Empirisme dalam Epistemologi
Asal Pengetahuan, Tokoh Sentral, dan Implikasinya
terhadap Ilmu Pengetahuan
Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam
Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran
empirisme dalam epistemologi, yakni pandangan yang menegaskan bahwa pengalaman
inderawi merupakan sumber utama pengetahuan. Pembahasan dimulai dengan telaah
atas konsep dasar empirisme dan akar-akar historisnya sejak filsafat
Aristotelian, hingga puncaknya dalam pemikiran tokoh-tokoh kunci seperti John Locke,
George Berkeley, dan David Hume. Artikel ini juga menguraikan kontribusi
empirisme terhadap perkembangan metode ilmiah modern yang berbasis pada
observasi dan eksperimen, sekaligus menyoroti berbagai kritik terhadap fondasi
epistemologisnya, baik dari rasionalisme, filsafat Kantian, maupun pendekatan
hermeneutik dan filsafat bahasa kontemporer. Relevansi empirisme dalam konteks
modern juga dibahas melalui integrasinya dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, pendidikan, serta epistemologi kognitif. Dengan pendekatan historis
dan analitis, artikel ini menegaskan bahwa meskipun empirisme telah mengalami
banyak revisi konseptual, prinsip dasarnya tetap menjadi fondasi penting dalam
pencarian pengetahuan yang sahih, terbuka, dan berbasis bukti.
Kata Kunci: Empirisme, epistemologi, pengalaman inderawi, John
Locke, George Berkeley, David Hume, metode ilmiah, kritik rasionalisme,
filsafat kontemporer, pengetahuan ilmiah.
PEMBAHASAN
Empirisme dalam Epistemologi
1.
Pendahuluan
Epistemologi, yang
berasal dari bahasa Yunani epistēmē (pengetahuan) dan logos
(kajian atau teori), merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat,
asal-usul, batasan, dan validitas pengetahuan manusia. Fokus utama epistemologi
adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: “Apa itu
pengetahuan?”, “Bagaimana pengetahuan diperoleh?”, dan “Apa yang
membedakan pengetahuan sejati dari keyakinan biasa?”¹. Dalam tradisi
filsafat Barat, dua pendekatan utama telah mendominasi perdebatan epistemologis
selama berabad-abad: rasionalisme dan empirisme.
Jika rasionalisme meyakini bahwa akal merupakan sumber utama pengetahuan, maka
empirisme menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui
pengalaman inderawi².
Empirisme muncul
sebagai respons terhadap kecenderungan rasionalistik yang terlalu menekankan
pada prinsip-prinsip a priori dan deduksi logis tanpa memadai mempertimbangkan
pengalaman nyata manusia. Para filsuf empiris percaya bahwa semua pengetahuan
yang valid harus berakar pada pengamatan, persepsi, atau pengalaman langsung
yang dapat diuji dan diverifikasi. Dengan kata lain, pikiran manusia pada
awalnya adalah tabula rasa—sebuah lembar kosong
yang kemudian diisi oleh data dari pengalaman³. Pandangan ini membawa
konsekuensi besar terhadap perkembangan metode ilmiah modern yang mengandalkan
observasi, eksperimen, dan induksi sebagai dasar validasi pengetahuan.
Kebangkitan
empirisme tidak dapat dipisahkan dari semangat zaman yang lahir pada abad ke-17
dan ke-18, yakni masa yang dikenal sebagai Revolusi Ilmiah dan Pencerahan.
Dalam konteks ini, filsuf-filsuf seperti John Locke, George
Berkeley, dan David Hume memainkan peran
penting dalam menyusun dasar-dasar empirisme modern. Melalui karya-karya
mereka, empirisme tidak hanya menjadi teori epistemologi semata, tetapi juga menjadi
fondasi filosofis bagi ilmu pengetahuan dan pendidikan di dunia modern⁴.
Artikel ini
bertujuan untuk mengupas secara mendalam konsep dasar empirisme dalam
epistemologi, memperkenalkan tokoh-tokoh kunci beserta gagasannya, serta
meninjau kontribusi dan kritik terhadap aliran ini. Dengan demikian, pembaca
diharapkan memperoleh pemahaman menyeluruh mengenai bagaimana pengalaman
inderawi diposisikan sebagai sumber utama pengetahuan, serta bagaimana
pandangan ini memengaruhi perkembangan filsafat dan sains secara historis dan
kontemporer.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 1–3.
[2]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 2003), 14–16.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2.
[4]
A.C. Grayling, The History of Philosophy (London: Penguin
Books, 2019), 370–377.
2.
Konsep Dasar Empirisme
Empirisme merupakan
aliran dalam epistemologi yang menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia
berasal dari pengalaman, khususnya pengalaman inderawi. Bagi para empiris, akal
tidak memiliki isi bawaan (innate ideas), melainkan hanya berfungsi
mengolah data yang diperoleh melalui pengamatan terhadap dunia nyata. Dalam
kerangka ini, pengalaman menjadi sumber primer sekaligus
validasi utama terhadap pengetahuan¹.
Salah satu prinsip
dasar empirisme adalah bahwa ide-ide dalam pikiran manusia merupakan hasil
dari pengalaman langsung. John Locke, seorang pelopor empirisme
modern, mengemukakan bahwa pikiran manusia pada saat lahir adalah tabula
rasa—sebuah kertas kosong yang belum memiliki isi apa pun. Segala
ide yang kemudian muncul dalam benak berasal dari dua sumber utama: sensasi
(pengalaman eksternal melalui pancaindra) dan refleksi (pengalaman internal
atas operasi mental terhadap apa yang telah diperoleh dari sensasi)². Dengan
demikian, tidak ada pengetahuan yang sahih tanpa keterlibatan pengalaman.
Ciri khas lain dari
empirisme adalah penolakannya terhadap ide-ide a priori,
yaitu ide yang dianggap sudah ada sebelum pengalaman dan tidak bergantung pada
data empiris. Hal ini membedakannya secara fundamental dari rasionalisme, yang
percaya bahwa terdapat pengetahuan bawaan dan kebenaran-kebenaran logis yang
bisa diketahui tanpa pengalaman, seperti dalam matematika atau logika³. Dalam
perspektif empirisme, bahkan konsep-konsep yang tampaknya abstrak—seperti
ruang, waktu, atau kausalitas—dapat ditelusuri asal-usulnya dalam pengalaman
konkret yang dialami oleh subjek.
Selain itu,
empirisme juga mengasumsikan bahwa pengamatan terhadap fenomena dapat memberikan
dasar bagi generalisasi melalui proses induksi. Artinya,
pengetahuan ilmiah dibangun dari akumulasi pengalaman-pengalaman individual
yang, setelah diorganisasi dan dianalisis, menghasilkan prinsip-prinsip umum.
Meski model ini mendapat tantangan dari para filsuf skeptis seperti David Hume,
ia tetap menjadi kerangka kerja yang dominan dalam praktik ilmiah⁴.
Lebih lanjut,
empirisme menggarisbawahi pentingnya keterbatasan indera dan pengalaman sebagai
tantangan dalam memperoleh pengetahuan yang akurat. Karena manusia hanya dapat
mengetahui apa yang bisa ditangkap oleh pancaindra, maka pengetahuan bersifat
tentatif dan harus selalu terbuka terhadap revisi berdasarkan pengalaman baru.
Dalam hal ini, empirisme mengandung nilai epistemik berupa kerendahan hati ilmiah
(epistemic humility), yakni kesadaran bahwa kebenaran tidak
bisa diklaim secara mutlak tanpa dukungan empiris yang terus-menerus⁵.
Secara keseluruhan,
empirisme memosisikan pengalaman sebagai pusat dari segala proses epistemik.
Ini berarti bahwa keabsahan suatu pengetahuan tidak tergantung pada
rasionalitas semata, tetapi pada verifikasi melalui observasi dan pengujian
nyata. Karena itu, empirisme telah memberikan fondasi filosofis
yang kokoh bagi ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam mengembangkan metode
ilmiah yang berbasis pada observasi sistematis dan eksperimen.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 21–23.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2–4.
[3]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses, 2nd ed. (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 41–43.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §4–§5.
[5]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 2003), 38–40.
3.
Sejarah dan Perkembangan Awal
Secara historis,
akar-akar empirisme dapat ditelusuri hingga filsafat kuno, khususnya pada
pemikiran Aristoteles, yang menegaskan
bahwa semua pengetahuan bermula dari indera. Dalam De Anima dan Posterior
Analytics, Aristoteles menyatakan bahwa akal manusia menerima kesan
dari dunia luar melalui penginderaan, dan melalui proses abstraksi, membentuk
konsep-konsep universal¹. Meskipun belum dirumuskan sebagai suatu sistem
empirisme, pemikiran Aristoteles memberikan fondasi awal bagi pandangan bahwa
pengalaman adalah sumber utama pengetahuan.
Pandangan empiris
ini kemudian mengalami pengembangan dan pembaruan yang signifikan dalam konteks
filsafat modern Eropa, terutama selama periode Revolusi Ilmiah pada abad
ke-17. Periode ini ditandai oleh perubahan mendasar dalam cara manusia memahami
alam semesta, dari pendekatan skolastik yang bercorak deduktif dan teologis ke
pendekatan eksperimental dan induktif. Kemajuan dalam bidang astronomi, fisika,
dan matematika—yang dicontohkan oleh karya Galileo Galilei dan Francis
Bacon—memberikan dorongan kuat bagi munculnya pemikiran empiris
yang berbasis pada pengamatan langsung dan verifikasi².
Salah satu tokoh
kunci dalam transisi ini adalah Francis Bacon (1561–1626), yang
secara eksplisit menolak metode deduktif skolastik dan menggantikannya dengan
metode induktif berbasis pengalaman. Dalam Novum Organum, Bacon mengembangkan
kerangka metodologis yang mendorong pengumpulan fakta empiris secara sistematis
sebagai dasar pembentukan pengetahuan ilmiah³. Ia juga mengkritik idola-idola
pikiran (idola tribus, idola specus, dll.) yang menurutnya
mengaburkan pemahaman manusia, dan yang hanya dapat dilampaui melalui metode
empiris yang ketat.
Namun, puncak
artikulasi empirisme sebagai aliran epistemologi tercapai melalui karya para
filsuf Inggris pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, khususnya John
Locke, George Berkeley, dan David
Hume. Mereka tidak hanya menekankan pentingnya pengalaman,
tetapi juga membangun teori sistematis tentang bagaimana ide-ide terbentuk
dalam pikiran. Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding
(1690), menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari dua sumber pengalaman:
sensasi dan refleksi, serta menolak gagasan ide bawaan⁴.
Selanjutnya, George
Berkeley mengembangkan pendekatan lebih radikal dengan
menyatakan bahwa materi sebagai substansi fisik
tidak benar-benar ada di luar persepsi. Menurutnya, semua eksistensi bergantung
pada dipersepsi
(esse est percipi), dan pengalaman sensorik adalah satu-satunya dasar dari
realitas⁵. Akhirnya, David Hume, tokoh paling
skeptis dari kalangan empiris, menggugat hubungan sebab-akibat dan prinsip
induksi sebagai asumsi yang tidak dapat dibuktikan secara rasional, tetapi
hanya diterima karena kebiasaan psikologis⁶.
Dari Aristoteles
hingga Hume, sejarah perkembangan empirisme menunjukkan evolusi dari sekadar
penekanan pada peran pengalaman dalam pengenalan, menjadi suatu teori
sistematik tentang bagaimana pikiran bekerja, bagaimana konsep-konsep
terbentuk, dan bagaimana pengetahuan ilmiah dibenarkan. Aliran ini menjadi
fondasi filosofis yang sangat memengaruhi pemikiran modern, terutama dalam
sains dan epistemologi analitik.
Footnotes
[1]
Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes in The
Complete Works of Aristotle, vol. 1, ed. Jonathan Barnes (Princeton:
Princeton University Press, 1984), I.1, 71a1–71b9.
[2]
Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and
Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001),
42–49.
[3]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. and trans. Lisa Jardine and
Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Book I,
Aphorisms 1–5.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2–3.
[5]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998),
§3–§6.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §4–§5.
4.
Tokoh-Tokoh Sentral dan Gagasan Mereka
Empirisme sebagai
aliran epistemologi mencapai bentuk sistematisnya melalui pemikiran tiga filsuf
besar asal Inggris: John Locke, George
Berkeley, dan David Hume. Ketiganya mewakili
perkembangan progresif dalam aliran empirisme, dari teori pengetahuan berbasis
pengalaman hingga kritik radikal terhadap prinsip-prinsip rasionalitas.
Meskipun memiliki perbedaan dalam pendekatan dan kesimpulan, mereka sepakat
bahwa pengalaman
inderawi adalah satu-satunya sumber sah pengetahuan manusia.
4.1.
John Locke (1632–1704)
John Locke dianggap
sebagai bapak empirisme modern. Dalam karya utamanya An Essay
Concerning Human Understanding (1690), ia menolak gagasan ide
bawaan (innate ideas) yang selama ini
dipegang oleh kaum rasionalis seperti Descartes. Ia berpendapat bahwa pikiran
manusia pada awalnya adalah tabula rasa—lembar kosong—yang
kemudian diisi oleh pengalaman melalui dua saluran: sensasi
(pengalaman eksternal melalui pancaindra) dan refleksi (pengamatan terhadap
aktivitas batin)¹.
Locke membedakan
antara ide
sederhana—yang langsung ditangkap oleh indera seperti warna,
suara, atau rasa—dan ide kompleks, yaitu gabungan
dari ide-ide sederhana yang diolah melalui proses mental seperti asosiasi,
perbandingan, atau abstraksi². Ia juga mengemukakan perbedaan antara kualitas
primer (seperti bentuk, ukuran, dan gerak yang melekat pada
objek) dan kualitas sekunder (seperti
warna dan bau yang bergantung pada persepsi subjek)³. Gagasannya ini menjadi
dasar bagi teori representasional tentang persepsi dan pengetahuan.
4.2.
George Berkeley
(1685–1753)
George Berkeley
melanjutkan dan sekaligus merevisi gagasan Locke dengan pendekatan yang lebih
radikal. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge (1710), Berkeley menolak keberadaan materi
sebagai substansi yang ada secara independen dari persepsi. Ia menyatakan bahwa
esse est
percipi—"ada berarti dipersepsi"⁴. Menurutnya,
seluruh realitas terdiri dari ide-ide dalam pikiran, dan objek-objek material
tidak memiliki eksistensi terpisah dari pengamatan subjek⁵.
Untuk menghindari
solipsisme, Berkeley menyatakan bahwa keberlangsungan dunia eksternal dijamin
oleh keberadaan Tuhan sebagai pengamat universal. Tuhan secara konstan
mempersepsikan segala sesuatu, sehingga dunia tetap eksis bahkan ketika tidak
sedang diamati oleh manusia⁶. Pandangannya ini disebut sebagai immaterialisme,
yaitu pandangan bahwa tidak ada materi, hanya ada persepsi dan perseptor.
4.3.
David Hume (1711–1776)
David Hume merupakan
puncak perkembangan sekaligus tantangan terbesar terhadap empirisme. Dalam An
Enquiry Concerning Human Understanding (1748), Hume membedakan
antara impressions
(kesan langsung dari pengalaman) dan ideas (salinan samar dari
impressions dalam pikiran). Semua ide harus dapat ditelusuri kembali pada
impresi-impresi yang mendasarinya⁷.
Namun, Hume
menunjukkan bahwa banyak ide yang kita anggap pasti, seperti kausalitas,
diri,
dan substansi,
tidak dapat dibenarkan secara empiris. Misalnya, hubungan sebab-akibat tidak
pernah bisa diamati secara langsung; yang dapat diamati hanyalah
peristiwa-peristiwa yang berurutan secara tetap. Oleh karena itu, keyakinan
akan kausalitas hanyalah hasil kebiasaan psikologis dan bukan
pengetahuan yang rasional atau pasti⁸.
Hume juga menggugat
validitas induksi, yaitu proses mengambil
kesimpulan umum dari sejumlah observasi khusus. Menurutnya, tidak ada dasar
rasional untuk menganggap masa depan akan serupa dengan masa lalu. Kritik ini
mengguncang fondasi epistemologi empiris dan memicu respons dari para filsuf
selanjutnya seperti Immanuel Kant⁹.
Kesimpulan
Subbagian
Ketiga tokoh ini
merepresentasikan tahapan evolutif dalam empirisme: Locke membangun dasar bahwa
semua pengetahuan berasal dari pengalaman; Berkeley menghilangkan materi dan
memusatkan realitas pada persepsi; sementara Hume menunjukkan bahwa bahkan
keyakinan dasar dalam pengetahuan empiris tidak dapat dibenarkan secara logis.
Meskipun demikian, kontribusi mereka tetap menjadi batu penjuru dalam diskursus
epistemologi modern dan pengembangan filsafat ilmu.
Footnotes
[1]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2–4.
[2]
Ibid., II.xii.1–3.
[3]
Ibid., II.viii.9–10.
[4]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §3.
[5]
Ibid., §6–§10.
[6]
Ibid., §33–§34.
[7]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §2.
[8]
Ibid., §4–§5.
[9]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 59–66.
5.
Empirisme dan Ilmu Pengetahuan
Salah satu pengaruh
paling signifikan dari empirisme adalah kontribusinya terhadap perkembangan
metode ilmiah modern. Dengan menegaskan bahwa pengetahuan harus diperoleh melalui pengalaman
inderawi, empirisme memberikan dasar filosofis yang kokoh bagi
sains yang bersifat observasional dan eksperimental. Pandangan ini secara
langsung menentang metode skolastik abad pertengahan yang cenderung
mengandalkan deduksi logis dari prinsip-prinsip otoritatif tanpa verifikasi
empiris¹.
Pada awal abad
ke-17, Francis
Bacon mengadvokasi metode induktif yang menekankan pengumpulan
fakta melalui observasi sistematis, eksperimen berulang, dan penarikan
generalisasi dari data empiris. Dalam Novum Organum, ia menyatakan bahwa
pengamatan yang cermat terhadap dunia nyata lebih dapat diandalkan daripada
spekulasi filosofis yang lepas dari pengalaman. Ia bahkan menyebut metode
induktif sebagai “jalan sejati
menuju pengetahuan”².
Dalam kerangka ini, empirisme
memandang ilmu pengetahuan sebagai konstruksi pengetahuan yang tumbuh dari
fakta-fakta konkret yang dapat diuji dan diverifikasi. Model
ini mendorong pendekatan bottom-up, di mana pengetahuan disusun dari unit-unit
data partikular menuju hukum-hukum umum melalui proses generalisasi induktif³.
Prinsip ini dapat terlihat dalam perkembangan ilmu-ilmu alam seperti fisika dan
biologi, di mana hipotesis diuji melalui eksperimen dan diamati dampaknya
secara objektif.
Namun demikian, kontribusi
empirisme terhadap ilmu pengetahuan juga diiringi oleh sejumlah tantangan
filosofis, terutama yang diajukan oleh David Hume. Ia
menunjukkan bahwa hubungan sebab-akibat, yang
merupakan tulang punggung dari teori ilmiah, tidak dapat dibuktikan secara
rasional hanya berdasarkan pengalaman. Manusia tidak dapat mengamati “kekuatan”
kausal itu sendiri, melainkan hanya serangkaian peristiwa yang berurutan secara
tetap. Oleh karena itu, kepercayaan terhadap kausalitas didasarkan bukan pada
bukti logis, melainkan pada kebiasaan atau ekspektasi psikologis⁴.
Masalah ini juga
berimbas pada keraguan terhadap metode induktif,
yang mengandalkan asumsi bahwa masa depan akan serupa dengan masa lalu. Menurut
Hume, tidak ada justifikasi logis yang sah untuk menganggap bahwa pola-pola
yang diamati di masa lalu akan terus berlaku. Kritik ini menimbulkan ketegangan
dalam epistemologi empiris, karena justifikasi terhadap generalisasi ilmiah
menjadi rapuh secara teoritis meskipun tetap kuat secara praktis⁵.
Meski demikian,
empirisme tetap menjadi kerangka dasar bagi filsafat ilmu kontemporer.
Warisannya dapat ditemukan dalam positivisme logis, aliran abad
ke-20 yang dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Vienna Circle).
Mereka menyempurnakan prinsip empiris dengan menambahkan logika simbolik dan
verifikasi sebagai kriteria makna. Pengetahuan yang sah menurut mereka adalah
yang dapat diverifikasi secara empiris atau diturunkan secara logis dari
proposisi yang dapat diverifikasi⁶.
Di sisi lain, filsuf
seperti Karl Popper menawarkan revisi
terhadap paradigma empiris dengan mengajukan prinsip falsifikabilitas,
yakni bahwa proposisi ilmiah yang sah bukanlah yang dapat diverifikasi secara
pasti, melainkan yang dapat diuji dan dapat dibuktikan salah
(falsifiable). Dalam pendekatan ini, pengalaman tetap penting, tetapi digunakan
bukan untuk mengonfirmasi teori, melainkan untuk mengujinya secara kritis⁷.
Dengan demikian,
meskipun menghadapi kritik internal dan eksternal, empirisme tetap menjadi pondasi
epistemologis yang vital bagi ilmu pengetahuan. Ia membentuk
etos ilmiah yang menghargai pengamatan, keterbukaan terhadap koreksi, dan
kesediaan untuk merevisi teori berdasarkan data baru. Prinsip-prinsip ini masih
menjadi ciri utama praktik ilmiah modern, dari laboratorium fisika hingga
kajian sosial dan psikologi eksperimental.
Footnotes
[1]
Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and
Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001),
55–59.
[2]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. and trans. Lisa Jardine and
Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Book I,
Aphorisms 19–24.
[3]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 2003), 45–47.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §7.
[5]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 69–73.
[6]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books,
2001 [1936]), 31–33.
[7]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from
German by the author (London: Routledge, 2002 [1959]), 40–43.
6.
Kritik terhadap Empirisme
Meskipun empirisme
telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan, aliran ini juga menghadapi kritik signifikan baik dari dalam
maupun luar tradisinya. Kritik-kritik ini berangkat dari berbagai persoalan,
mulai dari keterbatasan metodologis, masalah
epistemologis mendasar, hingga tantangan linguistik dan konseptual dalam
perkembangan filsafat kontemporer.
6.1.
Kritik Rasionalisme
terhadap Reduksi Inderawi
Salah satu kritik
paling awal datang dari kaum rasionalis seperti René
Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz, yang
menolak gagasan bahwa semua pengetahuan dapat direduksi pada pengalaman
inderawi. Menurut mereka, terdapat kebenaran-kebenaran yang bersifat
a priori—yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh melalui akal
semata tanpa perlu pengalaman, seperti dalam logika dan matematika. Descartes
berargumen bahwa indera sering menipu dan karenanya tidak dapat dijadikan dasar
pengetahuan yang pasti¹. Sementara itu, Leibniz menyatakan bahwa ide-ide
tertentu, seperti prinsip identitas dan nonkontradiksi, tidak mungkin diperoleh
hanya dari pengalaman, melainkan berasal dari struktur bawaan rasio².
6.2.
Skeptisisme Internal:
Masalah Induksi dan Kausalitas
Dari dalam tradisi
empirisme sendiri, David Hume mengajukan kritik
radikal terhadap fondasi empiris, terutama menyangkut hubungan
sebab-akibat dan proses induksi. Ia menunjukkan
bahwa kausalitas tidak pernah dapat diamati secara langsung dalam pengalaman,
melainkan hanya diturunkan dari kebiasaan persepsi atas dua peristiwa yang
berurutan. Oleh karena itu, semua klaim kausal sebenarnya tidak lebih dari keyakinan
psikologis, bukan pengetahuan rasional yang dapat dibenarkan
secara logis³. Selain itu, induksi—yakni proses menarik generalisasi dari
observasi terbatas—menurut Hume, tidak memiliki dasar rasional yang sah. Tidak
ada jaminan logis bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu⁴.
6.3.
Kritik dari Immanuel
Kant: Sintesis A Priori
Kritik paling
monumental terhadap empirisme muncul dalam pemikiran Immanuel
Kant, yang berusaha mendamaikan empirisme Hume dan rasionalisme
Leibniz. Dalam Critique of Pure Reason, Kant
berargumen bahwa meskipun pengetahuan berawal dari pengalaman, tidak
seluruhnya berasal darinya. Ia memperkenalkan konsep pengetahuan
sintetis a priori, yaitu pengetahuan yang memperluas pemahaman
kita tentang dunia tetapi tidak bergantung pada pengalaman empiris karena
dibentuk oleh struktur bawaan pikiran (seperti ruang, waktu, dan kategori
kausalitas)⁵. Menurut Kant, pengalaman tidak dapat dipahami tanpa perangkat
konseptual apriori yang sudah tertanam dalam subjek epistemik.
6.4.
Kritik Linguistik dan
Konseptual dari Filsafat Abad ke-20
Pada abad ke-20,
empirisme juga dikritik dari perspektif filsafat bahasa dan hermeneutika.
Filsuf seperti Wilfrid Sellars mengecam apa
yang disebutnya sebagai the myth of the given, yaitu asumsi
bahwa terdapat data inderawi yang "murni" dan tidak
ditafsirkan. Menurut Sellars, semua persepsi sudah terikat pada kerangka
linguistik dan konseptual tertentu⁶. Artinya, tidak ada observasi netral tanpa
prakonsepsi; setiap pengalaman selalu dibentuk oleh bahasa, budaya, dan
struktur kognitif yang dimiliki oleh subjek.
Senada dengan itu, Thomas
Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linier melalui
akumulasi fakta empiris, melainkan melalui paradigma yang berubah secara
revolusioner. Fakta ilmiah, dalam pandangan Kuhn, dibentuk
oleh paradigma dominan, bukan semata hasil dari observasi
netral⁷. Hal ini menggugurkan asumsi empirisme bahwa sains dibangun secara objektif
dari data yang "diberikan" oleh pengalaman.
6.5.
Masalah Subjektivitas
dan Relativitas Persepsi
Empirisme juga
dikritik karena terlalu mengandalkan keandalan indera,
padahal persepsi dapat berbeda antara satu individu dengan individu lain.
Misalnya, pengalaman tentang warna, suhu, atau suara bisa sangat subjektif. Hal
ini memunculkan pertanyaan tentang validitas dan intersubjektivitas pengetahuan
yang didasarkan pada data inderawi. Jika tidak ada standar objektif untuk
menilai pengalaman, maka empirisme terancam tenggelam dalam relativisme
epistemik⁸.
Kesimpulan
Subbagian
Kritik-kritik
terhadap empirisme menunjukkan bahwa pengalaman inderawi, meskipun penting, bukanlah
fondasi yang cukup untuk seluruh pengetahuan. Pengalaman
membutuhkan perangkat rasional, konseptual, dan linguistik untuk dapat dimaknai
dan diuji. Meskipun demikian, sebagian besar filsafat kontemporer tidak menolak
empirisme sepenuhnya, melainkan menyempurnakannya dengan pendekatan yang lebih
reflektif terhadap bahasa, struktur kognitif, dan dinamika historis dari
pengetahuan itu sendiri.
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), Meditation I.
[2]
G.W. Leibniz, New Essays on Human Understanding, trans. and ed.
Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), Book I, Ch. 1.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §7.
[4]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 71–75.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A64/B89.
[6]
Wilfrid Sellars, “Empiricism and the Philosophy of Mind,” in Science,
Perception and Reality (London: Routledge & Kegan Paul, 1963),
127–196.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 52–65.
[8]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 168–172.
7.
Relevansi Empirisme dalam Konteks Kontemporer
Meskipun banyak
dikritik dan direvisi sepanjang sejarah filsafat, empirisme
tetap memiliki relevansi yang kuat dalam wacana kontemporer,
baik dalam filsafat, sains, pendidikan, maupun teknologi. Aliran ini tidak
hanya bertahan sebagai warisan historis, tetapi juga terintegrasi
secara aktif dalam cara manusia modern memahami dan membangun pengetahuan.
7.1.
Empirisme dalam Sains
Modern dan Teknologi
Dalam sains
kontemporer, prinsip empiris terus menjadi fondasi utama. Metodologi ilmiah
masih mengandalkan observasi, eksperimen, dan pengujian hipotesis
berdasarkan data inderawi sebagai prosedur baku dalam memperoleh
pengetahuan. Sains kuantitatif modern seperti fisika, biologi molekuler, dan
ilmu komputer tetap menjadikan data empiris sebagai titik awal dan tolok ukur
validitas teoritis¹.
Bahkan dalam era big data
dan kecerdasan buatan (AI), prinsip empirisme tetap hadir dalam
bentuk baru. Algoritma pembelajaran mesin (machine learning) dirancang untuk
menyaring pola dari data empiris secara otomatis tanpa asumsi teoretis awal,
suatu pendekatan yang sejalan dengan semangat empirisme klasik². Model AI tidak
dibangun berdasarkan deduksi rasional a priori, tetapi melalui akumulasi
pengalaman (data) yang dianalisis secara statistik.
7.2.
Aplikasi Empirisme
dalam Ilmu Sosial dan Pendidikan
Dalam ilmu sosial,
pendekatan empiris sangat penting dalam metodologi penelitian, khususnya dalam
studi kuantitatif seperti survei, eksperimen lapangan, dan studi longitudinal.
Metode ini memungkinkan para peneliti untuk menguji hipotesis tentang perilaku manusia
berdasarkan bukti nyata. Bahkan pendekatan kualitatif pun
menekankan pentingnya data lapangan yang diperoleh dari wawancara, observasi
partisipatif, dan dokumentasi sebagai sumber utama pengetahuan sosial³.
Dalam dunia
pendidikan, teori empirisme telah mengilhami pendekatan pedagogis seperti behaviorisme
yang menyatakan bahwa pembelajaran terjadi melalui asosiasi pengalaman dan
respons. Tokoh seperti John B. Watson dan B.F.
Skinner mengembangkan teknik pengajaran berbasis penguatan (reinforcement)
yang bertujuan membentuk perilaku melalui pengalaman yang dapat diamati⁴.
Selain itu, pendekatan berbasis pengalaman (experiential learning) dalam
pendidikan modern juga mengakar pada keyakinan bahwa belajar
yang bermakna terjadi ketika siswa mengalami langsung objek atau proses
pembelajaran⁵.
7.3.
Peran Empirisme dalam
Epistemologi Analitik dan Kognitif
Dalam bidang
epistemologi kontemporer, empirisme telah mengalami transformasi ke dalam
bentuk yang lebih canggih, misalnya melalui empirisme
reliabilistis (reliabilist empiricism) dan naturalized
epistemology seperti yang dikembangkan oleh W.V.O.
Quine. Quine menolak pemisahan tajam antara filsafat dan ilmu
pengetahuan, serta mengusulkan bahwa epistemologi harus disusun berdasarkan
metode ilmiah aktual, bukan spekulasi metafisik⁶.
Sementara itu, dalam
ilmu
kognitif dan neurosains, banyak peneliti mengadopsi pandangan
empiris bahwa pengetahuan, persepsi, dan kesadaran harus dipahami berdasarkan
bukti neurofisiologis dan eksperimen laboratorium. Proses belajar, memori, dan
pengambilan keputusan dikaji melalui eksperimen kuantitatif yang berakar pada
asumsi empiris bahwa pikiran manusia adalah hasil pengolahan data inderawi yang
kompleks⁷.
7.4.
Kritik Konstruktif dan
Evolusi Empirisme
Meskipun demikian, empirisme
kontemporer tidak lagi dipahami secara naif seperti dalam versi
awalnya. Para filsuf dan ilmuwan menyadari bahwa data tidak pernah “murni”
dan selalu diinterpretasi melalui teori, bahasa, dan paradigma. Oleh karena
itu, banyak pendekatan kontemporer yang menggabungkan prinsip empiris dengan kesadaran
terhadap struktur konseptual dan kontekstual pengetahuan,
sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Kuhn dan Paul
Feyerabend⁸. Empirisme modern menjadi lebih reflektif dan
pluralistik, membuka ruang bagi pemahaman yang lebih dinamis terhadap sains dan
pengetahuan.
Kesimpulan
Subbagian
Secara keseluruhan, empirisme
tetap memainkan peran sentral dalam perkembangan pengetahuan kontemporer,
baik sebagai metodologi ilmiah maupun sebagai prinsip pendidikan dan
penelitian. Meski telah mengalami modifikasi signifikan, semangat
empirisme—yakni komitmen terhadap pengalaman, verifikasi, dan keterbukaan
terhadap revisi—masih menjadi pilar utama dalam pencarian pengetahuan yang
sahih dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 15–17.
[2]
Shakir Mohamed, Mihaela van der Schaar, and Krysta Svore, “Empirical
AI: Learning from Data,” Communications of the ACM 65, no. 4 (2022):
36–38.
[3]
Alan Bryman, Social Research Methods, 5th ed. (Oxford: Oxford University
Press, 2016), 30–32.
[4]
B.F. Skinner, The Technology of Teaching (New York:
Appleton-Century-Crofts, 1968), 9–15.
[5]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984),
20–23.
[6]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity
and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.
[7]
Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of
the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 84–87.
[8]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 110–115.
8.
Kesimpulan
Empirisme merupakan
salah satu aliran epistemologi paling berpengaruh dalam sejarah filsafat,
dengan warisan pemikiran yang membentang dari era Aristoteles hingga ke zaman
sains dan teknologi modern. Dengan menegaskan bahwa pengalaman
inderawi adalah sumber utama dan otoritatif dari segala pengetahuan,
empirisme telah membentuk cara pandang manusia terhadap realitas, pengetahuan,
dan metode ilmiah¹.
Pemikiran John
Locke, George Berkeley, dan David
Hume menjadi tonggak penting dalam pengembangan teori empiris.
Locke menyusun kerangka dasar bahwa pikiran adalah tabula rasa yang dibentuk oleh
sensasi dan refleksi². Berkeley kemudian menantang asumsi tentang keberadaan
materi eksternal dan menegaskan peran persepsi dalam membentuk realitas³.
Sementara itu, Hume mengangkat persoalan mendasar terkait induksi
dan kausalitas,
yang mengguncang asumsi dasar empirisme dan membuka jalan bagi kritik-kritik
berikutnya⁴.
Dalam sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan, empirisme berperan sebagai landasan filosofis
dari metode ilmiah yang menekankan observasi, eksperimentasi,
dan verifikasi. Prinsip-prinsip ini mendorong kemajuan sains sejak Revolusi
Ilmiah hingga era big data dan kecerdasan buatan saat ini⁵. Meskipun berbagai
tantangan telah diajukan—baik dari kaum rasionalis, Kantian, maupun filsuf
bahasa dan hermeneutika—semangat empirisme tetap bertahan dan bertransformasi menjadi
pendekatan yang lebih reflektif dan interdisipliner.
Relevansi empirisme
dalam konteks kontemporer tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya beradaptasi
dengan perkembangan teori dan praktik. Dalam epistemologi analitik, empirisme
telah berkembang menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks, seperti naturalized
epistemology dan reliabilisme. Dalam sains,
pendekatan berbasis data empiris tetap menjadi prosedur utama validasi
teoritis. Dalam pendidikan, prinsip belajar melalui pengalaman tetap menjadi
salah satu pendekatan pedagogis paling efektif⁶.
Namun demikian, empirisme
modern menyadari keterbatasannya sendiri: pengalaman tidak
pernah bebas dari interpretasi, dan data tidak pernah “murni”. Oleh
karena itu, aliran ini tidak lagi berdiri sebagai doktrin tunggal, tetapi
sebagai kerangka kerja terbuka yang
mengintegrasikan observasi empiris dengan kesadaran kritis terhadap struktur
kognitif, bahasa, dan paradigma ilmiah⁷.
Akhirnya, pelajaran
penting dari sejarah empirisme adalah bahwa pengetahuan sejati menuntut keseimbangan antara
pengalaman dan refleksi, antara data dan interpretasi, antara
kerendahan hati epistemik dan keberanian untuk menguji. Di tengah kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang kian cepat, prinsip-prinsip dasar empirisme
tetap menjadi penuntun dalam pencarian kebenaran yang dapat diuji, diperbaiki,
dan dibagikan secara rasional.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 21–23.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter
H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2–4.
[3]
George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human
Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998),
§3–§6.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom
L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §4–§7.
[5]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 18–21.
[6]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984),
20–23.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 110–115.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (2001). Language,
truth and logic. Penguin Books. (Karya asli diterbitkan 1936)
Audi, R. (2011). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Berkeley, G. (1998). A
treatise concerning the principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.).
Oxford University Press. (Karya asli diterbitkan 1710)
Bryman, A. (2016). Social
research methods (5th ed.). Oxford University Press.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy:
Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.
Descartes, R. (1993). Meditations
on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Feldman, R. (2003). Epistemology.
Prentice Hall.
Godfrey-Smith, P. (2003). Theory
and reality: An introduction to the philosophy of science. University of
Chicago Press.
Hume, D. (1999). An
enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford
University Press. (Karya asli diterbitkan 1748)
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press. (Karya asli diterbitkan 1781/1787)
Kolb, D. A. (1984). Experiential
learning: Experience as the source of learning and development. Prentice
Hall.
Kuhn, T. S. (1970). The
structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago
Press.
Leibniz, G. W. (1996). New
essays on human understanding (P. Remnant & J. Bennett, Eds. &
Trans.). Cambridge University Press. (Karya asli ditulis 1704, diterbitkan
secara anumerta 1765)
Locke, J. (1975). An
essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon
Press. (Karya asli diterbitkan 1690)
Mohamed, S., van der
Schaar, M., & Svore, K. (2022). Empirical AI: Learning from data. Communications
of the ACM, 65(4), 36–38. https://doi.org/10.1145/3517304
Popper, K. R. (2002). The
logic of scientific discovery. Routledge. (Karya asli diterbitkan 1959)
Quine, W. V. O. (1969).
Epistemology naturalized. In Ontological relativity and other essays
(pp. 69–90). Columbia University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Sellars, W. (1963).
Empiricism and the philosophy of mind. In Science, perception and reality
(pp. 127–196). Routledge & Kegan Paul.
Skinner, B. F. (1968). The
technology of teaching. Appleton-Century-Crofts.
Stroud, B. (1977). Hume.
Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar