Rabu, 11 Juni 2025

Positivisme Logis: Fondasi, Metodologi, dan Implikasi terhadap Ilmu Pengetahuan

Positivisme Logis

Fondasi, Metodologi, dan Implikasi terhadap Ilmu Pengetahuan


Alihkan ke: Aliran Epistemologi dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pendekatan Positivisme Logis dalam epistemologi modern, dengan menelusuri fondasi historis, asumsi filosofis, metodologi ilmiah, serta relevansinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Positivisme Logis, yang berkembang pada awal abad ke-20 melalui Gerakan Wina, berupaya mereformasi filsafat agar sejajar dengan sains melalui prinsip verifikasionisme dan analisis logis terhadap bahasa. Didorong oleh semangat antimetafisika, pendekatan ini menolak segala bentuk proposisi yang tidak dapat diuji secara empiris atau dibuktikan secara logis.

Artikel ini juga membahas secara kritis kelemahan-kelemahan epistemologis Positivisme Logis, termasuk kritik dari Karl Popper, Willard Van Orman Quine, dan Thomas Kuhn, yang menunjukkan keterbatasan verifikasionisme, kekakuan logis, serta ahistorisme pendekatan ini dalam menjelaskan dinamika ilmu. Kendati banyak unsur paradigmatik dari Positivisme Logis telah ditinggalkan, warisannya tetap kuat dalam filsafat analitik, metodologi ilmu formal, serta dalam praktik-praktik ilmiah yang menekankan rasionalitas, presisi konseptual, dan klarifikasi bahasa. Artikel ini menyimpulkan bahwa Positivisme Logis, meskipun tidak utuh lagi sebagai paradigma dominan, tetap memiliki nilai filosofis dan etis dalam membentuk kerangka berpikir ilmiah yang kritis, terbuka, dan reflektif.

Kata Kunci: Positivisme Logis, Verifikasionisme, Vienna Circle, Filsafat Analitik, Epistemologi Ilmiah, Kritik Popper, Falsifikasionisme, Unity of Science, Bahasa Ilmiah, Analisis Logis.


PEMBAHASAN

Positivisme Logis dalam Epistemologi Modern


1.           Pendahuluan

Dalam lanskap epistemologi modern, Positivisme Logis atau Logikal Positivisme muncul sebagai salah satu pendekatan paling berpengaruh yang menandai transisi filsafat ke arah rasionalitas ilmiah dan klarifikasi bahasa pengetahuan. Gerakan ini, yang mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Moritz Schlick, Rudolf Carnap, dan Otto Neurath, dilandasi oleh aspirasi untuk membangun filsafat yang ilmiah, yang bebas dari spekulasi metafisik dan berbasis pada verifikasi empiris serta analisis logis terhadap bahasa1.

Munculnya Positivisme Logis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dua kekuatan besar dalam filsafat sebelumnya, yaitu positivisme klasik ala Auguste Comte, dan logika matematika sebagaimana dikembangkan oleh Frege, Russell, dan Wittgenstein awal. Gerakan ini berakar pada semangat empirisme British dan rasionalisme kontinental, tetapi menekankan bahwa seluruh pengetahuan yang bermakna harus bersifat empiris atau logis secara analitik2. Prinsip sentral dari Positivisme Logis adalah bahwa makna dari sebuah proposisi ditentukan oleh metode verifikasinya—suatu prinsip yang dikenal dengan sebutan verifikasionisme3.

Kehadiran Positivisme Logis merupakan respons langsung terhadap kekacauan terminologis dalam filsafat, terutama yang dihasilkan oleh spekulasi metafisika yang tidak dapat diuji kebenarannya secara empiris. Oleh karena itu, kaum Positivis Logis menolak validitas kognitif dari pernyataan-pernyataan metafisika, etik normatif, dan estetika karena dianggap tidak dapat diverifikasi secara empiris atau tidak dapat dianalisis secara logis4. Dalam hal ini, pendekatan mereka secara radikal membedakan antara proposisi bermakna (meaningful) dan proposisi kosong (meaningless).

Positivisme Logis menjadi paradigma dominan dalam epistemologi analitik Barat hingga pertengahan abad ke-20, terutama dalam konteks pengembangan metodologi ilmu alam. Ia mengarahkan filsafat kepada suatu fungsi baru, yaitu sebagai pembantu ilmu pengetahuan, bukan sebagai penghasil kebenaran metafisis. Dengan ini, filsafat harus membatasi diri pada analisis logis terhadap bahasa ilmu pengetahuan5. Pengetahuan filosofis tidak lagi dilihat sebagai sumber wawasan ontologis, melainkan sebagai aktivitas klarifikatif yang melayani proyek saintifik.

Namun demikian, seiring berkembangnya kritik dari berbagai mazhab, termasuk dari Karl Popper, Thomas Kuhn, hingga Willard Van Orman Quine, dominasi Positivisme Logis mulai mengalami pelemahan. Kritik-kritik ini mempersoalkan asumsi netralitas bahasa observasional, reduksionisme empiris, serta problematika verifikasi itu sendiri. Kendati begitu, pengaruh Positivisme Logis tetap bertahan dalam banyak aspek metodologi ilmiah modern, khususnya dalam sains formal dan pendekatan kuantitatif ilmu sosial6.

Melalui artikel ini, akan dikaji secara sistematis fondasi teoritis Positivisme Logis, metodologi yang digunakannya, serta implikasi epistemologisnya dalam ilmu pengetahuan kontemporer. Kajian ini tidak hanya bersifat deskriptif-historis, tetapi juga akan mencakup kritik filosofis dan refleksi atas relevansi pendekatan ini dalam dunia intelektual modern.


Footnotes

[1]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 3–5.

[2]                A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–34.

[3]                Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language,” Logical Positivism, ed. A.J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 60–81.

[4]                Hans-Johann Glock, What Is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 58.

[5]                Carl G. Hempel, “Philosophy of Natural Science” (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1966), 5–7.

[6]                Alan Richardson, Carnap’s Construction of the World: The Aufbau and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 149–151.


2.           Konteks Historis dan Genealogi Intelektual

Kemunculan Positivisme Logis (Logical Positivism) merupakan buah dari perkembangan intelektual yang kompleks di Eropa awal abad ke-20, yang secara genealogis terkait erat dengan Positivisme Klasik, Empirisme Britania, Logika Matematika, serta pemikiran Wittgenstein awal dalam Tractatus Logico-Philosophicus. Positivisme Logis bukan hanya sebuah aliran filsafat, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang terorganisasi dan intensional melalui komunitas yang dikenal sebagai Vienna Circle (Der Wiener Kreis), sebuah kelompok filsuf dan ilmuwan yang aktif di Wina pada tahun 1920-an dan 1930-an.

Gerakan ini lahir dari kekecewaan terhadap metafisika spekulatif yang mendominasi filsafat kontemporer pada masa itu, serta keinginan kuat untuk membangun suatu landasan epistemologis yang ilmiah, presisi, dan bebas dari ambiguitas linguistik. Moritz Schlick, sebagai pemimpin utama Vienna Circle, bersama tokoh-tokoh lainnya seperti Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan Hans Hahn, berupaya membangun kerangka berpikir yang dapat menjembatani antara pengetahuan empiris dan analisis logis melalui penerapan metodologi ilmiah terhadap bahasa dan struktur pengetahuan1.

Inspirasi awal gerakan ini dapat dilacak pada Positivisme Auguste Comte, yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih, serta pada Empirisme David Hume, yang menggarisbawahi pentingnya pengalaman indrawi sebagai dasar pengetahuan2. Namun, Positivisme Logis menambahkan satu elemen baru yang tidak ada pada para pendahulunya: analisis logis terhadap bahasa ilmiah, yang bersumber dari perkembangan logika simbolik yang dipelopori oleh Frege, Russell, dan Whitehead. Logika formal memungkinkan pengetahuan diartikulasikan secara presisi dan terhindar dari ambiguitas metafisik yang kabur3.

Peran Ludwig Wittgenstein, khususnya melalui karyanya Tractatus Logico-Philosophicus (1921), sangat berpengaruh dalam menginspirasi keyakinan Vienna Circle bahwa struktur logis dunia tercermin dalam struktur logis bahasa. Prinsip ini menjadi dasar bagi tesis gambar (picture theory of meaning) yang menyatakan bahwa pernyataan bermakna adalah pernyataan yang mampu menggambarkan fakta dunia melalui korespondensi logis4. Para Positivis Logis mengadopsi dan memodifikasi gagasan ini dengan menekankan bahwa makna sebuah proposisi ditentukan oleh cara verifikasinya secara empiris.

Dalam konteks sejarah sosial-politik, Vienna Circle berkembang pada masa ketika Eropa tengah mengalami krisis intelektual dan politis pasca-Perang Dunia I. Semangat rekonstruksi rasional terhadap peradaban dan pengetahuan menjadi fondasi utama bagi para filsuf ini. Mereka memandang filsafat sebagai kegiatan klarifikatif dan analitis yang menghilangkan kekacauan dalam bahasa dan menegakkan rasionalitas ilmiah sebagai panduan hidup modern5.

Selain Vienna Circle, ide-ide Positivisme Logis juga berkembang di luar Austria, terutama di Inggris dan Amerika Serikat melalui karya A.J. Ayer dan pengaruh kuat Rudolf Carnap setelah eksodus intelektual akibat naiknya Nazisme di Eropa. Ayer, melalui karyanya Language, Truth and Logic (1936), menyederhanakan dan menyebarluaskan prinsip-prinsip utama Positivisme Logis ke dunia Anglo-Amerika6.

Secara genealogis, Positivisme Logis merupakan sintesis dari berbagai tradisi: empirisme modern, filsafat analitik awal, dan semangat ilmiah era pencerahan, yang seluruhnya diarahkan untuk mengeliminasi pengetahuan non-verifikatif dari ranah epistemologi. Gerakan ini menandai pergeseran besar dalam epistemologi modern, dari filsafat sebagai spekulasi metafisik menuju filsafat sebagai logical clarification of thought.


Footnotes

[1]                Friedrich Stadler, The Vienna Circle: Studies in the Origins, Development, and Influence of Logical Empiricism, trans. C. W. Seibel (Dordrecht: Springer, 2001), 45–49.

[2]                A. J. Ayer, The Origins of Logical Positivism, in Logical Positivism, ed. A. J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 5–7.

[3]                Michael Beaney, The Analytic Turn: Analysis in Early Analytic Philosophy and Phenomenology (London: Routledge, 2007), 63.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), proposition 2.1–2.18.

[5]                Thomas Uebel, Overcoming Logical Positivism from Within: The Emergence of Neurath’s Naturalism in the Vienna Circle, Studies in History and Philosophy of Science 23, no. 4 (1992): 617–635.

[6]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31–35.


3.           Asas Epistemologis Positivisme Logis

Asas epistemologis Positivisme Logis bertumpu pada dua pilar utama: empirisme verifikatif dan analisis logis terhadap bahasa. Dalam konteks ini, pengetahuan yang sah secara epistemologis adalah pengetahuan yang dapat diverifikasi melalui pengalaman empiris atau dapat dibuktikan secara analitik melalui logika. Segala bentuk proposisi yang tidak memenuhi salah satu dari dua kriteria tersebut dianggap nonsens (meaningless) atau tidak bermakna secara kognitif1.

3.1.       Prinsip Verifikasionisme

Prinsip epistemologis paling mendasar dalam Positivisme Logis adalah verifikasionisme (verification principle). Menurut prinsip ini, makna dari suatu proposisi identik dengan metode verifikasinya. Artinya, suatu pernyataan hanya memiliki makna jika ia dapat diverifikasi secara empiris (melalui observasi dan pengalaman) atau dapat diverifikasi secara logis (melalui kebenaran analitik atau tautologis). Sebagai contoh, pernyataan “air mendidih pada 100°C pada tekanan 1 atm” memiliki makna karena dapat diuji melalui eksperimen; sedangkan pernyataan seperti “Tuhan itu Mahaindah” dianggap tidak bermakna secara epistemologis karena tidak memiliki metode verifikasi empiris yang dapat diuji2.

Konsekuensi langsung dari prinsip ini adalah penolakan terhadap segala bentuk metafisika, teologi spekulatif, dan etika normatif sebagai bentuk pengetahuan yang sah. Rudolf Carnap, salah satu tokoh utama gerakan ini, menegaskan bahwa pernyataan metafisik seperti “ada realitas di balik dunia fisik” tidak bisa dibuktikan secara empiris maupun logis dan karenanya harus ditolak sebagai proposisi kognitif3.

3.2.       Analisis Logis dan Bahasa Ilmiah

Positivisme Logis juga sangat menekankan pada peran logika simbolik dalam membangun pengetahuan. Menurut Carnap dan rekan-rekannya, analisis logis terhadap bahasa ilmiah akan menghasilkan klarifikasi makna yang presisi dan menghindari ambiguitas yang menjadi ciri khas dari metafisika tradisional. Di sini, bahasa dibagi ke dalam dua jenis: bahasa observasional (yang langsung merujuk pada data empiris) dan bahasa teoritis (yang membangun model penjelasan berdasarkan prinsip logis). Tugas filsafat adalah menjembatani kedua bahasa tersebut melalui proses logical reconstruction4.

Dalam The Logical Syntax of Language (1934), Carnap membangun sistem sintaksis formal untuk bahasa ilmiah yang memungkinkan pengujian kebenaran proposisi secara struktural. Dengan cara ini, ia berupaya membatasi filsafat pada fungsi klarifikasi linguistik, bukan sebagai sumber ontologi atau nilai5.

3.3.       Reduksionisme dan Unitas Ilmu

Prinsip epistemologis lain yang penting dalam Positivisme Logis adalah reduksionisme verifikatif, yaitu keyakinan bahwa semua proposisi ilmiah harus dapat direduksi menjadi proposisi observasional dasar. Hal ini sejalan dengan cita-cita Unity of Science, yakni bahwa semua ilmu pengetahuan, baik fisika, kimia, biologi, hingga ilmu sosial, pada akhirnya harus dapat dijelaskan dalam bahasa empiris yang tunggal dan terstruktur secara logis6.

Otto Neurath bahkan mengembangkan metafora “bahtera ilmiah” untuk menggambarkan bahwa seluruh bangunan ilmu merupakan satu sistem yang terintegrasi, yang dapat terus diperbaiki di tengah lautan pengalaman, tetapi tidak bisa dibongkar sepenuhnya secara serentak7.

3.4.       Kognitivisme Ilmiah

Dalam epistemologi Positivisme Logis, pengetahuan yang valid hanyalah pengetahuan ilmiah dalam pengertian formal—yakni pengetahuan yang bersifat universal, netral, objektif, dan bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan diposisikan sebagai satu-satunya sumber kebenaran, sedangkan bentuk pengetahuan lain seperti seni, agama, dan etika ditempatkan di luar ranah kognitif. Hal ini dikenal sebagai positivisme epistemologis, yaitu klaim bahwa epistemologi harus berakar secara eksklusif pada metode ilmiah8.

Meskipun kemudian pendekatan ini mendapatkan banyak kritik karena dinilai terlalu sempit dan menafikan dimensi historis, sosial, dan hermeneutik dalam proses pengetahuan, namun asas-asas dasar epistemologi Positivisme Logis tetap membentuk kerangka berpikir dominan dalam filsafat analitik dan metodologi ilmiah hingga hari ini.


Footnotes

[1]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 13–15.

[2]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 38–42.

[3]                Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language,” Logical Positivism, ed. A. J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 67–69.

[4]                Alan W. Richardson, Carnap’s Construction of the World: The Aufbau and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 91–94.

[5]                Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language, trans. A. Smeaton (London: Kegan Paul, Trench, Trubner, 1937), 1–10.

[6]                Otto Neurath, “Unified Science and Psychology,” The Journal of Unified Science 1, no. 1 (1930): 20–24.

[7]                Thomas Uebel, Overcoming Logical Positivism from Within (Amsterdam: Rodopi, 1992), 75.

[8]                Hans Reichenbach, The Rise of Scientific Philosophy (Berkeley: University of California Press, 1951), 5–6.


4.           Metodologi Ilmu dalam Kerangka Positivisme Logis

Metodologi ilmu dalam Positivisme Logis dibangun di atas komitmen epistemologis terhadap empirisme verifikatif, analisis logis, dan klarifikasi linguistik terhadap konsep-konsep ilmiah. Para pemikir dalam gerakan ini, seperti Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan Hans Reichenbach, mengupayakan suatu kerangka metodologis yang mampu menjelaskan struktur pengetahuan ilmiah secara koheren, sistematis, dan bebas dari unsur metafisika. Filsafat, dalam pandangan mereka, tidak bertugas menciptakan sistem ontologis baru, melainkan menyusun struktur formal bahasa ilmu pengetahuan serta memperjelas makna pernyataan ilmiah melalui prosedur logis dan verifikatif1.

4.1.       Bahasa Observasional dan Bahasa Teoritis

Salah satu fondasi metodologis utama dalam Positivisme Logis adalah pembedaan antara bahasa observasional dan bahasa teoritis. Bahasa observasional berisi istilah yang secara langsung mengacu pada data indrawi atau pengalaman empiris, sedangkan bahasa teoritis mencakup konsep-konsep yang tidak langsung teramati namun diperlukan untuk menjelaskan fenomena, seperti "gaya gravitasi" atau "elektron"2. Menurut Carnap, setiap proposisi teoritis yang valid secara ilmiah harus dapat direduksi—secara logis—kepada serangkaian proposisi observasional yang dapat diuji. Reduksi ini dilakukan melalui skema korespondensi, yaitu perangkat aturan yang menjembatani istilah teoritis dengan data observasional3.

Pembedaan ini bertujuan untuk menjaga kejelasan linguistik dan validitas empiris dalam proses penyusunan teori ilmiah. Dengan menghilangkan ambiguitas dan menyusun struktur sintaksis yang tepat, maka pengetahuan ilmiah dapat disusun secara logis dan konsisten. Pendekatan ini merupakan bagian dari proyek rekonstruksi logis terhadap bahasa ilmu pengetahuan, yang menjadi misi sentral Positivisme Logis.

4.2.       Struktur Logika Ilmu dan Aplikasi Logika Simbolik

Positivisme Logis memandang logika simbolik (logika modern) sebagai alat fundamental dalam menyusun dan menilai validitas argumen ilmiah. Para filsuf seperti Carnap dan Reichenbach menggunakan sistem logika proposisional dan predikat untuk menyusun teori ilmiah sebagai sistem deduktif-aksiomatis, sebagaimana ditemukan dalam ilmu fisika modern4. Dalam model ini, teori ilmiah dipandang sebagai kumpulan proposisi yang diturunkan dari premis dasar melalui aturan logika yang ketat.

Metodologi ini menggemakan pengaruh David Hilbert dalam matematika formal dan Wittgenstein awal dalam filsafat bahasa. Tujuan akhirnya adalah menyusun suatu “bahasa ilmiah ideal” di mana semua proposisi memiliki bentuk logis yang jelas dan hubungan semantis yang dapat diverifikasi. Dengan begitu, ilmu menjadi struktur logis yang dapat diuji melalui pengalaman dan dimodifikasi berdasarkan observasi empiris.

4.3.       Konsepsi Verifikasi dan Validasi Ilmiah

Konsep verifikasi merupakan titik sentral metodologi Positivisme Logis. Suatu proposisi hanya dianggap ilmiah jika ada kemungkinan untuk memverifikasinya melalui observasi atau eksperimen. Dalam versi awalnya, ini dikenal sebagai verifikasionisme kuat, yaitu keharusan bahwa proposisi ilmiah harus dapat diverifikasi secara pasti. Namun karena terlalu ketat, kemudian dikembangkan menjadi verifikasionisme lemah, yang menyatakan bahwa proposisi ilmiah cukup dapat diverifikasi secara probabilistik atau sebagian5.

Meski demikian, kriteria verifikasi ini membawa konsekuensi penting: proposisi metafisik, etik, estetika, atau teologis tidak bisa dimasukkan dalam wilayah ilmu karena tidak memiliki prosedur verifikasi empiris yang jelas. Hal ini memperkuat posisi naturalisme ilmiah dan anti-metafisika dalam metodologi Positivisme Logis.

4.4.       Unifikasi Ilmu dan Reduksionisme Metodologis

Gerakan Vienna Circle juga mengusung proyek besar berupa Unity of Science Movement (Gerakan Kesatuan Ilmu), yang bertujuan menyatukan seluruh ilmu pengetahuan dalam kerangka metodologis dan linguistik yang tunggal. Menurut Otto Neurath, semua cabang ilmu, termasuk ilmu sosial dan humaniora, harus menggunakan bahasa ilmiah yang sama—yakni bahasa fisika sebagai paradigma—agar dapat diverifikasi secara universal6.

Di sini terlihat peran reduksionisme metodologis, yakni keyakinan bahwa proposisi dari ilmu sosial atau biologi harus dapat direduksi kepada proposisi fisika atau kimia untuk dianggap valid secara ilmiah. Bahasa "protokol" atau protocol sentences, yakni laporan langsung tentang pengalaman indrawi, menjadi dasar yang diharapkan dapat mengikat seluruh bangunan ilmu dalam satu sistem verifikatif.

4.5.       Ilmu sebagai Aktivitas Kumulatif dan Progresif

Sebagaimana dikemukakan oleh Hans Reichenbach, ilmu pengetahuan dalam kerangka Positivisme Logis merupakan aktivitas kumulatif yang terus berkembang berdasarkan koreksi empiris. Pengetahuan berkembang secara bertahap dari hasil observasi yang diperluas, generalisasi induktif, dan pengujian teori secara sistematis7. Progresivitas ilmu diukur berdasarkan konsistensi internal, kesesuaian dengan data empiris, dan kekuatan prediktif dari teorinya. Hal ini berbeda dari pendekatan historis atau hermeneutik yang menekankan diskontinuitas dan konteks sosial budaya.


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, Philosophy and Logical Syntax (London: Kegan Paul, Trench, Trubner, 1935), 33–37.

[2]                Hans Reichenbach, The Rise of Scientific Philosophy (Berkeley: University of California Press, 1951), 27–28.

[3]                Alan W. Richardson, Carnap’s Construction of the World: The Aufbau and the Emergence of Logical Empiricism (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 102–104.

[4]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 55–57.

[5]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 47–49.

[6]                Otto Neurath, “Physicalism: The Philosophy of the Vienna Circle,” in Logical Positivism, ed. A. J. Ayer (New York: Free Press, 1959), 52–54.

[7]                Hans Reichenbach, Experience and Prediction: An Analysis of the Foundations and the Structure of Knowledge (Chicago: University of Chicago Press, 1938), 14–17.


5.           Kritik terhadap Positivisme Logis

Meskipun Positivisme Logis pernah mendominasi epistemologi Barat di paruh pertama abad ke-20, pendekatan ini kemudian mengalami kritik tajam dari berbagai filsuf yang menunjukkan kelemahan filosofis, metodologis, dan praktis dari proyeknya. Kritik tersebut bukan hanya datang dari kalangan luar, tetapi juga dari dalam tradisi empiris dan analitik itu sendiri. Secara umum, kritik terhadap Positivisme Logis berkisar pada problem verifikasionisme, reduksionisme bahasa, ahistorisme ilmiah, serta ketidakmampuan menjelaskan dinamika aktual ilmu pengetahuan.

5.1.       Karl Popper dan Falsifikasionisme

Kritik paling awal dan terkenal datang dari Karl Popper, yang menolak prinsip verifikasionisme sebagai dasar pembeda antara ilmu dan non-ilmu. Dalam karya terkenalnya The Logic of Scientific Discovery, Popper menegaskan bahwa verifikasi tidak dapat memberikan kepastian ilmiah karena pengamatan selalu terbatas dan bersifat konfirmatif. Sebaliknya, Popper mengusulkan falsifikasionisme sebagai kriteria demarkasi: suatu teori hanya bersifat ilmiah jika ia dapat dibantah (falsifiable) oleh bukti empiris yang potensial1.

Popper menilai bahwa Positivisme Logis gagal menangkap dinamika kritik dan revisi teori dalam ilmu pengetahuan. Ia menyatakan bahwa upaya untuk memverifikasi proposisi secara induktif hanya akan mengarah pada konfirmasi selektif dan bukan kebenaran objektif. Dalam pandangannya, ilmu justru tumbuh melalui proses trial and error, di mana teori yang salah digantikan oleh teori baru yang lebih baik2.

5.2.       Willard Van Orman Quine dan Kritik terhadap Dua Dogma

Willard Van Orman Quine, dalam esainya yang berjudul “Two Dogmas of Empiricism” (1951), menyerang dua asumsi dasar Positivisme Logis: pertama, dualisme antara proposisi analitik dan sintetik, dan kedua, reduksi makna kepada pengalaman langsung. Menurut Quine, tidak ada garis batas yang jelas antara kebenaran logis dan kebenaran empiris, karena seluruh sistem pengetahuan kita diuji secara holistik, bukan pernyataan pernyataan secara terpisah3.

Quine juga menunjukkan bahwa upaya untuk mereduksi proposisi teoritis ke dalam bahasa observasional bersifat artifisial dan tidak realistis. Dalam praktiknya, teori ilmiah bergantung pada jaringan keyakinan yang saling terkait dan tidak dapat direduksi ke dalam proposisi tunggal yang diverifikasi langsung. Hal ini meruntuhkan gagasan dasar logical reductionism yang diusung oleh Positivisme Logis4.

5.3.       Thomas S. Kuhn dan Paradigma Ilmiah

Kritik berikutnya datang dari Thomas Kuhn melalui karya monumental The Structure of Scientific Revolutions (1962). Kuhn menentang gagasan bahwa ilmu berkembang secara linear, kumulatif, dan rasional sebagaimana diasumsikan oleh Positivisme Logis. Ia memperkenalkan konsep paradigma, yakni kerangka konseptual dan normatif yang membentuk cara ilmuwan melihat dan memahami dunia5.

Menurut Kuhn, perkembangan ilmu bukan semata hasil observasi dan verifikasi, melainkan melalui pergeseran paradigma yang bersifat revolusioner, tidak dapat direduksi ke logika formal, dan melibatkan faktor psikososial serta historis. Dalam hal ini, Positivisme Logis gagal memahami dimensi sejarah, norma komunitas ilmiah, dan konflik ideologis dalam perubahan ilmiah6.

5.4.       Masalah Bahasa Observasional dan Teoritis

Positivisme Logis berasumsi bahwa terdapat perbedaan tegas antara bahasa observasional dan bahasa teoritis, namun kritik menunjukkan bahwa pengamatan tidak pernah netral secara teori. Norwood Russell Hanson dan Paul Feyerabend, misalnya, berargumen bahwa semua pengamatan bersifat theory-laden, yakni dibentuk oleh teori dan kerangka konseptual yang digunakan oleh ilmuwan7. Oleh karena itu, tidak mungkin membangun fondasi empiris yang benar-benar bebas dari muatan teori sebagaimana dibayangkan oleh Carnap dan Neurath.

5.5.       Reduksionisme Ilmiah dan Kekakuan Metodologis

Upaya untuk menyatukan semua ilmu pengetahuan ke dalam satu bahasa fisik dan struktur logis tunggal dianggap terlalu reduksionis dan mengabaikan kompleksitas ilmu-ilmu sosial, budaya, dan humaniora. Dalam praktiknya, pendekatan metodologis yang terlalu formal tidak mampu menjelaskan fenomena yang bersifat kontekstual, normatif, dan interpretatif. Feyerabend bahkan menyebut pendekatan Positivisme Logis sebagai bentuk “scientific authoritarianism” karena memaksakan satu metode tunggal bagi seluruh cabang ilmu8.

5.6.       Positivisme Logis dan Krisis Makna

Akhirnya, pendekatan Positivisme Logis gagal menjawab problem makna yang lebih luas dalam filsafat, etika, dan agama. Dengan membatasi makna hanya pada proposisi yang dapat diverifikasi, ia menyingkirkan diskursus-diskursus penting yang membentuk dimensi manusiawi dari pengetahuan. Bahkan dalam filsafat ilmu, para pemikir kontemporer mulai beralih ke pendekatan yang lebih pluralis, kontekstual, dan hermeneutik untuk menangkap kekayaan realitas ilmiah dan praksisnya9.


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 40–45.

[2]                Ibid., 61–63.

[3]                Willard Van Orman Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–23.

[4]                Ibid., 33–35.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 6–10.

[6]                Ibid., 110–120.

[7]                Norwood Russell Hanson, Patterns of Discovery (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 19–22.

[8]                Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 14–18.

[9]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Oxford University Press, 1980), 12–15.


6.           Warisan dan Relevansi Kontemporer

Meskipun mengalami kemunduran pada pertengahan abad ke-20, Positivisme Logis tetap meninggalkan warisan epistemologis dan metodologis yang mendalam dalam filsafat ilmu dan praktik keilmuan kontemporer. Banyak prinsip dasarnya—terutama yang berkaitan dengan klarifikasi logis, standardisasi bahasa ilmiah, dan kejelasan konseptual—masih menjadi fondasi penting dalam analisis filsafat dan metodologi ilmu hingga saat ini. Bahkan ketika banyak prinsip aslinya dikritik dan ditinggalkan, semangat utamanya tetap hidup dalam berbagai pendekatan modern terhadap pengetahuan, sains, dan filsafat bahasa.

6.1.       Pengaruh terhadap Filsafat Analitik dan Logika Bahasa

Salah satu warisan terpenting Positivisme Logis adalah kontribusinya terhadap perkembangan filsafat analitik, khususnya dalam pemurnian analisis konseptual dan logika simbolik. Tradisi ini terus dikembangkan dalam karya-karya tokoh seperti Donald Davidson, Michael Dummett, dan Saul Kripke, yang meskipun tidak lagi menerima verifikasionisme, tetap menggunakan analisis bahasa sebagai alat sentral dalam menyelidiki struktur pemikiran dan pengetahuan1.

Selain itu, agenda untuk membersihkan filsafat dari kerancuan linguistik, yang dimotori oleh Carnap, tetap memengaruhi proyek-proyek analitis kontemporer, terutama dalam semantik formal, filsafat matematika, dan metafisika analitik. Bahkan W.V.O. Quine, salah satu pengkritik utama Positivisme Logis, tidak meninggalkan komitmen terhadap logika dan empirisme sebagai pendekatan utama dalam filsafat2.

6.2.       Relevansi dalam Ilmu Formal dan Alam

Dalam bidang ilmu formal dan alam, pengaruh Positivisme Logis masih sangat nyata, terutama dalam formulasi teori ilmiah, pemodelan matematis, dan standar objektivitas. Gagasan bahwa proposisi ilmiah harus dapat diuji, dibuktikan secara logis, dan dirumuskan dengan bahasa yang presisi tetap menjadi standar metodologis dalam fisika, kimia, dan biologi modern3. Pendekatan ini terlihat dalam kecenderungan reduksionistik dan kuantitatif dalam ilmu-ilmu alam, serta dalam desain eksperimen yang berbasis hipotesis-verifikasi.

Penggunaan logika formal dalam kecerdasan buatan, informatika, dan linguistik komputasional juga merupakan kelanjutan dari warisan Positivisme Logis, terutama dari proyek Carnap dalam pengembangan bahasa ilmiah terstruktur4. Dalam hal ini, Positivisme Logis dapat dianggap sebagai pendahulu dari filosofi teknologi modern yang menekankan kejelasan struktural dan validitas formal.

6.3.       Positivisme Logis dalam Ilmu Sosial dan Humaniora

Walaupun Positivisme Logis tidak pernah sepenuhnya diadopsi dalam ilmu sosial dan humaniora, pengaruhnya terasa dalam pendekatan positivistik kuantitatif, seperti dalam sosiologi empiris, psikologi perilaku, dan ekonomi neoklasik. Model-model ilmu sosial yang menekankan objektivitas, pengukuran, dan prediksi sangat dipengaruhi oleh cita-cita unity of science yang diusung oleh Vienna Circle5.

Namun, di sisi lain, kegagalan Positivisme Logis dalam menjelaskan dimensi nilai, makna, dan struktur sosial yang kompleks telah mendorong lahirnya pendekatan alternatif seperti hermeneutika, kritik ideologis, dan konstruktivisme sosial. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara substansial ditinggalkan dalam ilmu sosial kontemporer, Positivisme Logis tetap menjadi latar belakang dialektis bagi banyak teori kritis dan post-positivis6.

6.4.       Transisi ke Empirisme Logis dan Post-Positivisme

Sebagian pengaruh Positivisme Logis diteruskan dan dimodifikasi oleh gerakan Empirisme Logis dan pendekatan post-positivisme yang lebih fleksibel. Tokoh seperti Carl Hempel, Bas van Fraassen, dan Imre Lakatos mengembangkan versi epistemologi ilmiah yang tetap empiris, namun mengakomodasi konteks historis, logika probabilistik, dan peran model dalam sains. Van Fraassen, misalnya, dalam The Scientific Image, memperkenalkan konstruktivisme empiris yang menolak klaim realisme metafisik namun tetap setia pada deskripsi ilmiah yang dapat diamati7.

Dengan demikian, meskipun klaim-klaim dogmatis Positivisme Logis ditinggalkan, intuisinya mengenai rasionalitas ilmiah dan pentingnya kejelasan metodologis tetap menjadi ciri penting dalam epistemologi kontemporer.

6.5.       Pelajaran Epistemologis dan Etika Pengetahuan

Warisan lainnya adalah pelajaran epistemologis yang berharga: bahwa klarifikasi konsep, bahasa, dan prosedur metodologis merupakan prasyarat penting bagi legitimasi pengetahuan ilmiah. Positivisme Logis memperlihatkan bahwa tanpa kejelasan dalam struktur bahasa dan logika, pernyataan-pernyataan ilmiah berisiko terjerumus ke dalam retorika kosong. Dalam era post-truth dan disinformasi saat ini, semangat ini menjadi semakin relevan sebagai upaya mempertahankan integritas rasionalitas ilmiah dalam ruang publik8.


Footnotes

[1]                Michael Dummett, The Logical Basis of Metaphysics (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 5–9.

[2]                Willard Van Orman Quine, From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1961), 1–3.

[3]                Carl G. Hempel, Philosophy of Natural Science (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1966), 12–16.

[4]                Rudolf Carnap, The Logical Syntax of Language (London: Kegan Paul, Trench, Trubner, 1937), vii–ix.

[5]                Otto Neurath, “Unified Science and Psychology,” The Journal of Unified Science 1, no. 1 (1930): 25–27.

[6]                Ian Hacking, The Social Construction of What? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 6–8.

[7]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Oxford University Press, 1980), 12–14.

[8]                Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 198–201.


7.           Sintesis Filosofis dan Refleksi Kritis

Dalam merangkum warisan intelektual dan konseptual Positivisme Logis, dapat ditegaskan bahwa pendekatan ini merupakan upaya radikal untuk mendisiplinkan filsafat dan ilmu pengetahuan melalui prinsip-prinsip verifikasi empiris, analisis logis, dan klarifikasi linguistik. Gerakan ini menandai pergeseran paradigmatik dalam epistemologi abad ke-20, dari filsafat yang spekulatif menuju filsafat yang berbasis pada metodologi ilmiah dan bentuk logika formal. Namun, seperti ditunjukkan oleh sejumlah kritik dan perkembangan filsafat ilmu selanjutnya, proyek Positivisme Logis juga mengandung keterbatasan inheren yang membuka ruang bagi refleksi filosofis yang lebih luas.

7.1.       Sintesis: Sumbangan Epistemologis Positivisme Logis

Secara positif, Positivisme Logis telah memberikan kontribusi mendasar terhadap penataan ulang epistemologi modern:

·                     Penajaman batas epistemis antara pernyataan bermakna dan tidak bermakna melalui prinsip verifikasi memberikan kerangka untuk menyaring klaim-klaim pengetahuan secara rasional1.

·                     Penerapan logika simbolik dalam formulasi dan evaluasi teori ilmiah mendorong berkembangnya epistemologi formal serta struktur deduktif-aksiomatis dalam ilmu pengetahuan2.

·                     Gerakan ini memperkuat komitmen terhadap rasionalitas ilmiah, yang menekankan bahwa setiap proposisi harus tunduk pada uji kebenaran objektif melalui eksperimen atau deduksi logis3.

·                     Dalam dimensi metodologis, Positivisme Logis memengaruhi munculnya standardisasi ilmiah, bahasa teknis formal, dan kriteria metodologis universal yang masih digunakan hingga kini, terutama dalam sains alam dan teknologi.

7.2.       Refleksi Kritis: Batasan, Problema, dan Revisi

Namun, dalam refleksi filosofis yang lebih mendalam, sejumlah persoalan epistemologis dan ontologis dari Positivisme Logis tidak bisa diabaikan:

·                     Prinsip verifikasi ternyata gagal memverifikasi dirinya sendiri—ia tidak dapat diuji secara empiris maupun dibuktikan secara logis, sehingga bersifat performatif kontradiktif4. Ini merupakan kelemahan mendasar yang diangkat oleh Popper dan Quine dalam kritik mereka terhadap self-referential incoherence.

·                     Penolakan terhadap metafisika, etika, dan estetika dianggap menyempitkan cakrawala pengetahuan manusia dan mendesakralisasi dimensi reflektif dan eksistensial yang justru esensial dalam filsafat dan kemanusiaan5.

·                     Reduksionisme metodologis dan upaya menyatukan semua disiplin dalam satu bahasa ilmiah mengabaikan kekayaan pluralitas epistemik, terutama dalam ilmu sosial, humaniora, dan studi interdisipliner kontemporer6.

·                     Ketidakmampuan menjelaskan dimensi historis, sosial, dan paradigmatik dalam perkembangan ilmu—sebagaimana diungkap Kuhn—membuat Positivisme Logis tampak terlalu statik dan ahistoris dalam memahami dinamika ilmiah7.

7.3.       Rekontekstualisasi dan Implikasi Filosofis Kontemporer

Refleksi kritis terhadap Positivisme Logis tidak berarti menolak seluruh proyeknya. Sebaliknya, pendekatan ini dapat dilihat sebagai tahap penting dalam dialektika perkembangan epistemologi, yang mendorong filsafat untuk lebih menyadari perlunya:

·                     Menyeimbangkan antara presisi analitik dan sensitivitas terhadap konteks historis, sosial, dan kultural.

·                     Membangun epistemologi yang pluralis, yang tidak hanya menekankan verifikasi empiris, tetapi juga mempertimbangkan justifikasi rasional, konsensus intersubjektif, dan kedalaman makna.

·                     Menyadari bahwa ilmu bukan sekadar sistem simbol formal, tetapi juga praktik manusia yang ditopang oleh norma, nilai, dan imajinasi8.

Dengan demikian, warisan Positivisme Logis dapat direaktualisasi bukan sebagai dogma metodologis, melainkan sebagai komponen epistemik yang terintegrasi dalam kerangka pengetahuan yang lebih reflektif, terbuka, dan multidimensional. Di tengah tantangan disinformasi, relativisme radikal, dan krisis otoritas ilmiah, semangat klarifikasi dan ketegasan epistemik yang diwariskan Positivisme Logis masih memiliki relevansi etis dan praktis yang penting untuk dipertimbangkan kembali secara bijak dalam wacana kontemporer.


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, Philosophy and Logical Syntax (London: Kegan Paul, Trench, Trubner, 1935), 47–50.

[2]                Michael Friedman, Reconsidering Logical Positivism (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 58–61.

[3]                Carl G. Hempel, Aspects of Scientific Explanation (New York: Free Press, 1965), 3–7.

[4]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 13–14.

[5]                Hans-Johann Glock, What Is Analytic Philosophy? (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 102.

[6]                Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 54–56.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 85–88.

[8]                Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 210–212.


8.           Penutup

Positivisme Logis telah memainkan peran penting dalam membentuk arah epistemologi modern, khususnya dalam upayanya untuk menegakkan fondasi pengetahuan ilmiah yang rasional, terstruktur, dan bebas dari klaim metafisik yang tidak dapat diverifikasi. Sebagai respons terhadap dominasi metafisika spekulatif dalam filsafat tradisional, gerakan ini berusaha merevolusi filsafat menjadi disiplin klarifikatif, dengan memusatkan perhatian pada analisis logis bahasa dan pembuktian empiris atas proposisi ilmiah. Dalam prosesnya, Positivisme Logis berhasil membangun fondasi epistemik yang kuat bagi pengembangan filsafat analitik, metodologi ilmiah, serta struktur formal berbagai cabang ilmu pengetahuan kontemporer1.

Melalui konsep-konsep seperti verifikasionisme, analisis logika formal, serta proyek unity of science, kaum Positivis Logis mencoba menciptakan sistem pengetahuan yang universal, konsisten, dan netral. Dalam bidang metodologi, mereka menekankan pentingnya bahasa observasional, reduksi proposisi teoritis, dan penggunaan logika simbolik sebagai alat utama untuk menyusun pengetahuan ilmiah yang valid2. Upaya ini membuka jalan bagi pengembangan filsafat ilmu yang lebih sistematis, dan memberikan alat analisis yang masih digunakan dalam banyak bidang ilmiah hingga saat ini.

Namun demikian, perjalanan intelektual Positivisme Logis juga diwarnai dengan kritik tajam, baik dari luar maupun dari dalam tradisi analitik itu sendiri. Tokoh seperti Karl Popper, Willard Van Orman Quine, dan Thomas Kuhn menunjukkan bahwa ilmu tidak berkembang secara murni verifikatif atau deduktif, melainkan melibatkan dinamika historis, konflik paradigma, dan keterikatan teori terhadap kerangka konseptual yang lebih luas3. Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa proyek Positivisme Logis bersifat terlalu sempit, statis, dan tidak realistis dalam memahami kompleksitas praktik ilmiah yang sesungguhnya.

Meskipun banyak prinsipnya telah ditinggalkan, warisan intelektual Positivisme Logis tetap bertahan, baik sebagai dasar logis-epistemologis bagi pendekatan ilmiah modern maupun sebagai latar dialektis bagi munculnya pendekatan-pendekatan epistemologi baru yang lebih pluralistik. Dalam konteks kontemporer, semangat Positivisme Logis masih relevan sebagai pengingat akan pentingnya rasionalitas, kejelasan konseptual, dan kejujuran metodologis dalam menghadapi tantangan disinformasi, relativisme ekstrem, dan krisis epistemik global4.

Dengan demikian, kajian terhadap Positivisme Logis bukan sekadar studi historis, melainkan juga refleksi filosofis atas dasar-dasar pengetahuan ilmiah, yang tetap penting bagi siapa pun yang tertarik pada fondasi epistemologi, struktur ilmu pengetahuan, dan masa depan filsafat sains. Mengakui keterbatasannya tidak berarti menolaknya secara keseluruhan, tetapi justru membuka jalan untuk mengintegrasikan elemen-elemen rasionalitas ilmiah dengan konteks sosial, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas5.


Footnotes

[1]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World and Pseudoproblems in Philosophy, trans. Rolf A. George (Berkeley: University of California Press, 1967), vii–ix.

[2]                Carl G. Hempel, Philosophy of Natural Science (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1966), 29–32.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 92–95; Willard Van Orman Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 25–27.

[4]                Heather Douglas, Science, Policy, and the Value-Free Ideal (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2009), 208–210.

[5]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Oxford University Press, 1980), 14–17.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. Gollancz.

Carnap, R. (1935). Philosophy and logical syntax. Kegan Paul, Trench, Trubner.

Carnap, R. (1937). The logical syntax of language (A. Smeaton, Trans.). Kegan Paul, Trench, Trubner.

Carnap, R. (1959). The elimination of metaphysics through logical analysis of language. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism (pp. 60–81). Free Press.

Carnap, R. (1967). The logical structure of the world and pseudoproblems in philosophy (R. A. George, Trans.). University of California Press.

Douglas, H. (2009). Science, policy, and the value-free ideal. University of Pittsburgh Press.

Dummett, M. (1991). The logical basis of metaphysics. Harvard University Press.

Feyerabend, P. (1975). Against method. Verso.

Friedman, M. (1999). Reconsidering logical positivism. Cambridge University Press.

Glock, H.-J. (2008). What is analytic philosophy? Cambridge University Press.

Hacking, I. (1983). Representing and intervening. Cambridge University Press.

Hacking, I. (1999). The social construction of what? Harvard University Press.

Hanson, N. R. (1958). Patterns of discovery. Cambridge University Press.

Hempel, C. G. (1965). Aspects of scientific explanation. Free Press.

Hempel, C. G. (1966). Philosophy of natural science. Prentice-Hall.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Neurath, O. (1930). Unified science and psychology. The Journal of Unified Science, 1(1), 20–27.

Neurath, O. (1959). Physicalism: The philosophy of the Vienna Circle. In A. J. Ayer (Ed.), Logical positivism (pp. 52–57). Free Press.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Routledge.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Quine, W. V. O. (1961). From a logical point of view. Harvard University Press.

Reichenbach, H. (1938). Experience and prediction: An analysis of the foundations and the structure of knowledge. University of Chicago Press.

Reichenbach, H. (1951). The rise of scientific philosophy. University of California Press.

Richardson, A. W. (1998). Carnap’s construction of the world: The Aufbau and the emergence of logical empiricism. Cambridge University Press.

Stadler, F. (2001). The Vienna Circle: Studies in the origins, development, and influence of logical empiricism (C. W. Seibel, Trans.). Springer.

Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Oxford University Press.

Uebel, T. (1992). Overcoming logical positivism from within: The emergence of Neurath’s naturalism in the Vienna Circle. Rodopi.

Van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Oxford University Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge & Kegan Paul.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar