Selasa, 10 Juni 2025

Komunisme: Asal-Usul, Prinsip-Prinsip Inti, dan Tantangan Kontemporer

Komunisme

Asal-Usul, Prinsip-Prinsip Inti, dan Tantangan Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas komunisme sebagai salah satu aliran utama dalam filsafat sosial-politik dengan menelusuri asal-usul historis, prinsip-prinsip ideologis, tokoh-tokoh utama, serta implementasinya dalam praktik politik global. Komunisme tidak hanya merupakan reaksi teoretis terhadap ketimpangan sosial akibat kapitalisme, tetapi juga sebuah proyek emansipatoris yang berupaya menghapuskan kelas sosial dan mewujudkan masyarakat egaliter tanpa kepemilikan pribadi atas alat produksi. Penelitian ini menelaah kontribusi Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin, dan tokoh-tokoh lainnya, serta mengevaluasi penerapan komunisme di Uni Soviet, Tiongkok, Kuba, dan negara-negara lain. Kritik-kritik terhadap komunisme, baik dari liberalisme, anarkisme, maupun Marxisme kritis, juga dianalisis untuk memahami batasan ideologis dan kegagalan historisnya. Di tengah krisis kapitalisme global, perubahan iklim, dan ketimpangan digital, artikel ini menegaskan bahwa komunisme tetap relevan sebagai kerangka kritik dan horizon etis dalam diskursus kontemporer. Dengan pendekatan historis-filosofis dan tinjauan empiris, artikel ini menunjukkan bahwa komunisme bukan sekadar warisan ideologi abad ke-20, tetapi juga sumber inspirasi normatif bagi pencarian keadilan sosial di abad ke-21.

Kata Kunci: Komunisme; Marxisme; Filsafat Sosial-Politik; Ketimpangan Ekonomi; Revolusi; Negara Komunis; Kritik Kapitalisme; Ekososialisme; Relevansi Abad ke-21.


PEMBAHASAN

Komunisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Komunisme merupakan salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik modern, yang tidak hanya menantang struktur kapitalisme global tetapi juga menyodorkan suatu visi radikal tentang dunia tanpa kelas sosial dan tanpa kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Gagasan dasar komunisme secara filosofis dan historis bertumpu pada kritik terhadap eksploitasi ekonomi dan ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh sistem kapitalis, serta keyakinan terhadap kemungkinan pembentukan masyarakat egaliter di mana produksi dan distribusi kekayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebutuhan, bukan keuntungan pribadi¹.

Pemikiran komunisme modern tidak dapat dilepaskan dari tokoh-tokoh utama seperti Karl Marx dan Friedrich Engels, yang dalam The Communist Manifesto (1848) mengartikulasikan ide bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas². Komunisme dipandang sebagai fase terakhir dan tertinggi dalam perkembangan sejarah umat manusia, setelah kapitalisme mencapai titik puncak kontradiksinya dan dihancurkan melalui revolusi proletariat³. Dalam kerangka inilah, komunisme tidak hanya dipahami sebagai doktrin ekonomi-politik, tetapi juga sebagai sebuah filsafat sejarah yang menawarkan tafsir menyeluruh tentang dinamika masyarakat dan arah perkembangan peradaban manusia⁴.

Sebagai aliran filsafat sosial-politik, komunisme juga memainkan peran penting dalam membentuk peta geopolitik global abad ke-20. Revolusi Rusia tahun 1917, berdirinya Uni Soviet, revolusi Tiongkok tahun 1949, serta penyebaran ideologi komunisme ke berbagai belahan dunia seperti Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Amerika Latin, merupakan bukti bagaimana gagasan-gagasan yang berasal dari teks-teks filosofis dapat membentuk realitas politik secara luas⁵. Namun, di balik berbagai keberhasilan politiknya, komunisme juga menuai kritik tajam, terutama terkait dengan bentuk otoritarianisme negara, pelanggaran hak asasi manusia, dan kegagalan sistem ekonomi terpusat di berbagai negara penerapannya⁶.

Di abad ke-21, komunisme tidak lagi menjadi kekuatan hegemonik sebagaimana di era Perang Dingin. Namun demikian, munculnya ketimpangan ekonomi global yang semakin parah, krisis ekologis, serta kegagalan sistem pasar bebas dalam memenuhi keadilan sosial, telah memicu minat baru terhadap pemikiran Marxis dan alternatif-alternatif sosialisme radikal⁷. Oleh karena itu, kajian mendalam terhadap komunisme sebagai tradisi intelektual dan gerakan politik tetap relevan dalam wacana filsafat sosial-politik kontemporer.

Artikel ini bertujuan untuk membahas komunisme secara komprehensif, dimulai dari asal-usul historis dan filosofisnya, prinsip-prinsip dasar ideologinya, tokoh-tokoh penting yang membentuk pemikirannya, hingga aplikasinya dalam praktik politik serta kritik-kritik yang menyertainya. Kajian ini juga akan menyoroti relevansi komunisme dalam menjawab tantangan sosial, ekonomi, dan ekologis pada era globalisasi saat ini.


Catatan Kaki

[1]                David McLellan, Marxism after Marx (Basingstoke: Macmillan, 1980), 4–6.

[2]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219–221.

[3]                G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Princeton: Princeton University Press, 2000), 134–138.

[4]                Terrell Carver, Marx (Cambridge: Polity Press, 2003), 45–48.

[5]                Eric Hobsbawm, The Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991 (London: Abacus, 1994), 62–77.

[6]                Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes, Terror, Repression (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 2–25.

[7]                Michael Heinrich, An Introduction to the Three Volumes of Karl Marx’s Capital, trans. Alexander Locascio (New York: Monthly Review Press, 2012), 10–15.


2.           Asal-Usul Historis Komunisme

Asal-usul komunisme sebagai suatu gagasan sosial-politik tidak muncul secara tiba-tiba dalam sejarah modern, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dari berbagai ide dan praktik masyarakat yang menolak kepemilikan pribadi dan hierarki kelas. Dalam bentuknya yang paling awal, prinsip-prinsip komunalisme sudah tampak dalam masyarakat-masyarakat tradisional dan komunitas agraris yang hidup secara kolektif, berbagi sumber daya secara egaliter, dan tidak mengenal sistem kepemilikan individu atas tanah atau alat produksi¹. Bentuk komunalisme primitif ini memberikan fondasi normatif awal bagi gagasan-gagasan egalitarian yang kemudian dikembangkan dalam filsafat politik modern.

Jejak awal komunisme juga terlihat dalam pemikiran filsafat Yunani Kuno, khususnya dalam gagasan Plato tentang kepemilikan bersama dalam Republic. Dalam dialog tersebut, Plato membayangkan suatu komunitas penjaga (guardian class) yang tidak memiliki properti pribadi demi menghindari konflik kepentingan dan menjaga kesatuan negara². Meskipun tidak identik dengan komunisme modern, gagasan ini menunjukkan tradisi filosofis yang mempertanyakan kepemilikan pribadi sebagai sumber ketidakseimbangan sosial.

Komunisme sebagai aliran pemikiran yang lebih terstruktur baru terbentuk pada era modern, sebagai respons terhadap transformasi sosial dan ekonomi yang dipicu oleh Revolusi Industri. Revolusi ini menciptakan kelas pekerja (proletariat) dalam skala besar yang hidup dalam kondisi eksploitasi berat, sementara kaum kapitalis (borjuis) menguasai alat produksi dan memperoleh keuntungan berlipat. Dalam konteks inilah, muncul pemikir-pemikir sosialis awal seperti Charles Fourier, Henri de Saint-Simon, dan Robert Owen, yang dikenal sebagai utopian socialists karena menyodorkan skema masyarakat ideal tanpa memberikan kerangka teoritis historis yang sistematis³.

Terobosan penting dalam sejarah komunisme terjadi dengan munculnya teori Marxis yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Melalui pendekatan materialisme historis, Marx mengajukan bahwa perubahan sosial bukanlah hasil gagasan moral semata, melainkan merupakan hasil kontradiksi dalam mode produksi yang mendorong perubahan struktur kelas dan institusi sosial⁴. Dalam karya The Communist Manifesto (1848), Marx dan Engels menyatakan bahwa sejarah seluruh masyarakat sampai saat ini adalah sejarah perjuangan kelas antara kaum penindas dan tertindas⁵. Dalam kerangka inilah, komunisme diposisikan bukan hanya sebagai cita-cita moral atau utopia, tetapi sebagai tahapan historis yang tak terelakkan dalam perkembangan masyarakat manusia.

Revolusi Rusia pada tahun 1917 menjadi titik kulminasi dari perwujudan praktis ide-ide Marxis. Di bawah kepemimpinan Vladimir Lenin dan Partai Bolshevik, teori komunisme diterjemahkan ke dalam aksi revolusioner yang menggulingkan rezim Tsar dan mendirikan negara sosialis pertama di dunia—Uni Soviet⁶. Peristiwa ini bukan hanya memengaruhi geopolitik abad ke-20, tetapi juga meneguhkan posisi komunisme sebagai kekuatan ideologis global yang menantang hegemoni kapitalisme Barat. Setelah Revolusi Rusia, berbagai gerakan komunis tumbuh di berbagai belahan dunia, dari Asia (terutama Tiongkok dan Vietnam) hingga Amerika Latin dan Afrika, menunjukkan bahwa komunisme telah berkembang dari ide filosofis menjadi gerakan politik transnasional⁷.

Meskipun mengalami banyak perubahan dalam aplikasinya, asal-usul komunisme tetap berakar pada kritik terhadap ketimpangan sosial-ekonomi dan keyakinan bahwa masyarakat yang lebih adil hanya bisa dicapai melalui penghapusan kelas-kelas sosial dan kepemilikan pribadi atas alat produksi. Dari warisan komunalisme awal hingga Marxisme revolusioner, sejarah komunisme mencerminkan dinamika pergulatan intelektual dan politik dalam upaya menciptakan dunia yang lebih setara.


Catatan Kaki

[1]                Eric Hobsbawm, Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of Social Movement in the 19th and 20th Centuries (Manchester: Manchester University Press, 1959), 5–7.

[2]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube and rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 415–417.

[3]                Hal Draper, Socialism from Below (Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press, 1966), 18–21.

[4]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. S.W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1970), 20–24.

[5]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219.

[6]                Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution (Oxford: Oxford University Press, 2008), 34–45.

[7]                Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan, 1996), 56–59.


3.           Dasar-Dasar Filsafat Komunisme

Filsafat komunisme bertumpu pada seperangkat konsep teoritis yang menyatukan analisis historis, kritik sosial, dan proyek pembebasan manusia dari penindasan kelas. Inti dari filsafat ini adalah pemahaman tentang hubungan antara struktur ekonomi dan bentuk-bentuk kesadaran sosial, serta keyakinan bahwa perubahan revolusioner terhadap sistem produksi akan melahirkan masyarakat tanpa kelas.

3.1.       Materialisme Historis

Salah satu pilar utama dalam filsafat komunisme adalah materialisme historis, sebuah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menjelaskan perkembangan masyarakat manusia berdasarkan dinamika ekonomi-material, bukan pada gagasan moral, agama, atau filsafat abstrak semata. Dalam Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy, Marx menulis bahwa “bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, melainkan justru keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya”¹. Dengan kata lain, struktur ekonomi (basis) dari suatu masyarakat membentuk institusi politik, hukum, dan budaya (suprastruktur) yang mendominasinya.

Materialisme historis melihat sejarah sebagai serangkaian tahapan perkembangan mode produksi: dari komunalisme primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, hingga komunisme. Dalam setiap tahap, kontradiksi internal antara kelas yang menguasai alat produksi dan kelas yang dieksploitasi akan menghasilkan konflik yang pada akhirnya mendorong transformasi sosial revolusioner².

3.2.       Dialektika Materialis

Komunisme juga didasarkan pada prinsip dialektika materialis, yang mengadopsi metode dialektika Hegelian, namun “dibalikkan” oleh Marx agar berpijak pada realitas material. Bagi Hegel, perkembangan ide adalah motor sejarah; bagi Marx, justru kontradiksi dalam relasi produksi dan konflik kelas menjadi penggerak sejarah³. Dialektika ini mengajarkan bahwa perubahan sosial bersifat kontradiktif, berkembang melalui perjuangan antara kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan, dan bukan melalui harmoni gradual. Oleh karena itu, revolusi dipandang sebagai bentuk perubahan historis yang sah dan niscaya.

3.3.       Teori Nilai Kerja dan Kritik terhadap Kapitalisme

Dalam karya utamanya Das Kapital, Marx menjelaskan teori nilai kerja, yaitu bahwa nilai suatu komoditas ditentukan oleh jumlah “waktu kerja sosial rata-rata” yang dibutuhkan untuk memproduksinya⁴. Dari teori ini muncul konsep surplus value (nilai lebih), yaitu selisih antara nilai yang dihasilkan pekerja dan upah yang mereka terima, yang menjadi dasar dari eksploitasi kapitalis. Kritik terhadap kapitalisme dalam filsafat komunisme sangat tajam: sistem ini menciptakan alienasi, penindasan, dan pemiskinan struktural, yang hanya dapat dihapuskan melalui penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi⁵.

3.4.       Konsep Alienasi (Entfremdung)

Konsep alienasi (Entfremdung) atau keterasingan adalah landasan penting lainnya dalam filsafat komunisme. Dalam naskah awalnya, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx mengungkapkan bahwa dalam masyarakat kapitalis, pekerja menjadi terasing dari hasil kerjanya, dari proses kerja itu sendiri, dari sesama manusia, dan dari potensi kemanusiaannya⁶. Mereka tidak memiliki kontrol atas produk yang mereka hasilkan, karena produk itu menjadi komoditas milik kapitalis. Alienasi ini dianggap sebagai salah satu bentuk penindasan yang paling fundamental dalam sistem kapitalisme.

3.5.       Emansipasi Manusia dan Visi Masyarakat Tanpa Kelas

Tujuan akhir dari filsafat komunisme adalah emansipasi manusia, yaitu pembebasan dari segala bentuk dominasi kelas, eksploitasi, dan keterasingan. Dalam masyarakat komunis yang ideal, tidak ada lagi kepemilikan pribadi atas alat produksi, kelas-kelas sosial, atau negara dalam bentuk represifnya. Manusia bebas untuk mengembangkan potensi dirinya sepenuhnya dalam kerangka kerja kolektif dan solidaritas sosial. Seperti yang ditulis Marx dalam German Ideology, dalam masyarakat seperti itu, “perburuan di pagi hari, memancing di sore hari, beternak di malam hari, dan mengkritik setelah makan malam” menjadi gambaran simbolik kebebasan manusia dalam berbagai dimensi hidupnya⁷.


Catatan Kaki

[1]                Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, trans. S. W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1970), 20.

[2]                G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Princeton: Princeton University Press, 2000), 52–56.

[3]                David McLellan, The Thought of Karl Marx: An Introduction (Oxford: Oxford University Press, 1971), 75–78.

[4]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 129–131.

[5]                Michael Heinrich, An Introduction to the Three Volumes of Karl Marx’s Capital, trans. Alexander Locascio (New York: Monthly Review Press, 2012), 45–47.

[6]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 70–81.

[7]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 53.


4.           Tokoh-Tokoh Kunci dan Karya Utama

Perkembangan komunisme sebagai aliran filsafat sosial-politik tidak dapat dipisahkan dari pemikiran tokoh-tokoh kunci yang membentuk dasar teoritis, strategi politik, dan arah historis gerakan komunis global. Di antara mereka, Karl Marx dan Friedrich Engels menempati posisi sentral, disusul oleh tokoh-tokoh seperti Vladimir Lenin, Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci, dan Mao Zedong yang turut membentuk varian-varian praksis dari ideologi komunisme dalam konteks yang berbeda-beda.

4.1.       Karl Marx (1818–1883)

Sebagai pendiri utama filsafat komunisme ilmiah, Karl Marx mengembangkan teori materialisme historis dan kritik terhadap kapitalisme yang tertuang dalam berbagai karya fundamental. Karya monumentalnya, Capital: A Critique of Political Economy (Das Kapital, 1867), memberikan analisis sistematis terhadap mekanisme eksploitasi dalam sistem kapitalis melalui konsep nilai lebih, fetisisme komoditas, dan akumulasi kapital¹. Marx menyatakan bahwa kapitalisme membawa benih kehancurannya sendiri melalui kontradiksi internal antara kekuatan produktif dan hubungan produksi².

Karya awal Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, memperkenalkan konsep alienasi yang menjadi dasar etis dari kritik terhadap kerja upahan dalam sistem kapitalis³. Bersama Engels, Marx juga menulis The German Ideology (1846), di mana mereka menolak idealisme Hegelian dan mengembangkan konsep ideologi sebagai refleksi dari kepentingan kelas penguasa⁴.

4.2.       Friedrich Engels (1820–1895)

Sebagai kolaborator utama Marx, Engels memiliki kontribusi besar dalam membumikan teori-teori Marx ke dalam bentuk yang lebih sistematis dan dapat diakses. Karya terkenalnya, The Origin of the Family, Private Property and the State (1884), menghubungkan perkembangan institusi sosial dengan dinamika ekonomi dan menunjukkan bagaimana keluarga patriarkal dan negara berkembang seiring dengan kepemilikan pribadi⁵. Engels juga menulis Socialism: Utopian and Scientific (1880), yang membedakan sosialisme ilmiah (komunisme) dari sosialisme utopis sebelumnya⁶.

4.3.       Vladimir Lenin (1870–1924)

Lenin menjadi tokoh penting dalam penerapan teori Marx dalam praktik revolusioner. Dalam What Is to Be Done? (1902), Lenin menegaskan perlunya partai revolusioner yang terorganisasi secara disiplin untuk memimpin kelas pekerja menuju revolusi⁷. Ia juga mengembangkan teori imperialisme sebagai tahap akhir kapitalisme dalam Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (1917), di mana ia menjelaskan bagaimana kapitalisme berkembang menjadi sistem global yang menciptakan ketimpangan antara negara industri dan koloni⁸. Di bawah kepemimpinannya, Revolusi Oktober 1917 berhasil menggulingkan rezim Tsar dan mendirikan negara sosialis pertama di dunia.

4.4.       Rosa Luxemburg (1871–1919)

Sebagai teoretikus dan aktivis revolusioner Jerman, Luxemburg mengkritik tendensi otoritarian dalam Marxisme Lenin. Dalam Reform or Revolution (1899), ia menegaskan bahwa reformasi dalam sistem kapitalis tidak cukup untuk mencapai pembebasan sejati, dan bahwa revolusi proletar tetap merupakan jalan utama menuju sosialisme⁹. Dalam The Mass Strike (1906), ia membahas pentingnya spontanitas massa dalam perjuangan kelas dan menolak model partai yang terlalu terpusat¹⁰.

4.5.       Antonio Gramsci (1891–1937)

Gramsci merupakan tokoh penting dalam Marxisme Barat yang memperkenalkan konsep hegemoni budaya. Dalam Prison Notebooks, ia menguraikan bahwa dominasi kelas tidak hanya bersifat ekonomis atau koersif, tetapi juga ideologis, melalui pengaruh budaya, pendidikan, dan media massa¹¹. Gramsci menekankan pentingnya perjuangan di ranah ideologi untuk merebut kesadaran masyarakat dan membangun blok historis yang mendukung transformasi revolusioner.

4.6.       Mao Zedong (1893–1976)

Mao mengembangkan varian Marxisme-Leninisme yang berakar pada realitas pedesaan Tiongkok. Dalam On Contradiction (1937), ia menegaskan bahwa kontradiksi internal dalam segala hal adalah motor perubahan dan bahwa perjuangan kelas harus disesuaikan dengan kondisi konkret¹². Ia mempopulerkan strategi revolusi dari desa ke kota (bukannya sebaliknya seperti dalam teori Lenin) dan menerapkan prinsip mass line, yaitu hubungan erat antara pemimpin revolusioner dan massa rakyat. Pemikiran Mao menjadi dasar ideologi resmi Tiongkok hingga kini.


Catatan Kaki

[1]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 125–131.

[2]                G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Princeton: Princeton University Press, 2000), 109–114.

[3]                Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 70–75.

[4]                Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 59–67.

[5]                Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property and the State, trans. Ernest Untermann (Chicago: Charles H. Kerr, 1902), 3–5.

[6]                Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific (London: Progress Publishers, 1970), 23–34.

[7]                Vladimir Lenin, What Is to Be Done? (New York: International Publishers, 1929), 38–44.

[8]                Vladimir Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (New York: International Publishers, 1939), 70–78.

[9]                Rosa Luxemburg, Reform or Revolution, trans. Integer (New York: Pathfinder Press, 1970), 20–22.

[10]             Rosa Luxemburg, The Mass Strike, the Political Party, and the Trade Unions, trans. Patrick Lavin (New York: Harper & Row, 1971), 12–15.

[11]             Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 245–246.

[12]             Mao Zedong, On Contradiction, in Selected Works of Mao Tse-Tung, Vol. 1 (Beijing: Foreign Languages Press, 1965), 311–312.


5.           Prinsip-Prinsip Dasar Ideologi Komunisme

Sebagai suatu sistem filsafat dan ideologi politik yang menyeluruh, komunisme menawarkan seperangkat prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam menganalisis realitas sosial, menyusun strategi perubahan, dan membayangkan masa depan masyarakat. Prinsip-prinsip ini tidak sekadar bersifat teoritis, tetapi juga berfungsi sebagai fondasi normatif bagi gerakan revolusioner yang bertujuan menggulingkan tatanan kapitalis dan membentuk masyarakat tanpa kelas. Berikut adalah prinsip-prinsip utama yang menjadi inti dari ideologi komunisme.

5.1.       Teori Kelas dan Perjuangan Kelas

Komunisme meyakini bahwa sejarah umat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas—konflik antara kelompok-kelompok sosial yang memiliki kepentingan ekonomi yang saling bertentangan. Dalam The Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa “sejarah seluruh masyarakat hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas”¹. Dalam masyarakat kapitalis, konflik utama terjadi antara kaum borjuis (pemilik alat produksi) dan kaum proletar (kelas pekerja), yang tereksploitasi dalam sistem kerja upahan.

Perjuangan kelas ini dianggap sebagai motor utama perubahan sosial. Revolusi sosial—sebagai bentuk tertinggi dari perjuangan kelas—dilihat sebagai satu-satunya jalan menuju transformasi masyarakat yang mendalam, dari sistem kapitalis menuju sistem sosialis dan akhirnya komunis².

5.2.       Penghapusan Kepemilikan Pribadi atas Alat Produksi

Salah satu prinsip paling fundamental dari ideologi komunisme adalah abolisi kepemilikan pribadi atas alat produksi. Marx membedakan antara properti pribadi untuk konsumsi (seperti pakaian atau rumah tinggal) dan alat produksi (seperti tanah, pabrik, atau mesin). Hanya kepemilikan pribadi atas alat produksi yang menjadi objek kritik komunisme, karena hal ini memungkinkan eksploitasi terhadap tenaga kerja orang lain³.

Komunisme mengusulkan pengelolaan alat produksi secara kolektif oleh seluruh anggota masyarakat. Tujuannya adalah untuk menghapus hubungan eksploitatif yang muncul ketika sebagian kecil masyarakat menguasai sumber-sumber ekonomi, sementara mayoritas hanya menjual tenaga kerjanya⁴.

5.3.       Internasionalisme Proletar

Komunisme bukan hanya bersifat nasional, tetapi berwatak internasionalis. Marx dan Engels menutup The Communist Manifesto dengan seruan terkenal: “Kaum buruh sedunia, bersatulah!”⁵. Internasionalisme proletar mencerminkan keyakinan bahwa kaum pekerja di seluruh dunia memiliki kepentingan yang sama dan harus bersatu melawan sistem kapitalisme global yang mengeksploitasi mereka secara sistemik.

Prinsip ini tercermin dalam pendirian organisasi internasional seperti Internasional Pertama (First International, 1864) dan Internasional Ketiga (Comintern, 1919), yang bertujuan mengoordinasikan perjuangan kaum komunis di berbagai negara⁶. Internasionalisme juga menegaskan solidaritas lintas batas, menolak nasionalisme sempit yang dapat melemahkan gerakan revolusioner global.

5.4.       Negara sebagai Alat Dominasi Kelas

Komunisme menganggap bahwa negara dalam masyarakat kelas adalah instrumen dominasi kelas yang berkuasa. Negara bukanlah entitas netral, melainkan alat yang digunakan oleh kelas borjuis untuk mempertahankan kepemilikannya dan menekan kelas pekerja⁷. Oleh karena itu, revolusi proletariat harus disertai dengan pendirian diktatur proletariat, yaitu bentuk kekuasaan transisional di mana kelas pekerja menggunakan negara untuk menghancurkan sisa-sisa kapitalisme dan membangun tatanan baru.

Namun, dalam visi akhir komunisme, negara sebagai alat kekuasaan koersif akan mengalami penghilangan secara bertahap (withering away of the state), seiring lenyapnya kelas-kelas sosial dan konflik yang menyertainya⁸.

5.5.       Produksi Berdasarkan Kebutuhan, Bukan Keuntungan

Salah satu ciri utama masyarakat komunis adalah bahwa produksi tidak lagi diarahkan untuk menciptakan keuntungan pribadi, melainkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara kolektif. Dalam masyarakat kapitalis, produksi ditujukan untuk pasar, dan komoditas hanya diproduksi jika menguntungkan secara ekonomi. Sebaliknya, dalam masyarakat komunis, produksi dirancang dan diorganisasi secara rasional untuk memastikan kesejahteraan sosial yang merata⁹.

Dengan sistem ini, pemborosan akibat kompetisi kapitalis, overproduksi, dan krisis ekonomi berkala dapat dihindari. Distribusi barang dan jasa akan dilakukan berdasarkan prinsip “dari masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut kebutuhannya”¹⁰.


Catatan Kaki

[1]                Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed. Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219.

[2]                G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Princeton: Princeton University Press, 2000), 134–138.

[3]                Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1, trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 932–934.

[4]                Friedrich Engels, Principles of Communism, in Collected Works of Marx and Engels, Vol. 6 (New York: International Publishers, 1976), 341.

[5]                Marx and Engels, The Communist Manifesto, 244.

[6]                Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan, 1996), 23–28.

[7]                Vladimir Lenin, The State and Revolution, trans. Robert Service (London: Penguin Books, 1992), 26–31.

[8]                Ibid., 78–80.

[9]                Michael Heinrich, An Introduction to the Three Volumes of Karl Marx’s Capital, trans. Alexander Locascio (New York: Monthly Review Press, 2012), 58–60.

[10]             Marx and Engels, Critique of the Gotha Programme, in Collected Works of Marx and Engels, Vol. 24 (New York: International Publishers, 1989), 87.


6.           Perwujudan Komunisme dalam Praktik Politik

Meskipun komunisme lahir sebagai sebuah proyek teoritis dan normatif dalam filsafat sosial-politik, ia juga telah mengalami penerapan dalam bentuk praktik politik yang konkret, terutama pada abad ke-20. Implementasi ide-ide komunis dalam berbagai negara membawa konsekuensi yang luas, mulai dari transformasi ekonomi dan sosial secara radikal hingga pembentukan sistem politik otoriter. Perwujudan komunisme dalam praktik politik tidak bersifat tunggal atau seragam, melainkan menunjukkan keragaman pendekatan dan hasil yang dipengaruhi oleh konteks historis, geografis, dan budaya masing-masing negara.

6.1.       Revolusi Rusia dan Uni Soviet

Penerapan komunisme secara nyata pertama kali terjadi dalam Revolusi Rusia 1917, yang dipimpin oleh Partai Bolshevik di bawah pimpinan Vladimir Lenin. Revolusi ini berhasil menggulingkan rezim Tsar dan membentuk negara sosialis pertama di dunia, yaitu Uni Soviet. Dalam fase awalnya, pemerintahan Soviet menerapkan kebijakan War Communism, termasuk nasionalisasi industri, penghapusan pasar bebas, dan kontrol negara atas distribusi pangan¹.

Setelah perang saudara berakhir, kebijakan ini digantikan oleh New Economic Policy (NEP), yang memperkenankan unsur pasar dalam batas terbatas sebagai strategi taktis untuk membangun kembali ekonomi yang hancur². Namun, setelah kematian Lenin, kekuasaan diambil alih oleh Joseph Stalin, yang menerapkan kebijakan industrialisasi besar-besaran dan kolektivisasi pertanian secara paksa. Rezim Stalin juga dikenal dengan teror politik yang brutal dan penindasan terhadap oposisi, termasuk sesama komunis³. Meskipun demikian, Uni Soviet berhasil menjadi kekuatan industri dan militer besar hingga menjadi kutub kekuatan global dalam Perang Dingin.

6.2.       Revolusi Tiongkok dan Maoisme

Model lain dari penerapan komunisme muncul dalam Revolusi Tiongkok tahun 1949, ketika Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dipimpin oleh Mao Zedong mengambil alih kekuasaan setelah perang saudara panjang melawan Nasionalis Kuomintang. Maoisme sebagai varian komunisme menekankan peran petani dalam revolusi, berbeda dengan Marxisme klasik yang lebih menekankan kaum proletar industri⁴.

Di bawah Mao, berbagai eksperimen ideologis dilakukan, termasuk The Great Leap Forward (1958–1962) yang bertujuan mempercepat industrialisasi melalui kolektivisasi radikal, namun justru menyebabkan kelaparan massal dan kematian jutaan jiwa⁵. Revolusi Kebudayaan (1966–1976) yang dilancarkan Mao untuk membersihkan “unsur borjuis” dalam PKT dan masyarakat, juga menimbulkan kekacauan sosial, penghancuran warisan budaya, dan penganiayaan intelektual⁶.

6.3.       Negara-Negara Komunis Lainnya

Komunisme juga diterapkan di sejumlah negara lain, seperti Kuba di bawah Fidel Castro, yang melakukan nasionalisasi industri dan menjalankan sistem pelayanan publik yang komprehensif, terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan⁷. Di Vietnam, pemerintahan komunis dipimpin oleh Ho Chi Minh dan dilanjutkan oleh Partai Komunis Vietnam setelah kemenangan atas Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.

Sementara itu, di Eropa Timur, sistem komunisme diadopsi secara paksa setelah Perang Dunia II oleh negara-negara yang masuk ke dalam pengaruh Soviet, seperti Polandia, Hungaria, Rumania, dan Jerman Timur. Sistem ini ditandai oleh ekonomi terpusat, kepemimpinan satu partai, dan pengawasan ketat terhadap masyarakat sipil, yang memicu ketidakpuasan luas hingga keruntuhan komunisme di kawasan tersebut pada akhir 1980-an⁸.

6.4.       Perbandingan antara Teori dan Praktik

Salah satu kritik utama terhadap penerapan komunisme dalam praktik politik adalah terjadinya kesenjangan antara ideal-ideal yang dikemukakan dalam teori Marxis dan realitas politik yang terjadi di lapangan. Banyak pemerintahan komunis yang mengklaim mewakili kepentingan rakyat justru berkembang menjadi negara otoriter dengan penghapusan hak-hak sipil, pembatasan kebebasan berpendapat, dan pengendalian ketat terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat⁹.

Namun demikian, sejumlah aspek positif dari praktik komunisme juga diakui oleh para pengamat, termasuk pencapaian dalam bidang pemerataan pendidikan, perumahan, dan pelayanan kesehatan di beberapa negara. Dengan demikian, penerapan komunisme dalam politik bersifat ambivalen—di satu sisi menjadi simbol perlawanan terhadap imperialisme dan kapitalisme global, namun di sisi lain rentan terhadap penyimpangan ideologis dan birokratisasi kekuasaan¹⁰.


Catatan Kaki

[1]                Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution (Oxford: Oxford University Press, 2008), 42–44.

[2]                Stephen F. Cohen, Bukharin and the Bolshevik Revolution (Oxford: Oxford University Press, 1980), 120–125.

[3]                Robert Service, Stalin: A Biography (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2005), 314–320.

[4]                Maurice Meisner, Mao’s China and After: A History of the People’s Republic (New York: Free Press, 1999), 85–89.

[5]                Frank Dikötter, Mao's Great Famine: The History of China's Most Devastating Catastrophe, 1958–1962 (London: Bloomsbury, 2010), 23–29.

[6]                Roderick MacFarquhar and Michael Schoenhals, Mao's Last Revolution (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 89–95.

[7]                Richard Gott, Cuba: A New History (New Haven: Yale University Press, 2004), 142–146.

[8]                Archie Brown, The Rise and Fall of Communism (New York: Ecco Press, 2009), 398–412.

[9]                Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes, Terror, Repression (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 2–25.

[10]             Eric Hobsbawm, How to Change the World: Reflections on Marx and Marxism (New Haven: Yale University Press, 2011), 341–345.


7.           Kritik terhadap Komunisme

Komunisme, sebagai salah satu aliran besar dalam filsafat sosial-politik modern, telah menjadi subjek kritik luas dari berbagai perspektif, baik dari luar maupun dari dalam tradisi pemikiran kiri itu sendiri. Kritik-kritik tersebut tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga mencerminkan pengalaman historis atas penerapan komunisme dalam praktik politik. Kritik terhadap komunisme dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama: liberal, anarkis, internal-Marxis, dan berbasis hak asasi manusia.

7.1.       Kritik dari Kaum Liberal: Kebebasan dan Individualitas

Dari sudut pandang liberalisme, komunisme dianggap mengabaikan nilai-nilai kebebasan individu dan hak kepemilikan pribadi, yang merupakan fondasi dari masyarakat demokratis. Kritikus liberal seperti Friedrich Hayek menegaskan bahwa sistem ekonomi terpusat yang diusulkan oleh komunisme akan menuntun pada totalitarianisme, karena perencanaan ekonomi oleh negara secara inheren memerlukan kontrol menyeluruh atas kehidupan masyarakat¹. Dalam The Road to Serfdom, Hayek memperingatkan bahwa penghapusan mekanisme pasar dan pemusatan kekuasaan ekonomi pada negara akan melumpuhkan kebebasan politik dan sipil².

Kritik liberal juga menyoroti bahwa komunisme cenderung mereduksi individu menjadi sekadar unit dalam struktur kolektif, sehingga menafikan keragaman aspirasi, preferensi, dan pilihan pribadi. Dalam sistem komunis, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan berkumpul sering kali ditekan atas nama persatuan revolusioner atau stabilitas politik.

7.2.       Kritik dari Anarkisme dan Libertarianisme Kiri

Dari sisi kiri non-Marxis, terutama tradisi anarkisme, kritik utama terhadap komunisme terletak pada peran negara. Tokoh seperti Mikhail Bakunin mengecam konsep diktatur proletariat yang diusulkan oleh Marx sebagai bentuk dominasi baru yang berbahaya. Bagi Bakunin, setiap bentuk negara, termasuk negara proletar, akan dengan sendirinya berkembang menjadi alat penindasan baru yang mengkhianati semangat kebebasan sejati³.

Anarkis menolak gagasan transisionalisme dalam komunisme yang menyarankan perlunya negara revolusioner sementara, dan justru menyerukan pembongkaran total atas struktur kekuasaan, termasuk negara, sejak awal revolusi⁴. Mereka memandang bahwa pengorganisasian masyarakat secara desentralistik dan tanpa otoritas pusat lebih menjamin keadilan sosial dan kebebasan individu.

7.3.       Kritik Internal dari Marxisme Kritis dan Neo-Marxisme

Kritik internal terhadap komunisme datang dari para pemikir Marxis kritis yang menilai bahwa penerapan komunisme di banyak negara telah menyimpang dari ajaran Marx yang asli. Tokoh-tokoh seperti Herbert Marcuse dan anggota Mazhab Frankfurt menyoroti birokratisasi dan kekakuan ideologis dalam negara-negara komunis, yang menggantikan emansipasi manusia dengan kontrol teknokratik⁵. Dalam One-Dimensional Man, Marcuse mengkritik baik kapitalisme maupun sosialisme otoriter yang gagal membebaskan potensi kreatif manusia dan justru menciptakan masyarakat yang pasif dan teralienasi⁶.

Begitu pula Antonio Gramsci menggarisbawahi pentingnya hegemoni kultural dan perang posisi dalam membangun kesadaran kelas, yang menurutnya diabaikan oleh strategi revolusioner yang hanya menekankan pada kekuasaan negara⁷. Kritik semacam ini bertujuan memperbarui Marxisme agar lebih relevan dan demokratis dalam konteks masyarakat modern.

7.4.       Kritik Berdasarkan Hak Asasi Manusia dan Praktik Historis

Kritik yang paling luas muncul dari catatan historis pelanggaran HAM berat di bawah rezim-rezim komunis. Dalam The Black Book of Communism, para sejarawan mencatat bahwa rezim-rezim komunis telah menyebabkan kematian lebih dari 94 juta orang melalui pembunuhan politik, kelaparan akibat kebijakan ekonomi, kamp kerja paksa, dan penindasan terhadap oposisi⁸. Uni Soviet di bawah Stalin, Tiongkok di bawah Mao, serta Kamboja di bawah Pol Pot adalah contoh ekstrem dari penyimpangan ideologi komunis ke arah totalitarianisme brutal.

Penindasan terhadap kebebasan beragama, sensor ketat terhadap media, pengawasan terhadap warga, dan hukuman terhadap pembangkang adalah praktik umum dalam banyak negara komunis, yang bertentangan dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kegagalan komunisme dalam praktik merupakan hasil penyimpangan atau justru konsekuensi logis dari prinsip-prinsip ideologinya?


Catatan Kaki

[1]                Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 1944), 85–89.

[2]                Ibid., 104–110.

[3]                Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, trans. Marshall S. Shatz (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 135–138.

[4]                Peter Kropotkin, The Conquest of Bread (New York: New York University Press, 1972), 56–59.

[5]                Douglas Kellner, Herbert Marcuse and the Crisis of Marxism (Berkeley: University of California Press, 1984), 112–117.

[6]                Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 3–6.

[7]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 245–250.

[8]                Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes, Terror, Repression (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 4–6.


8.           Komunisme dalam Diskursus Kontemporer

Meskipun komunisme sebagai sistem politik terorganisasi telah mengalami kemunduran pasca-Perang Dingin, khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet dan transformasi Tiongkok menuju ekonomi pasar, komunisme tetap hidup dalam wacana akademik, aktivisme sosial, dan kritik terhadap kapitalisme global. Dalam konteks krisis multidimensi yang dihadapi dunia saat ini—ketimpangan ekonomi, kehancuran ekologi, dan alienasi sosial—pemikiran komunis kembali memperoleh perhatian sebagai alternatif radikal terhadap status quo neoliberalis. Komunisme kontemporer tidak lagi hadir sebagai dogma politik satu partai, melainkan sebagai medan terbuka pemikiran kritis yang terus berkembang dan diperbaharui.

8.1.       Kebangkitan Minat Akademik terhadap Marxisme

Sejak awal abad ke-21, terjadi peningkatan minat terhadap teori Marxis dan komunisme di berbagai institusi akademik, khususnya dalam bidang filsafat politik, teori kritis, ekonomi politik, dan studi budaya. Pemikir-pemikir seperti David Harvey, Terry Eagleton, dan Slavoj Žižek menjadi tokoh kunci dalam pembaruan wacana Marxis. Dalam The Enigma of Capital, Harvey mengungkap bahwa krisis finansial global 2008 merupakan bukti kebangkrutan sistem kapitalis dan menekankan perlunya pemikiran alternatif berbasis Marxisme untuk memahami akar struktural dari krisis tersebut¹.

Slavoj Žižek, dalam Living in the End Times, menyatakan bahwa komunisme kontemporer harus dibayangkan kembali bukan sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai proyek emansipatoris yang terbuka dan terus menerus mengoreksi dirinya². Wacana ini mengindikasikan bahwa komunisme hari ini bukanlah “resep revolusi instan,” melainkan platform pemikiran kritis terhadap logika pasar dan bentuk kekuasaan baru dalam masyarakat neoliberal.

8.2.       Komunisme Digital dan Post-Kapitalisme

Perkembangan teknologi informasi dan ekonomi digital juga telah memicu perdebatan baru dalam wacana komunis kontemporer. Tokoh seperti Paul Mason dalam Postcapitalism: A Guide to Our Future mengusulkan bahwa era digital membuka peluang bagi ekonomi berbasis informasi yang tidak tunduk sepenuhnya pada logika pasar dan kepemilikan pribadi³. Dalam dunia digital, produksi dapat bersifat kolaboratif, non-komersial, dan terdesentralisasi—karakteristik yang beririsan dengan ideal-ideal komunisme tentang kerja bebas dari eksploitasi dan kepemilikan bersama atas sumber daya.

Komunisme digital ini tidak identik dengan proyek negara atau partai, tetapi lebih menyerupai praktik-praktik kolektif berbasis komunitas—seperti open-source movement, peer-to-peer networks, dan platform cooperativism—yang menolak logika akumulasi kapital secara konvensional⁴.

8.3.       Peran Komunisme dalam Gerakan Sosial Global

Ide-ide komunis juga menemukan ruang ekspresi dalam berbagai gerakan sosial kontemporer yang memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi. Gerakan seperti Occupy Wall Street, Black Lives Matter, dan gerakan keadilan iklim global sering kali menggunakan analisis kelas, ketimpangan struktural, dan kritik terhadap kapitalisme korporat yang selaras dengan semangat komunisme kritis, meskipun tidak secara eksplisit mengidentifikasi diri sebagai komunis.

Gerakan buruh modern di banyak negara juga kembali mengangkat tuntutan-tuntutan klasik sosialisme seperti upah layak, penghapusan kerja kontrak yang eksploitatif, dan kontrol demokratis atas tempat kerja. Dalam konteks ini, komunisme tidak dilihat sebagai model pemerintahan, tetapi sebagai horizon normatif yang menuntut perubahan sistemik terhadap relasi produksi dan distribusi⁵.

8.4.       Reinterpretasi Etis dan Utopis dalam Wacana Budaya

Komunisme kontemporer juga mengalami reinterpretasi dalam wacana etika dan budaya. Banyak seniman, novelis, dan filsuf mencoba membayangkan kembali “komunitas masa depan” yang bebas dari alienasi dan komodifikasi hubungan manusia. Ernst Bloch, dalam The Principle of Hope, memandang komunisme sebagai proyek utopis manusia untuk meraih “keadaan yang belum ada”—sebuah dunia di mana solidaritas menggantikan kompetisi dan kebutuhan manusia menjadi pusat kehidupan sosial⁶.

Dalam konteks ini, komunisme berfungsi sebagai “semangat pembebasan” yang menolak tatanan dunia yang didasarkan pada eksploitasi, ketimpangan, dan reduksi nilai manusia menjadi angka-angka ekonomi.


Catatan Kaki

[1]                David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2010), 25–32.

[2]                Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010), 114–117.

[3]                Paul Mason, Postcapitalism: A Guide to Our Future (London: Penguin Books, 2015), 125–130.

[4]                Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future: Postcapitalism and a World Without Work (London: Verso, 2015), 98–105.

[5]                Michael Hardt and Antonio Negri, Assembly (Oxford: Oxford University Press, 2017), 73–76.

[6]                Ernst Bloch, The Principle of Hope, Vol. 1, trans. Neville Plaice, Stephen Plaice, and Paul Knight (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 137–140.


9.           Relevansi Komunisme di Abad ke-21

Meskipun komunisme sering dianggap sebagai ideologi abad ke-20 yang gagal, krisis-krisis global yang semakin akut pada abad ke-21 justru menghidupkan kembali minat terhadap prinsip-prinsip dasar komunisme, khususnya dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme neoliberal. Ketimpangan ekonomi yang ekstrem, kerusakan lingkungan, keterasingan sosial, serta kerapuhan sistem demokrasi liberal telah memperlihatkan kegagalan sistem global saat ini dalam menjamin keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Dalam konteks inilah, komunisme memperoleh relevansi baru, bukan sebagai proyek politik yang dogmatis, tetapi sebagai horizon normatif dan strategi transformatif yang menantang tatanan yang ada.

9.1.       Ketimpangan Global dan Kritik terhadap Kapitalisme

Laporan-laporan lembaga internasional menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan telah mencapai tingkat yang sangat ekstrem. Laporan Oxfam tahun 2023 mencatat bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai hampir setengah dari total kekayaan global, sementara miliaran orang hidup dalam kemiskinan atau kerentanan ekonomi¹. Komunisme, dengan penekanannya pada penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan redistribusi kekayaan secara adil, kembali dipertimbangkan sebagai alternatif radikal terhadap sistem ekonomi yang terbukti tidak mampu menghapus ketidaksetaraan².

Pemikir kontemporer seperti Thomas Piketty, meskipun tidak secara eksplisit komunis, menegaskan perlunya bentuk kepemilikan bersama dan demokratisasi kekayaan untuk menghindari oligarki kapital global yang kian dominan³. Dalam wacana ini, ide-ide komunis tentang kontrol kolektif atas sumber daya dan produksi kembali memperoleh daya tarik, terutama di kalangan generasi muda dan akademisi.

9.2.       Krisis Iklim dan Ekologi Sosialisme

Krisis ekologis global menjadi ancaman eksistensial yang nyata. Perubahan iklim, kerusakan keanekaragaman hayati, dan eksploitasi lingkungan secara besar-besaran disebabkan oleh logika pertumbuhan tanpa batas yang inheren dalam kapitalisme⁴. Komunisme, khususnya dalam versi ekososialisnya, menawarkan kerangka alternatif di mana produksi tidak didasarkan pada akumulasi keuntungan, melainkan pada kebutuhan manusia dan keberlanjutan ekologis.

Ekososialisme menegaskan pentingnya transisi ke bentuk produksi dan konsumsi yang terencana, demokratis, dan ekologis—prinsip yang konsisten dengan visi komunisme tentang masyarakat tanpa eksploitasi, baik terhadap manusia maupun terhadap alam⁵. Dalam pengertian ini, komunisme bukan hanya respons terhadap ketimpangan sosial, tetapi juga terhadap krisis planet.

9.3.       Emansipasi Sosial dan Demokrasi Radikal

Komunisme abad ke-21 juga mendapat tempat dalam diskursus demokrasi radikal dan pembebasan sosial. Para pemikir kiri baru, seperti Michael Hardt dan Antonio Negri, memperkenalkan konsep komunisme multitudes, di mana kekuasaan politik dan ekonomi dibangun dari bawah secara desentralistik dan partisipatif⁶. Ini merupakan respons terhadap pengalaman historis komunisme negara (state communism) yang cenderung otoriter.

Dalam konteks masyarakat pasca-industri dan digital, gagasan tentang kerja bebas dari alienasi, distribusi universal pendapatan dasar, dan kepemilikan data secara kolektif telah menjadi bagian dari agenda komunisme baru yang lebih demokratis dan kontekstual⁷. Relevansi komunisme kini lebih banyak ditemukan dalam ide-ide kebijakan dan eksperimen institusional baru daripada dalam partai-partai komunis tradisional.

9.4.       Komunisme sebagai Wacana Moral dan Utopis

Selain sebagai strategi politik, komunisme juga tetap relevan sebagai wacana etis dan utopis yang menginspirasi perjuangan keadilan global. Komunisme menuntut agar masyarakat tidak dinilai berdasarkan efisiensi ekonomi semata, tetapi berdasarkan kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan dasar, menghapuskan penindasan, dan menjamin martabat semua manusia. Ernst Bloch menyebut komunisme sebagai prinsip harapan yang memungkinkan umat manusia membayangkan dunia yang belum ada, tetapi bisa dan harus ada⁸.

Dalam dunia yang dilanda sinisme politik dan fragmentasi sosial, komunisme berfungsi sebagai pengingat bahwa transformasi radikal tetap mungkin, dan bahwa dunia yang adil bukan sekadar mimpi, tetapi tuntutan rasional dari solidaritas manusia.


Catatan Kaki

[1]                Oxfam International, Survival of the Richest: How We Must Tax the Super-Rich Now to Fight Inequality (Oxford: Oxfam Briefing Paper, 2023), 4–7.

[2]                Slavoj Žižek, The Relevance of the Communist Manifesto (Cambridge: Polity Press, 2019), 20–22.

[3]                Thomas Piketty, Capital and Ideology, trans. Arthur Goldhammer (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2020), 985–990.

[4]                Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming (London: Verso, 2016), 15–18.

[5]                Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 37–42.

[6]                Michael Hardt and Antonio Negri, Commonwealth (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 328–332.

[7]                Nick Dyer-Witheford, Cyber-Proletariat: Global Labour in the Digital Vortex (London: Pluto Press, 2015), 162–165.

[8]                Ernst Bloch, The Principle of Hope, Vol. 1, trans. Neville Plaice, Stephen Plaice, and Paul Knight (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 137–140.


10.       Penutup

Komunisme, sebagai filsafat sosial-politik dan gerakan historis, telah menempuh perjalanan panjang—dari gagasan utopis tentang masyarakat tanpa kelas di zaman kuno, melalui teori ilmiah Karl Marx dan Friedrich Engels, hingga berbagai eksperimen politik pada abad ke-20. Ia telah melahirkan revolusi-revolusi besar, membentuk konstelasi geopolitik global, dan menantang dominasi kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan ideologi global. Namun, komunisme juga menyisakan warisan kompleks: keberhasilan dalam membangun solidaritas kelas dan redistribusi sosial di satu sisi, dan kegagalan dalam menghadirkan sistem politik yang benar-benar bebas dan manusiawi di sisi lain.

Sebagai sistem pemikiran, komunisme telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman kita tentang struktur kelas, relasi produksi, kekuasaan negara, dan bentuk alienasi manusia dalam masyarakat modern. Kritik terhadap kapitalisme yang dilancarkan oleh Marx tetap relevan dalam menjelaskan akar struktural dari ketimpangan sosial, krisis ekonomi, dan eksploitasi global—sebuah relevansi yang terus diperkuat oleh krisis-krisis kontemporer seperti resesi global, perubahan iklim, dan ketimpangan digital¹.

Namun demikian, pengalaman historis penerapan komunisme di berbagai negara—seperti Uni Soviet, Tiongkok Maois, Kamboja, dan Korea Utara—memperlihatkan bahwa ketika komunisme diterjemahkan ke dalam bentuk negara satu partai dan ekonomi terpusat yang rigid, ia cenderung melahirkan otoritarianisme, birokratisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia, jauh dari cita-cita emansipatoris yang dibayangkan oleh Marx². Dalam hal ini, kritik terhadap komunisme bukan hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam tradisi Marxis itu sendiri, yang mendorong pembaruan, reinterpretasi, dan demokratisasi ide-ide komunisme³.

Di abad ke-21, komunisme mengalami reorientasi: dari ideologi negara menjadi medan kritik normatif dan laboratorium pemikiran alternatif. Wacana tentang ekososialisme, komunisme digital, dan demokrasi ekonomi menjadi bentuk-bentuk baru dari upaya melampaui batas-batas kapitalisme, tanpa mengulang kekeliruan komunisme klasik. Dalam bentuknya yang lebih terbuka dan reflektif, komunisme kini tampil sebagai seruan moral terhadap dehumanisasi dalam masyarakat modern, dan sebagai pengingat bahwa dunia yang lebih adil dan kolektif tetap mungkin diwujudkan⁴.

Dengan demikian, komunisme tidak dapat direduksi sebagai utopia yang gagal atau distopia yang menakutkan, melainkan harus dipahami sebagai tradisi intelektual yang dinamis, yang terus menginspirasi perjuangan untuk keadilan sosial, ekonomi, dan ekologis. Relevansinya hari ini terletak bukan pada dogmatisme ideologis, tetapi pada keberaniannya untuk membayangkan dunia yang berbeda, dan tekadnya untuk menantang tatanan yang menormalisasi ketimpangan dan penindasan.


Catatan Kaki

[1]                David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2010), 64–68.

[2]                Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes, Terror, Repression (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 5–10.

[3]                Douglas Kellner, Herbert Marcuse and the Crisis of Marxism (Berkeley: University of California Press, 1984), 133–138.

[4]                Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010), 263–270.


Daftar Pustaka

Bakunin, M. (1990). Statism and anarchy (M. S. Shatz, Trans.). Cambridge University Press.

Bloch, E. (1986). The principle of hope (Vol. 1, N. Plaice, S. Plaice, & P. Knight, Trans.). MIT Press.

Brown, A. (2009). The rise and fall of communism. Ecco Press.

Cohen, G. A. (2000). Karl Marx’s theory of history: A defence. Princeton University Press.

Courtois, S., Werth, N., Panné, J.-L., Paczkowski, A., Bartosek, K., & Margolin, J.-L. (1999). The black book of communism: Crimes, terror, repression (J. Murphy, Trans.). Harvard University Press.

Dikötter, F. (2010). Mao’s great famine: The history of China’s most devastating catastrophe, 1958–1962. Bloomsbury.

Dyer-Witheford, N. (2015). Cyber-proletariat: Global labour in the digital vortex. Pluto Press.

Eagleton, T. (2011). Why Marx was right. Yale University Press.

Engels, F. (1902). The origin of the family, private property and the state (E. Untermann, Trans.). Charles H. Kerr.

Engels, F. (1970). Socialism: Utopian and scientific. Progress Publishers.

Fitzpatrick, S. (2008). The Russian revolution (3rd ed.). Oxford University Press.

Gott, R. (2004). Cuba: A new history. Yale University Press.

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Eds. & Trans.). International Publishers.

Hardt, M., & Negri, A. (2009). Commonwealth. Harvard University Press.

Hardt, M., & Negri, A. (2017). Assembly. Oxford University Press.

Harvey, D. (2010). The enigma of capital and the crises of capitalism. Oxford University Press.

Hayek, F. A. (1944). The road to serfdom. University of Chicago Press.

Heinrich, M. (2012). An introduction to the three volumes of Karl Marx’s Capital (A. Locascio, Trans.). Monthly Review Press.

Hobsbawm, E. (1994). The age of extremes: The short twentieth century, 1914–1991. Abacus.

Hobsbawm, E. (2011). How to change the world: Reflections on Marx and Marxism. Yale University Press.

Kellner, D. (1984). Herbert Marcuse and the crisis of Marxism. University of California Press.

Kropotkin, P. (1972). The conquest of bread. New York University Press.

Lenin, V. I. (1929). What is to be done?. International Publishers.

Lenin, V. I. (1939). Imperialism: The highest stage of capitalism. International Publishers.

Lenin, V. I. (1992). The state and revolution (R. Service, Trans.). Penguin Books.

Löwy, M. (2015). Ecosocialism: A radical alternative to capitalist catastrophe. Haymarket Books.

Luxemburg, R. (1970). Reform or revolution (Integer, Trans.). Pathfinder Press.

Luxemburg, R. (1971). The mass strike, the political party, and the trade unions (P. Lavin, Trans.). Harper & Row.

MacFarquhar, R., & Schoenhals, M. (2006). Mao’s last revolution. Harvard University Press.

Marcuse, H. (1964). One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.

Marx, K. (1964). Economic and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International Publishers.

Marx, K. (1970). A contribution to the critique of political economy (S. W. Ryazanskaya, Trans.). Progress Publishers.

Marx, K. (1990). Capital: A critique of political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin Books.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Trans.). International Publishers.

Marx, K., & Engels, F. (2002). The communist manifesto (G. Stedman Jones, Ed.). Penguin Books.

Marx, K., & Engels, F. (1989). Critique of the Gotha programme. In Collected works (Vol. 24). International Publishers.

Mason, P. (2015). Postcapitalism: A guide to our future. Penguin Books.

McDermott, K., & Agnew, J. (1996). The Comintern: A history of international communism from Lenin to Stalin. Macmillan.

McLellan, D. (1971). The thought of Karl Marx: An introduction. Oxford University Press.

Meisner, M. (1999). Mao’s China and after: A history of the People’s Republic (3rd ed.). Free Press.

Malm, A. (2016). Fossil capital: The rise of steam power and the roots of global warming. Verso.

Oxfam International. (2023). Survival of the richest: How we must tax the super-rich now to fight inequality (Oxfam Briefing Paper). https://www.oxfam.org/en/research/survival-richest

Piketty, T. (2020). Capital and ideology (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.

Service, R. (2005). Stalin: A biography. Harvard University Press.

Srnicek, N., & Williams, A. (2015). Inventing the future: Postcapitalism and a world without work. Verso.

Žižek, S. (2010). Living in the end times. Verso.

Žižek, S. (2019). The relevance of the communist manifesto. Polity Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar