Rabu, 26 Maret 2025

Posthumanisme: Filsafat tentang Manusia, Teknologi, dan Masa Depan Kemanusiaan

Posthumanisme

Filsafat tentang Manusia, Teknologi, dan Masa Depan Kemanusiaan


Abstrak

Artikel ini membahas posthumanisme sebagai cabang filsafat kontemporer yang menawarkan pendekatan kritis dan alternatif terhadap pandangan humanis klasik mengenai manusia, teknologi, dan keberadaan. Posthumanisme menantang antroposentrisme dengan mengusulkan paradigma baru yang melihat manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang kompleks, melibatkan makhluk non-manusia, teknologi, dan lingkungan. Artikel ini mengulas secara komprehensif definisi, sejarah perkembangan, gagasan utama, dan etika posthumanisme, serta menyajikan berbagai kritik terhadapnya. Di samping itu, dijabarkan pula implikasi konkret posthumanisme dalam kehidupan kontemporer, termasuk dalam bidang pendidikan, budaya populer, politik ekologi, dan teknologi medis. Dengan merujuk pada berbagai sumber referensi akademik yang kredibel, artikel ini bertujuan memberikan pemahaman yang utuh, kritis, dan reflektif terhadap pergeseran paradigma kemanusiaan di era digital dan ekologis. Posthumanisme tidak dimaksudkan untuk meniadakan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan untuk memperluas pemahaman tentang hakikat manusia dalam dunia yang terus berubah.

Kata Kunci: Posthumanisme, filsafat kontemporer, antroposentrisme, teknologi, etika, humanisme, kecerdasan buatan, ekologi, identitas, masa depan manusia.


PEMBAHASAN

Kajian Posthumanisme Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Filsafat posthumanisme muncul sebagai respons kritis terhadap dominasi pandangan humanisme klasik yang menempatkan manusia sebagai pusat segala nilai dan pengetahuan. Dalam sejarah pemikiran Barat, humanisme telah memainkan peran penting dalam membentuk identitas manusia modern sebagai makhluk rasional, otonom, dan unggul dibanding makhluk lainnya. Namun, dalam era kontemporer yang ditandai oleh perkembangan pesat teknologi, kecerdasan buatan, bioteknologi, serta krisis lingkungan global, banyak pemikir mulai mempertanyakan apakah kategori "manusia" sebagaimana dipahami dalam tradisi humanisme masih relevan dan memadai untuk menjelaskan realitas hari ini.

Posthumanisme tidak sekadar merupakan kelanjutan dari humanisme, tetapi sebuah lompatan epistemologis dan ontologis yang merevisi cara kita memahami relasi antara manusia, teknologi, makhluk non-manusia, dan lingkungan. Filsafat ini mengajukan kritik terhadap antropo-sentrisme—pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran segala hal—serta menawarkan paradigma baru yang lebih inklusif, relasional, dan ekologis. Rosi Braidotti, salah satu tokoh sentral posthumanisme, menyatakan bahwa “posthumanisme adalah tentang melampaui subjek manusia yang liberal dan otonom, menuju pemahaman yang lebih cair dan berjejaring atas keberadaan.”_¹

Selain itu, posthumanisme menginterogasi batas-batas ontologis antara manusia dan mesin, antara alam dan budaya, serta antara tubuh dan pikiran. Donna Haraway dalam esainya yang berpengaruh A Cyborg Manifesto mengajukan figur “cyborg” sebagai simbol dari identitas posthuman—makhluk hibrida antara organisme dan mesin—yang membongkar dikotomi lama antara manusia dan teknologi.² Dalam konteks ini, posthumanisme tidak hanya berkaitan dengan masa depan teknologi, melainkan juga dengan perubahan cara berpikir tentang kemanusiaan itu sendiri.

Urgensi pembahasan posthumanisme semakin meningkat seiring berkembangnya teknologi yang mampu mengubah struktur biologis manusia, seperti rekayasa genetika, implant neural, dan kecerdasan buatan. Teknologi-teknologi ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Apa yang membuat seseorang tetap "manusia"? Apakah manusia akan digantikan oleh makhluk posthuman yang lebih unggul secara kognitif dan biologis? Dan bagaimana filsafat harus merespons transformasi ini secara etis dan ontologis?

Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk menguraikan konsep, sejarah, gagasan utama, serta implikasi filsafat posthumanisme, agar pembaca memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan kritis tentang tantangan dan peluang yang ditawarkannya. Dengan mengacu pada pemikiran para tokoh sentral dan diskursus kontemporer, pembahasan ini diharapkan dapat menjadi kontribusi terhadap dialog filsafat yang relevan dengan zaman kita.


Footnotes

[1]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 2.

[2]                Donna Haraway, “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century,” in Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.


2.           Pengertian Posthumanisme

Posthumanisme merupakan suatu pendekatan filsafat kontemporer yang menantang dan merevisi konsep “manusia” sebagaimana dibentuk oleh warisan humanisme klasik. Pada dasarnya, posthumanisme tidak menawarkan satu definisi tunggal, tetapi mencakup berbagai pemikiran kritis yang berusaha melampaui paradigma humanis yang antroposentris, yang selama berabad-abad memosisikan manusia sebagai pusat dari kosmos, rasionalitas, dan etika. Dalam pengertian ini, posthumanisme dapat dipahami sebagai sebuah “kritik terhadap subjek humanis yang otonom, rasional, dan universal, serta sebagai pencarian akan bentuk-bentuk keberadaan dan pengetahuan yang lebih relasional, hibrid, dan inklusif.”_¹

Secara etimologis, istilah “posthumanisme” terdiri dari dua unsur: post- yang berarti “sesudah” atau “melampaui”, dan humanisme sebagai suatu sistem pemikiran yang menekankan nilai dan martabat manusia. Posthumanisme tidak serta-merta menolak humanisme, tetapi mengevaluasi ulang warisannya dalam konteks zaman baru yang ditandai oleh teknologi digital, bioteknologi, globalisasi, dan kesadaran ekologis.² Posthumanisme mengkritik anggapan bahwa manusia berada di atas makhluk lain atau terpisah dari dunia material dan makhluk non-manusia, serta menolak dikotomi tradisional antara subjek dan objek, budaya dan alam, tubuh dan pikiran.

Rosi Braidotti, salah satu tokoh utama dalam diskursus ini, menjelaskan bahwa posthumanisme adalah “suatu cara berpikir yang berupaya melampaui humanisme klasik dan struktur kuasa kolonial, patriarkal, dan antroposentris yang mengikutinya.”³ Dalam kerangka ini, manusia tidak lagi dipandang sebagai pusat dari segala nilai dan makna, melainkan sebagai bagian dari jaringan relasional yang luas, melibatkan entitas biologis, teknologi, lingkungan, dan makhluk non-manusia lainnya.

Sementara itu, dalam pendekatan yang lebih teknologis, N. Katherine Hayles melihat posthumanisme sebagai transformasi konsep manusia yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan. Dalam bukunya How We Became Posthuman, Hayles berpendapat bahwa identitas manusia kini tidak bisa lagi dipisahkan dari sistem teknologi dan media digital yang membentuk cara berpikir, berinteraksi, dan mengalami dunia.⁴ Ia menekankan bahwa posthumanisme bukan berarti akhir dari kemanusiaan, melainkan munculnya bentuk baru subjek yang terbentuk dari interaksi antara tubuh biologis dan sistem informasi.⁵

Untuk memahami posisi posthumanisme secara lebih tepat, penting pula untuk membedakannya dari dua istilah yang sering disamakan: humanisme dan transhumanisme. Humanisme klasik menekankan rasionalitas, moralitas, dan keunikan manusia sebagai makhluk istimewa. Transhumanisme, di sisi lain, mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan kapasitas manusia hingga melampaui batas biologisnya. Posthumanisme berbeda dari keduanya karena ia lebih bersifat kritis dan reflektif; bukan tentang "peningkatan" manusia, tetapi tentang dekonstruksi batas-batas dan hierarki yang dibentuk oleh humanisme itu sendiri.⁶

Dengan demikian, posthumanisme menghadirkan paradigma baru dalam filsafat kontemporer yang mengajak kita untuk merefleksikan ulang posisi manusia dalam kosmos, dalam relasinya dengan teknologi, lingkungan, dan makhluk lain. Ia tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga membuka kemungkinan baru bagi cara hidup, berpikir, dan beretika di masa depan.


Footnotes

[1]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 3.

[2]                Cary Wolfe, What is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), xvi.

[3]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 1.

[4]                N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 2.

[5]                Ibid., 4.

[6]                Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London: Bloomsbury Academic, 2013), 7.


3.           Sejarah dan Akar Filsafat Posthumanisme

Posthumanisme tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari perkembangan historis panjang dalam tradisi filsafat, sains, dan budaya Barat. Akarnya dapat ditelusuri dari kritik terhadap humanisme Renaisans hingga munculnya pemikiran postmodern dan teori kritis kontemporer. Dengan kata lain, posthumanisme adalah hasil dari evolusi pemikiran yang merefleksikan batas-batas dan problematik dari ide tentang “manusia” itu sendiri.

3.1.       Warisan Humanisme dan Krisisnya

Humanisme mulai berkembang pada masa Renaisans sebagai proyek intelektual yang menekankan potensi rasional dan moral manusia, serta kebebasan individu dalam menentukan hidupnya. Humanisme mengangkat manusia sebagai pusat semesta (anthroposentrik), menggantikan pandangan teosentris yang mendominasi Abad Pertengahan.¹ Namun, seiring waktu, idealisasi terhadap manusia justru menciptakan eksklusivisme—di mana hanya subjek tertentu (misalnya: pria kulit putih Barat) yang diakui sebagai “manusia penuh”.² Kritik terhadap bias-bias ini menjadi landasan awal bagi lahirnya posthumanisme.

3.2.       Pengaruh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan sains modern, terutama sejak Revolusi Industri dan kemudian Revolusi Digital, turut menggeser cara pandang terhadap manusia. Ketika teknologi mulai menyatu dengan tubuh manusia—seperti dalam kasus prostetik, transplantasi organ, dan implan digital—batas antara “manusia alami” dan “mesin buatan” menjadi kabur.³ Teori sistem, sibernetika, dan teknologi informasi juga memperkenalkan ide bahwa kesadaran dan identitas manusia bisa direpresentasikan melalui aliran data dan algoritma, yang mendekonstruksi asumsi lama tentang tubuh dan jiwa.

Dalam konteks ini, N. Katherine Hayles menyatakan bahwa “subjek posthuman adalah entitas yang tidak terikat secara mutlak oleh tubuh biologis, tetapi terbentuk melalui hubungan dengan jaringan informasi dan teknologi.”_⁴ Maka, pemikiran posthumanisme muncul bukan hanya sebagai tanggapan filosofis, tetapi juga sebagai respons terhadap kondisi material dan teknologis masyarakat kontemporer.

3.3.       Akar Filsafat dalam Postmodernisme dan Dekonstruksi

Secara filosofis, posthumanisme juga dipengaruhi oleh tradisi postmodern, khususnya gagasan-gagasan dari Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Gilles Deleuze. Foucault, misalnya, dalam The Order of Things menyatakan bahwa "manusia adalah penemuan yang baru-baru ini saja terjadi ... dan mungkin akan segera lenyap."_⁵ Kutipan ini mencerminkan upaya dekonstruksi terhadap kategori “manusia” yang dianggap tetap dan universal.

Derrida, dengan konsep dekonstruksinya, mengkritik biner-biner oposisi dalam pemikiran Barat (seperti manusia/mesin, subjek/objek, budaya/alam), yang juga menjadi perhatian utama posthumanisme.⁶ Sementara Deleuze dan Guattari, dalam A Thousand Plateaus, memperkenalkan gagasan tentang “assemblage” dan “becoming”, yang digunakan oleh pemikir posthuman seperti Braidotti untuk menggambarkan identitas sebagai proses yang cair dan berjejaring.⁷

3.4.       Teori Kritis dan Feminisme Posthuman

Posthumanisme juga sangat dipengaruhi oleh teori feminis, khususnya pemikiran Donna Haraway yang terkenal dengan A Cyborg Manifesto. Dalam esai tersebut, Haraway membongkar asumsi-asumsi esensialis tentang gender, tubuh, dan identitas, serta mengusulkan figur "cyborg" sebagai simbol keberadaan hibrida antara manusia, mesin, dan binatang.⁸ Cyborg dalam konteks ini bukan hanya entitas teknologi, tetapi metafora filosofis yang menantang batas-batas konvensional tentang kemanusiaan.

Feminisme posthuman seperti yang dikembangkan oleh Rosi Braidotti menekankan pentingnya melihat manusia sebagai makhluk ekologis dan multispesies, yang tidak bisa dipisahkan dari jaringan kehidupan di sekitarnya.⁹ Perspektif ini menjadi semakin penting dalam konteks krisis lingkungan dan perubahan iklim yang menuntut redefinisi relasi antara manusia dan planet.

3.5.       Menuju Paradigma Posthuman

Dengan semua pengaruh di atas, posthumanisme akhirnya berkembang sebagai paradigma baru yang interdisipliner, menggabungkan filsafat, teori budaya, teknologi, sains, dan ekologi. Ia menawarkan kerangka berpikir yang lebih fleksibel dalam memahami subjek, agensi, dan keberadaan, yang melampaui batas-batas tradisional dari “apa artinya menjadi manusia”.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 25.

[2]                Sylvia Wynter, “Unsettling the Coloniality of Being/Power/Truth/Freedom,” The New Centennial Review 3, no. 3 (2003): 257–337.

[3]                Andy Clark, Natural-Born Cyborgs: Minds, Technologies, and the Future of Human Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2003), 5–6.

[4]                N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 2.

[5]                Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage Books, 1994), 387.

[6]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 20–21.

[7]                Gilles Deleuze and Félix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, trans. Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 3–4.

[8]                Donna Haraway, “A Cyborg Manifesto,” in Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.

[9]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 60–63.


4.           Gagasan Utama dalam Posthumanisme

Posthumanisme sebagai cabang pemikiran filsafat kontemporer menawarkan serangkaian gagasan radikal yang mendobrak asumsi-asumsi dasar humanisme klasik. Ia tidak sekadar mengkritik, tetapi juga merumuskan ulang bagaimana manusia dipahami—baik dari segi ontologi, etika, maupun epistemologi—di tengah kompleksitas dunia modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi, krisis ekologis, dan pluralitas makhluk non-manusia. Berikut adalah beberapa gagasan utama yang menjadi landasan pemikiran posthumanisme:

4.1.       Kritik terhadap Antroposentrisme

Salah satu kritik mendasar posthumanisme adalah terhadap antroposentrisme, yakni pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu. Tradisi ini telah mendominasi filsafat Barat sejak era Renaisans hingga modern, menciptakan dikotomi antara manusia dan makhluk lainnya, antara budaya dan alam.

Posthumanisme berupaya membongkar struktur hierarkis ini dan mempromosikan pandangan yang lebih egaliter terhadap semua bentuk kehidupan dan materi. Cary Wolfe menegaskan bahwa posthumanisme adalah “usaha untuk mendekonstruksi asumsi humanisme liberal tentang subjek manusia yang otonom dan tertutup dari dunia luar.”_¹ Ini membuka ruang untuk pengakuan terhadap agensi makhluk non-manusia seperti hewan, tumbuhan, bahkan mesin.

4.2.       Relasi Baru antara Manusia, Mesin, dan Makhluk Non-Manusia

Posthumanisme juga mencerminkan pergeseran ontologis dalam memahami keberadaan. Di era digital dan bioteknologi, batas antara manusia dan mesin semakin kabur. Tubuh manusia kini bisa dimodifikasi, ditingkatkan, atau bahkan diperluas melalui perangkat eksternal seperti prostetik, implan, dan kecerdasan buatan.

Donna Haraway, dalam A Cyborg Manifesto, memperkenalkan figur “cyborg” sebagai simbol entitas hibrida yang melampaui batas-batas konvensional antara organisme dan mesin, laki-laki dan perempuan, alam dan budaya.² Cyborg dalam konteks ini bukan hanya entitas fisik, tetapi juga metafora untuk eksistensi manusia kontemporer yang saling terhubung dengan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.

4.3.       Tubuh dan Identitas sebagai Proses yang Terbuka dan Fleksibel

Posthumanisme menolak gagasan identitas manusia sebagai sesuatu yang tetap, esensial, atau mutlak. Identitas dilihat sebagai proses yang selalu berubah, bersifat relasional, dan dibentuk oleh interaksi dengan lingkungan, budaya, teknologi, dan makhluk lain.

Rosi Braidotti menyebut identitas posthuman sebagai “assemblage”—kumpulan unsur-unsur yang membentuk subjek secara dinamis, bukan sebagai individu tertutup dan terisolasi.³ Tubuh manusia juga tidak lagi dianggap sebagai wadah tetap bagi kesadaran, melainkan sebagai medan interaksi antara elemen biologis, sosial, dan teknologis.⁴

4.4.       Pengetahuan yang Bersifat Interkonektif dan Multispesies

Posthumanisme menawarkan epistemologi relasional, yakni cara memahami dunia yang tidak memisahkan subjek dari objek, atau manusia dari alam. Pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai produk dari individu rasional yang netral, tetapi sebagai hasil dari interaksi antara berbagai makhluk hidup dan tak hidup.

Francesca Ferrando menekankan bahwa posthumanisme “menggeser fokus dari pengetahuan manusia menuju sistem pengetahuan yang lebih luas, yang mencakup jaringan ekologis dan teknologi.”_⁵ Pendekatan ini mendorong integrasi ilmu pengetahuan, filsafat, dan spiritualitas dalam menghadapi tantangan global seperti krisis iklim, kehancuran keanekaragaman hayati, dan etika teknologi.

4.5.       Agensi Non-Manusia dan Etika Baru

Dalam paradigma posthuman, agensi tidak hanya dimiliki oleh manusia, tetapi juga oleh entitas non-manusia, baik yang hidup maupun yang tidak. Mesin pintar, hewan, mikroorganisme, bahkan sistem iklim dianggap memiliki bentuk agensi tersendiri yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh jaringan kehidupan global.

Hal ini membawa konsekuensi etis yang serius. Posthumanisme menuntut pengembangan etika baru yang lebih inklusif, berbasis pada interdependensi dan keberlanjutan, bukan pada dominasi atau eksploitasi.⁶ Rosi Braidotti menyebutnya sebagai “etika keberadaan yang saling terhubung,” yang mendorong tanggung jawab terhadap planet dan sesama makhluk hidup.⁷


Dengan demikian, gagasan-gagasan utama posthumanisme mengarahkan kita untuk meninjau kembali konsep “kemanusiaan” secara mendasar. Ia tidak hanya menawarkan kritik terhadap humanisme, tetapi juga membangun landasan filsafat baru yang relevan dengan era teknologi, jaringan, dan krisis planet saat ini.


Footnotes

[1]                Cary Wolfe, What is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), xv.

[2]                Donna Haraway, “A Cyborg Manifesto,” in Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.

[3]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 190.

[4]                Ibid., 26–28.

[5]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 5.

[6]                Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London: Bloomsbury Academic, 2013), 91–92.

[7]                Braidotti, The Posthuman, 51–52.


5.           Posthumanisme dan Etika

Salah satu kontribusi paling signifikan dari posthumanisme dalam wacana filsafat kontemporer adalah gagasannya tentang etika baru yang bersifat inklusif, relasional, dan interkonektif. Etika posthuman berbeda secara mendasar dari etika humanis-modern yang berbasis pada ide otonomi individu rasional sebagai pusat nilai moral. Sebaliknya, posthumanisme menawarkan suatu pendekatan etis yang mempertimbangkan keberadaan manusia dalam jaringan kehidupan yang luas dan kompleks, termasuk teknologi, makhluk non-manusia, dan lingkungan.

5.1.       Krisis Etika Humanis dan Kebutuhan Etika Baru

Dalam kerangka etika tradisional, subjek etis adalah individu manusia yang rasional, sadar, dan otonom. Namun, pendekatan ini dinilai gagal menjawab tantangan etis yang muncul di era teknologi tinggi dan krisis ekologis global. Etika humanis cenderung bersifat eksklusif—mengecualikan hewan, tumbuhan, dan entitas non-manusia lain dari wilayah pertimbangan moral.

Posthumanisme menolak pandangan tersebut dan menyerukan “disentralisasi” manusia dari pusat nilai etika. Cary Wolfe menyatakan bahwa posthumanisme menghendaki “pengembangan model-model etis yang tidak mendasarkan nilai moral hanya pada kapasitas kognitif manusia, tetapi pada jaringan hubungan dan kerentanan bersama.”_¹ Dalam pandangan ini, semua bentuk kehidupan dan bahkan sistem teknologi dapat menjadi bagian dari komunitas moral.

5.2.       Etika Keberlanjutan dan Interdependensi

Etika posthuman mengakui bahwa eksistensi manusia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan makhluk dan sistem lain. Oleh karena itu, interdependensi menjadi prinsip utama dalam posthuman ethics. Rosi Braidotti menyebut etika posthuman sebagai “etika afektif-relasional” yang muncul dari pengakuan bahwa kita hidup dalam keterhubungan yang erat dan saling memengaruhi dengan lingkungan hidup dan entitas non-manusia.²

Konsep ini sejalan dengan pendekatan ekologis yang mengedepankan keberlanjutan sebagai orientasi moral. Dalam dunia yang menghadapi pemanasan global, kerusakan ekosistem, dan kepunahan spesies, etika posthuman mendorong tanggung jawab moral yang melampaui spesies manusia—yakni tanggung jawab kepada planet dan generasi masa depan.³

5.3.       Etika Teknologi dan Agensi Mesin

Kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), robotik, dan bioteknologi memunculkan pertanyaan-pertanyaan etis baru: Apakah mesin pintar memiliki agensi moral? Siapa yang bertanggung jawab atas tindakan sistem otonom? Apakah ada batas etis dalam modifikasi tubuh manusia secara bioteknologis?

Posthumanisme tidak memandang teknologi sekadar sebagai alat netral, tetapi sebagai aktor dalam jaringan eksistensial yang memiliki efek nyata terhadap dunia.⁴ Oleh karena itu, etika posthuman harus mempertimbangkan agensi non-manusia, termasuk sistem teknologi. Hal ini tidak berarti menyamakan hak atau status moral mesin dengan manusia, melainkan mengakui bahwa tindakan teknologi berkonsekuensi moral dan membutuhkan kerangka etis yang sesuai.⁵

5.4.       Solidaritas Multispesies

Etika posthuman juga mengusulkan konsep solidaritas multispesies, yaitu solidaritas yang melampaui batas-batas spesies biologis. Gagasan ini banyak dikembangkan dalam teori feminis dan postkolonial, terutama oleh Donna Haraway. Dalam karyanya When Species Meet, Haraway mengajukan pentingnya membangun hubungan empatik dan kooperatif antara manusia dan makhluk non-manusia.⁶

Solidaritas ini tidak berbasis pada superioritas manusia, tetapi pada keterlibatan yang penuh empati dalam “jaringan kehidupan” (web of life), di mana semua makhluk dianggap memiliki nilai intrinsik dan peran penting dalam keberlanjutan dunia.⁷ Pendekatan ini menggabungkan aspek etika, politik, dan ekologi dalam satu bingkai filosofis.

5.5.       Tantangan: Etika Tanpa Subjek Tunggal

Etika posthuman menantang keberadaan subjek moral tunggal dan stabil. Identitas dianggap cair dan terbentuk melalui relasi. Hal ini memunculkan tantangan baru: bagaimana merumuskan tanggung jawab moral dalam dunia yang tidak berpusat pada individu tetap? Siapa yang bertanggung jawab jika agensi tersebar dalam jaringan (baik manusia maupun non-manusia)?

Francesca Ferrando menyatakan bahwa etika posthuman membutuhkan redefinisi tanggung jawab sebagai “respon terhadap keterlibatan” (response-ability), bukan sekadar hasil pilihan bebas individu.⁸ Dalam kerangka ini, etika menjadi proses dialogis, partisipatif, dan reflektif—bukan sekadar aturan normatif tetap.


Dengan demikian, etika posthuman tidak hanya memperluas cakupan tanggung jawab moral, tetapi juga membongkar fondasi-fondasi lama etika modern. Ia menghadirkan cara berpikir baru yang lebih kontekstual, ekologis, dan terbuka terhadap keragaman bentuk kehidupan dan kecerdasan, sekaligus menjawab tantangan zaman yang kompleks dan saling terhubung.


Footnotes

[1]                Cary Wolfe, What is Posthumanism? (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2010), 60.

[2]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 49.

[3]                Ibid., 94–95.

[4]                N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 11.

[5]                Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London: Bloomsbury Academic, 2013), 101.

[6]                Donna Haraway, When Species Meet (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2008), 19.

[7]                Ibid., 42–43.

[8]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 118.


6.           Kritik terhadap Posthumanisme

Meskipun posthumanisme menawarkan kerangka konseptual baru yang menjanjikan dalam menghadapi tantangan zaman, gagasan-gagasannya tidak luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan humanis, religius, maupun pemikir kritis lainnya. Kritik-kritik ini umumnya menyoroti persoalan ontologis, etis, dan politis yang ditimbulkan oleh pendekatan posthuman, serta potensi bahaya yang mungkin tersembunyi di balik wacana “melampaui manusia”.

6.1.       Kekhawatiran terhadap Dehumanisasi

Salah satu kritik paling umum terhadap posthumanisme adalah bahwa ia berisiko mendegradasi nilai dan martabat manusia, terutama ketika batas antara manusia, mesin, dan makhluk lain menjadi kabur. Dalam upayanya untuk mendekonstruksi kategori “manusia”, posthumanisme dianggap justru mengaburkan fondasi moral yang melindungi hak asasi manusia, otonomi individu, dan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan selama berabad-abad.

Charles Ess, dalam konteks etika teknologi, memperingatkan bahwa pendekatan yang terlalu menekankan pada keterhubungan dan fluiditas identitas bisa menyebabkan erosi terhadap tanggung jawab personal dan moral.¹ Ada kekhawatiran bahwa jika manusia hanya dilihat sebagai bagian dari “assemblage” atau jaringan, maka tanggung jawab individu atas tindakan etis bisa hilang atau terdistribusi tanpa kejelasan.²

6.2.       Kritik dari Perspektif Humanis dan Religius

Posthumanisme juga mendapat tantangan dari kalangan humanis sekuler maupun agama, yang menilai bahwa pendekatan ini terlalu ekstrem dalam membongkar nilai-nilai dasar kemanusiaan. Humanisme modern, meskipun tidak sempurna, telah berkontribusi dalam membangun prinsip-prinsip etika, keadilan sosial, dan hak asasi manusia. Para pengkritik menyayangkan bahwa posthumanisme justru merelatifkan prinsip-prinsip tersebut atas nama “desentralisasi manusia”.

Dari sudut pandang religius, posthumanisme sering dipandang problematik karena mendekonstruksi citra manusia sebagai makhluk istimewa ciptaan Tuhan.³ Gagasan tentang tubuh yang bisa dimodifikasi, pikiran yang bisa diunggah, atau makhluk hibrida manusia-mesin dianggap menyalahi batas-batas ontologis dan moral yang dijaga oleh banyak tradisi agama.

6.3.       Ambiguitas antara Emansipasi dan Kontrol Teknologi

Meskipun posthumanisme mengklaim sebagai wacana yang membebaskan manusia dari batas-batas esensialis dan hirarkis, sejumlah pengamat menganggapnya sebagai bentuk lain dari reproduksi kekuasaan teknologi dan kapitalisme global. Stefan Herbrechter menunjukkan bahwa posthumanisme tidak selalu bisa membedakan antara “pemberdayaan” manusia melalui teknologi dan “penguasaan” manusia oleh sistem teknologis yang kompleks dan tidak transparan.⁴

Kekhawatiran ini sejalan dengan kritik yang dilontarkan dalam critical posthumanism, yang menyatakan bahwa tanpa kerangka politik yang jelas, posthumanisme bisa dimanipulasi oleh kekuatan pasar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru eksploitasi melalui teknologi biomedis, AI, dan data ekonomi.⁵ Oleh karena itu, ada tuntutan agar posthumanisme lebih reflektif dan sadar terhadap kondisi material, politik, dan ekonomi tempat ia beroperasi.

6.4.       Masalah Akses dan Ketimpangan Teknologi

Salah satu kelemahan utama pendekatan posthuman yang berbasis teknologi adalah ketimpangan akses. Jika posthumanisme mengandaikan bahwa manusia dapat melampaui batas biologisnya melalui teknologi, maka muncul pertanyaan: siapa yang memiliki akses terhadap teknologi ini? Apakah posthumanisme hanya relevan untuk kelompok elite global yang memiliki sumber daya?

Kritikus seperti Nick Bostrom dan Francis Fukuyama mengingatkan bahwa tanpa pengawasan etis yang kuat, posthumanisme dapat memperparah ketimpangan sosial antara mereka yang “ditingkatkan” (enhanced) secara bioteknologi dan mereka yang tetap “alami”.⁶ Ketimpangan ini bisa berujung pada bentuk baru diskriminasi dan eksklusi sosial berbasis modifikasi tubuh atau kapasitas kognitif.

6.5.       Kesulitan Operasionalisasi Etika Posthuman

Walaupun etika posthuman menawarkan paradigma baru yang inklusif dan ekologis, beberapa kritikus menilai bahwa pendekatan ini sulit dioperasionalkan dalam kebijakan nyata. Prinsip-prinsip seperti “solidaritas multispesies” atau “agensi non-manusia” masih kabur dalam praktik dan belum memiliki kerangka hukum atau institusional yang jelas.

Hal ini ditekankan oleh Francesca Ferrando, yang mengakui bahwa salah satu tantangan besar posthumanisme adalah membangun sistem normatif yang mampu menjawab dinamika dunia nyata tanpa kehilangan kompleksitas dan keberagaman bentuk kehidupan.⁷ Oleh karena itu, posthumanisme dituntut untuk mengembangkan perangkat konseptual dan institusional yang lebih konkret.

6.6.       Risiko Melupakan Kemanusiaan Itu Sendiri

Akhirnya, kritik paling filosofis terhadap posthumanisme adalah bahwa dalam usahanya melampaui manusia, ia bisa saja kehilangan kepekaan terhadap penderitaan manusia itu sendiri. Dalam banyak konteks, terutama di negara-negara berkembang, masalah-masalah dasar seperti kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan struktural masih menuntut pendekatan humanistik yang kuat.⁸

Mengabaikan realitas ini atas nama “melampaui kemanusiaan” bisa menjadi bentuk ketidakpekaan intelektual. Oleh karena itu, beberapa pemikir menyarankan untuk tidak meninggalkan humanisme sepenuhnya, tetapi mengupayakan transformasi kritis terhadapnya—yakni, bentuk “posthumanisme yang berakar pada humanitas.”_⁹


Footnotes

[1]                Charles Ess, Digital Media Ethics (Cambridge: Polity Press, 2014), 87.

[2]                Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London: Bloomsbury Academic, 2013), 102.

[3]                Brent Waters, From Human to Posthuman: Christian Theology and Technology in a Postmodern World (Aldershot: Ashgate, 2006), 45.

[4]                Herbrechter, Posthumanism, 130.

[5]                Ibid., 132.

[6]                Francis Fukuyama, Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), 104.

[7]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 143.

[8]                Sylvia Wynter, “Unsettling the Coloniality of Being/Power/Truth/Freedom,” The New Centennial Review 3, no. 3 (2003): 257–337.

[9]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 196.


7.           Implikasi Posthumanisme dalam Kehidupan Kontemporer

Posthumanisme, meskipun bersifat teoretis dan filosofis, memiliki dampak nyata dalam berbagai aspek kehidupan manusia kontemporer. Gagasan-gagasannya tentang hibriditas manusia-mesin, identitas cair, dan etika multispesies telah memasuki wacana publik melalui teknologi, kebijakan, pendidikan, seni, dan budaya populer. Implikasi ini menunjukkan bahwa posthumanisme bukan sekadar refleksi akademik, melainkan juga kerangka berpikir yang memengaruhi cara kita hidup, belajar, bekerja, dan berinteraksi di era digital dan ekologis.

7.1.       Pendidikan dan Transformasi Kurikulum

Dalam dunia pendidikan, posthumanisme menantang paradigma pedagogi tradisional yang berbasis pada pemisahan antara subjek-pengajar dan objek-belajar. Rosi Braidotti mengusulkan pendekatan posthumanist education yang menekankan pembelajaran sebagai proses relasional dan interkonektif, melibatkan manusia, teknologi, dan lingkungan.¹ Kurikulum berbasis posthumanisme mengajak peserta didik untuk memahami dunia sebagai jaringan yang kompleks, bukan sebagai sistem hierarkis yang dikendalikan manusia.

Penerapan gagasan ini mulai tampak dalam pendekatan eco-pedagogy, critical animal studies, dan digital literacy, yang memperluas wilayah pembelajaran hingga mencakup isu-isu non-manusia seperti perubahan iklim, keberlanjutan, dan kecerdasan buatan.²

7.2.       Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Dunia Kerja

Salah satu tantangan besar yang dihadirkan oleh posthumanisme adalah otomatisasi dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) yang secara langsung memengaruhi struktur dunia kerja. Dalam visi posthuman, manusia bukan lagi satu-satunya aktor produktif—mesin, algoritma, dan robot kini memiliki agensi dalam memproduksi nilai.

N. Katherine Hayles menyatakan bahwa “kita tidak bisa lagi memahami subjek manusia sebagai terpisah dari sistem informasi digital yang membentuk cara berpikir dan bertindak.”_³ Dengan demikian, manusia kontemporer perlu beradaptasi dengan bentuk kerja baru yang kolaboratif antara manusia dan mesin, dan memahami batas-batas serta tanggung jawab dalam interaksi tersebut.⁴

7.3.       Budaya Populer dan Imajinasi Posthuman

Wacana posthumanisme juga hidup dalam budaya populer, terutama melalui film, sastra, game, dan media digital. Tokoh-tokoh seperti cyborg, android, mutan, dan AI dalam film-film seperti Blade Runner, Ex Machina, Ghost in the Shell, hingga Her, mencerminkan pertanyaan mendalam tentang batas antara manusia dan mesin, tubuh dan kesadaran, emosi dan logika.

Donna Haraway menyebut budaya populer sebagai “medan genealogis” yang membentuk dan mencerminkan imajinasi kolektif tentang masa depan.⁵ Dalam konteks ini, posthumanisme bukan hanya alat analisis, tetapi juga produksi naratif baru tentang identitas dan eksistensi di era digital.

7.4.       Politik Ekologi dan Krisis Planet

Implikasi penting lainnya dari posthumanisme terletak pada politik ekologis. Gagasan tentang interkonektivitas dan solidaritas multispesies menuntut perubahan dalam kebijakan lingkungan dan pola hidup manusia terhadap bumi. Krisis iklim global menjadi bukti bahwa pendekatan antroposentris terhadap alam telah gagal menjaga keseimbangan ekosistem.

Posthumanisme mengusulkan kerangka planetary ethics, yaitu etika global yang menekankan tanggung jawab manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar.⁶ Rosi Braidotti bahkan menyebut krisis ekologi sebagai “momen posthuman par excellence,” karena ia mengharuskan kita untuk meninggalkan pandangan manusia sebagai penguasa alam.⁷

7.5.       Medis, Bioteknologi, dan Rekayasa Tubuh

Dalam dunia medis dan bioteknologi, posthumanisme telah memunculkan perdebatan tentang rekayasa tubuh, dari augmentasi kognitif hingga transplantasi organ buatan dan modifikasi genetik.⁸ Praktik-praktik ini memperluas batas antara tubuh alami dan buatan, antara penyembuhan dan peningkatan, antara perawatan dan desain.

Sementara teknologi ini membuka peluang besar untuk meningkatkan kualitas hidup, ia juga memunculkan dilema etis yang kompleks: siapa yang berhak atas modifikasi tubuh? Apakah semua orang punya akses? Apakah identitas manusia tetap sama setelah mengalami modifikasi? Posthumanisme mengajak kita untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini secara kritis.


Dengan demikian, posthumanisme bukan sekadar filsafat spekulatif, tetapi kerangka pemahaman baru yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan kontemporer. Ia menantang kita untuk membayangkan kembali peran manusia dalam dunia yang semakin hibrida, terhubung, dan penuh tantangan ekologis maupun teknologis.


Footnotes

[1]                Rosi Braidotti, Posthuman Knowledge (Cambridge: Polity Press, 2019), 119.

[2]                Richard Kahn and Douglas Kellner, “Reconstructing Technoliteracy: A Multiple Literacies Approach,” E-Learning 1, no. 3 (2004): 9–20.

[3]                N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 35.

[4]                Ibid., 43–45.

[5]                Donna Haraway, Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.

[6]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 102.

[7]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 80.

[8]                Andy Miah, Human Futures: Art in an Age of Uncertainty (Liverpool: Liverpool University Press, 2008), 57–59.


8.           Penutup

Posthumanisme hadir sebagai salah satu wacana filosofis paling berani dan provokatif dalam menjawab tantangan zaman. Di tengah derasnya arus teknologi digital, bioteknologi, dan krisis planet, posthumanisme mengajak kita untuk melakukan refleksi ulang secara radikal terhadap apa artinya menjadi manusia. Ia menantang fondasi humanisme klasik yang menempatkan manusia sebagai pusat dunia, dan menggantikannya dengan cara berpikir yang lebih relasional, ekologis, dan multispesies.

Sebagai cabang pemikiran, posthumanisme tidak berhenti pada kritik, melainkan juga membangun kerangka konseptual baru: manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan dan teknologi; tubuh dan identitas sebagai proses yang cair; serta etika sebagai keterlibatan yang bertanggung jawab terhadap sesama makhluk hidup, termasuk makhluk non-manusia dan sistem digital.¹ Pendekatan ini memberikan harapan bagi terbentuknya solidaritas global yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Namun demikian, sebagaimana telah dibahas dalam bagian sebelumnya, posthumanisme tidak bebas dari kritik. Ada risiko dehumanisasi, erosi tanggung jawab moral individu, serta potensi ketimpangan sosial akibat dominasi teknologi. Karena itu, posthumanisme perlu dijalankan secara kritis dan kontekstual, dengan mempertimbangkan realitas sosial, budaya, ekonomi, dan spiritual dari masyarakat global.² Beberapa pemikir bahkan menyarankan pendekatan “posthumanisme kritis”, yaitu model pemikiran yang menggabungkan semangat dekonstruksi dengan komitmen etis terhadap nilai-nilai keadilan, inklusivitas, dan kesejahteraan planet.³

Di masa depan, posthumanisme berpotensi memainkan peran penting dalam menyusun ulang arah pendidikan, kebijakan teknologi, hubungan antarmanusia dan lingkungan, serta pengembangan spiritualitas yang lebih kosmologis.⁴ Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, pendekatan ini dapat menjadi sarana untuk mengembangkan cara hidup baru yang lebih adaptif, tanggap, dan bertanggung jawab secara ekologis dan eksistensial.

Dengan memahami posthumanisme secara utuh—baik dari sisi gagasan utama, konteks sejarah, hingga kritik terhadapnya—kita tidak hanya diajak untuk “melampaui” kemanusiaan, tetapi justru untuk memperdalam pemahaman kita tentang hakikat menjadi manusia dalam dunia yang terus berubah. Posthumanisme, pada akhirnya, bukan tentang menghapus manusia, melainkan tentang mengembangkan bentuk-bentuk kemanusiaan yang lebih luas, sadar, dan berjejaring.


Footnotes

[1]                Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 190.

[2]                Francesca Ferrando, Philosophical Posthumanism (London: Bloomsbury Academic, 2019), 134.

[3]                Stefan Herbrechter, Posthumanism: A Critical Analysis (London: Bloomsbury Academic, 2013), 150.

[4]                N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 291.


Daftar Pustaka

Bostrom, N. (2005). In defense of posthuman dignity. Bioethics, 19(3), 202–214. https://doi.org/10.1111/j.1467-8519.2005.00437.x

Braidotti, R. (2013). The posthuman. Polity Press.

Braidotti, R. (2019). Posthuman knowledge. Polity Press.

Clark, A. (2003). Natural-born cyborgs: Minds, technologies, and the future of human intelligence. Oxford University Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Ess, C. (2014). Digital media ethics (2nd ed.). Polity Press.

Ferrando, F. (2019). Philosophical posthumanism. Bloomsbury Academic.

Foucault, M. (1994). The order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage Books.

Fukuyama, F. (2002). Our posthuman future: Consequences of the biotechnology revolution. Farrar, Straus and Giroux.

Haraway, D. J. (1991). Simians, cyborgs, and women: The reinvention of nature. Routledge.

Haraway, D. J. (2008). When species meet. University of Minnesota Press.

Hayles, N. K. (1999). How we became posthuman: Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics. University of Chicago Press.

Herbrechter, S. (2013). Posthumanism: A critical analysis. Bloomsbury Academic.

Kahn, R., & Kellner, D. (2004). Reconstructing technoliteracy: A multiple literacies approach. E-Learning and Digital Media, 1(3), 9–20. https://doi.org/10.2304/elea.2004.1.3.1

Miah, A. (2008). Human futures: Art in an age of uncertainty. Liverpool University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Wolfe, C. (2010). What is posthumanism? University of Minnesota Press.

Waters, B. (2006). From human to posthuman: Christian theology and technology in a postmodern world. Ashgate.

Wynter, S. (2003). Unsettling the coloniality of being/power/truth/freedom: Towards the human, after man, its overrepresentation—An argument. The New Centennial Review, 3(3), 257–337. https://doi.org/10.1353/ncr.2004.0015

Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia (B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar