Penalaran Moral
Fondasi Filosofis, Perkembangan Psikologis, dan
Implikasinya dalam Pendidikan dan Masyarakat
Alihkan ke: Penalaran.
Abstrak
Artikel ini mengkaji penalaran moral sebagai
fondasi penting dalam kehidupan etis individu dan masyarakat. Kajian dilakukan
secara multidisipliner dengan menelaah aspek-aspek filosofis, psikologis,
pendidikan, serta aplikatif dalam berbagai konteks sosial dan profesional.
Secara filosofis, artikel ini membahas kerangka epistemologis dan etis
penalaran moral, termasuk perdebatan antara rasionalisme dan emotivisme, serta
ketegangan antara relativisme budaya dan objektivisme moral. Secara psikologis,
dibahas teori-teori perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg, Carol Gilligan,
dan Jonathan Haidt, yang menunjukkan kompleksitas interaksi antara kognisi,
emosi, dan konteks sosial dalam proses bernalar secara moral.
Dalam perspektif pendidikan, penalaran moral
diuraikan sebagai kompetensi reflektif yang dapat dikembangkan melalui
pendekatan dialogis, diskusi dilema, dan pembelajaran lintas nilai. Aplikasi
penalaran moral dalam kehidupan profesional dan publik—seperti dalam bidang
hukum, kesehatan, bisnis, dan teknologi—dijelaskan untuk menunjukkan urgensinya
dalam pengambilan keputusan yang etis dan bertanggung jawab. Artikel ini juga
mengulas kritik terhadap model-model dominan penalaran moral dan tantangan
kontemporer seperti polarisasi, disinformasi digital, dan dilema etika
teknologi. Di bagian akhir, dipaparkan prospek transformasional penalaran moral
dalam menghadapi kompleksitas global, memperkuat keadilan sosial, dan
menavigasi masa depan etika planetaria. Artikel ini menegaskan bahwa penalaran
moral harus menjadi kompetensi sentral dalam pendidikan, kebijakan publik, dan
tata kelola teknologi demi mewujudkan masyarakat yang adil, etis, dan
berkelanjutan.
Kata Kunci: Penalaran moral; filsafat moral; psikologi moral;
pendidikan etika; dilema etis; keadilan sosial; kecerdasan buatan; relativisme
budaya; etika planetaria; pendidikan karakter.
PEMBAHASAN
Penalaran Moral dalam Kehidupan Individu dan Sosial
1.
Pendahuluan
Dalam lanskap kehidupan manusia yang kompleks dan
dinamis, penalaran moral merupakan salah satu kapasitas kognitif dan afektif
yang paling fundamental dalam membentuk tindakan etis, keputusan yang
bertanggung jawab, serta tatanan sosial yang adil dan beradab. Penalaran
moral—kemampuan untuk menimbang benar dan salah berdasarkan prinsip-prinsip
etika, nilai-nilai sosial, serta kerangka berpikir rasional—menjadi elemen
esensial dalam pengambilan keputusan individual maupun kolektif. Hal ini
semakin relevan dalam konteks kontemporer di mana masyarakat dihadapkan pada
dilema moral yang semakin rumit, mulai dari isu bioetika, keadilan sosial,
hingga etika digital.
Secara historis, pertanyaan tentang bagaimana
manusia menilai kebaikan dan keburukan telah menjadi pusat perhatian dalam
filsafat moral sejak masa Yunani Kuno. Tokoh seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles membangun kerangka berpikir yang menjadikan rasio sebagai dasar
penilaian etis, sedangkan para filsuf modern seperti Immanuel Kant dan David
Hume memperdebatkan hubungan antara rasionalitas dan emosi dalam pembentukan
penilaian moral. Kant, misalnya, menekankan imperatif kategoris sebagai prinsip
moral universal berbasis akal budi murni, sedangkan Hume justru menggarisbawahi
peran emosi dan “moral sentiments” sebagai dasar pertimbangan moral
manusia.¹
Di luar filsafat, kajian psikologi moral juga
memberikan kontribusi signifikan dalam memahami proses penalaran moral secara
empiris dan perkembangan moral sepanjang rentang kehidupan. Teori perkembangan
moral Lawrence Kohlberg mengusulkan bahwa individu melewati serangkaian tahap
kognitif dalam menilai suatu tindakan sebagai benar atau salah, dari orientasi
kepatuhan hingga prinsip etis universal.² Teori ini kemudian dilengkapi dan
dikritisi oleh pemikir seperti Carol Gilligan yang menekankan pentingnya
konteks relasional dan empati dalam penalaran moral, serta Jonathan Haidt yang
menunjukkan dominasi intuisi moral dalam proses penilaian etis.³
Dalam konteks pendidikan dan masyarakat, kemampuan
untuk bernalar secara moral menjadi kompetensi penting yang harus dikembangkan
secara sistematis. Penalaran moral tidak hanya berdampak pada perilaku
individu, tetapi juga menjadi prasyarat bagi terbentuknya warga negara yang
bertanggung jawab, kritis, dan peka terhadap isu-isu sosial. Pendidikan moral
dan karakter, oleh karena itu, tidak cukup hanya berisi pengetahuan normatif,
tetapi perlu mencakup pembinaan kapasitas bernalar secara etis melalui metode
dialektik, diskusi dilema moral, dan pembelajaran berbasis refleksi.⁴
Kajian tentang penalaran moral merupakan titik temu
antara filsafat, psikologi, dan pendidikan, serta membuka peluang untuk
menyusun suatu kerangka yang integratif guna memahami bagaimana manusia
membentuk dan mengartikulasikan nilai moral dalam praktik kehidupan nyata.
Dengan merujuk pada teori-teori klasik dan temuan empiris kontemporer, artikel
ini bertujuan untuk menyajikan eksplorasi multidisipliner terhadap penalaran
moral, baik dari sisi ontologis dan epistemologisnya, maupun dari sisi
penerapannya dalam pendidikan dan kehidupan bermasyarakat.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998);
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David Fate Norton and Mary
J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000).
[2]
Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization:
The Cognitive-Developmental Approach,” in Moral Development and Behavior:
Theory, Research, and Social Issues, ed. Thomas Lickona (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1976), 31–53.
[3]
Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge: Harvard University
Press, 1982); Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided
by Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012).
[4]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 45–62.
2.
Konsep
Dasar Penalaran Moral
Penalaran moral (moral
reasoning) merupakan proses kognitif dan reflektif yang digunakan
individu untuk menentukan apakah suatu tindakan, sikap, atau keputusan dapat
dikategorikan sebagai benar atau salah berdasarkan prinsip-prinsip etis
tertentu. Dalam pengertian umum, penalaran moral mencakup kemampuan untuk
mengkaji dilema etis secara sistematis, menimbang nilai-nilai dan norma-norma
yang relevan, serta menghasilkan justifikasi moral yang dapat
dipertanggungjawabkan secara logis dan sosial.¹
2.1. Definisi dan Dimensi Penalaran Moral
Penalaran moral
secara konseptual dapat didefinisikan sebagai proses berpikir yang melibatkan
evaluasi normatif terhadap tindakan berdasarkan prinsip moral yang dianggap
sahih oleh individu atau komunitas.² Beberapa peneliti, seperti James Rest,
membedakan penalaran moral dari moral judgment (penilaian moral)
dan moral
behavior (perilaku moral).³ Penalaran moral adalah tahap di mana
individu menilai dan menjustifikasi keputusan sebelum perilaku aktual terjadi,
menjadikannya pusat dari dimensi kognitif dalam moralitas.
Terdapat beberapa
elemen dasar dalam penalaran moral, yaitu:
·
Nilai
(values): prinsip-prinsip abstrak seperti keadilan, kejujuran,
kebebasan, dan tanggung jawab yang dijadikan orientasi dalam membuat keputusan.
·
Norma
sosial dan budaya: aturan-aturan eksplisit maupun implisit yang
berlaku dalam suatu masyarakat atau komunitas.
·
Prinsip
etika: kerangka normatif universal yang dapat bersifat
deontologis (berbasis kewajiban), teleologis (berbasis akibat), atau berbasis
kebajikan (virtue ethics).
·
Dilema
moral: situasi problematis yang mengandung konflik antara dua
atau lebih nilai yang sama-sama penting, sehingga memerlukan proses penalaran
untuk menemukan solusi yang paling etis.⁴
2.2. Distingsi Penalaran Moral dari Jenis Penalaran Lain
Penalaran moral
berbeda dari bentuk penalaran logis atau ilmiah. Sementara penalaran logis
bertumpu pada deduksi dan validitas formal, penalaran moral memadukan aspek
kognitif dan afektif yang berorientasi pada nilai. Menurut Kohlberg, penalaran
moral mencerminkan struktur berpikir yang berkembang secara bertahap, dari
orientasi terhadap hukuman hingga pengambilan keputusan berdasarkan prinsip
moral universal.⁵ Penalaran moral juga bersifat kontekstual dan evaluatif,
menuntut kepekaan terhadap nuansa sosial dan empati terhadap perspektif orang
lain.
2.3. Rasionalitas dan Emosi dalam Penalaran Moral
Perdebatan klasik
dalam filsafat moral menempatkan akal dan emosi dalam posisi yang saling
menegasikan. Immanuel Kant memandang bahwa penalaran moral bersumber dari rasio
murni, di mana tindakan bermoral adalah hasil ketaatan terhadap hukum moral
yang bersifat universal.⁶ Sebaliknya, David Hume menganggap bahwa emosi moral
(moral sentiments) adalah sumber utama pertimbangan etis, karena akal semata
hanya mampu menunjukkan relasi, bukan memberi dorongan moral.⁷
Dalam perkembangan
kontemporer, para psikolog moral seperti Jonathan Haidt mengemukakan bahwa
penalaran moral lebih banyak bersifat post hoc—yaitu justifikasi rasional
terhadap intuisi moral yang lebih dahulu muncul secara otomatis.⁸ Ini
menunjukkan bahwa penalaran moral tidak selalu merupakan hasil refleksi
rasional yang murni, melainkan seringkali merupakan artikulasi dari
kecenderungan afektif dan intuisi yang telah terbentuk oleh pengalaman, budaya,
dan disposisi kepribadian.
2.4. Moral Reasoning dan Moral Judgment
Penting untuk
membedakan antara penalaran moral (moral reasoning)
dan penilaian
moral (moral judgment). Penalaran moral merujuk pada proses
berpikir deliberatif dan reflektif dalam menghadapi dilema etis, sedangkan
penilaian moral adalah kesimpulan akhir dari proses tersebut, yakni apakah
suatu tindakan dianggap benar atau salah.⁹ Dalam praktiknya, kedua konsep ini
saling berkelindan: kualitas penilaian moral sangat ditentukan oleh kedalaman
dan ketepatan proses penalaran moral yang mendahuluinya.
Footnotes
[1]
Donelson R. Forsyth, Moral Judgment: Theory and Research (New
York: Routledge, 2019), 15–16.
[2]
James R. Rest et al., Moral Development: Advances in Research and
Theory (New York: Praeger, 1986), 1–3.
[3]
Ibid., 5–6.
[4]
Robert Audi, Moral Value and Human Diversity (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 25–28.
[5]
Lawrence Kohlberg, “Stages of Moral Development as a Basis for Moral
Education,” in Moral Education, ed. C. M. Beck, B. S. Crittenden, and
E. V. Sullivan (Toronto: University of Toronto Press, 1971), 23–32.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 31–45.
[7]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David Fate Norton
and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000), 457–468.
[8]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 44–54.
[9]
Rest et al., Moral Development, 9–10.
3.
Fondasi
Epistemologis dan Etis
Penalaran moral
tidak hanya merupakan aktivitas kognitif praktis, melainkan berakar pada
fondasi epistemologis dan etis yang dalam. Pertanyaan tentang bagaimana manusia
mengetahui apa yang benar dan salah (epistemologi moral) dan apa yang
seharusnya dilakukan (etika normatif) menjadi dua pilar
utama dalam membangun struktur penalaran moral yang koheren. Kajian ini
mencerminkan ketegangan antara pandangan yang menekankan rasionalitas sebagai
sumber utama pengetahuan moral dan pandangan yang menempatkan intuisi,
pengalaman, atau emosi sebagai fondasi alternatif.
3.1. Rasionalisme Moral dan Pandangan Kognitivis
Rasionalisme moral
beranggapan bahwa pengetahuan moral bersifat objektif dan dapat diakses melalui
akal budi manusia secara independen dari pengalaman empiris. Pandangan ini
berakar kuat pada pemikiran Immanuel Kant, yang mengajukan imperatif
kategoris sebagai prinsip moral universal yang dapat diuji melalui
prinsip konsistensi logis: “Bertindaklah seolah-olah maksim tindakanmu dapat
dijadikan hukum universal.”¹ Bagi Kant, penalaran moral tidak tunduk pada
konsekuensi pragmatis, melainkan pada kewajiban rasional yang inheren dalam
kehendak bebas manusia.²
Kognitivisme moral
kontemporer juga mempertahankan bahwa pernyataan moral memiliki nilai kebenaran
yang dapat diperdebatkan secara rasional.³ Dalam pendekatan ini, penalaran
moral dipahami sebagai bentuk argumen etis yang dapat disusun, diuji, dan
diperbaiki, sebagaimana logika formal atau inferensi ilmiah. Ini menjadi dasar
bagi pendekatan deliberatif dalam etika terapan dan pendidikan moral.
3.2. Emotivisme dan Intuisionisme Moral
Sebaliknya, emotivisme
moral, sebagaimana dikembangkan oleh A. J. Ayer dan Charles L. Stevenson,
menyangkal bahwa pernyataan moral memiliki nilai kognitif; menurut mereka,
ekspresi moral hanyalah ungkapan sikap emosional dan upaya memengaruhi orang
lain secara persuasif.⁴ Dalam pandangan ini, ketika seseorang berkata “membunuh
itu salah,” ia tidak sedang menyatakan fakta, tetapi lebih menyerupai
ekspresi seperti “membunuh, huh!” yang menunjukkan ketidaksukaan moral.
Sementara itu, intuisionisme
moral, seperti yang dikembangkan oleh G. E. Moore dan W. D. Ross,
mempertahankan bahwa ada kebenaran moral yang dapat diketahui langsung melalui
intuisi moral tanpa inferensi logis yang rumit.⁵ Penalaran moral dalam
pendekatan ini bersandar pada prima facie duties—kewajiban awal
yang dapat dikesampingkan oleh kewajiban yang lebih tinggi dalam konteks
tertentu, seperti keadilan, kebaikan, atau amanah.⁶
3.3. Relativisme dan Objektivisme Moral
Dalam epistemologi
moral, perdebatan antara relativisme dan objektivisme
juga membentuk kerangka berpikir penalaran moral. Relativisme menyatakan bahwa
nilai dan penilaian moral sepenuhnya ditentukan oleh budaya, konteks, atau
preferensi individu, sehingga tidak ada kriteria objektif untuk menilai benar
atau salah secara universal.⁷ Ini memiliki implikasi penting terhadap penalaran
moral di masyarakat pluralistik, di mana konflik nilai seringkali tidak
memiliki resolusi tunggal.
Sebaliknya, objektivisme
moral mempertahankan bahwa beberapa nilai moral bersifat universal
dan dapat diterima secara lintas budaya serta dapat dijustifikasi secara
rasional. Pemikir seperti Thomas Nagel dan Christine Korsgaard berupaya membela
prinsip-prinsip moral universal melalui argumen reflektif dan rasionalitas
praktis.⁸ Dalam konteks ini, penalaran moral berfungsi sebagai alat untuk
menjembatani perbedaan nilai dalam diskursus publik secara normatif.
3.4. Metaetika dan Status Pengetahuan Moral
Kajian metaetika
berperan penting dalam menentukan status epistemologis dari penalaran moral itu
sendiri: apakah ia bersifat deskriptif atau normatif, obyektif atau subjektif,
realistis atau anti-realistis.⁹ Misalnya, pendekatan moral
realism menyatakan bahwa ada fakta moral yang independen dari
keyakinan kita, sedangkan anti-realism (seperti
konstruktivisme moral) menyatakan bahwa nilai moral dibentuk melalui
kesepakatan sosial atau struktur rasional tertentu.
Dengan demikian,
pemahaman terhadap fondasi epistemologis dan etis dari penalaran moral sangat
menentukan arah dan validitas dari proses berpikir moral itu sendiri. Apakah
seseorang meyakini prinsip moral bersifat tetap dan universal, atau kontekstual
dan terbentuk secara historis, akan memengaruhi cara ia menalar, memutuskan,
dan bertindak dalam menghadapi dilema etis.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–44.
[2]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008), 25–29.
[3]
Russ Shafer-Landau, Moral Realism: A Defence (Oxford:
Clarendon Press, 2003), 1–10.
[4]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover, 1952),
107–120; Charles L. Stevenson, Ethics and Language (New Haven: Yale
University Press, 1944), 21–25.
[5]
G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University
Press, 1903), 58–59; W. D. Ross, The Right and the Good (Oxford:
Clarendon Press, 1930), 18–20.
[6]
W. D. Ross, The Right and the Good, 19.
[7]
Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity
(Oxford: Blackwell, 1996), 3–15.
[8]
Thomas Nagel, The Possibility of Altruism (Princeton:
Princeton University Press, 1970), 78–80; Christine M. Korsgaard, The
Sources of Normativity (Cambridge: Cambridge University Press, 1996),
40–58.
[9]
Alexander Miller, Contemporary Metaethics: An Introduction
(Cambridge: Polity Press, 2003), 5–12.
4.
Teori-teori
Psikologis tentang Penalaran Moral
Psikologi
perkembangan telah memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana manusia
mengembangkan dan menggunakan penalaran moral sepanjang hidupnya. Berbeda
dengan pendekatan filosofis yang cenderung normatif, teori psikologis
menekankan aspek deskriptif dan empiris, yaitu bagaimana individu benar-benar
bernalar secara moral dalam konteks nyata. Beberapa teori kunci dalam psikologi
moral—seperti teori tahap moral Lawrence Kohlberg, teori etika kepedulian Carol
Gilligan, dan model intuisi sosial Jonathan Haidt—menawarkan perspektif yang
saling melengkapi dalam memetakan kompleksitas penalaran moral manusia.
4.1. Teori Tahapan Moral Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg
adalah pelopor utama dalam psikologi perkembangan moral dengan teorinya tentang
tahapan penalaran moral yang dipengaruhi oleh pemikiran Jean Piaget. Kohlberg
mengembangkan kerangka enam tahap perkembangan moral yang terbagi ke dalam tiga
tingkat: pra-konvensional, konvensional,
dan pasca-konvensional.¹
·
Tahap
pra-konvensional ditandai dengan penalaran moral yang
berorientasi pada hukuman dan imbalan.
·
Tahap
konvensional mencerminkan konformitas terhadap norma sosial dan
hukum.
·
Tahap
pasca-konvensional melibatkan pertimbangan terhadap prinsip
moral universal, seperti keadilan dan hak asasi manusia.
Bagi Kohlberg,
perkembangan moral adalah hasil dari perkembangan kognitif dan pemecahan dilema
etis melalui diskusi dan refleksi. Ia menekankan bahwa kematangan moral
bukanlah sekadar hasil pengajaran nilai, melainkan proses internalisasi prinsip
melalui penalaran aktif.²
4.2. Etika Kepedulian: Kritik dari Carol Gilligan
Carol Gilligan
mengkritik teori Kohlberg karena bias terhadap nilai-nilai keadilan yang lebih
sering diasosiasikan dengan pengalaman laki-laki. Dalam bukunya In a
Different Voice, Gilligan mengusulkan bahwa perempuan cenderung
bernalar secara moral berdasarkan relasi interpersonal, kepedulian,
dan tanggung
jawab terhadap orang lain, bukan hanya prinsip abstrak dan
keadilan.³
Gilligan
memperkenalkan ethic of care sebagai alternatif
terhadap ethic of
justice, yang memberikan ruang bagi dimensi afektif, empati, dan
konteks relasional dalam penalaran moral.⁴ Pendekatan ini memperluas pemahaman
terhadap dinamika moral, terutama dalam konteks keluarga, pendidikan, dan
profesi pengasuhan.
4.3. Teori Intuisi Sosial Jonathan Haidt
Jonathan Haidt
mengembangkan model Social Intuitionist Theory (SIT)
yang secara radikal menantang asumsi kognitivis tradisional. Menurut Haidt,
keputusan moral umumnya tidak didasarkan pada proses penalaran rasional, tetapi
justru muncul sebagai intuisi moral yang otomatis dan emosional,
sementara penalaran moral lebih sering berperan sebagai justifikasi
pasca-keputusan.⁵
Dalam bukunya The
Righteous Mind, Haidt juga memperkenalkan kerangka Moral
Foundations Theory yang mengidentifikasi enam fondasi moral
universal: kepedulian/kesakitan, keadilan/
kecurangan, loyalitas/ pengkhianatan, otoritas/
pemberontakan, kesucian/ degradasi, dan kebebasan/
penindasan.⁶ Teori ini menunjukkan bahwa penalaran moral
bersifat pluralistik dan sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan afektif.
4.4. Kontribusi Ilmu Saraf dan Kognisi Sosial
Perkembangan
neurosains sosial memberikan wawasan baru tentang proses neuropsikologis yang
mendasari penalaran moral. Temuan dari pemindaian fMRI menunjukkan bahwa
pengambilan keputusan moral melibatkan aktivitas intens di korteks
prefrontal ventromedial, amigdala, dan insula,
yang berhubungan dengan pemrosesan emosi dan empati.⁷
Joshua Greene,
melalui eksperimen terkenal “trolley problem,” membedakan dua mode
penalaran moral: emosional-intuitif dan kognitif-deliberatif.⁸
Ia mengemukakan bahwa konflik antara keduanya seringkali menjadi sumber dilema
moral dalam situasi nyata.
4.5. Model Penalaran Moral Terpadu
James Rest dan
koleganya kemudian mengembangkan Four-Component Model yang
menekankan bahwa penalaran moral hanyalah satu dari empat komponen penting
dalam proses moral: (1) sensitivitas moral, (2) penilaian
moral, (3) motivasi moral, dan (4) implementasi
moral.⁹ Model ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang dapat
menalar secara moral dengan baik, ia tetap memerlukan motivasi dan kapasitas
untuk mewujudkan keputusan etis tersebut dalam tindakan nyata.
Kesimpulan Sementara
Secara keseluruhan,
teori-teori psikologis tentang penalaran moral memperlihatkan bahwa proses ini
bukanlah linear, netral, atau semata-mata kognitif. Ia merupakan hasil
interaksi kompleks antara struktur kognitif, disposisi afektif, konteks
sosial-budaya, serta perkembangan kepribadian individu. Pemahaman yang
komprehensif terhadap penalaran moral membutuhkan pendekatan lintas disiplin
yang mengintegrasikan teori perkembangan, intuisi sosial, dan dimensi
neuropsikologis.
Footnotes
[1]
Lawrence Kohlberg, “Stage and Sequence: The Cognitive-Developmental
Approach to Socialization,” in Handbook of Socialization Theory and
Research, ed. David A. Goslin (Chicago: Rand McNally, 1969), 347–480.
[2]
Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization,” in Moral
Development and Behavior: Theory, Research, and Social Issues, ed. Thomas
Lickona (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1976), 31–53.
[3]
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982), 6–8.
[4]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 23–34.
[5]
Jonathan Haidt, “The Emotional Dog and Its Rational Tail: A Social
Intuitionist Approach to Moral Judgment,” Psychological Review 108,
no. 4 (2001): 814–834.
[6]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 123–166.
[7]
Jorge Moll et al., “The Neural Basis of Moral Cognition: Sentiment, Motivation,
and Reasoning,” Journal of Physiology–Paris 101, no. 4–6 (2007):
210–224.
[8]
Joshua D. Greene et al., “An fMRI Investigation of Emotional Engagement
in Moral Judgment,” Science 293, no. 5537 (2001): 2105–2108.
[9]
James R. Rest, Darcia Narvaez, Muriel J. Bebeau, and Stephen J. Thoma, Postconventional
Moral Thinking: A Neo-Kohlbergian Approach (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, 1999), 5–15.
5.
Penalaran
Moral dalam Perspektif Pendidikan
Pendidikan memiliki
peran yang sangat strategis dalam membentuk kemampuan penalaran moral peserta
didik. Sebagai institusi sosialisasi nilai dan norma, sekolah tidak hanya
bertugas mentransmisikan pengetahuan kognitif, tetapi juga menumbuhkan kepekaan
etis, integritas pribadi, serta kemampuan untuk menimbang tindakan berdasarkan
pertimbangan moral yang rasional dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini,
pengembangan penalaran moral menjadi dimensi krusial dari pendidikan karakter
yang berorientasi pada pembentukan manusia utuh.
5.1. Pendidikan Moral sebagai Proses Pembentukan Nalar
Etis
Pendidikan moral
tidak dapat direduksi pada indoktrinasi nilai-nilai normatif, melainkan harus
berfungsi sebagai proses pembelajaran aktif yang memungkinkan peserta didik
mengalami, mengeksplorasi, dan merefleksikan dilema etis secara mandiri. Jean
Piaget dan Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral terjadi
seiring pertumbuhan struktur kognitif, dan pendidikan memiliki peran penting
dalam menyediakan tantangan sosial-kognitif yang mendorong kemajuan tahapan
moral.¹
Strategi pedagogis
yang menekankan pada diskusi moral, analisis dilema etis, serta pembelajaran
kooperatif terbukti dapat memperkuat kapasitas berpikir moral siswa.² Kegiatan
ini bukan hanya mengaktifkan dimensi kognitif, tetapi juga membentuk empati,
toleransi, dan tanggung jawab sosial sebagai dasar pembentukan warga negara
yang etis.
5.2. Teori Kohlberg dan Penerapannya dalam Pendidikan
Kohlberg berpendapat
bahwa tahap penalaran moral dapat ditingkatkan melalui pengalaman pendidikan
yang merangsang dialog moral, refleksi, dan pengambilan perspektif. Dalam Just
Community School Model, ia mengusulkan lingkungan pendidikan
demokratis di mana siswa dilibatkan dalam pengambilan keputusan kolektif yang
menyentuh isu-isu moral nyata di sekolah.³
Model ini bertujuan
menciptakan situasi di mana norma-norma etis tidak hanya diajarkan, tetapi
dipraktikkan dan dinegosiasikan, sehingga siswa belajar menalar secara moral
melalui partisipasi nyata.⁴ Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Deweyan
tentang pendidikan sebagai pengalaman demokratis yang mendukung pertumbuhan
reflektif.
5.3. Pendidikan Karakter dan Penalaran Moral
Di banyak negara,
pendidikan karakter kini menjadi agenda nasional yang bertujuan membentuk
kepribadian dan nilai moral peserta didik. Namun, pendekatan yang terlalu
normatif dan dogmatis sering mengabaikan pentingnya moral reasoning sebagai inti dari
tindakan etis yang otonom. Thomas Lickona menekankan bahwa pendidikan karakter
sejati harus mencakup tiga komponen utama: moral knowing, moral
feeling, dan moral action, di mana penalaran
moral termasuk dalam dimensi pertama dan sangat menentukan dua aspek lainnya.⁵
Oleh karena itu,
pendidikan karakter yang efektif harus menyeimbangkan penguatan nilai dengan
pengembangan kapasitas bernalar secara etis. Pembelajaran yang hanya menekankan
kepatuhan tanpa melibatkan pemahaman kritis akan menghasilkan moralitas yang
lemah secara otonomi.
5.4. Praktik Pembelajaran yang Mendorong Penalaran Moral
Beberapa pendekatan
pedagogis yang terbukti mendorong perkembangan penalaran moral antara lain:
·
Diskusi
dilema moral (moral dilemma discussion), sebagaimana
dikembangkan oleh Blatt dan Kohlberg, yang memungkinkan siswa berhadapan
langsung dengan konflik nilai dan diajak menimbangnya secara rasional.⁶
·
Pembelajaran
berbasis proyek sosial (social action projects) yang mendorong
keterlibatan siswa dalam isu-isu komunitas dengan orientasi pada refleksi
etis.⁷
·
Dialog
interaktif yang melibatkan keberagaman pandangan, menumbuhkan
sikap respek, dan mendorong pembentukan justifikasi etis berbasis argumen.
Penting juga bagi
guru untuk mengadopsi pendekatan pedagogi reflektif,
di mana proses pembelajaran tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi pada
perjalanan kognitif dan afektif siswa dalam menalar dan menilai tindakan moral.
5.5. Tantangan dan Harapan di Era Kontemporer
Dalam era
globalisasi, teknologi digital, dan pluralitas nilai, pendidikan moral
menghadapi tantangan baru. Informasi yang melimpah, paparan terhadap
nilai-nilai transnasional, serta relativisme budaya menuntut pembentukan
penalaran moral yang adaptif, reflektif, dan berbasis prinsip etis yang kuat.
Pendidikan tidak
dapat lagi hanya mengandalkan sistem kontrol eksternal (hukuman-penghargaan),
melainkan harus melatih moral autonomy—kemampuan individu
untuk mengambil keputusan etis secara mandiri dalam situasi kompleks.⁸ Dalam
konteks ini, penalaran moral menjadi fondasi utama bagi pendidikan moral yang
tidak hanya mengajarkan apa yang harus dilakukan, tetapi mengapa
sesuatu harus dilakukan.
Footnotes
[1]
Lawrence Kohlberg, “Stage and Sequence: The Cognitive-Developmental
Approach to Socialization,” in Handbook of Socialization Theory and
Research, ed. David A. Goslin (Chicago: Rand McNally, 1969), 369–372.
[2]
Fritz Oser and Wiel Veugelers, “Teaching Ethics and Values in Schools:
A New Approach to Moral Education,” in International Handbook of Research
on Teachers and Teaching, ed. Lawrence J. Saha and Anthony G. Dworkin
(Boston: Springer, 2009), 375–390.
[3]
Lawrence Kohlberg and Rochelle Mayer, “Development as the Aim of
Education,” Harvard Educational Review 42, no. 4 (1972): 449–496.
[4]
Clark Power, Ann Higgins, and Lawrence Kohlberg, “Lawrence Kohlberg’s
Approach to Moral Education,” in Handbook of Moral Behavior and Development,
vol. 3, ed. William Kurtines and Jacob Gewirtz (Hillsdale, NJ: Erlbaum, 1991),
109–143.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 51–67.
[6]
Melvin Blatt and Lawrence Kohlberg, “The Effects of Classroom Moral
Discussion upon Children’s Level of Moral Judgment,” Journal of Moral
Education 4, no. 2 (1975): 129–161.
[7]
Darcia Narvaez, “Moral Complexity: The Fatal Attraction of Truthiness
and the Importance of Mature Moral Functioning,” Perspectives on
Psychological Science 5, no. 2 (2010): 163–181.
[8]
Darcia Narvaez and James R. Rest, “The Four Components of Acting
Morally,” in Moral Development: Advances in Research and Theory, ed.
James R. Rest (New York: Praeger, 1986), 24–40.
6.
Penalaran
Moral dan Budaya
Penalaran moral
tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya tempat individu dibesarkan dan
berinteraksi. Budaya membentuk kerangka nilai, norma, dan sistem makna yang
menjadi fondasi bagi proses berpikir etis seseorang. Dalam konteks ini,
penalaran moral bukan sekadar proses kognitif individual yang netral, tetapi
merupakan aktivitas yang dibentuk dan dibentuk ulang oleh struktur sosial,
tradisi, serta sistem kepercayaan kolektif.¹
6.1. Pengaruh Budaya terhadap Struktur Penalaran Moral
Studi lintas budaya
dalam psikologi moral telah menunjukkan bahwa struktur dan konten penalaran
moral sangat bervariasi antar masyarakat. Penelitian oleh Richard Shweder dan
koleganya menunjukkan bahwa masyarakat non-Barat, seperti India, memiliki
struktur penalaran moral yang berbeda dari masyarakat Barat, khususnya dalam
menekankan dimensi komunitarian dan spiritual,
bukan hanya dimensi keadilan individual.²
Shweder
mengembangkan konsep tiga domain moral:
·
Autonomy
(otonomi): berfokus pada hak individu dan keadilan.
·
Community
(komunitas): menekankan kesetiaan, peran sosial, dan kewajiban
terhadap kelompok.
·
Divinity
(kesucian): berhubungan dengan pemurnian, kehormatan, dan
larangan religius.³
Sementara masyarakat
liberal-modern cenderung berfokus pada domain otonomi, masyarakat tradisional
mengintegrasikan ketiganya secara seimbang dalam penalaran moral mereka. Hal
ini menunjukkan bahwa kerangka etis yang digunakan seseorang sangat dipengaruhi
oleh struktur budaya tempat ia berakar.
6.2. Perspektif Haidt dan Pluralitas Fondasi Moral
Jonathan Haidt
memperkuat perspektif pluralistik ini melalui Moral Foundations Theory, yang
mengidentifikasi enam fondasi moral universal yang berbeda penekanan dan
distribusinya dalam budaya berbeda:
1)
Care/ harm
(kepedulian/kerugian)
2)
Fairness/ cheating
(keadilan/ketidakjujuran)
3)
Loyalty/ betrayal
(loyalitas/pengkhianatan)
4)
Authority/ subversion
(otoritas/pemberontakan)
5)
Sanctity/ degradation
(kesucian/kenajisan)
6)
Liberty/ oppression
(kebebasan/penindasan)⁴
Menurut Haidt,
masyarakat liberal cenderung mengutamakan dua fondasi pertama (kepedulian dan
keadilan), sementara masyarakat konservatif atau tradisional memberi bobot
lebih merata pada semua fondasi, termasuk loyalitas, otoritas, dan kesucian.⁵
Ini memperkuat bahwa penalaran moral berakar pada intuisi yang dikondisikan
secara budaya.
6.3. Penalaran Moral dan Relativisme Budaya
Keterikatan
penalaran moral pada konteks budaya juga menimbulkan perdebatan filosofis
tentang relativisme moral. Jika setiap
masyarakat memiliki standar moralnya sendiri, apakah mungkin menilai suatu
tindakan sebagai “salah secara universal”?⁶ Beberapa filsuf seperti
Gilbert Harman berpendapat bahwa penilaian moral bersifat kontekstual dan tidak
dapat dilepaskan dari kerangka budaya tertentu.⁷
Namun, kritik
terhadap relativisme menyoroti risiko nihilisme moral dan ketidakmampuan
menghadapi praktik yang secara luas dianggap tidak etis (misalnya, penindasan
terhadap kelompok minoritas atas nama budaya). Oleh karena itu, muncul
pendekatan pluralisme etis yang mengakui
keberagaman nilai moral, namun tetap membuka ruang untuk dialog lintas budaya
yang rasional dan reflektif.⁸
6.4. Penalaran Moral dalam Perspektif Islam
Dalam konteks Islam,
penalaran moral memiliki akar kuat dalam wahyu dan akal. Islam memandang akal
sebagai alat penting untuk memahami dan menegakkan nilai-nilai moral yang
diturunkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ulama seperti Al-Ghazali dan Ibn
Miskawayh menekankan pentingnya ta‘aqqul (berpikir rasional) dalam
mengembangkan khuluq (akhlak).⁹
Selain itu, prinsip maṣlaḥah
(kemaslahatan) dalam usul fikih memperlihatkan fleksibilitas penalaran moral
dalam menghadapi perubahan sosial-budaya, tanpa mengabaikan prinsip dasar
syariah.¹⁰ Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, penalaran moral tidak semata
berakar pada intuisi atau budaya lokal, tetapi juga tunduk pada kerangka
normatif ilahiah yang dapat dijangkau melalui akal dan ijtihad.
6.5. Implikasi Pendidikan dalam Masyarakat Multikultural
Dalam masyarakat
yang semakin plural, pendidikan moral perlu mampu menjembatani keragaman nilai
tanpa kehilangan prinsip-prinsip universal yang mendukung keadilan, perdamaian,
dan martabat manusia. Strategi seperti pendidikan interkultural, diskusi
lintas nilai, dan pendekatan etika dialogis perlu
dikembangkan untuk menumbuhkan keterampilan bernalar secara moral dalam lanskap
sosial yang beragam.¹¹
Pendidikan yang
berfokus pada penalaran moral lintas budaya tidak hanya memperkuat empati dan
toleransi, tetapi juga melatih kemampuan untuk mengevaluasi dan menyeimbangkan nilai
yang berbeda secara rasional dan etis.
Footnotes
[1]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), 7–9.
[2]
Richard A. Shweder et al., “The ‘Big Three’ of Morality (Autonomy,
Community, Divinity) and the ‘Big Three’ Explanations of Suffering,” in Morality
and Health, ed. Allan M. Brandt and Paul Rozin (New York: Routledge,
1997), 119–169.
[3]
Ibid., 124–128.
[4]
Jonathan Haidt and Craig Joseph, “Intuitive Ethics: How Innately
Prepared Intuitions Generate Culturally Variable Virtues,” Daedalus
133, no. 4 (2004): 55–66.
[5]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 151–179.
[6]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 20–35.
[7]
Gilbert Harman, Moral Relativism and Moral Objectivity
(Oxford: Blackwell, 1996), 15–29.
[8]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45–48.
[9]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, trans. Nabih Amin
Faris (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 12–15; Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1946), 89–95.
[10]
Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence,
3rd ed. (Cambridge: Islamic Texts Society, 2003), 267–279.
[11]
Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to
Character Education (New York: Teachers College Press, 2002), 108–120.
7.
Aplikasi
Penalaran Moral dalam Kehidupan Sosial dan Profesi
Penalaran moral
bukan sekadar konsep teoretis yang bersifat spekulatif, tetapi merupakan
kapasitas praktis yang berperan sentral dalam pengambilan keputusan etis dalam
berbagai konteks kehidupan sosial dan profesional. Dalam masyarakat plural dan
kompleks dewasa ini, kemampuan untuk menalar secara moral sangat penting dalam
menjembatani konflik nilai, menjaga integritas individu, serta memelihara
tatanan sosial yang adil dan beradab.¹
7.1. Penalaran Moral dalam Ruang Publik dan Politik
Dalam ruang publik
dan kehidupan bernegara, penalaran moral diperlukan untuk menilai kebijakan,
undang-undang, serta praktik kekuasaan dalam kerangka keadilan, kesejahteraan
umum, dan hak asasi manusia. Pemikir seperti Jürgen Habermas menekankan
pentingnya discourse
ethics, yaitu model deliberatif di mana kebijakan publik harus
diputuskan melalui argumen moral yang dapat dipertanggungjawabkan di ruang
rasional antarwarga negara.²
Contoh konkret
aplikasi penalaran moral dalam politik adalah perdebatan tentang kebijakan
redistribusi ekonomi, pengendalian iklim, atau perlindungan kelompok minoritas,
di mana pengambilan keputusan menuntut pertimbangan nilai keadilan, tanggung
jawab ekologis, dan penghormatan terhadap martabat manusia.³
7.2. Penalaran Moral dalam Praktik Hukum
Dalam ranah hukum,
penalaran moral memainkan peran penting dalam interpretasi norma-norma hukum
dan pemberian putusan yang adil. Hakim, jaksa, dan pengacara tidak hanya
dituntut untuk mematuhi teks hukum, tetapi juga untuk menilai aspek keadilan
substantif dari penerapan hukum dalam kasus konkret. Ronald Dworkin, misalnya,
menekankan bahwa hukum mengandung prinsip moral implisit yang harus
dieksplisitkan melalui moral reasoning yang reflektif dan
rasional.⁴
Dalam dilema antara
legalitas dan keadilan, seperti dalam kasus pelanggaran HAM oleh negara,
penalaran moral dapat menjadi dasar untuk menolak ketaatan buta terhadap aturan
formal dan mendorong reformasi hukum yang lebih humanistik.⁵
7.3. Penalaran Moral dalam Profesi Kesehatan dan
Bioetika
Profesi medis
menghadapi dilema moral yang sangat kompleks, seperti pengambilan keputusan
akhir hayat (euthanasia), pembatasan terapi, privasi pasien, dan alokasi sumber
daya medis. Dalam konteks ini, penalaran moral menjadi alat utama bagi tenaga
medis untuk menyeimbangkan antara prinsip autonomi pasien, keadilan
distribusi, kemanfaatan, dan non-maleficence
(tidak mencelakai).⁶
Komite etik rumah
sakit, pelatihan etika klinis, dan praktik konsultasi bioetika merupakan bentuk
konkret dari institusionalisasi penalaran moral dalam pelayanan kesehatan.⁷
Tanpa kapasitas bernalar secara etis, profesi medis berisiko menjadi
teknokratis dan kehilangan kompas moral dalam menghadapi kompleksitas
kemanusiaan.
7.4. Penalaran Moral dalam Dunia Bisnis dan Ekonomi
Dalam dunia
korporasi, penalaran moral diperlukan untuk mengatasi praktik bisnis yang
berpotensi merugikan publik, seperti eksploitasi tenaga kerja, korupsi,
monopoli pasar, atau kerusakan lingkungan. Bisnis yang etis bukan hanya
mementingkan profit, tetapi juga mempertimbangkan corporate
social responsibility (CSR) dan prinsip keberlanjutan
(sustainability).⁸
Model stakeholder
theory yang dikembangkan oleh R. Edward Freeman menggeser orientasi
bisnis dari sekadar keuntungan pemegang saham menuju tanggung jawab moral
terhadap seluruh pihak yang terdampak oleh aktivitas perusahaan.⁹ Dengan
demikian, penalaran moral menjadi elemen strategis dalam membangun bisnis yang
berintegritas dan berkelanjutan.
7.5. Penalaran Moral di Era Teknologi dan Media Sosial
Kemajuan teknologi
digital menghadirkan tantangan baru dalam hal penalaran moral. Fenomena seperti
disinformasi, penyebaran ujaran kebencian, cyberbullying, serta pelanggaran
privasi menuntut kapasitas moral yang adaptif.¹⁰ Dalam situasi di mana batas
antara ruang publik dan privat semakin kabur, individu dituntut untuk menalar
secara etis dalam penggunaan informasi, produksi konten, dan interaksi daring.
Prinsip moral
seperti tanggung jawab digital, keadilan
algoritmis, dan hak atas privasi menjadi
semakin relevan dalam konteks ini. Tanpa landasan penalaran moral yang kuat,
teknologi berisiko menjadi instrumen dehumanisasi dan ketimpangan kekuasaan.¹¹
Kesimpulan Sementara
Penalaran moral bukanlah
domain eksklusif para filsuf atau akademisi, melainkan kemampuan yang melekat
pada semua peran sosial dan profesional. Dalam setiap pengambilan keputusan,
individu berhadapan dengan nilai-nilai yang saling bertentangan dan harus
menyusun justifikasi etis yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu,
penalaran moral merupakan kompetensi abad ke-21 yang esensial bagi warga dunia
yang sadar, etis, dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Larry Nucci, Nice Is Not Enough: Facilitating Moral Development
(Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall, 2008), 5–6.
[2]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press,
1990), 66–91.
[3]
Michael J. Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 17–33.
[4]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge: Harvard University
Press, 1986), 90–98.
[5]
Lon L. Fuller, The Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale
University Press, 1969), 39–45.
[6]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013), 3–19.
[7]
Nancy Berlinger, Bioethics in Action: A Guide to Decision Making in
the Clinical Setting (Lanham: Rowman & Littlefield, 2013), 12–28.
[8]
Archie B. Carroll and Ann K. Buchholtz, Business and Society:
Ethics and Stakeholder Management, 9th ed. (Boston: Cengage Learning,
2015), 38–56.
[9]
R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach
(Boston: Pitman, 1984), 46–65.
[10]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016),
91–112.
[11]
Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools
Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018),
13–27.
8.
Kritik
dan Tantangan Kontemporer
Meskipun penalaran
moral diakui sebagai kapasitas penting dalam kehidupan individu dan kolektif,
pendekatan-pendekatan terhadapnya tidak luput dari kritik, baik dari segi metodologis,
epistemologis, maupun praktis. Selain itu, konteks sosial, politik, dan
teknologi abad ke-21 juga membawa tantangan-tantangan baru yang menguji
validitas, efektivitas, dan relevansi model-model penalaran moral yang telah
mapan.
8.1. Kritik terhadap Model Rasionalistik-Kognitivis
Salah satu kritik
utama ditujukan kepada model-model penalaran moral yang terlalu menekankan
rasionalitas sebagai pusat pertimbangan etis, seperti yang dikembangkan oleh
Lawrence Kohlberg. Model ini dikritik karena cenderung mengabaikan peran emosi,
intuisi, dan konteks sosial dalam proses moral.¹ Carol Gilligan, dalam kritik
feminisnya, menilai bahwa penalaran moral tidak selalu bersifat universal dan
hierarkis, tetapi juga bersifat relasional dan kontekstual, terutama dalam pengalaman
perempuan.²
Jonathan Haidt lebih
jauh menyatakan bahwa penalaran moral seringkali bersifat post hoc,
yakni muncul sebagai pembenaran setelah intuisi moral terbentuk secara
otomatis.³ Dengan demikian, argumen rasional bukanlah penyebab utama keputusan
moral, tetapi lebih sering berfungsi sebagai alat justifikasi sosial. Kritik
ini menggugurkan asumsi bahwa penalaran moral bersifat netral dan objektif.
8.2. Bias Budaya dan Universalitas Moral
Teori-teori moral
Barat sering dikritik karena memproyeksikan nilai-nilai liberal-individualistik
sebagai standar universal. Pendekatan ini berpotensi mengabaikan keragaman
sistem moral di luar budaya Barat, yang seringkali lebih menekankan pada
harmoni sosial, kewajiban kolektif, atau prinsip kesucian.⁴ Relativisme budaya,
yang menyatakan bahwa semua sistem moral sah dalam konteksnya masing-masing,
menantang klaim universalitas dalam penalaran moral.
Namun demikian,
relativisme juga menghadapi kritik karena dapat menormalkan praktik yang secara
luas dianggap tidak etis, seperti diskriminasi gender atau kekerasan berbasis
budaya.⁵ Ketegangan antara klaim universal dan pengakuan atas partikularitas
budaya masih menjadi tantangan epistemologis utama dalam studi moral
kontemporer.
8.3. Polarisasi Moral dan Krisis Wacana Publik
Di era media sosial
dan politik identitas, ruang publik semakin dibentuk oleh polarisasi dan moral
outrage, bukan oleh deliberasi rasional.³ Penalaran moral sering
kali ditunggangi oleh afiliasi ideologis dan emosi kolektif, sehingga
menghambat dialog etis yang konstruktif. Alih-alih menjembatani perbedaan,
penalaran moral justru sering digunakan untuk mengukuhkan batas identitas dan
memperkuat bias kelompok.
Situasi ini
diperparah oleh algoritma media digital yang memperkuat confirmation
bias, mempersempit spektrum pandangan, dan mengurangi ekspos
terhadap argumen moral alternatif.⁶ Dalam kondisi seperti ini, kapasitas untuk
menalar secara terbuka dan reflektif menghadapi ancaman serius dari dinamika
sosial yang emosional dan terfragmentasi.
8.4. Moral Disengagement dan Erosi Etika Profesi
Albert Bandura
memperkenalkan konsep moral disengagement untuk
menjelaskan bagaimana individu dapat melepaskan diri dari komitmen etis melalui
rasionalisasi, pembelokan tanggung jawab, atau dehumanisasi korban.⁷ Fenomena
ini kerap terjadi dalam konteks profesional—baik dalam dunia bisnis, politik,
militer, maupun teknologi—di mana tekanan sistemik dan kepentingan
institusional menumpulkan sensitivitas moral.
Erosi etika profesi
menjadi tantangan kontemporer yang menuntut tidak hanya instrumen hukum, tetapi
juga penguatan struktur moral internal melalui pelatihan penalaran etis yang
kontekstual, partisipatif, dan integratif.
8.5. Tantangan Teknologi dan Kompleksitas Moral Baru
Revolusi teknologi
informasi, kecerdasan buatan, dan bioengineering menciptakan jenis-jenis dilema
moral baru yang belum memiliki preseden normatif yang jelas. Apakah sistem
algoritmik dapat dibebani tanggung jawab moral? Siapa yang harus bertanggung
jawab atas bias
dalam sistem kecerdasan buatan? Apakah pengeditan gen embrio manusia secara
moral dapat dibenarkan?
Masalah-masalah ini
membutuhkan model penalaran moral yang tidak hanya berbasis pada prinsip
klasik, tetapi juga mampu menangani ketidakpastian, multidisiplinaritas, dan
dinamika perubahan nilai yang cepat.⁸
Kesimpulan Sementara
Kritik dan tantangan
terhadap penalaran moral di era kontemporer membuka peluang untuk merevisi,
memperluas, dan merefleksikan kembali model-model moral yang ada. Pendekatan
yang terlalu mengandalkan rasionalitas abstrak perlu dilengkapi dengan
pemahaman terhadap konteks afektif, sosial, dan kultural. Demikian pula,
pendidikan moral dan kebijakan publik harus dirancang untuk merespons
kompleksitas moral yang baru dengan menumbuhkan kapasitas etis yang tangguh,
inklusif, dan adaptif.
Footnotes
[1]
Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization: The
Cognitive-Developmental Approach,” in Moral Development and Behavior:
Theory, Research, and Social Issues, ed. Thomas Lickona (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1976), 31–53.
[2]
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and
Women’s Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982), 21–39.
[3]
Jonathan Haidt, “The Emotional Dog and Its Rational Tail: A Social
Intuitionist Approach to Moral Judgment,” Psychological Review 108,
no. 4 (2001): 814–834.
[4]
Richard A. Shweder et al., “The ‘Big Three’ of Morality (Autonomy,
Community, Divinity),” in Morality and Health, ed. Allan M. Brandt and
Paul Rozin (New York: Routledge, 1997), 119–169.
[5]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy,
9th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2017), 22–30.
[6]
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of
Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 151–165.
[7]
Albert Bandura, Moral Disengagement: How People Do Harm and Live
with Themselves (New York: Worth Publishers, 2016), 1–19.
[8]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016),
114–137.
9.
Relevansi
dan Prospek Penalaran Moral di Masa Depan
Di tengah realitas
dunia yang semakin kompleks, saling terhubung, dan dipenuhi ketidakpastian,
penalaran moral menjadi kompetensi yang semakin krusial. Tantangan global
seperti krisis iklim, kecerdasan buatan, polarisasi politik, serta keragaman
nilai budaya dan kepercayaan menuntut bentuk penalaran etis yang lebih adaptif,
inklusif, dan multidisipliner.¹ Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
penalaran moral di masa depan akan menjadi pilar utama dalam pendidikan
karakter, pengambilan kebijakan, dan pengembangan teknologi yang berorientasi
pada kemaslahatan manusia.
9.1. Penalaran Moral sebagai Kompetensi Abad ke-21
Organisasi
pendidikan global seperti UNESCO dan OECD telah menegaskan pentingnya
pengembangan kompetensi sosial-emosional dan etika sebagai bagian dari
pendidikan abad ke-21.² Dalam konteks ini, penalaran moral dianggap sebagai
kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mengintegrasikan aspek kognitif,
afektif, dan sosial, serta berperan penting dalam pengambilan keputusan yang
bertanggung jawab di tengah kompleksitas dunia kerja dan kehidupan sosial.
Sebagai contoh,
Framework OECD Future of Education and Skills 2030
menempatkan moral reasoning and ethical reflection
sebagai bagian dari dimensi karakter yang harus ditanamkan melalui pendidikan
lintas kurikulum.³ Ini menunjukkan bahwa kemampuan bernalar secara moral tidak
lagi dianggap sebagai ranah opsional, melainkan sebagai prasyarat untuk menjadi
warga dunia yang etis dan solutif.
9.2. Penalaran Moral dalam Era Kecerdasan Buatan dan
Teknologi Digital
Kemajuan teknologi
kecerdasan buatan (AI) menimbulkan pertanyaan moral yang tidak pernah dihadapi
oleh generasi sebelumnya. Siapa yang bertanggung jawab atas keputusan algoritma
yang merugikan kelompok tertentu? Apakah sistem otonom seperti kendaraan tanpa
pengemudi atau robot medis dapat diprogram dengan prinsip-prinsip moral?
Tantangan-tantangan ini menuntut kemampuan penalaran moral yang dapat
menavigasi batas antara manusia dan mesin.⁴
Para peneliti
seperti Shannon Vallor dan Wendell Wallach menegaskan pentingnya pengembangan techno-moral
literacy, yaitu kapasitas untuk memahami dan menilai implikasi
moral dari teknologi mutakhir.⁵⁻⁶ Dalam hal ini, penalaran moral menjadi
instrumen etis yang memungkinkan masyarakat mempertahankan kendali normatif
atas arah perkembangan teknologi.
9.3. Penalaran Moral dan Keadilan Sosial Global
Ketimpangan ekonomi,
krisis migrasi, dan diskriminasi sistemik menuntut cara pandang moral yang
melampaui batas-batas negara dan etnis. Martha Nussbaum, melalui pendekatan capabilities
approach, menyarankan agar penalaran moral tidak hanya berfokus
pada kewajiban formal atau hak-hak hukum, tetapi juga pada potensi manusia
untuk hidup bermartabat dan berkembang.⁷
Di masa depan,
penalaran moral perlu diperluas untuk mengakomodasi kompleksitas keadilan
global, termasuk dalam isu seperti perdagangan internasional yang eksploitatif,
tanggung jawab terhadap pengungsi iklim, dan hak digital masyarakat global.⁸
Model penalaran moral yang bersifat kosmopolitan dan berakar pada solidaritas
antarmanusia menjadi semakin relevan dalam mengatasi ketimpangan yang
transnasional.
9.4. Relevansi Penalaran Moral dalam Pendidikan Masa
Depan
Dalam sistem
pendidikan, penalaran moral perlu diintegrasikan secara eksplisit dalam
pembelajaran lintas disiplin. Pendidikan STEM, misalnya, harus memasukkan
dimensi etika dalam desain teknologi, pengolahan data, dan pengambilan
keputusan berbasis algoritma.⁹ Pendidikan humaniora dan ilmu sosial pun perlu
membekali siswa dengan keterampilan ethical inquiry, moral
imagination, dan deliberative reasoning.
Pendekatan ini tidak
hanya menghasilkan lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi juga
bijaksana secara etis, serta mampu berpartisipasi aktif dalam menciptakan
masyarakat yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.¹⁰
9.5. Prospek Transformatif: Penalaran Moral sebagai
Dasar Etika Planetaria
Para filsuf
kontemporer seperti Hans Jonas dan Leonardo Boff telah menyerukan bentuk etika
yang bersifat planetaria, yaitu etika yang memperhitungkan masa depan spesies
manusia dan keberlanjutan planet bumi.¹¹ Dalam kerangka ini, penalaran moral
tidak lagi cukup jika hanya bersifat antropocentris, melainkan harus berkembang
menjadi eco-ethical
reasoning yang mencakup relasi manusia dengan alam, makhluk hidup
lain, dan generasi yang akan datang.
Prospek ini
menunjukkan bahwa penalaran moral dapat menjadi dasar bagi peradaban yang
berkeadaban, di mana rasionalitas tidak dipisahkan dari tanggung jawab ekologis
dan spiritualitas keberlanjutan.
Kesimpulan Sementara
Penalaran moral
memiliki relevansi yang terus meningkat di tengah kompleksitas global, kemajuan
teknologi, dan fragmentasi sosial. Ia tidak hanya dibutuhkan dalam konteks
personal dan sosial, tetapi juga dalam desain sistem digital, penyusunan
kebijakan internasional, dan pembangunan masa depan yang berkelanjutan. Oleh
karena itu, upaya memperkuat penalaran moral melalui pendidikan, kebudayaan,
dan institusi sosial menjadi investasi strategis untuk menciptakan masa depan
yang etis, adil, dan bermartabat bagi seluruh umat manusia.
Footnotes
[1]
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford:
Stanford University Press, 1990), 125–127.
[2]
UNESCO, Education for Sustainable Development: A Roadmap
(Paris: UNESCO, 2020), 19–23.
[3]
OECD, The Future of Education and Skills: Education 2030 –
Conceptual Learning Framework (Paris: OECD Publishing, 2018), 5–12.
[4]
Nick Bostrom and Eliezer Yudkowsky, “The Ethics of Artificial
Intelligence,” in The Cambridge Handbook of Artificial Intelligence,
ed. Keith Frankish and William Ramsey (Cambridge: Cambridge University Press,
2014), 316–334.
[5]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016),
192–210.
[6]
Wendell Wallach and Colin Allen, Moral Machines: Teaching Robots
Right from Wrong (Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–68.
[7]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 18–26.
[8]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity Press, 2002), 10–19.
[9]
Michael Davis, Ethics and the University (London: Routledge,
1999), 103–108.
[10]
Darcia Narvaez, “Moral Complexity: The Fatal Attraction of Truthiness
and the Importance of Mature Moral Functioning,” Perspectives on
Psychological Science 5, no. 2 (2010): 163–181.
[11]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 6–15; Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor
(Maryknoll: Orbis Books, 1997), 78–86.
10. Kesimpulan dan Refleksi
Penalaran moral merupakan salah satu kapasitas
esensial manusia dalam menghadapi realitas kehidupan yang penuh dilema, konflik
nilai, dan ketidakpastian normatif. Artikel ini telah menelusuri fondasi
konseptual dan teoritis penalaran moral dari berbagai perspektif: filsafat
moral, psikologi perkembangan, pendidikan, serta relevansinya dalam konteks
sosial, budaya, dan profesional kontemporer.
Secara filosofis, penalaran moral berakar pada dua
kutub dominan: rasionalisme dan emotivisme. Rasionalisme moral, sebagaimana
dikemukakan oleh Kant, menekankan imperatif universal dan akal sebagai dasar
tindakan etis.¹ Sebaliknya, pandangan seperti yang diajukan oleh Hume dan Haidt
menunjukkan bahwa intuisi dan emosi memainkan peran mendasar dalam pertimbangan
moral sehari-hari.² Kontribusi filsafat metaetika juga memperluas pemahaman
mengenai status kognitif dari klaim moral, menyoroti ketegangan antara
relativisme dan objektivisme.³
Dari sisi psikologi, perkembangan penalaran moral
telah dipetakan secara sistematis oleh Lawrence Kohlberg melalui teori
tahapannya, yang kemudian diperkaya oleh pendekatan ethics of care dari
Carol Gilligan dan model intuisi sosial dari Jonathan Haidt.⁴ Ketiga
pendekatan ini menggambarkan kompleksitas moral sebagai hasil interaksi antara
struktur kognitif, dinamika afektif, dan pengaruh budaya sosial.
Dalam ranah pendidikan, penalaran moral harus
dipahami bukan sebagai hasil hafalan nilai-nilai normatif, tetapi sebagai
kompetensi reflektif yang dapat dikembangkan melalui dialog, dilema moral, dan
pembelajaran berbasis pengalaman.⁵ Pendidikan moral yang berorientasi pada
penalaran mendorong terbentuknya agen moral yang mandiri, otonom, dan
bertanggung jawab dalam bertindak secara etis di tengah pluralitas nilai.⁶
Secara praktis, penalaran moral telah menunjukkan
aplikasinya dalam berbagai konteks sosial dan profesi: mulai dari pengambilan
kebijakan publik, praktik hukum, pelayanan medis, etika bisnis, hingga dunia
digital. Kemampuan untuk menilai tindakan berdasarkan pertimbangan etis yang
terstruktur sangat penting dalam menjaga integritas, keadilan, dan tanggung
jawab sosial.⁷ Namun demikian, penalaran moral juga menghadapi tantangan besar,
baik dari sisi metodologis (dominasi model kognitif), epistemologis (bias
budaya dan relativisme), maupun praktis (polarisasi moral dan disinformasi
digital).⁸
Di masa depan, penalaran moral diharapkan menjadi
kompetensi sentral dalam merespons kompleksitas dunia global dan tantangan
transhumanistik. Ia akan berperan sebagai kompas etis dalam mengarahkan
pemanfaatan teknologi, menjawab ketimpangan global, dan mengukuhkan martabat
manusia di tengah fragmentasi sosial dan krisis ekologi.⁹ Untuk itu, diperlukan
pendekatan penalaran moral yang transdisipliner, berbasis nilai universal namun
sensitif terhadap konteks lokal, dan mampu mengintegrasikan nalar, empati,
serta tanggung jawab planetaria.
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
30–44.
[2]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good
People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon Books,
2012), 43–64; David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David Fate
Norton and Mary J. Norton (Oxford: Oxford University Press, 2000), 469–472.
[3]
Alexander Miller, Contemporary Metaethics: An
Introduction (Cambridge: Polity Press, 2003), 7–18.
[4]
Lawrence Kohlberg, “Stage and Sequence: The
Cognitive-Developmental Approach to Socialization,” in Handbook of
Socialization Theory and Research, ed. David A. Goslin (Chicago: Rand
McNally, 1969), 347–480; Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological
Theory and Women’s Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982),
23–45; Haidt, The Righteous Mind, 123–144.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991),
43–67.
[6]
Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring
Alternative to Character Education (New York: Teachers College Press,
2002), 98–112.
[7]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge:
Harvard University Press, 1986), 90–112; Tom L. Beauchamp and James F.
Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford
University Press, 2013), 3–19.
[8]
Albert Bandura, Moral Disengagement: How People
Do Harm and Live with Themselves (New York: Worth Publishers, 2016), 1–19;
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked
Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 151–165.
[9]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A
Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University
Press, 2016), 192–210; Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human
Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 35–47.
Daftar Pustaka
Bandura, A. (2016). Moral
disengagement: How people do harm and live with themselves. Worth
Publishers.
Beauchamp, T. L., &
Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.).
Oxford University Press.
Boff, L. (1997). Cry of
the earth, cry of the poor. Orbis Books.
Bostrom, N., &
Yudkowsky, E. (2014). The ethics of artificial intelligence. In K. Frankish
& W. Ramsey (Eds.), The Cambridge handbook of artificial intelligence
(pp. 316–334). Cambridge University Press.
Carroll, A. B., &
Buchholtz, A. K. (2015). Business and society: Ethics and stakeholder
management (9th ed.). Cengage Learning.
Davis, M. (1999). Ethics
and the university. Routledge.
Dworkin, R. (1986). Law’s
empire. Harvard University Press.
Eubanks, V. (2018). Automating
inequality: How high-tech tools profile, police, and punish the poor. St.
Martin’s Press.
Freeman, R. E. (1984). Strategic
management: A stakeholder approach. Pitman.
Fuller, L. L. (1969). The
morality of law (Rev. ed.). Yale University Press.
Gilligan, C. (1982). In
a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard
University Press.
Greene, J. D., Sommerville,
R. B., Nystrom, L. E., Darley, J. M., & Cohen, J. D. (2001). An fMRI
investigation of emotional engagement in moral judgment. Science,
293(5537), 2105–2108. https://doi.org/10.1126/science.1062872
Habermas, J. (1990). Moral
consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen,
Trans.). MIT Press.
Haidt, J. (2001). The
emotional dog and its rational tail: A social intuitionist approach to moral
judgment. Psychological Review, 108(4), 814–834. https://doi.org/10.1037/0033-295X.108.4.814
Haidt, J. (2012). The
righteous mind: Why good people are divided by politics and religion.
Pantheon Books.
Haidt, J., & Joseph, C.
(2004). Intuitive ethics: How innately prepared intuitions generate culturally
variable virtues. Daedalus, 133(4), 55–66.
Harman, G. (1996). Moral
relativism and moral objectivity. Blackwell.
Hume, D. (2000). A
treatise of human nature (D. F. Norton & M. J. Norton, Eds.). Oxford
University Press.
Jonas, H. (1984). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kamali, M. H. (2003). Principles
of Islamic jurisprudence (3rd ed.). Islamic Texts Society.
Kant, I. (1998). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Kohlberg, L. (1969). Stage
and sequence: The cognitive-developmental approach to socialization. In D. A.
Goslin (Ed.), Handbook of socialization theory and research (pp.
347–480). Rand McNally.
Kohlberg, L. (1976). Moral
stages and moralization: The cognitive-developmental approach. In T. Lickona
(Ed.), Moral development and behavior: Theory, research, and social issues
(pp. 31–53). Holt, Rinehart and Winston.
Kohlberg, L., & Mayer,
R. (1972). Development as the aim of education. Harvard Educational Review,
42(4), 449–496.
Lickona, T. (1991). Educating
for character: How our schools can teach respect and responsibility.
Bantam Books.
Miller, A. (2003). Contemporary
metaethics: An introduction. Polity Press.
Moll, J., Zahn, R., de
Oliveira-Souza, R., Krueger, F., & Grafman, J. (2007). The neural basis of
moral cognition: Sentiment, motivation, and reasoning. Journal of
Physiology–Paris, 101(4–6), 210–224. https://doi.org/10.1016/j.jphysparis.2007.12.003
Narvaez, D. (2010). Moral
complexity: The fatal attraction of truthiness and the importance of mature
moral functioning. Perspectives on Psychological Science, 5(2),
163–181. https://doi.org/10.1177/1745691610362351
Narvaez, D., & Rest, J.
R. (1986). The four components of acting morally. In J. R. Rest (Ed.), Moral
development: Advances in research and theory (pp. 24–40). Praeger.
Noddings, N. (1984). Caring:
A feminine approach to ethics and moral education. University of
California Press.
Noddings, N. (2002). Educating
moral people: A caring alternative to character education. Teachers
College Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women
and human development: The capabilities approach. Cambridge University
Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
Nucci, L. (2001). Education
in the moral domain. Cambridge University Press.
OECD. (2018). The
future of education and skills: Education 2030 – Conceptual learning framework.
OECD Publishing.
Pogge, T. (2002). World
poverty and human rights. Polity Press.
Power, C., Higgins, A.,
& Kohlberg, L. (1991). Lawrence Kohlberg’s approach to moral education. In
W. Kurtines & J. Gewirtz (Eds.), Handbook of moral behavior and
development (Vol. 3, pp. 109–143). Erlbaum.
Rachels, J., & Rachels,
S. (2017). The elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill
Education.
Rest, J. R., Narvaez, D.,
Bebeau, M. J., & Thoma, S. J. (1999). Postconventional moral thinking:
A neo-Kohlbergian approach. Lawrence Erlbaum Associates.
Ross, W. D. (1930). The
right and the good. Clarendon Press.
Sanders, M. J. (2009). Justice:
What’s the right thing to do?. Farrar, Straus and Giroux.
Shafer-Landau, R. (2003). Moral
realism: A defence. Clarendon Press.
Shweder, R. A., Much, N.
C., Mahapatra, M., & Park, L. (1997). The “big three” of morality
(autonomy, community, divinity) and the “big three” explanations of suffering.
In A. M. Brandt & P. Rozin (Eds.), Morality and health (pp.
119–169). Routledge.
Tufekci, Z. (2017). Twitter
and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale
University Press.
UNESCO. (2020). Education
for sustainable development: A roadmap. UNESCO Publishing.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford
University Press.
Wallach, W., & Allen,
C. (2009). Moral machines: Teaching robots right from wrong. Oxford
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar