.

Proses TRC melibatkan mendengarkan kesaksian dari para korban dan pelaku dalam suasana yang mendorong pengakuan, penyesalan, dan pengampunan.¹² Empati memungkinkan pelaku untuk memahami dampak dari tindakan mereka, sementara korban diberi kesempatan untuk menyuarakan rasa sakit mereka secara terbuka.¹³

Studi oleh Gibson dan Gouws menunjukkan bahwa TRC membantu menciptakan hubungan sosial yang lebih baik di Afrika Selatan, dengan 70% responden menyatakan bahwa proses tersebut meningkatkan pemahaman lintas kelompok etnis.¹⁴ Pendekatan berbasis empati ini menjadi model untuk penyelesaian konflik di berbagai negara.

11.4.    Studi Kasus: Empati dalam Perawatan Kesehatan - Cleveland Clinic

Cleveland Clinic adalah salah satu rumah sakit terbaik di Amerika Serikat yang menekankan pentingnya empati dalam perawatan pasien. Rumah sakit ini meluncurkan kampanye "Empathy: The Human Connection to Patient Care" untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya empati di antara tenaga medis.¹⁵

Kampanye ini melibatkan pelatihan bagi staf untuk lebih memahami kebutuhan emosional pasien dan keluarga mereka. Hasilnya, rumah sakit melihat peningkatan yang signifikan dalam kepuasan pasien dan pengurangan keluhan terkait layanan.¹⁶ Studi oleh Press Ganey menemukan bahwa rumah sakit dengan tingkat empati yang tinggi memiliki hasil klinis yang lebih baik dan tingkat retensi pasien yang lebih tinggi.¹⁷


Kesimpulan

Studi kasus ini menunjukkan bahwa empati memiliki dampak signifikan dalam berbagai konteks, termasuk kepemimpinan, pendidikan, resolusi konflik, dan perawatan kesehatan. Pendekatan berbasis empati tidak hanya membantu individu menghadapi tantangan emosional tetapi juga menciptakan hasil positif yang berkelanjutan bagi masyarakat.


Catatan Kaki

[1]              Eleanor Ainge Roy, “Jacinda Ardern Shows the World What Real Leadership Looks Like,” The Guardian, March 23, 2019.

[2]              Ibid.

[3]              Tess McClure, “How Jacinda Ardern Handled the Christchurch Shooting,” The New York Times, March 21, 2019.

[4]              Harvard Business Review, “Leadership Lessons from Jacinda Ardern,” HBR Online, April 2019.

[5]              Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.

[6]              Mary Gordon, Roots of Empathy: Changing the World Child by Child (Toronto: Thomas Allen Publishers, 2005), 44.

[7]              Ibid., 46.

[8]              Mary Gordon, “The Impact of Roots of Empathy on Aggression in Elementary School Children,” Child Development 80, no. 4 (2009): 1191–1205.

[9]              Ibid., 1197.

[10]          Ibid., 1203.

[11]          Desmond Tutu, No Future Without Forgiveness (New York: Doubleday, 1999), 98.

[12]          Ibid., 101.

[13]          Martha Minow, Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after Genocide and Mass Violence (Boston: Beacon Press, 1998), 78.

[14]          James Gibson and Amanda Gouws, “Truth and Reconciliation in South Africa: Attributions of Responsibility and Patterns of Forgiveness,” Human Rights Quarterly 24, no. 4 (2002): 881–903.

[15]          Cleveland Clinic, “Empathy: The Human Connection to Patient Care,” Cleveland Clinic Reports, 2013.

[16]          Ibid.

[17]          Press Ganey Associates, “The Role of Empathy in Patient Satisfaction,” Press Ganey Insights, 2017.


12.       Kesimpulan dan Rekomendasi

12.1.    Kesimpulan

Empati adalah keterampilan yang esensial dalam hubungan antarmanusia dan masyarakat secara luas. Sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain, empati memainkan peran penting dalam menciptakan harmoni sosial, memperkuat hubungan interpersonal, dan mendorong perilaku prososial.¹ Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, empati terbukti memiliki dimensi yang kompleks, melibatkan aspek kognitif, emosional, dan perilaku.²

Penelitian menunjukkan bahwa empati memiliki dampak positif yang signifikan dalam berbagai konteks, termasuk pendidikan, kepemimpinan, perawatan kesehatan, dan resolusi konflik.³ Misalnya, dalam dunia pendidikan, program seperti Roots of Empathy telah terbukti meningkatkan perilaku prososial siswa dan mengurangi agresi.⁴ Dalam kepemimpinan, pemimpin yang empatik, seperti Jacinda Ardern, telah menunjukkan kemampuan untuk membangun kepercayaan dan solidaritas dalam situasi krisis.⁵

Namun, terdapat berbagai hambatan yang menghalangi pengembangan empati, seperti bias sosial, penggunaan teknologi yang berlebihan, dan ketakutan akan kerentanan emosional.⁶ Oleh karena itu, perlu ada upaya kolektif untuk mempromosikan empati melalui pendidikan, pelatihan, dan kebijakan sosial.

12.2.    Rekomendasi

Untuk mengoptimalkan pengembangan dan penerapan empati dalam kehidupan sehari-hari, berikut adalah beberapa rekomendasi:

12.2.1. Pendidikan dan Pelatihan Empati

Empati harus diajarkan sejak dini melalui kurikulum pendidikan yang mendorong keterampilan sosial dan emosional.⁷ Program seperti Roots of Empathy dapat diadopsi di berbagai negara untuk meningkatkan pemahaman dan perilaku prososial di kalangan siswa. Selain itu, pelatihan empati juga perlu diberikan kepada tenaga kerja profesional, khususnya dalam bidang perawatan kesehatan, pendidikan, dan kepemimpinan.⁸

12.2.2. Penggunaan Teknologi secara Bijaksana

Teknologi harus digunakan untuk memperkuat, bukan mengurangi, kemampuan empati. Pengembangan aplikasi atau platform digital yang mempromosikan dialog lintas budaya dan pemahaman emosional dapat menjadi langkah penting.⁹ Di sisi lain, diperlukan upaya untuk mengurangi empathy fatigue akibat paparan media sosial yang berlebihan.¹⁰

12.2.3. Mengatasi Bias Sosial dan Stereotip

Meningkatkan kesadaran tentang bias dan stereotip melalui pelatihan berbasis keadilan sosial dapat membantu individu mengembangkan empati terhadap kelompok yang berbeda.¹¹ Program pelatihan yang berfokus pada pengurangan bias implisit, seperti yang dikembangkan oleh Patricia Devine, telah terbukti efektif dalam meningkatkan empati lintas kelompok.¹²

12.2.4. Peningkatan Kepemimpinan Berbasis Empati

Organisasi harus mendorong pemimpin untuk mengadopsi pendekatan yang lebih empatik. Ini dapat dilakukan melalui pelatihan kecerdasan emosional dan strategi komunikasi yang menekankan mendengarkan aktif dan pengambilan perspektif.¹³

12.2.5. Meditasi Berbasis Belas Kasih

Meditasi seperti Loving-Kindness Meditation (LKM) dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan empati emosional dan perilaku prososial.¹⁴ Penelitian oleh Richard Davidson menunjukkan bahwa meditasi ini memiliki dampak positif pada aktivitas otak yang terkait dengan empati.¹⁵

12.2.6. Promosi Nilai Empati dalam Masyarakat

Kampanye publik yang menekankan pentingnya empati dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif harus terus digalakkan.¹⁶ Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dapat bekerja sama untuk menyelenggarakan kegiatan sosial yang mempromosikan solidaritas dan pengertian lintas budaya.

12.3.    Kesimpulan Akhir

Empati bukan hanya sekadar keterampilan individu, tetapi juga elemen penting dalam membangun masyarakat yang adil, inklusif, dan harmonis. Dengan langkah-langkah yang strategis dan kolektif, empati dapat dikembangkan dan diterapkan untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua.


Catatan Kaki

[1]              Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.

[2]              Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994), 57.

[3]              Nancy Eisenberg, “Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129 (2010): 71–80.

[4]              Mary Gordon, Roots of Empathy: Changing the World Child by Child (Toronto: Thomas Allen Publishers, 2005), 44.

[5]              Eleanor Ainge Roy, “Jacinda Ardern Shows the World What Real Leadership Looks Like,” The Guardian, March 23, 2019.

[6]              Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 124.

[7]              Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010), 87.

[8]              Cleveland Clinic, “Empathy: The Human Connection to Patient Care,” Cleveland Clinic Reports, 2013.

[9]              Jean Twenge et al., “Social Media Use and Empathy,” Current Psychology 38, no. 2 (2019): 228–35.

[10]          Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 67.

[11]          Henri Tajfel and John Turner, “An Integrative Theory of Intergroup Conflict,” Social Psychology of Intergroup Relations (Monterey: Brooks/Cole, 1979), 33.

[12]          Patricia Devine et al., “Long-Term Reduction in Implicit Race Bias: A Prejudice Habit-Breaking Intervention,” Journal of Experimental Social Psychology 48, no. 6 (2012): 1267–78.

[13]          Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.

[14]          Sharon Salzberg, Lovingkindness: The Revolutionary Art of Happiness (Boston: Shambhala Publications, 1995), 68.

[15]          Richard Davidson and Antoine Lutz, “Buddhist Meditation and the Neuroscience of Consciousness,” in The Cambridge Handbook of Consciousness, ed. Philip David Zelazo et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 484.

[16]          Hazel Rose Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–53.


Daftar Pustaka


Buku:

·                     Baron-Cohen, S. (2011). The science of evil: On empathy and the origins of cruelty. New York: Basic Books.

·                     Batson, D. (2011). Altruism in humans. New York: Oxford University Press.

·                     Brown, B. (2012). Daring greatly: How the courage to be vulnerable transforms the way we live, love, parent, and lead. New York: Gotham Books.

·                     Davidson, R., & Lutz, A. (2007). Buddhist meditation and the neuroscience of consciousness. In P. D. Zelazo, M. Moscovitch, & E. Thompson (Eds.), The Cambridge handbook of consciousness (pp. 484-487). Cambridge: Cambridge University Press.

·                     Eisenberg, N. (2006). The development of prosocial behavior. In W. Damon & R. M. Lerner (Eds.), Handbook of child psychology (6th ed., Vol. 3, pp. 647–692). New York: Wiley.

·                     Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.

·                     Gordon, M. (2005). Roots of empathy: Changing the world child by child. Toronto: Thomas Allen Publishers.

·                     Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.

·                     Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224–253.

·                     Salzberg, S. (1995). Lovingkindness: The revolutionary art of happiness. Boston: Shambhala Publications.

·                     Schopenhauer, A. (1903). On the basis of morality (A. B. Bullock, Trans.). London: Swan Sonnenschein.

·                     Sinek, S. (2014). Leaders eat last: Why some teams pull together and others don’t. New York: Penguin.

·                     Tutu, D. (1999). No future without forgiveness. New York: Doubleday.

·                     Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. New York: Basic Books.

·                     Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. New York: Penguin Press.

Jurnal dan Artikel:

·                     Davis, M. H. (1983). Measuring individual differences in empathy. Journal of Personality and Social Psychology, 44(1), 113–126.

·                     Eisenberg, N. (2010). Empathy-related responding and prosocial behavior. New Directions for Child and Adolescent Development, 2010(129), 71–80.

·                     Gibson, J., & Gouws, A. (2002). Truth and reconciliation in South Africa: Attributions of responsibility and patterns of forgiveness. Human Rights Quarterly, 24(4), 881–903.

·                     Twenge, J. M., et al. (2019). Social media use and empathy. Current Psychology, 38(2), 228–235.

Artikel Online dan Laporan:

·                     Cleveland Clinic. (2013). Empathy: The human connection to patient care. Retrieved from https://clevelandclinic.org

·                     Harvard Business Review. (2017). Building compassion and resilience: The role of empathy in leadership. Retrieved from https://hbr.org

·                     Pew Research Center. (2018). The future of well-being in a tech-saturated world. Retrieved from https://www.pewresearch.org

Media dan Berita:

·                     Ainge Roy, E. (2019, March 23). Jacinda Ardern shows the world what real leadership looks like. The Guardian. Retrieved from https://www.theguardian.com

·                     McClure, T. (2019, March 21). How Jacinda Ardern handled the Christchurch shooting. The New York Times. Retrieved from https://www.nytimes.com


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar