Selasa, 10 Juni 2025

Empirisme dalam Epistemologi: Asal Pengetahuan, Tokoh Sentral, dan Implikasinya terhadap Ilmu Pengetahuan

Empirisme dalam Epistemologi

Asal Pengetahuan, Tokoh Sentral, dan Implikasinya terhadap Ilmu Pengetahuan


Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran empirisme dalam epistemologi, yakni pandangan yang menegaskan bahwa pengalaman inderawi merupakan sumber utama pengetahuan. Pembahasan dimulai dengan telaah atas konsep dasar empirisme dan akar-akar historisnya sejak filsafat Aristotelian, hingga puncaknya dalam pemikiran tokoh-tokoh kunci seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Artikel ini juga menguraikan kontribusi empirisme terhadap perkembangan metode ilmiah modern yang berbasis pada observasi dan eksperimen, sekaligus menyoroti berbagai kritik terhadap fondasi epistemologisnya, baik dari rasionalisme, filsafat Kantian, maupun pendekatan hermeneutik dan filsafat bahasa kontemporer. Relevansi empirisme dalam konteks modern juga dibahas melalui integrasinya dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, serta epistemologi kognitif. Dengan pendekatan historis dan analitis, artikel ini menegaskan bahwa meskipun empirisme telah mengalami banyak revisi konseptual, prinsip dasarnya tetap menjadi fondasi penting dalam pencarian pengetahuan yang sahih, terbuka, dan berbasis bukti.

Kata Kunci: Empirisme, epistemologi, pengalaman inderawi, John Locke, George Berkeley, David Hume, metode ilmiah, kritik rasionalisme, filsafat kontemporer, pengetahuan ilmiah.


PEMBAHASAN

Empirisme dalam Epistemologi


1.           Pendahuluan

Epistemologi, yang berasal dari bahasa Yunani epistēmē (pengetahuan) dan logos (kajian atau teori), merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat, asal-usul, batasan, dan validitas pengetahuan manusia. Fokus utama epistemologi adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: “Apa itu pengetahuan?”, “Bagaimana pengetahuan diperoleh?”, dan “Apa yang membedakan pengetahuan sejati dari keyakinan biasa?”¹. Dalam tradisi filsafat Barat, dua pendekatan utama telah mendominasi perdebatan epistemologis selama berabad-abad: rasionalisme dan empirisme. Jika rasionalisme meyakini bahwa akal merupakan sumber utama pengetahuan, maka empirisme menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pengalaman inderawi².

Empirisme muncul sebagai respons terhadap kecenderungan rasionalistik yang terlalu menekankan pada prinsip-prinsip a priori dan deduksi logis tanpa memadai mempertimbangkan pengalaman nyata manusia. Para filsuf empiris percaya bahwa semua pengetahuan yang valid harus berakar pada pengamatan, persepsi, atau pengalaman langsung yang dapat diuji dan diverifikasi. Dengan kata lain, pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa—sebuah lembar kosong yang kemudian diisi oleh data dari pengalaman³. Pandangan ini membawa konsekuensi besar terhadap perkembangan metode ilmiah modern yang mengandalkan observasi, eksperimen, dan induksi sebagai dasar validasi pengetahuan.

Kebangkitan empirisme tidak dapat dipisahkan dari semangat zaman yang lahir pada abad ke-17 dan ke-18, yakni masa yang dikenal sebagai Revolusi Ilmiah dan Pencerahan. Dalam konteks ini, filsuf-filsuf seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume memainkan peran penting dalam menyusun dasar-dasar empirisme modern. Melalui karya-karya mereka, empirisme tidak hanya menjadi teori epistemologi semata, tetapi juga menjadi fondasi filosofis bagi ilmu pengetahuan dan pendidikan di dunia modern⁴.

Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam konsep dasar empirisme dalam epistemologi, memperkenalkan tokoh-tokoh kunci beserta gagasannya, serta meninjau kontribusi dan kritik terhadap aliran ini. Dengan demikian, pembaca diharapkan memperoleh pemahaman menyeluruh mengenai bagaimana pengalaman inderawi diposisikan sebagai sumber utama pengetahuan, serta bagaimana pandangan ini memengaruhi perkembangan filsafat dan sains secara historis dan kontemporer.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 1–3.

[2]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 14–16.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2.

[4]                A.C. Grayling, The History of Philosophy (London: Penguin Books, 2019), 370–377.


2.           Konsep Dasar Empirisme

Empirisme merupakan aliran dalam epistemologi yang menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman, khususnya pengalaman inderawi. Bagi para empiris, akal tidak memiliki isi bawaan (innate ideas), melainkan hanya berfungsi mengolah data yang diperoleh melalui pengamatan terhadap dunia nyata. Dalam kerangka ini, pengalaman menjadi sumber primer sekaligus validasi utama terhadap pengetahuan¹.

Salah satu prinsip dasar empirisme adalah bahwa ide-ide dalam pikiran manusia merupakan hasil dari pengalaman langsung. John Locke, seorang pelopor empirisme modern, mengemukakan bahwa pikiran manusia pada saat lahir adalah tabula rasa—sebuah kertas kosong yang belum memiliki isi apa pun. Segala ide yang kemudian muncul dalam benak berasal dari dua sumber utama: sensasi (pengalaman eksternal melalui pancaindra) dan refleksi (pengalaman internal atas operasi mental terhadap apa yang telah diperoleh dari sensasi)². Dengan demikian, tidak ada pengetahuan yang sahih tanpa keterlibatan pengalaman.

Ciri khas lain dari empirisme adalah penolakannya terhadap ide-ide a priori, yaitu ide yang dianggap sudah ada sebelum pengalaman dan tidak bergantung pada data empiris. Hal ini membedakannya secara fundamental dari rasionalisme, yang percaya bahwa terdapat pengetahuan bawaan dan kebenaran-kebenaran logis yang bisa diketahui tanpa pengalaman, seperti dalam matematika atau logika³. Dalam perspektif empirisme, bahkan konsep-konsep yang tampaknya abstrak—seperti ruang, waktu, atau kausalitas—dapat ditelusuri asal-usulnya dalam pengalaman konkret yang dialami oleh subjek.

Selain itu, empirisme juga mengasumsikan bahwa pengamatan terhadap fenomena dapat memberikan dasar bagi generalisasi melalui proses induksi. Artinya, pengetahuan ilmiah dibangun dari akumulasi pengalaman-pengalaman individual yang, setelah diorganisasi dan dianalisis, menghasilkan prinsip-prinsip umum. Meski model ini mendapat tantangan dari para filsuf skeptis seperti David Hume, ia tetap menjadi kerangka kerja yang dominan dalam praktik ilmiah⁴.

Lebih lanjut, empirisme menggarisbawahi pentingnya keterbatasan indera dan pengalaman sebagai tantangan dalam memperoleh pengetahuan yang akurat. Karena manusia hanya dapat mengetahui apa yang bisa ditangkap oleh pancaindra, maka pengetahuan bersifat tentatif dan harus selalu terbuka terhadap revisi berdasarkan pengalaman baru. Dalam hal ini, empirisme mengandung nilai epistemik berupa kerendahan hati ilmiah (epistemic humility), yakni kesadaran bahwa kebenaran tidak bisa diklaim secara mutlak tanpa dukungan empiris yang terus-menerus⁵.

Secara keseluruhan, empirisme memosisikan pengalaman sebagai pusat dari segala proses epistemik. Ini berarti bahwa keabsahan suatu pengetahuan tidak tergantung pada rasionalitas semata, tetapi pada verifikasi melalui observasi dan pengujian nyata. Karena itu, empirisme telah memberikan fondasi filosofis yang kokoh bagi ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam mengembangkan metode ilmiah yang berbasis pada observasi sistematis dan eksperimen.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 21–23.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2–4.

[3]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses, 2nd ed. (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 41–43.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §4–§5.

[5]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 38–40.


3.           Sejarah dan Perkembangan Awal

Secara historis, akar-akar empirisme dapat ditelusuri hingga filsafat kuno, khususnya pada pemikiran Aristoteles, yang menegaskan bahwa semua pengetahuan bermula dari indera. Dalam De Anima dan Posterior Analytics, Aristoteles menyatakan bahwa akal manusia menerima kesan dari dunia luar melalui penginderaan, dan melalui proses abstraksi, membentuk konsep-konsep universal¹. Meskipun belum dirumuskan sebagai suatu sistem empirisme, pemikiran Aristoteles memberikan fondasi awal bagi pandangan bahwa pengalaman adalah sumber utama pengetahuan.

Pandangan empiris ini kemudian mengalami pengembangan dan pembaruan yang signifikan dalam konteks filsafat modern Eropa, terutama selama periode Revolusi Ilmiah pada abad ke-17. Periode ini ditandai oleh perubahan mendasar dalam cara manusia memahami alam semesta, dari pendekatan skolastik yang bercorak deduktif dan teologis ke pendekatan eksperimental dan induktif. Kemajuan dalam bidang astronomi, fisika, dan matematika—yang dicontohkan oleh karya Galileo Galilei dan Francis Bacon—memberikan dorongan kuat bagi munculnya pemikiran empiris yang berbasis pada pengamatan langsung dan verifikasi².

Salah satu tokoh kunci dalam transisi ini adalah Francis Bacon (1561–1626), yang secara eksplisit menolak metode deduktif skolastik dan menggantikannya dengan metode induktif berbasis pengalaman. Dalam Novum Organum, Bacon mengembangkan kerangka metodologis yang mendorong pengumpulan fakta empiris secara sistematis sebagai dasar pembentukan pengetahuan ilmiah³. Ia juga mengkritik idola-idola pikiran (idola tribus, idola specus, dll.) yang menurutnya mengaburkan pemahaman manusia, dan yang hanya dapat dilampaui melalui metode empiris yang ketat.

Namun, puncak artikulasi empirisme sebagai aliran epistemologi tercapai melalui karya para filsuf Inggris pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, khususnya John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Mereka tidak hanya menekankan pentingnya pengalaman, tetapi juga membangun teori sistematis tentang bagaimana ide-ide terbentuk dalam pikiran. Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding (1690), menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari dua sumber pengalaman: sensasi dan refleksi, serta menolak gagasan ide bawaan⁴.

Selanjutnya, George Berkeley mengembangkan pendekatan lebih radikal dengan menyatakan bahwa materi sebagai substansi fisik tidak benar-benar ada di luar persepsi. Menurutnya, semua eksistensi bergantung pada dipersepsi (esse est percipi), dan pengalaman sensorik adalah satu-satunya dasar dari realitas⁵. Akhirnya, David Hume, tokoh paling skeptis dari kalangan empiris, menggugat hubungan sebab-akibat dan prinsip induksi sebagai asumsi yang tidak dapat dibuktikan secara rasional, tetapi hanya diterima karena kebiasaan psikologis⁶.

Dari Aristoteles hingga Hume, sejarah perkembangan empirisme menunjukkan evolusi dari sekadar penekanan pada peran pengalaman dalam pengenalan, menjadi suatu teori sistematik tentang bagaimana pikiran bekerja, bagaimana konsep-konsep terbentuk, dan bagaimana pengetahuan ilmiah dibenarkan. Aliran ini menjadi fondasi filosofis yang sangat memengaruhi pemikiran modern, terutama dalam sains dan epistemologi analitik.


Footnotes

[1]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes in The Complete Works of Aristotle, vol. 1, ed. Jonathan Barnes (Princeton: Princeton University Press, 1984), I.1, 71a1–71b9.

[2]                Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001), 42–49.

[3]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. and trans. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Book I, Aphorisms 1–5.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2–3.

[5]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §3–§6.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §4–§5.


4.           Tokoh-Tokoh Sentral dan Gagasan Mereka

Empirisme sebagai aliran epistemologi mencapai bentuk sistematisnya melalui pemikiran tiga filsuf besar asal Inggris: John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Ketiganya mewakili perkembangan progresif dalam aliran empirisme, dari teori pengetahuan berbasis pengalaman hingga kritik radikal terhadap prinsip-prinsip rasionalitas. Meskipun memiliki perbedaan dalam pendekatan dan kesimpulan, mereka sepakat bahwa pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber sah pengetahuan manusia.

4.1.       John Locke (1632–1704)

John Locke dianggap sebagai bapak empirisme modern. Dalam karya utamanya An Essay Concerning Human Understanding (1690), ia menolak gagasan ide bawaan (innate ideas) yang selama ini dipegang oleh kaum rasionalis seperti Descartes. Ia berpendapat bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa—lembar kosong—yang kemudian diisi oleh pengalaman melalui dua saluran: sensasi (pengalaman eksternal melalui pancaindra) dan refleksi (pengamatan terhadap aktivitas batin)¹.

Locke membedakan antara ide sederhana—yang langsung ditangkap oleh indera seperti warna, suara, atau rasa—dan ide kompleks, yaitu gabungan dari ide-ide sederhana yang diolah melalui proses mental seperti asosiasi, perbandingan, atau abstraksi². Ia juga mengemukakan perbedaan antara kualitas primer (seperti bentuk, ukuran, dan gerak yang melekat pada objek) dan kualitas sekunder (seperti warna dan bau yang bergantung pada persepsi subjek)³. Gagasannya ini menjadi dasar bagi teori representasional tentang persepsi dan pengetahuan.

4.2.       George Berkeley (1685–1753)

George Berkeley melanjutkan dan sekaligus merevisi gagasan Locke dengan pendekatan yang lebih radikal. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), Berkeley menolak keberadaan materi sebagai substansi yang ada secara independen dari persepsi. Ia menyatakan bahwa esse est percipi—"ada berarti dipersepsi"⁴. Menurutnya, seluruh realitas terdiri dari ide-ide dalam pikiran, dan objek-objek material tidak memiliki eksistensi terpisah dari pengamatan subjek⁵.

Untuk menghindari solipsisme, Berkeley menyatakan bahwa keberlangsungan dunia eksternal dijamin oleh keberadaan Tuhan sebagai pengamat universal. Tuhan secara konstan mempersepsikan segala sesuatu, sehingga dunia tetap eksis bahkan ketika tidak sedang diamati oleh manusia⁶. Pandangannya ini disebut sebagai immaterialisme, yaitu pandangan bahwa tidak ada materi, hanya ada persepsi dan perseptor.

4.3.       David Hume (1711–1776)

David Hume merupakan puncak perkembangan sekaligus tantangan terbesar terhadap empirisme. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding (1748), Hume membedakan antara impressions (kesan langsung dari pengalaman) dan ideas (salinan samar dari impressions dalam pikiran). Semua ide harus dapat ditelusuri kembali pada impresi-impresi yang mendasarinya⁷.

Namun, Hume menunjukkan bahwa banyak ide yang kita anggap pasti, seperti kausalitas, diri, dan substansi, tidak dapat dibenarkan secara empiris. Misalnya, hubungan sebab-akibat tidak pernah bisa diamati secara langsung; yang dapat diamati hanyalah peristiwa-peristiwa yang berurutan secara tetap. Oleh karena itu, keyakinan akan kausalitas hanyalah hasil kebiasaan psikologis dan bukan pengetahuan yang rasional atau pasti⁸.

Hume juga menggugat validitas induksi, yaitu proses mengambil kesimpulan umum dari sejumlah observasi khusus. Menurutnya, tidak ada dasar rasional untuk menganggap masa depan akan serupa dengan masa lalu. Kritik ini mengguncang fondasi epistemologi empiris dan memicu respons dari para filsuf selanjutnya seperti Immanuel Kant⁹.


Kesimpulan Subbagian

Ketiga tokoh ini merepresentasikan tahapan evolutif dalam empirisme: Locke membangun dasar bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman; Berkeley menghilangkan materi dan memusatkan realitas pada persepsi; sementara Hume menunjukkan bahwa bahkan keyakinan dasar dalam pengetahuan empiris tidak dapat dibenarkan secara logis. Meskipun demikian, kontribusi mereka tetap menjadi batu penjuru dalam diskursus epistemologi modern dan pengembangan filsafat ilmu.


Footnotes

[1]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2–4.

[2]                Ibid., II.xii.1–3.

[3]                Ibid., II.viii.9–10.

[4]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §3.

[5]                Ibid., §6–§10.

[6]                Ibid., §33–§34.

[7]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §2.

[8]                Ibid., §4–§5.

[9]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 59–66.


5.           Empirisme dan Ilmu Pengetahuan

Salah satu pengaruh paling signifikan dari empirisme adalah kontribusinya terhadap perkembangan metode ilmiah modern. Dengan menegaskan bahwa pengetahuan harus diperoleh melalui pengalaman inderawi, empirisme memberikan dasar filosofis yang kokoh bagi sains yang bersifat observasional dan eksperimental. Pandangan ini secara langsung menentang metode skolastik abad pertengahan yang cenderung mengandalkan deduksi logis dari prinsip-prinsip otoritatif tanpa verifikasi empiris¹.

Pada awal abad ke-17, Francis Bacon mengadvokasi metode induktif yang menekankan pengumpulan fakta melalui observasi sistematis, eksperimen berulang, dan penarikan generalisasi dari data empiris. Dalam Novum Organum, ia menyatakan bahwa pengamatan yang cermat terhadap dunia nyata lebih dapat diandalkan daripada spekulasi filosofis yang lepas dari pengalaman. Ia bahkan menyebut metode induktif sebagai “jalan sejati menuju pengetahuan”².

Dalam kerangka ini, empirisme memandang ilmu pengetahuan sebagai konstruksi pengetahuan yang tumbuh dari fakta-fakta konkret yang dapat diuji dan diverifikasi. Model ini mendorong pendekatan bottom-up, di mana pengetahuan disusun dari unit-unit data partikular menuju hukum-hukum umum melalui proses generalisasi induktif³. Prinsip ini dapat terlihat dalam perkembangan ilmu-ilmu alam seperti fisika dan biologi, di mana hipotesis diuji melalui eksperimen dan diamati dampaknya secara objektif.

Namun demikian, kontribusi empirisme terhadap ilmu pengetahuan juga diiringi oleh sejumlah tantangan filosofis, terutama yang diajukan oleh David Hume. Ia menunjukkan bahwa hubungan sebab-akibat, yang merupakan tulang punggung dari teori ilmiah, tidak dapat dibuktikan secara rasional hanya berdasarkan pengalaman. Manusia tidak dapat mengamati “kekuatan” kausal itu sendiri, melainkan hanya serangkaian peristiwa yang berurutan secara tetap. Oleh karena itu, kepercayaan terhadap kausalitas didasarkan bukan pada bukti logis, melainkan pada kebiasaan atau ekspektasi psikologis⁴.

Masalah ini juga berimbas pada keraguan terhadap metode induktif, yang mengandalkan asumsi bahwa masa depan akan serupa dengan masa lalu. Menurut Hume, tidak ada justifikasi logis yang sah untuk menganggap bahwa pola-pola yang diamati di masa lalu akan terus berlaku. Kritik ini menimbulkan ketegangan dalam epistemologi empiris, karena justifikasi terhadap generalisasi ilmiah menjadi rapuh secara teoritis meskipun tetap kuat secara praktis⁵.

Meski demikian, empirisme tetap menjadi kerangka dasar bagi filsafat ilmu kontemporer. Warisannya dapat ditemukan dalam positivisme logis, aliran abad ke-20 yang dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Vienna Circle). Mereka menyempurnakan prinsip empiris dengan menambahkan logika simbolik dan verifikasi sebagai kriteria makna. Pengetahuan yang sah menurut mereka adalah yang dapat diverifikasi secara empiris atau diturunkan secara logis dari proposisi yang dapat diverifikasi⁶.

Di sisi lain, filsuf seperti Karl Popper menawarkan revisi terhadap paradigma empiris dengan mengajukan prinsip falsifikabilitas, yakni bahwa proposisi ilmiah yang sah bukanlah yang dapat diverifikasi secara pasti, melainkan yang dapat diuji dan dapat dibuktikan salah (falsifiable). Dalam pendekatan ini, pengalaman tetap penting, tetapi digunakan bukan untuk mengonfirmasi teori, melainkan untuk mengujinya secara kritis⁷.

Dengan demikian, meskipun menghadapi kritik internal dan eksternal, empirisme tetap menjadi pondasi epistemologis yang vital bagi ilmu pengetahuan. Ia membentuk etos ilmiah yang menghargai pengamatan, keterbukaan terhadap koreksi, dan kesediaan untuk merevisi teori berdasarkan data baru. Prinsip-prinsip ini masih menjadi ciri utama praktik ilmiah modern, dari laboratorium fisika hingga kajian sosial dan psikologi eksperimental.


Footnotes

[1]                Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001), 55–59.

[2]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. and trans. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), Book I, Aphorisms 19–24.

[3]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 45–47.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §7.

[5]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 69–73.

[6]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Penguin Books, 2001 [1936]), 31–33.

[7]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. from German by the author (London: Routledge, 2002 [1959]), 40–43.


6.           Kritik terhadap Empirisme

Meskipun empirisme telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, aliran ini juga menghadapi kritik signifikan baik dari dalam maupun luar tradisinya. Kritik-kritik ini berangkat dari berbagai persoalan, mulai dari keterbatasan metodologis, masalah epistemologis mendasar, hingga tantangan linguistik dan konseptual dalam perkembangan filsafat kontemporer.

6.1.       Kritik Rasionalisme terhadap Reduksi Inderawi

Salah satu kritik paling awal datang dari kaum rasionalis seperti René Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz, yang menolak gagasan bahwa semua pengetahuan dapat direduksi pada pengalaman inderawi. Menurut mereka, terdapat kebenaran-kebenaran yang bersifat a priori—yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh melalui akal semata tanpa perlu pengalaman, seperti dalam logika dan matematika. Descartes berargumen bahwa indera sering menipu dan karenanya tidak dapat dijadikan dasar pengetahuan yang pasti¹. Sementara itu, Leibniz menyatakan bahwa ide-ide tertentu, seperti prinsip identitas dan nonkontradiksi, tidak mungkin diperoleh hanya dari pengalaman, melainkan berasal dari struktur bawaan rasio².

6.2.       Skeptisisme Internal: Masalah Induksi dan Kausalitas

Dari dalam tradisi empirisme sendiri, David Hume mengajukan kritik radikal terhadap fondasi empiris, terutama menyangkut hubungan sebab-akibat dan proses induksi. Ia menunjukkan bahwa kausalitas tidak pernah dapat diamati secara langsung dalam pengalaman, melainkan hanya diturunkan dari kebiasaan persepsi atas dua peristiwa yang berurutan. Oleh karena itu, semua klaim kausal sebenarnya tidak lebih dari keyakinan psikologis, bukan pengetahuan rasional yang dapat dibenarkan secara logis³. Selain itu, induksi—yakni proses menarik generalisasi dari observasi terbatas—menurut Hume, tidak memiliki dasar rasional yang sah. Tidak ada jaminan logis bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu⁴.

6.3.       Kritik dari Immanuel Kant: Sintesis A Priori

Kritik paling monumental terhadap empirisme muncul dalam pemikiran Immanuel Kant, yang berusaha mendamaikan empirisme Hume dan rasionalisme Leibniz. Dalam Critique of Pure Reason, Kant berargumen bahwa meskipun pengetahuan berawal dari pengalaman, tidak seluruhnya berasal darinya. Ia memperkenalkan konsep pengetahuan sintetis a priori, yaitu pengetahuan yang memperluas pemahaman kita tentang dunia tetapi tidak bergantung pada pengalaman empiris karena dibentuk oleh struktur bawaan pikiran (seperti ruang, waktu, dan kategori kausalitas)⁵. Menurut Kant, pengalaman tidak dapat dipahami tanpa perangkat konseptual apriori yang sudah tertanam dalam subjek epistemik.

6.4.       Kritik Linguistik dan Konseptual dari Filsafat Abad ke-20

Pada abad ke-20, empirisme juga dikritik dari perspektif filsafat bahasa dan hermeneutika. Filsuf seperti Wilfrid Sellars mengecam apa yang disebutnya sebagai the myth of the given, yaitu asumsi bahwa terdapat data inderawi yang "murni" dan tidak ditafsirkan. Menurut Sellars, semua persepsi sudah terikat pada kerangka linguistik dan konseptual tertentu⁶. Artinya, tidak ada observasi netral tanpa prakonsepsi; setiap pengalaman selalu dibentuk oleh bahasa, budaya, dan struktur kognitif yang dimiliki oleh subjek.

Senada dengan itu, Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linier melalui akumulasi fakta empiris, melainkan melalui paradigma yang berubah secara revolusioner. Fakta ilmiah, dalam pandangan Kuhn, dibentuk oleh paradigma dominan, bukan semata hasil dari observasi netral⁷. Hal ini menggugurkan asumsi empirisme bahwa sains dibangun secara objektif dari data yang "diberikan" oleh pengalaman.

6.5.       Masalah Subjektivitas dan Relativitas Persepsi

Empirisme juga dikritik karena terlalu mengandalkan keandalan indera, padahal persepsi dapat berbeda antara satu individu dengan individu lain. Misalnya, pengalaman tentang warna, suhu, atau suara bisa sangat subjektif. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang validitas dan intersubjektivitas pengetahuan yang didasarkan pada data inderawi. Jika tidak ada standar objektif untuk menilai pengalaman, maka empirisme terancam tenggelam dalam relativisme epistemik⁸.


Kesimpulan Subbagian

Kritik-kritik terhadap empirisme menunjukkan bahwa pengalaman inderawi, meskipun penting, bukanlah fondasi yang cukup untuk seluruh pengetahuan. Pengalaman membutuhkan perangkat rasional, konseptual, dan linguistik untuk dapat dimaknai dan diuji. Meskipun demikian, sebagian besar filsafat kontemporer tidak menolak empirisme sepenuhnya, melainkan menyempurnakannya dengan pendekatan yang lebih reflektif terhadap bahasa, struktur kognitif, dan dinamika historis dari pengetahuan itu sendiri.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), Meditation I.

[2]                G.W. Leibniz, New Essays on Human Understanding, trans. and ed. Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Book I, Ch. 1.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §7.

[4]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 71–75.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51/B75–A64/B89.

[6]                Wilfrid Sellars, “Empiricism and the Philosophy of Mind,” in Science, Perception and Reality (London: Routledge & Kegan Paul, 1963), 127–196.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 52–65.

[8]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 168–172.


7.           Relevansi Empirisme dalam Konteks Kontemporer

Meskipun banyak dikritik dan direvisi sepanjang sejarah filsafat, empirisme tetap memiliki relevansi yang kuat dalam wacana kontemporer, baik dalam filsafat, sains, pendidikan, maupun teknologi. Aliran ini tidak hanya bertahan sebagai warisan historis, tetapi juga terintegrasi secara aktif dalam cara manusia modern memahami dan membangun pengetahuan.

7.1.       Empirisme dalam Sains Modern dan Teknologi

Dalam sains kontemporer, prinsip empiris terus menjadi fondasi utama. Metodologi ilmiah masih mengandalkan observasi, eksperimen, dan pengujian hipotesis berdasarkan data inderawi sebagai prosedur baku dalam memperoleh pengetahuan. Sains kuantitatif modern seperti fisika, biologi molekuler, dan ilmu komputer tetap menjadikan data empiris sebagai titik awal dan tolok ukur validitas teoritis¹.

Bahkan dalam era big data dan kecerdasan buatan (AI), prinsip empirisme tetap hadir dalam bentuk baru. Algoritma pembelajaran mesin (machine learning) dirancang untuk menyaring pola dari data empiris secara otomatis tanpa asumsi teoretis awal, suatu pendekatan yang sejalan dengan semangat empirisme klasik². Model AI tidak dibangun berdasarkan deduksi rasional a priori, tetapi melalui akumulasi pengalaman (data) yang dianalisis secara statistik.

7.2.       Aplikasi Empirisme dalam Ilmu Sosial dan Pendidikan

Dalam ilmu sosial, pendekatan empiris sangat penting dalam metodologi penelitian, khususnya dalam studi kuantitatif seperti survei, eksperimen lapangan, dan studi longitudinal. Metode ini memungkinkan para peneliti untuk menguji hipotesis tentang perilaku manusia berdasarkan bukti nyata. Bahkan pendekatan kualitatif pun menekankan pentingnya data lapangan yang diperoleh dari wawancara, observasi partisipatif, dan dokumentasi sebagai sumber utama pengetahuan sosial³.

Dalam dunia pendidikan, teori empirisme telah mengilhami pendekatan pedagogis seperti behaviorisme yang menyatakan bahwa pembelajaran terjadi melalui asosiasi pengalaman dan respons. Tokoh seperti John B. Watson dan B.F. Skinner mengembangkan teknik pengajaran berbasis penguatan (reinforcement) yang bertujuan membentuk perilaku melalui pengalaman yang dapat diamati⁴. Selain itu, pendekatan berbasis pengalaman (experiential learning) dalam pendidikan modern juga mengakar pada keyakinan bahwa belajar yang bermakna terjadi ketika siswa mengalami langsung objek atau proses pembelajaran⁵.

7.3.       Peran Empirisme dalam Epistemologi Analitik dan Kognitif

Dalam bidang epistemologi kontemporer, empirisme telah mengalami transformasi ke dalam bentuk yang lebih canggih, misalnya melalui empirisme reliabilistis (reliabilist empiricism) dan naturalized epistemology seperti yang dikembangkan oleh W.V.O. Quine. Quine menolak pemisahan tajam antara filsafat dan ilmu pengetahuan, serta mengusulkan bahwa epistemologi harus disusun berdasarkan metode ilmiah aktual, bukan spekulasi metafisik⁶.

Sementara itu, dalam ilmu kognitif dan neurosains, banyak peneliti mengadopsi pandangan empiris bahwa pengetahuan, persepsi, dan kesadaran harus dipahami berdasarkan bukti neurofisiologis dan eksperimen laboratorium. Proses belajar, memori, dan pengambilan keputusan dikaji melalui eksperimen kuantitatif yang berakar pada asumsi empiris bahwa pikiran manusia adalah hasil pengolahan data inderawi yang kompleks⁷.

7.4.       Kritik Konstruktif dan Evolusi Empirisme

Meskipun demikian, empirisme kontemporer tidak lagi dipahami secara naif seperti dalam versi awalnya. Para filsuf dan ilmuwan menyadari bahwa data tidak pernah “murni” dan selalu diinterpretasi melalui teori, bahasa, dan paradigma. Oleh karena itu, banyak pendekatan kontemporer yang menggabungkan prinsip empiris dengan kesadaran terhadap struktur konseptual dan kontekstual pengetahuan, sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend⁸. Empirisme modern menjadi lebih reflektif dan pluralistik, membuka ruang bagi pemahaman yang lebih dinamis terhadap sains dan pengetahuan.


Kesimpulan Subbagian

Secara keseluruhan, empirisme tetap memainkan peran sentral dalam perkembangan pengetahuan kontemporer, baik sebagai metodologi ilmiah maupun sebagai prinsip pendidikan dan penelitian. Meski telah mengalami modifikasi signifikan, semangat empirisme—yakni komitmen terhadap pengalaman, verifikasi, dan keterbukaan terhadap revisi—masih menjadi pilar utama dalam pencarian pengetahuan yang sahih dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 15–17.

[2]                Shakir Mohamed, Mihaela van der Schaar, and Krysta Svore, “Empirical AI: Learning from Data,” Communications of the ACM 65, no. 4 (2022): 36–38.

[3]                Alan Bryman, Social Research Methods, 5th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2016), 30–32.

[4]                B.F. Skinner, The Technology of Teaching (New York: Appleton-Century-Crofts, 1968), 9–15.

[5]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 20–23.

[6]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[7]                Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 84–87.

[8]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 110–115.


8.           Kesimpulan

Empirisme merupakan salah satu aliran epistemologi paling berpengaruh dalam sejarah filsafat, dengan warisan pemikiran yang membentang dari era Aristoteles hingga ke zaman sains dan teknologi modern. Dengan menegaskan bahwa pengalaman inderawi adalah sumber utama dan otoritatif dari segala pengetahuan, empirisme telah membentuk cara pandang manusia terhadap realitas, pengetahuan, dan metode ilmiah¹.

Pemikiran John Locke, George Berkeley, dan David Hume menjadi tonggak penting dalam pengembangan teori empiris. Locke menyusun kerangka dasar bahwa pikiran adalah tabula rasa yang dibentuk oleh sensasi dan refleksi². Berkeley kemudian menantang asumsi tentang keberadaan materi eksternal dan menegaskan peran persepsi dalam membentuk realitas³. Sementara itu, Hume mengangkat persoalan mendasar terkait induksi dan kausalitas, yang mengguncang asumsi dasar empirisme dan membuka jalan bagi kritik-kritik berikutnya⁴.

Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, empirisme berperan sebagai landasan filosofis dari metode ilmiah yang menekankan observasi, eksperimentasi, dan verifikasi. Prinsip-prinsip ini mendorong kemajuan sains sejak Revolusi Ilmiah hingga era big data dan kecerdasan buatan saat ini⁵. Meskipun berbagai tantangan telah diajukan—baik dari kaum rasionalis, Kantian, maupun filsuf bahasa dan hermeneutika—semangat empirisme tetap bertahan dan bertransformasi menjadi pendekatan yang lebih reflektif dan interdisipliner.

Relevansi empirisme dalam konteks kontemporer tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya beradaptasi dengan perkembangan teori dan praktik. Dalam epistemologi analitik, empirisme telah berkembang menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks, seperti naturalized epistemology dan reliabilisme. Dalam sains, pendekatan berbasis data empiris tetap menjadi prosedur utama validasi teoritis. Dalam pendidikan, prinsip belajar melalui pengalaman tetap menjadi salah satu pendekatan pedagogis paling efektif⁶.

Namun demikian, empirisme modern menyadari keterbatasannya sendiri: pengalaman tidak pernah bebas dari interpretasi, dan data tidak pernah “murni”. Oleh karena itu, aliran ini tidak lagi berdiri sebagai doktrin tunggal, tetapi sebagai kerangka kerja terbuka yang mengintegrasikan observasi empiris dengan kesadaran kritis terhadap struktur kognitif, bahasa, dan paradigma ilmiah⁷.

Akhirnya, pelajaran penting dari sejarah empirisme adalah bahwa pengetahuan sejati menuntut keseimbangan antara pengalaman dan refleksi, antara data dan interpretasi, antara kerendahan hati epistemik dan keberanian untuk menguji. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian cepat, prinsip-prinsip dasar empirisme tetap menjadi penuntun dalam pencarian kebenaran yang dapat diuji, diperbaiki, dan dibagikan secara rasional.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 21–23.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II.i.2–4.

[3]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, ed. Jonathan Dancy (Oxford: Oxford University Press, 1998), §3–§6.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), §4–§7.

[5]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 18–21.

[6]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 20–23.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 110–115.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (2001). Language, truth and logic. Penguin Books. (Karya asli diterbitkan 1936)

Audi, R. (2011). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

Berkeley, G. (1998). A treatise concerning the principles of human knowledge (J. Dancy, Ed.). Oxford University Press. (Karya asli diterbitkan 1710)

Bryman, A. (2016). Social research methods (5th ed.). Oxford University Press.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Feldman, R. (2003). Epistemology. Prentice Hall.

Godfrey-Smith, P. (2003). Theory and reality: An introduction to the philosophy of science. University of Chicago Press.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press. (Karya asli diterbitkan 1748)

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Karya asli diterbitkan 1781/1787)

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Prentice Hall.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Leibniz, G. W. (1996). New essays on human understanding (P. Remnant & J. Bennett, Eds. & Trans.). Cambridge University Press. (Karya asli ditulis 1704, diterbitkan secara anumerta 1765)

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press. (Karya asli diterbitkan 1690)

Mohamed, S., van der Schaar, M., & Svore, K. (2022). Empirical AI: Learning from data. Communications of the ACM, 65(4), 36–38. https://doi.org/10.1145/3517304

Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge. (Karya asli diterbitkan 1959)

Quine, W. V. O. (1969). Epistemology naturalized. In Ontological relativity and other essays (pp. 69–90). Columbia University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Sellars, W. (1963). Empiricism and the philosophy of mind. In Science, perception and reality (pp. 127–196). Routledge & Kegan Paul.

Skinner, B. F. (1968). The technology of teaching. Appleton-Century-Crofts.

Stroud, B. (1977). Hume. Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar