Selasa, 10 Juni 2025

Anarkisme: Sejarah, Gagasan Pokok, dan Relevansi Kontemporer

Anarkisme

Sejarah, Gagasan Pokok, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sosial-Politik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif anarkisme sebagai salah satu aliran penting dalam filsafat sosial-politik. Dimulai dengan penelusuran konseptual dan historis, kajian ini mengeksplorasi prinsip-prinsip dasar anarkisme seperti anti-otoritarianisme, kebebasan individu, solidaritas, dan penolakan terhadap negara dan hierarki kekuasaan. Berbagai aliran dalam anarkisme—dari anarkisme individualis hingga post-anarkisme—dianalisis dalam konteks keragaman pendekatan dan strategi perjuangan. Selain itu, artikel ini meninjau pengalaman historis anarkisme dalam gerakan sosial seperti Revolusi Spanyol, Makhnovia di Ukraina, Zapatista di Meksiko, dan eksperimentasi politik di Rojava, Suriah.

Di tengah krisis multidimensi abad ke-21, seperti kerusakan iklim, ketimpangan ekonomi global, otoritarianisme digital, dan delegitimasi demokrasi liberal, anarkisme menunjukkan relevansi baru sebagai paradigma alternatif. Melalui interseksinya dengan feminisme, ekologi radikal, teknologi digital, dan gerakan sosial kontemporer, anarkisme bukan hanya bertahan sebagai kritik struktural, tetapi juga berkembang menjadi praksis transformatif. Di sisi lain, artikel ini juga mengkaji kritik dan tantangan terhadap anarkisme, termasuk tuduhan utopis, problem koordinasi sosial, dan fragmentasi internal. Dengan pendekatan yang multidisipliner dan sumber-sumber akademik kredibel, tulisan ini menawarkan pemahaman menyeluruh mengenai anarkisme sebagai tradisi pemikiran yang dinamis dan kontekstual dalam diskursus politik kontemporer.

Kata Kunci: Anarkisme; filsafat sosial-politik; anti-otoritarianisme; demokrasi langsung; solidaritas; mutualisme; feminisme anarkis; ekologi sosial; kapitalisme global; otoritarianisme digital.


PEMBAHASAN

Anarkisme dalam Filsafat Sosial-Politik


1.           Pendahuluan

Filsafat sosial-politik merupakan cabang filsafat yang secara khusus membahas struktur, legitimasi, serta dinamika kekuasaan dan keadilan dalam masyarakat. Dalam bidang ini, beragam aliran pemikiran muncul sebagai respons terhadap persoalan ketimpangan sosial, otoritarianisme, dan relasi kekuasaan yang timpang. Salah satu aliran yang menempati posisi unik dalam diskursus ini adalah anarkisme—sebuah pendekatan radikal yang secara konsisten menolak bentuk-bentuk dominasi dan hirarki, terutama yang diwujudkan dalam negara, kapitalisme, dan institusi otoriter lainnya.

Anarkisme seringkali disalahpahami sebagai sinonim dari kekacauan atau nihilisme sosial. Padahal, secara filosofis dan historis, anarkisme memiliki fondasi intelektual yang kuat dan kerangka etis yang konsisten. Ia bukan semata penolakan terhadap negara, melainkan suatu visi positif tentang masyarakat yang bebas, egaliter, dan didasarkan pada asosiasi sukarela serta solidaritas antarmanusia. Dalam pandangan Noam Chomsky, anarkisme adalah "tendensi untuk mengidentifikasi struktur-struktur kekuasaan, mempertanyakannya, dan menghapusnya bila tidak dapat dibenarkan secara rasional."¹

Kehadiran anarkisme sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik dapat dilacak sejak akhir abad ke-18, namun ide-idenya memiliki akar yang jauh lebih tua, sebagaimana terlihat dalam filsafat klasik seperti Stoikisme dan Taoisme.² Dalam perkembangannya, anarkisme menjadi bagian penting dari gerakan sosial abad ke-19 dan ke-20, terutama dalam perjuangan melawan kapitalisme industri dan otoritarianisme negara. Tokoh-tokoh seperti Pierre-Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, dan Peter Kropotkin tidak hanya mengembangkan teori anarkis, tetapi juga terlibat dalam praksis sosial-politik yang konkret, menjadikan anarkisme lebih dari sekadar teori abstrak.³

Pada abad ke-21, anarkisme mengalami kebangkitan kembali, terutama dalam konteks perlawanan terhadap globalisasi neoliberal, krisis ekologis, dan kebangkitan pemerintahan otoriter. Gerakan seperti Occupy Wall Street, Zapatista, dan konfederasi demokratis di Rojava menunjukkan bahwa anarkisme bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga strategi politik yang relevan untuk masa kini.⁴ Anarkisme menjadi semakin penting untuk dikaji ulang, tidak hanya sebagai bentuk perlawanan, tetapi juga sebagai tawaran konstruktif terhadap tatanan sosial-politik yang lebih manusiawi, adil, dan berkelanjutan.

Melalui artikel ini, penulis bermaksud untuk menyajikan kajian komprehensif tentang anarkisme sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik. Pembahasan akan mencakup aspek historis, prinsip-prinsip dasar, ragam aliran, hingga relevansinya dalam konteks kontemporer. Harapannya, pembaca dapat memahami anarkisme secara objektif dan kritis, serta menilai kontribusinya dalam upaya membangun masyarakat yang bebas dari penindasan dan dominasi struktural.


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Chomsky on Anarchism, ed. Barry Pateman (Oakland: AK Press, 2005), 178.

[2]                Todd May, The Political Philosophy of Poststructuralist Anarchism (University Park: Pennsylvania State University Press, 1994), 8–9.

[3]                George Woodcock, Anarchism: A History of Libertarian Ideas and Movements (New York: Meridian, 1962), 89–112.

[4]                Uri Gordon, Anarchy Alive!: Anti-Authoritarian Politics from Practice to Theory (London: Pluto Press, 2008), 45–67.


2.           Landasan Konseptual: Apa itu Anarkisme?

Anarkisme adalah suatu paham dalam filsafat sosial-politik yang menolak semua bentuk dominasi, otoritas yang memaksa, dan struktur kekuasaan yang hierarkis, terutama negara. Dalam pengertian paling dasar, istilah "anarkisme" berasal dari bahasa Yunani an-arkhē, yang secara harfiah berarti “tanpa penguasa” (an = tanpa, arkhē = pemerintahan/kekuasaan).¹ Namun, pengertian ini tidak serta-merta berarti kekacauan atau ketidakteraturan sebagaimana sering diasosiasikan dalam penggunaan populer. Sebaliknya, anarkisme merupakan suatu kerangka etis dan politis yang mendukung tatanan sosial yang dibangun di atas prinsip kebebasan individu, solidaritas, dan asosiasi sukarela, tanpa paksaan institusional.

Dalam tradisi filsafat politik Barat, anarkisme dapat dianggap sebagai reaksi ekstrem terhadap legitimasi negara. Jika liberalisme membela negara sebagai penjamin kebebasan individu dan sosialisme memperjuangkan negara sebagai alat distribusi keadilan sosial, maka anarkisme mempertanyakan eksistensi negara itu sendiri.² Menurut definisi klasik dari Peter Kropotkin, salah satu tokoh sentral dalam anarko-komunisme, anarkisme adalah “sebuah teori tentang organisasi sosial berdasarkan kebebasan individu, solidaritas, dan kerja sama sukarela, tanpa intervensi dari lembaga koersif seperti negara.”³

Para anarkis melihat kekuasaan yang tersentralisasi dan terlembagakan sebagai sumber utama penindasan. Mereka menganggap bahwa negara, dengan aparatus hukumnya, militernya, dan birokrasinya, cenderung memfasilitasi dominasi kelas-kelas penguasa atas masyarakat. Dalam pandangan ini, hukum bukanlah produk konsensus rasional, melainkan alat untuk melanggengkan kekuasaan tertentu.⁴ Oleh karena itu, penolakan terhadap negara bukan berarti penolakan terhadap organisasi sosial secara umum, melainkan terhadap bentuk-bentuk organisasi yang tidak bersifat sukarela atau egaliter.

Penting untuk membedakan antara anarkisme filosofis dan anarkisme politis. Anarkisme filosofis lebih menekankan kerangka konseptual dan etis tentang kebebasan, tanggung jawab moral, dan anti-otoritarianisme. Tokoh seperti William Godwin dalam Enquiry Concerning Political Justice (1793) mengembangkan dasar-dasar rasionalisme moral yang menolak legitimasi pemerintahan secara prinsipil.⁵ Sementara itu, anarkisme politis mencakup strategi perjuangan sosial dan revolusi, sebagaimana diperjuangkan oleh tokoh-tokoh seperti Mikhail Bakunin dan Emma Goldman, yang memandang pembebasan sosial sebagai hasil dari perjuangan kolektif melawan kapitalisme dan negara.⁶

Meskipun beragam dalam bentuk dan pendekatannya, seluruh varian anarkisme bersatu dalam semangat anti-otoritarianisme, yaitu keyakinan bahwa semua bentuk kekuasaan harus terus-menerus diuji secara rasional dan dihapus bila tidak dapat dibenarkan. Anarkisme menolak paksaan sebagai prinsip pengorganisasian masyarakat, dan menggantinya dengan prinsip kebebasan, kerja sama, dan tanggung jawab bersama.⁷ Oleh karena itu, anarkisme tidak hanya merupakan teori pembebasan, tetapi juga upaya penciptaan masyarakat alternatif yang bebas dari dominasi struktural.


Footnotes

[1]                Colin Ward, Anarchy in Action (London: Freedom Press, 1973), 13.

[2]                Alan Ritter, Anarchism: A Theoretical Analysis (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 1–4.

[3]                Peter Kropotkin, Anarchism: Its Philosophy and Ideal, trans. Marshall S. Shatz (New York: Dover Publications, 2002), 9–12.

[4]                David Graeber, The Democracy Project: A History, a Crisis, a Movement (New York: Spiegel & Grau, 2013), 114–117.

[5]                William Godwin, Enquiry Concerning Political Justice and Its Influence on Morals and Happiness (London: G.G. and J. Robinson, 1793), vol. 1, 140–148.

[6]                Emma Goldman, Anarchism and Other Essays, ed. Hippolyte Havel (New York: Mother Earth Publishing Association, 1910), 49–65.

[7]                Noam Chomsky, Chomsky on Anarchism, ed. Barry Pateman (Oakland: AK Press, 2005), 137.


3.           Sejarah Perkembangan Anarkisme

Meskipun anarkisme sering dianggap sebagai produk modernitas, ide-ide dasar yang menopangnya memiliki akar yang jauh lebih tua. Gagasan tentang masyarakat tanpa penguasa, organisasi sosial berbasis kebebasan dan solidaritas, serta penolakan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang, telah muncul dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah peradaban manusia.

3.1.       Akar-Akar Awal dalam Pemikiran Kuno dan Abad Pertengahan

Bentuk-bentuk awal pemikiran anarkis dapat ditemukan dalam tradisi filsafat Timur maupun Barat. Dalam Tao Te Ching, Laozi menyerukan kehidupan yang harmonis dengan alam dan menolak campur tangan pemerintah yang berlebihan, suatu etos yang kelak mengilhami anarkisme ekologi.¹ Demikian pula, para filsuf Stoik seperti Zeno dari Citium membayangkan suatu masyarakat yang diatur bukan oleh hukum negara, tetapi oleh akal budi dan kebajikan, tanpa struktur pemerintahan yang dipaksakan.²

Di Eropa abad pertengahan, pemikiran-pemikiran yang menolak otoritas hierarkis juga dapat ditemukan dalam gerakan mistik dan keagamaan radikal, seperti kaum Brethren of the Free Spirit dan Hussites, yang mempertanyakan kekuasaan Gereja dan negara.³ Meskipun belum dapat dikategorikan sebagai anarkisme sistematik, gerakan-gerakan ini mencerminkan kecenderungan historis menuju pembebasan dari otoritas terpusat.

3.2.       Anarkisme Modern: Abad ke-18 dan 19

Anarkisme sebagai doktrin filosofis dan gerakan sosial-politik mulai terbentuk pada akhir abad ke-18, terutama melalui karya William Godwin (1756–1836), yang dianggap sebagai bapak anarkisme modern. Dalam Enquiry Concerning Political Justice (1793), Godwin mengajukan kritik radikal terhadap negara dan hukum, serta mempromosikan rasionalitas moral individu sebagai dasar organisasi sosial.⁴

Pada pertengahan abad ke-19, pemikiran anarkis mulai berkembang menjadi gerakan politik yang lebih eksplisit. Pierre-Joseph Proudhon (1809–1865), seorang ekonom dan filsuf Prancis, terkenal dengan pernyataannya “La propriété, c’est le vol!” (Kepemilikan adalah pencurian), yang menggambarkan sikap kritis anarkisme terhadap kepemilikan privat dan kapitalisme.⁵ Proudhon mengembangkan gagasan mutualisme, yaitu sistem ekonomi berbasis kerja sama sukarela dan tukar-menukar yang setara.

Tokoh penting lainnya adalah Mikhail Bakunin (1814–1876), seorang anarkis Rusia yang menentang sentralisme dalam sosialisme Marxian. Bakunin menekankan pentingnya revolusi spontan rakyat dan menolak semua bentuk kekuasaan yang terpusat, termasuk kediktatoran proletariat.⁶ Sementara itu, Peter Kropotkin (1842–1921), juga dari Rusia, mengembangkan anarko-komunisme berdasarkan prinsip solidaritas alamiah dan mutual aid, yang ia anggap sebagai dasar evolusi sosial.⁷

Anarkisme abad ke-19 tidak hanya berkembang sebagai teori, tetapi juga sebagai gerakan revolusioner. Kongres Anti-Otoritarian dalam Internasionale Pertama (1872) menandai perpecahan antara anarkis dan kaum Marxis, memperkuat anarkisme sebagai kekuatan independen dalam perjuangan buruh.⁸

3.3.       Anarkisme Abad ke-20: Antara Revolusi dan Represi

Pada awal abad ke-20, anarkisme menjadi kekuatan penting dalam berbagai gerakan revolusioner, terutama di Spanyol, Italia, dan Rusia. Revolusi Spanyol (1936–1939) merupakan titik kulminasi pengaruh anarkisme, di mana organisasi seperti CNT (Confederación Nacional del Trabajo) dan FAI (Federación Anarquista Ibérica) membentuk struktur sosial alternatif yang egaliter di Catalonia dan wilayah lainnya. Eksperimen ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip anarkisme dapat diwujudkan dalam skala luas, meskipun akhirnya dihancurkan oleh fasisme dan konflik internal.⁹

Namun, sepanjang abad ke-20, anarkisme juga menghadapi gelombang represif dari berbagai rezim, baik fasis, komunis, maupun liberal. Di Uni Soviet, kaum anarkis seperti Nestor Makhno yang berjuang untuk kebebasan Ukraina, ditindas oleh Bolshevik.¹⁰ Di banyak negara Barat, anarkisme dikaitkan dengan kekerasan dan didelegitimasi oleh media dan lembaga negara.

3.4.       Kebangkitan Kembali dan Transformasi Kontemporer

Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, anarkisme mengalami kebangkitan baru dalam bentuk yang lebih terdesentralisasi dan beragam. Gerakan seperti Zapatista di Chiapas, konfederasi demokratis Rojava di Suriah, dan gerakan Occupy Wall Street di AS menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip anarkis seperti otonomi, demokrasi langsung, dan solidaritas kembali digunakan dalam praksis politik kontemporer.¹¹

Selain itu, muncul bentuk-bentuk baru seperti post-anarkisme, yang menggabungkan anarkisme dengan teori post-strukturalis dan menekankan pentingnya identitas, diskursus, dan relasi kekuasaan mikro dalam perjuangan sosial.¹² Hal ini menunjukkan bahwa anarkisme bukanlah dogma beku, melainkan tradisi pemikiran yang terus berkembang, menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Laozi, Tao Te Ching, trans. D.C. Lau (London: Penguin Classics, 1963), 57.

[2]                Peter Marshall, Demanding the Impossible: A History of Anarchism (Oakland: PM Press, 2010), 62–65.

[3]                George Woodcock, Anarchism: A History of Libertarian Ideas and Movements (New York: Meridian, 1962), 28–33.

[4]                William Godwin, Enquiry Concerning Political Justice and Its Influence on Morals and Happiness (London: G.G. and J. Robinson, 1793), vol. 1, 89–103.

[5]                Pierre-Joseph Proudhon, What Is Property?, trans. Donald R. Kelley and Bonnie G. Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 13.

[6]                Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, trans. Marshall S. Shatz (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 135–140.

[7]                Peter Kropotkin, Mutual Aid: A Factor of Evolution (New York: McClure, Philips & Co., 1902), 1–20.

[8]                Daniel Guérin, Anarchism: From Theory to Practice, trans. Mary Klopper (New York: Monthly Review Press, 1970), 23–25.

[9]                Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 44–51.

[10]             Paul Avrich, The Russian Anarchists (Princeton: Princeton University Press, 1967), 181–190.

[11]             Uri Gordon, Anarchy Alive!: Anti-Authoritarian Politics from Practice to Theory (London: Pluto Press, 2008), 56–77.

[12]             Saul Newman, From Bakunin to Lacan: Anti-Authoritarianism and the Dislocation of Power (Lanham: Lexington Books, 2001), 1–10.


4.           Aliran-Aliran dalam Anarkisme

Anarkisme sebagai tradisi pemikiran dan gerakan sosial tidak bersifat monolitik. Sepanjang sejarahnya, anarkisme berkembang dalam berbagai aliran yang mencerminkan perbedaan strategi, orientasi filosofis, serta fokus perjuangan. Meskipun terdapat keragaman, seluruh aliran dalam anarkisme memiliki titik temu dalam penolakan terhadap kekuasaan hierarkis dan dukungan terhadap kebebasan, kerja sama sukarela, dan kesetaraan sosial. Berikut ini adalah beberapa aliran utama dalam anarkisme yang menonjol dalam sejarah dan wacana kontemporer.

4.1.       Anarkisme Individualis

Anarkisme individualis menekankan kebebasan mutlak individu dan penolakan terhadap segala bentuk pengaruh eksternal terhadap kehendak pribadi. Aliran ini berakar pada liberalisme radikal dan filsafat eksistensialis, terutama dalam karya Max Stirner, yang menolak semua institusi, termasuk negara, agama, dan bahkan moralitas konvensional, sebagai bentuk dominasi terhadap “Ego” atau diri yang otonom.¹

Tokoh-tokoh seperti Benjamin Tucker di Amerika Serikat mengembangkan pendekatan ini dengan memadukan anarkisme dengan teori pasar bebas dan kepemilikan berdasarkan penggunaan, bukan akumulasi.² Meskipun sering dikritik karena cenderung solipsistik dan anti-kolektif, anarkisme individualis tetap memainkan peran penting dalam menegaskan dimensi kebebasan pribadi dalam gerakan anarkis.

4.2.       Anarkisme Kolektivis

Anarkisme kolektivis, yang paling dikenal melalui pemikiran Mikhail Bakunin, menekankan penghapusan kepemilikan privat atas alat produksi dan mengusulkan bentuk produksi bersama oleh kolektif pekerja.³ Berbeda dari anarko-komunisme, aliran ini tetap mengakui kompensasi berdasarkan kerja, bukan distribusi penuh berdasarkan kebutuhan.

Aliran ini menggabungkan semangat revolusioner dengan gagasan federasi pekerja sebagai struktur alternatif bagi masyarakat pasca-revolusi. Ia berkembang dalam konteks perjuangan buruh internasional abad ke-19 dan memainkan peran signifikan dalam Internasionale Pertama sebelum terjadinya perpecahan dengan kaum Marxis.⁴

4.3.       Anarko-Komunisme

Anarko-komunisme, yang dikembangkan terutama oleh Peter Kropotkin dan Errico Malatesta, menyerukan penghapusan semua bentuk kepemilikan pribadi dan negara, serta pengorganisasian masyarakat berdasarkan prinsip komunalitas, yaitu distribusi kebutuhan tanpa perantara pasar atau negara.⁵

Menurut Kropotkin, kerja sama sukarela dan mutual aid adalah fondasi biologis dan sosial manusia, dan karena itu masyarakat tanpa paksaan dapat berkembang secara alami.⁶ Anarko-komunisme sering diidentifikasi sebagai bentuk anarkisme yang paling egaliter dan radikal dalam menghapus hirarki ekonomi dan politik.

4.4.       Anarko-Sindikalisme

Anarko-sindikalisme muncul sebagai respons terhadap kondisi kerja kapitalistik, dengan fokus pada perjuangan kelas melalui serikat buruh radikal.⁷ Tokoh pentingnya termasuk Rudolf Rocker dan organisasi seperti Confederación Nacional del Trabajo (CNT) di Spanyol.⁸

Dalam pandangan ini, serikat buruh bukan hanya alat perjuangan, tetapi juga embrio dari tatanan masyarakat baru. Melalui aksi langsung, mogok umum, dan pengelolaan kolektif tempat kerja, anarko-sindikalisme menggabungkan strategi praktis dengan idealisme anarkis.

4.5.       Anarko-Primitivisme

Anarko-primitivisme mengkritik peradaban industri dan teknologi sebagai akar dominasi terhadap manusia dan alam. Tokoh-tokoh seperti John Zerzan berpendapat bahwa pertanian, penulisan, dan struktur sosial kompleks telah menciptakan alienasi dan hierarki.⁹ Aliran ini mengidealkan komunitas pramodern yang egaliter dan berorientasi pada keberlangsungan ekologis.

Meskipun aliran ini sering dipandang ekstrem, kontribusinya dalam memperluas spektrum kritik anarkisme terhadap modernitas tidak dapat diabaikan.

4.6.       Anarkisme Hijau dan Ekologis

Berbeda dengan primitivisme, anarkisme ekologis atau anarkisme hijau, sebagaimana dikembangkan oleh Murray Bookchin, tidak menolak teknologi, tetapi mengkritik cara produksi kapitalistik dan struktur sosial hierarkis yang menciptakan krisis ekologis.¹⁰ Bookchin mengusulkan ekologi sosial, yaitu sistem desentralisasi politik dan ekonomi berbasis komunitas yang berkelanjutan dan ekologis.

Aliran ini menjadi sangat relevan dalam konteks krisis iklim global, dan telah menginspirasi praktik langsung seperti sistem konfederasi di Rojava (Suriah), yang menggabungkan prinsip ekologi, demokrasi langsung, dan feminisme.¹¹

4.7.       Post-Anarkisme

Post-anarkisme adalah aliran kontemporer yang menggabungkan anarkisme klasik dengan teori post-strukturalis, terutama melalui pemikiran Saul Newman, Todd May, dan Lewis Call.¹² Aliran ini mengkritik kecenderungan esensialis dalam anarkisme tradisional dan menekankan pentingnya bahasa, diskursus, dan kekuasaan mikro dalam memahami dominasi sosial.

Post-anarkisme membuka ruang bagi pluralitas bentuk perlawanan, termasuk isu gender, ras, dan identitas, menjadikannya relevan dalam konteks perjuangan sosial yang semakin kompleks.


Penutup

Keberagaman aliran dalam anarkisme menunjukkan daya adaptif dan reflektif dari tradisi ini terhadap tantangan sosial-politik yang terus berubah. Meskipun berbeda dalam strategi dan orientasi, seluruh aliran tersebut tetap menjunjung tinggi prinsip dasar anti-otoritarianisme, kebebasan, dan keadilan sosial yang menjadi ciri khas anarkisme.


Footnotes

[1]                Max Stirner, The Ego and Its Own, trans. Steven T. Byington (New York: Benjamin R. Tucker, 1907), 5–12.

[2]                Benjamin R. Tucker, Instead of a Book, by a Man Too Busy to Write One (New York: Benjamin R. Tucker, 1893), 23–30.

[3]                Mikhail Bakunin, God and the State, trans. Benjamin Tucker (New York: Dover Publications, 1970), 28–32.

[4]                Daniel Guérin, Anarchism: From Theory to Practice, trans. Mary Klopper (New York: Monthly Review Press, 1970), 17–24.

[5]                Peter Kropotkin, The Conquest of Bread, trans. Paul Avrich (New York: New York University Press, 1972), 34–42.

[6]                Peter Kropotkin, Mutual Aid: A Factor of Evolution (New York: McClure, Philips & Co., 1902), 61–70.

[7]                Vadim Damier, Anarcho-Syndicalism in the 20th Century, trans. Malcolm Archibald (Oakland: Black Cat Press, 2009), 45–52.

[8]                Rudolf Rocker, Anarcho-Syndicalism: Theory and Practice (London: Pluto Press, 1989), 17–21.

[9]                John Zerzan, Elements of Refusal (Seattle: Left Bank Books, 1988), 113–126.

[10]             Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 85–91.

[11]             Debbie Bookchin and Michael Schwartz, The Next Revolution: Popular Assemblies and the Promise of Direct Democracy (London: Verso, 2015), 132–141.

[12]             Saul Newman, The Politics of Postanarchism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 1–14.


5.           Prinsip-Prinsip Dasar Anarkisme

Anarkisme sebagai aliran dalam filsafat sosial-politik dibangun atas seperangkat prinsip normatif yang konsisten menolak dominasi struktural dan otoritas yang dipaksakan. Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjadi dasar teoritis dari anarkisme, tetapi juga membimbing praktik-praktik sosial yang dikehendaki oleh para anarkis. Lima prinsip utama berikut merupakan inti dari pemikiran anarkis lintas aliran.

5.1.       Anti-Otoritarianisme

Anti-otoritarianisme merupakan fondasi utama dari seluruh varian anarkisme. Para anarkis meyakini bahwa semua bentuk otoritas harus diuji secara kritis dan ditolak jika tidak dapat dibenarkan secara rasional dan moral. Noam Chomsky menyatakan bahwa prinsip dasar anarkisme adalah “upaya untuk mengidentifikasi struktur otoritas dan mendemonstrasikan bahwa struktur tersebut tidak sah, lalu menolaknya.”¹ Struktur otoriter—baik dalam bentuk negara, militer, birokrasi, agama institusional, maupun keluarga patriarkal—dipandang sebagai penghalang bagi kebebasan manusia.

5.2.       Otonomi Individu dan Kebebasan

Anarkisme memandang kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam organisasi sosial. Namun, kebebasan dalam anarkisme bukanlah kebebasan egoistik yang merugikan orang lain, melainkan kebebasan yang dikaitkan erat dengan tanggung jawab sosial. William Godwin berargumen bahwa setiap individu, melalui akal dan moralitasnya, memiliki kapasitas untuk bertindak secara bebas tanpa dikendalikan oleh kekuasaan eksternal.² Oleh karena itu, anarkisme menolak sistem yang memperlakukan individu sebagai objek subordinasi, termasuk negara, sistem upah, dan struktur hukum koersif.

5.3.       Solidaritas dan Asosiasi Sukarela

Prinsip kerja sama sukarela dan solidaritas sosial menjadi pengimbang dari individualisme anarkis. Kropotkin, dalam Mutual Aid, menyatakan bahwa kerja sama dan saling membantu merupakan kunci kelangsungan hidup manusia dan hewan dalam evolusi, bertentangan dengan ide Darwinisme sosial yang menekankan kompetisi.³ Dalam masyarakat anarkis, hubungan antarindividu dan kelompok didasarkan pada kesepakatan bebas, bukan paksaan, sehingga terbentuk jaringan horizontal yang mendukung kebebasan dan keseimbangan sosial.

5.4.       Penolakan terhadap Negara dan Hirarki Kekuasaan

Penolakan terhadap negara adalah ciri khas yang membedakan anarkisme dari bentuk filsafat politik lainnya. Negara dianggap sebagai manifestasi tertinggi dari otoritas paksa yang melanggengkan ketimpangan kekuasaan dan penindasan. Bakunin menyebut negara sebagai “tempat penjelmaan kekerasan institusional,” yang tak pernah netral, tetapi selalu berpihak pada kelas yang dominan.⁴ Anarkisme menentang hierarki dalam segala bentuknya—baik ekonomi, politik, maupun sosial—karena dianggap merusak kebebasan dan martabat manusia.

5.5.       Etika Mutualisme dan Gotong Royong

Mutualisme, terutama dalam gagasan Proudhon, merupakan prinsip ekonomi dan moral yang menolak eksploitasi.⁵ Dalam praktiknya, mutualisme berarti sistem pertukaran yang adil, kepemilikan berbasis penggunaan, dan pengelolaan kolektif atas sumber daya bersama.⁶ Konsep ini tidak hanya berlaku dalam ranah ekonomi, tetapi juga dalam interaksi sosial sehari-hari yang mengandalkan kepercayaan, timbal balik, dan gotong royong tanpa dominasi satu pihak atas yang lain.

Etika anarkis sangat menekankan bahwa struktur sosial harus dibangun dari bawah ke atas (bottom-up), dengan partisipasi langsung masyarakat, tanpa perantara institusi yang mendominasi. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar anarkisme bukanlah utopia abstrak, tetapi tawaran normatif untuk menciptakan masyarakat yang lebih manusiawi, adil, dan bebas dari dominasi sistemik.


Kesimpulan Sementara

Kelima prinsip dasar di atas menjadi benang merah yang menjalin keberagaman aliran dalam anarkisme menjadi suatu kerangka pemikiran dan tindakan yang koheren. Prinsip-prinsip ini menolak asumsi dasar dari ideologi dominan tentang kekuasaan, produksi, dan organisasi masyarakat. Dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh krisis demokrasi, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan global, prinsip-prinsip ini semakin relevan sebagai dasar untuk merancang alternatif sosial-politik yang radikal dan berkeadaban.


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Chomsky on Anarchism, ed. Barry Pateman (Oakland: AK Press, 2005), 178.

[2]                William Godwin, Enquiry Concerning Political Justice and Its Influence on Morals and Happiness (London: G.G. and J. Robinson, 1793), vol. 1, 102–104.

[3]                Peter Kropotkin, Mutual Aid: A Factor of Evolution (New York: McClure, Philips & Co., 1902), 1–15.

[4]                Mikhail Bakunin, Statism and Anarchy, trans. Marshall S. Shatz (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 135.

[5]                Pierre-Joseph Proudhon, What Is Property?, trans. Donald R. Kelley and Bonnie G. Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 119–126.

[6]                Iain McKay, ed., An Anarchist FAQ, vol. 1 (Oakland: AK Press, 2008), 147–155.


6.           Kritik Anarkisme terhadap Institusi Sosial-Politik

Salah satu kontribusi mendasar anarkisme dalam filsafat sosial-politik adalah kritik radikalnya terhadap institusi-institusi dominan dalam masyarakat modern. Anarkisme tidak hanya menentang negara, tetapi juga mengkritik struktur-struktur sosial yang menopang kekuasaan hierarkis, termasuk kapitalisme, hukum, militer, pendidikan, dan agama institusional. Kritik-kritik ini didasarkan pada prinsip bahwa institusi-institusi tersebut cenderung melanggengkan ketimpangan, dominasi, dan keterasingan manusia dari potensi pembebasannya.

6.1.       Kritik terhadap Negara dan Pemerintahan

Anarkisme menolak legitimasi negara sebagai institusi politik yang sah. Negara dianggap sebagai sumber dominasi struktural dan kekerasan yang dilembagakan. Mikhail Bakunin menyebut negara sebagai "perwujudan kekuasaan minoritas atas mayoritas," yang memaksakan kehendaknya melalui hukum, polisi, dan militer.¹ Dalam pandangan ini, negara tidak netral, melainkan alat bagi kelas penguasa untuk mempertahankan kendali atas sumber daya dan kehidupan sosial.

Peter Kropotkin menambahkan bahwa negara tidak hanya menghambat kebebasan individu, tetapi juga mematikan inisiatif kolektif dan solidaritas komunitas.² Ia percaya bahwa struktur masyarakat yang berdasarkan sentralisasi kekuasaan bertentangan dengan prinsip-prinsip kehidupan sosial yang sehat dan adil. Dengan demikian, solusi anarkis bukanlah reformasi negara, tetapi penghapusannya dan penggantian dengan federasi komunitas bebas.

6.2.       Kritik terhadap Kapitalisme dan Kepemilikan Privat

Kapitalisme dikritik oleh para anarkis sebagai sistem ekonomi yang berakar pada eksploitasi tenaga kerja dan konsentrasi kekayaan. Pierre-Joseph Proudhon menyatakan secara provokatif bahwa “properti adalah pencurian” (la propriété, c’est le vol!), dengan maksud bahwa kepemilikan atas alat produksi yang tidak berdasarkan penggunaan melahirkan ketimpangan dan perampasan kerja orang lain.³

Anarko-komunisme, seperti yang dikembangkan oleh Kropotkin, menolak sistem upah dan pembagian kerja kapitalistik, dan menyerukan distribusi sumber daya berdasarkan kebutuhan, bukan pasar.⁴ Dalam sistem kapitalisme, para anarkis melihat reproduksi bentuk-bentuk dominasi ekonomi yang menyatu dengan struktur politik negara, menciptakan kelas yang tidak hanya tertindas, tetapi juga dimiskinkan secara sistemik.

6.3.       Kritik terhadap Hukum, Polisi, dan Militer

Dalam pandangan anarkis, hukum bukanlah perwujudan keadilan universal, melainkan kodifikasi nilai-nilai kelas penguasa. David Graeber menegaskan bahwa hukum modern berfungsi untuk mengatur kepatuhan, bukan untuk mendorong kebajikan sosial, dan bahwa kekuatan hukum sangat tergantung pada kekerasan koersif.⁵

Institusi-institusi seperti polisi dan militer dilihat sebagai instrumen utama dari kekerasan negara yang dilembagakan. Para anarkis menyatakan bahwa keberadaan militer tidak hanya digunakan untuk menghadapi ancaman eksternal, tetapi juga untuk menundukkan masyarakat sipil, terutama dalam menghadapi gerakan protes dan perlawanan rakyat.⁶

6.4.       Kritik terhadap Lembaga Pendidikan

Anarkisme juga melancarkan kritik terhadap pendidikan formal, terutama sistem sekolah yang dikendalikan oleh negara. Dalam pandangan tokoh-tokoh seperti Francisco Ferrer dan Ivan Illich, pendidikan modern sering kali bersifat indoktrinatif dan mencetak ketaatan terhadap otoritas alih-alih membina kebebasan berpikir.⁷ Pendidikan yang sejati, menurut mereka, harus membebaskan dan didasarkan pada rasa ingin tahu alami serta partisipasi sukarela.

Anarkisme mendukung pendidikan yang bebas, non-hirarkis, dan terintegrasi dalam kehidupan sosial, bukan pendidikan yang terpisah dari realitas masyarakat dan tunduk pada birokrasi.⁸

6.5.       Kritik terhadap Agama Institusional

Agama, terutama dalam bentuknya yang terlembagakan, juga menjadi objek kritik anarkis. Bakunin secara keras menyatakan bahwa “jika Tuhan ada, maka Ia harus dibunuh,” sebagai metafora terhadap peran agama dalam menjustifikasi otoritas dan ketundukan manusia.⁹ Bagi para anarkis, institusi agama sering kali berpadu dengan negara dalam meneguhkan struktur patriarkal dan kekuasaan moral yang represif.

Meski begitu, perlu dibedakan bahwa tidak semua anarkis menolak religiositas personal. Beberapa aliran, seperti anarkisme Kristen, mengembangkan etika kasih dan komunitas sukarela sebagai bentuk kritik terhadap agama yang institusional dan otoriter.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Kritik anarkisme terhadap institusi sosial-politik bersifat menyeluruh dan mendasar, karena anarkisme tidak sekadar mengecam hasil dari struktur kekuasaan, tetapi menolak fondasi ideologis dan praktis dari sistem yang ada. Kritik ini memberikan kerangka alternatif untuk membayangkan masyarakat yang lebih bebas, egaliter, dan kooperatif, sekaligus membuka ruang bagi eksplorasi bentuk-bentuk kehidupan sosial yang tidak bergantung pada dominasi dan paksaan.


Footnotes

[1]                Mikhail Bakunin, God and the State, trans. Benjamin Tucker (New York: Dover Publications, 1970), 13–15.

[2]                Peter Kropotkin, The State: Its Historic Role, trans. Vernon Richards (London: Freedom Press, 1946), 22–28.

[3]                Pierre-Joseph Proudhon, What Is Property?, trans. Donald R. Kelley and Bonnie G. Smith (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 13–19.

[4]                Peter Kropotkin, The Conquest of Bread, trans. Paul Avrich (New York: New York University Press, 1972), 36–47.

[5]                David Graeber, The Democracy Project: A History, a Crisis, a Movement (New York: Spiegel & Grau, 2013), 114–117.

[6]                Kristian Williams, Our Enemies in Blue: Police and Power in America (Brooklyn: Soft Skull Press, 2004), 43–55.

[7]                Francisco Ferrer, The Origin and Ideals of the Modern School (New York: Knickerbocker Press, 1913), 9–15.

[8]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 1–20.

[9]                Mikhail Bakunin, God and the State, 23.

[10]             Jacques Ellul, Anarchy and Christianity, trans. Geoffrey W. Bromiley (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 12–22.


7.           Strategi Perjuangan dan Implementasi Sosial

Anarkisme tidak hanya menyajikan kritik radikal terhadap institusi sosial-politik dominan, tetapi juga mengusulkan strategi perjuangan dan model implementasi sosial yang bertujuan membangun masyarakat tanpa dominasi, hierarki, dan eksploitasi. Strategi-strategi tersebut bersifat desentralistis, horizontal, dan nonotoriter, sejalan dengan prinsip-prinsip dasar anarkisme. Perjuangan anarkis lebih menekankan pada proses transformasi sosial dari bawah (bottom-up) melalui partisipasi langsung rakyat, daripada melalui perebutan kekuasaan negara atau institusi sentralistik.

7.1.       Aksi Langsung (Direct Action)

Aksi langsung adalah metode utama perjuangan anarkis yang berarti bertindak tanpa perantara otoritas untuk mencapai perubahan sosial secara langsung. Ini bisa berupa mogok kerja, sabotase, pendudukan lahan, pemogokan sewa, hingga pembentukan kolektif-kolektif swakelola.¹ Aksi langsung mencerminkan keyakinan bahwa pembebasan sejati tidak datang dari perwakilan politik atau lembaga negara, tetapi dari inisiatif dan tindakan bersama rakyat itu sendiri.

Rudolf Rocker menjelaskan bahwa aksi langsung adalah cara bagi rakyat untuk "mengorganisasi kekuatannya sendiri tanpa bergantung pada struktur kekuasaan eksternal."² Dalam konteks kontemporer, strategi ini terlihat dalam gerakan Occupy Wall Street dan Extinction Rebellion, yang menolak pendekatan birokratis dalam memperjuangkan perubahan.

7.2.       Organisasi Sosial Berbasis Kolektif dan Komunal

Para anarkis mempraktikkan model organisasi sosial yang bersifat horizontal dan sukarela. Bentuk konkret dari implementasi sosial ini adalah kolektif anarkis, komune otonom, dan serikat pekerja anarko-sindikalis, yang beroperasi tanpa hierarki tetap dan berbasis pada konsensus atau demokrasi langsung.³

Contoh historis dari penerapan ini dapat dilihat dalam Revolusi Spanyol (1936–1939), ketika para anarkis di bawah CNT-FAI mengorganisasi komune-komune agraria dan industri yang berhasil menggantikan sistem kapitalis dan birokratis dengan kontrol kolektif oleh pekerja.⁴ Eksperimen ini menunjukkan kemungkinan riil pengelolaan sosial-ekonomi secara anarkis dalam skala besar.

7.3.       Desentralisasi dan Federasi Bebas

Anarkisme menolak bentuk-bentuk sentralisasi kekuasaan dan sebagai gantinya mempromosikan federasi bebas dari komunitas-komunitas otonom. Dalam model ini, unit-unit sosial yang kecil dan mandiri—seperti komune, asosiasi pekerja, atau serikat—bergabung secara sukarela ke dalam jaringan federatif untuk kerja sama, tanpa kehilangan otonomi lokal.⁵

Peter Kropotkin berpendapat bahwa federasi bebas memungkinkan “pengorganisasian tanpa pusat” yang memberikan ruang luas bagi kebebasan dan kreativitas sosial.⁶ Struktur semacam ini telah menjadi inspirasi dalam berbagai gerakan anarkis kontemporer, seperti di wilayah Rojava, Suriah, di mana model konfederalisme demokratis diterapkan untuk mengelola masyarakat multietnis dan multireligius secara egaliter.⁷

7.4.       Pendidikan Radikal dan Konscientisasi

Anarkisme juga menekankan pentingnya pendidikan sebagai strategi jangka panjang dalam perjuangan sosial. Pendidikan yang bersifat membebaskan—berlawanan dengan pendidikan negara yang cenderung menyeragamkan—dianggap sebagai sarana utama untuk membentuk kesadaran kritis dan otonomi individu.⁸

Model seperti sekolah modern (Escuela Moderna) yang dirintis oleh Francisco Ferrer berupaya menciptakan ruang pembelajaran yang bebas dari dogma, paksaan, dan otoritas guru sebagai figur dominan.⁹ Pendidikan radikal dalam anarkisme menekankan partisipasi aktif, kebebasan eksplorasi, dan hubungan horizontal antara pengajar dan peserta didik.

7.5.       Perlawanan Non-Kekerasan vs Aksi Militan

Anarkisme mencakup spektrum strategi yang luas, dari perlawanan damai dan non-kekerasan hingga aksi militan. Beberapa tokoh seperti Leo Tolstoy mengusung anarkisme Kristen yang menolak segala bentuk kekerasan, menekankan kasih dan pengampunan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan.¹⁰

Namun, sejarah anarkisme juga mencatat penggunaan aksi militan atau kekerasan revolusioner oleh sebagian kelompok, seperti aksi individu (propaganda by the deed) yang dilakukan oleh anarkis radikal pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.¹¹ Meskipun demikian, banyak anarkis kontemporer menolak kekerasan sebagai strategi utama, dan lebih mengedepankan aksi kolektif, pengorganisasian akar rumput, serta pembentukan lembaga alternatif.


Kesimpulan Sementara

Strategi perjuangan dalam anarkisme tidak terpusat pada perebutan kekuasaan formal, melainkan pada pembangunan dunia baru "di dalam cangkang dunia lama." Implementasi sosial anarkis bersifat inkremental, partisipatoris, dan berdasarkan prinsip swakelola. Hal ini menegaskan bahwa anarkisme bukan hanya gerakan protes, tetapi juga praksis konstruktif dalam menciptakan masyarakat alternatif yang membebaskan.


Footnotes

[1]                Colin Ward, Anarchy in Action (London: Freedom Press, 1973), 84–89.

[2]                Rudolf Rocker, Anarcho-Syndicalism: Theory and Practice (London: Pluto Press, 1989), 34.

[3]                Iain McKay, ed., An Anarchist FAQ, vol. 1 (Oakland: AK Press, 2008), 204–212.

[4]                Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 45–50.

[5]                Daniel Guérin, Anarchism: From Theory to Practice, trans. Mary Klopper (New York: Monthly Review Press, 1970), 28–32.

[6]                Peter Kropotkin, The Conquest of Bread, trans. Paul Avrich (New York: New York University Press, 1972), 95–101.

[7]                Debbie Bookchin and Michael Schwartz, The Next Revolution: Popular Assemblies and the Promise of Direct Democracy (London: Verso, 2015), 136–145.

[8]                Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1971), 7–18.

[9]                Francisco Ferrer, The Origin and Ideals of the Modern School (New York: Knickerbocker Press, 1913), 22–29.

[10]             Leo Tolstoy, The Kingdom of God Is Within You, trans. Constance Garnett (New York: Cassell, 1894), 158–165.

[11]             Paul Avrich, The Haymarket Tragedy (Princeton: Princeton University Press, 1984), 140–145.


8.           Anarkisme dalam Praktik Historis

Meskipun sering dianggap utopis, anarkisme memiliki sejarah panjang sebagai gerakan praksis yang mewujudkan prinsip-prinsipnya dalam bentuk komunitas, organisasi, dan revolusi nyata. Praktik anarkis telah muncul dalam berbagai konteks geografis dan historis, membuktikan bahwa anarkisme bukan sekadar teori spekulatif, melainkan suatu alternatif konkret terhadap sistem dominasi negara dan kapitalisme. Tiga kasus penting yang sering dijadikan rujukan adalah Revolusi Spanyol, pemberontakan anarkis di Ukraina, dan eksperimentasi kontemporer dalam gerakan Zapatista dan Rojava.

8.1.       Revolusi Spanyol (1936–1939): Puncak Praksis Anarko-Sindikalisme

Revolusi Spanyol merupakan contoh paling luas dan sistematis dari implementasi prinsip-prinsip anarkisme dalam skala masyarakat besar. Selama perang sipil Spanyol, organisasi anarko-sindikalis Confederación Nacional del Trabajo (CNT) dan Federación Anarquista Ibérica (FAI) memimpin pengambilalihan pabrik, lahan pertanian, dan layanan publik di wilayah Catalonia, Aragon, dan Levante.¹

Pekerja dan petani menyelenggarakan produksi dan distribusi secara kolektif tanpa campur tangan negara atau pasar kapitalis. Di Barcelona, sekitar 70% perekonomian dikendalikan secara kolektif oleh buruh, yang menerapkan sistem demokrasi langsung di pabrik dan komune.² Peter Gelderloos mencatat bahwa ini adalah "salah satu eksperimen sosial paling ambisius dalam sejarah modern" yang menunjukkan keberhasilan prinsip anarkis dalam skala kota.³

Meskipun pada akhirnya dikalahkan oleh fasisme dan dikhianati oleh faksi-faksi republik dan komunis, Revolusi Spanyol meninggalkan warisan penting bagi gerakan anarkis internasional: bahwa masyarakat egaliter dan non-hirarkis dapat diwujudkan, meskipun dalam kondisi perang.

8.2.       Ukraina: Gerakan Makhnovia (1918–1921)

Setelah Revolusi Rusia 1917, wilayah Ukraina menjadi pusat pemberontakan anarkis yang dipimpin oleh Nestor Makhno, seorang anarkis Ukraina yang memobilisasi kaum petani untuk menentang baik rezim Tsar, pasukan Jerman, maupun Bolshevik. Gerakan ini dikenal sebagai Makhnovia, sebuah wilayah otonom yang dikelola secara egaliter oleh dewan-dewan rakyat lokal (soviet bebas).⁴

Pasukan Makhno (dikenal sebagai Tentara Pemberontakan Revolusioner Ukraina) mengorganisasi pertahanan tanpa struktur militer hierarkis dan mendukung penghapusan negara serta kapitalisme di wilayah-wilayah yang mereka kontrol.⁵

Meskipun awalnya bekerja sama dengan Bolshevik, Makhnovia kemudian dihancurkan oleh Tentara Merah karena perbedaan ideologis yang mendalam—terutama karena Makhno menolak sentralisme dan kediktatoran Partai Komunis.⁶ Kasus ini memperlihatkan ketegangan abadi antara sosialisme otoriter dan anarkisme libertarian dalam revolusi modern.

8.3.       Zapatista: Otonomi dan Perlawanan di Chiapas, Meksiko

Sejak 1994, gerakan Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN) di Chiapas, Meksiko, telah menerapkan prinsip-prinsip anarkisme dalam bentuk otonomi komunitas adat. Meskipun tidak secara eksplisit mengidentifikasi diri sebagai anarkis, struktur dan prinsip gerakan Zapatista mencerminkan nilai-nilai anarkisme: demokrasi langsung, desentralisasi kekuasaan, kesetaraan gender, dan penolakan terhadap neoliberalisme global.⁷

Komunitas-komunitas Zapatista mengelola pendidikan, kesehatan, dan produksi secara mandiri di luar struktur negara. John Holloway menyebut gerakan ini sebagai bentuk “pemberontakan pasif” yang tidak bertujuan merebut kekuasaan, tetapi membangun dunia alternatif secara langsung dari bawah.⁸ Zapatista membuktikan bahwa praktik otonomi dan pengelolaan komunitas berdasarkan konsensus bisa bertahan dan berkembang, bahkan dalam bayang-bayang kekuasaan negara.

8.4.       Rojava: Konfederalisme Demokratis di Suriah Utara

Di tengah kekacauan perang sipil Suriah, wilayah Rojava (Kurdistan Suriah) muncul sebagai eksperimen sosio-politik yang menggabungkan ide-ide Murray Bookchin tentang ekologi sosial dan demokrasi langsung. Dipimpin oleh Partai Persatuan Demokratik (PYD) dan difasilitasi oleh Unit Perlindungan Rakyat (YPG/YPJ), Rojava menerapkan sistem konfederalisme demokratis, yang menekankan pada otonomi lokal, pluralisme etnis, kesetaraan gender, dan perlindungan lingkungan.⁹

Struktur pemerintahan Rojava terdiri dari majelis komunitas, komite akar rumput, dan dewan federatif yang beroperasi secara horizontal dan partisipatif.¹⁰ Meski lahir dari gerakan nasionalis Kurdi, transformasi ideologis PYD menunjukkan pengaruh kuat anarkisme dalam konteks geopolitik Timur Tengah yang kompleks. Model Rojava menginspirasi banyak gerakan anarkis kontemporer sebagai bukti bahwa alternatif non-negara bisa diterapkan secara nyata bahkan di wilayah konflik bersenjata.


Kesimpulan Sementara

Pengalaman historis anarkisme dalam praktik membuktikan bahwa prinsip-prinsipnya dapat diwujudkan dalam kondisi nyata, bahkan dalam situasi yang ekstrem seperti perang, krisis ekonomi, atau penindasan struktural. Meskipun banyak dari eksperimen tersebut berakhir dengan represi dari kekuatan negara atau faksi ideologis lain, mereka tetap memberikan warisan penting: bahwa masyarakat tanpa dominasi dan kekuasaan terpusat bukanlah utopia semata, melainkan kemungkinan riil dalam sejarah sosial-politik manusia.


Footnotes

[1]                Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 44–49.

[2]                George Orwell, Homage to Catalonia (London: Secker & Warburg, 1938), 58–65.

[3]                Peter Gelderloos, Anarchy Works (Charlottesville: Active Distribution, 2010), 102.

[4]                Paul Avrich, The Russian Anarchists (Princeton: Princeton University Press, 1967), 165–179.

[5]                Alexandre Skirda, Nestor Makhno: Anarchy’s Cossack (Oakland: AK Press, 2004), 212–220.

[6]                Michael Malet, Nestor Makhno in the Russian Civil War (London: Macmillan, 1982), 156–160.

[7]                Hilary Klein, Compañeras: Zapatista Women’s Stories (New York: Seven Stories Press, 2015), 45–53.

[8]                John Holloway, Change the World Without Taking Power (London: Pluto Press, 2002), 142.

[9]                Debbie Bookchin and Michael Schwartz, The Next Revolution: Popular Assemblies and the Promise of Direct Democracy (London: Verso, 2015), 132–145.

[10]             Thomas Schmidinger, Rojava: Revolution, War and the Future of Syria’s Kurds (London: Pluto Press, 2018), 87–98.


9.           Anarkisme dan Pemikiran Sosial Kontemporer

Memasuki abad ke-21, anarkisme menunjukkan vitalitas baru dalam lanskap pemikiran sosial kontemporer. Tidak lagi sekadar diasosiasikan dengan gerakan buruh klasik atau revolusi abad ke-19, anarkisme kini terhubung dengan berbagai isu mutakhir seperti feminisme, ekologi radikal, teknologi digital, hingga teori postmodernisme. Transformasi ini menunjukkan bahwa anarkisme bukan sistem dogmatis, melainkan kerangka berpikir yang lentur dan reflektif terhadap perubahan zaman.

9.1.       Anarkisme dan Feminisme

Anarkisme dan feminisme berbagi semangat anti-otoritarianisme, terutama dalam menentang sistem patriarki. Feminisme anarkis menolak tidak hanya ketimpangan gender, tetapi juga relasi kekuasaan dalam keluarga, institusi agama, dan negara.¹ Tokoh-tokoh seperti Emma Goldman menggabungkan kritik terhadap negara dan kapitalisme dengan perjuangan hak-hak perempuan, termasuk kebebasan seksual, kontrol atas tubuh, dan pembebasan dari struktur pernikahan paksa.²

Di era kontemporer, anarko-feminis seperti bell hooks dan Silvia Federici mengeksplorasi hubungan antara kapitalisme, seksisme, dan kerja domestik tak berbayar.³ Pendekatan ini menekankan bahwa pembebasan sejati perempuan tidak dapat dicapai melalui reformasi negara, tetapi melalui transformasi radikal hubungan sosial yang bersifat hirarkis.

9.2.       Anarkisme dan Ekologi Radikal

Krisis ekologis global telah memunculkan bentuk baru anarkisme yang berfokus pada hubungan antara manusia dan alam. Ekologi sosial, sebagaimana dikembangkan oleh Murray Bookchin, mengajukan bahwa krisis ekologi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan akibat dari sistem sosial yang hierarkis dan eksploitatif.⁴ Solusinya bukan hanya daur ulang atau teknologi hijau, tetapi restrukturisasi sosial ke arah komunitas otonom, egaliter, dan ekologis.

Anarkisme ekologis juga terwujud dalam bentuk anarko-primitivisme, yang mengkritik peradaban industri secara fundamental dan menyerukan kembalinya pola hidup komunitarian dan berkelanjutan.⁵ Meskipun sering dipandang ekstrem, pendekatan ini berperan penting dalam memperluas spektrum kritik terhadap modernitas.

9.3.       Anarkisme dan Postmodernisme

Sejak 1990-an, muncul aliran post-anarkisme yang mencoba menggabungkan anarkisme klasik dengan teori-teori poststrukturalis seperti Derrida, Foucault, dan Deleuze. Tokoh seperti Saul Newman berargumen bahwa anarkisme klasik terlalu terikat pada esensialisme—gagasan tentang “manusia alami yang bebas”—dan perlu diperbaharui dengan pemahaman tentang kekuasaan yang tersebar, identitas yang cair, dan politik yang anti-representasional.⁶

Post-anarkisme menawarkan analisis yang lebih halus terhadap relasi kekuasaan, tidak hanya yang bersifat makro (negara, kapitalisme), tetapi juga mikro (norma sosial, wacana, bahasa). Pendekatan ini memperluas medan perjuangan anarkis ke ranah budaya, psikologi, dan seksualitas, menjadikannya relevan dalam konteks sosial yang semakin kompleks dan plural.

9.4.       Anarkisme Digital dan Teknologi Informasi

Kemajuan teknologi informasi membuka medan baru bagi anarkisme, terutama dalam konteks internet, perangkat lunak bebas (open-source), dan gerakan desentralisasi digital. Proyek seperti Linux, Wikipedia, dan Tor Project mengandalkan prinsip kolaborasi sukarela, tanpa otoritas pusat, dan menunjukkan bagaimana produksi pengetahuan dapat dikelola secara horizontal.⁷

Selain itu, praktik hacktivism—seperti kelompok Anonymous—mewakili bentuk baru dari aksi langsung digital, yang menyerang simbol dan infrastruktur kekuasaan dengan cara non-tradisional.⁸ Dalam konteks ini, anarkisme digital berusaha membangun dunia maya sebagai ruang kebebasan dan resistensi terhadap korporasi teknologi dan pengawasan negara.

9.5.       Anarkisme dan Gerakan Sosial Baru

Banyak gerakan sosial kontemporer menunjukkan pengaruh prinsip-prinsip anarkis, baik secara eksplisit maupun implisit. Gerakan seperti Occupy Wall Street, Extinction Rebellion, Black Lives Matter, dan gerakan iklim lainnya mengadopsi struktur non-hirarkis, keputusan konsensus, dan aksi langsung, mencerminkan etos anarkisme sebagai praksis sosial.⁹

Dalam analisisnya terhadap gerakan kontemporer, David Graeber menunjukkan bahwa prinsip-prinsip anarkisme telah menjadi “template” organisasi sosial baru yang menolak representasi, menggantinya dengan partisipasi langsung dan demokrasi radikal.¹⁰ Ini menandakan bahwa anarkisme kini hadir bukan hanya sebagai ideologi, tetapi sebagai cara hidup, berpolitik, dan membangun solidaritas.


Kesimpulan Sementara

Interseksi anarkisme dengan pemikiran sosial kontemporer menunjukkan bahwa ia bukan warisan masa lalu, melainkan kekuatan pemikiran yang terus berevolusi. Dalam respons terhadap kapitalisme global, patriarki, krisis ekologis, dan teknologi pengawasan, anarkisme menawarkan kritik tajam sekaligus alternatif praksis yang konkret. Kehadirannya dalam wacana feminisme, ekologi, postmodernisme, dan gerakan digital menegaskan bahwa anarkisme tetap relevan dan transformatif di tengah tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Chiara Bottici and Benoît Challand, The Myth of the Clash of Civilizations (New York: Routledge, 2010), 127–130.

[2]                Emma Goldman, Anarchism and Other Essays, ed. Hippolyte Havel (New York: Mother Earth Publishing Association, 1910), 158–165.

[3]                Silvia Federici, Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (New York: Autonomedia, 2004), 25–35.

[4]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 41–49.

[5]                John Zerzan, Future Primitive Revisited (Port Townsend: Feral House, 2012), 87–94.

[6]                Saul Newman, The Politics of Postanarchism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 1–12.

[7]                Gabriella Coleman, Coding Freedom: The Ethics and Aesthetics of Hacking (Princeton: Princeton University Press, 2013), 57–61.

[8]                Molly Sauter, The Coming Swarm: DDOS Actions, Hacktivism, and Civil Disobedience on the Internet (London: Bloomsbury, 2014), 21–28.

[9]                Marina Sitrin and Dario Azzellini, They Can’t Represent Us!: Reinventing Democracy from Greece to Occupy (London: Verso, 2014), 115–120.

[10]             David Graeber, Fragments of an Anarchist Anthropology (Chicago: Prickly Paradigm Press, 2004), 7–9.


10.       Kritik dan Tantangan terhadap Anarkisme

Meskipun anarkisme menawarkan visi sosial-politik yang radikal dan membebaskan, ia juga menghadapi beragam kritik dan tantangan, baik dari kalangan liberal, sosialis, maupun filsuf politik konservatif. Kritik-kritik ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga menyasar aspek praktis dari implementasi anarkisme. Evaluasi terhadap kritik ini penting untuk memahami keterbatasan serta potensi pengembangan lebih lanjut dari anarkisme sebagai pendekatan alternatif dalam filsafat sosial-politik.

10.1.    Tuduhan Utopisme dan Ketidakrealistikan

Kritik paling umum terhadap anarkisme adalah bahwa ia utopis dan tidak realistis. Banyak pemikir politik menilai bahwa masyarakat tanpa negara dan otoritas formal tidak mungkin bertahan lama dalam dunia nyata yang kompleks dan penuh konflik. Misalnya, Isaiah Berlin menyebut anarkisme sebagai “harapan romantik” yang mengabaikan fakta tentang sifat manusia yang ambivalen terhadap kekuasaan dan kebutuhan akan struktur sosial.¹

Kritikus menyoroti absennya mekanisme yang dapat menjamin ketertiban sosial dan penyelesaian konflik tanpa adanya otoritas terpusat.² Dalam pandangan ini, pembebasan total dari kekuasaan berisiko melahirkan kekacauan atau penguasaan oleh kelompok yang lebih kuat dalam bentuk informal.

10.2.    Masalah Pengorganisasian dan Koordinasi Sosial

Anarkisme juga dikritik karena dinilai tidak mampu menyediakan model pengorganisasian sosial yang stabil dalam skala besar. Meskipun demokrasi langsung dan asosiasi sukarela dapat berfungsi dalam komunitas kecil, banyak yang meragukan efektivitasnya dalam masyarakat kompleks yang melibatkan jutaan orang, infrastruktur teknis, dan kebutuhan koordinasi makro.³

Michael Walzer menyatakan bahwa bentuk-bentuk deliberatif dan partisipatoris cenderung menjadi tidak efisien seiring bertambahnya skala, serta membuka celah bagi kelelahan partisipasi atau dominasi informal.⁴ Tantangan logistik dan administratif ini memunculkan pertanyaan: apakah prinsip-prinsip anarkisme dapat diterapkan secara berkelanjutan dan merata di seluruh aspek kehidupan modern?

10.3.    Ketiadaan Strategi Transisi yang Jelas

Kritik lainnya menyasar absennya strategi transisi yang realistis dari sistem yang ada menuju masyarakat anarkis. Berbeda dengan Marxisme yang memiliki narasi transisi melalui revolusi proletariat dan diktatoriat transisional, anarkisme sering kali mengandalkan spontanitas dan pembentukan masyarakat alternatif secara bertahap.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa anarkisme kurang memiliki kerangka tahapan yang sistematis untuk mencapai tujuannya.⁵ Bahkan dalam pengalaman sejarah seperti Revolusi Spanyol, banyak pihak menilai bahwa kurangnya strategi militer dan aliansi politik yang kuat menyebabkan kekalahan gerakan anarkis.⁶

10.4.    Ambivalensi terhadap Kekerasan dan Kekuasaan

Anarkisme juga menghadapi dilema etis dan praktis mengenai penggunaan kekerasan. Beberapa aliran, seperti anarkisme pasifis (misalnya Tolstoyan), menolak kekerasan dalam bentuk apa pun, sementara lainnya, seperti anarkisme militan, mendukung tindakan langsung yang bahkan melibatkan kekerasan politik.

Perbedaan ini menciptakan ambivalensi dalam hal legitimasi moral dan efektivitas strategi perjuangan.⁷ Aksi-aksi anarkis radikal di akhir abad ke-19, seperti pembunuhan pemimpin negara atau peledakan fasilitas umum, sering kali memberikan justifikasi kepada negara untuk melakukan represi besar terhadap gerakan anarkis dan merusak citra publik anarkisme.⁸

10.5.    Tantangan Internal: Fragmentasi dan Ketidakterpaduan

Anarkisme tidak memiliki doktrin tunggal atau organisasi pusat, yang di satu sisi mencerminkan komitmen terhadap otonomi, tetapi di sisi lain menimbulkan fragmentasi. Perbedaan tajam antara anarko-komunis, anarko-sindikalis, individualis, dan post-anarkis sering kali mengakibatkan ketidakterpaduan strategi dan visi.⁹

David Miller mencatat bahwa anarkisme cenderung “lebih kuat dalam kritik daripada dalam konstruksi,” karena sulit menyatukan keragaman pendekatan di bawah satu kerangka aksi kolektif yang terkoordinasi.¹⁰ Ini menjadikan anarkisme rentan terhadap kebingungan internal dan konflik ideologis yang menghambat konsolidasi gerakan.


Kesimpulan Sementara

Kritik dan tantangan terhadap anarkisme menyoroti sejumlah kelemahan nyata dalam teori dan praktiknya, mulai dari tuduhan utopisme hingga persoalan koordinasi sosial dan ambivalensi strategi. Namun demikian, banyak anarkis justru melihat kritik ini sebagai kesempatan untuk merefleksikan dan mereformulasi gagasan mereka agar lebih adaptif terhadap realitas kontemporer. Ketahanan anarkisme sebagai tradisi pemikiran dan praktik selama lebih dari dua abad menunjukkan bahwa, meskipun tidak tanpa kelemahan, ia tetap merupakan salah satu wacana paling kritis terhadap kekuasaan yang terlembaga dalam sejarah pemikiran sosial-politik.


Footnotes

[1]                Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 179.

[2]                John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 199–202.

[3]                Samuel Clark, Living Without Domination: The Possibility of an Anarchist Utopia (London: Ashgate, 2007), 123–130.

[4]                Michael Walzer, Spheres of Justice: A Defense of Pluralism and Equality (New York: Basic Books, 1983), 305–308.

[5]                Alex Prichard et al., Anarchism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2022), 62–66.

[6]                Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 56–58.

[7]                Todd May, The Political Philosophy of Poststructuralist Anarchism (University Park: Pennsylvania State University Press, 1994), 92–97.

[8]                Paul Avrich, The Haymarket Tragedy (Princeton: Princeton University Press, 1984), 212–219.

[9]                Iain McKay, ed., An Anarchist FAQ, vol. 1 (Oakland: AK Press, 2008), 17–24.

[10]             David Miller, Anarchism (London: J.M. Dent & Sons, 1984), 132–134.


11.       Relevansi Anarkisme di Abad ke-21

Di tengah arus globalisasi neoliberal, krisis ekologis, otoritarianisme digital, dan disintegrasi kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga konvensional, anarkisme justru menunjukkan relevansi yang semakin kuat di abad ke-21. Bukan sebagai ideologi dogmatis yang bersaing dengan liberalisme atau sosialisme, melainkan sebagai sebuah orientasi praksis yang menginspirasi berbagai gerakan sosial, eksperimen komunitas, dan kritik struktural yang dibutuhkan dalam menghadapi kompleksitas zaman ini.

11.1.    Respons terhadap Krisis Demokrasi dan Negara

Di banyak negara, model demokrasi liberal mengalami stagnasi dan krisis legitimasi. Ketidakpercayaan terhadap partai politik, parlemen, dan birokrasi negara mendorong lahirnya bentuk-bentuk politik akar rumput yang menolak perwakilan elitis. Anarkisme, dengan penekanannya pada demokrasi langsung, pengambilan keputusan kolektif, dan federasi sukarela, menjadi inspirasi bagi gerakan yang mendambakan partisipasi rakyat yang autentik.¹

Gerakan Occupy Wall Street, Gilets Jaunes di Prancis, hingga gerakan pro-demokrasi di Hong Kong menunjukkan kecenderungan ke arah struktur horizontal dan anti-otoriter yang selaras dengan semangat anarkis.² Model pengambilan keputusan konsensus, rotasi kepemimpinan, dan struktur non-hirarkis menjadi strategi populer dalam pengorganisasian aksi sosial kontemporer.

11.2.    Anarkisme sebagai Alternatif terhadap Kapitalisme Global

Ketimpangan ekonomi yang semakin tajam akibat sistem kapitalisme global telah memunculkan pencarian terhadap alternatif ekonomi yang lebih adil dan berkeadaban. Pandemi COVID-19 semakin mengungkap rapuhnya struktur neoliberal dalam menjamin keadilan sosial dan keberlanjutan hidup.

Anarkisme menawarkan perspektif ekonomi berbasis solidaritas, kerja sama, dan produksi komunitas. Gagasan ekonomi berbasis kebutuhan, kolektif pekerja, dan sistem barter atau mutualisme kembali diangkat oleh aktivis komunitas, koperasi pekerja, dan platform ekonomi solidaritas.³ Dalam hal ini, anarkisme berfungsi sebagai laboratorium sosial untuk mengembangkan bentuk-bentuk ekonomi yang menolak eksploitasi dan sentralisasi kapital.

11.3.    Jawaban terhadap Krisis Ekologis dan Kehancuran Iklim

Krisis iklim adalah tantangan eksistensial terbesar umat manusia saat ini. Anarkisme, khususnya melalui tradisi ekologi sosial yang dikembangkan oleh Murray Bookchin, menawarkan kerangka berpikir yang menautkan masalah lingkungan dengan sistem kekuasaan sosial.⁴ Menurut Bookchin, kerusakan lingkungan bukan sekadar akibat ketidaktahuan teknologi, tetapi berakar dari struktur hierarkis dan kapitalistik yang eksploitatif.

Praktik komunitas pertanian kolektif, permakultur, ekovillage, dan desentralisasi energi adalah contoh bagaimana prinsip-prinsip anarkis dapat diterapkan dalam perjuangan ekologis. Gerakan seperti Extinction Rebellion juga mengadopsi struktur organisasi non-hirarkis dan aksi langsung tanpa kekerasan yang sejalan dengan strategi anarkis.⁵

11.4.    Perlawanan terhadap Otoritarianisme Digital dan Pengawasan Massa

Munculnya kapitalisme pengawasan dan otoritarianisme digital di abad ke-21 membawa tantangan baru terhadap kebebasan individu. Korporasi teknologi dan negara menggunakan algoritma, data biometrik, dan kecerdasan buatan untuk mengontrol perilaku dan preferensi masyarakat.⁶

Dalam konteks ini, anarkisme digital tampil sebagai bentuk perlawanan yang mendesak. Gerakan seperti hacktivism, proyek perangkat lunak bebas (free/libre open-source software), serta jaringan komunikasi terdesentralisasi menjadi contoh strategi anarkis untuk mempertahankan ruang otonomi digital.⁷ Prinsip transparansi, kerahasiaan, dan swakelola menjadi nilai kunci dalam menanggapi tantangan digital kontemporer.

11.5.    Revitalisasi Komunitas dan Solidaritas Sosial

Anarkisme juga relevan sebagai respon terhadap krisis keterasingan sosial dan atomisasi masyarakat modern. Di tengah dominasi relasi kapitalistik dan mekanisasi kehidupan sosial, anarkisme mengusulkan pembentukan komunitas berbasis empati, kebersamaan, dan pertukaran sukarela.⁸

Inisiatif seperti kolektif pangan, bank waktu, klinik kesehatan gratis berbasis komunitas, hingga pusat komunitas swakelola telah bermunculan di berbagai kota dunia. Gerakan ini membangun solidaritas bukan sebagai kebijakan negara, tetapi sebagai inisiatif langsung rakyat yang saling menolong tanpa pamrih kekuasaan.


Kesimpulan Sementara

Relevansi anarkisme di abad ke-21 tidak terletak pada keberadaannya sebagai ideologi tunggal, melainkan sebagai seperangkat prinsip dan strategi yang dapat digunakan dalam berbagai konteks perjuangan. Di tengah kegagalan model-model dominan dalam menjawab krisis multidimensi—politik, ekonomi, ekologis, dan digital—anarkisme menawarkan paradigma alternatif yang menolak dominasi dan membela kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas. Dengan kemampuannya beradaptasi, anarkisme tidak hanya tetap hidup, tetapi juga menjadi inspirasi utama dalam membayangkan dunia yang lebih manusiawi.


Footnotes

[1]                Marina Sitrin and Dario Azzellini, They Can’t Represent Us!: Reinventing Democracy from Greece to Occupy (London: Verso, 2014), 12–17.

[2]                David Graeber, The Democracy Project: A History, a Crisis, a Movement (New York: Spiegel & Grau, 2013), 135–142.

[3]                Iain McKay, ed., An Anarchist FAQ, vol. 2 (Oakland: AK Press, 2012), 315–328.

[4]                Murray Bookchin, The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy (Palo Alto: Cheshire Books, 1982), 21–34.

[5]                Roger Hallam, Common Sense for the 21st Century: Only Nonviolent Rebellion Can Now Stop Climate Breakdown and Social Collapse (London: Chelsea Green, 2019), 55–62.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 11–18.

[7]                Gabriella Coleman, Coding Freedom: The Ethics and Aesthetics of Hacking (Princeton: Princeton University Press, 2013), 68–72.

[8]                Colin Ward, Anarchy in Action (London: Freedom Press, 1973), 101–109.


12.       Penutup

Anarkisme dalam filsafat sosial-politik bukan sekadar gagasan marginal atau romantisisme kaum revolusioner, melainkan suatu tradisi pemikiran dan praksis yang memiliki sejarah panjang, kerangka teoretis yang kuat, serta kapasitas adaptif yang tinggi terhadap tantangan zaman. Dalam berbagai dimensi—etika, politik, ekonomi, ekologis, dan kultural—anarkisme secara konsisten mengajukan kritik mendalam terhadap kekuasaan terpusat, hierarki sosial, dan sistem-sistem dominasi yang meminggirkan otonomi manusia dan kebebasan kolektif.

Sejak embrionya dalam pemikiran klasik hingga pengaruhnya dalam Revolusi Spanyol, gerakan Makhnovia, Zapatista, dan Rojava, anarkisme telah menunjukkan bahwa alternatif sosial yang anti-otoriter dan berbasis solidaritas bukanlah angan-angan, tetapi sesuatu yang bisa dan telah diwujudkan dalam sejarah.¹ Ia mampu memberikan bentuk organisasi sosial yang otonom, berbasis konsensus, serta mengutamakan keadilan substantif di luar logika kekuasaan konvensional.

Dalam perjumpaannya dengan pemikiran kontemporer—feminisme, ekologi radikal, post-anarkisme, dan teknologi digital—anarkisme memperluas cakrawala perjuangannya dari medan material ke medan simbolik dan kultural.² Ini menunjukkan bahwa anarkisme bukan dogma kaku, melainkan pendekatan dinamis yang terus berkembang seiring dengan perubahan relasi sosial dan konteks global.

Namun demikian, anarkisme tidak tanpa kelemahan. Kritik atas kecenderungannya yang fragmentaris, absennya strategi transisi yang sistematis, serta tantangan dalam penerapan skala luas, tetap relevan dan layak dikaji secara kritis.³ Justru di sinilah ruang refleksi dibuka: bagaimana anarkisme dapat terus memperbarui dirinya tanpa mengingkari prinsip dasarnya—kebebasan, anti-otoritarianisme, dan solidaritas?

Di abad ke-21, ketika masyarakat dunia dihadapkan pada krisis multidimensi—demokrasi liberal yang melemah, ketimpangan ekonomi global, krisis iklim, dan otoritarianisme digital—anarkisme menawarkan bukan hanya kritik, tetapi juga inspirasi transformatif. Ia menantang kita untuk membayangkan masyarakat yang dibangun dari bawah, berdasarkan kehendak bebas, hubungan timbal balik, dan keberanian untuk menolak dominasi dalam segala bentuknya.

Sebagaimana ditegaskan oleh David Graeber, “anarkisme adalah eksperimen dalam membangun institusi sosial yang belum pernah ada sebelumnya”⁴—yakni dunia tanpa dominasi, tetapi penuh partisipasi, tanpa paksaan tetapi kaya akan komitmen, tanpa penguasa tetapi dengan tanggung jawab bersama. Meskipun jalan menuju masyarakat semacam itu tidak mudah, anarkisme tetap menjadi penanda penting dalam upaya kita merumuskan masa depan yang lebih adil dan membebaskan.


Footnotes

[1]                Murray Bookchin, To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist Revolution of 1936 (San Francisco: AK Press, 1994), 49–55.

[2]                Saul Newman, The Politics of Postanarchism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2010), 89–93.

[3]                David Miller, Anarchism (London: J.M. Dent & Sons, 1984), 131–134.

[4]                David Graeber, Fragments of an Anarchist Anthropology (Chicago: Prickly Paradigm Press, 2004), 12.


Daftar Pustaka

Avrich, P. (1967). The Russian anarchists. Princeton University Press.

Avrich, P. (1984). The Haymarket tragedy. Princeton University Press.

Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University Press.

Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom: The emergence and dissolution of hierarchy. Cheshire Books.

Bookchin, M. (1994). To remember Spain: The anarchist and syndicalist revolution of 1936. AK Press.

Bookchin, M., & Schwartz, M. (Eds.). (2015). The next revolution: Popular assemblies and the promise of direct democracy. Verso.

Bottici, C., & Challand, B. (2010). The myth of the clash of civilizations. Routledge.

Clark, S. (2007). Living without domination: The possibility of an anarchist utopia. Ashgate.

Coleman, G. (2013). Coding freedom: The ethics and aesthetics of hacking. Princeton University Press.

Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.

Ferrer, F. (1913). The origin and ideals of the Modern School. Knickerbocker Press.

Gelderloos, P. (2010). Anarchy works. Active Distribution.

Goldman, E. (1910). Anarchism and other essays (H. Havel, Ed.). Mother Earth Publishing Association.

Graeber, D. (2004). Fragments of an anarchist anthropology. Prickly Paradigm Press.

Graeber, D. (2013). The democracy project: A history, a crisis, a movement. Spiegel & Grau.

Guérin, D. (1970). Anarchism: From theory to practice (M. Klopper, Trans.). Monthly Review Press.

Hallam, R. (2019). Common sense for the 21st century: Only nonviolent rebellion can now stop climate breakdown and social collapse. Chelsea Green.

Holloway, J. (2002). Change the world without taking power: The meaning of revolution today. Pluto Press.

Illich, I. (1971). Deschooling society. Harper & Row.

Klein, H. (2015). Compañeras: Zapatista women's stories. Seven Stories Press.

Kropotkin, P. (1902). Mutual aid: A factor of evolution. McClure, Philips & Co.

Kropotkin, P. (1972). The conquest of bread (P. Avrich, Trans.). New York University Press.

Kropotkin, P. (2002). Anarchism: Its philosophy and ideal (M. S. Shatz, Trans.). Dover Publications.

Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin Classics.

Malet, M. (1982). Nestor Makhno in the Russian Civil War. Macmillan.

Marshall, P. (2010). Demanding the impossible: A history of anarchism. PM Press.

May, T. (1994). The political philosophy of poststructuralist anarchism. Pennsylvania State University Press.

McKay, I. (Ed.). (2008). An anarchist FAQ (Vol. 1). AK Press.

McKay, I. (Ed.). (2012). An anarchist FAQ (Vol. 2). AK Press.

Miller, D. (1984). Anarchism. J. M. Dent & Sons.

Newman, S. (2010). The politics of postanarchism. Edinburgh University Press.

Orwell, G. (1938). Homage to Catalonia. Secker & Warburg.

Prichard, A., Kinna, R., Pinta, S., & Berry, D. (2022). Anarchism: A very short introduction. Oxford University Press.

Proudhon, P.-J. (1994). What is property? (D. R. Kelley & B. G. Smith, Trans.). Cambridge University Press.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Rocker, R. (1989). Anarcho-syndicalism: Theory and practice. Pluto Press.

Sauter, M. (2014). The coming swarm: DDOS actions, hacktivism, and civil disobedience on the internet. Bloomsbury.

Schmidinger, T. (2018). Rojava: Revolution, war and the future of Syria’s Kurds. Pluto Press.

Sitrin, M., & Azzellini, D. (2014). They can’t represent us!: Reinventing democracy from Greece to Occupy. Verso.

Skirda, A. (2004). Nestor Makhno: Anarchy’s Cossack (P. Sharkey, Trans.). AK Press.

Stirner, M. (1907). The ego and its own (S. T. Byington, Trans.). Benjamin R. Tucker.

Tolstoy, L. (1894). The kingdom of God is within you (C. Garnett, Trans.). Cassell.

Tucker, B. R. (1893). Instead of a book, by a man too busy to write one. Benjamin R. Tucker.

Walzer, M. (1983). Spheres of justice: A defense of pluralism and equality. Basic Books.

Ward, C. (1973). Anarchy in action. Freedom Press.

Williams, K. (2004). Our enemies in blue: Police and power in America. Soft Skull Press.

Zerzan, J. (1988). Elements of refusal. Left Bank Books.

Zerzan, J. (2012). Future primitive revisited. Feral House.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar