Rabu, 11 Juni 2025

Penafsiran Hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14

Tafsir Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14

Telaah Filosofis dan Metodologis atas Proses Penciptaan Manusia dalam Perspektif Tafsir Kontekstual


Alihkan ke: Hermeneutika Islam.


Abstrak

Artikel ini mengkaji penafsiran hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14, yaitu ayat-ayat yang memuat narasi penciptaan manusia secara bertahap. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika filosofis dan kontekstual, studi ini mengeksplorasi makna ayat tidak hanya dalam dimensi linguistik dan teologis, tetapi juga dalam konteks epistemologis dan ilmiah kontemporer. Kajian ini mencakup analisis teks dan makna semantik dari istilah kunci seperti sulālah, nuthfah, ‘alaqah, dan mudhghah, serta refleksi terhadap relevansinya dengan teori embriologi modern. Melalui pendekatan tokoh-tokoh seperti Schleiermacher, Gadamer, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd, artikel ini menunjukkan bahwa hermeneutika memungkinkan pembacaan ulang teks Al-Qur’an yang dialogis dan kontekstual. Penelitian ini juga menyoroti tantangan metodologis, termasuk problem otoritas penafsir dan resistensi terhadap pendekatan non-literal. Implikasi teologis dan epistemologis dari kajian ini menegaskan pentingnya integrasi antara wahyu dan ilmu pengetahuan dalam kerangka pembaruan tafsir yang tetap berakar pada prinsip transendensi dan etika Islam.

Kata Kunci: Hermeneutika, Tafsir Kontekstual, Penciptaan Manusia, Al-Qur’an, Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14, Epistemologi Islam, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Gadamer, Embriologi Qur’ani.


PEMBAHASAN

Penafsiran Hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14


1.           Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam bukan hanya mengandung pedoman moral dan hukum, tetapi juga menyimpan narasi kosmologis dan antropologis yang sarat makna, termasuk tentang penciptaan manusia. Salah satu ayat yang penting dalam konteks ini adalah Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 yang menjelaskan tahapan-tahapan penciptaan manusia secara biologis maupun spiritual. Ayat ini telah menjadi bahan refleksi mendalam sejak zaman klasik hingga modern, tidak hanya dalam literatur tafsir tetapi juga dalam diskursus ilmiah yang melibatkan dimensi embriologis dan filsafat penciptaan.

Perkembangan zaman membawa perubahan paradigma dalam menafsirkan Al-Qur’an, dari pendekatan tekstual yang normatif menuju pendekatan kontekstual yang hermeneutis. Dalam konteks ini, metode hermeneutika dipandang relevan karena ia memungkinkan pembaca mengkaji ulang makna ayat secara lebih reflektif, historis, dan kontekstual. Hermeneutika sebagai disiplin filsafat penafsiran awalnya berkembang dalam tradisi filsafat Barat (seperti Schleiermacher, Gadamer, dan Ricoeur), namun telah diadaptasi secara kritis oleh para sarjana Muslim untuk mengatasi stagnasi metodologis dalam tafsir klasik serta menjawab tantangan kontemporer yang kompleks, seperti relasi antara wahyu dan sains, agama dan kemanusiaan, teks dan realitas sejarah sosial-politik umat Islam.1

Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 secara eksplisit memuat deskripsi proses penciptaan manusia dari sulālah (saripati tanah), nuthfah (air mani), ‘alaqah (segumpal darah), mudhghah (segumpal daging), pembentukan tulang, hingga pembalutan tulang dengan daging. Ayat ini tidak hanya memberikan penjelasan biologis yang selaras dengan temuan ilmu embriologi modern, tetapi juga memuat makna ontologis dan spiritual tentang asal-usul, eksistensi, dan tujuan penciptaan manusia.2 Oleh karena itu, kajian penafsiran terhadap ayat ini tidak dapat dilepaskan dari pendekatan multidimensi yang menggabungkan antara dimensi bahasa, sejarah, sains, dan filsafat.

Dalam perspektif hermeneutika, penafsiran tidak berhenti pada makna literal tetapi berupaya mengungkap horizon makna yang tersembunyi di balik teks. Hal ini penting, sebab teks suci tidak berbicara dalam ruang hampa—ia berinteraksi dengan konteks kultural, historis, dan intelektual pembacanya. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, “teks itu bersifat historis dan interaktif”, dan oleh karena itu harus ditafsirkan dalam dialog aktif antara teks dan realitas masa kini.3

Melalui artikel ini, penulis berupaya melakukan pembacaan ulang Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 dengan pendekatan hermeneutis. Pendekatan ini akan mengedepankan interkoneksi antara teks, konteks pewahyuan, serta konteks keilmuan kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan ilmu kedokteran dan filsafat manusia. Kajian ini bertujuan tidak hanya untuk menafsirkan ayat secara teoretis, tetapi juga untuk merefleksikan relevansi makna penciptaan manusia dalam membentuk pemahaman ontologis dan etis yang lebih mendalam tentang eksistensi manusia menurut Islam.


Footnotes

[1]                Muhammad Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994), 48–55.

[2]                Maurice Bucaille, The Bible, the Qur’an and Science: The Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge, trans. Alastair D. Pannell (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 194–198.

[3]                Nasr Hamid Abu Zayd, Texts, Authority, and Community: Essays in Honor of the Memory of Nasr Hamid Abu Zayd, ed. by Carool Kersten and N.A. Arjomand (Leiden: Brill, 2018), 112.


2.           Deskripsi Ayat: Teks dan Terjemahan

Untuk memahami secara utuh makna dari proses penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14, penting untuk terlebih dahulu menyajikan teks ayat dalam bahasa Arab, terjemahan bahasa Indonesia resmi dari Kementerian Agama Republik Indonesia, serta analisis awal terhadap istilah-istilah kunci yang terkandung dalam ayat.

2.1.       Teks Arab dan Terjemahan Indonesia

Ayat 12:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ

Terjemahan:

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah.”1

Ayat 13:

ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ

Terjemahan:

Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”

Ayat 14:

ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ۖ ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Terjemahan:

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, lalu segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.”1

2.2.       Analisis Terminologi Kunci

Untuk melakukan penafsiran yang tajam, diperlukan perhatian terhadap kata-kata kunci dalam ayat ini yang sarat makna simbolis dan ilmiah:

·                     سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ (sulālah min ṭīn):

Kata sulālah berarti “saripati” atau “esensi yang disaring dari sesuatu”, sedangkan ṭīn berarti “tanah liat” atau “tanah basah”. Frasa ini menunjuk pada asal-usul material manusia yang berasal dari unsur bumi secara simbolik dan biologis. Tafsir al-Qurṭubī menyatakan bahwa istilah ini menunjukkan kehinaan asal penciptaan manusia namun juga mengandung potensi tinggi karena berasal dari unsur bumi yang menjadi simbol kehidupan dan kreativitas.2

·                     نُطْفَةً (nuthfah):

Merujuk pada setetes cairan mani. Istilah ini mencerminkan tahapan awal pembuahan. Dalam konteks sains, ia merujuk pada perpaduan antara sel sperma dan ovum yang membentuk zigot, sebagaimana ditegaskan oleh Maurice Bucaille dalam studi komparatif antara Al-Qur’an dan ilmu kedokteran modern.3

·                     عَلَقَةً (‘alaqah):

Kata ini secara harfiah berarti “segumpal darah” atau sesuatu yang menggantung/ lekat. Dalam tafsir modern, ‘alaqah diinterpretasikan sebagai embrio pada tahap awal yang menempel pada dinding rahim dan memiliki penampilan mirip gumpalan darah.4

·                     مُضْغَةً (mudhghah):

Secara harfiah berarti “segumpal daging yang dikunyah”. Ini melambangkan fase embrionik di mana struktur janin mulai terbentuk namun masih belum memiliki detail anatomis yang sempurna.

·                     عِظَامًا (iẓām) dan لَحْمًا (laḥm):

Iẓām berarti “tulang-tulang” dan laḥm adalah “daging”. Proses pembentukan struktur kerangka dan jaringan otot manusia pada fase lanjutan janin ditunjukkan di sini. Tafsir Ibn Kathīr menafsirkan ayat ini sebagai penggambaran bertahap perkembangan fisik manusia yang menakjubkan dalam rahim ibunya.5

·                     خَلْقًا آخَرَ (khalqan ākhara):

Mengandung makna “ciptaan yang lain” atau “makhluk yang berbeda”. Sebagian mufassir memahami ini sebagai transformasi manusia secara ruhani dengan ditiupkannya ruh, menjadikannya berbeda dari makhluk biologis biasa karena memiliki akal dan kesadaran.6

2.3.       Relevansi Linguistik terhadap Proses Penafsiran Hermeneutis

Struktur bahasa yang digunakan dalam ayat-ayat ini bersifat progresif dan naratif, yang membentuk suatu kronologi tentang penciptaan manusia. Ini membuka peluang pendekatan hermeneutis yang tidak hanya memerhatikan makna tekstual tetapi juga konteks filosofis dan historis dari makna-makna yang terkandung di dalamnya. Seperti dikemukakan oleh Toshihiko Izutsu, pemahaman terhadap konsep-konsep kunci dalam Al-Qur’an sangat terkait dengan jaringan semantik dan relasi antar-kata yang berkembang dalam horizon makna masyarakat Arab awal dan juga pembaca modern.7

Dengan demikian, deskripsi ayat ini menjadi fondasi utama dalam membangun pemahaman hermeneutis terhadap penciptaan manusia menurut Al-Qur’an, yang tidak hanya bersifat material tetapi juga spiritual, ontologis, dan eksistensial.


Footnotes

[1]                Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14.  2

[2]                Abū ʿAbd Allāh al-Qurṭubī, al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān, ed. Aḥmad al-Bardūnī dan Ibrāhīm Aṭfāyish (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2000), 12:83–85.

[3]                Maurice Bucaille, The Bible, the Qur’an and Science: The Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge, trans. Alastair D. Pannell (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 194–198.

[4]                Keith L. Moore dan T.V.N. Persaud, The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, 8th ed. (Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008), 33–35.

[5]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad al-Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 5:472.

[6]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 23 (Beirut: Dār Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1999), 98–100.

[7]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 14–19.


3.           Konteks Historis-Tekstual (Asbāb al-Nuzūl dan Struktur Surah)

Dalam kajian tafsir Al-Qur’an, pemahaman terhadap konteks historis dan struktur tekstual surah merupakan kunci penting dalam menyingkap makna yang lebih dalam dari suatu ayat. Pendekatan hermeneutis menuntut pemahaman yang menyeluruh terhadap Sitz im Leben (konteks kehidupan) dari pewahyuan suatu ayat, termasuk latar belakang sosial, kultural, dan spiritual yang mengitarinya. Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memperhatikan asbāb al-nuzūl serta struktur keseluruhan surahnya.

3.1.       Asbāb al-Nuzūl (Sebab Turunnya Ayat)

Mayoritas ahli tafsir sepakat bahwa Surah Al-Mu’minun adalah surah Makkiyyah, diturunkan pada periode awal kenabian di Makkah ketika Nabi Muhammad saw. menghadapi tekanan dari kaum Quraisy, dan ketika konsolidasi keimanan menjadi prioritas utama dakwah Islam.1 Kendati tidak terdapat riwayat asbāb al-nuzūl khusus yang sahih dan eksplisit untuk ayat 12–14 ini dalam kitab-kitab klasik seperti Asbāb an-Nuzūl karya al-Wāḥidī atau Lubāb an-Nuqūl karya as-Suyūṭī, sebagian mufassir seperti al-Qurṭubī dan al-Rāzī mencatat bahwa ayat-ayat ini hadir sebagai bentuk argumentasi ilahiyah untuk memperkuat iman kaum Muslim dan menentang kesombongan orang-orang kafir yang mengingkari penciptaan dan kebangkitan kembali setelah kematian.2

Ayat ini juga merupakan bagian dari strategi naratif Al-Qur’an dalam membangkitkan tadabbur dan perenungan terhadap penciptaan manusia sebagai bukti kekuasaan dan kebijaksanaan Tuhan. Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzī, penyebutan penciptaan manusia secara bertahap dalam ayat-ayat ini bertujuan untuk meneguhkan keimanan terhadap penciptaan yang sempurna, serta menyanggah anggapan bahwa kehidupan manusia muncul secara kebetulan atau tanpa desain ilahiah.3

3.2.       Struktur dan Tema Surah Al-Mu’minun

Surah Al-Mu’minun terdiri dari 118 ayat dan dibuka dengan pujian terhadap sifat-sifat orang mukmin sejati (ay. 1–11). Setelah pembukaan yang bernuansa moral dan spiritual, surah ini kemudian beralih kepada tema penciptaan manusia sebagai tanda kekuasaan Allah (ay. 12–14). Ini menunjukkan pola komposisi Al-Qur’an yang mengintegrasikan antara dimensi etis dan kosmologis sebagai basis keimanan.

Menurut Toshihiko Izutsu, struktur semantik Al-Qur’an seringkali membentuk jaringan makna yang menghubungkan antara konsep-konsep etika dan metafisika melalui transisi yang halus.4 Dalam hal ini, ayat 12–14 berfungsi sebagai penguat argumen teologis bahwa penciptaan manusia bukanlah produk kebetulan, melainkan manifestasi kehendak dan kebijaksanaan Allah yang menciptakan manusia dari tanah dan memprosesnya melalui tahapan-tahapan biologis yang luar biasa.

Tema sentral dari Surah Al-Mu’minun dapat diringkas dalam tiga aspek: pertama, karakteristik spiritual dan sosial orang beriman (ay. 1–11); kedua, tanda-tanda kekuasaan Allah melalui penciptaan (ay. 12–22 dan seterusnya); dan ketiga, penolakan terhadap para nabi oleh umat-umat terdahulu dan akibatnya (ay. 23–44), yang kemudian diakhiri dengan penegasan tentang Hari Kiamat dan pertanggungjawaban manusia. Dengan demikian, ayat-ayat 12–14 berada pada titik transisi penting yang menyatukan pesan iman dan observasi terhadap alam sebagai wahyu tersirat (ayat kauniyah).

3.3.       Fungsi Tekstual Ayat dalam Struktur Surah

Dalam struktur retorika Al-Qur’an, ayat-ayat tentang penciptaan manusia sering ditempatkan untuk menyadarkan pembaca akan hakikat eksistensinya dan mengarahkan kesadaran itu pada ketundukan terhadap Sang Pencipta. Menurut analisis balāghah (retorika Arab), ayat 12–14 menggunakan uslūb tafṣīl (gaya uraian terperinci) untuk menanamkan keajaiban dan ketakjuban terhadap proses penciptaan manusia secara bertahap. Hal ini menciptakan efek kognitif dan emosional yang mendalam, sekaligus menjadi titik pijak penting dalam pendekatan hermeneutika, karena teks ini tidak hanya dimaksudkan untuk dipahami secara literal, tetapi juga untuk direnungkan secara eksistensial.

Sebagaimana dinyatakan oleh Angelika Neuwirth, struktur surah-surah Makkiyah sering menunjukkan kompleksitas tematik dan naratif yang menjalin antara wahyu, penciptaan, dan eskatologi dalam satu kesatuan diskursif yang dinamis, bukan linier.5 Hal ini menegaskan bahwa ayat 12–14 merupakan bagian dari strategi wahyu untuk menyentuh sisi kognitif dan spiritual manusia, bukan sekadar informasi ilmiah.


Footnotes

[1]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 515.

[2]                Abū ʿAbd Allāh al-Qurṭubī, al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān, ed. Aḥmad al-Bardūnī dan Ibrāhīm Aṭfāyish (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2000), 12:83–84.

[3]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 23 (Beirut: Dār Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1999), 95.

[4]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 16.

[5]                Angelika Neuwirth, Scripture, Poetry and the Making of a Community: Reading the Qur'an as a Literary Text (Oxford: Oxford University Press, 2014), 148–150.


4.           Metode Hermeneutika dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an

Hermeneutika, sebagai seni dan teori penafsiran, pada awalnya berkembang dalam tradisi filsafat Barat, namun kini telah mengalami adaptasi dan elaborasi dalam studi Islam, khususnya dalam bidang tafsir al-Qur’an. Dalam konteks ini, hermeneutika diposisikan bukan hanya sebagai alat linguistik atau semiotik, melainkan sebagai pendekatan filosofis untuk memahami makna teks dalam ruang dan waktu tertentu. Penerapannya dalam tafsir al-Qur’an bertujuan untuk menjembatani antara teks wahyu dengan realitas pembaca modern yang terus berkembang secara kognitif, sosial, dan epistemologis.

4.1.       Genealogi dan Evolusi Hermeneutika

Istilah "hermeneutika" berasal dari kata Yunani hermēneuein, yang berarti “menafsirkan” atau “menjelaskan.” Dalam sejarah filsafat Barat, Schleiermacher dikenal sebagai tokoh pelopor hermeneutika modern yang menekankan pentingnya memahami konteks pengarang dan struktur bahasa sebagai dua sisi penting dalam proses penafsiran1. Wilhelm Dilthey kemudian mengembangkan pendekatan hermeneutika historis, dengan menekankan bahwa pemahaman teks harus dikaitkan dengan konteks sejarah dan pengalaman hidup penulis dan pembacanya2.

Hans-Georg Gadamer menyumbangkan kontribusi besar melalui philosophical hermeneutics dengan konsep “fusion of horizons” (Horizontverschmelzung), yakni interaksi dinamis antara horizon makna teks dan horizon pemahaman pembaca.3 Menurutnya, pemahaman tidak pernah bersifat netral atau objektif murni, melainkan selalu dibentuk oleh prapemahaman (pre-understanding) dan konteks historis si penafsir.

4.2.       Hermeneutika dalam Studi Islam dan Tafsir Al-Qur’an

Meskipun hermeneutika berasal dari tradisi Barat, pendekatan serupa sebenarnya telah lama dikenal dalam tradisi tafsir Islam, khususnya dalam bentuk ta’wil, analisis asbāb al-nuzūl, dan pendekatan maqāṣid al-sharī‘ah yang menekankan tujuan moral dan sosial dari teks wahyu4. Namun, wacana “hermeneutika Islam” secara eksplisit baru berkembang pada abad ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Mohammed Arkoun.

Fazlur Rahman mengembangkan metode double movement hermeneutics—gerakan ganda dari teks ke konteks dan kembali ke teks—yang menuntut pembaca untuk memahami makna etis-ideal suatu ayat pada konteks historis pewahyuan, lalu mentransformasikannya ke dalam konteks kontemporer.5 Dengan pendekatan ini, makna ayat tidak dibekukan dalam situasi masa lalu, melainkan dihidupkan ulang untuk menjawab tantangan zaman.

Nasr Hamid Abu Zayd, dalam karyanya Mafhūm al-Naṣṣ, menekankan bahwa teks (naṣṣ) bersifat terbuka (open-ended) dan historis. Ia menolak pandangan tekstualisme literal yang mengabaikan dimensi sosiologis dan diskursif dari teks wahyu. Bagi Abu Zayd, Al-Qur’an adalah hasil interaksi antara kalam Tuhan dan konteks sosial-budaya umat manusia, sehingga pemahamannya menuntut pendekatan interdisipliner dan kritis terhadap struktur wacana dan kekuasaan6.

Mohammed Arkoun mengusulkan hermeneutika kritis dan historis (critical historical hermeneutics), dengan menggabungkan analisis linguistik, antropologi, dan historiografi untuk membuka kembali “lapisan-lapisan makna” Al-Qur’an yang tersembunyi akibat pembekuan tafsir dogmatis. Ia menyebut pentingnya deconstruction terhadap sistem-sistem pengetahuan Islam klasik untuk mereaktualisasi makna wahyu dalam masyarakat modern yang plural dan rasional7.

4.3.       Kontribusi Hermeneutika terhadap Penafsiran Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14

Penerapan metode hermeneutika terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 memungkinkan pembacaan yang lebih dinamis terhadap narasi penciptaan manusia. Pendekatan ini tidak hanya membaca makna biologis dari tahapan nuthfah, ‘alaqah, dan mudhghah, tetapi juga menggali makna eksistensial, ontologis, dan etis dari proses penciptaan. Dengan memadukan antara analisis linguistik, historis, dan refleksi kontemporer, hermeneutika membantu membangun dialog antara wahyu dan ilmu pengetahuan, antara teks sakral dan akal modern.

Sebagai contoh, analisis fusion of horizons ala Gadamer dapat membuka pemahaman baru terhadap fungsi deskriptif dan normatif ayat, sementara double movement ala Rahman dapat menjembatani antara konteks pewahyuan dan kebutuhan pemahaman manusia modern dalam bidang bioetika dan antropologi Islam.

Namun demikian, pendekatan hermeneutika tidak lepas dari tantangan. Ia sering dikritik oleh kalangan tradisional karena dianggap membuka celah relativisme makna dan merusak otoritas tafsir klasik. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian epistemologis agar pendekatan hermeneutika tetap berakar pada kerangka keislaman yang mengakui otoritas wahyu dan metodologi ilmiah yang sahih.


Footnotes

[1]                Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, ed. and trans. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 5–9.

[2]                Wilhelm Dilthey, Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History, ed. Rudolf A. Makkreel and Frithjof Rodi (Princeton: Princeton University Press, 1996), 161–165.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 302–305.

[4]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 26–31.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 5–8.

[6]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ʿUlūm al-Qurʾān (Casablanca: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 43–47.

[7]                Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, trans. and ed. by R. D. Lee (London: Saqi Books, 2002), 109–115.


5.           Proses Penafsiran Hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14

Penafsiran hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 meniscayakan keterlibatan berbagai horizon pemahaman: linguistik, historis, biologis, dan filosofis. Ayat ini bukan sekadar menginformasikan tentang asal-usul manusia secara biologis, tetapi juga menyuguhkan narasi teologis yang sarat makna eksistensial. Melalui pendekatan hermeneutika, makna teks dapat dikaji secara interaktif dalam dialektika antara konteks pewahyuan dan horizon pemahaman pembaca modern. Berikut ini adalah analisis hermeneutis yang terbagi ke dalam empat dimensi penting:

5.1.       Dimensi Linguistik dan Semantik

Ayat-ayat ini disusun dengan struktur bahasa Arab klasik yang padat makna. Kata-kata seperti sulālah (سُلَالَة), nuthfah (نُطْفَة), ‘alaqah (عَلَقَة), dan mudhghah (مُضْغَة) merupakan terminologi yang dalam secara semantik dan metaforis. Kata sulālah, yang bermakna “ekstrak paling murni dari tanah,” mengandung simbolisasi akan asal muasal manusia yang bersifat rendah namun berpotensi luhur1.

Pendekatan semantik seperti yang dikembangkan Toshihiko Izutsu menekankan pentingnya mengaitkan makna-makna tersebut dalam jaringan makna (semantic field) Al-Qur’an. Misalnya, akar kata ṭīn (tanah) dalam Al-Qur’an sering dihubungkan dengan penciptaan dan kerendahan manusia, tetapi juga menandakan bahwa manusia adalah makhluk bumi yang diberi kemampuan ruhani oleh Tuhan2.

Hermeneutika Gadamerian mendorong pembacaan teks sebagai dialog terbuka—pembaca bertanya, dan teks menjawab dalam batasan horizon semantiknya. Dalam konteks ini, tahapan biologis dalam ayat dapat dipahami bukan hanya sebagai fakta ilmiah, tetapi sebagai struktur simbolis yang menunjukkan perjalanan eksistensial manusia: dari tanah (asal rendah) menuju khalqan ākhara (ciptaan lain), yakni manusia sebagai makhluk berkesadaran dan beretika.

5.2.       Dimensi Historis dan Kontekstual

Pendekatan hermeneutika historis yang diwarisi dari Dilthey dan diterapkan dalam studi Islam oleh Fazlur Rahman, menggarisbawahi pentingnya memahami Sitz im Leben dari teks wahyu. Pada masa pewahyuan, ayat-ayat ini hadir sebagai respons terhadap kaum musyrik Quraisy yang mengingkari hari kebangkitan dan penciptaan awal manusia. Karena itu, penekanan terhadap proses penciptaan bertahap menjadi argumen teologis untuk memperkuat keyakinan terhadap kuasa dan kebijaksanaan Allah3.

Dalam konteks modern, pembacaan terhadap ayat ini menjadi sangat relevan dalam dialog antara Al-Qur’an dan sains, khususnya embriologi. Keith L. Moore dan T.V.N. Persaud menunjukkan bahwa deskripsi proses penciptaan manusia dalam Al-Qur’an secara mengejutkan paralel dengan tahapan perkembangan embrio yang dipahami dalam ilmu kedokteran kontemporer4. Hal ini menunjukkan bahwa teks wahyu mampu mengundang interpretasi baru seiring perkembangan horizon ilmiah manusia.

5.3.       Dimensi Ontologis dan Eksistensial

Ayat ini mengandung makna ontologis yang mendalam tentang hakikat manusia. Proses penciptaan yang dijabarkan secara rinci menggambarkan bahwa manusia bukan hadir secara tiba-tiba, tetapi melalui rangkaian transformasi yang penuh kehendak ilahi. Progresi dari nuthfah hingga lahm (daging) dan akhirnya menjadi khalqan ākhara (ciptaan lain) menunjukkan bahwa manusia memiliki aspek fisikal dan metafisik secara integral.

Konsep khalqan ākhara dipahami oleh para mufassir sebagai titik transendental dalam penciptaan manusia—yakni momen ketika ruh ditiupkan dan manusia menjadi makhluk yang memiliki akal dan moralitas. Tafsir al-Rāzī menggarisbawahi bahwa bagian ini menandai perbedaan manusia dari binatang karena kemampuannya untuk berpikir dan bertanggung jawab secara etis5.

Dalam pendekatan eksistensial yang sejalan dengan hermeneutika Ricoeur, teks ini tidak hanya mendeskripsikan realitas biologis, tetapi juga mengundang manusia untuk merenungi makna keberadaannya, asal-usulnya yang rendah namun diciptakan dengan potensi kesempurnaan, serta tanggung jawab eksistensialnya sebagai makhluk moral dan religius6.

5.4.       Korelasi Tafsir Tradisional dan Tafsir Kontekstual

Salah satu kekuatan pendekatan hermeneutis adalah kemampuannya menjembatani antara tafsir klasik dan kebutuhan pemahaman kontemporer. Tafsir tradisional seperti karya al-Ṭabarī, al-Qurṭubī, dan Ibn Kathīr umumnya fokus pada aspek linguistik, naratif, dan teologis dari ayat-ayat ini. Mereka menekankan bahwa penciptaan manusia merupakan bukti kebesaran Allah dan bahwa tiap tahap penciptaan menunjukkan kehendak dan kekuasaan-Nya yang mutlak7.

Di sisi lain, mufassir kontemporer seperti Fazlur Rahman, Sayyid Qutb, dan M. Quraish Shihab mencoba menyinergikan antara penafsiran normatif dan ilmiah. Shihab, misalnya, menegaskan bahwa ayat ini tidak hanya menjelaskan urutan biologis secara fenomenologis, tetapi juga menyiratkan keteraturan hukum Allah dalam penciptaan dan pengelolaan kehidupan manusia8.

Pendekatan hermeneutis menuntut keterbukaan terhadap ragam makna dan memperlakukan tafsir klasik bukan sebagai dogma tertutup, melainkan sebagai lapisan pemahaman yang bisa dikontekstualisasikan kembali. Hal ini sejalan dengan gagasan Abu Zayd bahwa teks Al-Qur’an bersifat interaktif dan selalu dapat dihidupkan kembali dalam horizon sejarah yang berbeda9.


Footnotes

[1]                Abū ʿAbd Allāh al-Qurṭubī, al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān, ed. Aḥmad al-Bardūnī dan Ibrāhīm Aṭfāyish (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2000), 12:83.

[2]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 27–30.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–7.

[4]                Keith L. Moore dan T.V.N. Persaud, The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, 8th ed. (Philadelphia: Saunders Elsevier, 2008), 33–37.

[5]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 23 (Beirut: Dār Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1999), 96–99.

[6]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 79–85.

[7]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad al-Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 5:472–473.

[8]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 520–522.

[9]                Nasr Hamid Abu Zayd, Texts, Authority, and Community: Essays in Honor of the Memory of Nasr Hamid Abu Zayd, ed. Carool Kersten dan N.A. Arjomand (Leiden: Brill, 2018), 113–117.


6.           Tantangan dan Problematika Penafsiran Hermeneutika

Meskipun pendekatan hermeneutika dalam kajian Al-Qur’an, termasuk terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14, menawarkan peluang pembacaan baru yang kontekstual dan relevan dengan zaman, penerapannya tidak terlepas dari berbagai tantangan dan problematika yang serius. Tantangan ini mencakup persoalan metodologis, epistemologis, teologis, dan ideologis yang berkelindan baik dalam diskursus akademik maupun dalam dinamika pemikiran keislaman kontemporer.

6.1.       Ambiguitas Epistemologis antara Tafsir dan Ta’wil

Salah satu problem utama dalam penerapan hermeneutika terhadap Al-Qur’an adalah kaburnya batas antara tafsir (interpretasi tekstual berdasar kaidah ilmu tafsir) dan ta’wil (penakwilan makna yang bersifat lebih esoterik atau kontekstual). Hermeneutika, terutama dalam pendekatan yang dipengaruhi oleh pemikiran post-strukturalis dan dekonstruksionis, cenderung mendekati teks Al-Qur’an sebagai produk budaya dan bahasa historis yang terbuka terhadap pluralitas makna1.

Pandangan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ulama tradisional karena dapat membuka pintu relativisme makna (hermeneutic anarchy), di mana tidak ada makna yang final atau otoritatif dari teks wahyu. Menurut kritik dari pemikir seperti Muhammad al-Ghazali (kontemporer), jika penafsiran tidak memiliki kerangka disipliner yang jelas, maka ia dapat mengarah pada pelecehan makna dan dekonstruksi nilai-nilai keimanan yang mendasar2.

6.2.       Problem Otoritas dan Posisi Pembaca

Hermeneutika modern menempatkan pembaca sebagai subjek aktif dalam proses pemaknaan. Hal ini menimbulkan ketegangan dengan pendekatan tradisional yang menjadikan wahyu dan otoritas keilmuan para mufassir klasik sebagai landasan utama dalam memahami Al-Qur’an. Dalam pendekatan Gadamerian, pemahaman dibentuk oleh pra-pemahaman (pre-understanding) pembaca dan horizon historisnya, sehingga interpretasi selalu bersifat dialogis dan terbuka3.

Namun, dalam tradisi Islam, posisi pembaca tidak sepenuhnya otonom. Ia dibatasi oleh otoritas teks dan metodologi turats (warisan keilmuan Islam). Ketika pembaca terlalu menonjol dalam proses penafsiran, potensi bias ideologis, politis, atau bahkan sekularistik menjadi ancaman. Inilah yang dikritik oleh Hasan Hanafi, yang meskipun mendukung pembaruan tafsir, menolak total subjektivisme dalam penafsiran teks suci4.

6.3.       Resistensi Tradisionalis terhadap Hermeneutika

Banyak kalangan tradisionalis menolak pendekatan hermeneutika karena dianggap mencabut Al-Qur’an dari karakter transendennya. Al-Qur’an dalam Islam tidak hanya dianggap sebagai teks linguistik, tetapi sebagai kalām Allāh (firman Allah) yang memiliki makna tetap dan otoritatif. Pendekatan hermeneutika yang menganggap teks sebagai produk historis atau diskursus manusiawi dapat dilihat sebagai bentuk desakralisasi wahyu5.

Sebagai contoh, Nasr Hamid Abu Zayd menghadapi tekanan sosial dan politik yang luar biasa akibat pendekatannya yang menganggap Al-Qur’an sebagai “produk budaya” dalam tataran resepsi dan penafsiran. Ia dituduh murtad dan dipaksa meninggalkan Mesir karena pendekatan hermeneutika kritisnya yang ditolak oleh institusi keagamaan konservatif6.

6.4.       Ketegangan antara Kesahihan Ilmiah dan Ketundukan Teologis

Hermeneutika membuka jalan bagi pendekatan interdisipliner yang mengaitkan tafsir Al-Qur’an dengan sains, filsafat, dan humaniora. Namun, integrasi ini sering kali menimbulkan ketegangan antara kebenaran ilmiah yang tentatif dan dinamis dengan otoritas teologis yang bersifat absolut. Misalnya, dalam menafsirkan Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14, pembacaan ilmiah terhadap proses embriologis bisa berubah seiring perkembangan ilmu kedokteran, sementara wahyu dipahami sebagai kebenaran final.

Fazlur Rahman menyarankan adanya etik hermeneutika yang menghormati posisi wahyu sebagai sumber normatif, namun tetap membuka diri terhadap pemahaman rasional dan empiris manusia. Ketegangan ini harus dijembatani melalui keseimbangan antara taqlid ilmiah dan ijtihad kontekstual yang tidak mereduksi makna spiritual Al-Qur’an7.

6.5.       Tantangan Akses dan Literasi Hermeneutika di Dunia Islam

Di banyak wilayah dunia Islam, khususnya dalam pendidikan madrasah tradisional, literasi hermeneutika masih rendah atau bahkan belum dikenal. Kurangnya akses terhadap literatur filsafat tafsir kontemporer membuat pendekatan ini rentan disalahpahami sebagai produk pemikiran Barat yang sekuler. Padahal, hermeneutika Islam yang dikembangkan oleh pemikir seperti Arkoun, Abu Zayd, dan Rahman justru bertujuan untuk menghidupkan kembali dinamika tafsir yang kontekstual, rasional, dan progresif.

Pendidikan keislaman yang lebih terbuka terhadap studi interdisipliner menjadi kunci agar pendekatan hermeneutika dapat berfungsi produktif tanpa harus berseberangan dengan tradisi ortodoksi Islam. Menurut Abdullah Saeed, pembaruan tafsir harus dilakukan melalui pendekatan gradual, kontekstual, dan berbasis maqāṣid untuk menghindari resistensi berlebihan8.


Footnotes

[1]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 71–75.

[2]                Muhammad al-Ghazali, Kayfa Nata‘āmalu ma‘a al-Qurʾān (Beirut: Dār al-Shurūq, 1990), 42–46.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 302–306.

[4]                Hasan Hanafi, Muqaddimah fī ‘Ilm al-Istighrāb (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1991), 219–225.

[5]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 33–35.

[6]                Carool Kersten, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (London: Hurst & Company, 2015), 91–92.

[7]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), xxvii–xxx.

[8]                Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach (London: Routledge, 2013), 18–22.


7.           Implikasi Teologis dan Epistemologis

Penafsiran hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 tidak hanya memberikan makna baru terhadap narasi penciptaan manusia dalam Al-Qur’an, tetapi juga melahirkan implikasi teologis dan epistemologis yang signifikan dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer. Melalui pendekatan ini, ayat-ayat tersebut dipahami bukan semata sebagai deskripsi biologis, tetapi juga sebagai refleksi atas relasi manusia dengan Tuhan, alam, dan dirinya sendiri dalam horizon pengetahuan yang terbuka. Berikut ini adalah uraian komprehensif mengenai implikasi tersebut.

7.1.       Implikasi Teologis: Ketuhanan, Penciptaan, dan Hakikat Manusia

Secara teologis, ayat ini menegaskan konsep tawḥīd rubūbiyyah—yakni pengakuan terhadap keesaan Allah dalam menciptakan dan mengatur makhluk. Deskripsi penciptaan manusia secara bertahap mencerminkan proses yang teratur, sistematis, dan disengaja. Hal ini membantah konsep kosmogoni yang didasarkan pada kebetulan atau proses tanpa arah, sekaligus mengafirmasi kehendak dan pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu.1

Lebih jauh, ungkapan "ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ" (kemudian Kami menjadikannya ciptaan yang lain) secara eksplisit menunjukkan adanya dimensi transenden dalam penciptaan manusia. Para mufassir klasik seperti al-Rāzī dan al-Qurṭubī memahami bagian ini sebagai momen peniupan ruh, di mana manusia bukan lagi hanya makhluk jasmani, tetapi juga spiritual dan rasional2. Dengan demikian, manusia diposisikan sebagai makhluk bertanggung jawab secara moral, bukan sekadar entitas biologis. Dalam konteks ini, penafsiran hermeneutis memperkuat prinsip karāmah al-insān (kemuliaan manusia) sebagai makhluk yang diciptakan dalam bentuk terbaik (Qs. At-Tīn [95] ayat 4).

Hermeneutika juga memfasilitasi integrasi antara konsep penciptaan dan tanggung jawab etik. Dalam horizon teologis kontemporer, pemahaman terhadap proses penciptaan bukan hanya menjadi bukti kekuasaan Allah, tetapi juga mengandung mandat teologis bagi manusia untuk menjaga kehidupan dan menciptakan peradaban yang adil, sejalan dengan konsep khalīfah fil-arḍ (Qs. Al-Baqarah [2] ayat 30)3.

7.2.       Implikasi Epistemologis: Relasi antara Wahyu, Akal, dan Sains

Pendekatan hermeneutis juga menghasilkan implikasi epistemologis, yakni cara memahami dan memproduksi pengetahuan dari teks wahyu. Dalam pendekatan tradisional, pengetahuan dianggap berasal dari tafsir literal dan otoritatif. Namun, hermeneutika membuka paradigma baru bahwa makna teks bersifat dinamis, interaktif, dan kontekstual. Hal ini memperkuat pentingnya dialog antara wahyu dan akal (al-‘aql), serta antara teks dan realitas empiris.

Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14, jika dibaca melalui horizon sains modern, dapat dihubungkan dengan ilmu embriologi dan biologi reproduksi. Maurice Bucaille menyatakan bahwa deskripsi penciptaan manusia dalam ayat ini sangat kompatibel dengan temuan ilmiah kontemporer, bahkan sebelum pengetahuan itu berkembang dalam dunia Barat modern4. Konvergensi ini membuka ruang bagi epistemologi ta‘līmī (wahyu-transenden) dan epistemologi tajrībī (empiris-rasional) untuk saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Epistemologi Islam yang inklusif, sebagaimana disuarakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, justru menekankan bahwa ilmu yang benar (al-‘ilm al-nafi‘) adalah yang membawa manusia kepada pengakuan akan ketuhanan, bukan sekadar kebenaran fungsional.5 Dalam konteks ini, penafsiran hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 tidak hanya memperkaya wacana tafsir, tetapi juga menyumbang pada pembentukan epistemologi integratif—yang menggabungkan dimensi spiritual, etis, dan rasional dari ilmu pengetahuan.

7.3.       Relevansi terhadap Etika Ilmu dan Bioetika Islam

Dari aspek etika ilmu dan bioetika, penafsiran hermeneutis terhadap proses penciptaan manusia memiliki implikasi kritis. Pengetahuan tentang asal-usul manusia tidak hanya menumbuhkan rasa kagum ilmiah, tetapi juga kesadaran etis untuk memperlakukan kehidupan manusia dengan hormat sejak tahap awal. Hal ini penting dalam diskursus bioetika Islam, seperti dalam isu-isu tentang aborsi, fertilisasi in vitro, manipulasi genetik, dan hak embrio.

Konsep penciptaan manusia sebagai proses bertahap dan transenden menekankan bahwa kehidupan manusia bukan sekadar konstruksi biologis, tetapi merupakan amanah ilahi yang harus dijaga. Hal ini sesuai dengan pandangan Yusuf al-Qaradawi bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam harus berpijak pada prinsip moral dan tidak boleh dipisahkan dari tanggung jawab etik terhadap makhluk hidup, khususnya manusia6.

7.4.       Kontribusi terhadap Pembaharuan Tafsir dan Wacana Keilmuan Islam

Akhirnya, implikasi penting dari pendekatan hermeneutis terhadap ayat ini adalah kontribusinya terhadap pembaruan tafsir dan perluasan wacana keilmuan Islam. Penafsiran yang terbuka terhadap dialog ilmu-ilmu modern membuka ruang untuk lahirnya pendekatan tafsir multidisipliner yang tidak hanya berbasis filologi, tetapi juga integratif dengan sains, filsafat, dan humaniora. Hal ini sangat relevan dalam membangun epistemologi Islam yang kontekstual, berdaya saing, dan tetap berakar pada nilai-nilai transendensi.

Seperti yang ditegaskan oleh Arkoun, pendekatan hermeneutika historis-kritis mampu membongkar lapisan-lapisan historis yang membekukan tafsir, dan sekaligus membangun horizon baru dalam memahami makna wahyu di era globalisasi ilmu dan teknologi7. Dengan demikian, penafsiran hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 bukanlah proyek sekularisasi, tetapi usaha menyegarkan tradisi keilmuan Islam agar lebih relevan dan fungsional bagi masa kini.


Footnotes

[1]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 519–520.

[2]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 23 (Beirut: Dār Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī, 1999), 96–97.

[3]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Stanford: Stanford University Press, 2013), 121–124.

[4]                Maurice Bucaille, The Bible, the Qur’an and Science: The Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge, trans. Alastair D. Pannell (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), 194–198.

[5]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 115–117.

[6]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Hayat: Ma‘alim wa Qadaya, ed. Abd al-Shakur Abu Mayla (Beirut: Dar al-Shuruq, 2009), 213–218.

[7]                Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, trans. and ed. R. D. Lee (London: Saqi Books, 2002), 133–137.


8.           Penutup

Kajian hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 memberikan kontribusi signifikan dalam membuka horizon baru pemahaman terhadap teks-teks Al-Qur’an, khususnya mengenai proses penciptaan manusia. Ayat-ayat ini tidak hanya menyuguhkan narasi biologis tentang asal-usul manusia, tetapi juga menyiratkan struktur teologis, ontologis, dan epistemologis yang mendalam. Dengan pendekatan hermeneutika, penafsiran terhadap ayat tersebut tidak dibatasi oleh makna literal, melainkan diperluas melalui interaksi kritis antara teks, konteks pewahyuan, dan pengalaman keilmuan serta spiritual pembaca modern.

Penjelasan bertahap tentang proses penciptaan manusia yang dimulai dari sulālah min ṭīn hingga khalqan ākhara mencerminkan keteraturan, desain ilahiah, dan kesinambungan antara materi dan ruh dalam struktur eksistensial manusia. Tafsir klasik memberi penekanan terhadap keagungan ciptaan Allah dan ketundukan kepada-Nya, sedangkan pendekatan hermeneutis membuka peluang bagi pemaknaan baru yang bersifat dialogis dan responsif terhadap tantangan zaman kontemporer1. Dengan demikian, ayat ini dapat dilihat sebagai jembatan antara wahyu dan ilmu, antara iman dan akal, serta antara spiritualitas dan rasionalitas.

Dalam dimensi teologis, pendekatan ini mempertegas posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang memiliki kehormatan, potensi spiritual, dan tanggung jawab moral sebagai khalifah di bumi2. Sementara dari sisi epistemologis, ia menawarkan paradigma integratif antara wahyu dan sains, yang mampu melampaui dikotomi antara agama dan pengetahuan. Seperti ditegaskan oleh Fazlur Rahman, pembacaan kontekstual terhadap Al-Qur’an akan membawa umat Islam pada pemahaman yang lebih aktif, rasional, dan solutif dalam menghadapi realitas sosial modern3.

Namun demikian, pendekatan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an tidak lepas dari tantangan, baik dari sisi metodologi maupun penerimaan sosial. Kritik terhadap relativisme makna, ancaman desakralisasi teks, serta resistensi kalangan tradisional terhadap pendekatan ini harus disikapi secara arif dan kritis. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara metodologi klasik dan pendekatan baru yang bersifat progresif tetapi tetap dalam bingkai etika keilmuan Islam. Dalam hal ini, pembaruan tafsir seharusnya tidak menegasikan otoritas wahyu, melainkan menghidupkannya kembali dalam ruang kesadaran dan tanggung jawab manusia masa kini4.

Akhirnya, penafsiran hermeneutis terhadap Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12–14 menjadi contoh konkret bagaimana pendekatan tafsir kontekstual mampu memperkaya pemahaman terhadap teks Al-Qur’an, memperkuat keterkaitan antara ilmu dan iman, serta menawarkan kerangka etis dalam membaca manusia dan kemanusiaan. Dengan menjadikan wahyu sebagai sumber inspirasi epistemologis dan moral, pendekatan ini tidak hanya relevan secara akademik, tetapi juga bermakna secara spiritual dan praksis dalam kehidupan umat Islam kontemporer.


Footnotes

[1]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad al-Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 5:472–473.

[2]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 520–523.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 8–9.

[4]                Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach (London: Routledge, 2013), 21–24.


Daftar Pustaka

Abu Zayd, N. H. (1990). Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ʿUlūm al-Qurʾān. Casablanca: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī.

Abu Zayd, N. H. (2018). Texts, Authority, and Community: Essays in Honor of the Memory of Nasr Hamid Abu Zayd (C. Kersten & N. A. Arjomand, Eds.). Leiden: Brill.

al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

al-Ghazali, M. (1990). Kayfa Nata‘āmalu ma‘a al-Qurʾān. Beirut: Dār al-Shurūq.

al-Qaradawi, Y. (2009). Fiqh al-Hayat: Ma‘alim wa Qadaya (A. S. Abu Mayla, Ed.). Beirut: Dār al-Shurūq.

al-Qurṭubī, A. A. (2000). al-Jāmiʿ li-Aḥkām al-Qurʾān (A. al-Bardūnī & I. Aṭfāyish, Eds.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

al-Rāzī, F. al-D. (1999). al-Tafsīr al-Kabīr (Vol. 23). Beirut: Dār Iḥyāʾ al-Turāth al-ʿArabī.

Arkoun, M. (2002). The Unthought in Contemporary Islamic Thought (R. D. Lee, Trans. & Ed.). London: Saqi Books.

Bucaille, M. (1978). The Bible, the Qur’an and Science: The Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge (A. D. Pannell, Trans.). Indianapolis: American Trust Publications.

Dilthey, W. (1996). Selected Works, Volume IV: Hermeneutics and the Study of History (R. A. Makkreel & F. Rodi, Eds.). Princeton: Princeton University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.

Hanafi, H. (1991). Muqaddimah fī ʿIlm al-Istighrāb. Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī.

Iqbal, M. (2013). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Stanford: Stanford University Press.

Ibn Kathīr, I. (1999). Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm (S. M. al-Salāmah, Ed.). Riyadh: Dār Ṭayyibah.

Izutsu, T. (2002). God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Kersten, C. (2015). Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values. London: Hurst & Company.

Moore, K. L., & Persaud, T. V. N. (2008). The Developing Human: Clinically Oriented Embryology (8th ed.). Philadelphia: Saunders Elsevier.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (2009). Major Themes of the Qur’an (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London: Routledge.

Saeed, A. (2013). Reading the Qur’an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach. London: Routledge.

Shihab, M. Q. (2005). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Vol. 10). Jakarta: Lentera Hati.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar