Komunisme
Asal-Usul, Prinsip-Prinsip Inti, dan Tantangan
Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas komunisme sebagai salah satu
aliran utama dalam filsafat sosial-politik dengan menelusuri asal-usul
historis, prinsip-prinsip ideologis, tokoh-tokoh utama, serta implementasinya
dalam praktik politik global. Komunisme tidak hanya merupakan reaksi teoretis
terhadap ketimpangan sosial akibat kapitalisme, tetapi juga sebuah proyek emansipatoris
yang berupaya menghapuskan kelas sosial dan mewujudkan masyarakat egaliter
tanpa kepemilikan pribadi atas alat produksi. Penelitian ini menelaah
kontribusi Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin, dan tokoh-tokoh lainnya, serta
mengevaluasi penerapan komunisme di Uni Soviet, Tiongkok, Kuba, dan
negara-negara lain. Kritik-kritik terhadap komunisme, baik dari liberalisme,
anarkisme, maupun Marxisme kritis, juga dianalisis untuk memahami batasan
ideologis dan kegagalan historisnya. Di tengah krisis kapitalisme global,
perubahan iklim, dan ketimpangan digital, artikel ini menegaskan bahwa
komunisme tetap relevan sebagai kerangka kritik dan horizon etis dalam
diskursus kontemporer. Dengan pendekatan historis-filosofis dan tinjauan
empiris, artikel ini menunjukkan bahwa komunisme bukan sekadar warisan ideologi
abad ke-20, tetapi juga sumber inspirasi normatif bagi pencarian keadilan
sosial di abad ke-21.
Kata Kunci: Komunisme; Marxisme; Filsafat Sosial-Politik;
Ketimpangan Ekonomi; Revolusi; Negara Komunis; Kritik Kapitalisme;
Ekososialisme; Relevansi Abad ke-21.
PEMBAHASAN
Komunisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Komunisme merupakan
salah satu aliran paling berpengaruh dalam filsafat sosial-politik modern, yang
tidak hanya menantang struktur kapitalisme global tetapi juga menyodorkan suatu
visi radikal tentang dunia tanpa kelas sosial dan tanpa kepemilikan pribadi
atas alat-alat produksi. Gagasan dasar komunisme secara filosofis dan historis
bertumpu pada kritik terhadap eksploitasi ekonomi dan ketimpangan sosial yang
dihasilkan oleh sistem kapitalis, serta keyakinan terhadap kemungkinan
pembentukan masyarakat egaliter di mana produksi dan distribusi kekayaan
dilakukan berdasarkan prinsip kebutuhan, bukan keuntungan pribadi¹.
Pemikiran komunisme
modern tidak dapat dilepaskan dari tokoh-tokoh utama seperti Karl Marx dan
Friedrich Engels, yang dalam The Communist Manifesto (1848)
mengartikulasikan ide bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan
kelas². Komunisme dipandang sebagai fase terakhir dan tertinggi dalam
perkembangan sejarah umat manusia, setelah kapitalisme mencapai titik puncak
kontradiksinya dan dihancurkan melalui revolusi proletariat³. Dalam kerangka
inilah, komunisme tidak hanya dipahami sebagai doktrin ekonomi-politik, tetapi
juga sebagai sebuah filsafat sejarah yang menawarkan tafsir menyeluruh tentang
dinamika masyarakat dan arah perkembangan peradaban manusia⁴.
Sebagai aliran
filsafat sosial-politik, komunisme juga memainkan peran penting dalam membentuk
peta geopolitik global abad ke-20. Revolusi Rusia tahun 1917, berdirinya Uni
Soviet, revolusi Tiongkok tahun 1949, serta penyebaran ideologi komunisme ke
berbagai belahan dunia seperti Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Amerika Latin,
merupakan bukti bagaimana gagasan-gagasan yang berasal dari teks-teks filosofis
dapat membentuk realitas politik secara luas⁵. Namun, di balik berbagai
keberhasilan politiknya, komunisme juga menuai kritik tajam, terutama terkait
dengan bentuk otoritarianisme negara, pelanggaran hak asasi manusia, dan
kegagalan sistem ekonomi terpusat di berbagai negara penerapannya⁶.
Di abad ke-21,
komunisme tidak lagi menjadi kekuatan hegemonik sebagaimana di era Perang
Dingin. Namun demikian, munculnya ketimpangan ekonomi global yang semakin
parah, krisis ekologis, serta kegagalan sistem pasar bebas dalam memenuhi
keadilan sosial, telah memicu minat baru terhadap pemikiran Marxis dan
alternatif-alternatif sosialisme radikal⁷. Oleh karena itu, kajian mendalam
terhadap komunisme sebagai tradisi intelektual dan gerakan politik tetap
relevan dalam wacana filsafat sosial-politik kontemporer.
Artikel ini
bertujuan untuk membahas komunisme secara komprehensif, dimulai dari asal-usul
historis dan filosofisnya, prinsip-prinsip dasar ideologinya, tokoh-tokoh penting
yang membentuk pemikirannya, hingga aplikasinya dalam praktik politik serta
kritik-kritik yang menyertainya. Kajian ini juga akan menyoroti relevansi
komunisme dalam menjawab tantangan sosial, ekonomi, dan ekologis pada era
globalisasi saat ini.
Catatan Kaki
[1]
David McLellan, Marxism after Marx (Basingstoke: Macmillan,
1980), 4–6.
[2]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219–221.
[3]
G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence (Princeton:
Princeton University Press, 2000), 134–138.
[4]
Terrell Carver, Marx (Cambridge: Polity Press, 2003), 45–48.
[5]
Eric Hobsbawm, The Age of Extremes: The Short Twentieth Century,
1914–1991 (London: Abacus, 1994), 62–77.
[6]
Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes,
Terror, Repression (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 2–25.
[7]
Michael Heinrich, An Introduction to the Three Volumes of Karl
Marx’s Capital, trans. Alexander Locascio (New York: Monthly Review Press,
2012), 10–15.
2.
Asal-Usul Historis Komunisme
Asal-usul komunisme
sebagai suatu gagasan sosial-politik tidak muncul secara tiba-tiba dalam
sejarah modern, melainkan merupakan hasil evolusi panjang dari berbagai ide dan
praktik masyarakat yang menolak kepemilikan pribadi dan hierarki kelas. Dalam
bentuknya yang paling awal, prinsip-prinsip komunalisme sudah tampak dalam
masyarakat-masyarakat tradisional dan komunitas agraris yang hidup secara
kolektif, berbagi sumber daya secara egaliter, dan tidak mengenal sistem kepemilikan
individu atas tanah atau alat produksi¹. Bentuk komunalisme primitif ini
memberikan fondasi normatif awal bagi gagasan-gagasan egalitarian yang kemudian
dikembangkan dalam filsafat politik modern.
Jejak awal komunisme
juga terlihat dalam pemikiran filsafat Yunani Kuno, khususnya dalam gagasan
Plato tentang kepemilikan bersama dalam Republic. Dalam dialog tersebut,
Plato membayangkan suatu komunitas penjaga (guardian class) yang tidak memiliki
properti pribadi demi menghindari konflik kepentingan dan menjaga kesatuan
negara². Meskipun tidak identik dengan komunisme modern, gagasan ini
menunjukkan tradisi filosofis yang mempertanyakan kepemilikan pribadi sebagai
sumber ketidakseimbangan sosial.
Komunisme sebagai
aliran pemikiran yang lebih terstruktur baru terbentuk pada era modern, sebagai
respons terhadap transformasi sosial dan ekonomi yang dipicu oleh Revolusi
Industri. Revolusi ini menciptakan kelas pekerja (proletariat) dalam skala
besar yang hidup dalam kondisi eksploitasi berat, sementara kaum kapitalis
(borjuis) menguasai alat produksi dan memperoleh keuntungan berlipat. Dalam
konteks inilah, muncul pemikir-pemikir sosialis awal seperti Charles Fourier,
Henri de Saint-Simon, dan Robert Owen, yang dikenal sebagai utopian
socialists karena menyodorkan skema masyarakat ideal tanpa
memberikan kerangka teoritis historis yang sistematis³.
Terobosan penting
dalam sejarah komunisme terjadi dengan munculnya teori Marxis yang dikembangkan
oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Melalui pendekatan materialisme historis,
Marx mengajukan bahwa perubahan sosial bukanlah hasil gagasan moral semata,
melainkan merupakan hasil kontradiksi dalam mode produksi yang mendorong
perubahan struktur kelas dan institusi sosial⁴. Dalam karya The
Communist Manifesto (1848), Marx dan Engels menyatakan bahwa
sejarah seluruh masyarakat sampai saat ini adalah sejarah perjuangan kelas
antara kaum penindas dan tertindas⁵. Dalam kerangka inilah, komunisme
diposisikan bukan hanya sebagai cita-cita moral atau utopia, tetapi sebagai
tahapan historis yang tak terelakkan dalam perkembangan masyarakat manusia.
Revolusi Rusia pada
tahun 1917 menjadi titik kulminasi dari perwujudan praktis ide-ide Marxis. Di
bawah kepemimpinan Vladimir Lenin dan Partai Bolshevik, teori komunisme
diterjemahkan ke dalam aksi revolusioner yang menggulingkan rezim Tsar dan
mendirikan negara sosialis pertama di dunia—Uni Soviet⁶. Peristiwa ini bukan
hanya memengaruhi geopolitik abad ke-20, tetapi juga meneguhkan posisi
komunisme sebagai kekuatan ideologis global yang menantang hegemoni kapitalisme
Barat. Setelah Revolusi Rusia, berbagai gerakan komunis tumbuh di berbagai
belahan dunia, dari Asia (terutama Tiongkok dan Vietnam) hingga Amerika Latin
dan Afrika, menunjukkan bahwa komunisme telah berkembang dari ide filosofis menjadi
gerakan politik transnasional⁷.
Meskipun mengalami
banyak perubahan dalam aplikasinya, asal-usul komunisme tetap berakar pada
kritik terhadap ketimpangan sosial-ekonomi dan keyakinan bahwa masyarakat yang
lebih adil hanya bisa dicapai melalui penghapusan kelas-kelas sosial dan
kepemilikan pribadi atas alat produksi. Dari warisan komunalisme awal hingga
Marxisme revolusioner, sejarah komunisme mencerminkan dinamika pergulatan
intelektual dan politik dalam upaya menciptakan dunia yang lebih setara.
Catatan Kaki
[1]
Eric Hobsbawm, Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of Social
Movement in the 19th and 20th Centuries (Manchester: Manchester University
Press, 1959), 5–7.
[2]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube and rev. C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 415–417.
[3]
Hal Draper, Socialism from Below (Atlantic Highlands, NJ:
Humanities Press, 1966), 18–21.
[4]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. S.W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1970), 20–24.
[5]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219.
[6]
Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 34–45.
[7]
Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of
International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan, 1996),
56–59.
3.
Dasar-Dasar Filsafat Komunisme
Filsafat komunisme
bertumpu pada seperangkat konsep teoritis yang menyatukan analisis historis,
kritik sosial, dan proyek pembebasan manusia dari penindasan kelas. Inti dari
filsafat ini adalah pemahaman tentang hubungan antara struktur ekonomi dan
bentuk-bentuk kesadaran sosial, serta keyakinan bahwa perubahan revolusioner
terhadap sistem produksi akan melahirkan masyarakat tanpa kelas.
3.1.
Materialisme Historis
Salah satu pilar
utama dalam filsafat komunisme adalah materialisme historis, sebuah
pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk
menjelaskan perkembangan masyarakat manusia berdasarkan dinamika
ekonomi-material, bukan pada gagasan moral, agama, atau filsafat abstrak
semata. Dalam Preface to A Contribution to the Critique of
Political Economy, Marx menulis bahwa “bukan kesadaran manusia
yang menentukan keberadaannya, melainkan justru keberadaan sosialnya yang
menentukan kesadarannya”¹. Dengan kata lain, struktur ekonomi (basis) dari
suatu masyarakat membentuk institusi politik, hukum, dan budaya (suprastruktur)
yang mendominasinya.
Materialisme
historis melihat sejarah sebagai serangkaian tahapan perkembangan mode
produksi: dari komunalisme primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme,
sosialisme, hingga komunisme. Dalam setiap tahap, kontradiksi internal antara
kelas yang menguasai alat produksi dan kelas yang dieksploitasi akan
menghasilkan konflik yang pada akhirnya mendorong transformasi sosial
revolusioner².
3.2.
Dialektika Materialis
Komunisme juga
didasarkan pada prinsip dialektika materialis, yang
mengadopsi metode dialektika Hegelian, namun “dibalikkan” oleh Marx agar
berpijak pada realitas material. Bagi Hegel, perkembangan ide adalah motor
sejarah; bagi Marx, justru kontradiksi dalam relasi produksi dan konflik kelas
menjadi penggerak sejarah³. Dialektika ini mengajarkan bahwa perubahan sosial
bersifat kontradiktif, berkembang melalui perjuangan antara kekuatan-kekuatan
yang saling bertentangan, dan bukan melalui harmoni gradual. Oleh karena itu,
revolusi dipandang sebagai bentuk perubahan historis yang sah dan niscaya.
3.3.
Teori Nilai Kerja dan Kritik terhadap
Kapitalisme
Dalam karya utamanya
Das
Kapital, Marx menjelaskan teori nilai kerja, yaitu bahwa
nilai suatu komoditas ditentukan oleh jumlah “waktu kerja sosial rata-rata”
yang dibutuhkan untuk memproduksinya⁴. Dari teori ini muncul konsep surplus
value (nilai lebih), yaitu selisih antara nilai yang dihasilkan
pekerja dan upah yang mereka terima, yang menjadi dasar dari eksploitasi
kapitalis. Kritik terhadap kapitalisme dalam filsafat komunisme sangat tajam:
sistem ini menciptakan alienasi, penindasan, dan pemiskinan struktural, yang
hanya dapat dihapuskan melalui penghapusan kepemilikan pribadi atas alat
produksi⁵.
3.4.
Konsep Alienasi (Entfremdung)
Konsep alienasi
(Entfremdung) atau keterasingan adalah landasan penting lainnya dalam filsafat
komunisme. Dalam naskah awalnya, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
Marx mengungkapkan bahwa dalam masyarakat kapitalis, pekerja menjadi terasing
dari hasil kerjanya, dari proses kerja itu sendiri, dari sesama manusia, dan
dari potensi kemanusiaannya⁶. Mereka tidak memiliki kontrol atas produk yang
mereka hasilkan, karena produk itu menjadi komoditas milik kapitalis. Alienasi
ini dianggap sebagai salah satu bentuk penindasan yang paling fundamental dalam
sistem kapitalisme.
3.5.
Emansipasi Manusia dan Visi Masyarakat Tanpa
Kelas
Tujuan akhir dari
filsafat komunisme adalah emansipasi manusia, yaitu
pembebasan dari segala bentuk dominasi kelas, eksploitasi, dan keterasingan.
Dalam masyarakat komunis yang ideal, tidak ada lagi kepemilikan pribadi atas
alat produksi, kelas-kelas sosial, atau negara dalam bentuk represifnya.
Manusia bebas untuk mengembangkan potensi dirinya sepenuhnya dalam kerangka
kerja kolektif dan solidaritas sosial. Seperti yang ditulis Marx dalam German
Ideology, dalam masyarakat seperti itu, “perburuan di pagi hari,
memancing di sore hari, beternak di malam hari, dan mengkritik setelah makan
malam” menjadi gambaran simbolik kebebasan manusia dalam berbagai dimensi
hidupnya⁷.
Catatan Kaki
[1]
Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy,
trans. S. W. Ryazanskaya (Moscow: Progress Publishers, 1970), 20.
[2]
G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence
(Princeton: Princeton University Press, 2000), 52–56.
[3]
David McLellan, The Thought of Karl Marx: An Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 1971), 75–78.
[4]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 129–131.
[5]
Michael Heinrich, An Introduction to the Three Volumes of Karl
Marx’s Capital, trans. Alexander Locascio (New York: Monthly Review Press,
2012), 45–47.
[6]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 70–81.
[7]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C.
J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 53.
4.
Tokoh-Tokoh Kunci dan Karya Utama
Perkembangan
komunisme sebagai aliran filsafat sosial-politik tidak dapat dipisahkan dari
pemikiran tokoh-tokoh kunci yang membentuk dasar teoritis, strategi politik,
dan arah historis gerakan komunis global. Di antara mereka, Karl Marx dan
Friedrich Engels menempati posisi sentral, disusul oleh tokoh-tokoh seperti
Vladimir Lenin, Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci, dan Mao Zedong yang turut
membentuk varian-varian praksis dari ideologi komunisme dalam konteks yang berbeda-beda.
4.1.
Karl Marx (1818–1883)
Sebagai pendiri
utama filsafat komunisme ilmiah, Karl Marx mengembangkan teori materialisme
historis dan kritik terhadap kapitalisme yang tertuang dalam berbagai karya
fundamental. Karya monumentalnya, Capital: A Critique of Political Economy
(Das
Kapital, 1867), memberikan analisis sistematis terhadap mekanisme
eksploitasi dalam sistem kapitalis melalui konsep nilai lebih, fetisisme
komoditas, dan akumulasi kapital¹. Marx menyatakan bahwa kapitalisme membawa
benih kehancurannya sendiri melalui kontradiksi internal antara kekuatan
produktif dan hubungan produksi².
Karya awal Marx, Economic
and Philosophic Manuscripts of 1844, memperkenalkan konsep alienasi
yang menjadi dasar etis dari kritik terhadap kerja upahan dalam sistem
kapitalis³. Bersama Engels, Marx juga menulis The German Ideology (1846), di mana
mereka menolak idealisme Hegelian dan mengembangkan konsep ideologi sebagai
refleksi dari kepentingan kelas penguasa⁴.
4.2.
Friedrich Engels (1820–1895)
Sebagai kolaborator
utama Marx, Engels memiliki kontribusi besar dalam membumikan teori-teori Marx
ke dalam bentuk yang lebih sistematis dan dapat diakses. Karya terkenalnya, The
Origin of the Family, Private Property and the State (1884),
menghubungkan perkembangan institusi sosial dengan dinamika ekonomi dan
menunjukkan bagaimana keluarga patriarkal dan negara berkembang seiring dengan
kepemilikan pribadi⁵. Engels juga menulis Socialism: Utopian and Scientific
(1880), yang membedakan sosialisme ilmiah (komunisme) dari sosialisme utopis
sebelumnya⁶.
4.3.
Vladimir Lenin (1870–1924)
Lenin menjadi tokoh
penting dalam penerapan teori Marx dalam praktik revolusioner. Dalam What Is
to Be Done? (1902), Lenin menegaskan perlunya partai revolusioner
yang terorganisasi secara disiplin untuk memimpin kelas pekerja menuju
revolusi⁷. Ia juga mengembangkan teori imperialisme sebagai tahap akhir
kapitalisme dalam Imperialism, the Highest Stage of Capitalism
(1917), di mana ia menjelaskan bagaimana kapitalisme berkembang menjadi sistem
global yang menciptakan ketimpangan antara negara industri dan koloni⁸. Di
bawah kepemimpinannya, Revolusi Oktober 1917 berhasil menggulingkan rezim Tsar
dan mendirikan negara sosialis pertama di dunia.
4.4.
Rosa Luxemburg (1871–1919)
Sebagai teoretikus
dan aktivis revolusioner Jerman, Luxemburg mengkritik tendensi otoritarian
dalam Marxisme Lenin. Dalam Reform or Revolution (1899), ia
menegaskan bahwa reformasi dalam sistem kapitalis tidak cukup untuk mencapai
pembebasan sejati, dan bahwa revolusi proletar tetap merupakan jalan utama
menuju sosialisme⁹. Dalam The Mass Strike (1906), ia membahas
pentingnya spontanitas massa dalam perjuangan kelas dan menolak model partai
yang terlalu terpusat¹⁰.
4.5.
Antonio Gramsci (1891–1937)
Gramsci merupakan
tokoh penting dalam Marxisme Barat yang memperkenalkan konsep hegemoni
budaya. Dalam Prison Notebooks, ia menguraikan
bahwa dominasi kelas tidak hanya bersifat ekonomis atau koersif, tetapi juga
ideologis, melalui pengaruh budaya, pendidikan, dan media massa¹¹. Gramsci
menekankan pentingnya perjuangan di ranah ideologi untuk merebut kesadaran
masyarakat dan membangun blok historis yang mendukung
transformasi revolusioner.
4.6.
Mao Zedong (1893–1976)
Mao mengembangkan
varian Marxisme-Leninisme yang berakar pada realitas pedesaan Tiongkok. Dalam On
Contradiction (1937), ia menegaskan bahwa kontradiksi internal
dalam segala hal adalah motor perubahan dan bahwa perjuangan kelas harus
disesuaikan dengan kondisi konkret¹². Ia mempopulerkan strategi revolusi dari
desa ke kota (bukannya sebaliknya seperti dalam teori Lenin) dan menerapkan
prinsip mass
line, yaitu hubungan erat antara pemimpin revolusioner dan massa
rakyat. Pemikiran Mao menjadi dasar ideologi resmi Tiongkok hingga kini.
Catatan Kaki
[1]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 125–131.
[2]
G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence
(Princeton: Princeton University Press, 2000), 109–114.
[3]
Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (New York: International Publishers, 1964), 70–75.
[4]
Karl Marx and Friedrich Engels, The German Ideology, trans. C.
J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 59–67.
[5]
Friedrich Engels, The Origin of the Family, Private Property and
the State, trans. Ernest Untermann (Chicago: Charles H. Kerr, 1902), 3–5.
[6]
Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific (London:
Progress Publishers, 1970), 23–34.
[7]
Vladimir Lenin, What Is to Be Done? (New York: International
Publishers, 1929), 38–44.
[8]
Vladimir Lenin, Imperialism, the Highest Stage of Capitalism
(New York: International Publishers, 1939), 70–78.
[9]
Rosa Luxemburg, Reform or Revolution, trans. Integer (New
York: Pathfinder Press, 1970), 20–22.
[10]
Rosa Luxemburg, The Mass Strike, the Political Party, and the Trade
Unions, trans. Patrick Lavin (New York: Harper & Row, 1971), 12–15.
[11]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 245–246.
[12]
Mao Zedong, On Contradiction, in Selected Works of Mao
Tse-Tung, Vol. 1 (Beijing: Foreign Languages Press, 1965), 311–312.
5.
Prinsip-Prinsip Dasar Ideologi Komunisme
Sebagai suatu sistem
filsafat dan ideologi politik yang menyeluruh, komunisme menawarkan seperangkat
prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam menganalisis realitas sosial, menyusun
strategi perubahan, dan membayangkan masa depan masyarakat. Prinsip-prinsip ini
tidak sekadar bersifat teoritis, tetapi juga berfungsi sebagai fondasi normatif
bagi gerakan revolusioner yang bertujuan menggulingkan tatanan kapitalis dan
membentuk masyarakat tanpa kelas. Berikut adalah prinsip-prinsip utama yang
menjadi inti dari ideologi komunisme.
5.1.
Teori Kelas dan Perjuangan Kelas
Komunisme meyakini
bahwa sejarah umat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas—konflik antara
kelompok-kelompok sosial yang memiliki kepentingan ekonomi yang saling
bertentangan. Dalam The Communist Manifesto, Marx dan
Engels menyatakan bahwa “sejarah seluruh masyarakat hingga sekarang adalah
sejarah perjuangan kelas”¹. Dalam masyarakat kapitalis, konflik utama terjadi
antara kaum borjuis (pemilik alat produksi) dan kaum proletar (kelas pekerja),
yang tereksploitasi dalam sistem kerja upahan.
Perjuangan kelas ini
dianggap sebagai motor utama perubahan sosial. Revolusi sosial—sebagai bentuk
tertinggi dari perjuangan kelas—dilihat sebagai satu-satunya jalan menuju
transformasi masyarakat yang mendalam, dari sistem kapitalis menuju sistem
sosialis dan akhirnya komunis².
5.2.
Penghapusan Kepemilikan Pribadi atas Alat
Produksi
Salah satu prinsip
paling fundamental dari ideologi komunisme adalah abolisi
kepemilikan pribadi atas alat produksi. Marx membedakan antara
properti pribadi untuk konsumsi (seperti pakaian atau rumah tinggal) dan alat
produksi (seperti tanah, pabrik, atau mesin). Hanya kepemilikan pribadi atas
alat produksi yang menjadi objek kritik komunisme, karena hal ini memungkinkan
eksploitasi terhadap tenaga kerja orang lain³.
Komunisme
mengusulkan pengelolaan alat produksi secara kolektif oleh seluruh anggota
masyarakat. Tujuannya adalah untuk menghapus hubungan eksploitatif yang muncul
ketika sebagian kecil masyarakat menguasai sumber-sumber ekonomi, sementara
mayoritas hanya menjual tenaga kerjanya⁴.
5.3.
Internasionalisme Proletar
Komunisme bukan
hanya bersifat nasional, tetapi berwatak internasionalis. Marx dan
Engels menutup The Communist Manifesto dengan
seruan terkenal: “Kaum buruh sedunia, bersatulah!”⁵. Internasionalisme
proletar mencerminkan keyakinan bahwa kaum pekerja di seluruh dunia memiliki
kepentingan yang sama dan harus bersatu melawan sistem kapitalisme global yang
mengeksploitasi mereka secara sistemik.
Prinsip ini
tercermin dalam pendirian organisasi internasional seperti Internasional
Pertama (First International, 1864) dan Internasional Ketiga (Comintern, 1919),
yang bertujuan mengoordinasikan perjuangan kaum komunis di berbagai negara⁶.
Internasionalisme juga menegaskan solidaritas lintas batas, menolak
nasionalisme sempit yang dapat melemahkan gerakan revolusioner global.
5.4.
Negara sebagai Alat Dominasi Kelas
Komunisme menganggap
bahwa negara dalam masyarakat kelas adalah instrumen dominasi kelas yang berkuasa.
Negara bukanlah entitas netral, melainkan alat yang digunakan oleh kelas
borjuis untuk mempertahankan kepemilikannya dan menekan kelas pekerja⁷. Oleh
karena itu, revolusi proletariat harus disertai dengan pendirian diktatur
proletariat, yaitu bentuk kekuasaan transisional di mana kelas
pekerja menggunakan negara untuk menghancurkan sisa-sisa kapitalisme dan membangun
tatanan baru.
Namun, dalam visi
akhir komunisme, negara sebagai alat kekuasaan koersif akan mengalami
penghilangan secara bertahap (withering away of the state),
seiring lenyapnya kelas-kelas sosial dan konflik yang menyertainya⁸.
5.5.
Produksi Berdasarkan Kebutuhan, Bukan
Keuntungan
Salah satu ciri
utama masyarakat komunis adalah bahwa produksi tidak lagi diarahkan untuk
menciptakan keuntungan pribadi, melainkan
untuk memenuhi kebutuhan manusia secara kolektif.
Dalam masyarakat kapitalis, produksi ditujukan untuk pasar, dan komoditas hanya
diproduksi jika menguntungkan secara ekonomi. Sebaliknya, dalam masyarakat
komunis, produksi dirancang dan diorganisasi secara rasional untuk memastikan
kesejahteraan sosial yang merata⁹.
Dengan sistem ini,
pemborosan akibat kompetisi kapitalis, overproduksi, dan krisis ekonomi berkala
dapat dihindari. Distribusi barang dan jasa akan dilakukan berdasarkan prinsip
“dari masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut
kebutuhannya”¹⁰.
Catatan Kaki
[1]
Karl Marx and Friedrich Engels, The Communist Manifesto, ed.
Gareth Stedman Jones (London: Penguin Books, 2002), 219.
[2]
G. A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defence
(Princeton: Princeton University Press, 2000), 134–138.
[3]
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1,
trans. Ben Fowkes (London: Penguin Books, 1990), 932–934.
[4]
Friedrich Engels, Principles of Communism, in Collected
Works of Marx and Engels, Vol. 6 (New York: International Publishers,
1976), 341.
[5]
Marx and Engels, The Communist Manifesto, 244.
[6]
Kevin McDermott and Jeremy Agnew, The Comintern: A History of
International Communism from Lenin to Stalin (London: Macmillan, 1996),
23–28.
[7]
Vladimir Lenin, The State and Revolution, trans. Robert
Service (London: Penguin Books, 1992), 26–31.
[8]
Ibid., 78–80.
[9]
Michael Heinrich, An Introduction to the Three Volumes of Karl
Marx’s Capital, trans. Alexander Locascio (New York: Monthly Review Press,
2012), 58–60.
[10]
Marx and Engels, Critique of the Gotha Programme, in Collected
Works of Marx and Engels, Vol. 24 (New York: International Publishers,
1989), 87.
6.
Perwujudan Komunisme dalam Praktik Politik
Meskipun komunisme
lahir sebagai sebuah proyek teoritis dan normatif dalam filsafat
sosial-politik, ia juga telah mengalami penerapan dalam bentuk praktik politik
yang konkret, terutama pada abad ke-20. Implementasi ide-ide komunis dalam
berbagai negara membawa konsekuensi yang luas, mulai dari transformasi ekonomi
dan sosial secara radikal hingga pembentukan sistem politik otoriter. Perwujudan
komunisme dalam praktik politik tidak bersifat tunggal atau seragam, melainkan
menunjukkan keragaman pendekatan dan hasil yang dipengaruhi oleh konteks
historis, geografis, dan budaya masing-masing negara.
6.1.
Revolusi Rusia dan Uni Soviet
Penerapan komunisme
secara nyata pertama kali terjadi dalam Revolusi Rusia 1917, yang dipimpin oleh
Partai Bolshevik di bawah pimpinan Vladimir Lenin. Revolusi ini berhasil
menggulingkan rezim Tsar dan membentuk negara sosialis pertama di dunia, yaitu
Uni Soviet. Dalam fase awalnya, pemerintahan Soviet menerapkan kebijakan War
Communism, termasuk nasionalisasi industri, penghapusan pasar
bebas, dan kontrol negara atas distribusi pangan¹.
Setelah perang
saudara berakhir, kebijakan ini digantikan oleh New Economic Policy (NEP), yang
memperkenankan unsur pasar dalam batas terbatas sebagai strategi taktis untuk
membangun kembali ekonomi yang hancur². Namun, setelah kematian Lenin,
kekuasaan diambil alih oleh Joseph Stalin, yang menerapkan kebijakan
industrialisasi besar-besaran dan kolektivisasi pertanian secara paksa. Rezim
Stalin juga dikenal dengan teror politik yang brutal dan penindasan terhadap
oposisi, termasuk sesama komunis³. Meskipun demikian, Uni Soviet berhasil
menjadi kekuatan industri dan militer besar hingga menjadi kutub kekuatan
global dalam Perang Dingin.
6.2.
Revolusi Tiongkok dan Maoisme
Model lain dari
penerapan komunisme muncul dalam Revolusi Tiongkok tahun 1949, ketika Partai
Komunis Tiongkok (PKT) yang dipimpin oleh Mao Zedong mengambil alih kekuasaan
setelah perang saudara panjang melawan Nasionalis Kuomintang. Maoisme sebagai
varian komunisme menekankan peran petani dalam revolusi, berbeda dengan
Marxisme klasik yang lebih menekankan kaum proletar industri⁴.
Di bawah Mao,
berbagai eksperimen ideologis dilakukan, termasuk The Great Leap Forward (1958–1962)
yang bertujuan mempercepat industrialisasi melalui kolektivisasi radikal, namun
justru menyebabkan kelaparan massal dan kematian jutaan jiwa⁵. Revolusi
Kebudayaan (1966–1976) yang dilancarkan Mao untuk membersihkan “unsur
borjuis” dalam PKT dan masyarakat, juga menimbulkan kekacauan sosial,
penghancuran warisan budaya, dan penganiayaan intelektual⁶.
6.3.
Negara-Negara Komunis Lainnya
Komunisme juga
diterapkan di sejumlah negara lain, seperti Kuba di bawah Fidel Castro, yang
melakukan nasionalisasi industri dan menjalankan sistem pelayanan publik yang
komprehensif, terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan⁷. Di Vietnam,
pemerintahan komunis dipimpin oleh Ho Chi Minh dan dilanjutkan oleh Partai
Komunis Vietnam setelah kemenangan atas Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.
Sementara itu, di
Eropa Timur, sistem komunisme diadopsi secara paksa setelah Perang Dunia II
oleh negara-negara yang masuk ke dalam pengaruh Soviet, seperti Polandia,
Hungaria, Rumania, dan Jerman Timur. Sistem ini ditandai oleh ekonomi terpusat,
kepemimpinan satu partai, dan pengawasan ketat terhadap masyarakat sipil, yang
memicu ketidakpuasan luas hingga keruntuhan komunisme di kawasan tersebut pada
akhir 1980-an⁸.
6.4.
Perbandingan antara Teori dan Praktik
Salah satu kritik
utama terhadap penerapan komunisme dalam praktik politik adalah terjadinya
kesenjangan antara ideal-ideal yang dikemukakan dalam teori Marxis dan realitas
politik yang terjadi di lapangan. Banyak pemerintahan komunis yang mengklaim
mewakili kepentingan rakyat justru berkembang menjadi negara otoriter dengan
penghapusan hak-hak sipil, pembatasan kebebasan berpendapat, dan pengendalian
ketat terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat⁹.
Namun demikian,
sejumlah aspek positif dari praktik komunisme juga diakui oleh para pengamat,
termasuk pencapaian dalam bidang pemerataan pendidikan, perumahan, dan
pelayanan kesehatan di beberapa negara. Dengan demikian, penerapan komunisme
dalam politik bersifat ambivalen—di satu sisi menjadi simbol perlawanan
terhadap imperialisme dan kapitalisme global, namun di sisi lain rentan
terhadap penyimpangan ideologis dan birokratisasi kekuasaan¹⁰.
Catatan Kaki
[1]
Sheila Fitzpatrick, The Russian Revolution (Oxford: Oxford
University Press, 2008), 42–44.
[2]
Stephen F. Cohen, Bukharin and the Bolshevik Revolution
(Oxford: Oxford University Press, 1980), 120–125.
[3]
Robert Service, Stalin: A Biography (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2005), 314–320.
[4]
Maurice Meisner, Mao’s China and After: A History of the People’s
Republic (New York: Free Press, 1999), 85–89.
[5]
Frank Dikötter, Mao's Great Famine: The History of China's Most
Devastating Catastrophe, 1958–1962 (London: Bloomsbury, 2010), 23–29.
[6]
Roderick MacFarquhar and Michael Schoenhals, Mao's Last Revolution
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 89–95.
[7]
Richard Gott, Cuba: A New History (New Haven: Yale University
Press, 2004), 142–146.
[8]
Archie Brown, The Rise and Fall of Communism (New York: Ecco
Press, 2009), 398–412.
[9]
Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes,
Terror, Repression (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 2–25.
[10]
Eric Hobsbawm, How to Change the World: Reflections on Marx and
Marxism (New Haven: Yale University Press, 2011), 341–345.
7.
Kritik terhadap Komunisme
Komunisme, sebagai
salah satu aliran besar dalam filsafat sosial-politik modern, telah menjadi
subjek kritik luas dari berbagai perspektif, baik dari luar maupun dari dalam
tradisi pemikiran kiri itu sendiri. Kritik-kritik tersebut tidak hanya bersifat
teoretis, melainkan juga mencerminkan pengalaman historis atas penerapan
komunisme dalam praktik politik. Kritik terhadap komunisme dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama: liberal, anarkis,
internal-Marxis, dan berbasis hak asasi manusia.
7.1.
Kritik dari Kaum Liberal: Kebebasan dan
Individualitas
Dari sudut pandang
liberalisme, komunisme dianggap mengabaikan nilai-nilai kebebasan individu dan
hak kepemilikan pribadi, yang merupakan fondasi dari masyarakat demokratis.
Kritikus liberal seperti Friedrich Hayek menegaskan bahwa sistem ekonomi
terpusat yang diusulkan oleh komunisme akan menuntun pada totalitarianisme,
karena perencanaan ekonomi oleh negara secara inheren memerlukan kontrol
menyeluruh atas kehidupan masyarakat¹. Dalam The Road to Serfdom, Hayek
memperingatkan bahwa penghapusan mekanisme pasar dan pemusatan kekuasaan
ekonomi pada negara akan melumpuhkan kebebasan politik dan sipil².
Kritik liberal juga
menyoroti bahwa komunisme cenderung mereduksi individu menjadi sekadar unit
dalam struktur kolektif, sehingga menafikan keragaman aspirasi, preferensi, dan
pilihan pribadi. Dalam sistem komunis, kebebasan berpendapat, kebebasan pers,
dan kebebasan berkumpul sering kali ditekan atas nama persatuan revolusioner
atau stabilitas politik.
7.2.
Kritik dari Anarkisme dan Libertarianisme Kiri
Dari sisi kiri
non-Marxis, terutama tradisi anarkisme, kritik utama
terhadap komunisme terletak pada peran negara. Tokoh seperti Mikhail Bakunin
mengecam konsep diktatur proletariat yang diusulkan
oleh Marx sebagai bentuk dominasi baru yang berbahaya. Bagi Bakunin, setiap
bentuk negara, termasuk negara proletar, akan dengan sendirinya berkembang
menjadi alat penindasan baru yang mengkhianati semangat kebebasan sejati³.
Anarkis menolak
gagasan transisionalisme dalam komunisme yang menyarankan perlunya negara
revolusioner sementara, dan justru menyerukan pembongkaran total atas struktur
kekuasaan, termasuk negara, sejak awal revolusi⁴. Mereka memandang bahwa
pengorganisasian masyarakat secara desentralistik dan tanpa otoritas pusat
lebih menjamin keadilan sosial dan kebebasan individu.
7.3.
Kritik Internal dari Marxisme Kritis dan
Neo-Marxisme
Kritik internal
terhadap komunisme datang dari para pemikir Marxis kritis yang menilai
bahwa penerapan komunisme di banyak negara telah menyimpang dari ajaran Marx
yang asli. Tokoh-tokoh seperti Herbert Marcuse dan anggota Mazhab Frankfurt
menyoroti birokratisasi dan kekakuan
ideologis dalam negara-negara komunis, yang menggantikan
emansipasi manusia dengan kontrol teknokratik⁵. Dalam One-Dimensional
Man, Marcuse mengkritik baik kapitalisme maupun sosialisme otoriter
yang gagal membebaskan potensi kreatif manusia dan justru menciptakan
masyarakat yang pasif dan teralienasi⁶.
Begitu pula Antonio
Gramsci menggarisbawahi pentingnya hegemoni kultural dan perang
posisi dalam membangun kesadaran kelas, yang menurutnya diabaikan oleh strategi
revolusioner yang hanya menekankan pada kekuasaan negara⁷. Kritik semacam ini
bertujuan memperbarui Marxisme agar lebih relevan dan demokratis dalam konteks
masyarakat modern.
7.4.
Kritik Berdasarkan Hak Asasi Manusia dan
Praktik Historis
Kritik yang paling
luas muncul dari catatan historis pelanggaran HAM berat di bawah rezim-rezim
komunis. Dalam The Black Book of Communism, para
sejarawan mencatat bahwa rezim-rezim komunis telah menyebabkan kematian lebih
dari 94 juta orang melalui pembunuhan politik, kelaparan akibat kebijakan
ekonomi, kamp kerja paksa, dan penindasan terhadap oposisi⁸. Uni Soviet di
bawah Stalin, Tiongkok di bawah Mao, serta Kamboja di bawah Pol Pot adalah
contoh ekstrem dari penyimpangan ideologi komunis ke arah totalitarianisme
brutal.
Penindasan terhadap
kebebasan beragama, sensor ketat terhadap media, pengawasan terhadap warga, dan
hukuman terhadap pembangkang adalah praktik umum dalam banyak negara komunis,
yang bertentangan dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia. Hal ini
menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kegagalan komunisme dalam praktik
merupakan hasil penyimpangan atau justru konsekuensi logis dari prinsip-prinsip
ideologinya?
Catatan Kaki
[1]
Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University
of Chicago Press, 1944), 85–89.
[2]
Ibid., 104–110.
[3]
Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, trans. Marshall S. Shatz
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 135–138.
[4]
Peter Kropotkin, The Conquest of Bread (New York: New York
University Press, 1972), 56–59.
[5]
Douglas Kellner, Herbert Marcuse and the Crisis of Marxism
(Berkeley: University of California Press, 1984), 112–117.
[6]
Herbert Marcuse, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of
Advanced Industrial Society (Boston: Beacon Press, 1964), 3–6.
[7]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and
trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International
Publishers, 1971), 245–250.
[8]
Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes,
Terror, Repression (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 4–6.
8.
Komunisme dalam Diskursus Kontemporer
Meskipun komunisme
sebagai sistem politik terorganisasi telah mengalami kemunduran pasca-Perang
Dingin, khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet dan transformasi Tiongkok menuju
ekonomi pasar, komunisme tetap hidup dalam wacana akademik, aktivisme sosial,
dan kritik terhadap kapitalisme global. Dalam konteks krisis multidimensi yang
dihadapi dunia saat ini—ketimpangan ekonomi, kehancuran ekologi, dan alienasi
sosial—pemikiran komunis kembali memperoleh perhatian sebagai alternatif
radikal terhadap status quo neoliberalis. Komunisme kontemporer tidak lagi
hadir sebagai dogma politik satu partai, melainkan sebagai medan terbuka
pemikiran kritis yang terus berkembang dan diperbaharui.
8.1.
Kebangkitan Minat Akademik terhadap Marxisme
Sejak awal abad
ke-21, terjadi peningkatan minat terhadap teori Marxis dan komunisme di
berbagai institusi akademik, khususnya dalam bidang filsafat politik, teori
kritis, ekonomi politik, dan studi budaya. Pemikir-pemikir seperti David
Harvey, Terry Eagleton, dan Slavoj Žižek menjadi tokoh kunci dalam pembaruan
wacana Marxis. Dalam The Enigma of Capital, Harvey
mengungkap bahwa krisis finansial global 2008 merupakan bukti kebangkrutan
sistem kapitalis dan menekankan perlunya pemikiran alternatif berbasis Marxisme
untuk memahami akar struktural dari krisis tersebut¹.
Slavoj Žižek, dalam Living
in the End Times, menyatakan bahwa komunisme kontemporer harus
dibayangkan kembali bukan sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai proyek
emansipatoris yang terbuka dan terus menerus mengoreksi dirinya². Wacana ini
mengindikasikan bahwa komunisme hari ini bukanlah “resep revolusi instan,”
melainkan platform pemikiran kritis terhadap logika pasar dan bentuk kekuasaan
baru dalam masyarakat neoliberal.
8.2.
Komunisme Digital dan Post-Kapitalisme
Perkembangan
teknologi informasi dan ekonomi digital juga telah memicu perdebatan baru dalam
wacana komunis kontemporer. Tokoh seperti Paul Mason dalam Postcapitalism:
A Guide to Our Future mengusulkan bahwa era digital membuka peluang
bagi ekonomi berbasis informasi yang tidak tunduk sepenuhnya pada logika pasar
dan kepemilikan pribadi³. Dalam dunia digital, produksi dapat bersifat
kolaboratif, non-komersial, dan terdesentralisasi—karakteristik yang beririsan
dengan ideal-ideal komunisme tentang kerja bebas dari eksploitasi dan
kepemilikan bersama atas sumber daya.
Komunisme digital
ini tidak identik dengan proyek negara atau partai, tetapi lebih menyerupai
praktik-praktik kolektif berbasis komunitas—seperti open-source movement, peer-to-peer
networks, dan platform cooperativism—yang menolak
logika akumulasi kapital secara konvensional⁴.
8.3.
Peran Komunisme dalam Gerakan Sosial Global
Ide-ide komunis juga
menemukan ruang ekspresi dalam berbagai gerakan sosial kontemporer yang
memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi. Gerakan seperti Occupy
Wall Street, Black Lives Matter, dan gerakan
keadilan iklim global sering kali menggunakan analisis kelas, ketimpangan
struktural, dan kritik terhadap kapitalisme korporat yang selaras dengan
semangat komunisme kritis, meskipun tidak secara eksplisit mengidentifikasi
diri sebagai komunis.
Gerakan buruh modern
di banyak negara juga kembali mengangkat tuntutan-tuntutan klasik sosialisme
seperti upah layak, penghapusan kerja kontrak yang eksploitatif, dan kontrol
demokratis atas tempat kerja. Dalam konteks ini, komunisme tidak dilihat
sebagai model pemerintahan, tetapi sebagai horizon normatif yang menuntut
perubahan sistemik terhadap relasi produksi dan distribusi⁵.
8.4.
Reinterpretasi Etis dan Utopis dalam Wacana
Budaya
Komunisme
kontemporer juga mengalami reinterpretasi dalam wacana etika dan budaya. Banyak
seniman, novelis, dan filsuf mencoba membayangkan kembali “komunitas masa
depan” yang bebas dari alienasi dan komodifikasi hubungan manusia. Ernst Bloch,
dalam The Principle
of Hope, memandang komunisme sebagai proyek utopis manusia untuk
meraih “keadaan yang belum ada”—sebuah dunia di mana solidaritas
menggantikan kompetisi dan kebutuhan manusia menjadi pusat kehidupan sosial⁶.
Dalam konteks ini,
komunisme berfungsi sebagai “semangat pembebasan” yang menolak tatanan
dunia yang didasarkan pada eksploitasi, ketimpangan, dan reduksi nilai manusia
menjadi angka-angka ekonomi.
Catatan Kaki
[1]
David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 25–32.
[2]
Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010),
114–117.
[3]
Paul Mason, Postcapitalism: A Guide to Our Future (London:
Penguin Books, 2015), 125–130.
[4]
Nick Srnicek and Alex Williams, Inventing the Future: Postcapitalism
and a World Without Work (London: Verso, 2015), 98–105.
[5]
Michael Hardt and Antonio Negri, Assembly (Oxford: Oxford
University Press, 2017), 73–76.
[6]
Ernst Bloch, The Principle of Hope, Vol. 1, trans. Neville
Plaice, Stephen Plaice, and Paul Knight (Cambridge, MA: MIT Press, 1986),
137–140.
9.
Relevansi Komunisme di Abad ke-21
Meskipun komunisme
sering dianggap sebagai ideologi abad ke-20 yang gagal, krisis-krisis global
yang semakin akut pada abad ke-21 justru menghidupkan kembali minat terhadap
prinsip-prinsip dasar komunisme, khususnya dalam kerangka kritik terhadap
kapitalisme neoliberal. Ketimpangan ekonomi yang ekstrem, kerusakan lingkungan,
keterasingan sosial, serta kerapuhan sistem demokrasi liberal telah
memperlihatkan kegagalan sistem global saat ini dalam menjamin keadilan,
kesejahteraan, dan keberlanjutan. Dalam konteks inilah, komunisme memperoleh
relevansi baru, bukan sebagai proyek politik yang dogmatis, tetapi sebagai
horizon normatif dan strategi transformatif yang menantang tatanan yang ada.
9.1.
Ketimpangan Global dan Kritik terhadap
Kapitalisme
Laporan-laporan
lembaga internasional menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan telah mencapai
tingkat yang sangat ekstrem. Laporan Oxfam tahun 2023 mencatat bahwa 1% orang
terkaya di dunia menguasai hampir setengah dari total kekayaan global,
sementara miliaran orang hidup dalam kemiskinan atau kerentanan ekonomi¹.
Komunisme, dengan penekanannya pada penghapusan kepemilikan pribadi atas alat
produksi dan redistribusi kekayaan secara adil, kembali dipertimbangkan sebagai
alternatif radikal terhadap sistem ekonomi yang terbukti tidak mampu menghapus
ketidaksetaraan².
Pemikir kontemporer
seperti Thomas Piketty, meskipun tidak secara eksplisit komunis, menegaskan
perlunya bentuk kepemilikan bersama dan demokratisasi kekayaan untuk
menghindari oligarki kapital global yang kian dominan³. Dalam wacana ini,
ide-ide komunis tentang kontrol kolektif atas sumber daya dan produksi kembali
memperoleh daya tarik, terutama di kalangan generasi muda dan akademisi.
9.2.
Krisis Iklim dan Ekologi Sosialisme
Krisis ekologis
global menjadi ancaman eksistensial yang nyata. Perubahan iklim, kerusakan
keanekaragaman hayati, dan eksploitasi lingkungan secara besar-besaran
disebabkan oleh logika pertumbuhan tanpa batas yang inheren dalam kapitalisme⁴.
Komunisme, khususnya dalam versi ekososialisnya, menawarkan kerangka alternatif
di mana produksi tidak didasarkan pada akumulasi keuntungan, melainkan pada
kebutuhan manusia dan keberlanjutan ekologis.
Ekososialisme
menegaskan pentingnya transisi ke bentuk produksi dan konsumsi yang terencana,
demokratis, dan ekologis—prinsip yang konsisten dengan visi komunisme tentang
masyarakat tanpa eksploitasi, baik terhadap manusia maupun terhadap alam⁵.
Dalam pengertian ini, komunisme bukan hanya respons terhadap ketimpangan
sosial, tetapi juga terhadap krisis planet.
9.3.
Emansipasi Sosial dan Demokrasi Radikal
Komunisme abad ke-21
juga mendapat tempat dalam diskursus demokrasi radikal dan pembebasan sosial.
Para pemikir kiri baru, seperti Michael Hardt dan Antonio Negri, memperkenalkan
konsep komunisme
multitudes, di mana kekuasaan politik dan ekonomi dibangun dari
bawah secara desentralistik dan partisipatif⁶. Ini merupakan respons terhadap
pengalaman historis komunisme negara (state communism) yang cenderung otoriter.
Dalam konteks
masyarakat pasca-industri dan digital, gagasan tentang kerja bebas dari
alienasi, distribusi universal pendapatan dasar, dan kepemilikan data secara
kolektif telah menjadi bagian dari agenda komunisme baru yang lebih demokratis
dan kontekstual⁷. Relevansi komunisme kini lebih banyak ditemukan dalam ide-ide
kebijakan dan eksperimen institusional baru daripada dalam partai-partai
komunis tradisional.
9.4.
Komunisme sebagai Wacana Moral dan Utopis
Selain sebagai
strategi politik, komunisme juga tetap relevan sebagai wacana
etis dan utopis yang menginspirasi perjuangan keadilan global.
Komunisme menuntut agar masyarakat tidak dinilai berdasarkan efisiensi ekonomi
semata, tetapi berdasarkan kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan dasar,
menghapuskan penindasan, dan menjamin martabat semua manusia. Ernst Bloch
menyebut komunisme sebagai prinsip harapan yang memungkinkan
umat manusia membayangkan dunia yang belum ada, tetapi bisa dan harus ada⁸.
Dalam dunia yang
dilanda sinisme politik dan fragmentasi sosial, komunisme berfungsi sebagai
pengingat bahwa transformasi radikal tetap mungkin, dan bahwa dunia yang adil
bukan sekadar mimpi, tetapi tuntutan rasional dari solidaritas manusia.
Catatan Kaki
[1]
Oxfam International, Survival of the Richest: How We Must Tax the
Super-Rich Now to Fight Inequality (Oxford: Oxfam Briefing Paper, 2023),
4–7.
[2]
Slavoj Žižek, The Relevance of the Communist Manifesto
(Cambridge: Polity Press, 2019), 20–22.
[3]
Thomas Piketty, Capital and Ideology, trans. Arthur Goldhammer
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2020), 985–990.
[4]
Andreas Malm, Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots
of Global Warming (London: Verso, 2016), 15–18.
[5]
Michael Löwy, Ecosocialism: A Radical Alternative to Capitalist
Catastrophe (Chicago: Haymarket Books, 2015), 37–42.
[6]
Michael Hardt and Antonio Negri, Commonwealth (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2009), 328–332.
[7]
Nick Dyer-Witheford, Cyber-Proletariat: Global Labour in the
Digital Vortex (London: Pluto Press, 2015), 162–165.
[8]
Ernst Bloch, The Principle of Hope, Vol. 1, trans. Neville
Plaice, Stephen Plaice, and Paul Knight (Cambridge, MA: MIT Press, 1986),
137–140.
10.
Penutup
Komunisme, sebagai
filsafat sosial-politik dan gerakan historis, telah menempuh perjalanan
panjang—dari gagasan utopis tentang masyarakat tanpa kelas di zaman kuno,
melalui teori ilmiah Karl Marx dan Friedrich Engels, hingga berbagai eksperimen
politik pada abad ke-20. Ia telah melahirkan revolusi-revolusi besar, membentuk
konstelasi geopolitik global, dan menantang dominasi kapitalisme sebagai sistem
ekonomi dan ideologi global. Namun, komunisme juga menyisakan warisan kompleks:
keberhasilan dalam membangun solidaritas kelas dan redistribusi sosial di satu
sisi, dan kegagalan dalam menghadirkan sistem politik yang benar-benar bebas
dan manusiawi di sisi lain.
Sebagai sistem
pemikiran, komunisme telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman
kita tentang struktur kelas, relasi produksi, kekuasaan
negara, dan bentuk alienasi manusia dalam masyarakat modern.
Kritik terhadap kapitalisme yang dilancarkan oleh Marx tetap relevan dalam
menjelaskan akar struktural dari ketimpangan sosial, krisis ekonomi, dan
eksploitasi global—sebuah relevansi yang terus diperkuat oleh krisis-krisis
kontemporer seperti resesi global, perubahan iklim, dan ketimpangan digital¹.
Namun demikian,
pengalaman historis penerapan komunisme di berbagai negara—seperti Uni Soviet,
Tiongkok Maois, Kamboja, dan Korea Utara—memperlihatkan bahwa ketika komunisme
diterjemahkan ke dalam bentuk negara satu partai dan ekonomi terpusat yang
rigid, ia cenderung melahirkan otoritarianisme, birokratisasi, dan pelanggaran
hak asasi manusia, jauh dari cita-cita emansipatoris yang
dibayangkan oleh Marx². Dalam hal ini, kritik terhadap komunisme bukan hanya
datang dari luar, tetapi juga dari dalam tradisi Marxis itu sendiri, yang
mendorong pembaruan, reinterpretasi, dan demokratisasi ide-ide komunisme³.
Di abad ke-21,
komunisme mengalami reorientasi: dari ideologi negara menjadi medan
kritik normatif dan laboratorium pemikiran alternatif. Wacana
tentang ekososialisme, komunisme digital, dan demokrasi ekonomi menjadi
bentuk-bentuk baru dari upaya melampaui batas-batas kapitalisme, tanpa
mengulang kekeliruan komunisme klasik. Dalam bentuknya yang lebih terbuka dan
reflektif, komunisme kini tampil sebagai seruan moral terhadap dehumanisasi
dalam masyarakat modern, dan sebagai pengingat bahwa dunia yang lebih adil dan
kolektif tetap mungkin diwujudkan⁴.
Dengan demikian,
komunisme tidak dapat direduksi sebagai utopia yang gagal atau distopia yang
menakutkan, melainkan harus dipahami sebagai tradisi intelektual yang dinamis,
yang terus menginspirasi perjuangan untuk keadilan sosial, ekonomi, dan
ekologis. Relevansinya hari ini terletak bukan pada dogmatisme ideologis,
tetapi pada keberaniannya untuk membayangkan dunia yang berbeda, dan tekadnya
untuk menantang tatanan yang menormalisasi ketimpangan dan penindasan.
Catatan Kaki
[1]
David Harvey, The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 64–68.
[2]
Stéphane Courtois et al., The Black Book of Communism: Crimes,
Terror, Repression (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 5–10.
[3]
Douglas Kellner, Herbert Marcuse and the Crisis of Marxism (Berkeley:
University of California Press, 1984), 133–138.
[4]
Slavoj Žižek, Living in the End Times (London: Verso, 2010),
263–270.
Daftar Pustaka
Bakunin, M. (1990). Statism
and anarchy (M. S. Shatz, Trans.). Cambridge University Press.
Bloch, E. (1986). The
principle of hope (Vol. 1, N. Plaice, S. Plaice, & P. Knight, Trans.).
MIT Press.
Brown, A. (2009). The
rise and fall of communism. Ecco Press.
Cohen, G. A. (2000). Karl
Marx’s theory of history: A defence. Princeton University Press.
Courtois, S., Werth, N.,
Panné, J.-L., Paczkowski, A., Bartosek, K., & Margolin, J.-L. (1999). The
black book of communism: Crimes, terror, repression (J. Murphy, Trans.).
Harvard University Press.
Dikötter, F. (2010). Mao’s
great famine: The history of China’s most devastating catastrophe, 1958–1962.
Bloomsbury.
Dyer-Witheford, N. (2015). Cyber-proletariat:
Global labour in the digital vortex. Pluto Press.
Eagleton, T. (2011). Why
Marx was right. Yale University Press.
Engels, F. (1902). The
origin of the family, private property and the state (E. Untermann,
Trans.). Charles H. Kerr.
Engels, F. (1970). Socialism:
Utopian and scientific. Progress Publishers.
Fitzpatrick, S. (2008). The
Russian revolution (3rd ed.). Oxford University Press.
Gott, R. (2004). Cuba:
A new history. Yale University Press.
Gramsci, A. (1971). Selections
from the prison notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Eds. & Trans.).
International Publishers.
Hardt, M., & Negri, A.
(2009). Commonwealth. Harvard University Press.
Hardt, M., & Negri, A.
(2017). Assembly. Oxford University Press.
Harvey, D. (2010). The
enigma of capital and the crises of capitalism. Oxford University Press.
Hayek, F. A. (1944). The
road to serfdom. University of Chicago Press.
Heinrich, M. (2012). An
introduction to the three volumes of Karl Marx’s Capital (A. Locascio,
Trans.). Monthly Review Press.
Hobsbawm, E. (1994). The
age of extremes: The short twentieth century, 1914–1991. Abacus.
Hobsbawm, E. (2011). How
to change the world: Reflections on Marx and Marxism. Yale University
Press.
Kellner, D. (1984). Herbert
Marcuse and the crisis of Marxism. University of California Press.
Kropotkin, P. (1972). The
conquest of bread. New York University Press.
Lenin, V. I. (1929). What
is to be done?. International Publishers.
Lenin, V. I. (1939). Imperialism:
The highest stage of capitalism. International Publishers.
Lenin, V. I. (1992). The
state and revolution (R. Service, Trans.). Penguin Books.
Löwy, M. (2015). Ecosocialism:
A radical alternative to capitalist catastrophe. Haymarket Books.
Luxemburg, R. (1970). Reform
or revolution (Integer, Trans.). Pathfinder Press.
Luxemburg, R. (1971). The
mass strike, the political party, and the trade unions (P. Lavin, Trans.).
Harper & Row.
MacFarquhar, R., &
Schoenhals, M. (2006). Mao’s last revolution. Harvard University
Press.
Marcuse, H. (1964). One-dimensional
man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Beacon Press.
Marx, K. (1964). Economic
and philosophic manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). International
Publishers.
Marx, K. (1970). A
contribution to the critique of political economy (S. W. Ryazanskaya,
Trans.). Progress Publishers.
Marx, K. (1990). Capital:
A critique of political economy (Vol. 1, B. Fowkes, Trans.). Penguin
Books.
Marx, K., & Engels, F.
(1970). The German ideology (C. J. Arthur, Trans.). International
Publishers.
Marx, K., & Engels, F.
(2002). The communist manifesto (G. Stedman Jones, Ed.). Penguin
Books.
Marx, K., & Engels, F.
(1989). Critique of the Gotha programme. In Collected works
(Vol. 24). International Publishers.
Mason, P. (2015). Postcapitalism:
A guide to our future. Penguin Books.
McDermott, K., & Agnew,
J. (1996). The Comintern: A history of international communism from Lenin
to Stalin. Macmillan.
McLellan, D. (1971). The
thought of Karl Marx: An introduction. Oxford University Press.
Meisner, M. (1999). Mao’s
China and after: A history of the People’s Republic (3rd ed.). Free Press.
Malm, A. (2016). Fossil
capital: The rise of steam power and the roots of global warming. Verso.
Oxfam International.
(2023). Survival of the richest: How we must tax the super-rich now to
fight inequality (Oxfam Briefing Paper). https://www.oxfam.org/en/research/survival-richest
Piketty, T. (2020). Capital
and ideology (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Service, R. (2005). Stalin:
A biography. Harvard University Press.
Srnicek, N., &
Williams, A. (2015). Inventing the future: Postcapitalism and a world
without work. Verso.
Žižek, S. (2010). Living
in the end times. Verso.
Žižek, S. (2019). The
relevance of the communist manifesto. Polity Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar