Sabtu, 07 Juni 2025

Bahan Ajar PPKn 11-2: Sistem dan Dinamika Demokrasi Pancasila

Bahan Ajar PPKn

Sistem dan Dinamika Demokrasi Pancasila

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Capaian Pembelajaran PPKn.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif sistem dan dinamika demokrasi Pancasila sebagai fondasi kehidupan politik di Indonesia, dengan menitikberatkan pada kerangka konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan praktik kewarganegaraan aktif. Demokrasi Pancasila dipahami sebagai sistem yang mengintegrasikan nilai-nilai luhur bangsa seperti musyawarah, keadilan sosial, dan persatuan nasional ke dalam struktur demokrasi perwakilan. Melalui pendekatan historis dan normatif, artikel ini menelusuri perjalanan demokrasi Indonesia dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, serta mengevaluasi pencapaian dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan demokrasi yang substansial. Pembahasan juga mencakup pentingnya pendidikan kewarganegaraan dalam menumbuhkan partisipasi warga negara secara aktif, kritis, dan bertanggung jawab. Evaluasi kritis menunjukkan adanya kesenjangan antara prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dengan praktik politik kontemporer, termasuk problem oligarki, politik identitas, dan apatisme publik. Artikel ini merekomendasikan penguatan budaya politik berbasis Pancasila dan revitalisasi institusi pendidikan sebagai strategi menuju demokrasi yang berkepribadian Indonesia.

Kata Kunci: Demokrasi Pancasila, UUD 1945, kewarganegaraan aktif, partisipasi politik, pendidikan kewarganegaraan, musyawarah, keadilan sosial.


PEMBAHASAN

Kajian Konstitusional dan Praktik Kewarganegaraan di Indonesia


1.           Pendahuluan

Demokrasi merupakan salah satu pilar utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebagai sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, demokrasi menjadi fondasi dalam membangun tatanan politik yang adil, partisipatif, dan berlandaskan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam konteks Indonesia, demokrasi yang dianut bukanlah demokrasi liberal sebagaimana berkembang di negara-negara Barat, melainkan demokrasi yang berakar dari nilai-nilai luhur bangsa, yakni Demokrasi Pancasila—sebuah sistem demokrasi yang digali dari kepribadian dan budaya bangsa Indonesia, serta diatur dalam konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Sejak kemerdekaan tahun 1945, Indonesia telah mengalami berbagai fase transformasi dalam praktik demokrasi. Dinamika tersebut mencakup pergeseran sistem pemerintahan, perubahan struktur kekuasaan, hingga reformasi kelembagaan politik. Meskipun demokrasi Pancasila telah ditetapkan sebagai sistem politik resmi negara, pelaksanaannya dalam praktik kerap menghadapi tantangan, mulai dari sentralisasi kekuasaan di masa Orde Baru hingga euforia liberalisasi politik di era Reformasi. Situasi ini memunculkan pertanyaan kritis: sejauh mana sistem demokrasi Pancasila yang diamanatkan oleh konstitusi telah diwujudkan dalam realitas politik Indonesia?

Penting untuk dipahami bahwa demokrasi Pancasila bukanlah sekadar pilihan sistem pemerintahan, melainkan cerminan dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara. Nilai-nilai seperti musyawarah, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap hak individu dalam kerangka kolektivitas menjadi elemen fundamental dalam proses pengambilan keputusan politik di Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman terhadap sistem dan dinamika demokrasi Pancasila tidak hanya memiliki nilai akademis, tetapi juga implikasi langsung terhadap pembentukan karakter dan tanggung jawab kewarganegaraan generasi muda.

Penanaman pemahaman tentang demokrasi Pancasila secara kontekstual dan kritis sangat penting dalam pendidikan kewarganegaraan, khususnya di jenjang sekolah menengah. Dengan membekali peserta didik pada pemahaman yang utuh tentang demokrasi dalam bingkai nilai-nilai Pancasila dan aturan konstitusional, mereka diharapkan mampu menjadi warga negara yang tidak hanya memahami hak dan kewajibannya, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam kehidupan demokratis secara etis dan bertanggung jawab.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif sistem dan dinamika demokrasi Pancasila sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 serta mengevaluasi pelaksanaannya dalam praktik kehidupan politik Indonesia. Kajian ini akan disusun secara sistematis mulai dari aspek konseptual, konstitusional, hingga refleksi kritis terhadap praktik demokrasi kontemporer di Indonesia.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 109.

[2]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 88–89.

[3]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 135.

[4]                Azyumardi Azra, “Demokrasi Indonesia: Antara Konsolidasi dan Fragmentasi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 20, no. 1 (2016): 1–10.

[5]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan dan Pasal 1 Ayat (2).

[6]                Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2013: Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar SMA/MA (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 45.

[7]                S. Nasution, Pendidikan dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 91.


2.           Konsep Demokrasi dan Perkembangannya

2.1.       Pengertian Demokrasi

Secara etimologis, istilah "demokrasi" berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi secara harfiah berarti pemerintahan oleh rakyat atau kekuasaan rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi merupakan sistem pemerintahan di mana rakyat memiliki peran langsung maupun tidak langsung dalam menentukan kebijakan publik melalui mekanisme perwakilan atau partisipasi langsung1.

Secara konseptual, demokrasi tidak hanya menyangkut prosedur pemilu yang bebas dan adil, tetapi juga mencakup nilai-nilai dasar seperti kebebasan berpendapat, persamaan di hadapan hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta jaminan terhadap pluralisme politik. Robert A. Dahl, seorang ilmuwan politik terkemuka, menekankan bahwa demokrasi yang ideal ditandai oleh adanya partisipasi efektif, kesetaraan dalam pemungutan suara, pemahaman yang tercerahkan, dan kontrol atas agenda kebijakan2.

2.2.       Tipologi Demokrasi

Dalam praktiknya, demokrasi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis. Pertama, demokrasi langsung, yaitu sistem di mana rakyat secara langsung mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan politik, sebagaimana pernah diterapkan di negara-kota Athena kuno. Kedua, demokrasi tidak langsung (perwakilan), yaitu sistem di mana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif guna mewakili aspirasi mereka dalam pengambilan keputusan3. Ketiga, muncul bentuk demokrasi partisipatif, yang menekankan keterlibatan aktif warga negara dalam berbagai tingkatan proses politik, tidak hanya terbatas pada pemilu4.

Demokrasi juga dapat dikaji berdasarkan muatannya, seperti demokrasi liberal, yang menekankan pada kebebasan individu dan pembatasan kekuasaan negara, dan demokrasi sosial, yang mengutamakan keadilan sosial melalui intervensi negara terhadap distribusi sumber daya. Dalam konteks ini, demokrasi Pancasila merupakan bentuk demokrasi khas Indonesia yang berusaha mengintegrasikan antara prinsip-prinsip demokrasi universal dengan nilai-nilai kultural dan ideologis bangsa Indonesia5.

2.3.       Sejarah Perkembangan Demokrasi

Secara historis, gagasan demokrasi telah mengalami perkembangan panjang sejak masa Yunani klasik. Setelah mengalami kemunduran pada era feodalisme, semangat demokrasi bangkit kembali pada masa Pencerahan di Eropa, ditandai dengan revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789) yang memperjuangkan prinsip kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia6.

Di Indonesia, embrio demokrasi telah muncul sejak masa pergerakan nasional, terutama dengan berdirinya organisasi Budi Utomo (1908) dan pembentukan Volksraad oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, sistem demokrasi Indonesia mengalami dinamika yang kompleks. Demokrasi parlementer diterapkan pada awal kemerdekaan (1945–1959), kemudian digantikan oleh demokrasi terpimpin (1959–1965), dan diikuti oleh demokrasi dalam kerangka Orde Baru yang bercorak otoriter. Reformasi tahun 1998 menjadi tonggak penting dalam pemulihan sistem demokrasi konstitusional yang lebih terbuka dan partisipatif hingga saat ini7.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 24.

[2]                Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven: Yale University Press, 1998), 37–39.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 62.

[4]                Benjamin R. Barber, Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age (Berkeley: University of California Press, 1984), 117–120.

[5]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 142.

[6]                Larry Diamond dan Marc F. Plattner, eds., The Global Divergence of Democracies (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2001), 13–17.

[7]                Azyumardi Azra, “Demokrasi di Indonesia: Proses dan Tantangan,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15, no. 2 (2012): 110–115.


3.           Hakikat Demokrasi Pancasila

3.1.       Pengertian Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila merupakan sistem pemerintahan yang berlandaskan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara Indonesia. Demokrasi ini mengandung pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tetapi dalam bingkai moralitas, keadilan sosial, dan musyawarah mufakat yang berakar dari budaya bangsa. Artinya, demokrasi Pancasila tidak identik dengan demokrasi liberal yang individualistis, melainkan merupakan bentuk demokrasi yang menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara, dengan menjunjung tinggi etika sosial dan integrasi nasional1.

Demokrasi Pancasila diakui sebagai demokrasi yang khas Indonesia, karena tidak semata-mata meniru model Barat, tetapi merupakan hasil refleksi nilai-nilai luhur bangsa yang digali dari kearifan lokal dan praksis sejarah perjuangan kemerdekaan2. Dalam praktiknya, demokrasi Pancasila menolak segala bentuk dominasi mayoritas atas minoritas, penyalahgunaan kekuasaan, maupun pengutamaan kepentingan individu atas kepentingan umum. Sebaliknya, demokrasi ini mendorong proses politik yang partisipatif, adil, dan bertanggung jawab.

3.2.       Prinsip-Prinsip Demokrasi Pancasila dalam Konstitusi

Prinsip demokrasi Pancasila secara konstitusional tercermin dalam berbagai pasal UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam bentuk sistem perwakilan dan mekanisme musyawarah di berbagai lembaga negara, termasuk DPR, DPD, dan MPR3.

Prinsip utama demokrasi Pancasila antara lain:

1)                  Kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh hukum dan moralitas Pancasila.

2)                  Pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mufakat sebagai cerminan sila keempat.

3)                  Perlindungan terhadap hak asasi manusia, sejalan dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

4)                  Keadilan sosial dan keadilan politik yang mencegah dominasi kelompok tertentu.

5)                  Persatuan nasional sebagai landasan kebijakan publik, bukan sekadar agregasi kepentingan parsial4.

3.3.       Nilai-Nilai Pancasila sebagai Pilar Demokrasi

Demokrasi Pancasila tidak bisa dilepaskan dari lima sila yang menjadi fondasinya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengarahkan bahwa kebebasan dalam demokrasi harus tetap berada dalam kerangka etika religius. Sila Kemanusiaan menekankan pentingnya penghormatan terhadap martabat dan hak-hak dasar manusia. Sila Persatuan mendorong agar praktik demokrasi memperkuat kohesi nasional, bukan menumbuhkan disintegrasi. Sila Kerakyatan mengedepankan dialog, musyawarah, dan deliberasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan. Sementara itu, Sila Keadilan Sosial menggarisbawahi bahwa demokrasi harus berdampak pada kesejahteraan bersama dan menghindari ketimpangan5.

Dengan demikian, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berkepribadian, bermoral, dan berorientasi pada kebaikan kolektif, bukan semata-mata kemenangan mayoritas dalam proses elektoral. Hal ini menuntut adanya kesadaran politik yang matang dan kedewasaan dalam praktik bernegara.

3.4.       Perbandingan dengan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Rakyat

Dalam perspektif perbandingan, demokrasi Pancasila menempati posisi tengah antara demokrasi liberal di satu sisi dan demokrasi rakyat (dengan corak sosialis-otoritarian) di sisi lain. Demokrasi liberal sering kali dikritik karena terlalu menekankan pada kebebasan individu dan kompetisi elektoral, hingga mengabaikan kohesi sosial. Sebaliknya, demokrasi rakyat cenderung menekan kebebasan dalam nama kolektivitas negara. Demokrasi Pancasila berupaya menghindari dua ekstrem tersebut dengan menawarkan jalan tengah: kebebasan yang dibatasi oleh etika sosial dan kesetaraan yang diimbangi tanggung jawab6.

Demokrasi Pancasila bukanlah sistem yang statis, melainkan sebuah dinamika nilai yang terus disesuaikan dengan tantangan zaman. Namun demikian, nilai-nilai intinya tetap menjadi pedoman moral dan politik dalam penyelenggaraan negara yang berdaulat, adil, dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 108–109.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 137.

[3]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (2).

[4]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 113–116.

[5]                Mohammad Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Hukum (Yogyakarta: Liberty, 2006), 121–123.

[6]                Azyumardi Azra, “Demokrasi di Indonesia: Proses dan Tantangan,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15, no. 2 (2012): 114–115.


4.           Sistem Demokrasi dalam UUD NRI Tahun 1945

4.1.       Kedaulatan Rakyat sebagai Prinsip Konstitusional

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (Pasal 1 ayat (2))1. Prinsip ini merupakan dasar dari sistem demokrasi di Indonesia, yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, namun pelaksanaannya dibatasi dan diatur oleh hukum, sesuai dengan karakteristik negara hukum (rechtsstaat) dan bukan kekuasaan absolut (machtsstaat)2.

Dalam konteks ini, demokrasi Indonesia tidak semata-mata bertumpu pada prosedur elektoral, tetapi juga pada nilai-nilai konstitusional yang mewajibkan setiap lembaga negara dan pejabat publik untuk bertindak berdasarkan hukum dan prinsip keadilan. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi konstitusional, di mana hukum menjadi panglima dan Pancasila menjadi etika ideologisnya3.

4.2.       Bentuk Demokrasi: Representatif Berbasis Musyawarah

Demokrasi dalam UUD 1945 menganut sistem perwakilan (representatif), namun dengan jiwa musyawarah untuk mufakat, sebagaimana tercermin dalam pembukaan UUD dan sila keempat Pancasila. Sistem perwakilan ini dijalankan melalui lembaga legislatif seperti DPR, DPD, dan MPR, yang memperoleh legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala4.

Musyawarah bukan hanya menjadi simbol budaya politik Indonesia, tetapi juga dijadikan prinsip normatif dalam pengambilan keputusan publik. Hal ini membedakan sistem demokrasi Indonesia dengan demokrasi liberal yang menganut prinsip mayoritas sebagai satu-satunya legitimasi politik. Dalam demokrasi Pancasila, suara mayoritas tetap dihormati, tetapi tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan dan kesepakatan bersama5.

4.3.       Mekanisme Pemilihan Umum sebagai Instrumen Demokrasi

Pemilihan umum merupakan pilar utama pelaksanaan demokrasi konstitusional di Indonesia. Pasal 22E UUD NRI 1945 menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER-JURDIL) untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD6. Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa partisipasi rakyat tidak berhenti pada hak memilih, tetapi juga mencakup hak untuk memilih secara bertanggung jawab demi kelangsungan demokrasi yang sehat.

Kelembagaan pemilu juga diperkuat dengan pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara independen, yang dijamin dalam Pasal 22E ayat (5). Selain itu, Bawaslu dan DKPP menjadi lembaga pengawasan dan penegakan etik dalam pemilu, yang menegaskan akuntabilitas dan integritas dalam proses demokrasi7.

4.4.       Lembaga-Lembaga Negara dalam Sistem Demokrasi

UUD 1945 mengatur pembagian kekuasaan ke dalam tiga cabang utama: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan prinsip checks and balances untuk mencegah konsentrasi kekuasaan. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat, mencerminkan prinsip demokrasi langsung yang terintegrasi dalam sistem presidensial8.

Sementara itu, kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR dan DPD, sedangkan MPR berfungsi sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang mengubah dan menetapkan UUD. Di bidang yudikatif, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) bertugas menjamin tegaknya keadilan dan supremasi hukum9. Keberadaan MK, khususnya, menjadi penting dalam mengawal demokrasi dengan menguji undang-undang terhadap UUD serta menyelesaikan sengketa hasil pemilu.

4.5.       Partai Politik dan Peran Masyarakat

Partai politik berperan sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat dalam demokrasi Pancasila. UUD 1945 memberikan legitimasi keberadaan partai politik sebagai elemen penting dalam pemilu dan sistem pemerintahan. Namun, peran partai politik tidak boleh semata-mata bersifat elektoral, melainkan harus menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan publik10.

Di sisi lain, masyarakat sipil dan media massa juga memiliki posisi strategis dalam mengawal demokrasi melalui partisipasi politik, pengawasan sosial, dan edukasi publik. Partisipasi aktif rakyat merupakan bentuk implementasi dari demokrasi substantif, di mana rakyat tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga pengontrol dan penggerak perubahan sosial-politik11.


Footnotes

[1]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (2).

[2]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 44–45.

[3]                Mohammad Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2006), 97–98.

[4]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 112.

[5]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 141.

[6]                UUD NRI Tahun 1945, Pasal 22E Ayat (1).

[7]                Komisi Pemilihan Umum, Buku Panduan Pemilu 2019 (Jakarta: KPU RI, 2018), 23–26.

[8]                Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 72.

[9]                Saldi Isra, Perkembangan Fungsi Legislasi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2009), 83–84.

[10]             Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Demokrasi (Jakarta: LIPI Press, 2005), 65.

[11]             Azyumardi Azra, “Demokrasi dan Partisipasi Publik di Indonesia,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 15, no. 3 (2012): 270–274.


5.           Dinamika Demokrasi Pancasila dalam Praktik

5.1.       Perjalanan Demokrasi Indonesia: Dari Orde Lama ke Era Reformasi

Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, demokrasi Pancasila telah mengalami pasang surut dalam berbagai rezim pemerintahan. Pada periode awal kemerdekaan (1945–1959), Indonesia menerapkan demokrasi parlementer, yang secara formal menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat melalui sistem multi-partai dan parlemen yang kuat. Namun, kondisi politik yang instabil, konflik antar partai, dan lemahnya kohesi nasional membuat sistem ini tidak berjalan efektif1.

Situasi tersebut mendorong Presiden Soekarno untuk memberlakukan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin. Dalam periode ini, kekuasaan terkonsentrasi pada presiden, dan prinsip musyawarah digantikan oleh konsep "pemimpin besar revolusi" yang bersifat sentralistik. Demokrasi pada masa ini dikritik karena cenderung menjadi otoritarian dan mengebiri peran rakyat dalam proses politik2.

Masa Orde Baru (1966–1998) di bawah Presiden Soeharto mengklaim sebagai pelanjut demokrasi Pancasila. Namun dalam praktiknya, demokrasi pada era ini sangat terbatas. Pemilu dijalankan secara periodik, tetapi tidak kompetitif karena dominasi Golkar sebagai partai kekuasaan. Kebebasan berpendapat dibatasi, dan partisipasi politik direduksi pada formalitas administratif. Demokrasi Pancasila dimaknai secara sempit sebagai stabilitas politik dan pembangunan ekonomi3.

Momentum Reformasi 1998 membuka era baru demokrasi Indonesia. Amandemen UUD 1945 memperkuat prinsip negara hukum dan kedaulatan rakyat. Pemilihan presiden secara langsung, kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan, dan penguatan masyarakat sipil menjadi indikator penting dari demokrasi pasca-Orde Baru. Meski demikian, demokrasi pasca-reformasi tidak lepas dari tantangan substansial seperti oligarki politik, politik identitas, dan rendahnya literasi demokrasi4.

5.2.       Reformasi Sistem Politik dan Amandemen Konstitusi

Salah satu pencapaian penting dalam dinamika demokrasi Indonesia adalah empat kali amandemen UUD NRI Tahun 1945 (1999–2002), yang telah memperbaiki struktur kelembagaan negara agar lebih demokratis dan akuntabel. Amandemen tersebut antara lain:

·                     Menetapkan pemilu langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden.

·                     Memperkuat independensi lembaga legislatif dan yudikatif.

·                     Mengatur hak-hak warga negara secara eksplisit (Pasal 28A–J).

·                     Membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi5.

Reformasi ini menegaskan arah demokrasi Pancasila yang konstitusional dan terbuka, meskipun belum seluruhnya terwujud secara ideal.

5.3.       Studi Kasus Praktik Demokrasi: Pemilu, Pilkada, dan Musrenbang

Pelaksanaan demokrasi dalam praktik dapat dilihat melalui beberapa instrumen partisipatif:

·                     Pemilu: Sejak 2004, Indonesia menjalankan pemilu legislatif dan eksekutif secara langsung. Pemilu dianggap sebagai wujud nyata partisipasi rakyat, tetapi kerap dicederai oleh politik uang, kampanye hitam, dan rendahnya kualitas debat publik6.

·                     Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah): Desentralisasi memungkinkan masyarakat memilih langsung kepala daerah. Meskipun memperkuat legitimasi lokal, Pilkada juga rentan terhadap politisasi identitas dan konflik horizontal7.

·                     Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan): Proses ini menjadi contoh demokrasi partisipatif di tingkat lokal. Namun efektivitasnya sering dipertanyakan karena dominasi elit lokal dan lemahnya pengarusutamaan aspirasi warga8.

5.4.       Tantangan Aktual Demokrasi Pancasila

Meskipun demokrasi Indonesia pasca-reformasi mengalami kemajuan, beberapa tantangan serius tetap mengemuka:

1)                  Oligarki politik: Kekuasaan politik sering terkonsentrasi di tangan elite ekonomi dan dinasti politik yang melemahkan prinsip keterwakilan sejati9.

2)                  Politik uang dan pragmatisme elektoral: Pemilu sering kali tidak mencerminkan aspirasi ideologis rakyat, melainkan ajang transaksi kekuasaan.

3)                  Rendahnya literasi politik warga negara: Banyak warga memilih berdasarkan sentimen sesaat, bukan program dan visi kandidat.

4)                  Radikalisasi dan intoleransi: Gejala politik identitas dan polarisasi keagamaan mengancam kohesi sosial dan nilai-nilai Pancasila10.

Menghadapi kenyataan tersebut, demokrasi Pancasila memerlukan revitalisasi bukan hanya dalam aspek kelembagaan, tetapi juga dalam pendidikan politik warga negara agar lebih kritis, aktif, dan beretika.


Footnotes

[1]                Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 117–120.

[2]                Hermawan Sulistyo, Demokrasi Terpimpin: Dalam Perspektif Sejarah Politik Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), 47–50.

[3]                Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 133.

[4]                Edward Aspinall, “Oligarchic Populism in Indonesia: Prabowo Subianto’s Challenge to Democratic Consolidation,” Journal of Contemporary Asia 49, no. 4 (2019): 516–534.

[5]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 89–92.

[6]                Komisi Pemilihan Umum, Laporan Umum Pemilu 2019 (Jakarta: KPU RI, 2020), 15–19.

[7]                Syamsuddin Haris, “Desentralisasi dan Dinasti Politik di Daerah,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 16, no. 1 (2012): 34–41.

[8]                Bappenas, Panduan Musrenbang Nasional (Jakarta: Bappenas, 2019), 21–23.

[9]                Jeffrey A. Winters, Oligarchy (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 202–205.

[10]             Azyumardi Azra, “Radikalisme dan Ancaman terhadap Demokrasi,” Jurnal Maarif 14, no. 1 (2020): 13–20.


6.           Demokrasi Pancasila dan Kewarganegaraan Aktif

6.1.       Konsep Kewarganegaraan Aktif dalam Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila bukan hanya menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, tetapi juga mengharuskan adanya kewarganegaraan aktif, yakni keterlibatan warga negara secara sadar, kritis, dan bertanggung jawab dalam kehidupan publik. Dalam pandangan demokrasi Pancasila, kewarganegaraan aktif tidak sekadar partisipasi dalam pemilu, tetapi mencakup kesediaan untuk berdialog, berkontribusi dalam musyawarah, mengawasi kebijakan publik, dan membangun kehidupan bersama berdasarkan nilai-nilai keadilan sosial, musyawarah, dan persatuan1.

Kewarganegaraan aktif juga berarti menjalankan peran warga secara deliberatif, di mana keputusan kolektif bukan semata hasil voting, tetapi hasil pertimbangan moral, kepentingan bersama, dan kearifan lokal. Hal ini menjadikan demokrasi Pancasila sebagai demokrasi yang bukan hanya prosedural, melainkan juga substantif dan etis2.

6.2.       Dimensi Kewarganegaraan dalam Perspektif Pancasila

Dalam paradigma Pancasila, warga negara adalah subjek moral dan sosial yang memiliki hak dan kewajiban seimbang. Sila-sila Pancasila membentuk kerangka filosofis bagi kewarganegaraan aktif, sebagai berikut:

·                     Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menekankan tanggung jawab spiritual dan moral dalam bersikap serta bertindak di ruang publik.

·                     Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menggariskan pentingnya menghormati hak-hak orang lain dan memperjuangkan keadilan sosial.

·                     Sila Persatuan Indonesia menuntut loyalitas terhadap negara dan solidaritas terhadap sesama warga.

·                     Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menegaskan keterlibatan aktif dalam proses musyawarah sebagai bentuk demokrasi langsung dan perwakilan.

·                     Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengajak warga untuk memperjuangkan pemerataan dan menghindari diskriminasi3.

6.3.       Peran Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memegang peran strategis dalam membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kurikulum pendidikan nasional memuat tujuan PKn untuk mencetak individu yang:

1)                  Memiliki pengetahuan konstitusional yang baik,

2)                  Menginternalisasi nilai-nilai Pancasila,

3)                  Berperilaku sesuai etika kewarganegaraan,

4)                  Aktif dalam kehidupan sosial dan politik secara damai dan kontributif4.

Menurut Banks (2008), pendidikan kewarganegaraan yang efektif harus menumbuhkan critical thinking, civic engagement, dan multicultural understanding agar siswa dapat berperan dalam masyarakat pluralistik secara konstruktif5.

Di Indonesia, penerapan pendidikan kewarganegaraan harus berbasis nilai-nilai Pancasila dan realitas kebangsaan, bukan sekadar hafalan norma. Model pembelajaran yang dialogis, kontekstual, dan reflektif menjadi kebutuhan dalam membangun partisipasi aktif dan bertanggung jawab.

6.4.       Wujud Kewarganegaraan Aktif di Indonesia

Kewarganegaraan aktif dalam konteks demokrasi Pancasila dapat diwujudkan melalui:

·                     Partisipasi politik:

mengikuti pemilu, memberikan masukan terhadap kebijakan publik, terlibat dalam organisasi sosial-politik.

·                     Pengawasan sosial:

mengkritisi penyalahgunaan kekuasaan, memanfaatkan media sosial secara bertanggung jawab untuk advokasi kebijakan yang adil.

·                     Gotong royong dan partisipasi komunitas:

menciptakan solidaritas sosial di tingkat lokal, misalnya dalam kegiatan kebersihan lingkungan, musrenbang, atau tanggap bencana.

·                     Literasi digital dan informasi:

menghindari hoaks, menyaring informasi dengan kritis, serta ikut menyebarkan konten yang membangun keadaban publik6.

Kewarganegaraan aktif juga mencakup sikap toleransi dalam keberagaman, sebagai bagian dari pengejawantahan sila kedua dan ketiga. Dalam masyarakat yang majemuk, sikap terbuka, empati, dan anti-diskriminasi menjadi landasan moral partisipasi demokratis.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 149–151.

[2]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta: Konstitusi Press, 2009), 34.

[3]                Mohammad Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 111.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013: Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar SMA/MA (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 47.

[5]                James A. Banks, Diversity and Citizenship Education: Global Perspectives (San Francisco: Jossey-Bass, 2008), 56–59.

[6]                Azyumardi Azra, “Tantangan Kewarganegaraan di Era Digital,” Jurnal Maarif 12, no. 2 (2020): 77–83.


7.           Evaluasi Kritis dan Refleksi Kontekstual

7.1.       Evaluasi Kritis atas Konsistensi Demokrasi Pancasila

Evaluasi terhadap praktik demokrasi Pancasila di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun secara normatif sistem ini telah tertuang dengan jelas dalam konstitusi, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai distorsi. Prinsip-prinsip Pancasila, seperti musyawarah mufakat, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat, belum sepenuhnya diinternalisasi dalam tata kelola pemerintahan maupun perilaku politik elite dan warga negara1.

Dalam praktiknya, demokrasi sering kali tereduksi menjadi ritual elektoral yang minim nilai deliberatif. Proses pemilu, meskipun rutin dilaksanakan, masih diwarnai oleh politik uang, kampanye berbasis hoaks, dan mobilisasi identitas sektarian yang bertentangan dengan prinsip persatuan dan kebhinekaan2. Bahkan, proses pengambilan keputusan di parlemen pun kerap didominasi oleh kompromi elit yang tertutup dari partisipasi publik luas, mengabaikan semangat musyawarah yang menjadi pilar keempat Pancasila3.

Kesenjangan antara teks konstitusi dan kenyataan sosial-politik tersebut menunjukkan adanya defisit demokrasi, baik secara prosedural maupun substantif. Demokrasi Pancasila yang seharusnya memanusiakan manusia dan menjunjung keadilan sering kali tersingkir oleh kepentingan kekuasaan yang pragmatis dan transaksional4.

7.2.       Analisis Kontekstual terhadap Tantangan Kontemporer

Dalam era globalisasi dan disrupsi digital, demokrasi Pancasila menghadapi tantangan baru yang memerlukan adaptasi nilai dan penguatan kelembagaan. Pertama, komersialisasi politik telah menggeser orientasi pelayanan publik menjadi alat akumulasi kekuasaan dan modal. Hal ini melahirkan bentuk baru dari oligarki yang menguasai instrumen demokrasi melalui partai politik dan media massa5.

Kedua, fragmentasi sosial akibat polarisasi politik dan eksploitasi isu identitas mengancam integrasi nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena politik identitas menguat, menyebabkan demokrasi menjadi ajang konflik simbolik yang merusak kohesi masyarakat6.

Ketiga, rendahnya literasi digital dan etika publik membuat ruang demokrasi virtual dipenuhi oleh disinformasi dan ujaran kebencian. Padahal, ruang digital merupakan bagian penting dari ekosistem demokrasi modern yang semestinya menjadi sarana diskursus rasional dan inklusif7.

Keempat, demokrasi Pancasila juga menghadapi tantangan dari dalam, yakni lemahnya budaya politik kewargaan. Sikap apatis, fatalistik, atau justru populistik tumbuh subur di tengah kekecewaan masyarakat terhadap elite politik yang dinilai tidak aspiratif dan tidak akuntabel8.

7.3.       Refleksi Kewarganegaraan dan Jalan Pembaruan

Refleksi kontekstual atas dinamika tersebut menegaskan bahwa demokrasi Pancasila bukanlah sistem yang cukup dijaga secara formal-institusional, melainkan perlu dihidupkan secara etis dan praksis oleh seluruh elemen bangsa. Keberhasilan demokrasi Pancasila sangat ditentukan oleh sejauh mana warga negara:

·                     Menginternalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai etika publik.

·                     Terlibat aktif dalam proses politik secara kritis dan konstruktif.

·                     Menolak segala bentuk politik destruktif, diskriminatif, dan manipulatif9.

Dalam konteks ini, pendidikan kewarganegaraan harus direorientasi tidak hanya sebagai instrumen pengetahuan normatif, tetapi juga sebagai ruang pembentukan karakter demokratis yang sadar hak dan kewajiban, toleran, serta peka terhadap keadilan sosial10.

Penguatan kelembagaan demokrasi perlu diiringi oleh pembangunan civic culture yang berkepribadian Indonesia. Demokrasi Pancasila sejati haruslah demokrasi yang menumbuhkan solidaritas, membela martabat manusia, serta menjaga harmoni antara kebebasan dan tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 144–146.

[2]                Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia: Kritik dan Harapan (Jakarta: LIPI Press, 2017), 67.

[3]                Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 98.

[4]                Azyumardi Azra, “Demokrasi di Tengah Gelombang Populisme dan Oligarki,” Jurnal Maarif 15, no. 1 (2021): 11–15.

[5]                Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011), 209–212.

[6]                Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Southeast Asia’s Troubling Elections: Nurturing Democratic Backsliding,” Journal of Democracy 30, no. 4 (2019): 101–115.

[7]                Kominfo RI, Literasi Digital Indonesia 2020 (Jakarta: Kominfo dan Siberkreasi, 2020), 14–18.

[8]                Mochtar Pabottingi, Demokrasi Indonesia di Bawah Bayangan Otoritarianisme Baru (Jakarta: Kompas, 2019), 53–56.

[9]                Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2015), 79.

[10]             James A. Banks, Teaching Strategies for the Social Studies (Boston: Allyn & Bacon, 2007), 243–245.


8.           Penutup

Demokrasi Pancasila merupakan sistem politik yang unik dan khas Indonesia karena menggabungkan prinsip kedaulatan rakyat dengan nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Sebagai sistem yang digali dari budaya gotong royong, musyawarah, dan keadilan sosial, demokrasi Pancasila tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga menuntut substansi etika dalam kehidupan bernegara. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menyediakan fondasi yuridis yang kuat untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan bersama1.

Meski secara normatif sistem demokrasi Pancasila sudah cukup ideal, tantangan besar muncul dalam implementasinya. Praktik demokrasi Indonesia masih menghadapi masalah mendasar, seperti politik transaksional, lemahnya etika politik, pengaruh oligarki, dan rendahnya partisipasi kritis masyarakat2. Pemilu sebagai sarana utama perwujudan kedaulatan rakyat masih rentan terhadap manipulasi dan pengerdilan nilai musyawarah serta penguatan elitisme kekuasaan3.

Namun demikian, demokrasi Pancasila tetap memiliki daya hidup yang luar biasa karena didasarkan pada nilai-nilai universal sekaligus kontekstual: menghormati kemanusiaan, menjunjung keadilan, menjamin persatuan, dan membuka ruang deliberasi yang etis. Untuk itu, pembangunan demokrasi Indonesia ke depan harus tidak hanya berorientasi pada penguatan institusi negara, tetapi juga pada transformasi budaya politik warga negara menuju kewarganegaraan aktif dan bermartabat4.

Pendidikan kewarganegaraan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila menjadi instrumen strategis dalam menjaga keberlanjutan demokrasi Pancasila. Sekolah, keluarga, organisasi masyarakat, dan media harus berperan sebagai agen demokratisasi yang menanamkan kesadaran kolektif akan pentingnya hidup bersama secara adil dan bermusyawarah5. Dalam konteks inilah, generasi muda sebagai pewaris bangsa dituntut untuk tidak hanya menjadi pengguna sistem demokrasi, tetapi juga penjaga nilai-nilainya.

Akhirnya, demokrasi Pancasila bukanlah sebuah sistem yang statis atau selesai, melainkan proyek kebangsaan yang terus diperjuangkan dan diperbaharui. Sebagai warga negara Indonesia, menjadi tanggung jawab kolektif kita untuk memastikan bahwa demokrasi yang dijalankan bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan ekspresi nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Footnotes

[1]                Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 88–89.

[2]                Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia: Kritik dan Harapan (Jakarta: LIPI Press, 2017), 59–61.

[3]                Edward Aspinall, “Oligarchic Populism in Indonesia,” Journal of Contemporary Asia 49, no. 4 (2019): 519–521.

[4]                Azyumardi Azra, “Demokrasi dan Tantangan Etika Politik,” Jurnal Maarif 13, no. 1 (2019): 13–16.

[5]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 155–158.


Daftar Pustaka

Aspinall, E. (2019). Oligarchic populism in Indonesia: Prabowo Subianto’s challenge to democratic consolidation. Journal of Contemporary Asia, 49(4), 516–534. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1590620

Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Southeast Asia’s troubling elections: Nurturing democratic backsliding. Journal of Democracy, 30(4), 101–115. https://doi.org/10.1353/jod.2019.0066

Azra, A. (2012). Demokrasi dan partisipasi publik di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 15(3), 270–274.

Azra, A. (2020). Radikalisme dan ancaman terhadap demokrasi. Jurnal Maarif, 14(1), 13–20.

Azra, A. (2021). Demokrasi di tengah gelombang populisme dan oligarki. Jurnal Maarif, 15(1), 11–15.

Azra, A. (2020). Tantangan kewarganegaraan di era digital. Jurnal Maarif, 12(2), 77–83.

Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2009). Konstitusi dan kewarganegaraan. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, J. (2014). Pengantar ilmu hukum tata negara (Revisi). Jakarta: Rajawali Pers.

Banks, J. A. (2008). Diversity and citizenship education: Global perspectives. San Francisco, CA: Jossey-Bass.

Banks, J. A. (2007). Teaching strategies for the social studies. Boston, MA: Allyn & Bacon.

Bappenas. (2019). Panduan Musrenbang nasional. Jakarta: Bappenas.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (Edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Diamond, L., & Plattner, M. F. (Eds.). (2001). The global divergence of democracies. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Haris, S. (2005). Partai, pemilu, dan demokrasi. Jakarta: LIPI Press.

Haris, S. (2012). Desentralisasi dan dinasti politik di daerah. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 16(1), 34–41.

Haris, S. (2017). Demokrasi di Indonesia: Kritik dan harapan. Jakarta: LIPI Press.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. (2020). Literasi digital Indonesia 2020. Jakarta: Kominfo dan Siberkreasi.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Kurikulum 2013: Kompetensi inti dan kompetensi dasar SMA/MA. Jakarta: Kemendikbud.

Komisi Pemilihan Umum. (2018). Buku panduan pemilu 2019. Jakarta: KPU RI.

Komisi Pemilihan Umum. (2020). Laporan umum pemilu 2019. Jakarta: KPU RI.

Mahfud MD, M. (2006). Demokrasi dan konstitusi di Indonesia: Studi tentang interaksi politik dan hukum. Yogyakarta: Liberty.

Mahfud MD, M. (2010). Membangun politik hukum, menegakkan konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.

Maarif, A. S. (2015). Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan: Sebuah refleksi sejarah. Bandung: Mizan.

Pabottingi, M. (2019). Demokrasi Indonesia di bawah bayangan otoritarianisme baru. Jakarta: Kompas.

Sanit, A. (2010). Sistem politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Sulistyo, H. (1998). Demokrasi terpimpin: Dalam perspektif sejarah politik Indonesia. Jakarta: LP3ES.

UUD NRI Tahun 1945. (2020). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. New York, NY: Cambridge University Press.

Isra, S. (2009). Perkembangan fungsi legislasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar