Minggu, 08 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 10-5: Faktor-Faktor Pembentuk Integrasi Nasional dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

Bahan Ajar PPKn

Faktor-Faktor Pembentuk Integrasi Nasional dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

Pilar Pemersatu Bangsa Indonesia


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif faktor-faktor pembentuk integrasi nasional Indonesia dalam kerangka semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar pemersatu bangsa. Sebagai negara dengan keragaman etnis, budaya, agama, dan bahasa, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga keutuhan nasional. Integrasi nasional dipahami sebagai proses menyatukan berbagai perbedaan sosial dan budaya ke dalam satu kesatuan bangsa melalui semangat kebersamaan dan kesadaran kolektif.

Artikel ini menjelaskan hakikat integrasi nasional, makna filosofis Bhinneka Tunggal Ika, serta faktor-faktor strategis pembentuk integrasi seperti sejarah perjuangan kemerdekaan, nilai-nilai budaya, sistem politik yang inklusif, bahasa persatuan, dan pemerataan pembangunan. Di sisi lain, artikel ini juga mengurai tantangan yang mengancam integrasi, seperti konflik identitas, kesenjangan sosial, radikalisme, serta disinformasi digital.

Melalui studi kasus dan aplikasi kontekstual, seperti rekonsiliasi konflik di Ambon, kegiatan OSIS di sekolah, dan peran komunitas pemuda lintas agama, artikel ini menekankan pentingnya peran aktif warga negara dalam memperkuat integrasi nasional. Refleksi kewarganegaraan menjadi kunci utama dalam menumbuhkan rasa memiliki terhadap bangsa dan menanamkan semangat persatuan dalam kehidupan berbangsa. Artikel ini merekomendasikan penguatan pendidikan karakter, internalisasi nilai Pancasila, serta partisipasi demokratis sebagai strategi berkelanjutan untuk mempertahankan integrasi nasional dalam dinamika global.

Kata Kunci: Integrasi nasional; Bhinneka Tunggal Ika; pluralisme; kewarganegaraan; Pancasila; kebinekaan; pendidikan karakter; kohesi sosial; konflik sosial; toleransi.


PEMBAHASAN

Faktor-Faktor Pembentuk Integrasi Nasional dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika


1.           Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang dihuni oleh lebih dari 270 juta penduduk dengan latar belakang etnis, budaya, bahasa, dan agama yang sangat beragam. Keberagaman ini sekaligus menjadi kekayaan dan tantangan dalam upaya mewujudkan integrasi nasional. Sebagai bangsa majemuk, Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah menyadari pentingnya menciptakan harmoni dan kesatuan dalam kebinekaan guna menjamin keutuhan dan stabilitas negara. Konsep integrasi nasional menjadi sangat krusial untuk menjaga agar pluralitas tidak menjelma menjadi potensi disintegrasi.

Integrasi nasional adalah proses dinamis yang menyatukan berbagai kelompok sosial dalam satu kesatuan politik dan identitas kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, integrasi nasional tidak hanya mencakup penyatuan secara administratif dan politik, tetapi juga melibatkan penyatuan secara sosial, budaya, dan emosional terhadap bangsa dan negara. Menurut Miriam Budiardjo, integrasi merupakan kondisi hubungan antar kelompok etnik yang ditandai oleh adanya rasa saling membutuhkan, toleransi, dan kesediaan untuk bekerja sama demi tujuan bersama.¹

Dalam kerangka itu, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang secara harfiah berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” menjadi fondasi filosofis yang menjembatani berbagai perbedaan yang ada di masyarakat Indonesia. Semboyan ini bukan sekadar moto formal negara, tetapi merupakan manifestasi nilai-nilai persatuan dalam keberagaman yang termaktub dalam ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.²

Urgensi pembahasan mengenai faktor-faktor pembentuk integrasi nasional sangat penting, terutama dalam konteks pendidikan kewarganegaraan di tingkat SLTA. Hal ini mengingat tantangan globalisasi, arus informasi yang cepat, serta potensi konflik horizontal berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang dapat mengancam kohesi sosial.³ Generasi muda sebagai penerus bangsa perlu memahami bahwa integrasi bukanlah proses yang terjadi secara alami, tetapi membutuhkan upaya sadar dan kolektif dari seluruh elemen bangsa. Pendidikan menjadi sarana strategis untuk menanamkan kesadaran kebangsaan dan memperkuat identitas nasional.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara komprehensif berbagai faktor yang mendukung terwujudnya integrasi nasional dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, serta memberikan pemahaman kritis mengenai relevansi nilai-nilai persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan memahami aspek-aspek ini, diharapkan peserta didik tidak hanya menjadi warga negara yang sadar akan keberagaman, tetapi juga mampu berkontribusi dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 111.

[2]                Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2013: Buku Siswa PPKn Kelas X (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016), 28–29.

[3]                Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Integrasi Nasional (Jakarta: Gramedia, 2009), 7–8.


2.           Hakikat Integrasi Nasional

Integrasi nasional merupakan konsep fundamental dalam ilmu politik dan kewarganegaraan, terutama dalam masyarakat yang bersifat majemuk seperti Indonesia. Istilah integrasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin integratio yang berarti "menyatukan" atau "membentuk keseluruhan". Dalam konteks kenegaraan, integrasi nasional dapat diartikan sebagai proses penyatuan berbagai kelompok sosial, budaya, dan geografis menjadi satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat.

Secara konseptual, integrasi nasional adalah kondisi terwujudnya kesatuan dalam keberagaman dalam suatu negara yang mencakup kesatuan wilayah, politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Menurut Myron Weiner, integrasi nasional merupakan proses menyatukan kelompok-kelompok sosial dan budaya ke dalam satu sistem nasional dengan loyalitas terhadap simbol dan institusi negara.¹ Dalam praktiknya, integrasi tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga bersifat emosional—yakni munculnya rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan, dan semangat nasionalisme dalam diri setiap warga negara.

Dalam kajian sosiologi politik, integrasi nasional sangat erat kaitannya dengan upaya menciptakan stabilitas dan harmoni sosial di tengah pluralitas masyarakat. Indonesia dengan lebih dari 1.300 kelompok etnik, lebih dari 700 bahasa daerah, serta beragam agama dan adat istiadat, menghadapi tantangan besar dalam menjaga keterpaduan nasional.² Oleh karena itu, integrasi nasional di Indonesia tidak bersifat otomatis, melainkan harus senantiasa dipelihara melalui pendekatan kebudayaan, pendidikan, komunikasi, dan kebijakan publik yang adil dan inklusif.

Adapun bentuk integrasi nasional dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:

1)                  Integrasi Sosial, yaitu kohesi antarkelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai sosial yang diakui bersama;

2)                  Integrasi Politik, yakni kesatuan dalam sistem pemerintahan, hukum, dan institusi negara;

3)                  Integrasi Kultural, yang melibatkan pengakuan dan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya sebagai bagian dari identitas nasional.³

Integrasi nasional berbeda dengan uniformitas. Integrasi menekankan pada pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan, namun dalam kerangka persatuan yang harmonis. Konsep ini sejalan dengan nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar bagi kehidupan kebangsaan Indonesia. Menurut Mohammad Hatta, integrasi nasional Indonesia tidak dimaksudkan untuk menghapuskan perbedaan, tetapi untuk menyatukan seluruh elemen bangsa dalam kesadaran sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.⁴

Oleh karena itu, pemahaman akan hakikat integrasi nasional sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran kewarganegaraan, memperkuat identitas nasional, dan mencegah potensi disintegrasi. Melalui pendidikan kewarganegaraan yang inklusif dan reflektif, peserta didik dapat memahami bahwa integrasi adalah hasil dari proses historis, sosial, dan politik yang panjang dan harus terus dijaga secara berkelanjutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Footnotes

[1]                Myron Weiner, Political Integration and Political Development (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1965), 10–12.

[2]                Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009), 101–103.

[3]                Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 243–245.

[4]                Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Tintamas, 1970), 35.


3.           Konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai Bingkai Integrasi

Konsep Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan nasional Indonesia yang secara harfiah berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu.” Semboyan ini bukan hanya simbol retoris, melainkan mencerminkan suatu prinsip filosofis dan politik kebangsaan yang menjadi landasan dalam mengelola keragaman bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang terbentuk dari latar belakang multietnik, multibahasa, dan multikultural, Indonesia membutuhkan suatu asas pemersatu yang mampu merangkul seluruh elemen bangsa dalam satu identitas kolektif. Bhinneka Tunggal Ika adalah jawaban historis dan normatif atas kebutuhan tersebut.

Asal-usul semboyan ini berasal dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, seorang pujangga dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Dalam teks tersebut, frasa “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa” berarti bahwa meskipun terdapat perbedaan (antara Hindu Siwa dan Buddha), tidak ada dua kebenaran (dharma) yang bertentangan.¹ Makna ini kemudian dimaknai ulang oleh para pendiri bangsa sebagai dasar persatuan dalam keberagaman Indonesia modern, dan secara resmi dijadikan sebagai semboyan negara yang termuat dalam lambang negara Garuda Pancasila.

Secara substantif, Bhinneka Tunggal Ika tidak menuntut keseragaman, tetapi mengedepankan persatuan yang dilandasi oleh kesadaran kolektif akan keberagaman. Dalam kerangka ini, integrasi nasional bukan dimaknai sebagai peleburan identitas lokal ke dalam identitas tunggal, melainkan sebagai harmoni antara berbagai identitas dalam satu semangat kebangsaan.² Konsep ini memperkuat posisi Pancasila sebagai ideologi negara yang menjamin kebebasan beragama, kesetaraan hak, dan penghormatan terhadap adat istiadat lokal dalam bingkai NKRI.

Dalam sistem ketatanegaraan, prinsip Bhinneka Tunggal Ika tercermin dalam berbagai aspek. UUD NRI Tahun 1945 menjamin kesetaraan seluruh warga negara tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, maupun golongan.³ Demikian pula, pembentukan daerah otonom dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat menunjukkan bahwa negara mengakui dan menghormati pluralitas sebagai bagian dari jati diri nasional.

Dalam konteks sosial-politik, Bhinneka Tunggal Ika berfungsi sebagai etos pemersatu bangsa yang menanamkan sikap toleransi, gotong royong, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Di tengah maraknya identitas primordial yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan sempit, konsep ini memainkan peran strategis dalam membangun narasi kebangsaan yang inklusif dan egaliter.⁴

Lebih jauh, Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi landasan utama dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Melalui pemahaman terhadap semboyan ini, peserta didik diajak untuk tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga berkontribusi secara aktif dalam memperkuat integrasi nasional. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yakni membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan mampu hidup dalam masyarakat yang demokratis dan pluralistik.⁵

Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika adalah lebih dari sekadar moto kenegaraan; ia merupakan ideologi kebangsaan yang hidup dan harus terus diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, pendidikan, dan kebijakan publik demi menjaga keberlangsungan integrasi nasional Indonesia.


Footnotes

[1]                I Gusti Ngurah Bagus, Kebudayaan dan Identitas Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 66–68.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 227.

[3]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2).

[4]                Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), 92–94.

[5]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, Lampiran I.


4.           Faktor-Faktor Pembentuk Integrasi Nasional

Integrasi nasional di Indonesia bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami, melainkan merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor historis, sosiologis, politik, dan kultural yang saling menopang. Dalam kerangka negara majemuk seperti Indonesia, integrasi nasional hanya dapat tercapai jika terdapat faktor-faktor strategis yang mampu menyatukan berbagai kelompok etnik, agama, dan budaya ke dalam satu identitas kebangsaan yang utuh. Pemahaman terhadap faktor-faktor ini menjadi penting agar generasi muda mampu menginternalisasi nilai-nilai persatuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

4.1.       Faktor Sejarah Perjuangan Bersama

Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan menjadi salah satu fondasi kuat terbentuknya integrasi nasional. Pengalaman kolektif dalam menghadapi penindasan kolonial menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan yang melampaui identitas kesukuan. Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa Indonesia merupakan titik balik penting dalam proses pembentukan identitas nasional.¹ Momentum kemerdekaan 17 Agustus 1945 semakin mengukuhkan integrasi tersebut melalui semangat persatuan dalam keberagaman.

4.2.       Faktor Sosial Budaya

Meskipun masyarakat Indonesia sangat beragam secara etnografis, terdapat sejumlah nilai budaya yang menjadi pemersatu, seperti semangat gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan penghormatan terhadap sesepuh atau tokoh adat.² Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi instrumen komunikasi nasional yang sangat efektif dalam menjembatani perbedaan bahasa daerah dan memperkuat kohesi sosial.³ Bahasa Indonesia telah memungkinkan penyebaran informasi, pendidikan, dan mobilitas sosial secara luas, sehingga mempercepat proses integrasi antarkelompok masyarakat.

4.3.       Faktor Politik dan Pemerintahan

Keberadaan ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi menjadi perekat dalam sistem politik Indonesia. Keduanya menjamin prinsip persatuan, keadilan, dan kesetaraan seluruh warga negara. Pemerintahan yang berorientasi pada prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, mendorong partisipasi politik yang inklusif dan menjaga legitimasi institusi negara sebagai pengayom seluruh kelompok masyarakat.⁴

4.4.       Faktor Geografis

Letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) memiliki sisi strategis sekaligus tantangan tersendiri bagi integrasi nasional. Sebagai negara maritim yang dihubungkan oleh laut dan jalur pelayaran, wilayah Indonesia secara alami terintegrasi oleh aktivitas ekonomi dan sosial lintas daerah.⁵ Infrastruktur transportasi antar pulau serta pembangunan wilayah terpadu menjadi kunci penting dalam menjaga konektivitas dan kesatuan wilayah.

4.5.       Faktor Ekonomi dan Keadilan Sosial

Pemerataan pembangunan antar daerah dan distribusi hasil kekayaan nasional yang adil merupakan faktor penting dalam memperkuat integrasi nasional. Ketimpangan ekonomi dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan berujung pada disintegrasi. Oleh karena itu, konsep keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila menekankan pentingnya keseimbangan antara pusat dan daerah dalam pembangunan.⁶ Program-program afirmatif seperti Dana Desa dan Otonomi Khusus di Papua merupakan contoh kebijakan strategis yang diarahkan untuk memperkuat integrasi dengan cara mengurangi ketimpangan struktural.

4.6.       Faktor Pendidikan dan Komunikasi

Pendidikan nasional memainkan peran penting dalam membentuk identitas kebangsaan dan menginternalisasikan nilai-nilai integratif. Kurikulum yang memuat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan kebinekaan Indonesia menjadi wahana penanaman wawasan kebangsaan sejak dini.⁷ Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi dan media sosial berkontribusi dalam memperluas jangkauan komunikasi antarmasyarakat, meskipun harus diimbangi dengan literasi digital agar tidak menjadi saluran penyebaran ujaran kebencian atau disinformasi.


Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa integrasi nasional Indonesia dibentuk oleh sinergi antara pengalaman historis, kesamaan nilai-nilai budaya, struktur politik yang inklusif, dan peran aktif dari pendidikan serta komunikasi. Kesadaran dan partisipasi seluruh elemen bangsa dalam memperkuat faktor-faktor tersebut akan menjadi jaminan bagi keutuhan dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka panjang.


Footnotes

[1]                Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta: Gramedia, 1993), 273–275.

[2]                Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009), 113.

[3]                Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kebijakan Bahasa Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018), 21.

[4]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (2).

[5]                Hasjim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995), 37–40.

[6]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 195.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah, Lampiran III.


5.           Tantangan dalam Mewujudkan Integrasi Nasional

Meskipun berbagai faktor pembentuk integrasi nasional telah menjadi fondasi yang kokoh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, proses mewujudkan dan mempertahankan integrasi di Indonesia tetap menghadapi berbagai tantangan serius. Tantangan-tantangan ini bersifat dinamis dan multidimensional, mencerminkan kompleksitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat majemuk. Kegagalan mengelola tantangan-tantangan ini dapat mengakibatkan munculnya disintegrasi sosial dan melemahnya kohesi nasional.

5.1.       Konflik SARA dan Sentimen Primordial

Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan integrasi nasional adalah masih kuatnya ikatan primordial, yaitu keterikatan pada suku, agama, ras, dan kedaerahan. Ikatan ini sering kali menjadi sumber konflik sosial apabila tidak dikelola dengan baik. Kasus-kasus konflik horizontal seperti yang terjadi di Poso, Ambon, dan Sampit menjadi contoh nyata bagaimana sentimen identitas lokal dapat berkembang menjadi kekerasan komunal yang mengancam stabilitas nasional.¹ Selain itu, politik identitas yang dimainkan dalam kontestasi politik juga berpotensi memperdalam fragmentasi sosial.²

5.2.       Kesenjangan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan antara daerah kaya dan miskin, antara pusat dan daerah, serta antara kelompok sosial tertentu masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Kesenjangan ekonomi ini menciptakan rasa ketidakadilan yang bisa memicu ketidakpuasan terhadap negara dan membuka ruang bagi munculnya gerakan separatisme atau radikalisme.³ Dalam banyak kasus, masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi juga mengalami keterpinggiran dalam akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan, yang semuanya berkontribusi pada lemahnya integrasi nasional.

5.3.       Globalisasi dan Erosi Nilai-Nilai Kebangsaan

Globalisasi membawa dampak ambivalen terhadap integrasi nasional. Di satu sisi, ia membuka peluang kerja sama dan pertukaran budaya global; namun di sisi lain, ia juga dapat mengikis nilai-nilai lokal dan nasional.⁴ Gaya hidup kosmopolitan yang diusung oleh budaya populer global sering kali menggeser nilai-nilai tradisional, nasionalisme, dan solidaritas sosial. Generasi muda menjadi kelompok yang paling rentan terhadap pengaruh ini, terutama apabila tidak dibekali dengan pemahaman yang kuat tentang jati diri kebangsaan.

5.4.       Radikalisme dan Terorisme

Radikalisme berbasis ideologi keagamaan maupun politik merupakan tantangan serius bagi integrasi nasional. Gerakan ini kerap menolak ideologi Pancasila dan sistem demokrasi, serta menyebarkan narasi kebencian dan intoleransi yang merusak tatanan sosial. Aksi-aksi terorisme yang pernah melanda Indonesia seperti Bom Bali, Bom JW Marriott, hingga penyerangan terhadap aparat negara merupakan manifestasi ekstrem dari ancaman disintegrasi.⁵ Penanggulangan radikalisme memerlukan pendekatan yang komprehensif, tidak hanya melalui keamanan, tetapi juga melalui pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan kontra-narasi ideologis.

5.5.       Disinformasi dan Polarisasi di Era Digital

Era teknologi informasi dan media sosial menghadirkan tantangan baru dalam bentuk disinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi opini publik. Informasi yang menyebar cepat tanpa verifikasi dapat menciptakan ketegangan sosial dan memperkeruh hubungan antarkelompok masyarakat.⁶ Dalam beberapa kasus, hoaks yang disebarkan secara masif telah memicu konflik, membentuk persepsi keliru tentang kelompok lain, serta melemahkan kepercayaan terhadap institusi negara.

5.6.       Lemahnya Literasi Kewarganegaraan

Tantangan lainnya adalah rendahnya tingkat literasi kewarganegaraan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Pemahaman yang minim terhadap nilai-nilai dasar konstitusi, hak dan kewajiban warga negara, serta pentingnya persatuan dalam keberagaman, menyebabkan sebagian warga bersikap apatis atau bahkan destruktif terhadap kehidupan berbangsa.⁷ Pendidikan kewarganegaraan yang kurang kontekstual dan hanya bersifat formalitas menjadi penyebab lemahnya internalisasi nilai-nilai kebangsaan.


Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa integrasi nasional bukanlah kondisi yang stabil secara permanen, melainkan sebuah proses yang memerlukan perhatian terus-menerus, kebijakan strategis, dan partisipasi aktif seluruh warga negara. Penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, penguatan pendidikan karakter, pemerataan pembangunan, serta pengelolaan konflik dan perbedaan secara adil menjadi kunci untuk menjaga dan memperkuat integrasi nasional di tengah dinamika zaman.


Footnotes

[1]                Ikrar Nusa Bhakti, Peta Konflik Komunal di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2007), 89–91.

[2]                Burhanuddin Muhtadi, Populisme, Politik Identitas, dan Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2020), 112–114.

[3]                Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Perspektif Keadilan Sosial (Yogyakarta: BPFE, 1998), 77–79.

[4]                Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1999), 236–239.

[5]                Noorhaidi Hasan, Radikalisasi di Indonesia: Agama, Identitas dan Politik (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2019), 63–65.

[6]                Wasisto Raharjo Jati, Politik Siber: Disinformasi dan Polaritas di Era Digital (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2021), 55–57.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Modul Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas X (Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2020), 18–21.


6.           Upaya Memperkuat Integrasi Nasional

Dalam konteks kebangsaan Indonesia yang majemuk, integrasi nasional merupakan proses berkelanjutan yang tidak hanya bergantung pada kondisi objektif seperti kesamaan sejarah atau bahasa, tetapi juga pada kemampuan negara dan masyarakat dalam merawat persatuan melalui kebijakan, pendidikan, dan partisipasi aktif warga negara. Dalam menghadapi berbagai tantangan integrasi nasional sebagaimana telah dibahas sebelumnya, diperlukan upaya kolektif dan sistematis untuk memperkuat kohesi sosial dan identitas nasional.

6.1.       Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan dan Karakter

Pendidikan memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran kebangsaan dan memperkuat integrasi nasional. Melalui Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), peserta didik diajak memahami nilai-nilai dasar seperti toleransi, persatuan, keadilan, serta kesadaran konstitusional. Kurikulum Merdeka juga menekankan pentingnya penguatan profil pelajar Pancasila yang berakhlak mulia, berkebinekaan global, dan gotong royong.¹

Menurut Tilaar, pendidikan nasional harus menjadi media rekonstruksi sosial dan bukan sekadar transmisi pengetahuan.² Oleh karena itu, strategi pendidikan integratif perlu mengarah pada pembelajaran kontekstual, dialogis, dan reflektif agar nilai-nilai kebangsaan tidak hanya menjadi wacana, tetapi terinternalisasi dalam sikap dan perilaku peserta didik.

6.2.       Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional memiliki kapasitas integratif yang luar biasa karena mengandung nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh seluruh kelompok masyarakat.³ Penanaman kembali nilai-nilai Pancasila secara konsisten, melalui pendidikan formal, kegiatan sosial, dan kebijakan publik, sangat penting untuk mengatasi ancaman disintegrasi seperti intoleransi, radikalisme, dan fanatisme sempit.

Begitu pula, semboyan Bhinneka Tunggal Ika perlu dijadikan nilai hidup dalam praktik kebangsaan. Upaya ini dapat dilakukan melalui pembiasaan sikap inklusif, penguatan narasi kebangsaan di media, dan promosi terhadap simbol-simbol persatuan di ruang publik.⁴

6.3.       Pemerataan Pembangunan dan Penguatan Keadilan Sosial

Integrasi nasional yang kuat hanya mungkin terwujud jika disertai dengan pemerataan pembangunan dan penghapusan ketimpangan struktural. Ketimpangan ekonomi dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan memperlemah loyalitas terhadap negara.⁵ Oleh karena itu, kebijakan afirmatif seperti Dana Desa, Program Indonesia Pintar, dan otonomi daerah perlu terus dikembangkan sebagai instrumen untuk mengurangi kesenjangan dan memperkuat kohesi antarwilayah.

Senada dengan itu, pembangunan yang berkeadilan merupakan implementasi nyata dari sila kelima Pancasila dan sekaligus menjadi bentuk legitimasi negara di mata rakyatnya.⁶

6.4.       Dialog Antarbudaya dan Penguatan Toleransi

Interaksi lintas budaya melalui forum dialog, pertukaran pelajar, atau festival budaya nasional dapat membangun pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan. Pendekatan ini terbukti efektif dalam mencegah konflik dan memperkuat rasa kebangsaan.⁷ Pemerintah dan lembaga masyarakat sipil perlu menciptakan ruang perjumpaan antar kelompok masyarakat dalam suasana saling menghargai dan belajar dari keberagaman.

6.5.       Peran Media dan Teknologi Informasi secara Positif

Media massa dan media sosial memiliki potensi besar dalam memperkuat atau justru merusak integrasi nasional. Untuk itu, literasi digital dan etika berkomunikasi perlu diajarkan secara sistematis agar masyarakat mampu menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab.⁸ Pemerintah juga harus bersikap tegas terhadap penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda yang berpotensi memecah belah bangsa.

6.6.       Partisipasi Masyarakat dalam Kehidupan Demokratis

Partisipasi warga negara dalam proses politik dan pengambilan kebijakan publik menjadi indikator penting dari integrasi sosial-politik.⁹ Semakin banyak masyarakat yang merasa dilibatkan dan terwakili dalam kehidupan berbangsa, semakin kuat pula rasa memiliki terhadap negara. Oleh karena itu, demokrasi yang inklusif dan deliberatif merupakan sarana efektif dalam memperkuat integrasi nasional.


Melalui upaya-upaya tersebut, Indonesia dapat menjaga keutuhan dan keberlanjutan sebagai bangsa yang besar dan majemuk. Upaya memperkuat integrasi nasional bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi merupakan kewajiban moral setiap warga negara yang mencintai tanah air dan menjunjung tinggi persatuan dalam keberagaman.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7–10.

[2]                H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2002), 51–54.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 187–190.

[4]                I Gusti Ngurah Bagus, Kebudayaan dan Identitas Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 69–70.

[5]                Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Perspektif Keadilan Sosial (Yogyakarta: BPFE, 1998), 83.

[6]                A. Syafii Maarif, Mengapa Indonesia Belum Sejahtera? (Jakarta: Kompas, 2014), 142.

[7]                Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009), 135–136.

[8]                Wasisto Raharjo Jati, Politik Siber: Disinformasi dan Polaritas di Era Digital (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2021), 88–89.

[9]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 153–155.


7.           Studi Kasus dan Aplikasi Kontekstual

Untuk memahami secara konkret bagaimana integrasi nasional dibentuk dan dipertahankan dalam kehidupan nyata, penting untuk menelaah sejumlah studi kasus dan praktik kontekstual yang mencerminkan penerapan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat pemahaman teoritis, tetapi juga menunjukkan relevansi nilai-nilai persatuan dalam kehidupan sehari-hari warga negara.

7.1.       Studi Kasus: Konflik dan Rekonsiliasi di Ambon

Salah satu contoh penting dalam dinamika integrasi nasional adalah konflik sosial yang terjadi di Ambon, Maluku, pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Konflik tersebut dipicu oleh ketegangan antarumat Islam dan Kristen yang kemudian berkembang menjadi kekerasan horizontal berskala besar.¹ Konflik ini menimbulkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, dan trauma sosial yang mendalam.

Namun, setelah masa konflik mereda, berbagai upaya rekonsiliasi dilakukan oleh tokoh agama, masyarakat adat, organisasi pemuda, dan pemerintah melalui program Baku Bae, dialog antaragama, serta rekonstruksi sosial berbasis budaya lokal.² Proses perdamaian ini memperlihatkan bahwa integrasi nasional dapat dibangun kembali melalui pendekatan berbasis lokal, rekonsiliasi emosional, dan dialog yang jujur. Kasus Ambon menjadi cermin bahwa integrasi yang rapuh dapat dipulihkan jika seluruh elemen masyarakat bersatu atas dasar nilai persaudaraan dan kemanusiaan.

7.2.       Program OSIS dan Kegiatan Ekstrakurikuler di Sekolah

Di lingkungan sekolah, upaya memperkuat integrasi nasional dapat ditemukan dalam kegiatan yang mendorong interaksi lintas latar belakang siswa. Program Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Pramuka, dan ekstrakurikuler lintas budaya seperti pentas seni daerah atau dialog lintas agama merupakan wahana yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika

Kegiatan ini tidak hanya melatih kepemimpinan dan tanggung jawab sosial, tetapi juga mengajarkan nilai toleransi, kerja sama, dan penghargaan terhadap perbedaan. Dalam konteks ini, sekolah berperan sebagai miniatur masyarakat pluralistik yang dapat menginternalisasi semangat persatuan dalam keberagaman sejak dini.

7.3.       Gerakan Pemuda Lintas Etnis dan Agama

Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, muncul komunitas pemuda lintas agama dan etnis yang berfokus pada kampanye toleransi dan perdamaian. Salah satunya adalah gerakan Peace Generation Indonesia, yang aktif menggelar workshop, kampanye digital, dan pelatihan guru untuk menyebarkan budaya damai di sekolah-sekolah.⁴

Keterlibatan pemuda dalam gerakan ini membuktikan bahwa integrasi nasional dapat dibentuk dari akar rumput melalui inisiatif masyarakat sipil. Dengan pendekatan yang kreatif dan kolaboratif, nilai-nilai integrasi dapat menjangkau generasi digital yang terbuka terhadap perubahan.

7.4.       Festival Budaya Nusantara sebagai Sarana Interkultural

Penyelenggaraan Festival Budaya Nusantara, baik di tingkat nasional maupun lokal, menjadi sarana penting untuk memperkenalkan dan menghargai kekayaan budaya dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan semacam ini memperkuat kesadaran akan identitas kebangsaan melalui pengenalan terhadap pakaian adat, tarian daerah, musik tradisional, dan kuliner nusantara.⁵

Partisipasi masyarakat lintas suku dalam satu panggung kebudayaan tidak hanya mempererat hubungan antarwarga, tetapi juga menunjukkan bahwa keragaman adalah sumber kekuatan dalam memperkuat identitas nasional.

7.5.       Implementasi Nilai Integrasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Di luar program formal, integrasi nasional juga dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, masyarakat yang berbeda latar belakang agama saling membantu dalam kegiatan sosial, seperti kerja bakti, peringatan hari besar nasional, hingga gotong royong dalam bencana alam. Praktik-praktik ini merepresentasikan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang hidup dalam budaya lokal dan membuktikan bahwa integrasi nasional bukan hanya slogan, tetapi nyata dalam tindakan.


Dengan demikian, melalui studi kasus dan aplikasi kontekstual di atas, dapat disimpulkan bahwa integrasi nasional tidak hanya dibentuk oleh kebijakan negara atau nilai formal, tetapi juga melalui pengalaman kolektif, partisipasi aktif warga, dan pembiasaan hidup bersama dalam keberagaman. Menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai nilai hidup yang membumi adalah kunci keberlanjutan integrasi nasional dalam jangka panjang.


Footnotes

[1]                Ikrar Nusa Bhakti, Peta Konflik Komunal di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2007), 71–74.

[2]                Thamrin Amal Tomagola, “Ambon: The Fall of Modern-Day Cendana,” dalam Social Conflicts in Indonesia, ed. Savitri Suparno (Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2005), 102–104.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Modul Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan OSIS (Jakarta: Dirjen GTK, 2018), 13–15.

[4]                Peace Generation Indonesia, Panduan Pendidikan Damai untuk Guru dan Pelatih (Bandung: PeaceGen, 2019), 25–27.

[5]                Dwi Larso dan Ida S. Widayanti, Revitalisasi Budaya Nusantara untuk Integrasi Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), 41–43.


8.           Refleksi Kewarganegaraan

Integrasi nasional dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar konstruksi politik atau wacana konstitusional, melainkan merupakan bagian dari identitas dan tanggung jawab setiap warga negara. Dalam konteks kehidupan berbangsa yang plural, refleksi kewarganegaraan menjadi penting agar setiap individu memahami peran, hak, dan kewajiban mereka dalam menjaga persatuan nasional. Refleksi ini mencakup dimensi kesadaran moral, sosial, dan konstitusional yang menuntut keterlibatan aktif warga dalam praktik kehidupan bersama secara damai, setara, dan inklusif.

8.1.       Kewarganegaraan sebagai Kesadaran Moral dan Sosial

Kewarganegaraan tidak hanya dipahami sebagai status hukum yang melekat pada seseorang, tetapi juga sebagai kesadaran moral untuk hidup bersama dalam keberagaman.¹ Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, kewarganegaraan mengandaikan kesediaan untuk saling menghormati perbedaan, menahan diri dari sikap diskriminatif, dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan kohesi sosial. Kesadaran ini penting agar keberagaman tidak menjadi sumber konflik, melainkan kekuatan bersama.

Menurut Thomas Marshall, kewarganegaraan ideal meliputi hak sipil, hak politik, dan hak sosial yang harus dilaksanakan secara seimbang.² Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti bahwa setiap warga tidak hanya menuntut hak-haknya, tetapi juga melaksanakan kewajiban seperti mematuhi hukum, menjaga ketertiban, dan ikut serta dalam kehidupan sosial-politik secara bertanggung jawab.

8.2.       Menumbuhkan Rasa Memiliki terhadap Bangsa dan Negara

Salah satu prasyarat utama integrasi nasional adalah rasa memiliki (sense of belonging) terhadap bangsa dan negara.³ Rasa ini tidak muncul secara otomatis, tetapi dibangun melalui pendidikan kebangsaan, pengalaman hidup bersama, serta adanya perlakuan adil dan partisipatif dari negara terhadap seluruh warganya. Ketika warga merasa menjadi bagian dari bangsa, mereka cenderung berkontribusi aktif dalam menjaga persatuan dan menolak ideologi yang memecah belah.

Rasa memiliki juga ditunjukkan melalui keterlibatan dalam kegiatan sosial lintas kelompok, partisipasi dalam peringatan hari besar nasional, dan keterlibatan dalam pemilu sebagai wujud kedaulatan rakyat. Dalam praktiknya, upaya menumbuhkan nasionalisme inklusif perlu didukung oleh negara dengan menjamin hak-hak warga secara merata tanpa diskriminasi.

8.3.       Peran Generasi Muda sebagai Agen Integrasi

Generasi muda memiliki posisi strategis sebagai penerus bangsa dan agen perubahan sosial. Dalam konteks integrasi nasional, mereka berperan penting dalam menjadi jembatan antarbudaya dan penyebar nilai toleransi di tengah era digital.⁴ Generasi muda perlu dibekali dengan literasi kebangsaan dan etika digital agar mampu menyaring informasi dan tidak terjebak dalam arus disinformasi yang memecah belah masyarakat.

Keterlibatan pemuda dalam kegiatan sosial, komunitas lintas agama, kampanye anti-hoaks, dan forum-forum kebangsaan adalah bentuk nyata dari partisipasi kewarganegaraan yang mendukung integrasi nasional.⁵ Pendidikan karakter dan keteladanan dari guru, tokoh masyarakat, serta pemimpin lokal sangat diperlukan untuk membentuk jiwa nasionalis yang adaptif dan inklusif.

8.4.       Menjaga Persatuan dalam Dinamika Demokrasi

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan bahkan sehat untuk memperkaya diskursus kebangsaan. Namun, perbedaan tersebut harus dikelola secara dewasa agar tidak menjadi alat polarisasi. Refleksi kewarganegaraan menuntut setiap warga untuk mengedepankan dialog, argumentasi rasional, dan sikap saling menghormati dalam setiap perbedaan politik maupun ideologis.⁶

Penerimaan terhadap pluralitas dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika menuntut kemampuan warga untuk berpikir kritis sekaligus berempati. Inilah bentuk tertinggi dari kewarganegaraan yang tidak hanya tunduk pada hukum, tetapi juga menjunjung tinggi keadaban publik dan semangat kebangsaan.


Dengan demikian, refleksi kewarganegaraan dalam konteks integrasi nasional menekankan pentingnya partisipasi aktif, sikap toleran, dan kesadaran akan nilai-nilai dasar kehidupan bersama. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi merupakan nilai hidup yang harus dihidupi oleh setiap warga negara dalam tindakan nyata, baik di ranah sosial, pendidikan, maupun politik.


Footnotes

[1]                M. Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), 34–36.

[2]                T.H. Marshall, Citizenship and Social Class (Cambridge: Cambridge University Press, 1950), 28.

[3]                Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Jakarta: Mizan, 2015), 124–125.

[4]                Kementerian Komunikasi dan Informatika, Literasi Digital Nasional (Jakarta: Kominfo, 2021), 17–18.

[5]                Peace Generation Indonesia, Panduan Pendidikan Damai untuk Guru dan Pelatih (Bandung: PeaceGen, 2019), 32.

[6]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 166–168.


9.           Penutup

Integrasi nasional merupakan fondasi utama bagi keutuhan dan keberlanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam realitas sosiokultural yang pluralistik, integrasi tidak dapat dipahami secara sempit sebagai keseragaman, tetapi sebagai kemampuan bangsa untuk hidup berdampingan dalam keberagaman dengan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, toleransi, dan solidaritas. Di sinilah relevansi semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi sangat penting sebagai bingkai ideologis, moral, dan kultural dalam menjaga kesatuan Indonesia.

Sebagaimana telah dibahas dalam artikel ini, integrasi nasional dibentuk oleh sejumlah faktor yang saling berinteraksi, mulai dari sejarah perjuangan kemerdekaan, kesamaan nilai budaya, peran bahasa nasional, hingga sistem politik yang menjunjung keadilan sosial.¹ Selain itu, tantangan yang dihadapi bangsa ini—seperti konflik horizontal, kesenjangan sosial, radikalisme, disinformasi digital, dan melemahnya literasi kebangsaan—menuntut adanya kesadaran kolektif dan upaya yang sistematis dari seluruh elemen bangsa untuk menjaga kebersamaan.

Pentingnya integrasi nasional tidak hanya bersifat politis dan struktural, tetapi juga menyentuh dimensi kewarganegaraan aktif dan reflektif. Warga negara Indonesia, khususnya generasi muda, memiliki peran strategis dalam memperkuat integrasi dengan menjadi agen perubahan yang menjunjung pluralitas, menjembatani perbedaan, serta berperan dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan politik secara bertanggung jawab.² Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki kontribusi vital dalam menanamkan nilai-nilai integratif melalui pembelajaran kontekstual dan berbasis karakter.

Dalam konteks ini, Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan simbolik dalam lambang negara, melainkan harus menjadi nilai hidup (living values) yang diterapkan dalam setiap interaksi sosial.³ Nilai ini harus diinternalisasi tidak hanya di lingkungan pendidikan, tetapi juga dalam kebijakan publik, media, institusi keagamaan, dan ruang sosial lainnya.

Oleh karena itu, menjaga dan memperkuat integrasi nasional adalah tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa. Pemerintah harus menjamin keadilan dan pemerataan pembangunan, lembaga pendidikan harus memperkuat pendidikan karakter dan wawasan kebangsaan, sementara masyarakat harus membangun budaya dialog, inklusivitas, dan kebersamaan.⁴ Dengan komitmen bersama yang dilandasi semangat Bhinneka Tunggal Ika, bangsa Indonesia akan mampu menghadapi tantangan global sekaligus menjaga warisan luhur kebangsaan yang telah dirintis oleh para pendiri republik.


Footnotes

[1]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 194–198.

[2]                M. Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), 42–44.

[3]                I Gusti Ngurah Bagus, Kebudayaan dan Identitas Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 75.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Siswa PPKn Kelas X Kurikulum 2013 Revisi (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 89–91.


Daftar Pustaka

Bagus, I. G. N. (2002). Kebudayaan dan identitas nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bhakti, I. N. (2007). Peta konflik komunal di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djalal, H. (1995). Indonesia and the law of the sea. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Friedman, T. L. (1999). The Lexus and the olive tree: Understanding globalization. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Hasan, N. (2019). Radikalisasi di Indonesia: Agama, identitas, dan politik. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Jati, W. R. (2021). Politik siber: Disinformasi dan polaritas di era digital. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru: Sejarah pergerakan nasional. Jakarta: Gramedia.

Kemendikbud. (2016). Buku siswa PPKn kelas X Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemendikbud. (2018). Modul penguatan pendidikan karakter melalui kegiatan OSIS. Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Kemendikbud. (2020). Modul pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan untuk SMA/MA kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Kemendikbud. (2021). Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemendikbudristek. (2022). Profil pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Kominfo. (2021). Literasi digital nasional. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Koesoema, A. (2010). Pendidikan karakter: Strategi mendidik anak di zaman global. Jakarta: Grasindo.

Koentjaraningrat. (2009). Manusia dan kebudayaan di Indonesia (Cet. 11). Jakarta: Djambatan.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.

Latif, Y. (2015). Mata air keteladanan: Pancasila dalam perbuatan. Jakarta: Mizan.

Larso, D., & Widayanti, I. S. (2016). Revitalisasi budaya nusantara untuk integrasi nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Maarif, A. S. (2014). Mengapa Indonesia belum sejahtera? Jakarta: Kompas.

Marshall, T. H. (1950). Citizenship and social class. Cambridge: Cambridge University Press.

Mubyarto. (1998). Ekonomi Pancasila: Perspektif keadilan sosial. Yogyakarta: BPFE.

Peace Generation Indonesia. (2019). Panduan pendidikan damai untuk guru dan pelatih. Bandung: PeaceGen.

Soekanto, S. (2014). Sosiologi suatu pengantar (Edisi Revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Suparno, S. (Ed.). (2005). Social conflicts in Indonesia. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung.

Tilaar, H. A. R. (2002). Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar