Nihilisme
Konsep, Sejarah, dan Implikasinya terhadap
Nilai-Nilai Kehidupan
Alihkan ke: Aliran-Aliran
Filsafat Berdasarkan Pandangan terhadap Nilai-Nilai
Abstrak
Nihilisme merupakan aliran filsafat yang menolak
keberadaan makna, nilai, dan kebenaran yang absolut dalam kehidupan manusia.
Artikel ini membahas nihilisme secara komprehensif, mulai dari definisi,
sejarah, tokoh-tokoh utama, jenis-jenis nihilisme, hingga kritik dan
implikasinya terhadap berbagai aspek kehidupan. Friedrich Nietzsche menganggap
nihilisme sebagai konsekuensi dari “kematian Tuhan” dan mendorong
penciptaan nilai-nilai baru melalui konsep Übermensch. Sementara itu,
pemikir eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus menawarkan
pendekatan berbeda dalam menghadapi nihilisme, dengan menekankan kebebasan
individu dan pemberontakan terhadap absurditas. Di sisi lain, kritik terhadap
nihilisme datang dari berbagai sudut pandang, termasuk realisme, idealisme,
agama, dan postmodernisme.
Nihilisme memiliki dampak luas dalam etika, budaya,
psikologi, serta politik. Dalam bidang etika, nihilisme moral dapat menimbulkan
relativisme atau bahkan kehampaan moral. Dalam budaya dan seni, nihilisme sering
kali tercermin dalam karya-karya modernisme dan postmodernisme. Dari perspektif
psikologi, nihilisme dikaitkan dengan krisis eksistensial dan perasaan
kehilangan makna, yang dapat diatasi melalui pendekatan seperti logoterapi
Viktor Frankl. Sementara dalam politik, nihilisme dapat berkontribusi pada
ketidakpercayaan terhadap institusi sosial, yang dapat berujung pada anarki
atau menjadi katalisator perubahan sosial.
Artikel ini menyimpulkan bahwa nihilisme bukan
sekadar pandangan pesimistis, tetapi juga sebuah tantangan yang dapat
memotivasi manusia untuk mencari dan menciptakan makna dalam kehidupan. Dengan
mengkaji berbagai perspektif, nihilisme dapat dipahami sebagai fenomena yang
kompleks dan multidimensional, yang dapat didekati dengan sikap kritis dan
konstruktif.
Kata Kunci: Nihilisme, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre,
Albert Camus, Etika, Eksistensialisme, Absurdisme, Kritik terhadap Nihilisme,
Logoterapi, Postmodernisme.
PEMBAHASAN
Aliran Filsafat Nihilisme
1.
Pendahuluan
Filsafat sebagai disiplin ilmu senantiasa
mempertanyakan makna, nilai, dan kebenaran dalam kehidupan manusia. Dalam
konteks ini, nihilisme muncul sebagai salah satu aliran filsafat yang secara
fundamental meragukan atau bahkan menolak keberadaan nilai-nilai objektif dan
makna dalam kehidupan. Istilah "nihilisme" berasal dari bahasa
Latin nihil, yang berarti "tidak ada" atau "ketiadaan."
Dalam filsafat, konsep ini pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh
filsuf Jerman Friedrich Heinrich Jacobi pada akhir abad ke-18 sebagai kritik
terhadap rasionalisme yang dianggapnya berujung pada skeptisisme radikal dan
kehampaan makna.1 Sejak saat itu, nihilisme berkembang menjadi
gagasan yang memiliki berbagai bentuk dan interpretasi, terutama dalam filsafat
modern dan postmodern.
Nihilisme sering dikaitkan dengan pemikiran
Friedrich Nietzsche (1844–1900), yang dalam berbagai karyanya, terutama Thus
Spoke Zarathustra, menegaskan bahwa "Tuhan telah mati" (Gott
ist tot), sebuah metafora untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai moral
tradisional, yang selama ini dianggap sebagai pijakan utama manusia, telah
kehilangan relevansinya dalam dunia modern.2 Nietzsche melihat
nihilisme sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pemikiran Barat yang
semakin sekuler dan berbasis rasionalitas sains, yang secara tidak langsung
melemahkan legitimasi nilai-nilai absolut yang selama ini didasarkan pada
kepercayaan metafisik atau agama.3 Bagi Nietzsche, nihilisme bisa
menjadi ancaman maupun peluang—ia bisa melumpuhkan manusia dalam kehampaan atau
justru mendorong manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru melalui konsep Übermensch
(Manusia Unggul).4
Di sisi lain, nihilisme tidak hanya berkaitan dengan
filsafat moral, tetapi juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti
politik, seni, sastra, hingga psikologi. Dalam dunia politik, misalnya,
nihilisme sering dikaitkan dengan anarkisme dan radikalisme, sebagaimana
digambarkan dalam novel Fyodor Dostoyevsky Demons, yang mengisahkan
bagaimana gerakan revolusioner yang nihilistik dapat menyebabkan kehancuran
sosial tanpa adanya fondasi nilai yang menggantikannya.5 Dalam dunia
seni dan sastra, nihilisme muncul sebagai tema utama dalam karya-karya Albert
Camus dan Jean-Paul Sartre, yang mencoba memahami bagaimana manusia harus
menghadapi absurditas kehidupan tanpa bergantung pada makna eksternal yang
sudah ditentukan sebelumnya.6
Secara lebih luas, nihilisme juga memiliki
implikasi mendalam terhadap psikologi manusia. Beberapa filsuf dan psikolog
modern menyoroti bagaimana nihilisme dapat berkontribusi terhadap fenomena
alienasi, depresi, dan rasa kehilangan arah dalam kehidupan kontemporer yang
semakin kompleks.7 Namun, ada pula yang melihat nihilisme sebagai
tahap transisi yang diperlukan dalam proses pencarian makna yang lebih otentik.
Oleh karena itu, memahami nihilisme bukan hanya penting dalam kajian filsafat,
tetapi juga relevan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di era modern yang
semakin dipenuhi dengan pertanyaan eksistensial mengenai identitas, tujuan
hidup, dan nilai-nilai moral yang mendasarinya.
Artikel ini akan membahas nihilisme secara
komprehensif, mulai dari definisinya, sejarah perkembangannya, tokoh-tokoh
utama yang berkontribusi dalam pengembangannya, jenis-jenis nihilisme, hingga
kritik dan dampaknya terhadap nilai-nilai kehidupan manusia. Dengan merujuk
pada sumber-sumber filsafat klasik dan kontemporer yang kredibel, diharapkan
pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai salah satu
konsep paling kontroversial dalam sejarah pemikiran manusia.
Catatan Kaki
[1]
Friedrich Heinrich Jacobi, David Hume über den
Glauben, oder Idealismus und Realismus: Ein Gespräch (Breslau: Löwe, 1787),
19–22.
[2]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
terj. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 125.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power,
terj. Walter Kaufmann dan R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967),
9–12.
[4]
Ibid., 21–23.
[5]
Fyodor Dostoyevsky, Demons, terj. Richard
Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Vintage Classics, 1994), 102–107.
[6]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj.
Justin O’Brien (New York: Vintage Books, 1991), 20–23; Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, terj. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press,
1956), 65–68.
[7]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 80–85.
2.
Definisi dan Konsep Nihilisme
2.1. Pengertian Nihilisme dalam Konteks Filsafat
Nihilisme merupakan
salah satu aliran dalam filsafat yang berakar pada pandangan bahwa kehidupan tidak memiliki makna, nilai-nilai
moral bersifat ilusi, dan kebenaran objektif tidak dapat ditemukan.1
Istilah nihilisme
berasal dari bahasa Latin nihil, yang berarti "tidak
ada" atau "ketiadaan,"
dan dalam konteks filsafat, konsep ini merujuk pada keyakinan bahwa semua klaim tentang kebenaran,
moralitas, dan makna bersifat tidak berdasar.2
Konsep nihilisme
pertama kali diperkenalkan oleh Friedrich Heinrich Jacobi dalam karyanya David
Hume über den Glauben, oder Idealismus und Realismus (1787), di
mana ia mengkritik rasionalisme Immanuel Kant dan idealisme Jerman sebagai
jalan menuju skeptisisme total dan nihilisme.3 Dalam
perkembangannya, nihilisme memperoleh perhatian luas dalam filsafat abad ke-19,
terutama dalam pemikiran Friedrich Nietzsche, yang melihat nihilisme sebagai konsekuensi dari runtuhnya sistem nilai
tradisional yang selama ini menopang kehidupan manusia.4 Nietzsche
menegaskan bahwa nihilisme bukan hanya sebuah teori, tetapi juga realitas yang
terjadi dalam sejarah peradaban Barat akibat "kematian Tuhan,"
yang secara metaforis menggambarkan hilangnya kepercayaan terhadap nilai-nilai
absolut yang sebelumnya berakar pada agama dan metafisika.5
Nihilisme memiliki
dimensi yang luas dan dapat ditemukan dalam berbagai bidang, termasuk filsafat
metafisika, epistemologi, moralitas, dan politik. Konsep ini sering kali
diperdebatkan karena implikasinya yang besar terhadap kehidupan manusia, baik
dalam aspek individual maupun sosial. Meskipun nihilisme sering kali dipandang
sebagai ancaman bagi tatanan moral dan sosial, beberapa filsuf justru
melihatnya sebagai peluang untuk merancang nilai-nilai baru yang lebih sesuai
dengan perkembangan zaman.6
2.2. Nihilisme sebagai Aliran yang Menolak Nilai-Nilai
Absolut
Salah satu ciri
utama nihilisme adalah penolakannya terhadap nilai-nilai absolut. Dalam
filsafat moral, nihilisme moral menyatakan bahwa tidak ada standar objektif
yang dapat menentukan baik dan buruk secara mutlak; semua nilai hanyalah
konstruksi sosial atau subjektif belaka.7 Filsuf Rusia, Ivan
Turgenev, dalam novelnya Fathers and Sons (1862),
menggambarkan karakter Bazarov sebagai seorang nihilist yang menolak otoritas,
tradisi, dan norma-norma moral konvensional sebagai sesuatu yang tidak berdasar
dan tidak memiliki relevansi dalam kehidupan modern.8
Dalam bidang
epistemologi, nihilisme epistemologis berpendapat bahwa tidak ada kebenaran
objektif yang dapat dicapai oleh manusia. Para pendukung pandangan ini, seperti
Richard Rorty, menegaskan bahwa semua klaim kebenaran adalah produk dari bahasa
dan konstruksi sosial, sehingga tidak ada kebenaran yang bersifat universal
atau independen dari konteks historis dan budaya tertentu.9 Sikap
ini bertentangan dengan pandangan realisme filosofis, yang menganggap bahwa ada
kebenaran objektif yang dapat dipahami melalui akal dan pengalaman.
Dari perspektif
metafisika, nihilisme ontologis berargumen bahwa realitas tidak memiliki
struktur esensial atau makna yang inheren. Filsuf eksistensialisme seperti
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus berpendapat bahwa dunia adalah absurd, dan
manusia harus menciptakan maknanya sendiri dalam menghadapi ketidakbermaknaan
tersebut.10 Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menggambarkan
absurditas kehidupan melalui mitos Sisyphus, yang dipaksa untuk mendorong batu
besar ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali, mencerminkan
perjuangan manusia dalam mencari makna dalam dunia yang nihil.11
2.3. Perbedaan antara Nihilisme Ontologis, Epistemologis,
dan Moral
Nihilisme bukanlah
konsep yang monolitik, melainkan terdiri dari berbagai jenis yang memiliki
implikasi berbeda dalam filsafat. Tiga bentuk utama nihilisme yang sering
dibahas dalam literatur filsafat adalah nihilisme ontologis, epistemologis, dan
moral.
1)
Nihilisme Ontologis
Nihilisme ontologis berpendapat bahwa realitas
itu sendiri tidak memiliki esensi atau makna yang melekat. Dalam konteks ini,
nihilisme sering dikaitkan dengan pemikiran postmodernis seperti yang
dikembangkan oleh Jacques Derrida dan Michel Foucault, yang membongkar gagasan
tentang esensi dan struktur tetap dalam realitas sosial dan budaya.12
2)
Nihilisme Epistemologis
Nihilisme epistemologis menyangkal kemungkinan
adanya pengetahuan yang benar-benar objektif dan meyakini bahwa semua klaim
kebenaran pada dasarnya bersifat relatif atau subjektif. Filsuf skeptisisme
radikal seperti David Hume berpendapat bahwa manusia tidak dapat mengetahui
realitas sejati, melainkan hanya dapat memahami dunia melalui pengalaman
empiris yang terbatas dan dapat berubah.13
3)
Nihilisme Moral
Nihilisme moral menolak keberadaan standar moral
yang mutlak dan menyatakan bahwa konsep baik dan buruk hanyalah produk
konstruksi sosial atau ekspresi subjektif manusia. Friedrich Nietzsche
mengkritik moralitas tradisional sebagai "moralitas budak"
yang membatasi kebebasan individu dan menyerukan penciptaan nilai-nilai baru
melalui konsep Übermensch atau "manusia unggul."14
Keberadaan berbagai
bentuk nihilisme ini menunjukkan kompleksitas pemikiran yang berkembang dalam
sejarah filsafat. Meskipun nihilisme sering kali dikritik sebagai aliran yang
pesimistis atau destruktif, beberapa filsuf melihatnya sebagai tantangan bagi
manusia untuk menemukan makna baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman
dan kebebasan individu.
Catatan Kaki
[1]
Donald A. Crosby, The Specter of the Absurd: Sources and
Criticisms of Modern Nihilism (Albany: State University of New York
Press, 1988), 12–15.
[2]
Michael Gillespie, Nihilism Before Nietzsche (Chicago:
University of Chicago Press, 1995), 3.
[3]
Friedrich Heinrich Jacobi, David Hume über den Glauben, oder Idealismus
und Realismus: Ein Gespräch (Breslau: Löwe, 1787), 19–22.
[4]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, terj. Walter
Kaufmann dan R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), 9–12.
[5]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 125.
[6]
Crosby, The Specter of the Absurd, 24.
[7]
Alex Rosenberg, The Atheist’s Guide to Reality: Enjoying Life
without Illusions (New York: W. W. Norton & Company, 2011),
118.
[8]
Ivan Turgenev, Fathers and Sons, terj. Constance
Garnett (New York: Penguin Classics, 2009), 85.
[9]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 174.
[10]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, terj. Hazel
E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 65–68.
[11]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin
O’Brien (New York: Vintage Books, 1991), 20–23.
[12]
Jacques Derrida, Of Grammatology, terj. Gayatri
Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 12.
[13]
David Hume, A Treatise of Human Nature, terj.
L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1739), 187.
[14]
Nietzsche, The Will to Power, 21–23.
3.
Sejarah dan Perkembangan Nihilisme
3.1. Akar Pemikiran Nihilisme dalam Sejarah Filsafat
Konsep nihilisme
dalam filsafat tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkembang secara
bertahap dari berbagai aliran pemikiran yang mendahuluinya. Meskipun istilah nihilisme
baru populer pada abad ke-18, akar pemikirannya dapat ditelusuri dalam
skeptisisme Yunani kuno, terutama dalam ajaran Pyrrho dari Elis (360–270 SM),
yang menekankan bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian dalam pengetahuan,
sehingga sebaiknya mengambil sikap ketidakpercayaan terhadap semua klaim
kebenaran.1
Dalam pemikiran
modern awal, konsep nihilisme mulai berkembang seiring dengan munculnya
skeptisisme empiris dalam filsafat David Hume (1711–1776), yang berpendapat
bahwa manusia tidak memiliki akses langsung terhadap realitas objektif,
melainkan hanya dapat mengetahui dunia melalui persepsi yang terus berubah.2
Hume menolak gagasan tentang keberadaan sebab-akibat yang pasti dan menekankan
bahwa kepercayaan manusia terhadap hukum alam hanyalah hasil kebiasaan, bukan
pengetahuan yang mutlak.3 Sikap skeptis ini kemudian berkontribusi
terhadap berkembangnya nihilisme epistemologis, yang meragukan kemungkinan
adanya kebenaran objektif.
Seiring berjalannya
waktu, nihilisme juga mendapat perhatian dalam filsafat idealisme Jerman.
Friedrich Heinrich Jacobi (1743–1819) memperkenalkan istilah nihilisme
dalam konteks kritiknya terhadap filsafat rasionalisme, terutama terhadap
pemikiran Immanuel Kant dan Fichte. Menurut Jacobi, sistem filsafat yang
terlalu mengandalkan rasionalisme akan berakhir pada nihilisme karena pada
akhirnya meruntuhkan kepercayaan terhadap keberadaan realitas objektif dan
nilai-nilai absolut.4
3.2. Perkembangan Nihilisme di Abad ke-19: Friedrich
Nietzsche dan Kritik terhadap Nilai-Nilai Tradisional
Perkembangan paling
signifikan dalam pemikiran nihilisme terjadi pada abad ke-19 melalui filsafat
Friedrich Nietzsche (1844–1900). Nietzsche melihat nihilisme sebagai konsekuensi
logis dari kemajuan sains dan filsafat yang mengikis otoritas agama dan
metafisika tradisional. Dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, ia
memperkenalkan konsep “Kematian Tuhan” (Gott ist tot), yang menandakan
runtuhnya kepercayaan terhadap nilai-nilai absolut yang sebelumnya didasarkan
pada agama dan moralitas tradisional.5
Menurut Nietzsche,
nihilisme memiliki dua bentuk utama: nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Nihilisme
pasif terjadi ketika manusia menyadari kehampaan nilai-nilai
tradisional tetapi tidak mampu menciptakan nilai baru sebagai penggantinya,
sehingga jatuh dalam keadaan depresi eksistensial.6 Sebaliknya, nihilisme
aktif adalah sikap yang menerima ketiadaan makna sebagai
peluang untuk menciptakan nilai-nilai baru secara mandiri, yang dalam filsafat
Nietzsche diwujudkan dalam konsep Übermensch (Manusia Unggul).7
Dalam pandangan ini, nihilisme bukan hanya kehancuran, tetapi juga awal dari
penciptaan kembali nilai-nilai yang lebih sesuai dengan zaman modern.
Selain Nietzsche,
nihilisme juga muncul dalam sastra Rusia abad ke-19, terutama dalam karya
Fyodor Dostoyevsky. Dalam novel Demons (1872), Dostoyevsky
mengkritik nihilisme sebagai ideologi yang berbahaya, karena dapat mendorong
manusia ke arah anarki dan kehancuran sosial.8 Dalam novel The
Brothers Karamazov, ia memperkenalkan karakter Ivan Karamazov, yang
meragukan keberadaan Tuhan dan moralitas absolut, tetapi akhirnya terjerumus
dalam krisis eksistensial yang mendalam.9 Melalui karya-karyanya,
Dostoyevsky menunjukkan bagaimana nihilisme dapat berujung pada kehampaan moral
dan kebingungan psikologis.
3.3. Nihilisme dalam Filsafat Modern dan Postmodern
Pada abad ke-20,
pemikiran nihilisme berkembang lebih lanjut dalam berbagai aliran filsafat modern
dan postmodern. Dalam eksistensialisme, Jean-Paul Sartre (1905–1980) dan Albert
Camus (1913–1960) membahas bagaimana manusia harus menghadapi absurditas
kehidupan dalam dunia yang tidak memiliki makna inheren.10 Sartre,
dalam Being
and Nothingness, menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang “terkutuk
untuk bebas” dan harus menciptakan maknanya sendiri di tengah kehampaan
eksistensial.11
Albert Camus, dalam The Myth
of Sisyphus, memperkenalkan konsep absurdisme sebagai jawaban
terhadap nihilisme. Menurut Camus, meskipun kehidupan tidak memiliki makna
objektif, manusia tetap harus menjalani hidup dengan sikap pemberontakan
terhadap absurditas, seperti Sisyphus yang terus mendorong batu ke puncak
gunung meskipun tahu bahwa usahanya sia-sia.12 Dengan demikian,
Camus menawarkan solusi terhadap nihilisme melalui sikap keberanian dalam
menerima absurditas kehidupan.
Dalam ranah
postmodernisme, pemikiran nihilisme semakin diperdalam oleh filsuf seperti
Jacques Derrida dan Michel Foucault. Derrida, melalui konsep dekonstruksi,
membongkar asumsi bahwa bahasa dapat menangkap realitas secara objektif, yang
pada akhirnya berkontribusi terhadap nihilisme epistemologis.13
Foucault, dalam The Order of Things, menunjukkan
bagaimana kebenaran selalu bersifat relatif dan tergantung pada konstruksi
diskursif dalam masyarakat, sehingga menantang gagasan tentang kebenaran
objektif dan universal.14
Kesimpulan
Perkembangan
nihilisme dalam sejarah filsafat menunjukkan bahwa aliran ini tidak hanya
terbatas pada satu periode waktu tertentu, tetapi terus berevolusi seiring
perubahan sosial dan intelektual. Dari skeptisisme Yunani kuno hingga pemikiran
postmodernisme, nihilisme selalu menjadi respons terhadap pertanyaan mendasar
tentang makna, nilai, dan kebenaran. Friedrich Nietzsche memberikan sumbangan
terbesar dalam mengembangkan pemikiran nihilisme sebagai tantangan bagi manusia
untuk menciptakan nilai baru, sementara eksistensialisme dan postmodernisme
melanjutkan diskusi mengenai bagaimana menghadapi dunia tanpa makna absolut.
Dengan memahami
sejarah nihilisme, kita dapat melihat bahwa pemikiran ini bukan sekadar
pesimisme tanpa arah, tetapi juga merupakan refleksi mendalam terhadap kondisi
manusia dalam dunia yang terus berubah.
Catatan Kaki
[1]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 38–42.
[2]
David Hume, A Treatise of Human Nature, terj.
L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1739), 89–93.
[3]
Ibid., 97.
[4]
Friedrich Heinrich Jacobi, David Hume über den Glauben, oder Idealismus
und Realismus: Ein Gespräch (Breslau: Löwe, 1787), 21–24.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 125.
[6]
Nietzsche, The Will to Power, terj. Walter
Kaufmann dan R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), 23–27.
[7]
Ibid., 30.
[8]
Fyodor Dostoyevsky, Demons, terj. Richard Pevear dan
Larissa Volokhonsky (New York: Vintage Classics, 1994), 102–107.
[9]
Dostoyevsky, The Brothers Karamazov, terj.
Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Farrar, Straus and Giroux,
2002), 272.
[10]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, terj. Hazel
E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 65–68.
[11]
Ibid., 78.
[12]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin
O’Brien (New York: Vintage Books, 1991), 40.
[13]
Jacques Derrida, Of Grammatology, terj. Gayatri
Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 12.
[14]
Michel Foucault, The Order of Things (New York:
Vintage Books, 1994), 48.
4.
Tokoh-Tokoh Nihilisme
4.1. Friedrich Nietzsche dan Konsep "Kematian
Tuhan"
Friedrich Nietzsche
(1844–1900) adalah filsuf Jerman yang sering dianggap sebagai pemikir paling
berpengaruh dalam perkembangan nihilisme modern. Dalam Thus
Spoke Zarathustra, ia memperkenalkan konsep "Tuhan
telah mati" (Gott ist tot) sebagai metafora untuk menunjukkan
bahwa nilai-nilai moral dan agama tradisional telah kehilangan maknanya dalam
masyarakat modern akibat kemajuan sains dan rasionalitas.1 Nietzsche
berpendapat bahwa manusia telah hidup dalam ilusi nilai-nilai absolut yang
diwariskan dari agama dan metafisika, dan ketika nilai-nilai ini runtuh,
manusia menghadapi kehampaan eksistensial atau nihilisme.2
Nietzsche membedakan
antara nihilisme
pasif dan nihilisme aktif. Nihilisme
pasif terjadi ketika manusia menyadari bahwa nilai-nilai tradisional telah runtuh
tetapi tidak dapat menemukan alternatif baru, sehingga mengalami krisis
eksistensial. Sementara itu, nihilisme aktif adalah respons kreatif terhadap
runtuhnya nilai-nilai lama dengan menciptakan nilai-nilai baru secara mandiri.
Dalam konteks ini, Nietzsche memperkenalkan konsep Übermensch (Manusia Unggul), yaitu
individu yang mampu melampaui nihilisme dengan menciptakan moralitasnya
sendiri.3
Namun, Nietzsche
juga mengingatkan bahaya nihilisme destruktif, di mana manusia tidak mampu
menemukan makna baru dan justru terjerumus dalam kehampaan total. Ia menyatakan
bahwa nihilisme adalah tantangan yang harus dihadapi dan diatasi agar manusia
dapat berkembang menuju kebebasan dan autentisitas sejati.4
4.2. Jean-Paul Sartre dan Nihilisme Eksistensial
Jean-Paul Sartre
(1905–1980) adalah filsuf Prancis yang mengembangkan nihilisme dalam konteks
eksistensialisme. Dalam Being and Nothingness, ia
menegaskan bahwa manusia hidup dalam dunia yang tidak memiliki makna objektif,
sehingga setiap individu harus menciptakan makna bagi dirinya sendiri.5
Menurut Sartre, nihilisme muncul sebagai konsekuensi dari kesadaran bahwa Tuhan
tidak ada dan bahwa manusia harus bertanggung jawab penuh atas keberadaannya
sendiri.
Sartre menekankan
konsep "keberadaan
mendahului esensi", yang berarti bahwa manusia tidak
memiliki esensi bawaan atau tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Oleh
karena itu, manusia bebas untuk menentukan makna hidupnya sendiri. Namun,
kebebasan ini juga membawa kecemasan (angoisse) karena manusia tidak bisa
bergantung pada nilai-nilai eksternal yang absolut.6
Dalam pemikirannya,
Sartre juga menolak determinisme dan menegaskan bahwa manusia sepenuhnya
bertanggung jawab atas tindakan dan pilihannya. Namun, nihilisme dapat muncul
jika manusia gagal menciptakan makna bagi dirinya sendiri dan menyerah pada
keputusasaan eksistensial. Oleh karena itu, meskipun Sartre mengakui nihilisme,
ia juga mendorong manusia untuk menghadapi absurditas kehidupan dengan sikap
autentik dan bertanggung jawab.7
4.3. Albert Camus dan Nihilisme dalam Konteks Absurdisme
Albert Camus
(1913–1960) mengembangkan pemikiran nihilisme melalui konsep absurdisme. Dalam The Myth
of Sisyphus, ia menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang
absurd—yakni, dunia yang tidak memberikan makna bawaan, tetapi manusia tetap
berusaha mencari makna tersebut.8 Camus menggunakan mitos Sisyphus
sebagai alegori untuk menjelaskan kondisi manusia dalam menghadapi absurditas:
seperti Sisyphus yang terus-menerus mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk
melihatnya jatuh kembali, manusia terus mencari makna dalam dunia yang nihil.
Menurut Camus,
nihilisme dapat menyebabkan manusia merasa putus asa dan mencari pelarian dalam
agama atau ideologi totalitarian, tetapi ia menolak solusi tersebut.
Sebaliknya, Camus menekankan bahwa manusia harus menerima absurditas tanpa
mencari makna eksternal yang ilusif. Sikap "pemberontakan terhadap absurditas"
adalah kunci untuk mengatasi nihilisme: manusia harus menjalani kehidupan
dengan sepenuh hati meskipun menyadari bahwa hidup tidak memiliki makna
objektif.9
Camus berbeda dengan
Nietzsche dan Sartre dalam cara menghadapi nihilisme. Jika Nietzsche berusaha
mengatasi nihilisme dengan menciptakan nilai baru, dan Sartre dengan kebebasan
eksistensial, Camus justru menerima nihilisme dan absurditas sebagai kenyataan
yang tidak bisa dihindari, tetapi tetap memilih untuk menjalani kehidupan
dengan sikap pemberontakan dan kebahagiaan dalam keterbatasan manusiawi.10
4.4. Martin Heidegger dan Kritik terhadap Nihilisme
Martin Heidegger
(1889–1976) memberikan kritik mendalam terhadap nihilisme, terutama dalam
karyanya The
Question Concerning Technology. Ia melihat nihilisme sebagai krisis
dalam pemikiran Barat yang disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk
memandang dunia secara mekanistik dan reduktif.11 Heidegger
berargumen bahwa nihilisme muncul ketika manusia kehilangan hubungan autentik
dengan keberadaan (Being), dan akibatnya, manusia
menjadi terasing dari dunia dan dirinya sendiri.
Menurut Heidegger,
nihilisme dalam dunia modern semakin diperparah oleh teknologi, yang mengubah
cara manusia memahami realitas hanya sebagai objek yang bisa dimanipulasi. Ia
menekankan perlunya kembali kepada cara berpikir yang lebih mendalam dan
reflektif terhadap keberadaan agar manusia dapat keluar dari krisis nihilisme.12
4.5. Fyodor Dostoyevsky dan Kritik Sastra terhadap
Nihilisme
Fyodor Dostoyevsky
(1821–1881) adalah salah satu penulis yang paling tajam dalam mengkritik
nihilisme melalui karya-karyanya. Dalam novel Demons (1872), ia menggambarkan
bagaimana nihilisme dapat menghancurkan tatanan sosial dan moral dalam
masyarakat Rusia melalui karakter revolusioner yang tidak memiliki nilai-nilai selain
kehancuran.13
Dalam The
Brothers Karamazov, karakter Ivan Karamazov mewakili pemikiran
nihilistik yang menolak keberadaan Tuhan dan moralitas absolut. Namun, Ivan
akhirnya jatuh dalam krisis eksistensial yang mendalam, yang menunjukkan bahwa
nihilisme dapat membawa penderitaan psikologis yang parah.14 Melalui
karya-karyanya, Dostoyevsky memperingatkan bahaya nihilisme yang ekstrem dan
dampaknya terhadap individu maupun masyarakat.
Kesimpulan
Tokoh-tokoh yang
membahas nihilisme memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami dan
menanggapi ketiadaan makna dalam kehidupan. Nietzsche melihat nihilisme sebagai
tantangan untuk menciptakan nilai baru, Sartre dan Camus mengembangkan
pendekatan eksistensialis dan absurdis untuk menghadapi kehampaan, Heidegger
mengkritik nihilisme sebagai bentuk keterasingan dari keberadaan, dan
Dostoyevsky memberikan gambaran sastra tentang bahaya nihilisme yang
destruktif.
Perbedaan pendekatan
ini menunjukkan bahwa nihilisme bukan hanya tentang ketiadaan makna, tetapi
juga tentang bagaimana manusia merespons kondisi tersebut. Oleh karena itu,
memahami pemikiran para tokoh ini memberikan wawasan yang lebih luas tentang
bagaimana nihilisme mempengaruhi filsafat, sastra, dan kehidupan manusia secara
keseluruhan.
Catatan Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 125.
[2]
Nietzsche, The Will to Power, terj. Walter
Kaufmann dan R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), 9–12.
[3]
Ibid., 23–27.
[4]
Ibid., 30.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, terj. Hazel
E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 65–68.
[6]
Ibid., 78.
[7]
Ibid., 90.
[8]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj. Justin
O’Brien (New York: Vintage Books, 1991), 20.
[9]
Ibid., 45.
[10]
Ibid., 50.
[11]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology,
terj. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12.
[12]
Ibid., 30.
[13]
Fyodor Dostoyevsky, Demons, terj. Richard Pevear dan
Larissa Volokhonsky (New York: Vintage Classics, 1994), 102–107.
[14]
Dostoyevsky, The Brothers Karamazov, terj.
Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Farrar, Straus and Giroux,
2002), 272.
5.
Jenis-Jenis Nihilisme
Nihilisme adalah konsep yang kompleks dan mencakup
berbagai dimensi dalam filsafat, termasuk metafisika, epistemologi, moralitas,
politik, dan eksistensialisme. Berbagai filsuf telah mengembangkan interpretasi
yang berbeda mengenai nihilisme,
yang kemudian dikategorikan ke dalam beberapa jenis utama. Bab ini akan
membahas lima bentuk nihilisme yang paling signifikan: nihilisme metafisik,
epistemologis, moral, politik, dan eksistensia.l
5.1. Nihilisme Metafisik
Nihilisme metafisik adalah pandangan bahwa realitas
pada dasarnya tidak memiliki esensi atau makna yang inheren. Para pendukung
nihilisme ini berargumen bahwa dunia hanyalah fenomena kosong tanpa struktur
fundamental atau tujuan teleologis.1 Filsuf skeptis seperti David Hume
mengkritik gagasan tentang keberadaan hakiki yang dapat dipahami oleh akal manusia, sementara filsuf postmodern seperti
Jacques Derrida menolak konsep "kebenaran absolut" sebagai
konstruksi sosial yang dapat didekonstruksi.2
Dalam konteks filsafat modern, Friedrich Nietzsche
juga menyinggung nihilisme metafisik dengan mengkritik metafisika tradisional
yang berakar pada gagasan Platonisme dan agama. Nietzsche berpendapat bahwa
kepercayaan pada "dunia sejati" yang lebih tinggi (seperti
dalam konsep surga atau realitas ideal Plato) merupakan ilusi yang menghambat
manusia dalam menerima dunia sebagaimana adanya.3 Ia menganggap
bahwa manusia harus melepaskan kepercayaan pada realitas absolut dan
menciptakan nilai-nilai baru dalam dunia yang tidak memiliki makna inheren.4
5.2. Nihilisme Epistemologis
Nihilisme epistemologis berpendapat bahwa kebenaran
objektif tidak dapat diketahui atau bahkan tidak ada sama sekali. Para filsuf
yang menganut pandangan ini menolak gagasan bahwa manusia dapat memperoleh pemahaman yang benar-benar
objektif tentang realitas melalui rasio atau pengalaman empiris.5
Salah satu pemikir utama dalam nihilisme
epistemologis adalah Richard Rorty, yang mengembangkan gagasan bahwa semua
klaim kebenaran adalah produk bahasa dan konteks sosial tertentu. Dalam Philosophy and the Mirror of Nature,
Rorty menegaskan bahwa tidak ada cara untuk mengetahui realitas secara
independen dari bahasa yang digunakan untuk menggambarkannya, sehingga semua
kebenaran bersifat relatif.6
Selain itu, skeptisisme radikal dalam pemikiran
David Hume juga dapat dikategorikan sebagai bentuk nihilisme epistemologis.
Hume berargumen bahwa manusia hanya memiliki akses terhadap kesan-kesan indrawi
dan tidak dapat mengetahui
hubungan sebab-akibat secara pasti, melainkan hanya berdasarkan kebiasaan.7
Oleh karena itu, pengetahuan manusia tentang realitas selalu bersifat terbatas
dan spekulatif.
5.3. Nihilisme Moral
Nihilisme moral adalah gagasan bahwa tidak ada
prinsip moral yang objektif atau universal, sehingga semua nilai moral bersifat
relatif dan tidak memiliki dasar yang absolut. Nihilisme ini sering dikaitkan
dengan kritik Nietzsche terhadap moralitas tradisional, yang ia sebut sebagai
"moralitas budak" yang dibuat oleh kelompok yang lemah untuk
mengontrol yang kuat.8
Nietzsche berpendapat bahwa nilai-nilai moral yang
dianut oleh masyarakat Barat selama berabad-abad, terutama yang berakar dalam ajaran Kristen, hanyalah konstruksi
yang membatasi kebebasan individu. Dalam Beyond Good and Evil, ia
menyerukan penciptaan moralitas baru yang lebih sesuai dengan keberanian dan
vitalitas manusia, yang ia sebut sebagai "moralitas tuan."9
Selain Nietzsche, Alex Rosenberg dalam The
Atheist’s Guide to Reality juga mendukung nihilisme moral dengan berargumen
bahwa tanpa keberadaan Tuhan atau entitas transenden, tidak ada dasar objektif
untuk etika dan moralitas. Ia menyimpulkan bahwa semua nilai moral hanyalah
hasil evolusi biologis dan tekanan sosial, bukan kebenaran yang mutlak.10
Namun, nihilisme moral sering kali dikritik karena
dianggap dapat mengarah pada anarki dan keputusasaan etis. Fyodor Dostoyevsky
dalam novel The Brothers Karamazov menggambarkan dampak nihilisme moral
melalui karakter Ivan Karamazov, yang berpendapat bahwa jika Tuhan tidak ada,
maka semua hal diperbolehkan. Konsekuensi dari pandangan ini dapat menyebabkan kehancuran moral dan sosial.11
5.4. Nihilisme Politik
Nihilisme politik adalah doktrin yang menolak
legitimasi semua bentuk otoritas politik dan sosial. Dalam sejarah, nihilisme
politik berkembang sebagai respons terhadap rezim yang dianggap otoriter dan menindas. Salah satu kelompok yang
terkenal dengan nihilisme politik adalah gerakan revolusioner Rusia pada abad
ke-19, yang mengadvokasi penghancuran institusi politik yang ada tanpa
menawarkan alternatif yang jelas.12
Dalam Demons, Dostoyevsky mengkritik
nihilisme politik dengan menggambarkan karakter-karakter yang berusaha
meruntuhkan tatanan sosial dengan kekerasan, tetapi akhirnya menciptakan kehancuran dan kekacauan.13
Gerakan ini juga mempengaruhi ideologi anarkisme di awal abad ke-20, di mana para
anarkis seperti Mikhail Bakunin menekankan pentingnya menggulingkan negara dan
sistem hukum yang dianggap menindas.14
Namun, nihilisme politik tidak selalu berarti
anarki atau destruksi total. Beberapa pemikir postmodern seperti Michel Foucault melihat nihilisme politik sebagai
kritik terhadap struktur kekuasaan yang tersembunyi dalam wacana sosial dan
institusi. Foucault berargumen bahwa banyak sistem politik yang tampaknya
objektif sebenarnya hanya merupakan mekanisme untuk mempertahankan dominasi kelompok
tertentu.15
5.5. Nihilisme Eksistensial
Nihilisme eksistensial adalah gagasan bahwa
kehidupan manusia tidak memiliki makna atau tujuan inheren, dan bahwa individu
harus menghadapi realitas ini tanpa bergantung pada nilai-nilai eksternal yang
sudah ditentukan sebelumnya. Jean-Paul Sartre dan Albert Camus adalah dua
pemikir utama yang membahas nihilisme eksistensial dalam konteks filsafat
eksistensialisme dan absurdisme.16
Sartre, dalam Being and Nothingness, menekankan
bahwa manusia "terkutuk untuk bebas" karena tidak ada esensi
atau tujuan yang melekat pada eksistensinya. Oleh karena itu, setiap individu harus menciptakan maknanya sendiri melalui
tindakan dan pilihan yang autentik.17
Sementara itu, Camus dalam The Myth of Sisyphus
menegaskan bahwa manusia harus menerima absurditas kehidupan dan memberontak
terhadap nihilisme dengan menjalani hidup sepenuhnya meskipun tanpa tujuan yang
jelas.18 Ia menolak bunuh diri
sebagai solusi nihilisme
eksistensial dan mendorong manusia untuk terus hidup dengan kesadaran akan
absurditas dunia.
Kesimpulan
Jenis-jenis nihilisme mencerminkan beragam cara
pandang terhadap makna, kebenaran, dan moralitas dalam kehidupan manusia. Dari nihilisme metafisik yang menolak esensi
realitas hingga nihilisme eksistensial yang menghadapi absurditas kehidupan,
setiap bentuk nihilisme memiliki implikasi yang mendalam dalam filsafat dan
kehidupan sosial.
Dengan memahami berbagai jenis nihilisme ini, kita
dapat melihat bagaimana aliran ini berkembang dalam sejarah pemikiran manusia
dan bagaimana respons terhadap nihilisme
dapat membentuk cara kita memahami dunia dan diri kita sendiri.
Catatan Kaki
[1]
Donald A. Crosby, The Specter of the Absurd:
Sources and Criticisms of Modern Nihilism (Albany: State University of New
York Press, 1988), 12–15.
[2]
Jacques Derrida, Of Grammatology, terj.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997),
12.
[3]
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols,
terj. Duncan Large (Oxford: Oxford University Press, 1998), 35.
[4]
Nietzsche, The Will to Power, terj. Walter
Kaufmann dan R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), 9–12.
[5]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 174.
[6]
Ibid., 195.
[7]
David Hume, A Treatise of Human Nature,
terj. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1739), 187.
[8]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
terj. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1973), 153.
[9]
Ibid., 159.
[10]
Alex Rosenberg, The Atheist’s Guide to Reality:
Enjoying Life without Illusions (New York: W. W. Norton & Company,
2011), 118.
[11]
Fyodor Dostoyevsky, The Brothers Karamazov,
terj. Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 272.
[12]
Ronald Hingley, Nihilists: Russian
Revolutionaries in the Reign of Alexander II, 1855–1881 (New York:
Delacorte Press, 1967), 45.
[13]
Fyodor Dostoyevsky, Demons, terj. Richard
Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Vintage Classics, 1994), 102–107.
[14]
Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, terj.
Marshall S. Shatz (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 142.
[15]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, terj. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995),
27.
[16]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[17]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
terj. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 65–68.
[18]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj.
Justin O’Brien (New York: Vintage Books, 1991), 40.
6.
Kritik dan Tanggapan terhadap Nihilisme
Nihilisme telah menjadi salah satu konsep yang
paling kontroversial dalam sejarah filsafat. Sebagai pandangan yang meragukan
atau bahkan menolak makna, kebenaran, dan moralitas absolut, nihilisme sering
kali dikritik sebagai aliran yang merusak, pesimistis, dan destruktif terhadap
nilai-nilai kemanusiaan. Kritik terhadap nihilisme datang dari berbagai sudut
pandang, termasuk filsafat realisme, idealisme, agama, eksistensialisme, dan postmodernisme. Bab ini akan membahas berbagai kritik terhadap
nihilisme serta tanggapan yang diberikan oleh para pemikir utama terhadap
kritik-kritik tersebut.
6.1. Kritik dari Kaum Realis dan Idealis terhadap
Nihilisme
Realisme dan idealisme dalam filsafat menolak
nihilisme karena dianggap bertentangan dengan gagasan bahwa dunia memiliki struktur yang nyata dan dapat
dipahami secara objektif. Para realis,
seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas, berpendapat bahwa dunia memiliki
keteraturan yang inheren dan dapat dipahami melalui akal dan pengalaman
manusia.1 Dalam Metaphysics, Aristoteles menekankan bahwa
realitas memiliki bentuk dan tujuan
yang jelas, bertentangan dengan gagasan nihilisme yang menolak makna yang
melekat dalam eksistensi.2
Selain itu, idealisme, yang dikembangkan oleh
filsuf seperti Immanuel Kant dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, juga menolak
nihilisme karena meyakini bahwa akal manusia mampu memahami dan mengorganisasikan
realitas. Kant, dalam Critique of Pure Reason, berargumen bahwa meskipun realitas objektif mungkin tidak dapat diketahui
sepenuhnya, akal manusia tetap
memiliki kemampuan untuk memberikan struktur dan makna pada pengalaman kita.3
Hegel lebih lanjut mengembangkan gagasan bahwa sejarah dan keberadaan manusia
bergerak menuju suatu tujuan yang rasional, sehingga nihilisme dianggap sebagai
bentuk kegagalan dalam memahami perkembangan dialektika sejarah dan kemajuan
peradaban.4
6.2. Pandangan Agama terhadap Nihilisme
Salah satu kritik paling kuat terhadap nihilisme
datang dari tradisi agama, terutama dalam ajaran Kristen, Islam, dan
agama-agama Timur seperti Hindu dan Buddha. Nihilisme sering kali dianggap
sebagai hasil dari sekularisasi dan hilangnya nilai-nilai spiritual dalam
kehidupan modern.
Dalam teologi Kristen, nihilisme dikritik sebagai
konsekuensi dari "kematian Tuhan" yang dikemukakan oleh
Nietzsche. Filsuf dan teolog seperti G. K. Chesterton berpendapat bahwa tanpa Tuhan, manusia akan kehilangan pijakan
moral yang kuat dan jatuh ke dalam relativisme yang berbahaya.5
Chesterton dalam Orthodoxy menyatakan bahwa nihilisme berpotensi
menghancurkan moralitas dan tatanan sosial, karena tidak ada standar moral yang
tetap jika tidak ada keberadaan Tuhan.6
Dalam tradisi Islam, nihilisme juga dianggap
sebagai tantangan bagi keyakinan akan makna dan tujuan hidup yang telah
ditetapkan oleh Allah. Filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina menekankan
bahwa kehidupan manusia memiliki tujuan akhir yang bersifat transenden, dan
bahwa menolak makna ini berarti menafikan fitrah manusia sebagai makhluk yang
mencari kebenaran dan kebaikan.7
Di sisi lain, dalam agama-agama Timur seperti
Buddha, nihilisme sering kali dibedakan dari konsep kekosongan (śūnyatā). Meskipun Buddhisme
menekankan bahwa realitas bersifat sementara dan tidak memiliki inti yang
tetap, ajaran ini tidak menyerukan kehampaan total seperti dalam nihilisme,
melainkan mendorong individu untuk menemukan kebijaksanaan melalui pemahaman
akan sifat sementara dunia.8
6.3. Eksistensialisme sebagai Alternatif terhadap
Nihilisme
Para filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre
dan Albert Camus menawarkan alternatif terhadap nihilisme dengan menekankan
kebebasan individu dalam menciptakan makna hidup. Sartre berpendapat bahwa
meskipun kehidupan tidak memiliki makna yang diberikan dari luar, manusia tetap
memiliki tanggung jawab untuk menciptakan maknanya sendiri melalui tindakan dan
pilihan yang autentik.9 Dalam Being and Nothingness, ia
menyatakan bahwa manusia "terkutuk untuk bebas" karena tidak ada
esensi yang mendahului eksistensinya, sehingga setiap individu harus mengambil
tanggung jawab penuh atas keberadaannya.10
Albert Camus, melalui konsep absurdisme, berusaha
menjawab nihilisme dengan menolak keputusasaan dan mendorong manusia untuk
menjalani hidup dengan sikap
pemberontakan terhadap absurditas. Dalam The Myth of Sisyphus, ia
menggambarkan bagaimana Sisyphus, meskipun sadar bahwa hidupnya tidak memiliki
tujuan akhir, tetap menerima nasibnya dengan penuh keberanian dan menemukan
kebahagiaan dalam prosesnya.11 Dengan demikian, Camus tidak
menyangkal nihilisme secara total, tetapi mengubahnya menjadi dorongan untuk
menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan tanpa ilusi.12
6.4. Kritik Postmodernisme terhadap Nihilisme
Dalam filsafat postmodernisme, nihilisme sering
kali dikritik sebagai bentuk reduksionisme yang menyederhanakan kompleksitas
makna dan interpretasi. Jacques Derrida, dalam konsep dekonstruksinya, menolak gagasan bahwa nihilisme
adalah satu-satunya respons terhadap kehancuran makna tradisional. Ia
berpendapat bahwa meskipun kebenaran objektif sulit dipahami, hal itu tidak
berarti bahwa semua makna harus ditolak sepenuhnya.13 Derrida lebih
menekankan pada permainan interpretasi dan pluralitas makna daripada kehampaan
total yang ditawarkan oleh nihilisme.14
Michel Foucault juga mengkritik nihilisme dalam
konteks wacana kekuasaan. Menurutnya, nihilisme sering kali digunakan sebagai
dalih untuk melanggengkan dominasi tertentu, dengan mengklaim bahwa tidak ada kebenaran yang objektif. Foucault berpendapat bahwa meskipun kebenaran itu relatif,
masyarakat tetap membutuhkan struktur nilai untuk mempertahankan keadilan dan
kesejahteraan sosial.15
6.5. Alternatif Pemikiran bagi Mereka yang Menghadapi
Krisis Nihilistik
Bagi individu yang merasa terjebak dalam nihilisme,
berbagai pemikir menawarkan solusi untuk menghadapi kehampaan eksistensial.
Viktor Frankl, dalam Man’s Search for Meaning, menekankan pentingnya
mencari makna dalam penderitaan dan tanggung jawab sebagai cara untuk mengatasi nihilisme.16 Frankl, yang merupakan
penyintas Holocaust, berpendapat bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa tujuan,
dan bahwa makna dapat ditemukan bahkan dalam situasi yang paling sulit
sekalipun.17
Dalam konteks kontemporer, banyak psikolog dan
filsuf merekomendasikan pendekatan yang menggabungkan spiritualitas, seni, dan
keterlibatan sosial sebagai cara untuk menemukan makna dalam kehidupan. Dengan
demikian, nihilisme tidak harus berujung pada keputusasaan, tetapi dapat
menjadi titik awal untuk eksplorasi makna yang lebih mendalam dan otentik.18
Kesimpulan
Nihilisme telah mendapat berbagai kritik dari sudut
pandang realisme, idealisme, agama, eksistensialisme, dan postmodernisme.
Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa meskipun nihilisme dapat menjadi tantangan
serius bagi pencarian makna hidup, ia
bukanlah satu-satunya cara untuk memahami realitas. Alternatif pemikiran
seperti eksistensialisme, absurdisme, dan logoterapi menawarkan cara bagi
individu untuk menghadapi nihilisme dengan lebih konstruktif dan kreatif.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Metaphysics, terj. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1050a.
[2]
Ibid., 1072b.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 204.
[4]
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of
Spirit, terj. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 80.
[5]
G. K. Chesterton, Orthodoxy (New York: John
Lane Company, 1908), 134.
[6]
Ibid., 138.
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 92.
[8]
Nāgārjuna, Mūlamadhyamakakārikā, terj. Jay
L. Garfield (New York: Oxford University Press, 1995), 20.
[9]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[10]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
terj. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 65–68.
[11]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj.
Justin O’Brien (New York: Vintage Books, 1991), 40.
[12]
Ibid., 45.
[13]
Jacques Derrida, Writing and Difference,
terj. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278.
[14]
Jacques Derrida, Of Grammatology, terj.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997),
12.
[15]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
terj. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 215.
[16]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 80–85.
[17]
Ibid., 98.
[18]
Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy
(New York: Basic Books, 1980), 422.
7.
Implikasi Nihilisme terhadap Nilai-Nilai
Kehidupan
Nihilisme memiliki dampak yang luas terhadap
berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk etika dan moralitas, budaya dan
seni, psikologi, serta struktur sosial dan politik. Pandangan nihilistik yang
menolak nilai-nilai absolut dan makna yang melekat dalam kehidupan sering kali
memunculkan respons yang
beragam, baik dalam bentuk penerimaan total, pemberontakan terhadap kehampaan,
atau penciptaan makna baru secara individual. Bab ini akan membahas bagaimana
nihilisme memengaruhi nilai-nilai
kehidupan dalam berbagai dimensi, serta bagaimana manusia merespons tantangan
yang ditimbulkan oleh nihilisme.
7.1. Pengaruh Nihilisme terhadap Etika dan Moralitas
Salah satu dampak paling signifikan dari nihilisme
adalah terhadap sistem moral dan etika. Jika tidak ada nilai objektif yang
inheren dalam kehidupan, maka apakah moralitas hanyalah konstruksi sosial yang
tidak memiliki dasar yang kuat? Friedrich Nietzsche berpendapat bahwa moralitas
tradisional, terutama yang berakar dalam agama dan metafisika, telah kehilangan
legitimasi dalam dunia modern.1 Dalam Beyond Good and Evil,
ia mengkritik moralitas konvensional sebagai alat untuk menekan kebebasan
individu dan menyerukan penciptaan nilai-nilai baru yang lebih sesuai dengan
kehendak manusia yang kuat.2
Namun, nihilisme moral dapat menimbulkan
konsekuensi yang berbahaya jika diinterpretasikan sebagai pembenaran bagi relativisme moral atau bahkan anarki etis.
Fyodor Dostoyevsky dalam The Brothers Karamazov mengilustrasikan bahaya
ini melalui karakter Ivan Karamazov yang berpendapat bahwa "jika Tuhan
tidak ada, maka segala sesuatu diperbolehkan."3 Kritik ini
menunjukkan bahwa nihilisme dapat menyebabkan krisis moral, di mana manusia
tidak lagi memiliki pedoman yang jelas dalam menentukan mana yang benar dan
salah.
Beberapa filsuf mencoba mencari alternatif terhadap
nihilisme moral. Albert Camus, dalam The Rebel, mengusulkan konsep
pemberontakan moral, di mana manusia tetap mempertahankan prinsip-prinsip moral
meskipun menyadari bahwa dunia tidak
memiliki makna inheren.4 Dengan demikian, nihilisme tidak harus
berujung pada kehancuran moral, tetapi dapat menjadi pemicu bagi penciptaan
etika yang lebih berbasis pada pengalaman manusia.
7.2. Nihilisme dalam Budaya dan Seni
Nihilisme juga memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap dunia seni dan budaya. Seiring dengan berkembangnya modernisme dan
postmodernisme, banyak seniman dan
sastrawan yang mengadopsi tema nihilisme dalam karya-karya mereka sebagai
refleksi dari kondisi manusia di dunia yang absurd dan tanpa makna.
Dalam sastra, nihilisme banyak ditemukan dalam
karya Franz Kafka, Samuel Beckett, dan Albert Camus. Novel The Trial
karya Kafka menggambarkan absurditas sistem hukum yang sewenang-wenang,
mencerminkan ketidakpastian dan
kehilangan makna dalam kehidupan modern.5 Demikian pula, drama Waiting
for Godot karya Samuel Beckett menggambarkan eksistensi manusia sebagai
sesuatu yang absurd, di mana karakter-karakternya terus menunggu sesuatu yang
tidak pernah datang, mencerminkan kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.6
Dalam seni rupa, aliran Dadaisme dan Ekspresionisme
Abstrak muncul sebagai respons terhadap kehancuran nilai-nilai tradisional
akibat perang dan modernisasi yang cepat. Gerakan Dadaisme, yang dipelopori
oleh Tristan Tzara dan
Marcel Duchamp, menolak struktur dan makna dalam seni, sebagai bentuk
perlawanan terhadap absurditas dunia.7 Sementara itu, seni abstrak
seperti karya Jackson Pollock sering dianggap sebagai ekspresi dari dunia yang
tidak memiliki keteraturan atau makna yang tetap.8
Nihilisme dalam budaya tidak hanya mencerminkan
pesimisme, tetapi juga menawarkan ruang bagi eksperimen kreatif dan kebebasan ekspresi. Meskipun nihilisme
dapat menyebabkan kehancuran norma budaya yang ada, ia juga dapat menjadi
dorongan untuk inovasi dan penciptaan bentuk seni yang baru.
7.3. Dampak Nihilisme terhadap Psikologi Manusia
Nihilisme tidak hanya menjadi masalah filosofis,
tetapi juga memiliki dampak psikologis yang signifikan. Kesadaran bahwa
kehidupan tidak memiliki makna yang inheren dapat menyebabkan perasaan kehilangan arah, kecemasan eksistensial, dan
bahkan depresi. Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning menunjukkan
bahwa banyak individu yang mengalami penderitaan ekstrem (seperti di kamp
konsentrasi Nazi) dapat bertahan hidup dengan menemukan makna dalam situasi
mereka, bahkan jika dunia tampak tidak adil dan kejam.9
Dalam psikologi modern, fenomena nihilisme sering
dikaitkan dengan krisis eksistensial, yaitu keadaan di mana seseorang
merasa hidupnya tidak memiliki tujuan atau signifikansi. Irvin D. Yalom dalam Existential
Psychotherapy menekankan bahwa manusia sering kali menghadapi empat "keprihatinan
utama" dalam hidup: kematian, kebebasan, isolasi, dan ketiadaan makna.10
Nihilisme dapat memperparah kecemasan eksistensial jika individu tidak dapat menemukan cara untuk
mengatasi kehilangan makna dalam hidupnya.
Sebagai respons terhadap nihilisme, beberapa
pendekatan dalam psikologi mencoba menawarkan solusi untuk membantu individu
menemukan makna dalam kehidupannya. Logoterapi yang dikembangkan oleh Viktor
Frankl menekankan bahwa
individu dapat mengatasi nihilisme dengan menemukan tujuan yang lebih besar
dalam hidupnya, baik melalui pekerjaan, cinta, maupun pengorbanan demi sesuatu
yang lebih besar.11 Dengan demikian, nihilisme bukanlah akhir dari
pencarian makna, tetapi dapat menjadi titik awal untuk membangun pemahaman baru
tentang kehidupan.
7.4. Implikasi Nihilisme terhadap Struktur Sosial dan
Politik
Dalam konteks sosial dan politik, nihilisme dapat
memiliki efek yang destruktif jika diinterpretasikan sebagai penolakan total
terhadap struktur sosial yang ada. Filsuf politik seperti Hannah Arendt
memperingatkan bahwa nihilisme yang
berkembang dalam masyarakat dapat menjadi lahan subur bagi munculnya ideologi
totalitarian, karena ketika orang kehilangan kepercayaan terhadap nilai-nilai
tradisional, mereka mungkin mencari sistem yang menawarkan kepastian dan
otoritas mutlak.12
Sejarah menunjukkan bahwa nihilisme politik dapat
memicu tindakan radikal. Gerakan revolusioner nihilistik di Rusia pada abad
ke-19 menolak semua bentuk otoritas dan menekankan penggunaan kekerasan untuk
menghancurkan sistem yang ada.13
Dalam Demons, Fyodor Dostoyevsky menggambarkan bagaimana kelompok
nihilistik dapat membawa masyarakat ke dalam kekacauan dan kehancuran moral
jika mereka tidak memiliki landasan nilai yang jelas.14
Namun, nihilisme politik juga dapat mendorong
reformasi dan pembaruan sosial. Dalam beberapa kasus, kritik nihilistik
terhadap institusi sosial dapat menjadi katalisator untuk perubahan yang lebih baik. Misalnya, kritik
postmodern terhadap struktur kekuasaan yang dikemukakan oleh Michel Foucault
menekankan bahwa tidak ada sistem yang sepenuhnya objektif atau netral,
sehingga penting bagi individu untuk terus mempertanyakan dan mereformasi
institusi sosial demi keadilan yang lebih besar.15
Kesimpulan
Nihilisme memiliki implikasi yang luas terhadap
berbagai aspek kehidupan, dari moralitas, budaya, psikologi, hingga struktur
sosial dan politik. Meskipun nihilisme dapat membawa kehancuran nilai-nilai tradisional dan menimbulkan
kecemasan eksistensial, ia juga dapat menjadi dorongan bagi pencarian makna
baru dan inovasi dalam berbagai bidang.
Dengan memahami dampak nihilisme secara mendalam,
manusia dapat menemukan cara untuk menghadapinya, baik dengan menciptakan
nilai-nilai baru, mengembangkan sistem etika yang lebih fleksibel, maupun
mencari makna melalui pengalaman dan kebebasan individu.
Catatan Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
terj. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1973), 153.
[2]
Ibid., 159.
[3]
Fyodor Dostoyevsky, The Brothers Karamazov,
terj. Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2002), 272.
[4]
Albert Camus, The Rebel, terj. Anthony Bower
(New York: Vintage Books, 1991), 10.
[5]
Franz Kafka, The Trial, terj. Willa dan
Edwin Muir (New York: Schocken Books, 1998), 45.
[6]
Samuel Beckett, Waiting for Godot, terj.
Samuel Beckett (New York: Grove Press, 1954), 14.
[7]
Tristan Tzara, Seven Dada Manifestos and
Lampisteries, terj. Barbara Wright (London: Calder Publications, 1981), 22.
[8]
Jackson Pollock, Jackson Pollock: Interviews,
Articles, and Reviews, ed. Pepe Karmel (New York: The Museum of Modern Art,
1999), 58.
[9]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 80–85.
[10]
Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy
(New York: Basic Books, 1980), 422.
[11]
Viktor E. Frankl, The Will to Meaning:
Foundations and Applications of Logotherapy (New York: Plume, 1988), 37.
[12]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism
(New York: Harcourt, Brace & World, 1951), 382.
[13]
Ronald Hingley, Nihilists: Russian
Revolutionaries in the Reign of Alexander II, 1855–1881 (New York:
Delacorte Press, 1967), 65.
[14]
Fyodor Dostoyevsky, Demons, terj. Richard
Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Vintage Classics, 1994), 102–107.
[15]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977, terj. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 141.
8.
Kesimpulan dan Refleksi
Nihilisme adalah salah satu konsep filsafat yang
paling berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah pemikiran manusia. Dengan
menolak keberadaan makna, nilai, dan kebenaran yang absolut, nihilisme telah
menjadi tantangan besar bagi manusia dalam upaya mencari orientasi hidup.
Seperti yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, nihilisme tidak hanya
terbatas pada ranah filsafat tetapi juga memiliki dampak yang luas terhadap
moralitas, budaya, psikologi, serta struktur sosial dan politik. Oleh karena
itu, memahami nihilisme bukan hanya soal memahami ketiadaan makna, tetapi juga
soal bagaimana manusia merespons kondisi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
8.1. Ringkasan Pemikiran Utama tentang Nihilisme
Dalam perkembangannya, nihilisme muncul dari
tradisi pemikiran skeptisisme, rasionalisme ekstrem, dan kritik terhadap sistem
nilai tradisional. Dari Friedrich Nietzsche hingga Jean-Paul Sartre, dari
Albert Camus hingga Michel Foucault, berbagai filsuf telah menawarkan
perspektif yang beragam mengenai bagaimana manusia harus menghadapi dunia yang
nihil.
Nietzsche melihat nihilisme sebagai konsekuensi dari “kematian Tuhan” yang
menghilangkan dasar nilai-nilai moral tradisional.1 Namun, ia juga
menekankan bahwa nihilisme bukanlah akhir, melainkan tahap transisi menuju
penciptaan nilai-nilai baru melalui konsep Übermensch (Manusia Unggul).2
Sementara itu, Sartre dan Camus menanggapi nihilisme dengan cara yang berbeda: Sartre menekankan kebebasan
radikal manusia untuk menciptakan makna dalam hidupnya sendiri,3
sementara Camus menegaskan bahwa meskipun kehidupan itu absurd, manusia tetap
harus "memberontak" terhadap absurditas dan menemukan
kebahagiaannya dalam tindakan.4
Selain itu, nihilisme juga telah dikritik oleh
berbagai tradisi pemikiran, termasuk realisme, idealisme, dan agama. Para
pemikir seperti Immanuel Kant dan Hegel berpendapat bahwa akal manusia memiliki kapasitas untuk membentuk
realitas dan menciptakan makna yang dapat dipahami secara objektif.5
Dari perspektif agama, nihilisme sering dikritik sebagai hasil dari
sekularisasi yang ekstrem, di mana hilangnya nilai-nilai spiritual menyebabkan
kekosongan eksistensial dan krisis moral.6
8.2. Relevansi Nihilisme dalam Konteks Kehidupan Modern
Dalam dunia kontemporer, nihilisme tetap menjadi
isu yang relevan, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti krisis
identitas, ketidakpastian ekonomi, dan fragmentasi nilai-nilai sosial. Dalam
era postmodernisme, banyak pemikir berargumen bahwa nihilisme bukan hanya fenomena intelektual, tetapi
juga bagian dari pengalaman hidup sehari-hari, terutama di tengah masyarakat
yang semakin terfragmentasi dan teralienasi.7
Dalam psikologi modern, nihilisme sering dikaitkan
dengan krisis eksistensial, di mana individu merasa kehilangan arah dan
tujuan hidup. Viktor Frankl, seorang psikolog dan penyintas Holocaust,
mengusulkan pendekatan logoterapi sebagai solusi terhadap nihilisme, dengan
menekankan bahwa makna hidup dapat
ditemukan bahkan dalam situasi yang paling sulit.8 Frankl
berpendapat bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa makna, dan bahwa pencarian
makna adalah salah satu kebutuhan fundamental manusia.9
Selain itu, dalam dunia politik dan sosial,
nihilisme dapat berdampak baik secara destruktif maupun konstruktif. Nihilisme
dapat mendorong ketidakpercayaan terhadap institusi politik dan sosial, yang
jika tidak diatasi dengan baik, dapat berujung pada apatisme atau bahkan
radikalisme.10 Namun, di sisi lain, kritik nihilistik terhadap struktur sosial juga dapat membuka peluang
bagi perubahan yang lebih baik. Pemikir seperti Michel Foucault menekankan
bahwa nihilisme dapat digunakan sebagai alat dekonstruksi terhadap sistem kekuasaan yang menindas, sehingga
memungkinkan lahirnya pemikiran yang lebih kritis dan progresif.11
8.3. Perspektif Alternatif dalam Menyikapi Nihilisme
Meskipun nihilisme sering dikaitkan dengan
kehampaan dan keputusasaan, beberapa filsuf dan psikolog menawarkan alternatif
cara untuk menyikapinya. Beberapa strategi utama dalam menghadapi nihilisme
meliputi:
1)
Penciptaan Makna Pribadi
Sartre dan
eksistensialis lainnya menekankan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk
menciptakan makna dalam hidupnya sendiri.12 Dengan mengambil
tanggung jawab atas pilihan hidup, manusia dapat mengatasi nihilisme dengan
menjalani kehidupan yang autentik.
2)
Pendekatan Absurdisme
Camus
menolak baik nihilisme total maupun pencarian makna absolut dengan mengusulkan
pendekatan absurdisme. Menurutnya, manusia harus menerima ketidakbermaknaan
dunia tetapi tetap menjalani kehidupan dengan penuh gairah dan pemberontakan.13
3)
Kembali kepada Nilai-Nilai Tradisional atau Spiritual
Beberapa
pemikir berpendapat bahwa nihilisme dapat diatasi dengan kembali kepada
nilai-nilai tradisional, baik itu dalam bentuk agama, budaya, atau filsafat
klasik yang menawarkan kerangka moral yang stabil.14
4)
Aktivisme Sosial dan Politik
Alih-alih
menyerah pada nihilisme, beberapa pemikir seperti Paulo Freire dan Noam Chomsky
menekankan bahwa makna dapat ditemukan dalam perjuangan sosial dan upaya
menciptakan perubahan dalam masyarakat.15
Penutup: Menghadapi Nihilisme dengan Sikap Kritis dan Konstruktif
Dari berbagai pemikiran yang telah dibahas, jelas
bahwa nihilisme bukan hanya sekadar doktrin filosofis yang pesimistis, tetapi
juga sebuah tantangan yang harus dihadapi dengan sikap kritis dan konstruktif.
Seperti yang ditunjukkan oleh Nietzsche, Sartre, Camus, dan Frankl, nihilisme tidak harus berujung pada keputusasaan; sebaliknya, ia
dapat menjadi titik awal bagi individu untuk mencari dan menciptakan makna
hidupnya sendiri.
Dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks dan
sering kali terasa tidak bermakna, pendekatan yang menggabungkan refleksi
filosofis, pemahaman psikologis, serta keterlibatan sosial dapat menjadi solusi
untuk mengatasi nihilisme. Oleh karena itu, alih-alih melihat nihilisme sebagai
ancaman, kita dapat melihatnya
sebagai peluang untuk mengembangkan pemikiran yang lebih dalam tentang
kehidupan dan eksistensi manusia.
Catatan Kaki
[1]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj.
Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), 181.
[2]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
terj. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 125.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[4]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, terj.
Justin O’Brien (New York: Vintage Books, 1991), 40.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 204.
[6]
G. K. Chesterton, Orthodoxy (New York: John
Lane Company, 1908), 134.
[7]
Jacques Derrida, Writing and Difference,
terj. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 278.
[8]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 80–85.
[9]
Ibid., 98.
[10]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism
(New York: Harcourt, Brace & World, 1951), 382.
[11]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977, terj. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 141.
[12]
Sartre, Being and Nothingness, 65–68.
[13]
Camus, The Rebel, 10.
[14]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 92.
[15]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
terj. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2005), 32.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1951). The
origins of totalitarianism. Harcourt, Brace & World.
Beckett, S. (1954). Waiting
for Godot. Grove Press.
Camus, A. (1991). The
myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage Books.
Camus, A. (1991). The
rebel (A. Bower, Trans.). Vintage Books.
Chesterton, G. K. (1908). Orthodoxy.
John Lane Company.
Derrida, J. (1978). Writing
and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Derrida, J. (1997). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Dostoyevsky, F. (1994). Demons
(R. Pevear & L. Volokhonsky, Trans.). Vintage Classics.
Dostoyevsky, F. (2002). The
brothers Karamazov (R. Pevear & L. Volokhonsky, Trans.). Farrar,
Straus and Giroux.
Fakhry, M. (2004). A
history of Islamic philosophy. Columbia University Press.
Foucault, M. (1972). The
archaeology of knowledge (A. M. S. Smith, Trans.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Trans.).
Pantheon Books.
Frankl, V. E. (1988). The
will to meaning: Foundations and applications of logotherapy. Plume.
Frankl, V. E. (2006). Man’s
search for meaning. Beacon Press.
Freire, P. (2005). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology
of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Hingley, R. (1967). Nihilists:
Russian revolutionaries in the reign of Alexander II, 1855–1881. Delacorte
Press.
Kafka, F. (1998). The
trial (W. & E. Muir, Trans.). Schocken Books.
Kant, I. (1998). Critique
of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University
Press.
Nietzsche, F. (1961). Thus
spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
Nietzsche, F. (1967). The
will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage
Books.
Nietzsche, F. (1973). Beyond
good and evil (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.
Nietzsche, F. (1974). The
gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (1998). Twilight
of the idols (D. Large, Trans.). Oxford University Press.
Pollock, J. (1999). Jackson
Pollock: Interviews, articles, and reviews (P. Karmel, Ed.). The Museum of
Modern Art.
Rorty, R. (1979). Philosophy
and the mirror of nature. Princeton University Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being
and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism
is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Tzara, T. (1981). Seven
Dada manifestos and lampisteries (B. Wright, Trans.). Calder Publications.
Yalom, I. D. (1980). Existential
psychotherapy. Basic Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar