Anarkisme
Sejarah, Gagasan Pokok, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif anarkisme
sebagai salah satu aliran penting dalam filsafat sosial-politik. Dimulai dengan
penelusuran konseptual dan historis, kajian ini mengeksplorasi prinsip-prinsip
dasar anarkisme seperti anti-otoritarianisme, kebebasan individu, solidaritas,
dan penolakan terhadap negara dan hierarki kekuasaan. Berbagai aliran dalam
anarkisme—dari anarkisme individualis hingga post-anarkisme—dianalisis dalam
konteks keragaman pendekatan dan strategi perjuangan. Selain itu, artikel ini
meninjau pengalaman historis anarkisme dalam gerakan sosial seperti Revolusi
Spanyol, Makhnovia di Ukraina, Zapatista di Meksiko, dan eksperimentasi politik
di Rojava, Suriah.
Di tengah krisis multidimensi abad ke-21, seperti
kerusakan iklim, ketimpangan ekonomi global, otoritarianisme digital, dan
delegitimasi demokrasi liberal, anarkisme menunjukkan relevansi baru sebagai
paradigma alternatif. Melalui interseksinya dengan feminisme, ekologi radikal,
teknologi digital, dan gerakan sosial kontemporer, anarkisme bukan hanya
bertahan sebagai kritik struktural, tetapi juga berkembang menjadi praksis transformatif.
Di sisi lain, artikel ini juga mengkaji kritik dan tantangan terhadap
anarkisme, termasuk tuduhan utopis, problem koordinasi sosial, dan fragmentasi
internal. Dengan pendekatan yang multidisipliner dan sumber-sumber akademik
kredibel, tulisan ini menawarkan pemahaman menyeluruh mengenai anarkisme
sebagai tradisi pemikiran yang dinamis dan kontekstual dalam diskursus politik
kontemporer.
Kata Kunci: Anarkisme; filsafat sosial-politik;
anti-otoritarianisme; demokrasi langsung; solidaritas; mutualisme; feminisme
anarkis; ekologi sosial; kapitalisme global; otoritarianisme digital.
PEMBAHASAN
Anarkisme dalam Filsafat Sosial-Politik
1.
Pendahuluan
Filsafat
sosial-politik merupakan cabang filsafat yang secara khusus membahas struktur, legitimasi,
serta dinamika kekuasaan dan keadilan dalam masyarakat. Dalam bidang ini,
beragam aliran pemikiran muncul sebagai respons terhadap persoalan ketimpangan
sosial, otoritarianisme, dan relasi kekuasaan yang timpang. Salah satu aliran
yang menempati posisi unik dalam diskursus ini adalah anarkisme—sebuah
pendekatan radikal yang secara konsisten menolak bentuk-bentuk dominasi dan
hirarki, terutama yang diwujudkan dalam negara, kapitalisme, dan institusi
otoriter lainnya.
Anarkisme seringkali
disalahpahami sebagai sinonim dari kekacauan atau nihilisme sosial. Padahal,
secara filosofis dan historis, anarkisme memiliki fondasi intelektual yang kuat
dan kerangka etis yang konsisten. Ia bukan semata penolakan terhadap negara,
melainkan suatu visi positif tentang masyarakat yang bebas, egaliter, dan
didasarkan pada asosiasi sukarela serta solidaritas antarmanusia. Dalam
pandangan Noam Chomsky, anarkisme adalah "tendensi untuk
mengidentifikasi struktur-struktur kekuasaan, mempertanyakannya, dan
menghapusnya bila tidak dapat dibenarkan secara rasional."¹
Kehadiran anarkisme
sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik dapat dilacak sejak akhir abad
ke-18, namun ide-idenya memiliki akar yang jauh lebih tua, sebagaimana terlihat
dalam filsafat klasik seperti Stoikisme dan Taoisme.² Dalam perkembangannya,
anarkisme menjadi bagian penting dari gerakan sosial abad ke-19 dan ke-20,
terutama dalam perjuangan melawan kapitalisme industri dan otoritarianisme
negara. Tokoh-tokoh seperti Pierre-Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, dan Peter
Kropotkin tidak hanya mengembangkan teori anarkis, tetapi juga terlibat dalam
praksis sosial-politik yang konkret, menjadikan anarkisme lebih dari sekadar
teori abstrak.³
Pada abad ke-21,
anarkisme mengalami kebangkitan kembali, terutama dalam konteks perlawanan
terhadap globalisasi neoliberal, krisis ekologis, dan kebangkitan pemerintahan
otoriter. Gerakan seperti Occupy Wall Street, Zapatista, dan konfederasi
demokratis di Rojava menunjukkan bahwa anarkisme bukan sekadar warisan masa lalu,
tetapi juga strategi politik yang relevan untuk masa kini.⁴ Anarkisme menjadi
semakin penting untuk dikaji ulang, tidak hanya sebagai bentuk perlawanan,
tetapi juga sebagai tawaran konstruktif terhadap tatanan sosial-politik yang
lebih manusiawi, adil, dan berkelanjutan.
Melalui artikel ini,
penulis bermaksud untuk menyajikan kajian komprehensif tentang anarkisme
sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik. Pembahasan akan mencakup aspek
historis, prinsip-prinsip dasar, ragam aliran, hingga relevansinya dalam
konteks kontemporer. Harapannya, pembaca dapat memahami anarkisme secara
objektif dan kritis, serta menilai kontribusinya dalam upaya membangun
masyarakat yang bebas dari penindasan dan dominasi struktural.
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Chomsky on Anarchism, ed. Barry Pateman
(Oakland: AK Press, 2005), 178.
[2]
Todd May, The Political Philosophy of Poststructuralist Anarchism
(University Park: Pennsylvania State University Press, 1994), 8–9.
[3]
George Woodcock, Anarchism: A History of Libertarian Ideas and
Movements (New York: Meridian, 1962), 89–112.
[4]
Uri Gordon, Anarchy Alive!: Anti-Authoritarian Politics from
Practice to Theory (London: Pluto Press, 2008), 45–67.
2.
Landasan
Konseptual: Apa itu Anarkisme?
Anarkisme adalah
suatu paham dalam filsafat sosial-politik yang menolak semua bentuk dominasi,
otoritas yang memaksa, dan struktur kekuasaan yang hierarkis, terutama negara.
Dalam pengertian paling dasar, istilah "anarkisme" berasal
dari bahasa Yunani an-arkhē, yang secara harfiah
berarti “tanpa penguasa” (an = tanpa, arkhē
= pemerintahan/kekuasaan).¹ Namun, pengertian ini tidak serta-merta berarti
kekacauan atau ketidakteraturan sebagaimana sering diasosiasikan dalam
penggunaan populer. Sebaliknya, anarkisme merupakan suatu kerangka etis dan
politis yang mendukung tatanan sosial yang dibangun di atas prinsip kebebasan
individu, solidaritas, dan asosiasi sukarela, tanpa paksaan institusional.
Dalam tradisi
filsafat politik Barat, anarkisme dapat dianggap sebagai reaksi ekstrem
terhadap legitimasi negara. Jika liberalisme membela negara sebagai penjamin
kebebasan individu dan sosialisme memperjuangkan negara sebagai alat distribusi
keadilan sosial, maka anarkisme mempertanyakan eksistensi negara itu sendiri.²
Menurut definisi klasik dari Peter Kropotkin, salah satu tokoh sentral dalam
anarko-komunisme, anarkisme adalah “sebuah teori tentang organisasi sosial
berdasarkan kebebasan individu, solidaritas, dan kerja sama sukarela, tanpa
intervensi dari lembaga koersif seperti negara.”³
Para anarkis melihat
kekuasaan yang tersentralisasi dan terlembagakan sebagai sumber utama
penindasan. Mereka menganggap bahwa negara, dengan aparatus hukumnya,
militernya, dan birokrasinya, cenderung memfasilitasi dominasi kelas-kelas
penguasa atas masyarakat. Dalam pandangan ini, hukum bukanlah produk konsensus
rasional, melainkan alat untuk melanggengkan kekuasaan tertentu.⁴ Oleh karena
itu, penolakan terhadap negara bukan berarti penolakan terhadap organisasi
sosial secara umum, melainkan terhadap bentuk-bentuk organisasi yang tidak
bersifat sukarela atau egaliter.
Penting untuk
membedakan antara anarkisme filosofis dan anarkisme
politis. Anarkisme filosofis lebih menekankan kerangka
konseptual dan etis tentang kebebasan, tanggung jawab moral, dan
anti-otoritarianisme. Tokoh seperti William Godwin dalam Enquiry
Concerning Political Justice (1793) mengembangkan dasar-dasar
rasionalisme moral yang menolak legitimasi pemerintahan secara prinsipil.⁵
Sementara itu, anarkisme politis mencakup strategi perjuangan sosial dan
revolusi, sebagaimana diperjuangkan oleh tokoh-tokoh seperti Mikhail Bakunin
dan Emma Goldman, yang memandang pembebasan sosial sebagai hasil dari
perjuangan kolektif melawan kapitalisme dan negara.⁶
Meskipun beragam
dalam bentuk dan pendekatannya, seluruh varian anarkisme bersatu dalam semangat
anti-otoritarianisme,
yaitu keyakinan bahwa semua bentuk kekuasaan harus terus-menerus diuji secara
rasional dan dihapus bila tidak dapat dibenarkan. Anarkisme menolak paksaan
sebagai prinsip pengorganisasian masyarakat, dan menggantinya dengan prinsip
kebebasan, kerja sama, dan tanggung jawab bersama.⁷ Oleh karena itu, anarkisme
tidak hanya merupakan teori pembebasan, tetapi juga upaya penciptaan masyarakat
alternatif yang bebas dari dominasi struktural.
Footnotes
[1]
Colin Ward, Anarchy in Action (London: Freedom Press, 1973),
13.
[2]
Alan Ritter, Anarchism: A Theoretical Analysis (Cambridge:
Cambridge University Press, 1980), 1–4.
[3]
Peter Kropotkin, Anarchism: Its Philosophy and Ideal, trans.
Marshall S. Shatz (New York: Dover Publications, 2002), 9–12.
[4]
David Graeber, The Democracy Project: A History, a Crisis, a
Movement (New York: Spiegel & Grau, 2013), 114–117.
[5]
William Godwin, Enquiry Concerning Political Justice and Its
Influence on Morals and Happiness (London: G.G. and J. Robinson, 1793),
vol. 1, 140–148.
[6]
Emma Goldman, Anarchism and Other Essays, ed. Hippolyte Havel
(New York: Mother Earth Publishing Association, 1910), 49–65.
[7]
Noam Chomsky, Chomsky on Anarchism, ed. Barry Pateman (Oakland:
AK Press, 2005), 137.
3.
Sejarah
Perkembangan Anarkisme
Meskipun anarkisme
sering dianggap sebagai produk modernitas, ide-ide dasar yang menopangnya
memiliki akar yang jauh lebih tua. Gagasan tentang masyarakat tanpa penguasa,
organisasi sosial berbasis kebebasan dan solidaritas, serta penolakan terhadap
kekuasaan yang sewenang-wenang, telah muncul dalam berbagai bentuk sepanjang
sejarah peradaban manusia.
3.1.
Akar-Akar Awal dalam
Pemikiran Kuno dan Abad Pertengahan
Bentuk-bentuk awal
pemikiran anarkis dapat ditemukan dalam tradisi filsafat Timur maupun Barat.
Dalam Tao Te
Ching, Laozi menyerukan kehidupan yang harmonis dengan alam dan
menolak campur tangan pemerintah yang berlebihan, suatu etos yang kelak
mengilhami anarkisme ekologi.¹ Demikian pula, para filsuf Stoik seperti Zeno
dari Citium membayangkan suatu masyarakat yang diatur bukan oleh hukum negara,
tetapi oleh akal budi dan kebajikan, tanpa struktur pemerintahan yang
dipaksakan.²
Di Eropa abad
pertengahan, pemikiran-pemikiran yang menolak otoritas hierarkis juga dapat
ditemukan dalam gerakan mistik dan keagamaan radikal, seperti kaum Brethren
of the Free Spirit dan Hussites, yang mempertanyakan
kekuasaan Gereja dan negara.³ Meskipun belum dapat dikategorikan sebagai
anarkisme sistematik, gerakan-gerakan ini mencerminkan kecenderungan historis
menuju pembebasan dari otoritas terpusat.
3.2.
Anarkisme Modern: Abad
ke-18 dan 19
Anarkisme sebagai
doktrin filosofis dan gerakan sosial-politik mulai terbentuk pada akhir abad
ke-18, terutama melalui karya William Godwin (1756–1836),
yang dianggap sebagai bapak anarkisme modern. Dalam Enquiry Concerning Political Justice
(1793), Godwin mengajukan kritik radikal terhadap negara dan hukum, serta
mempromosikan rasionalitas moral individu sebagai dasar organisasi sosial.⁴
Pada pertengahan
abad ke-19, pemikiran anarkis mulai berkembang menjadi gerakan politik yang
lebih eksplisit. Pierre-Joseph Proudhon
(1809–1865), seorang ekonom dan filsuf Prancis, terkenal dengan pernyataannya “La
propriété, c’est le vol!” (Kepemilikan adalah pencurian), yang
menggambarkan sikap kritis anarkisme terhadap kepemilikan privat dan
kapitalisme.⁵ Proudhon mengembangkan gagasan mutualisme, yaitu sistem ekonomi
berbasis kerja sama sukarela dan tukar-menukar yang setara.
Tokoh penting lainnya
adalah Mikhail
Bakunin (1814–1876), seorang anarkis Rusia yang menentang
sentralisme dalam sosialisme Marxian. Bakunin menekankan pentingnya revolusi
spontan rakyat dan menolak semua bentuk kekuasaan yang terpusat, termasuk
kediktatoran proletariat.⁶ Sementara itu, Peter Kropotkin (1842–1921),
juga dari Rusia, mengembangkan anarko-komunisme berdasarkan prinsip solidaritas
alamiah dan mutual aid, yang ia anggap sebagai
dasar evolusi sosial.⁷
Anarkisme abad ke-19
tidak hanya berkembang sebagai teori, tetapi juga sebagai gerakan revolusioner.
Kongres Anti-Otoritarian dalam Internasionale Pertama (1872) menandai
perpecahan antara anarkis dan kaum Marxis, memperkuat anarkisme sebagai
kekuatan independen dalam perjuangan buruh.⁸
3.3.
Anarkisme Abad ke-20:
Antara Revolusi dan Represi
Pada awal abad
ke-20, anarkisme menjadi kekuatan penting dalam berbagai gerakan revolusioner,
terutama di Spanyol, Italia, dan Rusia. Revolusi Spanyol (1936–1939)
merupakan titik kulminasi pengaruh anarkisme, di mana organisasi seperti CNT
(Confederación Nacional del Trabajo) dan FAI (Federación Anarquista
Ibérica) membentuk struktur sosial alternatif yang egaliter di Catalonia dan
wilayah lainnya. Eksperimen ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip anarkisme
dapat diwujudkan dalam skala luas, meskipun akhirnya dihancurkan oleh fasisme
dan konflik internal.⁹
Namun, sepanjang
abad ke-20, anarkisme juga menghadapi gelombang represif dari berbagai rezim,
baik fasis, komunis, maupun liberal. Di Uni Soviet, kaum anarkis seperti Nestor
Makhno yang berjuang untuk kebebasan Ukraina, ditindas oleh Bolshevik.¹⁰ Di
banyak negara Barat, anarkisme dikaitkan dengan kekerasan dan didelegitimasi
oleh media dan lembaga negara.
3.4.
Kebangkitan Kembali
dan Transformasi Kontemporer
Memasuki akhir abad
ke-20 dan awal abad ke-21, anarkisme mengalami kebangkitan baru dalam bentuk
yang lebih terdesentralisasi dan beragam. Gerakan seperti Zapatista
di Chiapas, konfederasi demokratis Rojava
di Suriah, dan gerakan Occupy Wall Street di AS
menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip anarkis seperti otonomi, demokrasi
langsung, dan solidaritas kembali digunakan dalam praksis politik
kontemporer.¹¹
Selain itu, muncul
bentuk-bentuk baru seperti post-anarkisme, yang
menggabungkan anarkisme dengan teori post-strukturalis dan menekankan
pentingnya identitas, diskursus, dan relasi kekuasaan mikro dalam perjuangan
sosial.¹² Hal ini menunjukkan bahwa anarkisme bukanlah dogma beku, melainkan
tradisi pemikiran yang terus berkembang, menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Laozi, Tao Te Ching, trans. D.C. Lau (London: Penguin
Classics, 1963), 57.
[2]
Peter Marshall, Demanding the Impossible: A History of Anarchism
(Oakland: PM Press, 2010), 62–65.
[3]
George Woodcock, Anarchism: A History of Libertarian Ideas and Movements
(New York: Meridian, 1962), 28–33.
[4]
William Godwin, Enquiry Concerning Political Justice and Its
Influence on Morals and Happiness (London: G.G. and J. Robinson, 1793),
vol. 1, 89–103.
[5]
Pierre-Joseph Proudhon, What Is Property?, trans. Donald R.
Kelley and Bonnie G. Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 13.
[6]
Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, trans. Marshall S. Shatz
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 135–140.
[7]
Peter Kropotkin, Mutual Aid: A Factor of Evolution (New York: McClure,
Philips & Co., 1902), 1–20.
[8]
Daniel Guérin, Anarchism: From Theory to Practice, trans. Mary
Klopper (New York: Monthly Review Press, 1970), 23–25.
[9]
Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist
Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 44–51.
[10]
Paul Avrich, The Russian Anarchists (Princeton: Princeton
University Press, 1967), 181–190.
[11]
Uri Gordon, Anarchy Alive!: Anti-Authoritarian Politics from
Practice to Theory (London: Pluto Press, 2008), 56–77.
[12]
Saul Newman, From Bakunin to Lacan: Anti-Authoritarianism and the
Dislocation of Power (Lanham: Lexington Books, 2001), 1–10.
4.
Aliran-Aliran
dalam Anarkisme
Anarkisme sebagai
tradisi pemikiran dan gerakan sosial tidak bersifat monolitik. Sepanjang
sejarahnya, anarkisme berkembang dalam berbagai aliran yang mencerminkan
perbedaan strategi, orientasi filosofis, serta fokus perjuangan. Meskipun
terdapat keragaman, seluruh aliran dalam anarkisme memiliki titik temu dalam
penolakan terhadap kekuasaan hierarkis dan dukungan terhadap kebebasan, kerja
sama sukarela, dan kesetaraan sosial. Berikut ini adalah beberapa aliran utama
dalam anarkisme yang menonjol dalam sejarah dan wacana kontemporer.
4.1.
Anarkisme Individualis
Anarkisme
individualis menekankan kebebasan mutlak individu dan penolakan terhadap segala
bentuk pengaruh eksternal terhadap kehendak pribadi. Aliran ini berakar pada
liberalisme radikal dan filsafat eksistensialis, terutama dalam karya Max
Stirner, yang menolak semua institusi, termasuk negara, agama,
dan bahkan moralitas konvensional, sebagai bentuk dominasi terhadap “Ego”
atau diri yang otonom.¹
Tokoh-tokoh seperti Benjamin
Tucker di Amerika Serikat mengembangkan pendekatan ini dengan
memadukan anarkisme dengan teori pasar bebas dan kepemilikan berdasarkan
penggunaan, bukan akumulasi.² Meskipun sering dikritik karena cenderung
solipsistik dan anti-kolektif, anarkisme individualis tetap memainkan peran
penting dalam menegaskan dimensi kebebasan pribadi dalam gerakan anarkis.
4.2.
Anarkisme Kolektivis
Anarkisme
kolektivis, yang paling dikenal melalui pemikiran Mikhail
Bakunin, menekankan penghapusan kepemilikan privat atas alat
produksi dan mengusulkan bentuk produksi bersama oleh kolektif pekerja.³
Berbeda dari anarko-komunisme, aliran ini tetap mengakui kompensasi berdasarkan
kerja, bukan distribusi penuh berdasarkan kebutuhan.
Aliran ini
menggabungkan semangat revolusioner dengan gagasan federasi pekerja sebagai
struktur alternatif bagi masyarakat pasca-revolusi. Ia berkembang dalam konteks
perjuangan buruh internasional abad ke-19 dan memainkan peran signifikan dalam
Internasionale Pertama sebelum terjadinya perpecahan dengan kaum Marxis.⁴
4.3.
Anarko-Komunisme
Anarko-komunisme,
yang dikembangkan terutama oleh Peter Kropotkin dan Errico
Malatesta, menyerukan penghapusan semua bentuk kepemilikan
pribadi dan negara, serta pengorganisasian masyarakat berdasarkan prinsip komunalitas,
yaitu distribusi kebutuhan tanpa perantara pasar atau negara.⁵
Menurut Kropotkin,
kerja sama sukarela dan mutual aid adalah fondasi biologis
dan sosial manusia, dan karena itu masyarakat tanpa paksaan dapat berkembang
secara alami.⁶ Anarko-komunisme sering diidentifikasi sebagai bentuk anarkisme
yang paling egaliter dan radikal dalam menghapus hirarki ekonomi dan politik.
4.4.
Anarko-Sindikalisme
Anarko-sindikalisme
muncul sebagai respons terhadap kondisi kerja kapitalistik, dengan fokus pada
perjuangan kelas melalui serikat buruh radikal.⁷ Tokoh pentingnya termasuk Rudolf
Rocker dan organisasi seperti Confederación Nacional del Trabajo (CNT)
di Spanyol.⁸
Dalam pandangan ini,
serikat buruh bukan hanya alat perjuangan, tetapi juga embrio dari tatanan
masyarakat baru. Melalui aksi langsung, mogok umum, dan pengelolaan kolektif
tempat kerja, anarko-sindikalisme menggabungkan strategi praktis dengan
idealisme anarkis.
4.5.
Anarko-Primitivisme
Anarko-primitivisme
mengkritik peradaban industri dan teknologi sebagai akar dominasi terhadap
manusia dan alam. Tokoh-tokoh seperti John Zerzan berpendapat bahwa
pertanian, penulisan, dan struktur sosial kompleks telah menciptakan alienasi
dan hierarki.⁹ Aliran ini mengidealkan komunitas pramodern yang egaliter dan
berorientasi pada keberlangsungan ekologis.
Meskipun aliran ini
sering dipandang ekstrem, kontribusinya dalam memperluas spektrum kritik
anarkisme terhadap modernitas tidak dapat diabaikan.
4.6.
Anarkisme Hijau dan
Ekologis
Berbeda dengan
primitivisme, anarkisme ekologis atau anarkisme
hijau, sebagaimana dikembangkan oleh Murray
Bookchin, tidak menolak teknologi, tetapi mengkritik cara
produksi kapitalistik dan struktur sosial hierarkis yang menciptakan krisis
ekologis.¹⁰ Bookchin mengusulkan ekologi sosial, yaitu sistem
desentralisasi politik dan ekonomi berbasis komunitas yang berkelanjutan dan
ekologis.
Aliran ini menjadi
sangat relevan dalam konteks krisis iklim global, dan telah menginspirasi
praktik langsung seperti sistem konfederasi di Rojava (Suriah), yang
menggabungkan prinsip ekologi, demokrasi langsung, dan feminisme.¹¹
4.7.
Post-Anarkisme
Post-anarkisme
adalah aliran kontemporer yang menggabungkan anarkisme klasik dengan teori
post-strukturalis, terutama melalui pemikiran Saul Newman, Todd May,
dan Lewis
Call.¹² Aliran ini mengkritik kecenderungan esensialis dalam
anarkisme tradisional dan menekankan pentingnya bahasa, diskursus, dan
kekuasaan mikro dalam memahami dominasi sosial.
Post-anarkisme
membuka ruang bagi pluralitas bentuk perlawanan, termasuk isu gender, ras, dan
identitas, menjadikannya relevan dalam konteks perjuangan sosial yang semakin
kompleks.
Penutup
Keberagaman aliran
dalam anarkisme menunjukkan daya adaptif dan reflektif dari tradisi ini
terhadap tantangan sosial-politik yang terus berubah. Meskipun berbeda dalam
strategi dan orientasi, seluruh aliran tersebut tetap menjunjung tinggi prinsip
dasar anti-otoritarianisme, kebebasan, dan keadilan sosial yang menjadi ciri
khas anarkisme.
Footnotes
[1]
Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington
(New York: Benjamin R. Tucker, 1907), 5–12.
[2]
Benjamin R. Tucker, Instead of a Book, by a Man Too Busy to Write
One (New York: Benjamin R. Tucker, 1893), 23–30.
[3]
Mikhail Bakunin, God and the State, trans. Benjamin Tucker
(New York: Dover Publications, 1970), 28–32.
[4]
Daniel Guérin, Anarchism: From Theory to Practice, trans. Mary
Klopper (New York: Monthly Review Press, 1970), 17–24.
[5]
Peter Kropotkin, The Conquest of Bread, trans. Paul Avrich
(New York: New York University Press, 1972), 34–42.
[6]
Peter Kropotkin, Mutual Aid: A Factor of Evolution (New York:
McClure, Philips & Co., 1902), 61–70.
[7]
Vadim Damier, Anarcho-Syndicalism in the 20th Century, trans.
Malcolm Archibald (Oakland: Black Cat Press, 2009), 45–52.
[8]
Rudolf Rocker, Anarcho-Syndicalism: Theory and Practice
(London: Pluto Press, 1989), 17–21.
[9]
John Zerzan, Elements of Refusal (Seattle: Left Bank Books,
1988), 113–126.
[10]
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 85–91.
[11]
Debbie Bookchin and Michael Schwartz, The Next Revolution: Popular
Assemblies and the Promise of Direct Democracy (London: Verso, 2015),
132–141.
[12]
Saul Newman, The Politics of Postanarchism (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 1–14.
5.
Prinsip-Prinsip
Dasar Anarkisme
Anarkisme sebagai
aliran dalam filsafat sosial-politik dibangun atas seperangkat prinsip normatif
yang konsisten menolak dominasi struktural dan otoritas yang dipaksakan.
Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjadi dasar teoritis dari anarkisme, tetapi
juga membimbing praktik-praktik sosial yang dikehendaki oleh para anarkis. Lima
prinsip utama berikut merupakan inti dari pemikiran anarkis lintas aliran.
5.1.
Anti-Otoritarianisme
Anti-otoritarianisme
merupakan fondasi utama dari seluruh varian anarkisme. Para anarkis meyakini
bahwa semua bentuk otoritas harus diuji secara kritis dan ditolak jika tidak
dapat dibenarkan secara rasional dan moral. Noam Chomsky menyatakan bahwa
prinsip dasar anarkisme adalah “upaya untuk mengidentifikasi struktur
otoritas dan mendemonstrasikan bahwa struktur tersebut tidak sah, lalu
menolaknya.”¹ Struktur otoriter—baik dalam bentuk negara, militer, birokrasi,
agama institusional, maupun keluarga patriarkal—dipandang sebagai penghalang
bagi kebebasan manusia.
5.2.
Otonomi Individu dan
Kebebasan
Anarkisme memandang
kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam organisasi sosial. Namun,
kebebasan dalam anarkisme bukanlah kebebasan egoistik yang merugikan orang
lain, melainkan kebebasan yang dikaitkan erat dengan tanggung jawab sosial.
William Godwin berargumen bahwa setiap individu, melalui akal dan moralitasnya,
memiliki kapasitas untuk bertindak secara bebas tanpa dikendalikan oleh
kekuasaan eksternal.² Oleh karena itu, anarkisme menolak sistem yang
memperlakukan individu sebagai objek subordinasi, termasuk negara, sistem upah,
dan struktur hukum koersif.
5.3.
Solidaritas dan
Asosiasi Sukarela
Prinsip kerja sama
sukarela dan solidaritas sosial menjadi pengimbang dari individualisme anarkis.
Kropotkin, dalam Mutual Aid, menyatakan bahwa kerja
sama dan saling membantu merupakan kunci kelangsungan hidup manusia dan hewan
dalam evolusi, bertentangan dengan ide Darwinisme sosial yang menekankan
kompetisi.³ Dalam masyarakat anarkis, hubungan antarindividu dan kelompok
didasarkan pada kesepakatan bebas, bukan paksaan, sehingga terbentuk jaringan
horizontal yang mendukung kebebasan dan keseimbangan sosial.
5.4.
Penolakan terhadap
Negara dan Hirarki Kekuasaan
Penolakan terhadap
negara adalah ciri khas yang membedakan anarkisme dari bentuk filsafat politik
lainnya. Negara dianggap sebagai manifestasi tertinggi dari otoritas paksa yang
melanggengkan ketimpangan kekuasaan dan penindasan. Bakunin menyebut negara
sebagai “tempat penjelmaan kekerasan institusional,” yang tak pernah
netral, tetapi selalu berpihak pada kelas yang dominan.⁴ Anarkisme menentang
hierarki dalam segala bentuknya—baik ekonomi, politik, maupun sosial—karena
dianggap merusak kebebasan dan martabat manusia.
5.5.
Etika Mutualisme dan
Gotong Royong
Mutualisme, terutama
dalam gagasan Proudhon, merupakan prinsip ekonomi dan moral yang menolak
eksploitasi.⁵ Dalam praktiknya, mutualisme berarti sistem pertukaran yang adil,
kepemilikan berbasis penggunaan, dan pengelolaan kolektif atas sumber daya
bersama.⁶ Konsep ini tidak hanya berlaku dalam ranah ekonomi, tetapi juga dalam
interaksi sosial sehari-hari yang mengandalkan kepercayaan, timbal balik, dan
gotong royong tanpa dominasi satu pihak atas yang lain.
Etika anarkis sangat
menekankan bahwa struktur sosial harus dibangun dari bawah ke atas (bottom-up),
dengan partisipasi langsung masyarakat, tanpa perantara institusi yang
mendominasi. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar anarkisme bukanlah utopia
abstrak, tetapi tawaran normatif untuk menciptakan masyarakat yang lebih
manusiawi, adil, dan bebas dari dominasi sistemik.
Kesimpulan
Sementara
Kelima prinsip dasar
di atas menjadi benang merah yang menjalin keberagaman aliran dalam anarkisme
menjadi suatu kerangka pemikiran dan tindakan yang koheren. Prinsip-prinsip ini
menolak asumsi dasar dari ideologi dominan tentang kekuasaan, produksi, dan
organisasi masyarakat. Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh krisis demokrasi,
kerusakan lingkungan, dan ketimpangan global, prinsip-prinsip ini semakin
relevan sebagai dasar untuk merancang alternatif sosial-politik yang radikal
dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Chomsky on Anarchism, ed. Barry Pateman
(Oakland: AK Press, 2005), 178.
[2]
William Godwin, Enquiry Concerning Political Justice and Its
Influence on Morals and Happiness (London: G.G. and J. Robinson, 1793),
vol. 1, 102–104.
[3]
Peter Kropotkin, Mutual Aid: A Factor of Evolution (New York:
McClure, Philips & Co., 1902), 1–15.
[4]
Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, trans. Marshall S. Shatz
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 135.
[5]
Pierre-Joseph Proudhon, What Is Property?, trans. Donald R.
Kelley and Bonnie G. Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 1994),
119–126.
[6]
Iain McKay, ed., An Anarchist FAQ, vol. 1 (Oakland: AK Press,
2008), 147–155.
6.
Kritik
Anarkisme terhadap Institusi Sosial-Politik
Salah satu kontribusi
mendasar anarkisme dalam filsafat sosial-politik adalah kritik radikalnya
terhadap institusi-institusi dominan dalam masyarakat modern. Anarkisme tidak
hanya menentang negara, tetapi juga mengkritik struktur-struktur sosial yang
menopang kekuasaan hierarkis, termasuk kapitalisme, hukum, militer, pendidikan,
dan agama institusional. Kritik-kritik ini didasarkan pada prinsip bahwa
institusi-institusi tersebut cenderung melanggengkan ketimpangan, dominasi, dan
keterasingan manusia dari potensi pembebasannya.
6.1.
Kritik terhadap Negara
dan Pemerintahan
Anarkisme menolak
legitimasi negara sebagai institusi politik yang sah. Negara dianggap sebagai
sumber dominasi struktural dan kekerasan yang dilembagakan. Mikhail Bakunin
menyebut negara sebagai "perwujudan kekuasaan minoritas atas mayoritas,"
yang memaksakan kehendaknya melalui hukum, polisi, dan militer.¹ Dalam
pandangan ini, negara tidak netral, melainkan alat bagi kelas penguasa untuk
mempertahankan kendali atas sumber daya dan kehidupan sosial.
Peter Kropotkin
menambahkan bahwa negara tidak hanya menghambat kebebasan individu, tetapi juga
mematikan inisiatif kolektif dan solidaritas komunitas.² Ia percaya bahwa
struktur masyarakat yang berdasarkan sentralisasi kekuasaan bertentangan dengan
prinsip-prinsip kehidupan sosial yang sehat dan adil. Dengan demikian, solusi
anarkis bukanlah reformasi negara, tetapi penghapusannya dan penggantian dengan
federasi komunitas bebas.
6.2.
Kritik terhadap
Kapitalisme dan Kepemilikan Privat
Kapitalisme dikritik
oleh para anarkis sebagai sistem ekonomi yang berakar pada eksploitasi tenaga
kerja dan konsentrasi kekayaan. Pierre-Joseph Proudhon menyatakan secara
provokatif bahwa “properti adalah pencurian” (la
propriété, c’est le vol!), dengan maksud bahwa kepemilikan atas
alat produksi yang tidak berdasarkan penggunaan melahirkan ketimpangan dan
perampasan kerja orang lain.³
Anarko-komunisme,
seperti yang dikembangkan oleh Kropotkin, menolak sistem upah dan pembagian
kerja kapitalistik, dan menyerukan distribusi sumber daya berdasarkan
kebutuhan, bukan pasar.⁴ Dalam sistem kapitalisme, para anarkis melihat
reproduksi bentuk-bentuk dominasi ekonomi yang menyatu dengan struktur politik
negara, menciptakan kelas yang tidak hanya tertindas, tetapi juga dimiskinkan
secara sistemik.
6.3.
Kritik terhadap Hukum,
Polisi, dan Militer
Dalam pandangan
anarkis, hukum bukanlah perwujudan keadilan universal, melainkan kodifikasi
nilai-nilai kelas penguasa. David Graeber menegaskan bahwa hukum modern
berfungsi untuk mengatur kepatuhan, bukan untuk mendorong kebajikan sosial, dan
bahwa kekuatan hukum sangat tergantung pada kekerasan koersif.⁵
Institusi-institusi
seperti polisi dan militer dilihat sebagai instrumen utama dari kekerasan
negara yang dilembagakan. Para anarkis menyatakan bahwa keberadaan militer
tidak hanya digunakan untuk menghadapi ancaman eksternal, tetapi juga untuk
menundukkan masyarakat sipil, terutama dalam menghadapi gerakan protes dan
perlawanan rakyat.⁶
6.4.
Kritik terhadap
Lembaga Pendidikan
Anarkisme juga
melancarkan kritik terhadap pendidikan formal, terutama sistem sekolah yang
dikendalikan oleh negara. Dalam pandangan tokoh-tokoh seperti Francisco
Ferrer dan Ivan Illich, pendidikan modern
sering kali bersifat indoktrinatif dan mencetak ketaatan terhadap otoritas
alih-alih membina kebebasan berpikir.⁷ Pendidikan yang sejati, menurut mereka,
harus membebaskan dan didasarkan pada rasa ingin tahu alami serta partisipasi
sukarela.
Anarkisme mendukung
pendidikan yang bebas, non-hirarkis, dan terintegrasi dalam kehidupan sosial,
bukan pendidikan yang terpisah dari realitas masyarakat dan tunduk pada
birokrasi.⁸
6.5.
Kritik terhadap Agama
Institusional
Agama, terutama
dalam bentuknya yang terlembagakan, juga menjadi objek kritik anarkis. Bakunin
secara keras menyatakan bahwa “jika Tuhan ada, maka Ia harus dibunuh,”
sebagai metafora terhadap peran agama dalam menjustifikasi otoritas dan
ketundukan manusia.⁹ Bagi para anarkis, institusi agama sering kali berpadu
dengan negara dalam meneguhkan struktur patriarkal dan kekuasaan moral yang
represif.
Meski begitu, perlu
dibedakan bahwa tidak semua anarkis menolak religiositas personal. Beberapa
aliran, seperti anarkisme Kristen,
mengembangkan etika kasih dan komunitas sukarela sebagai bentuk kritik terhadap
agama yang institusional dan otoriter.¹⁰
Kesimpulan
Sementara
Kritik anarkisme
terhadap institusi sosial-politik bersifat menyeluruh dan mendasar, karena
anarkisme tidak sekadar mengecam hasil dari struktur kekuasaan, tetapi menolak
fondasi ideologis dan praktis dari sistem yang ada. Kritik ini memberikan
kerangka alternatif untuk membayangkan masyarakat yang lebih bebas, egaliter,
dan kooperatif, sekaligus membuka ruang bagi eksplorasi bentuk-bentuk kehidupan
sosial yang tidak bergantung pada dominasi dan paksaan.
Footnotes
[1]
Mikhail Bakunin, God and the State, trans. Benjamin Tucker
(New York: Dover Publications, 1970), 13–15.
[2]
Peter Kropotkin, The State: Its Historic Role, trans. Vernon
Richards (London: Freedom Press, 1946), 22–28.
[3]
Pierre-Joseph Proudhon, What Is Property?, trans. Donald R.
Kelley and Bonnie G. Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 1994),
13–19.
[4]
Peter Kropotkin, The Conquest of Bread, trans. Paul Avrich
(New York: New York University Press, 1972), 36–47.
[5]
David Graeber, The Democracy Project: A History, a Crisis, a
Movement (New York: Spiegel & Grau, 2013), 114–117.
[6]
Kristian Williams, Our Enemies in Blue: Police and Power in America
(Brooklyn: Soft Skull Press, 2004), 43–55.
[7]
Francisco Ferrer, The Origin and Ideals of the Modern School
(New York: Knickerbocker Press, 1913), 9–15.
[8]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 1–20.
[9]
Mikhail Bakunin, God and the State, 23.
[10]
Jacques Ellul, Anarchy and Christianity, trans. Geoffrey W.
Bromiley (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 12–22.
7.
Strategi
Perjuangan dan Implementasi Sosial
Anarkisme tidak
hanya menyajikan kritik radikal terhadap institusi sosial-politik dominan,
tetapi juga mengusulkan strategi perjuangan dan model implementasi sosial yang
bertujuan membangun masyarakat tanpa dominasi, hierarki, dan eksploitasi.
Strategi-strategi tersebut bersifat desentralistis, horizontal, dan
nonotoriter, sejalan dengan prinsip-prinsip dasar anarkisme. Perjuangan anarkis
lebih menekankan pada proses transformasi sosial dari bawah (bottom-up)
melalui partisipasi langsung rakyat, daripada melalui perebutan kekuasaan
negara atau institusi sentralistik.
7.1.
Aksi Langsung (Direct
Action)
Aksi langsung adalah
metode utama perjuangan anarkis yang berarti bertindak tanpa perantara otoritas
untuk mencapai perubahan sosial secara langsung. Ini bisa berupa mogok kerja,
sabotase, pendudukan lahan, pemogokan sewa, hingga pembentukan
kolektif-kolektif swakelola.¹ Aksi langsung mencerminkan keyakinan bahwa
pembebasan sejati tidak datang dari perwakilan politik atau lembaga negara,
tetapi dari inisiatif dan tindakan bersama rakyat itu sendiri.
Rudolf Rocker
menjelaskan bahwa aksi langsung adalah cara bagi rakyat untuk "mengorganisasi
kekuatannya sendiri tanpa bergantung pada struktur kekuasaan eksternal."²
Dalam konteks kontemporer, strategi ini terlihat dalam gerakan Occupy
Wall Street dan Extinction Rebellion, yang menolak
pendekatan birokratis dalam memperjuangkan perubahan.
7.2.
Organisasi Sosial
Berbasis Kolektif dan Komunal
Para anarkis
mempraktikkan model organisasi sosial yang bersifat horizontal dan sukarela.
Bentuk konkret dari implementasi sosial ini adalah kolektif
anarkis, komune otonom, dan serikat
pekerja anarko-sindikalis, yang beroperasi tanpa hierarki tetap
dan berbasis pada konsensus atau demokrasi langsung.³
Contoh historis dari
penerapan ini dapat dilihat dalam Revolusi Spanyol (1936–1939), ketika para
anarkis di bawah CNT-FAI mengorganisasi komune-komune agraria dan industri yang
berhasil menggantikan sistem kapitalis dan birokratis dengan kontrol kolektif
oleh pekerja.⁴ Eksperimen ini menunjukkan kemungkinan riil pengelolaan
sosial-ekonomi secara anarkis dalam skala besar.
7.3.
Desentralisasi dan
Federasi Bebas
Anarkisme menolak
bentuk-bentuk sentralisasi kekuasaan dan sebagai gantinya mempromosikan
federasi bebas dari komunitas-komunitas otonom. Dalam model ini, unit-unit
sosial yang kecil dan mandiri—seperti komune, asosiasi pekerja, atau
serikat—bergabung secara sukarela ke dalam jaringan federatif untuk kerja sama,
tanpa kehilangan otonomi lokal.⁵
Peter Kropotkin
berpendapat bahwa federasi bebas memungkinkan “pengorganisasian tanpa pusat”
yang memberikan ruang luas bagi kebebasan dan kreativitas sosial.⁶ Struktur
semacam ini telah menjadi inspirasi dalam berbagai gerakan anarkis kontemporer,
seperti di wilayah Rojava, Suriah, di mana model konfederalisme demokratis
diterapkan untuk mengelola masyarakat multietnis dan multireligius secara
egaliter.⁷
7.4.
Pendidikan Radikal dan
Konscientisasi
Anarkisme juga
menekankan pentingnya pendidikan sebagai strategi jangka panjang dalam
perjuangan sosial. Pendidikan yang bersifat membebaskan—berlawanan dengan
pendidikan negara yang cenderung menyeragamkan—dianggap sebagai sarana utama
untuk membentuk kesadaran kritis dan otonomi individu.⁸
Model seperti sekolah
modern (Escuela Moderna) yang dirintis oleh Francisco Ferrer
berupaya menciptakan ruang pembelajaran yang bebas dari dogma, paksaan, dan
otoritas guru sebagai figur dominan.⁹ Pendidikan radikal dalam anarkisme
menekankan partisipasi aktif, kebebasan eksplorasi, dan hubungan horizontal
antara pengajar dan peserta didik.
7.5.
Perlawanan
Non-Kekerasan vs Aksi Militan
Anarkisme mencakup
spektrum strategi yang luas, dari perlawanan damai dan non-kekerasan
hingga aksi
militan. Beberapa tokoh seperti Leo Tolstoy mengusung anarkisme
Kristen yang menolak segala bentuk kekerasan, menekankan kasih dan pengampunan
sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan.¹⁰
Namun, sejarah
anarkisme juga mencatat penggunaan aksi militan atau kekerasan revolusioner
oleh sebagian kelompok, seperti aksi individu (propaganda by the deed) yang
dilakukan oleh anarkis radikal pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.¹¹
Meskipun demikian, banyak anarkis kontemporer menolak kekerasan sebagai
strategi utama, dan lebih mengedepankan aksi kolektif, pengorganisasian akar
rumput, serta pembentukan lembaga alternatif.
Kesimpulan
Sementara
Strategi perjuangan
dalam anarkisme tidak terpusat pada perebutan kekuasaan formal, melainkan pada
pembangunan dunia baru "di dalam cangkang dunia lama."
Implementasi sosial anarkis bersifat inkremental, partisipatoris, dan
berdasarkan prinsip swakelola. Hal ini menegaskan bahwa anarkisme bukan hanya
gerakan protes, tetapi juga praksis konstruktif dalam menciptakan masyarakat
alternatif yang membebaskan.
Footnotes
[1]
Colin Ward, Anarchy in Action (London: Freedom Press, 1973),
84–89.
[2]
Rudolf Rocker, Anarcho-Syndicalism: Theory and Practice
(London: Pluto Press, 1989), 34.
[3]
Iain McKay, ed., An Anarchist FAQ, vol. 1 (Oakland: AK Press,
2008), 204–212.
[4]
Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist
Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 45–50.
[5]
Daniel Guérin, Anarchism: From Theory to Practice, trans. Mary
Klopper (New York: Monthly Review Press, 1970), 28–32.
[6]
Peter Kropotkin, The Conquest of Bread, trans. Paul Avrich
(New York: New York University Press, 1972), 95–101.
[7]
Debbie Bookchin and Michael Schwartz, The Next Revolution: Popular
Assemblies and the Promise of Direct Democracy (London: Verso, 2015),
136–145.
[8]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row,
1971), 7–18.
[9]
Francisco Ferrer, The Origin and Ideals of the Modern School
(New York: Knickerbocker Press, 1913), 22–29.
[10]
Leo Tolstoy, The Kingdom of God Is Within You, trans.
Constance Garnett (New York: Cassell, 1894), 158–165.
[11]
Paul Avrich, The Haymarket Tragedy (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 140–145.
8.
Anarkisme
dalam Praktik Historis
Meskipun sering
dianggap utopis, anarkisme memiliki sejarah panjang sebagai gerakan praksis
yang mewujudkan prinsip-prinsipnya dalam bentuk komunitas, organisasi, dan
revolusi nyata. Praktik anarkis telah muncul dalam berbagai konteks geografis
dan historis, membuktikan bahwa anarkisme bukan sekadar teori spekulatif,
melainkan suatu alternatif konkret terhadap sistem dominasi negara dan
kapitalisme. Tiga kasus penting yang sering dijadikan rujukan adalah Revolusi
Spanyol, pemberontakan anarkis di Ukraina, dan eksperimentasi kontemporer dalam
gerakan Zapatista dan Rojava.
8.1.
Revolusi Spanyol
(1936–1939): Puncak Praksis Anarko-Sindikalisme
Revolusi Spanyol
merupakan contoh paling luas dan sistematis dari implementasi prinsip-prinsip
anarkisme dalam skala masyarakat besar. Selama perang sipil Spanyol, organisasi
anarko-sindikalis Confederación Nacional del Trabajo (CNT)
dan Federación
Anarquista Ibérica (FAI) memimpin pengambilalihan pabrik, lahan
pertanian, dan layanan publik di wilayah Catalonia, Aragon, dan Levante.¹
Pekerja dan petani
menyelenggarakan produksi dan distribusi secara kolektif tanpa campur tangan
negara atau pasar kapitalis. Di Barcelona, sekitar 70% perekonomian
dikendalikan secara kolektif oleh buruh, yang menerapkan sistem demokrasi
langsung di pabrik dan komune.² Peter Gelderloos mencatat bahwa ini adalah
"salah satu eksperimen sosial paling ambisius dalam sejarah modern"
yang menunjukkan keberhasilan prinsip anarkis dalam skala kota.³
Meskipun pada
akhirnya dikalahkan oleh fasisme dan dikhianati oleh faksi-faksi republik dan
komunis, Revolusi Spanyol meninggalkan warisan penting bagi gerakan anarkis
internasional: bahwa masyarakat egaliter dan non-hirarkis dapat diwujudkan,
meskipun dalam kondisi perang.
8.2.
Ukraina: Gerakan
Makhnovia (1918–1921)
Setelah Revolusi
Rusia 1917, wilayah Ukraina menjadi pusat pemberontakan anarkis yang dipimpin
oleh Nestor
Makhno, seorang anarkis Ukraina yang memobilisasi kaum petani
untuk menentang baik rezim Tsar, pasukan Jerman, maupun Bolshevik. Gerakan ini
dikenal sebagai Makhnovia, sebuah wilayah
otonom yang dikelola secara egaliter oleh dewan-dewan rakyat lokal (soviet
bebas).⁴
Pasukan Makhno
(dikenal sebagai Tentara Pemberontakan Revolusioner Ukraina) mengorganisasi
pertahanan tanpa struktur militer hierarkis dan mendukung penghapusan negara
serta kapitalisme di wilayah-wilayah yang mereka kontrol.⁵
Meskipun awalnya
bekerja sama dengan Bolshevik, Makhnovia kemudian dihancurkan oleh Tentara
Merah karena perbedaan ideologis yang mendalam—terutama karena Makhno menolak
sentralisme dan kediktatoran Partai Komunis.⁶ Kasus ini memperlihatkan
ketegangan abadi antara sosialisme otoriter dan anarkisme libertarian dalam
revolusi modern.
8.3.
Zapatista: Otonomi dan
Perlawanan di Chiapas, Meksiko
Sejak 1994, gerakan Ejército
Zapatista de Liberación Nacional (EZLN) di Chiapas, Meksiko,
telah menerapkan prinsip-prinsip anarkisme dalam bentuk otonomi komunitas adat.
Meskipun tidak secara eksplisit mengidentifikasi diri sebagai anarkis, struktur
dan prinsip gerakan Zapatista mencerminkan nilai-nilai anarkisme: demokrasi
langsung, desentralisasi kekuasaan, kesetaraan gender, dan penolakan terhadap neoliberalisme
global.⁷
Komunitas-komunitas
Zapatista mengelola pendidikan, kesehatan, dan produksi secara mandiri di luar
struktur negara. John Holloway menyebut gerakan ini sebagai bentuk
“pemberontakan pasif” yang tidak bertujuan merebut kekuasaan, tetapi membangun
dunia alternatif secara langsung dari bawah.⁸ Zapatista membuktikan bahwa
praktik otonomi dan pengelolaan komunitas berdasarkan konsensus bisa bertahan
dan berkembang, bahkan dalam bayang-bayang kekuasaan negara.
8.4.
Rojava: Konfederalisme
Demokratis di Suriah Utara
Di tengah kekacauan
perang sipil Suriah, wilayah Rojava (Kurdistan Suriah)
muncul sebagai eksperimen sosio-politik yang menggabungkan ide-ide Murray
Bookchin tentang ekologi sosial dan demokrasi
langsung. Dipimpin oleh Partai Persatuan Demokratik (PYD)
dan difasilitasi oleh Unit Perlindungan Rakyat (YPG/YPJ),
Rojava menerapkan sistem konfederalisme demokratis, yang
menekankan pada otonomi lokal, pluralisme etnis, kesetaraan gender, dan
perlindungan lingkungan.⁹
Struktur pemerintahan
Rojava terdiri dari majelis komunitas, komite akar rumput, dan dewan federatif
yang beroperasi secara horizontal dan partisipatif.¹⁰ Meski lahir dari gerakan
nasionalis Kurdi, transformasi ideologis PYD menunjukkan pengaruh kuat
anarkisme dalam konteks geopolitik Timur Tengah yang kompleks. Model Rojava
menginspirasi banyak gerakan anarkis kontemporer sebagai bukti bahwa alternatif
non-negara bisa diterapkan secara nyata bahkan di wilayah konflik bersenjata.
Kesimpulan
Sementara
Pengalaman historis anarkisme
dalam praktik membuktikan bahwa prinsip-prinsipnya dapat diwujudkan dalam
kondisi nyata, bahkan dalam situasi yang ekstrem seperti perang, krisis
ekonomi, atau penindasan struktural. Meskipun banyak dari eksperimen tersebut
berakhir dengan represi dari kekuatan negara atau faksi ideologis lain, mereka
tetap memberikan warisan penting: bahwa masyarakat tanpa dominasi dan kekuasaan
terpusat bukanlah utopia semata, melainkan kemungkinan riil dalam sejarah
sosial-politik manusia.
Footnotes
[1]
Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist
Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 44–49.
[2]
George Orwell, Homage to Catalonia (London: Secker &
Warburg, 1938), 58–65.
[3]
Peter Gelderloos, Anarchy Works (Charlottesville: Active
Distribution, 2010), 102.
[4]
Paul Avrich, The Russian Anarchists (Princeton: Princeton
University Press, 1967), 165–179.
[5]
Alexandre Skirda, Nestor Makhno: Anarchy’s Cossack (Oakland:
AK Press, 2004), 212–220.
[6]
Michael Malet, Nestor Makhno in the Russian Civil War (London:
Macmillan, 1982), 156–160.
[7]
Hilary Klein, Compañeras: Zapatista Women’s Stories (New York:
Seven Stories Press, 2015), 45–53.
[8]
John Holloway, Change the World Without Taking Power (London:
Pluto Press, 2002), 142.
[9]
Debbie Bookchin and Michael Schwartz, The Next Revolution: Popular
Assemblies and the Promise of Direct Democracy (London: Verso, 2015),
132–145.
[10]
Thomas Schmidinger, Rojava: Revolution, War and the Future of
Syria’s Kurds (London: Pluto Press, 2018), 87–98.
9.
Anarkisme
dan Pemikiran Sosial Kontemporer
Memasuki abad ke-21,
anarkisme menunjukkan vitalitas baru dalam lanskap pemikiran sosial
kontemporer. Tidak lagi sekadar diasosiasikan dengan gerakan buruh klasik atau
revolusi abad ke-19, anarkisme kini terhubung dengan berbagai isu mutakhir
seperti feminisme, ekologi radikal, teknologi digital, hingga teori
postmodernisme. Transformasi ini menunjukkan bahwa anarkisme bukan sistem
dogmatis, melainkan kerangka berpikir yang lentur dan reflektif terhadap perubahan
zaman.
9.1.
Anarkisme dan
Feminisme
Anarkisme dan
feminisme berbagi semangat anti-otoritarianisme, terutama dalam menentang
sistem patriarki. Feminisme anarkis menolak tidak hanya ketimpangan gender,
tetapi juga relasi kekuasaan dalam keluarga, institusi agama, dan negara.¹
Tokoh-tokoh seperti Emma Goldman menggabungkan
kritik terhadap negara dan kapitalisme dengan perjuangan hak-hak perempuan,
termasuk kebebasan seksual, kontrol atas tubuh, dan pembebasan dari struktur
pernikahan paksa.²
Di era kontemporer,
anarko-feminis seperti bell hooks dan Silvia
Federici mengeksplorasi hubungan antara kapitalisme, seksisme,
dan kerja domestik tak berbayar.³ Pendekatan ini menekankan bahwa pembebasan
sejati perempuan tidak dapat dicapai melalui reformasi negara, tetapi melalui
transformasi radikal hubungan sosial yang bersifat hirarkis.
9.2.
Anarkisme dan Ekologi
Radikal
Krisis ekologis
global telah memunculkan bentuk baru anarkisme yang berfokus pada hubungan
antara manusia dan alam. Ekologi sosial, sebagaimana
dikembangkan oleh Murray Bookchin, mengajukan
bahwa krisis ekologi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan akibat dari
sistem sosial yang hierarkis dan eksploitatif.⁴ Solusinya bukan hanya daur
ulang atau teknologi hijau, tetapi restrukturisasi sosial ke arah komunitas
otonom, egaliter, dan ekologis.
Anarkisme ekologis
juga terwujud dalam bentuk anarko-primitivisme, yang
mengkritik peradaban industri secara fundamental dan menyerukan kembalinya pola
hidup komunitarian dan berkelanjutan.⁵ Meskipun sering dipandang ekstrem,
pendekatan ini berperan penting dalam memperluas spektrum kritik terhadap
modernitas.
9.3.
Anarkisme dan
Postmodernisme
Sejak 1990-an,
muncul aliran post-anarkisme yang mencoba
menggabungkan anarkisme klasik dengan teori-teori poststrukturalis seperti Derrida,
Foucault, dan Deleuze. Tokoh seperti Saul Newman berargumen bahwa
anarkisme klasik terlalu terikat pada esensialisme—gagasan tentang “manusia
alami yang bebas”—dan perlu diperbaharui dengan pemahaman tentang kekuasaan
yang tersebar, identitas yang cair, dan politik yang anti-representasional.⁶
Post-anarkisme
menawarkan analisis yang lebih halus terhadap relasi kekuasaan, tidak hanya
yang bersifat makro (negara, kapitalisme), tetapi juga mikro (norma sosial,
wacana, bahasa). Pendekatan ini memperluas medan perjuangan anarkis ke ranah
budaya, psikologi, dan seksualitas, menjadikannya relevan dalam konteks sosial
yang semakin kompleks dan plural.
9.4.
Anarkisme Digital dan
Teknologi Informasi
Kemajuan teknologi
informasi membuka medan baru bagi anarkisme, terutama dalam konteks internet,
perangkat lunak bebas (open-source), dan gerakan
desentralisasi digital. Proyek seperti Linux, Wikipedia,
dan Tor
Project mengandalkan prinsip kolaborasi sukarela, tanpa
otoritas pusat, dan menunjukkan bagaimana produksi pengetahuan dapat dikelola
secara horizontal.⁷
Selain itu, praktik hacktivism—seperti
kelompok Anonymous—mewakili bentuk baru
dari aksi langsung digital, yang menyerang simbol dan infrastruktur kekuasaan
dengan cara non-tradisional.⁸ Dalam konteks ini, anarkisme digital berusaha
membangun dunia maya sebagai ruang kebebasan dan resistensi terhadap korporasi
teknologi dan pengawasan negara.
9.5.
Anarkisme dan Gerakan
Sosial Baru
Banyak gerakan
sosial kontemporer menunjukkan pengaruh prinsip-prinsip anarkis, baik secara
eksplisit maupun implisit. Gerakan seperti Occupy Wall Street, Extinction
Rebellion, Black Lives Matter, dan gerakan
iklim lainnya mengadopsi struktur non-hirarkis, keputusan konsensus, dan aksi
langsung, mencerminkan etos anarkisme sebagai praksis sosial.⁹
Dalam analisisnya
terhadap gerakan kontemporer, David Graeber menunjukkan bahwa
prinsip-prinsip anarkisme telah menjadi “template” organisasi sosial
baru yang menolak representasi, menggantinya dengan partisipasi langsung dan
demokrasi radikal.¹⁰ Ini menandakan bahwa anarkisme kini hadir bukan hanya
sebagai ideologi, tetapi sebagai cara hidup, berpolitik, dan membangun
solidaritas.
Kesimpulan
Sementara
Interseksi anarkisme
dengan pemikiran sosial kontemporer menunjukkan bahwa ia bukan warisan masa
lalu, melainkan kekuatan pemikiran yang terus berevolusi. Dalam respons
terhadap kapitalisme global, patriarki, krisis ekologis, dan teknologi
pengawasan, anarkisme menawarkan kritik tajam sekaligus alternatif praksis yang
konkret. Kehadirannya dalam wacana feminisme, ekologi, postmodernisme, dan
gerakan digital menegaskan bahwa anarkisme tetap relevan dan transformatif di
tengah tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Chiara Bottici and Benoît Challand, The Myth of the Clash of
Civilizations (New York: Routledge, 2010), 127–130.
[2]
Emma Goldman, Anarchism and Other Essays, ed. Hippolyte Havel
(New York: Mother Earth Publishing Association, 1910), 158–165.
[3]
Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and
Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 25–35.
[4]
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 41–49.
[5]
John Zerzan, Future Primitive Revisited (Port Townsend: Feral
House, 2012), 87–94.
[6]
Saul Newman, The Politics of Postanarchism (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 1–12.
[7]
Gabriella Coleman, Coding Freedom: The Ethics and Aesthetics of
Hacking (Princeton: Princeton University Press, 2013), 57–61.
[8]
Molly Sauter, The Coming Swarm: DDOS Actions, Hacktivism, and Civil
Disobedience on the Internet (London: Bloomsbury, 2014), 21–28.
[9]
Marina Sitrin and Dario Azzellini, They Can’t Represent Us!:
Reinventing Democracy from Greece to Occupy (London: Verso, 2014),
115–120.
[10]
David Graeber, Fragments of an Anarchist Anthropology
(Chicago: Prickly Paradigm Press, 2004), 7–9.
10. Kritik dan Tantangan terhadap Anarkisme
Meskipun anarkisme
menawarkan visi sosial-politik yang radikal dan membebaskan, ia juga menghadapi
beragam kritik dan tantangan, baik dari kalangan liberal, sosialis, maupun
filsuf politik konservatif. Kritik-kritik ini tidak hanya bersifat teoritis,
tetapi juga menyasar aspek praktis dari implementasi anarkisme. Evaluasi
terhadap kritik ini penting untuk memahami keterbatasan serta potensi pengembangan
lebih lanjut dari anarkisme sebagai pendekatan alternatif dalam filsafat
sosial-politik.
10.1.
Tuduhan Utopisme dan
Ketidakrealistikan
Kritik paling umum
terhadap anarkisme adalah bahwa ia utopis dan tidak realistis. Banyak pemikir
politik menilai bahwa masyarakat tanpa negara dan otoritas formal tidak mungkin
bertahan lama dalam dunia nyata yang kompleks dan penuh konflik. Misalnya,
Isaiah Berlin menyebut anarkisme sebagai “harapan romantik” yang
mengabaikan fakta tentang sifat manusia yang ambivalen terhadap kekuasaan dan
kebutuhan akan struktur sosial.¹
Kritikus menyoroti
absennya mekanisme yang dapat menjamin ketertiban sosial dan penyelesaian
konflik tanpa adanya otoritas terpusat.² Dalam pandangan ini, pembebasan total
dari kekuasaan berisiko melahirkan kekacauan atau penguasaan oleh kelompok yang
lebih kuat dalam bentuk informal.
10.2.
Masalah
Pengorganisasian dan Koordinasi Sosial
Anarkisme juga
dikritik karena dinilai tidak mampu menyediakan model pengorganisasian sosial
yang stabil dalam skala besar. Meskipun demokrasi langsung dan asosiasi
sukarela dapat berfungsi dalam komunitas kecil, banyak yang meragukan
efektivitasnya dalam masyarakat kompleks yang melibatkan jutaan orang,
infrastruktur teknis, dan kebutuhan koordinasi makro.³
Michael Walzer
menyatakan bahwa bentuk-bentuk deliberatif dan partisipatoris cenderung menjadi
tidak efisien seiring bertambahnya skala, serta membuka celah bagi kelelahan
partisipasi atau dominasi informal.⁴ Tantangan logistik dan administratif ini
memunculkan pertanyaan: apakah prinsip-prinsip anarkisme dapat diterapkan
secara berkelanjutan dan merata di seluruh aspek kehidupan modern?
10.3.
Ketiadaan Strategi
Transisi yang Jelas
Kritik lainnya
menyasar absennya strategi transisi yang realistis dari sistem yang ada menuju masyarakat
anarkis. Berbeda dengan Marxisme yang memiliki narasi transisi melalui revolusi
proletariat dan diktatoriat transisional, anarkisme sering kali mengandalkan
spontanitas dan pembentukan masyarakat alternatif secara bertahap.
Hal ini menimbulkan
kesan bahwa anarkisme kurang memiliki kerangka tahapan yang sistematis untuk
mencapai tujuannya.⁵ Bahkan dalam pengalaman sejarah seperti Revolusi Spanyol,
banyak pihak menilai bahwa kurangnya strategi militer dan aliansi politik yang
kuat menyebabkan kekalahan gerakan anarkis.⁶
10.4.
Ambivalensi terhadap
Kekerasan dan Kekuasaan
Anarkisme juga
menghadapi dilema etis dan praktis mengenai penggunaan kekerasan. Beberapa
aliran, seperti anarkisme pasifis (misalnya Tolstoyan), menolak kekerasan dalam
bentuk apa pun, sementara lainnya, seperti anarkisme militan, mendukung
tindakan langsung yang bahkan melibatkan kekerasan politik.
Perbedaan ini
menciptakan ambivalensi dalam hal legitimasi moral dan efektivitas strategi
perjuangan.⁷ Aksi-aksi anarkis radikal di akhir abad ke-19, seperti pembunuhan
pemimpin negara atau peledakan fasilitas umum, sering kali memberikan
justifikasi kepada negara untuk melakukan represi besar terhadap gerakan
anarkis dan merusak citra publik anarkisme.⁸
10.5.
Tantangan Internal:
Fragmentasi dan Ketidakterpaduan
Anarkisme tidak
memiliki doktrin tunggal atau organisasi pusat, yang di satu sisi mencerminkan
komitmen terhadap otonomi, tetapi di sisi lain menimbulkan fragmentasi.
Perbedaan tajam antara anarko-komunis, anarko-sindikalis, individualis, dan post-anarkis
sering kali mengakibatkan ketidakterpaduan strategi dan visi.⁹
David Miller
mencatat bahwa anarkisme cenderung “lebih kuat dalam kritik daripada dalam
konstruksi,” karena sulit menyatukan keragaman pendekatan di bawah satu
kerangka aksi kolektif yang terkoordinasi.¹⁰ Ini menjadikan anarkisme rentan
terhadap kebingungan internal dan konflik ideologis yang menghambat konsolidasi
gerakan.
Kesimpulan
Sementara
Kritik dan tantangan
terhadap anarkisme menyoroti sejumlah kelemahan nyata dalam teori dan
praktiknya, mulai dari tuduhan utopisme hingga persoalan koordinasi sosial dan
ambivalensi strategi. Namun demikian, banyak anarkis justru melihat kritik ini
sebagai kesempatan untuk merefleksikan dan mereformulasi gagasan mereka agar
lebih adaptif terhadap realitas kontemporer. Ketahanan anarkisme sebagai
tradisi pemikiran dan praktik selama lebih dari dua abad menunjukkan bahwa,
meskipun tidak tanpa kelemahan, ia tetap merupakan salah satu wacana paling
kritis terhadap kekuasaan yang terlembaga dalam sejarah pemikiran
sosial-politik.
Footnotes
[1]
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford
University Press, 1969), 179.
[2]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia
University Press, 1993), 199–202.
[3]
Samuel Clark, Living Without Domination: The Possibility of an
Anarchist Utopia (London: Ashgate, 2007), 123–130.
[4]
Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and
Equality (New York: Basic Books, 1983), 305–308.
[5]
Alex Prichard et al., Anarchism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2022), 62–66.
[6]
Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist
Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 56–58.
[7]
Todd May, The Political Philosophy of Poststructuralist Anarchism
(University Park: Pennsylvania State University Press, 1994), 92–97.
[8]
Paul Avrich, The Haymarket Tragedy (Princeton: Princeton
University Press, 1984), 212–219.
[9]
Iain McKay, ed., An Anarchist FAQ, vol. 1 (Oakland: AK Press,
2008), 17–24.
[10]
David Miller, Anarchism (London: J.M. Dent & Sons, 1984),
132–134.
11. Relevansi Anarkisme di Abad ke-21
Di tengah arus
globalisasi neoliberal, krisis ekologis, otoritarianisme digital, dan
disintegrasi kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga konvensional,
anarkisme justru menunjukkan relevansi yang semakin kuat di abad ke-21. Bukan
sebagai ideologi dogmatis yang bersaing dengan liberalisme atau sosialisme,
melainkan sebagai sebuah orientasi praksis yang menginspirasi berbagai gerakan
sosial, eksperimen komunitas, dan kritik struktural yang dibutuhkan dalam
menghadapi kompleksitas zaman ini.
11.1.
Respons terhadap
Krisis Demokrasi dan Negara
Di banyak negara,
model demokrasi liberal mengalami stagnasi dan krisis legitimasi.
Ketidakpercayaan terhadap partai politik, parlemen, dan birokrasi negara
mendorong lahirnya bentuk-bentuk politik akar rumput yang menolak perwakilan
elitis. Anarkisme, dengan penekanannya pada demokrasi langsung, pengambilan
keputusan kolektif, dan federasi sukarela, menjadi
inspirasi bagi gerakan yang mendambakan partisipasi rakyat yang autentik.¹
Gerakan Occupy
Wall Street, Gilets Jaunes di Prancis, hingga
gerakan pro-demokrasi di Hong Kong menunjukkan kecenderungan ke arah struktur
horizontal dan anti-otoriter yang selaras dengan semangat anarkis.² Model
pengambilan keputusan konsensus, rotasi kepemimpinan, dan struktur non-hirarkis
menjadi strategi populer dalam pengorganisasian aksi sosial kontemporer.
11.2.
Anarkisme sebagai
Alternatif terhadap Kapitalisme Global
Ketimpangan ekonomi
yang semakin tajam akibat sistem kapitalisme global telah memunculkan pencarian
terhadap alternatif ekonomi yang lebih adil dan berkeadaban. Pandemi COVID-19
semakin mengungkap rapuhnya struktur neoliberal dalam menjamin keadilan sosial
dan keberlanjutan hidup.
Anarkisme menawarkan
perspektif ekonomi berbasis solidaritas, kerja sama, dan produksi komunitas.
Gagasan ekonomi berbasis kebutuhan, kolektif
pekerja, dan sistem barter atau mutualisme
kembali diangkat oleh aktivis komunitas, koperasi pekerja, dan platform ekonomi
solidaritas.³ Dalam hal ini, anarkisme berfungsi sebagai laboratorium sosial
untuk mengembangkan bentuk-bentuk ekonomi yang menolak eksploitasi dan
sentralisasi kapital.
11.3.
Jawaban terhadap
Krisis Ekologis dan Kehancuran Iklim
Krisis iklim adalah
tantangan eksistensial terbesar umat manusia saat ini. Anarkisme, khususnya
melalui tradisi ekologi sosial yang
dikembangkan oleh Murray Bookchin, menawarkan
kerangka berpikir yang menautkan masalah lingkungan dengan sistem kekuasaan
sosial.⁴ Menurut Bookchin, kerusakan lingkungan bukan sekadar akibat
ketidaktahuan teknologi, tetapi berakar dari struktur hierarkis dan
kapitalistik yang eksploitatif.
Praktik komunitas
pertanian kolektif, permakultur, ekovillage, dan desentralisasi energi adalah
contoh bagaimana prinsip-prinsip anarkis dapat diterapkan dalam perjuangan
ekologis. Gerakan seperti Extinction Rebellion juga
mengadopsi struktur organisasi non-hirarkis dan aksi langsung tanpa kekerasan
yang sejalan dengan strategi anarkis.⁵
11.4.
Perlawanan terhadap
Otoritarianisme Digital dan Pengawasan Massa
Munculnya kapitalisme
pengawasan dan otoritarianisme digital di abad ke-21 membawa
tantangan baru terhadap kebebasan individu. Korporasi teknologi dan negara
menggunakan algoritma, data biometrik, dan kecerdasan buatan untuk mengontrol
perilaku dan preferensi masyarakat.⁶
Dalam konteks ini,
anarkisme digital tampil sebagai bentuk perlawanan yang mendesak. Gerakan
seperti hacktivism, proyek perangkat
lunak bebas (free/libre open-source software),
serta jaringan komunikasi terdesentralisasi menjadi contoh strategi anarkis
untuk mempertahankan ruang otonomi digital.⁷ Prinsip transparansi, kerahasiaan,
dan swakelola menjadi nilai kunci dalam menanggapi tantangan digital
kontemporer.
11.5.
Revitalisasi Komunitas
dan Solidaritas Sosial
Anarkisme juga
relevan sebagai respon terhadap krisis keterasingan sosial dan atomisasi
masyarakat modern. Di tengah dominasi relasi kapitalistik dan mekanisasi
kehidupan sosial, anarkisme mengusulkan pembentukan komunitas berbasis empati,
kebersamaan, dan pertukaran sukarela.⁸
Inisiatif seperti
kolektif pangan, bank waktu, klinik kesehatan gratis berbasis komunitas, hingga
pusat komunitas swakelola telah bermunculan di berbagai kota dunia. Gerakan ini
membangun solidaritas bukan sebagai kebijakan negara, tetapi sebagai inisiatif
langsung rakyat yang saling menolong tanpa pamrih kekuasaan.
Kesimpulan
Sementara
Relevansi anarkisme
di abad ke-21 tidak terletak pada keberadaannya sebagai ideologi tunggal,
melainkan sebagai seperangkat prinsip dan strategi yang dapat digunakan dalam
berbagai konteks perjuangan. Di tengah kegagalan model-model dominan dalam
menjawab krisis multidimensi—politik, ekonomi, ekologis, dan digital—anarkisme
menawarkan paradigma alternatif yang menolak dominasi dan membela kebebasan,
kesetaraan, dan solidaritas. Dengan kemampuannya beradaptasi, anarkisme tidak
hanya tetap hidup, tetapi juga menjadi inspirasi utama dalam membayangkan dunia
yang lebih manusiawi.
Footnotes
[1]
Marina Sitrin and Dario Azzellini, They Can’t Represent Us!:
Reinventing Democracy from Greece to Occupy (London: Verso, 2014), 12–17.
[2]
David Graeber, The Democracy Project: A History, a Crisis, a
Movement (New York: Spiegel & Grau, 2013), 135–142.
[3]
Iain McKay, ed., An Anarchist FAQ, vol. 2 (Oakland: AK Press,
2012), 315–328.
[4]
Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and
Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 21–34.
[5]
Roger Hallam, Common Sense for the 21st Century: Only Nonviolent
Rebellion Can Now Stop Climate Breakdown and Social Collapse (London:
Chelsea Green, 2019), 55–62.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 11–18.
[7]
Gabriella Coleman, Coding Freedom: The Ethics and Aesthetics of
Hacking (Princeton: Princeton University Press, 2013), 68–72.
[8]
Colin Ward, Anarchy in Action (London: Freedom Press, 1973),
101–109.
12. Penutup
Anarkisme dalam
filsafat sosial-politik bukan sekadar gagasan marginal atau romantisisme kaum
revolusioner, melainkan suatu tradisi pemikiran dan praksis yang memiliki sejarah
panjang, kerangka teoretis yang kuat, serta kapasitas adaptif yang tinggi
terhadap tantangan zaman. Dalam berbagai dimensi—etika, politik, ekonomi,
ekologis, dan kultural—anarkisme secara konsisten mengajukan kritik mendalam
terhadap kekuasaan terpusat, hierarki sosial, dan sistem-sistem dominasi yang
meminggirkan otonomi manusia dan kebebasan kolektif.
Sejak embrionya
dalam pemikiran klasik hingga pengaruhnya dalam Revolusi Spanyol, gerakan
Makhnovia, Zapatista, dan Rojava, anarkisme telah menunjukkan bahwa alternatif
sosial yang anti-otoriter dan berbasis solidaritas bukanlah angan-angan, tetapi
sesuatu yang bisa dan telah diwujudkan dalam sejarah.¹ Ia mampu memberikan
bentuk organisasi sosial yang otonom, berbasis konsensus, serta mengutamakan
keadilan substantif di luar logika kekuasaan konvensional.
Dalam perjumpaannya
dengan pemikiran kontemporer—feminisme, ekologi radikal, post-anarkisme, dan
teknologi digital—anarkisme memperluas cakrawala perjuangannya dari medan
material ke medan simbolik dan kultural.² Ini menunjukkan bahwa anarkisme bukan
dogma kaku, melainkan pendekatan dinamis yang terus berkembang seiring dengan
perubahan relasi sosial dan konteks global.
Namun demikian,
anarkisme tidak tanpa kelemahan. Kritik atas kecenderungannya yang fragmentaris,
absennya strategi transisi yang sistematis, serta tantangan dalam penerapan
skala luas, tetap relevan dan layak dikaji secara kritis.³ Justru di sinilah
ruang refleksi dibuka: bagaimana anarkisme dapat terus memperbarui dirinya
tanpa mengingkari prinsip dasarnya—kebebasan, anti-otoritarianisme, dan
solidaritas?
Di abad ke-21,
ketika masyarakat dunia dihadapkan pada krisis multidimensi—demokrasi liberal
yang melemah, ketimpangan ekonomi global, krisis iklim, dan otoritarianisme
digital—anarkisme menawarkan bukan hanya kritik, tetapi juga inspirasi
transformatif. Ia menantang kita untuk membayangkan masyarakat
yang dibangun dari bawah, berdasarkan kehendak bebas, hubungan timbal balik,
dan keberanian untuk menolak dominasi dalam segala bentuknya.
Sebagaimana
ditegaskan oleh David Graeber, “anarkisme adalah eksperimen dalam membangun
institusi sosial yang belum pernah ada sebelumnya”⁴—yakni dunia tanpa
dominasi, tetapi penuh partisipasi, tanpa paksaan tetapi kaya akan komitmen,
tanpa penguasa tetapi dengan tanggung jawab bersama. Meskipun jalan menuju
masyarakat semacam itu tidak mudah, anarkisme tetap menjadi penanda penting
dalam upaya kita merumuskan masa depan yang lebih adil dan membebaskan.
Footnotes
[1]
Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist
Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 49–55.
[2]
Saul Newman, The Politics of Postanarchism (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2010), 89–93.
[3]
David Miller, Anarchism (London: J.M. Dent & Sons, 1984),
131–134.
[4]
David Graeber, Fragments of an Anarchist Anthropology
(Chicago: Prickly Paradigm Press, 2004), 12.
Daftar Pustaka
Avrich, P. (1967). The Russian anarchists.
Princeton University Press.
Avrich, P. (1984). The Haymarket tragedy.
Princeton University Press.
Berlin, I. (1969). Four essays on liberty.
Oxford University Press.
Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The
emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.
Bookchin, M. (1994). To remember Spain: The
anarchist and syndicalist revolution of 1936. AK Press.
Bookchin, M., & Schwartz, M. (Eds.). (2015). The
next revolution: Popular assemblies and the promise of direct democracy.
Verso.
Bottici, C., & Challand, B. (2010). The myth
of the clash of civilizations. Routledge.
Clark, S. (2007). Living without domination: The
possibility of an anarchist utopia. Ashgate.
Coleman, G. (2013). Coding freedom: The ethics
and aesthetics of hacking. Princeton University Press.
Federici, S. (2004). Caliban and the witch:
Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.
Ferrer, F. (1913). The origin and ideals of the
Modern School. Knickerbocker Press.
Gelderloos, P. (2010). Anarchy works. Active
Distribution.
Goldman, E. (1910). Anarchism and other essays
(H. Havel, Ed.). Mother Earth Publishing Association.
Graeber, D. (2004). Fragments of an anarchist
anthropology. Prickly Paradigm Press.
Graeber, D. (2013). The democracy project: A
history, a crisis, a movement. Spiegel & Grau.
Guérin, D. (1970). Anarchism: From theory to
practice (M. Klopper, Trans.). Monthly Review Press.
Hallam, R. (2019). Common sense for the 21st
century: Only nonviolent rebellion can now stop climate breakdown and social
collapse. Chelsea Green.
Holloway, J. (2002). Change the world without
taking power: The meaning of revolution today. Pluto Press.
Illich, I. (1971). Deschooling society.
Harper & Row.
Klein, H. (2015). Compañeras: Zapatista women's
stories. Seven Stories Press.
Kropotkin, P. (1902). Mutual aid: A factor of
evolution. McClure, Philips & Co.
Kropotkin, P. (1972). The conquest of bread
(P. Avrich, Trans.). New York University Press.
Kropotkin, P. (2002). Anarchism: Its philosophy
and ideal (M. S. Shatz, Trans.). Dover Publications.
Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau,
Trans.). Penguin Classics.
Malet, M. (1982). Nestor Makhno in the Russian
Civil War. Macmillan.
Marshall, P. (2010). Demanding the impossible: A
history of anarchism. PM Press.
May, T. (1994). The political philosophy of
poststructuralist anarchism. Pennsylvania State University Press.
McKay, I. (Ed.). (2008). An anarchist FAQ
(Vol. 1). AK Press.
McKay, I. (Ed.). (2012). An anarchist FAQ
(Vol. 2). AK Press.
Miller, D. (1984). Anarchism. J. M. Dent
& Sons.
Newman, S. (2010). The politics of postanarchism.
Edinburgh University Press.
Orwell, G. (1938). Homage to Catalonia.
Secker & Warburg.
Prichard, A., Kinna, R., Pinta, S., & Berry, D.
(2022). Anarchism: A very short introduction. Oxford University Press.
Proudhon, P.-J. (1994). What is property?
(D. R. Kelley & B. G. Smith, Trans.). Cambridge University Press.
Rawls, J. (1993). Political liberalism.
Columbia University Press.
Rocker, R. (1989). Anarcho-syndicalism: Theory
and practice. Pluto Press.
Sauter, M. (2014). The coming swarm: DDOS
actions, hacktivism, and civil disobedience on the internet. Bloomsbury.
Schmidinger, T. (2018). Rojava: Revolution, war
and the future of Syria’s Kurds. Pluto Press.
Sitrin, M., & Azzellini, D. (2014). They
can’t represent us!: Reinventing democracy from Greece to Occupy. Verso.
Skirda, A. (2004). Nestor Makhno: Anarchy’s
Cossack (P. Sharkey, Trans.). AK Press.
Stirner, M. (1907). The ego and its own (S.
T. Byington, Trans.). Benjamin R. Tucker.
Tolstoy, L. (1894). The kingdom of God is within
you (C. Garnett, Trans.). Cassell.
Tucker, B. R. (1893). Instead of a book, by a
man too busy to write one. Benjamin R. Tucker.
Walzer, M. (1983). Spheres of justice: A defense
of pluralism and equality. Basic Books.
Ward, C. (1973). Anarchy in action. Freedom
Press.
Williams, K. (2004). Our enemies in blue: Police
and power in America. Soft Skull Press.
Zerzan, J. (1988). Elements of refusal. Left
Bank Books.
Zerzan, J. (2012). Future primitive revisited.
Feral House.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar