Bahan Ajar PPKn
Faktor-Faktor Pembentuk Integrasi Nasional dalam
Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
Pilar Pemersatu Bangsa Indonesia
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
faktor-faktor pembentuk integrasi nasional Indonesia dalam kerangka semboyan Bhinneka
Tunggal Ika sebagai pilar pemersatu bangsa. Sebagai negara dengan keragaman
etnis, budaya, agama, dan bahasa, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam
menjaga keutuhan nasional. Integrasi nasional dipahami sebagai proses menyatukan
berbagai perbedaan sosial dan budaya ke dalam satu kesatuan bangsa melalui
semangat kebersamaan dan kesadaran kolektif.
Artikel ini menjelaskan hakikat integrasi nasional,
makna filosofis Bhinneka Tunggal Ika, serta faktor-faktor strategis
pembentuk integrasi seperti sejarah perjuangan kemerdekaan, nilai-nilai budaya,
sistem politik yang inklusif, bahasa persatuan, dan pemerataan pembangunan. Di
sisi lain, artikel ini juga mengurai tantangan yang mengancam integrasi,
seperti konflik identitas, kesenjangan sosial, radikalisme, serta disinformasi
digital.
Melalui studi kasus dan aplikasi kontekstual,
seperti rekonsiliasi konflik di Ambon, kegiatan OSIS di sekolah, dan peran
komunitas pemuda lintas agama, artikel ini menekankan pentingnya peran aktif
warga negara dalam memperkuat integrasi nasional. Refleksi kewarganegaraan
menjadi kunci utama dalam menumbuhkan rasa memiliki terhadap bangsa dan
menanamkan semangat persatuan dalam kehidupan berbangsa. Artikel ini
merekomendasikan penguatan pendidikan karakter, internalisasi nilai Pancasila,
serta partisipasi demokratis sebagai strategi berkelanjutan untuk
mempertahankan integrasi nasional dalam dinamika global.
Kata Kunci: Integrasi nasional; Bhinneka Tunggal Ika; pluralisme;
kewarganegaraan; Pancasila; kebinekaan; pendidikan karakter; kohesi sosial;
konflik sosial; toleransi.
PEMBAHASAN
Faktor-Faktor Pembentuk Integrasi Nasional dalam
Bingkai Bhinneka Tunggal Ika
1.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia yang dihuni oleh lebih dari 270 juta penduduk dengan latar belakang
etnis, budaya, bahasa, dan agama yang sangat beragam. Keberagaman ini sekaligus
menjadi kekayaan dan tantangan dalam upaya mewujudkan integrasi nasional.
Sebagai bangsa majemuk, Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah menyadari
pentingnya menciptakan harmoni dan kesatuan dalam kebinekaan guna menjamin
keutuhan dan stabilitas negara. Konsep integrasi nasional menjadi sangat
krusial untuk menjaga agar pluralitas tidak menjelma menjadi potensi
disintegrasi.
Integrasi nasional adalah proses dinamis yang
menyatukan berbagai kelompok sosial dalam satu kesatuan politik dan identitas
kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, integrasi nasional tidak hanya mencakup
penyatuan secara administratif dan politik, tetapi juga melibatkan penyatuan
secara sosial, budaya, dan emosional terhadap bangsa dan negara. Menurut Miriam
Budiardjo, integrasi merupakan kondisi hubungan antar kelompok etnik yang
ditandai oleh adanya rasa saling membutuhkan, toleransi, dan kesediaan untuk
bekerja sama demi tujuan bersama.¹
Dalam kerangka itu, semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika” yang secara harfiah berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” menjadi
fondasi filosofis yang menjembatani berbagai perbedaan yang ada di masyarakat
Indonesia. Semboyan ini bukan sekadar moto formal negara, tetapi merupakan
manifestasi nilai-nilai persatuan dalam keberagaman yang termaktub dalam
ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.²
Urgensi pembahasan mengenai faktor-faktor pembentuk
integrasi nasional sangat penting, terutama dalam konteks pendidikan
kewarganegaraan di tingkat SLTA. Hal ini mengingat tantangan globalisasi, arus
informasi yang cepat, serta potensi konflik horizontal berbasis suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) yang dapat mengancam kohesi sosial.³ Generasi
muda sebagai penerus bangsa perlu memahami bahwa integrasi bukanlah proses yang
terjadi secara alami, tetapi membutuhkan upaya sadar dan kolektif dari seluruh
elemen bangsa. Pendidikan menjadi sarana strategis untuk menanamkan kesadaran
kebangsaan dan memperkuat identitas nasional.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
mengidentifikasi secara komprehensif berbagai faktor yang mendukung terwujudnya
integrasi nasional dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, serta memberikan pemahaman
kritis mengenai relevansi nilai-nilai persatuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan memahami aspek-aspek ini, diharapkan peserta didik tidak
hanya menjadi warga negara yang sadar akan keberagaman, tetapi juga mampu
berkontribusi dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 111.
[2]
Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2013:
Buku Siswa PPKn Kelas X (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
2016), 28–29.
[3]
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Integrasi
Nasional (Jakarta: Gramedia, 2009), 7–8.
2.
Hakikat
Integrasi Nasional
Integrasi nasional merupakan konsep fundamental
dalam ilmu politik dan kewarganegaraan, terutama dalam masyarakat yang bersifat
majemuk seperti Indonesia. Istilah integrasi secara etimologis berasal
dari bahasa Latin integratio yang berarti "menyatukan" atau
"membentuk keseluruhan". Dalam konteks kenegaraan, integrasi nasional
dapat diartikan sebagai proses penyatuan berbagai kelompok sosial, budaya, dan
geografis menjadi satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat.
Secara konseptual, integrasi nasional adalah
kondisi terwujudnya kesatuan dalam keberagaman dalam suatu negara yang
mencakup kesatuan wilayah, politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Menurut
Myron Weiner, integrasi nasional merupakan proses menyatukan kelompok-kelompok
sosial dan budaya ke dalam satu sistem nasional dengan loyalitas terhadap
simbol dan institusi negara.¹ Dalam praktiknya, integrasi tidak hanya bersifat
struktural, tetapi juga bersifat emosional—yakni munculnya rasa kebersamaan,
senasib sepenanggungan, dan semangat nasionalisme dalam diri setiap warga
negara.
Dalam kajian sosiologi politik, integrasi nasional
sangat erat kaitannya dengan upaya menciptakan stabilitas dan harmoni sosial di
tengah pluralitas masyarakat. Indonesia dengan lebih dari 1.300 kelompok etnik,
lebih dari 700 bahasa daerah, serta beragam agama dan adat istiadat, menghadapi
tantangan besar dalam menjaga keterpaduan nasional.² Oleh karena itu, integrasi
nasional di Indonesia tidak bersifat otomatis, melainkan harus senantiasa
dipelihara melalui pendekatan kebudayaan, pendidikan, komunikasi, dan kebijakan
publik yang adil dan inklusif.
Adapun bentuk integrasi nasional dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:
1)
Integrasi Sosial, yaitu
kohesi antarkelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai sosial yang diakui
bersama;
2)
Integrasi Politik, yakni
kesatuan dalam sistem pemerintahan, hukum, dan institusi negara;
3)
Integrasi Kultural, yang
melibatkan pengakuan dan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya sebagai
bagian dari identitas nasional.³
Integrasi nasional berbeda dengan uniformitas.
Integrasi menekankan pada pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan, namun
dalam kerangka persatuan yang harmonis. Konsep ini sejalan dengan nilai luhur Bhinneka
Tunggal Ika yang menjadi dasar bagi kehidupan kebangsaan Indonesia. Menurut
Mohammad Hatta, integrasi nasional Indonesia tidak dimaksudkan untuk
menghapuskan perbedaan, tetapi untuk menyatukan seluruh elemen bangsa dalam
kesadaran sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.⁴
Oleh karena itu, pemahaman akan hakikat integrasi
nasional sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran kewarganegaraan, memperkuat
identitas nasional, dan mencegah potensi disintegrasi. Melalui pendidikan
kewarganegaraan yang inklusif dan reflektif, peserta didik dapat memahami bahwa
integrasi adalah hasil dari proses historis, sosial, dan politik yang panjang
dan harus terus dijaga secara berkelanjutan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Footnotes
[1]
Myron Weiner, Political Integration and
Political Development (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1965),
10–12.
[2]
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009), 101–103.
[3]
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 243–245.
[4]
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta:
Tintamas, 1970), 35.
3.
Konsep
Bhinneka Tunggal Ika sebagai Bingkai Integrasi
Konsep Bhinneka Tunggal Ika merupakan
semboyan nasional Indonesia yang secara harfiah berarti “Berbeda-beda tetapi
tetap satu.” Semboyan ini bukan hanya simbol retoris, melainkan mencerminkan
suatu prinsip filosofis dan politik kebangsaan yang menjadi landasan
dalam mengelola keragaman bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang terbentuk dari
latar belakang multietnik, multibahasa, dan multikultural, Indonesia
membutuhkan suatu asas pemersatu yang mampu merangkul seluruh elemen bangsa dalam
satu identitas kolektif. Bhinneka Tunggal Ika adalah jawaban historis
dan normatif atas kebutuhan tersebut.
Asal-usul semboyan ini berasal dari kitab Sutasoma
karya Mpu Tantular, seorang pujangga dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
Dalam teks tersebut, frasa “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa”
berarti bahwa meskipun terdapat perbedaan (antara Hindu Siwa dan Buddha), tidak
ada dua kebenaran (dharma) yang bertentangan.¹ Makna ini kemudian dimaknai
ulang oleh para pendiri bangsa sebagai dasar persatuan dalam keberagaman
Indonesia modern, dan secara resmi dijadikan sebagai semboyan negara yang
termuat dalam lambang negara Garuda Pancasila.
Secara substantif, Bhinneka Tunggal Ika
tidak menuntut keseragaman, tetapi mengedepankan persatuan yang dilandasi
oleh kesadaran kolektif akan keberagaman. Dalam kerangka ini, integrasi
nasional bukan dimaknai sebagai peleburan identitas lokal ke dalam identitas
tunggal, melainkan sebagai harmoni antara berbagai identitas dalam satu
semangat kebangsaan.² Konsep ini memperkuat posisi Pancasila sebagai ideologi
negara yang menjamin kebebasan beragama, kesetaraan hak, dan penghormatan
terhadap adat istiadat lokal dalam bingkai NKRI.
Dalam sistem ketatanegaraan, prinsip Bhinneka
Tunggal Ika tercermin dalam berbagai aspek. UUD NRI Tahun 1945 menjamin
kesetaraan seluruh warga negara tanpa membedakan latar belakang suku, agama,
ras, maupun golongan.³ Demikian pula, pembentukan daerah otonom dan pengakuan
terhadap hak-hak masyarakat adat menunjukkan bahwa negara mengakui dan
menghormati pluralitas sebagai bagian dari jati diri nasional.
Dalam konteks sosial-politik, Bhinneka Tunggal
Ika berfungsi sebagai etos pemersatu bangsa yang menanamkan sikap
toleransi, gotong royong, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Di
tengah maraknya identitas primordial yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan
sempit, konsep ini memainkan peran strategis dalam membangun narasi kebangsaan
yang inklusif dan egaliter.⁴
Lebih jauh, Bhinneka Tunggal Ika juga
menjadi landasan utama dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Melalui pemahaman terhadap semboyan ini, peserta didik diajak
untuk tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga berkontribusi secara aktif
dalam memperkuat integrasi nasional. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional, yakni membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, dan mampu hidup dalam masyarakat yang demokratis dan pluralistik.⁵
Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika adalah
lebih dari sekadar moto kenegaraan; ia merupakan ideologi kebangsaan yang
hidup dan harus terus diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari,
pendidikan, dan kebijakan publik demi menjaga keberlangsungan integrasi
nasional Indonesia.
Footnotes
[1]
I Gusti Ngurah Bagus, Kebudayaan dan Identitas
Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 66–68.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 227.
[3]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2).
[4]
Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy:
Dynamics in a Global Context (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), 92–94.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah, Lampiran I.
4.
Faktor-Faktor
Pembentuk Integrasi Nasional
Integrasi nasional di Indonesia bukanlah sesuatu
yang terjadi secara alami, melainkan merupakan hasil dari interaksi berbagai
faktor historis, sosiologis, politik, dan kultural yang saling menopang. Dalam
kerangka negara majemuk seperti Indonesia, integrasi nasional hanya dapat
tercapai jika terdapat faktor-faktor strategis yang mampu menyatukan
berbagai kelompok etnik, agama, dan budaya ke dalam satu identitas kebangsaan
yang utuh. Pemahaman terhadap faktor-faktor ini menjadi penting agar
generasi muda mampu menginternalisasi nilai-nilai persatuan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
4.1.
Faktor Sejarah Perjuangan
Bersama
Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam
melawan penjajahan menjadi salah satu fondasi kuat terbentuknya integrasi
nasional. Pengalaman kolektif dalam menghadapi penindasan kolonial menumbuhkan
rasa senasib dan sepenanggungan yang melampaui identitas kesukuan. Sumpah
Pemuda 1928 yang menyatakan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa
Indonesia merupakan titik balik penting dalam proses pembentukan identitas
nasional.¹ Momentum kemerdekaan 17 Agustus 1945 semakin mengukuhkan integrasi
tersebut melalui semangat persatuan dalam keberagaman.
4.2.
Faktor Sosial Budaya
Meskipun masyarakat Indonesia sangat beragam secara
etnografis, terdapat sejumlah nilai budaya yang menjadi pemersatu, seperti
semangat gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan
penghormatan terhadap sesepuh atau tokoh adat.² Selain itu, penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi instrumen komunikasi nasional yang
sangat efektif dalam menjembatani perbedaan bahasa daerah dan memperkuat kohesi
sosial.³ Bahasa Indonesia telah memungkinkan penyebaran informasi, pendidikan,
dan mobilitas sosial secara luas, sehingga mempercepat proses integrasi antarkelompok
masyarakat.
4.3.
Faktor Politik dan
Pemerintahan
Keberadaan ideologi Pancasila sebagai dasar negara
dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi menjadi perekat dalam sistem politik
Indonesia. Keduanya menjamin prinsip persatuan, keadilan, dan kesetaraan
seluruh warga negara. Pemerintahan yang berorientasi pada prinsip demokrasi dan
kedaulatan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945, mendorong partisipasi politik yang inklusif dan menjaga legitimasi
institusi negara sebagai pengayom seluruh kelompok masyarakat.⁴
4.4.
Faktor Geografis
Letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state) memiliki sisi strategis sekaligus tantangan tersendiri
bagi integrasi nasional. Sebagai negara maritim yang dihubungkan oleh laut dan
jalur pelayaran, wilayah Indonesia secara alami terintegrasi oleh aktivitas
ekonomi dan sosial lintas daerah.⁵ Infrastruktur transportasi antar pulau serta
pembangunan wilayah terpadu menjadi kunci penting dalam menjaga konektivitas
dan kesatuan wilayah.
4.5.
Faktor Ekonomi dan Keadilan
Sosial
Pemerataan pembangunan antar daerah dan distribusi
hasil kekayaan nasional yang adil merupakan faktor penting dalam memperkuat
integrasi nasional. Ketimpangan ekonomi dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan
berujung pada disintegrasi. Oleh karena itu, konsep keadilan sosial dalam sila
kelima Pancasila menekankan pentingnya keseimbangan antara pusat dan daerah
dalam pembangunan.⁶ Program-program afirmatif seperti Dana Desa dan Otonomi
Khusus di Papua merupakan contoh kebijakan strategis yang diarahkan untuk
memperkuat integrasi dengan cara mengurangi ketimpangan struktural.
4.6.
Faktor Pendidikan dan
Komunikasi
Pendidikan nasional memainkan peran penting dalam
membentuk identitas kebangsaan dan menginternalisasikan nilai-nilai integratif.
Kurikulum yang memuat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sejarah
perjuangan bangsa, dan kebinekaan Indonesia menjadi wahana penanaman wawasan
kebangsaan sejak dini.⁷ Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi dan media sosial
berkontribusi dalam memperluas jangkauan komunikasi antarmasyarakat, meskipun
harus diimbangi dengan literasi digital agar tidak menjadi saluran penyebaran
ujaran kebencian atau disinformasi.
Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas, dapat
disimpulkan bahwa integrasi nasional Indonesia dibentuk oleh sinergi antara
pengalaman historis, kesamaan nilai-nilai budaya, struktur politik yang
inklusif, dan peran aktif dari pendidikan serta komunikasi. Kesadaran dan partisipasi
seluruh elemen bangsa dalam memperkuat faktor-faktor tersebut akan menjadi
jaminan bagi keutuhan dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam jangka panjang.
Footnotes
[1]
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta: Gramedia, 1993), 273–275.
[2]
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009), 113.
[3]
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kebijakan
Bahasa Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018), 21.
[4]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 1 ayat (2).
[5]
Hasjim Djalal, Indonesia and the Law of the Sea
(Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995), 37–40.
[6]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 195.
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Permendikbud
Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah,
Lampiran III.
5.
Tantangan
dalam Mewujudkan Integrasi Nasional
Meskipun berbagai faktor pembentuk integrasi
nasional telah menjadi fondasi yang kokoh bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara, proses mewujudkan dan mempertahankan integrasi di Indonesia tetap
menghadapi berbagai tantangan serius. Tantangan-tantangan ini bersifat dinamis
dan multidimensional, mencerminkan kompleksitas sosial, politik, ekonomi, dan
budaya dalam masyarakat majemuk. Kegagalan mengelola tantangan-tantangan ini
dapat mengakibatkan munculnya disintegrasi sosial dan melemahnya kohesi
nasional.
5.1.
Konflik SARA dan Sentimen
Primordial
Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan
integrasi nasional adalah masih kuatnya ikatan primordial, yaitu keterikatan
pada suku, agama, ras, dan kedaerahan. Ikatan ini sering kali menjadi sumber
konflik sosial apabila tidak dikelola dengan baik. Kasus-kasus konflik
horizontal seperti yang terjadi di Poso, Ambon, dan Sampit menjadi contoh nyata
bagaimana sentimen identitas lokal dapat berkembang menjadi kekerasan komunal
yang mengancam stabilitas nasional.¹ Selain itu, politik identitas yang
dimainkan dalam kontestasi politik juga berpotensi memperdalam fragmentasi
sosial.²
5.2.
Kesenjangan Ekonomi dan
Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan antara daerah kaya dan miskin, antara
pusat dan daerah, serta antara kelompok sosial tertentu masih menjadi persoalan
yang belum terselesaikan. Kesenjangan ekonomi ini menciptakan rasa
ketidakadilan yang bisa memicu ketidakpuasan terhadap negara dan membuka ruang
bagi munculnya gerakan separatisme atau radikalisme.³ Dalam banyak kasus,
masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi juga mengalami keterpinggiran
dalam akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan, yang
semuanya berkontribusi pada lemahnya integrasi nasional.
5.3.
Globalisasi dan Erosi
Nilai-Nilai Kebangsaan
Globalisasi membawa dampak ambivalen terhadap
integrasi nasional. Di satu sisi, ia membuka peluang kerja sama dan pertukaran
budaya global; namun di sisi lain, ia juga dapat mengikis nilai-nilai lokal dan
nasional.⁴ Gaya hidup kosmopolitan yang diusung oleh budaya populer global
sering kali menggeser nilai-nilai tradisional, nasionalisme, dan solidaritas
sosial. Generasi muda menjadi kelompok yang paling rentan terhadap pengaruh
ini, terutama apabila tidak dibekali dengan pemahaman yang kuat tentang jati
diri kebangsaan.
5.4.
Radikalisme dan Terorisme
Radikalisme berbasis ideologi keagamaan maupun
politik merupakan tantangan serius bagi integrasi nasional. Gerakan ini kerap
menolak ideologi Pancasila dan sistem demokrasi, serta menyebarkan narasi
kebencian dan intoleransi yang merusak tatanan sosial. Aksi-aksi terorisme yang
pernah melanda Indonesia seperti Bom Bali, Bom JW Marriott, hingga penyerangan
terhadap aparat negara merupakan manifestasi ekstrem dari ancaman
disintegrasi.⁵ Penanggulangan radikalisme memerlukan pendekatan yang
komprehensif, tidak hanya melalui keamanan, tetapi juga melalui pendidikan,
pemberdayaan ekonomi, dan kontra-narasi ideologis.
5.5.
Disinformasi dan Polarisasi
di Era Digital
Era teknologi informasi dan media sosial
menghadirkan tantangan baru dalam bentuk disinformasi, ujaran
kebencian, dan polarisasi opini publik. Informasi yang menyebar
cepat tanpa verifikasi dapat menciptakan ketegangan sosial dan memperkeruh
hubungan antarkelompok masyarakat.⁶ Dalam beberapa kasus, hoaks yang disebarkan
secara masif telah memicu konflik, membentuk persepsi keliru tentang kelompok
lain, serta melemahkan kepercayaan terhadap institusi negara.
5.6.
Lemahnya Literasi
Kewarganegaraan
Tantangan lainnya adalah rendahnya tingkat literasi
kewarganegaraan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Pemahaman yang
minim terhadap nilai-nilai dasar konstitusi, hak dan kewajiban warga negara,
serta pentingnya persatuan dalam keberagaman, menyebabkan sebagian warga
bersikap apatis atau bahkan destruktif terhadap kehidupan berbangsa.⁷
Pendidikan kewarganegaraan yang kurang kontekstual dan hanya bersifat
formalitas menjadi penyebab lemahnya internalisasi nilai-nilai kebangsaan.
Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa integrasi nasional bukanlah kondisi yang
stabil secara permanen, melainkan sebuah proses yang memerlukan perhatian
terus-menerus, kebijakan strategis, dan partisipasi aktif seluruh warga negara.
Penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, penguatan pendidikan
karakter, pemerataan pembangunan, serta pengelolaan konflik dan perbedaan
secara adil menjadi kunci untuk menjaga dan memperkuat integrasi nasional di
tengah dinamika zaman.
Footnotes
[1]
Ikrar Nusa Bhakti, Peta Konflik Komunal di
Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2007), 89–91.
[2]
Burhanuddin Muhtadi, Populisme, Politik Identitas,
dan Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2020), 112–114.
[3]
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Perspektif Keadilan
Sosial (Yogyakarta: BPFE, 1998), 77–79.
[4]
Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive
Tree: Understanding Globalization (New York: Farrar, Straus and Giroux,
1999), 236–239.
[5]
Noorhaidi Hasan, Radikalisasi di Indonesia:
Agama, Identitas dan Politik (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2019),
63–65.
[6]
Wasisto Raharjo Jati, Politik Siber:
Disinformasi dan Polaritas di Era Digital (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2021), 55–57.
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Modul
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/MA Kelas X (Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2020), 18–21.
6.
Upaya
Memperkuat Integrasi Nasional
Dalam konteks kebangsaan Indonesia yang majemuk,
integrasi nasional merupakan proses berkelanjutan yang tidak hanya bergantung
pada kondisi objektif seperti kesamaan sejarah atau bahasa, tetapi juga pada
kemampuan negara dan masyarakat dalam merawat persatuan melalui kebijakan,
pendidikan, dan partisipasi aktif warga negara. Dalam menghadapi berbagai
tantangan integrasi nasional sebagaimana telah dibahas sebelumnya, diperlukan
upaya kolektif dan sistematis untuk memperkuat kohesi sosial dan identitas
nasional.
6.1.
Penguatan Pendidikan
Kewarganegaraan dan Karakter
Pendidikan memiliki peran strategis dalam membangun
kesadaran kebangsaan dan memperkuat integrasi nasional. Melalui Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), peserta didik diajak memahami nilai-nilai
dasar seperti toleransi, persatuan, keadilan, serta kesadaran konstitusional.
Kurikulum Merdeka juga menekankan pentingnya penguatan profil pelajar Pancasila
yang berakhlak mulia, berkebinekaan global, dan gotong royong.¹
Menurut Tilaar, pendidikan nasional harus menjadi
media rekonstruksi sosial dan bukan sekadar transmisi pengetahuan.² Oleh karena
itu, strategi pendidikan integratif perlu mengarah pada pembelajaran
kontekstual, dialogis, dan reflektif agar nilai-nilai kebangsaan tidak hanya
menjadi wacana, tetapi terinternalisasi dalam sikap dan perilaku peserta didik.
6.2.
Revitalisasi Nilai-Nilai
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
nasional memiliki kapasitas integratif yang luar biasa karena mengandung
nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh seluruh kelompok masyarakat.³
Penanaman kembali nilai-nilai Pancasila secara konsisten, melalui pendidikan
formal, kegiatan sosial, dan kebijakan publik, sangat penting untuk mengatasi
ancaman disintegrasi seperti intoleransi, radikalisme, dan fanatisme sempit.
Begitu pula, semboyan Bhinneka Tunggal Ika
perlu dijadikan nilai hidup dalam praktik kebangsaan. Upaya ini dapat dilakukan
melalui pembiasaan sikap inklusif, penguatan narasi kebangsaan di media, dan
promosi terhadap simbol-simbol persatuan di ruang publik.⁴
6.3.
Pemerataan Pembangunan dan
Penguatan Keadilan Sosial
Integrasi nasional yang kuat hanya mungkin terwujud
jika disertai dengan pemerataan pembangunan dan penghapusan ketimpangan
struktural. Ketimpangan ekonomi dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan
memperlemah loyalitas terhadap negara.⁵ Oleh karena itu, kebijakan afirmatif
seperti Dana Desa, Program Indonesia Pintar, dan otonomi daerah perlu terus
dikembangkan sebagai instrumen untuk mengurangi kesenjangan dan memperkuat
kohesi antarwilayah.
Senada dengan itu, pembangunan yang berkeadilan
merupakan implementasi nyata dari sila kelima Pancasila dan sekaligus menjadi
bentuk legitimasi negara di mata rakyatnya.⁶
6.4.
Dialog Antarbudaya dan
Penguatan Toleransi
Interaksi lintas budaya melalui forum dialog,
pertukaran pelajar, atau festival budaya nasional dapat membangun pemahaman dan
penghargaan terhadap perbedaan. Pendekatan ini terbukti efektif dalam mencegah
konflik dan memperkuat rasa kebangsaan.⁷ Pemerintah dan lembaga masyarakat
sipil perlu menciptakan ruang perjumpaan antar kelompok masyarakat dalam
suasana saling menghargai dan belajar dari keberagaman.
6.5.
Peran Media dan Teknologi
Informasi secara Positif
Media massa dan media sosial memiliki potensi besar
dalam memperkuat atau justru merusak integrasi nasional. Untuk itu, literasi
digital dan etika berkomunikasi perlu diajarkan secara sistematis agar
masyarakat mampu menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab.⁸
Pemerintah juga harus bersikap tegas terhadap penyebaran hoaks, ujaran
kebencian, dan propaganda yang berpotensi memecah belah bangsa.
6.6.
Partisipasi Masyarakat
dalam Kehidupan Demokratis
Partisipasi warga negara dalam proses politik dan
pengambilan kebijakan publik menjadi indikator penting dari integrasi
sosial-politik.⁹ Semakin banyak masyarakat yang merasa dilibatkan dan terwakili
dalam kehidupan berbangsa, semakin kuat pula rasa memiliki terhadap negara.
Oleh karena itu, demokrasi yang inklusif dan deliberatif merupakan sarana
efektif dalam memperkuat integrasi nasional.
Melalui upaya-upaya tersebut, Indonesia dapat
menjaga keutuhan dan keberlanjutan sebagai bangsa yang besar dan majemuk. Upaya
memperkuat integrasi nasional bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi
merupakan kewajiban moral setiap warga negara yang mencintai tanah air
dan menjunjung tinggi persatuan dalam keberagaman.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi, Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 7–10.
[2]
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan
Masyarakat Madani Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2002), 51–54.
[3]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 187–190.
[4]
I Gusti Ngurah Bagus, Kebudayaan dan Identitas
Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 69–70.
[5]
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Perspektif Keadilan
Sosial (Yogyakarta: BPFE, 1998), 83.
[6]
A. Syafii Maarif, Mengapa Indonesia Belum
Sejahtera? (Jakarta: Kompas, 2014), 142.
[7]
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009), 135–136.
[8]
Wasisto Raharjo Jati, Politik Siber:
Disinformasi dan Polaritas di Era Digital (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2021), 88–89.
[9]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 153–155.
7.
Studi
Kasus dan Aplikasi Kontekstual
Untuk memahami secara konkret bagaimana integrasi
nasional dibentuk dan dipertahankan dalam kehidupan nyata, penting untuk
menelaah sejumlah studi kasus dan praktik kontekstual yang mencerminkan
penerapan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia.
Pendekatan ini tidak hanya memperkuat pemahaman teoritis, tetapi juga
menunjukkan relevansi nilai-nilai persatuan dalam kehidupan sehari-hari warga
negara.
7.1.
Studi Kasus: Konflik dan
Rekonsiliasi di Ambon
Salah satu contoh penting dalam dinamika integrasi
nasional adalah konflik sosial yang terjadi di Ambon, Maluku, pada akhir
1990-an hingga awal 2000-an. Konflik tersebut dipicu oleh ketegangan antarumat
Islam dan Kristen yang kemudian berkembang menjadi kekerasan horizontal
berskala besar.¹ Konflik ini menimbulkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur,
dan trauma sosial yang mendalam.
Namun, setelah masa konflik mereda, berbagai upaya
rekonsiliasi dilakukan oleh tokoh agama, masyarakat adat, organisasi pemuda,
dan pemerintah melalui program Baku Bae, dialog antaragama, serta
rekonstruksi sosial berbasis budaya lokal.² Proses perdamaian ini
memperlihatkan bahwa integrasi nasional dapat dibangun kembali melalui
pendekatan berbasis lokal, rekonsiliasi emosional, dan dialog yang jujur. Kasus
Ambon menjadi cermin bahwa integrasi yang rapuh dapat dipulihkan jika
seluruh elemen masyarakat bersatu atas dasar nilai persaudaraan dan
kemanusiaan.
7.2.
Program OSIS dan Kegiatan
Ekstrakurikuler di Sekolah
Di lingkungan sekolah, upaya memperkuat integrasi
nasional dapat ditemukan dalam kegiatan yang mendorong interaksi lintas latar
belakang siswa. Program Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Pramuka, dan
ekstrakurikuler lintas budaya seperti pentas seni daerah atau dialog lintas
agama merupakan wahana yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai Bhinneka
Tunggal Ika.³
Kegiatan ini tidak hanya melatih kepemimpinan dan
tanggung jawab sosial, tetapi juga mengajarkan nilai toleransi, kerja sama, dan
penghargaan terhadap perbedaan. Dalam konteks ini, sekolah berperan sebagai miniatur
masyarakat pluralistik yang dapat menginternalisasi semangat persatuan
dalam keberagaman sejak dini.
7.3.
Gerakan Pemuda Lintas Etnis
dan Agama
Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
dan Yogyakarta, muncul komunitas pemuda lintas agama dan etnis yang berfokus
pada kampanye toleransi dan perdamaian. Salah satunya adalah gerakan Peace
Generation Indonesia, yang aktif menggelar workshop, kampanye digital, dan
pelatihan guru untuk menyebarkan budaya damai di sekolah-sekolah.⁴
Keterlibatan pemuda dalam gerakan ini membuktikan
bahwa integrasi nasional dapat dibentuk dari akar rumput melalui inisiatif
masyarakat sipil. Dengan pendekatan yang kreatif dan kolaboratif, nilai-nilai
integrasi dapat menjangkau generasi digital yang terbuka terhadap perubahan.
7.4.
Festival Budaya Nusantara
sebagai Sarana Interkultural
Penyelenggaraan Festival Budaya Nusantara, baik di
tingkat nasional maupun lokal, menjadi sarana penting untuk memperkenalkan dan
menghargai kekayaan budaya dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan semacam
ini memperkuat kesadaran akan identitas kebangsaan melalui pengenalan terhadap
pakaian adat, tarian daerah, musik tradisional, dan kuliner nusantara.⁵
Partisipasi masyarakat lintas suku dalam satu
panggung kebudayaan tidak hanya mempererat hubungan antarwarga, tetapi juga
menunjukkan bahwa keragaman adalah sumber kekuatan dalam memperkuat identitas
nasional.
7.5.
Implementasi Nilai
Integrasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Di luar program formal, integrasi nasional juga
dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, masyarakat yang berbeda
latar belakang agama saling membantu dalam kegiatan sosial, seperti kerja
bakti, peringatan hari besar nasional, hingga gotong royong dalam bencana alam.
Praktik-praktik ini merepresentasikan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang
hidup dalam budaya lokal dan membuktikan bahwa integrasi nasional bukan hanya
slogan, tetapi nyata dalam tindakan.
Dengan demikian, melalui studi kasus dan aplikasi
kontekstual di atas, dapat disimpulkan bahwa integrasi nasional tidak hanya
dibentuk oleh kebijakan negara atau nilai formal, tetapi juga melalui
pengalaman kolektif, partisipasi aktif warga, dan pembiasaan hidup bersama
dalam keberagaman. Menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai nilai hidup
yang membumi adalah kunci keberlanjutan integrasi nasional dalam jangka
panjang.
Footnotes
[1]
Ikrar Nusa Bhakti, Peta Konflik Komunal di
Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2007), 71–74.
[2]
Thamrin Amal Tomagola, “Ambon: The Fall of
Modern-Day Cendana,” dalam Social Conflicts in Indonesia, ed. Savitri
Suparno (Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2005), 102–104.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Modul
Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan OSIS (Jakarta: Dirjen GTK,
2018), 13–15.
[4]
Peace Generation Indonesia, Panduan Pendidikan
Damai untuk Guru dan Pelatih (Bandung: PeaceGen, 2019), 25–27.
[5]
Dwi Larso dan Ida S. Widayanti, Revitalisasi
Budaya Nusantara untuk Integrasi Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2016), 41–43.
8.
Refleksi
Kewarganegaraan
Integrasi nasional dalam bingkai Bhinneka
Tunggal Ika bukanlah sekadar konstruksi politik atau wacana konstitusional,
melainkan merupakan bagian dari identitas dan tanggung jawab setiap warga
negara. Dalam konteks kehidupan berbangsa yang plural, refleksi kewarganegaraan
menjadi penting agar setiap individu memahami peran, hak, dan kewajiban mereka
dalam menjaga persatuan nasional. Refleksi ini mencakup dimensi kesadaran
moral, sosial, dan konstitusional yang menuntut keterlibatan aktif warga dalam
praktik kehidupan bersama secara damai, setara, dan inklusif.
8.1.
Kewarganegaraan sebagai
Kesadaran Moral dan Sosial
Kewarganegaraan tidak hanya dipahami sebagai status
hukum yang melekat pada seseorang, tetapi juga sebagai kesadaran moral untuk
hidup bersama dalam keberagaman.¹ Dalam masyarakat multikultural seperti
Indonesia, kewarganegaraan mengandaikan kesediaan untuk saling menghormati
perbedaan, menahan diri dari sikap diskriminatif, dan berpartisipasi aktif
dalam menciptakan kohesi sosial. Kesadaran ini penting agar keberagaman tidak
menjadi sumber konflik, melainkan kekuatan bersama.
Menurut Thomas Marshall, kewarganegaraan ideal
meliputi hak sipil, hak politik, dan hak sosial yang harus dilaksanakan secara
seimbang.² Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti bahwa setiap warga tidak
hanya menuntut hak-haknya, tetapi juga melaksanakan kewajiban seperti mematuhi
hukum, menjaga ketertiban, dan ikut serta dalam kehidupan sosial-politik secara
bertanggung jawab.
8.2.
Menumbuhkan Rasa Memiliki
terhadap Bangsa dan Negara
Salah satu prasyarat utama integrasi nasional
adalah rasa memiliki (sense of belonging) terhadap bangsa dan negara.³
Rasa ini tidak muncul secara otomatis, tetapi dibangun melalui pendidikan
kebangsaan, pengalaman hidup bersama, serta adanya perlakuan adil dan
partisipatif dari negara terhadap seluruh warganya. Ketika warga merasa menjadi
bagian dari bangsa, mereka cenderung berkontribusi aktif dalam menjaga
persatuan dan menolak ideologi yang memecah belah.
Rasa memiliki juga ditunjukkan melalui keterlibatan
dalam kegiatan sosial lintas kelompok, partisipasi dalam peringatan hari besar
nasional, dan keterlibatan dalam pemilu sebagai wujud kedaulatan rakyat. Dalam
praktiknya, upaya menumbuhkan nasionalisme inklusif perlu didukung oleh negara
dengan menjamin hak-hak warga secara merata tanpa diskriminasi.
8.3.
Peran Generasi Muda sebagai
Agen Integrasi
Generasi muda memiliki posisi strategis sebagai
penerus bangsa dan agen perubahan sosial. Dalam konteks integrasi nasional,
mereka berperan penting dalam menjadi jembatan antarbudaya dan penyebar
nilai toleransi di tengah era digital.⁴ Generasi muda perlu dibekali dengan
literasi kebangsaan dan etika digital agar mampu menyaring informasi dan tidak
terjebak dalam arus disinformasi yang memecah belah masyarakat.
Keterlibatan pemuda dalam kegiatan sosial,
komunitas lintas agama, kampanye anti-hoaks, dan forum-forum kebangsaan adalah
bentuk nyata dari partisipasi kewarganegaraan yang mendukung integrasi
nasional.⁵ Pendidikan karakter dan keteladanan dari guru, tokoh masyarakat,
serta pemimpin lokal sangat diperlukan untuk membentuk jiwa nasionalis yang
adaptif dan inklusif.
8.4.
Menjaga Persatuan dalam
Dinamika Demokrasi
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, perbedaan
pendapat adalah hal yang wajar dan bahkan sehat untuk memperkaya diskursus
kebangsaan. Namun, perbedaan tersebut harus dikelola secara dewasa agar tidak
menjadi alat polarisasi. Refleksi kewarganegaraan menuntut setiap warga untuk
mengedepankan dialog, argumentasi rasional, dan sikap saling menghormati dalam
setiap perbedaan politik maupun ideologis.⁶
Penerimaan terhadap pluralitas dalam kerangka Bhinneka
Tunggal Ika menuntut kemampuan warga untuk berpikir kritis sekaligus
berempati. Inilah bentuk tertinggi dari kewarganegaraan yang tidak hanya tunduk
pada hukum, tetapi juga menjunjung tinggi keadaban publik dan semangat
kebangsaan.
Dengan demikian, refleksi kewarganegaraan dalam
konteks integrasi nasional menekankan pentingnya partisipasi aktif, sikap
toleran, dan kesadaran akan nilai-nilai dasar kehidupan bersama. Bhinneka
Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi merupakan nilai hidup yang harus
dihidupi oleh setiap warga negara dalam tindakan nyata, baik di ranah sosial,
pendidikan, maupun politik.
Footnotes
[1]
M. Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), 34–36.
[2]
T.H. Marshall, Citizenship and Social Class (Cambridge:
Cambridge University Press, 1950), 28.
[3]
Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila
dalam Perbuatan (Jakarta: Mizan, 2015), 124–125.
[4]
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Literasi
Digital Nasional (Jakarta: Kominfo, 2021), 17–18.
[5]
Peace Generation Indonesia, Panduan Pendidikan
Damai untuk Guru dan Pelatih (Bandung: PeaceGen, 2019), 32.
[6]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 166–168.
9.
Penutup
Integrasi nasional merupakan fondasi utama bagi
keutuhan dan keberlanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam
realitas sosiokultural yang pluralistik, integrasi tidak dapat dipahami secara
sempit sebagai keseragaman, tetapi sebagai kemampuan bangsa untuk hidup
berdampingan dalam keberagaman dengan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan,
toleransi, dan solidaritas. Di sinilah relevansi semboyan Bhinneka
Tunggal Ika menjadi sangat penting sebagai bingkai ideologis, moral, dan
kultural dalam menjaga kesatuan Indonesia.
Sebagaimana telah dibahas dalam artikel ini,
integrasi nasional dibentuk oleh sejumlah faktor yang saling berinteraksi,
mulai dari sejarah perjuangan kemerdekaan, kesamaan nilai budaya, peran bahasa
nasional, hingga sistem politik yang menjunjung keadilan sosial.¹ Selain itu,
tantangan yang dihadapi bangsa ini—seperti konflik horizontal, kesenjangan
sosial, radikalisme, disinformasi digital, dan melemahnya literasi
kebangsaan—menuntut adanya kesadaran kolektif dan upaya yang sistematis dari
seluruh elemen bangsa untuk menjaga kebersamaan.
Pentingnya integrasi nasional tidak hanya bersifat
politis dan struktural, tetapi juga menyentuh dimensi kewarganegaraan aktif
dan reflektif. Warga negara Indonesia, khususnya generasi muda, memiliki
peran strategis dalam memperkuat integrasi dengan menjadi agen perubahan yang
menjunjung pluralitas, menjembatani perbedaan, serta berperan dalam kegiatan
sosial, pendidikan, dan politik secara bertanggung jawab.² Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki kontribusi vital dalam menanamkan
nilai-nilai integratif melalui pembelajaran kontekstual dan berbasis karakter.
Dalam konteks ini, Bhinneka Tunggal Ika
bukan hanya semboyan simbolik dalam lambang negara, melainkan harus menjadi
nilai hidup (living values) yang diterapkan dalam setiap interaksi
sosial.³ Nilai ini harus diinternalisasi tidak hanya di lingkungan pendidikan,
tetapi juga dalam kebijakan publik, media, institusi keagamaan, dan ruang
sosial lainnya.
Oleh karena itu, menjaga dan memperkuat integrasi
nasional adalah tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa. Pemerintah
harus menjamin keadilan dan pemerataan pembangunan, lembaga pendidikan harus
memperkuat pendidikan karakter dan wawasan kebangsaan, sementara masyarakat
harus membangun budaya dialog, inklusivitas, dan kebersamaan.⁴ Dengan komitmen
bersama yang dilandasi semangat Bhinneka Tunggal Ika, bangsa Indonesia akan
mampu menghadapi tantangan global sekaligus menjaga warisan luhur kebangsaan
yang telah dirintis oleh para pendiri republik.
Footnotes
[1]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 194–198.
[2]
M. Koesoema A., Pendidikan Karakter: Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), 42–44.
[3]
I Gusti Ngurah Bagus, Kebudayaan dan Identitas
Nasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 75.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku
Siswa PPKn Kelas X Kurikulum 2013 Revisi (Jakarta: Kemendikbud, 2017),
89–91.
Daftar Pustaka
Bagus, I. G. N. (2002). Kebudayaan dan identitas
nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bhakti, I. N. (2007). Peta konflik komunal di
Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik
(Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djalal, H. (1995). Indonesia and the law of the
sea. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Friedman, T. L. (1999). The Lexus and the olive
tree: Understanding globalization. New York: Farrar, Straus and Giroux.
Hasan, N. (2019). Radikalisasi di Indonesia:
Agama, identitas, dan politik. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Jati, W. R. (2021). Politik siber: Disinformasi
dan polaritas di era digital. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar sejarah
Indonesia baru: Sejarah pergerakan nasional. Jakarta: Gramedia.
Kemendikbud. (2016). Buku siswa PPKn kelas X
Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemendikbud. (2018). Modul penguatan pendidikan
karakter melalui kegiatan OSIS. Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan.
Kemendikbud. (2020). Modul pendidikan Pancasila
dan kewarganegaraan untuk SMA/MA kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan.
Kemendikbud. (2021). Permendikbud Nomor 21 Tahun
2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemendikbudristek. (2022). Profil pelajar
Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kominfo. (2021). Literasi digital nasional.
Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Koesoema, A. (2010). Pendidikan karakter:
Strategi mendidik anak di zaman global. Jakarta: Grasindo.
Koentjaraningrat. (2009). Manusia dan kebudayaan
di Indonesia (Cet. 11). Jakarta: Djambatan.
Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas,
rasionalitas dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Latif, Y. (2015). Mata air keteladanan:
Pancasila dalam perbuatan. Jakarta: Mizan.
Larso, D., & Widayanti, I. S. (2016). Revitalisasi
budaya nusantara untuk integrasi nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Maarif, A. S. (2014). Mengapa Indonesia belum
sejahtera? Jakarta: Kompas.
Marshall, T. H. (1950). Citizenship and social
class. Cambridge: Cambridge University Press.
Mubyarto. (1998). Ekonomi Pancasila: Perspektif
keadilan sosial. Yogyakarta: BPFE.
Peace Generation Indonesia. (2019). Panduan
pendidikan damai untuk guru dan pelatih. Bandung: PeaceGen.
Soekanto, S. (2014). Sosiologi suatu pengantar
(Edisi Revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Suparno, S. (Ed.). (2005). Social conflicts in
Indonesia. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung.
Tilaar, H. A. R. (2002). Pendidikan, kebudayaan,
dan masyarakat madani Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar