Bahan Ajar PPKn
Sistem dan Dinamika Demokrasi Pancasila
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif sistem dan
dinamika demokrasi Pancasila sebagai fondasi kehidupan politik di Indonesia,
dengan menitikberatkan pada kerangka konstitusional berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan praktik kewarganegaraan aktif.
Demokrasi Pancasila dipahami sebagai sistem yang mengintegrasikan nilai-nilai
luhur bangsa seperti musyawarah, keadilan sosial, dan persatuan nasional ke
dalam struktur demokrasi perwakilan. Melalui pendekatan historis dan normatif,
artikel ini menelusuri perjalanan demokrasi Indonesia dari masa Orde Lama, Orde
Baru, hingga era Reformasi, serta mengevaluasi pencapaian dan tantangan yang
dihadapi dalam mewujudkan demokrasi yang substansial. Pembahasan juga mencakup
pentingnya pendidikan kewarganegaraan dalam menumbuhkan partisipasi warga
negara secara aktif, kritis, dan bertanggung jawab. Evaluasi kritis menunjukkan
adanya kesenjangan antara prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dengan praktik
politik kontemporer, termasuk problem oligarki, politik identitas, dan apatisme
publik. Artikel ini merekomendasikan penguatan budaya politik berbasis
Pancasila dan revitalisasi institusi pendidikan sebagai strategi menuju
demokrasi yang berkepribadian Indonesia.
Kata Kunci: Demokrasi Pancasila, UUD 1945, kewarganegaraan
aktif, partisipasi politik, pendidikan kewarganegaraan, musyawarah, keadilan
sosial.
PEMBAHASAN
Kajian Konstitusional dan Praktik Kewarganegaraan di
Indonesia
1.
Pendahuluan
Demokrasi merupakan
salah satu pilar utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia. Sebagai sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi, demokrasi menjadi fondasi dalam membangun
tatanan politik yang adil, partisipatif, dan berlandaskan pada penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam konteks Indonesia, demokrasi yang dianut
bukanlah demokrasi liberal sebagaimana berkembang di negara-negara Barat,
melainkan demokrasi yang berakar dari nilai-nilai luhur bangsa, yakni Demokrasi
Pancasila—sebuah sistem demokrasi yang digali dari kepribadian
dan budaya bangsa Indonesia, serta diatur dalam konstitusi negara, yaitu Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Sejak kemerdekaan
tahun 1945, Indonesia telah mengalami berbagai fase transformasi dalam praktik
demokrasi. Dinamika tersebut mencakup pergeseran sistem pemerintahan, perubahan
struktur kekuasaan, hingga reformasi kelembagaan politik. Meskipun demokrasi
Pancasila telah ditetapkan sebagai sistem politik resmi negara, pelaksanaannya
dalam praktik kerap menghadapi tantangan, mulai dari sentralisasi kekuasaan di
masa Orde Baru hingga euforia liberalisasi politik di era Reformasi. Situasi
ini memunculkan pertanyaan kritis: sejauh mana sistem demokrasi Pancasila yang
diamanatkan oleh konstitusi telah diwujudkan dalam realitas politik Indonesia?
Penting untuk
dipahami bahwa demokrasi Pancasila bukanlah sekadar pilihan sistem
pemerintahan, melainkan cerminan dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila sebagai dasar negara. Nilai-nilai seperti musyawarah, keadilan
sosial, dan penghormatan terhadap hak individu dalam kerangka kolektivitas
menjadi elemen fundamental dalam proses pengambilan keputusan politik di
Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman terhadap sistem dan dinamika demokrasi
Pancasila tidak hanya memiliki nilai akademis, tetapi juga implikasi langsung
terhadap pembentukan karakter dan tanggung jawab kewarganegaraan generasi muda.
Penanaman pemahaman
tentang demokrasi Pancasila secara kontekstual dan kritis sangat penting dalam
pendidikan kewarganegaraan, khususnya di jenjang sekolah menengah. Dengan
membekali peserta didik pada pemahaman yang utuh tentang demokrasi dalam
bingkai nilai-nilai Pancasila dan aturan konstitusional, mereka diharapkan
mampu menjadi warga negara yang tidak hanya memahami hak dan kewajibannya,
tetapi juga aktif berpartisipasi dalam kehidupan demokratis secara etis dan
bertanggung jawab.
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif sistem dan dinamika demokrasi
Pancasila sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 serta mengevaluasi
pelaksanaannya dalam praktik kehidupan politik Indonesia. Kajian ini akan
disusun secara sistematis mulai dari aspek konseptual, konstitusional, hingga
refleksi kritis terhadap praktik demokrasi kontemporer di Indonesia.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 109.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), 88–89.
[3]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
135.
[4]
Azyumardi Azra, “Demokrasi Indonesia: Antara Konsolidasi dan
Fragmentasi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 20, no. 1 (2016):
1–10.
[5]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan dan
Pasal 1 Ayat (2).
[6]
Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2013: Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar SMA/MA (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 45.
[7]
S. Nasution, Pendidikan dalam Pembangunan di Indonesia
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 91.
2.
Konsep Demokrasi dan Perkembangannya
2.1.
Pengertian Demokrasi
Secara etimologis,
istilah "demokrasi" berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuasaan atau
pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi secara harfiah berarti pemerintahan
oleh rakyat atau kekuasaan rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi merupakan
sistem pemerintahan di mana rakyat memiliki peran langsung maupun tidak
langsung dalam menentukan kebijakan publik melalui mekanisme perwakilan atau
partisipasi langsung1.
Secara konseptual,
demokrasi tidak hanya menyangkut prosedur pemilu yang bebas dan adil, tetapi
juga mencakup nilai-nilai dasar seperti kebebasan berpendapat, persamaan di
hadapan hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta jaminan terhadap
pluralisme politik. Robert A. Dahl, seorang ilmuwan politik terkemuka,
menekankan bahwa demokrasi yang ideal ditandai oleh adanya partisipasi efektif,
kesetaraan dalam pemungutan suara, pemahaman yang tercerahkan, dan kontrol atas
agenda kebijakan2.
2.2.
Tipologi Demokrasi
Dalam praktiknya,
demokrasi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis. Pertama, demokrasi
langsung, yaitu sistem di mana rakyat secara langsung mengambil
bagian dalam proses pengambilan keputusan politik, sebagaimana pernah
diterapkan di negara-kota Athena kuno. Kedua, demokrasi tidak langsung (perwakilan),
yaitu sistem di mana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga
legislatif guna mewakili aspirasi mereka dalam pengambilan keputusan3.
Ketiga, muncul bentuk demokrasi partisipatif, yang
menekankan keterlibatan aktif warga negara dalam berbagai tingkatan proses
politik, tidak hanya terbatas pada pemilu4.
Demokrasi juga dapat
dikaji berdasarkan muatannya, seperti demokrasi liberal, yang
menekankan pada kebebasan individu dan pembatasan kekuasaan negara, dan demokrasi
sosial, yang mengutamakan keadilan sosial melalui intervensi
negara terhadap distribusi sumber daya. Dalam konteks ini, demokrasi Pancasila
merupakan bentuk demokrasi khas Indonesia yang berusaha mengintegrasikan antara
prinsip-prinsip demokrasi universal dengan nilai-nilai kultural dan ideologis
bangsa Indonesia5.
2.3.
Sejarah Perkembangan
Demokrasi
Secara historis,
gagasan demokrasi telah mengalami perkembangan panjang sejak masa Yunani
klasik. Setelah mengalami kemunduran pada era feodalisme, semangat demokrasi
bangkit kembali pada masa Pencerahan di Eropa, ditandai dengan
revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis
(1789) yang memperjuangkan prinsip kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia6.
Di Indonesia, embrio
demokrasi telah muncul sejak masa pergerakan nasional, terutama dengan berdirinya
organisasi Budi Utomo (1908) dan pembentukan Volksraad oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, sistem demokrasi Indonesia
mengalami dinamika yang kompleks. Demokrasi parlementer diterapkan pada awal
kemerdekaan (1945–1959), kemudian digantikan oleh demokrasi terpimpin
(1959–1965), dan diikuti oleh demokrasi dalam kerangka Orde Baru yang bercorak
otoriter. Reformasi tahun 1998 menjadi tonggak penting dalam pemulihan sistem
demokrasi konstitusional yang lebih terbuka dan partisipatif hingga saat ini7.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 24.
[2]
Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven: Yale University
Press, 1998), 37–39.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), 62.
[4]
Benjamin R. Barber, Strong Democracy: Participatory Politics for a
New Age (Berkeley: University of California Press, 1984), 117–120.
[5]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
142.
[6]
Larry Diamond dan Marc F. Plattner, eds., The Global Divergence of
Democracies (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2001), 13–17.
[7]
Azyumardi Azra, “Demokrasi di Indonesia: Proses dan Tantangan,” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15, no. 2 (2012): 110–115.
3.
Hakikat Demokrasi Pancasila
3.1.
Pengertian Demokrasi
Pancasila
Demokrasi Pancasila
merupakan sistem pemerintahan yang berlandaskan pada nilai-nilai dan
prinsip-prinsip Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara Indonesia.
Demokrasi ini mengandung pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tetapi dalam
bingkai moralitas, keadilan sosial, dan musyawarah mufakat yang berakar dari
budaya bangsa. Artinya, demokrasi Pancasila tidak identik dengan demokrasi
liberal yang individualistis, melainkan merupakan bentuk demokrasi yang
menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara, dengan
menjunjung tinggi etika sosial dan integrasi nasional1.
Demokrasi Pancasila
diakui sebagai demokrasi yang khas Indonesia, karena tidak semata-mata meniru
model Barat, tetapi merupakan hasil refleksi nilai-nilai luhur bangsa yang
digali dari kearifan lokal dan praksis sejarah perjuangan kemerdekaan2.
Dalam praktiknya, demokrasi Pancasila menolak segala bentuk dominasi mayoritas
atas minoritas, penyalahgunaan kekuasaan, maupun pengutamaan kepentingan
individu atas kepentingan umum. Sebaliknya, demokrasi ini mendorong proses
politik yang partisipatif, adil, dan bertanggung jawab.
3.2.
Prinsip-Prinsip
Demokrasi Pancasila dalam Konstitusi
Prinsip demokrasi
Pancasila secara konstitusional tercermin dalam berbagai pasal UUD NRI Tahun
1945, terutama Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Kedaulatan
rakyat tersebut diwujudkan dalam bentuk sistem perwakilan dan mekanisme
musyawarah di berbagai lembaga negara, termasuk DPR, DPD, dan MPR3.
Prinsip utama
demokrasi Pancasila antara lain:
1)
Kedaulatan rakyat
yang dibatasi oleh hukum dan moralitas Pancasila.
2)
Pengambilan keputusan
melalui musyawarah untuk mufakat sebagai cerminan sila keempat.
3)
Perlindungan terhadap
hak asasi manusia, sejalan dengan nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab.
4)
Keadilan sosial dan
keadilan politik yang mencegah dominasi kelompok tertentu.
5)
Persatuan nasional
sebagai landasan kebijakan publik, bukan sekadar agregasi
kepentingan parsial4.
3.3.
Nilai-Nilai
Pancasila sebagai Pilar Demokrasi
Demokrasi Pancasila
tidak bisa dilepaskan dari lima sila yang menjadi fondasinya. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa mengarahkan bahwa kebebasan dalam demokrasi harus tetap berada
dalam kerangka etika religius. Sila Kemanusiaan menekankan pentingnya
penghormatan terhadap martabat dan hak-hak dasar manusia. Sila Persatuan
mendorong agar praktik demokrasi memperkuat kohesi nasional, bukan menumbuhkan
disintegrasi. Sila Kerakyatan mengedepankan dialog, musyawarah, dan deliberasi
sebagai mekanisme pengambilan keputusan. Sementara itu, Sila Keadilan Sosial
menggarisbawahi bahwa demokrasi harus berdampak pada kesejahteraan bersama dan
menghindari ketimpangan5.
Dengan demikian,
demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berkepribadian, bermoral, dan
berorientasi pada kebaikan kolektif, bukan semata-mata kemenangan mayoritas
dalam proses elektoral. Hal ini menuntut adanya kesadaran politik yang matang
dan kedewasaan dalam praktik bernegara.
3.4.
Perbandingan dengan
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Rakyat
Dalam perspektif
perbandingan, demokrasi Pancasila menempati posisi tengah antara demokrasi
liberal di satu sisi dan demokrasi rakyat (dengan corak
sosialis-otoritarian) di sisi lain. Demokrasi liberal sering kali dikritik
karena terlalu menekankan pada kebebasan individu dan kompetisi elektoral,
hingga mengabaikan kohesi sosial. Sebaliknya, demokrasi rakyat cenderung
menekan kebebasan dalam nama kolektivitas negara. Demokrasi Pancasila berupaya
menghindari dua ekstrem tersebut dengan menawarkan jalan tengah: kebebasan yang
dibatasi oleh etika sosial dan kesetaraan yang diimbangi tanggung jawab6.
Demokrasi Pancasila
bukanlah sistem yang statis, melainkan sebuah dinamika nilai yang terus
disesuaikan dengan tantangan zaman. Namun demikian, nilai-nilai intinya tetap
menjadi pedoman moral dan politik dalam penyelenggaraan negara yang berdaulat,
adil, dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 108–109.
[2]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
137.
[3]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat
(2).
[4]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Demokrasi (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), 113–116.
[5]
Mohammad Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi
tentang Interaksi Politik dan Hukum (Yogyakarta: Liberty, 2006), 121–123.
[6]
Azyumardi Azra, “Demokrasi di Indonesia: Proses dan Tantangan,” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15, no. 2 (2012): 114–115.
4.
Sistem Demokrasi dalam UUD NRI Tahun 1945
4.1.
Kedaulatan Rakyat
sebagai Prinsip Konstitusional
UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (Pasal 1 ayat (2))1.
Prinsip ini merupakan dasar dari sistem demokrasi di Indonesia, yang menyatakan
bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, namun pelaksanaannya
dibatasi dan diatur oleh hukum, sesuai dengan karakteristik negara hukum (rechtsstaat)
dan bukan kekuasaan absolut (machtsstaat)2.
Dalam konteks ini,
demokrasi Indonesia tidak semata-mata bertumpu pada prosedur elektoral, tetapi
juga pada nilai-nilai konstitusional yang mewajibkan setiap lembaga negara dan
pejabat publik untuk bertindak berdasarkan hukum dan prinsip keadilan.
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi konstitusional, di mana hukum menjadi
panglima dan Pancasila menjadi etika ideologisnya3.
4.2.
Bentuk Demokrasi:
Representatif Berbasis Musyawarah
Demokrasi dalam UUD
1945 menganut sistem perwakilan (representatif),
namun dengan jiwa musyawarah untuk mufakat,
sebagaimana tercermin dalam pembukaan UUD dan sila keempat Pancasila. Sistem
perwakilan ini dijalankan melalui lembaga legislatif seperti DPR, DPD, dan MPR,
yang memperoleh legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilihan umum yang
bebas, adil, dan berkala4.
Musyawarah bukan
hanya menjadi simbol budaya politik Indonesia, tetapi juga dijadikan prinsip
normatif dalam pengambilan keputusan publik. Hal ini membedakan sistem
demokrasi Indonesia dengan demokrasi liberal yang menganut prinsip mayoritas
sebagai satu-satunya legitimasi politik. Dalam demokrasi Pancasila, suara
mayoritas tetap dihormati, tetapi tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan dan
kesepakatan bersama5.
4.3.
Mekanisme Pemilihan
Umum sebagai Instrumen Demokrasi
Pemilihan umum
merupakan pilar utama pelaksanaan demokrasi konstitusional di Indonesia. Pasal
22E UUD NRI 1945 menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER-JURDIL) untuk memilih anggota
DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD6.
Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa partisipasi rakyat tidak berhenti pada
hak memilih, tetapi juga mencakup hak untuk memilih secara bertanggung jawab
demi kelangsungan demokrasi yang sehat.
Kelembagaan pemilu
juga diperkuat dengan pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagai penyelenggara independen, yang dijamin dalam Pasal 22E ayat (5). Selain
itu, Bawaslu
dan DKPP
menjadi lembaga pengawasan dan penegakan etik dalam pemilu, yang menegaskan
akuntabilitas dan integritas dalam proses demokrasi7.
4.4.
Lembaga-Lembaga
Negara dalam Sistem Demokrasi
UUD 1945 mengatur
pembagian kekuasaan ke dalam tiga cabang utama: eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, dengan prinsip checks and balances untuk mencegah konsentrasi
kekuasaan. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih
langsung oleh rakyat, mencerminkan prinsip demokrasi langsung yang terintegrasi
dalam sistem presidensial8.
Sementara itu,
kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR dan DPD, sedangkan MPR berfungsi
sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang mengubah dan menetapkan UUD. Di
bidang yudikatif, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi
Yudisial (KY) bertugas menjamin tegaknya keadilan dan supremasi hukum9.
Keberadaan MK, khususnya, menjadi penting dalam mengawal demokrasi dengan
menguji undang-undang terhadap UUD serta menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
4.5.
Partai Politik dan
Peran Masyarakat
Partai politik
berperan sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat dalam
demokrasi Pancasila. UUD 1945 memberikan legitimasi keberadaan partai politik
sebagai elemen penting dalam pemilu dan sistem pemerintahan. Namun, peran
partai politik tidak boleh semata-mata bersifat elektoral, melainkan harus menjadi
jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan publik10.
Di sisi lain,
masyarakat sipil dan media massa juga memiliki posisi strategis dalam mengawal
demokrasi melalui partisipasi politik, pengawasan sosial, dan edukasi publik.
Partisipasi aktif rakyat merupakan bentuk implementasi dari demokrasi
substantif, di mana rakyat tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga pengontrol
dan penggerak perubahan sosial-politik11.
Footnotes
[1]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (2).
[2]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), 44–45.
[3]
Mohammad Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia
(Yogyakarta: Liberty, 2006), 97–98.
[4]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 112.
[5]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
141.
[6]
UUD NRI Tahun 1945, Pasal 22E Ayat (1).
[7]
Komisi Pemilihan Umum, Buku Panduan Pemilu 2019 (Jakarta: KPU
RI, 2018), 23–26.
[8]
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 72.
[9]
Saldi Isra, Perkembangan Fungsi Legislasi dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2009), 83–84.
[10]
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Demokrasi (Jakarta: LIPI
Press, 2005), 65.
[11]
Azyumardi Azra, “Demokrasi dan Partisipasi Publik di Indonesia,” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15, no. 3 (2012): 270–274.
5.
Dinamika Demokrasi Pancasila dalam Praktik
5.1.
Perjalanan Demokrasi
Indonesia: Dari Orde Lama ke Era Reformasi
Sejak proklamasi
kemerdekaan tahun 1945, demokrasi Pancasila telah mengalami pasang surut dalam
berbagai rezim pemerintahan. Pada periode awal kemerdekaan (1945–1959),
Indonesia menerapkan demokrasi parlementer, yang
secara formal menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat melalui sistem
multi-partai dan parlemen yang kuat. Namun, kondisi politik yang instabil,
konflik antar partai, dan lemahnya kohesi nasional membuat sistem ini tidak
berjalan efektif1.
Situasi tersebut
mendorong Presiden Soekarno untuk memberlakukan Dekret Presiden 5 Juli 1959,
yang menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin. Dalam
periode ini, kekuasaan terkonsentrasi pada presiden, dan prinsip musyawarah digantikan
oleh konsep "pemimpin besar revolusi" yang bersifat sentralistik.
Demokrasi pada masa ini dikritik karena cenderung menjadi otoritarian dan
mengebiri peran rakyat dalam proses politik2.
Masa Orde
Baru (1966–1998) di bawah Presiden Soeharto mengklaim sebagai
pelanjut demokrasi Pancasila. Namun dalam praktiknya, demokrasi pada era ini
sangat terbatas. Pemilu dijalankan secara periodik, tetapi tidak kompetitif
karena dominasi Golkar sebagai partai kekuasaan. Kebebasan berpendapat
dibatasi, dan partisipasi politik direduksi pada formalitas administratif.
Demokrasi Pancasila dimaknai secara sempit sebagai stabilitas politik dan
pembangunan ekonomi3.
Momentum Reformasi
1998 membuka era baru demokrasi Indonesia. Amandemen UUD 1945
memperkuat prinsip negara hukum dan kedaulatan rakyat. Pemilihan presiden
secara langsung, kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan, dan penguatan
masyarakat sipil menjadi indikator penting dari demokrasi pasca-Orde Baru.
Meski demikian, demokrasi pasca-reformasi tidak lepas dari tantangan
substansial seperti oligarki politik, politik identitas, dan rendahnya literasi
demokrasi4.
5.2.
Reformasi Sistem
Politik dan Amandemen Konstitusi
Salah satu
pencapaian penting dalam dinamika demokrasi Indonesia adalah empat
kali amandemen UUD NRI Tahun 1945 (1999–2002), yang telah
memperbaiki struktur kelembagaan negara agar lebih demokratis dan akuntabel.
Amandemen tersebut antara lain:
·
Menetapkan pemilu langsung
untuk Presiden dan Wakil Presiden.
·
Memperkuat independensi
lembaga legislatif dan yudikatif.
·
Mengatur hak-hak warga
negara secara eksplisit (Pasal 28A–J).
·
Membentuk Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal konstitusi5.
Reformasi ini
menegaskan arah demokrasi Pancasila yang konstitusional dan terbuka, meskipun
belum seluruhnya terwujud secara ideal.
5.3.
Studi Kasus Praktik
Demokrasi: Pemilu, Pilkada, dan Musrenbang
Pelaksanaan
demokrasi dalam praktik dapat dilihat melalui beberapa instrumen partisipatif:
·
Pemilu:
Sejak 2004, Indonesia menjalankan pemilu legislatif dan eksekutif secara
langsung. Pemilu dianggap sebagai wujud nyata partisipasi rakyat, tetapi kerap
dicederai oleh politik uang, kampanye hitam, dan rendahnya kualitas debat
publik6.
·
Pilkada
(Pemilihan Kepala Daerah): Desentralisasi memungkinkan
masyarakat memilih langsung kepala daerah. Meskipun memperkuat legitimasi
lokal, Pilkada juga rentan terhadap politisasi identitas dan konflik horizontal7.
·
Musrenbang
(Musyawarah Perencanaan Pembangunan): Proses ini menjadi contoh
demokrasi partisipatif di tingkat lokal. Namun efektivitasnya sering
dipertanyakan karena dominasi elit lokal dan lemahnya pengarusutamaan aspirasi
warga8.
5.4.
Tantangan Aktual
Demokrasi Pancasila
Meskipun demokrasi
Indonesia pasca-reformasi mengalami kemajuan, beberapa tantangan serius tetap
mengemuka:
1)
Oligarki politik:
Kekuasaan politik sering terkonsentrasi di tangan elite ekonomi dan dinasti
politik yang melemahkan prinsip keterwakilan sejati9.
2)
Politik uang dan
pragmatisme elektoral: Pemilu sering kali tidak mencerminkan
aspirasi ideologis rakyat, melainkan ajang transaksi kekuasaan.
3)
Rendahnya literasi
politik warga negara: Banyak warga memilih berdasarkan sentimen
sesaat, bukan program dan visi kandidat.
4)
Radikalisasi dan
intoleransi: Gejala politik identitas dan polarisasi keagamaan
mengancam kohesi sosial dan nilai-nilai Pancasila10.
Menghadapi kenyataan
tersebut, demokrasi Pancasila memerlukan revitalisasi bukan hanya dalam aspek
kelembagaan, tetapi juga dalam pendidikan politik warga negara agar lebih
kritis, aktif, dan beretika.
Footnotes
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 117–120.
[2]
Hermawan Sulistyo, Demokrasi Terpimpin: Dalam Perspektif Sejarah
Politik Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 47–50.
[3]
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), 133.
[4]
Edward Aspinall, “Oligarchic Populism in Indonesia: Prabowo Subianto’s
Challenge to Democratic Consolidation,” Journal of Contemporary Asia
49, no. 4 (2019): 516–534.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), 89–92.
[6]
Komisi Pemilihan Umum, Laporan Umum Pemilu 2019 (Jakarta: KPU
RI, 2020), 15–19.
[7]
Syamsuddin Haris, “Desentralisasi dan Dinasti Politik di Daerah,” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 16, no. 1 (2012): 34–41.
[8]
Bappenas, Panduan Musrenbang Nasional (Jakarta: Bappenas,
2019), 21–23.
[9]
Jeffrey A. Winters, Oligarchy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2011), 202–205.
[10]
Azyumardi Azra, “Radikalisme dan Ancaman terhadap Demokrasi,” Jurnal
Maarif 14, no. 1 (2020): 13–20.
6.
Demokrasi Pancasila dan Kewarganegaraan Aktif
6.1.
Konsep
Kewarganegaraan Aktif dalam Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila
bukan hanya menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, tetapi juga
mengharuskan adanya kewarganegaraan aktif, yakni
keterlibatan warga negara secara sadar, kritis, dan bertanggung jawab dalam
kehidupan publik. Dalam pandangan demokrasi Pancasila, kewarganegaraan aktif
tidak sekadar partisipasi dalam pemilu, tetapi mencakup kesediaan untuk
berdialog, berkontribusi dalam musyawarah, mengawasi kebijakan publik, dan
membangun kehidupan bersama berdasarkan nilai-nilai keadilan sosial,
musyawarah, dan persatuan1.
Kewarganegaraan
aktif juga berarti menjalankan peran warga secara deliberatif,
di mana keputusan kolektif bukan semata hasil voting, tetapi hasil pertimbangan
moral, kepentingan bersama, dan kearifan lokal. Hal ini menjadikan demokrasi
Pancasila sebagai demokrasi yang bukan hanya prosedural, melainkan juga
substantif dan etis2.
6.2.
Dimensi
Kewarganegaraan dalam Perspektif Pancasila
Dalam paradigma
Pancasila, warga negara adalah subjek moral dan sosial yang memiliki hak dan
kewajiban seimbang. Sila-sila Pancasila membentuk kerangka filosofis bagi
kewarganegaraan aktif, sebagai berikut:
·
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan tanggung jawab spiritual dan
moral dalam bersikap serta bertindak di ruang publik.
·
Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menggariskan pentingnya
menghormati hak-hak orang lain dan memperjuangkan keadilan sosial.
·
Sila
Persatuan Indonesia menuntut loyalitas terhadap negara dan
solidaritas terhadap sesama warga.
·
Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan menegaskan keterlibatan aktif dalam
proses musyawarah sebagai bentuk demokrasi langsung dan perwakilan.
·
Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengajak warga
untuk memperjuangkan pemerataan dan menghindari diskriminasi3.
6.3.
Peran Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) memegang peran strategis dalam membentuk warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab. Kurikulum pendidikan nasional memuat
tujuan PKn untuk mencetak individu yang:
1)
Memiliki pengetahuan
konstitusional yang baik,
2)
Menginternalisasi nilai-nilai
Pancasila,
3)
Berperilaku sesuai etika
kewarganegaraan,
4)
Aktif dalam kehidupan sosial dan
politik secara damai dan kontributif4.
Menurut Banks
(2008), pendidikan kewarganegaraan yang efektif harus menumbuhkan critical
thinking, civic engagement, dan multicultural understanding
agar siswa dapat berperan dalam masyarakat pluralistik secara konstruktif5.
Di Indonesia,
penerapan pendidikan kewarganegaraan harus berbasis nilai-nilai Pancasila dan
realitas kebangsaan, bukan sekadar hafalan norma. Model pembelajaran yang
dialogis, kontekstual, dan reflektif menjadi kebutuhan dalam membangun
partisipasi aktif dan bertanggung jawab.
6.4.
Wujud
Kewarganegaraan Aktif di Indonesia
Kewarganegaraan
aktif dalam konteks demokrasi Pancasila dapat diwujudkan melalui:
·
Partisipasi
politik:
mengikuti pemilu, memberikan masukan terhadap
kebijakan publik, terlibat dalam organisasi sosial-politik.
·
Pengawasan
sosial:
mengkritisi penyalahgunaan kekuasaan,
memanfaatkan media sosial secara bertanggung jawab untuk advokasi kebijakan
yang adil.
·
Gotong
royong dan partisipasi komunitas:
menciptakan solidaritas sosial di tingkat lokal,
misalnya dalam kegiatan kebersihan lingkungan, musrenbang, atau tanggap
bencana.
·
Literasi
digital dan informasi:
menghindari hoaks, menyaring informasi dengan
kritis, serta ikut menyebarkan konten yang membangun keadaban publik6.
Kewarganegaraan aktif
juga mencakup sikap toleransi dalam keberagaman,
sebagai bagian dari pengejawantahan sila kedua dan ketiga. Dalam masyarakat
yang majemuk, sikap terbuka, empati, dan anti-diskriminasi menjadi landasan
moral partisipasi demokratis.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
149–151.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta:
Konstitusi Press, 2009), 34.
[3]
Mohammad Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 111.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013: Kompetensi
Inti dan Kompetensi Dasar SMA/MA (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 47.
[5]
James A. Banks, Diversity and Citizenship Education: Global
Perspectives (San Francisco: Jossey-Bass, 2008), 56–59.
[6]
Azyumardi Azra, “Tantangan Kewarganegaraan di Era Digital,” Jurnal
Maarif 12, no. 2 (2020): 77–83.
7.
Evaluasi Kritis dan Refleksi Kontekstual
7.1.
Evaluasi Kritis atas
Konsistensi Demokrasi Pancasila
Evaluasi terhadap
praktik demokrasi Pancasila di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun secara
normatif sistem ini telah tertuang dengan jelas dalam konstitusi,
pelaksanaannya masih menghadapi berbagai distorsi. Prinsip-prinsip
Pancasila, seperti musyawarah mufakat, keadilan sosial, dan
kedaulatan rakyat, belum sepenuhnya diinternalisasi dalam tata kelola
pemerintahan maupun perilaku politik elite dan warga negara1.
Dalam praktiknya,
demokrasi sering kali tereduksi menjadi ritual elektoral yang minim nilai
deliberatif. Proses pemilu, meskipun rutin dilaksanakan, masih diwarnai oleh
politik uang, kampanye berbasis hoaks, dan mobilisasi identitas sektarian yang
bertentangan dengan prinsip persatuan dan kebhinekaan2.
Bahkan, proses pengambilan keputusan di parlemen pun kerap didominasi oleh
kompromi elit yang tertutup dari partisipasi publik luas, mengabaikan semangat
musyawarah yang menjadi pilar keempat Pancasila3.
Kesenjangan antara
teks konstitusi dan kenyataan sosial-politik tersebut menunjukkan adanya defisit
demokrasi, baik secara prosedural maupun substantif. Demokrasi
Pancasila yang seharusnya memanusiakan manusia dan menjunjung keadilan sering
kali tersingkir oleh kepentingan kekuasaan yang pragmatis dan transaksional4.
7.2.
Analisis Kontekstual
terhadap Tantangan Kontemporer
Dalam era
globalisasi dan disrupsi digital, demokrasi Pancasila menghadapi tantangan baru
yang memerlukan adaptasi nilai dan penguatan kelembagaan. Pertama, komersialisasi
politik telah menggeser orientasi pelayanan publik menjadi alat
akumulasi kekuasaan dan modal. Hal ini melahirkan bentuk baru dari oligarki
yang menguasai instrumen demokrasi melalui partai politik dan media massa5.
Kedua, fragmentasi
sosial akibat polarisasi politik dan eksploitasi isu identitas
mengancam integrasi nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena politik
identitas menguat, menyebabkan demokrasi menjadi ajang konflik simbolik yang
merusak kohesi masyarakat6.
Ketiga, rendahnya
literasi digital dan etika publik membuat ruang demokrasi
virtual dipenuhi oleh disinformasi dan ujaran kebencian. Padahal, ruang digital
merupakan bagian penting dari ekosistem demokrasi modern yang semestinya
menjadi sarana diskursus rasional dan inklusif7.
Keempat, demokrasi
Pancasila juga menghadapi tantangan dari dalam, yakni lemahnya
budaya politik kewargaan. Sikap apatis, fatalistik, atau justru
populistik tumbuh subur di tengah kekecewaan masyarakat terhadap elite politik
yang dinilai tidak aspiratif dan tidak akuntabel8.
7.3.
Refleksi Kewarganegaraan
dan Jalan Pembaruan
Refleksi kontekstual
atas dinamika tersebut menegaskan bahwa demokrasi Pancasila bukanlah sistem
yang cukup dijaga secara formal-institusional, melainkan perlu dihidupkan
secara etis dan praksis oleh seluruh elemen bangsa. Keberhasilan
demokrasi Pancasila sangat ditentukan oleh sejauh mana warga negara:
·
Menginternalisasi
nilai-nilai Pancasila sebagai etika publik.
·
Terlibat aktif dalam proses
politik secara kritis dan konstruktif.
·
Menolak segala bentuk
politik destruktif, diskriminatif, dan manipulatif9.
Dalam konteks ini, pendidikan
kewarganegaraan harus direorientasi tidak hanya sebagai
instrumen pengetahuan normatif, tetapi juga sebagai ruang pembentukan karakter
demokratis yang sadar hak dan kewajiban, toleran, serta peka terhadap keadilan
sosial10.
Penguatan
kelembagaan demokrasi perlu diiringi oleh pembangunan civic
culture yang berkepribadian Indonesia. Demokrasi Pancasila sejati
haruslah demokrasi yang menumbuhkan solidaritas, membela martabat manusia,
serta menjaga harmoni antara kebebasan dan tanggung jawab dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
144–146.
[2]
Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia: Kritik dan Harapan
(Jakarta: LIPI Press, 2017), 67.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Demokrasi (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), 98.
[4]
Azyumardi Azra, “Demokrasi di Tengah Gelombang Populisme dan Oligarki,”
Jurnal Maarif 15, no. 1 (2021): 11–15.
[5]
Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University
Press, 2011), 209–212.
[6]
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Southeast Asia’s Troubling
Elections: Nurturing Democratic Backsliding,” Journal of Democracy 30,
no. 4 (2019): 101–115.
[7]
Kominfo RI, Literasi Digital Indonesia 2020 (Jakarta: Kominfo
dan Siberkreasi, 2020), 14–18.
[8]
Mochtar Pabottingi, Demokrasi Indonesia di Bawah Bayangan
Otoritarianisme Baru (Jakarta: Kompas, 2019), 53–56.
[9]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2015), 79.
[10]
James A. Banks, Teaching Strategies for the Social Studies
(Boston: Allyn & Bacon, 2007), 243–245.
8.
Penutup
Demokrasi Pancasila
merupakan sistem politik yang unik dan khas Indonesia karena menggabungkan
prinsip kedaulatan rakyat dengan nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung dalam
Pancasila. Sebagai sistem yang digali dari budaya gotong royong, musyawarah,
dan keadilan sosial, demokrasi Pancasila tidak hanya bersifat prosedural,
tetapi juga menuntut substansi etika dalam kehidupan bernegara. UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah menyediakan fondasi yuridis yang kuat untuk
mewujudkan demokrasi yang berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan
bersama1.
Meski secara
normatif sistem demokrasi Pancasila sudah cukup ideal, tantangan besar muncul
dalam implementasinya. Praktik demokrasi Indonesia masih menghadapi masalah
mendasar, seperti politik transaksional, lemahnya etika politik, pengaruh oligarki,
dan rendahnya partisipasi kritis masyarakat2. Pemilu sebagai sarana
utama perwujudan kedaulatan rakyat masih rentan terhadap manipulasi dan
pengerdilan nilai musyawarah serta penguatan elitisme kekuasaan3.
Namun demikian,
demokrasi Pancasila tetap memiliki daya hidup yang luar biasa karena didasarkan
pada nilai-nilai universal sekaligus kontekstual: menghormati kemanusiaan,
menjunjung keadilan, menjamin persatuan, dan membuka ruang deliberasi yang
etis. Untuk itu, pembangunan demokrasi Indonesia ke depan harus tidak hanya
berorientasi pada penguatan institusi negara, tetapi juga pada transformasi
budaya politik warga negara menuju kewarganegaraan aktif dan bermartabat4.
Pendidikan
kewarganegaraan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila menjadi instrumen
strategis dalam menjaga keberlanjutan demokrasi Pancasila. Sekolah, keluarga,
organisasi masyarakat, dan media harus berperan sebagai agen demokratisasi yang
menanamkan kesadaran kolektif akan pentingnya hidup bersama secara adil dan
bermusyawarah5. Dalam konteks inilah, generasi muda sebagai pewaris
bangsa dituntut untuk tidak hanya menjadi pengguna sistem demokrasi, tetapi
juga penjaga nilai-nilainya.
Akhirnya, demokrasi
Pancasila bukanlah sebuah sistem yang statis atau selesai, melainkan proyek
kebangsaan yang terus diperjuangkan dan diperbaharui. Sebagai
warga negara Indonesia, menjadi tanggung jawab kolektif kita untuk memastikan
bahwa demokrasi yang dijalankan bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan
ekspresi nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam setiap aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), 88–89.
[2]
Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia: Kritik dan Harapan
(Jakarta: LIPI Press, 2017), 59–61.
[3]
Edward Aspinall, “Oligarchic Populism in Indonesia,” Journal of
Contemporary Asia 49, no. 4 (2019): 519–521.
[4]
Azyumardi Azra, “Demokrasi dan Tantangan Etika Politik,” Jurnal
Maarif 13, no. 1 (2019): 13–16.
[5]
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013),
155–158.
Daftar Pustaka
Aspinall, E. (2019). Oligarchic populism in
Indonesia: Prabowo Subianto’s challenge to democratic consolidation. Journal
of Contemporary Asia, 49(4), 516–534. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1590620
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Southeast
Asia’s troubling elections: Nurturing democratic backsliding. Journal of
Democracy, 30(4), 101–115. https://doi.org/10.1353/jod.2019.0066
Azra, A. (2012). Demokrasi dan partisipasi publik
di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 15(3), 270–274.
Azra, A. (2020). Radikalisme dan ancaman terhadap
demokrasi. Jurnal Maarif, 14(1), 13–20.
Azra, A. (2021). Demokrasi di tengah gelombang
populisme dan oligarki. Jurnal Maarif, 15(1), 11–15.
Azra, A. (2020). Tantangan kewarganegaraan di era
digital. Jurnal Maarif, 12(2), 77–83.
Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan demokrasi.
Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2009). Konstitusi dan
kewarganegaraan. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2014). Pengantar ilmu hukum
tata negara (Revisi). Jakarta: Rajawali Pers.
Banks, J. A. (2008). Diversity and citizenship
education: Global perspectives. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Banks, J. A. (2007). Teaching strategies for the
social studies. Boston, MA: Allyn & Bacon.
Bappenas. (2019). Panduan Musrenbang nasional.
Jakarta: Bappenas.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik
(Edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Diamond, L., & Plattner, M. F. (Eds.). (2001). The
global divergence of democracies. Baltimore, MD: Johns Hopkins University
Press.
Haris, S. (2005). Partai, pemilu, dan demokrasi.
Jakarta: LIPI Press.
Haris, S. (2012). Desentralisasi dan dinasti
politik di daerah. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 16(1), 34–41.
Haris, S. (2017). Demokrasi di Indonesia: Kritik
dan harapan. Jakarta: LIPI Press.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. (2020). Literasi
digital Indonesia 2020. Jakarta: Kominfo dan Siberkreasi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Kurikulum
2013: Kompetensi inti dan kompetensi dasar SMA/MA. Jakarta: Kemendikbud.
Komisi Pemilihan Umum. (2018). Buku panduan
pemilu 2019. Jakarta: KPU RI.
Komisi Pemilihan Umum. (2020). Laporan umum
pemilu 2019. Jakarta: KPU RI.
Mahfud MD, M. (2006). Demokrasi dan konstitusi
di Indonesia: Studi tentang interaksi politik dan hukum. Yogyakarta:
Liberty.
Mahfud MD, M. (2010). Membangun politik hukum,
menegakkan konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.
Maarif, A. S. (2015). Islam dalam bingkai
keindonesiaan dan kemanusiaan: Sebuah refleksi sejarah. Bandung: Mizan.
Pabottingi, M. (2019). Demokrasi Indonesia di
bawah bayangan otoritarianisme baru. Jakarta: Kompas.
Sanit, A. (2010). Sistem politik Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.
Sulistyo, H. (1998). Demokrasi terpimpin: Dalam
perspektif sejarah politik Indonesia. Jakarta: LP3ES.
UUD NRI Tahun 1945. (2020). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Negara Republik
Indonesia.
Winters, J. A. (2011). Oligarchy. New York,
NY: Cambridge University Press.
Isra, S. (2009). Perkembangan fungsi legislasi
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar