Posthumanisme
Filsafat tentang Manusia, Teknologi, dan Masa Depan
Kemanusiaan
Abstrak
Artikel ini membahas posthumanisme sebagai cabang
filsafat kontemporer yang menawarkan pendekatan kritis dan alternatif terhadap
pandangan humanis klasik mengenai manusia, teknologi, dan keberadaan.
Posthumanisme menantang antroposentrisme dengan mengusulkan paradigma baru yang
melihat manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang kompleks,
melibatkan makhluk non-manusia, teknologi, dan lingkungan. Artikel ini mengulas
secara komprehensif definisi, sejarah perkembangan, gagasan utama, dan etika
posthumanisme, serta menyajikan berbagai kritik terhadapnya. Di samping itu,
dijabarkan pula implikasi konkret posthumanisme dalam kehidupan kontemporer,
termasuk dalam bidang pendidikan, budaya populer, politik ekologi, dan
teknologi medis. Dengan merujuk pada berbagai sumber referensi akademik yang
kredibel, artikel ini bertujuan memberikan pemahaman yang utuh, kritis, dan
reflektif terhadap pergeseran paradigma kemanusiaan di era digital dan
ekologis. Posthumanisme tidak dimaksudkan untuk meniadakan nilai-nilai
kemanusiaan, melainkan untuk memperluas pemahaman tentang hakikat manusia dalam
dunia yang terus berubah.
Kata Kunci: Posthumanisme, filsafat kontemporer,
antroposentrisme, teknologi, etika, humanisme, kecerdasan buatan, ekologi,
identitas, masa depan manusia.
PEMBAHASAN
Kajian Posthumanisme Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat
posthumanisme muncul sebagai respons kritis terhadap dominasi pandangan
humanisme klasik yang menempatkan manusia sebagai pusat segala nilai dan
pengetahuan. Dalam sejarah pemikiran Barat, humanisme telah memainkan peran
penting dalam membentuk identitas manusia modern sebagai makhluk rasional,
otonom, dan unggul dibanding makhluk lainnya. Namun, dalam era kontemporer yang
ditandai oleh perkembangan pesat teknologi, kecerdasan buatan, bioteknologi,
serta krisis lingkungan global, banyak pemikir mulai mempertanyakan apakah
kategori "manusia"
sebagaimana dipahami dalam tradisi humanisme masih relevan dan memadai untuk
menjelaskan realitas hari ini.
Posthumanisme tidak
sekadar merupakan kelanjutan dari humanisme, tetapi sebuah lompatan
epistemologis dan ontologis yang merevisi cara kita memahami relasi antara
manusia, teknologi, makhluk non-manusia, dan lingkungan. Filsafat ini
mengajukan kritik terhadap antropo-sentrisme—pandangan yang menempatkan manusia
sebagai pusat dan ukuran segala hal—serta menawarkan paradigma baru yang lebih
inklusif, relasional, dan ekologis. Rosi Braidotti, salah satu tokoh sentral
posthumanisme, menyatakan bahwa “posthumanisme adalah tentang melampaui
subjek manusia yang liberal dan otonom, menuju pemahaman yang lebih cair dan
berjejaring atas keberadaan.”_¹
Selain itu,
posthumanisme menginterogasi batas-batas ontologis antara manusia dan mesin,
antara alam dan budaya, serta antara tubuh dan pikiran. Donna Haraway dalam
esainya yang berpengaruh A Cyborg Manifesto mengajukan figur
“cyborg” sebagai simbol dari identitas posthuman—makhluk hibrida antara
organisme dan mesin—yang membongkar dikotomi lama antara manusia dan
teknologi.² Dalam konteks ini, posthumanisme tidak hanya berkaitan dengan masa
depan teknologi, melainkan juga dengan perubahan cara berpikir tentang
kemanusiaan itu sendiri.
Urgensi pembahasan
posthumanisme semakin meningkat seiring berkembangnya teknologi yang mampu
mengubah struktur biologis manusia, seperti rekayasa genetika, implant neural,
dan kecerdasan buatan. Teknologi-teknologi ini menimbulkan pertanyaan mendalam:
Apa yang membuat seseorang tetap "manusia"? Apakah manusia
akan digantikan oleh makhluk posthuman yang lebih unggul secara kognitif dan
biologis? Dan bagaimana filsafat harus merespons transformasi ini secara etis
dan ontologis?
Dengan demikian,
artikel ini bertujuan untuk menguraikan konsep, sejarah, gagasan utama, serta
implikasi filsafat posthumanisme, agar pembaca memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam dan kritis tentang tantangan dan peluang yang ditawarkannya. Dengan
mengacu pada pemikiran para tokoh sentral dan diskursus kontemporer, pembahasan
ini diharapkan dapat menjadi kontribusi terhadap dialog filsafat yang relevan
dengan zaman kita.
Footnotes
[1]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
2.
[2]
Donna Haraway, “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and
Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century,” in Simians, Cyborgs, and
Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.
2.
Pengertian Posthumanisme
Posthumanisme
merupakan suatu pendekatan filsafat kontemporer yang menantang dan merevisi
konsep “manusia” sebagaimana dibentuk oleh warisan humanisme klasik.
Pada dasarnya, posthumanisme tidak menawarkan satu definisi tunggal, tetapi
mencakup berbagai pemikiran kritis yang berusaha melampaui paradigma humanis
yang antroposentris, yang selama berabad-abad memosisikan manusia sebagai pusat
dari kosmos, rasionalitas, dan etika. Dalam pengertian ini, posthumanisme dapat
dipahami sebagai sebuah “kritik terhadap subjek humanis yang otonom,
rasional, dan universal, serta sebagai pencarian akan bentuk-bentuk keberadaan
dan pengetahuan yang lebih relasional, hibrid, dan inklusif.”_¹
Secara etimologis,
istilah “posthumanisme” terdiri dari dua unsur: post-
yang berarti “sesudah” atau “melampaui”, dan humanisme
sebagai suatu sistem pemikiran yang menekankan nilai dan martabat manusia.
Posthumanisme tidak serta-merta menolak humanisme, tetapi mengevaluasi ulang
warisannya dalam konteks zaman baru yang ditandai oleh teknologi digital,
bioteknologi, globalisasi, dan kesadaran ekologis.² Posthumanisme mengkritik
anggapan bahwa manusia berada di atas makhluk lain atau terpisah dari dunia
material dan makhluk non-manusia, serta menolak dikotomi tradisional antara
subjek dan objek, budaya dan alam, tubuh dan pikiran.
Rosi Braidotti,
salah satu tokoh utama dalam diskursus ini, menjelaskan bahwa posthumanisme
adalah “suatu cara berpikir yang berupaya melampaui humanisme klasik dan
struktur kuasa kolonial, patriarkal, dan antroposentris yang mengikutinya.”³
Dalam kerangka ini, manusia tidak lagi dipandang sebagai pusat dari segala
nilai dan makna, melainkan sebagai bagian dari jaringan relasional yang luas,
melibatkan entitas biologis, teknologi, lingkungan, dan makhluk non-manusia lainnya.
Sementara itu, dalam
pendekatan yang lebih teknologis, N. Katherine Hayles melihat posthumanisme
sebagai transformasi konsep manusia yang dipicu oleh perkembangan teknologi
informasi dan kecerdasan buatan. Dalam bukunya How We Became Posthuman, Hayles
berpendapat bahwa identitas manusia kini tidak bisa lagi dipisahkan dari sistem
teknologi dan media digital yang membentuk cara berpikir, berinteraksi, dan
mengalami dunia.⁴ Ia menekankan bahwa posthumanisme bukan berarti akhir dari
kemanusiaan, melainkan munculnya bentuk baru subjek yang terbentuk dari
interaksi antara tubuh biologis dan sistem informasi.⁵
Untuk memahami
posisi posthumanisme secara lebih tepat, penting pula untuk membedakannya dari
dua istilah yang sering disamakan: humanisme dan transhumanisme.
Humanisme klasik menekankan rasionalitas, moralitas, dan keunikan manusia
sebagai makhluk istimewa. Transhumanisme, di sisi lain, mendorong penggunaan
teknologi untuk meningkatkan kapasitas manusia hingga melampaui batas
biologisnya. Posthumanisme berbeda dari keduanya karena ia lebih bersifat
kritis dan reflektif; bukan tentang "peningkatan" manusia, tetapi
tentang dekonstruksi batas-batas dan hierarki yang dibentuk oleh humanisme itu
sendiri.⁶
Dengan demikian,
posthumanisme menghadirkan paradigma baru dalam filsafat kontemporer yang
mengajak kita untuk merefleksikan ulang posisi manusia dalam kosmos, dalam
relasinya dengan teknologi, lingkungan, dan makhluk lain. Ia tidak hanya
menawarkan kritik, tetapi juga membuka kemungkinan baru bagi cara hidup,
berpikir, dan beretika di masa depan.
Footnotes
[1]
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London:
Bloomsbury Academic, 2019), 3.
[2]
Cary Wolfe, What is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 2010), xvi.
[3]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
1.
[4]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in
Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), 2.
[5]
Ibid., 4.
[6]
Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London:
Bloomsbury Academic, 2013), 7.
3.
Sejarah dan Akar Filsafat Posthumanisme
Posthumanisme tidak
muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari perkembangan historis
panjang dalam tradisi filsafat, sains, dan budaya Barat. Akarnya dapat
ditelusuri dari kritik terhadap humanisme Renaisans hingga munculnya pemikiran
postmodern dan teori kritis kontemporer. Dengan kata lain, posthumanisme adalah
hasil dari evolusi pemikiran yang merefleksikan batas-batas dan problematik
dari ide tentang “manusia” itu sendiri.
3.1.
Warisan Humanisme dan Krisisnya
Humanisme mulai
berkembang pada masa Renaisans sebagai proyek intelektual yang menekankan
potensi rasional dan moral manusia, serta kebebasan individu dalam menentukan
hidupnya. Humanisme mengangkat manusia sebagai pusat semesta (anthroposentrik),
menggantikan pandangan teosentris yang mendominasi Abad Pertengahan.¹ Namun,
seiring waktu, idealisasi terhadap manusia justru menciptakan eksklusivisme—di
mana hanya subjek tertentu (misalnya: pria kulit putih Barat) yang diakui
sebagai “manusia penuh”.² Kritik terhadap bias-bias ini menjadi landasan
awal bagi lahirnya posthumanisme.
3.2.
Pengaruh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan sains
modern, terutama sejak Revolusi Industri dan kemudian Revolusi Digital, turut
menggeser cara pandang terhadap manusia. Ketika teknologi mulai menyatu dengan
tubuh manusia—seperti dalam kasus prostetik, transplantasi organ, dan implan
digital—batas antara “manusia alami” dan “mesin buatan” menjadi
kabur.³ Teori sistem, sibernetika, dan teknologi informasi juga memperkenalkan
ide bahwa kesadaran dan identitas manusia bisa direpresentasikan melalui aliran
data dan algoritma, yang mendekonstruksi asumsi lama tentang tubuh dan jiwa.
Dalam konteks ini,
N. Katherine Hayles menyatakan bahwa “subjek posthuman adalah entitas yang
tidak terikat secara mutlak oleh tubuh biologis, tetapi terbentuk melalui
hubungan dengan jaringan informasi dan teknologi.”_⁴ Maka, pemikiran
posthumanisme muncul bukan hanya sebagai tanggapan filosofis, tetapi juga
sebagai respons terhadap kondisi material dan teknologis masyarakat
kontemporer.
3.3.
Akar Filsafat dalam Postmodernisme dan
Dekonstruksi
Secara filosofis,
posthumanisme juga dipengaruhi oleh tradisi postmodern, khususnya
gagasan-gagasan dari Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Gilles Deleuze.
Foucault, misalnya, dalam The Order of Things menyatakan
bahwa "manusia adalah penemuan yang baru-baru ini saja terjadi ... dan
mungkin akan segera lenyap."_⁵ Kutipan ini mencerminkan upaya
dekonstruksi terhadap kategori “manusia” yang dianggap tetap dan
universal.
Derrida, dengan
konsep dekonstruksinya, mengkritik biner-biner oposisi dalam pemikiran Barat
(seperti manusia/mesin, subjek/objek, budaya/alam), yang juga menjadi perhatian
utama posthumanisme.⁶ Sementara Deleuze dan Guattari, dalam A
Thousand Plateaus, memperkenalkan gagasan tentang “assemblage”
dan “becoming”, yang digunakan oleh pemikir posthuman seperti Braidotti
untuk menggambarkan identitas sebagai proses yang cair dan berjejaring.⁷
3.4.
Teori Kritis dan Feminisme Posthuman
Posthumanisme juga
sangat dipengaruhi oleh teori feminis, khususnya pemikiran Donna Haraway yang
terkenal dengan A Cyborg Manifesto. Dalam esai
tersebut, Haraway membongkar asumsi-asumsi esensialis tentang gender, tubuh,
dan identitas, serta mengusulkan figur "cyborg" sebagai simbol
keberadaan hibrida antara manusia, mesin, dan binatang.⁸ Cyborg dalam konteks
ini bukan hanya entitas teknologi, tetapi metafora filosofis yang menantang
batas-batas konvensional tentang kemanusiaan.
Feminisme posthuman
seperti yang dikembangkan oleh Rosi Braidotti menekankan pentingnya melihat
manusia sebagai makhluk ekologis dan multispesies, yang tidak bisa dipisahkan
dari jaringan kehidupan di sekitarnya.⁹ Perspektif ini menjadi semakin penting
dalam konteks krisis lingkungan dan perubahan iklim yang menuntut redefinisi
relasi antara manusia dan planet.
3.5.
Menuju Paradigma Posthuman
Dengan semua
pengaruh di atas, posthumanisme akhirnya berkembang sebagai paradigma baru yang
interdisipliner, menggabungkan filsafat, teori budaya, teknologi, sains, dan
ekologi. Ia menawarkan kerangka berpikir yang lebih fleksibel dalam memahami
subjek, agensi, dan keberadaan, yang melampaui batas-batas tradisional dari
“apa artinya menjadi manusia”.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 25.
[2]
Sylvia Wynter, “Unsettling the Coloniality of
Being/Power/Truth/Freedom,” The New Centennial Review 3, no. 3 (2003):
257–337.
[3]
Andy Clark, Natural-Born Cyborgs: Minds, Technologies, and the
Future of Human Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2003), 5–6.
[4]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in
Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), 2.
[5]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences (New York: Vintage Books, 1994), 387.
[6]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty
Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 20–21.
[7]
Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism
and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 3–4.
[8]
Donna Haraway, “A Cyborg Manifesto,” in Simians, Cyborgs, and
Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.
[9]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
60–63.
4.
Gagasan Utama dalam Posthumanisme
Posthumanisme
sebagai cabang pemikiran filsafat kontemporer menawarkan serangkaian gagasan
radikal yang mendobrak asumsi-asumsi dasar humanisme klasik. Ia tidak sekadar
mengkritik, tetapi juga merumuskan ulang bagaimana manusia dipahami—baik dari
segi ontologi, etika, maupun epistemologi—di tengah kompleksitas dunia modern
yang ditandai oleh kemajuan teknologi, krisis ekologis, dan pluralitas makhluk
non-manusia. Berikut adalah beberapa gagasan utama yang menjadi landasan
pemikiran posthumanisme:
4.1.
Kritik terhadap Antroposentrisme
Salah satu kritik
mendasar posthumanisme adalah terhadap antroposentrisme, yakni
pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu.
Tradisi ini telah mendominasi filsafat Barat sejak era Renaisans hingga modern,
menciptakan dikotomi antara manusia dan makhluk lainnya, antara budaya dan
alam.
Posthumanisme
berupaya membongkar struktur hierarkis ini dan mempromosikan pandangan yang
lebih egaliter terhadap semua bentuk kehidupan dan materi. Cary Wolfe
menegaskan bahwa posthumanisme adalah “usaha untuk mendekonstruksi asumsi
humanisme liberal tentang subjek manusia yang otonom dan tertutup dari dunia
luar.”_¹ Ini membuka ruang untuk pengakuan terhadap agensi makhluk
non-manusia seperti hewan, tumbuhan, bahkan mesin.
4.2.
Relasi Baru antara Manusia, Mesin, dan Makhluk
Non-Manusia
Posthumanisme juga
mencerminkan pergeseran ontologis dalam
memahami keberadaan. Di era digital dan bioteknologi, batas antara manusia dan
mesin semakin kabur. Tubuh manusia kini bisa dimodifikasi, ditingkatkan, atau
bahkan diperluas melalui perangkat eksternal seperti prostetik, implan, dan
kecerdasan buatan.
Donna Haraway, dalam
A Cyborg
Manifesto, memperkenalkan figur “cyborg” sebagai simbol
entitas hibrida yang melampaui batas-batas konvensional antara organisme dan
mesin, laki-laki dan perempuan, alam dan budaya.² Cyborg dalam konteks ini
bukan hanya entitas fisik, tetapi juga metafora untuk eksistensi manusia
kontemporer yang saling terhubung dengan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
4.3.
Tubuh dan Identitas sebagai Proses yang Terbuka
dan Fleksibel
Posthumanisme
menolak gagasan identitas manusia sebagai sesuatu yang tetap, esensial, atau
mutlak. Identitas dilihat sebagai proses yang selalu berubah,
bersifat relasional, dan dibentuk oleh interaksi dengan lingkungan, budaya,
teknologi, dan makhluk lain.
Rosi Braidotti
menyebut identitas posthuman sebagai “assemblage”—kumpulan unsur-unsur
yang membentuk subjek secara dinamis, bukan sebagai individu tertutup dan
terisolasi.³ Tubuh manusia juga tidak lagi dianggap sebagai wadah tetap bagi
kesadaran, melainkan sebagai medan interaksi antara elemen biologis, sosial,
dan teknologis.⁴
4.4.
Pengetahuan yang Bersifat Interkonektif dan
Multispesies
Posthumanisme
menawarkan epistemologi relasional, yakni
cara memahami dunia yang tidak memisahkan subjek dari objek, atau manusia dari
alam. Pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai produk dari individu rasional yang
netral, tetapi sebagai hasil dari interaksi antara berbagai makhluk hidup dan
tak hidup.
Francesca Ferrando
menekankan bahwa posthumanisme “menggeser fokus dari pengetahuan manusia
menuju sistem pengetahuan yang lebih luas, yang mencakup jaringan ekologis dan
teknologi.”_⁵ Pendekatan ini mendorong integrasi ilmu pengetahuan,
filsafat, dan spiritualitas dalam menghadapi tantangan global seperti krisis
iklim, kehancuran keanekaragaman hayati, dan etika teknologi.
4.5.
Agensi Non-Manusia dan Etika Baru
Dalam paradigma
posthuman, agensi tidak hanya dimiliki
oleh manusia, tetapi juga oleh entitas non-manusia, baik yang hidup maupun yang
tidak. Mesin pintar, hewan, mikroorganisme, bahkan sistem iklim dianggap memiliki
bentuk agensi tersendiri yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh jaringan
kehidupan global.
Hal ini membawa
konsekuensi etis yang serius. Posthumanisme menuntut pengembangan etika
baru yang lebih inklusif, berbasis pada interdependensi dan
keberlanjutan, bukan pada dominasi atau eksploitasi.⁶ Rosi Braidotti
menyebutnya sebagai “etika keberadaan yang saling terhubung,” yang
mendorong tanggung jawab terhadap planet dan sesama makhluk hidup.⁷
Dengan demikian,
gagasan-gagasan utama posthumanisme mengarahkan kita untuk meninjau kembali
konsep “kemanusiaan” secara mendasar. Ia tidak hanya menawarkan kritik
terhadap humanisme, tetapi juga membangun landasan filsafat baru yang relevan
dengan era teknologi, jaringan, dan krisis planet saat ini.
Footnotes
[1]
Cary Wolfe, What is Posthumanism? (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2010), xv.
[2]
Donna Haraway, “A Cyborg Manifesto,” in Simians, Cyborgs, and
Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.
[3]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
190.
[4]
Ibid., 26–28.
[5]
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London:
Bloomsbury Academic, 2019), 5.
[6]
Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London:
Bloomsbury Academic, 2013), 91–92.
[7]
Braidotti, The Posthuman, 51–52.
5.
Posthumanisme dan Etika
Salah satu
kontribusi paling signifikan dari posthumanisme dalam wacana filsafat
kontemporer adalah gagasannya tentang etika baru yang bersifat
inklusif, relasional, dan interkonektif. Etika posthuman berbeda secara
mendasar dari etika humanis-modern yang berbasis pada ide otonomi individu
rasional sebagai pusat nilai moral. Sebaliknya, posthumanisme menawarkan suatu
pendekatan etis yang mempertimbangkan keberadaan manusia dalam jaringan
kehidupan yang luas dan kompleks, termasuk teknologi, makhluk non-manusia, dan
lingkungan.
5.1.
Krisis Etika Humanis dan Kebutuhan Etika Baru
Dalam kerangka etika
tradisional, subjek etis adalah individu manusia yang rasional, sadar, dan
otonom. Namun, pendekatan ini dinilai gagal menjawab tantangan etis yang muncul
di era teknologi tinggi dan krisis ekologis global. Etika humanis cenderung
bersifat eksklusif—mengecualikan hewan, tumbuhan, dan entitas non-manusia lain
dari wilayah pertimbangan moral.
Posthumanisme
menolak pandangan tersebut dan menyerukan “disentralisasi” manusia dari
pusat nilai etika. Cary Wolfe menyatakan bahwa posthumanisme menghendaki “pengembangan
model-model etis yang tidak mendasarkan nilai moral hanya pada kapasitas
kognitif manusia, tetapi pada jaringan hubungan dan kerentanan bersama.”_¹
Dalam pandangan ini, semua bentuk kehidupan dan bahkan sistem teknologi dapat
menjadi bagian dari komunitas moral.
5.2.
Etika Keberlanjutan dan Interdependensi
Etika posthuman
mengakui bahwa eksistensi manusia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
makhluk dan sistem lain. Oleh karena itu, interdependensi menjadi prinsip
utama dalam posthuman ethics. Rosi Braidotti menyebut etika posthuman sebagai “etika
afektif-relasional” yang muncul dari pengakuan bahwa kita hidup dalam
keterhubungan yang erat dan saling memengaruhi dengan lingkungan hidup dan
entitas non-manusia.²
Konsep ini sejalan
dengan pendekatan ekologis yang mengedepankan keberlanjutan sebagai orientasi
moral. Dalam dunia yang menghadapi pemanasan global, kerusakan ekosistem, dan
kepunahan spesies, etika posthuman mendorong tanggung jawab moral yang
melampaui spesies manusia—yakni tanggung jawab kepada planet dan generasi masa
depan.³
5.3.
Etika Teknologi dan Agensi Mesin
Kemajuan teknologi
seperti kecerdasan buatan (AI), robotik, dan bioteknologi memunculkan
pertanyaan-pertanyaan etis baru: Apakah mesin pintar memiliki agensi moral?
Siapa yang bertanggung jawab atas tindakan sistem otonom? Apakah ada batas etis
dalam modifikasi tubuh manusia secara bioteknologis?
Posthumanisme tidak
memandang teknologi sekadar sebagai alat netral, tetapi sebagai aktor dalam
jaringan eksistensial yang memiliki efek nyata terhadap dunia.⁴ Oleh karena
itu, etika posthuman harus mempertimbangkan agensi non-manusia, termasuk
sistem teknologi. Hal ini tidak berarti menyamakan hak atau status moral mesin
dengan manusia, melainkan mengakui bahwa tindakan teknologi berkonsekuensi
moral dan membutuhkan kerangka etis yang sesuai.⁵
5.4.
Solidaritas Multispesies
Etika posthuman juga
mengusulkan konsep solidaritas multispesies, yaitu
solidaritas yang melampaui batas-batas spesies biologis. Gagasan ini banyak
dikembangkan dalam teori feminis dan postkolonial, terutama oleh Donna Haraway.
Dalam karyanya When Species Meet, Haraway
mengajukan pentingnya membangun hubungan empatik dan kooperatif antara manusia
dan makhluk non-manusia.⁶
Solidaritas ini
tidak berbasis pada superioritas manusia, tetapi pada keterlibatan yang penuh
empati dalam “jaringan kehidupan” (web of life), di mana semua makhluk
dianggap memiliki nilai intrinsik dan peran penting dalam keberlanjutan dunia.⁷
Pendekatan ini menggabungkan aspek etika, politik, dan ekologi dalam satu
bingkai filosofis.
5.5.
Tantangan: Etika Tanpa Subjek Tunggal
Etika posthuman
menantang keberadaan subjek moral tunggal dan
stabil. Identitas dianggap cair dan terbentuk melalui relasi. Hal ini
memunculkan tantangan baru: bagaimana merumuskan tanggung jawab moral dalam
dunia yang tidak berpusat pada individu tetap? Siapa yang bertanggung jawab
jika agensi tersebar dalam jaringan (baik manusia maupun non-manusia)?
Francesca Ferrando
menyatakan bahwa etika posthuman membutuhkan redefinisi tanggung jawab sebagai
“respon terhadap keterlibatan” (response-ability), bukan sekadar
hasil pilihan bebas individu.⁸ Dalam kerangka ini, etika menjadi proses
dialogis, partisipatif, dan reflektif—bukan sekadar aturan normatif tetap.
Dengan demikian,
etika posthuman tidak hanya memperluas cakupan tanggung jawab moral, tetapi
juga membongkar fondasi-fondasi lama etika modern. Ia menghadirkan cara
berpikir baru yang lebih kontekstual, ekologis, dan terbuka terhadap keragaman
bentuk kehidupan dan kecerdasan, sekaligus menjawab tantangan zaman yang
kompleks dan saling terhubung.
Footnotes
[1]
Cary Wolfe, What is Posthumanism? (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2010), 60.
[2]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
49.
[3]
Ibid., 94–95.
[4]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in
Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), 11.
[5]
Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London:
Bloomsbury Academic, 2013), 101.
[6]
Donna Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2008), 19.
[7]
Ibid., 42–43.
[8]
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London:
Bloomsbury Academic, 2019), 118.
6.
Kritik terhadap Posthumanisme
Meskipun
posthumanisme menawarkan kerangka konseptual baru yang menjanjikan dalam
menghadapi tantangan zaman, gagasan-gagasannya tidak luput dari berbagai
kritik, baik dari kalangan humanis, religius, maupun pemikir kritis lainnya.
Kritik-kritik ini umumnya menyoroti persoalan ontologis, etis, dan politis yang
ditimbulkan oleh pendekatan posthuman, serta potensi bahaya yang mungkin
tersembunyi di balik wacana “melampaui manusia”.
6.1.
Kekhawatiran terhadap Dehumanisasi
Salah satu kritik
paling umum terhadap posthumanisme adalah bahwa ia berisiko mendegradasi nilai
dan martabat manusia, terutama ketika batas antara manusia, mesin, dan makhluk
lain menjadi kabur. Dalam upayanya untuk mendekonstruksi kategori “manusia”,
posthumanisme dianggap justru mengaburkan fondasi moral yang melindungi hak
asasi manusia, otonomi individu, dan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan
selama berabad-abad.
Charles Ess, dalam
konteks etika teknologi, memperingatkan bahwa pendekatan yang terlalu
menekankan pada keterhubungan dan fluiditas identitas bisa menyebabkan erosi
terhadap tanggung jawab personal dan moral.¹ Ada kekhawatiran bahwa jika
manusia hanya dilihat sebagai bagian dari “assemblage” atau jaringan,
maka tanggung jawab individu atas tindakan etis bisa hilang atau terdistribusi
tanpa kejelasan.²
6.2.
Kritik dari Perspektif Humanis dan Religius
Posthumanisme juga
mendapat tantangan dari kalangan humanis sekuler maupun agama,
yang menilai bahwa pendekatan ini terlalu ekstrem dalam membongkar nilai-nilai
dasar kemanusiaan. Humanisme modern, meskipun tidak sempurna, telah
berkontribusi dalam membangun prinsip-prinsip etika, keadilan sosial, dan hak
asasi manusia. Para pengkritik menyayangkan bahwa posthumanisme justru merelatifkan
prinsip-prinsip tersebut atas nama “desentralisasi manusia”.
Dari sudut pandang
religius, posthumanisme sering dipandang problematik karena mendekonstruksi
citra manusia sebagai makhluk istimewa ciptaan Tuhan.³ Gagasan tentang tubuh
yang bisa dimodifikasi, pikiran yang bisa diunggah, atau makhluk hibrida
manusia-mesin dianggap menyalahi batas-batas ontologis dan moral yang dijaga
oleh banyak tradisi agama.
6.3.
Ambiguitas antara Emansipasi dan Kontrol
Teknologi
Meskipun
posthumanisme mengklaim sebagai wacana yang membebaskan manusia dari
batas-batas esensialis dan hirarkis, sejumlah pengamat menganggapnya sebagai
bentuk lain dari reproduksi kekuasaan teknologi dan kapitalisme global. Stefan
Herbrechter menunjukkan bahwa posthumanisme tidak selalu bisa membedakan antara
“pemberdayaan” manusia melalui teknologi dan “penguasaan” manusia
oleh sistem teknologis yang kompleks dan tidak transparan.⁴
Kekhawatiran ini
sejalan dengan kritik yang dilontarkan dalam critical posthumanism, yang
menyatakan bahwa tanpa kerangka politik yang jelas, posthumanisme bisa
dimanipulasi oleh kekuatan pasar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru
eksploitasi melalui teknologi biomedis, AI, dan data ekonomi.⁵ Oleh karena itu,
ada tuntutan agar posthumanisme lebih reflektif dan sadar terhadap kondisi
material, politik, dan ekonomi tempat ia beroperasi.
6.4.
Masalah Akses dan Ketimpangan Teknologi
Salah satu kelemahan
utama pendekatan posthuman yang berbasis teknologi adalah ketimpangan
akses. Jika posthumanisme mengandaikan bahwa manusia dapat
melampaui batas biologisnya melalui teknologi, maka muncul pertanyaan: siapa
yang memiliki akses terhadap teknologi ini? Apakah posthumanisme hanya relevan
untuk kelompok elite global yang memiliki sumber daya?
Kritikus seperti
Nick Bostrom dan Francis Fukuyama mengingatkan bahwa tanpa pengawasan etis yang
kuat, posthumanisme dapat memperparah ketimpangan sosial antara mereka yang “ditingkatkan”
(enhanced)
secara bioteknologi dan mereka yang tetap “alami”.⁶ Ketimpangan ini bisa
berujung pada bentuk baru diskriminasi dan eksklusi sosial berbasis modifikasi
tubuh atau kapasitas kognitif.
6.5.
Kesulitan Operasionalisasi Etika Posthuman
Walaupun etika
posthuman menawarkan paradigma baru yang inklusif dan ekologis, beberapa
kritikus menilai bahwa pendekatan ini sulit dioperasionalkan dalam kebijakan
nyata. Prinsip-prinsip seperti “solidaritas multispesies” atau “agensi
non-manusia” masih kabur dalam praktik dan belum memiliki kerangka hukum
atau institusional yang jelas.
Hal ini ditekankan
oleh Francesca Ferrando, yang mengakui bahwa salah satu tantangan besar
posthumanisme adalah membangun sistem normatif yang mampu menjawab dinamika
dunia nyata tanpa kehilangan kompleksitas dan keberagaman bentuk kehidupan.⁷
Oleh karena itu, posthumanisme dituntut untuk mengembangkan perangkat
konseptual dan institusional yang lebih konkret.
6.6.
Risiko Melupakan Kemanusiaan Itu Sendiri
Akhirnya, kritik
paling filosofis terhadap posthumanisme adalah bahwa dalam usahanya melampaui
manusia, ia bisa saja kehilangan kepekaan terhadap penderitaan manusia itu sendiri.
Dalam banyak konteks, terutama di negara-negara berkembang, masalah-masalah
dasar seperti kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan struktural masih
menuntut pendekatan humanistik yang kuat.⁸
Mengabaikan realitas
ini atas nama “melampaui kemanusiaan” bisa menjadi bentuk ketidakpekaan
intelektual. Oleh karena itu, beberapa pemikir menyarankan untuk tidak
meninggalkan humanisme sepenuhnya, tetapi mengupayakan transformasi
kritis terhadapnya—yakni, bentuk “posthumanisme yang berakar
pada humanitas.”_⁹
Footnotes
[1]
Charles Ess, Digital Media Ethics (Cambridge: Polity Press,
2014), 87.
[2]
Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London:
Bloomsbury Academic, 2013), 102.
[3]
Brent Waters, From Human to Posthuman: Christian Theology and
Technology in a Postmodern World (Aldershot: Ashgate, 2006), 45.
[4]
Herbrechter, Posthumanism, 130.
[5]
Ibid., 132.
[6]
Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the
Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 104.
[7]
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London:
Bloomsbury Academic, 2019), 143.
[8]
Sylvia Wynter, “Unsettling the Coloniality of
Being/Power/Truth/Freedom,” The New Centennial Review 3, no. 3 (2003):
257–337.
[9]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
196.
7.
Implikasi Posthumanisme dalam Kehidupan
Kontemporer
Posthumanisme,
meskipun bersifat teoretis dan filosofis, memiliki dampak
nyata dalam berbagai aspek kehidupan manusia kontemporer.
Gagasan-gagasannya tentang hibriditas manusia-mesin, identitas cair, dan etika
multispesies telah memasuki wacana publik melalui teknologi, kebijakan,
pendidikan, seni, dan budaya populer. Implikasi ini menunjukkan bahwa
posthumanisme bukan sekadar refleksi akademik, melainkan juga kerangka
berpikir yang memengaruhi cara kita hidup, belajar, bekerja, dan berinteraksi
di era digital dan ekologis.
7.1.
Pendidikan dan Transformasi Kurikulum
Dalam dunia
pendidikan, posthumanisme menantang paradigma pedagogi tradisional yang
berbasis pada pemisahan antara subjek-pengajar dan objek-belajar. Rosi
Braidotti mengusulkan pendekatan posthumanist education yang
menekankan pembelajaran sebagai proses relasional dan interkonektif, melibatkan
manusia, teknologi, dan lingkungan.¹ Kurikulum berbasis posthumanisme mengajak
peserta didik untuk memahami dunia sebagai jaringan yang kompleks, bukan
sebagai sistem hierarkis yang dikendalikan manusia.
Penerapan gagasan
ini mulai tampak dalam pendekatan eco-pedagogy, critical
animal studies, dan digital literacy, yang memperluas
wilayah pembelajaran hingga mencakup isu-isu non-manusia seperti perubahan
iklim, keberlanjutan, dan kecerdasan buatan.²
7.2.
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Dunia Kerja
Salah satu tantangan
besar yang dihadirkan oleh posthumanisme adalah otomatisasi dan penggunaan
kecerdasan buatan (AI) yang secara langsung memengaruhi
struktur dunia kerja. Dalam visi posthuman, manusia bukan lagi satu-satunya
aktor produktif—mesin, algoritma, dan robot kini memiliki agensi dalam
memproduksi nilai.
N. Katherine Hayles
menyatakan bahwa “kita tidak bisa lagi memahami subjek manusia sebagai
terpisah dari sistem informasi digital yang membentuk cara berpikir dan
bertindak.”_³ Dengan demikian, manusia kontemporer perlu beradaptasi dengan
bentuk kerja baru yang kolaboratif antara manusia dan mesin, dan memahami
batas-batas serta tanggung jawab dalam interaksi tersebut.⁴
7.3.
Budaya Populer dan Imajinasi Posthuman
Wacana posthumanisme
juga hidup dalam budaya populer, terutama
melalui film, sastra, game, dan media digital. Tokoh-tokoh seperti cyborg,
android, mutan, dan AI dalam film-film seperti Blade Runner, Ex
Machina, Ghost in the Shell, hingga Her,
mencerminkan pertanyaan mendalam tentang batas antara manusia dan mesin, tubuh
dan kesadaran, emosi dan logika.
Donna Haraway
menyebut budaya populer sebagai “medan genealogis” yang membentuk
dan mencerminkan imajinasi kolektif tentang masa depan.⁵ Dalam konteks ini, posthumanisme
bukan hanya alat analisis, tetapi juga produksi naratif baru tentang
identitas dan eksistensi di era digital.
7.4.
Politik Ekologi dan Krisis Planet
Implikasi penting
lainnya dari posthumanisme terletak pada politik ekologis. Gagasan
tentang interkonektivitas dan solidaritas multispesies menuntut perubahan dalam
kebijakan lingkungan dan pola hidup manusia terhadap bumi. Krisis iklim global
menjadi bukti bahwa pendekatan antroposentris terhadap alam telah gagal menjaga
keseimbangan ekosistem.
Posthumanisme
mengusulkan kerangka planetary ethics, yaitu etika
global yang menekankan tanggung jawab manusia sebagai bagian dari jaringan
kehidupan yang lebih besar.⁶ Rosi Braidotti bahkan menyebut krisis ekologi
sebagai “momen posthuman par excellence,” karena ia mengharuskan kita untuk
meninggalkan pandangan manusia sebagai penguasa alam.⁷
7.5.
Medis, Bioteknologi, dan Rekayasa Tubuh
Dalam dunia medis
dan bioteknologi, posthumanisme telah memunculkan perdebatan tentang rekayasa
tubuh, dari augmentasi kognitif hingga transplantasi organ
buatan dan modifikasi genetik.⁸ Praktik-praktik ini memperluas batas antara
tubuh alami dan buatan, antara penyembuhan dan peningkatan, antara perawatan dan
desain.
Sementara teknologi
ini membuka peluang besar untuk meningkatkan kualitas hidup, ia juga
memunculkan dilema etis yang kompleks: siapa yang berhak atas modifikasi tubuh?
Apakah semua orang punya akses? Apakah identitas manusia tetap sama setelah
mengalami modifikasi? Posthumanisme mengajak kita untuk merenungkan
pertanyaan-pertanyaan ini secara kritis.
Dengan demikian,
posthumanisme bukan sekadar filsafat spekulatif, tetapi kerangka
pemahaman baru yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan kontemporer.
Ia menantang kita untuk membayangkan kembali peran manusia dalam dunia yang
semakin hibrida, terhubung, dan penuh tantangan ekologis maupun teknologis.
Footnotes
[1]
Rosi Braidotti, Posthuman Knowledge (Cambridge: Polity Press,
2019), 119.
[2]
Richard Kahn and Douglas Kellner, “Reconstructing Technoliteracy: A
Multiple Literacies Approach,” E-Learning 1, no. 3 (2004): 9–20.
[3]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in
Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), 35.
[4]
Ibid., 43–45.
[5]
Donna Haraway, Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of
Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.
[6]
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London:
Bloomsbury Academic, 2019), 102.
[7]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
80.
[8]
Andy Miah, Human Futures: Art in an Age of Uncertainty
(Liverpool: Liverpool University Press, 2008), 57–59.
8.
Penutup
Posthumanisme hadir
sebagai salah satu wacana filosofis paling berani dan provokatif dalam menjawab
tantangan zaman. Di tengah derasnya arus teknologi digital, bioteknologi, dan
krisis planet, posthumanisme mengajak kita untuk melakukan refleksi
ulang secara radikal terhadap apa artinya menjadi manusia. Ia
menantang fondasi humanisme klasik yang menempatkan manusia sebagai pusat
dunia, dan menggantikannya dengan cara berpikir yang lebih relasional,
ekologis, dan multispesies.
Sebagai cabang
pemikiran, posthumanisme tidak berhenti pada kritik, melainkan juga membangun kerangka
konseptual baru: manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan
dan teknologi; tubuh dan identitas sebagai proses yang cair; serta etika
sebagai keterlibatan yang bertanggung jawab terhadap sesama makhluk hidup,
termasuk makhluk non-manusia dan sistem digital.¹ Pendekatan ini memberikan
harapan bagi terbentuknya solidaritas global yang lebih inklusif dan
berkelanjutan.
Namun demikian,
sebagaimana telah dibahas dalam bagian sebelumnya, posthumanisme tidak bebas
dari kritik. Ada risiko dehumanisasi, erosi tanggung jawab moral individu,
serta potensi ketimpangan sosial akibat dominasi teknologi. Karena itu,
posthumanisme perlu dijalankan secara kritis dan kontekstual, dengan
mempertimbangkan realitas sosial, budaya, ekonomi, dan spiritual dari
masyarakat global.² Beberapa pemikir bahkan menyarankan pendekatan “posthumanisme
kritis”, yaitu model pemikiran yang menggabungkan semangat dekonstruksi
dengan komitmen etis terhadap nilai-nilai keadilan, inklusivitas, dan
kesejahteraan planet.³
Di masa depan,
posthumanisme berpotensi memainkan peran penting dalam menyusun ulang arah
pendidikan, kebijakan teknologi, hubungan antarmanusia dan lingkungan, serta
pengembangan spiritualitas yang lebih kosmologis.⁴ Dalam dunia yang semakin
kompleks dan terhubung, pendekatan ini dapat menjadi sarana untuk mengembangkan
cara hidup baru yang lebih adaptif, tanggap, dan bertanggung jawab secara
ekologis dan eksistensial.
Dengan memahami
posthumanisme secara utuh—baik dari sisi gagasan utama, konteks sejarah, hingga
kritik terhadapnya—kita tidak hanya diajak untuk “melampaui”
kemanusiaan, tetapi justru untuk memperdalam pemahaman kita tentang hakikat
menjadi manusia dalam dunia yang terus berubah. Posthumanisme,
pada akhirnya, bukan tentang menghapus manusia, melainkan tentang mengembangkan
bentuk-bentuk kemanusiaan yang lebih luas, sadar, dan berjejaring.
Footnotes
[1]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013),
190.
[2]
Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury
Academic, 2019), 134.
[3]
Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London:
Bloomsbury Academic, 2013), 150.
[4]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in
Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), 291.
Daftar Pustaka
Bostrom, N. (2005). In defense of posthuman
dignity. Bioethics, 19(3), 202–214. https://doi.org/10.1111/j.1467-8519.2005.00437.x
Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity
Press.
Braidotti, R. (2019). Posthuman knowledge.
Polity Press.
Clark, A. (2003). Natural-born cyborgs: Minds,
technologies, and the future of human intelligence. Oxford University
Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Ess, C. (2014). Digital media ethics (2nd
ed.). Polity Press.
Ferrando, F. (2019). Philosophical posthumanism.
Bloomsbury Academic.
Foucault, M. (1994). The order of things: An
archaeology of the human sciences. Vintage Books.
Fukuyama, F. (2002). Our posthuman future:
Consequences of the biotechnology revolution. Farrar, Straus and Giroux.
Haraway, D. J. (1991). Simians, cyborgs, and
women: The reinvention of nature. Routledge.
Haraway, D. J. (2008). When species meet.
University of Minnesota Press.
Hayles, N. K. (1999). How we became posthuman:
Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics. University of
Chicago Press.
Herbrechter, S. (2013). Posthumanism: A critical
analysis. Bloomsbury Academic.
Kahn, R., & Kellner, D. (2004). Reconstructing
technoliteracy: A multiple literacies approach. E-Learning and Digital
Media, 1(3), 9–20. https://doi.org/10.2304/elea.2004.1.3.1
Miah, A. (2008). Human futures: Art in an age of
uncertainty. Liverpool University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Wolfe, C. (2010). What is posthumanism?
University of Minnesota Press.
Waters, B. (2006). From human to posthuman:
Christian theology and technology in a postmodern world. Ashgate.
Wynter, S. (2003). Unsettling the coloniality of
being/power/truth/freedom: Towards the human, after man, its
overrepresentation—An argument. The New Centennial Review, 3(3),
257–337. https://doi.org/10.1353/ncr.2004.0015
Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A
thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia (B. Massumi, Trans.).
University of Minnesota Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar