Sosialisme
Sejarah, Gagasan Pokok, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
perkembangan sosialisme sebagai aliran utama dalam filsafat sosial-politik,
mulai dari akar historisnya pada masa pasca-Revolusi Industri dan Revolusi
Prancis, hingga relevansinya dalam menjawab tantangan dunia kontemporer.
Sosialisme tidak hanya dipahami sebagai sistem ekonomi alternatif terhadap
kapitalisme, tetapi juga sebagai kerangka etis, politik, dan filosofis yang
menekankan keadilan sosial, kepemilikan kolektif, serta demokrasi ekonomi.
Kajian ini mengeksplorasi berbagai ragam sosialisme—termasuk sosialisme utopis,
ilmiah, demokratik, Marxis-Leninis, libertarian, dan Islam—serta pemikiran
tokoh-tokoh kunci seperti Karl Marx, Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci, hingga
Thomas Piketty. Lebih lanjut, dibahas pula implementasi historis sosialisme di
berbagai negara, kritik internal maupun eksternal terhadapnya, serta
interseksinya dengan isu-isu mutakhir seperti feminisme, anti-rasisme, ekologi,
digitalisasi, dan globalisasi. Di abad ke-21, sosialisme menunjukkan vitalitas
baru sebagai respons terhadap krisis kapitalisme global, ketimpangan sosial,
serta degradasi lingkungan, dan tampil sebagai proyek transformatif yang
mengedepankan keadilan sosial, demokrasi substantif, dan keberlanjutan planet.
Kata Kunci: Sosialisme, filsafat sosial-politik, keadilan
sosial, kapitalisme, demokrasi ekonomi, sosialisme kontemporer, krisis global,
ekologi, feminisme, globalisasi.
PEMBAHASAN
Sosialisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Sosialisme merupakan
salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik modern yang muncul
sebagai tanggapan kritis terhadap ketimpangan sosial-ekonomi yang dihasilkan
oleh sistem kapitalisme. Meskipun akar-akar pemikiran sosialisme dapat dilacak
hingga ke gagasan etika dan politik dalam filsafat Yunani klasik, gagasan ini
mendapatkan bentuk sistematik dan radikalnya pada abad ke-19 dalam konteks
transformasi sosial besar-besaran yang dibawa oleh Revolusi Industri di Eropa
Barat. Revolusi tersebut memicu pergeseran drastis dalam struktur ekonomi dan
relasi sosial, menciptakan kelas pekerja industri yang menghadapi eksploitasi dalam
kondisi kerja yang buruk, upah rendah, dan ketimpangan distribusi kekayaan yang
ekstrem. Hal ini menimbulkan kesadaran akan perlunya sistem alternatif yang
lebih menekankan pada prinsip keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan1.
Secara historis, sosialisme
lahir bukan semata-mata sebagai ide abstrak, melainkan sebagai gerakan sosial
yang berakar dalam realitas material kelas buruh yang terpinggirkan. Dalam
konteks inilah sosialisme mulai dikembangkan oleh para pemikir seperti Henri de
Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen, yang dikenal sebagai sosialisme
utopis. Meskipun idealistik, gagasan-gagasan mereka berperan penting dalam
menegaskan kritik terhadap ketimpangan struktural dan dalam membayangkan
tatanan sosial alternatif berbasis kerja sama dan solidaritas2.
Kemudian, Karl Marx dan Friedrich Engels mengembangkan pendekatan yang lebih
ilmiah terhadap sosialisme, memformulasikan teori materialisme historis yang
menjadikan perjuangan kelas sebagai kekuatan penggerak utama dalam sejarah3.
Dalam ranah filsafat
sosial-politik, sosialisme tidak hanya berurusan dengan kebijakan ekonomi,
tetapi juga dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keadilan, kekuasaan,
kebebasan, dan hak milik. Filsafat sosialisme berusaha menjawab persoalan
bagaimana masyarakat dapat diorganisasi secara etis dan rasional agar mampu
menghapuskan penindasan dan memastikan kesejahteraan kolektif. Sejalan dengan
hal itu, sosialisme menjadi medan penting dalam perdebatan filosofis tentang
hubungan antara individu dan masyarakat, struktur kekuasaan negara, serta
fungsi ekonomi dalam menunjang kehidupan manusia secara adil dan bermartabat4.
Urgensi kajian
sosialisme dalam konteks kontemporer menjadi semakin menonjol di tengah krisis
kapitalisme global, meningkatnya ketimpangan kekayaan, ancaman ekologis, serta
maraknya eksklusi sosial yang dipicu oleh neoliberalisme. Gagasan-gagasan
sosialisme, meskipun telah mengalami berbagai transformasi historis dan
politis, tetap menjadi inspirasi bagi upaya merumuskan alternatif sistemik yang
menempatkan manusia dan solidaritas sosial sebagai pusat orientasi kebijakan5.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap sosialisme sebagai tradisi
filsafat sosial-politik sangat penting untuk menelaah dinamika perubahan sosial
dalam masyarakat modern, baik dalam konteks sejarah maupun tantangan masa kini.
Footnotes
[1]
Eric Hobsbawm, Industry and Empire: From 1750 to the Present Day
(London: Penguin Books, 1999), 66–72.
[2]
Michael Newman, Socialism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 12–19.
[3]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Classics, 2002), 217–222.
[4]
Jon Elster, Making Sense of Marx (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 87–101.
[5]
Thomas Piketty, Capital and Ideology, trans. Arthur Goldhammer
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2020), 961–975.
2.
Akar Historis dan Genealogi Sosialisme
Akar historis
sosialisme tidak dapat dilepaskan dari transformasi sosial dan ekonomi
besar-besaran yang terjadi di Eropa pada abad ke-18 dan 19, khususnya sebagai
akibat dari Revolusi Industri dan Revolusi
Prancis. Revolusi Industri yang dimulai di Inggris telah
mengubah struktur ekonomi agraris menjadi industrial, melahirkan kelas
proletariat baru yang menjadi tulang punggung sistem produksi namun mengalami
eksploitasi sistematis. Sementara itu, Revolusi Prancis menyumbang inspirasi
ideologis berupa konsep kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan
(liberté, égalité, fraternité) yang menjadi fondasi pemikiran
sosial progresif di abad berikutnya1.
Meskipun istilah
"sosialisme" baru muncul secara eksplisit pada awal abad
ke-19, gagasan tentang kepemilikan bersama dan keadilan sosial telah terungkap
dalam banyak tradisi filsafat terdahulu. Dalam pemikiran Plato, misalnya,
terutama dalam The Republic, terdapat gagasan
tentang penghapusan kepemilikan pribadi di kalangan penguasa demi terciptanya
keharmonisan sosial2. Namun demikian, sosialisme modern memiliki
karakteristik yang lebih kontekstual, yakni sebagai respons terhadap sistem
kapitalisme industri yang memperparah jurang antara pemilik alat produksi
(borjuis) dan kelas pekerja (proletar).
Pada tahap awalnya,
sosialisme dikenal dalam bentuk sosialisme utopis. Para pemikir
seperti Henri de Saint-Simon, Charles
Fourier, dan Robert Owen menawarkan gagasan
tentang komunitas ideal yang didasarkan pada kerja sama, kesetaraan, dan
rasionalitas ekonomi. Saint-Simon membayangkan masyarakat industrial yang
dipimpin oleh teknokrat dan ilmuwan, bukan oleh aristokrasi feodal3.
Fourier, dengan gaya yang lebih imajinatif, mengusulkan pembentukan komunitas
falansteri yang didasarkan pada harmoni antara hasrat individu dan kebutuhan
kolektif4. Robert Owen, sebagai pelaku industri, mencoba
merealisasikan sosialisme dalam praktik dengan mendirikan komunitas kerja di
New Lanark, Skotlandia, dan New Harmony, Indiana, Amerika Serikat5.
Meskipun idealisme
mereka tidak mampu bertahan dalam realitas sosial yang kompleks,
gagasan-gagasan para pemikir utopis tersebut menjadi dasar penting bagi
perkembangan sosialisme selanjutnya. Karl Marx dan Friedrich Engels kemudian
memberikan dimensi teoritis dan ilmiah terhadap sosialisme dengan mengembangkan
pendekatan materialisme historis, yang
melihat sejarah sebagai hasil dari konflik kelas dan pertentangan dalam
struktur produksi ekonomi. Marx secara tajam mengkritik sosialisme utopis
karena dianggap ahistoris dan tidak memahami dinamika material dari perubahan
sosial6.
Genealogi sosialisme
kemudian berkembang dalam berbagai bentuk dan arah, mulai dari sosialisme
Marxis revolusioner hingga sosialisme demokratik yang mencoba merekonsiliasi
prinsip keadilan sosial dengan sistem demokrasi parlementer. Berbagai gerakan
buruh, partai sosialis, dan organisasi internasional seperti Internasional
Pertama (1864) menjadi medium penting dalam menyebarluaskan
ide-ide sosialisme di Eropa dan dunia7.
Dengan demikian,
akar sosialisme tidak hanya dapat dipahami sebagai rangkaian pemikiran
filosofis yang bersifat normatif, tetapi juga sebagai produk dari dinamika
sejarah dan perjuangan kelas dalam masyarakat modern. Pemahaman atas
genealoginya memungkinkan pembacaan yang lebih utuh terhadap
pergeseran-pergeseran ideologis, praksis politik, dan penerapan sosialisme
dalam berbagai konteks historis dan geografis.
Footnotes
[1]
Eric Hobsbawm, The Age of Revolution: Europe 1789–1848 (New
York: Vintage Books, 1996), 272–281.
[2]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised by C. D.
C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 462–465.
[3]
Anthony Arblaster, The Rise and Decline of Western Liberalism
(Oxford: Blackwell, 1984), 145–147.
[4]
Gareth Stedman Jones, An End to Poverty? A Historical Debate
(London: Profile Books, 2004), 124–130.
[5]
Gregory Claeys, Social Reform in Britain and Western Europe
(London: Routledge, 1998), 55–63.
[6]
Karl Marx and Friedrich Engels, Selected Works, Vol. 1
(Moscow: Progress Publishers, 1969), 113–121.
[7]
Donald Sassoon, One Hundred Years of Socialism: The West European
Left in the Twentieth Century (New York: The New Press, 1996), 12–25.
3.
Definisi dan Esensi Sosialisme
Sosialisme merupakan
suatu aliran pemikiran dalam filsafat sosial-politik yang berlandaskan pada
gagasan bahwa keadilan sosial hanya dapat dicapai melalui penghapusan
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan penataan kembali sistem ekonomi
secara kolektif. Secara etimologis, istilah "sosialisme"
berasal dari kata Latin socialis, yang berarti “berkaitan
dengan masyarakat”, menekankan pentingnya kehidupan bersama dan kepentingan
kolektif1. Dalam pengertian luas, sosialisme menolak individualisme
ekstrem dan akumulasi kapital yang tidak terbatas, serta menekankan peran
negara atau komunitas dalam mengatur distribusi sumber daya demi tercapainya
kesejahteraan bersama2.
Namun demikian,
sosialisme bukanlah konsep tunggal yang kaku. Ia mencakup spektrum ideologi dan
praksis yang sangat beragam, mulai dari sosialisme utopis, sosialisme ilmiah,
sosialisme demokratik, hingga sosialisme libertarian. Kendati berbeda dalam
bentuk penerapannya, semua varian sosialisme umumnya mengandung tiga prinsip
utama: (1)
kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, (2) distribusi kekayaan secara
adil dan merata, dan (3) orientasi pada
kesejahteraan sosial, bukan keuntungan pribadi3.
Dalam kerangka
filsafat sosial-politik, sosialisme mempersoalkan relasi antara kepemilikan,
produksi,
dan distribusi
dalam masyarakat. Karl Marx menegaskan bahwa bentuk kepemilikan menentukan
struktur sosial dan relasi kekuasaan di dalamnya. Bagi Marx, kepemilikan
pribadi atas alat produksi menciptakan eksploitasi kelas pekerja oleh kaum
kapitalis, dan hanya melalui penghapusan kepemilikan pribadi tersebut dapat
tercipta masyarakat tanpa kelas4. Oleh karena itu, sosialisme
menawarkan visi masyarakat di mana produksi diarahkan bukan untuk keuntungan,
melainkan untuk pemenuhan kebutuhan seluruh anggota masyarakat.
Di sisi lain,
sosialisme juga berakar pada pemahaman etis tentang keadilan distributif.
Pemikir seperti Eduard Bernstein dan sosialisme demokratik menekankan bahwa
tujuan sosialisme bukanlah revolusi kekerasan, melainkan transformasi gradual
melalui jalur demokrasi untuk mencapai keadilan sosial dalam kerangka institusi
politik yang sah5. Perspektif ini menolak dikotomi antara kebebasan
individu dan keadilan kolektif, dengan mengandaikan bahwa keduanya dapat
diseimbangkan melalui kebijakan sosial yang progresif, seperti sistem pajak
redistributif, jaminan sosial universal, dan layanan publik yang inklusif6.
Selain aspek ekonomi
dan politik, sosialisme juga menyentuh ranah moral dan spiritual. Sebagian
pemikir menilai bahwa sosialisme merepresentasikan nilai-nilai solidaritas,
empati, dan tanggung jawab sosial yang menjadi dasar keberlangsungan komunitas
manusia. Karenanya, sosialisme tidak hanya dipahami sebagai sistem teknokratis,
tetapi juga sebagai ideal etis yang mengangkat harkat manusia di atas
kepentingan pasar dan logika akumulasi kapital7.
Dengan demikian,
esensi sosialisme adalah pencarian terhadap bentuk masyarakat yang adil,
rasional, dan manusiawi. Dalam dunia yang ditandai oleh ketimpangan ekonomi
yang terus meningkat dan krisis ekologis yang meluas, sosialisme kembali
menawarkan kerangka filosofis dan praktis untuk menimbang ulang cara kita
memaknai produksi, konsumsi, dan relasi antarindividu dalam kehidupan bersama.
Footnotes
[1]
Gregory Claeys, Socialism: Origins, Expansion, and Decline
(New York: Columbia University Press, 2018), 3.
[2]
Michael Newman, Socialism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 2–5.
[3]
Peter Singer, Marx: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2000), 88–90.
[4]
Karl Marx, Critique of the Gotha Programme, trans. and ed. by
Joseph O’Malley (New York: International Publishers, 1970), 17–21.
[5]
Eduard Bernstein, Evolutionary Socialism: A Criticism and
Affirmation, trans. Edith C. Harvey (New York: Schocken Books, 1961),
26–32.
[6]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 60–64.
[7]
Terry Eagleton, Why Marx Was Right (New Haven: Yale University
Press, 2011), 94–98.
4.
Tokoh-Tokoh Sentral dan Pemikiran Mereka
Perkembangan
sosialisme sebagai aliran pemikiran dalam filsafat sosial-politik tidak dapat
dilepaskan dari kontribusi para tokoh sentral yang memberikan bentuk teoretis,
praksis politik, dan interpretasi filosofis yang beragam terhadap gagasan
sosialisme. Di antara tokoh-tokoh paling berpengaruh adalah Karl
Marx, Friedrich Engels, Eduard
Bernstein, Rosa Luxemburg, Antonio
Gramsci, serta tokoh kontemporer seperti Michael
Harrington dan Thomas Piketty.
4.1.
Karl Marx dan
Friedrich Engels: Sosialisme Ilmiah
Karl Marx
(1818–1883) dan Friedrich Engels (1820–1895) merupakan tokoh utama dalam
pengembangan sosialisme ilmiah (scientific
socialism), yang berbeda dari sosialisme utopis yang berkembang
sebelumnya. Dalam karya monumental The Communist Manifesto (1848),
mereka menegaskan bahwa sejarah adalah sejarah perjuangan kelas, di mana
konflik antara borjuis dan proletar akan menghasilkan transformasi revolusioner
menuju masyarakat tanpa kelas1.
Marx memperkenalkan
kerangka materialisme historis, yang
menekankan bahwa kondisi material dan struktur ekonomi menentukan bentuk
politik, hukum, dan budaya. Menurut Marx, sosialisme merupakan tahap transisi
menuju komunisme, di mana alat-alat produksi tidak lagi menjadi milik pribadi,
melainkan milik kolektif2. Engels melengkapi
kerangka Marx dengan analisis tentang peran negara sebagai alat kelas dominan,
dan pentingnya penghapusan negara dalam tahap akhir perkembangan masyarakat
komunis3.
4.2.
Eduard Bernstein:
Sosialisme Evolusioner
Berbeda dengan Marx,
Eduard
Bernstein (1850–1932) mengembangkan pendekatan reformis
terhadap sosialisme yang dikenal sebagai revisionisme. Dalam bukunya Evolutionary
Socialism (1899), Bernstein menolak anggapan bahwa revolusi
kekerasan adalah jalan satu-satunya menuju sosialisme. Ia menyarankan strategi
transformatif melalui lembaga demokrasi parlementer dan kebijakan reformasi
sosial yang progresif4.
Bernstein mengklaim
bahwa kapitalisme telah mengalami modifikasi dan menunjukkan kapasitas untuk
adaptasi melalui mekanisme negara kesejahteraan dan serikat buruh, sehingga
perjuangan kelas tidak harus berujung pada konflik revolusioner. Pandangannya
menimbulkan kontroversi dalam gerakan sosialisme Eropa, namun meletakkan dasar
bagi sosialisme
demokratik modern5.
4.3.
Rosa Luxemburg:
Kritik terhadap Reformisme
Rosa
Luxemburg (1871–1919) mengkritik keras revisionisme Bernstein
dan mempertahankan posisi revolusioner Marxis. Dalam Reform
or Revolution (1899), Luxemburg menegaskan bahwa reformasi sosial
tidak bisa menggantikan kebutuhan akan revolusi proletar, karena struktur
kapitalisme pada dasarnya tetap eksploitatif6. Ia
menekankan pentingnya kesadaran kelas dan peran massa dalam perjuangan
revolusioner yang autentik.
Luxemburg juga
memperingatkan bahaya sentralisasi berlebihan dalam partai sosialis yang dapat
mengarah pada otoritarianisme. Dalam hal ini, ia menyuarakan demokrasi
pekerja dan spontanitas massa sebagai
kekuatan revolusioner sejati, berbeda dari model Leninisme yang lebih elitis
dan terpusat7.
4.4.
Antonio Gramsci:
Hegemoni dan Perjuangan Kultural
Antonio
Gramsci (1891–1937), seorang intelektual Marxis Italia,
memperluas analisis sosialisme ke dalam ranah budaya dan ideologi. Dalam Prison
Notebooks, Gramsci memperkenalkan konsep hegemoni,
yakni dominasi ideologis kelas borjuis yang berhasil membuat nilai-nilai
kapitalisme tampak wajar dan alamiah dalam kesadaran masyarakat8.
Untuk mengatasi hegemoni ini, Gramsci menyarankan strategi perjuangan jangka
panjang melalui penciptaan hegemoni tandingan lewat
pendidikan, media, dan lembaga budaya.
Pemikiran Gramsci
sangat berpengaruh dalam perkembangan sosialisme kultural dan teori
kritis, serta memberikan dimensi baru dalam strategi sosialisme yang tidak
hanya bersandar pada kekuatan ekonomi dan politik, tetapi juga pada perubahan
kesadaran kolektif9.
4.5.
Tokoh-Tokoh
Kontemporer: Harrington, Sanders, dan Piketty
Di abad ke-20 dan
21, sosialisme mengalami kebangkitan dalam bentuk sosialisme
demokratik kontemporer, yang menggabungkan prinsip keadilan
sosial dengan komitmen terhadap demokrasi pluralistik. Michael
Harrington (1928–1989), pendiri Democratic Socialists of
America (DSA), menekankan perlunya kontrol demokratis terhadap ekonomi,
penghapusan kemiskinan, dan peran aktif negara dalam menjamin kesejahteraan
rakyat10.
Tokoh politik
seperti Bernie Sanders di Amerika
Serikat menghidupkan kembali wacana sosialisme dalam arus utama, dengan
mengusung kebijakan seperti jaminan kesehatan universal, pendidikan tinggi
gratis, dan pajak progresif terhadap kaum kaya. Di bidang teori ekonomi, Thomas
Piketty melalui karya Capital in the Twenty-First Century
menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi adalah konsekuensi inheren dari
kapitalisme yang tidak terkendali, dan menyerukan intervensi fiskal untuk
distribusi kekayaan yang lebih adil11.
Footnotes
[1]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Classics, 2002), 219–223.
[2]
Karl Marx, Critique of the Gotha Programme, trans. Joseph
O’Malley (New York: International Publishers, 1970), 9–18.
[3]
Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific (New York:
International Publishers, 1975), 65–80.
[4]
Eduard Bernstein, Evolutionary Socialism: A Criticism and
Affirmation, trans. Edith C. Harvey (New York: Schocken Books, 1961),
5–12.
[5]
Donald Sassoon, One Hundred Years of Socialism: The West European
Left in the Twentieth Century (New York: The New Press, 1996), 28–35.
[6]
Rosa Luxemburg, Reform or Revolution, trans. Integer (New
York: Pathfinder Press, 2001), 35–45.
[7]
Norman Geras, The Legacy of Rosa Luxemburg (London: Verso,
1983), 19–24.
[8]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 12–15.
[9]
Perry Anderson, The Antinomies of Antonio Gramsci (London:
Verso, 2017), 40–48.
[10]
Michael Harrington, Socialism: Past and Future (New York:
Arcade Publishing, 1989), 88–95.
[11]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 354–368.
5.
Ragam dan Varian Sosialisme
Sosialisme bukanlah
suatu doktrin monolitik, melainkan spektrum luas dari gagasan dan praktik politik
yang berangkat dari prinsip keadilan sosial, solidaritas, dan kepemilikan
kolektif atas alat produksi. Dalam sejarah perkembangannya, sosialisme telah
melahirkan beragam varian, masing-masing menyesuaikan diri dengan kondisi
historis, politik, dan budaya yang berbeda. Setiap ragam sosialisme
merepresentasikan penekanan tertentu terhadap cara pencapaian tujuan
sosialistik, bentuk struktur kekuasaan, dan pandangan terhadap demokrasi serta
kebebasan individu.
5.1.
Sosialisme Utopis
Sosialisme utopis
muncul sebagai bentuk awal sosialisme yang berkembang sebelum analisis ilmiah
Marxis. Tokoh-tokoh seperti Henri de Saint-Simon, Charles
Fourier, dan Robert Owen membayangkan
masyarakat yang adil dan harmonis yang dapat dibangun melalui perencanaan
rasional dan kerja sama sukarela, bukan melalui perjuangan kelas atau revolusi1.
Meskipun dinilai ahistoris oleh Karl Marx karena tidak mempertimbangkan
kontradiksi material dalam masyarakat, sosialisme utopis memiliki pengaruh
besar dalam membentuk kesadaran akan kemungkinan tatanan sosial yang lebih adil2.
5.2.
Sosialisme Ilmiah
(Marxis)
Sosialisme ilmiah,
dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich
Engels, menekankan bahwa transformasi sosial hanya dapat
terjadi melalui perjuangan kelas dan perubahan dalam struktur ekonomi. Berbeda
dari pendekatan moral atau idealis, sosialisme ilmiah berpijak pada materialisme
historis—pandangan bahwa perubahan sosial ditentukan oleh
kondisi material dan relasi produksi3. Dalam
kerangka ini, sosialisme dipandang sebagai tahap historis menuju komunisme, di
mana negara dan kelas sosial akan lenyap setelah penghapusan kepemilikan
pribadi atas alat-alat produksi.
5.3.
Sosialisme
Demokratik
Sosialisme
demokratik berkembang sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk
otoriter sosialisme yang muncul di abad ke-20. Aliran ini menekankan jalan
demokratis menuju sosialisme melalui lembaga-lembaga politik
yang sah dan mekanisme pemilu yang bebas. Sosialisme demokratik berusaha
menyelaraskan antara prinsip-prinsip sosialisme dan nilai-nilai liberal seperti
kebebasan individu, pluralisme, dan hak asasi manusia4.
Partai-partai
sosialis di Eropa Barat, seperti Partai Buruh di Inggris dan Partai Sosial
Demokrat di Jerman, merupakan representasi penting dari aliran ini. Mereka
mendorong program-program seperti jaminan kesehatan universal, pendidikan
gratis, upah minimum layak, dan pajak progresif sebagai bentuk nyata
redistribusi kekayaan5.
5.4.
Sosialisme
Marxis-Leninis
Sosialisme
Marxis-Leninis adalah bentuk ideologis dan praktis dari
sosialisme yang diimplementasikan dalam Revolusi Rusia dan diterapkan oleh
negara-negara seperti Uni Soviet, Tiongkok, dan Kuba. Didasarkan pada
modifikasi ajaran Marx oleh Vladimir Lenin, aliran ini
menekankan peran sentral partai pelopor
dalam memimpin revolusi dan membangun masyarakat sosialis melalui kediktatoran
proletariat6.
Meskipun berhasil
membentuk sistem industri dan pendidikan massal di banyak negara, sosialisme
Marxis-Leninis juga dikritik karena memusatkan kekuasaan secara otoriter,
membatasi kebebasan politik, dan menciptakan struktur birokratis yang mengekang
partisipasi rakyat7.
5.5.
Sosialisme
Libertarian
Sosialisme
libertarian adalah bentuk sosialisme yang menolak negara
sebagai alat utama perubahan sosial dan lebih menekankan desentralisasi
kekuasaan, demokrasi langsung, dan otonomi
komunitas. Tokoh-tokoh seperti Mikhail Bakunin dan Noam
Chomsky mewakili aliran ini, yang memandang negara sebagai
bentuk dominasi yang harus dihapus bersama dengan kapitalisme8.
Sosialisme
libertarian sangat berfokus pada pemberdayaan masyarakat akar rumput, federasi
koperasi, dan pengelolaan ekonomi secara demokratis. Ia menggabungkan idealisme
sosialisme dengan komitmen terhadap kebebasan individu yang tinggi.
5.6.
Sosialisme Islam
Sebagian pemikir
Muslim menafsirkan nilai-nilai sosialisme sebagai sejalan dengan prinsip
keadilan sosial dalam Islam. Sosialisme Islam bukanlah
replika dari Marxisme, melainkan sintesis nilai-nilai tauhid,
keadilan distributif, anti-eksklusi, dan kepedulian terhadap kaum dhuafa.
Tokoh seperti Ali Shariati di Iran dan Hasan
al-Turabi di Sudan mempromosikan bentuk sosialisme yang berakar
dalam ajaran Islam, dengan penekanan pada tanggung jawab sosial dan penolakan
terhadap eksploitasi ekonomi9.
Dalam konteks
Indonesia, pemikiran Hatta, Tan
Malaka, dan Nurcholish Madjid memperlihatkan
simpati terhadap bentuk sosialisme yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman dan
kebangsaan10. Meskipun interpretasinya
beragam, sosialisme Islam menawarkan kerangka etis-spiritual untuk keadilan
sosial tanpa terjebak pada sekularisme radikal.
Footnotes
[1]
Gregory Claeys, Socialism: Origins, Expansion, and Decline
(New York: Columbia University Press, 2018), 18–24.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Classics, 2002), 236–239.
[3]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. N.I. Stone (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1904), 11–17.
[4]
Michael Newman, Socialism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 35–39.
[5]
Donald Sassoon, One Hundred Years of Socialism: The West European
Left in the Twentieth Century (New York: The New Press, 1996), 47–59.
[6]
V.I. Lenin, The State and Revolution, trans. Robert Service
(London: Penguin Classics, 1992), 62–73.
[7]
Richard Pipes, Communism: A History (New York: Modern Library,
2001), 95–103.
[8]
Noam Chomsky, On Anarchism (New York: The New Press, 2013),
23–30.
[9]
Ali Shariati, On the Sociology of Islam, trans. Hamid Algar
(Berkeley: Mizan Press, 1979), 51–58.
[10]
Robert Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in
Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 101–109.
6.
Sosialisme dan Kritik terhadap Kapitalisme
Salah satu fondasi
utama dari pemikiran sosialisme adalah kritik mendalam terhadap sistem
kapitalisme. Sejak abad ke-19, para pemikir sosialis telah mengecam kapitalisme
sebagai sistem ekonomi yang menciptakan ketimpangan struktural, eksploitasi
kelas pekerja, serta alienasi manusia dari hasil kerjanya sendiri. Kritik ini
tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga filosofis dan moral—berangkat dari
gagasan bahwa tatanan ekonomi seharusnya melayani kepentingan manusia secara
kolektif, bukan memperkaya segelintir elite pemilik modal.
6.1.
Eksploitasi Kelas
Pekerja
Dalam kerangka materialisme
historis, Karl Marx menyatakan bahwa kapitalisme didasarkan
pada hubungan produksi yang eksploitatif. Kelas borjuis (pemilik modal)
memperoleh keuntungan dari kerja kaum proletar (pekerja) dengan membayar upah
yang lebih rendah daripada nilai barang yang dihasilkan. Selisih antara nilai kerja
dan upah ini disebut sebagai nilai lebih (surplus
value), yang merupakan sumber akumulasi kapital oleh borjuis1.
Marx menilai bahwa hubungan ini bersifat tidak adil secara struktural dan akan
terus melestarikan ketimpangan sosial.
Lebih lanjut, Marx mengemukakan
bahwa kapitalisme memisahkan manusia dari esensi kemanusiaannya melalui proses alienasi—yakni
keterasingan pekerja dari produk kerjanya, dari proses produksi, dari dirinya
sendiri, dan dari sesama manusia2. Dalam pandangan ini,
kapitalisme bukan hanya mengeksploitasi secara ekonomi, tetapi juga merusak
relasi sosial dan eksistensi manusia secara lebih luas.
6.2.
Ketimpangan Ekonomi
dan Akumulasi Kapital
Kapitalisme juga
dikritik karena kecenderungannya menciptakan ketimpangan ekonomi yang
semakin ekstrem. Dalam riset empiris kontemporer, Thomas
Piketty menunjukkan bahwa laju pengembalian modal (r) secara
historis cenderung lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekonomi (g), sehingga
kekayaan akan terus terakumulasi di tangan pemilik modal3.
Akibatnya, ketimpangan distribusi pendapatan dan kekayaan akan memburuk dalam
jangka panjang tanpa intervensi politik yang kuat.
Fenomena ini
mencerminkan apa yang sejak lama disoroti oleh sosialisme: bahwa mekanisme
pasar bebas tanpa regulasi cenderung menghasilkan konsentrasi kekayaan dan
kekuasaan ekonomi. Ketika kekayaan terpusat, demokrasi pun terancam, karena
elite ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan publik dan institusi politik untuk
melindungi kepentingan mereka4.
6.3.
Krisis Ekonomi dan
Instabilitas Sistemik
Kapitalisme juga
dikritik sebagai sistem yang tidak stabil secara internal,
karena bergantung pada logika pertumbuhan tanpa batas dan produksi untuk
keuntungan, bukan kebutuhan. Marx telah mengantisipasi bahwa kapitalisme akan
mengalami siklus krisis akibat overproduksi dan underconsumption—barang
diproduksi dalam jumlah besar, namun tidak dapat diserap oleh pasar karena daya
beli rakyat rendah5.
Krisis ekonomi
global tahun 2008 menjadi bukti konkret tentang bagaimana sistem keuangan
kapitalistik dapat menciptakan instabilitas besar dalam skala global. Ketika
spekulasi keuangan menggantikan produksi riil sebagai sumber keuntungan utama,
risiko sistemik meningkat dan memperkuat ketimpangan ekonomi. Kritik sosialisme
terhadap finansialisasi ekonomi modern semakin mendapatkan relevansi dalam
konteks ini6.
6.4.
Krisis Ekologis
Selain aspek
sosial-ekonomi, kapitalisme juga dikritik karena kontribusinya terhadap krisis
lingkungan global. Logika pertumbuhan eksponensial dan
akumulasi tanpa batas mendorong eksploitasi alam secara destruktif. Aktivitas
industri besar, konsumsi massal, dan ekstraksi sumber daya alam yang tak
terkendali telah menyebabkan perubahan iklim, kerusakan ekosistem, dan
penurunan keanekaragaman hayati7.
Para pemikir
sosialisme ekologis menekankan bahwa tidak mungkin menyelesaikan krisis
lingkungan selama struktur kapitalisme tetap dominan. Sebaliknya, mereka
menyerukan reorganisasi sistem produksi dan konsumsi berdasarkan kebutuhan
manusia dan keseimbangan ekologis, bukan logika pasar dan profitabilitas8.
6.5.
Alternatif Sosialis
terhadap Kapitalisme
Sebagai alternatif,
sosialisme menawarkan model ekonomi yang menekankan kepemilikan
kolektif, perencanaan demokratis, dan distribusi
yang adil. Dalam pendekatan sosialisme demokratik, misalnya,
kebijakan seperti pajak progresif, jaminan sosial universal, layanan publik
gratis, dan regulasi pasar dianggap sebagai langkah realistis menuju masyarakat
yang lebih egaliter tanpa harus meninggalkan sistem demokrasi9.
Beberapa negara
Skandinavia sering dikutip sebagai contoh penerapan nilai-nilai sosialisme
dalam kerangka demokrasi liberal yang tetap menjamin kebebasan individu.
Meskipun bukan sosialisme penuh dalam pengertian Marxis, model ini menunjukkan
bahwa alternatif terhadap kapitalisme neoliberal dapat diwujudkan secara
fungsional dan berkelanjutan10.
Footnotes
[1]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990), 325–342.
[2]
Karl Marx, “Estranged Labour,” in Economic and Philosophic
Manuscripts of 1844, ed. Dirk J. Struik (New York: International
Publishers, 1964), 110–122.
[3]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 353–360.
[4]
Joseph E. Stiglitz, The Price of Inequality (New York: W.W.
Norton, 2012), 104–113.
[5]
Karl Marx, Capital, vol. 3, trans. David Fernbach (London:
Penguin Books, 1991), 476–487.
[6]
David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 15–25.
[7]
Naomi Klein, This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate
(New York: Simon & Schuster, 2014), 24–32.
[8]
John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature
(New York: Monthly Review Press, 2000), 157–164.
[9]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 71–82.
[10]
Bo Rothstein, The Quality of Government: Corruption, Social Trust,
and Inequality in International Perspective (Chicago: University of
Chicago Press, 2011), 115–121.
7.
Implementasi Sosialisme dalam Praktik Sejarah
Sepanjang abad
ke-20, sosialisme tidak hanya hadir sebagai teori dan idealisme filosofis,
tetapi juga sebagai kekuatan historis yang mengubah wajah dunia.
Berbagai negara dan gerakan politik mencoba menerapkan prinsip-prinsip
sosialisme dalam bentuk sistem pemerintahan, ekonomi, dan budaya yang nyata.
Implementasi sosialisme dalam sejarah memperlihatkan spektrum
keberhasilan, kegagalan, inovasi, hingga penyimpangan,
tergantung pada konteks sosial-politik dan strategi yang ditempuh.
7.1.
Revolusi Rusia dan
Uni Soviet
Penerapan sosialisme
secara sistemik pertama kali terjadi melalui Revolusi Bolshevik tahun 1917
di Rusia, yang dipimpin oleh Vladimir Lenin dan Partai
Komunis. Negara ini menjadi contoh nyata dari sosialisme Marxis-Leninis,
dengan menasionalisasi industri, tanah, dan sumber daya alam, serta membentuk
struktur ekonomi terpusat di bawah kontrol negara1.
Pada masa
pemerintahan Joseph Stalin, Uni Soviet
mengalami industrialisasi besar-besaran, kolektivisasi pertanian, dan
sentralisasi kekuasaan. Meski mampu membangun kekuatan industri dan militer
yang signifikan, rezim ini juga dikenal dengan represi politik, gulag, dan kultus individu
yang bertentangan dengan semangat demokrasi pekerja dalam sosialisme awal2.
Kendati demikian, Uni Soviet juga memperkenalkan akses luas terhadap
pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan bagi rakyatnya, sesuatu yang diakui bahkan
oleh para pengkritiknya3.
7.2.
Model Sosialisme di
Tiongkok, Kuba, dan Vietnam
Setelah Perang Dunia
II, sosialisme menyebar ke berbagai belahan dunia, terutama negara-negara bekas
jajahan yang mencari jalan pembangunan alternatif. Di Tiongkok,
revolusi komunis tahun 1949 yang dipimpin Mao Zedong menghasilkan
Republik Rakyat Tiongkok. Awalnya meniru model Soviet, Tiongkok kemudian mengembangkan
pendekatan tersendiri melalui kampanye radikal seperti “Lompatan
Jauh ke Depan” dan “Revolusi Kebudayaan”, yang
berakibat pada kekacauan ekonomi dan sosial berskala besar4.
Di Kuba,
revolusi tahun 1959 yang dipimpin Fidel Castro dan Che
Guevara menjadikan negara tersebut sebagai simbol perlawanan
terhadap imperialisme Amerika Serikat. Kuba mengembangkan sistem kesehatan dan
pendidikan publik yang sangat maju, meskipun menghadapi embargo ekonomi dan
kritik terhadap pembatasan kebebasan sipil5. Di Vietnam,
setelah perang panjang melawan Prancis dan Amerika Serikat, sosialisme
diterapkan dalam kerangka rekonstruksi nasional, meski kemudian disesuaikan
dengan pembaruan ekonomi (Đổi Mới) sejak akhir 1980-an6.
7.3.
Sosialisme
Demokratik di Skandinavia dan Eropa Barat
Berbeda dari
bentuk-bentuk revolusioner dan otoriter, sosialisme demokratik
berkembang di negara-negara seperti Swedia, Norwegia, Denmark, dan Jerman
melalui partai-partai sosialis dan sosial-demokrat yang beroperasi dalam sistem
demokrasi parlementer. Pendekatan ini tidak menasionalisasi seluruh ekonomi,
tetapi menekankan negara kesejahteraan (welfare state),
redistribusi
kekayaan, hak-hak buruh, dan perlindungan
sosial universal7.
Model Skandinavia
terbukti berhasil menciptakan keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan
keadilan sosial. Masyarakat di negara-negara ini menikmati standar hidup yang
tinggi, tingkat kesenjangan yang rendah, dan sistem pelayanan publik yang
solid. Ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip sosialisme dapat diterapkan tanpa
harus mengorbankan kebebasan individu atau demokrasi pluralistik8.
7.4.
Eksperimen Sosialis
di Dunia Global Selatan
Di berbagai negara
berkembang, terutama di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, sosialisme dijadikan
sebagai ideologi pembebasan nasional dan pembangunan pascakolonial. Pemimpin
seperti Julius Nyerere di Tanzania, Kwame
Nkrumah di Ghana, dan Ahmed Ben Bella di Aljazair
mengusung model sosialisme Afrika yang
menekankan solidaritas kolektif, kepemilikan bersama atas tanah, dan semangat
antikolonial9.
Namun, banyak
eksperimen ini gagal mencapai tujuan jangka panjang karena lemahnya institusi,
intervensi asing, dan kurangnya infrastruktur ekonomi. Di sisi lain, pendekatan
ini membuka ruang bagi diskusi tentang kontekstualisasi sosialisme sesuai dengan nilai-nilai
lokal, termasuk spiritualitas, adat, dan semangat komunal10.
Kesimpulan
Implementasi
sosialisme dalam sejarah mencerminkan dinamika yang kompleks antara idealisme
dan realitas politik. Meskipun berbagai bentuk sosialisme menghadapi tantangan
berat—termasuk birokratisasi, otoritarianisme, dan resistensi global—beberapa
model berhasil menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial, solidaritas, dan
demokrasi ekonomi dapat diwujudkan secara nyata. Studi historis ini menegaskan
bahwa sosialisme bukan satu resep tunggal, melainkan sebuah spektrum ide dan
praktik yang terus berkembang, dipengaruhi oleh konteks dan pengalaman historis
masing-masing bangsa.
Footnotes
[1]
V.I. Lenin, The State and Revolution, trans. Robert Service
(London: Penguin Classics, 1992), 55–61.
[2]
Robert Service, Stalin: A Biography (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2004), 310–322.
[3]
Sheila Fitzpatrick, Everyday Stalinism: Ordinary Life in
Extraordinary Times (Oxford: Oxford University Press, 1999), 204–211.
[4]
Maurice Meisner, Mao’s China and After: A History of the People’s
Republic (New York: Free Press, 1999), 137–155.
[5]
Richard Gott, Cuba: A New History (New Haven: Yale University
Press, 2004), 224–237.
[6]
Adam Fforde and Stefan de Vylder, From Plan to Market: The Economic
Transition in Vietnam (Boulder: Westview Press, 1996), 33–41.
[7]
Gøsta Esping-Andersen, The Three Worlds of Welfare Capitalism
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 27–40.
[8]
Bo Rothstein, Just Institutions Matter: The Moral and Political
Logic of the Universal Welfare State (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 88–95.
[9]
Issa G. Shivji, The Concept of Human Rights in Africa (London:
CODESRIA, 1989), 46–51.
[10]
Barry Munslow, Africa: Problems in the Transition to Socialism
(London: Zed Books, 1983), 102–107.
8.
Perdebatan dan Kritik terhadap Sosialisme
Seiring dengan
berkembangnya sosialisme dalam teori maupun praktik, muncul pula berbagai
bentuk kritik dan perdebatan baik dari luar maupun dari dalam tubuh gerakan
sosialis itu sendiri. Kritik terhadap sosialisme mencakup isu-isu tentang
kebebasan individu, efisiensi ekonomi, birokratisasi kekuasaan, serta realitas
sejarah dari negara-negara yang mengklaim diri sebagai sosialis. Kritik-kritik
ini tidak hanya datang dari pemikir liberal dan kapitalis, tetapi juga dari
sesama sosialis yang berbeda pandangan tentang metode dan tujuan sosialisme.
8.1.
Masalah
Birokratisasi dan Otoritarianisme
Salah satu kritik
utama terhadap sosialisme, khususnya terhadap model sosialisme
Marxis-Leninis, adalah kecenderungannya untuk menciptakan
pemerintahan yang otoriter dan birokratis. Dalam
praktiknya, banyak negara sosialis—seperti Uni Soviet, Tiongkok era Mao, atau
Korea Utara—mengembangkan sistem politik satu partai yang menekan kebebasan
sipil, membatasi oposisi, dan membungkam pers1.
Kritikus seperti George Orwell, dalam novel
distopisnya 1984, menggambarkan bagaimana
sistem yang mengklaim membela rakyat justru dapat berubah menjadi tirani yang
represif2.
Bahkan dari dalam
kalangan Marxis sendiri, terdapat kritik terhadap kecenderungan otoriter ini. Rosa
Luxemburg, misalnya, mengingatkan bahwa tanpa demokrasi politik
dan partisipasi rakyat yang luas, sosialisme akan kehilangan maknanya sebagai
pembebasan manusia3.
8.2.
Krisis Efisiensi dan
Inovasi Ekonomi
Dari perspektif
ekonomi, para ekonom liberal mengkritik sosialisme karena dianggap tidak
efisien dalam mengalokasikan sumber daya. Mereka menekankan
bahwa sistem ekonomi terencana cenderung menghambat inovasi, menciptakan
kelangkaan barang, dan menyebabkan pemborosan karena kurangnya insentif pasar
dan kompetisi bebas. Friedrich Hayek berargumen
bahwa tidak ada otoritas pusat yang mampu mengelola informasi ekonomi yang
tersebar dalam masyarakat seperti mekanisme harga dalam pasar bebas4.
Pengalaman Uni
Soviet dan negara-negara Blok Timur mendukung kritik ini: pertumbuhan ekonomi
yang stagnan, korupsi birokrasi, dan ketidakmampuan merespons kebutuhan
konsumen secara fleksibel menjadi bukti bagi kegagalan sistem ekonomi sosialis
terpusat5.
8.3.
Ketegangan antara
Kolektivitas dan Kebebasan Individu
Kritik lain terhadap
sosialisme adalah adanya ketegangan antara solidaritas kolektif dan
kebebasan individu. Dalam upaya mengutamakan kepentingan
bersama, sistem sosialis seringkali mengorbankan kebebasan memilih, kepemilikan
pribadi, dan otonomi moral individu. Isaiah Berlin membedakan antara
“kebebasan negatif” (bebas dari campur tangan) dan “kebebasan positif”
(kemampuan untuk menentukan nasib sendiri), dan memperingatkan bahwa
sosialisme, dalam upaya memberdayakan masyarakat, bisa saja melanggar hak
individu secara tidak sah atas nama kolektivitas6.
Namun, para pembela
sosialisme berargumen bahwa kebebasan sejati tidak dapat tercapai tanpa kondisi
sosial dan ekonomi yang adil. Dalam konteks ini, Erik
Olin Wright menyatakan bahwa sosialisme berusaha memperluas
kapasitas nyata manusia untuk bertindak, bukan sekadar
memberikan ruang formal kebebasan yang kosong karena kesenjangan ekonomi7.
8.4.
Kritik terhadap Determinisme
Historis Marxis
Dalam aspek
teoritis, kritik juga ditujukan terhadap determinisme historis dalam
Marxisme klasik, yakni pandangan bahwa sejarah akan secara pasti bergerak
menuju komunisme melalui perjuangan kelas. Para kritikus kontemporer melihat
pendekatan ini terlalu mekanistis dan tidak memberi ruang pada kontingensi
historis, pluralitas aktor sosial, serta dinamika budaya yang kompleks. Karl
Popper, dalam karyanya The Open Society and Its Enemies,
menganggap Marxisme sebagai bentuk “historicisme” yang berbahaya karena
mengklaim bisa memprediksi arah sejarah secara ilmiah8.
Selain itu,
pendekatan ekonomi-politik dalam Marxisme dianggap terlalu menyederhanakan
identitas sosial hanya berdasarkan posisi dalam produksi, mengabaikan
faktor-faktor lain seperti gender, ras, dan budaya yang turut menentukan
struktur ketidakadilan dalam masyarakat kontemporer9.
8.5.
Kritik dari Kaum
Sosialis Internal
Menariknya, banyak
kritik terhadap sosialisme justru datang dari dalam tubuh gerakan itu sendiri,
dalam bentuk perdebatan antara berbagai aliran sosialis. Sosialisme
demokratik, misalnya, mengkritik sosialisme revolusioner karena
terlalu dogmatis dan tidak menghargai proses demokrasi. Sebaliknya, sosialisme
revolusioner menganggap sosialisme demokratik terlalu kompromistis dan
cenderung terserap dalam sistem kapitalisme yang ingin dilawannya.
Perdebatan ini
mencerminkan dinamika intelektual yang sehat, sekaligus menunjukkan bahwa
sosialisme bukanlah ideologi yang statis. Ia terus berkembang melalui kritik
diri dan pembaruan gagasan sesuai tantangan zaman.
Kesimpulan
Perdebatan dan
kritik terhadap sosialisme merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah dan
perkembangannya. Meskipun menghadapi banyak tudingan, sosialisme tetap bertahan
dan berkembang karena mampu memunculkan refleksi kritis terhadap ketimpangan
dan ketidakadilan dalam masyarakat. Kritik-kritik ini justru memperkaya
diskursus sosialis dan mendorong inovasi dalam formulasi alternatif sosialisme
yang lebih demokratis, ekologis, dan inklusif.
Footnotes
[1]
Robert Conquest, The Great Terror: A Reassessment (Oxford:
Oxford University Press, 2008), 55–61.
[2]
George Orwell, 1984 (New York: Signet Classics, 1977), 11–15.
[3]
Rosa Luxemburg, The Russian Revolution, trans. Bertram D.
Wolfe (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1961), 62–65.
[4]
Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University
of Chicago Press, 1944), 71–78.
[5]
Alec Nove, The Economics of Feasible Socialism Revisited
(London: HarperCollins, 1991), 98–105.
[6]
Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty (Oxford: Oxford
University Press, 1958), 33–39.
[7]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 108–115.
[8]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. 2
(Princeton: Princeton University Press, 1994), 290–296.
[9]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 55–62.
9.
Interseksi Sosialisme dengan Isu Sosial
Kontemporer
Dalam era
globalisasi neoliberal, sosialisme tidak hanya tetap relevan sebagai kerangka
kritik terhadap kapitalisme, tetapi juga berkembang menjadi pendekatan yang
responsif terhadap isu-isu sosial kontemporer.
Mulai dari ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, hingga keadilan gender dan
rasial, berbagai gerakan progresif mengadopsi nilai-nilai sosialisme untuk
merumuskan agenda perubahan struktural yang lebih inklusif, demokratis, dan
berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisme telah berevolusi menjadi
wacana lintas sektor yang bersifat interseksional dan kontekstual.
9.1.
Sosialisme dan
Keadilan Gender
Sosialisme memiliki
sejarah panjang dalam perjuangan untuk emansipasi perempuan, terutama
melalui kritik terhadap bagaimana sistem kapitalisme menggandakan beban
perempuan melalui kerja domestik tak dibayar dan diskriminasi dalam dunia
kerja. Tokoh sosialis feminis seperti Alexandra Kollontai dan Clara
Zetkin telah lama menyuarakan perlunya integrasi perjuangan
kelas dan gender1.
Dalam konteks
kontemporer, sosialisme feminis menyoroti interseksi antara patriarki dan kapitalisme,
yang menciptakan ketimpangan multidimensi terhadap perempuan, terutama yang
berasal dari kelas pekerja, minoritas, atau kelompok marjinal2.
Gerakan ini mendorong kebijakan publik berbasis keadilan gender, seperti cuti
melahirkan berbayar, akses universal terhadap layanan kesehatan reproduksi,
serta pengakuan terhadap kerja perawatan sebagai bagian dari ekonomi nasional3.
9.2.
Sosialisme dan Isu
Rasial
Di negara-negara
seperti Amerika Serikat, sosialisme juga bertemu dengan perjuangan anti-rasisme.
Aktivis seperti Angela Davis dan Cornel
West menegaskan bahwa sistem kapitalisme di negara-negara
postkolonial tidak dapat dipisahkan dari warisan kolonialisme dan supremasi
kulit putih. Ketimpangan ekonomi yang dialami komunitas kulit hitam dan migran
dipandang sebagai hasil dari struktur ekonomi-rasial yang saling menguatkan4.
Sosialisme rasial
menekankan bahwa ras dan kelas adalah dua
kategori saling terkait yang harus diperjuangkan secara simultan. Solusinya
mencakup penguatan demokrasi ekonomi di komunitas minoritas, akses terhadap
pendidikan tinggi, program afirmatif, serta penghapusan institusi penegakan
hukum yang bersifat rasialistik5.
9.3.
Sosialisme dan
Ekologi
Salah satu tantangan
terbesar abad ke-21 adalah krisis ekologis global. Para
pemikir sosialisme ekologis, seperti John Bellamy Foster dan Andreas
Malm, mengkritik kapitalisme sebagai sistem yang mengandalkan
pertumbuhan tanpa batas dan eksploitasi sumber daya alam secara tak terkendali,
yang menyebabkan perubahan iklim, deforestasi, dan kerusakan ekologis sistemik6.
Sosialisme ekologis
menawarkan pendekatan yang lebih berkelanjutan, dengan menempatkan kebutuhan
ekologis dan sosial di atas profit. Ini mencakup transisi
energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, ekonomi berbasis komunitas
lokal, dan perencanaan produksi yang demokratis dan ekologis7.
Dalam banyak hal, sosialisme menjadi alternatif terhadap kapitalisme hijau (green
capitalism) yang tetap berpijak pada logika pasar.
9.4.
Sosialisme dan
Ekonomi Digital
Perkembangan
teknologi digital, otomatisasi, dan platform ekonomi telah menciptakan
bentuk-bentuk kerja baru yang seringkali eksploitatif dan tidak terlindungi,
seperti kerja lepas (gig work) dan algoritmik.
Sosialisme kontemporer merespons dengan mengadvokasi hak-hak pekerja digital, pembentukan
serikat
buruh platform, serta pengaturan kerja digital yang adil dan
transparan8.
Selain itu, beberapa
pemikir seperti Nick Srnicek dan Paul
Mason mengembangkan konsep post-work socialism, yaitu
gagasan bahwa otomatisasi seharusnya membebaskan manusia dari kerja upahan yang
menindas, bukan memperparah ketimpangan. Dalam kerangka ini, sosialisme
menyerukan penghasilan dasar universal,
pengurangan jam kerja, dan kontrol demokratis atas teknologi9.
9.5.
Sosialisme dan
Demokrasi Global
Globalisasi telah menciptakan
kesenjangan besar antara pusat dan pinggiran ekonomi dunia. Sosialisme
internasional merespons dengan menuntut keadilan global, penghapusan
utang negara-negara Global South, reformasi lembaga-lembaga internasional
seperti IMF dan Bank Dunia, serta solidaritas transnasional dalam menghadapi
krisis kemanusiaan10.
Gerakan-gerakan
seperti World Social Forum dan Democratic
Socialists of America (DSA) menunjukkan bahwa sosialisme kini
tidak lagi eksklusif nasional, tetapi bersifat lintas batas, mengadvokasi
demokrasi global dan keberdayaan rakyat dalam menghadapi oligarki global dan
kapitalisme lintas negara.
Kesimpulan
Interseksi
sosialisme dengan isu-isu sosial kontemporer menunjukkan fleksibilitas dan
vitalitas ideologi ini dalam merespons tantangan zaman. Alih-alih hanya menjadi
sistem ekonomi, sosialisme kini menjelma sebagai gerakan multi-isu yang
mengintegrasikan keadilan sosial, ekologis, dan identitas dalam satu perjuangan
kolektif yang berkeadilan. Dengan demikian, sosialisme terus memperbarui
dirinya, bukan sebagai utopia masa lalu, tetapi sebagai proyek emansipasi masa
depan.
Footnotes
[1]
Cathy Porter, Alexandra Kollontai: A Biography (London: Virago
Press, 1980), 108–112.
[2]
Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and
Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 74–79.
[3]
Nancy Fraser, “Contradictions of Capital and Care,” New Left Review
100 (July–August 2016): 99–117.
[4]
Angela Y. Davis, Women, Race, and Class (New York: Vintage
Books, 1983), 18–22.
[5]
Cornel West, Race Matters (Boston: Beacon Press, 1993), 43–51.
[6]
John Bellamy Foster, The Ecological Rift: Capitalism’s War on the
Earth (New York: Monthly Review Press, 2010), 65–73.
[7]
Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots
of Global Warming (London: Verso, 2016), 314–326.
[8]
Trebor Scholz, Uberworked and Underpaid: How Workers Are Disrupting
the Digital Economy (Cambridge: Polity Press, 2016), 47–58.
[9]
Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future:
Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 120–129.
[10]
Boaventura de Sousa Santos, The Rise of the Global Left: The World
Social Forum and Beyond (London: Zed Books, 2006), 92–98.
10.
Relevansi Sosialisme di Abad ke-21
Memasuki abad ke-21,
sosialisme kembali mengemuka sebagai alternatif serius terhadap krisis
multidimensional yang dihadapi dunia—baik dalam bidang ekonomi, politik,
lingkungan, maupun sosial. Kebangkitan wacana dan gerakan sosialisme tidak lagi
terbatas pada doktrin revolusioner klasik, tetapi berkembang dalam bentuk yang
lebih fleksibel, demokratis, dan lintas isu. Berbagai krisis global—seperti
krisis keuangan 2008, pandemi COVID-19, ketimpangan kekayaan yang ekstrem,
hingga ancaman ekologis—telah menguak kegagalan struktural sistem kapitalisme
global, dan mendorong banyak kalangan untuk melihat kembali relevansi
prinsip-prinsip sosialisme.
10.1.
Respon terhadap
Krisis Kapitalisme Global
Krisis finansial
global tahun 2008 menjadi titik balik penting dalam kebangkitan kembali gagasan
sosialisme. Ketika lembaga-lembaga keuangan swasta diselamatkan dengan dana
publik, sementara jutaan orang kehilangan rumah dan pekerjaan, muncul kesadaran
baru bahwa pasar bebas tidak selalu menjamin efisiensi atau keadilan1.
Di tengah meningkatnya ketimpangan ekonomi global,
karya seperti Capital in the Twenty-First Century
oleh Thomas Piketty menunjukkan bahwa akumulasi kapital tanpa regulasi akan
menghasilkan kontraksi demokrasi dan penguatan
oligarki ekonomi2.
Sosialisme di abad
ini muncul sebagai seruan moral dan politik untuk membangun sistem ekonomi yang
lebih adil dan inklusif. Bukan hanya menyuarakan penghapusan kepemilikan
pribadi atas alat produksi seperti dalam model klasik, tetapi menuntut redistribusi
kekayaan, akses universal terhadap pelayanan dasar,
dan pengendalian
demokratis atas sektor-sektor vital seperti energi, air, dan
teknologi informasi3.
10.2.
Kenaikan Gerakan
Sosialis Demokratik dan Progresif
Di berbagai belahan
dunia, sosialisme mengalami revitalisasi melalui partai-partai kiri baru dan
tokoh-tokoh progresif. Di Amerika Serikat, Bernie Sanders dan kelompok Democratic
Socialists of America (DSA) berhasil menghidupkan wacana
sosialisme dalam politik arus utama, dengan fokus pada jaminan
kesehatan universal, pendidikan tinggi gratis, dan pembatasan
kekuasaan korporasi4. Di
Eropa, tokoh seperti Jeremy Corbyn di Inggris dan Jean-Luc
Mélenchon di Prancis menjadi simbol perlawanan terhadap politik
neoliberal yang telah memperdalam kesenjangan sosial.
Kebangkitan ini
menunjukkan bahwa sosialisme tidak harus anti-demokrasi. Sebaliknya, ia dapat
menjadi penguatan demokrasi substantif,
di mana warga negara benar-benar memiliki kontrol atas keputusan ekonomi yang
memengaruhi kehidupan mereka. Demokrasi ekonomi menjadi kata kunci sosialisme
kontemporer, yang menekankan partisipasi aktif rakyat dalam merumuskan
kebijakan publik dan struktur produksi5.
10.3.
Relevansi Sosialisme
dalam Isu Ekologis dan Keberlanjutan
Krisis iklim dan
kerusakan ekologis adalah tantangan utama peradaban abad ke-21. Kapitalisme,
dengan logika pertumbuhan tak terbatasnya, dipandang sebagai penyebab utama
krisis ini. Dalam konteks ini, sosialisme menawarkan visi
produksi dan konsumsi berkelanjutan yang dikendalikan secara
demokratis dan berbasis kebutuhan, bukan keuntungan6.
Model sosialisme
ekologis menyerukan transisi ke energi bersih, perencanaan kota
berbasis komunitas, pertanian lokal berkelanjutan, serta penghentian ekstraksi
sumber daya yang merusak. Gagasan ini mendukung transformasi sistemik, bukan
hanya reformasi kosmetik, terhadap sistem ekonomi yang telah membahayakan
kelangsungan hidup planet7.
10.4.
Digitalisasi dan
Sosialisme Baru
Era digital membuka
peluang baru sekaligus tantangan bagi sosialisme. Di satu sisi, otomatisasi
dan kecerdasan buatan berpotensi mengurangi beban kerja manusia
secara signifikan. Namun tanpa kontrol publik, teknologi ini justru memperparah
pengangguran
struktural dan konsentrasi kekayaan di tangan
segelintir elite teknologi8.
Sosialisme abad
ke-21 menyerukan kontrol demokratis terhadap infrastruktur digital, transparansi
algoritma, serta perlindungan hak-hak pekerja digital. Gagasan tentang sosialisme
pascakerja (post-work socialism) mendorong visi masyarakat yang
tidak lagi dibangun di atas kerja paksa demi kelangsungan hidup, tetapi pada
distribusi waktu dan sumber daya secara adil, termasuk melalui pendapatan
dasar universal9.
10.5.
Internasionalisme
dan Solidaritas Global
Globalisasi
neoliberal telah menciptakan struktur ketimpangan global, di mana negara-negara
berkembang tetap terjebak dalam ketergantungan utang, eksploitasi sumber daya,
dan dominasi pasar multinasional. Sosialisme internasional abad ke-21
menekankan solidaritas lintas negara,
termasuk seruan untuk penghapusan utang negara miskin,
perdagangan
adil, serta reformasi lembaga global
seperti IMF dan WTO10.
Gerakan seperti World
Social Forum atau kampanye global untuk Green
New Deal Internasional memperlihatkan bagaimana sosialisme
dapat menjadi kekuatan global untuk perubahan, bukan sekadar proyek nasional.
Kesimpulan
Relevansi sosialisme
di abad ke-21 tidak terletak pada kembalinya model-model sentralisasi otoriter
yang gagal, tetapi pada kemampuannya untuk menawarkan alternatif
rasional dan etis terhadap krisis global yang ditimbulkan oleh
kapitalisme neoliberal. Dalam dunia yang dilanda ketimpangan ekstrem, krisis
iklim, disrupsi teknologi, dan demoralisasi politik, sosialisme tampil sebagai
proyek pembebasan yang mengintegrasikan keadilan sosial, demokrasi ekonomi, dan
keberlanjutan ekologis. Ia bukan warisan masa lalu, tetapi harapan
masa depan.
Footnotes
[1]
Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism
(New York: Picador, 2007), 373–384.
[2]
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, trans.
Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 430–444.
[3]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 103–109.
[4]
Michael Harrington, Socialism: Past and Future (New York:
Arcade Publishing, 1989), 122–127.
[5]
Nancy Fraser, “Legitimation Crisis? On the Political Contradictions of
Financialized Capitalism,” Critical Historical Studies 2, no. 2 (Fall
2015): 157–189.
[6]
John Bellamy Foster, The Ecological Rift: Capitalism’s War on the
Earth (New York: Monthly Review Press, 2010), 144–156.
[7]
Andreas Malm, Corona, Climate, Chronic Emergency: War Communism in
the Twenty-First Century (London: Verso, 2020), 88–92.
[8]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 65–74.
[9]
Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future:
Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 150–157.
[10]
Boaventura de Sousa Santos, The Rise of the Global Left: The World
Social Forum and Beyond (London: Zed Books, 2006), 104–111.
11.
Penutup
Sosialisme, sebagai
aliran filsafat sosial-politik, telah melalui perjalanan panjang yang penuh
dinamika—mulai dari gagasan utopis awal, formulasi ilmiah dalam Marxisme,
implementasi dalam negara-negara revolusioner, hingga reaktualisasinya dalam
konteks isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, krisis ekologis, dan
disrupsi digital. Dalam lintasan sejarah tersebut, sosialisme bukan hanya
sebuah ideologi politik, tetapi juga sebuah refleksi moral dan etis atas ketidakadilan
sistemik yang diciptakan oleh kapitalisme modern1.
Meskipun berbagai
implementasi sosialisme di abad ke-20 kerap dikaitkan dengan otoritarianisme,
kegagalan ekonomi, dan pembatasan kebebasan, namun gagasan-gagasan
fundamental sosialisme tetap bertahan dan bahkan mengalami
kebangkitan dalam dekade terakhir. Hal ini terbukti melalui munculnya gerakan
sosialisme demokratik, pemikiran ekologis kritis, serta agenda transnasional
yang berorientasi pada solidaritas global. Konteks krisis kapitalisme
global—baik dalam bentuk ketimpangan ekstrem, kerusakan lingkungan, maupun
lemahnya legitimasi demokrasi liberal—mendorong masyarakat kembali mencari alternatif
sistemik yang lebih adil dan berkelanjutan2.
Secara filosofis,
sosialisme menghadirkan pandangan dunia yang menempatkan manusia dan komunitas
sebagai pusat orientasi, bukan akumulasi kapital atau pertumbuhan ekonomi yang
buta. Ia menawarkan kritik mendasar terhadap relasi kekuasaan yang timpang
dalam sistem produksi dan distribusi kekayaan, serta menegaskan perlunya
demokratisasi dalam bidang ekonomi—dimensi yang selama ini diabaikan oleh
demokrasi liberal3. Dalam pandangan ini, sosialisme tidak sekadar
sebuah sistem ekonomi, tetapi juga sebuah proyek emansipasi yang
menyatukan keadilan sosial, demokrasi substantif, dan keberlanjutan ekologis.
Relevansi sosialisme
pada abad ke-21 menunjukkan bahwa ia bukan sekadar warisan sejarah atau utopia
masa lalu, melainkan kerangka berpikir yang hidup,
terbuka, dan terus berkembang. Dalam menghadapi tantangan global yang semakin
kompleks dan multidimensional, sosialisme menawarkan nilai-nilai
dasar yang mendesak untuk dikedepankan: solidaritas,
egalitarianisme, partisipasi demokratis, dan penghormatan terhadap keberagaman
serta hak-hak manusia secara menyeluruh4.
Dengan demikian,
refleksi atas sosialisme tidak boleh berhenti pada evaluasi historis semata,
melainkan harus terus dikembangkan sebagai inspirasi untuk transformasi sosial yang lebih
adil dan beradab. Tugas generasi intelektual dan aktivis masa
kini adalah merumuskan bentuk-bentuk sosialisme yang kontekstual, demokratis,
dan solutif terhadap tantangan zaman—sebuah sosialisme yang tidak dogmatis,
tetapi dialogis dan transformatif.
Footnotes
[1]
Michael Newman, Socialism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 103–105.
[2]
Thomas Piketty, Capital and Ideology, trans. Arthur Goldhammer
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2020), 987–990.
[3]
Erik Olin Wright, Envisioning Real Utopias (London: Verso,
2010), 119–125.
[4]
Nancy Fraser and Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political-Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 12–19.
Daftar Pustaka
Berlin, I. (1958). Two concepts of liberty.
Oxford University Press.
Claeys, G. (1998). Social reform in Britain and
Western Europe. Routledge.
Claeys, G. (2018). Socialism: Origins,
expansion, and decline. Columbia University Press.
Conquest, R. (2008). The great terror: A
reassessment (Rev. ed.). Oxford University Press.
Davis, A. Y. (1983). Women, race, and class.
Vintage Books.
de Sousa Santos, B. (2006). The rise of the
global left: The World Social Forum and beyond. Zed Books.
Eagleton, T. (2011). Why Marx was right.
Yale University Press.
Elster, J. (1985). Making sense of Marx.
Cambridge University Press.
Esping-Andersen, G. (1990). The three worlds of
welfare capitalism. Princeton University Press.
Federici, S. (2004). Caliban and the witch:
Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.
Fitzpatrick, S. (1999). Everyday Stalinism:
Ordinary life in extraordinary times. Oxford University Press.
Foster, J. B. (2000). Marx’s ecology:
Materialism and nature. Monthly Review Press.
Foster, J. B., Clark, B., & York, R. (2010). The
ecological rift: Capitalism’s war on the Earth. Monthly Review Press.
Fraser, N. (2016). Contradictions of capital and
care. New Left Review, 100, 99–117.
Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution
or recognition? A political-philosophical exchange. Verso.
Fraser, N. (2015). Legitimation crisis? On the
political contradictions of financialized capitalism. Critical Historical
Studies, 2(2), 157–189.
Geras, N. (1983). The legacy of Rosa Luxemburg.
Verso.
Gott, R. (2004). Cuba: A new history. Yale University
Press.
Gramsci, A. (1971). Selections from the prison
notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Eds. & Trans.). International
Publishers.
Harrington, M. (1989). Socialism: Past and
future. Arcade Publishing.
Harvey, D. (2010). The enigma of capital and the
crises of capitalism. Oxford University Press.
Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom.
University of Chicago Press.
Hobsbawm, E. J. (1996). The age of revolution:
Europe 1789–1848. Vintage Books.
Hobsbawm, E. J. (1999). Industry and empire:
From 1750 to the present day. Penguin Books.
Lenin, V. I. (1992). The state and revolution
(R. Service, Trans.). Penguin Classics.
Luxemburg, R. (1961). The Russian Revolution
(B. D. Wolfe, Ed. & Trans.). University of Michigan Press.
Luxemburg, R. (2001). Reform or revolution
(Integer, Trans.). Pathfinder Press.
Malm, A. (2016). Fossil capital: The rise of
steam power and the roots of global warming. Verso.
Malm, A. (2020). Corona, climate, chronic
emergency: War communism in the twenty-first century. Verso.
Marx, K. (1904). A contribution to the critique
of political economy (N. I. Stone, Trans.). Charles H. Kerr & Company.
Marx, K. (1964). Estranged labour. In D. J. Struik
(Ed.), Economic and philosophic manuscripts of 1844 (pp. 110–122).
International Publishers.
Marx, K., & Engels, F. (1969). Selected
works (Vol. 1). Progress Publishers.
Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist
manifesto (G. S. Jones, Ed.). Penguin Classics.
Meisner, M. (1999). Mao’s China and after: A
history of the People’s Republic (3rd ed.). Free Press.
Munslow, B. (1983). Africa: Problems in the
transition to socialism. Zed Books.
Newman, M. (2005). Socialism: A very short
introduction. Oxford University Press.
Nove, A. (1991). The economics of feasible
socialism revisited. HarperCollins.
Orwell, G. (1977). 1984. Signet Classics.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Piketty, T. (2020). Capital and ideology (A.
Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Pipes, R. (2001). Communism: A history.
Modern Library.
Popper, K. (1994). The open society and its
enemies (Vol. 2). Princeton University Press.
Porter, C. (1980). Alexandra Kollontai: A
biography. Virago Press.
Rothstein, B. (1998). Just institutions matter:
The moral and political logic of the universal welfare state. Cambridge
University Press.
Rothstein, B. (2011). The quality of government:
Corruption, social trust, and inequality in international perspective.
University of Chicago Press.
Sassoon, D. (1996). One hundred years of
socialism: The West European left in the twentieth century. The New Press.
Scholz, T. (2016). Uberworked and underpaid: How
workers are disrupting the digital economy. Polity Press.
Service, R. (2004). Stalin: A biography.
Harvard University Press.
Shariati, A. (1979). On the sociology of Islam
(H. Algar, Trans.). Mizan Press.
Shivji, I. G. (1989). The concept of human
rights in Africa. CODESRIA.
Singer, P. (2000). Marx: A very short
introduction. Oxford University Press.
Srnicek, N., & Williams, A. (2015). Inventing
the future: Postcapitalism and a world without work. Verso.
Stedman Jones, G. (2004). An end to poverty? A
historical debate. Profile Books.
Stiglitz, J. E. (2012). The price of inequality.
W.W. Norton.
West, C. (1993). Race matters. Beacon Press.
Wright, E. O. (2010). Envisioning real utopias.
Verso.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar