Empati
1.
Pendahuluan
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan
merasakan apa yang dialami orang lain, baik secara emosional maupun kognitif.
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “empatheia”, yang berarti "masuk
ke dalam perasaan orang lain" (empathetic involvement). Dalam literatur
psikologi modern, empati sering didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
mengenali emosi dan perspektif orang lain, serta merespons secara emosional
atau praktis terhadapnya.¹ Empati memainkan peran penting dalam membangun
hubungan yang harmonis dan produktif di berbagai aspek kehidupan, baik dalam
keluarga, lingkungan kerja, maupun masyarakat luas.
Secara konseptual, empati dianggap sebagai landasan
dari interaksi sosial yang sehat. Psikolog Carl Rogers, salah satu tokoh
terkemuka dalam bidang psikologi humanistik, menggambarkan empati sebagai “kemampuan
untuk masuk ke dunia orang lain seolah-olah itu dunia Anda sendiri tanpa
kehilangan ‘seolah-olah’-nya”.² Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya
empati dalam memahami orang lain tanpa terjebak dalam emosi mereka, sehingga
memungkinkan seseorang untuk memberikan dukungan yang konstruktif.
Dalam konteks sosial, empati menjadi semakin
relevan di tengah tantangan dunia modern, seperti meningkatnya ketegangan
sosial, polarisasi politik, dan alienasi digital. Menurut laporan Pew
Research Center, media sosial dan teknologi sering kali menciptakan jarak
emosional yang menghambat kemampuan individu untuk benar-benar terhubung secara
empatik.³ Kondisi ini menuntut individu dan masyarakat untuk memperkuat
kemampuan empati sebagai bagian dari kecerdasan emosional.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyajikan
pembahasan mendalam tentang empati, termasuk pengertiannya, dimensi-dimensi
yang membentuknya, faktor-faktor yang memengaruhi, serta cara mengembangkan
empati dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mendasarkan pembahasan pada
literatur kredibel dari bidang psikologi, sosiologi, dan filsafat, artikel ini
diharapkan dapat menjadi panduan praktis dan teoritis bagi pembaca untuk
memahami serta mempraktikkan empati secara lebih efektif.
Catatan Kaki
[1]
Nancy Eisenberg, The Roots of Prosocial Behavior in Children (New
York: Cambridge University Press, 1989), 66.
[2]
Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy
(Boston: Houghton Mifflin, 1961), 284.
[3]
"The Future of Well-Being in a Tech-Saturated World," Pew
Research Center, April 2018, https://www.pewresearch.org.
2.
Pengertian
Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami
dan merasakan perasaan, pikiran, dan perspektif orang lain. Istilah ini berasal
dari bahasa Yunani empatheia, yang secara harfiah berarti "merasakan
dalam" atau "merasakan bersama".¹ Dalam kajian
psikologi modern, empati merujuk pada dua aspek utama, yaitu kemampuan kognitif
untuk memahami sudut pandang orang lain dan kemampuan emosional untuk berbagi
perasaan yang sama.²
Dari perspektif psikologi, empati sering
didefinisikan sebagai “kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi orang lain
serta merespons dengan cara yang sesuai.”³ Misalnya, seorang psikolog
terkenal, Martin Hoffman, dalam teorinya tentang empati moral, menjelaskan
bahwa empati adalah komponen utama dalam pembentukan perilaku prososial—yakni
tindakan yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain.⁴
Hoffman juga menekankan bahwa empati memiliki dasar evolusioner, yang
menjadikannya elemen penting dalam keberlangsungan hidup manusia melalui
hubungan sosial yang harmonis.
Dalam konteks sosial, empati sering dibedakan dari
simpati. Simpati adalah perasaan kasihan atau perhatian terhadap penderitaan
orang lain, sedangkan empati melibatkan kemampuan untuk "berdiri di
sepatu orang lain" dan memahami emosi mereka secara mendalam.⁵ Dengan
kata lain, simpati adalah respons yang lebih pasif, sedangkan empati mendorong
keterlibatan yang lebih aktif dan mendalam.
Para filsuf juga menawarkan perspektif penting
tentang empati. Emmanuel Levinas, seorang filsuf Prancis, memandang empati
sebagai fondasi etika interpersonal, di mana seseorang mengakui keberadaan dan
pengalaman orang lain sebagai sesuatu yang unik dan layak dihormati.⁶ Pandangan
ini menyoroti dimensi moral dari empati sebagai landasan hubungan manusia yang
adil dan bermakna.
Secara konseptual, empati juga melibatkan dimensi
perilaku. Paul Ekman, seorang ahli psikologi emosi, membagi empati ke dalam
tiga jenis:⁷
1)
Empati Kognitif, yakni
kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain.
2)
Empati Emosional, yaitu
kemampuan berbagi perasaan dengan orang lain.
3)
Empati Kompasioner, yaitu
motivasi untuk mengambil tindakan nyata dalam membantu orang lain.
Ketiga jenis ini menunjukkan bahwa empati bukan
hanya tentang memahami atau merasakan, tetapi juga tentang bertindak
berdasarkan pemahaman tersebut. Dengan demikian, empati adalah keterampilan
yang kompleks dan multidimensional, yang berperan penting dalam membentuk
hubungan antarmanusia yang sehat dan bermakna.
Catatan Kaki
[1]
Susan Lanzoni, Empathy: A History (New Haven: Yale University Press,
2018), 3.
[2]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 96.
[3]
Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder:
Westview Press, 1994), 19.
[4]
Martin L. Hoffman, Empathy and Moral Development: Implications for
Caring and Justice (New York: Cambridge University Press, 2000), 25.
[5]
Theresa Wiseman, “A Concept Analysis of Empathy,” Journal of Advanced
Nursing 26, no. 6 (1997): 1162–67.
[6]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 187.
[7]
Paul Ekman, Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feelings to
Improve Communication and Emotional Life (New York: Holt Paperbacks, 2007),
117.
3.
Dimensi-Dimensi
Empati
Empati adalah konsep yang kompleks dan
multidimensional, terdiri dari berbagai dimensi yang saling melengkapi untuk
menciptakan pemahaman yang utuh terhadap pengalaman orang lain. Para ahli
membagi empati menjadi tiga dimensi utama: kognitif, emosional, dan perilaku.¹
Setiap dimensi ini memainkan peran penting dalam membentuk kemampuan seseorang
untuk memahami, merasakan, dan merespons pengalaman orang lain.
3.1. Empati Kognitif
Empati kognitif merujuk pada kemampuan untuk
memahami perspektif dan pola pikir orang lain tanpa melibatkan respons
emosional secara langsung. Dimensi ini sering disebut sebagai kemampuan
perspektif-taking, yaitu mencoba “melihat dunia melalui mata orang lain.”²
Menurut Mark H. Davis dalam teorinya tentang empati, dimensi ini memungkinkan
seseorang untuk secara rasional memahami alasan di balik tindakan atau perasaan
orang lain.³ Misalnya, seorang guru yang menggunakan empati kognitif dapat
memahami alasan seorang siswa kesulitan belajar karena faktor eksternal seperti
masalah keluarga.
Dalam kajian neuroscience, empati kognitif terkait
dengan fungsi prefrontal cortex, yang bertanggung jawab atas kemampuan berpikir
abstrak dan pengambilan keputusan.⁴
3.2. Empati Emosional
Empati emosional adalah kemampuan untuk merasakan
emosi yang dialami orang lain. Dimensi ini melibatkan respons afektif yang
memungkinkan seseorang untuk berbagi perasaan dengan orang lain.⁵ Martin
Hoffman menyebut empati emosional sebagai dasar biologis dari perilaku
prososial karena manusia secara alami memiliki kemampuan untuk merasakan
penderitaan atau kebahagiaan orang lain melalui proses yang disebut emotional
contagion.⁶
Sebagai contoh, ketika seseorang melihat temannya
menangis, ia mungkin merasa sedih karena terhubung secara emosional. Empati
emosional memungkinkan individu untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain,
yang pada gilirannya dapat meningkatkan hubungan interpersonal.
3.3. Empati Perilaku
Dimensi terakhir, empati perilaku, melibatkan
tindakan nyata sebagai respons terhadap pemahaman dan perasaan empati terhadap
orang lain. Ini sering disebut sebagai compassionate empathy, yang
menekankan pada dorongan untuk membantu atau mendukung orang lain yang sedang
membutuhkan.⁷ Paul Ekman menjelaskan bahwa empati perilaku adalah puncak dari
proses empati karena mencakup tindakan yang nyata untuk memberikan solusi atas
permasalahan yang dihadapi orang lain.⁸
Sebagai contoh, ketika seorang dokter memahami dan
merasakan penderitaan pasiennya, ia tidak hanya berhenti pada pengertian atau
rasa iba, tetapi juga mengambil langkah-langkah medis yang diperlukan untuk
meringankan rasa sakit pasien tersebut.
Interaksi Antar Dimensi
Meskipun dimensi-dimensi ini berbeda, mereka saling
terkait dan sering kali bekerja secara simultan. Empati kognitif memungkinkan
seseorang untuk memahami perspektif orang lain, empati emosional menciptakan
koneksi afektif, dan empati perilaku memotivasi tindakan.¹⁰ Keselarasan antara
ketiga dimensi ini sangat penting dalam membangun hubungan yang harmonis dan
responsif.
Catatan Kaki
[1]
Daniel Batson, Altruism in Humans (New York: Oxford University
Press, 2011), 45.
[2]
Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder:
Westview Press, 1994), 56.
[3]
Mark H. Davis, “Measuring Individual Differences in Empathy,” Journal
of Personality and Social Psychology 44, no. 1 (1983): 113–26.
[4]
Jean Decety and Philip L. Jackson, “The Functional Architecture of Human
Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004):
71–100.
[5]
Nancy Eisenberg, “Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New
Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129 (2010):
71–80.
[6]
Martin L. Hoffman, Empathy and Moral Development: Implications for
Caring and Justice (New York: Cambridge University Press, 2000), 29.
[7]
Paul Ekman, Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feelings to
Improve Communication and Emotional Life (New York: Holt Paperbacks, 2007),
126.
[8]
Paul Ekman and Daniel Goleman, Compassionate Empathy (San
Francisco: Insight Press, 2013), 14.
[9]
Jean Decety, The Social Neuroscience of Empathy (Cambridge: MIT
Press, 2009), 117.
[10]
Theresa Wiseman, “A Concept Analysis of Empathy,” Journal of Advanced
Nursing 26, no. 6 (1997): 1162–67.
4.
Pentingnya
Empati dalam Kehidupan
Empati memainkan peran yang sangat penting dalam
berbagai aspek kehidupan manusia, baik secara personal maupun sosial. Sebagai
kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain, empati menjadi
fondasi hubungan antarmanusia yang sehat, harmonis, dan bermakna.¹ Pentingnya
empati dapat dilihat dalam beberapa konteks berikut:
4.1. Dalam Hubungan Interpersonal
Empati merupakan komponen utama dalam membangun
hubungan interpersonal yang sehat, baik dalam keluarga, persahabatan, maupun
hubungan romantis. Menurut John M. Gottman, seorang psikolog keluarga
terkemuka, empati membantu pasangan untuk saling memahami kebutuhan emosional
masing-masing, yang merupakan kunci keberhasilan dalam pernikahan.²
Selain itu, empati memungkinkan individu untuk
merespons secara konstruktif terhadap konflik. Dengan memahami perspektif orang
lain, seseorang dapat menghindari penilaian yang tergesa-gesa dan menciptakan
solusi yang lebih inklusif dan adil.³
4.2. Dalam Lingkungan Kerja
Empati memiliki dampak signifikan dalam menciptakan
lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Pemimpin yang memiliki empati mampu
membangun hubungan yang lebih baik dengan timnya, meningkatkan kepuasan kerja,
dan mendorong kolaborasi.⁴ Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional
Intelligence, menjelaskan bahwa empati adalah salah satu inti dari kecerdasan
emosional yang membuat seorang pemimpin lebih efektif.⁵
Penelitian oleh Center for Creative Leadership juga
menunjukkan bahwa pemimpin yang empatik lebih mampu memahami kebutuhan anggota
tim dan menciptakan solusi inovatif dalam menghadapi tantangan.⁶
4.3. Dalam Pendidikan
Empati memainkan peran penting dalam dunia
pendidikan, baik bagi guru maupun siswa. Guru yang menunjukkan empati terhadap
siswa dapat menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung
perkembangan emosional siswa.⁷ Penelitian oleh Gayle Jennings mengungkapkan
bahwa empati guru tidak hanya meningkatkan keterlibatan siswa tetapi juga
membantu membangun kepercayaan yang mendalam antara siswa dan pengajar.⁸
Di sisi lain, siswa yang diajarkan untuk berempati
akan lebih cenderung menunjukkan perilaku prososial, seperti membantu teman,
menghormati perbedaan, dan mengelola konflik secara efektif.
4.4. Dalam Kepemimpinan
Empati merupakan salah satu atribut utama
kepemimpinan yang sukses. Pemimpin yang empatik dapat memahami kebutuhan, aspirasi,
dan tantangan yang dihadapi oleh bawahannya.⁹ Hal ini memungkinkan mereka untuk
membuat keputusan yang lebih inklusif dan menciptakan lingkungan kerja yang
mendukung keberagaman.
Simon Sinek, seorang pemikir kepemimpinan modern,
menyatakan bahwa empati adalah kunci dalam membangun tim yang tangguh. Pemimpin
yang peduli terhadap kesejahteraan bawahannya mampu membangun kepercayaan, yang
pada akhirnya meningkatkan loyalitas dan kinerja.¹⁰
4.5. Dalam Kehidupan Sosial
Empati membantu masyarakat menciptakan hubungan
yang lebih harmonis di tengah keragaman budaya, agama, dan latar belakang.¹¹
Dengan memahami perspektif orang lain, seseorang dapat menghormati perbedaan
dan mengurangi potensi konflik.¹² Empati juga merupakan dasar dari
tindakan-tindakan kemanusiaan, seperti kegiatan sosial dan amal, yang bertujuan
untuk meringankan penderitaan orang lain.
4.6. Dalam Kesehatan Mental
Empati memberikan manfaat psikologis bagi individu
yang mengembangkannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang lebih empatik
cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih baik, tingkat stres yang lebih
rendah, dan kesejahteraan emosional yang lebih tinggi.¹³ Selain itu, empati
membantu individu menghindari isolasi sosial dengan menciptakan koneksi
emosional yang bermakna.
Catatan Kaki
[1]
Daniel Batson, Altruism in Humans (New York: Oxford University
Press, 2011), 78.
[2]
John M. Gottman, The Seven Principles for Making Marriage Work
(New York: Harmony Books, 1999), 32.
[3]
Theresa Wiseman, “A Concept Analysis of Empathy,” Journal of Advanced
Nursing 26, no. 6 (1997): 1162–67.
[4]
Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of
Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.
[5]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.
[6]
Center for Creative Leadership, “Empathy in Leadership: Strengthening
Relationships, Building Trust,” CCL White Paper Series, 2020.
[7]
Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder:
Westview Press, 1994), 94.
[8]
Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010),
55.
[9]
Simon Sinek, Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull Together and
Others Don’t (New York: Penguin, 2014), 67.
[10]
Simon Sinek, “Empathy: The Key to Leadership Success,” TED Talks,
2016.
[11]
Nancy Eisenberg, “Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New
Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129 (2010):
71–80.
[12]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 187.
[13]
Jean Decety and Philip L. Jackson, “The Functional Architecture of Human
Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004):
71–100.
5.
Teori
dan Penelitian Tentang Empati
Pembahasan tentang
empati tidak terlepas dari berbagai teori yang dikembangkan oleh para ahli di
bidang psikologi, filsafat, dan sosiologi. Selain itu, penelitian empiris terus memperkaya pemahaman tentang bagaimana
empati bekerja dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun sosial.
Bagian ini akan menguraikan beberapa teori utama dan temuan penelitian yang
relevan.
5.1. Teori Empati
5.1.1.
Teori Perkembangan Empati oleh Martin Hoffman
Martin Hoffman
adalah salah satu tokoh terkemuka dalam studi empati, khususnya dalam konteks
moralitas. Ia mengembangkan teori perkembangan empati yang menggambarkan
bagaimana kemampuan empati berkembang sejak masa bayi hingga dewasa. Hoffman
mengidentifikasi empat tahap perkembangan empati:¹
·
Empati global
(infancy): Bayi merespons secara emosional terhadap distress
orang lain tanpa memahami sumbernya.
·
Empati
egosentris: Anak kecil mulai memahami bahwa distress berasal
dari luar dirinya tetapi masih memproyeksikan perasaan tersebut berdasarkan
pengalaman pribadinya.
·
Empati
untuk perasaan orang lain: Anak-anak dapat membayangkan
perasaan orang lain secara lebih realistis dan memahami situasi dari perspektif
mereka.
·
Empati
berbasis prinsip: Pada tahap ini, individu dewasa memahami
empati dalam konteks nilai-nilai moral dan prinsip universal.
5.1.2.
Teori Perspektif-Taking oleh Mark H. Davis
Mark H. Davis
menekankan pentingnya perspective-taking (mengambil
perspektif orang lain) sebagai elemen utama dari empati. Perspektif ini
melibatkan proses kognitif yang memungkinkan seseorang untuk memahami pikiran, perasaan, dan motivasi
orang lain.² Ia mengembangkan Interpersonal Reactivity Index (IRI)
sebagai alat pengukur empati yang mencakup dimensi seperti empathetic
concern (kepedulian empatik) dan personal distress (distress
pribadi).³
5.1.3.
Neurosains Empati oleh Jean Decety
Dalam bidang
neurosains, Jean Decety mengajukan pendekatan berbasis otak untuk memahami
empati. Ia menyatakan bahwa empati melibatkan tiga komponen utama:⁴
1)
Kesadaran
afektif: Proses emosional yang mencerminkan resonansi dengan
orang lain.
2)
Regulasi
emosi: Kemampuan untuk mengatur respons emosional agar tetap
terkontrol.
3)
Perspektif
kognitif: Kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain
secara rasional.
Decety juga menemukan bahwa aktivitas di
area otak seperti anterior insula dan anterior
cingulate cortex sangat terkait dengan respons empati.⁵
5.1.4.
Empati dan Etika oleh Emmanuel Levinas
Emmanuel Levinas,
seorang filsuf eksistensialis, memandang empati sebagai inti dari etika
interpersonal. Ia menekankan pentingnya pengakuan terhadap “Wajah Orang Lain”
sebagai langkah pertama dalam membangun hubungan yang berbasis penghormatan dan
tanggung jawab.⁶ Menurut Levinas, empati bukan hanya soal memahami orang lain, tetapi juga tindakan
etis yang mengutamakan orang lain di atas kepentingan diri.
5.2. Penelitian Tentang Empati
5.2.1.
Penelitian Empati dan Perilaku Prososial
Penelitian oleh
Nancy Eisenberg menunjukkan bahwa empati merupakan prediktor utama perilaku
prososial, seperti membantu orang lain, berbagi, dan mendukung dalam situasi sulit.⁷ Eisenberg menemukan
bahwa individu yang memiliki tingkat empati tinggi cenderung lebih aktif dalam
kegiatan sosial dan relawan.⁸
5.2.2.
Empati dalam Konteks Budaya
Penelitian lintas
budaya yang dilakukan oleh Markus dan Kitayama mengungkapkan bahwa empati
memiliki variasi dalam manifestasinya tergantung
pada budaya. Di budaya kolektivis, empati lebih sering diwujudkan melalui
tindakan nyata, sementara di budaya individualis, empati cenderung berfokus
pada pengakuan emosional.⁹
5.2.3.
Pengaruh Teknologi Terhadap Empati
Penelitian oleh Pew
Research Center menemukan bahwa paparan media sosial secara berlebihan dapat
mengurangi kemampuan empati, terutama pada remaja.¹⁰ Interaksi digital sering
kali tidak memberikan konteks
emosional yang diperlukan untuk mengembangkan empati secara mendalam.¹¹
5.2.4.
Empati dan Kesehatan Mental
Studi oleh Jean
Decety dan Philip Jackson menunjukkan bahwa individu dengan gangguan seperti
psikopati atau gangguan spektrum autisme memiliki defisit dalam komponen empati
tertentu, baik secara kognitif
maupun emosional.¹² Penemuan ini membantu memahami peran empati dalam kesehatan
mental dan intervensi terapeutik.
5.3. Relevansi Teori dan Penelitian
Berbagai teori dan
penelitian ini menunjukkan bahwa empati bukan hanya fenomena psikologis atau
emosional tetapi juga fenomena sosial dan neurologis. Pemahaman tentang empati
yang didasarkan pada teori dan data empiris dapat membantu menciptakan strategi
untuk meningkatkan empati dalam kehidupan pribadi, pendidikan, dan masyarakat
luas.
Catatan Kaki
[1]
Martin L. Hoffman, Empathy
and Moral Development: Implications for Caring and Justice (New
York: Cambridge University Press, 2000), 45–48.
[2]
Mark H. Davis, Empathy:
A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994),
57.
[3]
Mark H. Davis, “Measuring
Individual Differences in Empathy,” Journal of Personality and Social Psychology
44, no. 1 (1983): 113–26.
[4]
Jean Decety, “The
Functional Architecture of Human Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews
3, no. 2 (2004): 71–100.
[5]
Jean Decety and Tania
Singer, “The Neural Basis of Empathy,” Nature Reviews Neuroscience 8, no.
1 (2006): 55–66.
[6]
Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194.
[7]
Nancy Eisenberg,
“Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New
Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129
(2010): 71–80.
[8]
Nancy Eisenberg et al.,
“The Development of Prosocial Behavior,” Handbook of Child Psychology (New
York: Wiley, 2006), 647.
[9]
Hazel Rose Markus and
Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion,
and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2
(1991): 224–53.
[10]
“The Future of Well-Being
in a Tech-Saturated World,” Pew Research Center, April 2018, https://www.pewresearch.org.
[11]
Sherry Turkle, Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin
Press, 2015), 89–91.
[12]
Jean Decety and Philip L.
Jackson, “The Functional Architecture of Human Empathy,” Behavioral
and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004): 85–87.
6.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Empati
Empati, sebagai
kemampuan kompleks untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain, dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Faktor-faktor ini mencakup aspek biologis, psikologis, sosial, dan budaya yang
saling berinteraksi dalam membentuk kemampuan empati seseorang.¹
6.1.
Faktor Biologis
6.1.1.
Genetik
Empati memiliki
dasar biologis yang terkait dengan genetik. Penelitian menunjukkan bahwa variasi dalam gen tertentu, seperti gen oxytocin
receptor (OXTR), memengaruhi kemampuan empati seseorang.² Oxytocin,
yang sering disebut sebagai “hormon cinta,” diketahui berperan dalam
meningkatkan hubungan sosial dan perilaku prososial.³
6.1.2.
Struktur dan Fungsi Otak
Neurosains
menunjukkan bahwa empati melibatkan aktivitas di area otak tertentu, seperti anterior
insula, anterior cingulate cortex, dan mirror
neuron system.⁴ Mirror neurons memungkinkan
seseorang untuk “merasakan” apa yang dirasakan orang lain dengan cara yang
hampir otomatis, misalnya ketika melihat orang lain tersenyum atau menangis.⁵
Kerusakan pada area otak ini dapat mengurangi kemampuan empati, seperti yang terlihat pada individu dengan
gangguan spektrum autisme atau psikopati.⁶
6.2.
Faktor Psikologis
6.2.1.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional
(emotional intelligence) merupakan kemampuan untuk mengenali dan mengelola
emosi diri sendiri dan orang lain. Menurut Daniel Goleman, empati adalah salah satu dari lima komponen
utama kecerdasan emosional, dan individu dengan kecerdasan emosional yang
tinggi cenderung memiliki kemampuan empati yang lebih baik.⁷
6.2.2.
Pengalaman Hidup
Pengalaman hidup,
termasuk trauma, kehilangan, atau hubungan yang mendalam, dapat memengaruhi
tingkat empati seseorang. Penelitian oleh Eisenberg menunjukkan bahwa individu yang pernah mengalami
penderitaan cenderung lebih mampu memahami dan merasakan kesulitan orang lain.⁸
Sebaliknya, pengalaman yang membentuk kepribadian narsistik atau defensif dapat
mengurangi empati.⁹
6.3.
Faktor Sosial
6.3.1.
Pola Asuh
Cara seseorang
dibesarkan memiliki dampak signifikan pada perkembangan empati. Pola asuh yang penuh perhatian dan kasih sayang
cenderung meningkatkan kemampuan empati anak.¹⁰ Sebaliknya, pola asuh yang
keras atau pengabaian dapat menghambat perkembangan empati.¹¹
6.3.2.
Lingkungan Sosial
Interaksi dalam
kelompok sosial juga memengaruhi empati. Menurut teori kelompok sosial (social identity theory), seseorang lebih mungkin
menunjukkan empati terhadap individu yang dianggap “dalam kelompok” (in-group)
dibandingkan dengan yang dianggap “luar kelompok” (out-group).¹² Hal ini dapat
menjadi kendala dalam hubungan antarbudaya atau antaragama.
6.4.
Faktor Budaya
6.4.1.
Nilai Budaya
Budaya kolektivis,
seperti yang ada di Asia, cenderung menekankan empati melalui tindakan nyata yang mendukung keharmonisan kelompok.
Sebaliknya, budaya individualis, seperti di Barat, lebih fokus pada empati yang
berbasis pengakuan emosional.¹³
6.4.2.
Perbedaan Norma Sosial
Norma sosial dalam
budaya yang berbeda memengaruhi cara empati diekspresikan. Misalnya, di
beberapa budaya, menunjukkan emosi secara terbuka dianggap tidak pantas, sehingga empati lebih sering
disampaikan melalui tindakan daripada kata-kata.¹⁴
6.5.
Faktor Lingkungan
6.5.1.
Pengaruh Media
Media, terutama
media sosial, memiliki dampak besar terhadap empati. Penelitian menunjukkan bahwa paparan berlebihan
terhadap media sosial dapat menyebabkan empathy fatigue, yaitu penurunan
kemampuan empati karena terlalu sering terpapar konten emosional.¹⁵
6.5.2.
Pendidikan
Pendidikan yang
mendorong pengembangan keterampilan sosial dan kecerdasan emosional dapat
meningkatkan empati. Program seperti pembelajaran berbasis pengalaman
(experiential learning) dan pengajaran nilai-nilai moral telah terbukti efektif dalam mengembangkan empati di
kalangan siswa.¹⁶
6.6.
Faktor Gender
Penelitian
menunjukkan adanya perbedaan gender dalam empati. Wanita, secara umum,
cenderung memiliki kemampuan empati emosional yang lebih tinggi dibandingkan
pria, meskipun pria juga dapat menunjukkan empati yang kuat dalam konteks
tertentu.¹⁷ Perbedaan ini sebagian besar dipengaruhi oleh norma sosial dan
ekspektasi gender.¹⁸
Kesimpulan
Faktor-faktor yang
memengaruhi empati mencakup berbagai dimensi yang saling berkaitan. Pemahaman
tentang faktor-faktor ini dapat membantu individu dan masyarakat menciptakan
lingkungan yang mendukung pengembangan
empati, baik melalui pendidikan, pola asuh, maupun kebijakan sosial.
Catatan Kaki
[1]
Daniel Batson, Altruism
in Humans (New York: Oxford University Press, 2011), 47.
[2]
Jennifer L. Poulin et al.,
“Oxytocin and Empathy: Evidence for a Bi-Directional Association,” Psychological
Science 23, no. 5 (2012): 552–58.
[3]
Paul Zak, The
Moral Molecule: The Source of Love and Prosperity (New York:
Dutton, 2012), 78.
[4]
Jean Decety and Tania
Singer, “The Neural Basis of Empathy,” Nature Reviews Neuroscience 8, no.
1 (2006): 55–66.
[5]
Marco Iacoboni, Mirroring
People: The Science of Empathy and How We Connect with Others (New
York: Farrar, Straus, and Giroux, 2008), 65.
[6]
Simon Baron-Cohen, The
Science of Evil: On Empathy and the Origins of Cruelty (New York:
Basic Books, 2011), 91.
[7]
Daniel Goleman, Emotional
Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam
Books, 1995), 97.
[8]
Nancy Eisenberg et al.,
“The Development of Prosocial Behavior,” Handbook of Child Psychology (New
York: Wiley, 2006), 647.
[9]
Mark H. Davis, Empathy:
A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994),
113.
[10]
Martin Hoffman, Empathy
and Moral Development: Implications for Caring and Justice (New
York: Cambridge University Press, 2000), 83.
[11]
Bruce J. Ellis and David F.
Bjorklund, “Origins of Individual Differences in Empathy,” Developmental
Review 25, no. 4 (2005): 457–90.
[12]
Henri Tajfel and John
Turner, “An Integrative Theory of Intergroup Conflict,” Social
Psychology of Intergroup Relations (Monterey: Brooks/Cole, 1979),
33.
[13]
Hazel Rose Markus and
Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion,
and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2
(1991): 224–53.
[14]
Shalom Schwartz,
“Universals in the Content and Structure of Values: Theoretical Advances and
Empirical Tests in 20 Countries,” Advances in Experimental Social Psychology
25 (1992): 1–65.
[15]
Sherry Turkle, Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin
Press, 2015), 124.
[16]
Gayle Jennings, Empathy
in Education (London: Routledge, 2010), 103.
[17]
Judith A. Hall, Deborah L.
Roter, and Cynthia S. Rand, Communication of Caring: Gender Differences in
Emotional Empathy (New York: Cambridge University Press, 1996), 67.
[18]
Michael E. Lamb, Fatherhood
and Social Policy (New York: Routledge, 2010), 121.
7.
Cara
Mengembangkan Empati
Empati adalah keterampilan yang dapat dikembangkan
melalui latihan dan pengalaman. Banyak penelitian dan panduan praktik
menunjukkan bahwa empati tidak hanya bergantung pada predisposisi biologis,
tetapi juga pada pembelajaran dan eksposur terhadap situasi yang memupuk
kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain. Berikut adalah
beberapa cara untuk mengembangkan empati yang didasarkan pada penelitian dan
praktik terbaik:
7.1.
Latihan Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Empati dimulai dari kesadaran diri, yaitu kemampuan
untuk mengenali dan memahami emosi, nilai, dan bias pribadi. Dengan memahami
diri sendiri, seseorang dapat lebih objektif dalam melihat perspektif orang
lain.¹ Daniel Goleman menekankan bahwa kesadaran diri adalah salah satu
komponen utama kecerdasan emosional yang membantu seseorang mengembangkan
empati.² Latihan seperti journaling, meditasi, atau refleksi diri dapat
membantu meningkatkan kesadaran ini.³
7.2.
Mendengarkan Secara Aktif
Mendengarkan secara aktif berarti memberikan
perhatian penuh kepada pembicara tanpa menghakimi atau memotong pembicaraan.
Menurut Carl Rogers, seorang tokoh psikologi humanistik, mendengarkan dengan
empati menciptakan rasa dihargai pada lawan bicara dan memperkuat hubungan
interpersonal.⁴
Beberapa teknik mendengarkan aktif meliputi:⁵
·
Menghindari gangguan (misalnya, mematikan ponsel).
·
Mengajukan pertanyaan terbuka untuk klarifikasi.
·
Mencerminkan kembali apa yang didengar untuk menunjukkan pemahaman.
7.3.
Melatih Perspektif Berbeda
Mengambil perspektif orang lain adalah salah satu
komponen utama empati. Hal ini dapat dilatih dengan mencoba memahami bagaimana
seseorang melihat suatu situasi dari sudut pandang mereka.⁶
Misalnya, membaca literatur atau menonton film yang
menggambarkan pengalaman hidup orang-orang dari latar belakang yang berbeda
dapat membantu mengembangkan perspektif ini. Penelitian menunjukkan bahwa
aktivitas ini meningkatkan kemampuan kognitif untuk memahami pengalaman
emosional orang lain.⁷
7.4.
Mengembangkan Keterampilan Komunikasi Nonverbal
Empati sering kali melibatkan pengenalan ekspresi
nonverbal, seperti bahasa tubuh, nada suara, atau ekspresi wajah.⁸ Menurut Paul
Ekman, kemampuan untuk mengenali emosi melalui ekspresi wajah sangat penting
dalam memahami perasaan orang lain.⁹ Latihan untuk meningkatkan keterampilan
ini mencakup observasi langsung atau pelatihan pengenalan mikro-ekspresi.
7.5.
Berlatih Kebaikan dan Tindakan Prososial
Tindakan nyata seperti membantu orang lain tanpa
pamrih dapat memperkuat empati. Penelitian menunjukkan bahwa melakukan tindakan
prososial, seperti kegiatan sukarela atau membantu orang yang membutuhkan,
meningkatkan koneksi emosional dengan orang lain.¹⁰
Misalnya, program pendidikan seperti Roots of
Empathy yang melibatkan siswa dalam kegiatan interaktif dengan komunitas,
terbukti meningkatkan kemampuan empati pada anak-anak.¹¹
7.6.
Mempraktikkan Meditasi Berbasis Belas Kasih
(Compassion Meditation)
Meditasi berbasis belas kasih, seperti Loving-Kindness
Meditation (LKM), dapat meningkatkan empati dan perilaku prososial.¹²
Penelitian oleh Richard Davidson menunjukkan bahwa meditasi ini secara langsung
memengaruhi aktivitas di otak yang terkait dengan empati, seperti insula
dan anterior cingulate cortex.¹³
7.7.
Menghadapi Bias dan Prasangka
Empati sering kali terhambat oleh bias dan
stereotip terhadap kelompok tertentu. Mengembangkan kesadaran akan bias dan
secara aktif menghadapi prasangka ini dapat meningkatkan empati.¹⁴ Salah satu
metode yang efektif adalah pelatihan berbasis keadilan sosial yang mendorong
individu untuk mengidentifikasi dan mengurangi bias implisit.¹⁵
7.8.
Belajar dari Pengalaman Orang Lain
Mendengar kisah nyata tentang perjuangan atau
pengalaman hidup orang lain dapat memperluas pemahaman empati.¹⁶ Misalnya,
partisipasi dalam kelompok diskusi antarbudaya atau sesi berbagi cerita sering
kali membantu individu memahami perspektif yang berbeda.
7.9.
Pendidikan dan Pelatihan Empati
Program pendidikan formal yang dirancang untuk
meningkatkan empati, seperti pelatihan komunikasi antarpribadi atau program
kecerdasan emosional, terbukti efektif.¹⁷ Beberapa sekolah telah
mengintegrasikan empati dalam kurikulum mereka untuk mengajarkan siswa
pentingnya memahami dan menghargai orang lain.¹⁸
Kesimpulan
Mengembangkan empati adalah proses yang membutuhkan
kesadaran, latihan, dan dedikasi. Dengan mengintegrasikan strategi ini ke dalam
kehidupan sehari-hari, individu dapat meningkatkan kemampuan empati mereka,
yang pada akhirnya akan memperkuat hubungan interpersonal dan memberikan
kontribusi positif kepada masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 94.
[2]
Ibid., 96.
[3]
Thich Nhat Hanh, Peace Is Every Step: The Path of Mindfulness in
Everyday Life (New York: Bantam Books, 1991), 42.
[4]
Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of
Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 284.
[5]
Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder:
Westview Press, 1994), 57.
[6]
Jean Decety and Philip L. Jackson, “The Functional Architecture of Human
Empathy,” Behavioral and Cognitive Neuroscience Reviews 3, no. 2 (2004):
71–100.
[7]
Raymond A. Mar et al., “Bookworms Versus Nerds: Exposure to Fiction
Versus Non-Fiction, Divergent Associations with Social Ability, and the
Simulation of Fictional Social Worlds,” Journal of Research in Personality
40, no. 5 (2006): 694–712.
[8]
Paul Ekman, Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feelings to
Improve Communication and Emotional Life (New York: Holt Paperbacks, 2007),
117.
[9]
Ibid., 126.
[10]
Nancy Eisenberg et al., “The Development of Prosocial Behavior,” Handbook
of Child Psychology (New York: Wiley, 2006), 647.
[11]
Mary Gordon, Roots of Empathy: Changing the World Child by Child
(Toronto: Thomas Allen Publishers, 2005), 44.
[12]
Sharon Salzberg, Lovingkindness: The Revolutionary Art of Happiness
(Boston: Shambhala Publications, 1995), 68.
[13]
Richard Davidson and Antoine Lutz, “Buddhist Meditation and the
Neuroscience of Consciousness,” in The Cambridge Handbook of Consciousness,
ed. Philip David Zelazo et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 2007),
484.
[14]
Henri Tajfel and John Turner, “An Integrative Theory of Intergroup
Conflict,” Social Psychology of Intergroup Relations (Monterey:
Brooks/Cole, 1979), 33.
[15]
Patricia G. Devine et al., “Long-Term Reduction in Implicit Race Bias: A
Prejudice Habit-Breaking Intervention,” Journal of Experimental Social
Psychology 48, no. 6 (2012): 1267–78.
[16]
Brené Brown, Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable
Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead (New York: Gotham Books,
2012), 54.
[17]
Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of
Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.
[18]
Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010),
103.
8.
Hambatan
Empati
Meskipun empati adalah keterampilan yang sangat
penting dalam hubungan antarmanusia, ada berbagai hambatan yang dapat
menghalangi seseorang untuk mengembangkan dan mengekspresikannya.
Hambatan-hambatan ini dapat berasal dari faktor internal seperti kondisi
psikologis dan neurologis, maupun faktor eksternal seperti pengaruh lingkungan
sosial dan budaya.¹ Berikut adalah beberapa hambatan utama yang menghalangi
kemampuan empati.
8.1.
Pengaruh Teknologi dan Media Sosial
Kemajuan teknologi dan penggunaan media sosial yang
semakin masif telah memberikan dampak signifikan pada interaksi sosial manusia.
Media sosial sering kali menciptakan empathy fatigue—kondisi di mana
seseorang merasa kewalahan dengan paparan berulang terhadap penderitaan orang
lain di dunia maya.² Selain itu, komunikasi digital yang kurang melibatkan
ekspresi wajah dan bahasa tubuh mengurangi konteks emosional yang diperlukan
untuk membangun empati.³
Menurut Sherry Turkle, media sosial sering mengarah
pada hubungan yang dangkal, di mana individu lebih fokus pada “tampilan diri”
daripada benar-benar memahami pengalaman emosional orang lain.⁴
8.2.
Bias dan Stereotip Sosial
Bias dan stereotip sosial adalah hambatan
signifikan dalam menumbuhkan empati, terutama terhadap kelompok yang dianggap
berbeda. Henri Tajfel dalam teori identitas sosialnya menjelaskan bahwa orang
cenderung menunjukkan empati yang lebih besar kepada anggota kelompok mereka
sendiri (in-group) dibandingkan dengan anggota kelompok lain (out-group).⁵
Bias ini dapat diperparah oleh prasangka yang
mendalam terhadap kelompok tertentu berdasarkan faktor seperti agama, ras, atau
orientasi politik. Hal ini membuat individu sulit untuk memahami dan menerima
perspektif orang lain.⁶
8.3.
Gangguan Psikologis
Beberapa gangguan psikologis dapat secara langsung
memengaruhi kemampuan empati seseorang. Psikopati, misalnya, ditandai dengan
kurangnya empati emosional meskipun kemampuan empati kognitif dapat tetap
berfungsi.⁷ Individu dengan gangguan spektrum autisme sering kali memiliki
kesulitan dalam mengambil perspektif orang lain, yang memengaruhi dimensi
empati kognitif mereka.⁸
Penelitian oleh Simon Baron-Cohen menunjukkan bahwa
kondisi-kondisi ini terkait dengan defisit dalam sistem saraf yang mendukung
empati, seperti aktivitas mirror neurons.⁹
8.4.
Ketakutan Akan Kerentanan
Empati sering kali melibatkan kerentanan emosional,
karena seseorang harus membuka diri untuk merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Namun, banyak individu takut terlihat lemah atau tidak mampu
mengelola emosi mereka sendiri, sehingga mereka memilih untuk menghindari
keterlibatan empatik.¹⁰ Brené Brown menjelaskan bahwa ketakutan akan kerentanan
ini sering kali berakar pada rasa malu dan kurangnya kepercayaan diri.¹¹
8.5.
Stres dan Kelelahan Emosional
Stres kronis dan kelelahan emosional dapat
mengurangi kapasitas seseorang untuk menunjukkan empati.¹² Dalam konteks
pekerjaan, seperti pada profesi kesehatan atau bantuan kemanusiaan, kondisi ini
dikenal sebagai compassion fatigue—di mana paparan terus-menerus
terhadap penderitaan orang lain mengurangi kemampuan individu untuk merespons
dengan empati.¹³
Menurut penelitian oleh Figley, compassion
fatigue adalah bentuk burnout yang unik, yang sering kali dialami oleh
mereka yang bekerja dalam bidang yang melibatkan tingkat emosi yang tinggi.¹⁴
8.6.
Kurangnya Pendidikan dan Pengalaman
Empati tidak berkembang secara alami pada semua
individu. Kurangnya pendidikan atau eksposur terhadap berbagai latar belakang
sosial, budaya, dan pengalaman hidup dapat menjadi hambatan signifikan.¹⁵
Individu yang tidak pernah diajarkan untuk memahami perasaan orang lain atau
yang tumbuh dalam lingkungan yang menekankan individualisme ekstrem sering kali
memiliki kapasitas empati yang rendah.¹⁶
8.7.
Tekanan Sosial dan Budaya
Budaya yang menekankan persaingan dan
individualisme dapat mengurangi kecenderungan empatik.¹⁷ Di banyak masyarakat
modern, keberhasilan sering kali diukur berdasarkan pencapaian pribadi, bukan
hubungan sosial, yang mengarah pada pengabaian terhadap kebutuhan orang lain.¹⁸
Norma gender juga dapat memengaruhi empati.
Misalnya, di beberapa budaya, pria mungkin enggan menunjukkan empati karena hal
itu dianggap sebagai tanda kelemahan.¹⁹
Kesimpulan
Hambatan-hambatan empati ini menunjukkan bahwa
kemampuan empati tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu tetapi juga oleh
lingkungan sosial dan budaya. Dengan mengenali hambatan ini, individu dan
masyarakat dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi atau
meminimalkannya, seperti melalui pendidikan, terapi, atau perubahan dalam
struktur sosial yang mendukung pengembangan empati.
Catatan Kaki
[1]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.
[2]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a
Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 123.
[3]
Jean Twenge et al., “Social Media Use and Empathy,” Current
Psychology 38, no. 2 (2019): 228–35.
[4]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and
Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 67.
[5]
Henri Tajfel and John Turner, “An Integrative Theory of Intergroup
Conflict,” Social Psychology of Intergroup Relations (Monterey:
Brooks/Cole, 1979), 33.
[6]
Patricia Devine, “Stereotypes and Prejudice: Their Automatic and
Controlled Components,” Journal of Personality and Social Psychology 56,
no. 1 (1989): 5–18.
[7]
Simon Baron-Cohen, The Science of Evil: On Empathy and the Origins of
Cruelty (New York: Basic Books, 2011), 91.
[8]
Ibid., 87.
[9]
Marco Iacoboni, Mirroring People: The Science of Empathy and How We
Connect with Others (New York: Farrar, Straus, and Giroux, 2008), 65.
[10]
Brené Brown, Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable
Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead (New York: Gotham Books,
2012), 54.
[11]
Ibid., 58.
[12]
Charles R. Figley, Compassion Fatigue: Coping with Secondary
Traumatic Stress Disorder in Those Who Treat the Traumatized (New York:
Routledge, 1995), 23.
[13]
Ibid., 29.
[14]
Ibid., 35.
[15]
Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010),
87.
[16]
Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of
Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.
[17]
Hazel Rose Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self:
Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review
98, no. 2 (1991): 224–53.
[18]
Shalom Schwartz, “Universals in the Content and Structure of Values:
Theoretical Advances and Empirical Tests in 20 Countries,” Advances in
Experimental Social Psychology 25 (1992): 1–65.
[19]
Judith A. Hall, Deborah L. Roter, and Cynthia S. Rand, Communication
of Caring: Gender Differences in Emotional Empathy (New York: Cambridge
University Press, 1996), 67.
9.
Empati
dalam Perspektif Agama dan Filsafat
Empati adalah konsep
universal yang telah menjadi inti dari berbagai tradisi agama dan filsafat.
Sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain, empati
sering kali dianggap sebagai fondasi moral yang mengarahkan manusia untuk hidup dalam harmoni dengan
sesamanya.¹ Berikut ini adalah pembahasan empati dalam perspektif agama-agama
besar dan pemikiran filsafat.
9.1.
Empati dalam Perspektif Agama
9.1.1.
Islam
Dalam Islam, empati
merupakan nilai moral yang dianjurkan untuk menciptakan masyarakat yang penuh
kasih sayang. Al-Qur'an menekankan pentingnya memahami dan membantu sesama,
terutama mereka yang membutuhkan. Misalnya, dalam QS. Al-Ma'un [107] ayat 1-3,
Allah mencela mereka yang tidak peduli terhadap anak yatim dan fakir miskin.²
Rasulullah Muhammad Saw
juga memberikan teladan dalam menunjukkan empati. Dalam sebuah hadis, beliau
bersabda, *“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sampai ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”*³ Hadis ini
menekankan pentingnya merasakan
apa yang dirasakan orang lain sebagai wujud iman yang sempurna.
9.1.2.
b. Kristen
Empati merupakan
inti ajaran Kristen yang terkandung dalam prinsip kasih (agape).
Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru mengajarkan, *“Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri.”*⁴
(Matius 22:39). Ajaran ini menunjukkan bahwa empati adalah bagian dari perintah
kasih yang menuntun umat
untuk memahami dan membantu sesama tanpa syarat.
Kisah-kisah seperti Perumpamaan
Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25-37) juga menjadi contoh
konkret bagaimana empati diwujudkan melalui tindakan nyata.
9.1.3.
Hindu dan Buddha
Dalam Hindu dan
Buddha, empati terkait erat dengan prinsip ahimsa (tidak menyakiti) dan karuna
(belas kasih). Dalam ajaran Buddha, empati diwujudkan melalui compassion
meditation yang bertujuan untuk mengembangkan cinta kasih universal
terhadap semua makhluk.⁵
Dalai Lama
menegaskan bahwa empati adalah inti dari kehidupan spiritual, dengan mengatakan, *“Our prime purpose in this
life is to help others. And if you can’t help them, at least don’t hurt them.”*⁶
9.1.4.
Yahudi
Dalam tradisi
Yahudi, empati adalah prinsip yang mendasari Tikkun Olam (memperbaiki dunia).
Taurat memerintahkan, *“Cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”*⁷
(Imamat 19:18). Prinsip ini mengarahkan umat untuk berempati dengan penderitaan orang lain dan mengambil
tindakan untuk meringankan beban mereka.
9.2.
Empati dalam Perspektif Filsafat
9.2.1.
Emmanuel Levinas: Wajah Orang
Lain
Filsuf
eksistensialis Emmanuel Levinas memandang empati sebagai inti dari etika
interpersonal. Ia menekankan bahwa kehadiran "Wajah Orang Lain"
adalah panggilan etis untuk bertanggung jawab.⁸ Dalam filsafatnya, empati bukan
hanya tentang memahami orang lain, tetapi juga mengakui hak-hak mereka dan
mendahulukan kebutuhan mereka daripada kepentingan diri sendiri.⁹
9.2.2.
Adam Smith: Simpati sebagai Dasar Moral
Dalam karyanya The
Theory of Moral Sentiments, Adam Smith menjelaskan bahwa
simpati—yang mirip dengan empati—adalah fondasi moral manusia.¹⁰ Ia percaya
bahwa manusia secara alami memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, yang kemudian
menjadi dasar dari tindakan moral.
9.2.3.
Arthur Schopenhauer: Belas Kasih Sebagai Etika
Universal
Arthur Schopenhauer
menempatkan belas kasih (compassion) sebagai inti dari etika
universal. Ia berpendapat bahwa hanya melalui belas kasih seseorang dapat
melampaui egoisme dan hidup selaras dengan orang lain.¹¹ Dalam pandangan ini,
empati menjadi sarana untuk memahami penderitaan orang lain dan bertindak untuk
menguranginya.
9.2.4.
Martin Buber: Relasi “Aku-Engkau”
Martin Buber, dalam
konsep relasi "Aku-Engkau," menekankan pentingnya empati dalam
membangun hubungan yang mendalam.¹² Menurutnya, hubungan yang sejati hanya dapat terjadi ketika
seseorang melihat orang lain sebagai subjek yang unik, bukan sebagai objek.
Empati adalah kunci untuk mencapai hubungan ini.
9.3.
Konvergensi Agama dan Filsafat
Meskipun berasal
dari latar belakang yang berbeda, agama dan filsafat menunjukkan kesamaan dalam
menempatkan empati sebagai elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat. Agama
menekankan nilai-nilai spiritual dan tindakan nyata, sementara filsafat
memberikan kerangka rasional untuk
memahami empati sebagai prinsip moral universal.
Kesimpulan
Empati dalam
perspektif agama dan filsafat menunjukkan bahwa kemampuan untuk merasakan dan
memahami pengalaman orang lain adalah inti dari kehidupan yang bermoral dan
bermakna. Nilai-nilai ini tidak hanya mendorong individu untuk bertindak demi
kebaikan sesama, tetapi juga menciptakan harmoni sosial dan kesejahteraan
bersama.
Catatan Kaki
[1]
Daniel Goleman, Emotional
Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam
Books, 1995), 97.
[2]
QS. Al-Ma’un [107]: 1-3.
[3]
HR. Bukhari, No. 13; HR.
Muslim, No. 45.
[4]
Perjanjian Baru, Matius
22:39.
[5]
Sharon Salzberg, Lovingkindness:
The Revolutionary Art of Happiness (Boston: Shambhala Publications,
1995), 68.
[6]
Dalai Lama, The Art
of Happiness (New York: Riverhead Books, 1998), 54.
[7]
Taurat, Imamat 19:18.
[8]
Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194.
[9]
Ibid., 196.
[10]
Adam Smith, The
Theory of Moral Sentiments (London: A. Millar, 1759), 23.
[11]
Arthur Schopenhauer, On the
Basis of Morality (London: Swan Sonnenschein, 1903), 86.
[12]
Martin Buber, I and
Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Scribner, 1970), 55.
10. Manfaat Empati
Empati adalah keterampilan penting yang memiliki
dampak luas dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sebagai kemampuan untuk
memahami dan merasakan perasaan orang lain, empati tidak hanya bermanfaat dalam
hubungan interpersonal tetapi juga berperan dalam menciptakan harmoni sosial,
meningkatkan kesehatan mental, dan membangun lingkungan yang lebih inklusif.
Berikut adalah manfaat empati yang didukung oleh berbagai penelitian dan
literatur kredibel.
10.1.
Meningkatkan Hubungan Interpersonal
Empati adalah dasar dari hubungan interpersonal
yang sehat dan bermakna. Dengan memahami perspektif dan emosi orang lain,
seseorang dapat membangun koneksi yang lebih dalam dan mengurangi potensi
konflik.¹
Penelitian oleh Carl Rogers menunjukkan bahwa
empati adalah elemen kunci dalam membangun hubungan terapeutik antara konselor
dan klien, yang juga relevan dalam hubungan keluarga, persahabatan, dan
pasangan.² Empati memungkinkan individu untuk merespons dengan cara yang tepat
terhadap kebutuhan emosional orang lain, menciptakan hubungan yang lebih
harmonis.³
10.2.
Mendorong Perilaku Prososial
Empati meningkatkan perilaku prososial, seperti
membantu, berbagi, dan bekerja sama.⁴ Penelitian oleh Nancy Eisenberg menemukan
bahwa individu dengan tingkat empati yang tinggi lebih cenderung menunjukkan
perilaku altruistik, bahkan dalam situasi sulit.⁵ Sebagai contoh,
tindakan-tindakan kemanusiaan yang dilakukan selama bencana alam sering kali
didorong oleh empati terhadap penderitaan orang lain.⁶
10.3.
Mengurangi Konflik
Empati memainkan peran penting dalam mengurangi
konflik, baik di tingkat personal maupun sosial. Dengan memahami sudut pandang
orang lain, seseorang dapat menghindari kesalahpahaman dan menyelesaikan
konflik secara konstruktif.⁷ Dalam konteks politik dan sosial, empati membantu
mengurangi polarisasi dengan mendorong dialog yang lebih inklusif dan memahami
perbedaan pendapat.⁸
10.4.
Meningkatkan Kepemimpinan
Pemimpin yang empatik cenderung lebih efektif dalam
memotivasi tim dan membangun kepercayaan.⁹ Penelitian oleh Center for Creative
Leadership menunjukkan bahwa empati adalah salah satu ciri utama pemimpin yang
sukses karena memungkinkan mereka memahami kebutuhan anggota tim dan
menciptakan solusi yang inklusif.¹⁰
Dalam buku Leaders Eat Last, Simon Sinek
menegaskan bahwa empati membantu pemimpin menciptakan lingkungan kerja yang
mendukung dan produktif, di mana setiap anggota merasa dihargai.¹¹
10.5.
Memperkuat Pendidikan dan Pengembangan Karakter
Empati memainkan peran penting dalam pendidikan,
baik untuk guru maupun siswa. Guru yang empatik menciptakan lingkungan belajar
yang inklusif dan mendorong siswa untuk berkembang secara emosional dan
akademik.¹² Program pendidikan berbasis empati, seperti Roots of Empathy,
telah terbukti meningkatkan kecerdasan emosional dan perilaku prososial
siswa.¹³
10.6.
Menjaga Kesehatan Mental
Empati tidak hanya bermanfaat bagi orang yang
menerima, tetapi juga bagi yang memberikannya. Melalui koneksi emosional dengan
orang lain, individu yang empatik cenderung memiliki kesejahteraan emosional
yang lebih baik dan risiko stres yang lebih rendah.¹⁴
Penelitian oleh Richard Davidson menunjukkan bahwa
empati dan tindakan belas kasih meningkatkan aktivitas di area otak yang
terkait dengan kebahagiaan dan kesejahteraan, seperti insula dan ventromedial
prefrontal cortex.¹⁵
10.7.
Membangun Masyarakat yang Harmonis
Empati adalah fondasi masyarakat yang inklusif dan
harmonis. Dengan mendorong pemahaman lintas budaya, agama, dan latar belakang
sosial, empati membantu menciptakan lingkungan yang lebih toleran.¹⁶ Penelitian
oleh Markus dan Kitayama menunjukkan bahwa empati mendorong kerja sama dalam
masyarakat kolektivis, sementara dalam masyarakat individualis, empati membantu
membangun pengakuan atas hak-hak individu.¹⁷
10.8.
Meningkatkan Kemampuan Beradaptasi
Empati membantu individu dan kelompok untuk
beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi yang cepat. Dalam dunia
kerja, kemampuan untuk memahami kebutuhan klien, kolega, atau pelanggan adalah
keterampilan penting dalam menghadapi tantangan baru.¹⁸ Penelitian oleh Harvard
Business Review menunjukkan bahwa empati meningkatkan inovasi dan kolaborasi di
tempat kerja.¹⁹
Kesimpulan
Manfaat empati sangat luas, mencakup aspek
individu, interpersonal, dan sosial. Dengan mengembangkan empati, individu
dapat memperkuat hubungan pribadi, meningkatkan kesehatan mental, dan
berkontribusi pada masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Oleh karena
itu, empati bukan hanya keterampilan emosional tetapi juga aset penting dalam
kehidupan modern.
Catatan Kaki
[1]
Carl Rogers, On Becoming a Person: A Therapist’s View of
Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 284.
[2]
Ibid., 286.
[3]
Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach (Boulder:
Westview Press, 1994), 94.
[4]
Daniel Batson, Altruism in Humans (New York: Oxford University
Press, 2011), 78.
[5]
Nancy Eisenberg, “Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New
Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129 (2010):
71–80.
[6]
Ibid., 75.
[7]
Theresa Wiseman, “A Concept Analysis of Empathy,” Journal of Advanced
Nursing 26, no. 6 (1997): 1162–67.
[8]
Simon Sinek, Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull Together and
Others Don’t (New York: Penguin, 2014), 54.
[9]
Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of
Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.
[10]
Center for Creative Leadership, “Empathy in Leadership: Strengthening
Relationships, Building Trust,” CCL White Paper Series, 2020.
[11]
Simon Sinek, Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull Together and
Others Don’t (New York: Penguin, 2014), 67.
[12]
Gayle Jennings, Empathy in Education (London: Routledge, 2010),
55.
[13]
Mary Gordon, Roots of Empathy: Changing the World Child by Child
(Toronto: Thomas Allen Publishers, 2005), 103.
[14]
Richard Davidson and Antoine Lutz, “Buddhist Meditation and the
Neuroscience of Consciousness,” in The Cambridge Handbook of Consciousness,
ed. Philip David Zelazo et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 2007),
484.
[15]
Ibid., 487.
[16]
Hazel Rose Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self:
Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review
98, no. 2 (1991): 224–53.
[17]
Ibid., 226.
[18]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 97.
[19]
Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of
Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.
11. Studi Kasus
Studi kasus adalah pendekatan yang efektif untuk
menggambarkan bagaimana empati dapat berdampak dalam berbagai situasi kehidupan
nyata. Dalam bagian ini, dua contoh kasus disajikan untuk menunjukkan bagaimana
empati memainkan peran penting dalam hubungan interpersonal, organisasi, dan
penyelesaian konflik. Studi kasus ini berdasarkan penelitian dan peristiwa
nyata yang menunjukkan relevansi empati dalam berbagai konteks.
11.1.
Studi Kasus: Empati dalam Kepemimpinan -
Jacinda Ardern
Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru,
sering dipuji karena kepemimpinannya yang berempati, terutama setelah serangan
teroris di Christchurch pada tahun 2019.¹ Dalam salah satu pidato pertamanya
setelah insiden tersebut, Ardern menunjukkan empati yang mendalam kepada
keluarga korban dan komunitas Muslim, dengan mengatakan, *“They are us.”*²
Ardern mengenakan hijab sebagai bentuk solidaritas dan mendatangi komunitas
Muslim untuk mendengarkan langsung pengalaman dan kebutuhan mereka.³
Pendekatan empatik Ardern tidak hanya membantu
meringankan rasa sakit komunitas yang terkena dampak, tetapi juga mendorong
solidaritas nasional dan pengakuan global terhadap Selandia Baru sebagai contoh
kepemimpinan berbasis empati.⁴ Menurut penelitian oleh Harvard Business Review,
gaya kepemimpinan seperti ini meningkatkan kepercayaan dan kolaborasi dalam
situasi krisis.⁵
11.2.
Studi Kasus: Empati dalam Pendidikan - Program
“Roots of Empathy”
Roots of Empathy adalah program pendidikan berbasis empati yang dimulai oleh Mary Gordon
di Kanada pada tahun 1996. Program ini bertujuan untuk mengajarkan anak-anak
memahami emosi orang lain melalui interaksi dengan bayi dan pengasuh mereka
dalam lingkungan kelas.⁶
Selama satu semester, siswa mengamati perkembangan
bayi, belajar mengenali emosi, dan berdiskusi tentang bagaimana cara mendukung
orang lain dalam kehidupan sehari-hari.⁷ Penelitian menunjukkan bahwa program
ini secara signifikan mengurangi perilaku agresif dan meningkatkan perilaku
prososial seperti membantu dan berbagi.⁸
Sebuah studi di British Columbia menemukan bahwa
siswa yang mengikuti Roots of Empathy menunjukkan peningkatan sebesar
38% dalam empati emosional dibandingkan dengan kelompok kontrol.⁹ Program ini
telah diadopsi di lebih dari 20 negara, menunjukkan potensi besar empati dalam
mengubah dinamika pendidikan.¹⁰
11.3.
Studi Kasus: Empati dalam Resolusi Konflik -
Truth and Reconciliation Commission (TRC) di Afrika Selatan
Setelah apartheid berakhir, Afrika Selatan
mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation
Commission, TRC) untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
selama rezim tersebut.¹¹ Dipimpin oleh Uskup Desmond Tutu, TRC menggunakan
empati sebagai alat utama untuk rekonsiliasi.
Proses TRC melibatkan mendengarkan kesaksian dari
para korban dan pelaku dalam suasana yang mendorong pengakuan, penyesalan, dan
pengampunan.¹² Empati memungkinkan pelaku untuk memahami dampak dari tindakan
mereka, sementara korban diberi kesempatan untuk menyuarakan rasa sakit mereka
secara terbuka.¹³
Studi oleh Gibson dan Gouws menunjukkan bahwa TRC
membantu menciptakan hubungan sosial yang lebih baik di Afrika Selatan, dengan
70% responden menyatakan bahwa proses tersebut meningkatkan pemahaman lintas
kelompok etnis.¹⁴ Pendekatan berbasis empati ini menjadi model untuk
penyelesaian konflik di berbagai negara.
11.4.
Studi Kasus: Empati dalam Perawatan Kesehatan -
Cleveland Clinic
Cleveland Clinic adalah salah satu rumah sakit
terbaik di Amerika Serikat yang menekankan pentingnya empati dalam perawatan
pasien. Rumah sakit ini meluncurkan kampanye "Empathy:
The Human Connection to Patient Care" untuk meningkatkan kesadaran
tentang pentingnya empati di antara tenaga medis.¹⁵
Kampanye ini melibatkan pelatihan bagi staf untuk
lebih memahami kebutuhan emosional pasien dan keluarga mereka. Hasilnya, rumah
sakit melihat peningkatan yang signifikan dalam kepuasan pasien dan pengurangan
keluhan terkait layanan.¹⁶ Studi oleh Press Ganey menemukan bahwa rumah sakit
dengan tingkat empati yang tinggi memiliki hasil klinis yang lebih baik dan
tingkat retensi pasien yang lebih tinggi.¹⁷
Kesimpulan
Studi kasus ini menunjukkan bahwa empati memiliki
dampak signifikan dalam berbagai konteks, termasuk kepemimpinan, pendidikan,
resolusi konflik, dan perawatan kesehatan. Pendekatan berbasis empati tidak
hanya membantu individu menghadapi tantangan emosional tetapi juga menciptakan
hasil positif yang berkelanjutan bagi masyarakat.
Catatan Kaki
[1]
Eleanor Ainge Roy, “Jacinda Ardern Shows the World What Real Leadership
Looks Like,” The Guardian, March 23, 2019.
[2]
Ibid.
[3]
Tess McClure, “How Jacinda Ardern Handled the Christchurch Shooting,” The
New York Times, March 21, 2019.
[4]
Harvard Business Review, “Leadership Lessons from Jacinda Ardern,” HBR
Online, April 2019.
[5]
Emma Seppälä et al., “Building Compassion and Resilience: The Role of
Empathy in Leadership,” Harvard Business Review, January 2017.
[6]
Mary Gordon, Roots of Empathy: Changing the World Child by Child
(Toronto: Thomas Allen Publishers, 2005), 44.
[7]
Ibid., 46.
[8]
Mary Gordon, “The Impact of Roots of Empathy on Aggression in Elementary
School Children,” Child Development 80, no. 4 (2009): 1191–1205.
[9]
Ibid., 1197.
[10]
Ibid., 1203.
[11]
Desmond Tutu, No Future Without Forgiveness (New York: Doubleday,
1999), 98.
[12]
Ibid., 101.
[13]
Martha Minow, Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after
Genocide and Mass Violence (Boston: Beacon Press, 1998), 78.
[14]
James Gibson and Amanda Gouws, “Truth and Reconciliation in South
Africa: Attributions of Responsibility and Patterns of Forgiveness,” Human
Rights Quarterly 24, no. 4 (2002): 881–903.
[15]
Cleveland Clinic, “Empathy: The Human Connection to Patient Care,” Cleveland
Clinic Reports, 2013.
[16]
Ibid.
[17]
Press Ganey Associates, “The Role of Empathy in Patient Satisfaction,” Press
Ganey Insights, 2017.
12. Kesimpulan dan Rekomendasi
12.1. Kesimpulan
Empati adalah
keterampilan yang esensial dalam hubungan antarmanusia dan masyarakat secara
luas. Sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan pengalaman orang lain,
empati memainkan peran penting dalam menciptakan
harmoni sosial, memperkuat hubungan interpersonal, dan mendorong perilaku
prososial.¹ Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, empati terbukti
memiliki dimensi yang kompleks, melibatkan aspek kognitif, emosional, dan
perilaku.²
Penelitian menunjukkan
bahwa empati memiliki dampak positif yang signifikan dalam berbagai konteks,
termasuk pendidikan, kepemimpinan, perawatan kesehatan, dan resolusi konflik.³
Misalnya, dalam dunia pendidikan, program seperti Roots of Empathy telah terbukti
meningkatkan perilaku prososial siswa dan mengurangi agresi.⁴ Dalam
kepemimpinan, pemimpin yang empatik,
seperti Jacinda Ardern, telah menunjukkan kemampuan untuk membangun kepercayaan
dan solidaritas dalam situasi krisis.⁵
Namun, terdapat
berbagai hambatan yang menghalangi pengembangan empati, seperti bias sosial, penggunaan teknologi yang
berlebihan, dan ketakutan akan kerentanan emosional.⁶ Oleh karena itu, perlu
ada upaya kolektif untuk mempromosikan empati melalui pendidikan, pelatihan,
dan kebijakan sosial.
12.2. Rekomendasi
Untuk mengoptimalkan
pengembangan dan penerapan empati dalam kehidupan sehari-hari, berikut adalah
beberapa rekomendasi:
12.2.1. Pendidikan
dan Pelatihan Empati
Empati harus
diajarkan sejak dini melalui kurikulum pendidikan yang mendorong keterampilan
sosial dan emosional.⁷ Program seperti Roots of Empathy dapat diadopsi di
berbagai negara untuk meningkatkan pemahaman dan perilaku prososial di kalangan siswa. Selain itu,
pelatihan empati juga perlu diberikan kepada tenaga kerja profesional,
khususnya dalam bidang perawatan kesehatan, pendidikan, dan kepemimpinan.⁸
12.2.2. Penggunaan Teknologi secara
Bijaksana
Teknologi harus digunakan
untuk memperkuat, bukan mengurangi, kemampuan empati. Pengembangan aplikasi
atau platform digital yang mempromosikan dialog lintas budaya dan pemahaman
emosional dapat menjadi langkah penting.⁹ Di sisi lain, diperlukan upaya untuk
mengurangi empathy fatigue akibat paparan media sosial yang
berlebihan.¹⁰
12.2.3. Mengatasi Bias Sosial dan
Stereotip
Meningkatkan
kesadaran tentang bias dan stereotip melalui pelatihan berbasis keadilan sosial dapat membantu individu mengembangkan
empati terhadap kelompok yang berbeda.¹¹ Program pelatihan yang berfokus pada
pengurangan bias implisit, seperti yang dikembangkan oleh Patricia Devine,
telah terbukti efektif dalam meningkatkan empati lintas kelompok.¹²
12.2.4. Peningkatan Kepemimpinan
Berbasis Empati
Organisasi harus
mendorong pemimpin untuk mengadopsi pendekatan yang lebih empatik. Ini dapat
dilakukan melalui pelatihan kecerdasan emosional
dan strategi komunikasi yang menekankan mendengarkan aktif dan pengambilan
perspektif.¹³
12.2.5. Meditasi Berbasis Belas Kasih
Meditasi seperti Loving-Kindness
Meditation (LKM) dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan empati
emosional dan perilaku prososial.¹⁴ Penelitian oleh Richard Davidson
menunjukkan bahwa meditasi ini memiliki dampak positif pada aktivitas otak yang
terkait dengan empati.¹⁵
12.2.6. Promosi Nilai Empati dalam
Masyarakat
Kampanye publik yang
menekankan pentingnya empati dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan
inklusif harus terus digalakkan.¹⁶ Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat
dapat bekerja sama untuk menyelenggarakan kegiatan sosial yang mempromosikan
solidaritas dan pengertian lintas budaya.
12.3. Kesimpulan Akhir
Empati bukan hanya
sekadar keterampilan individu, tetapi juga elemen penting dalam membangun
masyarakat yang adil, inklusif, dan harmonis. Dengan langkah-langkah yang strategis dan kolektif, empati dapat
dikembangkan dan diterapkan untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua.
Catatan Kaki
[1]
Daniel Goleman, Emotional
Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam
Books, 1995), 97.
[2]
Mark H. Davis, Empathy:
A Social Psychological Approach (Boulder: Westview Press, 1994),
57.
[3]
Nancy Eisenberg,
“Empathy-Related Responding and Prosocial Behavior,” New
Directions for Child and Adolescent Development 2010, no. 129
(2010): 71–80.
[4]
Mary Gordon, Roots of
Empathy: Changing the World Child by Child (Toronto: Thomas Allen
Publishers, 2005), 44.
[5]
Eleanor Ainge Roy, “Jacinda
Ardern Shows the World What Real Leadership Looks Like,” The
Guardian, March 23, 2019.
[6]
Sherry Turkle, Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin
Press, 2015), 124.
[7]
Gayle Jennings, Empathy
in Education (London: Routledge, 2010), 87.
[8]
Cleveland Clinic, “Empathy:
The Human Connection to Patient Care,” Cleveland Clinic Reports, 2013.
[9]
Jean Twenge et al., “Social
Media Use and Empathy,” Current Psychology 38, no. 2
(2019): 228–35.
[10]
Sherry Turkle, Alone
Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other
(New York: Basic Books, 2011), 67.
[11]
Henri Tajfel and John
Turner, “An Integrative Theory of Intergroup Conflict,” Social Psychology
of Intergroup Relations (Monterey: Brooks/Cole, 1979), 33.
[12]
Patricia Devine et al.,
“Long-Term Reduction in Implicit Race Bias: A Prejudice Habit-Breaking
Intervention,” Journal of Experimental Social Psychology
48, no. 6 (2012): 1267–78.
[13]
Emma Seppälä et al.,
“Building Compassion and Resilience: The Role of Empathy in Leadership,” Harvard
Business Review, January 2017.
[14]
Sharon Salzberg, Lovingkindness:
The Revolutionary Art of Happiness (Boston: Shambhala Publications,
1995), 68.
[15]
Richard Davidson and
Antoine Lutz, “Buddhist Meditation and the Neuroscience of Consciousness,” in The
Cambridge Handbook of Consciousness, ed. Philip David Zelazo et al.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 484.
[16]
Hazel Rose Markus and
Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion,
and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2
(1991): 224–53.
Daftar Pustaka
Buku:
·
Baron-Cohen, S. (2011). The science of evil: On empathy and the
origins of cruelty. New York: Basic Books.
·
Batson, D. (2011). Altruism in humans. New York: Oxford
University Press.
·
Brown, B. (2012). Daring greatly: How the courage to be vulnerable
transforms the way we live, love, parent, and lead. New York: Gotham Books.
·
Davidson, R., & Lutz, A. (2007). Buddhist meditation and the
neuroscience of consciousness. In P. D. Zelazo, M. Moscovitch, & E.
Thompson (Eds.), The Cambridge handbook of consciousness (pp. 484-487).
Cambridge: Cambridge University Press.
·
Eisenberg, N. (2006). The development of prosocial behavior. In W. Damon
& R. M. Lerner (Eds.), Handbook of child psychology (6th ed., Vol.
3, pp. 647–692). New York: Wiley.
·
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more
than IQ. New York: Bantam Books.
·
Gordon, M. (2005). Roots of empathy: Changing the world child by
child. Toronto: Thomas Allen Publishers.
·
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority
(A. Lingis, Trans.). Pittsburgh: Duquesne University Press.
·
Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self:
Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review,
98(2), 224–253.
·
Salzberg, S. (1995). Lovingkindness: The revolutionary art of
happiness. Boston: Shambhala Publications.
·
Schopenhauer, A. (1903). On the basis of morality (A. B. Bullock,
Trans.). London: Swan Sonnenschein.
·
Sinek, S. (2014). Leaders eat last: Why some teams pull together and
others don’t. New York: Penguin.
·
Tutu, D. (1999). No future without forgiveness. New York:
Doubleday.
·
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology
and less from each other. New York: Basic Books.
·
Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a
digital age. New York: Penguin Press.
Jurnal dan
Artikel:
·
Davis, M. H. (1983). Measuring individual differences in empathy. Journal
of Personality and Social Psychology, 44(1), 113–126.
·
Eisenberg, N. (2010). Empathy-related responding and prosocial behavior.
New Directions for Child and Adolescent Development, 2010(129), 71–80.
·
Gibson, J., & Gouws, A. (2002). Truth and reconciliation in South
Africa: Attributions of responsibility and patterns of forgiveness. Human
Rights Quarterly, 24(4), 881–903.
·
Twenge, J. M., et al. (2019). Social media use and empathy. Current
Psychology, 38(2), 228–235.
Artikel
Online dan Laporan:
·
Cleveland Clinic. (2013). Empathy: The human connection to patient care.
Retrieved from https://clevelandclinic.org
·
Harvard Business Review. (2017). Building compassion and resilience: The
role of empathy in leadership. Retrieved from https://hbr.org
·
Pew Research Center. (2018). The future of well-being in a
tech-saturated world. Retrieved from https://www.pewresearch.org
Media dan
Berita:
·
Ainge Roy, E. (2019, March 23). Jacinda Ardern shows the world what real
leadership looks like. The Guardian. Retrieved from https://www.theguardian.com
·
McClure, T. (2019, March 21). How Jacinda Ardern handled the
Christchurch shooting. The New York Times. Retrieved from https://www.nytimes.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar