Positivisme Logis
Fondasi, Metodologi, dan Implikasi terhadap Ilmu
Pengetahuan
Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pendekatan
Positivisme Logis dalam epistemologi modern, dengan menelusuri fondasi
historis, asumsi filosofis, metodologi ilmiah, serta relevansinya dalam
pengembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Positivisme Logis, yang berkembang
pada awal abad ke-20 melalui Gerakan Wina, berupaya mereformasi filsafat agar
sejajar dengan sains melalui prinsip verifikasionisme dan analisis logis
terhadap bahasa. Didorong oleh semangat antimetafisika, pendekatan ini menolak
segala bentuk proposisi yang tidak dapat diuji secara empiris atau dibuktikan
secara logis.
Artikel ini juga membahas secara kritis
kelemahan-kelemahan epistemologis Positivisme Logis, termasuk kritik dari Karl
Popper, Willard Van Orman Quine, dan Thomas Kuhn, yang menunjukkan keterbatasan
verifikasionisme, kekakuan logis, serta ahistorisme pendekatan ini dalam menjelaskan
dinamika ilmu. Kendati banyak unsur paradigmatik dari Positivisme Logis telah
ditinggalkan, warisannya tetap kuat dalam filsafat analitik, metodologi ilmu
formal, serta dalam praktik-praktik ilmiah yang menekankan rasionalitas,
presisi konseptual, dan klarifikasi bahasa. Artikel ini menyimpulkan bahwa
Positivisme Logis, meskipun tidak utuh lagi sebagai paradigma dominan, tetap
memiliki nilai filosofis dan etis dalam membentuk kerangka berpikir ilmiah yang
kritis, terbuka, dan reflektif.
Kata Kunci: Positivisme Logis, Verifikasionisme, Vienna Circle,
Filsafat Analitik, Epistemologi Ilmiah, Kritik Popper, Falsifikasionisme, Unity
of Science, Bahasa Ilmiah, Analisis Logis.
PEMBAHASAN
Positivisme Logis dalam Epistemologi Modern
1.
Pendahuluan
Dalam lanskap
epistemologi modern, Positivisme Logis atau Logikal
Positivisme muncul sebagai salah satu pendekatan paling
berpengaruh yang menandai transisi filsafat ke arah rasionalitas
ilmiah dan klarifikasi bahasa pengetahuan.
Gerakan ini, yang mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-20 melalui
tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick, Rudolf
Carnap, dan Otto Neurath, dilandasi oleh
aspirasi untuk membangun filsafat yang ilmiah, yang
bebas dari spekulasi metafisik dan berbasis pada verifikasi
empiris serta analisis logis terhadap bahasa1.
Munculnya
Positivisme Logis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dua kekuatan besar dalam
filsafat sebelumnya, yaitu positivisme klasik ala Auguste
Comte, dan logika matematika sebagaimana
dikembangkan oleh Frege, Russell, dan Wittgenstein
awal. Gerakan ini berakar pada semangat empirisme British dan rasionalisme
kontinental, tetapi menekankan bahwa seluruh pengetahuan yang
bermakna harus bersifat empiris atau logis secara analitik2.
Prinsip sentral dari Positivisme Logis adalah bahwa makna
dari sebuah proposisi ditentukan oleh metode verifikasinya—suatu
prinsip yang dikenal dengan sebutan verifikasionisme3.
Kehadiran
Positivisme Logis merupakan respons langsung terhadap kekacauan
terminologis dalam filsafat, terutama yang dihasilkan oleh
spekulasi metafisika yang tidak dapat diuji kebenarannya secara empiris. Oleh
karena itu, kaum Positivis Logis menolak validitas kognitif dari
pernyataan-pernyataan metafisika, etik normatif, dan estetika karena dianggap
tidak dapat diverifikasi secara empiris atau tidak dapat dianalisis secara
logis4. Dalam hal ini, pendekatan mereka secara radikal membedakan
antara proposisi bermakna (meaningful) dan proposisi kosong (meaningless).
Positivisme Logis
menjadi paradigma dominan dalam epistemologi analitik Barat hingga pertengahan
abad ke-20, terutama dalam konteks pengembangan metodologi ilmu alam. Ia
mengarahkan filsafat kepada suatu fungsi baru, yaitu sebagai pembantu
ilmu pengetahuan, bukan sebagai penghasil kebenaran metafisis.
Dengan ini, filsafat harus membatasi diri pada analisis logis terhadap bahasa ilmu pengetahuan5.
Pengetahuan filosofis tidak lagi dilihat sebagai sumber wawasan ontologis,
melainkan sebagai aktivitas klarifikatif yang
melayani proyek saintifik.
Namun demikian, seiring
berkembangnya kritik dari berbagai mazhab, termasuk dari Karl
Popper, Thomas Kuhn, hingga Willard
Van Orman Quine, dominasi Positivisme Logis mulai mengalami
pelemahan. Kritik-kritik ini mempersoalkan asumsi netralitas bahasa
observasional, reduksionisme empiris, serta problematika verifikasi itu
sendiri. Kendati begitu, pengaruh Positivisme Logis tetap bertahan dalam banyak
aspek metodologi ilmiah modern, khususnya dalam sains formal dan pendekatan
kuantitatif ilmu sosial6.
Melalui artikel ini,
akan dikaji secara sistematis fondasi teoritis Positivisme Logis, metodologi
yang digunakannya, serta implikasi epistemologisnya dalam ilmu pengetahuan
kontemporer. Kajian ini tidak hanya bersifat deskriptif-historis, tetapi juga
akan mencakup kritik filosofis dan refleksi atas relevansi pendekatan ini dalam
dunia intelektual modern.
Footnotes
[1]
Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 3–5.
[2]
A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936),
31–34.
[3]
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis
of Language,” Logical Positivism, ed. A.J. Ayer (New York: Free Press,
1959), 60–81.
[4]
Hans-Johann Glock, What Is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 58.
[5]
Carl G. Hempel, “Philosophy of Natural Science” (Englewood Cliffs:
Prentice Hall, 1966), 5–7.
[6]
Alan Richardson, Carnap’s Construction of the World: The Aufbau and
the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 149–151.
2.
Konteks Historis dan Genealogi Intelektual
Kemunculan Positivisme
Logis (Logical Positivism) merupakan buah dari perkembangan
intelektual yang kompleks di Eropa awal abad ke-20, yang secara genealogis
terkait erat dengan Positivisme Klasik, Empirisme
Britania, Logika Matematika, serta
pemikiran Wittgenstein
awal dalam Tractatus Logico-Philosophicus.
Positivisme Logis bukan hanya sebuah aliran filsafat, tetapi juga sebuah
gerakan intelektual yang terorganisasi dan intensional melalui komunitas yang
dikenal sebagai Vienna Circle (Der Wiener
Kreis), sebuah kelompok filsuf dan ilmuwan yang aktif di Wina pada tahun
1920-an dan 1930-an.
Gerakan ini lahir
dari kekecewaan terhadap metafisika spekulatif yang
mendominasi filsafat kontemporer pada masa itu, serta keinginan kuat untuk
membangun suatu landasan epistemologis yang ilmiah, presisi, dan bebas dari ambiguitas
linguistik. Moritz Schlick, sebagai pemimpin
utama Vienna Circle, bersama tokoh-tokoh lainnya seperti Rudolf
Carnap, Otto Neurath, dan Hans
Hahn, berupaya membangun kerangka berpikir yang dapat menjembatani
antara pengetahuan
empiris dan analisis logis melalui penerapan metodologi
ilmiah terhadap bahasa dan struktur pengetahuan1.
Inspirasi awal
gerakan ini dapat dilacak pada Positivisme Auguste Comte, yang
menekankan bahwa ilmu pengetahuan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan
yang sahih, serta pada Empirisme David Hume, yang
menggarisbawahi pentingnya pengalaman indrawi sebagai dasar pengetahuan2.
Namun, Positivisme Logis menambahkan satu elemen baru yang tidak ada pada para
pendahulunya: analisis logis terhadap bahasa ilmiah,
yang bersumber dari perkembangan logika simbolik yang dipelopori oleh Frege,
Russell,
dan Whitehead.
Logika formal memungkinkan pengetahuan diartikulasikan secara presisi dan
terhindar dari ambiguitas metafisik yang kabur3.
Peran Ludwig
Wittgenstein, khususnya melalui karyanya Tractatus
Logico-Philosophicus (1921), sangat berpengaruh dalam menginspirasi
keyakinan Vienna Circle bahwa struktur logis dunia tercermin dalam struktur
logis bahasa. Prinsip ini menjadi dasar bagi tesis
gambar (picture theory of meaning) yang
menyatakan bahwa pernyataan bermakna adalah pernyataan yang mampu menggambarkan
fakta dunia melalui korespondensi logis4. Para Positivis Logis
mengadopsi dan memodifikasi gagasan ini dengan menekankan bahwa makna
sebuah proposisi ditentukan oleh cara verifikasinya secara empiris.
Dalam konteks sejarah
sosial-politik, Vienna Circle berkembang pada masa ketika Eropa tengah
mengalami krisis intelektual dan politis pasca-Perang Dunia I. Semangat
rekonstruksi rasional terhadap peradaban dan pengetahuan menjadi fondasi utama
bagi para filsuf ini. Mereka memandang filsafat sebagai kegiatan klarifikatif
dan analitis yang menghilangkan kekacauan dalam bahasa dan
menegakkan rasionalitas ilmiah sebagai panduan hidup modern5.
Selain Vienna
Circle, ide-ide Positivisme Logis juga berkembang di luar Austria, terutama di
Inggris dan Amerika Serikat melalui karya A.J. Ayer dan pengaruh kuat Rudolf
Carnap setelah eksodus intelektual akibat naiknya Nazisme di Eropa.
Ayer, melalui karyanya Language, Truth and Logic (1936),
menyederhanakan dan menyebarluaskan prinsip-prinsip utama Positivisme Logis ke
dunia Anglo-Amerika6.
Secara genealogis,
Positivisme Logis merupakan sintesis dari berbagai tradisi: empirisme
modern, filsafat analitik awal, dan semangat
ilmiah era pencerahan, yang seluruhnya diarahkan untuk mengeliminasi
pengetahuan non-verifikatif dari ranah epistemologi. Gerakan ini menandai pergeseran
besar dalam epistemologi modern, dari filsafat sebagai
spekulasi metafisik menuju filsafat sebagai logical clarification of thought.
Footnotes
[1]
Friedrich Stadler, The Vienna Circle: Studies in the Origins,
Development, and Influence of Logical Empiricism, trans. C. W. Seibel
(Dordrecht: Springer, 2001), 45–49.
[2]
A. J. Ayer, The Origins of Logical Positivism, in Logical
Positivism, ed. A. J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 5–7.
[3]
Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic
Philosophy and Phenomenology (London: Routledge, 2007), 63.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.
K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), proposition 2.1–2.18.
[5]
Thomas Uebel, Overcoming Logical Positivism from Within: The
Emergence of Neurath’s Naturalism in the Vienna Circle, Studies in
History and Philosophy of Science 23, no. 4 (1992): 617–635.
[6]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936),
31–35.
3.
Asas Epistemologis Positivisme Logis
Asas epistemologis Positivisme
Logis bertumpu pada dua pilar utama: empirisme
verifikatif dan analisis logis terhadap bahasa.
Dalam konteks ini, pengetahuan yang sah secara epistemologis adalah pengetahuan
yang dapat
diverifikasi melalui pengalaman empiris atau dapat
dibuktikan secara analitik melalui logika. Segala bentuk
proposisi yang tidak memenuhi salah satu dari dua kriteria tersebut dianggap nonsens
(meaningless) atau tidak bermakna secara kognitif1.
3.1.
Prinsip
Verifikasionisme
Prinsip
epistemologis paling mendasar dalam Positivisme Logis adalah verifikasionisme
(verification principle). Menurut prinsip ini, makna dari suatu proposisi identik dengan
metode verifikasinya. Artinya, suatu pernyataan hanya memiliki
makna jika ia dapat diverifikasi secara empiris (melalui observasi dan
pengalaman) atau dapat diverifikasi secara logis (melalui kebenaran analitik
atau tautologis). Sebagai contoh, pernyataan “air mendidih pada 100°C pada
tekanan 1 atm” memiliki makna karena dapat diuji melalui eksperimen;
sedangkan pernyataan seperti “Tuhan itu Mahaindah” dianggap tidak
bermakna secara epistemologis karena tidak memiliki metode verifikasi empiris
yang dapat diuji2.
Konsekuensi langsung
dari prinsip ini adalah penolakan terhadap segala bentuk metafisika,
teologi spekulatif, dan etika normatif sebagai bentuk
pengetahuan yang sah. Rudolf Carnap, salah satu tokoh utama gerakan ini,
menegaskan bahwa pernyataan metafisik seperti “ada realitas di balik dunia
fisik” tidak bisa dibuktikan secara empiris maupun logis dan karenanya harus
ditolak sebagai proposisi kognitif3.
3.2.
Analisis Logis dan
Bahasa Ilmiah
Positivisme Logis
juga sangat menekankan pada peran logika simbolik dalam membangun
pengetahuan. Menurut Carnap dan rekan-rekannya, analisis logis terhadap bahasa ilmiah
akan menghasilkan klarifikasi makna yang presisi dan menghindari ambiguitas
yang menjadi ciri khas dari metafisika tradisional. Di sini, bahasa dibagi ke
dalam dua jenis: bahasa observasional (yang
langsung merujuk pada data empiris) dan bahasa teoritis (yang membangun
model penjelasan berdasarkan prinsip logis). Tugas filsafat adalah menjembatani
kedua bahasa tersebut melalui proses logical reconstruction4.
Dalam The
Logical Syntax of Language (1934), Carnap membangun sistem
sintaksis formal untuk bahasa ilmiah yang memungkinkan pengujian kebenaran
proposisi secara struktural. Dengan cara ini, ia berupaya membatasi filsafat
pada fungsi klarifikasi linguistik, bukan
sebagai sumber ontologi atau nilai5.
3.3.
Reduksionisme dan
Unitas Ilmu
Prinsip
epistemologis lain yang penting dalam Positivisme Logis adalah reduksionisme
verifikatif, yaitu keyakinan bahwa semua proposisi ilmiah harus
dapat direduksi menjadi proposisi observasional dasar. Hal ini sejalan dengan
cita-cita Unity of
Science, yakni bahwa semua ilmu pengetahuan, baik fisika, kimia,
biologi, hingga ilmu sosial, pada akhirnya harus dapat dijelaskan dalam bahasa
empiris yang tunggal dan terstruktur secara logis6.
Otto Neurath bahkan
mengembangkan metafora “bahtera ilmiah” untuk menggambarkan bahwa seluruh
bangunan ilmu merupakan satu sistem yang terintegrasi, yang dapat terus
diperbaiki di tengah lautan pengalaman, tetapi tidak bisa dibongkar sepenuhnya
secara serentak7.
3.4.
Kognitivisme Ilmiah
Dalam epistemologi
Positivisme Logis, pengetahuan yang valid hanyalah pengetahuan
ilmiah dalam pengertian formal—yakni pengetahuan yang bersifat
universal, netral, objektif, dan bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan
diposisikan sebagai satu-satunya sumber kebenaran, sedangkan bentuk pengetahuan
lain seperti seni, agama, dan etika ditempatkan di luar ranah kognitif. Hal ini
dikenal sebagai positivisme epistemologis,
yaitu klaim bahwa epistemologi harus berakar secara eksklusif pada metode
ilmiah8.
Meskipun kemudian
pendekatan ini mendapatkan banyak kritik karena dinilai terlalu sempit dan
menafikan dimensi historis, sosial, dan hermeneutik dalam proses pengetahuan,
namun asas-asas dasar epistemologi Positivisme Logis tetap membentuk kerangka
berpikir dominan dalam filsafat analitik dan metodologi ilmiah hingga hari ini.
Footnotes
[1]
Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 13–15.
[2]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 38–42.
[3]
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis
of Language,” Logical Positivism, ed. A. J. Ayer (New York: Free
Press, 1959), 67–69.
[4]
Alan W. Richardson, Carnap’s Construction of the World: The Aufbau
and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 91–94.
[5]
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language, trans. A.
Smeaton (London: Kegan Paul, Trench, Trubner, 1937), 1–10.
[6]
Otto Neurath, “Unified Science and Psychology,” The Journal of
Unified Science 1, no. 1 (1930): 20–24.
[7]
Thomas Uebel, Overcoming Logical Positivism from Within
(Amsterdam: Rodopi, 1992), 75.
[8]
Hans Reichenbach, The Rise of Scientific Philosophy (Berkeley:
University of California Press, 1951), 5–6.
4.
Metodologi Ilmu dalam Kerangka Positivisme
Logis
Metodologi ilmu
dalam Positivisme Logis dibangun di atas komitmen epistemologis terhadap empirisme
verifikatif, analisis logis, dan klarifikasi
linguistik terhadap konsep-konsep ilmiah. Para pemikir dalam
gerakan ini, seperti Rudolf Carnap, Otto
Neurath, dan Hans Reichenbach, mengupayakan
suatu kerangka metodologis yang mampu menjelaskan struktur pengetahuan ilmiah
secara koheren,
sistematis, dan bebas dari unsur metafisika. Filsafat, dalam
pandangan mereka, tidak bertugas menciptakan sistem ontologis baru, melainkan
menyusun struktur formal bahasa ilmu pengetahuan
serta memperjelas makna pernyataan ilmiah melalui prosedur logis dan
verifikatif1.
4.1.
Bahasa Observasional
dan Bahasa Teoritis
Salah satu fondasi
metodologis utama dalam Positivisme Logis adalah pembedaan antara bahasa
observasional dan bahasa teoritis. Bahasa
observasional berisi istilah yang secara langsung mengacu pada data indrawi
atau pengalaman empiris, sedangkan bahasa teoritis mencakup konsep-konsep yang
tidak langsung teramati namun diperlukan untuk menjelaskan fenomena, seperti
"gaya gravitasi" atau "elektron"2.
Menurut Carnap, setiap proposisi teoritis yang valid secara ilmiah harus dapat
direduksi—secara logis—kepada serangkaian proposisi observasional yang dapat
diuji. Reduksi ini dilakukan melalui skema korespondensi, yaitu
perangkat aturan yang menjembatani istilah teoritis dengan data observasional3.
Pembedaan ini
bertujuan untuk menjaga kejelasan linguistik dan validitas
empiris dalam proses penyusunan teori ilmiah. Dengan
menghilangkan ambiguitas dan menyusun struktur sintaksis yang tepat, maka
pengetahuan ilmiah dapat disusun secara logis dan konsisten. Pendekatan ini
merupakan bagian dari proyek rekonstruksi logis terhadap
bahasa ilmu pengetahuan, yang menjadi misi sentral Positivisme Logis.
4.2.
Struktur Logika Ilmu
dan Aplikasi Logika Simbolik
Positivisme Logis
memandang logika simbolik (logika modern)
sebagai alat fundamental dalam menyusun dan menilai validitas argumen ilmiah.
Para filsuf seperti Carnap dan Reichenbach menggunakan sistem logika
proposisional dan predikat untuk menyusun teori ilmiah sebagai sistem
deduktif-aksiomatis, sebagaimana ditemukan dalam ilmu fisika modern4.
Dalam model ini, teori ilmiah dipandang sebagai kumpulan proposisi yang diturunkan
dari premis dasar melalui aturan logika yang ketat.
Metodologi ini
menggemakan pengaruh David Hilbert dalam matematika
formal dan Wittgenstein
awal dalam filsafat bahasa. Tujuan akhirnya adalah menyusun suatu “bahasa
ilmiah ideal” di mana semua proposisi memiliki bentuk logis yang jelas dan
hubungan semantis yang dapat diverifikasi. Dengan begitu, ilmu menjadi struktur
logis yang dapat diuji melalui pengalaman dan dimodifikasi
berdasarkan observasi empiris.
4.3.
Konsepsi Verifikasi
dan Validasi Ilmiah
Konsep verifikasi
merupakan titik sentral metodologi Positivisme Logis. Suatu proposisi hanya
dianggap ilmiah jika ada kemungkinan untuk memverifikasinya melalui observasi
atau eksperimen. Dalam versi awalnya, ini dikenal sebagai verifikasionisme
kuat, yaitu keharusan bahwa proposisi ilmiah harus dapat
diverifikasi secara pasti. Namun karena terlalu ketat, kemudian dikembangkan
menjadi verifikasionisme lemah, yang
menyatakan bahwa proposisi ilmiah cukup dapat diverifikasi secara probabilistik
atau sebagian5.
Meski demikian,
kriteria verifikasi ini membawa konsekuensi penting: proposisi metafisik, etik,
estetika, atau teologis tidak bisa dimasukkan dalam wilayah ilmu karena tidak
memiliki prosedur verifikasi empiris yang jelas. Hal ini memperkuat posisi naturalisme
ilmiah dan anti-metafisika dalam
metodologi Positivisme Logis.
4.4.
Unifikasi Ilmu dan
Reduksionisme Metodologis
Gerakan Vienna
Circle juga mengusung proyek besar berupa Unity of Science Movement
(Gerakan Kesatuan Ilmu), yang bertujuan menyatukan seluruh ilmu pengetahuan
dalam kerangka metodologis dan linguistik yang tunggal. Menurut Otto Neurath,
semua cabang ilmu, termasuk ilmu sosial dan humaniora, harus menggunakan bahasa
ilmiah yang sama—yakni bahasa fisika sebagai paradigma—agar dapat diverifikasi secara
universal6.
Di sini terlihat
peran reduksionisme
metodologis, yakni keyakinan bahwa proposisi dari ilmu sosial
atau biologi harus dapat direduksi kepada proposisi fisika atau kimia untuk
dianggap valid secara ilmiah. Bahasa "protokol" atau protocol
sentences, yakni laporan langsung tentang pengalaman indrawi,
menjadi dasar yang diharapkan dapat mengikat seluruh bangunan ilmu dalam satu
sistem verifikatif.
4.5.
Ilmu sebagai
Aktivitas Kumulatif dan Progresif
Sebagaimana
dikemukakan oleh Hans Reichenbach, ilmu pengetahuan dalam kerangka Positivisme
Logis merupakan aktivitas kumulatif yang terus berkembang
berdasarkan koreksi empiris. Pengetahuan berkembang secara
bertahap dari hasil observasi yang diperluas, generalisasi induktif, dan
pengujian teori secara sistematis7. Progresivitas ilmu diukur
berdasarkan konsistensi internal, kesesuaian dengan data empiris, dan kekuatan
prediktif dari teorinya. Hal ini berbeda dari pendekatan historis atau
hermeneutik yang menekankan diskontinuitas dan konteks sosial budaya.
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, Philosophy and Logical Syntax (London: Kegan
Paul, Trench, Trubner, 1935), 33–37.
[2]
Hans Reichenbach, The Rise of Scientific Philosophy (Berkeley:
University of California Press, 1951), 27–28.
[3]
Alan W. Richardson, Carnap’s Construction of the World: The Aufbau
and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 102–104.
[4]
Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 55–57.
[5]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 47–49.
[6]
Otto Neurath, “Physicalism: The Philosophy of the Vienna Circle,” in Logical
Positivism, ed. A. J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 52–54.
[7]
Hans Reichenbach, Experience and Prediction: An Analysis of the
Foundations and the Structure of Knowledge (Chicago: University of Chicago
Press, 1938), 14–17.
5.
Kritik terhadap Positivisme Logis
Meskipun Positivisme
Logis pernah mendominasi epistemologi Barat di paruh pertama
abad ke-20, pendekatan ini kemudian mengalami kritik tajam dari berbagai filsuf
yang menunjukkan kelemahan filosofis, metodologis, dan praktis dari proyeknya.
Kritik tersebut bukan hanya datang dari kalangan luar, tetapi juga dari dalam
tradisi empiris dan analitik itu sendiri. Secara umum, kritik
terhadap Positivisme Logis berkisar pada problem verifikasionisme,
reduksionisme
bahasa, ahistorisme ilmiah, serta ketidakmampuan
menjelaskan dinamika aktual ilmu pengetahuan.
5.1.
Karl Popper dan
Falsifikasionisme
Kritik paling awal
dan terkenal datang dari Karl Popper, yang menolak prinsip
verifikasionisme sebagai dasar pembeda antara ilmu dan non-ilmu. Dalam karya
terkenalnya The Logic of Scientific Discovery,
Popper menegaskan bahwa verifikasi tidak dapat memberikan kepastian
ilmiah karena pengamatan selalu terbatas dan bersifat
konfirmatif. Sebaliknya, Popper mengusulkan falsifikasionisme sebagai
kriteria demarkasi: suatu teori hanya bersifat ilmiah jika ia dapat dibantah
(falsifiable) oleh bukti empiris yang potensial1.
Popper menilai bahwa
Positivisme Logis gagal menangkap dinamika kritik dan revisi teori dalam ilmu
pengetahuan. Ia menyatakan bahwa upaya untuk memverifikasi proposisi secara
induktif hanya akan mengarah pada konfirmasi selektif dan bukan
kebenaran objektif. Dalam pandangannya, ilmu justru tumbuh melalui proses trial
and error, di mana teori yang salah digantikan oleh teori baru yang
lebih baik2.
5.2.
Willard Van Orman
Quine dan Kritik terhadap Dua Dogma
Willard
Van Orman Quine, dalam esainya yang berjudul “Two
Dogmas of Empiricism” (1951), menyerang dua asumsi dasar
Positivisme Logis: pertama, dualisme antara proposisi analitik dan sintetik,
dan kedua, reduksi makna kepada pengalaman langsung.
Menurut Quine, tidak ada garis batas yang jelas antara
kebenaran logis dan kebenaran empiris, karena seluruh sistem
pengetahuan kita diuji secara holistik, bukan pernyataan pernyataan secara
terpisah3.
Quine juga
menunjukkan bahwa upaya untuk mereduksi proposisi teoritis ke dalam bahasa
observasional bersifat artifisial dan tidak realistis.
Dalam praktiknya, teori ilmiah bergantung pada jaringan keyakinan yang saling
terkait dan tidak dapat direduksi ke dalam proposisi tunggal yang diverifikasi
langsung. Hal ini meruntuhkan gagasan dasar logical reductionism yang diusung
oleh Positivisme Logis4.
5.3.
Thomas S. Kuhn dan
Paradigma Ilmiah
Kritik berikutnya
datang dari Thomas Kuhn melalui karya
monumental The
Structure of Scientific Revolutions (1962). Kuhn menentang gagasan
bahwa ilmu berkembang secara linear, kumulatif, dan rasional sebagaimana
diasumsikan oleh Positivisme Logis. Ia memperkenalkan konsep paradigma,
yakni kerangka konseptual dan normatif yang membentuk cara ilmuwan melihat dan
memahami dunia5.
Menurut Kuhn,
perkembangan ilmu bukan semata hasil observasi dan verifikasi, melainkan
melalui pergeseran paradigma yang
bersifat revolusioner, tidak dapat direduksi ke logika formal, dan melibatkan
faktor psikososial serta historis. Dalam hal ini, Positivisme Logis gagal
memahami dimensi sejarah, norma komunitas ilmiah, dan konflik
ideologis dalam perubahan ilmiah6.
5.4.
Masalah Bahasa
Observasional dan Teoritis
Positivisme Logis
berasumsi bahwa terdapat perbedaan tegas antara bahasa observasional dan bahasa
teoritis, namun kritik menunjukkan bahwa pengamatan
tidak pernah netral secara teori. Norwood Russell Hanson dan Paul
Feyerabend, misalnya, berargumen bahwa semua pengamatan bersifat theory-laden,
yakni dibentuk oleh teori dan kerangka konseptual yang digunakan oleh ilmuwan7.
Oleh karena itu, tidak mungkin membangun fondasi empiris yang benar-benar bebas
dari muatan teori sebagaimana dibayangkan oleh Carnap dan Neurath.
5.5.
Reduksionisme Ilmiah
dan Kekakuan Metodologis
Upaya untuk
menyatukan semua ilmu pengetahuan ke dalam satu bahasa fisik dan struktur logis
tunggal dianggap terlalu reduksionis dan mengabaikan
kompleksitas ilmu-ilmu sosial, budaya, dan humaniora. Dalam
praktiknya, pendekatan metodologis yang terlalu formal tidak mampu menjelaskan
fenomena yang bersifat kontekstual, normatif, dan interpretatif. Feyerabend
bahkan menyebut pendekatan Positivisme Logis sebagai bentuk “scientific
authoritarianism” karena memaksakan satu metode tunggal bagi
seluruh cabang ilmu8.
5.6.
Positivisme Logis
dan Krisis Makna
Akhirnya, pendekatan
Positivisme Logis gagal menjawab problem makna yang lebih luas dalam
filsafat, etika, dan agama. Dengan membatasi makna hanya pada proposisi yang
dapat diverifikasi, ia menyingkirkan diskursus-diskursus penting yang membentuk
dimensi manusiawi dari pengetahuan. Bahkan dalam filsafat ilmu, para pemikir
kontemporer mulai beralih ke pendekatan yang lebih pluralis,
kontekstual, dan hermeneutik untuk menangkap kekayaan realitas
ilmiah dan praksisnya9.
Footnotes
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 40–45.
[3]
Willard Van Orman Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The
Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–23.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 6–10.
[7]
Norwood Russell Hanson, Patterns of Discovery (Cambridge:
Cambridge University Press, 1958), 19–22.
[8]
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 14–18.
[9]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Oxford
University Press, 1980), 12–15.
6.
Warisan dan Relevansi Kontemporer
Meskipun mengalami
kemunduran pada pertengahan abad ke-20, Positivisme Logis tetap
meninggalkan warisan epistemologis dan metodologis yang
mendalam dalam filsafat ilmu dan praktik keilmuan kontemporer.
Banyak prinsip dasarnya—terutama yang berkaitan dengan klarifikasi
logis, standardisasi bahasa ilmiah, dan kejelasan konseptual—masih
menjadi fondasi penting dalam analisis filsafat dan metodologi ilmu hingga saat
ini. Bahkan ketika banyak prinsip aslinya dikritik dan ditinggalkan, semangat
utamanya tetap hidup dalam berbagai pendekatan modern terhadap pengetahuan,
sains, dan filsafat bahasa.
6.1.
Pengaruh terhadap
Filsafat Analitik dan Logika Bahasa
Salah satu warisan
terpenting Positivisme Logis adalah kontribusinya terhadap perkembangan filsafat
analitik, khususnya dalam pemurnian analisis
konseptual dan logika simbolik. Tradisi ini terus dikembangkan
dalam karya-karya tokoh seperti Donald Davidson, Michael
Dummett, dan Saul Kripke, yang meskipun tidak
lagi menerima verifikasionisme, tetap menggunakan analisis
bahasa sebagai alat sentral dalam menyelidiki struktur pemikiran dan
pengetahuan1.
Selain itu, agenda
untuk membersihkan filsafat dari kerancuan linguistik, yang dimotori oleh Carnap,
tetap memengaruhi proyek-proyek analitis kontemporer, terutama dalam semantik
formal, filsafat matematika, dan metafisika analitik. Bahkan W.V.O.
Quine, salah satu pengkritik utama Positivisme Logis, tidak
meninggalkan komitmen terhadap logika dan empirisme sebagai pendekatan utama
dalam filsafat2.
6.2.
Relevansi dalam Ilmu
Formal dan Alam
Dalam bidang ilmu
formal dan alam, pengaruh Positivisme Logis masih sangat nyata,
terutama dalam formulasi teori ilmiah, pemodelan matematis,
dan standar objektivitas. Gagasan bahwa proposisi
ilmiah harus dapat diuji, dibuktikan secara logis, dan dirumuskan dengan bahasa
yang presisi tetap menjadi standar metodologis dalam fisika,
kimia, dan biologi modern3. Pendekatan ini terlihat dalam kecenderungan
reduksionistik dan kuantitatif dalam ilmu-ilmu alam, serta dalam desain
eksperimen yang berbasis hipotesis-verifikasi.
Penggunaan logika
formal dalam kecerdasan buatan, informatika, dan linguistik
komputasional juga merupakan kelanjutan dari warisan
Positivisme Logis, terutama dari proyek Carnap dalam pengembangan bahasa ilmiah
terstruktur4. Dalam hal ini, Positivisme Logis dapat dianggap
sebagai pendahulu dari filosofi teknologi modern yang
menekankan kejelasan struktural dan validitas formal.
6.3.
Positivisme Logis
dalam Ilmu Sosial dan Humaniora
Walaupun Positivisme
Logis tidak pernah sepenuhnya diadopsi dalam ilmu sosial dan humaniora,
pengaruhnya terasa dalam pendekatan positivistik kuantitatif,
seperti dalam sosiologi empiris, psikologi perilaku, dan ekonomi neoklasik.
Model-model ilmu sosial yang menekankan objektivitas, pengukuran, dan prediksi
sangat dipengaruhi oleh cita-cita unity of science yang diusung oleh
Vienna Circle5.
Namun, di sisi lain,
kegagalan Positivisme Logis dalam menjelaskan dimensi nilai, makna, dan
struktur sosial yang kompleks telah mendorong lahirnya pendekatan alternatif
seperti hermeneutika, kritik
ideologis, dan konstruktivisme sosial. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun secara substansial ditinggalkan dalam ilmu sosial
kontemporer, Positivisme Logis tetap menjadi latar belakang dialektis bagi
banyak teori kritis dan post-positivis6.
6.4.
Transisi ke
Empirisme Logis dan Post-Positivisme
Sebagian pengaruh
Positivisme Logis diteruskan dan dimodifikasi oleh gerakan Empirisme
Logis dan pendekatan post-positivisme yang lebih
fleksibel. Tokoh seperti Carl Hempel, Bas van
Fraassen, dan Imre Lakatos mengembangkan versi
epistemologi ilmiah yang tetap empiris, namun mengakomodasi konteks
historis, logika probabilistik, dan peran model dalam sains.
Van Fraassen, misalnya, dalam The Scientific Image,
memperkenalkan konstruktivisme empiris yang
menolak klaim realisme metafisik namun tetap setia pada deskripsi ilmiah yang
dapat diamati7.
Dengan demikian,
meskipun klaim-klaim dogmatis Positivisme Logis ditinggalkan, intuisinya
mengenai rasionalitas ilmiah dan pentingnya kejelasan metodologis
tetap menjadi ciri penting dalam epistemologi kontemporer.
6.5.
Pelajaran
Epistemologis dan Etika Pengetahuan
Warisan lainnya
adalah pelajaran epistemologis yang berharga: bahwa klarifikasi
konsep, bahasa, dan prosedur metodologis merupakan prasyarat penting bagi
legitimasi pengetahuan ilmiah. Positivisme Logis memperlihatkan
bahwa tanpa kejelasan dalam struktur bahasa dan logika, pernyataan-pernyataan
ilmiah berisiko terjerumus ke dalam retorika kosong. Dalam era post-truth dan
disinformasi saat ini, semangat ini menjadi semakin relevan sebagai upaya
mempertahankan integritas rasionalitas ilmiah
dalam ruang publik8.
Footnotes
[1]
Michael Dummett, The Logical Basis of Metaphysics (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1991), 5–9.
[2]
Willard Van Orman Quine, From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1961), 1–3.
[3]
Carl G. Hempel, Philosophy of Natural Science (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1966), 12–16.
[4]
Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language (London: Kegan
Paul, Trench, Trubner, 1937), vii–ix.
[5]
Otto Neurath, “Unified Science and Psychology,” The Journal of
Unified Science 1, no. 1 (1930): 25–27.
[6]
Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 6–8.
[7]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Oxford
University Press, 1980), 12–14.
[8]
Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 198–201.
7.
Sintesis Filosofis dan Refleksi Kritis
Dalam merangkum
warisan intelektual dan konseptual Positivisme Logis, dapat
ditegaskan bahwa pendekatan ini merupakan upaya radikal untuk mendisiplinkan filsafat dan
ilmu pengetahuan melalui prinsip-prinsip verifikasi
empiris, analisis logis, dan klarifikasi linguistik. Gerakan
ini menandai pergeseran paradigmatik dalam
epistemologi abad ke-20, dari filsafat yang spekulatif menuju filsafat yang
berbasis pada metodologi ilmiah dan bentuk logika formal.
Namun, seperti ditunjukkan oleh sejumlah kritik dan perkembangan filsafat ilmu
selanjutnya, proyek Positivisme Logis juga mengandung keterbatasan
inheren yang membuka ruang bagi refleksi filosofis yang lebih
luas.
7.1.
Sintesis: Sumbangan
Epistemologis Positivisme Logis
Secara positif,
Positivisme Logis telah memberikan kontribusi mendasar terhadap penataan ulang
epistemologi modern:
·
Penajaman
batas epistemis antara pernyataan bermakna dan tidak bermakna
melalui prinsip verifikasi memberikan kerangka untuk menyaring klaim-klaim
pengetahuan secara rasional1.
·
Penerapan
logika simbolik dalam formulasi dan evaluasi teori ilmiah
mendorong berkembangnya epistemologi formal serta struktur deduktif-aksiomatis
dalam ilmu pengetahuan2.
·
Gerakan ini memperkuat komitmen
terhadap rasionalitas ilmiah, yang menekankan bahwa setiap
proposisi harus tunduk pada uji kebenaran objektif melalui eksperimen atau
deduksi logis3.
·
Dalam dimensi metodologis, Positivisme
Logis memengaruhi munculnya standardisasi ilmiah, bahasa teknis
formal, dan kriteria metodologis universal yang masih digunakan
hingga kini, terutama dalam sains alam dan teknologi.
7.2.
Refleksi Kritis:
Batasan, Problema, dan Revisi
Namun, dalam refleksi
filosofis yang lebih mendalam, sejumlah persoalan epistemologis dan ontologis
dari Positivisme Logis tidak bisa diabaikan:
·
Prinsip
verifikasi ternyata gagal memverifikasi
dirinya sendiri—ia tidak dapat diuji secara empiris maupun dibuktikan
secara logis, sehingga bersifat performatif kontradiktif4. Ini
merupakan kelemahan mendasar yang diangkat oleh Popper dan Quine dalam kritik
mereka terhadap self-referential incoherence.
·
Penolakan terhadap metafisika,
etika, dan estetika dianggap menyempitkan cakrawala pengetahuan
manusia dan mendesakralisasi dimensi reflektif dan
eksistensial yang justru esensial dalam filsafat dan
kemanusiaan5.
·
Reduksionisme metodologis
dan upaya menyatukan semua disiplin dalam satu bahasa ilmiah mengabaikan kekayaan
pluralitas epistemik, terutama dalam ilmu sosial, humaniora,
dan studi interdisipliner kontemporer6.
·
Ketidakmampuan menjelaskan
dimensi historis, sosial, dan paradigmatik dalam perkembangan ilmu—sebagaimana
diungkap Kuhn—membuat Positivisme Logis tampak terlalu statik
dan ahistoris dalam memahami dinamika ilmiah7.
7.3.
Rekontekstualisasi
dan Implikasi Filosofis Kontemporer
Refleksi kritis
terhadap Positivisme Logis tidak berarti menolak seluruh proyeknya. Sebaliknya,
pendekatan ini dapat dilihat sebagai tahap penting dalam dialektika perkembangan
epistemologi, yang mendorong filsafat untuk lebih menyadari
perlunya:
·
Menyeimbangkan antara presisi
analitik dan sensitivitas terhadap konteks historis,
sosial, dan kultural.
·
Membangun epistemologi yang
pluralis, yang tidak hanya menekankan verifikasi empiris,
tetapi juga mempertimbangkan justifikasi rasional, konsensus
intersubjektif, dan kedalaman makna.
·
Menyadari bahwa ilmu bukan
sekadar sistem simbol formal, tetapi juga praktik manusia yang
ditopang oleh norma, nilai, dan imajinasi8.
Dengan demikian,
warisan Positivisme Logis dapat direaktualisasi bukan sebagai dogma
metodologis, melainkan sebagai komponen epistemik yang terintegrasi dalam
kerangka pengetahuan yang lebih reflektif, terbuka, dan multidimensional.
Di tengah tantangan disinformasi, relativisme radikal, dan krisis otoritas
ilmiah, semangat klarifikasi dan ketegasan epistemik yang diwariskan
Positivisme Logis masih memiliki relevansi etis dan praktis yang penting untuk
dipertimbangkan kembali secara bijak dalam wacana kontemporer.
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, Philosophy and Logical Syntax (London: Kegan
Paul, Trench, Trubner, 1935), 47–50.
[2]
Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 58–61.
[3]
Carl G. Hempel, Aspects of Scientific Explanation (New York:
Free Press, 1965), 3–7.
[4]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 13–14.
[5]
Hans-Johann Glock, What Is Analytic Philosophy? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 102.
[6]
Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 54–56.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 85–88.
[8]
Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 210–212.
8.
Penutup
Positivisme Logis
telah memainkan peran penting dalam membentuk arah epistemologi modern,
khususnya dalam upayanya untuk menegakkan fondasi pengetahuan ilmiah yang rasional,
terstruktur, dan bebas dari klaim metafisik yang tidak dapat diverifikasi.
Sebagai respons terhadap dominasi metafisika spekulatif dalam filsafat
tradisional, gerakan ini berusaha merevolusi filsafat menjadi disiplin
klarifikatif, dengan memusatkan perhatian pada analisis
logis bahasa dan pembuktian empiris atas proposisi ilmiah.
Dalam prosesnya, Positivisme Logis berhasil membangun fondasi epistemik yang
kuat bagi pengembangan filsafat analitik, metodologi
ilmiah, serta struktur formal berbagai cabang ilmu pengetahuan
kontemporer1.
Melalui konsep-konsep
seperti verifikasionisme, analisis
logika formal, serta proyek unity of science, kaum
Positivis Logis mencoba menciptakan sistem pengetahuan yang universal,
konsisten, dan netral. Dalam bidang metodologi, mereka menekankan pentingnya bahasa
observasional, reduksi proposisi teoritis, dan
penggunaan logika simbolik sebagai alat
utama untuk menyusun pengetahuan ilmiah yang valid2. Upaya ini
membuka jalan bagi pengembangan filsafat ilmu yang lebih sistematis, dan
memberikan alat analisis yang masih digunakan dalam banyak bidang ilmiah hingga
saat ini.
Namun demikian,
perjalanan intelektual Positivisme Logis juga diwarnai dengan kritik tajam,
baik dari luar maupun dari dalam tradisi analitik itu sendiri. Tokoh seperti Karl
Popper, Willard Van Orman Quine, dan Thomas
Kuhn menunjukkan bahwa ilmu tidak berkembang secara murni verifikatif
atau deduktif, melainkan melibatkan dinamika historis, konflik
paradigma, dan keterikatan teori terhadap kerangka konseptual yang lebih luas3.
Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa proyek Positivisme Logis bersifat terlalu
sempit, statis, dan tidak realistis dalam memahami kompleksitas
praktik ilmiah yang sesungguhnya.
Meskipun banyak
prinsipnya telah ditinggalkan, warisan intelektual Positivisme Logis tetap
bertahan, baik sebagai dasar logis-epistemologis bagi
pendekatan ilmiah modern maupun sebagai latar dialektis bagi munculnya
pendekatan-pendekatan epistemologi baru yang lebih pluralistik. Dalam konteks
kontemporer, semangat Positivisme Logis masih relevan sebagai pengingat
akan pentingnya rasionalitas, kejelasan konseptual, dan kejujuran metodologis
dalam menghadapi tantangan disinformasi, relativisme ekstrem, dan krisis
epistemik global4.
Dengan demikian,
kajian terhadap Positivisme Logis bukan sekadar studi historis, melainkan juga refleksi
filosofis atas dasar-dasar pengetahuan ilmiah, yang tetap
penting bagi siapa pun yang tertarik pada fondasi epistemologi, struktur ilmu
pengetahuan, dan masa depan filsafat sains. Mengakui keterbatasannya tidak
berarti menolaknya secara keseluruhan, tetapi justru membuka jalan untuk mengintegrasikan
elemen-elemen rasionalitas ilmiah dengan konteks sosial, budaya, dan
nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas5.
Footnotes
[1]
Rudolf Carnap, The Logical Structure
of the World and Pseudoproblems in Philosophy, trans. Rolf A. George (Berkeley: University of
California Press, 1967), vii–ix.
[2]
Carl G. Hempel, Philosophy of Natural
Science (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, 1966), 29–32.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions, 2nd ed.
(Chicago: University of Chicago Press, 1970), 92–95; Willard Van Orman Quine,
“Two Dogmas of Empiricism,” The
Philosophical Review 60, no. 1
(1951): 25–27.
[4]
Heather Douglas, Science, Policy, and
the Value-Free Ideal (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 2009), 208–210.
[5]
Bas C. van Fraassen, The
Scientific Image (Oxford: Oxford
University Press, 1980), 14–17.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
Gollancz.
Carnap, R. (1935). Philosophy and logical syntax.
Kegan Paul, Trench, Trubner.
Carnap, R. (1937). The logical syntax of
language (A. Smeaton, Trans.). Kegan Paul, Trench, Trubner.
Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics
through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism
(pp. 60–81). Free Press.
Carnap, R. (1967). The logical structure of the
world and pseudoproblems in philosophy (R. A. George, Trans.). University
of California Press.
Douglas, H. (2009). Science, policy, and the
value-free ideal. University of Pittsburgh Press.
Dummett, M. (1991). The logical basis of
metaphysics. Harvard University Press.
Feyerabend, P. (1975). Against method.
Verso.
Friedman, M. (1999). Reconsidering logical
positivism. Cambridge University Press.
Glock, H.-J. (2008). What is analytic
philosophy? Cambridge University Press.
Hacking, I. (1983). Representing and intervening.
Cambridge University Press.
Hacking, I. (1999). The social construction of
what? Harvard University Press.
Hanson, N. R. (1958). Patterns of discovery.
Cambridge University Press.
Hempel, C. G. (1965). Aspects of scientific
explanation. Free Press.
Hempel, C. G. (1966). Philosophy of natural
science. Prentice-Hall.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Neurath, O. (1930). Unified science and psychology.
The Journal of Unified Science, 1(1), 20–27.
Neurath, O. (1959). Physicalism: The philosophy of
the Vienna Circle. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism (pp. 52–57).
Free Press.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The
Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Quine, W. V. O. (1961). From a logical point of
view. Harvard University Press.
Reichenbach, H. (1938). Experience and
prediction: An analysis of the foundations and the structure of knowledge.
University of Chicago Press.
Reichenbach, H. (1951). The rise of scientific
philosophy. University of California Press.
Richardson, A. W. (1998). Carnap’s construction
of the world: The Aufbau and the emergence of logical empiricism. Cambridge
University Press.
Stadler, F. (2001). The Vienna Circle: Studies
in the origins, development, and influence of logical empiricism (C. W.
Seibel, Trans.). Springer.
Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Oxford University Press.
Uebel, T. (1992). Overcoming logical positivism
from within: The emergence of Neurath’s naturalism in the Vienna Circle.
Rodopi.
Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Oxford University Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge & Kegan Paul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar